II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) berdasarkan tingkat sistematikanya (FAO 1974) :
Sinonim
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Actinopterygii
Subkelas
: Neopterygii
Infrakelas
: Teleostei
Superordo
: Clupeomorpha
Ordo
: Clupeiformes
Subordo
: Clupeoidei
Famili
: Clupeidae
Subfamili
: Clupeinae
Genus
: Sardinella
Spesies
: Sardinella gibbosa
: Sardinella jussieu (Lacepede in FAO 1974), Sardinella tembang (Bleeker in FAO 1974)
Nama umum : Goldstrip sardinella Nama lokal
: Ikan Tembang, Tamban (PPN Palabuhan Ratu), Cekong (Blanakan), tembang gepeng (Labuan)
Ikan tembang (S. gibbosa) dicirikan oleh bentuk badan yang memanjang dan pipih. Badan bersifat fusiform, sedikit pipih, panjang total 3.6 sampai 4.1 kali lebar; pada bagian perut meruncing dengan beberapa scute yang terbalik; postpelvic scutes berjumlah 15 sampai 16 (biasanya 14 atau 17 sampai 18). Sirip dorsal mulai dari bagian belakang kepala, dasar sirip anal lebih pendek dan terletak sejajar dengan dasar sirip dorsal bagian belakang, pelvic fin terletak di bawah sirip dorsal bagian depan. Jumlah daun insang berkisar antara 43 sampai 63 pasang. Pada bagian depan terdapat scales yang sedikit bergerigi.
Ikan ini mempunyai panjang maksimum 18.5 cm, namun yang biasa tertangkap berukuran 15 cm. Pada bagian punggung bewarna biru kehijauan dan bagian belakang bewarna keperakan. Bagian tengah badan terdapat garis kecil bewarna kuning secara horizontal; pada bagian depan punggung ada bintik hitam yang bercahaya. Striae vertikal pada sisik tidak bertemu di pusat, pada bagian pinggiran belakang sisik terdapat banyak lubang pori-pori yang halus(Bleeker in FAO 1974).
2.2 Habitat dan Eksploitasi Ikan tembang menghuni perairan pantai termasuk spesies pelagis kecil, ada yang berasosiasi dengan karang pada kedalaman 10 – 70 m. Hidup membentuk schooling (kelompok), makanan utama ikan tembang yaitu fitoplankton dan zooplankton (larva udang dan kerang). Tersebar dari perairan utara Australia sampai ke Asia tenggara dan juga terdapat di daerah Indo-pasifik dan Afrika timur (Allen 1997). Sedangkan untuk wilayah Indonesia, ikan tembang terutama terkumpul di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, dan Arafuru (Direktorat Jendral Perikanan 1979). Ikan ini biasanya ditangkap dengan purse seine, lift net, dan set net. Pemanfaatannya untuk ikan segar konsumsi, kering, ikan asin dan juga untuk umpan. Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil (Widodo 1988). Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dan dari besaran tersebut 6,16%nya adalah ikan tembang.
2.3 Hubungan Panjang dan Berat Panjang dan berat merupakan parameter penting dalam melihat dan menentukan pola reproduksi dan pertumbuhan ikan. Dalam reproduksi terutama
untuk menduga ukuran ikan pertama kali matang gonad digunakan model logistik dengan meregresikan ukuran panjang dan berat (Weng et al. 2005). Selain itu, hubungan panjang-berat merupakan bagian dari sifat morfometrik yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan. Menurut Effendie (2002), hasil studi hubungan panjang dengan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang ke dalam nilai berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dinyatakan sebagai fungsi panjangnya, dimana hubungan panjang-berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hal tersebut disertai bentuk dan berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Hasil analisis hubungan panjang-berat mempunyai nilai konstanta b. bila nilai b = 3 maka pertambahan berat dengan panjang seimbang (pertumbuhan isometrik), sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari tiga dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila nilai b lebih besar dari tiga maka pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjang (allometrik positif) sedangkan apabila nilai b lebih kecil dari tiga maka pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat (allometrik negatif). Panjang dan berat juga sering dihubungkan dengan fekunditas. Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang dari pada dengan berat karena keuntungannya bahwa panjang tidak mudah berubah atau berkurang tidak seperti berat dapat berkurang dengan mudah. Kalau fekunditas dihubungkan dengan berat disebabkan karena berat lebih mendekati kondisi ikan itu dari pada panjang (Effendie, 2002). Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r), untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Hubungan antara berat tubuh dan panjang total ikan Spratelloides gracilis di perairan Penghu, Taiwan adalah W= 5.225 x 10-6 FL3.120 ( n= 2042, p<0.05) untuk betina dan W= 6.487 x10-6 FL3.076 ( n= 2000, p<0.05) untuk jantan dengan pola pertumbuhan isometrik (Weng et al. 2005).
2.4 Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan salah satu faktor penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan
ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan. Menurut Ismail (2006), faktor kondisi ikan tembang (Clupea platygaster) yang tertangkap di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan berkisar antara 1,0764 – 1,2559 dan untuk betina berkisar antara 1,1013 – 1,2818. Nilai faktor kondisi cendrung berkebalikan dengan nilai indeks kematangan gonad (IKG), saat nilai faktor kondisi tinggi nilai indeks kematangan gonad cendrung rendah serta berhubungan erat dengan prilaku pemijahan ikan (Weng et al. 2005). Faktor kondisi berhubungan erat dengan berat jenis suatu spesies ikan (Royce 1972).
2.5 Reproduksi Dalam siklus hidup makhluk hidup termasuk ikan, reproduksi merupakan salah satu bagian siklus hidup yang akan menjamin kelangsungan keturunan dari suatu organisme (Nikolsky 1963). Reproduksi juga berhubungan dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan. Beberapa aspek biologi reproduksi antara lain rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan pertama kali memijah dan ukuran ikan pertama kali mencapai matang gonad (Nikolsky 1963). Dalam daur hidup ikan ada beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam keberhasilan rekruitmen, diantaranya adalah makanan dan fisika-kimia air. Lokasi upweling merupakan salah satu daerah pemijahan dan tempat proses perekrutan ikan berlangsung. Peningkatan unsur hara di daerah upweling memacu peningkatan konsentrasi plankton sebagai makanan larva dan juvenil ikan. Secara alamiah proses ini memacu ikan-ikan dewasa untuk memijah atau bereproduksi, karena pakan yang tersedia untuk larva ikan dan juvenilnya akan terpenuhi (http//digilib.itb.ac.id).
Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al. 1972 in Syandri 1996). Spesies ikan menunjukkan siklus reproduksi tahunan (annual), atau tengah tahunan (biannual) dan siklus reproduksi akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan normal (Bye in Syandri 1996). Pemijahan lemuru (sejenis ikan tembang) terjadi di perairan pantai ketika salinitas rendah pada awal musim penghujan walaupun tempat yang pasti terjadinya pemijahan belum dapat diketahui (Ginanjar 2006). Tipe pemijahan ikan lemuru termasuk pada tipe pemijahan ikan yang tidak menjaga telurnya (non guard parental) dan eksternal spawning dimana proses pemijahan terjadi diluar tubuh induknya secara berkelompok. Pada tipe ikan yang melakukan eksternal spawning biasanya memiliki jumlah telur yang banyak yang berkaitan dengan strategi dalam menjaga kelangsungan hidup keturunannya. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Hal ini mendukung teori bahwa kesuksesan dalam proses perekrutan ikan sangat berhubungan dengan faktor lingkungan, karena upwelling cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi pada musim semi-panas atau sekitar bula April - Oktober. Dari penelitian Effani (1998), tingkat kematangan gonad ikan tembang pertama kali dicapai pada ukuran : panjang; Lm = 16,32 cm/betina, 15,7 cm secara keseluruhan 17,4 cm; untuk konstanta laju pertumbuhan, k = 1.60/tahun; panjang maksimum, L∞ = 20,43 - 21,16 cm.
2.5.1 Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Nababan 1994). Perbedaan nisbah kelamin juga dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan, yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara
teratur, yaitu pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 lalu diikuti ikan betina lebih banyak (Nikolsky 1963). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005), untuk ikan blue sprat (S. gracilis) mempunyai perbandingan jenis kelamin dari semua spesimen sebesar 0,45. Nisbah kelamin juga mempunyai variasi bulanan.
2.5.2 Indeks kematangan gonad Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) yaitu persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh (Effendie 2002). Semakin meningkat tingkat kematangan gonad, garis tengah yang ada dalam ovarium semakin besar dan gonad akan bertambah berat sampai mencapai maksimum ketika ikan akan memijah. Perubahan nilai IKG erat hubungannya dengan tahap perkembangan telur. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 2002). Nilai IKG untuk ikan S. gracilis di perairan Penghu (Taiwan) mengalami variasi bulanan, berkisar antara 0,048 sampai 0,087 untuk ikan betina dan mencapai nilai IKG maksimum 0,095. Suatu pola yang serupa juga ditemukan untuk jantan (Weng et al. 2005). Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076).
2.5.3 Tingkat kematangan gonad Bagian
dari
reproduksi
ikan
sebelum
terjadi
pemijahan
ialah
perkembangan gonad yang semakin masak. Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari awal sebelum memijah sampai sesudah ikan memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina 10 – 25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5 – 10% (Royce 1972).
Perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad akan memberi keterangan tentang waktu ikan
memijah, baru memijah atau sudah memijah (Tang dan
Affandi 1999). Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Ukuran ikan pertama kali matang gonad tidak sama untuk tiap-tiap spesies. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya, jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat, akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad di daerah yang bermusim empat antara lain adalah suhu dan makanan, akan tetapi untuk ikan di daerah tropis suhu relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad masak proses
lebih cepat (Effendie 2002). Royce (1972) menyatakan bahwa
perkembangan
telur
dan
sperma
serta
proses
pengeluarannya
membutuhkan energi ekstra dan kondisis makanan yang baik. Menurut Weng et al. (2005), dari analisis makroskopik perkembangan ovarian ikan Spratelloides gracilis dapat dibagi kedalam 4 fase dan secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2. Fase sebelum matang gonad (immature) : indung telur kecil dan langsing, dan oocyte tidak terlihat dengan mata biasa. Diameter oocyte < 0,2 mm, dan model tunggal ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Distribusi oocyte belum berkembang secara acak, dan oogonia jarang ditemukan. Fase menuju matang gonad (maturing) : indung telur menjadi lebih besar dan kekuning-kuningan. Rata-rata diameter oocyte < 0,4 mm. Model tunggal juga ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Fase matang gonad (mature) : indung telur sangat gembung dan kekuningkuningan, dan telur tembus cahaya. Proses vascularisasi yang lebat di
punggung indung telur, dan diameter oocyte meningkat secara pesat. Umumnya diameter oocyte yang ditemukan 0,6 – 0,9 mm.
Gambar 2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai mature (Weng et al. 2005)
Fase setelah matang gonad (spent) : indung telur kecil dan lembut. Beberapa oocyte yang besar tidak dikeluarkan, ditemukan dekat kloaka. Diameter oocyte > 0,6 mm. Oocyte ini secara normal akan diserap kembali, indeks kematangan gonad berkisar antara 0,022 – 0,0395.
2.5.4 Diameter telur dan pemijahan Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson 1971 in Effendie 2002). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 – 0,74 mm. Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang berukuran besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil, selain itu larva yang lebih besar juga lebih tahan dalam menghindari pemangsa (Blaxter 1969 in Chambers dan Leggett 1996). Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992 in http://naksara.net/Aquaculture). Kontribusi induk terhadap variasi ukuran telur dan sifat awal daur hidup sering berkorelasi dengan ukuran telur. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996). Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran yang lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Hoar in Lumbanbatu 1979). Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.
2.5.5 Fekunditas Fekunditas merupakan salah satu fase yang memegang peranan penting untuk menentukan kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Menurut Royce (1972) fekunditas adalah semua telur-telur yang akan dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas terdiri atas dua istilah yaitu fekunditas individu dan fekunditas relatife. Fekunditas individu atau fekunditas mutlak (total) adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Sedangkan fekunditas relatife atau nisbi adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan. Fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan berat karena biasanya berat lebih mendekati kondisi ikan daripada panjang, walaupun pada beberapa kasus, berat dapat cepat berubah pada waktu mendekati musim pemijahan karena banyaknya energi yang digunakan untuk melakukan ruaya pemijahan (Effendie 2002). Umumnya fekunditas relatife lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas individu dan kenaikannya diatas 100% bagi fekunditas individu. Fekunditas relatife akan terjadi maximum pada golongan ikan yang masih muda (Nikolsky 1963). Umur juga ada hubungannya dengan fekunditas, ikan yang untuk pertama kali
memijah atau
belum
berpengalaman
memijah (recruit
spawners)
fekunditasnya tidak sebesar fekunditas ikan yang telah beberapa kali melakukan pemijahan walaupun beratnya sama (Effendie 2002). Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan. Pengaruh makanan ini terjadi untuk individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Fekunditas yang banyak maupun sedikit berhubungan dengan ukuran telur, dan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan hidup larva dan ikan muda. Ikan-ikan di daerah tropis pada umumnya memiliki fekunditas yang besar tapi ukurannya relatif kecil dan biasanya dierami di dalam mulut, alat khusus dan jaring (Royce 1972). Satu karakteristik dari ikan yang mempunyai fekunditas banyak
yaitu mereka mempunyai kelimpahan yang berubah-rubah
dibanding ikan-ikan yang mempunyai fekunditas sedikit.
Menurut Chambers dan Leggett (1996) fekunditas spesies ikan air laut bisanya lebih besar dibanding fekunditas ikan air tawar. Hal ini berhubungan dengan upaya untuk menjaga kelangsungan hidup (survival rate) spesies ikan air laut. Fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara 25630 – 465536 butir telur (Ismail 2006). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005) di perairan Penghu (Taiwan) fekunditas ikan S gracilis yang diambil dari 62 indung telur berkisar antara 514 – 7336 butir telur.
2.6 Kualitas Telur Definisi kualitas telur
yang
umum digunakan adalah kemampuan telur
untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik
dan
kimia
selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran dan kandungan kimia (Utiah 2006). Komposisi proksimat dari telur ikan pelagis berkaitan dengan berat jenis dari unsur organik utama telur ikan pelagis yaitu free amino acids ( FAA) dan amino acids polymerized ( PAA) dalam protein, kedua unsur tersebut mempunyai berat jenis lebih tinggi dibanding berat jenis air laut (Riis-Vestergaard 2002). Energi dalam telur ikan dihitung dari komposisi proksimat telur dan densitas energi dari beberapa unsur, terutama FAA, PAA, dan lipid serta minyak. Secara umum densitas energi yang digunakan yaitu 39 J mg -1 untuk lipid dan minyak (Finn et al. in Riis-Vestergaard 2002). Perbandingan komposisi kualitas telur dapat dibandingkan dengan kandungan lemak di jaringan tubuh. Seperti kualitas telur ikan common featherback (Notopterus notopterus Pallas) menurut Mukhopadhyay et al. (2004), Nilai tengah bobot basah telur matang adalah 16.3% dari total bobot tubuh; yang mana 11,5% (bobot kering) adalah lemak. Telur mengandung lemak 6,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan tubuh. Bagian utama lemak telur adalah senyawa triacylglycerol (TAG) sekitar 53.8% dan phospholipid (PL, 37.0%). Diantara PL, phosphatidylcholine (PC) adalah yang paling banyak (sekitar
57.1%), phosphatidylethanolamine (PE, 25.7%) dan phosphatidylinositol (PI, 17.4%). Lemak di jaringan tubuh, sebagian besar adalah phospholipid (72.5%) yang secara nyata lebih besar dari lemak telur (37.0%). PL yang banyak terdapat di jaringan tubuh adalah PC (51.6%), diikuti dengan PE (28.1%) dan PI (20.2%). Di jaringan tubuh, TAG sekitar 18.0% atau lebih rendah dibandingkan dengan TAG pada telur (53.8%). Kandungan Cholesterol (CHL) dalam telur dan jaringan tubuh masing-masing sekitar 4.4% dan 0.7%. Total asam lemak tak jenuh atau Polyunsaturated fatty acids (PUFAs) sebesar 37.9% dan 36.0%, masing-masing untuk PL telur dan jaringan tubuh. Asam arakidonat atau arachidonic acid (20:4 n6, AA) dan eicosapentaenoic acid (20:5 n-3, EPA) dalam PL tubuh sekitar 16.5% dan 10.6% dalam PL telur, AA dan EPA masing-masing sekitar 10.7% dan 10.6%. Nutrisi atau zat makanan merupakan bagian dari makanan termasuk didalamnya air, protein dan asam amino yang membentuknya, lemak dan asam lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Utiah 2006). Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006). Selama oogenesis, kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 µm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5 µm (Linhart et al. in Utiah 2006). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Lebih dari separuh jenis telur ikan pelagis berisi oil globule, yang berguna untuk menyokong daya apung (Russell in Riis-Vestergaard 2002). Tidak ada perbedaan secara umum dalam kemampuan mengapung antara telur ikan pelagis yang memiliki oil globule maupun tanpa oil globule, karena telur dengan oil globule mengalami hidrolisis protein lebih sedikit selama matang gonad. Telur ikan pelagis teleostei tanpa oil globule mempunyai berat jenis lebih rendah untuk menjaga agar tetap mengapung di air laut dengan salinitas 32-34 promil, oil globule satu-satunya unsur telur yang penting terlepas dari lipid yang mempunyai berat jenis lebih rendah dari air laut (Riis-Vestergaard 2002).
2.7 Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi Populasi ikan yang tidak mengalami tekanan tangkap dan tidak mendapat wabah penyakit yang serius akan mempunyai kelimpahan dan komposisi umur yang stabil. Peningkatan biomassa populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu makanan, ruang (habitat), dan faktor lain, salah satunya adalah tekanan penangkapan
(Royce
1972).
Tingginya
tekanan
penangkapan
dapat
mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen (Royce 1972). Menurut Kamukuru dan Mgaya (2004), perbandingan jenis kelamin ikan Blackspot snapper di Pulau Mafia pada daerah yang belum mengalami overfishing 1,03:1 (betina:jantan), sedangkan untuk daerah yang telah mengalami overfishing 0,9:1 (betina:jantan). Nisbah kelamin pada daerah yang belum
mengalami
overfishing lebih seimbang dibandingkan dengan daerah yang telah mengalami overfishing.
Perbedaan perbandingan jenis kelamin tersebut terkait dengan
ukuran, dimana ikan jantan mendominasi dengan ukuran yang lebih kecil. Musim pemijahan ikan Blackspot snapper di daerah Mafia Island Marine Park (MIMP) dengan tekanan tangkap lebih kecil dari bulan September sampai Maret dan mencapai puncak pada bulan Desember. Sedangkan di daerah IFA (intensively fished areas) tidak satupun ikan ditemukan dalam keadaan memijah. Umur ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan intensitas penangkapan dan kompetisi interspesifik (Magnan et al. 2005). Umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit (Platten 2004).