II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik dan Pola Pertumbuhan Eceng Gondok Eceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya
Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981). Klasifikasi eceng gondok secara umum adalah (Moenandir, 1990). Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Suku
: Pontederiaceae
Marga
: Eichornia
Spesies
: Eichornia crassipes Solms
Eceng gondok hidup mengapung bebas bila airnya cukup dalam tetapi berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Eceng gondok tampak pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Tanaman Eceng Gondok Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat ganda dua kali dalam waktu 7 - 10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 Ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton. Perkembangbiakannya yang sangat cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5 - 20 m. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan
Universitas Sumatera Utara
sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi dan limbah pertanian. Oleh karena itu, eceng gondok sudah menjadi sebuah masalah yang harus dikendalikan perkembangannya. Analisis fitokimia dari ekstrak metanolik eceng gondok membuktikan bahwa metabolit sekunder sebagian besar menjadi alkaloid, komponen fenol, dan terpenoid (Shanab dkk, 2010). Eceng gondok juga mengandung senyawa flavonoid (luteolin, apigenin, tricin, chrysoeriol, kaempferol, azaeleatin, gossypetin, dan orientin), asam amino (metionin, valine, asam teonin glutamate, tryptofan, tyrosin, leusin, dan lysine), fosfor, protein, komponen organic, dan sianida (Nyananyo dkk, 2007; Chantiratikul dkk, 2009). Tanaman segar mengandung 95,5% kelembaban, 0,04% N, 1,0% abu, 0,06% P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik. Pada basis kelembaban nol, terdapat 75,8% bahan organik, 1,5% N dan 24,2% abu. Abu mengandung 28,7% K2O, 1,8% Na2O, 12,8% CaO, 21,0% Cl, dan 7,0% P2O5. Protein mentah mengandung, per 100 g, 0,72 g metionin, 4,72 g fenilalanin, 4,32 g treonin, 5,34 g lisin, 4,32 g isoleusin, 0,27 g valin, dan 7,2 g leusin (Matai dan Bagchi, 1980 dalam Jafari 2010). Kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa dari berbagai sumber ditunjukkan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa Eceng Gondok (Dry Base) Komponen (%Berat) Lignin Selulosa Hemiselulosa
Gunnarson dan Peterson (2007) 7 – 26,36 17,8 – 31 22 – 43,4
Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn (2010) 4,37 ± 0,027 19,02 ± 0,017 32,69 ± 0,024
Ahn dkk (2012)
34,19 17,66 34,19
Universitas Sumatera Utara
Pola pertumbuhan yang cepat, sehingga keberadaannya melimpah dan kandungan yang dimilikinya, membuat eceng gondok memiliki potensi yang layak dikembangkan agar bernilai ekonomis, bernilai jual tinggi dan menjadikan eceng gondok sebagai tanaman esensi yang patut diperhitungkan keberadaannya, bukan hanya tanaman hama atau gulma semata.
2.2
Pengendalian dan Pemanfaatan Eceng Gondok Keberadaannya yang melimpah ruah dan pengaruhnya yang berdampak pada
keberlangsungan ekosistem air, membuat eceng gondok dianggap sebagai tanaman invasif dan menjadi perhatian para pemerhati lingkungan diseluruh dunia. Eceng gondok bahkan termasuk dalam daftar karantina karena keberadaannya yang kurang diinginkan (Patel, 2012). Pertumbuhannya yang sangat cepat dan penyebaran sporadik telah mengakibatkan kerusakan secara ekologi dan ekonomi badan air dan wetlands yang produktif. Eceng gondok sudah menjadi sebaran yang mendunia karena keberadaannya di beberapa Negara antara lain: 1. Beberapa Negara bagian Afrika: sebaran eceng gondok telah menghampar hampir menutupi perairan sungai, maupun danau, seperti danau Victoria di Afrika (Kateregga dkk, 2007), daerah sekitar Winam Gulf dimana dalam jurnalnya, Opande dkk (2004) menyatakan bahwa kehidupan masyarakatnya bergantung pada perairannya.
Universitas Sumatera Utara
2. Spanyol dan Portugal: sungai induk Guadiana di Spanyol baru-baru ini juga dipenuhi oleh sebaran eceng gondok (Della Greca dkk, 2009). 3. Bangladesh: pengawasan keberadaan sebaran Eceng gondok yang mulai meluas di hutan bakau Sundarbans (Biswas dkk, 2007). 4. India: pendangkalan berat di wetland taman nasional Kaziranga akibat invasi Eceng gondok, Deepor beel (danau yang terbentuk dari sungai Brahmaputra) terancam karena sebaran Eceng gondok. 5. Meksiko: lebih dari 40.000 Ha terdiri dari waduk, danau, kanal, dan saluran air tertutupi oleh Eceng gondok (Jime’nez dan Balandra, 2007). 6. Cina: Eceng gondok sebagai masalah lingkungan yang sangat serius (Chu dkk, 2006). 7. Amerika: Eceng gondok juga menyebabkan dampak ekologis yang sangat parah seperti di delta sungai Sacramento-San Joaquin di California (Khanna dkk, 2011). 8. Indonesia: Eceng gondok telah tampak mengambang sejak 1990 di daerah parapat, dan sekarang telah hampir menutupi sebagian besar perairan Danau Toba Moedjojo dkk, 2006). Waduk Cirata dan Kali banjir Kanal Timur juga tidak luput dari blooming tanaman gulma ini. Masalah global yang ditimbulkan akibat pertumbuhan pesat eceng gondok terutama di perairan tanah air, bukan hanya menjadi masalah ekologi semata bahkan telah menjadi ancaman bagi keseimbangan ekosistem. Berbagai upaya telah
Universitas Sumatera Utara
dilakukan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya seperti yang ditabulasikan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Metode Pengendalian dan Kekurangannya Metode pengendalian a. Fisik
Langkah-langkah pengendalian -
Drainase perairan daerah setempat Secara manual mencabut atau menarik Secara massal menggunakan jaring, dan lain sebagainya .
Kekurangan -
-
-
Metode ini dianggap tidak cukup walaupun telah dilengkapi dengan mesinmesin yang dirancang untuk memotong, sampai menghancurkan, pada transportasi yang diperlukan untuk penghapusan tanaman ini. Penggunaan mesin seperti pemanen gulma, alat penghancur dan lainnya me-merlukan biaya yang sangat mahal karena pemeliharaan, Masalah pembuangan limbah (Malik, 2007)
b. Kimia
Penggunaan herbisida kimia yaitu asam 2,4-diklorofenoksi, garam dipotassium endothall, dan garam dimethylalkylamine endothall.
Telah terbukti efektif, hanya pada penggunaan jangka panjang dapat menurunkan kualitas air serta berisiko tinggi terhadap habitat alami perairan (Malik, 2007)
c. Biologi
Biokontrol oleh : - Serangga seperti kumbang Neochetina sp yang telah diuji coba pada danau Viktoria di Afrika (Williams dkk, 2007), -Wereng Megamelus scutellaris dari ordo Hemiptera (Sosa dkk, 2007), - Jamur cercospora piaropi
Hanya memberikan hasil, tidak maksimal.
sedikit
Universitas Sumatera Utara
Metode pengendalian
Langkah-langkah pengendalian
Kekurangan
tharp menghasilkan fitotoksin yang dapat menurunkan populasi eceng gondok (Tessman dkk, 2008), - Ekstrak tumbuh-tumbuhan allelopati.
Ketiga metode penanggulangan tersebut sangat membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak memberikan timbal balik secara ekonomis. Oleh karena itu, para peneliti terdorong untuk mengembangkan potensi eceng gondok yang banyak ini menjadi sesuatu/utilisasi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan Eceng gondok antara lain: 1. Kerajinan tangan dan seni. 2. Adsorben untuk logam berat, dan digunakan pada pengolahan air limbah baik domestik (Alade dan Ojoawo, 2009), maupun limbah industri (Jafari, 2010). 3. Sumber energi bio-listrik (Mohan dkk, 2011). 4. Sebagai bahan kimia berguna bagi industri (Girisuta dkk, 2008). 5. Produksi anti oksidan (Chantiratikul dkk, 2009). 6. Pakan ternak (Aboud dkk, 2005). 7. Pupuk (Chukwuka dan Omotayo, 2008). 8. Produk enzim seperti selulase, protease (Heba dkk, 2012). 9. Sumber bahan baku karbon
untuk produk renewable energi, seperti
produksi bio-etanol (takagi dkk, 2012) dan bio-gas (Malik, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Secara skematis oleh Patel (2012) pemanfaatan Eceng gondok ditunjukkan pada Gambar 2.2. Electricity generation
Irrigation Clean water
Embedded fuel cell
Sewage Purification
Metal recovery
Heavy metal accumulation
E. Crassipes Biomass
Sun drying or fermentation
Ruminant, poultry, or fish feed
Decomposition or vermicomposting
Pretreatment
Biofertilizer soil augmentation
Cellulose hydrolisis
Microbial fermentation Biohydrogen
Biomethane
Biogas
Acid hydrolisate Microbial fermentation Bioethanol
Gambar 2.2 Skema Utilisasi Eceng Gondok
2.3
Eceng Gondok dalam Produksi Enzim Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri
makanan. Selain itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi, pulp and paper, pakan ternak, tekstil dan laundry (Bhat, 2000). Lebih dari 2000 enzim telah diisolasi, tetapi hanya 14 enzim yang diproduksi secara komersial. Kebanyakan dari
Universitas Sumatera Utara
enzim ini adalah hidrolase, misalnya amilase, protease, pektinase, dan selulase. Enzim penting lainnya adalah glukosa isomerase dan glukosa oksidase. Alasan digunakannya enzim dalam industri adalah karena enzim mempunyai beberapa kelebihan antara lain: a. Kemampuan katalitik yang tinggi, mencapai 109-1012 kali laju reaksi non-aktivitas enzim. b. Spesifikasi substrat yang tinggi. c. Reaksi dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, yaitu pada tekanan dan temperatur rendah (Bhat, 2000). Enzim yang dihasilkan dari komponen organik juga menjanjikan sebagai sebuah peluang untuk menciptakan sumber energi baru, semisal komponen selulosa yang dimanfaatkan sebagai bahan dalam membuat etanol sebagai sumber energi. Sumber energi dari bahan baku yang terbarukan menjadi salah satu fokus utama penelitian sejak beberapa dekade yang lalu. Ketersediaan energi berbahan bakar fosil yang semakin menipis keberadaannya membuat penelitian semakin dikembangkan untuk mencari alternatif yang lebih baik atau sebanding nilainya dengan energi yang digunakan saat ini. Sebagai senyawa yang paling melimpah di muka bumi, selulosa dapat menjadi sumber energi yang murah dan terbarukan. Di samping sebagai sumber energi, selulosa dapat juga dimanfaatkan untuk pembuatan sirup glukosa dan protein sel tunggal. Eceng gondok tersusun dari beberapa komponen organik diantaranya selulosa. Keberadaan selulosa pada eceng gondok memusatkan perhatian para peneliti untuk
Universitas Sumatera Utara
mengkonversi eceng gondok sebagai biomassa/substrat untuk menghasilkan sumber energi. Tetapi, untuk dapat dimanfaatkan selulosa membutuhkan proses hidrolisis dan penggunaan enzim selulase menjadi pilihan utama. Peran enzim selulase dalam industri yang berhubungan dengan selulosa tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, produksi enzim selulase perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan pemanfaatan bahan selulosa dalam industri bioproses.
2.4
Selulase Selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja secara
bersama/sinergis untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi menjadi enzim yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz dkk, 2008). Sedikitnya ada tiga tipe enzim yang terlibat dalam degradasi atau hidrolisis selulosa, yaitu: 1. Endo-1,4-β-D-glucanase
(endoselulase,
carboxymethylcellulase
atau
CMCase), yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi. 2. Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa. 3. β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Belitz dkk, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Mekanisme Hidrolisis Selulosa (Ghori, 2001) Pada awalnya selulase diteliti untuk keperluan biokonversi biomassa yang membuka peluang untuk aplikasi beberapa industri. Beberapa jenis industri yang memanfaatkan enzim selulase diantaranya industri tekstil, makanan, deterjen, dan kertas. Tetapi kemudian seiring menipisnya cadangan bahan bakar fosil mendorong pemanfaatan enzim selulase untuk biokonversi bahan lignoselulosa menjadi sumber energi.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Teknologi Produksi Enzim Selulase Dalam memproduksi enzim dibutuhkan teknologi, karena pada umumnya
enzim dihasilkan dari hewan, tumbuhan dan sel mikroba. Dahulu hewan dan tumbuhan merupakan sumber enzim tradisional, namun dengan berkembangnya ilmu bioteknologi, masa depan terletak pada sistem mikrobial. Sebagian besar sumber enzim termasuk enzim selulase dalam skala industri adalah mikroorganisme. Beberapa alasan digunakan mikroba adalah: 1. Sistem produksi mikrobial mudah dikendalikan. 2. Level/tingkat enzim, sehingga produktivitas enzim dapat dimanipulasi secara lingkungan dan genetika. 3. Pemilihan metode untuk sistem mikrobial yang cukup sederhana.
Kebanyakan enzim mikroba yang digunakan secara komersial adalah ekstraseluler, dimana enzim diproduksi dalam sel kemudian dikeluarkan atau berdifusi keluar sehingga memungkinkan untuk di-recovery. Seleksi organisme adalah kunci dalam pengembangan proses sistem mikrobial. Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mikroorganisme: a. Sumber organisme stabil. b. Mudah tumbuh dan berkembang sehingga biaya produksi rendah. c.
Produktivitas enzim tinggi.
d. Tidak mengeluarkan racun.
Universitas Sumatera Utara
Dari semua hal tersebut, yang paling penting adalah stabilitas strain dan produktivitas enzim yang tinggi (Heba dkk, 2012). Penggunaan komponen organik sebagai sumber utama enzim juga tidak lepas dari perhatian. Pada produksi enzim selulase berbahan dasar selulosa, mikroba memerlukan selulosa dan nutrien lainnya dalam prosesnya. Proses produksi enzim selulase ini terangkai sebuah teknologi dari awal hingga akhir produksi. 2.5.1
Substrat, Mikroorganisme dan Praperlakuan Pada produksi enzim selulase pemilihan bahan baku seperti substrat,
mikroorganisme penghasil enzim sellulase dan metode praperlakuan pada prosesnya sangat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas enzim selulase yang dihasilkan. Berikut ini adalah uraian tentang bahan baku dan metode praperlakuan: a.
Substrat Industri fermentasi merupakan industri yang terus mengalami kemajuan
dalam inovasi teknologi produksinya. Salah satunya adalah pada pemilihan substrat untuk fermentasi. Pada industri enzim, pemilihan substrat sangat kritis untuk bisa menghasilkan produk enzim dengan harga yang kompetitif tetapi dapat menekan biaya produksi. Pada produksi enzim selulase digunakan substrat sumber karbon selulosa yang dihidrolisis oleh mikroorganisme. Pemilihan substrat sumber karbon selulosa didasarkan atas keberadaan sumber karbon tersebut yang melimpah/banyak dijumpai
Universitas Sumatera Utara
dan harga yang murah, karenanya limbah agroindustri atau tanaman gulma yang memiliki kandungan lignoselulosa patut diperhitungkan. Biomassa eceng gondok tersusun dari lignoselulosa. Lignoselulosa sebagai penyusun dinding sel tanaman eceng gondok terdiri dari polimer selulosa dan hemiselulosa yang dilindungi oleh lignin. Lignoselulosa memiliki bagian kristalin dan amorf. Struktur kristalin lignoselulosa adalah selulosa yang tersusun dari rantai glukosa yang saling terikat dengan ikatan 1-4 β glikosida dan adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan, sehingga strukturnya menjadi kokoh. Struktur amorf lignoselulosa adalah hemiselulosa yang tersusun dari glukosa, manosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, sejumlah kecil ramnosa dan asam galaktonik. Struktur amorf ini tidak sekuat struktur kristalin sehingga lebih mudah diuraikan melalui proses pretreatment. b.
Mikroorganisme Mikroorganisme
penghasil
selulase
umumnya
merupakan
pengurai
karbohidrat dan tidak dapat memanfaatkan protein atau lipid sebagai sumber energi. Mikroba penghasil selulase terutama bakteri Cellulomonas dan Cytophaga serta kebanyakan fungi dapat mengutilisasi berbagai jenis karbohidrat lainnya selain selulosa, sedangkan spesies mikroba selulolitik anaerobik terbatas pada selulosa dan/atau produk hidrolisisnya. Contoh-contoh utama mikroorganisme penghasil selulase dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tidak semua mikroorganisme yang dapat mengutilisasi selulosa sebagai sumber energi menghasilkan kompleks enzim selulase yang lengkap. Hanya beberapa
Universitas Sumatera Utara
strain yang dapat menghasilkan kompleks enzim selulase yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu endo-β-glukanase, ekso-β-glukanase, dan β-glukosidase. Mikroba yang digunakan secara komersial untuk produksi enzim selulase umumnya terbatas pada T. reesei, H. insolens, A. niger, Thermomonospora fusca, dan Bacillus sp. (Sukumaran dkk, 2005). Tabel 2.3 Mikroorganisme Penghasil Selulase (Sukumaran dkk, 2005) Kelompok Fungi
Bacteria
Actinomycetes
Mikroorganisme Spesies A. niger A. nidulans F. solani Fusarium F. oxysporum Humicola H. insolens H. grisea M. albomyces Melanocarpus Penicillium P. bracillianum P. occitanis P. decumbans T. reesei Trichoderma T. longibrachiatum T. harzianum A. cellulolycitus Acidothermus Bacillus sp Bacillus Bacillus subtilis C.acetobutylicum Clostridium C.thermocellum P. cellulose Pseudomonas R. Marinus Rhodotermas C.fimi Cellulomonas C.bioazotea C.uda S.drozdowiczii Streptomyces S.sp S.lividans Thermomonospora T.fusca T.curvata Genus Aspergillus
Universitas Sumatera Utara
Secara luas Aspergillus didefinisikan sebagai suatu kelompok mukosis penyebab dari macam-macam fotogenosa. Aspergillus niger termasuk ke dalam kelas Ascomycetes. Di dalam industri Aspergillus niger banyak dipakai dalam proses produksi asam sitrat, sedangkan di dalam laboratorium spesies ini digunakan untuk mempelajari tentang metabolisme pada jamur dan kegiatan enzimatis. Pada penelitian ini digunakan Aspergillus niger karena spesies ini termasuk fungi berfilamen penghasil selulase dan crude enzyme secara komersial serta penanganannya mudah dan murah. Fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase. Karakteristik umum dari Aspergillus niger antara lain: a. Warna konidia hitam kelam atau hitam kecoklatan dan berbentuk bulat. b. Termofilik, tidak terganggu pertumbuhannya karena adanya peningkatan suhu. c. Dapat hidup dalam kelembaban nisbi 80 % (Ilyas umbrin dkk, 2011). d. Dapat menguraikan benzoat dengan hidroksilasi menggunakan enzim benzoat-4 hidroksilase menjadi 4-hidroksibenzoat. e. Memiliki enzim 4-hidroksibenzoat hidroksilase yang dapat menghidrolisa 4-hidroksibenzoat menjadi 3,4-dihidroksi benzoat. f. Menghasilkan lebih banyak enzim endoglukanase dan β-glukosidase dan sedikit enzim eksoglukanase (Hui-Qin Liu dkk, 2012). g. Pertumbuhannya dihambat oleh Natrium & Formalin. h. Dapat merusak bahan pangan yang dikeringkan atau bahan makanan yang memiliki kadar garam tinggi.
Universitas Sumatera Utara
i. Dapat mengakumulasi asam sitrat. Aspergillus niger tampak pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Aspergillus niger (http://en.wikipedia.org/wiki/Aspergillus_niger)
Genus Trichoderma mencakup kelompok ascomycetes yang digunakan secara luas dalam industri karena kemampuannya menghasilkan enzim hidrolase ekstraselular untuk degradasi lignoselulosa dalam jumlah besar (Miettinen, 2004). Karakteristik umum Trichoderma reesei (Gambar 2.5) adalah: a. Dikenal juga sebagai Hypocrea jecorina merupakan fungi mesofilik. b. Kemampuan tinggi menghasilkan enzim selulase secara efisien. Selulase yang dihasilkan juga resisten terhadap inhibitor kimia dan stabil di dalam reaktor tangki berpengaduk pada pH 4,8, 50oC selama 48 jam atau lebih. c. Lebih banyak menghasilkan enzim eksoglukanase dan endoglukanase, sedikit menghasilkan enzim β-glukosidase (Hui-Qin Liu dkk, 2012). d. Strain industrial dari Trichoderma reesei mampu mencapai produksi protein ekstraselular hingga 100 g/L (Xiong, 2004).
Universitas Sumatera Utara
e. Mudah dan murah dikultivasi, tergolong mikroorganisme yang aman karena tidak bersifat patogen dan tidak menghasilkan mycotoksin atau antibiotik dalam kondisi produksi enzim. f. Tidak dapat menghidrolisis lignin. g. Terinhibisi oleh produk (glukosa) dan pelarut organic seperti etanol, butanol, dan aseton. h. Inaktivasi pada temperature diatas 50oC (Ryu dkk, 1980).
Gambar 2.5 Trichoderma reesei (sumber: www.science.energi.gov) c.
Praperlakuan Teknologi pretreatment/praperlakuan yang dilakukan pada dasarnya adalah
untuk mengubah atau memindahkan komposisi dan struktur yang menghalangi proses hidrolisis yang bertujuan untuk meningkatkan laju aktivitas enzimatis dan hasil fermentasi yang menghasilkan glukosa dari selulosa atau hemiselulosa (Mosier dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Praperlakuan biasanya dibutuhkan untuk membantu hidrolisis enzimatis dan biasanya dilakukan pada substrat berbahan lignoselulosa. Lignin yang melindungi selulosa sekaligus sebuah penghalang bagi mikroorganisme untuk memproduksi enzim khususnya selulase sehingga praperlakuan perlu dilakukan. Praperlakuan yang dilakukan memberikan beberapa dampak dan persentase keberhasilan yang relatif. Pada dasarnya, pada produksi enzim selulase yang menginduksi produksi adalah selulosa, dan substrat lignoselulosa yang tidak hanya terdiri dari selulosa saja, tetapi juga terdapat komponen lain membuat perolehan enzim selulase rendah dibandingkan dengan substrat selulosa murni. Ketika perolehan selulosa murni ini menjadi kendala akibat faktor biaya, dan sebagainya, membuat para peneliti terus mencari cara sebagai langkah untuk meningkatkan efektifitas produksi enzim dari substrat lignoselulosa seperti teknologi praperlakuan yang diuji coba skala laboratorium sebelum dapat digunakan dalam skala industri. Mekanisme praperlakuan ditunjukkan dalam Gambar 2.6.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Skema Tujuan Pretreatment pada Biomassa Lignoselulosa (Mosier dkk, 2005) Pra perlakuan dapat disebut efektif bila memenuhi beberapa kriteria seperti: 1. Keefektifan dalam memecah ukuran biomassa partikel. 2. Tetap menjaga keutuhan komponen tanpa terkonversi dalam bentuk lain. 3. Tidak memberikan batas degradasi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. 4. Dapat meminimalkan energi dan biaya (National Resort Council, 1999).
Teknologi praperlakuan dikategorikan dalam praperlakuan fisik dan kimia, bahkan beberapa metode menggabungkan kedua efek tersebut (McMilan, 1994; Hsu, 1996). Untuk mengklasifikasikan, uap dan air yang digunakan pada praperlakuan dikecualikan dari praperlakuan secara kimia karena bukan merupakan bahan kimia
Universitas Sumatera Utara
yang ditambahkan pada biomassa. Ringkasan teknologi praperlakuan ditunjukkan dalam Tabel 2.4. Tabel 2.4 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan dan Kelebihan Teknologi Deskripsi Kekurangan / kelebihan praperlakuan a. Fisik - Kominusi (pengurangan ukuran - Tidak banyak partikel dari biomassa secara mendegradasi lignin. mekanik). Kominusi kering, - Efektif, mudah, dan murah. basah, dan getaran bola penggilingan (Millet dkk, 1979 ; Rivers, dan Emert, 1987; Sidiras dan Koukios, 1989), dan kompresi penggilingan (Tassinari dkk, 1980) - Steam explosion - Hidrotermolisis..
b. Kimia
- Menggunakan asam atau basa H2SO4 dan NaOH. seperti (Ladisch dkk, 1978; Hamilton dkk, 1984). - Menggunakan peroksida, ozon, organosolv (menggunakan asam lewis, FeCl3, Al2SO4 dalam cairan alcohol), gliserol, dioksan, fenol, atau etilen glikol (Wood dan Saddler, 1988). - Menggunakan pelarut berbahan amoniak (NH3 dan hidrazin), pelarut aprotik (DMSO), logam kompleks (Feri sodium tartarate).
c. Biologi
-
Menggunakan mikroorganisme seperti white root fungi (jamur pelapuk putih) (Blanchette, 1984), semisal elfvingia applanata (Ganoderma applanatum), P. chrysosporium (Boominathan and Reddy. 1992)
Dapat mengurangi kristalinitas selulosa Melepas lignin dari selulosa dan melarutkan hemiselulosa. teknologi ini memang efektif, akan tetapi memerlukan biaya tinggi (Mosier dkk, 2005).
Pretreatment secara biologis sangat memberikan keuntungan yang banyak, karena efisiensi biaya dan energi serta aman terhadap lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Teknologi praperlakuan
Deskripsi -
2.5.2
Kekurangan / kelebihan
Mendegradasi lignin dengan menggunakan enzim yang disebut enzim lignilase yang merupakan sinergis dari lignin peroxidase (LiP), manganese peroxidase (MnP), and laccase (Ohkuma M dkk, 2001 : Lee dkk. 1999 : Rivela dkk, 2000)
Fermentasi Fermentasi berasal dari kata latin “fervere” yang berarti mendidih. Seiring
perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas, menjadi semua proses yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada mulanya istilah fermentasi digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol yang berlangsung secara anaerob. Namun, kemudian istilah fermentasi berkembang lagi menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan mikroorganisme yang melibatkan enzim yang dihasilkannya. Dengan kata lain, fermentasi adalah perubahan struktur kimia dari bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen biologis terutama enzim sebagai biokatalis. Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu: 1. Produk biomassa. 2. Produk enzim. 3. Produk metabolit.
Universitas Sumatera Utara
4. Produk transformasi. Pada penelitian ini produk fermentasi yang dihasilkan adalah enzim dengan memanfaatkan Aspergillus niger dan Trichoderma reesei yang dapat menghasilkan enzim selulase ketika terinduksi oleh selulosa. Fermentasi dibagi menjadi 3, yakni: 1. Fermentasi permukaan. 2. Sistem fermentasi cair. 3. Sistem fermentasi padat. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sistem fermentasi padat. Sistem fermentasi padat pada umumnya diidentikkan dengan pertumbuhan mikroorganisme dalam partikel pada substrat dalam berbagai variasi kadar air. Substrat padat bertindak sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral, dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menyerap air, dan untuk pertumbuhan mikroba (Tanyildizi dkk, 2007). Mikroorganisme yang tumbuh melalui sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan di bawah habitat alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolisme yang lebih efisien dibandingkan dengan sistem fermentasi cair. Sistem fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair, diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di negara-
Universitas Sumatera Utara
negara berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan (Tanyildizi dkk, 2007). Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri (seperti pektinase digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amilase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba (Tanyildizi dkk, 2007). Komposisi dan konsentrasi dari media dan kondisi fermentasi sangat berpengaruh
pada
pertumbuhan
dan
produksi
enzim
ekstraseluler
dari
mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan substrat merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan substrat padat memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi sistem fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 50 - 60% untuk biaya medium fermentasi dan pengaturan proses down-stream. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem fermentasi padat cocok untuk pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri karena membutuhkan air yang lebih banyak (Tanyildizi dkk, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi:
Universitas Sumatera Utara
a. Konsentrasi substrat Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Fungi dekomposer seperti Trichoderma reesei dan Aspergillus niger memiliki kebutuhan nutrien Karbon dalam jumlah tertentu. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Gandjar, 2006). b. Sumber nitrogen Bahan yang banyak sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat mempengaruhi aktivitas dari fungi dalam sintesis protein, dan diperlukan dalam pembentukan protein sel utama. Pada proses fermentasi untuk menghasilkan enzim selulase ada beberapa sumber nitrogen yang dapat digunakan dengan urutan (NH4)2SO4 > urea > NH4NO3 > ekstrak ragi > NH4Cl > (NH4)2PO4 > ekstrak malt > pepton > tripton > NaNO3 (Ilyas dkk, 2011). c. Phospat Kebutuhan phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan tetapi keseimbangan antara mangan, seng, dan phospat merupakan salah satu faktor penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka adanya phospat dapat memberikan keuntungan (Gandjar, 2006). d. Magnesium
Universitas Sumatera Utara
Magnesium berfungsi sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang terlibat dalam reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium adalah 0,002 - 0,0025% (Gandjar, 2006). Magnesium juga berperan dalam stabilisasi ribosom, membran dan dindng sel. e. Aerasi Dalam media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan poripori bahan yang difermentasikan (Gandjar, 2006). Mikroba yang digunakan tidak memiliki klorofil sehingga oksigen dan karbondioksida sangat diperlukan sebagai senyawa pada pertumbuhannya. Lingkungan yang kurang unsur O2 akan mengakibatkan pertumbuhan buah kecil, abnormal dan mudah layu yang akhirnya menimbulkan kematian (Djarijah, 2001). Pertumbuhan miselium membutuhkan kandungan karbondioksida tinggi sekitar 15 - 20% dari volume udara. Jika kandungan tersebut terlalu tinggi akan terjadi gangguan pertumbuhan sehingga bentuk tudung jamur akan lebih kecil dari tangkainya (Adiyuwono, 2001). f. pH pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu seperti selolutik fungal bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5 5,5. Pengaturan pH sangat penting dalam industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi asam sitrat, produksi
Universitas Sumatera Utara
enzim, produksi antibiotik, dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan (Gandjar, 2006). g. Temperatur inkubasi Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang kisaran temperatur pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin (Gandjar, 2006).
h. Waktu fermentasi Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun saat memasuki fase pertumbuhan lambat ketika nutrisi sudah mulai terbatas. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi/lag phase, fase eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase stasioner, dan fase kematian. Organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat akttivitas enzim yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada pada fase tersebut
Universitas Sumatera Utara
(Suhartono, 1989). Pada Aspergillus niger waktu fermentasi dengan aktivitas enzim selulase terbaik antara hari ke-4 sampai hari ke-8 (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk, 2011). Waktu terbaik aktivitas enzim selulase pada Trichoderma Reesei antara 10 19 hari (Qin Liu-Hui dkk, 2012). i. Moisture Content Moisture content merupakan faktor penting dalam proses sistem fermentasi padat karena variabel ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme, biosintesis, dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan nutrien di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air tinggi. Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya yield enzim yang dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada matriks padatan, sehingga menghalangi transfer oksigen (Alam dkk, 2005). Moisture content yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus niger adalah 70% (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk, 2011). Beberapa medium dengan komposisi nutrisi bervariasi telah banyak diuji coba pada penelitian-penelitian sebelumnya dan berhasil dengan baik memberikan nutrisi bagi pertumbuhan mikroba dengan banyaknya jumlah spora mikroba yang terbentuk. Pada penelitian ini direncanakan menggunakan komposisi medium Mandel Weber (Oberoi dkk, 2010) untuk medium fermentasi sebagai kebutuhan tambahan nutrisi bagi mikroba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Komposisi medium Mandel Weber ditunjukkkan dalam Tabel 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Komposisi Medium Mandel Weber Komponen (NH4)2SO4 KH2PO4 CaCl2. 2H2O MgSO4.7H2O FeSO4.7H2O MnSO4. H2O ZnSO4. 7H2O CoCl2. 6H2O Peptone Tween 80 Air suling Sumber : Oberoi dkk (2010).
2.6
Kuantitas (g) 1,4 2 0,3 0,3 0,005 0,0016 0,0014 0,002 0,1 0,1 1L
Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok dan Perkembangannya Penelitian mengenai pembuatan enzim selulase dari eceng gondok masih
sangat sedikit. Produksi enzim selulase umumnya menggunakan substrat bahan lignoselulosa seperti jerami padi, jerami gandum, ampas tebu, limbah kulit jagung, kinnow peel, dan limbah agro industri lainnya. Tidak sedikit juga yang memanfaatkan limbah domestik, industri kertas dan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Deshpande dkk (2008) menggunakan Eceng gondok sebagai sumber karbon dan Heba dkk (2012) juga menggunakan Eceng gondok
sebagai
substrat
dalam
memproduksi
enzim
selulase.
Keduanya
menggunakan teknologi fermentasi padat tetapi menggunakan mikroba dan praperlakuan substrat yang berbeda seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.6.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Penelitian Mengenai Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok Judul Penelitian Pradnya Deshpande dkk, 2012 “Water Hyacinth as Carbon Source for the Production of Cellulase by Trichoderma Reesei”
-
Metodologi Praperlakuan : NaOH, H2PO4, steam treatment variasi : metode praperlakuan (NaOH : 15% w/v, steam, dan keduanya), pH medium (4,5-8), temperatur inkubasi (25-50oC), konsentrasi substrat (18% w/v), waktu inokulasi
Hasil Hasil terbaik dicapai pada praperlakuan substrat dengan 1% NaOH, pH 5 dan diatasnya, temperatur inkubasi 30oC,konsentrasi substrat 1% (w/v), dan waktu inokulasi hari ke 7 dan ke 15. Perolehan maksimal aktivitas selulase ±73,3 IU/g selulosa. Aktivitas spesifik enzim 6.25 IU/mg protein. Pada hidrolisis glukosa menggunakan 1,2 IU/g dapat
Universitas Sumatera Utara
Heba I dkk, 2012 “Purification and characterization of CMCase and pProtease by Ulocladium botrytis Preuss ATCC 18042 using Water Hyacinth as a substrate under solid state fermentation”
-
-
Eceng gondok segar tanpa praperlakuan Teknologi fermentasi padat / solid state fermentation Variasi: mikroorganisme (12 strain fungi), sumber nutrisi nitrogen, pH (3,65,2), temperatur inkubasi (20-70oC), konsentrasi substrat (0,4-1,6% w/v),
men-sakarifikasi 28,7 % dalam 1 jam. Hasil terbaik dicapai oleh fungiUlocladium botrytis, dengan sumber nitrogen dari yeast dan malt extract, pH 5,2. optimum tem-peratur inkubasi pada 60oC, dan konsentrasi substrat 1,2% w/v. Perolehan aktivitas spesifik enzim selulase 852,11 U/mg
Universitas Sumatera Utara