II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri Umum Tanaman Padi Sawah Padi diklasifikasikan sebagai family Gramineae (Poaceae). Berdasarkan klasifikasi Gould (1968) padi termasuk kedalam sub family Oryzeideae, suku Oryzeae. Spesies yang paling sering dibudidayakan di Asia adalah Oryzae sativa, sedangkan di Afrika Oryza glaberrina. Menurut Manurung dan Ismunadji (1988), Oryzae sativa dapat dibedakan dari O. glaberina yang tak memiliki cabangcabang sekunder pada malai. Ligula pada O. sativa lebih panjang dan daunnya agak besar serta dapat tumbuh secara musiman. Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari 2 kelompok yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga. Pertumbuhan tanaman padi terdiri dari 2 stadium yaitu vegetatif dan generatif. Fase vegetatif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi primordial malai, sedangkan fase generatif terdiri dari 2 fase lanjutan yaitu pra berbunga mulai inisiasi primordia malai sampai berbunga dan pasca berbunga mulai dari berbunga sampai masak panen (Manurung dan Ismunadji, 1988). Produktivitas tanaman padi sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti iklim dan kondisi lahan, varietas yang ditanam dan populasi tanaman. Lahan sebagai tempat tumbuh tanaman perlu mendapat perhatian yang seksama. Kekurangan unsur hara yang diperlukan tanaman dapat diberikan melalui pemupukan disertai pengolahan tanah yang baik (Subandi, Syam dan Widjono, 1988). Di Indonesia, padi ditanam di seluruh daerah, mulai pantai sampai ke dataran tinggi di pegunungan. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah (8590%) dan sebagian kecil diusahakan sebagai padi gogo (10 – 15%). Karena padi banyak diusahakan sebagai padi sawah maka penyebaran pusat-pusat padi di Indonesia cenderung erat hubungannya dengan tipe iklim, khususnya curah hujan dan topografi wilayah. Di Jawa, pusat produksi padi sawah umumnya terdapat di dataran rendah sampai medium (Ismunadji et al.,1988).
4
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Sawah 2.2.1. Tanah Padi dapat diusahakan di tanah kering dan tanah sawah. Pada tanah sawah, yang terpenting adalah tanah harus merupakan bubur yang lumat, yaitu struktur butir yang basah dan homogen yang kuat menahan air (Sumartono et al., 1974) atau disebut tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm. Padi sawah cocok ditanam di tanah berempung yang berat dan tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Keasaman yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman padi antara pH 4,0 – 7,0. Pada prinsipnya tanah berkapur dengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Untuk mendapatkan tanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus. 2.2.2. Iklim Padi dapat tumbuh baik di daerah-daerah yang berhawa panas dan udaranya mengandung uap air. Padi dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Jika terlalu tinggi, pertumbuhan akan lambat dan hasilnya akan rendah. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm perbulan atau lebih dengan distribusi selama 4 bulan atau sekitar 1500-2000 mm per tahun. Padi menghendaki tempat dan lingkungan yang terbuka, terutama intensitas sinar matahari yang cukup. Intensitas sinar matahari besar pengaruhnya terhadap hasil gabah, terutama saat padi berbunga (45-30 hari sebelum panen), karena 75-80% kandungan tepung dari gabah adalah hasil fotosintesis pada masa berbunga. Menurut Sumartono et al. (1974), suhu juga merupakan faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan padi. Suhu tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif aktif menambah jumlah anakan, karena meningkatnya aktivitas tanaman dalam mengambil zat makanan. Sebaliknya suhu rendah pada masa berbunga berpengaruh baik pada pertumbuhan dan hasil akan lebih tinggi. Suhu yang tinggi pada masa ini dapat menyebabkan gabah hampa, karena proses
5
fotosintesis akan terganggu. Suhu yang untuk pertumbuhan tanaman padi adalah 230C. 2.3. Lahan Lahan merupakan daerah dari permukaan bumi yang dicirikan oleh adanya suatu susunan sifat-sifat khusus dan proses-proses yang saling terkait dalam ruang dan waktu dalam tanah, atmosfer dan air, bentuk lahan, vegetasi dan populasi fauna, sebagai hasil dari aktifitas manusia atau tidak (Townshend, 1981). Hadjowigeno et al., (1999), menjelaskan bahwa lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat kegiatan-kegiatan manusia, seperti reklamasi daerah pantai, penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Vink (1975), mengemukakan bahwa lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat dari berbagai ekosistem tetapi juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung dari lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan untuk suatu penggunaan tertentu juga akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Mather (1986), menambahkan bahwa sumberdaya lahn mungkin dinilai dalam aspek atau atribut yang berbeda dalam pemanfaatannya. Perbedaan dalam cara penilaian lahan ini akan menyebabkan perbedaan dalam penggunaannya. 2.4. Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Sistem ini
merupakan
suatu
sistem
komputer
untuk
menangkap,
mengatur,
mengintegrasi, memanipulasi, menganalisis, dan meyajikan data yang bereferensi ke bumi (Barus, 2005). SIG berdasarkan operasinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu SIG secara manual yang beroperasi memanfaatkan peta cetak dan bersifat data
6
analog, dan SIG secara terkomputer sehingga datanya merupakan data digital (Barus dan Wiradisastra, 1997). SIG menyajikan informasi keruangan beserta atributnya terdiri dari beberapa komponen utama ialah (Sutanto, 1995): 1. Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer (dari peta tematik seperti peta jenis tanah), data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh (data hasil pengolahan citra digital peginderaan jauh), dan lain-lain. 2. Penyiapan data dan pemanggilan kembali ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/ cetak pada kertas). 3. Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat melakukan berbagai macam perintah (misalnya overlay antara dua tema peta, dan sebagainya). 4. Pelaporan data adalah dapat menyajikan data dasar (database), data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Data yang digunakan untuk pembuatan basis data terdiri dari dua kelompok ialah data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang berbentuk peta yang menggambarkan suatu daerah atau wilayah yang mengacu pada lokasi geografi. Data ini haruslah bereferensi geografis dan dipresentasikan dengan koordinat-koordinat bumi yang standar (bukan koordinat lokal). Data atribut dapat berupa data statistik (data jumlah penduduk, luas
desa, dan
sebagainya) atau dapat pula berupa data kualitatif (misalnya data informasi tanah, drainase baik, sedang, terhambat, dan sebagainya). 2.5. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra Untuk mengumpulkan data penggunaan lahan dapat dilakukan dengan pemanfaatan data penginderaan jauh sehingga mempermudah pengguna dalam mendapatkan informasi spasialnya. Obyek penggunaan yang umumnya berupa penutup lahan dapat secara langsung diamati dari citra penginderaan jauh. Setiap obyek di permukaan bumi mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang
7
berbeda satu sama lain yang tercermin dari citra (Suryanto, Deri, Widagdo, dan Soekardi, 1998). Dalam penelitian ini peta penggunaan lahan dibuat melalui pendekatan analisis digital data satelit dalam bentuk digital. Analisis citra digital terdiri dari beberapa tahapan, yakni (1) koreksi geometrik / radiometrik, (2) penyajian citra komposit, (3) klasifikasi citra. 2.5.1. Koreksi Geometrik Data Landsat mengandung distorsi geometrik yang harus dikoreksi. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakan satelit, dan kecepatannya. Prosedur yang diterapkan pada koreksi geometrik biasanya membedakan distorsi dalam dua kelompok, yakni distorsi yang dipandang sistematik atau dapat diperkirakan sebelumnya, dan distorsi yang dipandang acak atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Distorsi acak dan distorsi sistematik yang rumit dikoreksi dengan menggunakan analisis titik ikat medan (Ground Control Point/ GCP). Akan tetapi metode ini memerlukan kesediaan peta yang teliti yang sesuai untuk daerah liputan citra dan titik-titik medan yang dapat dikenali pada citra. Pada proses koreksi diperlukan sejumlah besar titik ikat medan dalam bentuk koordinat citra (lajur, baris) dan koordinat peta (koordinat UTM/ Universal Transverse Mercator atau koordinat geografis). Nilai koordinat tersebut kemudian digunakan untuk analisis kuadrat terkecil guna menentukan koefisien bagi persamaan transformasi yang menghubungkan koordinat citra dengan koordinat bumi. Proses penyesuaian nilai pixel terhadap data asli disebut resampling. Ada beberapa metode resampling dari yang paling sederhana hingga paling rumit yaitu resampling tetangga terdekat (nearest neighbour resampling), interpolasi bilinier (bilinear interpolation), dan cubic conculation. Setelah setiap sel pada matrik keluaran diproses dengan cara ini, diperoleh hasil berupa matrik berdasarkan koordinat bumi berisi data digital yang mempunyai kebenaran geometrik (Lillesand dan Kiefer, 1997).
8
2.5.2. Penyajian Citra Komposit Penampilan citra dalam komposisi warna semu, seringkali lebih mempermudah pengenalan objek melalui perbedaan warna. Sebuah metode dikembangkan untuk mengetahui secara kuantitatif kombinasi band mana yang mampu menghasilkan komposit warna yang optimum, dengan menyertakan faktor koefisien korelasi dan jumlah total ragam diantara berbagai kombinasi band yang ada didalam perhitungannya, yaitu nilai OIF (Optimum Index Factor). Nilai OIF yang terbesar akan memiliki informasi terlengkap dan duplikasi terkecil. Dengan semakin kecil korelasi antar band maka akan semakin rendah duplikasi dalam menginterpretasi obyek pada citra (Jensen, 1996). 2.5.3. Klasifikasi Citra Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara automatik data digital. Pada proses ini maka pengamatan tiap piksel dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi, jadi mengganti arsip data dengan suatu matrik jenis kategori (Lillesand dan Kiefer, 1997). Pada proses klasifikasi terdapat dua teknik klasifikasi, yaitu klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification). Klasifikasi tidak terbimbing merupakan suatu cara untuk mengelompokan sebuah piksel pada suatu kelas spektral dimana seorang analis tidak perlu memiliki pengetahuan atau informasi tentang eksistensi atau nama kelas spektral tersebut
(Hanggono,
2000).
Klasifikasi tidak terbimbing
lebih
banyak
menggunakan algorima yang mengkaji sejumlah besar piksel tidak dikenal dan membaginya kedalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai citra yang ada. Klasifikasi terbimbing, asumsi terpenting dalam metode ini adalah bahwa setiap kelas spektral dapat dideskripsikan oleh suatu distribusi probabilitas dalam suatu ruang penciri. Distribusi ini adalah multivariabel dengan beberapa variabel sebagai dimensi ruangnya (Hanggono, 2000). Klasifikasi ini terdiri dari tiga tahapan yaitu : 1. Penentuan daerah latihan (training area), 2. Tahap klasifikasi, dengan beberapa pendekatan antara lain adalah minimum distance (jarak minimum ke pengkelas rerata), pengkelas
9
parallelipiped,
maximum
likelihood
(pengkelasan
kemiripan
maksimum), 3. Tahap keluaran biasanya dalam bentuk peta. Hasil dari klasifikasi ini dapat diketahui tingkat ketelitiannya melalui nilai Kappa. Citra hasil klasifikasi yang berada dalam bentuk raster ini kemudian dapat diubah kedalam bentuk vektor untuk dapat dianalisis dalam proses selanjutnya. 2.6. Analisis Statistik 2.6.1. Diagram Kotak Garis Langkah awal dalam menganalisis data adalah mempelajari karakteristik data tersebut. Untuk itu, perlu diketahui pemusatan data dan penyebaran data dari nilai tengahnya, nilai ekstrim atau outliernya, dan beberapa pengukuran lainnya. Terdapat beberapa teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi suatu data, salah satu tekniknya adalah dengan menggunakan diagram kotak garis (boxplot). Diagram kotak garis (boxplot/box and whisker) merupakan salah satu cara dalam deskriptif statistik untuk menggambarkan secara grafik dari data numeris melalui lima ukuran sebagai berikut : nilai observasi terkecil, kuartil pertama (Q1) yang memotong 25% dari data terendah, median (Q2) atau nilai pertengahan, kuartil ketiga (Q3) yang memotong 25% dari data tertinggi, dan nilai observasi terbesar. Dalam diagram kotak garis juga ditunjukkan nilai ekstrim (pencilan/outlier) dari data observasi. Diagram kotak garis dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi statistik yang mendasarinya. Oleh karena itu, diagram kotak garis tergolong dalam statistik non-parametrik. Jarak antara bagian-bagian dari kotak menunjukkan derajat dispersi (penyebaran) dan skewness (kecondongan) dalam data. Selain itu, diagram kotak garis juga dapat digunakan untuk melihat kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada ditengah kotak (box) dan garis (whisker) pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), garis median tidak akan
10
berada ditengah kotak, dan salah satu garis akan lebih panjang dari yang lainnya. (Chaniago, 2009). 2.6.2. Metode Hayashi I Prinsip dasar dan tujuan dari Analisis Kuantifikasi Hayashi I (Tanaka, Tarumi, dan Wakimoto, 1992) adalah sama dengan Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis), yakni: menduga parameter koefisien keterkaitan antara variabel-variabel penjelas (explanatory variables) dengan satu variabel tujuan tertentu (objective variable). Selanjutnya, hasil uji nyata terhadap nilai penduga parameter koefisien keterkaitan ini menunjukkan variable-variabel penjelas mana saja yang paling nyata (significant) kaitannya dengan variabel tujuan. Perbedaan pokok dari Analisis Kuantifikasi Hayashi I dengan Analisis Regresi Berganda adalah: 1. Dalam Analisis Regresi Berganda, baik variabel tujuan maupun variabel-variabel penjelas secara umum diukur dalam skala kuantitatif. 2. Dalam Analisis Hayashi I, hanya variabel tujuannya yang diukur dalam skala kuantitatif (data interval atau data rasio), adapun variabel-variabel penjelasnya, semuanya diukur dalam skala kualitatif (data nominal atau data ordinal). 3. Karena perbedaan inilah, maka kalau yang dilakukan dalam Analisis Regresi Berganda adalah pendugaan parameter koefisien variabel-variabel penjelas, sedangkan yang dilakukan dalam Analisis Kuantifikasi Hayashi I adalah pendugaan parameter skor variabel-variabel penjelas.