21
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keterampilan Sosial (Social Skill) Keterampilan sosial merupakan perilaku yang perlu dipelajari, karena memungkinkan individu dapat berinteraksi, memperoleh respon positif atau negatif Cartledge dan Milburn (1986: 143-149). Karena itu keterampilan sosial merupakan kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang termasuk di dalamnya peserta didik, agar dapat memelihara hubungan sosial secara positif dengan keluarga, teman sebaya, masyarakat dan pergaulan di lingkungan yang lebih luas. Menurut Maryani (2011: 18) keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk menciptakan hubungan sosial yang serasi dan memuaskan berbagai pihak, dalam bentuk penyesuaian terhadap lingkungan sosial dan memecahkan masalah sosial. Tim Broad-Based Education
menyatakan
keterampilan
sosial
sebagai
keterampilan
berkomunikasi dengan empati dan keterampilan bekerjasama.
Komunikasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi di dalamnya ada keinginan menimbulkan kesan yang baik untuk menumbuhkan keharmonisan maupun kesinambungan hubungan, serta solusi terhadap suatu permasalahan. Selanjutnya
Cadler
menjelaskan
dikembangkan di kelas sebagai berikut.
pentingnya
keterampilan
sosial
22
Keterampilan sosial sangat diperlukan dan harus jadi prioritas dalam mengajar. Mengajar bukan hanya sekedar mengembangkan keterampilan akademik. Hak yang sangat penting dalam mengembangkan keterampilan sosial adalah mendiskusikan sesama guru atau orang tua tentang keterampilan sosial apa yang menjadi prioritas, memilih satu keterampilan sosial, mempraktikan, merefleksi dan ahirnya mereview serta mempraktikannya kembali setelah diperbaiki, merefleksi dan seterusnya sampai betul-betul terkuasai oleh peserta didik (Maryani, 2011: 19).
Chaplin dalam Suhartini (2004: 18) berpendapat bahwa keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada disekitarnya. Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanak-kanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah pada anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap
perilaku
mereka
dan
bagaimana
pemandangan
tersebut
mempengaruhi tingkatan penerimaan kelompok teman sebaya akan tetapi, ada beberapa bentuk perilaku yang tidak sosial atau antisosial. Sejauh mana terjadinya peningkat-an perilaku sosial akan bergantung pada tiga hal. Pertama, seberapa kuat keinginan anak untuk di terima secara sosial; kedua pengetahuan mereka tentang cara memperbaiki perilaku; dan ketiga, kemampuan intelektual yang semakin berkembang yang memungkinkan pemahaman hubungan antara perilaku mereka dengan penerimaan sosial.
Keterampilan sosial atau disebut juga prososial behavior mencakup perilakuperilaku sebagai berikut. (a) Empati yang didalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan
23
karena suatu masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami konflik sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan yang dialami orang lain; (b) kemurahan hati atau kedermawanan di dalamnya anak-anak berbagi dan memberikan suatu barang miliknya pada seseorang; (c) kerjasama yang didalamnya anakanak mengambil giliran atau bergantian dan menuruti perintah secara sukarela tanpa menimbulkan per-tengkaran; dan (d) memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu seseorang untuk melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan (Beaty, 1998: 147).
Keterampilan sosial dapat dikelompokan dalam
empat bagian, namun
keempat bagian tersebut saling berkaitan. Keempat bagian tersebut sebagai berikut. 1. Keterampilan dasar berinteraksi: berusaha untuk saling mengenal, ada kontak mata, berbagai informasi atau material. 2. Keterampilan komunikasi: mendengar dan berbicara secara bergiliran, melembutkan suara (tidak membentak), menyakinkan orang untuk mengemukakan pendapat, mendengarkan sampai orang tersebut menyelesaikan pembicaraannya. 3. Keterampilan membangun tim/kelompok: mengakomodasi pendapat orang, bekerjasama, saling menolong dan saling memperhatikan. 4. Keterampilan menyelesaikan masalah: mengendalikan diri, empati, memikirkan orang lain, taat terhadap kesepakatan, mencari jalan keluar dengan berdiskusi, respek terhadap pendapat yang berbeda (Maryani, 2011: 20).
Keterampilan sosial di Amerika Serikat dirumuskan oleh ASCD (Association for Supervicion Curriculum Development) meliputi keterampilan hidup (lifeskill) antara lain sebagai berikut. 1. Keterampilan berfikir dan bernalar. 2. Keterampilan bekerja dengan orang lain. 3. Keterampilan pengendalaian diri. 4. Keterampilam dalam memanfaatkan peluang kerja (Maryani, 2011: 20).
24
Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk mengenal bahasa-bahasa simbol, antri di tempat-tempat umum, membuang sampah pada tempatnya, berkomunikasi dengan baik dengan orang lain, berejasama dengan kelompok yang majemuk, menjadi konsumen yang selektif, membuat keputusan, berpartisipasi sebagai warga negara, mengakui kemajemukan, menggali, mengolah dan memanfaatkan informasi (Supriatna, 2007: 130).
2.2 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Sudjana (2009: 3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimyati dan Mudjiono (2006: 3-4) juga menyebutkan hasil belajar merupakan hasil suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Menurut Suryosubroto (1997: 2) hasil belajar adalah penilaian tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang dinyatakan sesudah penilaian. Menurut Hamalik (2005: 43) hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang nantinya dimiliki siswa setelah dilaksanakannya kegiatan belajar mengajar. Jika dilihat dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Sebaliknya jika dilihat dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengajaran dari puncak proses belajar.
25
Bloom menyebutkan enam jenis perilaku ranah kognitif sebagai berikut. a. Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode. b. Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari. c. Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya, menggunakan prinsip. d. Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagianbagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil. e. Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program. f. Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 26-27).
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif IPS yang mencakup dua tingkatan yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2). Instrumen yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa pada aspek kognitif adalah tes.
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu
26
sendiri. Sugihartono, dkk, (2007: 76-77) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar sebagai berikut. a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor internal meliputi, faktor jasmaniah dan faktor psikologis. b. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor eksternal meliputi, faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas, peneliti menggunakan faktor eksternal berupa penggunaan metode bermain peran (role playing). Pelaksanaan metode bermain peran (role playing) ini menuntut keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS).
2.3 Metode Bermain Peran (Role Playing Method) Bermain peran (role playing) adalah metode pembelajaran yang diarahkan untuk bermain peran dan menciptakan situasi tertentu sesuai dengan peristiwa yang ingin disimulasikan (Maryani, 2011: 38). Sedangakan Sanjaya (2008: 161) mendefinisikan bermain peran (Role playing) merupakan metode pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, peristiwa aktual atau kejadian yang akan datang. Metode bermain peran (role playing) ini dikategorikan sebagai metode belajar yang berumpun kepada metode perilaku yang diterapkan dalam kegiatan pengembangan. Karakteristiknya adalah adanya kecenderungan memecahkan tugas belajar dalam sejumlah perilaku yang berurutan, konkret dan dapat diamati. Bermain peran dikenal juga dengan sebutan bermain pura-pura,
27
khayalan, fantasi, make belive, atau simbolik. Menurut Piaget, awal main peran dapat menjadi bukti perilaku anak. Beliau menyatakan bahwa bermain peran ditandai oleh penggunaan cerita pada objek dan mengulang perilaku menyenangkan yang diingatnya. Piaget menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam main peran dan upaya anak mencapai
tahap yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak lainnya disebut sebagai collective symbolism. Beliau juga menerangkan percakapan lisan yang anak lakukan dengan diri sendiri sebagai idiosyncratic soliloquies.
Bermain peran adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu dalam posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat (Nawawi, 1993: 295). Jadi, secara singkat metode bermain peran adalah cara atau jalan untuk mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu didalam posisi yang membedakan peranan masing-masing. Apabila ditinjau secara istilah, metode bermain peran adalah bentuk metode mengajar dengan mendramakan memerankan cara bertingkah laku dalam hubungan sosial, yang lebih menekankan pada kenyataan-kenyataan dimana para murid diikutsertakan dalam memainkan peranan di dalam mendramakan masalah-masalah hubungan sosial. Metode ini kadang-kadang disebut dengan dramatisasi (Zuhairini, dkk, 1983: 101-102).
Metode bermain peran (role playing) anak diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya dalam memerankan seorang tokoh atau bendabenda tertentu dengan mendapat ulasan dari guru agar mereka menghayati sifat-sifat dari tokoh atau benda tersebut. Bermain peran dalam prosesnya anak
28
diberi
kebebasan
untuk
menggunakan
benda-benda
sekitarnya
dan
mengkhayalkannya jika benda tersebut diperlukan dalam memerankan tokoh yang dibawakan. Contoh kegiatan ini misalnya anak memerankan bagaimana Bapak tani mencangkul sawahnya, bagaimana kupu-kupu yang menghisap madu bunga, bagaimana gerakan pohon yang ditiup angin, dan sebagainya (Kartini, 2007: 32). Dawson mengemukakan bahwa simulasi merupakan suatu istilah umum berhubungan dengan menyusun dan mengoperasikan suatu model yang mereplikasi proses-proses perilaku (Dimyati dan Mudjiono, 1992: 80). Sedangkan Ali mengemukakan bahwa metode simulasi adalah suatu cara pengajaran dengan melakukan proses tingkah laku secara tiruan (Ali, 1996: 83).
Metode pengajaran simulasi terbagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut. Sosiodrama: semacam drama sosial berguna untuk menanamkan kemampuan menganalisa situasi sosial tertentu, Psikodrama: hampir mirip dengan sosiodrama. Perbedaan terletak pada penekannya. Sosia drama menekankan kepada permasalahan sosial, sedangkan psikodrama menekankan pada pengaruh psikologisnya dan Role-Playing: role playing atau bermain peran bertujuan menggambarkan suatu peristiwa masa lampau (Ali, 1996: 83).
Moedjiono & Dimyati juga membagi metode pengajaran simulasi menjadi 3 kelompok sebagai berikut. Permainan simulasi (simulation games) yakni suatu permainan di mana para pemainnya berperan sebagai tempat pembuat keputusan, bertindak seperti jika mereka benar-benar terlibat dalam suatu situasi yang sebenarnya, dan / atau berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan peran yang ditentukan untuk mereka, Bermain peran (role playing) yakni memainkan peranan dari peran-peran yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk menciptakan kembali situasi sejarah/peristiwa masa lalu, menciptakan kemungkinankemungkinan kejadian masa yang akan datang, menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat diperkaya atau mengkhayal situasi pada suatu
29
tempat dan/ atau waktu tertentu, dan Sosiodrama (sociodrama) yakni suatu pembuatan pemecahan masalah kelompok yang dipusatkan pada suatu masalah yang berhubungan dengan relasi kemanusiaan. Sosiodrama memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan alternatif pemecahan masalah yang timbul dan menjadi perhatian kelompok (Dimyati dan Mudjiono, 1992: 80).
Tahapan-tahapan pembelajaran dengan model bermain peran (role playing) meliputi beberapa tahap sebagai berikut. a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Penjelasan umum Memilih para pelaku Menentukan observer Menentukan jalan cerita Pelaksanaan (main) Diskusi dan penilaian Permainan ulang Diskusi dan penelaahan Generalisasi (Hidayati, dkk. 2008: 37).
Selain tahapan-tahapan di atas yang telah dikemukakan oleh Hidayati, dkk. Maryani juga menjelaskan tahapan-tahapan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran bermain peran (role playing) sebagai berikut. a. Menentukan peristiwa/topik yang akan dijadikan tema kegiatan bermain peran (role playing) dan apa tujuannya. b. Guru membuat skenario bermain peran (role playing), termasuk di dalamnya ruang dan waktu. c. Guru memberikan gambaran situasi yang ingin disimulasikan bila perlu putarkan film tentang peristiwa tertentu. d. Membentuk kelompok dan menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi. e. Setiap anak membaca dan menghayati skenario, serta meyakini kapan peran tokoh harus muncul dan bagaimana penghayatan nilai serta perilakunya. f. Membuat setting ruang sesuai peristiwa yang akan dikreasikan. g. Melaksanakan simulasi. h. Melakukan penilaian. i. Membuat kesimpulan (Maryani, 2011: 38).
30
Kelebihan metode bermain peran (role playing) antara lain sebagai berikut. 1. Siswa merasa tertarik perhatiannya pada ajaran, karena masalah-masalah sosial sangat berguna bagi mereka. 2. Siswa dengan berperan seperti orang lain, maka ia dapat menempatkan diri seperti watak orang lain itu. 3. Siswa dapat merasakan perasaan orang lain dan dapat menghargai pendapat orang lain sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi dan cinta kasih terhadap orang lain (Roestiyah, 2001: 92).
Kekurangan metode bermain peran (role playing) antara lain sebagai berikut. 1. Jika guru tidak menguasai tujuan instruksional pembelajaran, maka model bermain peran tidak akan berhasil. 2. Apabila guru tidak memahami langkah-langkah pelaksanaan model ini, maka akan mengacaukan berlangsungnya bermain peran, karena yang memegang peranan atau penonton tidak tahu arah bersama. 3. Dengan adanya model bermain peran, dapat menumbuhkan prasangka buruk, ras diskriminasi, balas dendam, sehingga menyimpang dari tujuan semula (Roestiyah, 2001: 92).
Kelebihan dan kekurangan dari motode bermain peran (role playing) tersebut dapat dijadikan bahan acuan peneliti untuk menerapkan motode bermain peran (role playing) pada penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan kutipan tersebut, berarti metode bermain peran adalah metode pembelajaran yang di dalamnya menampakkan adanya perilaku pura-pura dari siswa yang terlihat dan/ atau peniruan situasi dari tokoh-tokoh sejarah sedemikian rupa. Metode bermain peran dengan demikian dapat diartikan sebagai metode yang melibatkan siswa untuk pura-pura memainkan peran/ tokoh yang terlibat dalam proses sejarah. Pembelajaran akan lebih menyenangkan bila didukung oleh seorang guru yang aktif. Strategi pembelajaran yang digunakan guru yang aktif itu sangat berivariasi, dinamis, tidak monoton, senantiasa disesuaikan dengan materi ajaran,situasi, kondisi, serta proses pembelajarannya.
31
Pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan dengan berbagai cara/ metode oleh karenanya guru tidak mempunyai alasan guna mencapai tujuan pembelajaran.
2.4 Belajar dan Pembelajaran Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada individu yang belajar (Tasrif, 2008: 103). Sedangkan menurut Trianto yang mengutip dari Anthony Robbins belajar adalah proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu (pengetahuan) yang baru (Trianto, 2009: 15). Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai kompetensi, keterampilan dan sikap. Gagne memberikan beberapa definisi tentang belajar yaitu (1) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku. (2) belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi (Gagne, 1988: 66).
Sedangkan menurut Hilgrad dan Bower dalam Gredler (1997: 13) belajar (to learn) memiliki arti 1) to gain knowledge, comprehension, or mastery of trough experience or study, 2) to fix in the mind or memory; memorize, 3) to acquire trough experience; 4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut, belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai
pengetahuan
melalui
pengalaman,
mengingat,
menguasai
pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan. Belajar dengan
32
demikian memiliki arti dasar adanya aktivitas atau kegiatan dan penguasaan tentang sesuatu.
Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti bahan yang dipelajari, faktor instrumental, lingkungan dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor tesebut sebaiknya diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya hasil dan kompetensi secara optimal. Pada dasarnya, belajar merupakan masalah bagi setiap orang. Ketika anak belajar maka pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan, nilai, sikap dan tingkah laku dan semua semua perbuatan manusia terbentuk, disesuaikan dan dikembangkan. Peneliti menyimpulkan dari berbagai pandangan para ahli bahwa belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu adanya perubahan tingkah laku, perubahan relatif, bersifat permanen dan perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan.
Istilah pembelajaran merupakan padanan dari kata dalam bahasa Inggris instruction, yang berarti proses membuat orang belajar. Tujuannya adalah membantu orang belajar, atau memanipulasi (merekayasa) lingkungan sehingga memberikan kemudahan bagi orang yang belajar. Gagne mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu rangkaian events (kejadian, peristiwa,
kondisi,
dan
sebagainya)
yang
sengaja
dirancang
untuk
mempengaruhi siswa (pembelajar), sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah (Tasrif, 2008: 104). Menurut Dimyati dan Mujiono (2006: 175) pembelajaran adalah suatu kegiatan agar proses belajar mengajar seseorang atau kelompok orang dapat terjadi sehingga proses belajar
33
dapat tercapai secara efektif dan efesien. Pembelajaran akan menghasilkan suatu kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. Pembelajaran dengan demikian adalah kegiatan aplikatif dari belajar, sebagai usaha untuk menghasilkan tujuan belajar, yaitu perubahan perilaku manusia berdasarkan pengetahuan, pemahaman yang telah diperolehnya.
Menurut Trianto (2009: 17) pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Pendapat di atas menunjukan bahwa pembelajaran adalah sebuah proses interaksi antara guru, siswa dan sumber belajar lainnya yang beritrekasi secara intens untuk memperoleh pengetahuan sebagai tujuan belajar.
Pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang dirancang untuk mendukung proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku individu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Ciri-ciri pembelajaran adalah kegiatannya mendukung proses belajar siswa, adanya interaksi antara individu dengan sumber belajar, serta memiliki komponen-komponen tujuan, materi, proses dan evaluasi yang saling berkaitan. Peneliti menyimpulkan dari berbagai defenisi yang dikemukakan oleh ahli bahwa pembelajaran merupakan penerapan prinsip serta teori belajar.
2.4.1 Teori Belajar Konstruktivisme Penelitian ini dilandasi oleh suatu pendekatan konstruktivistik, menurut pandangan konstruktivistik belajar adalah menekankan pada peran aktif si belajar (learner) dalam membangun pemahaman dan memaknai suatu
34
informasi. Constructivim approach is a view that emphasizes the active role of learner in building understanding and making sense of information (Woolfolk, 2004: 313).
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi diri kita sendiri. Pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strategi sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Suparno, 1997: 29).
Prinsip-prinsip teori konstruktivisme menurut driver sebagai berikut. 1. 2. 3.
4.
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personil maupun secara sosial. Pengetahuan tidak dapat dipendahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar. Secara aktif melakukan konstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah. Guru hanya sekedar menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan dengan mulus (Suparno, 1997: 49).
Implikasi dari teori konstruktivisme dalam pendidikan anak sebagai berikut. 1.
2.
3.
Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persolan yang dihadapi. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator (Poedjadi, 1999: 63).
35
Berdasarkan teori konstruktivisme tugas guru adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi melakukan kegiatan
yang
memungkinkan
siswa
membangun
sendiri
pengetahuannya, menginterpretasikan, mencari kejelasan dan bersikap kritis sesuai dengan dunia nyata siswa. Teori konstruktivisme sesuai dengan strategi pembelajaran bermain peran (role playing), dimana peran guru sebagai fasilitator dan motivator pada siswa bukan sebagai pemberi
informasi
saja.
Kemudian
siswa
diharapkan
mampu
membangun atau mengkonstruksikan dirinya sesuai dengan dunia nyata siswa.
2.4.2 Teori Belajar Kognitif Aliran kognitif mulai muncul pada tahun 60-an sebagai gejala ketidakpuasan terhadap konsep manusia menurut behaviorisme. Menurut teori kognitivisme manusia tidak memberikan respon secara otomatis kepada stimulus yang dihadapkan kepadanya karena manusia adalah mahluk yang aktif yang dapat menafsirkan lingkungan dan dapat merubahnya (Herpratiwi, 2009: 19). Ciri-ciri aliran kognitif adalah mementingkan apa yang ada di dalam diri manusia, mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian, mementingkan peranan kognitif, mementingkan waktu sekarang, dan mementingkan pembentukkan struktur kognitif.
36
Implikasi teori kognitivisme terhadap proses pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa, dan membantu siswa menjadi pembelajar
yang
sukses,
maka
guru
yang
menganut
paham
kognitivisme banyak melibatkan siswa dalam kegiatan dimana faktor motivasi,
kemampuan
problem
solving,
model
belajar
sering
ditekankan. Proses belajar dalam kognitivisme tidak lagi dipandang sebagai pembentukan perilaku yang diperoleh dari hubungan S-R secara kaku, dan adanya penguatan-penguatan, tetapi mencakup fungsi pengalaman perseptual dan proses kognitif yang meliputi ingatan, pengolahan informasi dan sebagainya.
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget dalam Suparno (2001: 56) bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap antara lain sebagai berikut. (1) Sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi.
Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru.
37
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Pembelajaran kognitif pada dasarnya mempunyai kelebihan sebagai berikut. (a) Siswa sebagai subjek belajar menjadi faktor yang paling utama; (b) mengutamakan pembelajaran dengan interaksi sosial untuk menambah khasanah perkembangan kognitif siswa; (c) menerapkan apa yang dimiliki siswa agar siswa mempunyai pengalaman dalam mengeksplorasi kognitifnya lebih dalam; (d) siswa melakukan hal yang benar harus diberikan hadiah untuk menguatkan untuk terus berbuat dengan tepat, hadiah tersebut dapat berupa pujian, dan sebagainya; (e) materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena
dengan
begitu
seseorang
akan
lebih
terlatih
untuk
mengeksplorasi kemampuan kognitifnya.
Aplikasi teori pembelajaran kognitif terhadap pembelajaran adalah sebagai berikut. (a) Perlunya arahan dari guru agar siswa tidak banyak melakukan kesalahan, guru harus memberikan kesempatan sebaikbaiknya agar siswa memperoleh pengalaman optimal dalam proses belajar dan meningkatkan kemauan belajar; (b) pemberian hadiah dan hukuman dalam pembelajaran harus memperhatikan aspek kuantitas dan kualitas; (c) saat mengawali pembelajaran guru menggunakan kemampuan awal sehingga pembelajaran akan lebih bermakna; (d)
38
memberikan materi kepada siswa diperlukan penstrukturan baik dalam materi yang disampaikan maupun metode yang dipergunakan.
Berdasarkan uraian di atas metode bermin peran (role playing) selain berusaha untuk merekonstruksi kemampuan siswa untuk terampil dalam interaksi sosial metode ini juga bersifat kognitivisme, karena pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran (role playing) merupakan salah satu cerminan filsafat kognitif yang menekankan pentingnya peranan lingkungan dalam mewujudkan pembelajaran yang efektif dan optimal untuk memudahkan keberhasilan tujuan pembelajaran. Aplikasi teori pembelajaran kognitif terhadap pembelajaran sesuai dengan aplikasi metode bermain peran (role playing) dalam pembelajaran, dimana aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran guru perlu mengarahkan siswa untuk meningkatkan kemauan belajar, penggunaan kemampuan awal dalam pembelajaran, guru harus memberikan kesempatan sebaik-baiknya kepada siswa agar memperoleh pengalaman optimal, dan adanya pemberian reward, hal ini sesuai dengan kerangka rancangan metode bermain peran (role playing) yang juga mengedepankan hal tersebut dalam pelaksanaannya.
2.5 Pembelajaran Afektif Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya (Kurniawan, 2001: 12) yaitu sikap dan
39
keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan,
strategi
dan
model
pembelajaran
tertentu.
Sementara,
pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan (Kurniawan, 2001: 14). Meski demikian,
pembelajaran
afektif
justru
lebih
banyak
dilakukan
dan
dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan
40
evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
2.6 Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Ilmu pengetahuan sosial (IPS) yang juga dikenal dengan nama sosial studies adalah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Ilmu pengetahuan sosial (IPS) mengkaji bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya di lingkungan sendiri, dengan tetangga yang dekat sampai jauh. ilmu pengetahuan sosial (IPS) juga mengkaji bagaimana manusia bergerak dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosial (IPS) mengkaji tentang keseluruhan kegiatan manusia. Kompleksitas kehidupan yang akan dihadapi siswa nantinya bukan hanya akibat tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi saja, melainkan juga kompleksitas kemajemukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sosial (IPS) mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan manusia dan juga tindakan-tindakan empatik yang melahirkan pengetahuan tersebut.
Sebutan ilmu pengetahuan sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di negara kita, secara historis muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1975. Ilmu pengetahuan sosial (IPS) memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata ajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu
(integrated),
diciplinary
(Soemantri,
interdisipliner, 2001:
101).
multidimensional Karakteristik
ini
bahkan terlihat
crossdari
41
perkembangan ilmu pengetahuan sosial (IPS) sebagai mata ajaran di sekolah yang cakupan materinya semakin meluas. Dinamika cakupan semacam itu dapat dipahami mengingat semakin kompleks dan rumitnya permasalahan sosial yang memerlukan kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, ilmu pengetahuan alam, teknologi, humaniora, lingkungan, bahkan sistem kepercayaan. Pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS) dengan cara demikian pula diharapkan terhindar dari sifat ketinggalan zaman, di samping keberadaannya yang diharapkan tetap koheren dengan perkembangan sosial yang terjadi.
Berkaitan dengan pengertian ilmu pengetahuan sosial (IPS), Barth mengemukakan sebagai berikut. “Sosial studies was assigned the mission of citizenship education, that mission included the study of personal/sosial problems in an interdiciplinary integrated school curriculum that would emphasize the practice of decision making” (Barth, 1990: 360). Maksudnya adalah ilmu pengetahuan sosial membawa misi pendidikan kewarganegaraan termasuk di dalamnya pemahaman mengenai individu atau masalah sosial yang terpadu secara interdisipliner dalam kurikulum sekolah yang akan menekankan pada praktek pengambilan keputusan.
Sementara itu, menurut National Council for Sosial Studies (NCSS) mendefinisikan IPS (sosial studies) sebagai berikut. Sosial studies is the integrated study of sosial science and humanities to promote civic competence. Within the school pogram, sosial studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as well
42
as appropriate content from humanities, mathematics and natural sciences (NCSS: 2003).
Ilmu Pengerahuan Sosial (IPS) merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun dalam beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat ilmu-ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga memuat isi dari humaniora dan ilmu-ilmu alam. Senada dengan pendapat Barth di atas, Pusat Kurikulum mendefinisikan ilmu pengetahuan sosial sebagai integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya (Pusat Kurikulum, 2006: 5).
Sementara itu, dalam Kurikulum 2006, mata pelajaran
ilmu pengetahuan
sosial (IPS) disebutkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI sampai SMP/MTs. Mata pelajaran ini mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI, mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) memuat materi geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Keterampilan dasar ilmu pengetahuan sosial (IPS) dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori (1) work-study skills; contohnya adalah membaca, membuat out-line, membaca peta, dan menginterpretasikan grafik; (2) group-process skills;
43
contohnya adalah berpikir kritis dan pemecahan masalah; serta (3) sosial– living skills; contohnya adalah tanggung jawab, bekerjasama dengan orang lain, hidup dan berkerjasama dalam suatu kelompok.
Tabel 2.1 Konsep Kunci Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Tradition Change Continuity Causation Conflict Cooperation Nasionalism Leadership Colonalialism Imperalism Reivolution HISTORY POLITICS Rights Decision making Authority Power State Pressure group Conflict Justice Human rights Responsibilities Revolution Democracay Representation
Behaviour Group process Intergroup relation Perception Individual Function Diiversity Deivelopment
Spatial Culture organization Tradition Location Belief Spatial Interaction Acculturation Spatial Pattern Kinship Distance Adaptation Interdepedence Ritual Region Cultural change Distribution Rites of passage Enivironment Ethnocentrism Spatial change Cultural difution PSYCHOLOY GEOGRAPHY ANTHROPOLOGY SOSIAL EDUCATION SOCIOLOGY ECONOMIC Society Production Sosialization Distribution Roles Specialization Status Diivision of labour Sosial stratification Consumption Norms and sanctions Scarcity Values Supply Sosial conflict Demand Sosial mobility Interdependence Authority technology Subculture
Sumber: NCSS, 1992 dalam Jurnal Penelitian UPI Bandung Vol. 9 No. 1 April 2009
Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (1990: 102) merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu, Martoella (1987: 187) mengatakan bahwa pembelajaran pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan” dari pada “transfer konsep”, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih
44
sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya.
Dengan
demikian,
pembelajaran
pendidikan
IPS
harus
diformulasikannya pada aspek kependidikannya. Ada 10 konsep sosial studies dari NCSS sebagai berikut. (1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people, places and environments; (4) individual deivelopment and identity; (5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and govermance; (7) production, distribution and consumption; (8) science, technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic ideals and practices. (NCSS http://www.sosial studies.org/standard/exec.html).
Melalui mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) peserta didik disiapkan dan diarahkan agar mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Sejalan dengan pengertian umum tersebut, ilmu pengetahuan sosial
(IPS)
sebagai mata
pelajaran di tingkat sekolah dasar pada hakikatnya merupakan suatu integrasi utuh dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk merealisasikan tujuan pendidikan di tingkat sekolah. Implikasinya, berbagai tradisi dalam ilmu sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode, maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, dikemas secara psikologis, pedagogis, dan sosial budaya untuk kepentingan pendidikan.
Berdasarkan perspektif di atas, secara umum ilmu pengetahuan sosial (IPS) dapat dimaknai sebagai seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila (Soemantri, 2011: 103). Pengertian
45
umum ini mengimplikasikan adanya penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari berbagai disiplin akademis ilmu-ilmu sosial. Kaidah-kaidah akademis, pedagogis, dan psikologis tidak bisa ditinggalkan dalam upaya pengorganisasian dan penyajian upaya tersebut. Dengan cara demikian, pendidikan ilmu pengetahuan sosial
(IPS) diharapkan tidak kehilangan
berbagai fungsi yang diembannya, apalagi jika dikaitkan secara langsung dengan pencapaian tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2.6.1 Pembelajaran IPS Sekolah Dasar (SD) Pembelajaran
merupakan
aktivitas
yang
paling
utama
dalam
pendidikan. Keberhasilan suatu pendidikan bergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Secara umum, pembelajaran merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pembelajaran IPS di sekolah dasar mengintegrasi konsep dasar dari berbagai cabang ilmuilmu sosial, ilmu pengetahuan dirumuskan atas dasar realita dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Sedangkan tujuan pembelajaran IPS di sekolah dasar sebagai berikut. 1. 2.
Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial.
46
3. 4.
Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Meningkatkan kemampuan bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baiuk secara nasional maupun global (Hidayati dkk, 2008: 124).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, disimpulkan pengertian IPS SD adalah mata ajaran yang bersifat terpadu dan diajarkan pada jenjang SD yang mengkaji fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan kehidupan siswa serta ruang lingkupnya disesuaikan dengan karakteristik perkembangan siswa dan bersifat interdisipliner dengan tujuan membekali siswa untuk mampu menghadapi perubahan tantangan global.
Pendidikan ilmu pengetahuan sosial (IPS) di sekolah dasar saat ini menunjukkan indikasi bahwa pola pembelajarannya makin bersifat teacher
centered.
Kecenderungan
pembelajaran
demikian,
mengakibatkan lemahnya pengembangan potensi diri siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar yang dicapai tidak optimal. Kesan menonjolnya verbalisme dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas masih terlalu kuat. Persoalan-persoalan tersebut tentunya memerlukan suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran.
2.6.2 Dimensi Keterampilan (Skill) Dalam Pembelajaran IPS SD Ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan suatu kajian pengetahuan yang mencakup empat dimensi sebagai berikut. a.
Dimensi Pengetahuan (Knowledge)
47
Dimensi pengetahuan mencakup beberapa aspek antara lain. a) Fakta; b) Konsep; dan c) Generalisasi yang dipahami oleh siswa. b. Dimensi Keterampilan (Skill) Dimensi keterampilan yang diperlukan dalam IPS, antara lain sebagai berikut. a) Keterampilan meneliti. b) Keterampilan berpikir. c) Keterampilan partisipasi sosial. d) Keterampilan berkomunikasi. c. Dimensi Nilai dan Sikap (Values And Attiudes) Dimensi nilai dan sikap ini mencakup nilai-nilai antara lain nilai substansif dan nilai prosedural. d. Dimensi Tindakan (Action) Dimensi tindakan dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) meliputi tiga model aktivitas, sebagai berikut. a) Percontohan kegiatan dalam memecahkan masalah di kelas seperti cara bernegosiasi dan bekerja sama. b) Berkomunikasi dengan anggota masyarakat dapat diciptakan. c) Pengambilan keputusan dapat menjadi bagian kegiatan kelas, khususnya pada saat siswa diajak untuk melakukan kegiatan inkuiri (Sapriya, 2009: 49-55). Keempat dimensi ilmu pengetahuan sosial (IPS) sekolah dasar memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, namun keempat dimensi ini saling melengkapi dan saling berkaitan satu sama lain. Dalam proses kepentingan akademik, empat dimensi ilmu pengetahuan sosial (IPS) ini dibedakan agar dapat membantu guru dalam merancang model pembelajaran yang sistematis dan mencakup semua kawasan domain hasil belajar. Penelitian ini mencakup dimensi ilmu pengetahuan sosial (IPS) yaitu keterampilan (Skill) yang berkaitan berfikir, partisipasi sosial dan berkomunikasi.
48
2.6.3 Tujuan Pembelajaran IPS SD Secara umum tujuan pembelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) sekolah dasar harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai berikut. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Gunawan, 2011: 21). Tujuan pembelajaran IPS SD harus diselaraskan dan disesuaikan dengan tujuan pendidikan nasional. Mata pelajaran IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang mengarahkan siswa agar menjadi warga negara yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Berdasarkan panduan KTSP SD/ MI Tahun 2006 mata pelajaran IPS bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut. 1.
Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2.
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan ketrampilan dalam kehidupan sosial.
49
3.
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
4.
Memiliki
kemampuan
berkomunikasi,
bekerja
sama,
dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan tujuan pembelajaran IPS sekolah dasar adalah memberikan bekal dan wawasan kepada siswa berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kesadaran-kesadaran nilai-nilai sosial kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat.
2.6.4 Ruang Lingkup Pembelajaran IPS SD Gunawan (2011: 39) menyebutkan ruang lingkup ilmu pengetahuan sosial (IPS) sekolah dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Manusia, tempat, dan lingkungan. Waktu, keberlanjutan, dan perubahan. Sistem sosial dan budaya. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan. IPS SD sebagai pendidikan global (global education), yakni mendidik siswa akan kebhinekaan bangsa, budaya, dan peradaban di dunia; menanamkan kesadaran ketergantungan antar bangsa; menanamkan kesadaran semakin terbukanya komunikasi dan transportasi antar bangsa di dunia; mengurangi kemiskinan, kebodohan dan perusakan lingkungan.
Berdasarkan panduan KTSP SD/ MI Tahun 2006 ruang lingkup mata pelajaran IPS kelas V SD/ MI sebagai berikut. a.
Peta.
b.
Kenampakan alam dan keragaman sosial budaya.
c.
Sumber daya alam.
50
d.
Suku bangsa dan budaya Indonesia.
e.
Berbagai bentuk peninggalan sejarah.
f.
Kepahlawanan dan patriotisme.
g.
Kegiatan ekonomi berdasarkan potensi daerah.
h.
Koperasi dalam perekonomian Indonesia.
i.
Perkembangan teknologi.
j.
Masalah sosial di lingkungan setempat.
Ruang lingkup yang menjadi fokus penelitian ini adalah materi IPS SD kelas V Semester ganjil yaitu kepahlawanan dan patriotisme.
2.7 Penelitian Yang Relevan 2.7.1 Penelitian yang dilakukan oleh Yulia Siska Mahasiswa S2 Program Studi
Pendidikan
Sekolah
Dasar
Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia dengan judul penerapan metode bermain peran (role playing) dalam meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak usia dini (penelitian tindakan kelas di kelas B taman kanak-kanak al-kautsar Bandar Lampung tahun ajaran 2010-2011) dilaksanakan dengan tiga siklus. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada siklus dua dan siklus tiga, yaitu pada indikator anak dapat merespon pembicaraan ,dapat memulai percakapan dengan media bermain perannya.
2.7.2 Penelitian yang dilakukan oleh Tien Kartini dalam “JURNAL, Pendidikan Dasar“ Nomor 8 bulan Oktober 2007 dengan judul penggunaan metode role playing untuk meningkatkan minat siswa
51
dalam pembelajaran pengetahuan sosial di kelas V SDN Cileunyi I Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan metode bermain peran sangat efektif digunakan dalam pembelajaran IPS. Siswa tampak lebih berminat dan antusias untuk melaksanakan belajar. Tingkat partisipasi siswa lebih baik serta kemampuan mengemukakan pendapat dan saran juga menjadi lebih baik.
2.7.3 Penelitian yang dilakukan oleh Rika Evalia Arianti mahasiswa S1 PGSD Universitas Negeri Malang dengan judul penerapan role playing untuk meningkatkan pemahaman teks cerita rakyat pada pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V SDN Tegalweru Kabupaten
Malang.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
penerapan model pembelajaran role playing mampu meningkatkan aktivitas dan pemahaman teks cerita rakyat siswa kelas V SDN Tegalweru. Peningkatan rata-rata aktivitas belajar siswa dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 13,6%, peningkatan prosentase ketuntasan belajar kelas yang menunjukkan tingkat pemahaman siswa terhadap teks cerita rakyat dari siklus 1 ke siklus 2 sebesar 20,7%.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah bahwa penelitian ini berusaha untuk melihat seluruh aspek tindakan secara komprehensif yang terdapat dalam bagan prosedur penelitian tindakan kelas Kurt Lewins yang terdiri dari:
52
a. Perencanaan yaitu perencanaan tindakan, perencanaan pelaksanaan tindakan, perencanaan observasi dan evaluasi, perencanaan refleksi, serta perencanaan rekomendasi. b. Pelaksanaan tindakan. c. Observasi dan evaluasi. d. Refleksi yaitu refleksi perencanaan tindakan, refleksi pelaksanaan tindakan, refleksi observasi dan evaluasi, refleksi rekomendasi. e. Rekomendasi yaitu rekomendasi perencanaan tindakan, rekomendasi pelaksanaan tindakan, rekomendasi observasi dan evaluasi, serta rekomendasi refleksi.
2.8 Kerangka Fikir Masih
terdapatnya
banyak
anak
kesulitan
untuk
mengembangkan
keterampilan sosial di lingkungan sekolah antara lain keterampilan dalam menyesuaikan diri, keterampilan dalam berinteraksi, keterampilan dalam mengontrol diri, keterampilan dalam berempati, keterampilan dalam menaati aturan, keterampilan dalam menghargai orang lain, keterampilan membantu teman, keterampilan berkomunikasi dengan baik dengan orang lain, keterampilan bekerjasama dengan kelompok yang majemuk Pada bagian ini diuraikan secara ringkas hakekat dari metode bermain peran (role playing) yang dapat menumbuh kembangkan keterampilan sosial siswa kelas V di SDN 1 Gedung Gumanti. Pengembangan metode ini merupakan upaya mengembangkan keterampilan sosial siswa. Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode bermain peran (role playing) ini adalah sebagai
53
berikut; guru mengkondisikan siswa kearah pembelajaran dengan memberi salam dan memeriksa kehadiran siswa, selanjutnya menumbuhkan minat siswa dengan memberikan yel-yel ”kita adalah saudara” dan mengajak siswa untuk mengulang yel-yel, selanutnya memberikan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan ”siapa yang tahu tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia dan sebagainya, selanjutnya guru meminta siswa yang telah ditunjuk untuk maju ke depan dan ikut dalam bermain peran (role playing), selanjutnya guru memberikan naskah skenario kepada murid yang telah ditunjuk untuk bermain peran (role playing), selanjutnya guru mengawasi serta mengarahkan jalannya cerita yang diperagakan oleh siswa, selanjutnya siswa yang menjadi observer mengamati dan mencatat hal-hal penting yang terdapat dalam peristiwa tersebut, Setelah selesai, guru mempersilahkan murid yang telah ikut dalam bermain peran (role playing) untuk duduk kembali ke tempatnya., selanjutnya kemudian guru mempersilahkan seluruh murid untuk menyampaikan apa yang telah dicatat dari hasil observasi yang telah dilakukan, setelah seluruh siswa menyampaikan apa yang telah mereka amati, maka guru membimbing siswa untuk menyimpulkan nilai – nilai sosial apa saja yang terdapat dalam materi ajaran yang telah dimainkan dalam proses bermain peran (role playing), selanjutnya guru memberikan hadiah (reward) kepada siswa yang yang terlibat dalam proses bermain peran (role playing), baik sebagai pemeran maupun observer
(pengamat) dan terakhir guru
memberikan tindak lanjut dengan menginformasikan bahwa untuk pertemuan selanjutnya akan diadakan evaluasi tentang materi sebelumnya serta menutup pelajaran dengan mengucapkan salam.
54
Dari penerapan metode pembelajaran ini diharapkan siswa terbiasa untuk menumbuh kembangkan keterampilan sosia yang dimilikinya, baik dengan teman yang ada di sekolahnya maupun kehidupan sehari-hari di masyarakat.
55
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir
KONDISI AWAL
TINDAKAN di Kelas
KONDISI AKHIR
Guru/ peneliti :
Siswa/ yang diteliti :
Belum memanfaatkan metode bermain peran (role playing)
Keterampilan sosial dan hasil belajar siswa rendah
Memanfaatkan metode bermain peran (role playing)
Siklus I : Memanfaatkan metode bermain peran (role playing) yang contohkan guru dan didemonstrasikan oleh siswa, siswa masih kaku
Diharapkan melalui pemanfaatan metode bermain peran (role playing) dapat meningkatkan keterampilan sosial dan hasil belajar siswa
Siklus II : Memanfaatkan metode bermain peran (role playing) yang didemonstrasikan oleh siswa dan siswa terlihat lebih menguasai, meskipun masih sedikit kaku Siklus III : Memanfaatkan metode bermain peran (role playing) yang didemonstrasikan oleh siswa dan siswa menguasai serta memahami jalan cerita bermain peran