7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek (C. altivelis) Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral pada ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (Gatlin 2002). Protein adalah bahan organik utama dalam tubuh ikan, dan kandungannya dapat mencapai 65-70% dari bobot total tubuh (Wilson 2002). Protein berperan dalam pembentukan jaringan baru pada masa pertumbuhan dan reproduksi, mengganti jaringan yang rusak dan memelihara jaringan yang telah ada, pembentukan enzim dan hormon, pengatur berbagai metabolisme dalam tubuh, dan sebagai sumber energi. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ukuran ikan, suhu air, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna, dan kualitas protein. Kerapu bebek yang merupakan ikan karnivor membutuhkan kandungan protein pakan yang lebih tinggi daripada ikan omnivor dan herbivor, dan kebutuhannya menurun dengan meningkatnya ukuran ikan. Kebutuhan protein ikan karnivor berkisar 40-55%, sedangkan ikan herbivor dan omnivor berkisar 25-40%. Shiau dan Lan (1996) melaporkan bahwa kebutuhan protein pada pembesaran ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) adalah 44%, sedangkan juvenil kerapu Epinephelus coloides membutuhkan protein optimal 48% (Luo et al. 2004). Lemak merupakan sumber energi yang nilainya paling tinggi dan sangat efektif untuk ikan dibandingkan dengan karbohidrat (Williams et al. 2006). Selain sebagai sumber energi, lemak juga mempunyai fungsi sebagai sumber asam lemak. Kebutuhan ikan akan asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies. Perbedaan kebutuhan terutama dihubungkan dengan habitat ikan. Ikan laut membutuhkan
asam
lemak
omega-3
HUFA
yang
terdiri
dari
asam
eikosapentanoat (EPA, 20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat (DHA, 22:6n-3)
8
(Sargent et al. 2002), sedangkan ikan air tawar membutuhkan asam lemak linoleat 18:2n-6 atau linolenat 18:3n-3 atau kombinasi keduanya. Pada umumnya ikan tidak mampu mensintesis asam-asam lemak linoleat dan linolenat sehingga keberadaannya dalam pakan mutlak diperlukan. Fungsi penting lain lemak adalah sebagai media transpor senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, sebagai bagian dari struktur membran sel, dan sebagai prekursor senyawa-senyawa penting, misalnya hormon dan pigmen (Jobling 1994). Kebutuhan lemak ikan kerapu bebek berkisar 15-30% bergantung pada komposisi asam lemaknya (Williams et al. 2004). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang murah bagi ikan, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya berbeda antarspesies. Meskipun ikan karnivor yang hidup di air laut tidak mampu memanfaatkan dengan baik karbohidrat dalam pakan dibandingkan dengan ikan herbivor dan omnivor yang disebabkan saluran pencernaannya yang relatif pendek, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan karbohidrat dalam pakan mutlak diperlukan (Usman 2002). Kebutuhan karbohidrat pada ikan karnivor berkisar 10-20% (Watanabe 1988), sedangkan ikan herbivor dan omnivor dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal pada kisaran 30-40% (Furuichi 1988). Giri et al. (1999) melaporkan bahwa kebutuhan karbohidrat ikan kerapu tikus berbobot 5-10 g adalah 10-14%. Beberapa mikronutrien, seperti vitamin dan mineral, dapat ditambahkan dalam pakan ikan dengan kadar tertentu sebagai dasar pemenuhan kebutuhan ikan untuk tumbuh dan menjaga kesehatan (peningkat daya tahan tubuh). Vitamin adalah senyawa organik yang sangat kompleks dan diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil untuk pertumbuhan normal, reproduksi, kesehatan, dan metabolisme pada umumnya. Vitamin C, misalnya, dibutuhkan oleh juvenil kerapu bebek (bobot rata-rata 13,5 g) sebanyak 3 mg/100 g pakan dalam bentuk askorbil magnesium fosfat (AMP) (Giri et al. 1999). Hasil penelitian Subyakto (2000) menunjukkan bahwa pakan yang ditambahkan vitamin C dalam bentuk Lascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM) sebesar 25 mg/kg pakan merupakan perlakuan terbaik bagi pertumbuhan juvenil kerapu tikus.
9
Mineral diperlukan dalam pakan ikan, meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi sangat penting untuk mempertahankan kondisi tubuh yang normal, untuk proses respirasi, osmoregulasi, mekanisme homeostasis, dan pembentukan kerangka tulang. Dari 15 unsur yang dibutuhkan dalam jumlah kecil dan dianggap penting bagi hewan, termasuk ikan, peran fisiologi dari kekurangan unsur-unsur kromium, kobalt, tembaga, iodine, besi, mangan, molibdenum, selenium, zinc, dan fluorin telah diketahui dengan baik (Lall 2002). Namun, kebutuhan mineralmineral tersebut untuk ikan kerapu bebek belum banyak diteliti. Salah satu yang telah diteliti adalah kebutuhan juvenil kerapu bebek atas mineral Fe oleh Setiawati (2010) dan diperoleh hasil bahwa suplementasi Fe dalam pakan mampu memperbaiki vitalitas dan imunitas ikan; dan kadar Fe 100 ppm dalam pakan memberikan potensi tumbuh dan peningkat daya tahan tubuh ikan lebih baik pada paparan perubahan kondisi lingkungan.
2.2 Mineral selenium (Se) dan kebutuhannya Tidak seperti kebanyakan hewan-hewan terestrial, ikan mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa unsur-unsur anorganik tidak hanya dari pakan, tetapi juga dari lingkungan eksternalnya, baik pada air tawar maupun air laut (Lall 2002). Namun, mineral melalui pakan lebih efektif dan sangat dibutuhkan untuk kehidupan ikan (Andersen et al. 1996). Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ikan adalah Se. Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Pengaruh protektif Se dan senyawa-senyawa yang mengandung Se melawan toksisitas logam-logam berat, seperti cadmium dan merkuri telah juga dilaporkan. Berdasarkan bentuk atau sumbernya, Se terbagi menjadi Se anorganik (selenite dan selenate) dan Se organik (selenometionin, selenosistein, dan selenosistine) (Anonim 2010b). Kebutuhan Se menentukan pertumbuhan optimum
10
dan aktivitas glutation peroksidase plasma. Kebutuhan Se optimal berkisar 0,150,38 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk rainbow trout (Hilton et al. 1980), 0,25 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk channel catfish (Gatlin & Wilson 1984), 0,7 mg Se/kg pakan, dalam bentuk selenometionin, untuk ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau 2005), dan 1,408 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, pada juvenil abalon (Holiotis discus hannai Ino) (Wang et al. 2012). Selenium tersebar secara luas dengan konsentrasi yang kecil, baik di dalam air tawar maupun air laut. Selenium juga terdapat secara alami dalam pakan dan bahan-bahan pakan dalam kompleks organik, utamanya dalam bentuk selenometionin, selenium-metil selenometionin, selenosistine, dan selenosistein. Kandungan Se bahan pakan yang berasal dari tumbuhan bervariasi berdasarkan tingkat dan biological availability Se dalam tanah pada berbagai lokasi geografis (Lall 2002). Beberapa peneliti telah membandingkan penggunaan Se dalam bentuk anorganik dan organik dengan hasil yang bervariasi. Wang dan Lovel (1997) mendapatkan bahwa channel catfish yang memakan Se dari sumber organik (selenometionin dan selenoyeast) mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan aktivitas enzim glutation peroksidase yang lebih tinggi daripada yang memakan Se dari sumber anorganik (sodium selenite, Na2SeO3). Hasil yang sama didapatkan oleh Paripatananot dan Lovel (1997) yang menemukan bahwa Se dari selenometionin lebih available dari pada sodium selenite. Rider et al. (2009) juga menyimpulkan bahwa Se organik (selenoyeast) mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan sodium selenite dalam hal meningkatnya retensi Se, menurunnya kehilangan Se di tubuh selama stres, dan meningkatnya kapasitas untuk meningkatkan aktivitas glutation peroksidase selama stres. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Lorentzen et al. (1994) yang mendapatkan bahwa pemberian Se dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3) dan selenometionin pada Atlantik salmon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bobot atau aktivitas glutation peroksidase hati pada penambahan 1 atau 2 mg Se/kg pakan. Demikian pula ditemukan bahwa aktivitas glutation peroksidase plasma dan hati tidak berbeda pada Atlantik salmon yang
11
memakan 1 mg Se/kg pakan dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3), selenometionin, selenosistein, atau tepung ikan (Bell & Cowey 1989). Pada crucian carp (Carassius auratus gibelio), pemberian Se anorganik dalam bentuk Se nanopartikel (nano-Se) dan organik (selenometionin) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada bobot akhir, laju pertumbuhan relatif, aktivitas glutation peroksidase, namun nano-Se lebih efektif daripada organik selenometionin dalam meningkatkan kandungan Se otot (Zhou et al. 2009). Jaramillo et al. (2009) mendapatkan bahwa bioavailability selenometionin 3,3 kali lebih tinggi dari pada sodium selenite untuk juvenil hybrid striped bass berdasarkan konsentrasi Se seluruh tubuh. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan yang mengandung 21,2 mg Se/kg sodium selenite menyebabkan pertumbuhan terhambat dan tingkat kematian yang tinggi.
2.3 Metabolisme Se Asam-asam selenoamino adalah bentuk utama Se dalam pakan, yang mana Se mengganti sulfur dalam selenometionin pada protein umum dalam bahanbahan makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan, dan selenosistein pada selenoenzim dalam bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan (Thomson 2007). Metabolisme Se mencakup penyerapan, transportasi, distribusi, ekskresi, retensi, dan transformasi ke bentuk aktif. Selenium utamanya diserap dalam duodenum. Selenometionin dan metionin membagi mekanisme transpor aktif yang sama, tetapi sedikit diketahui tentang transportasi selenosistein. Penyerapan bentuk anorganik, seperti selenite dan selenate, terjadi melalui mekanisme pasif. Selenometionin diserap hampir 100%, sedangkan penyerapan Se anorganik bervariasi bergantung pada faktor luminal. Selenium bentuk organik, terutama L-selenometionin lebih mudah diserap oleh tubuh daripada bentuk anorganik. Hal ini disebabkan karena Se bentuk organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. D-selenometionin didegradasi menjadi Se anorganik. Oleh karena itu, bioavailability-nya hanya 1/5 dari L-selenometionin, sedangkan selenium
12
anorganik langsung didegradasi sehingga tidak dapat disimpan (Anonim 2010b). Penyerapan Se tidak dipengaruhi oleh status Se, yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaturan homeostasis dalam penyerapannya. Sedikit diketahui tentang transportasi Se dalam tubuh, walaupun tampaknya dialirkan berikatan dengan protein plasma (Thomson 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa selenoprotein P dalam plasma telah menunjukkan bahwa transportasinya bersama protein, dan plasma juga mengandung GPx ekstraseluler, tetapi bobot molekul bentuk-bentuk Se ini lebih kecil sehingga lebih memungkinkan berperan dalam transportasi protein. Strain dan Cashman (2002) menyatakan bahwa Se bentuk anorganik secara pasif dialirkan melewati usus brush border, sedangkan bentuk organik (selenometionin dan mungkin selenosistein) secara aktif ditransportasikan, dan ketika sampai pada aliran darah, Se sebagian besar ditransportasikan berikatan dengan protein (terutama very lowdensity β-lipoprotein, VLDL, dan sedikit berikatan dengan albumin) untuk disimpan dalam berbagai organ. Hati dan ginjal adalah organ target utama ketika jumlah Se yang masuk tinggi, tetapi pada saat jumlahnya sedikit, kandungan Se di hati menjadi berkurang. Jantung dan otot adalah organ target yang lain. Mekanisme transportasi sejauh ini masih belum jelas, tetapi ada hipotesis yang menyatakan bahwa Se masuk ke sel darah merah melalui proses difusi dan kemudian dibawa ke seluruh tubuh. Di dalam darah, Se terikat pada lipoprotein seperti VLDL atau LDL (Anonim 2010b). Selenium dalam jaringan-jaringan hewan terdapat dalam satu kumpulan dengan protein, dan hadir dalam dua bentuk utama. Pertama adalah selenosistein, yang hadir sebagai bentuk aktif Se dalam selenoprotein. Kedua adalah selenometionin, yang mana tidak spesifik bergabung pada tempat metionin dalam berbagai protein, tidak diatur oleh status Se pada hewan. Tingkat Se pada jaringan dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Bentuk Se yang diberikan juga mempengaruhi retensi Se, dengan selenometionin lebih efektif dalam meningkatkan level Se daripada sodium selenite atau selenate. Baik Se bentuk anorganik maupun organik berubah bentuk menjadi selenide. Selenite dan selenate berubah menjadi selenide, demikian pula selenosistein organik secara langsung berubah menjadi selenide; sedangkan selenometionin berubah menjadi
13
selenosistein terlebih dahulu, kemudian menjadi selenide. Selenide (bentuk oksidasi -2) berubah menjadi selenosistein pada tRNA dan residu selenosisteinil digabungkan ke dalam bentuk aktif selenoprotein oleh UGA kodon yang spesifik terhadap selenosistein. Selenometionin yang bergabung tidak spesifik ke dalam protein berkontribusi terhadap Se jaringan, yang mana tidak dengan segera tersedia untuk sintesis bentuk-bentuk Se fungsional sampai dikatabolisasi. Urin adalah jalan utama ekskresi Se, diikuti oleh feses yang mana terutama adalah Se yang tidak terserap. Homeostasis Se tercapai melalui pengaturan ekskresi ini. Penelitian-penelitian tentang keseimbangan menunjukkan bahwa konsumsi Se dalam wilayah yang luas (jumlah yang berlebih), jumlah ekskresi melalui urin ini mencapai 50-60% dari total Se yang diekskresikan. Berikut ini adalah skema metabolisme selenium:
Gambar 2. Metabolisme selenium (Anonim 2010b)
14
2.4 Fungsi Se Selenium merupakan mineral penting bagi kesehatan dan merupakan komponen beberapa jalur metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun (Brown & Arthur 2001). Selenium berfungsi sebagai komponen dari sejumlah enzim yang disebut selenoprotein (Anonim 2010b). Ada 30 selenoprotein yang telah diidentifikasi di antaranya adalah kelompok glutation peroksidase (GPx) yang meliputi GPx1, GPx2, GPx3, dan GPx4, selenoprotein P, iodotironin deiodinase (tipe I, II dan III), tioredoksin reduktase (TR1, TR2, TR3), selenofosfat sintetase, 15 kDa selenoprotein (sep 15), selenoprotein W, dan selenoprotein H, I, K, M, N, O, R, S, T, V (Beckett & Arthur 2005). Tidak semua selenoprotein yang telah teridentifikasi diketahui dengan jelas fungsinya. Beberapa di antaranya yang telah diketahui dengan jelas akan dikemukakan pada bagian ini. Kelompok glutation peroksidase yang merupakan selenoprotein yang pertama dikarakterisasi mempunyai fungsi sebagai enzim antioksidan yang berperan dalam konversi hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif (Rotruck et al. 1973). Kelompok utama kedua dari selenoprotein adalah enzim-enzim iodotironin deiodinase yang berfungsi mengkatalis reaksi perubahan prohormon tiroxin (T4) menjadi bentuk aktif hormon tiroid, triiodotironin (T3) (Brown & Arthur 2001). Selenoprotein lain yang telah teridentifikasi fungsinya dengan jelas adalah tioredoksin reduktase yang merupakan enzim yang mengandung selenosistein dan berfungsi mengkatalis berkurangnya thioredoksin yang bergantung pada NADPH, dan oleh karena itu memainkan peran pengaturan aktivitas metaboliknya. Beberapa fungsi lain Se yang dapat disebutkan di sini adalah selenofosfat sintetase yang merupakan selenoenzim yang dibutuhkan untuk pembentukan selenosistein yang berikatan dengan tRNA selama sintesis selenoprotein; selenoprotein W ditemukan pada otot dan jaringan-jaringan lainnya, yaitu konsentrasinya menurun selama kekurangan Se, kecuali pada otak, namun fungsi selenoprotein W ini belum diketahui (Thomson 2007). Selanjutnya dikatakan
15
bahwa selenoprotein-selenoprotein lain (15 kDa selenoprotein, dan selenoprotein H, I, K, M, N, O, P, S, T, dan V) fungsinya juga belum diketahui.
2.5 Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, yaitu variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan dengan kandungan protein, lemak atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan asam nukleat dalam bentuk rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Parameter ini telah diuji pada beberapa spesies ikan dan krustasea. Raae et al. (1988) melaporkan bahwa larva ikan cod (Gadus morhua) yang dipelihara tanpa pemberian pakan memperlihatkan penurunan nilai rasio RNA/DNA, sebaliknya pada ikan yang diberi pakan, nilai rasio RNA/DNA relatif konstan walau terjadi sedikit fluktuasi. Tarkii et al. (1994) juga dengan sukses menggunakan rasio RNA/DNA dalam memprediksi pertumbuhan ikan striped jack (Caranx delicatissimus). Hasil penelitian selama 42 hari pada larva menunjukkan adanya peningkatan rasio RNA/DNA dalam tubuh seiring dengan makin meningkatnya pertumbuhan ikan. Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) di salinitas rendah menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Pada juvenil kerapu bebek didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010).
16
2.6 Imunitas dan status Se Imunitas adalah suatu mekanisme fisiologi yang penting bagi hewanhewan untuk perlindungan melawan infeksi dan pemeliharaan keseimbangan internal (Saurabh & Sahoo 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa sistem imun biasanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu imunitas alami (innate immunity) yang juga disebut sebagai imunitas nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikrob tertentu, dan siap berfungsi sejak lahir, serta merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikrob; dan imunitas yang didapat (adaptive immunity) yang juga disebut sebagai imunitas spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya dan siap menyerang benda asing tersebut pada penyerangan berikutnya (sel-sel memori). Molekul-molekul yang penting di antaranya lysozyme, superoksida, protein fase akut, interferon, komplemen, properdin, lisin, dan agglutinin adalah parameterparameter imunitas alami dan telah digunakan sebagai indikator respons stres hewan akuatik dan resistensi terhadap penyakit. Sel-sel dan molekul-molekul penting pada sistem imun yang didapat di antaranya adalah reseptor sel-T dan immunoglobulin (Ig). Peningkatan daya tahan tubuh ikan melalui perbaikan formulasi pakan dengan penambahan bahan-bahan tertentu dapat meningkatkan sistem imun sehingga ikan lebih tahan terhadap serangan penyakit dan produksi akuakultur dapat meningkat (Gatlin 2002). Pakan yang mengandung Se penting untuk suatu respons imun optimum, walaupun mekanisme-mekanisme keperluan ini tidak selalu dimengerti secara lengkap (Arthur et al. 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa Se mempengaruhi sistem imun alami maupun sistem imun yang didapat. Stres dapat mempengaruhi fungsi tiroid melalui penekanan metabolisme hormon tiroid. Timus mengandung aktivitas iodotironin deiodinase tipe 2 yang umumnya membatasi jaringan-jaringan yang membutuhkan produksi lokal triiodotironin (T3) dari tiroksin (T4) untuk aktivitas optimal (Arthur et al. 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa penurunan aktivitas deiodinase tipe 2 pada defisiensi Se dapat berpengaruh pada sistem imun. Satu dari banyak penelitian yang mempelajari hubungan antara Se dan sistem imun adalah pengaruh mikronutrien ini pada fungsi neutrofil. Neutrofil-
17
neutrofil menghasilkan radikal-radikal derivat superoksida untuk mengambil bagian dalam membunuh mikrob-mikrob. Hasil penelitian menunjukkan bahwa neutrofil dari tikus dan sapi yang kekurangan Se dapat memakan patogen secara in vitro, tetapi sedikit yang dapat membunuhnya, dibandingkan dengan neutrofilneutrofil yang berasal dari hewan-hewan yang cukup Se (Arthur et al. 2003). Brown dan Arthur (2001) menyatakan bahwa pengaruh defisiensi Se dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel T, merusak proliferasi limfosit dan responsiveness.
2.7 Pengaruh Se pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh Penelitian tentang pengaruh Se pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan telah banyak dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Pada hybrid striped bass, penambahan Se dengan konsentrasi dan sumber yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada pertambahan bobot, laju pertumbuhan bobot spesifik, faktor kondisi, aktivitas lysozyme, dan aktivitas glutation peroksidase hati, dengan perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan 0,2 mg Se/kg pakan dari sumber organik (selplex) (Cotter et al. 2008). Dengan pemberian Se pakan yang meningkat dari 0 sampai 5 mg/kg pakan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan efisiensi pakan juvenil kerapu malabar meningkat sampai dengan titik optimum kemudian menurun kembali (Lin & Shiau 2005). Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa berdasarkan pertambahan bobot dan regresi linear, retensi Se keseluruhan tubuh menunjukkan bahwa kebutuhan Se untuk ikan kerapu malabar ini adalah 0,7 mg/kg pakan dalam bentuk selenometionin. Penelitian tentang pengaruh Se pakan pada stres oksidatif juvenil kerapu malabar (E. malabaricus) yang memakan Cu dengan konsentrasi yang tinggi menunjukkan bahwa konsumsi Cu pada konsentrasi tinggi menyebabkan stres oksidatif dan menurunkan respons imun (Lin & Shiau 2007). Selanjutnya didapatkan bahwa penambahan Se dalam pakan dengan konsentrasi yang tinggi (2 kali kebutuhan) menurunkan stres oksidatif dan meningkatkan respons imun ikan. Hasil penelitian lain oleh Lin dan Shiau (2009) menunjukkan bahwa pada kadar vitamin E yang rendah, peningkatan kandungan Se di pakan sampai dengan
18
1,6 mg/kg meningkatkan pertambahan bobot dan efisiensi pakan, tetapi nilainya makin menurun pada kadar vitamin E sedang dan tinggi, pada juvenil kerapu malabar. Hasil lain menunjukkan bahwa nilai thiobarbituric acid reactive substance (TBARS) makin menurun dengan makin meningkatnya kandungan Se pada ketiga kelompok pemberian vitamin E (rendah, sedang, dan tinggi). Telah diketahui bahwa TBARS yang tinggi menunjukkan stres oksidatif yang tinggi pula. Hasil berbeda ditemukan oleh Rider et al. (2009) pada ikan rainbow trout (O. mykiss), yang mendapatkan bahwa pemberian pakan dengan kandungan Se 2, 4, dan 8 mg Se/kg dalam bentuk Se-yeast dan sodium selenite tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan, rasio efisiensi protein, dan beberapa parameter imun (hematokrit, aktivitas lysozyme, dan aktivitas respiratory burst) ikan. Skema hubungan antara selenium dan pertumbuhan melalui jalur hormon tiroid dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh selenium pada pertumbuhan melalui jalur hormon tiroid (Susanto 2000) 2.8 Stres Stres didefinisikan sebagai respons nonspefisik oleh tubuh terhadap berbagai kebutuhan yang diakibatkan oleh stres itu, sedangkan stressor didefinisikan sebagai faktor lingkungan yang menimbulkan stres (Selye 1973).
19
Selanjutnya dikatakan bahwa ketika organisme terpapar suatu stressor, respons fisiologinya mengikuti pola yang dikenal sebagai general adaptation syndrome, yang dicirikan dengan tiga tahapan proses, yaitu tahap peringatan (alarm), resistens, dan exhaustion. Pada ikan, tahap peringatan ditandai dengan hilangnya nafsu makan, kehilangan keseimbangan, dan perubahan tingkah laku. Tahap resistens ditandai dengan meningkatnya metabolisme dan laju konsumsi pakan, sedangkan pada tahap exhaustion pengaruh kumulatif pemaparan menyebabkan kematian prematur pada individu. Kematian terjadi ketika mekanisme kompensasi gagal karena ikan-ikan tidak sanggup mempertahankan tingkat aksi yang dibutuhkan untuk mengimbangi pengaruh stressor. Stres juga diartikan sebagai sejumlah respons fisiologi yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankan homeostatis. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol (Barton et al. 1980). Stres menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (glukokortikoid) dan glukosa darah. Pada kegiatan budi daya ikan, stres terjadi jika ada serangan suatu wabah penyakit. Stres juga biasanya dipicu oleh padat tebar yang tinggi, perubahan suhu secara signifikan, salinitas, oksigen terlarut, dan stres akibat penanganan yang kurang baik sehingga menurunkan kemampuan ketahanan tubuh ikan. Anderson (1974) menyatakan bahwa stressor lingkungan mempengaruhi respons imunitas dan kesehatan ikan, karena cekaman lingkungan dapat meningkatkan kortisol plasma yang selanjutnya dapat mempengaruhi penurunan sel antibodi, aktivitas makrofag, dan menghambat proliferasi limfosit. Pada budi daya kerapu bebek di KJA, kondisi dan aktivitas yang diduga menjadi penyebab ikan stres adalah perubahan musim, transportasi, dan perendaman di air tawar. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa peralihan musim dari musim kemarau ke musim hujan menyebabkan penurunan kualitas air yang juga dapat memicu peningkatan jumlah bakteri patogen. Transportasi benih dari panti-panti pembenihan dengan kepadatan tinggi ke lokasi budi daya (KJA) dan memakan waktu yang cukup lama, berpotensi menyebabkan stres pada ikan, bahkan dapat menyebabkan kematian jika penanganannya kurang baik. Aktivitas lain yang rutin dilakukan oleh petani dan diduga menjadi penyebab stres adalah
20
perendaman ikan di air tawar. Kegiatan yang diyakini dapat mengurangi atau menghilangkan ektoparasit pada ikan ini biasanya dilakukan seminggu sekali, bahkan ada yang melakukannya tiga hari sekali.