II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Isu Lingkungan dalam Pengelolaan Hutan Global dan Nasional Lingkungan didefinisikan sebagai seluruh aspek yang mengelilingi dan memiliki pengaruh terhadap manusia baik secara individual maupun kelompok sosial (Gilpin, 1996).
Demikian pula halnya dengan Cunningham dan Saigo
(1995) yang mendefinisikan lingkungan sebagai suatu kondisi yang mengitari organisme atau sekelompok organisme termasuk kondisi sosial budaya yang mempengaruhi organisme baik secara individual maupun kelompok. Dalam definisi lingkungan termuat aspek ruang dan adanya interaksi antar-komponen di dalamnya. Oleh karenanya, Suratmo (1999) mendefinisikan lingkungan sebagai suatu ruang yang mengandung mahluk hidup (biotik), benda mati (abiotik) dan aktivitas sosial ekonomi yang di dalamnya terdapat suatu tatanan (sistem) yang saling berinteraksi secara menyeluruh. Berdasarkan proses pembentukannya, lingkungan terdiri atas lingkungan buatan dan lingkungan alam (European Union dalam Gilpin,1996).
Lingkungan buatan adalah suatu kondisi di alam yang
diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu dengan memodifikasi kondisi lingkungan alam; sedangkan lingkungan alam adalah suatu kondisi di alam yang terjadi melalui proses alami seperti dekomposisi dan suksesi dalam suatu rentang waktu.
Salah satu contoh lingkungan alam adalah hutan alam. Dari
berbagai terminologi tersebut maka dapat dikatakan bahwa wacana tentang kehutanan tidak akan pernah terlepas dari wacana tentang lingkungan, demikian pula sebaliknya. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang mampu mempengaruhi iklim mikro sehingga mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan di luar hutan (Suryanegara dan Indrawan, 1998). Sedangkan berdasarkan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Isu kehutanan dalam konteks lingkungan global sudah muncul sejak Deklarasi Stockholm yang ditandatangani pata tanggal 16 Juni 1972. Secara implisit, pentingnya sumberdaya hutan termaktub di dalam Azas ke 2 hingga ke 4 deklarasi tersebut yaitu: Sumberdaya alam di bumi, termasuk udara, air, tanah,
21 flora dan fauna serta berbagai hal yang berada dalam ekosistem alam, harus diselamatkan, baik sekarang maupun pada generasi yang akan datang melalui perencanaan
dan
pengelolaan
yang
hati-hati;
Kapasitas
bumi
untuk
menghasilkan sumberdaya vital yang bisa diperbaharui harus diperlihara dan dijaga; dan, Manusia mempunyai tanggungjawab khusus untuk menyelamatkan dan mengelola secara bijaksana kehidupan margasatwa dan habitatnya, yang sekarang sedang terancam oleh berbagai faktor. Konservasi alam, termasuk margasatwa, harus dilakukan menyertai pembangunan ekonomi. Sejak konferensi lingkungan dunia di Stockholm tersebut, keadaan lingkungan dunia terus merosot dan bahkan muncul berbagai masalah lingkungan baru (Suratmo, 1999).
Para ahli lingkungan dunia menggangap
bahwa para penguasa pemerintah (eksekutif) tidak dapat menjalankan kesepakatan dunia dalam menghentikan kerusakan lingkungan secara efektif, oleh karenanya diselenggarakanlah konferensi lingkungan hidup internasional di Washington D.C., Amerika Serikat tahun 1990 yang secara khusus pesertanya adalah angota parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat dari semua negara, dengan anggapan bahwa parlemen dari setiap negara dapat menekan lembaga eksekutif untuk menjalankan kesepakatan internasional.
Pada konferensi tersebut
disepakati sebanyak tujuh buah isu lingkungan global yang memerlukan tindakan kolektif untuk menghadapinya yaitu (1) perubahan iklim global, (2) deplesi lapisan ozon, (3) pembangunan yang berkelanjutan, (4) kependudukan, (5) deforestasi dan desertifikasi, (6) konservasi biodiversiti, dan (7) perlindungan sumberdaya air dan lautan.
Dari ketujuh isu lingkungan global tersebut, esensi sumberdaya
hutan secara ekplisit disebutkan dalam bagian penjelasan perubahan iklim global,
pembangunan
berkelanjutan,
deforestasi
dan
desertifikasi,
dan
konservasi keaneka-ragaman hayati. Setelah 20 tahun Konferensi Stockholm, upaya-upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup global masih dirasakan belum ada peningkatan. Oleh karenanya,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
memprakarsi
pertemuan
Lingkungan dan Pembangunan internasional yang di selenggarakan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 atau sering dikenal dengan KTT Bumi. KTT tersebut menghasilkan kesepakatan internasioal yang penting yang disebut dengan nama Agenda 21 Rio yang terdiri atas 40 bab. Bab pertama berisikan 27 Prinsip Deklarasi Rio yang isinya menegaskan kembali butir-butir Deklarasi Stockholm. Dalam Deklarasi Rio tersebut terdapat dua komponen prinsip baru
22 yang membedakannya dengan deklarasi sebelumnya yaitu pentingnya peranan wanita dan peranan penduduk asli dan anggota masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yang masing-masing tertuang pada Prinsip Ke 20 dan Prinsip Ke 22. Sementara itu, 39 bab yang berikutnya berisi tentang Kerja Aksi PBB dalam lingkungan dan pembangunan; bab-bab yang utamanya menegaskan keterkaitan langsung antara isu lingkungan dan sumberdaya hutan adalah: •
Bab 10 Pendekatan terpadu bagi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan,
•
Bab 11 Memerangi deforestasi,
•
Bab 12 Pengelolaan ekosistem yang mudah rusak; memerangi desertifikasi dan kekeringan,
•
Bab 14 Mempromosikan pembangunan perdesaan dan pertanian yang berkelanjutan,
•
Bab 15 Konservasi keanekaragaman hayati, dan
•
Bab 26 Rekognisi dan penguatan peran masyarakat hukum adat dan komunitas mereka. Sebagai salah satu peserta Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan, Indonesia telah mengetahui adanya sejumlah persetujuan tidak mengikat
(non-binding
agreements)
yaitu:
(1)
Deklarasi
Rio
tentang
pembangunan dan lingkungan yang berisikan 27 prinsip dasar yang mengarah pada pencapaian pembangunan berkelanjutan; (2) dokumen Agenda 21 Global yang merupakan kerja aksi PBB dari Rio; (3) perjanjian tentang prinsip-prinsip kehutanan; (4) konvensi tentang perubahan iklim; dan (5) konvensi tentang keanekaragaman hayati. Dalam upaya menindaklanjuti dan menerapkan hasilhasil dari KTT Bumi yang merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka disiapkanlah suatu dokumen yang dapat dijadikan acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dari hasil KTT tersebut. Dokumen tersebut adalah Agenda 21 Indonesia. Dokumen Agenda 21 Indonesia terdiri atas 18 bab yang dikelompokkan ke dalam empat bagian yaitu Bagian I Pelayanan Masyarakat, Bagian II Pengelolaan Limbah, Bagian III Pengelolaan Sumberdaya Lahan, dan Bagian 4 Pengelolaan Sumberdaya Alam. Agenda 21 Indonesia tentang pengelolaan hutan secara khusus dibahas dalam Bagian III Bab 13. Bab-bab lainnya yang memiliki keterkaitan langsung dengan pengelolaan hutan yaitu Bab 12
23 Perencanaan Sumberdaya Lahan dan Bab 16 Konservasi Keanekaragaman Hayati.
2.2. Hutan Dunia dan Indonesia Total luas daratan di bumi adalah 144,8 juta km2 atau sekitar 29% dari luas permukaan bumi. Menurut World Research Institute (WRI) dalam Cunningham dan Saigo (1995), dari luas daratan tersebut, persentase bentuk penggunaan lahan hutan dan perkebunan kayu pada tahun 1990 adalah 40,54 juta km2 (atau sebesar 28%), sisanya terbagi untuk penggunaan lahan irigasi, pastur dan padang penggembalaan, dan penggunaan lainnya (Gambar 2.1). Dari total luas lahan hutan dunia, 10% diantaranya adalah ekosistem hutan tropis. Menurut FAO dalam Cunningham dan Saigo (1995), pada awal abad 20 luas hutan tropis dunia adalah 20 juta km2. Dari luas tersebut, sebesar 16,9 juta hektar per tahunnya telah rusak dan/atau dikonversi ke dalam penggunaan lain. Selama kurun waktu abad 20, laju deforestasi hutan tropis dunia per tahunnya adalah 1%, yang tertinggi terjadi di Amerika Selatan kemudian disusul oleh Asia Tenggara dan Asia Timur kontinental. Diduga, komposisi luas tersebut saat ini telah banyak berubah seiring dengan konversi lahan oleh aktivitas manusia. Lahan irigasi 10% Penggunaan lain (tundra, gurun, lahan basah, perkotaan) 40%
Pastur dan padang penggembalaan 22%
Hutan dan perkebunan kayu 28%
Gambar 2.1. Penggunaan Lahan Dunia, 1990 (Sumber: WRI dalam Cunningham dan Saigo, 1995).
Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki hutan tropik terluas ketiga di dunia dengan ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropik dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove). Studi yang dilakukan RePPProT (1989) mengidentifikasikan 19 tipe hutan di Indonesia. FAO dan Pemerintah RI (1990)
24 mengelompokkannya menjadi enam tipe berdasarkan potensi pengelolaannya sebagai berikut: 1) Hutan Pegunungan Campuran (Mixed hill Forests). Jenis hutan tersebut sangat penting berkenaan dengan hasil kayunya. Tipe tersebut meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesia. Di Sulawesi, Kalimantan,
dan
Sumatera
hutan
tersebut
didominasi
oleh
suku
Dipterocarpaceae, jenis kayu terpenting di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya yang bersifat lebih kering, jenis-jenis penting adalah Pometia spp., Palaquium spp., Instia palembanica dan Octomeles. 2) Hutan Sub-montana, Montana, dan Pegunungan. Hutan tersebut terdapat di daerah-daerah Indonesia dengan ketinggian antara 1.300 sampai dengan 2.500 meter di atas permukaan laut. Suku yang dominan adalah Lauraceae dan Fagaceae. 3) Savana/Hutan Bambu/Hutan Luruh/Hutan Musim Pegunungan. Jenis hutan tersebut tidak luas wilayahnya. Padang rumput savana alami terdapat di Irian Jaya, berasosiasi dengan Eucalyptus spp., di Maluku berasosiasi dengan Melauleca dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan Eucalyptus alba. Hutan luruh terdapat di ketinggian sekitar 100 meter, memiliki genera yang tidak ada di hutan hujan seperti Acacia, Albizzia, dan Eucalyptus. Pembakaran berabad-abad telah menghasilkan spesies dominan tunggal seperti jati (Tectona grandis) di Jawa, Melauleca leucadendron di Maluku dan Irian Jaya, serta Timonius sericeus, Borassus flabellifer dan Corypha di Nusa Tenggara. Hutan jati di Jawa dibangun hampir 110 tahun yang lalu. Hutan musim pegunungan terdapat pada ketinggian di atas 100 m. 4) Hutan Rawa Gambut. Terdapat hanya di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya yang mencakup 13 juta hektar atau 10% dari luas dari seluruh hutan. Spesies yang terpenting adalah Gonystylus bancanus di Kalimantan dan Camnosperma macrophylum di Sumatera. 5) Hutan Rawa Air Tawar. Luasnya sekitar 5,6 juta hektar, terdapat di Pesisir Timur Sumatera, Pesisir Barat Kalimantan, dan Irian Jaya.
Generanya sama dengan hutan hujan
bukan rawa. Di Irian Jaya rumpun pada hutan jenis tersebut didominasi oleh sagu.
25 6) Hutan Pasang Surut. Hutan bakau (mangrove) adalah bagian yang penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta hektar. Hutan bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi bagian Selatan serta Jawa bagian Utara. Rhizopora, Avicennia, Sonneratia dan Ceriops adalah genera utamanya. Walaupun ada kesepakatan umum mengenai kekayaan kanekaragaman hayati hutan Indonesia, luas wilayah hutan yang sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ini disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang Departemen Kehutanan dan Perkebunan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian tersebut dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1980, luas hutan di Indonesia diperkirakan 143,8 juta hektar. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan hal tersebut masih berlanjut. Keadaan tersebut turut menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian RePPProT selama tahun 1985-1989 atas dasar foto udara tahun 1982, memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63% dari seluruh luas lahan Indonesia (Djajadiningrat (1992) dalam Agenda 21 Indonesia). Banyak sumber data tentang statistik luas dan kondisi kawasan hutan di Indonesia baik dari lembaga penelitian maupun dari lembaga teknis departemen namun satu sama lain seringkali menunjukkan perbedaan informasi yang dapat menyulut konflik interpretasi dan persepsi antar pihak yang peduli dengan kondisi hutan di Indonesia. Berdasarkan data yang bersumber dari Badan Planologi Departemen Kehutanan (2001), luas kawasan hutan di Indonesia menurut dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1983 adalah 140,4 juta hektar, berarti ada perbedaan lebih kecil sebesar 3,4 juta hektar dibandingkan dengan data yang disajikan dalam dokumen Agenda 21 Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1995).
26 Tabel 2.1. Luas Kawasan Hutan Indonesia TGHK 1983 Status Kawasan (Juta ha)
%
TGHK 1999 (Padu Serasi Dengan RTRWP) Luas Kawasan Hutan Rusak (Juta ha) % (Juta ha) %
Hutan Konservasi 18,8 13,39 20,5 17,03 3,65 17,80 Hutan Lindung 30,7 21,87 33,52 27,85 2,16 6,44 Hutan Produksi 64,3 45,80 58,26 48,40 14,25 24,46 Hutan Konversi 26,6 18,95 8,08 6,71 Jumlah 140,4 100,00 120,36 100,00 Sumber: Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan - Departemen Kehutanan, 2001.
Setelah dilakukan pemaduserasian dengan seluruh Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) secara nasional, luas kawasan hutan yang tersisa pada TGHK tahun 1999 adalah 120,36 juta hektar. Secara statistik, hal tersebut dikarenakan adanya penurunan luas kawasan Hutan Produksi sebanyak 6,04 juta hektar dan penurunan luas kawasan Hutan Konversi 18,52 juta hektar seperti ditayangkan pada Gambar 2.2 yang disebabkan oleh konversi hutan untuk transmigrasi, pembangunan infrastruktur strategis seperti irigasi, jalan, dam, dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya. 100
70 64,3 TGHK 83 (Juta ha)
60
90
58,26
TGHK 99 (Juta ha)
80
TGHK 83 (%) 50
70
TGHK 99 (%)
60
40 Luas (Juta ha) 30
20
33,52 30,7
18,8
48,4 45,8
26,6
40
20,5 30
27,85 21,87
10
50 (Persen)
17,03 13,39
18,95 8,08 6,71
0
20 10 0
Hutan Konservasi
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Konversi
Status Kawasan Hutan Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Di Indonesia Pada Tahun 1999 (Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2001; Grafis diolah)
Masih berdasarkan data pada Tabel 2.1, dari total kawasan hutan Indonesia berdasarkan TGHK tahun 1999, seluas 3,56 juta hektar (17,80%)
27 hutan konservasi, 2,16 juta hektar (6,44%) hutan lindung, dan 14,25 juta hektar (24,46%) hutan produksi telah mengalami degradasi. Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan sumberdaya hutan semakin meningkat. Hal ini terlihat dengan tingginya tingkat deforestasi. Menurut Bappenas dalam Agenda 21 Indonesia, faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia yaitu: 1) Pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, 2) Konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan, 3) Pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumberdaya, 4) Program transmigrasi, 5) Pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, 6) Degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak 7) Pemungutan spesies hutan secara berlebihan, dan 8) Introduksi spesies eksotik. Laju deforestasi hutan Indonesia pada tahun 1970-an diperkirakan sebesar 300.000 hektar per tahun dan pada tahun 1980-an sebesar 600.000 hektar pertahun (FAO dalam LATIN, 2000). Pada tahun 1990-an, laju deforestasi di Indonesia sebesar 1 juta hektar per tahun (Retnowati dalam LATIN, 2000). Data laju deforestasi yang sering digunakan oleh berbagai pihak adalah laju deforestasi antara tahun 1984-1998 yaitu 1,6 juta hektar per tahun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001a; Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2001b; WALHI, 2001; Muhshi, 2001). Bahkan pada periode 1999-2001, laju deforestasi diperkirakan mencapai 2–2,4 juta hektar per tahun (Hamimah, 2001). Angka laju deforestasi yang sering dipergunakan pada awal tahun 2002 adalah 2 juta hektar per tahun baik oleh Departemen Kehutanan, Forest Watch Indonesia (FWI), dan World Research Institute (WRI). Pada dekade terakhir, Kementrian Kehutanan mencatat laju kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, angka tersebut diakui Menteri Kehutanan bahwa kondisi hutan Indonesia sudah demikian kritis (BBC, 2010). Walapun laju deforestasi kemudian menurun menjadi 0,7 juta per hektar per tahun di tahun 2011, dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan masih terus menghawatirkan karena
28 kemampuan pemulihan (baik program pemerintah, swadaya masyarakat, maupun alami) hanya sebesar 0,5 juta hektar per tahun (KOMPAS, 2011).
2.3.
Fungsi Lingkungan dari Hutan Beranjak dari definisi lingkungan yang diformulasikan oleh Suratmo
(1999), maka hutan yang merupakan suatu contoh dari lingkungan di alam, mempunyai fungsi lingkungan yang terdiri atas fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi ekonomis, dan bahkan fungsi politis. Pemisahan keempat fungsi tersebut sebenarnya amat sulit dilakukan mengingat fungsi yang satu dengan lainnya saling berinteraksi.
Pemisahan masing-masing fungsi secara ekslusif justru
seringkali menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan dengan peruntukkan dan pemanfaatan hutan beserta fungsinya. Secara umum, kepentingan sumberdaya hutan bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah sebagai sumber bahan baku (kayu dan non kayu), plasma nuftah (flora dan fauna), pengatur udara dan cuaca, pelindung tanah dan air dan alam (hidroorologi), sumber ilmu pengetahuan, untuk kegiatan rekreasi, sebagai cadangan lahan, dan penghasil devisa (Indrawan, 2000). Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), hutan memiliki manfaat untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kebudayaan bangsa, dan pemulihan dan pengawetan lingkungan hidup. Secara ekologis, hutan berfungsi sebagai: (1) tempat konservasi sumberdaya alam yaitu tanah, mineral dan keanekaragaman hayati; (2) konservasi enerji dan daur ulang, baik dalam “diri” hutan tersebut seperti plant succession secara mandiri atau proses regenerasi secara mandiri maupun dari luar hutan; dan (3) memperkecil resiko eksistensial seperti terjadinya tanah longsor, erosi, terkikisnya humus, dan lainlain. Hutan juga memiliki fungsi rosot karbon (Mudiyarso, et al. 1998). Fungsi ekonomis hutan secara umum adalah sebagai sumber kayu, bahan bakar kayu dan hasil hutan non kayu (buah-buahan, getah, tanaman obat, dan masih banyak lainnya) termasuk hasil-hasil pertanian berbasis hutan (agroforest products). Fungsi sosial dari hutan adalah sebagai bagian dari simbol sosial,
budaya,
dan
spiritual
terutama
masyarakat
penganut
keyakinan/kepercayaan animisme dan/atau ajaran-ajaran reliji non samawi lainnya. Lingkungan udara yang sehat karena adanya pangaruh iklim mikro hutan juga menjadi manfaat sosial bagi manusia terutama dari sisi kesehatan.
29 Sebenarnya
sulit
untuk
menarik
batas
fungsi
lingkungan
hutan
berdasarkan ekologi, sosial, ekonomi dan politik. Mengambil contoh manfaat hutan untuk penelitian dan pengembangan ilmu; manfaat tersebut dapat masuk ke dalam fungsi ekonomi karena hasil penelitiannya bisa dipergunakan untuk menghasilkan uang, dapat masuk fungsi sosial karena ada unsur pendidikan dan budaya di dalamnya, dan dapat masuk ke dalam ekologis karena manfaat penelitian diantaranya ditujukan untuk kelestarian hutan. Sulitnya memisahkan fungsi lingkungan dari hutan berdasarkan fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial, tercermin dari pemilahan yang dilakukan oleh Pearce dan Moran (1994). Mereka lebih melihat pembagian fungsi hutan berdasarkan: (1) fungsi hutan sebagai sumber jasa dan material, (2) hutan sebagai rosot limbah (waste sink) baik limbah alam maupun limbah karena aktivitas manusia, dan (3) hutan sebagai sistem pendukung kehidupan, seperti ditayangkan pada Tabel 2.2.
Saat ini
fungsi sosial dari hutan yang terdapat di dalam instrumen kebijakan pemerintah banyak mendapat kritik karena dalam pengelolaannya telah menyingkirkan hakhak masyarakat lokal (termasuk masyarakat hukum adat) atas kawasan hutan sebagai wilayah hidup, status sosial, dan kepemilikan lahan.
Tabel 2.2 Fungsi Lingkungan dari Hutan Sumber jasa dan Rosot Limbah material Kayu Kayu bakar Produk komersial lainnya Produk non kayu
Penyerap limbah Daur ulang nutrien Perlindungan DAS Perlindungan kualitas tanah dan penahan erosi
Produk pertanian Rekreasi dan pariwisata
Pendukung kehidupan dan lainnya Genetic pool Pengatur iklim Rosot karbon Habitat bagi manusia, tumbuhan, dan hewan Estetika, budaya, dan sumber spiritual Data saintifik
Sumber: Pearce dan Moran (1994).
2.4.
Otonomi Daerah (Otda) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan di Indonesia Desentralisasi merupakan satu diantara berbagai alternatif sistem
penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan merupakan reaksi politik terhadap kegagalan sistem manajemen dan administrasi yang terpusat (sentralistis). Pemerintahan yang terpusat mungkin lebih mampu untuk menginternalisasi eksternalitas, menerapkan sekala ekonomi dalam penyediaan barang publik, dan mengkoordinasikan kebijakan fiskal. Tetapi, kekuasaan yang
30 terpusat memiliki keterbatasan dalam mengumpulkan informasi dan mengawasi agen-agennya. Pemerintah daerah lebih memiliki informasi, contohnya informasi mengenai kondisi sesungguhnya hutan dan lingkungan di wilayah mereka, atau mengenai kebutuhan masyarakat daerah dalam konteks lokal. Desentralisasi dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar atau ekonomi dan desentralisasi administratif
(Hutabarat,
2001).
Desentralisasi
politik
berorientasi
pada
pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada warga negara dan wakil rakyat terpilih dalam hal pembuatan keputusan publik. Desentralisasi fiskal berorientasi pada pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan organisasi swasta dalam tanggungjawab keuangan. Desentralisasi pasar atau ekonomi berorientasi pada privatisasi dan deregulasi, yakni pergeseran tanggungjawab beberapa fungsi dari sektor publik ke sektor swasta. Privatisasi berarti memberikan kekuasaan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk menjalankan fungsinya, yang sebelumnya dimonopoli oleh, atau berada dibawah tanggungjawab pemerintah. Deregulasi berarti mengurangi batasan-batasan hukum sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan jasa atau mengijinkan persaingan para penyedia jasa-jasa swasta yang sebelumnya disediakan oleh pemerintah. Desentralisasi
administratif
lebih
berorientasi
pada
redistribusi
kekuasaan, tanggungjawab dan sumberdaya keuangan untuk menyediakan pelayanan umum antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Terdapat tiga tipe desentralisasi administratif (Hutabarat, 2001), yaitu: 1) Dekonsentrasi, merupakan redistribusi wewenang dalam hal pembuatan keputusan serta tanggungjawab keuangan dan manajemen antar tingkat pemerintah pusat yang berbeda. Dekonsentrasi dapat dikatakan sebagai bentuk terlemah dari desentralisasi. Contoh dari tipe desentralisasi ini adalah: Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. 2) Delegasi, merupakan bentuk desentralisasi yang lebih luas. Dengan delegasi, pemerintah pusat melimpahkan tanggung-jawab dalam hal pembuatan keputusan dan administrasi fungsi-fungsi publik kepada organisasi-organisasi semi otonom yang tidak sepenuhnya diawasi, tetapi pada akhirnya tetap bertanggung-jawab kepada pemerintah pusat. 3) Devolusi, merupakan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dalam hal pembuatan keputusan, keuangan dan manajemen kepada unit-unit otonom
31 atau unit semi-otonom pemerintah daerah. Tipe desentralisasi ini sebenarnya berkaitan dengan UU Nomor 22 tahun 1999. Dalam konteks otonomi daerah, hutan sebagai salah satu sektor pembangunan tidak terlepas dari kerangka desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan yang dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana proses desentralisasi tersebut diuraikan pada bagian berikut.
2.4.1. Perkembangan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan Dalam Konteks Otonomi Daerah (OTDA) 2.4.1.1.
Tahap Awal OTDA Percontohan (Periode Tahun 1995—1997)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 08 tahun 1995 tanggal 21 April 1995 maka Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan diserahkan kepada 26 Daerah Tingkat (Dati) II Percontohan dalam penyelenggaraan OTDA. Urusan yang diserahkan kepada kabupaten tersebut antara lain: a. Urusan Penghijauan dan Konservasi Tanah b. Urusan Persuteraan Alam c. Urusan Perlebahan d. Urusan Hutan Rakyat/Hutan Milik e. Urusan Penyuluhan Kehutanan Urusan yang diserahkan tersebut pada umumnya urusan-urusan yang tidak bersifat strategis, tidak dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan dan pendapatan Dati II, kurang menguntungkan bagi pemasukan keuangan daerah, bersifat pembinaan lingkungan hidup dan tidak disertai dukungan pendanaan dan sarana yang nyata. Agar PP Nomor 08 tahun 1995 dapat terselenggara dengan baik maka dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 tahun 1995 tanggal 01 Juni 1995 tentang Pedoman Organisasi Dinas Kehutanan Dati II, masing masing Dati II yang terlibat dalam percontohan, membentuk Instansi Dinas Kehutanan dengan struktur organisasi pola minimal dengan tugas pokoknya meliputi penjualan dan perendaman hasil hutan, perlindungan hutan penghijauan dan konservasi tanah dan air, persuteraan alam, perlebahan, hutan rakyat/hutan milik, penyuluhan kehutanan dan tugas perbantuan yang diberikan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah Tingkat I.
32 2.4.1.2.
Tahap Transisi Menjelang Akhir Era Orde Baru Menuju Era Reformasi (Periode Tahun 1998—2000)
Pada tahap transisi ini perubahan terjadi pada sistem pengelolaan hutan yang selama ini bersifat sentralistik, monopoli, konglomerasi, dan nepotisme yang telah menimbulkan kesenjangan dan degradasi potensi dan ekologi yang bersifat ekstraktif, mengabaikan aspek keadilan dan ekonomi kerakyatan dan mengabaikan asas bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Keadaan nasional dan daerah serta desakan internasional menuntut ke arah perluasan perlimpahan wewenang kepada daerah (desentralisasi) terutama tuntutan demokrasi dan keadilan agar masyarakat setempat dapat ikut mengelola sumberdaya hutan. Hal ini menyebabkan pemerintah perlu segera mengubah paradigma baru di dalam pengelolaan sumberdaya hutan (SDH). Klimaks terhadap realisasi tuntutan tersebut yaitu terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Kewenangan Pemerintah Bidang Kehutanan kepada Pemerintah Kabupaten (dari semula lima urusan meningkat menjadi 10 urusan yang diserahkan yaitu urusan penghijauan dan konservasi tanah, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan rakyat, pengelolaan hasil hutan non kayu, penyuluhan, perlindungan hutan, pengaturan perburuan satwa liar yang tidak dilindungi, pengelolaan kawasan lindung, pelatihan masyarakat dibidang kehutanan). Kemudian disusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) di mana Bupati diberi wewenang 100 hektar untuk menerbitkan ijin HPHH bagi masyarakat, koperasi, BUMN, BUMD, dan Swasta, diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 310/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pemberian HPHH yang kemudian kewenganan tersebut dicabut dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000 dan kemudian diganti lagi dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan No. 05-1/KptsII/2001 tentang Standarisasi dan Kriteria Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK dan IPHHK) pada hutan produksi. Selanjutnya terbit pula Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang no 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
33 Pusat dan Daerah. Disusul terbitnya pula Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonom yang kemudian dengan analisis teori sisa sebagai kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, maka dijadikan dasar dalam pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2.4.1.3.
Tahap Dimulainya Pelaksanaan OTDA Secara Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab Sejak Januari 2001.
Pada periode awal pelaksanaan OTDA secara luas, nyata dan bertanggung-jawab pelaksanaan desentralisasi di bidang kehutanan menemui hambatan-hambatan di bidang penentuan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kewenangan dan tugas-tugas pokok yang harus diselenggarakan. Hal tersebut karena rencana peraturan-peraturan daerah yang telah diolah terpaksa harus disesuaikan dengan norma standarisasi dan kriteria tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hambatan
penyelenggaraan
desentralisasi
di
bidang
kehutanan
disebabkan oleh terlambatnya pengeluaran pedoman standarisasi dan kriteria pelaksanaan sistem pengelolaan, pengurusan pemanfaat hutan/hasil hutan dan jasa lingkungan hutan, yang baru terbit akhir tahun 2000, sedangkan beberapa daerah kabupaten telah mempersiapkan jauh sebelumnya, sehingga terpaksa dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan standar dan norma yang harus dipenuhi. Selain itu, hambatan lainnya adalah tidak adanya upaya Departemen Kehutanan atau melalui Kantor Wilayah Propinsi untuk lebih cepat memberi informasi dan mensosialisasikan produk-produk peraturan atau perudangan dan/atau
kebijakan-kebijakan
baru
dari
pemerintah
kepada
pemerintah
kabupaten sehingga seolah-olah ada kecenderungan Departemen Kehutanan belum siap menuju ke arah paradigma baru untuk melaksanakan desentralisasi di bidang kehutanan.
2.4.2. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management) Seperti telah diuraikan pada Bab Pendahuluan, salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (community based
34 forest management), atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sejak tahun 1995, konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998), lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Dasar kebijakan masing-masing model HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.3. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas. Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.31/Kpts-II/2000
tentang
Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola hutan negara diantaranya adalah: •
HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.
35
Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan Dasar Kebijakan (SK Mentri Kehutanan, PP, dll)
Deskripsi Hutan Kemasyarakatan
1995
SK No.622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan
Model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan
1998
SK No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi
1999
SK No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan SK No.677/KptsII/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat
2000
SK No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya
2007
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui : a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan.
2007
Permenhut Nomor: P.37/MenhutII/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi.
2008
Permenhut No: P.49/MenhutII/2008 tentang Hutan Desa
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa.
Tahun
•
Desentralisasi
pengelolaan
HKm,
yang
semula
perijinan
menjadi
kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri. •
Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
36 Terlepas dari berbagai kemajuan, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2000 digugat oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Karena hal tersebut, saat ini Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) sedang memproses legal draft HKm dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Selain itu
tidak semua pihak menerima program HKm, terutama pihak-pihak yang masih menyimpan konflik terhadap pemerintah akibat selesainya penanganan masalah gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan. Pada awal tahun 2004,
belum
saja
polemik
kebijakan
HKm
selesai,
Pemerintah
telah
mengeluarkan kebijakan baru tentang Social Forestry. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, secara terus-menerus melakukan perbaikan kebijakan pengelolaan hutan bagi masyarakat. Kebijakan yang cukup monumental adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP ini memandatkan bahwa, pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat dilaksanakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pasal 84) melalui skim kebijakan: hutan desa, hutan kemasyarakatan; atau kemitraan. Secara kontinum, PP ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya
Permenhut
Nomor:
P.37/Menhut-II/2007
tentang
Hutan
Kemasyarakatan yang memungkinkan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi. Dimungkinkannya akses masyarakat terhadap hasil hutan kayu dalam skim kebijakan HKm merupakan sebuah kebijakan yang dinantikan sejak tahun 1995 ketika HKm saat itu pertama kali didesain sebatas dalam bentuk model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kebijakan HKm yang dinantikan selanjutnya adalah bagaimana skim ini diterjemahkan pelaksanaannya di dalam kawasan hutan konservasi sebagaimana dimungkinakn oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pembaharuan kebijakan tidak berhenti di HKm saja. Pada tahuan 2008, kemudian diterbitkan Permenhut No: P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa
37 dimana dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. Hadirnya skim kebijakan
Hutan
Desa
bagi
sebagian
kalangan
menjadi
jalan
tengah
pengembangan akses secara komunal dalam bentuk komunitas desa atas belum terjawabnya bagaimana hutan adat diatur kemudian. Kalangan tersebut melihat, ketika bingkai kebijakan tentang hutan adat belum dicapai, maka kebijakan hutan desa bisa menjadi alternative masyarakat adat memiliki akses komunal melalui pemerintahan desa.
2.5.
Konflik Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Menurut Wijardjo dkk
(2001), konflik dapat menciptakan perubahan, konflik memiliki dua sisi yang membawa potensi resiko dan potensi manfaat, dan konflik menciptakan energi yang bersifat merusak atau dapat bersifat kreatif.
Menurut Borrini dan
Feyerabend (2000), konflik dapat mengarah ke kondisi konstruktif dan sebaliknya dapat destruktif. Kondisi konstruktif terjadi ketika konflik ditangani secara persuasif dengan mengedepankan azas manfaat yang akan diperoleh para pihak jika konflik tidak terjadi, sedangkan kondisi destruktif terjadi pada bila konflik tidak ditangani dengan arif sehingga menimbulkan perilaku yang menjurus saling tidak percaya, perseteruan, bahkan kekerasan (violence) fisik/non-fisik. Konflik ada di alam dan hadir dalam kehidupan manusia, dengan demikian konflik akan selalu terjadi di lingkungan tempat berlangsungnya interaksi manusia dengan sekelilingnya. Menurut Borrini dan Feyerabend (2000), pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, merupakan suatu arena yang syarat dengan muatan politik, baik itu politik sosial-ekonomi maupun politik lingkungan, hampir semua konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam selalu berawal dari perbedaan beragam kepentingan. Perbedaan kepentingan tersebut menjadikan sumberdaya alam sebagai arena konflik. Di dalam Propenas 2000-2004, pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terdiri atas sumber-sumber daya air, laut, udara, mineral, dan hutan.
2.5.1. Batasan Tentang Konflik Kata konflik berasal dari bahasa latin yaitu confligere yang artinya menyerang bersama. Aslinya, kata tersebut lebih memiliki konotasi fisik daripada
38 moral; namun di dalam bahasa inggris kedua konotasi tersebut terkandung di dalam kata konflik (Burton dan Dukes, 1990). Kata konflik dalam bahasa Indonesia memiliki arti percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Pendefinisian konflik secara spesifik merupakan suatu yang rumit karena banyaknya overlapping (tumpang-tindih) komponen proses dan dinamika yang terlibat; oleh karenanya pendifinisian akan cenderung mengkombinasikan berbagai komponen tersebut (Isenhart dan Spangle, 2000).
Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan berbagai pengertian tentang konflik yang didefinisikan oleh beberapa ahli seperti ditayangkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Beberapa Definisi Tentang Konflik Sumber
Definisi Konflik
Tekanan Perbedaan
Fisher et al (2001)
Hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Sasaran
Wijarko dkk (2001)
Suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukkan praktekpraktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan.
Hak atas benda dan/atau kedudukan.
LATIN (2000)
Benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumberdaya.
Kriesberg (1998)
Suatu kondisi sosial ketika dua orang/pihak atau lebih memanifestasikan keyakinan mereka akan suatu tujuan yang saling berbeda.
Keyakinan, tujuan.
Coser (1967) *)
Perjuangan terhadap suatu gugatan dan nilai yang disebabkan oleh kelangkaan status, kekuasaan, dan sumberdaya.
Nilai, status, kekuasaan, sumberdaya.
Bush dan Folger (1994) *)
Suatu perbedaan kebutuhan dan kepentingan antar para-pihak yang nampak dan nyata.
Kebutuhan, kepentingan.
Rubin et al (1994) *)
Perbedaan kepentingan yang dirasakan atau diyakini yang mebuat aspirasi para pihak tidak dapat dicapai secara simultan.
Kepentingan
Hocker dan Wilmot (1991) *)
Eskpresi perjuangan antara minimal dua pihak yang saling berketergantungan yang saling merasa berketidak-sesuaian dalam tujuan, kelangkaan sumberdaya, dan adanya campur-tangan oleh pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.
Tujuan, kelangkaan sumberdaya,
Keterangan: *) Sumber: Isenhart dan Spangle (2000)
39 Pada tabel tersebut, definisi konflik yang paling sederhana adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001).
Sementara itu,
Kriesberg (1998) lebih mendefinisikan pengertian konflik dengan penekanan pada kondisi sosial. Dari berbagai pengertian tentang konflik yang disajikan, terdapat suatu kondisi yang selalu menyertai dalam pendefinisian konflik yaitu adanya perbedaan. Letak perbedaan tersebut di antaranya adalah perbedaanperbedaan dalam keyakinan, nilai, status, kekuasaan, sasaran, tujuan, kebutuhan, kepentingan, hak atas benda dan/atau kedudukan, dan kelangkaan sumberdaya, yang kesemuanya melekat pada masing-masing pihak yang berkonflik. Berdasarkan berbagai perbedaan tersebut, Isenhart dan Spangle (2000) mengelompokkan sumber perbedaan yang paling sering muncul dan menjadi penyebab/akar konflik yaitu berangkat dari perbedaan-perbedaan dalam hal: (1) data, (2) kepentingan, (3) komunikasi, (4) prosedur, (5) nilai-nilai, (6) hubungan sosial dan (7) struktur peran.
Pemilahan yang hampir serupa namun lebih
terincik tentang sumber-sumber konflik juga dilakukan oleh Wijardjo dkk (2001) dan Moore (1996). Menurut mereka, konflik terjadi karena adanya perbedaanperbedaan: (1) hubungan sosial, (2) kepentingan, (3) data, (4) nilai, dan (5) struktural, seperti ditayangkan dalam Gambar 2.3.
MASALAH HUBUNGAN SOSIAL: • Hubungan emosi yang kuat • Salah persepsi atau stereotip • Kurang atau salah komunikasi • Repetisi perilaku negatif
PERBEDAAN DATA: • Kurang informasi, salah informasi, • Perbedaan pandangan dalam relevansi data • Perbedaan interpretasi, • Perbedaan prosedur penilaian
PERBEDAAN KEPENTINGAN: Kebutuhan dan cara untuk memenuhinya atau tata cara maupun mental psikolog (sikap, emosi) •
PERBEDAAN STRUKTRUAL: Tidak meratanya distribusi kekuasaan/kewenangan, dan Sumberdaya, Pengambilan Keputusan, Faktor fisik, geografis, dan lingkungan
PERBEDAAN NILAI: Nilai pandangan hidup, norma, ideologi, agama • Nilai universal seperti HAM Nilai yang diperjuangkan seperti kasta, jender, ras, dll •
•
Gambar 2.3. Perbedaan-Perbedaan Yang Sering Menjadi Sumber Konflik. (Sumber: Wijardjo, 2001; Moore, 1996)
40 Suatu konflik yang terjadi dapat bersifat produktif atau non-produktif. Menurut Wijardjo dkk (2001) konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur, dan nilai-nilai pemahaman. Sedangkan konflik yang non-produktif cenderung mengacu pada pembentukan prasangka terhadap lawan, komunikasi memburuk, sarat emosi, kurang informasi, dan salah informasi. Konflik selalu memiliki dua sisi yaitu bahaya dan peluang. Beberapa aspek mendasar mengenai konflik seperti ditayangkan pada Gambar 2.4. Menurut Fisher at al (2001), konflik dibedakan diantara dua sumbu: sasaran dan perilaku. Hal tersebut sesuai dengan definisi konflik yang merupakan hubungan antar orang/pihak yang memiliki sasaran yang tidak sejalan. Keempat kotak dalam gambar tersebut menunjukkan hubungan antar berbagai tingkat perbedaan sasaran dan perilaku yang diakibatkan serta implikasinya dalam konteks konflik. Tujuannya adalah untuk menggambarkan tipe-tipe konflik yang dapat menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi atau penanganan konflik. Dalam skenario tersebut tidak ada situasi yang ideal, keempat tipe konflik tersebut masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri: •
Tanpa konflik; dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan tersebut terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan perilaku konflik dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.
•
Konflik laten; sifatnya tersembunyi dan, seperti telah disebutkan di atas perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
•
Konflik terbuka; adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
•
Konflik di permukaan; memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah-fahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
41
TINGKAT PERBEDAAN SASARAN
PERILAKU YANG
PERILAKU
SELARAS
Tanpa Konflik
Konflik Laten
Konflik Di Permukaan
Konflik Terbuka
PERILAKU YANG BERTENTANGAN
Sumber: Fisher et al (2001). Gambar 2.4. Hubungan Antara Tingkat Perbedaan Sasaran dan Perilaku Yang Ditimbulkan
Seperti diuraikan sebelumnya, secara sederhana konflik didefinisikan sebagai suatu hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan demikian dari segi pelaku konflik, situasi saling berhadapan antar dua pihak atau lebih yang terlibat konflik menggambarkan situasi “siapa melawan siapa”. Dalam berbagi kajian tentang konflik, situasi tersebut sering diistilahkan dengan sifat konflik yang berpolarisasi1 sebagai berikut: (1) polarisasi konflik yang bersifat vertikal yaitu konflik antara masyarakat dengan pemegang atau pengendali kekuasaan atau diistilahkan sebagai konflik antara powerfull vs powerless dan (2) polarisasi konflik yang bersifat horizontal yaitu konflik yang terjadi antara etnis satu dengan lainnya, masyarakat pendatang dan masyarakat asli, konflik antara satu daerah otonom dengan daerah otonom lainnya, ataupun konflik antara masyarakat pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya (Santosa. 2001); Pada kenyataannya, (3) polarisasi konflik dapat bersifat diagonal terjadi antara yang relatif kuat dan lemah namun tidak di dalam suatu hirarki struktural dan masing-masing pihak berada dalam spektrum yang berbeda contohnya konflik antara Kabupaten Bekasi dengan DKI Jakarta dalam kasus TPA Bantar Gebang, dan (4) polarisasi konflik yang bersifat multi-dimensi yang dicirikan oleh
42 kompleksitas konflik tersebut (memuat vertikal, horizontal, dan diagonal bahkan siklik) sehingga penangannya amat sulit dilakukan. Menurut Isenhart dan Spangle (2000), dalam penanganan konflik dikenal beberapa bentuk pendekatan yaitu negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi, dan proses hukum. Setiap pendekatan memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing seperti ditayangkan dalam Tabel 2.5. Tabel 2.5. Pendekatan Penanganan Konflik dan Hasil Yang Diharapkan Pendekatan
Kekuatan MasingMasing Pihak Mempengaruhi Outcome Negosiasi Tinggi Mediasi Tinggi Fasilitasi Tinggi Arbitrasi Sedang Proses hukum Rendah Sumber: Isenhart dan Spangle (2000).
Biaya
Kemampuan Melestarikan Hubungan
Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi
Tinggi Sedang Tinggi Rendah Rendah
Pemilihan cara pendekatan penanganan konflik amat ditentukan oleh gaya konflik (conflict styles) para pihak yang terlibat konflik. Menurut Isenhart dan Spangle (2000), gaya konflik dapat berupa: (1) saling menghindar, (2) akomodatif, (3) kompromistis, (4) kompetitif, dan (5) kolaborasi. Situasi yang mendukung terjadinya gaya tersebut sebagai berikut: 1) Gaya saling menghindar terjadi ketika salah satu pihak menolak adanya konflik, mengubah topik penyebab konflik ke topik lainnya yang bukan penyebab konflik, menghindari diskusi, dan berperilaku non-committal atau tak ingin membangun komitmen. Gaya seperti ini amat efektif pada situasi terdapat bahaya kekerasan fisik, tidak ada kesempatan untuk mencapai tujuan, atau situasi yang amat rumit yang tidak memungkinkan upaya penyelesaian dilakukan. 2) Gaya akomodatif terjadi ketika salah satu pihak mengorbankan kepentingan diri/kelompoknya dan mendahulukan kepentingan pihak lain. Gaya ini efektif pada situasi ketika suatu pihak menyadari tidak memiliki banyak peluang untuk mencapai kepentingannya, atau ketika terdapat keyakinan bahwa memuaskan
kepentingan
diri/kelompoknya
akan
berakibat
merusak
hubungannya dengan kelompok lain.
1
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan, dan sebagainya) yang berlawanan. Polaritas adalah hal pertentangan langsung
43 3) Gaya kompromistis terjadi ketika masing-masing pihak bertindak bersamasama mengambil jalan tengah, misalnya melalui konsesi, dan dalam tindakan tersebut tidak jelas siapa yang menang siapa yang kalah. Gaya ini efektif pada situasi ketika para pihak menolak untuk bekerjasama sementara pada saat yang bersamaan diperlukan jalan keluar, dan ketika tujuan akhir bukan merupakan bagian yang penting. Dalam gaya ini lazimnya tidak dicapai kepuasan yang sejati. 4) Gaya kompetitif yaitu suatu gaya konflik yang dicirikan oleh tindakan-tindakan agresif, mementingkan pihak sendiri, menekan pihak lain, dan berperilaku tidak kooperatif. Gaya ini efektif ketika keputusan harus dibuat secepatnya, jumlah pilihan keputusan amat terbatas atau bahkan hanya satu, suatu pihak tidak merasa rugi walau dengan menekan pihak lain, dan yang terpenting tidak adanya kepedulian tentang potensi kerusakan hubungan dan tatanan sosial. 5) Gaya kolaborasi yaitu suatu gaya yang dicirikan oleh saling menyimak secara aktif kepentingan antar pihak dan kepedulian yang terfokus, komunikasi yang empati2 dan berupaya untuk saling memuaskan kepentingan dan kepedulian seluruh pihak yang bersengketa. Gaya ini efektif pada situasi terdapat keseimbangan kekuatan (power balance) dan tersedianya waktu dan enerji yang cukup untuk menciptakan penanganan konflik secara terpadu. Menurut Marshall dalam Tadjudin (2000), gaya konflik tersebut terbentuk dari kombinasi dua peubah yaitu derajat upaya suatu pihak untuk memuaskan kepentingan pihak lain (cooperativeness) dan derajat upaya suatu pihak untuk lebih memuaskan kepentingannya sendiri (assertiveness). Avruch et al (1991) mengkombinasikan kedua peubah tersebut dalam bentuk Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik seperti ditayangkan pada Gambar 2.5.
2
Suatu keadaan mental seseorang atau sekelompok orang yang turut merasakan atau mengidentifikasikan dirinya terhadap apa yang sedang dirasakan oleh pihak lain.
44 Tinggi
•Kompetitif
Assertiveness
Kolaborasi•
• Kompromistis
•Menghindar
•Akomodatif
Rendah
Cooperativeness
Tinggi
Gambar 2.5 Model Dua Dimensi Penentu Gaya Konflik (Sumber: Avruch et al , 1991)
Gaya konflik yang dimanifestasikan oleh masing-masing pihak yang amat menentukan pendekatan yang mana yang paling memungkinkan untuk dilakukan dalam penanganan konflik. Keberhasilan pendekatan negosiasi, mediasi, dan fasilitasi amat ditentukan oleh perilaku kerjasama dan kompromistis. Ketiga pendekatan tersebut amat mewarnai metode penanganan konflik secara alternatif yang sering dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Collaborative Management. Pihak ketiga dan netral amat diperlukan untuk menciptakan
kondisi
yang
mempromosikan
kerjasama
dan
kompromi.
Pendekatan arbitrasi dan proses hukum lebih sering dipergunakan pada perilaku kompetitif/persaingan. Perbedaannya, arbitrasi lebih ditekankan pada sintesa tentang posisi dan kekuatan hukum suatu pihak berikut dokumen-dokumen hukum yang dimiliki oleh masing-masing, sedangkan proses hukum merupakan cara penyelesaian yang ditempuh dengan menggunakan instrumen hukum formal. Arbitrasi dapat dilakukan oleh pihak independen di luar jalur peradilan formal, sedangkan proses hukum ditempuh melalui jalur peradilan formal dimulai dari tahap pengaduan, penyidikan, pemberkasan, persidangan, dan penetapan keputusan hukum. Pada saat ini terminologi penanganan konflik masih menjadi perdebatan umum.
Namun, secara konsisten Fisher at al (2001) membeda-bedakan
terminologi penanganan konflik sebagai berikut: (1) Pencegahan konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras,
45 (2) Penyelesaian konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan perdamaian, (3) Pengelolaan konflik; yaitu penanganan yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang bersengketa, (4) Resolusi konflik; yaitu menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bersengketa, (5) Transformasi konflik; yaitu mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari pertikaian/peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif. Penanganan konflik merupakan serangkaian upaya untuk menciptakan perdamaian. Diamond dan McDonald (1996) mengembangkan suatu sistem multi-upaya yang disebut dengan Multi Track Diplomacy (MTD), yaitu seperangkat multi-upaya untuk menciptakan perdamaian yang kerangka kerja konseptual yang dirancang untuk menciptakan perdamaian internasional. Menurut mereka, penciptaan perdamaian multi-upaya tersebut terdiri atas kombinasi 9 upaya diplomasi seperti ditayangkan pada Gambar 2.6, yaitu: 1) Diplomasi kepemerintahan (peacemaking through government diplomacy), 2) Diplomasi
yang
dilakukan
oleh
para
professional
non-pemerintah
(peacemaking through professional conflict resolustion). 3) Diplomasi melalui peluang kerjasama ekonomi dan perdagangan (Business,, or peacemaking through commerce) 4) Diplomasi individual oleh penduduk sipil (Private citizen, or peacemaking through personal involvement) 5) Diplomasi melalui penelitian, pelatihan, dan pendidikan (Peacemaking trhough learning) 6) Diplomasi oleh para aktifis (Activism, or peacemaking through advocacy) 7) Diplomasi reliji (Religion, or peacemaking through faith in action) 8) Diplomasi melalui penyediaan sumberdaya (Funding, or peacemaking through providing resources), dan 9) Diplomasi melalui media komunikasi (Communications and the media, or peacemaking through information)
46
1. Pemerintah 2. Non-pemerintah/ profesional
8. Sumberdaya
9. Komunikasi/ media 3. Kerjsama ekonomi
7. Reliji
4. Penduduk sipil
6. Aktifis 5. Penelitian, Pelatihan, dan Pendidikan Gambar 2.6
Interaksi Multi Track Diplomacy dalam penciptaan perdamaian (Diamond dan McDonald, 1996)
Merujuk kepada Gambar 2.6 tersebut, kegiatan penelitian dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya penciptaan perdamaian melalui diplomasi track ke-5 yaitu diplomasi yang mempergunakan penelitian, pelatihan, dan pendidikan (Peacemaking trhough learning) sebagai upaya menciptakan perdamaian.
2.5.2. Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Hutan Konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk lahan, air, dan hutan ada dimana-mana. Manusia cenderung akan selalu berkompetisi untuk memiliki sumberdaya alam yang mereka butuhkan untuk meningkatkan dan menjamin kepastian hidupnya. Berdasarkan definisi lingkungan (Suratmo, 1999), konflik (Coser alam Fisher et al, 2001), akar penyebab konflik (Moore, 1996), kajian pustaka tentang fungsi lingkungan dari hutan, dan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya konflik sumberdaya alam (Buckles, 1999), maka dapat dirumuskan suatu definisi bahwa: “ Konflik lingkungan pengelolaan hutan adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu ”
47 Menurut Wijardjo dkk (2001), kebanyakan konflik lingkungan atas sumberdaya alam termasuk hutan mempunyai sebab ganda, biasanya kombinasi dalam hubungan antara pihak yang bertikai mengarah kepada konflik terbuka. Karena seringkali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan pusat situasi kritisnya atau permasalahan pokoknya atau penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Akar konflik lingkungan pengelolaan hutan berbeda dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Dari kenyataan empiris di berbagai daerah di Indonesia, sumber pokok atas konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan adalah terjadinya masalah yang bersifat struktural. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya sumber-sumber perbedaan lainnya yang menyebabkan konflik pengelolaan hutan terjadi seperti perbedaan data, perbedaan kepentingan, dan lain-lain. Dengan tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah hutan yang sama pada akhirnya konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan
hutan
seringkali
ternyata
tidak
membantu
karena
saling
bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atasnya. Berdasarkan polarisasi sifat konflik yang diuraikan oleh Santosa (2001) dan kondisi serta permasalahan kehutanan yang dihadapi Indonesia, maka konflik lingkungan dalam pengelolaan hutan termasuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung adalah sebagai berikut:
2.5.2.1.
Konflik Vertikal Pengelolaan Kawasan Hutan
Polarisasi sifat konflik vertikal dicirikan oleh adanya perbedaan sasaran yang diikuti pertentangan antara pihak yang kuat (powerfull) dan pihak yang lemah (powerless). Dalam pengelolaan hutan, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik vertikal tersebut umumnya terjadi antara pihak pemerintah sebagai pemilik kewenangan dan yang secara “formal” berkuasa dalam pengelolaan hutan negara dengan pihak masyarakat.
Di Indonesia, contoh konflik yang masuk
dalam kategori ini diantaranya yaitu: 1) Konflik status dan kepemilikan lahan (land tenure conflict). Kata tenure/tenurial berasal dari kata bahasa latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki (Wiradi, 1984). Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah penguasaan suatu sumberdaya
48 yaitu mengenai status hukumnya. Dengan kata lain, bila membicarakan persoalan tenurial sumberdaya hutan, tidak lain membicarakan soal status hukum dari suatu penguasaan atas tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dimaknai bahwa “tenure system is bundle of rights” (Ridell, 1987). Sistem tenurial adalah serangkaian hak-hak. Setiap hak atas suatu sumberdaya alam selalu saling kait mengkait satu sama lainnya di dalam satu kesatuan ekosistem. Serangkaian hak-hak tersebut juga berisikan tentang komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan yaitu sosial, ekonomi, dan ekologis. Berdasarkan pengertian sebundel atau seikat, maka masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya lalu diletakkan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakkan dalam konteks yang berbeda. Ikatan itu sendiri menunjukkan adanya suatu sistem (Ridell, 1987). Padanya bisa ditambahkan pengertian bahwa adanya suatu sistem dalam serangkaian hak-hak ini juga berdasarkan kenyataan bahwa manakala suatu hak muncul-apalagi sudah terikat dalam suatu rangkaian-maka pada saat yang sama juga ada sejumlah batasan-batasan atau kewajiban yang menyeimbangkan hak-hak tadi, dan suatu masyarakat membuat suatu tata sosial berdasarkan hubungan saling pengaruh dari hak dan kewajiban dan/atau batasan-batasan tersebut. Pada setiap tenure system, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen (Pasya dan Suratmo, 2002), yakni: (1) Subjek Hak; berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subyek hak tersebut bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat negara; (2) Obyek Hak; dapat berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh diatas tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu. Pada obyek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-batasnya diberi suatu simbol, yang dapat saja berupa suatu benda fisik tertentu. Obyek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seorang yang mempunyai hak atas pohon damar (Sorea javanica) tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon damar itu berdiri; (3)
Jenis
Hak;
setiap
hak
selalu
dapat
dijelaskan
batasannya,
yang
membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang
49 dari hak milik, hak sewa, hak pakai, hak penyakapan, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana masyarakat/negara yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga pemerintah) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam konsep sistem tenure (tenure system) tersebutlah hak pemilikan berada di dalamnya. Pada umumnya, perhatian pada kepemilikan diletakkan sebagai bagian dari sistem tenure, baik yang tumbuh dari proses-proses sosialbudaya-historis (“berdasarkan adat”) dan/atau yang ditransplantasikan melalui hukum negara (“berdasarkan undang-undang”). Dalam pengelolaan kawasan hutan, bentuk-bentuk konflik tenure yang terjadi adalah klaim status tanah atas kawasan, klaim wilayah masyarakat hukum adat, klaim tata batas kawasan, dan bahkan klaim akses pengusahaan serta penyakapan. 2) Konflik distribusi penguasaan sumberdaya hutan. Masalah penguasaan sumberdaya alam, termasuk hutan di Indonesia cukup
memprihatinkan.
Persoalan
distribusi
penguasaan
lahan
telah
menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat dan mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi rakyat yang berbasis pemanfaatan lahan. Ketidakseimbangan kepemilikan tanah, memang menjadi masalah di banyak negara berkembang. Penguasaan lahan yang tidak seimbang menyebabkan adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani di perdesaan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan tanah mereka belum mantap. Terbukti dari sejumlah pemilik tanah di Indonesia, 80% diantaranya tidak memiliki sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang “sah” (LATIN, 2000). Pengertian sahnya kepemilikan tanah yang dibatasi secara kaku oleh istilah domein verklaring telah menimbulkan berbagai gugatan yang datang dari komunitas masyarakat hukum adat yang tidak memiliki bukti dokumen kepemilikan tanah namun secara fisik dan turun-temurun memang mereka yang menguasai tanah tersebut. 3) Konflik pengusahaan lahan kawasan hutan. Konflik pengusahaan/pengelolaan secara teoritis masih termasuk dalam konflik land tenure dalam arti luas. Berdasarkan pengalaman empiris, jenis konflik tersebut merupakan salah satu bentuk konflik vertikal karena terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Seperti telah diuraikan di dalam Bab Pendahuluan, hutan lindung memiliki keterkaitan erat dengan fungsi ekologis
50 yang bersumber dari hutan. Fungsi ekologis tersebut tercermin dari definisi hutan lindung. Untuk mempertahankan fungsinya, pemerintah menetapkan hutan tersebut sebagai kawasan hutan. Di dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pada kenyataannya, tidak semua kawasan hutan tersebut benar-benar bebas dari interaksinya dengan manusia. Sejak dahulu sebelum jaman modern, manusia pada dasarnya sudah saling berinterkasi dengan lingkungan di sekitarnya termasuk hutan.
Sehingga menjadi suatu hal yang mustahil
penunjukkan dan penetapan suatu hutan menjadi kawasan akan tidak bersinggungan dengan kepentingan subsisten dari masyarakat yang telah lama hidup dan berusaha ekonomis di dalam atau di sekitar hutan. Penetapan kawasan hutan di India pada jaman kolonial Inggris hingga pasca kemerdekaan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi kepentingan penguasa, dalam hal tersebut adalah pemerintah (Robinson, 1998). Pola serupa juga terjadi pada penetapan-penetapan kawasan hutan di Indonesia.
Contohnya adalah hak
erfpacht yang bersumber dari Undang-undang Kolonialis Belanda yaitu Agrarisch Wet ditujukan untuk memfasilitasi investasi luar negeri masuk ke Indonesia dan memperoleh tanah untuk mengembangkan tanaman komoditi ekspor (Fauzi, 2000).
Di dalam prakteknya Hak tersebut merupakan bentuk klaim dan
“pendudukan” sepihak oleh pemerintah “atas nama” negara untuk mendominasi hutan.
2.5.2.2.
Konflik Horizontal Pengelolaan Kawasan Hutan
Konflik horizontal pengelolaan kawasan hutan dapat terjadi baik antarorang/kelompok masyarakat atau etnis maupun antar-pemerintah atau unit teknis pemerintah yang kepentingannya bersinggungan dengan ekosistem hutan. Konflik biasanya dipicu oleh persaingan dalam memperoleh akses pengelolaan sumberdaya hutan dan umumnya untuk alasan ekonomis seperti sebagai sumber pendapatan. Menurut Lake dan Rothchild dalam Agustino (2001), sebab utama pertikaian antar kelompok masyarakat dan/atau etnis adalah adalah rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Menurutnya, ada dua argumentasi penyebab rasa takut yang menjadi debat antropologi sebagai sumber konflik horizontal
51 pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Argumentasi pertama, konflik antar kelompok masyarakat bersumber pada dendam yang sangat mengakar, kecemburuan sosial, hingga frustasi yang bersumber dari kejadian-kejadian di masa lalu sehingga dua pihak kelompok masyarakat atau etnis saling bertentangan. Argumentasi kedua, konflik muncul apabila suatu kelompok masyarakat/etnis merasa cemas akan nasibnya di hari depan, apalagi ketika ketersediaan sumberdaya alam semakin hari semakin langka. Pada kasus konflik yang demikian rumit, kedua argumentasi tersebut bisa saja terjadi bersamaan contohnya pada kasus konflik etnis Dayak dan Madura di Sanggau Ledo (tahun 1997), Sambas (tahun 1999), dan Kalimantan Tengah (tahun 2001) di Pulau Pulau Kalimantan yang terkenal dengan kekayaan sumberdaya hutannya (Marzali, 2001).
2.6.
Kajian Tentang Model Penanganan Konflik Dari uraian sebelumnya tentang metode penanganan konflik, secara
umum metode penanganan konflik terdiri atas: (1) metode penanganan yang ditempuh melalui jalur peradilan formal, dan (2) metode penanganan yang ditempuh di luar jalur peradilan formal. Hakekat penanganan konflik adalah “proses”. Artinya, penanganan konflik terdiri atas tahapan-tahapan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: (1) tahap analisis konflik yang menghasilkan peta konflik beserta komponen-komponennya seperti akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi sifat konflik; dan (2) tahap penanganan konflik yang sesungguhnya menyangkut pilihan-pilihan pendekatan negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi atau proses hukum. Suatu fakta bahwa konflik disebabkan oleh berbagai perbedaan. Glasl dalam Yasmi (2002) menyatakan bahwa yang harus menjadi catatan dalam penelitian konflik yaitu tidak semua perbedaan identik dengan konflik, terkecuali perbedaan-perbedaan yang menimbulkan gangguan/kerusakan (impairment) terhadap pihak lain. Glasl mengembangkan sebuah model konflik berdasarkan empat buah perbedaan yang dianggap dapat menggangu suatu pihak seperti ditayangkan dalam Gambar 2.7. Jika menilik Model Konflik Glasl tersebut, Glasl lebih menekankan pada analisis peta konflik terbatas pada pengaruh perbedaan terhadap perilaku suatu pihak kepada pihak lainnya.
52
Perbedaan dalam berfikir, pandangan, dan persepsi
Perbedaan dalam emosi
Perilaku Pihak A
Gangguan yang dialami oleh pihak B
Perbedaan dalam kepentingan
Gambar 2.7. Model Konflik Glasl (Sumber: Glasl dalam Yasmi, 2002)
Dari beberapa teori konflik yang telah diuraikan sebelumnya, model tersebut lebih menekankan pada analisis akar konflik yang dirasakan oleh suatu pihak, kemudian melihat bagaimana perilaku pihak tersebut
dan apa pengaruhnya
terhadap pihak lain. Glasl tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana kemudian konflik antar-pihak tersebut ditangani. Model lain adalah model dikembangkan oleh ICRAF (International Center For Research in Agroforestry) yang disebut dengan model Negosiation Support System – Natural Resources Management (Sistem Pendukung Negosiasi – Pengelolaan Sumberdaya Alam) atau sering disingkat dengan NSS-NRM atau SPN-PSA seperti ditayangkan dalam Gambar 2.8.
SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;
2
4 Inovasi Guna lahan
Sain dan Pengetahuan terperbaiki • Biofisik • Kebijakan
Interaksi sumberdaya
1
stake-holders dialog
dalam mosaik lansekap
Filter Jalan,kanal
Proses Negosiasi 3 perubahan
perubahan berkesepakatan
spontan
Gambar 2.8. Model Sistem Pendukung Negosiasi Pengelolaan Sumberdaya Alam
(Sumber: Noordwijk, 2000)
53 SPN - PSA adalah suatu proses yang menganjurkan penanganan konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di dalam suatu landsekap atau ekosistem tertentu, misalnya ekosistem DAS; melalui pendekatan negosiasi secara terpadu yang didukung oleh sain dan ilmu pengetahuan (baik modern maupun subsisten) yang didapat dari hasil-hasil penelitian dan pengembangan partisifatif dalam bidang bio-fisik, sosial, ekonomi, dan kebijakan; dalam rangka memitigasi konflik kepentingan antar para pesengketa (multi-disputants) sekaligus mempromosikan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Fay dan Pasya, 2001). Dalam SPN, pendekatan negosiasi secara sistematis diarahkan pada pengembangan sistem insentif/disinsentif sosial-ekonomi-lingkungan termasuk membangun komitmen (commitment sharing) untuk melaksanakan setiap perubahan (baik spontan maupun dengan kesepakatan) dalam rangka mencapai tujuan bersama (common goals). Empat langkah dalam mengembangkan Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) menurut Noordwijk (2001) yaitu: (1) identifikasi aktor/stakeholder serta memahami tujuan dan indikator yang digunakan untuk memprediksi keadaan lansekap saat ini dan dimasa depan, (2) mengembangkan “alat” yang dapat menghubungkan tata guna lahan dengan indikator fungsi ekologis, fungsi ekonomi, fungsi sosial, dll yang dapat diterima semua stakeholder, (3) mendukung proses negosiasi dalam konteks butir satu (1), dan (4) memberikan pilihan-pilihan inovasi teknologi dan kelembagaan yang diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan bersama. Model
SPN-PSA
lebih
menekankan
bahwa
penanganan
konflik
merupakan suatu proses, sementara pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan negosiasi. Model tersebut dapat dikategorikan sebagai penanganan konflik di luar jalur peradilan masuk dalam kelompok Alternative Dispute Resolution. Kelemahan model ini adalah tidak secara eksplisit menguraikan langkah-langkah analisis peta konflik seperti yang dikembangkan oleh Glasl, sebaliknya, Glasl tidak secara eksplisit menjelaskan bagaimana konflik ditangani dan dengan menggunakan pendekatan apa. Dari kedua model, bisa dikembangkan sebuah model baru yang relatif lebih konprehensif yang dapat dipergunakan untuk peneliatian ini. Kelemahan SPN-PSA adalah tidak menguraikan secara lengkap bagaimana tahap (1) dari model tersebut seharusnya dilakukan.
Sebenarnya Model Glasl dapat
dipergunakan untuk melengkapi Tahap Kesatu Model SPN-PSA, namun analisis
54 konflik dalam model Glasl pun masing kurang lengkap. Dengan menyertakan seluruh komponen analisis pemetaan konflik seperti seperti akar konflik, gaya konflik, tipe konflik, dan polarisasi sifat konflik, maka dapat dikembangkan sebuah model baru yang relatif lengkap seperti ditayangkan dalam Gambar 1.2 yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Model tersebut kemudian dapat
mengisi dan melengkapi Tahap Kesatu Model SPN-PSA sehingga penanganan konflik dapat dilakukan secara holistik mulai dari tahap analisis konflik yang menghasilkan peta konflik beserta komponen-komponennya hingga tahap penanganan konflik yang sesungguhnya dengan pendekatan
negosiasi.
Sedangkan bagaimana kinerja (peformance) kedua model tersebut (Gambar 1.2 dan Gambar 2.8) dalam konteks Otda, memerlukan studi proses di lapang melalui proses kognitif yang modelnya ditayangkan dalam Gambar 1.3.