II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 2.1.1. Lokasi Penelitian Fungsi hutan lindung terkait dengan tata air, yang mempunyai eksternalitas baik lokal/regional/nasional, oleh karena itu sampel penelitian diambil di kabupaten yang mempunyai hutan lindung dalam cakupan DAS. DAS yang dipilih adalah DAS lintas kabupaten dan lintas provinsi, yaitu DAS Batanghari. DAS Batanghari merupakan salah satu DAS yang mempunyai luas daerah tangkapan air (catchment area) ± 4,5 juta hektar, merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia dan merupakan DAS nasional (lintas provinsi). DAS Batanghari dikategorikan sebagai DAS kritis, dimana kuantitas dan kualitas airnya sudah diambang batas ketentuan sungai yang lestari. Bencana banjir sering terjadi di Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Kabupaten yang dipilih sebagai sampel penelitian adalah kabupaten yang mempunyai hutan lindung di bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Kabupaten yang dipilih di bagian di hulu DAS adalah Kabupaten Solok Selatan, kabupaten di bagian tengah DAS dipilih Kabupaten Sorolangun, sedangkan
Kabupaten di
bagian hilir DAS dipilih Kabupaten Tanjung Jabung Timur, seperti terlihat pada Gambar 4.
20
20
Gambar 4 Peta Lokasi Kabupaten Penelitian di DAS Batanghari
21
2.1.2. Waktu Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan mulai Januari 2009 sampai bulan Desember 2010. Tata waktu penelitian dan alokasi untuk masing-masing kegiatan tampak pada Tabel 1.
Tabel 1 Tata waktu penelitian N
Kegiatan
o 1.
Studi literatur
2.
Observasi lapangan
3.
Penulisan proposal
4.
Pengumpulan data
5.
Pengolahan dan analisis data Penulisan disertasi
6.
2009
2010
2011
Bulan
Bulan
bulan
2.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Sebaliknya, penelitian kuantitatif merupakan sebuah penyelidikan tentang masalah sosial atau masalah manusia beradasarkan pada pengujian sebuah teori yang terdiri dari variable-variabel, diukur dengan angka dan dianalisa dengan prosedur statistik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori tersebut benar (Creswell, 2003).
2.3. Metode Penelitian Kualitatif Cresswell (2003), menyebutkan ada 6 asumsi dalam penelitian kualitatif, yaitu :a) lebih menekankan pada proses, bukannya hasil atau produk, b) tertarik pada makna, c) peneliti merupakan instrument pokok untuk pengumpulan dan analisis data, d) peneliti terlibat kerja lapangan, e) bersifat deskriptif dalam arti peneliti tertarik pada proses , makna dan pemahaman yang didapat melalui kata
22
atau gambar dan f) bersifat induktif dimana peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesa dan
teori
serta
rincian.
Selanjutnya
Sutopo
(2002),
menambahkan beberapa karakteristik penelitian kualitatif, yaitu : natural setting, yaitu diarahkan pada kondisi asli subyek penelitian berada, sama sekali tidak dijamah oleh perlakuan yang dikendalikan secara ketat oleh peneliti, b) purposive sampling, c) pemanfaatan tacit knowledge, tidak hanya mencatat apa yang dinyatakan secara formal, tetapi juga mencatat berbagai hal yang dirasakan dan ditangkap secara intuitif oleh peneliti, sebagai petunjuk untuk menggali, mencari dan menelusuri kemungkinan mengenai apa yang dirasakan sehingga bisa ditemukan kenyataan yang sebenarnya, d) desain penelitian lentur dan terbuka, e) bentuk laporan dengan model studi kasus, f) interpretasi idiografik dan g) aplikasi tentative. Metode kualitatif dipilih dalam penelitian ini karena : a) tujuan dari penelitian ini untuk memahami fenomena sosial dari perspektif para aktor yang terkait dan b) teknik penelitian dalam paradigma kualitatif membantu memahami definisi situasi yang diteliti dengan menggambarkan fenomena yang dikemas secara deskriptif. Salah satu jenis metode penelitian kualitatif adalah studi kasus (Aziz, 2003).
Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki
fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas, dimana multisumber dimanfaatkan. Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana (how) dan mengapa (why), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan apa (what) (Yin, 2004).
2.3.1. Analisis Diskursus dalam Proses Pembuatan Kebijakan Analisis diskursus (discourse analysis) adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji diskursus (discourse) yang terdapat atau terkandung di dalam pesanpesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis diskursus memungkinkan untuk melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan, digunakan dan dipahami serta dapat melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator dalam upaya mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan
23
berisi wacana tertentu yang disampaikan (Pawito, 2007). Metode diskursus berbeda dengan analisis isi. Discourse analysis tidak hanya menanggalkan ciri-ciri kuantitatif analisis isi, tidak juga cukup mengamati tanda-tanda (symbolic meaning of message), tetapi juga memusatkan diri bagaimana bahasa digunakan untuk memerankan kegiatan, pandangan dan identitas (Hamad, 2004). Ada empat jenis pendekatan diskursus, yaitu : diskursus sebagai teks, diskursus sebagai bingkai dan diskursus sebagai praktek sosial (Arts and Buizer, 2009). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah diskursus sebagai teks, diskursus sebagai bingkai dan diskursus sebagai praktek sosial.
a. Rancangan Penelitian Prosedur penelitian analisis diskursus menurut Pawito (2007) adalah sebagai berikut: 1. Memilih topik 2. Merumuskan pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian membawa implikasi pada area penelitian dan pendekatan penelitian 3. Melakukan studi pustaka berkenaan dengan topik dan fokus yang dipilih sebagaimana
tersurat
dalam
pertanyaan
penelitian.
Studi
pustaka
menghasilkan konsep-konsep dan simbol-simbol yang terdapat dalam teks yang diteliti serta pandangan-pandangan teoritik yang relevan dengan keduanya. 4. Menentukan metode penelitian. Metode yang dipilih harus konsisten dengan pertanyaan penelitian. Misalnya analisis diskursus untuk melacak prosesproses simbolik yang digunakan, terutama yang terkait dengan kekuasaan dan ideologi akan lebih tepat menggunakan metode analisis wacana sosio kultural yang memandang diskursus sebagai tindakan atau praktik sosial. 5. Pengumpulan data dan menganalisisnya dengan merujuk pandanganpandangan teoritik yang diperoleh dari telaah pustaka, jika ada data yang dianggap penting, namun belum diketemukan maka peneliti disarankan untuk kembali mencari dan menjelajah teks/pustaka, melakukan reduksi data, mencari kembali data yang masih dibutuhkan.
24
6. Penarikan kesimpulan
dengan mengacu pada pertanyaan penelitian.
Kesimpulan tidak lain adalah hasil interaksi antara kesan peneliti terhadap kecenderungan-kencenderungan yang ada pada data serta pilihan rujukan berupa pandangan teoritis yang diambil yang kemudian membingkai analisis. 7. Penyusunan laporan penelitian. Pertanyaan dalam penelitian proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan (top down, partisipatif) ? 2. Narasi kebijakan apa yang dipakai sebagai dasar dalam proses pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan ? 3. Diskursus apa yang berkembang dalam proses pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan? 4. Siapa aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan ? 5. Kepentingan apa saja yang ada dalam proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan ?
Konsep yang digunakan dalam penelitian proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan mengacu pada proses pembuatan kebijakan yang dilakukan Institute of Development Studies (IDS). IDS (2006) dan Sutton (1999), memahami proses kebijakan dengan mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana tiga tema yang saling terkait, yaitu : 1.
Kerangka pikir (narasi/narrative dan diskursus/discourse) Narasi kebijakan adalah sebuah cerita yang memiliki awal, tengah dan akhir, menguraikan peristiwa tertentu yang telah memperoleh status kebijaksanaan konvensional. Contoh tragedy of commons dan krisis kayu bakar di Afrika. Narasi kebijakan mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana cerita itu muncul ke permukaan dan menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut diperbaiki. Para pembuat kebijakan sering mendasarkan keputusan kebijakan pada cerita-cerita yang
25
diuraikan dalam pembangunan narasi. Narasi
kebijakan berbeda dengan
diskursus, yang merujuk kepada nilai-nilai dan cara berpikir yang lebih luas. Sebuah narasi dapat menjadi bagian dari diskursus jika menggambarkan cerita tertentu yang sejalan dengan nilai-nilai yang lebih luas dan prioritas. 2.
Aktor dan jaringan (actors and network) Jaringan, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu dan institusi) dengan visi yang sama, keyakinan serupa, kode etik dan
kesamaan perilaku sangat
penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narasi melalui pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara-cara informal. Proses negosiasi dan tawar-menawar di antara kelompok kepentingan yang saling berkompetisi berperan penting dalam pembuatan kebijakan. 3.
Politik dan kepentingan (politic and interest) Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang menggunakan kekuatan dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga identifikasi alternatif, pembobotan dan pemilihan opsi yang paling menguntungkan serta implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi pemerintah, organisasi donor dan independent expert.
Memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur tersebut, pada interseksi dari ketiga perspektif yang saling terakit, seperti terlihat pada Gambar 5.
aktor/ jaringan
Narasi/ diskursus
Politik/ kepentingan
Gambar 5 Analisis proses pembuatan kebijakan (IDS, 2006) politics/interest
26
b. Teknik pengumpulan data Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling, yaitu penarikan sampling dengan tujuan tertentu, sesuai dengan penelitian ini, yaitu mengkaji proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.
Periode waktu yang dipilih adalah dari saat mulai wacana
kebijakan pembagian kewenangan dimunculkan sampai dengan kebijakan tersebut diundangkan (9 Juli 2007). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Coding unit dengan menyeleksi teks yang terkait dengan proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Satuan coding unit dalam penelitian ini artikel, dalam bentuk surat kabar, laporan penelitian, artikel, buku dan jurnal. Jumlah keseluruh dokumen yang diteliti adalah 56 teks, terdiri dari 33 teks makalah populer (16 teks dari media cetak dan 17 teks dari website institusi) dan 23 teks makalah ilmiah (10 teks paper ilmiah, 5 teks jurnal ilmiah dan 8 teks berupa buku) (terlampir di Lampiran 4). Teks tersebut ditabulasi dalam bentuk kategorisasi, untuk memberikan deskripsi teks yang terkait dengan proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan. Kategorisasi didasarkan pada : identifikasi narasi kebijakan dan diskursus yang berkembang, identifikasi aktor yang terlibat dan identifikasi kepentingan 2. Wawancara mendalam dengan aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk meghindari kesalahpahaman dalam menafsirkan konsep-konep yang digunakan dalam penelitian dan untuk melengkapi data yang kurang.
c. Analisis Data Analisis diskursus dalam penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan pada ‟analisis diskursus sebagai teks‟, dengan menganalisis apa yang tertulis dalam teks, kemudian melakukan kategori semua tulisan yang ada kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan, untuk kemudian dilakukan penghitungan
27
frekuensi item kalimat yang tertulis dan hasilnya diterjemahkan dalam angkaangka. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk ‟analisis diskursus sebagai bingkai‟ dan ‟analisis diskursus sebagai praktek sosial‟. Analisis diskursus sebagai bingkai dilakukan untuk mengungkap makna kata-kata dan teks. Penggunaan bahasa tidak lagi menjadi fokus perhatian, tetapi yang diutamakan adalah ‟bingkai makna‟ sebagai medium penggunaan bahasa. Kontroversi narasi kebijakan dilihat dari frame yang saling bertentangan. Menurut Eriyanto (2002), analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok) di bingkai oleh teks. Melalui analisis framing akan dapat diketahui siapa yang mengendalikan siapa, mana lawan mana kawan, mana patron mana klien, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, siapa yang membentuk dan siapa dibentuk dan seterusnya. Berdasarkan pemahaman mengenai konsep framing di atas, kemudian dilakukan prosedur pemilahan (coding unit) dengan menyeleksi teks yang masuk kategori unit penelitian ini. Setelah teks berupa berita dari media massa, artikel, jurnal, laporan dan buku dipilih, kemudian dilakukan interpretasi dan pemberian makna. Analisis diskursus sebagai praktek sosial dilakukan untuk melihat hubungan diskursus dengan praktek. Bagaimana narasi kebijakan proses pembagian kewenangan terbentuk, bagaimana pertentangan antar narasi kebijakan yang berkembang, apa penyelesaian dari pertentangan narasi kebijakan tersebut, siapa aktor yang memainkan peran dominan dan apa kepentingannya. Analisis data secara
kualitatif dilakukan interpretasi dari teks tersebut,
dengan menggunakan model yang yang dikembangkan oleh Norman Fairclough yang dikenal sebagai model perubahan sosial (social change). Model ini berusaha menggabungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro, dengan mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Perhatian besar Fairlough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan, dengan membagi analisis wacana dalam tiga dimensi : texs, discourse practice dan sociocultural practice. Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosa kata, semantik dan tata kalimat. Socio cultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan
28
konteks di luar teks seperi hubungannya dengan masyarakat, budaya dan politik tertentu (Eriyanto, 2005). Model perubahan sosial yang dikemukan oleh Fairclough ada tiga tahap analisis : 1. Diskripsi, yakni menguraikan isi dan analisis secara diskriptif atas teks. Di sini teks dijelaskan tanpa dihubungkan dengan aspek lain. 2. Interpretasi, yaitu menaksirkan teks dihubungkan dengan praktik diskursus yang dilakukan. 3. Eksplanasi untuk mencari penjelasan atas hasil penafsiran pada tahap kedua.
2.3.2. Analisis kesenjangan (gap) antara kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan implementasinya (analisis asumsi) Analisis asumsi dipergunakan untuk melihat kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya. Menurut Dunn (2003), analisis asumsi adalah metode yang paling komprehensif. Analisis asumsi (assumptional analysis) merupakan suatu teknik yang bertujuan mensintesiskan secara kreatif asumsi-asumsi yang saling bertentangan mengenai masalah kebijakan. Analisis asumsi meliputi lima tahap prosedur, yaitu : a) Identifikasi pelaku kebijakan Pelaku kebijakan diidentifikasi, diurutkan dan diprioritaskan didasarkan pada penilaian tentang seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses kebijakan. Pada penelitian ini, identifikasi pelaku menggunakan hasil analisis stakeholder. b). Memunculkan asumsi Semua asumsi didaftar, kemudian dilakukan seleksi data yang mendukung dan mendasari asumsi-asumsi para pihak. c). Mempertentangkan asumsi Membandingkan dan mengevaluasi asumsi-asumsi yang berlawanan. Jika asumsi tandingan masuk akal, asumsi tersebut diuji untuk menentukan kemungkinan untuk dipakai sebagai landasan bagi konseptualisasi baru terhadap masalah dan solusinya secara menyeluruh.
29
d). Mengelompokkan asumsi Usulan solusi yang berbeda-beda yang dihasilkan dikelompokkan, untuk kemudian dinegosiasikan dengan memprioritaskan asumsi-asumsi dari segi kepastian dan kepentingannya bagi para pelaku kebijakan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk menciptakan dasar asumsi yang diterima oleh sebanyak mungkin pelaku kebijakan. e)
Sintesis asumsi Penciptaan solusi gabungan atau sintesis terhadap masalah. Gabungan asumsi yang diterima dapat menjadi basis untuk menciptakan konseptualisasi baru dari masalah. Ketika isu-isu seputar konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya telah mencapai titik ini, aktivitas para pembuat kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara kumulatif produktif. Secara praktikal, analisis asumsi dilakukan oleh Dewar et al (2002) pada
tahun 1987 sebagai pendekatan perencanaan strategis pada organisasi angkatan bersenjata di Amerika. Assumtion Based Planning (ABP) merupakan tools yang disusun untuk meningkatkan kekuatan dan adaptasi perencanaan guna mengurangi kejutan dalam perencanaan. Menurut Dewar (1993; 2002), asumsi adalah sebuah pernyataan yang tegas tentang beberapa karakteristik masa depan berdasarkan pelaksanaan atau perencanaan organisasi saat ini. Pernyataan tersebut dapat berupa fakta atau penilaian. Lima Tahap dalam asumsi menurut Dewar et al (1993) adalah : a)
Mengidentifikasi asumsi, sebaiknya yang diidentifikasi asumsi yang penting saja, yaitu asumsi harus merupakan pernyataan yang dapat membawa kepada perubahan yang lebih baik. Asumsi dapat diperoleh dari dokumen, wawancara, observasi
dan catatan proses pertemuan. Asumsi juga dapat
bersifat deskriptif, evaluatif, prediksi atau penjelasan yang dinyatakan secara eksplisit ataupun implisit. Sangat jarang organisasi menyusun asumsi secara eksplisit. Asumsi yang bersifat implisit dan unstate tetap harus diidentifikasi. b) Mengidentifikasi
asumsi yang rapuh/tidak kuat
(vulnerable), Asumsi
organisasi tidak kekal tetapi diperhitungkan benar-benar untuk beberapa periode waktu. Horison perencanaan adalah point terjauh suatu upaya perencanaan yang akan dipertimbangkan. Untuk menentukan asumsi yang
30
rentan dalam horizon perencanaan waktu, kita harus mengidentifikasi elemen perubahan apa yang dapat terjadi. Ini bukan prediksi. Sebuah elemen perubahan merupakan kegiatan atau kondisi yang: 1) sekarang berubah dari hari ke hari, 2) yang masuk akal dalam perencanaan horizon dan 3) yang terkait dengan organisasi dan rencana. c)
Menentukan peristiwa yang dapat menjadi indikasi perubahan dari asumsi yang lemah (signpost). Signpost merupakan kegiatan atau batas yang jelas menunjukkan perubahan asumsi kerentanan. Signpost sangat penting untuk Assumtion Base Planning, yang digerakkan oleh pendekatan yang baik dalam ketidakpastian perencanaan lingkungan, untuk melakukan apa yang harus dilakukan sekarang dan untuk melihat perubahan yang akan menyelesaikan ketidakpastian di masa mendatang. Signpost adalah mekanisme untuk memantau ketidakpastian organisasi masa depan dan berperan dalam menentukan kapan membentuk dan membatasi tindakan.
d) Shaping action. Tindakan membentuk sebuah organisasi adalah salah satu tindakan yang dirancang untuk menolak atau menyebabkan kegagalan asumsi yang rentan. Untuk memberikan asumsi yang rentan, perlu memutuskan apakah potensi perubahan asumsi lebih baik atau lebih buruk lagi, mengidentifikasi lebih luas dimana organisasi memiliki kontrol atas asumsi dan mendefinisikan tindakan yang mendesak. e)
Hedging action, adalah tindakan yang ditujukan untuk menyiapkan lebih baik sebuah organisasi karena kegagalan salah satu asumsi penting. Menentukan hedging action suatu organisasi memerlukan pemikiran ulang rencana seolaholah sebuah asumsi penting telah gagal, dan itu berasal dari kegagalan yang masuk akal. Analisis asumsi dengan menggabungkan tahapan yang dilakukan oleh Dunn
(2003) dan Dewar et al (1993) pernah dilakukan oleh oleh Pratiwi (2008) dalam penelitiannya
tentang
model
pengembangan
institusi
ekowisata
untuk
penyelesaian konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tujuan analisis asumsi dalam penelitian ini adalah : a) mengidentifikasi peran pelaku kebijakan dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung dari aspek legal formal dan b) mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di
31
lokasi studi. Berdasarkan kedua literatur di atas, tahapan asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini : a)
Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan desentralisasi pengelolaan hutan lindung
b) Asumsi penting diidentifikasi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur pembagian peran para pelaku dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung c)
Asumsi yang dipertentangkan adalah asumsi yang tertulis dalam peraturan perundangan yang sifatnya umum dengan asumsi pelaksanaan peraturan perundangan di lokasi studi. Sumber data yang digunakan untuk asumsi yang tertulis ialah dokumen peraturan perundangan yang dapat diacu oleh semua lokasi. Sedangkan sumber data untuk asumsi pelaksanaan kebijakan berasal dari dokumen peraturan perundangan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan hasil pengumpulan data primer
d) Kedua asumsi dikelompokkan dan dianalisis sejauhmana kesenjangan (gap) antara keduanya. e)
Sintesis masalah dirumuskan Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan desentralisasi pengelolaan
hutan lindung dilakukan dengan analisis stakeholder. Tujuan analisis stakeholder adalah untuk mengidentifikasi institusi yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung di DAS Batanghari. Stakeholder adalah orang, kelompok, atau lembaga yang mungkin mempengaruhi atau terkena dampak intervensi proyek atau kebijakan yang diusulkan (baik negatif atau positif) (Reitbergen et al, 1998). Overseas Development Administration (ODA) (1995), mendefinisikan stakeholder sebagai orang, kelompok atau lembaga yang memiliki minat dalam suatu proyek atau program. Dalam definisi ini, stakeholder meliputi pihak pemenang maupun yang kalah, dan mereka yang terlibat atau yang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Verhagen (2006) mendefinisikan stakeholder sebagai semua orang-orang yang memiliki kepentingan (atau saham) dalam suatu isu tertentu. Stakeholder bisa merupakan orang, organisasi, institusi atau individu. Berdasarkan uraian di atas, definisi stakeholder yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pihak yang mempengaruhi atau terkena dampak
32
kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Definisi ini merupakan gabungan dari konsep-konsep stakeholder yang dikemukakan sebelumnya. Analisis stakeholder adalah alat untuk memahami konteks sosial dan institusi dari sebuah proyek atau kebijakan. Temuan tersebut dapat memberikan informasi awal dan penting tentang siapa yang akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proyek (positif atau negatif); individu, kelompok, atau lembaga yang terlibat dalam proyek, dan bagaimana kapasitas dibangun untuk memungkinkan mereka berpartisipasi (Reitbergen et al, 1998). Stakeholder dapat diidentifikasi berdasarkan : pihak yang menerima manfaat, siapa yang terkena dampak, siapa yang rentan, siapa yang mendukung dan siapa lawan, hubungan antar stakeholder (Reitbergen et al, 1998), kepentingan (interest) dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan (ODA, 1995). Berdasarkan karakteristik ini stakeholder dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : a.
Stakeholder utama (primer), yaitu stakeholder yang terkena dampak langsung, baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Stakeholder ini seharusnya ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan, contoh : masyarakat.
b.
Stakeholder pendukung (sekunder), yaitu stakeholder yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, contoh : LSM, Perguruan Tinggi dan peneliti.
c.
Stakeholder kunci, yaitu stakeholder yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan, contoh : pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan DPR.
2.3.3. Analisis Deskriptif Kualitatif Penelitian sosial dengan menggunakan deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat sebagai obyek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai ciri, karakter, sifat, model,
33
tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu (Bungin, 2009). Jenis data yang dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif adalah: implementasi, syarat dan bentuk desentralisasi.
a. Sumber Data dan Teknik Pengambilan Sampel Sumber data dalam penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah : narasumber (informan), sumber tertulis/dokumen, foto/gambar (Moleong, 2001; Sutopo, 2002). Dalam penelitian kualitatif, cuplikan sampling yang diambil lebih bersifat selektif, berdasarkan landasan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi dan karakteristik empiris yang dihadapi. Sumber data tidak mewakili populasinya tetapi lebih cenderung mewakili informasinya. Pengambilan cuplikan didasarkan atas pertimbangan tertentu, maka pengertiannya sejajar dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalah secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap, bahkan dalam pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Teknik ini sering pula disebut sebagai criterion based selection (Sutopo, 2002).
b. Teknik Pengumpulan Data 1) . Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2001). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah snowball sampling. Snowball sampling digunakan karena peneliti tidak tahu siapa yang tepat untuk dipilih dalam mengumpulkan informasi. Wawancara dalam penelitian kualitatif pada umumnya tidak dilakukan secara terstruktur ketat dengan pertanyaan tertutup, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur atau yang disebut open-ended (Yin, 2004). Wawancara dilakukan dengan cara melakukan wawancara dan dialog dengan pejabat instansi terkait yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan
34
hutan lindung di tingkat pusat maupun di daerah. Institusi di tingkat pusat adalah Departemen Dalam Negeri, Biro Hukum dan Organisasi, Badan Planologi, Ditjen RLPS, Pusdiklat Kehutanan dan Ditjen PHKA. Sedangkan institusi pusat yang ada di daerah adalah : BPKH (Balai Pemetaan Kawasan Hutan), BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam).
Institusi di tingkat propinsi dan kabupaten adalah Dinas Kehutanan,
Bagian Perundang-undangan Kantor Gubernur/Kantor Bupati, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah.
Selain institusi pemerintah juga dilakukan wawancara
dengan NGO (GTZ, CIDA, WARSI, FLEGT, Qbar). 2). Pengumpulan dokumen Data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dokumen tersebut dikumpulkan dengan menggunakan non probalility sampling design, yaitu rancangan pengambilan sampel jika sampling frame tidak diketahui. Ada dua teknik yang dapat digunakan jika sampling frame tidak diketahui yaitu : a) convinience sampling, karena populasi dokumen yang terkait dengan penelitian tidak dapat diidentifikasi, sehingga peneliti mengambil sampel dimana dan kapan saja serta b) purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sesuai dengan tujuan penelitian dengan cara membangun kriteria (Rifee et al, 2005). Adapun kriteria pemilihan dokumen yang dibangun adalah : a) memiliki subtansi terkait dengan topik penelitian (pengelolaan hutan lindung, desentralisasi), b) dokumen cetak atau digital, c) tahun publikasi sampai dengan Juni 2009. Data sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu : a.
Dokumen Pusat, terdiri dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan/Instruksi Presiden, Keputusan/Peraturan/Surat Edaran Menteri dan buku pedoman dari Departemen.
b.
Dokumen di daerah, untuk melihat bagaimana kebijakan dari pusat diimplementasikan, bisa berwujud Peraturan Daerah, SK Gubernur/Bupati dan Rencana Pengelolaan, laporan tahunan, pendapatan Pemerintah Daerah dari sektor kehutanan dan sebagainya.
35
3). Observasi/pengamatan Teknik observasi digunakan untuk menggali sumber data berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda dan rekaman gambar (Sutopo, 2002). Pengamatan dilakukan dalam penelitian kualitatif dengan alasan : a) teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung, dengan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian ebenarnya, b) mengurangi data yang bias, dengan mengecek kepercayaan data melalui pengamatan, c) pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data, d) pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi yang rumit dan e) pada kasus tertentu dimana teknik komunikasi lain tidak memungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat (Moleong, 2001). Teknik pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi berperan, artinya kehadiran peneliti di lokasi diketahui oleh yang diamati. Obyek yang diamati dengan teknik observasi adalah kondisi fisik hutan lindung.
c. Analisis Data Menurut Huberman dan Miles (1994), analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah analisis interaktif, dimana kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian kualitatif tidak dipisahkan satu sama lain, berlangsung secara simultan dan serempak, prosesnya berbentuk siklus dan bukan linier seperti tampak pada gambar berikut.
Pengumpulan data
Tampilan data
Reduksi data
Kesimpulan dan verifikasi
Gambar 6 Analisis data model interaktif (Huberman dan Miles, 1994)
36
Selain dianalisis secara interaktif, juga dilakukan analisis taksonomik. Teknis analisis taksonomik terfokus pada domain tertentu, kemudian memilih domain tersebut menjadi sub-sub domain serta bagian-bagian yang lebih khusus dan terperinci (Bungin, 2003b). Analisis taksonomik dilakukan untuk data: 1.
Syarat desentralisasi : a) kelembagaan, b) Pendanaan, c) Sapras, d) SDM, e) aspirasi masyarakat lokal dan f) monev.
2.
Implementasi pengelolaan hutan lindung : a). inventarisasi hutan, b) rehabilitasi hutan, c) pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan d) pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk appendix CITES, e) pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten dan f) perlindungan hutan.
3.
Bentuk desentralisasi : a) dekonsentrasi, b) delegasi, c) devolusi dan d) privatisasi
2.4. Metode Penelitian Kuantitatif Pengertian penelitian kuantitatif dalam pengertian ini mengarah pada penelitian kuantitatif dalam ilmu sosial. Salah satu metode kuantifikasi persepsi yang umum digunakan adalah skala likert, metode ini menetapkan skala interval pada atribut kualitatif. Dalam penggunaan skala likert pembuat keputusan menyusun serangkaian pernyataan yang seimbang antara pemandu sikap positip (favorable) dan pemandu sikap negatip (unfavorable) bagi pihak yang diminta pendapatnya terhadap suatu hal. Pembuatan keputusan akan mengubah pernyataan positip, netral dan negatip tersebut ke dalam skala interval (Basyaib, 2007). Skala ini dikembangkan oleh Rensis Likert dan biasanya memiliki lima atau tujuh kategori dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju atau sangat buruk sampai sangat baik.
2.4.1. Metode skoring untuk mengukur kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung a. Pengumpulan Data Pengumpulan data kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung dilakukan dengan cara wawancara dan diskusi dengan pejabat dinas
37
kehutanan kabupaten (kepala dinas, kepala bidang dan kepala seksi) yang terkait dengan
urusan
pengelolaan
hutan
lindung
(inventarisasi,
rehabilitasi,
perlindungan, pemanfaatan kawasan hutan). Jumlah keseluruhan sampel adalah 21 responden. b. Metode memberian skor Tujuan desentralisasi pengelolaan hutan lindung adalah terkelolanya hutan lindung secara lestari. Tujuan tersebut dapat tercapai jika syarat desentralisasi pengelolaan hutan lindung terpenuhi. Syarat desentralisasi pengelolaan hutan dirumuskan dari teori, lesson learn dari negara lain dan aturan perundangundangan yang ada. Berdasarkan ketiga hal tersebut dirumuskan enam syarat desentralisasi pengelolaan hutan lindung, yaitu : 1) kelembagaan, 2) pendanaan, 3) sapras, 4) Sumberdaya manusia (SDM), 5) terwakilinya aspirasi Pemerintah Kabupaten dan masyarakat lokal dan 6) monitoring. Implementasi desentralisasi pengelolaan hutan lindung dilihat dari kegiatan inventarisasi, rehabilitasi, perlindungan, ijin pemanfaatan kawasan, ijin jasa lingkungan dan ijin pemungutan HHBK.
Implementasi
desentralisasi
pengelolaan
hutan
lindung
sangat
dipengaruhi oleh syarat desentralisasi. Syarat dan implementasi desentralisasi akan mempengaruhi kinerja Pemerintah Kabupaten dalam mengelola hutan lindung . Cara pengisian matrik kerja pada Tabel 2 adalah dengan melakukan wawancara dengan pejabat dinas kehutanan kabupaten. Pemberian skoring dilakukan dengan melihat kriteria, indikator dan tolok ukur verifer seperti terlihat pada Tabel 3 sampai Tabel 9.
1. Kriteria Kelembagaan. Kriteria kelembagaan diukur dari kelembagaan yang mantap
dan
organisasi yang efektif. Kriteria kelembagaan dirinci menjadi dua sub-kriteria, yakni :1) kewenangan dan 2) tata hubungan kerja. Sub kriteria kewenangan terdiri dari tiga indikator, yaitu: a) kejelasan kewenangan, b) memahami dan melaksanakan tanggung jawab yang diberikan, c) ada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang diberikan. Sub kriteria tata hubungan kerja terdiri dari dua
38
indikator, yaitu :
a) koordinasi dengan pusat (pemberi kewenangan),
b)
koordinas dengan institusi lain dalam kabupaten tersebut. 2. Kriteria Pendanaan Kriteria pendanaan diukur dari kemampuan pendanaan Pemerintah Kabupaten secara mandiri dalam pengelolaan hutan lindung yang ada di wilayahnya. Kriteria pendanaan dirinci menjadi dua indikator, yaitu : 1) Alokasi dana Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan, 2) Besarnya alokasi dana dari Pemerintah Pusat . 3. Kriteria sumberdaya manusia (SDM) Ketersediaan SDM diukur dari kecukupan dan kompetensi SDM untuk mengelola hutan. Kriteria SDM meliputi tiga indikator, yaitu : 1)jumlah SDM dan proporsi tingkat pendidikan , 2) kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani, 3) kursus/pelatihan dan implementasinya di pekerjaan. 4. Kriteria sapras Kriteria sapras diukur dari kemampuan penyediaan sapras yang memadai oleh Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung. Kriteria sapras terdiri dari satu indikator, yaitu : ketersediaan sapras dan kemampuan melaksanakan kewenangan sesuai dengan sapras. 5. Kriteria keterwakilan aspirasi Pemerintah Kabupaten dan masyarakat lokal Kriteria ini diukur dari terwakilinya aspirasi masyarakat lokal dan Pemda dalam program pengelolaan hutan. Kriteria ini terdiri dari empat indikator, yaitu : 1) program yang mengakomodasi inisiatif Pemda dan
masyarakat lokal, 2)
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, 3) keterwakilan stakeholder dan 4)terbangunnya kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan 6. Kriteria monev dan pembinaan Kriteria ini diukur dari berjalannya monev dan pembinaan pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Pusat. Kriteria ini terdiri dari empat indikator, yaitu : 1)Norma, Standart, Prosedur dan Kriteria (NSPK )yang disusun Pemerintah Pusat, 2) insentif dan disinsentif, 3)monev oleh Pemerintah Pusat dan 4) pembinaan dan bimbingan dari Pemerintah Pusat Matrik kriteria dan indikator kinerja Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung adalah sebagai berikut:
39
Tabel 2. Matrik kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung berdasarkan kecukupan syarat administratif desentralisasi Desentralisasi pengelolaan hutan lindung
Kelembagaan Kejelasan kewenangan
Kewenangan Memahami dan melaksanakan tanggungjawab yang diberikan
Keseimbangan tugas & tanggungjawab
Tahubja Koordinasi Koordinasi dengan antar Pusat perangkat daerah di kabupaten
Pendanaan Alokasi Alokasi dana dari dana dari Pemerintah Pusat Kabupaten (DAK/TP)
Jumlah SDM dan proporsi tingkat pendidikan
SDM kesesuaian latar belakang pendidikan dengan pekerjaan
kursus/pelatihan dan implementasinya
Inventarisasi Rehabilitasi Perlindungan Ijin pemanfaatan kawasan Ijin jasling Ijin pemungutan HHBK
Tabel 2 Matrik kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung berdasarkan kecukupan syarat administratif desentralisasi (lanjutan) Desentralisasi pengelelolaan hutan lindung
Inventarisasi Rehabilitasi Perlindungan Ijin pemanfaatan kawasan Ijin jasling Ijin pemungutan HHBK
Sapras Ketersediaan sapras dan kemampuan SDM mengoperasionalkan sapras
Keterwakilan Pemda dan masyarakat local dalam peng. Hutan Program yang Partisipasi Keterwakilan Terbangunnya mengakomodasi Masyarakat stakeholder kelembagaan inisiatif Pemda lokal dan masyarakat lokal
NSPK yang disusun pusat
Insentif dan disinsentif
Monev Monev oleh Pusat
Pembinaan dan bimbingan
40
1. Kriteria kelembagaan yang menjadi wadah dari otonomi daerah Kriteria kelembagaan diukur dari adanya kelembagaan yang mantap dan organisasi yang efektif. Kriteria ini dirinci menjadi dua sub kriteria, yakni :1) kewenangan dan 2) tata hubungan kerja. Kriteria kewenangan terdiri dari tiga indikator, yaitu : a) kejelasan kewenangan, b) memahami dan melaksanakan tanggung jawab yang diberikan, c) ada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang diberikan. Kriteria tata hubungan kerja terdiri dari dua indikator, yaitu : a) koordinasi dengan Pemerintah Pusat (pemberi kewenangan),
b) koordinasi
dengan institusi lain dalam kabupaten tersebut.
a). Sub kriteria kewenangan
Tabel 3 Indikator, tolok ukur dan skor sub kriteria kewenangan Indikator Kejelasan kewenangan pengelolaan hutan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
Pemerintah kabupaten memahami dan melaksanakan kewenangan yang diberikan
Tolok Ukur Verifier
Cara Verifikasi
Skor
Teridentifikasinya batas kewenangan antar tingkat pemerintahan
Batas kewenangan teridentikasi dengan jelas, tidak ada kekosongan serta tidak ada duplikasi kewenangan
5
Tidak ada kekosongan kewenangan
Batas kewenangan teridentikasi dengan jelas tetapi ada kekosongan atau ada duplikasi kewenangan
3
Tidak ada duplikasi kewenangan
Batas kewenangan pada masing-masing tingkat pemerintahan tidak teridentifikasi dengan jelas dan ada kekosongan atau ada duplikasi kewenangan Pemerintah kabupaten memahami konsep pengelolaan hutan dan melaksanakan semua kegiatan yang menjadi kewenangannya
1
Pemerintah kabupaten memahami konsep pengelolaan hutan, tetapi melaksanakan sebagian kegiatan yang menjadi kewenangannya
3
Pemerintah kabupaten memahami konsep pengelolaan hutan, tetapi belum melaksanakan kegiatan yang menjadi kewenangannya atau Pemerintah kabupaten tidak memahami konsep pengelolaan hutan dan tidak melaksanakan kegiatan yang menjadi kewenangannya
1
Dipahaminya konsep pengelolaan hutan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Terlaksanakannya kegiatan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten
5
41
Tabel 3. Lanjutan Indikator Keseimbangan hak dan kewajiban dari kewenangan yang diberikan
Tolok Ukur Verifier
Cara Verifikasi
Skor
Porsi antara hak dan kewajiban seimbang
Hak dan kewajiban yang diberikan seimbang
5
Lebih banyak kewajiban daripada hak yang diberikan atau hak sulit diperoleh
3
Lebih banyak hak daripada tanggungjawab yang diberikan atau tidak jelas hak dan kewajibannya
1
b). Sub kriteria tata hubungan kerja Tabel 4 Indikator, cara verifikasi dan skor sub kriteria tata hubungan kerja Indikator
Tolok Ukur Verifier
Koordinasi antara Pusat dan Pemerintah Kabupaten
Ada komunikasi antar institusi
Terjalin komunikasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan serta ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
5
Ada kerjasama antar institusi
Terjalin komunikasi, tetapi kurang kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan, belum ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
3
Keberadaan suatu wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
Tidak terjalin komunikasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan dan belum ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
1
Ada komunikasi antar institusi
Terjalin komunikasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan serta ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
5
Ada kerjasama antar institusi
Terjalin komunikasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan, tetapi belum ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
3
Keberadaan suatu wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
Tidak terjalin komunikasi dan kerjasama dalam menjalankan suatu kegiatan dan belum ada wadah/forum/cara untuk berkoordinasi
1
Koordinasi dinas kehutanan dengan institusi lain dalam kabupaten tersebut
Cara Verifikasi
Skor
2) Kriteria pendanaan Kriteria pendanaan diukur dari kemampuan pendanaan Pemerintah Kabupaten secara mandiri dalam pengelolaan hutan lindung yang ada di
42
wilayahnya. Kriteria pendanaan dirinci menjadi dua indikator, yaitu : 1) Alokasi dana Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan dan 2) Besarnya alokasi dana dari Pemerintah Pusat .
Tabel 5 Indikator, cara verifikasi dan skor kriteria pendanaan Indikator Alokasi Dana Pemerintah Kabupaten dalam Pengelolaan Hutan
Alokasi Dana Pemerintah Pusat (DAK, GNRHL) dalam Pengelolaan Hutan
Tolok Ukur Verifier
Cara Verifikasi
Skor
Teralokasinya dana dari Pemda untuk kegiatan pengelolaan hutan
Ada alokasi dari Pemda, mencukupi untuk kegiatan pengelolaan hutan dan kontinuitas dana terjamin
5
Dana yang ada mencukupi untuk dilaksanakannya pengelolaan hutan
Ada alokasi dari Pemda, tetapi tidak mencukupi untuk kegiatan pengelolaan hutan dan kontinuitas dana tidak terjamin
3
Kontinuitas pendanaan
Tidak ada alokasi dana dari Pemda
1
Teralokasinya dana dari Pusat untuk kegiatan pengelolaan hutan
Ada alokasi dari Pusat, mencukupi untuk kegiatan pengelolaan hutan dan kontinuitas terjamin
5
Dana yang ada mencukupi untuk dilaksanakannya kegiatan pengelolaan hutan
Ada alokasi dari Pusat, tetapi tidak mencukupi untuk kegiatan pengelolaan hutan dan kontinuitas tidak terjamin
3
Kontinuitas pendanaan
Tidak ada alokasi dana dari Pusat
1
3) Kriteria Sumberdaya Manusia (SDM) Ketersediaan SDM diukur dari kecukupan dan kompetensi SDM untuk mengelola hutan. Kriteria SDM meliputi tiga indikator, yaitu : 1)jumlah SDM dan proporsi tingkat pendidikan, 2) latar belakang pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang ditangani dan 3) kursus/pelatihan dan implementasinya.
43
Tabel 6 Indikator, cara verifikasi dan skor kriteria SDM Indikator
Tolok Ukur Verifier
Jumlah SDM dan proporsi tingkat pendidikan
Latar belakang pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang ditangani
Kursus di bidang kehutanan
Cara Verifikasi
Skor
Jumlah SDM
Jumlah dan proporsi tingkat pendidikan SDM tercukupi serta dapat melaksanakan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan
5
Proporsi tingkat pendidikan
Jumlah dan proporsi tingkat pendidikan SDM tercukupi, tetapi tidak dapat melaksanakan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan
3
Melaksanakan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan
Jumlah SDM kurang, tingkat pendidkan SDM tidak proporsional dan tidak dapat melaksanakan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan
1
Asal fakultas dan relevansinya dengan pekerjaan
SDM berlatar pendidikan kehutanan cukup tersedia dan relevan dengan pekerjaannya
5
SDM berlatar pendidikan kehutanan ada, tetapi kurang, ada relevansi dengan pekerjaannya
3
SDM berlatar pendidikan kehutanan kurang serta tidak ada relevansi dengan pekerjaannya
1
Kursus kehutanan yang pernah diikuti
Pernah mengikuti kursus dan kursus tersebut diimplementasikan di perkerjaan
5
Implementasi kursus
Pernah mengikuti kursus, tetapi kursus tersebut tidak/sulit diimplementasikan di perkerjaan
3
Belum pernah mengikuti kursus di bidang kehutanan
1
4. Kriteria sapras Kriteria sapras diukur dari kemampuan penyediaan sapras yang memadai oleh Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung. Kriteria sapras meliputi satu indikator, yaitu : ketersediaan sapras dan kemampuan melaksanakan kewenangan sesuai dengan sapras.
44
Tabel 7 Indikator, cara verifikasi dan skor kriteria sapras Indikator
Tolok Ukur Verifier
Ketersediaan sapras dan kemampuan melaksanakan kewenangan sesuai dengan sapras
Cara Verifikasi
Skor
Kecukupan ketersediaan sapras
Semua sapras tersedia dan memadai untuk melakukan pengelolaan hutan lindung
5
Kemampuan melaksanakan kewenangan dengan sapras yang ada
Sapras tersedia sebagian sehingga tidak memadai untuk melaksanakan pengelolaan hutan lindung
3
Sapras sangat kurang sehingga tidak dapat melaksanakan pengelolaan hutan lindung
1
5) Kriteria keterwakilan aspirasi pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal Kriteria ini diukur dari terwakilinya aspirasi Pemerintah Kabupaten dan masyarakat lokal dan dalam program pengelolaan hutan. Kriteria ini terdiri dari empat indikator, yaitu : 1) program yang mengakomodasi inisiatif pemerintah daerah dan masyarakat lokal, 2) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, 3) keterwakilan stakeholder dan 4)terbangunnya kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan.
45
Tabel 8 Indikator, cara verifikasi dan skor kriteria keterwakilan aspirasi pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal Indikator Program pengelolaan hutan yang mengakomodasi aspirasi Pemda dan masyarakat lokal
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
Keterwakilan stakeholder
Terbangunnya kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan
Tolok Ukur Verifier
Cara Verifikasi
Skor
Ada tidaknya program yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan Pemda
Ada program yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan Pemda serta program tersebut dapat diimplementasikan
5
Kemudahan program diimplementasikan oleh Pemda dan masyarakat lokal
Ada program yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan Pemda, tetapi hanya sebagian yang dapat diimplementasikan
3
Hanya sedikit program yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan Pemda, program tidak dapat diimplementasikan atau tidak ada program yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan Pemda
1
Tingkat partisipasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monev
Masyarakat berpartisipasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monev
5
Masyarakat hanya berpartisipasi pada sebagian kegiatan
3
Masyarakat sama sekali tidak berpartsipasi di semua tahap kegiatan
1
Seluruh stakeholder terlibat dalam pengelolaan hutan
5
Hanya sebagian stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan
3
Tidak ada stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan
1
Terbangunnya kelembagaan lokal
Terbangunnya kelembagaan lokal dan diakui eksistensinya
5
Eksistensi kelembagaan lokal
Terbangunnya kelembagaan lokal, tetapi tidak diakui eksistensinya
3
Tidak diketemukan kelembagaan lokal
1
Banyak sedikitnya stakeholder yang terlibat
46
6). Kriteria monev dan pembinaan Kriteria ini diukur dari berjalannya monev dan pembinaan pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Pusat. Kriteria ini terdiri dari empat indikator, yaitu : 1)NSPK yang disusun pemerintah pusat, 2) insentif dan disinsentif, 3) monev oleh Pemerintah Pusat dan 4) pembinaan dan bimbingan. Tabel 9 Indikator, cara verifikasi dan skor kriteria monev dan pembinaan Verifier
Tolok Ukur Verifier
NSPK yang disusun oleh Pemerintah Pusat
Ada tidaknya NSPK/kelengkapan NSPK Kemudahan implementasi NSPK
Sistem insentif dan disinsentif
Monev oleh Pemerintah Pusat
Ada tidaknya sistem insentif – disinsentif Berjalannya sistem insentif – disinsentif
Kejelasan NSPK oleh Pemerintah Pusat
Ada mekanisme monev secara periodik
Pembinaan dan bimbingan dari Pemerintah Pusat
Ada tidaknya mekanisme pembinaan dan bimbingan Relevansi pembinaan dan bimbingan dengan kebutuhan
Cara Verifikasi
Skor
Semua NSPK sudah disusun oleh Pemerintah Pusat dan mudah diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten NSPK sudah disusun oleh Pemerintah Pusat tetapi tidak lengkap atau sulit diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten NSPK belum disusun oleh Pemerintah Pusat Ada sistem insentif – disinsentif dan sistem tersebut berjalan baik Ada sistem insentif – disinsentif, tetapi sistem tersebut tidak berjalan/perlu perbaikan Tidak ada sistem insentif – disinsentif Pemerintah Pusat memberikan NSPK yang jelas dalam kegiatan pengelolaan hutan dan ada mekanisme monev secara periodik Pemerintah Pusat memberikan NSPK yang jelas dalam kegiatan pengelolaan hutan, tetapi tidak ada mekanisme monev secara periodik Pemerintah Pusat tidak memberikan NSPK yang jelas dalam kegiatan pengelolaan hutan dan tidak ada mekanisme monev secara periodik Ada mekanisme pembinaan dan bimbingan yang relevan dengan kebutuhan
5
Ada mekanisme pembinaan dan bimbingan tetapi kurang relevan dengan kebutuhan Tidak ada mekanisme pembinaan dan bimbingan
3
3
1 5 3
1 5
3
1
5
1
Kinerja Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung ditentukan berdasarkan skala intensitas indikator dari masing-masing kriteria. Karena setiap kriteria
dan indikator memiliki bobot yang sama, maka nilai total kinerja
diperoleh melalui total penjumlahan dari seluruh indikator yang digunakan. Adapun penentuan kinerja pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten adalah sebagai berikut : a. Kinerja baik
= 3,26 – 5,00
b. Kinerja cukup
= 2,25 – 3,25
c. Kinerja buruk
= 1,00 – 2,24
2.4.2. Analisis perubahan tutupan hutan sebagai pendukung data kinerja pemerintah kabupaten Analisis perubahan tutupan lahan hutan lindung sebelum dan setelah desentralisasi (tahun 1990, 2000 dan 2009) dilakukan untuk mendukung data kinerja Pemerintah Kabupaten. Analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat 7 ETM +. Analisis perubahan tutupan lahan mengacu pada klasifikasi lahan yang dilakukan Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC) (2006), yang mengklasifikasikan lahan ke dalam 6 kategori yaitu : 1) forest land, 2) grassland, 3) cropland, 4) wetland, 5) settlement dan 6) other land. Setiap kategori tersebut memiliki potensi gas rumah kaca masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan. Kategori IPCC GL (2006) dipilih karena fungsi hutan lindung terkait dengan jasa lingkungan. Keberadaan hutan lindung berpeluang besar untuk ikut dalam perdagangan karbon di masa mendatang. Kategori lahan dalam IPCC 2006), apabila dihubungkan dengan pembagian kelas hutan yang dilakukan oleh Kementerian Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Kehutanan (Dirjen Planologi)
48
Tabel 10 Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC GL 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Kategori IPCC (2006) Forest land Forest land Forest land Forest land Forest land Forest land Forest land Grassland Wetland Other land Wet land Crop land Crop land Crop land Settlements Grass land Crop land Crop land Other land Other land -
Kategori Kementerian Kehutanan Hutan lahan kering primer Hutan rawa primer Hutan mangrove primer Hutan lahan kering sekunder Hutan rawa sekunder Hutan mangrove sekunder Hutan tanaman Belukar Belukar rawa Tanah terbuka Rawa Pertanian Pertanian campur semak Transmigrasi Pemukiman Padang rumput Sawah Perkebunan Tambak Bandara Air Awan
Sumber : Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, 2010
2.4.3. Analisis Modal Sosial Kaitannya dengan Kelestarian Hutan Lindung a. Pengambilan Sampel Manfaat hutan bagi masyarakat dan modal sosial masyarakat sekitar hutan lindung diukur dengan menggunakan metode skoring dengan melakukan diskusi kelompok dengan masyarakat di sekitar hutan lindung dan observasi lapangan. Masing-masing kabupaten diambil dua desa. Manfaat hutan lindung dibedakan menjadi dua yaitu manfaat sosial dan manfaat ekologis, sedangkan modal sosial dilihat dari actor perspective dan public perpective.
49
b. Analisis Data Data hubungan modal sosial (dilihat dari actor/public perspective) masyarakat sekitar hutan lindung dengan kelestarian hutan dikuantifikasi dengan skala likert, dengan lima kategori seperti tampak pada Tabel 11.
Tabel 11
Kategori dan skor yang digunakan untuk menilai manfaat dan kelestarian hutan lindung serta modal sosial masyarakat sekitar hutan
No 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik
Skor 1 2 3 4 5
Data skoring tersebut dianalisis dengan dengan program SPPS Statistic 17,0. Data skoring manfaat ekonomis dan ekologis hutan serta modal sosial masyarakat dihubungkan dengan kelestarian hutan lindung dengan menggunakan estimasi kurva (curve estimation) pada menu analisis regresi. Secara ringkas tujuan, teori yang digunakan, pengumpulan dan analisis data penelitian
”Proses Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Desentralisasi
Pengelolaan Hutan Lindung” dapat dilihat pada Tabel 12.
50
Tabel 12 Teori yang digunakan, pengumpulan dan analisis data pada masingmasing tujuan penelitian No
Tujuan Penelitian
Teori yang Digunakan
1.
Menganalisis proses pembuatan kebijakan
Teori proses pembuatan kebijakan
- Narasi/diskursus kebijakan, - Aktor/jaringan - Interest
Pengumpulan teks, browsing internet, indepth interview
2.
Menganalisis gap antara kebijakan desentralisasi dan implementasinya di lapangan Menganalisis kinerja desentralisasi
Teori kebijakan (perumusan masalah)
- Isi teks kebijakan di pusat - Implementasi kebijakan di daerah
- Data sekunder
Teori desentralisasi
-
Data sekunder, observasi, wawancara
Purposive sampling
Wawancara
Purposive sampling
Pengumpulan peta
Purposive sampling
Analisis citra (Jaya, 2010)
FGD, indepth interview
Purposive sampling, snowball sampling
Analisis kualitatif skoring
Purposive sampling
Deskriptif kualitatif ( Huberman dan Miles, 1994; Bungin, 2003)
3.
Data
-
-
Teori modal sosial
-
-
4.
Menganalisis bentuk desentralisasi pengelolaan hutan lindung
Teori governance natural resources
-
Data implementasi pengelolaan hutan lindung oleh kabupaten Syarat desentralisasi Kinerja desentralisasi oleh pemerintah kabupaten Perubahan tutupan hutan tahun 1990, 2000 dan 2009 Manfaat ekonomi dan ekologi hutan lindung bagi masyarakat Modal sosial (actor/public perspective) Peraturan perundangan Studi negara lain Progress KPH
Metode Pengumpulan Data
- Indepth observasi
interview,
Teknik pengambilan sampel Purposive sampling, snowball sampling Purposive sampling, snowball sampling
Metode Analisis Data Analisis diskursus (Eriyatno,2005) dan IDS analysis (2006) Analisis asumsi (Dewar, 1993 dan Dunn, 2003) Deskriptif kualitatif ( Huberman dan Miles, 1994; Bungin, 2003) Kriteria dan indikator dengan skoring
dan
FGD, indepth interview, data sekunder -
Pengumpulan teks Browsing internet Wawancara