II. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran 1. Teori hubungan stimulus dan sikap Menurut Rosenberg dan Hovland (1960), sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat, menunjukkan bentuk, arah, dan sifat yang merupakan dorongan, respon dan refleksi dari stimulus. Sikap berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan behavioral / overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Berikut ini dikemukakan skema konsep sikap menurut Rosenberg dan Hovland (1960) dalam bukunya berjudul “ Attitude Organization and Change” : Measurable Independent variables
Intervening variables
Affective: Sympathetic nervous responses Verbal statement of affective
Stimulus (individuals, situations, social issues, social groups, and other “attitude objects”)
Measurable dependent variables
Attitudes
Cognitive: Perceptual responses Verbal statement of beliefs Behavior: Overt actions (tand to act) Verbal statement concerning behavior
Gambar 1. Skema konsep stimulus dan sikap Menurut Rosenberg (1960) dan Krech, Crutchfield & Ballachey (1962), pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor dari luar berupa stimulus. Individu menanggapi lingkungan luarnya bersifat selektif, ini berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima, mana yang akan ditolak atau tidak direspon, yaitu tidak menjadi stimulus. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang telah ada dalam komponen cognitive dan affective pada diri individu dalam menanggapi stimulus dari luar.
Hal ini akan menentukan apakah sesuatu stimulus dapat
diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor penentu.
Rosenberg (1960) mengemukakan teori “affetive-cognitive consistency” dalam hal sikap (attitudes), teori ini kadang disebut dengan teori “dua faktor”. Teori ini memusatkan perhatian pada hubungan komponen cognitive dan komponen affective.
Komponen affective berhubungan dengan bagaimana
perasaan yang timbul pada seseorang yang menyertai sikapnya, dapat positif tetapi juga dapat negatif terhadap stimulus.
Bila seseorang mempunyai sikap yang
positif terhadap stimulus, maka ini berarti adanya hubungan pula dengan nilainilai positif yang lain yang berhubungan dengan stimulus tersebut, demikian juga dengan sikap yang negatif.
Ini berarti menurut Rosenberg (1960), bahwa
komponen affective akan selalu berhubungan dengan komponen cognitive dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten.
Ini berarti pula bahwa bila
seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap sesuatu stimulus, maka indeks cognitive-nya juga akan tinggi, demikian sebaliknya. Suatu hal yang penting dalam penerapan teori Rosenberg (1960) ialah dalam kaitannya dengan perubahan sikap. Karena hubungan komponen affective dengan komponen cognitive konsisten, maka bila komponen affective berubah maka komponen cognitive-nya juga akan berubah. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu komponen cognitive-nya, hingga akhirnya komponen affective-nya akan berubah. Dalam rangka pengubahan sikap, Rosenberg (1960) mencoba mengubah komponen affective terlebih dahulu dan dengan berubahnya komponen affective akan berubah pula komponen cognitivenya, yang akhirnya akan berubah pula sikapnya. Jadi pada dasarnya komponen sikap cognitive (objektif) adalah berupa rasionalitas yang didasarkan pada pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk perilakunya. Komponen sikap affective (subjektif) cenderung membangkitkan emosional baik suka maupun sedih atau tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak. Komponen sikap yang ketiga behavioral/overt action adalah kecenderungan bertindak nyata yang merupakan operasional dan kristalisasi komponen cognitive dan affective.
11
2. Hubungan sistem nilai dengan stimulus Pengertian cognitive dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan stimulus, melainkan juga mencakup beliefs atau kepercayaan tentang hubungan antara stimulus itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu (Rosenberg, 1960; dan Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962). Pemahaman tentang sistem nilai dalam suatu masyarakat tradisional atau masyarakat kecil sekitar hutan yang relevan dengan penelitian ini antara lain: Nilai ekonomi.
Nilai ini berkaitan erat dengan pandangan praktis atau
pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Kehadiran nilai ini mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun dalam menentukan standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan “harga” padanya (Siagian, 2004).
Nilai varietas
tanaman tradisional seperti tumbuhan dan hewan yang kurang dikenal akan tetapi mempunyai nilai nutrisi atau tumbuhan obat yang dipanen dari hidupan liar ternyata dapat menyediakan basis ekonomi yang penting bagi masyarakat membantu mereka untuk menyangga dan menopang hidupnya di kala rawan pangan (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai sosio-budaya. Manusia adalah makhluk sosial, setiap individu sangat mendambakan penerimaan yang ikhlas oleh orang lain terhadap keberadaannya. Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini akan tetapi, dikelilingi oleh komunitas dan alam semesta sekitarnya. Manusia harus memelihara hubungan baik dengan sesamanya, cinta kepada sesama, cinta dan rela berkorban untuk hak-hak generasi mendatang, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, bersifat harmoni dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Hal ini merupakan contoh nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Nilai sosial-budaya sangat perlu ditanamkan, dikembangkan dan dipupuk dalam kehidupan berkelompok dan bermasyarakat karena akan memperlancar segala usaha dan kebersamaan dalam komunitas, untuk mencapai tujuan bersama (Siagian, 2004 dan Fathoni, 2006). Contoh manfaat sosio-budaya dalam masyarakat adat adalah
12
sistem spritual dan kepercayaan masyarakat yang terpusat pada konsep sifat keramat, seperti hutan keramat dan lansekap keramat yang dapat berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai sosio-ekologi. Manusia hidup sangat tergantung kepada keberlanjutan sediaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Manusia secara fisik biologis merupakan bagian dari ekosistem alam di bumi ini. Manusia tidak dapat hidup tanpa terpeliharanya sistem lingkungan alam yang sehat dan berkelanjutan, seperti terpeliharanya fungsi ekosistem hutan untuk stabilisasi fungsi-fungsi hidrologis, daur oksigen, perlindungan kesuburan tanah dan longsor, menjaga stabilitas iklim, perlindungan sumberdaya keanekaragaman hayati, menjaga kesimbangan lingkungan, dan lain-lain. Kesemua ini merupakan contoh nilai-nilai ekologis yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia sepanjang masa. Nilai ekologis ini sangat erat hubungannya dan saling mendukung dengan nilai-nilai sosial, yang merupakan motivator untuk melakukan aksi bersama mencapai tujuannya, seperti halnya tujuan konservasi (McNeely, 1992). Cara bagaimana masyarakat melestarikan dan memanipulasi kekompleksan keanekaragaman hayati dan ekosistem memberi kontribusi kepada ketahanan ekosistem dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menanggulangi perubahan lingkungan (Soedjito dan Sukara, 2006). Nilai religius. Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata-mata berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian, 2004). Nilai-nilai religius inilah merupakan motivator utama dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi stimulus yang efektif dalam membangun sikap dan perilaku manusia di zaman itu. Begitu juga nilai-nilai religius agama Shinto yang merupakan kepercayaan rakyat Jepang kepada Kaisar Keramat Keturunan Dewa, dapat dipergunakan oleh
13
para pemimpin Jepang sebagai energi stimulus untuk melaksanakan pembangunan atas nama Kaisar yang keramat. Unsur-unsur ajaran Shinto itu terjalin langsung ke dalam kehidupan kekeluargaan dan kehidupan sehari-hari orang Jepang, sehingga menjadi
jaminan partisipasi sepenuhnya dari setiap individu rakyat
Jepang dalam pembangunan.
Nilai ini pula yang menjadi motivasi utama bagi
perilaku orang Jepang setelah perang dunia kedua berakhir dalam membangun negaranya (Koentjaraningrat, 1974 dan Siagian, 2004). Keterputusan suatu “sistem nilai” yang sudah mengakar di masyarakat secara turun temurun dengan “sistem nilai” baru yang diterapkan, seperti yang dibahas dalam “teori sistem nilai” yang dikemukan oleh Ndraha (2003), akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion. Sesuatu yang terpenting mungkin bukan yang terbaik, sementara yang terbaik belum tentu yang paling benar. Jadi yang ideal adalah, jika suatu hal merupakan yang terpenting, terbaik, dan juga terbenar. Kombinasi dari berbagai kategori nilai terpenting, terbaik dan terbenar pada skala masing-masing itulah yang membentuk sistem nilai dan titik temu. Ndraha (2005) mengemukakan, bahwa suatu nilai terputus atau tidak bertemu karena nilai tersebut tidak berada atau lepas dari sistem nilainya. Misalnya bangunan sistem nilai N dengan menggunakan tiga sumbu dengan nilai skala (X,Y dan Z) : penting (nilai-guna), baik (nilai-etika/moral), dan benar (nilai-fakta). Sistem nilai N tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini : Penting (nilai guna) (Y) Buruk
Salah
(X) Benar (nilai fakta)
(Z) Baik (nilai etika/moral)
Tak Penting(nilai guna) (Sumber: Ndraha, 2005)
Gambar 2. Sistem nilai 14
Gambar di atas dapat dibuat suatu “sistem nilai kedawung” yang direfleksikan dari stimulus, yaitu N= f(X,Y,Z).
Sumbu Y “penting” adalah
stimulus kedawung berupa nilai-guna/manfaat kedawung, sumbu X “baik” adalah stimulus kedawung berupa nilai-etik, moral, kerelaan, sikap atau perilaku untuk konservasi, dan sumbu Z “benar” adalah stimulus kedawung berupa nilai-fakta bioekologi dan kondisi populasi/regenerasi untuk terwujudnya konservasi. Walaupun sistem nilai dapat berubah, dan nilai N di dalam sistempun dapat berubah, namun N harus selalu berada di dalam ruang sistem sumbu X, Y dan Z, yaitu dalam gambar ruang pada skala garis kontinu, bukan berada dalam gambar ruang garis putus-putus.
Apabila nilai terlepas dari sistemnya, maka terjadi
keterputusan nilai, sehingga terjadilah discontinuity, inconsistency, disparity dan distortion terhadap konservasi kedawung. 3. Aliran informasi dalam ekosistem sebagai stimulus Menurut Rachman (1996), masyarakat tradisional menggunakan informasi alam sebagai pedoman utama untuk melakukan aksi atau tindakan dalam kehidupan mereka berinteraksi dengan lingkungan habitat alami.
Pakar
antropologi pertanian IPB yang pernah menjadi murid dari Terry A. Rambo yang disebutkan di atas
menggambarkan aliran informasi dalam suatu ekosistem
masyarakat tradisional sebagai berikut : Energi dan materi
Sinyal
Stimulus
Ditangkap pikiran masyarakat
Keputusan
Aksi atau tindakan
(Sumber : Rachman, 1996)
Gambar 3. Aliran informasi dalam ekosistem masyarakat tradisional Selanjutnya Rachman (1996) mengemukakan di dalam masyarakat tradisional
terjadi tukar menukar informasi antara sistem sosial masyarakat
dengan ekosistemnya, yaitu antara lain berupa : a. Input dari ekosistem ke sistem sosial masyarakat. Input ini antara lain dapat berbentuk informasi (misal: suara, penglihatan/visual). b. Input dari sistem sosial masyarakat ke ekosistem. Input informasi yang diperoleh sistem sosial masyarakat dapat menghasilkan informasi baru sebagai input terhadap ekosistem, misalnya informasi untuk aksi konservasi.
15
Berikut dikemukakan beberapa contoh informasi tentang sinyal-sinyal alam yang ditangkap oleh kelompok individu atau kelompok masyarakat menjadi stimulus bagi sikap dan selanjutnya menjadi informasi untuk bertindak atau beraksi. Tabel 1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus Sumber Informasi untuk stimulus (variabel bebas)
Kelompok yg dituju
1. Suara monyet
Pemburu
2. Cahaya merah terang di langit saat matahari terbenam 3. Banyak binatang mengungsi turun dari gunung 4. Air laut di pantai surut drastis dan banyak ikan terdampar 5. Buah kedawung menghitam di Pohonnya
Pelaut
6. Di hutan alam taman nasional hanya ada pohon-pohon kedawung berdiameter besar.
Masyarakat sekitar gunung Masyarakat pinggir pantai Masyarakat pendarung buah kedawung Pengelola dan masyarakat pendarung kedawung
Makna informasi jadi stimulus bagi sikap Kehadiran monyet
Informasi untuk bertindak (variabel tak bebas) Dekati, jerat atau tembak
Besok hari akan cerah dan baik Gunung segera akan meletus Bencana tsunami segera akan terjadi Buah kedawung masak dan siap dipanen
Berangkat untuk melaut
Proses regenerasi terhambat atau terputus, pohon kedawung akan menjadi langka dan bahkan punah
Segera mengungsi menjauhi gunung ke tempat aman Segera berlari menjauhi pantai ke tempat aman Segera memanen buah kedawung Lakukan segera pengayaan atau penanaman pohon kedawung di hutan alamtaman nasional
Pada Tabel 1 di atas dapat dipahami bahwa suatu sinyal adalah mengandung informasi, apabila informasi tersebut dapat dipahami dan disadari oleh kelompok yang dituju, maka sinyal akan menjadi stimulus dan akan mendorong menjadi sikap.
Selanjutnya stimulus-sikap kemudian akan
memberikan informasi untuk bertindak atau beraksi. Kalau semua proses ini dapat terjadi dan berlangsung baik dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, maka barulah tindakan atau aksi yang diinginkan sesuai dengan bentuk, arah dan sifat stimulus akan dapat terwujud dengan baik. Contoh yang baik dan mudah dipahami adalah seperti terjadi pada peristiwa bencana alam Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh yang telah menimbulkan banyak korban nyawa manusia. Sebelum Tsunami, terjadi gempa kuat yang berpusat di dasar laut, sesaat kemudian muncul dua fenomena atau sinyal alam sekaligus, yaitu air laut surut seketika dan banyak ikan terdampar.
Dua sinyal alam yang terjadi sekaligus ini, tidak lain adalah
merupakan dua variabel bebas yang merupakan informasi dari alam. Informasi tersebut mendorong dan merangsang sikap dan aksi masyarakat (variabel tak bebas). Masyarakat umumnya berlari mendekati laut berebut memungut ikan
16
yang terdampar, bukannya informasi ini menjadi stimulus bagi masyarakat untuk segera lari menjauhi pantai! Akhirnya mereka banyak menjadi korban tsunami. 4. Stimulus, sikap dan aksi konservasi Menurut Harris dan Hillman (1989)
dalam buku yang disuntingnya
“Foraging and Farming, The Evolution of Plant Expoitation”. Buku ini merupakan himpunan makalah hasil kongres Anthropology dan Archaeology, dimana lebih dari 850 ilmuwan peserta dari 70 negara dunia dalam “One World Archaeology” di London bulan September 1986.
Buku ini mengungkapkan
bahwa tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Namun sayangnya pengetahuan, pengalaman dan budaya ini tak dapat berkelanjutan karena terjadi suatu proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan terkini kehilangan arah yang memutuskan kelanjutan evolusi genetik tersebut dan tidak dipahami lagi oleh masyarakat generasi muda. Salah satu kegagalan manusia dalam berinteraksi dengan alam tumbuhan adalah karena manusia tidak memahami kedudukan serta makna rahasia alam tumbuhan dan hewan serta habitatnya dalam rangka kepentingan untuk keberlanjutan hidup manusia itu sendiri (Tompkinn dan Bird, 2004). Kunci dari pemaknaan tersebut antara lain adalah mengenal sinyal-sinyal dan fenomenafenomena, yang merupakan informasi kebenaran dari alam yang tersebar di alam tumbuhan, hewan dan habitatnya. Informasi itu semua, semestinya dapat menyatu padu dan mengkristal menjadi stimulus sikap dan menjadi informasi untuk aksi konservasi dan harmoni terhadap dunia tumbuhan dan habitatnya. Hal ini dapat terwujud dengan prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi dan hendaknya merupakan sekaligus sebagai wujud pertanggung-jawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta. Penelitian ini memfokuskan kepada masalah stimulus kedawung yang dapat mendorong dan terkait erat dengan sikap masyarakat pendarung maupun sikap pengelola untuk aksi konservasi kedawung. Sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat dan menunjukkan bentuk, arah, dan sifat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang dimiliki satu-kesatuan 17
masyarakat (society as a whole). Sikap ini berisikan komponen setidak-tidaknya berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Jadi sikap itu merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek yang disertai adanya pikiran dan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau bertindak dalam cara tertentu yang dipilihnya (Rosenberg dan Hovland, 1960; Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962) . Pengertian “stimulus” dalam penelitian ini adalah “sinyal”, “fenomena” atau “gejala”, yang diperlihatkan oleh komponen ekosistem hutan yang dapat menjadi perangsang masyarakat untuk bersikap terhadap sesuatu. Khusus dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah sinyal yang diinformasikan atau ditunjukkan oleh pohon kedawung yang dapat menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasinya. Sinyal baru dapat menjadi stimulus apabila dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen sikap (cognitive dan affective). Pada dasarnya komponen sikap terdiri dari objektif (cognitive) berupa rasionalitas yang didasarkan pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk sikapnya. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada pengelola maupun anggota masyarakat. Komponen sikap juga bersifat subjektif (affective) yang cenderung membangkitkan emosional baik sedih atau gembira, suka maupun tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak konservasi. Apabila keadaan seperti ini berlanjut tanpa terjadi dialog yang melibatkan komponen sikap lainnya (cognitive) bisa meghasilkan bentuk, sifat maupun arah sikap yang berbeda dari konservasi. Komponen sikap yang ketiga, yaitu kecenderungan bertindak nyata (overt action) yang mungkin mengarah kepada bentuk, sifat dan arah yang memperkuat konservasi atau malahan sebaliknya memperlemah atau bahkan menolak. Keterkaitan stimulus-sikap akan memungkinkan terjadinya keterkaitan yang erat dengan aksi konservasi.
Hal itu karena ada asumsi bahwa sifat
bioekologi dan manfaat akan dirasakan oleh masyarakat secara ekonomi, ekologi maupun
sosial-budaya.
Tetapi
sebaliknya
keterkaitan
stimulus-sikap,
memungkinkan pula putusnya keberlanjutan konservasi, sebagai contoh stimulus
18
manfaat ekonomi dari kedawung telah membuat sikap masyarakat pada periode Agustus-September setiap tahun untuk masuk hutan dan memanen semua buah yang masak untuk dijual ke tengkulak. Bahkan mereka mengambil semua buah kedawung yang berada di ranting tajuk terluar dengan memotong cabang tanpa menyisakan biji untuk regenerasi kedawung di hutan.
Sikap ini berdampak
negatif terhadap konservasi dan hal ini ditunjukkan dengan sulitnya terjadi regenerasi kedawung di hutan alam. Diagram pada Gambar 4 berikut ini menggambarkan aliran informasi dari sistem bioekologi kedawung ke sistem sosial masyarakat. Informasi untuk aksi konservasi
Sikap
(prasyarat : adanya kerelaan berkorban, hak kepemilikan jelas Aksi dan peraturan perundangan yang jelas konservasi
Masyarakat
Stimulus
Kedawung
(prasyarat : sinyal dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen cognitive dan affective dari setiap individu Sinyal informasi tentang manfaat, kelangkaan, harapan konservasi, dll
Gambar 4. Hubungan sinyal kedawung, informasi kelangkaan, stimulus bagi sikap dan informasi untuk aksi konservasi Dalam kerangka pemikiran ini dapat diperhatikan tiga hal utama, yaitu (1) sikap masyarakat, (2) stimulus yang berkaitan dengan sikap masyarakat, dan (3) aksi konservasi yang bakal terjadi. Gejala yang diperhatikan selama penelitian berjalan adalah stimulus yang direfleksikan oleh spesies tumbuhan obat kedawung dengan segala sifat-sifat bioekologi dan manfaatnya yang mempengaruhi pula sikap dan perilaku hewan dan manusia yang menggunakan spesies tumbuhan ini. Aspek lain yang diperhatikan pula adalah faktor yang terkait dengan akumulasi pengetahuan, pengalaman baik masyarakat yang sistematis yang diwariskan turun temurun yang amat relevan dengan sifat-sifat di luar bioekologi kedawung dalam habitatnya. Pengalaman seperti ini diwarisi masyarakat yaitu dengan membaca fenomena alam yang dijabarkan dalam pengalaman selama hidupnya. Konservasi kedawung dapat terwujud apabila sinyal dari kedawung yang menuntut untuk kebutuhan keberlanjutan hidupnya dapat menjadi stimulus kuat
19
yang dapat mendorong sikap masyarakat pendarung dan pengelola serta sekaligus memberikan informasi untuk aksi konservasi. Keterkaitan sikap-stimulus, memungkinkan pengelola TNMB dapat berperan aktif untuk mewujudkan konservasi bersama masyarakat dengan menghilangkan perbedaan atau bias dalam kesamaan pandang yang selama ini tidak terjadi. Fenomena yang terakhir yaitu hubungan sikap-stimulus menghasilkan bias dalam konservasi adalah suatu yang patut dikaji lebih lanjut karena ternyata kebijakan TNMB dan pengetahuan masyarakat terhadap konservasi ada kecenderungan berbeda.
Dalam hal ini bisa kemungkinan terjadi karena
kebijakan yang ditempuh bersama, baik oleh masyarakat maupun oleh pengelola menimbulkan bias. Untuk itu dapat dikaji dalam komponen pembentuk sikap, baik pengelola maupun masyarakat. Rangkaian informasi sinyal menjadi stimulus (sifat genetik tumbuhan obat kedawung, bioekologinya, guna, nilai, dan seterusnya) akan mendorong sikap masyarakat untuk beraksi. Artinya belum bisa disebut stimulus bagi masyarakat apabila sinyal, informasi, issu atau sifat genetik, bioekologi, guna atau nilai tertentu tumbuhan obat kedawung tersebut belum menjadikan masyarakat berlaku atau bertindak positif untuk melakukan konservasi. Oleh karenanya sesuatu issu, sinyal, fenomena atau informasi dan sebagainya barulah menjadi stimulus kalau masyarakat terdorong atau terangsang mewujudkan sikapnya terhadap issu, fenomena atau sifat tertentu dari suatu benda, dalam hal ini tumbuhan obat kedawung.
Topik disertasi ini dipilih berdasarkan pada pengalaman peneliti
selama lebih 10 tahun bekerja diprogram konservasi tumbuhan obat bersama masyarakat di TNMB. Peneliti meyakini bahwa berbagai sifat atau karakter tumbuhan obat kedawung haruslah menjadi stimulus bagi masyarakat pendarung untuk bersikap konservasi dan hal ini merupakan sebagai prasyarat terwujudnya aksi konservasi tumbuhan obat tersebut di TNMB. Pemantapan hubungan stimulus-sikap masyarakat yang didasarkan kepada kesatuan bulat komponen sikap merupakan kesatuan yang mendorong aksi masyarakat untuk konservasi. Pemantapan ini didapat dengan satu proses yang panjang dan kemungkinan bergenerasi secara informal. Pertanyaannya adalah
20
sejauh mana peranan dari masyarakat
sendiri turun temurun membentuk
pengetahuan ataukah peranan datang dan berasal dari pengelola. Kedua-duanya patut diuji dalam penelitian ini. Bagi disertasi ini konservasi adalah ideal kalau pada akhirnya masyarakat pendarung sendiri yang lebih besar peranannya untuk melaksanakan konservasi kedawung. Keberlanjutan suatu konservasi merupakan harapan semua pihak, tetapi bagaimana pengendalian sikap masyarakat agar menjadi masyarakat yang konservasionis? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini termasuk juga hendak dijawab dalam penelitian ini, yaitu stimulus apa saja yang seharusnya menjadi pendorong dan pengendali sikap masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi. 5. Hipotesis Penelitian Untuk mengarahkan penelitian agar dapat menjawab tujuan penelitian dengan
tepat dan fokus, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :
“Kegagalan konservasi kedawung terjadi karena stimulus kedawung yang telah dan sedang terjadi di ekosistem hutan alam TNMB tidak menjadi sikap masyarakat maupun pengelola taman nasional, serta tidak adanya kerelaan berkorban masyarakat maupun pengelola untuk melakukan aksi konservasi”. Hipotesis penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut, bahwa kegagalan konservasi kedawung di TNMB terjadi karena : 1. Stimulus tidak sejalan dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola. 2. Sikap masyarakat dan sikap pengelola tidak berkaitan erat dengan stimulus. 3. Keterkaitan stimulus dan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola tidak berjalan simultan. 4. Terjadi bias pemahaman stimulus dengan aksi konservasi oleh masyarakat dan pengelola 5. Tidak ada kerelaan berkorban masyarakat dan pengelola untuk aksi konservasi. 6. Perbedaan pengalaman dalam sikap dan aksi konservasi antara masyarakat dengan pengelola. 7. Masyarakat dan atau maupun pengelola tidak memahami bahwa stimulus, sikap dan aksi konservasi itu dilaksanakan simultan.
21
Hipotesis penelitian ini dengan kata lain mendasarkan bahwa upaya-upaya konservasi kedawung tidak akan terwujud apabila tidak ada persamaan dan persepahaman sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional terhadap stimulus kedawung yang menginformasikan tuntutan kebutuhan tumbuhan obat kedawung untuk konservasinya di hutan alam. Persepahaman akan terjadi apabila sikap masyarakat dan sikap pengelola taman nasional kedua-duanya sejalan dengan evolusi pengalaman masyarakat dalam konservasi, domestikasi dan budidaya sumberdaya tumbuhan hutan. Taman nasional belumlah berfungsi sebagai sumberdaya “bank genetik” sebagaimana diharapkan untuk pengembangan komoditi baru pertanian dan kehutanan. Sebaliknya apabila terjadi pemahaman yang utuh terhadap stimulus pada kedua belah pihak, baik masyarakat pendarung maupun pengelola taman nasional, terhadap tuntutan stimulus sumberdaya alam taman nasional itu sendiri, maka sikap konservasi semua pihak dapat terefleksi seutuhnya dalam aksi konservasi di lapangan, sehingga dengan demikian terjadi sustainability. Hipotesis disertasi ini mengarahkan bahwa konservasi kedawung dan hutan yang dikenal hari ini sepatutnyalah tak lain dari estafet tradisional and local knowledge dari sustainability “domestication of plant resources” yang prosesnya adalah evolusi tumbuhan dalam ekosistem atau habitat dimana terjadi interaksi masyarakat dengan tumbuhan itu. Tentu saja interaksi tersebut terjadi atas dasar kebutuhan dan upaya trial and error dari masyarakat terhadap tumbuhan tersebut sehingga sampai kepada domestikasi. Evolusi merupakan suatu proses pembelajaran masyarakat terhadap tumbuhan liar dalam suatu habitat hutan alam secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Konservasi yang terjadi masa ini adalah hal yang tak dapat dipisahkan dari proses yang kemungkinan terputus sambungannya ke masa lalu (Harris dan Hillman, 1989). Perilaku masyarakat pendarung kedawung diduga tidak ada yang dengan sengaja menyemaikan biji untuk regenerasi kedawung di hutan, sehingga dampaknya sangat kurang sekali atau tidak terjadi proses regenerasi. Konservasi mungkin juga tidak terjadi di lapangan karena pengalaman masyarakat pendarung kedawung kurang tergali oleh pengelola, sehingga pengelola tidak dapat membuat umpan balik (feedback) kepada masyarakat pendarung.
22
Hipotesis disertasi ini juga mengarahkan bahwa prasyarat keberlanjutan konservasi erat hubungan dengan kerelaan berbuat atau berkorban oleh masyarakat pendarung maupun pengelola. Misalnya mutlak adanya kerelaan untuk menyemaikan biji kedawung di hutan atau memindahkan anakan ke areal yang terbuka yang sesuai untuk kebutuhan hidup anakan kedawung. Hal ini harus dilakukan manusia, karena berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian penyebar biji kedawung terutama dilakukan oleh manusia. Kerelaan berbuat dan berkorban ini menurut fakta sejarah dari berbagai masyarakat etnis maupun bangsa, sangat kuat kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan, nilai-nilai keyakinan, norma-norma atau nilai-nilai religius yang dianut seseorang atau kelompok (Krech, Crutchfield & Ballachey, 1962 dan Siagian, 2004) Penyelesaian masalah dalam penelitian ini
adalah berpangkal dari
hipotesis di atas diarahkan agar masyarakat, pengelola (pemerintah) dan perguruan tinggi sepatutnya bersama-sama melanjutkan proses pembelajaran dengan tidak melupakan pengalaman masyarakat pendarung yang telah terlebih dahulu bertungkus lumus berinteraksi dengan sumberdaya tumbuhan di habitat mereka. Keterlibatan upaya konservasi oleh “pengelola” dan “perguruan tinggi” perlu diupayakan terus menerus untuk membangun sikap masyarakat yang konservasi. Tanpa itu konservasi tak dapat berlanjut dengan memuaskan, karena pada kenyataannya sustainability itu secara aktual di lapangan sehari-hari sesungguhnya ada sepenuhnya ditangan masyarakat. Titik temu perlu dicari sehingga masyarakat kecil seperti masyarakat hutan dan kebijakan pemerintah patut bersambut dari dalam masyarakat hutan atau masyarakat tradisional manapun. Hal ini memerlukan satu kearifan bersama dari kedua belah pihak. Kemungkinan besar tidak adanya titik temu itulah kebijakan konservasi menjadi
kurang atau tidak dapat berlanjut menjadi kenyataan di
lapangan.
B. Metoda Penelitian ini difokuskan hanya pada konservasi pohon kedawung, seperti disebutkan pada bab pendahuluan, khusus untuk memahami bagaimana sikap masyarakat yang terkait dengan konservasi kedawung.
Penelitian
ini
23
menekankan hubungan antara sikap masyarakat pendarung dan konservasi kedawung sebagaimana ditunjukkan pada tujuan penelitian dan mengacu kepada kerangka pemikiran dan hipotesis. Informasi atau input data yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah bersumber dari (1) hasil penelitian bioekologi kedawung selama lebih kurang 10 tahun; (2) penelitian Mujenah (1993) tentang interaksi masyarakat dengan tumbuhan obat di TNMB digunakan untuk acuan penelusuran kelompok masyarakat pendarung yang menjadi kajian; (3) pengalaman masyarakat pendarung dan pengelola; dan (4) dari berbagai literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap dengan cara penyesuaian dan penyempurnaan metoda setelah diuji di lapangan secara berulang. 1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian mengambil lokasi contoh di TNMB sebagai habitat kedawung dan difokuskan pada masyarakat pendarung di desa Andongrejo dan Curahnongko. Masyarakat desa ini dipilih, karena merupakan masyarakat desa yang terbanyak dan sudah lama secara turun temurun memanen tumbuhan obat kedawung di hutan semenjak zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Desa Andongrejo merupakan desa baru pemekaran dari desa Curahnongko, yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional, terutama masyarakat kampung Timur Sawah yang hampir semuanya pernah menjadi pemungut buah kedawung.
Masyarakat dari kampung inilah yang terbanyak terlibat dalam
program budidaya kedawung sejak tahun 1994 di zona rehabilitasi, yang merupakan program kerjasama antara pengelola TNMB, Fakultas Kehutanan IPB dan LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia). Waktu pengambilan data bio-ekologi kedawung di lapangan dilakukan secara bertahap sejak tahun 1995, sedangkan pengambilan data dan pengujian sikap masyarakat dilakukan selama 3 bulan, yaitu mulai Februari sampai April 2006. Pengolahan data, analisis dan penulisan disertasi dilakukan sampai bulan Mei 2007.
24
2. Data yang dikumpulkan a. Karakteristik kawasan lokasi penelitian, meliputi kondisi potensi fisik dan biologi taman nasional dan demografi. Data diambil dari dokumen yang tersedia di kantor TNMB. b.
Karakteristik nilai ekonomi dan bio-ekologi kedawung.
Data dan
informasi diambil dari semua laporan hasil penelitian dan literatur yang berhubungan dengan kedawung, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat pendarung dan pengelola yang sudah banyak berpengalaman dengan kedawung, pengamatan langsung di lapangan. Data dan informasi ini digunakan untuk bahan
menyusun kuesioner pernyataan stimulus
kedawung untuk konservasi. c.
Pernyataan-pernyataan stimulus kedawung, pernyataan aksi konservasi dan pernyataan kerelaan berkorban.
Pernyataan-pernyataan ini dirumuskan
dari sumber informasi yang disebutkan dalam butir 2 di atas dengan menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat melalui analisis kandungan (content analysis) hasil wawancara mendalam kepada 5 orang tokoh masyarakat pendarung kedawung dan 5 orang staf taman nasional terpilih yang dianggap banyak berpengalaman dengan kedawung. d.
Sikap masyarakat dan pengelola tentang konservasi kedawung yang diuji melalui wawancara secara sensus kepada 80 responden masyarakat pendarung kedawung di dua desa (Andongrejo dan Curahnongko) dan kepada 40 staf pengelola dengan menggunakan kuesioner pernyataan stimulus konservasi kedawung yang materinya disusun dan disempurnakan secara bertahap.
e.
Sikap masyarakat dan pengelola yang diukur dengan skala (skor) (Walgito, 2003), yaitu : sikap terhadap stimulus nilai manfaat ekonomi, sikap terhadap stimulus nilai manfaat obat, sikap terhadap stimulus nilai manfaat ekologis, sikap terhadap stimulus kondisi populasi dan regenerasi kedawung, aksi nyata dan kerelaan berkorban untuk
konservasi
kedawung. f.
Kebijakan pengelolaan, berupa peraturan perundangan dan programprogram kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan Taman
25
Nasional Meru Betiri, periode tahun 1999 – 2004 dan peroide 2004 – 2009, khususnya yang berkaitan dengan konservasi kedawung. 3. Teknik pengumpulan data a. Mengumpulkan dan mengkaji semua dokumen hasil penelitian, laporanlaporan dan buku teks
mengenai kedawung dan analisis data hasil
penelitian bioekologi kedawung di TNMB yang penulis lakukan sejak tahun 1994 bersama-sama dengan mahasiswa program sarjana yang langsung penulis bimbing, yaitu Ahmadi (1994); Konsiliwati (1994); Baihaki (1995); Mirwan (1995); Sihotang (1996); Nugroho (1998); Rinekso (2000); Winara (2001); Ardiani (2001); Iskandar (2003); dan Subastian (2007). b.
Wawancara mendalam (indeepth interview) terhadap 5 tokoh masyarakat pemungut kedawung dan 5 tokoh pengelola taman nasional yang dianggap banyak berpengalaman mengenai kedawung.
Dalam
penelitian ada satu tokoh masyarakat pendarung yaitu mbah Setomi dari kampung Timur Sawah desa Andongrejo yang banyak memberikan masukan yang dikutib dalam disertasi ini. c.
Wawancara dengan pengambil buah kedawung secara sensus di dua desa, yaitu desa Andongrejo dan desa Curahnongko berjumlah 80 orang dan pengelola taman nasional yang bertugas di lapangan dipilih 40 orang. Wawancara menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan hasil butir 1 dan butir 2, tentang pernyataan stimulus kedawung, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi. Wawancara dengan masyarakat menggunakan bahasa Jawa yang dibantu penterjemah Sukirman dari staf LSM KAIL yang sudah bekerja dalam program selama 12 tahun bersama masyarakat.
Masyarakat pendarung dari desa Andongrejo dan desa
Curahnongko diketahui dengan cara penelusuran berdasarkan acuan hasil penelitian Mujenah (1993). d.
Untuk mengkaji kebijakan pengelolaan dilakukan analisis kandungan tentang : (1) Peraturan perundangan yang berkaitan, (2) Rencana
26
strategis pengelolaan TNMB, dan (3) Rencana karya lima tahun TNMB periode 1999 – 2004 dan Periode 2004 – 2009. 4. Pengukuran sikap Menurut Walgito (2003) mengukur sikap bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, salah satu kesulitannya adalah karena objek yang diukur tidak tampak, tidak dapat langsung dilihat, tidak langsung dapat dipegang dan yang diamati adalah manifestasi dari kehidupan psikis seseorang. Pengukuran sikap agar tidak terjadi variasi atau bias, maka alat yang digunakan untuk mengukur harus distandarisasi. Standarisasi alat ukur dalam penelitian ini dilakukan melalui pengujian berulang-ulang pernyataan stimulus dan aksi konservasi yang telah disusun kepada tokoh-tokoh masyarakat pendarung dan pengelola. Hasil pengujian ini dilanjutkan dengan seleksi, penyempurnaan dan penghalusan pernyataan stimulus dan aksi konservasi. Pernyataan-pernyataan yang terpilih diambil dari seluruh pernyataan yang telah disaring melalui proses uji coba berulang kali terhadap responden/subjek uji coba. Kemudian dipilih pernyataan-pernyataan yang cukup baik, baik yang bersifat favorable atau positif maupun bersifat unfavorable atau negatif. Selanjutnya Walgito (2003) menyatakan, bahwa variasi hasil pengukuran sikap tidak hanya ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber dari faktor-faktor lain, yaitu (1) keadaan objek yang diukur, (2) situasi pengukuran, (3) alat ukur yang digunakan, (4) penyelenggaraan pengukuran, dan (5) pembacaan atau penilaian hasil pengukuran. Faktor-faktor ini juga menjadi perhatian yang penting dalam penelitian ini. Menurut Walgito (2003), pengukuran sikap secara garis besar ada dua macam cara, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung terdiri dari dua macam, yaitu langsung berstruktur dan langsung tidak berstruktur. Secara langsung tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survei (misal public opinion survey). Sedangkan cara langsung yang berstruktur, yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan alat berupa pernyataan-pernyataan yang disusun sedemikian rupa dan langsung diujikan kepada subjek yang diteliti.
27
Penelitian ini melakukan pengukuran sikap secara langsung. Penelitian tahap pendahuluan pengukuran sikap dilakukan secara langsung tidak berstruktur, kemudian dilanjutkan pengukuran sikap secara langsung dengan berstruktur. Menurut Wang (1932), Thurstone and Chave (1929), Likert (1932), Bird (1940), dan Edwards dan Kilpatrick (1948) dalam Edwards (1957) menyarankan kriteria untuk menyusun pernyataan stimulus yang digunakan untuk mengetahui konstruksi sikap, sebagai berikut : 1. Menghindari pernyataan yang berbentuk waktu masa lalu. 2. Menghindari pernyataan yang interpretasinya memerlukan kecakapan 3. Menghindari pernyataan yang bisa menimbulkan pengertian lebih dari satu 4. Menghindari pernyataan yang tidak relevan dengan pertimbangan objek psikologis 5. Menghindari pernyataan yang mungkin dibenarkan oleh setiap orang atau sebaliknya 6. Memilih pernyataan yang diyakini mencakup seluruh lingkup minat affective 7. Menggunakan bahasa pernyataan yang sederhana, jelas dan langsung. 8. Menggunakan pernyataan yang singkat, tidak lebih dari 20 kata 9. Setiap pernyataan mengandung hanya satu topik yang lengkap 10. Menhindari pernyataan yang bermakna universal, seperti kata semua, selalu, tidak atau tanpa yang dapat menimbulkan dua pengertian 11. Kata-kata hanya, masih dan lain-lain yang serupa seharusnya digunakan dengan hati-hati dengan penulisan pernyataan yang tidak berlebihan. 12. Sedapat mungkin pernyataan dibuat dalam bentuk kalimat sederhana dan tidak kalimat kompleks 13. Menghindari kata-kata yang tidak dimengerti oleh responden 14. Menghindari penggunaan pernyataan negatif ganda Pengukuran
sikap
menggunakan
pernyataan-pernyataan
dengan
menggunakan 5 alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan. Subjek yang diteliti diminta memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disediakan. Lima alternatif jawaban diberi skor sebagai berikut (Walgito, 2003) : - sangat suka (strongly like), diberi skor 5 atau 1 sesuai pernyataan positif atau negatif
28
- suka (like), diberi skor 4 atau 2, sesuai bentuk pernyataan positif atau negatif - tidak tahu atau tidak mempunyai pendapat (undecided), diberi skor 3 - kurang suka (dislike), diberi skor 2 atau 4, sesuai bentuk positif atau negatif - tidak suka (strongly dislike), diberi skor 1 atau 5, sesuai bentuk positif atau negatif. Subjek yang diwawancara langsung diminta memilih salah satu kemungkinan jawaban terhadap pernyataan yang diajukan kepadanya, dengan memberi tanda silang (x) jawaban mana yang disukai atau disetujui. Jadi dalam tiap-tiap pernyataan akan memberikan gambaran bagaimana seseorang dalam menanggapi pernyataan tersebut. Nilai skor tertinggi diberikan kepada sikap positif, sedangkan nilai skor yang terendah diberikan kepada sikap negatif. Validitas suatu alat ukur dapat diketahui melalui hasil pengolahan statistika, yaitu dilihat dari standar deviasi, modus dan median yang diolah dengan menggunakan program excel. Apabila nilai skor yang diperoleh oleh seseorang makin tinggi, merupakan indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap, demikian sebaliknya. 5. Tahapan penelitian Penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari pengumpulan data, mengolah data dan menganalisisnya yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan tujuan penelitian dan batasan-batasan penelitian yang dituangkan dalam kerangka pemikiran dan hipotesis. Tahapan penelitian dilakukan seperti dikemukan pada diagram berikut :
29
Tahap 1. Menyusun karangan cerita tentang kedawung berdasarkan hasil-hasil penelitian bioekologi kedawung dan pengalaman selama 10 tahun terakhir.
Tahap 2. Revisi karangan cerita untuk bahan indepth interview dengan pertanyaan-pertanyaan Tahap 3. Melakukan indepth interview kepada 10 orang responden terpilih yang dianggap banyak tahu tentang kedawung (5 orang staf TNMB, 5 orang tokoh masyarakat) Tahap 4. Menganalis kandungan (content analysis) tentang pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kedawung dari 10 orang responden. Tahap 5. Perumusan Sikap Harapan Kedawung, berdasarkan Content Analysis pernyataanpernyataan 10 responden, pengamatan lapangan dan hasil-hasil penelitian bioekologi kedawung yang sudah dilakukan selama 10 tahun dan literatur lainnya. Tahap 6. Merumuskan pernyataan-pernyataan : stimulus kedawung, aksi konservasi dan kerelaan berkorban untuk konservasi dengan menggunakan bahasa masyarakat untuk diujikan kepada masyarakat pendarung dan pengelola Tahap 7. Uji coba, menyeleksi dan memperbaiki kalimat pernyataan stimulus, aksi konservasi dan kerelaan berkorban kepada masyarakat pendarung dan pengelola yang difokuskan terhadap untuk menjawab tujuan penelitian. Tahap 8. Wawancara secara sensus kepada 80 responden masyarakat pendarung kedawung dan 40 orang pengelola dengan kuesioner yang dihasilkan pada tahap 7. Tahap 9. Pengolahan dan analisis data, menggunakan program excel, analisis ragam satu arah (oneway anova) dan pearson correlation untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berdasarkan tujuan penelitian dan perumusan permasalahan kebijakan pengelolaan taman nasional. Tahap 10. Kesimpulan, Implikasi teori dan kebijakan
Gambar 5. Diagram tahapan penelitian 6. Stimulus kedawung Berdasarkan analisis kandungan (content analysis) dari hasil “wawancara mendalam” (terhadap 5 tokoh masyarakat pendarung dan 5 tokoh pengelola taman nasional pada tahap penelitian pendahuluan), maka stimulus kedawung dapat diketahui mengandung 3 kelompok stimulus.
Ketiga kelompok stimulus itu
adalah : (1) stimulus alamiah yang berkaitan dengan karakteristik bioekologi kedawung; (2), stimulus manfaat yang berkaitan dengan kepentingan atau kegunaan kedawung bagi masyarakat; dan (3) stimulus religius yang berkaitan
30
dengan nilai religius, nilai akhlak dan nilai kearifan yang ada dalam masyarakat yang memotivasi sikap untuk rela berkorban bagi konservasi kedawung. Berikut ini disajikan hasil penelitian tahap 1 sampai tahap 7 tentang pernyataan stimulus, pernyataan aksi konservasi dan pernyataan kerelaan berkorban untuk diujikan terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola. Secara bertahap pernyataan-pernyataan yang disusun disempurnakan dan dihaluskan melalui uji-coba kepada masyarakat
dan kepada pengelola, seperti tahapan
penelitian yang telah dikemukakan pada Gambar 5. Rumusan artikulasi pernyataan-pernyataan stimulus kedawung ini merupakan kristalisasi : (1) analisis kandungan dari wawancara mendalam (indeepth interview) dan mendalam
dengan tokoh masyarakat pendarung
kedawung dan termasuk juga staf pengelola yang dianggap sudah berpengalaman dengan kedawung, (2) hasil penelitian penulis sendiri bersama mahasiswa yang penulis bimbing, (3) hasil-hasil penelitian kedawung lainnya dan (4) berbagai literatur tentang kedawung dari dalam dan luar negeri. Hasil analisis kandungan wawancara dapat dilihat pada Lampiran 3. Artikulasi pernyataan-pernyataan stimulus kedawung, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi menggunakan bahasa masyarakat sehari-hari (bahasa Jawa), agar benar-benar dapat dipahami, dimengerti dan dihayati oleh masyarakat. Hasil akhir pernyataan-pernyataan disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rumusan pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi yang diuji terhadap sikap masyarakat dan sikap pengelola
Kebutuhan konservasi kedawung Nilai Manfaat Ekonomis (Stimulus manfaat) Buah pohon kedawung diharapkan dapat dipanen secara lestari menjadi sumber mata pencaharian masyarakat hutan yang bernilai ekonomi tinggi. Adanya nilai manfaat ini akan memancing masyarakat untuk mengambil buahnya dan sekaligus berarti ada peluang untuk penyebaran biji yang jauh dari pohon induknya. Artikulasi nilai manfaat ekonomis ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004).
Pernyataan stimulus, aksi dan kerelaan berkorban yang diuji untuk mengetahui sikap masyarakat dan sikap pengelola 1. Hati berbunga-bunga melihat pohon kedawung berbuah lebat yang telah menghitam (Bungah ndelok wit kedawung wohe akeh sing tuwo) 2. Saat pohon kedawung berbuah, masyarakat masuk hutan untuk memanen buahnya (Pas wayahe kedawung akeh wong mlebu alas ngapek). 3. Pohon kedawung sudah sejak lama menjadi sumber penghasilan masyarakat (Wit kedawung wis suwe dadi tambah penghasilane masyarakat). 4. Biji kedawung banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri jamu (Woh kedawung wis suwe digunakne pabrik jamu)
31
Nilai Manfaat Obat (Stimulus manfaat) Pohon kedawung merupakan tumbuhan obat atau pohon sumber waras (istilah dari masyarakat). Bijinya dimanfaatkan secara lestari untuk mengobati berbagai macam penyakit perut dan untuk memelihara kesehatan pencernaan, sakit perut nyeri dan mulas, nyeri dan kejang-kejang pada waktu haid, atau akan bersalin, demam nifas, kolera, mulas, masuk angin, antidiare, mencret, borok, kudis, luka, sakit pinggang, sakit jantung mengipas, cacingan, radang usus, penguat lambung, cacar air dan lainlain. Artikulasi nilai manfaat obat ini dirumuskan berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung dan studi literatur (Amzu, 2004) Nilai Fungsi Ekologis (Stimulus alamiah) • Pohon kedawung sebagai pohon tertinggi pada strata tajuk hutan dengan diameter batang yang besar dan tajuk lebar serta melindungi berbagai jenis pohon lain yang ada di sekitarnya. • Anakan kedawung membutuhkan tempat tumbuh di areal-areal terbuka dan lereng-lereng bukit terjal yang mendapatkan sinar matahari langsung. • Kedawung merupakan tumbuhan soliter, dengan jarak satu individu pohon dengan individu pohon sejenis lainnya berjauhan, lebih dari 30 m. • Buah muda kedawung menjadi makanan satwa Lutung/Budeng. • Kedawung pada musim berbunga memerlukan penyerbuk bunga antara lain oleh lebah madu dan sekaligus bisa menyumbangkan nektar dan senyawa biologi lainnya untuk pakan lebah madu, yang akhirnya sangat bermanfaat bagi manusia. Artikulasi pernyataan stimulus nilai manfaat ekologis ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004 )
5. Biji kedawung dipakai sendiri untuk obat sakit perut kembung (Biasane woh Kedawung dikanggokne dewe kangge loro weteng). . 6. Biji kedawung selalu ada disimpan di rumah untuk obat (Ono woh kedawung sing disimpen nduk omah kangge obat). 7. Biji kedawung berkhasiat untuk obat sakit perut kembung (Woh kedawung kangge nambani wong loro weteng). 8. Pohon kedawung adalah tumbuhan obat yang banyak khasiatnya (Wit kedawung akeh khasiate kangge sekabehane obat),
9. Pohon kedawung banyak tumbuh di lereng bukit yang terjal (Wit kedawung akeh thukul nduk lemah sing miring-miring) 10. Pohon kedawung adalah pohon besar dan tinggi sebagai pengayom tumbuhan lainnya di hutan (Wit kedawung wit sing gedhe ngayomi kanggo wit sing liyane nduk alas) 11. Pohon kedawung yang sedang berbunga banyak didatangi lebah madu (Wit kedawung sing wis kembang ditekani tawon) 12. Pohon kedawung menggugurkan daunnya sebanyak 1 atau 2 kali dalam setahun (Wit kedawung nggrontokne godong ping pisan utowo loro setahun) 13. Buah kedawung yang muda dimakan satwa budeng (Woh kedawung sing ijik enom sok dipangan budeng)
32
Kondisi populasi dan regenerasi , terutama informasi kelangkaan (Stimulus alamiah) • Persen perkecambahan biji kedawung secara alami (tanpa perlakuan) sangat rendah, hanya sekitar 8 %. • Saat ini individu pohon kedawung di hutan alam sebagian besar terdiri dari individu-individu dari pohon tua, sangat sedikit individu-individu dari pohon muda di hutan. • Anakan kedawung sangat sulit dijumpai di hutan alam • Anakan kedawung sangat jarang atau tidak pernah dijumpai hidup di bawah atau sekitar pohon induknya. Artikulasi pernyataan stimulus alamiah, tentang kondisi populasi dan regenerasi kedawung ini dirumuskan berdasarkan penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Amzu, 2004) Aksi dan Kerelaan berkorban (Stimulus religius) • Pohon kedawung mengharapkan masyarakat tidak memangkas atau memotong cabang-cabang, agar buahnya tetap berbuah lebat. Karena pada cabang-cabang pinggir tajuk inilah buahnya yang banyak tumbuh dan sebagian disisakan/disisihkan untuk sumber benih. • Pohon kedawung membutuhkan bantuan tangan manusia untuk menanam atau menyebarkan bijibijinya ke tempat-tempat yang terkena sinar matahari langsung dan berjauhan dengan pohon induknya. • Kedawung membutuhkan bantuan manusia untuk mempercepat dan memperbesar persen kecambah, kulit biji kedawung yang tua berwarna hitam dan keras memerlukan perlakuan, yaitu bisa dengan memotong sedikit ujung kulit biji dengan gunting. Atau merendam biji dengan air panas 5 menit, lalu dengan air dingin satu malam, lalu ditiriskan untuk langsung dikecambahkan. Artikulasi aksi dan kerelaan berkorban untuk konservasi kedawung ini dirumuskan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan wawancara dengan tokoh masyarakat pendarung (Zuhud, 2003; Amzu, 2004)
14. Anakan kedawung sangat jarang dijumpai tumbuh menjadi besar di sekitar pohon induknya (Thukulan kedawung arang-arang thukul nduk ngisore wite) 15. Pohon kedawung yang masih kecil/muda sangat jarang ditemukan di kawasan hutan alam (Thukulan kedawung arang-arang ditemoni nduk alas) 16. Anakan kedawung hanya hidup dan tumbuh di tempat terbuka terkena sinar matahari (Thukulan kedawung thukule ndik panasan sing panas) 17. Pohon kedawung dewasa lebih banyak dibanding pohon yang mudanya di hutan alam (Wit kedawung luweh akeh dibandingne karo thukulan kedawung nduk alas)
18. Menyemaikan atau menyebarkan biji kedawung di hutan alam (Nguncalke who kedawung nduk alas) 19. Buah kedawung yang tergantung di pinggir tajuk terluar tidak semuanya dipungut (Woh kedawung gak dipek kabeh sing ora gedok) 20. Biji kedawung yang dipanen sendiri ada yang dijadikan bibit (Woh kedawung sing dipek ono sing saloke digawe bibit) 21. Kedawung saat ini perlu pengayaan atau penanaman di hutan alam (Wit kedawung saiki perlu kudu ono sing nandur nduk alas) 22. Ada buah/biji kedawung yang tercecer diperjalanan pulang di hutan saat memikulnya sehabis memanen (Ono woh kedawung kececer turut dnalan pas muleh panen ko alas) 23. Biji kedawung direndam air panas 5 menit , dalam air biasa 1 malam, dan kemudian disemaikan (Woh kedawung dikum banyu panas limang menit, terus dikum banyu biasa sewengi, terus dithukulne). 24. Biji kedawung untuk mudah tumbuh dipotong sedikit ujung kulit bijinya (Woh kedawung ben ndang thukul dilongi saithik pucuke) 25. Jarak tanam pohon kedawung di lahan rehabilitasi diperlebar minimal 30 m (Jarak tanduran kedawung nduk tetelan di arangne kiro-kiro 30 m). 26. Patroli dan larangan masyarakat masuk hutan, bukan kegiatan penting yang harus dilakukan (Keliling patroli lan gak oleh mlebu nang alas, ngak perlu dilakokne) 27. Pohon kedawung untuk penyebaran bijinya di hutan alam perlu bantuan manusia (Wit kedawung perlu dibantu wong nyawurne woh kedawung nduk alas).
33
28. Pohon kedawung ditanam di lahan rehabilitasi tanpa imbalan menanam palawija (Wit kedawung ditandur nang lahan tetelan tanpo upah nandur palawija). 29. Pohon kedawung ditanam di lahan pertanian milik pribadi masyarakat (Wit kedawung ditandur nduk tegalane dhewe-dhewe). 30. Permudaan dan perbanyakan pohon kedawung di hutan alam tidak bisa diserahkan kepada alam saja (Thukulan lan kelestariane kedawung ora biso diserahne wae neng alam) 31. Biji kedawung yang dipanen selama ini, ada yang disisakan/ditinggalkan di hutan (Woh kedawung dipanenni ono dingengehi nduk alas).
7. Pengolahan dan analisis data Data diolah dengan progam excel dan dianalisis berdasarkan nilai rata-rata skor (skala) untuk mengetahui keterkaitan stimulus dan sikap, yang antara lain gunanya untuk membedakan antara sikap masyarakat dan pengelola. Olahan seperti ini diharapkan dapat menganalisis sikap dan perilaku masyarakat dan pengelola terhadap konservasi kedawung.
Hasil olahan data disajikan dalam
bentuk tabel dibantu dengan gambar. Potensi Stimulus yang dikeluarkan oleh pohon kedawung dapat menjadi stimulus bagi aksi konservasinya apabila nilai rata-rata skor masing-masing pernyataan mencapai sama atau melebihi nilai 3,8 yaitu rata-rata masyarakat dan pengelola yang menyatakan sikapnya sangat suka atau suka, sangat setuju atau setuju terhadap suatu pernyataan. Selain nilai skor rata-rata juga dihitung nilai simpangan baku (standar deviasi), modus dan median untuk memastikan apakah nilai rata-rata sudah mendekati dan menggambarkan fakta yang sebenarnya atau tidak. Data hubungan karakteristik masyarakat dan sikapnya juga diolah dan diuji dengan menggunakan statistik nonparametrik, melalui Analisis Ragam Satu Arah (Oneway Anova) dan Pearson Correlation dengan SPSS (Siegel, 1956; Sudjana, 2002; dan Rahayu, 2005). Peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional dan kegiatan pengelolaan taman nasional dianalisis kandungannya (content analysis) terhadap peranan stimulus dalam aksi konservasi.
Sehingga dapat
diketahui apakah peraturan perundangan dan kegiatan pengelolaan telah mengandung stimulus untuk aksi konservasi atau tidak.
34