II. KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka 1. Menulis Deskripsi a. Pengertian Menulis Deskripsi Banyak para ahli yang mengungkapkan pengertian menulis deskripsi. Pendapat para ahli secara umum memiliki kesamaan walaupun terdapat perbedaan cara mengungkapkan. Menurut Akhadiah (1992:3) menulis merupakan kegiatan menyampaikan pesan (gagasan, perasaan, dan informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Menulis adalah usaha komunikasi yang mempunyai aturan maian serta kebiasaan-kebiasaan sendiri.
Lebih lanjut Suparno dan Yunus (2006: 46) mengungkapkan: ”Deskripsi berasal dari bahasa Latin describere yang berarti menggambarkan atau memerikan sesuatu hal”. Deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan) apa yang dilukiskan penulis, karangan ini bermaksudmenyampaikan pean tentang sesuatu dengan sifat dan gerakgeriknya kepada pembaca.”
Keraf (1982: 93) menjelaskan bahwa deskripsi merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha penulis untuk memberikan perincian dari objek yang sedang dibicarakan. Dalam deskripsi penulis memindahkan kesan-kesannya, hasil pengamatan dan perasaannya, menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada objek tersebut.
12 Akhadiah dalam Suparno dan Yunus (2006: 48) mengungkapkan bahwa deskripsi yang baik dituntut tiga hal, pertama, kesanggupan berbahasa kita yang memiliki kekayaan nuasa dan bentuk. Kedua, kecermatan pengamatan dan kelaluasaan pengetahuan kita tentang sifat, ciri dan wujud objek yang dideskripsikan. Ketiga, kemampuan kita memilih secara detail khusus yang dapat menunjang ketepatan dan kehidupan deskripsi”.
Deskripsi adalah upaya pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak langsung
mengalami
sendiri
(http://.id.wikipedia.org/wiki/deskripsi).
Pada
umumnya deskripsi menegaskan sesuatu, seperti apa sesuatu itu kelihatannya, bagaimana
bunyinya,
rasanya
dan
sebagainya.
http://id.wikipedia.
org/wiki/karangan)
Karangan deskripsi memiliki ciri-ciri seperti: (1) menggambarkan atau melukiskan sesuatu, (2) penggambaran tersebut dilakukan sejelas-jelasnya dengan melibatkan kesan indera, dan (3) membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri/ mengalami sendiri.
b. Jenis-jenis Karangan Deskripsi Karangan/wacana deskripsi berdasarkan tujuannya menurut Keraf (1982:96) dibedakan menjadi dua macam yaitu, 1) deskripsi sugestif; 2) deskripsi ekspositoris. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
13 1) Deskripsi Sugestif Di dalam deskripsi ini penulis bermaksud menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca, pengalaman karena perkenalan langsung dengan objeknya. Sasaran deskripsi sugestif adalah dengan perantaraan tenaga rangkaian katakata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, watak dari objek tersebut, dengan kata lain deskripsi sugestif berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut melalui imajinasi pembaca. 2) Deskripsi Ekspositoris atau Deskripsi Teknis Deskripsi jenis ini bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai objeknya sehingga pembaca dapat mengenalnya bila bertemu atau berhadapan dengan objek tadi. Deskripsi ekspositoris tidak berusaha untuk menciptakan kesan atau imajinasi pada diri pembaca. c. Unsur-unsur Karangan Deskripsi Menurut pendapat Burhan (1974:100) dalam pembuatan karangan itu sekurangkurangnya tercakup lima unsur yaitu, 1) isi karangan adalah hal-hal yang dikarang atau gagasan; 2) bentuk karangan adalah susunan atau cara menyajikan isi karangan; 3) tata bahasa adalah penggunaan bentuk-bentuk tatabahasa dan pola-pola kalimat;
14 4) gaya adalah pilihan struktur dan kosakata untuk memberikan nada atau warna tertentu terhadap karangan itu; 5) ejaan dan tanda baca adalah penggunaan tata cara penulisan lambang bahasa tertulis yang diadatkan dalam bahasa itu. d. Syarat-syarat Karangan yang Baik Suatu karangan menurut Akhadiah (1996:9) mengatakan, sekurang-kurangnya memenuhi unsur-unsur yang berhubungan dengan hal-hal berikut: 1) kejelasan tema; 2) kesesuaian isi dengan judul; 3) kesesuaian jenis karangan; 4) ketepatan ide dalam paragraf; 5) ketepatan susunan kalimat; 6) ketepatan pemilihan kata /diksi; 7) ketepatan penggunaan ejaan. 1) Kejelasan Tema Dalam mengarang, tema atau topik karangan harus ditetukan terlebih dahulu karena ia merupakan isi karangan itu. Akhadiah (1996:9) menyatakan bahwa topik adalah pokok pembicaraan dalam keseluruhan karangan yang dikarang. Oleh karena itu, baik tidaknya suatu karangan sangat ditentukan tepat tidaknya topik yang dipilih.
15 2) Kesesuaian Isi dengan Judul Judul sebuah karangan akan menggambarkan isi keseluruhan (Akhadiah, 1996:10) Sementara Keraf (1994:128) menyatakan bahwa judul hendaknya menyebutkan ciri-ciri utama atau menghubungkan hal-hal penting dari karangan, sehingga para pembaca sudah dapat membayangkan apa yang diuraikan di dalam karangan itu. 3) Kesesuaian Jenis Karangan Jenis karangan berkaitan dengan maksud atau tujuan penulisan. Untuk menentukan tujuan mengarang diperlukan tesis.
Akhadiah (1996:47)
menyatakan bahwa tesis adalah suatu kalimat penyataan yang mengandung tujuan tulisan. Penyataan ini mengandung gagasan atau amanat yang akan dikembangkan atau diuraikan lebih lanjut melalui tulisan. 4) Ketepatan Ide dalam Paragraf Topik suatu karangan diuraikan di dalam tiap paragraf berupa satu ide pokok dan beberapa ide penjelas. Suatu paragaf yang baik haruslah memenuhi tiga syarat be rikut: (a) kesatuan yaitu semua kalimat yang ada di dalam paragraf secara bersamasama membangun suatu pokok pikiran; (b) kepaduan atau koherensi yaitu kekompakan hubungan antara satu kalimat yang lain dalam membangun paragraf itu; (c) pengembangan yaitu adanya keteraturan dalam merinci dan menyusun pokok pikiran ke pikiran-pikiran penjelasnya (Keraf, 1994:67).
16 5) Ketepatan Susunan Kalimat Ketetapan unsur-unsur yang membangun suatu kalimat akan sangat menentukan kejelasan pikiran yang dimuat dalam kalimat itu . Kalimat-kalimat yang diguna-kan dalam karangan hendaknya kalimat efektif. Keraf (1993:35) menyatakan bahwa kalimat efketif itu dapat mewakili isi pikiran dan perasaan pengarang sehingga menarik perhatian pembicara serta dapat menimbulkan kembali gagas-an pembaca yang sesuai dengan gagasan pengarang . 6) Ketepatan Pemilihan Kata/Diksi Susunan kata di dalam kalimat sangat berguna untuk menjaga kontinuitas (Caraka, 1999:54). Pernyataan ini berkaitan dengan pemilihat kata yang tepat dalam membangun gagasan akan menjaga kesinambungan dan kekompakan da-lam karangan. Akhadiah (1996:32) menyatakan dalam memilih kata harus diperhatikan dua persyaratan pokok, yaitu: a) ketetapan; berkaitan dengan makna aspek logika kata-kata. Kata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan pengertian yang disampaikan. b) kesesuian; berkaitan dengan kecocokan antara kata yang digunakan dengan kesempatan, situasi dan keadaan pembaca. 7) Ketepatan Penggunaan Ejaan Ejaan artinya kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb.) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca (Moeliono, 1995 : 250). Yang termasuk di dalamnya ialah penulisan huruf, kata, kalimat, dan tanda-tanda baca. Ejaan memegang peranan penting dalam karangan, oleh karenanya dalam mengarang hendaklah berpedoman pada
17 ketentuan yang berla-ku, yaitu buku Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (EyD). e. Langkah-langkah Mengarang Agar dapat mencapai hasil mengarang yang baik ada beberapa saran yang berupa langkah-langkah mengarang yang harus diperhatikan, langkah-langkah itu ialah ; 1) memilih dan membatasi topik 2) menentukan tema dan merumuskan tesis 3) mengumpulkan bahan-bahan Pembicaraan 4) menyusun garis besar. 1) Memilih dan Membatasi Topik Kegiatan memilih serta membatasi topik merupakan langkah awal yang ditempuh pengarang, apalagi bagi pengarang pemula. Hal ini harus dilakukan secara tertulis, agar membantu mengarahkan pengarang tentang apa yang akan ditulisnya. 2) Menentukan Tema dan Merumuskan Tesis Setelah topik dipilih, lanjutkan dengan menentukan tema; mengenai apa yang hendak kita katakan tentang topik itu. Tema merupakan pusat karangan. Tema merupakan pernyataan, pandangan, pendirian penulis mengenai topik. Tema dapat disebut juga sebagai gagasan pokok.
18 3) Mengumpulkan Bahan-bahan Pembicaraan Setelah tema karangan dirumuskan, yang merupakan pendirian atas tesis, maka sekarang akan diuraikan, dipertahankan, dan dibuktikan. Ada dua sumber pokok pembuktian yaitu dari diri sendiri dan dari luar. Pengalaman serta hasil pengamatan penulis yang objektif dan cermat merupakan bahan-bahan pembicaraan yang menginspirasikan penulis mengenai apa yang akan dituliskannya.
Selain diri pribadi, dunia luar pun merupakan bahan yang
sangat veriatif, dan inspiratif.
Dunia luar sebagai sumber bahan berupa
kesaksian-kesaksian orang lain, anggapan-anggapan umum yang sudah diterima masyarakat merupakan bahan yang aktual yang dapat dipergunakan sebagai bahan pembicaraan. 4) Menyusun Garis Besar atau Kerangka Karangan Menyiapkan garis besar atau kerangka karangan merupakan “pengaman” yang sangat membantu penulis. Penulis akan merasa pasti dan lebih aman jika garis besar atau kerangka karangan disiapkan sebelum mulai mengarang. Jika garis besar itu betul-betul dipersiapkan dengan sebaik-baiknya maka pekerjaan mengarang akan semakin lancar. Garis besar ada yang bersifat formal (lengkap), bersifat topikal, dan ada yang bersifat kalimat. Jika siswa menulis karangan deskripsi tetapi pengetahuan pungtuasi tidak dimilikinya maka siswa akan mengarang sesuka hatinya, akibatnya perintah ini tidak akan terlaksana. Berikut digambarkan dalam diagram kerangka berpikir penelitian pada halaman berikut:
19 Pola pengembangan paragraf deskripsi: a) paragraf deskripsi spesial; paragraf ini menggambarkan objek khusus ruangan, benda/ tempat; b) paragraf deskripsi subjektif; paragraf ini menggambarkan objek seperti tafsiran/ kesan perasaan penulis; c) paragraf deskripsi objektif; paragraf ini menggambarkan objek dengan apa adanya atau sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas deskripsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah karangan tentang sesuatu yang dijelaskan sesuai dengan pengamatan terhadap objek sebenarnya menggunakan bahasa Lampung.
2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Hakikat Contextual Teaching and Learning (CTL) Depdiknas (2003) menjelaskan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Sanjaya (2006: 109), pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Hal ini berarti pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa bukan pada guru. Guru bukan sebagai sumber ilmu, malainkan perancang, fasilitator, dan motivator
20 dalam pembelajaran. Kelebihan pembelajaran menggunakan pendekatan CTL menurut Nurhadi, dkk (2004:32), dapat meningkatkan hasil dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Kebaikannya sebagai berikut. 1) Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang dipelajarinya dari pada “mengetahuinya”. 2) Pembelajaran dapat membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka. 3) Kontekstual merupakan pndekatan baru yang lebih memberdayakan siswa, tidak menghafal fakta tetapi mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. 4) Kontektual merupakan pembelajaran yang mengajak anak mengetahui makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
Blanchara (2001: 72) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan, mengalami apa yang sedang dipelajarinya,
berhubungan
dengan kehidupan dan dunia nyata. Center of Educations and Work at the Univercity of Wisconsin-Madison (TEACHNET) mengeluarkan pernyataan penting tentang CTL sebagai berikut. Contextual teaching and learning is conception of teaching and that helps teacher relate subject ter content to real world situations and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizen, and wokers and engange in the hard work that learning requires (Johnson, 2002: 38-39). Teachnet menekankan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang mampu menolong guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata, CTL juga mampu memotivasi siswa dalam menghubungkan antara pengetahuan yang diperoleh dengan aplikasinya dalam hidupnya baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja.
21 Pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual menuntut guru mampu memotivasi siswa belajar dalam situasi dunia nyata, dengan konsep belajar ini siswa dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi yang dipelajari sehingga pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang menghadirkan dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Pada
saat
siswa
memperoleh
pengetahuan
dan
keterampilan dari konteks yang terbatas, saat itu pula sedikit demi sedikit siswa mengkonstruksikan pemikirannya. Hasil dari proses ini dijadikan siswa sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa “belajar” merupakan sesuatu yang kompleks dan multi dimensional yang jauh melampaui berbagai metode belajar lainnya yang hanya berorientasi pada latihan dan rangsangan/ tanggapan (stimulus-respon) Pembelajaran kontekstual menganjurkan bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan sesuai dengan kerangka pikiran yang dimilikinya (ingatan, pengalaman dan tanggapan).
Lebih lanjut Johnson (2006: 25) menjelaskan CTL sebagai berikut. “The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying in the academicsubjects with the context of their daily lives, that is with thecontexst of the personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significans work, self regulated learning.
22 Collaborating, critical and creative thingking, nurturing the individual reaching high standars, using authentic assessmen.”
Pemahamanya hakikat CTL merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan membantu siswa melihat makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial dan budaya, menuntut siswa belajar bermakna, mengatur belajar sendiri, bekerjasama, berfikir kritis dan kreatif, mencapai standar yang tinggi.
Zahorik (1999:14-22) menjelaskan ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual: (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating
knowledge),
memperhatikan
detailnya,
(2) (3)
pemerolehan pemahaman
pengetahuan pengetahuan
baru,
kemudian
(understanding
knowledge), (4) mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman, (5) melakukan refleksi (reflection knowledge).
Pendekatan CTL menurut Nurhadi (2004:31) memiliki tujuh komponen yaitu: konstruktivisme, inquiry, bertanya, masyarakat belajar, permodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya. Hal serupa diungkapkan oleh Sanjaya (2006:113) bahwa komponen-komponen pembelajaran
yang digunakan dalam pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah Construktivisme, Inquiri, Questioning, Learning community, Modeling, refleksi, dan Authentic Assesment. Penerapan masing-masing komponen dapat dijelaskan sebagai berikut.
23 1) Konstruktivisme Merupakan aliran pembelajaran yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu (Hati, 2007). Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Siswa menjadi “Subjek” bukan “Objek” belajar. Bentuknya adalah siswa mengerjakan sesuatu: a) menulis karangan deskripsi b) mendemonstrasikan yakni bahasa komunikasi yang digunakan adalah bahasa lampung. c) menciptakan ide karangan deskripsi sesuai yang diamati. d) memecahkan masalah
Tugas guru dalam hal ini adalah memfasilitasi proses belajar dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan, menerapkan idenya sendiri dan memotivasi siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar, mengerjakan tugas. Implementasinya terdiri dari kegiatan menyebutkan, mengidentifikasikan, mengkategorikan, dan membuktikan. Pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, beraktifitas di dalam laboratorium, membuat laporan ilmiah, mendemonstrasikan hasil kerja baik berupa laporan maupun hasil eksperimen di laboratorium, menciptakan ide, dan sebagainya.
24 2) Menemukan (Inquiry) Kegiatan pembelajarannya diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Setelah itu siswa akan mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis. Siswa menemukan sendiri pengetahuan dan keterampilan mereka melalui tahap: 1) Mengamati atau melakukan observasi (observation) 2) Membaca referensi untuk informasi pendukung. 3) Bertanya jawab dengan teman (questioning) 4) Menduga (hypotesis) dan memunculkan ide-ide baru. 5) Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya(data gathering) 6) Menganalisis, menyimpulkan (conclusion), dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar dll. 7) Siswa membuat laporan ilmiah sendiri 8) Siswa mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain. 9) Disampaikan pada orang lain untuk mendapat masukan.. 10) Melakukan refleksi. 11) Menempelkan gambar, karya tulis di mading, majalah sekolah, dsb.
3) Bertanya (Questioning) Suatu pembelajaran akan tampak hidup dan bergairah kalau disertai dengan tanya jawab antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa lainnya, antara siswa dengan orang lain. Manfaat tanya jawab dalam pembelajaran sangat banyak yaitu, untuk memotivasi siswa, menghindari pembelajaran yang monoton. Teknik bertanya merupakan hal mendasar dalam pembelajaran kontekstual.
25 Menurut Senduk (2004: 45), bertanya merupakan suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa pilar bertanya dalam pembelajaran kontekstual merupakan bagian penting, karena merupakan induk dari strategi pembelajaran. Kegiatan bertanya yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk mengarahkan, membimbing, dan mengevaluasi cara berfikir siswa. Sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. (Hati, 2007).
Dengan bertanya, siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasikan sesuatu, mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui, bertanya dapat diterapkan saat berdiskusi, kerja kelompok, ketika mengamati, dan saat mengalami kesulitan. Hampir pada semua aktifitas belajar, questioning dapat diterapkan: 1) Antara siswa dengan guru 2) Antara guru dengan siswa 3) Antara siswa dengan siswa 4) Antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep learning community menyarankan agat hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan
CTL
guru
disarankan
selalu
melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok belajar. Kelompok belajar atau sekelompok
26 komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. (Hati, 2007). Mengutamakan kerjasama dengan orang lain atau kelompok, dapat dilakukan jika anggotanya mau saling mendengarkan, tidak merasa paling tahu, serta tidak segan untuk bertanya kepada lainnya. Prakteknya dapat terwujud dalam: 1)
Pembentukan kelompok kecil
2)
Pembentukan kelompok besar.
3)
Mendatangkan „ahli‟ ke kelas.
4)
Bekerja dengan kelas sederajat.
5)
Bekerja dengan kelas di atasnya.
6)
Bekerja dengan masyarakat.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lemah yang pandai belajar cepat membantu teman yang lamban. Hal ini dapat membantu siswa menuangkan deskripsi menggunakan kalimat bahasa lampung yang tepat.
5) Permodelan (Modeling) Pengertian permodelan menurut Yasin (2004: 49), merupakan suatu cara mengaktualisasikan sesuatu yang abstrak. Permodelan dapat juga dimaksudkan untuk membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang diharapkan guru. Jadi permodelan merupakan cara melakukan sesuatu, mempraktekkan cara mendeskripsikan sesuatu yang dilihat dan lain-lain. Sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru,
27 dengan begitu guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Kegiatan mendemonstrasikan suatu perbuatan agar siswa dapat mencontoh atau belajar, atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. (Hati, 2007).
Model ini dapat dirancang dengan melibatkan media lingkungan misalnya, guru menunjukkan pohon kelapa sawit di halaman sekolah, kemudian salah satu siswa bisa ditunjuk untuk menyebutkan suatu kata dalam bahasa lampung yang berhubungan dengan media tersebut. Dalam pendekatan CTL guru bukan satusatunya model, tetapi model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan respon terhadap sesuatu kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima, contohnya: a) pertanyaan langsung tentang ketentuan apa saja yang boleh diamati; b) komentar siswa tentang pembelajaran hari itu; c) catatan atau konsep siswa; d) diskusi; e) hasil karya.
Refleksi merupakan cara berfkir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan masa lalu (Senduk, 2004: 510). Siswa memahami apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa perlu diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian
28 diperluas sedikit demi sedikit. Siswa mencatat apa yang telah dipelajari dan bagaimana menemukan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu untuk melakukan refleksi.
Kegiatan dalam refleksi menurut Hati, (2009) berupa melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang sudah diketahui, dan hal-hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Dapat juga dikatakan sebagai respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima, contohnya: 1) Pertanyaan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 2) Komentar siswa tentang pembelajaran hari itu. 3) Catatan atau jurnal dibuku siswa. 4) Diskusi 5) Hasil karya Penerapan refleksi menurut Nurhadi (2004: 51) memiliki ciri sebagai berikut: (a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, (b) catatan atau buku jurnal di buku siswa, (c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (d) diskusi, (e) hasil karya, (f) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa pada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari. Jadi reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan perbaikan jika diperlukan.
29 7) Penilaian yang Sebenarnya (Autentic Assessment) Agar penilaian yang dilakukan benar-benar menggambarkan keadaan siswa yang sebenarnya, perlu dilakukan suatu penilaian yang mampu mengukur keadaan siswa yang sebenarnya. Siswa tidak hanya dinilai dari satu aspek, melainkan dari berbagai aspek sehingga data yang didapat bisa menggambarkan keadaan siswa yang sebenar proses.
Penilaian autentik memiliki beberapa karakteristik, menurut Senduk (2004: 52) penilaian autentik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) harus mengukur semua aspek pembelajaran, (b) dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran, (c) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (d) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian, (e) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian dari kehidupan siswa.
Berdasarkan
pendapat
tersebut
penilaian
autententik
merupakan
proses
pengumpulan berbagai data yang bisa menggambarkan perkembangan siswa. Penilaian ini menekan pada perkembangan kemampuan siswa dalam memahami dan mempelajari pengetahuan atau keterampilan. Penilaian ini dilakukan dengan berbagai cara yaitu pemberian tugas, proses pembelajaran, kinerja, performan, hasil karya atau produk dan sebagainya.
Autentic Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, dan perlu diketahui oleh guru untuk bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Penekanannya pada assesment dalam proses pembelajaran, data yang dikumpulkan diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
30 melakukan proses
pembelajaran. Kemajuan
belajar dinilai dari
proses
pembelajaran, bukan melalui hasil.
Karakteristik assessment adalah: (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) bisa digunakan untuk formatif dan sumatif, (c) yang diukur keterampilan dan performansi bukan fakta, (d) berkesinambungan, (e) terintegrasi, (f) dapat digunakan sebagai feed back. Bentuk-bentuk penilaian autentik: fortofolios, story reteling, interview, video, tape evaluation of performance, audio tepe evaluation of reading, teacher observations, close test. Dalam hal iniakan dilakukan penilaian terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan produk tulisan deskripsi siswa dalam bahasa lampung.
b. Perbedaan Pendekatan kontestual dengan Pendekatan Konvensional Menurut pendapat Nurhadi (2003: 7) terdapat perbedaan antara pendekatan CTL dan konvensional yaitu: No
Pendekatan CTL
Pendekatan Konvensional
1
Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Siswa belajar dari teman melalui kerja. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata atau masalah yang disimulasikan. Perilaku dibangun atas kesadaran diri. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Seseorang tidak melakukan yang jelek karana dia sadar hal itu keliru dan merugikan. Bahasa diajarkan dengan
Siswa adalah penerima informasi secara pasif. Siswa belajar secara individual.
2 3
4 5 6 7
8
Pembelajaran teoritis.
sangat
abstrak
dan
Perilaku dibangun atas kebiasaan. Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (raport). Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan. Seorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman. Bahasa diajarkan dengan pendekatan
31 pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam monteks nyata. Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa. Pemahaman rumus relatif berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan skemata siswa. Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masingmasing ke dalam proses pembelajaran.
struktural: rumus, diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan (drill).
No
Pendekatan CTL
Pendekatan Konvensional
1
Pengetahuan yang dimiliki manusia, dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahauan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya. Ilmu pengetahuan dikonstruksi oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru maka pengetahuan.tidak pernah stabil, selalu berkembang. Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masingmasing. Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes dan lain-lain. Pembelajaran terjadi diberbagai
Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri manusia.
9
10
11
2
3
4 5
6
Rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan dan dilatihkan. Rumus adalah kebenaran absolut, hanya ada dua kemungkinan yaitu pamahaman rumus yang salah atau yang benar. Siswa secara fasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengar, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.
Kebenaran bersifat absolut pengetahuan bersifat final.
dan
Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. Hasil belajar diukur hanya dengan tes.
Pembelajaran hanya di dalam kelas.
32 7 8 9
tempat, konteks dan setting Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik. Seorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat.
Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek. Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik. Seseorang berperilaku baik karena terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan.
c. Beberapa Hal Penting Dalam Pembelajaran CTL Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL harus memperhatikan halhal yang yang terkait, baik berkaitan dengan konsep, langkah-langkah, maupun pelaksanaan pembelajaran dengan CTL. Contextual Teaching and Learning (CTL) menurut Clifford dan Wilson (2000:2) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang dapat membantu siswa menemui ketuntasan belajar berdasarkan kompetensi yang telah ditetapkan. Siswa dapat dikatakan tuntas belajar jika ia dapat berguna dan mampu mengaplikasikan pengetahuannya terhadap lingkungan sekitar kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, sebagai seorang anggota keluarga, warga negara, dan pekerja atau karyawan.
CTL dikatakan efektif digunakan dalam pembelajaran karena: (Clifford dan Wilson, 2000:2): 1. emphasizes problem-solving, 2. recognizes the need for teaching and learning to occur in multiple contexts, 3. teaches students to become self-regulated learners, 4. anchors teaching in students‟ diverse life contexts, 5. encourages students to learn from each other in interdependent groups, and 6. Employs authentic assessment.
33 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran dengan Contextual Teaching Learning, terutama berkaitan dengan pembelajaran Bahasa Lampung adalah sebagai berikut 1.
CTL adalah model pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
2.
CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
3.
Kelas, dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.
4.
Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain. (Sanjaya, 2006:125).
3. Media Pembelajaran Media berasal dari kata “medium” yang berasal dari bahasa latin “medius” yang berarti “tengah atau sedang”. Pengertian media ini mengarah pada sesuatu yang menjadi penghantar untuk meneruskan suatu informasi dan sumber informasi kepada penerima informasi. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan, ringkasnya media adalah alat untuk menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran. Arsyad (2005: 54) mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan/ informasi.
Heinich dalam Arsyad (2005: 82) menyatakan, media sebagai perantara yang mengantar informasi apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi
34 yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud pengajaran. Hamidjojo dalam Latuheru mengemukakan bahwa, media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran (biasanya sudah dituangkan dalam GBPP atau silabus) yang dimaksudkan untuk mempertinggi kegiatan belajar. Media pembelajaran adalah bahan, alat, maupun metode/ teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara siswa dan sumber belajar dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. Jadi media yang dimanfaatkan untuk belajar adalah lingkungan yang terdekat dengan siswa. “National Education Assosiation” memberi definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual dan peralatannya dengan demikian dapat dimanipulasi, dilihat, didengar atau dibaca. Menurut Lohan dalam Sihkabuden (999: 58), media suatu sarana atau chanel sebagai perantara antara si pemberi pesan kepada penerima pesan.
Menurut Olson dalam Budiningsih (2005: 62) mendefinisikan media sebagai teknologi untuk menyajikan, merekam, membagi dan mendistribusikan simbol dengan melalui rangsangan indera tertentu, disertai penstrukturan informasi. Gagne dalam Sagala (2005: 281) menyatakan bahwa media pendidikan adalah berbagai jenis komponen lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Briggs dalam yang sama, lebih lanjut menyatakan bahwa media pembelajaran adalah sarana untuk memberikan perangsang bagi si belajar supaya proses belajar terjadi.
Sardiman (2006: 205) menyatakan bahwa:
35 media pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan. Pertama, adalah alat-alat yang merupakan benda sebenarnya yang memberi pengalaman langsung dan nyata. Kedua, alat-alat yang merupakan benda pengganti yang seringkali dalam bentuk tiruan dari benda sebenarnya, memberikan pengalamannbuatan atau tidak langsung. Ketiga, bahasa lisan maupun tertulis memberikan pengalaman melalui berbahasa.
Secara umum, peranan media dalam proses pembelajaran dapat: a. menghemat waktu belajar; b. memudahkan pemahaman; c. meningkatkan perhatian siswa; d. meningkatkan aktivitas siswa; e. mempertinggi daya ingat siswa.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerima serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si belajar, sehingga dapat memotivasi terjadinya belajar
yang baik dengan sengaja,
bertujuan dan terkendali. Media pembelajaran sebagai salah satu komponen sumber dan merupakan bagian integral dari keseluruhan komponen pembelajaran menempati posisi yang penting dan akan turut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran. Pada kenyataannya, pengembangan dan penerapan media pembelajaran diharapkan dapat memotivasi belajar terhadap pembelajaran sehingga berdampak pula pada peningkatan hasil belajarnya. Selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka guru harus mampu mengembangkan media pembelajaran secara bervariasi, baik yang dirancang khusus (by design) maupun dengan
36 memanfaatkan (by utilization) sejumlah media yang telah ada. Dengan demikian media pendidikan dan media pengajaran dirangkum saja dengan media pembelajaran.
Kegunaan media dalam pembelajaran menurut Miarso (2005: 536): (a) Media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita sehingga otak kita dapat berfungsi secara optimal, (b) Media dapat mengatasi keterbatasan pengamatan yang dimiliki oleh siswa, (c) Media dapat melampaui batas ruang kelas, (d) Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dan lingkungan, (e) Media menghasilkan keseragaman pengamatan, (f) Media membangkitkan keinginan dan minat baru, (g) Media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar, (h) Media memberikan pegalaman yang integral/ menyeluruh dari sesuatu yang konkret maupun yang abstrak, (i) Media memberikan kesempatan untuk belajar mandiri, (j) Media meningkatkan keterbacaan baru (membedakan dan menafsirkan objek), (k) Media mampu meningkatkan efek sosialisasi, (l) Meningkatkan kemampuan ekspresi diri guru maupun siswa.
Kriteria pemilihan media menurut Arsyad (2005: 39), sebagai berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep prinsip atau generalisasi, (c) praktis, luwes dan bertahan, (d) guru trampil menggunakannya, (e) pengelompokan sasaran, (f) mutu teknis (memiliki persyaratan teknis yang tertentu)
Tiga kategori media menurut Haney dan Ullmer yang dikutip Miarso (2005:25), yaitu: (1) Media Penyaji: Grafis, bahan cetak dan gambar diam, Proyeksi diam, Audio/ kaset, Audio ditambah visual diam, Gambar hidup/ film, Televisi, Multi media, (2) Media Objek: Objek sebenarnya: alami (hidup dan tak hidup), buatan: gedung, mesin-mesin, alat-alat komunikasi, jaringan transportasi dan semua benda yang dibuat, Objek pengganti: replika, model, dan benda tiruan, (3) Media Interaktif: memperhatikan penyajian objek dan berinteraksi (internet, komputer).
37 Media yang akan digunakan dalampenelitian ini adalah media objek sebenarnya alami hidup dan tak hidup yang terdapat di lingkungan sekitar sekolah yaitu, sugai, gunung, kebun, pantai dan benda-benda tak hidup lainnya.
4. Pembelajaran Menulis Deskripsi Berbahasa Lampung Menggunakan CTL Bahasa Lampung adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat penuturnya yaitu suku Lampung dalam berkomunikasi dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri” (Chaer, 1997: 68). Nababan (1999: 96) mengemukakan bahwa bahasa memiliki empat fungsi yaitu fungsi kebudayaan, kemasyarakatan, perorangan, dan pendidikan.
Fungsi
kebudayaan
meliputi
tiga
hal
yaitu:
pelestarian
kebudayaan,
pengembangan kebudayaan dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan. Fungsi kemasyarakatan meliputi ruang lingkup dan bidang pemakaian. Fungsi perorangan meliputi fungsi instrumental, kepribadian, pemecahan masalah, khayalan dan informatif. Fungsi pendidikan meliputi fungsi integratif, instrumental, kultural dan penalaran.
Fungsi dan tujuan pembelajaran bahasa Lampung untuk membelajarkan siswa didik dalam belajar bahasa Lampung dan berfungsi memberikan kemampuan menggunakan bahasa Lampung bagi kepentingan berpikir, merasa dan
38 berkomunikasi dalam kehidupan budaya masa kini, sebagai lanjutan dari kehidupan masa lalu, dengan memperhatikan peristiwa penggunaannya.
Pada proses pembelajaran
berlangsung, guru memotivasi siswa melakukan
pengamatan terhadap gambar kemudian mengungkapkan hasil pengamatannya melalui deskripsi. Siswa menulis deskripsi sesuai dengan kaidah bahasa Lampung, baik ejaan, struktur maupun kosa kata. Dengan demikian, pembelajaran dalam terlaksana dengan mengoptimalkan masyarakat belajar dalam pembelajaran bahasa Lampung dengan pendekatan CTL.
Pembelajaran
bahasa
Lampung
meliputi
pengenalan,
pemahaman,
dan
keterampilan mencakup unsur bahasa Lampung (Depdikbud Provinsi Lampung 2003: 16) yaitu: a) Lafal dan ejaan, yang berkenaan dengan lafal yang baik dan ejaan yang sesuai dengan pedoman Ejaan Bahasa Lampung. b) Struktur, yang berkenaan dengan bebtuk kata, frase, dan kalimat Bahasa Lampung yang baik dan yang diterima bukan teoritis. c) Kosa kata, yang berkenaan dengan kata-kata bahasa lampung dari berbagai lingkungan kehidupan yang diperlukan sebagai alat berpikir, merasa dan berkomunikasi dengan lancar. d) Wacana, berkenaan dengan karangan jenis narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi dan drama.
Lebih lanjut dijelaskan pokok-pokok bahasan pembelajaran mencerminkan kegiatan berbahasa dalam bahasa Lampung, khususnya menulis adalah pembelajaran menulis untuk mengomunikasikan gagasan, perasaan, dan pesan, dengan bahasa Lampung secara tertulis, baik dalam bentuk prosa atau puisi maupun dalam berbagai jenis karangan, seperti pada karangan deskripsi berbahasa Lampung.
39 Pembelajaran menulis disesuaikan dengan ketentuan menulis. Hamer (1999: 48) mengatakan bahwa dalam keterampilan menulis harus diperhatikan beberapa hal misalnya penyusunan kalimat menjadi paragraf; bagaimana paragraf digabungkan dan dikelompokan sehingga menjadi tulisan yang koheren.
Penerapan
pembelajaran pendekatan kontekstual (CTL) dalam penelitian ini adalah guru mendesain proses pembelajaran menulis teks deskripsi berbahasa Lampung dengan memanfaatkan lingkungan sebagai media. Mengonstruksi pengetahuan siswa sedikit demi sedikit sehingga pengetahuannya bermakna dalam proses menemukan, bertanya, masyarakat belajar, memberi permodelan, melaksanakan refleksi dalam pembelajaran dan melaksanakan penilaian autentik.
5. Prestasi Belajar a. Pengertian Prestasi Belajar Prestasi adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda “prestatie” yang berarti hasil usaha. Kata prestasi dalam berbagai penggunaan selalu dihubungkan dengan aktivitas tertentu. Prestasi belajar adalah kemampuan nyata yang dapat langsung diukur dengan tes tertentu dan dapat dihitung hasilnya, menurut Zainal dalam Sagala (2005: 101), bahwa: “Prestasi merupakan kemampuan siswa yang dapat dicapai saat dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap berbagai hal yang pernah dilatihkan/ diajarkan sudah dapat diperoleh gambaran yang nyata tentang pencapaian program pembelajaran secara menyeluruh”. Di samping itu menurut Wittrock dalam Latuheru (1999: 46), “prestasi belajar adalah suatu terminology yang menggambarkan suatu proses perubahan melalui
40 pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relative permanen berupa sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan keterampilan melalui pengalaman”.
Skiner dengan teori operant conditioning sebagaimana dikutip Gredler (dalam Slameto, 2003: 49) mengatakan bahwa, prestasi belajar merupakan respon/ tingkah laku yang baru. Walaupun Skiner mengatakan demikian namun pada dasarnya respon yang baru itu sama pengertiannya dengan tingkah laku/ pengetahuan, sikap, keterampilan yang baru.
Prestasi menurut Hamalik (1983:84) adalah perubahan tingkahlaku yang diharapkan kepada murid setelah diadakan proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Yusuf (1982:24) prestasi adalah tingkatan kepandaian keterampilan yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan pekerjaan atau latihan itu sendiri. Menurut Adi Nugroho prestasi adalah segala jenis pekerjaan yang berasil dan prestasi itu menunjukkan kecakapan.. Selanjutnya, Purwadarminto menyebutkan bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu terhadap hal-hal yang dikerjakan/ dilakukan.
Reigeluth dalam yang sama berpendapat, prestasi belajar dapat juga dikatakan sebagai pengaruh yang memberikan suatu ukuran nilai dari metode (strategi) alternatif dalam kondisi yang berbeda, ada hasilnyata dan diinginkan. Hasil nyata, hasil-hasil kehidupan nyata dari menggunakan metode (strategi) spesifik dalam kondisi yang spesifik pula, sedangkan hasil yang diinginkan adalah tujuan-tujuan (goals) yang umumnya berpengaruh pada pemilihan suatu metode.
41 Ini berarti prestasi belajar sangat erat kaitannya dengan metode (strategi) yang digunakan pada sesuatu kondisi (pembelajaran) tertentu. Semakin ketepatan pemilihan metode atau strategi (pembelajaran) pada suatu kondisi semakin baik hasil belajar. Selanjutnya juga mengatakan, secara spesifik hasil belajar adalah suatu kinerja (peformance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang diperoleh. Hasil belajar tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan-tujuan khusus perilaku (unjuk kerja).
Muhibin (1997:141) menyebutkan bahwa prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Demikian pula pendapat Albach, Arnove dan Kelly (1999:201) bahwa prestasi belajar hanya ukuran keberhasilan di sekolah tidak termasuk keberhasilan dalam keluarga dan masyarakat. Davis dalam Slameto (1985:21) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah pengetahuan yang diperoleh siswa sebagai hasil dari pembelajaran. Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa prestasi belajar dipergunakan untuk menyebut berbagai macam hasil kegiatan atau usaha. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Istilah prestasi belajar sering digunakan untuk menyebut hasil yang dicapai dalam berbagai kegiatan, misalnya prestasi olahraga, prestasi seni, prestasi kerja, prestasi belajar, prestasi usaha, dan sebagainya.
42 Berdasarkan uraian di atas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar, yaitu penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu. Prestasi belajar sering dipergunakan dalam arti yang sangat luas, seperti prestasi belajar dalam ulangan harian, prestasi pekerjaan rumah, prestasi belajar tengah semester, prestasi akhir semester, dan sebagainya.
Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat prestasi belajar adalah dengan menggunakan tes. Tes prestasi dapat digunakan sebagai suatu tes diagnosis yang dirancang untuk membuktikan mengenai gambaran kelebihan dan kekurangan siswa.
Pada proses pembelajaran, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil dari pembelajaran yang meliputi penguasaan, perubahan emosional, dan perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes objektif maupun tes uraian. Dengan demikian, prestasi belajar Bahasa Lampung adalah prestasi belajar siswa pada tes ujian akhir semester atau pada Konpetensi Dasar pada mata pelajaran Bahasa Lampung.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar Bahasa Lampung merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari pelajaran Bahasa Lampung di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi tertentu. Prestasi
belajar
memiliki
beberapa
kategori.
Gagne
(1992:5)
mengklasifikasikannya menjadi lima kategori yakni: 1) Intellectual skill, 2) Cognitive strategies, 3) Verbal information, 4) Motor skill, dan 5) Attitudes.
43 1) Keterampilan intelektual. Kemampuan ini merupakan keterampilan yang membuat seseorang secara cakap berinteraksi dengan lingkungan melalui penggunaan lambang-lambang. 2) Strategi kognitif. Kemampuan yang mengatur cara bagaimana si belajar mengelola belajarnya. 3) Informasi verbal. Kemampuan ini berupa perolehan label atau nama, fakta dan pengetahuan yang sudah tersusun rapi. 4) Keterampilan motorik. Kemampuan yang mendasari pelaksanaan perbuatan jasmaniah secara mulus. 5) Sikap. Kemampuan yang mempengaruhi pilihan tindakan yang akan diambil.
Lebih lanjut, Bloom dan kawan-kawan sebagai mana dikutip oleh Degeng dalam Hamalik (2004: 90) mengklasifikasikan prestasi belajar menjadi 3 (tiga) domain atau ranah, yaitu ”ranah kognitif, psikomotor, dan afektif” ranah kognitif, menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektual, ranah
psikomotor
berkaitan
dengan
kegiatan-kegiatan
manipulatif
atau
keterampilan motorik, dan ranah efektif berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai, dan emosi”. Ketiga ketegori prestasi belajar itu mempunyai aspek masing-masing.
Kognitif, aspek-aspek dari domain ini terdiri dari: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Afektif, domain ini terdiri dari aspekaspek penerimaan tanggapan, penilaian, pengorganisasian, dan pengarahan.
44 Psikomotorik, terdiri dari beberapa aspek: kemampuan gerak refleks, kemampuan gerak dasar, kemampuan perseptual, kemampuan fisik, kemampuan gerak terampil, dan kemampuan gerak komunikatif.
Dapat diasumsikan bahwa untuk menghasilkan kategori kapabilitas atau kelima ranah prestasi belajar tersebut sedikitnya banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor internal seperti pengetahuan prasyarat atau kemampuan awal dari masingmasing kategori hasil belajar yang dimiliki oleh siswa, yang berkaitan dengan kapabilitas atau keterampilan yang sedang dipelajari/ baru.
Gagne (1992:66) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pemngetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku. Belajar adalah suatu aktivitas yang melibatkan bukan hanya penguasaan kemampuan akademik baru saja, melainkan juga perkembangan emosional, interksi sosial dan perkembangan kepribadian. Menurut Gagne (1992:3) belajar adalah perubahan dalam diri manusia atau kemampuan yang berlangsung selama satu masa waktu yang tidak semata-mata disebabkan oleh perubahan pertumbuhan.
Jenis perubahan yang dimaksud dalam belajar ini meliputi perubahan tingkah laku setelah siswa mendapatkan berbagai pengalaman dalam proses pembelajaran. Pengalaman tersebut akan menyebabkan proses perubahan pada diri sibelajar, dengan kata lain bahwa proses belajar senantiasa merupakan perubahan tingkahlaku dan terjadi karena pengalaman.
45 Yang dimaksud prestasi belajar siswa dalam penelitian ini adalah prestasi yang ditunjukkan siswa setelah dilakukan pembelajaran, jika prestasi belajar mengalami peningkatan maka siswa dapat dinyatakan mencapai prestasi belajar atau mengalami peningkatan setelah mengalami belajar, jika tidak prestasi belajar tidak tercapai atau belum tuntas.
Memperhatikan pernyatan tersebut belajar merupakan upaya siswa untuk memahami materi ajar yaitu, menulis deskripsi bahasa Lampung sesuai dengan aturan penulisan atau kaidah bahasa, diharapkan siswa memiliki pengetahuan dan kemampuan dan dapat mengaplikasikan serta melaksanakan nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Dipahaminya suatu ilmu dalam proses pembelajaran akan tercermin melalui hasil evaluasi. Penggunaan pendekatan CTL, media dan alat belajar yang tepat dalam pembelajaran akan sangat membantu siswa belajar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa penggunaan pendekatan, media dan alat dalam proses pembelajaran dapat mempertinggi hasil belajar, siswa dapat menjadi aktif belajar, berkolaborasi dan belajar dalam waktu yang telah ditentukan, pesan dapat disalurkan, dapat merangsang berpikir, perhatian, minat siswa, sehingga proses belajar berlangsung dengan baik. Pemahaman siswa terhadap materi mengarah pada tercapainya tujuan pembelajaran dan mencapai prestasi yang tinggi.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah berupa pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap sesuai tujuan atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dari indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang diharapkan diperoleh setelah melalui proses pembelajaran.
46 Pretasi belajar yang dimaksudkan peneliti adalah perolehan dari proses pembelajaran yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik mencapai lebih besar atau sama dengan KKM pelajaran bahasa Lampung, dari tujuan pembelajaran yang diturunkan dari indikator, kompetensi dasar dan standar kompetensi yang diperoleh siswa melalui interaksi dengan lingkungan belajar dan suatu kondisi pembelajaran materi menulis deskripsi yang dirancang guru sebagai fasilitator.
c. Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal Standar nasional Pendidikan (Depdiknas, 2008: 5) menyatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah kriteria tertentu yang digunakan untuk menentukan kelulusan peserta didik. KKM ditentukan oleh kelompok guru mata pelajaran pada awal tahun pelajaran dan menjadi acuan bagi pendidik dan peserta didik. KKM setiap standar kompetensi merupakan rata-rata KKM kompetensi dasar. KKM setiap kompetensi dasar merupakan rata-rata KKM dari indikator yang terdapat dalam kompetensi dasar tersebut. Penentuan KKM didasarkan pada tiga unsur.
Pertama, Tingkat kompleksitas: Kesulitan/ kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Suatu indikator dikatakan memliliki tingkat kompleksitas tinggi apabila dalam pencapaiannya didukuoleh sekurang-kurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai berikut: 1) Guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada peserta didik;
47 2) guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi; 3) Guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan; 4) Peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi; 5) Peserta didik yang cakap/ terampil menerapkan monsep; 6) Peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/ pekerjaan; 7) Waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan pengulangan/ latihan; 8) Tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar.
Kedua, Kemampuan daya pendukung: meliputi a. Sarana dan prasarana peendidikan yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat/ bahan untuk proses pembelajaran; b. Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah dan kepedulian stakeholders sekolah.
Ketiga, Tingkat Kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang bersangkutan. Penetapan intake di kelas V dapat didasarkan pada nilai prestasi rata-rata siswa saat kenaikan kelas atau dikelas sebelumnya yaitu kelas IV.
KKM mulok Bahasa Lampung kelas V, sesuai yang telah ditetapkan dalam Kurikulum Sekolah atau KTSP SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung Tahun
48 Pelajaran 2009/2010 adalah 65. KKM ini akan dijadikan tolak ukur evaluasi keberhasilan siswa belajar, apakah siswa telah mencapai ketuntasan atau belum baik secara individual maupun secara klasikal.
B. Teori Belajar Bahasa dan Pembelajaran 1. Hakikat Belajar Bahasa Dalam teori belajar konstruktivistik dikemukakan bahwa pembelajaran sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan yang menghubungkan yang sudah ada dengan yang dipelajari. Seperti dijelaskan Paul Suparno dalam Sardiman (2006: 175), belajar merupakan proses aktif dari subyek belajar untuk mengkonstuksi makna sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahkan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah di miliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.
Guru sebagai pemrakarsa harus memberi peluang yang optimal bagi siswa. Niat dan kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa (Budiningsih, 2005: 59)). Sehingga guru tidak mentransfer pengetahuan yang dimiliki melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri. Menurut teori konstruktivisme prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan bahwa, guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat memberi kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siwa untuk menentukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa
49 siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut (Nur, 1998: 8).
Cunstruktivism approach is a view that emphasizes the active role of learner in building understanding and making sesnse of information (Woodfolk, 2004: 313). Konstruktivisme belajar menekankan pada peran aktif si belajar (learner) dalam membangun
pemahaman
dan
memakai
suatu
informasi.
Konstruktivis
memfokuskan pada peran siswa secara individu untuk membangun struktur kognitif mereka ketika menginterpretasikan pengalaman-pengalaman pada situasi belajar tertentu.
Lebih lanjut Bruner dalam Sagala (2005: 218) menjelaskan, inti dari belajar adalah
cara-cara
bagaimana
orang
memilih,
mempertahankan,
dan
mentransformasi secara efektif. Dalam proses belajar ada 3 fase yaitu (1) Informasi: dalam tiap pelajaran kita memperoleh informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki ada yang memperluas dan memperdalamnya, ada pula yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, (2) Transformasi: informasi harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas, (3) Evaluasi: kemudian kita nilai hingga pengetahuan yang diperoleh itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Masih dalam yang sama
Piaget seorang psikolog Swiss berpendapat bahwa
belajar mengandung makna sebagai perubahan stuktural yang saling melengkapai antara asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui melalui belajar.
50
Hal ini didukung pula oleh Gagne dalam Slameto (2003: 122) menjelaskan: “Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia, belajar bisa terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (peformance-nya) berubah dari waktu ke waktu, dan berkeyakinan bahwa belajar dipengaruhi faktor dari dalam diri dan dari luar dimana keduanya berinteraksi”
Senada dengan tersebut Merrill dan Smorgansbord dalam Yulaelawati (2004: 122), menyatakan bahwa: belajar merupakan proses pembangunan pengetahuan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya, belajar merupakan penafsiran seseorng tentang dunia. Belajar merupakan proses yang aktif dimana pengetahuan dikembangkan berdasarkan pengalaman dan perundingan (negoisasi) makna melalui berbagai informasi atau mencari kesepakatan dari berbagai pandangan melalui interaksi atau kerjasama dengan orang lain. Belajar perlu disituasikan dalam latar (seting) yang nyata.
Kemudian menurut Gredler dalam Dimyati (1999: 72) belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan keterampilan, dan sikap, menurut Winkel dalam yang sama belajar merupakan suatu aktivitas mental/ psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan ini bersifat relative konstan dan berbekas.
Aktivitas belajar menurut Djamarah dalam Sagala (2005: 216) bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar dan bertujuan, dimana tujuan dalam belajar terjadinya suatu perubahan dalam individu yaitu perubahan tingkah laku. Schuman penganut konstruktif dalam yang sama mengemukakan dengan dasar pemikiran bahwa, semua orang membangaun pandangannya terhadap dunia
51 melalui pengalaman individual atau skema. konstruktif menekankan pada menyiapkan peserta didik untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi yang tidak tentu atau ambigius.
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam buku Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Budiningsih (2005: 123) Vigotsky mengatakan
bahwa, jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-
budayanya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya. Interaksi sosial berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas dan bahasa yang dipergunakan. Ditemukan adanya jaringan erat, luas dan kompleks di dalam dan di antara keluarga-keluarga.
Jaringan tersebut berkembang atas dasar confianza yang membentuk kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya, anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sosial sehari-hari. Pandangan teori ini menempatkan inter mental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang.
Di samping itu Piaget dalam yang sama, menyatakan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu proses yang didasrkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan sistem syaraf, makin bertambah umur seseorang makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya”
52 Dari beberapa teori konstruktivisme di atas belajar adalah merupakan kegiatan aktif dimana sibelajar membangaun sendiri pengetahuannya, subyek belajar juga mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari dan merupakan proses bagaimana menjadi tahu tentang sesuatu, proses belajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi sesuatu kegiatan yang memungkinkan siswa merekonstruksi sendiri pengetahuannya.
Belajar merupakan usaha manusia dalam rangka merubah pola pikir dan tingkah lakunya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga terjadi perubahan keterampilan, pemahaman, pengetahuan, nilai dan sikap yang bersifat permanen dan membekas, diharapkan dapat hidup mandiri, karena untuk membangun suatu pengetahuan baru siswa akan menyesuaikan informasi baru atau pengetahuan yang disampaikan dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki melalui berinteraksi sosial dengan peserta didik lain atau guru dan sumber belajar.
Selanjutnya, dapat juga dirumuskan bahwa belajar merupakan usaha manusia dalam rangka merubah pola pikir dan tingkahlakunya berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Dengan terjadinya perubahan keterampilan, pemahaman, pengetahuan, nilai dan sikap yang bersifat permanen dan membekas diharapkan dapat hidup mandiri tidak tergantung pada orang lain. Belajar yang dimaksudkan penulis adalah belajar menulis deskripsi dalam bahasa lampung, siswa mengkonstruksi sendiri informasi yang akan disampaikan melalui tulisannya setelah mengamati lingkungan sekitar.
53 b. Hakikat Pembelajaran Bahasa Sagala (2005: 176) menyatakan bahwa pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran menurut Corey (1998: 91) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkahlaku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Menurut Burton dalam Sagala (2005: 213), pembelajaran adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Vigotsky dalam Budiningsih (2005: 103) menyatakan, dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak
memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensi melalui belajar dan berkembang, guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps) cognitive scaffolding yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain, atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif, kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan.
Zona perkembangan proksimal menurutnya perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan kedalam dua tingkat yaitu: tingkat aktual dan potensial, tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental)
54 sedangkan potensial kemampuan kemampuan memecahkan masalah dan menyelesaikan tugas-tugas ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (intermental).
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan pembelajaran merupakan pengorganisasian aktivitas siswa dalam arti peran guru bukan sematamata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan, memotivasi dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran juga mengandung arti, setiap kegiatan dirancang untuk membantu dalam mempelajari sesuatu kemampuan atau nilai. Yuelawati E (2004: 121) mengutip pepatah Cina bahwa membaca, mendengar, dan melihat belum cukup dalam belajar, pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk mengalami dan membicarakan bahan tertentu pada orang lain dapat lebih bermakna dalam belajar, terlebih lagi bila peserta didik mempunyai kesempatan untuk mengajarkan pengetahuannya terhadap peserta didik lain, yang bersumber.
Keberhasilan pembelajaran Kerucut Dale disebutkan bahwa keberhasilam peembelajaran adalah sebagai berikut. 1) Apa yang kita baca 10 % 2) Apa yang kita dengar 20 % 3) Apa yang kita lihat 30 % 4) Apa yang kita dengar dan lihat 50 % 5) Apa yang kita bicarakan dengan orang lain 70 % 6) Apa yang kita alami sendiri 80 % 7) Apa yang kita ajarkan kepada orang lain 95 %
55 Pembelajaran bahasa yang dimaksud
adalah pembelajaran tentang menulis
deskripsi bahasa Lampung kelas V SD, pembelajaran ini dirancang menggunakan pendekatan Pembelajaran CTL, khususnya untuk meningkatkan aktivitas belajar bahasa Lampung dan sebagai bentuk nyata pelaksanaan tugas guru dalam hal kegiatan belajar di Sekolah Dasar, tentunya kondisi belajar yang aktif dan menyenangkan.
Hakikat belajar bahasa Lampung yang dimaksudkan dalam penelitian ini, guru akan merancang pembelajaran menggunakan pendekatan komunikatif integratif siswa diharapkan dapat mendeskripsikan apa yang diamatinya. Proses pembelajaran mengkondisikan siswa untuk melakukan pengamatan kemudian menemukan
hal
yang
diamati,
mengindentifikasikan,
menentukan,
lalu
mengungkapkan apa yang diamatinya dalam tulisan deskriptif, sehingga proses belajar berlangsung aktif dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Dalam Standar Kelulusan BSNP 2006 sesuai Permen No. 22 tahun 2005 Standar Kompetensi Lulusan pendidikan dasar meliputi SD/ MI/SDLB/ Paket A dan SMP /MTs/ SMPLB bertujuan meletakkan dasar kecerdasan: pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Adapun Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP), SD/ MI/SDLB/ Paket A selengkapnya adalah: (a) Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan anak, (b) Mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri, (c) Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungannya, (d) Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras dan
56 golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya, (e) Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis dan kreatif, (f) Menunjukkan kemampuan berfikir logis, kritis dan kreatif dengan bimbingan guru/ pendidik, (g) Menunjukkan rasa keingintahuan yang tinggi dan menyadari potensinya, (h) Menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari, (i) Menunjukkan kemampuan menggali gejala alam dan sosial di lingkungan sekitar, (j) Menunjukkan kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan, (k) Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara dan tanah air Indonesia, (l) Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal, (m) Menunjukkan kebiasaan hidup bersih, sehat, bugar, aman dan memanfaatkan waktu luang, (n) Berkomunikasi secara jelas dan santun, (0) Bekerja sama dengan kelompok, tolong menolong dan menjaga diri sendiri dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya, (p) Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis, (q) Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung.
c. Hakikat Pendidikan Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tenpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian, pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, disamping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
57 Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 menyatakan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut pragmatisme, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu. Baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya (Sadulloh, 2003: 125). Sedangkan Suhasno et all. (1991: 3), menyatakan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. serta suatu pembentukan kepribadian kemampuan anak dalam menuju kedewasaan.
Lima pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama) dan (5) learning to trust in God (belajar untuk bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa).
58 Realisasi “learning to know” dapat diterapkan dengan memposisikan guru sebagai fasilitator. Disamping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika di sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasi keterampilan yang dililikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur kerturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seorang.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses perkembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan memenerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/ era persaingan global. Perlu pemupukan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang
59 bersumber pada hal tersebut. Selain empat pilar diatas, dalam Undang-Undang RI No. 20 BAB II Pasal 3 Sistem Pendidikan Nasional pemerintah Indonesia memandang perlu menjadikan peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab, sehingga perlu ditambah pilar kelima yaitu” learning to trust in God”
C. Penelitian Relevan Penelitian yang relevan sebagai pembanding dan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas penelitian adalah sebagai berikut. 1. Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran IPA melalui Pendekatan Kontekstual Siswa Kelas VI Sekolah Tunas Mekar Bandar Lampung 2008/2009 1) Terjadi peningkatan prestasi belajar IPA kelas 6 Sekolah Tunas Mekar Indonesia Bandar Lampung dari Siklus I sampai dengan Sklus 3. Pada Siklus I nilai rata-rata siswa kelas 6A adalah 71,79. Pada Siklus II nilai rata-rata siswa kelas 6A adalah 76,62 yang berarti meningkat 6,73 pada kelas 6A dari nilai rata-rata Siklus I. Pada Siklus III nilai rata-rata siswa kelas 6A adalah 78,32 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 2,2% pada kelas 6A dari Siklus II atau mengalami peningkatan 9,01% pada kelas 6Adari Siklus I pembelajarn IPA dengan Pembelajaran Kontekstual. Selain itu, terjadi peningkatan ketuntasan yang signifikan, pada siklus I pada kelas 6A hanya terdapat 14
atau 60,87% siswa yang mencapai
ketuntasan, sedangkan pada siklus III terdapat 23 siswa atau 100% siswa
60 yang mencapai ketuntasan, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 64,29%. 2) Terjadi peningkatan prestasi belajar IPA kelas 6B Sekolah Tunas Mekar Indonesia Bandar Lampung dari Siklus I sampai dengan Sklus III. Pada Siklus I nilai rata-rata 6B adalah 72,22. Pada Siklus II nilai rata-rata siswa kelas 6B adalah 78,65 yang berarti meningkat 8,90 pada kelas 6B dari nilai rata-rata Siklus I. Pada Siklus III nilai rata-rata siswa 6B adalah 79,46 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 1,03% dari Siklus II atau mengalami peningkatan 10,03% dari Siklus I pembelajarn IPA dengan Pembelajaran Kontekstual. Selain itu, terjadi peningkatan ketuntasan yang signifikan, pada siklus I pada kelas 6B hanya terdapat 14 atau 60,87% siswa yang mencapai ketuntasan, sedangkan pada siklus III masing-masing terdapat 23 siswa atau 100% siswa yang mencapai ketuntasan, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 64,29%.
Berdasarkan penelitian tersebut ternyata prestasi belajar dapat ditingkatkan melalui pendekatan pembelajaran CTL walaupun pada mata pelajaran IPA. Hal ini memungkinkan terjadi peningkatan pembelajaran yang serupa pembelajaran bahasa, termasuk prestasi belajar menulis deskripsi berbahasa Lampung.
2. Jurnal Teknologi Pendidikan Unila, Volume 04 No 03- Maret 2008. Penelitian Nuraeni Erdawati, dengan judul Penerapan Strategi Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) SD. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar pada
61 tiap siklus, serta peningkatan aktivitas belajar siswa. Pembelajaran menerapkan pendekatan CTL dapat dijadikan sebagai alternatif penerapan model pembelajaran IPS, terutama pada materi peta tematik keragaman, kenampakan alam dan buatan.
Merujuk hasil penelitian tersebut ternyata prestasi belajar IPS dapat ditingkatkan melalui pendekatan pembelajaran CTL. Hal ini memungkinkan terjadi peningkatan pembelajaran yang serupa pada pembelajaran bahasa, termasuk prestasi belajar menulis deskripsi berbahasa Lampung kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.