IDEOLOGI AKTOR DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
FARIS RAHMADIAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Faris Rahmadian
iii
ABSTRAK FARIS RAHMADIAN. Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN. Pasca erupsi, kawasan Gunung Galunggung merupakan salah satu kawasan yang menjadi arena besar pertarungan kepentingan antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Objek pasir yang berlimpah menjadikan pertambangan skala besar hadir dan berimplikasi secara esensial terhadap kehidupan masyarakat lokal yang tidak hanya berada dekat dengan kawasan pertambangan, namun juga berada jauh dengan lokasi pertambangan. Terlebih diketahui bahwa ideologi masyarakat yang menekankan pada kesejahteraan dan populisme, berbanding terbalik dengan ideologi swasta dan pemerintah yang menekankan pada profit dan pembangunan. Dampak negatif dan positif aktivitas pertambangan mulai secara nyata dirasakan oleh masyarakat, diantaranya seperti degradasi kualitas air, tingkat pendapatan atau konflik yang secara krusial merepresentasikan respons masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan pasir yang telah hampir tiga puluh tahun mengeruk kawasan ini. Kata kunci: Analisis aktor, pemanfaatan sumber daya alam, penilaian dampak, Persepsi masyarakat, pertambangan pasir
ABSTRACT FARIS RAHMADIAN. Actor Ideology and Public Perception of Sand Mining Impacts on Rural Galunggung Mountain. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN. After the eruption, the region of Galunggung is one of area that become contestation arena between the interests of the government, public and private. The abundant of sand mining object, make large scale mining industry came in and implicates essentially on the lives of local communities who are not only close to the mining area, but also are away from the mining area. Moreover, it is known that the public ideology is emphasizes to welfare and populism, inversely proportional to the private and government ideology that emphasizes to profit and developmentalism. Negative and positive impacts of mining activity started significantly perceived by the public, such as degradation of water quality, the level of income, or conflict that represents the community response to the presence of sand mining company that has been almost thirty years to dredge this area. Key words: Actor analysis, natural resources utilization, impact assessment, public perception, sand mining
iv
IDEOLOGI AKTOR DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
FARIS RAHMADIAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
v
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung Faris Rahmadian I34100120
Disetujui oleh
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Pembimbing
Diketahui
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal pengesahan: _______________________
vi
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung” dengan baik. Karya ilmiah ini mengangkat isu pertambangan serta dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat di dua desa di kawasan gunung Galunggung, dimana sejak tahun 1984 kawasan ini telah menjadi ladang galian tambang pasir yang memberikan dampak positif maupun negatif terhadap tiga ruang aktor, yakni masyarakat, pemerintah dan swasta. Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak anjuran dan arahan pada penulis selama proses penulisan proposal hingga penyelesaian skripsi ini, serta Ir. Fredian Tonny, Ms. selaku dosen penguji utama skripsi, dan Ir. Hadiyanto, Msi. selaku dosen penguji perwakilan departemen SKPM yang memberikan berbagai saran dan pencerahan dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua serta adik tercinta yang selalu memberikan semangat, inspirasi, intimasi, edukasi dan doa untuk penulis. Serta ucapan terima kasih juga sebesar-besarnya pada masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, khususnya warga RW 07 dan RW 10 serta kelompok pembenihan ikan Mekar Saluyu yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data serta menerima dengan hangat penulis disana sebagai pendatang selama periode penelitian. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada semua teman dan kerabat yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil kepada penulis selama proses penulisan laporan ini. Terlebih kepada keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, teman-teman serta sahabat di SKPM 47. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2014
Faris Rahmadian
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ix ix xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 5 6 6
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Urgensi Ekologi Etika Lingkungan Pengertian Pertambangan Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Pengertian Persepsi Kerangka Konseptual Hipotesis Penelitian Definisi Operasional
7 7 7 10 11 12 15 16 17 18
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Pemilihan Responden dan Informan Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21 21 22 23 23
PROFIL MASYARAKAT DESA RANCAPAKU DAN DESA MEKARJAYA Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Struktur Sosial dan Ekonomi Kondisi Fisik Ikhtisar
25 25 26 29 30
ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG Aktor Masyarakat Aktor Swasta Aktor Pemerintah Ikhtisar
31 31 33 37 42
ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR Dampak Ekologi Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana
45 45 47 51
viii
Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan Dampak Sosial Persepsi Terhadap Dampak Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor Persepsi Terhadap Konflik Sosial Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan Dampak Ekonomi Tingkat Pendapatan Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa Ikhtisar
57 61 66 67 72 75 79 82 83 87 90 94
PENUTUP Simpulan Saran
99 99 100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
101 105 123
ix
DAFTAR TABEL
1
Jadwal pelaksanaan penelitian
22
2
Sejarah letusan Gunung Galunggung
25
3
Jumlah perusahaan industri sedang dan besar
40
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2013 4
Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung
43
5
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
48
terhadap tingkat degradasi kualitas air 6
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
52
terhadap tingkat kerentanan terhadap bencana 7
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
58
terhadap tingkat polusi melalui udara 8
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
62
terhadap tingkat alih fungsi lahan 9
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
68
terhadap dampak keberadaan perusahaan tambang pasir 10
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
73
terhadap hubungan antar aktor 11
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
76
terhadap konflik sosial 12
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
80
terhadap cara pandang lingkungan 13
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku
88
terhadap tingkat kesempatan bekerja 14
Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa
91
x
DAFTAR GAMBAR 1
Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan SDA
10
2
Kerangka konseptual
17
3
Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya
36
4
84
5
Rata-rata pendapatan rumah tangga responden Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku April 2013 – April 2014 Rantai penjualan pasir Galunggung
6
Grafik perbandingan dampak pertambangan pasir
94
86
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1
Peta lokasi penelitian: Desa Mekarjaya
106
2
Peta lokasi penelitian: Desa Rancapaku
107
3
Kuesioner penelitian
108
4
Panduan wawancara mendalam
115
5
Surat pernyataan tentang kesepakatan antara masyarakat
118
dengan perusahaan pertambangan pasir pada bulan maret tahun 2013 6
Salah satu bentuk protes warga terhadap dampak negatif dari
120
aktivitas penambangan pasir di Desa Mekarjaya melalui media massa 7
Dokumentasi penelitian
121
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia telah merumuskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk memajukan kesejahteraan bersama, seperti yang termuat dalam filosofi dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu adanya pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, yang memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Sebagai lembaga formal, aparatur pemerintahan memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam di daerahnya. Beberapa pasal pengelolaan lingkungan hidup telah dibuat guna menunjang keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 (UU Air), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU Kehutanan), Undang-Undang No. 4 tahun 2009 (UU Minerba), hingga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH). Undang-undang tersebut pada dasarnya saling memperjelas dan mendukung posisi masyarakat dalam sektornya masing-masing, dalam konteks wilayah hutan contohnya, disebutkan bahwa UU Kehutanan memandang hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran masyarakat, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan peran terbuka dan progresif pemerintah untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Selain itu, dalam pembukaan undangundang ini juga disebutkan bahwa dalam rangka melakukan pengelolaan kawasan hutan, haruslah mampu menampung dinamika aspirasi, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat. Begitu pula dengan UU Air dan UU Minerba, dua undang-undang ini sangatlah krusial mengingat posisinya yang sangat dekat dengan masyarakat dan peran besarnya bagi aspek sosial hingga ekonomi masyarakat. Pada UU Minerba, disebutkan bahwa pada dasarnya tujuan pengelolaan mineral dan batu bara adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demikian halnya pada UU Air, disebutkan jika sumber daya air sejatinya dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut pada pasal enam undang-undang ini disebutkan jika penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui posisi dan hak ulayat masyarakat, hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu. Undang-undang sebagai perangkat dasar aturan dasar Negara jelas telah mengatur dan menjaga posisi masyarakat sebagai elemen penting yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dan sumber daya alam itu sendiri. Tetapi fakta dilapangan justru menunjukkan banyak kasus yang memperlihatkan minimnya intervensi dan peran pemerintah dalam upaya
2
penegakan amanat-amanat konstitusi tersebut. Sepanjang 2013 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya telah terjadi 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1.281.660 hektare dengan melibatkan setidaknya 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48.78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28.46%), pertambangan 38 kasus (10.3%), kehutanan 31 kasus (8.4%), pesisir kelautan sembilan kasus (2.44%) dan lain-lain enam kasus (1.63%). Berdasarkan data tersebut, dapat diambil gambaran jika setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria yang melibatkan atau mengorbankan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektare (Nugraha 2013). Berdasarkan data tersebut kita dapat melihat jika permasalahan sumber daya alam terdapat pada berbagai lini. Padahal, pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang sangatlah diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dan menunjang keberlanjutan kehidupan ekosistem di Indonesia. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2012 menyebutkan, pada sektor pertambangan setidaknya terdapat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang dinyatakan masih bermasalah, baik dari segi perizinan, kepemilikan lahan, dan lain sebagainya (Wihardandi 2012). Terlebih pada era ini isu pertambangan semakin kompleks dan dipenuhi polemik, walaupun legalitas pertambangan belum diperoleh, banyak perusahaan tambang yang tetap melakukan aktivitas pertambangannya, dan lagi-lagi permasalahan seperti ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum baik swasta maupun pemerintah sendiri yang memiliki otoritas namun cenderung berorientasi profit tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan dan hak-hak masyarakat banyak. Sehingga perlu untuk dipahami, bahwa urgensi sumber daya alam sama sekali bukan hanya berada pada tataran kepentingan ekonomi apalagi politik belaka. Bagi masyarakat khususnya masyarakat yang rentan atau miskin, sumber daya alam merupakan aspek krusial yang menyangkut hidup dan mati diri serta keluarganya. Seperti yang disebutkan oleh Dharmawan (2006), sumber daya alam adalah “last resort” atau tempat pengaduan terakhir bagi lapisan masyarakat miskin untuk mempertahankan kehidupannya (survival strategy), oleh karena itu sumber daya alam bukanlah sekedar permasalahan yang ada di permukaan, namun esensial dan seharusnya menjadi prioritas isu nasional yang memerlukan sinergi seluruh stakeholder terkait. Demokrasi pada era ini tidak jarang justru membuat masyarakat semakin menempati posisi inferior dan tidak memiliki kekuasaan serta hak atas sumber daya alam yang berada di lingkungannya. Kondisi yang dialami oleh masyarakat ini semakin diperparah ketika dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan sumber daya alam tersebut ternyata juga menggangu dan merugikan pihak masyarakat. Sebagai contoh adalah aktivitas penambangan pasir besi di kawasan selatan Cianjur, aktivitas penambangan pasir tersebut dianggap telah merugikan masyarakat Cianjur Selatan. Mulai dari dampak lingkungan seperti jalan yang rusak, pencemaran, hingga dampak sosial yakni konflik antar pihak, baik masyarakat dengan swasta, masyarakat dengan pemerintah, atau bahkan
3
masyarakat dengan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Pengurus Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Lili Hasanuddin mengungkapkan, desentralisasi dan demokratisasi pada era ini memang hanya cenderung sebatas menimbulkan keriuhan politik. Masyarakat memang semakin bebas mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan politik, namun akses ke sumber daya alam masih tetap digenggam elite politik dan elite pengusaha (Otonomi… 2011). Orientasi apatis pemeritah terhadap masyarakat inilah yang akhirnya menyebabkan kerugian baik moril maupun materil bagi masyarakat. Masyarakat seolah hanya menerima “sisa” dari pemanfaatan sumber daya alam pihak otoritas dan bahkan tidak jarang hingga harus kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupannya. Selain itu, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas-aktivitas pengelolaan sumber daya alam tersebut tentunya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mata pencaharian mereka, kondisi lingkungan dan tentunya juga tempat tinggal masyarakat sekitarnya. Gambaran-gambaran tersebut seolah direfleksikan secara nyata di kawasan Gunung Galunggung, Jawa Barat. Beberapa titik di kawasan Gunung Galunggung, khususnya di daerah Kecamatan Padakembang telah menjadi kawasan pengerukan pasir berbagai pihak, diantaranya oleh CV PG, CV AS dan CV FR. Walaupun kehadiran perusahaan seperti CV AS bukan yang pertama di kawasan ini, namun bagi masyarakat sekitar, perusahaan tambang yang masih eksis pada saat ini yakni CV AS, merupakan salah satu faktor yang dianggap sangat mengancam kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Pasalnya, perusahaan tersebut telah cukup lama aktif dalam aktivitas pertambangan pasir di Gunung Galunggung (khususnya Kecamatan Padakembang), dan masih terus melakukan aktivitas penambangan serta eksplotiasinya, namun cenderung mengabaikan kepentingan dan kondisi masyarakat sekitarnya. Kawasan Gunung Galunggung memang memiliki jumlah material pasir yang sangat berlimpah. Pasca erupsi pada tahun 1982 dan berakhir pada bulan Januari 1983, Gunung Galunggung seolah telah menjadi “ladang” pasir serta material bebatuan lainnya yang dihasilkan oleh letusan Gunung. Walaupun tragedi tahun 1982 - 1983 dianggap sebagai bencana besar yang banyak menelan korban jiwa, dan sebagai salah satu bencana letusan gunung terburuk di Indonesia, namun di satu sisi bencana tersebut dianggap telah membawa manfaat yang banyak bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan kaki Gunung Galunggung. Pada awalnya, banyak masyarakat yang menganggap kondisi pasca letusan ini sebagai “neraka” karena telah banyak merenggut nyawa dan menghilangkan tempat tinggal mereka, namun lambat laun mereka menganggap kondisi pasca letusan ini sebagai “surga” karena telah mendatangkan sumber penghasilan dan mata pencaharian baru yang memberikan manfaat ekonomis cukup besar. Setelah beberapa tahun kemudian, masyarakat yang semakin pulih pasca letusan Gunung Galunggung mulai melakukan berbagai aktivitas seperti sediakala, tetapi pada saat itu juga masyarakat yang menganggap aktivitas
4
pertambangan pasir sebagai berkah justru malah terganggu oleh aktivitas pertambangan pasir yang semakin gencar dilakukan oleh perusahaanperusaahan disana. Masyarakat di kawasan Gunung Galunggung merasa aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh perusahaan tersebut semakin mengancam kondisi sosial, lingkungan serta ekonomi mereka. Aktivitas pertambangan tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat, baik positif maupun negatif. Namun respons penolakan atas dampak-dampak yang terjadi seolah diabaikan baik oleh pihak perusahaan maupun pemerintah sendiri. Masyarakat cenderung berada pada posisi minor yang aspirasinya dan haknya seolah dikebiri walaupun berada pada lingkungannya sendiri. Bagi masyarakat lokal, aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh industri besar tersebut jelas secara langsung maupun tidak langsung akan mengancam dan perlahan „membunuh‟ kelangsungan hidup masyarakat lokal dan masyarakat sekitar kawasan tambang. Berdasarkan pemaparan tersebut, masyarakat di kawasan Gunung Galunggung tidak hanya tertekan karena dampak lingkungan yang ditimbulkan, namun juga implikasinya terhadap ancaman eksistensi mata pencaharian hingga konflik baik vertikal maupun horizontal. Tendensi pengelolaan sumber daya alam di berbagai sektor yang lebih mengabdi pada kepentingan elite politik dan elite pengusaha dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat, membuat dampak yang ditimbulkan tidak hanya sebatas dampak fisik, namun juga non-fisik. Seperti banyak contohcontoh yang terjadi di Indonesia, isu pertambangan merupakan permasalahan sensitif yang tidak hanya disikapi sebagai permasalah yang bersifat permukaan, namun juga sebagai permasalahan ekologi, sosial dan ekonomi mendalam dan kompleks. Pertambangan pada era ini semakin mengarah pada permasalahan komperhensif yang tidak jarang menggiring pada ancaman krisis ekologi yang serius. Terlebih jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, tidak jarang isu pertambangan menjadi dua sisi yang saling bertolak, yang menguntungkan bagi daerah atau sebagian kelompok kapitalis dan berkepentingan, namun merugikan dan bahkan mengancam eksistensi masyarakat yang berada di sekitar kawasan aktivitas tambang itu sendiri. Padahal dengan penghasilan dan keuntungan dari sektor pertambangan yang besar baik pada daerah maupun Negara, sudah seharusnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tambang menjadi prioritas dan diperhatikan secara khusus dalam mencapai kesejahteraannya. Ancaman dampak pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung pada saat ini secara nyata telah mengarah pada ancaman krisis ekologi dan menjadi isu dan polemik yang kompleks, maka berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana ideologi aktor dan persepsi masyarakat terhadap dampak pertambangan pasir di kawasan pedesaan Gunung Galunggung.
5
Rumusan Masalah Lingkungan dan sumber daya alamnya pada era ini merupakan isu masyarakat global yang berkaitan dengan jaringan interaksi politik yang paling kompleks. Lingkungan beserta sumber daya alamnya dianggap sebagai objek yang selalu berkaitan dengan pola-pola interaksi dan variasi yang paling rumit, dan sekaligus dengan pelibatan aktor yang paling majemuk (Lay 2007). Demikian halnya dengan kasus pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung. Aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangatlah beragam, terlebih mengingat aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh perusahaan didalamnya yakni CV AS, merupakan aktivitas pertambangan yang bukan lagi dalam ruang lingkup pertambangan skala kecil, namun termasuk pada skala besar sehingga memerlukan berbagai izin serta proses yang panjang baik dengan pihak pemerintah dan juga masyarakat. Perbedaan kepentingan antara masyarakat, pemerintah dan swasta tidak jarang berakibat pada gesekan sosial antar pihak tersebut yang mulai mengarah pada letupan-letupan konflik. Pasalnya, sumber daya alam yang seharusnya juga menjadi hak masyarakat seolah direbut secara paksa oleh pihak yang tiba-tiba datang dengan kekuatan industrinya dan secara perlahan mengancam eksistensi mereka. Walaupun berbagai dampak negatif telah secara nyata diklaim oleh masyarakat, baik pihak pemerintah maupun swasta tetap mempertahankan dan menjalankan proyek pertambangan pasir tersebut. Hal tersebut seolah menggambarkan kondisi kepentingan yang saling bertolak belakang antara pihak masyarakat, pemerintah, dan swasta, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dan persaingan antar aktor-aktor yang terlibat. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana ideologi dan peran para aktor yang terlibat dalam aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung? Pemanfaatan sumber daya alam yang tendensius dan tidak mengindahkan aspek-aspek ekologis jelas akan berdampak buruk terhadap kondisi ekosistem dan lingkungan sekitarnya. Terlebih aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di kawasan Gunung Galunggung telah dilakukan sejak lama bahkan sebelum kehadiran perusahaan CV AS. Sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya sebatas pada aspek ekologis, namun lebih esensial dan bahkan hingga menyentuh aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Masyarakat juga telah menyuarakan pendapatnya terkait keberadaan perusahaan tambang, baik melalui ruang publik atau melalui forum-forum di tingkat regional bahkan nasional, atas berbagai dampak baik positif maupun negatif yang secara nyata telah terjadi dan dirasakan secara beragam oleh masyarakat. Terlebih, dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada dekat dengan lokasi tambang, namun juga yang berada jauh dengan lokasi tambang. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap dampak negatif ekologi, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung?
6
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengetahui ideologi dan peran para aktor yang terlibat dalam aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung. 2. Mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir, baik pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi akademisi, pemangku kebijakan dan masyarakat pada umumya mengenai penilaian dampak (impact assesment) galian tambang golongan C. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan kajian mengenai dampak-dampak ekologi, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh aktivitas galian tambang golongan C dengan objek spesifik tambang pasir yang dampaknya kerap tidak dianggap sebagai isu yang strategis dan sentral. 2. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan para pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan sumber daya alam yang seharusnya mempertimbangkan banyak aspek secara rasional dan tidak menimbulkan disparitas. Terlebih ketika berkaitan dengan sumber daya alam yang menjadi tumpuan penghidupan serta hidup dan mati masyarakat. 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat mengenai dampak-dampak terhadap aktivitas pertambangan pasir yang terjadi secara masif di kawasan kaki Gunung Galunggung. Serta memberikan penyadaran atas ancaman dampak ekologi, sosial dan ekonomi akibat aktivitas pertambangan pasir yang tendensius dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, yang senantiasa ada dan akan terus mengancam masyarakat pada dewasa ini.
7
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Urgensi Ekologi Pada dasarnya, makhluk hidup akan selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Terlebih manusia, baik untuk pemenuhan kebutuhan hidup ataupun untuk keberlangsungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari lingkungan beserta sumber daya alamnya. Namun terkadang, manusia melupakan bahwa interaksi dan hubungan manusia dengan lingkungan atau sumber daya alamnya terjalin hubungan yang resiprokal. Itulah yang menjadi basis dalam konsep ekologi, yang berfokus pada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Dalam konsep ekologi, ekosistem dimaknai sebagai sistemsistem dalam lingkungan yang terdiri atas komponen-komponen (baik komponen biotik maupun abiotik) yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ketraturan tersebut terjadi akibat adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem. Ketika masing-masing komponen tersebut menjalankan fungsi dan bekerja dengan baik, maka keteraturan ekosistem terjaga, namun sebaliknya, jika terjadi perubahan-perubahan dalam ekosistem (baik secara alamaiah maupun akibat perbuatan manusia), maka ekosistem dapat menunjukkan ketikdakseimbangannya (Soemarwoto 1997). Lebih lanjut, Soemarwoto (1997) juga menjelaskan jika ekologi merupakan salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang seimbang antara elemen makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri jika aspek lingkungan dan sumber daya alamnya merupakan aspek krusial yang harus dijaga seluruh komponennya demi mencapai keberlanjutan kehidupan manusia yang baik, terlebih lingkungan dan sumber daya alamnya juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti juga yang disebutkan oleh Dharmawan (2006), bahwa sumber daya alam merupakan “last resort” atau tempat pengaduan terakhir bagi lapisan masyarakat miskin untuk mempertahankan kehidupannya (survival strategy), oleh karena itu sumber daya alam bukanlah persoalan sepele, namun persoalan kompleks yang harus diperhatikan karena berkaitan juga dengan hidup masyarakat, khususnya masyarakat yang rentan atau miskin. Namun, hingga pada saat ini pengelolaan lingkungan masih saja menimbulkan problematik. Baik pada sektor hulu (kebijakan) hingga pada tahap hilir (implementasi atau pelaksanaannya). Padahal, negara Indonesia telah mengatur persoalan lingkungan hidup secara cukup komperhensif, salah satunya adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2009 (UUPLH). Dalam UUPLH pada pasal 16 contohnya, secara jelas telah disebutkan jika setiap rencana pembangunan atau pemanfaatan sumber daya alam yang diperkirakan memiliki dampak-dampak terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Amdal
8
merupakan kajian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Dalam dokumen Amdal terdapat beberapa kriteria mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, diantaranya adalah jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wilayah persebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik atau tidak berbaliknya dampak (PP No. 27 Tahun 1999). Uraian pasal undang-undang tersebut merupakan salah satu contoh yang menunjukkan pihak pemerintah telah melakukan upaya-upaya regulasi untuk mengantisipasi atas dampak pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan1. Namun, berbagai permasalahan lingkungan dan sumber daya alam bukan berarti langsung menghilang. Banyak kasus dan permasalahan pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus terulang. Sebagai contoh adalah dampak dari penambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Jawa Barat. Penambangan pasir di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2011. Jika di kalkulasikan, maka kerusakan alam akibat penambangan pasir besi kurang lebih mencapai 2.250 hektare dari sekira 15 ribu hektare area yang dijadikan lokasi tambang (Riswan 2013). Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak yang tidak sedikit, dan tentu saja dampak tersebut juga akan berpengaruh pada kondisi hidup masyarakat sekitarnya. Permasalahan ekologi memang tidak hanya berakar pada kesalahan regulasi, namun juga penyimpangan implementasi yang tidak jarang dilakukan oleh oknum pihak pemerintah yang memiliki otoritas dalam melegalkan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak-dampaknya secara komperhensif. Terlebih pada era ini Indonesia telah mengusung sistem pemerintahan yang berbasis daerah atau disebut otonomi daerah. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri, namun secara tidak langsung otonomi daerah kerap menjadi dalih pemerintah daerah atas kewenangannya dalam segala aspek yang terdapat di daerahnya (Tarmansyah 2011). Tarmansyah (2011) secara lebih lanjut juga menyebutkan, tidak jarang era otonomi daerah ini justru menjadi „lahan‟ untuk pihak pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya alam daerahnya secara lebih maksimal. Dengan tuntutan kebutuhan dana seperti pembangunan dan dana rutin operasional pemerintahan yang besar, memaksa pemerintah daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia, dan lain sebagainya. Padahal dalam kaitannya dengan kewenangan dan otoritasnya di daerah, seharusnya penyimpangan semacam ini tidak muncul, karena memang tujuan dibentuk otonomi daerah adalah agar 1
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
9
peraturan-peraturan yang ada dan dibuat pemerintah daerah dapat langsung menyentuh dan menguntungkan masyarakat daerahnya sendiri. Seperti juga yang disebutkan oleh Kartodihardjo (2008), pembangunan pada era ini yang lebih condong didasari oleh mazhab ekonomi pasar secara konseptual hanya akan mentransaksikan komoditi yang dihasilkan dari sumber daya alam, dan seolah tidak memperhatikan dampak-dampak atau kerusakan dari sumber daya alam itu sendiri. Kartodihardjo (2008) juga menjelaskan terkait perbedaan antara pengelolaan dan pemanfaatan. Menurutnya dalam konsep pengelolaan, terdapat berbagai kegiatan atau proses yang ditujukan juga untuk memastikan status dan fungsi serta daya dukung sumber daya alam, sedangkan dalam konsep pemanfaatan lebih cenderung terbatas pada upaya eksploitasi manfaat semata. Dampak aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif tidak jarang mendorong kondisi krisis yang lebih sering disebut sebagai krisis ekologi. Krisis ekologi yang dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami destabilisasi keseimbangan alam yang diakibatkan oleh peradaban „late-modernity‟, yang menempatkan seluruh elemen ekosistem biosfer dalam ancaman kehancuran bersama (Dharmawan 2007). Raharja (2011) secara lebih lanjut juga menjelaskan krisis ekologi sebagai krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan lingkungan hidup yang merupakan tempat mereka berlindung, bermukim, dan mengeksploitasi sumber daya alam. Berbagai penjelasan definisi tersebut pada intinya mengarah pada kondisi kritis antara manusia dengan lingkungannya yang juga berdampak terhadap aspek-aspek luas, seperti aspek sosial dan ekonomi. Ancaman krisis ekologi memang akan terus mengancam seiring terus berkembanganya investasi dan proyek pemanfaatan sumber daya alam di daerah-daerah oleh pihak kapitalis. Khususnya aktivitas seperti pertambangan, reklamasi, ekspansi serta pembukaan lahan perusahaan merupakan aktivitas-aktivitas yang memang memiliki dampak terhadap ekosistem secara krusial. Aktivitas pertambangan pada satu sisi mungkin dapat dilihat juga memberi manfaat yang positif, khususnya dalam memberikan keuntungan baik pada sektor pendapatan daerah (PAD) ataupun peluang bekerja masyarakat, namun seharusnya masyarakat juga menyadari atas dampak negatif terhadap ekosistem mereka yang akan sulit pulih. Inilah yang disebut juga oleh Dharmawan (2007) sebagai akar penyebab krisis ekologi dalam perspektif developmentalism. Perpsektif ini menyebutkan tentang growthmania-syndrome, atau gejala yang pada era ini hampir dirasakan oleh seluruh Negara tentang orientasi pembangunan berskala besar yang terkadang tanpa menghiraukan dampaknya yang menyebabkan degradasi lingkungan dan degradasi sumber daya alam yang ada. Dengan pembangunan yang berdasar pada 'ketamakan', semua tatanan kelembagaan atau norma dan nilai yang mengatur tentang tatakrama dan etika berprilaku terhadap alam terkesan diabaikan. Manusia harus menyadari jika hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya merupakan hubungan yang sirkuler, dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukannya baik sedikit atau banyak (dan baik langsung maupun tidak langsung) akan juga berdampak pada lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Soemarwotto 1997a).
10
Etika Lingkungan Pemerintah, swasta ataupun masyarakat tidak jarang seolah saling berkompetisi dalam memperoleh akses dan manfaat yang sebesar-besarnya dalam rangka pemanfaatan objek sumber daya alam. Era demokrasi Indonesia pada saat ini yang mengusung sistem otonomi daerah 2 tidak jarang justru malah menimbulkan dinamika dalam pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam yang baru, yang justru dapat semakin membuka lebar jurang kesenjangan antara pihak penguasa dan pihak masyarakat yang dapat berimplikasi pada menurunnya kualitas dan kondisi hidup mereka. Hal tersebut tentu saja mengindikasikan adanya perbedaan pemakanaan dan sudut pandang baik antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap sumber daya alam. Pada satu sisi, pemerintah dan/atau swasta memandang lingkungan dan sumber daya alam sebagai aspek ekonomis, sedangkan masyarakat lebih memandang sebagai aspek mutualistis yang berkaitan pula dengan kondisi hidup mereka. Pihak pemerintah sebagai representasi negara yang seharusnya menjadi aktor netral dan seharusnya memihak kepentingan masyarakat, malah terkesan turut berpartisipasi dalam kontestasi antar aktor dalam sumber daya alam. Bahkan, dengan mudah kita dapat memperoleh literatur dan fakta yang menunjukkan bahwa pihak pemerintah tidak berbeda jauh dengan orientasi dan pandangan kapitalis perusahaan-perusahaan swasta yang cenderung mengabaikan pihak masyarakat. Sitorus dan Wiradi (dalam Antoro 2010) mengungkapkan, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan antar aktor, masyarakat kerap menempati posisi yang lebih lemah:
PASAR
NEGARA
MASYARAKAT
SDA
Gambar 1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan sumber daya alam Gambar di atas menjelaskan hubungan interaksi negara dengan pasar yang mutualistik, hubungan interaksi negara-pasar terhadap masyarakat yang bersifat hegemonik (kuat mempengaruhi), hubungan antara negara-pasar dengan SDA yang berorientasi pasar, serta hubungan antara produksi masyarakat dengan SDA yang lemah dan terus tergerus akibat dominasi aktor-aktor lainnya.
Pada era ini konflik lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan”, yang mulai mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi secara penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dan dilanjutkan dengan UU No. 32/2004 sebagai konsekuensi otonomi daerah (Dharmawan 2007)
2
11
Perbedaan kepemilikan akses akan sumber daya alam dan cara pandang terhadap sumber daya tidak jarang justru menyebabkan berbagai permasalahan krusial yang tidak hanya menyangkut aspek lingkungan, namun juga sosial dan ekonomi masyarakat. Keraf (2010) juga secara tidak langsung menyatakan dalam berbagai permasalahan ekologi hingga ancaman krisis yang terjadi pada dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, namun juga faktor internal dari manusia sebagai pihak yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini yang selanjutnya juga disebut sebagai cara pandang ataupun etika terhadap lingkungan. Secara harfiah, etika dapat dimaknai sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens 1993). Lebih lanjut, Keraf (2010) menyebutkan tentang tiga etika lingkungan yang berbeda: 1. Anthropocentrism Merupakan cara pandang yang menekankan pada manusia dan kepentingannya sebagai prioritas utama, manusia sebagai aktor kausal, dan lingkungan serta sumber daya alamnya hanya sebatas aspek pemenuhan kebutuhan manusia. 2. Biocentrism Merupakan cara pandang yang menanggap bahwa lingkungan dan sumber daya alam lainnya memiliki nilai tersendiri, dan manusia merupakan bagian dari alam yang interdependen. 3. Ecocentrism Merupakan cara pandang yang menekankan pada etika terhadap seluruh komunitas ekologis, baik yang biotik maupun abiotik. Ecocentrism membawa etika yang menandang semua komponen dalam dimensi lingkungan memiliki nilainya tersendiri.
Pengertian Pertambangan Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan objek tambang yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang (UU No. 4 Tahun 2009). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat jika pada dasarnya aktivitas pertambangan merupakan suatu proses yang panjang dan tentunya melibatkan berbagai tahap dan materi-materi yang beragam. Undang-undang Negara Indonesia juga telah secara jelas meengklasifikasikan jenis terkait izin usaha pertambangan, meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C (Ngadiran dalam Samad 2013). Golongan bahan galian tambang tersebut terbagi atas perbedaan materi dan fungsinya, atau dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Galian Tambang Golongan A
12
Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah). 2. Galian Tambang Golongan B Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom). 3. Galian Tambang Golongan C Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Golongan ini dianggap paling kurang memiliki nilai strategis dan dampak yang vital. Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Pertambangan Aktivitas pertambangan merupakan salah satu aktivitas yang kerap menuai dilematika karena berbagai dampaknya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Terkait dengan hal tersebut, Soemarwotto (1997b) menyebutkan pada dasarnya “dampak” dapat bernilai positif maupun negatif. Tapi secara umum, masyarakat lebih mengenal dampak sebagai suatu konotasi yang negatif, karena dampak yang akan bernilai berbeda jika berada pada ruang atau sudut pandang yang berbeda. Diantara berbagai dampak yang timbul, namun pada tataran realitas, tidak jarang dampak yang muncul lebih sering mengarah pada dampak negatif, terlebih terhadap aspek ekologi. Aktivitas pertambangan dapat menciptakan resiko kerusakan ekologis yang fatal. hal tersebut tidak lepas dari berbagai proses kompleks yang harus dilalui dalam aktivitas penambangan, seperti bagaimana teknik penambangan yang dilakukan, hingga bagaimana mengelola dan mengolah hasil tambang yang telah diperoleh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem di dalam dan sekitar lokasi penambangan. Penelitian yang dilakukan di berbagai lokasi juga menunjukkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh kehadiran aktivitas pertambangan. Dampak tersebut tidak hanya sebatas pada aspek ekologi, namun juga sosial dan ekonomi. Seperti halnya penelitian yang dilakukan di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 ini, dampak-dampak dari aktivitas penambangan cukup beragam, diantaranya adalah terdapat perubahan yang nyata pada kondisi udara dan sumber air. Udara yang kotor dan cenderung lebih panas menurut sebagian warga dianggap sebagai konsekuensi dari hadirnya aktivitas penambangan pasir dan juga truk yang terus berlalu lalang. Bahkan tidak jarang udara yang terhirup dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan hingga flu. Selain itu, air yang tercemar oleh aktivitas
13
pertambangan sangat berdampak terhadap kondisi kesehatan dan penghidupan masyarakat, dari air yang semakin sulit diperoleh khususnya pada musim kemarau hingga air yang dikonsumsi memicu terjangkitnya penyakit diare. Selain itu dampak secara sosial juga dapat terlihat, khususnya antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya persaingan terhadap peluang kerja yang minim, dan juga pekerja lokal yang mayoritas hanya bekerja sebagai buruh tambang, sedangkan pendatang banyak yang memiliki jabatan lebih baik (Sulton 2011). Demikian halnya yang terjadi di kawasan kota Samarinda, di kelurahan Sempaja Utara. Walaupun terdapat perbedaan dimana objek tambang di kawasan ini adalah batubara, namun terdapat kesamaan dimana kesempatan bekerja sektor pertambangan pada masyarakat lokal di wilayah ini sangatlah minim. Masyarakat lokal yang bekerja pada perusahaan hanyalah sebagai buruh kasar dan supir truk penangkut batubara. Namun hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah permasalahan ekologi, berdasarkan penelitian ini disebutkan bahwa ini pasca kehadiran perusahaan tambang kerap muncul permasalahan diantaranya adalah banjir, sumur masyarakat yang tercemar, saluran air tersendat, debu, terjadinya tanah longsor dan jalan yang rusak. Hal ini jugas semakin diperparah dengan masih rendahnya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat, hanya kepada sebagaian kecil masyarakat saja yang pernah memberikan dana kompensasi (“uang debu”), akan tetapi pemberian dana tersebut tidak merata dan diarasakan oleh masyarakat tidak cukup untuk menggantikan dampak negatif yang dihasilkan (Pertiwi 2011). Penyerapan tenaga kerja masyarakat lokal di perusahaan pertambangan yang pada awalnya diharapkan mampu memberikan insentif ekonomi yang jauh lebih berarti, namun ternyata tidak mampu terwujud dan hanya digantikan dengan uang kompensasi yang tidak sebanding dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Baik contoh kasus di Desa Cipinang maupun kelurahan Sempeja Utara, setidaknya memang mampu merefleksikan kesenjangan keuntungan yang tidak berimbang antara masyarakat dengan pihak swasta dan pemerintah. Samad (2013) yang juga melakukan penelitian atas dampak pertambangan di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur menyebutkan masyarakat lokal yang bekerja pada pertambangan hanya sebesar 37.12 persen dan 62.87 persen lainnya adalah pendatang. Hal ini tentunya tidak berimbang dengan pendapatan daerah yang semakin meningkat pasca kehadiran perusahaan pertambangan pasir. Bahkan untuk kasus di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, pihak perusahaan tambang telah menyebabkan berbagai dampak ekologis yang signifikan seperti, pemakaian hutan untuk tambang meluas, porositas tanah menurun sehingga tanaman sulit untuk dikembangkan, hingga air dan udara yang tercemar. Hal ini juga semakin diperparah dengan sarana dan prasarana yang dijanjikan pihak perusahaan pertambangan tidak dipenuhi, yang pada akhirnya juga kembali berdampak pada munculnya ketidaksejahteraan dan kesenjangan antara pihak masyarakat dan perusahaan. Disamping berbagai dampak negatif yang secara nyata semakin terus terlihat, ternyata berdasarkan beberapa data dari hasil penelitian
14
menyebutkan jika dampak positif hanya cenderung berada pada “lingkar kekuasaan”. Yakni dampak positif yang dihasilkan semata-mata hanya dapat dirasakan oleh segelintir pihak, khususnya pihak-pihak yang memiliki otoritas. Namun secara makro dan dalam sudut pandang yang berbeda, Salim (dalam Sulton 2011) menjabarkan tentang dampak positif dan negatif yang cenderung ditimbulkan dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan, yaitu: 1. Dampak Positif: a) Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional. b) Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). c) Meningkatkan peluang kerja, ekonomi, dan usaha mikro masyarakat lingkar tambang. d) Meningkatkan kualitas SDM dan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang. 2. Dampak Negatif: a) Ancaman kehancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam. b) Penderitaan masyarakat lokal sekitar lingkar tambang. c) Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal (khususnya yang berada di lingkar tambang) d) Meningkatnya kekerasan atau aksi kriminalitas sejenis. e) Kehancuran ekologi pulau-pulau. f) Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat secara makro dampak yang ditimbulkan sangatlah beragam, meliputi dampak ekologi, sosial maupun ekonomi, yang berada pada dimensi aktor pemerintah, swasta dan tentu saja masyarakat. Hal ini jika terus menerus dibiarkan akan dapat menimbulkan masalah yang lebih krusial dan tentunya akan menggiring masyarakat pada krisis ekologi yang serius. Krisis ekologi pada dasarnya merupakan suatu kondisi krisis antara manusia dengan lingkungannya yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk didalamnya faktor aktivitas-aktivitas manusia yang melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap lingkungan dan cenderung mengabaikan kepentingan lingkungan, seperti halnya banyak perusahaan pertambangan yang bermunculan pada dewasa ini. Dharmawan (2007) menjelaskan pada era ini dampak krisis ekologi ditunjukkan oleh beberapa situasi, diantaranya: 1. Kelangkaan sumber pangan. Hal ini telah terjadi di beberapa kawasan di dunia dan berdampak pada bencana kelaparan atau gizi buruk yang terus meluas. 2. Kelangkaan sumber energi. Energi di bumi ini cenderung masih bergantung pada fossil-fuel energy, dimana pada saat ini persediaannya semakin berkurang. 3. Pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi, serta ledakan penduduk di atas habitat yang makin sempit. 4. Eskalasi erosi, banjir, dan longsor akibat ekspansi kegiatan manusia hingga ke kawasan rawan bencana alam.
15
5. Menurun atau hingga hilangnya keanekaragaman hayati akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. 6. Kriminalitas, perilaku menyimpang dan masalah sosial lain akibat dari tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang memadai bagi kehidupan lestari. Dampak-dampak tersebut juga secara langsung maupun tidak langsung berdampak selain pada kondisi lingkungan masyarakat, namun juga ekonomi masyarakat. Lingkungan dan sumber daya alamnya merupakan elemen penting yang berkontribusi besar dalam penghidupan manusia. Baik dalam kaitannya untuk kepentingan konsumsi, maupun produksi. Namun ketika pemanfaatan sumber daya alam yang ada terlalu berlebihan, tendensius dan berorientasi ekonomi atau egoisme belaka, lingkungan dan sumber daya alamnya justru dapat mengancam eksistensi manusia dan bahkan penghidupannya. Lebih lanjut, lingkungan merupakan suatu kesatuan ruang yang terdiri dari komponen fisik (abiotik) seperti air, tanah, batuan dan iklim serta komponen biotik seperti tumbuhan, hewan dan jasat renik, komponen tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi memiliki keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya (Indrawan dalam Suriansyah 2009).
Pengertian Persepsi Persepsi memiliki makna sebagai suatu proses kognitif yang dialami dan dimiliki oleh setiap orang dalam kaitannya dengan memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman (Thoha 2004). Tidak berbeda jauh dengan definisi tersebut, Walgito (dalam Zabila 2013) menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap suatu stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan aktivitas yang terintegrasi dan berada dalam diri individu. Karena persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu. Berdasarkan definisi tersebut, persepsi memiliki sudut pandang subjektif yang tentunya akan dapat berbeda pada setiap manusia, karena proses kognitif, penafsiran serta pemaknaan terhadap subjek atau objek tertentunya akan memiliki bentuk atau intensitas yang berbeda. Banyak faktor yang pada dasarnya mempengaruhi persepsi dari individu itu sendiri. Seperti disebutkan oleh Erwiantono (2004), berkaitan dengan faktor-faktor dalam persepsi, banyak faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut, namun dalam penelitiannya ditekankan bahwa karakteristik sosial dan ekonomi berhubungan dengan terciptanya persepsi dalam suatu komunitas. Adapun faktor-faktor yang berhubungan tersebut adalah faktor jenis pekerjaan dan satus sosial.
16
Kerangka Konseptual Seperti yang telah disebutkan oleh Sitorus dan Wiradi (dalam Antoro 2010), pada dasarnya permasalahan sumber daya alam atau agraria selalu melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Seperti halnya dalam kasus di kawasan Gunung Galunggung, pada dasarnya pihak swasta dan pemerintah merupakan pihak yang saling berkaitan dalam rangka penguasaan sumber daya alam. Pihak pemerintah selaku pemilik otoritas atas legalitas pemanfaatan kawasan, melakukan proses politik dan kebijakan sehingga pada akhirnya memberikan pihak swasta (perusahaan tambang pasir) izin untuk memanfaatkan sumber daya alam di kawasan kaki Gunung Galunggung. Objek sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh pihak swasta dan pemerintah dalam penelitian ini adalah sumber daya alam pertambangan dengan objek spesifik pasir. Walaupun sebenarnya pasir tidak dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, namun pasir yang tersedia dan terdapat di kawasan ini merupakan komponen vital yang juga turut menjaga keseimbangan ekosistem wilayah Gunung Galunggung. Sehingga bukan tidak mungkin dengan adanya aktivitas penambangan pasir di kawasan ini akan dapat berdampak pada ketidakseimbangan kondisi alam, atau dengan kata lain dapat menimbulkan destabilisasi ekosistem di kawasan Gunung Galunggung. Dengan kehadiran aktivitas pertambangan pasir pasir berskala besar, eksistensi kawasan dan degradasi lingkungan akan terus menggiring kawasan Gunung Galunggung pada ancaman krisis ekologi yang serius. Dampak-dampaknya pun meliputi berbagai aspek, diantaranya pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam dampak ekologi, permasalahan yang melingkupinya diantaranya adalah degradasi kualitas air, kerentanan terhadap bencana, polusi melalui udara, dan alih fungsi lahan. Pada aspek sosial, hal ini dapat dilihat seperti dampaknya pada persepsi terhadap perusahaan, hubungan antar aktor, konflik sosial dan cara pandang terhadap lingkungan. Sedangkan pada aspek ekonomi, dampaknya dianggap berpengaruh terhadap pendapatan, dan kesempatan bekerja, serta aktivitas ekonomi desa. Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang dinamis. Oleh karena itu, dalam relevansinya dengan aktivitas pertambangan skala industri yang dilakukan oleh pihak swasta, tidak jarang respons yang diterima oleh masyarakat sangatlah variatif, baik bersifat positif maupun negatif, baik yang berada pada tataran fisik, atau juga dapat jauh lebih dalam melalui perubahan-perubahan persepsi. Oleh karena itu penelitian ini juga mengarah pada analisis antar aktor dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam, proses politik dan kebijakan, hingga aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh pihak swasta, serta dampak-dampak yang ditimbulkan termasuk persepsinya dari masyarakat baik pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi.
17
PEMERINTAH
MASYARAKAT OBJEK SDA
SWASTA
Aktivitas Pertambangan Pasir Dampak Ekologi: - Degradasi Kualitas Air - Kerentanan Bencana - Polusi Melalui Udara - Alih Fungsi Lahan
Dampak Sosial: - Persepsi Perusahaan - Hubungan Antar Aktor - Konflik Sosial - Cara Pandang Lingkungan
Dampak Ekonomi: - Tingkat Pendapatan - Kesempatan Bekerja - Aktivitas Ekonomi Desa
Gambar 2 Kerangka Konseptual
Keterangan: : Menyebabkan : Saling Mempengaruhi : Arena Pertarungan Kepentingan Aktor
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik adalah: 1. Diduga masing-masing aktor memiliki ideologi dan peran yang berbeda. 2. Diduga semakin jauh jarak desa dari aktivitas pertambangan pasir maka dampak negatif ekologi, sosial dan ekonomi akan semakin dirasakan oleh masyarakat desa.
18
Definisi Operasional 1. Dampak Ekologi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan struktur ekosistem dan/atau lingkungan masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui dua puluh pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Rendah (20-33), Sedang (34-46), dan Tinggi (47-60). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut: a. Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air, merupakan persepsi masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada kualitas air yang biasa mereka pergunakan untuk konsumsi maupun non-konsumsi (aktivitas usaha, pengarian, dll). Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS b. Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Bencana, merupakan persepsi masyarakat terhadap kondisi masyarakat yang lebih rentan terhadap suatu bahaya, kecelakaan, atau bentuk kesusahan lainnya. Variabel diukur dengan skala likert, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS c. Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara, merupakan persepsi masyarakat terhadap polusi atau gangguan yang terjadi melalui medium udara, baik polusi udara seperti debu atau polusi suara seperti kebisingan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas dan proses pertambangan pasir. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS d. Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan, merupakan persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi, keberadaaan, serta bentuk atau fungsi tanah terbuka dan/atau tanah garapan, hutan, dsb. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS 2. Dampak Sosial adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pemanfaatan sumber daya alam terhadap perubahan kondisi sosial dan interaksi antar aktor (masyarakat, pemerintah, dan swasta) dan juga lingkungannya. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui dua puluh lima pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga
19
kategori: Rendah (25-42), Sedang (43-58), dan Tinggi (59-75). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut: a. Persepsi Terhadap Keberadaan Perusahaan, merupakan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan kehadiran pihak swasta yang melakukan aktivitas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS b. Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor, merupakan persepsi masyarakat terhadap kecenderungan hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan perusahaan serta masyarakat dengan pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS c. Persepsi Terhadap Tingkat Konflik Sosial, merupakan persepsi masyarakat terhadap kedalaman atau bentuk konflik baik antara masyarakat dengan masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan swasta dan pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS d. Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan, merupakan cara pandang masyarakat terhadap lingkungannya pasca kehadiran berbagai aktivitas dan proses pertambangan pasir. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS 3. Dampak Ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan pola dan struktur ekonomi masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui satu pertanyaan terbuka dan sepuluh pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Rendah (10-16), Sedang (17-23), dan Tinggi (24-30). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikatorindikator berikut: a. Tingkat Pendapatan, merupakan ukuran besaran pendapatan yang didapat oleh masyarakat baik dari sektor pertanian maupun sektor non-pertanian. Indikator diukur berdasarkan tiga kategori: i. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 13.400.000 per tahun ii. Sedang, jika pendapatan Rp. 9.400.100 - Rp. 13.390.000 per tahun iii. Pendapatan rendah jika < Rp. 9.400.000 per tahun
20
b. Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja, merupakan persepsi masyarakat terhadap peluang yang diperoleh responden dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan baik yang berkaitan langsung dengan pertambangan ataupun tidak. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS c. Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa, merupakan persepsi masyarakat terhadap interaksi dalam kegiatan ekonomi dan/atau jumlah aktivitas yang berhubungan dengan ekonomi di desa. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor: i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS
21
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di dua lokasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2), yakni desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir: (1) Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dan Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir: (2) Desa Rancapaku, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Alasan terperinci pemilihan lokasi diantaranya adalah: 1. Kawasan Gunung Galunggung telah lama menjadi tumpuan hidup dan tempat tinggal masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Pasca erupsi Gunung Galunggung tahun 1982 - 1983, material pasir dan bebatuan di sekitar kawasan gunung menjadi berlimpah, dan tidak jarang hal tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Ketika kondisi pasca letusan membaik, sebagian masyarakat mulai kembali ke profesi lamanya seperti petani, peternak ikan, dll. Namun, kondisi pasca letusan tersebut juga telah membuat berbagai perusahaan swasta masuk dan memanfaatkan material pasir yang berlimpah, sehingga baik secara langsung ataupun tidak langsung juga berperan dalam mengubah kondisi ekosistem hingga tatanan sosial masyarakat. Terlebih, penambangan pasir yang dilakukan oleh pihak swasta tidak berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat, justru sebaliknya, banyak masyarakat yang merasa dirugikan dan tidak dilibatkan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini juga diarahkan pada analisis aktor dan sejarah, dimana telaah terhadap kondisi tersebut perlu ditinjau guna memahami kondisi nyata atas krisis yang sedang dihadapi masyarakat. 2. Desa Mekarjaya merupakan salah satu desa di Kecamatan Padakembang yang memiliki industri pertambangan pasir. Sedangkan Desa Rancapaku, merupakan desa yang lokasinya berada cukup jauh dengan aktivitas pertambangan pasir. Namun kedua Desa tersebut memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, diantaranya adalah ekosistem, kondisi ekonomi, sosial serta budaya masyarakatnya. Sehingga pemilihan kedua lokasi ini diharapkan mampu memberikan perbandingan persepsi atas dampak dan perubahan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir yang terjadi di kawasan kaki Gunung Galunggung. Proses penelitian atau skripsi ini dilaksanakan selama bulan Februari hingga Juni 2014 (Tabel 1). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draf skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.
22
Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian Februari
Maret
April
Mei
Juni
KEGIATAN 1
2
3 4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draf skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data primer maupun data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan, baik melalui observasi, kuesioner (Lampiran 3), dan kegiatan wawancara mendalam (in-depth interview) (Lampiran 4) yang dilakukan pada responden maupun pada informan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh baik berupa dokumen-dokumen dari pemerintah Desa, masyarakat ataupun pihak lainnya yang berkaitan, serta literatur-literatur yang menunjang data ataupun deskripsi kondisi yang berkaitan dengan penelitian. Dalam melakukan pengumpulan data primer, peneliti telah menyiapkan kuesioner dengan sejumlah pernyataan yang dipergunakan untuk mengukur persepsi responden terhadap dampak pertambangan pasir baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. Serta panduan wawancara mendalam yang telah dipersiapkan untuk menjaga konsistensi arah pengambilan data dan juga agar data dapat saling melengkapi. Pada dasarnya, kedua metode ini (pengumpulan data primer dan sekunder) dilakukan agar data dan fakta yang digali lebih komperhensif dan tidak berkecenderungan subjektif.
3
4
23
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Dalam memperoleh data primer, sumber data didapatkan melalui kuesioner serta wawancara terhadap responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai kondisi dirinya dan/atau keluarganya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Dalam penelitian ini, populasinya adalah rumah tangga masyarakat Desa Mekarjaya (desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan) dengan jumlah penduduk sebanyak 236 orang. Sedangkan unit analisis yang diambil adalah individu rumah tangga di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Hal ini dilakukan secara sengaja karena unit analisis tersebut dianggap paling mampu merepresentasikan kondisi dan objek penelitian yang dilakukan. Responden berjumlah 30 orang dari Desa Mekarjaya (yang berasal dari RW 07) dan 30 orang dari Desa Rancapaku (yang berasal dari RW 10). Pemilihan lokasi di RW 07 untuk Desa Mekarjaya dan RW 10 untuk Desa Rancapaku ditentukan berdasarkan observasi dan rekomendasi masyarakat setempat dan dianggap paling mampu merepresentasikan masyarakat desanya secara keseluruhan, dan responden di masing-masing desa tersebut dipilih secara acak sederhana (simple random sampling), sehingga responden yang dipilih memiliki latar belakang serta karakteristik yang bervariasi. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai kondisi dan situasi yang terjadi sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam pedoman wawancara. Dalam penelitian ini informan dipilih secara sengaja, baik yang berasal dari pemerintahan, baik pemerintah desa maupun kecamatan, dan masyarakat, baik tokoh masyarakat, masyarakat yang tinggal dekat lokasi pertambangan, masyarakat yang pernah bekerja di pertambangan, maupun masyarakat yang memiliki informasi terkait dengan kasus yang diteliti.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini data baik yang diperoleh secara kuantitatif maupun kualitatif akan diolah untuk selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan. Untuk data yang diperoleh melalui metode kuantitatif, data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Pembuatan tabel tabulasi silang, tabel frekuensi, grafik, serta diagram diolah menggunakan aplikasi tersebut. Data kualitatif, data diolah melalui proses penafsiran dan penarikan kesimpulan dari hasil wawancara yang tertulis dalam catatan harian. Proses ini pada intinya bertujuan untuk menyimpulkan data yang lebih relevan dan objektif, namun terdapat juga data hasil wawancara yang secara utuh (dengan pengubahan seperlunya) yang langsung disajikan oleh penulis dalam kutipan wawancara.
24
25
PROFIL MASYARAKAT DESA MEKARJAYA DAN DESA RANCAPAKU Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Kecamatan Padakembang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan luas wilayah 1809 ha dan penduduk yang mencapai 31.013 jiwa, Kecamatan Padakembang mencakup lima wilayah desa didalamnya, yakni Desa Padakembang, Desa Cisaruni, Desa Mekarjaya, Desa Rancapaku, dan Desa Cilampunghilir. Kecamatan yang berada di ketinggian 700 m di atas permukaan laut ini juga terletak tepat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Kawasan Gunung Galunggung ini memiliki varian flora dan fauna yang beragam, pasalnya sebagaian besar kawasannya adalah hutan montane, atau hutan yang berada pada dataran rendah dimana rimbunnya pepohonan besar hingga hewanhewan seperti kera mendominasi kawasan hutan ini. Selain itu aliran sungai besar, seperti Sungai Ciwulan dan Sungai Cikunir juga mengalir deras dari puncak Gunung Galunggung yang sering juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan mereka. Namun, Gunung Galunggung merupakan Gunung berapi yang masih aktif. Hal ini tentunya juga berpengaruh besar khususnya terkait dengan kondisi ekosistem di dalamnya. Apalagi letusan Gunung berapi merupakan salah satu bencana alam yang dapat berakibat fatal, dan dampaknya pun dapat bersifat permanen dan dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Terhitung setidaknya Gunung Galunggung telah memuntahkan lahar panasnya sebanyak empat kali, berikut sejarah letusan Gunung Galunggung menurut tahunnya: Tabel 2 Sejarah letusan Gunung galunggung Tahun
1882
1894
Keterangan 1. Pada tanggal 8-12 Oktober 1882, letusan Galunggung menghasilkan hujan pasir panas berwarna kemerahan dan juga abu halus yang hampir menyelimuti secara merata wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. 2. Selain itu, letusan juga mengalirkan lahar yang bergerak ke arah tenggara Gunung mengikuti aliran-aliran sungai yang telah ada, diantaranya adalah sungai Cikunir yang hulunya tepat berada di kawasan puncak Gunung Galunggung. 3. Letusan ini setidaknya menewaskan sekitar 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 Desa yang berada di kawasan Gunung Galunggung. 1. Letusan kembali terjadi pada bulan Oktober 1894, namun aktivitas letusan ini lebih rendah dibandingkan dengan letusan pada tahun 1882. 2. Pada letusan ini aliran lahar dan hujan abu menghancurkan setidaknya 50 Desa. Namun tidak ada data yang menunjukkan adanya korban jiwa.
26
1918
1982
1. Terjadi letusan yang selanjutnya membentuk kubah lava di dalam danau kawah Gunung Galunggung. 2. Letusan ini juga memuntahkan abu yang cukup tebal yang hampir tersebar merata di Jawa Barat. 1. Aktivitas letusan ini dimulai pada pertengahan tahun 1982, dan aktivitas letusan baru berakhir pada bulan Januari 1983. 2. Merupakan letusan terbesar kedua setelah letusan tahun 1882 menurut cerita masyarakat. Bahkan ada warga yang menyebutnya sebagai letusan “siklus seratus tahun”. 3. Menewaskan setidaknya 18 orang dan puluhan Desa ditinggakan tanpa penghuni. Sebagian besar masyarakat mengungsi di kawasan Singaparna hingga kota Tasikmalaya. 4. Menyebabkan berubahnya peta wilayah dan batas-batas wilayah Desa (termasuk kepemilikan sawah dan tanah pekarangan masyarakat) yang diakibatkan aliran lahar serta timbunan pasir dan bebatuan.
Sumber: Data sekunder
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat jika pada dasarnya masyarakat telah mengalami dampak yang cukup parah dengan letusan Gunung Galunggung yang telah terjadi sebanyak empat kali. Dari korban jiwa, hingga harta benda harus dikorbankan oleh masyarakat sebagai konsekuensi tinggal di kawasan Gunung berapi aktif yang harus dirasakan baik oleh masyarakat Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku. Terlebih mengingat kedua desa tersebut merupakan desa yang dilalui oleh jalur aliran lahar, sehingga implikasi yang diakibatkan oleh letusan cukup masif dirasakan masyarakat kedua desa. Namun pasca letusan tahun 1982 tersebut, masyarakat Kecamatan Padakembang, khususnya Desa Mekarjya dan Desa Rancapaku juga disibukkan dengan pembuatan tanggul setinggi kurang lebih dua meter yang mengitari kawasan sungai Cikunir yang juga melewati kawasan kedua desa tersebut. Pada pertengahahn tahun 2013 lalu, masyarakat kawasan Gunung Galunggung sempat kembali cemas karena adanya pemberitahuan tentang meningkatnya aktivitas Gunung Galunggung. Namun akhirnya tidak terjadi peningkatan aktivitas dan status Gunung Galunggung dapat kembali normal. Walaupun demikian, banyak masyarakat yang langsung meninggalkan desa untuk mengungsi dan mengantisipasi peningkatan aktivitas gunung yang berpotensi meletus tersebut selama beberapa minggu. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat di kawasan Gunung Galungggung atau Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku khususnya, juga sangat bergantung dan dipengaruhi oleh kondisi dan keberadaaan aktivitas Gunung Galunggung.
Struktur Sosial dan Ekonomi Secara spesifik baik Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku, memiliki kondisi dan karakteristik sosial dan ekonomi yang kurang lebih
27
sama. Pasalnya Desa Mekarjaya merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rancapaku yang dilakukan pada tahun 1978, dimana penduduknya bermata pencaharian beragam, mulai dari petani, peternak ikan, wiraswasta hingga buruh. Selain itu, mayoritas masyarakat di kedua desa mayoritasnya memiliki kolam ikan baik berukuran kecil, sedang atau besar yang terletak di sekitar pekarangan rumah. Umumnya kolam-kolam ini dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, namun tidak jarang juga hasil dari kolam tersebut selanjutnya di jual di pasar desa atau warung atau pasar di luar desa. Pada sektor pekerjaan yanng berbasis pada pertanian maupun peternakan, kedua desa memiliki memiliki basis wadah masyarakat yang berbentuk kelompok tani maupun kelompok pembenihan atau peternak ikan. Kelompok yang merupakan hasil kolektif masyarakat tersebut hingga pada saat ini masih tergolong aktif, namun minimnya program atau kegiatan bersama khususnya untuk kelompok tani tidak jarang menyebabkan kelompok ini hanya berfungsi aktif ketika adanya penyaluran bantuanbantuan tani. Sedangkan untuk kelompok atau kelembagaan lainnya di kedua desa ini, terdapat juga karang taruna dan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), baik karang taruna maupun PKK juga pada akhirnya berkontribusi dalam meinginisiasi berbagai kegiatan warga, diantaranya adalah perlombaan olah raga hingga berbagai kegiatan keagamaan. Berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lainnya, pada pasca letusan pada tahun 1982 - 1983, baik masyarakat Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku banyak yang mengalami kerugian karena rumah yang hancur, hingga sawah dan kolam-kolam ikan yang tertimbun oleh pasir. Namun masyarakat yang semula merasa sangat dirugikan oleh letusan Gunung Galunggung, mulai berbalik menjadi diuntungkan dengan material pasir yang berlimpah hampir merata di seluruh desa. Sebetulnya material pasir telah tersedia sebelum tahun 1983 (yang berasal dari letusan gunung pada tahun sebelumnya), namun pada saat itu masyarakat belum memanfaatkannya secara serius dan hanya dimanfaatkan secara skala kecil untuk keperluan membangun rumah atau fasilitas desa lainnya. Namun baru pada pasca letusan tahun 1983, banyak masyarakat yang mulai lebih fokus melakukan penjualan pasir hingga keluar daerah, bahkan hingga ada yang masih bertahan dengan industrinya sampai saat ini. Berdasarkan penjabaran tersebut, struktur penghidupan yang beragam yang dimiliki kedua desa ini juga dapat digolongkan menjadi basis pertambangan dan juga non-pertambangan. Namun pada dasarnya basis pertambangan hanya dimiliki oleh masyarakat yang berasal dari Desa Mekarjaya, berbeda dengan masyarakat yang berasal dari Desa Rancapaku, dimana menurut keterangan pihak pemerintah sama sekali tidak ada warganya yang bekerja di sektor pertambangan sejak beberapa tahun belakangan ini. Pola pekerjaan yang lebih bervariasi pada Desa Mekarjaya diantaranya dengan hadirnya warga yang bekerja sebagai petani – buruh tambang, ataupun petani – supir truk tambang, pada akhirnya juga memunculkan kondisi ekonomi dan sosial yang lebih kompleks. Banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada sektor pertambangan, baik pekerja atau buruh tambang itu sendiri ataupun pemilik warung makan yang dibuka di sekitar lokasi tambang. Namun walaupun
28
demikian, dapat dikatakan juga bahwa sebagian besar masyarakat Desa Mekarjaya masih tetap menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian pada skala prioritas, hal ini karena pekerjaan pada sektor pertambangan bukanlah pekerjaan yang bersifat mengikat, namun hanya temporer dan bersifat kontrak berkala saja. Kondisi atau struktur penghidupan tersebut, pada akhirnya terepresentasi dalam kultur atau respons politik ekologi yang berbeda diantara kedua desa tersebut. Desa Mekarjaya cenderung lebih memiliki respons yang kompromistik, sedangkan untuk Desa Rancapaku cenderung memiliki respons yang lebih radikal terhadap keberadaan perusahaan pertambangan pasir. Hal ini diantaranya dikarenakan adanya ketergantungan ekonomi dan juga relasi atau kedekatan sosial dengan pihak perusahaan tambang pada masyarakat Desa Mekarjaya, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada masayarakat Desa Rancapaku. Kondisi yang berbeda pada Desa Mekarjaya tersebut juga didukung oleh elite atau sesepuh desa yang juga tergolong tidak vokal dalam menyikapi keberadaan perusahaan pertambangan atas kerugian yang ditimbulkan di masyarakat. Namun kondisi masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada sektor pertambangan lambat laun semakin berkurang seiring dengan masuknya industri pertambangan pasir, masyarakat Desa Mekarjaya khususnya, mau tidak mau harus mulai tersingkir akibat industri pertambangan pasir yang semakin kuat dan besar. Hal tersebut juga semakin diperparah dengan ketatnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan, dengan jumlah penduduk sebanyak 7.604 jiwa di Desa Mekarjaya dan 9.185 jiwa untuk Desa Rancapaku, menjadikan persaingan dalam memperoleh pekerjaan di tingkat desa semakin sulit, dan tidak jarang sebagian masyarakat harus mencari pekerjaan hingga ke luar kota, diantaranya Garut, Bandung, atau bahkan hingga Jakarta. Sebagian besar warga kedua desa yang merantau tersebut bermata pencaharian sebagai buruh lepas dan juga usaha warung makanan atau warung kelontong. Namun migrasi warga tersebut juga berlaku sebaliknya, pasca masuknya industri serta perbaikan kawasan wisata3 Gunung Galunggung, banyak pendatang yang mulai melakukan wirausaha di kawasan ini dan sebagian diantaranya menjadi warga tetap, bahkan untuk Desa Mekarjaya sendiri terdapat dua orang warga negara Asing yaitu dari Singapura yang bertinggal di Desa Mekarjaya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat terlihat bahwa masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapku sangat bergantung pada kondisi ekosistem di dalamnya. Terlebih bagi mata pencaharian masyarakat yang secara garis besar masih menggantungkan pada sektor pertanian dan perikanan, walaupun demikian, kehadiran perusahaan tambang pasir ternyata juga membawa perubahan sosial yang juga berpengaruh pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Disamping “berkah” pasir yang menjadi berlimpah pasca erupsi Galunggung, tempat wisata pemandian air panas yang bernama Cipanas dan wisata kawah juga menjadi salah satu faktor pemikat wisatawan yang berkontribusi dalam meningkatkan ekonomi warga
3
29
Kondisi Fisik Berbagai perubahan secara nyata telah terjadi pasca terjadinya erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983. Terlebih pada sebelum tahun 1982 masih banyak rumah warga yang merupakan rumah panggung, sehingga tidak jarang pada pasca erupsi ditemui rumah yang benar-benar hancur akibat tidak mampu menopang semburan abu dan pasir dari erupsi Gunung Galunggung. Demikian halnya dengan rumah yang beratap genting, walaupun tidak separah rumah panggung, namun sampai saat ini kita masih dapat melihat terdapat beberapa rumah warga yang fondasinya mengalami kemiringan. Karena memang menurut penuturan sebagian warga semburan abu dan pasir pada erupsi tahun 1982 - 1983 sangat tebal, sehingga memang perbaikan dan pembersihan lingkungan warga sampai harus menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahun. Perbaikan dan pembersihan namun tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, kondisi pasca erupsi Galunggung tersebut juga menjadi perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Rehabilitasi kawasan ini akhirnya selesai dan memakan waktu hampir satu tahun oleh pemerintah dengan bantuan masyarakat, cukup banyak fasilitas desa yang diperbaharui dan dibuat, diantaranya adalah jalan dan tanggul. Seiring dengan prosesnya kawasan Gunung Galunggung menjadi primadona bagi pebisnis, karena selain berlimpahnya material pasir di kawasan ini wisata kawah Gunung Galunggung dan pemandian air panas Cipanas yang mulai dibuka pasca rehabilitasi erupsi Gunung Galunggung juga sangat menarik wisatawan. Pada akhirnya berbagai jalan-jalan yang dipergunakan untuk jalur kendaraan bermotor berlalu lalang mulai dibuka dan dikembangkan yang juga didukung oleh sebagian warga, bahkan sempat pernah ada jalur rel kereta api yang menghubungkan kawasan Gunung Galunggung sampai dengan stasiun Indihiang yang dimanfaatkan untuk mengangkut berbagai material pasir. Namun pada saat ini, eksploitasi dan aktivitas penambangan pasir yang berlebihan dan terus menerus dilakukan semakin memperburuk berbagai fasilitias desa tersebut, jalan utama desa yang juga dimanfaatkan warga harus hancur hampir sepanjang 1.5 kilometer. Bahkan perbaikan jalan yang telah dilakukan berkali-kali pada saat ini tidak mampu terus menopang kendaraan pribadi khususnya kendaraan truk pengangkut material pasir yang terus berlalu lalang. Disamping itu, fasilitas pendidikan maupun kesehatan di kedua desa dapat dikatakan cukup mumpuni. Dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA) terdapat di kawasan ini, demikian halnya dengan Posyandu, pelayanan dan program dilaksanakan secara rutin, namun untuk Posyandu kelompok 08 di Desa Rancapaku pada saat ini belum memiliki bangunan sendiri, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan Posyandu tidak jarang harus meminjam gedung PAUD yang berada tidak jauh dari rumah para kader posyandu. Selain itu, secara khusus di Desa Mekarjaya memiliki pasar ikan yang juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjual berbagai hasil dari ternak ikan, diantaranya seperti ikan mas, mujaer, nila, hingga gurami. Pasar ikan ini kerap dipergunakan warga di Kecamatan
30
Padakembang dan bahkan luar dari Kecamatan Padakembang untuk melakukan jual dan beli berbagai komoditas ikan tersebut. Namun walaupun demikian, tidak jarang banyak masyarakat yang lebih memilih menjual hasil ikan ternaknya ke tengkulak atau ke pasar Singaparna yang kurang lebih berjarak lima kilometer dari Desa. Secara garis besar, masih banyak sarana dan prasarana baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku yang harus lebih diperhatikan. Baik pihak masyarakat, swasta ataupun pemerintah seharusnya harus mampu saling bekerja sama untuk mewujudkannya. Terlebih kawasan ini telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tergolong besar bagi pihak swasta dan pemerintah, yang seharusnya juga disalurkan untuk kepentingan masyarakat.
Ikhtisar Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku merupakan desa yang terletak tepat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Pada dasarnya, Desa Mekarjaya merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rancapaku yang dilakukan pada tahun 1978, sehingga baik kondisi fisik maupun sosial dan ekonominya memiliki cukup banyak kesamaan yang menonjol. Mayoritas mata pencaharian di kedua desa tersebut adalah petani, peternak ikan dan juga buruh. Masing-masing desa tersebut juga memiliki kelompok tani ataupun karang taruna yang cukup aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan desa. Namun terkait mata pencaharian, untuk Desa Mekarjaya sedikit memiliki perbedaan dimana terdapat juga pekerjaan atau mata pencaharian masyarakat yang berbasis pada sektor pertambangan, seperti buruh tambang dan supir truk penangkut pasir. Hal ini dikarenakan Desa Mekarjaya merupakan salah satu desa yang telah menjadi primadona sektor pertambangan sejak pasca letusan Gunung Galunggung yang terjadi pada tahun 1982 – 1983. Keberadaan perusahaan tambang di kawasan Desa Mekarjaya pada akhirnya membawa suatu kondisi sosial dan ekonomi yang baru. Dimana muncul suatu “ketergantungan” ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kehadiran perusahaan tersebut, berbeda dengan masyarakat di Desa Rancapaku yang tidak ada satupun warganya yang bekerja di sektor pertambangan. Hal ini pada akhirnya berimplikasi terhadap respons ekologi politik yang berbeda antara kedua desa tersebut, dimana dalam menyikapi keberadaan serta dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang, Desa Mekarjaya lebih memiliki respons yang cenderung kompromistik, berbeda dengan masyarakat dari Desa Rancapaku yang cenderung memiliki respons yang radikal dan terbuka. Berbagai faktor tersebut pada akhirnya menjadi gambaran kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di kedua desa yang memang bervariasi, tentunya disamping faktor geografis atau letak desa yang sejatinya memang saling berjauhan.
31
ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG Bab ini membahas ideologi dan peran aktor dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung, yang secara dominan dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi lokal. Aktor yang dibahas dalam bab ini mencakup tiga aktor besar yaitu, masyarakat, pemerintah dan juga swasta.
Aktor Masyarakat Berbicara tentang aktivitas pertambangan pasir di Gunung Galunggung, maka tidak akan lepas dari sejarah dan peran masyarakat lokal itu sendiri. Berawal dari pasca rehabilitiasi erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1983, masyarakatlah yang memulai melakukan aktivitas pertambangan pasir tanpa bantuan dari pihak pemerintah ataupun swasta untuk pertama kalinya. Kondisi pasca erupsi Gunung Galunggung menyebabkan lahan-lahan milik warga dipenuhi oleh material pasir, sehingga aktivitas pengerukan pasir sudah mulai dikenal warga ketika namun lebih ditujukkan untuk membersihkan lahan-lahan atau pekarangan milik mereka. Seperti yang disebutkan oleh APH (55 tahun) yang merupakan warga asli Desa Mekarjaya: “Pada awalnya itu sebetulnya masyarakatlah yang memulai melakukan aktivitas penambangan. Pasca letusan, sawah, kolam, hingga rumah itu hancur karena hujan abu dan pasir. Tebalnya itu kurang lebih sampai 20 cm. Kondisi itulah yang paling sulit, karena setelah bencana (letusan) itu kita perlu modal banyak untuk memperbaiki rumah. Tapi soal dana kembali jadi masalah, karena ketika itu sawah yang jadi andalan saja tertimbun. Tapi akhirnya ada yang mulai menjual pasir timbunan tersebut, orang daerah atas (Kec. Sukaratu) kalau tidak salah. Dari yang awalnya dibuang-buang di dalam tanah atau sungai oleh masyarakat, lama kelamaan masyarakat mulai mengikuti. Sejak itu pasir mulai dijual ke berbagai tempat, dan ternyata karena kualitas pasirnya yang baik, harganya pun dapat dijual cukup tinggi. Akhirnya hampir semua mengikuti, bahkan tidak jarang “juragan” sawah yang memiliki ratusan bata4 sampai menyewakan sawahnya untuk dikeruk material pasirnya.” Lebih lanjut, berdasarkan pemaparan bapak APH, memang pada awalnya masyarakatlah yang melakukan aktivitas penambangan pasir secara konvensional, dan ketika itu pasir lebih dimanfaatkan untuk berbagai 4
Bata merupakan istilah pengukuran tanah yang lazim dipergunakan oleh masyarakat lokal, satu bata setidaknya sama dengan 14 m².
32
keperluan pribadi. Pada umumnya pasir itu dimanfaatkan untuk membangun rumah yang hancur akibat letusan Gunung, namun lambat laun masyarakat mulai ada yang menjual pasir tersebut hingga keluar dari Desa. Tidak jarang bahkan pasir ini juga dibeli oleh orang-orang yang umumnya juga pengusaha toko bangunan atau pebisnis yang mencari pasir dengan harga yang miring. Bahkan tidak jarang orang-orang tersebut mendatangi lokasi Desa yang cukup parah tertimbun oleh pasir-pasir untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Namun, mulai sejak itu pula masyarakat di kawasan Gunung Galunggung mulai menyadari bahwa pasir yang menimbun hampir seluruh wilayah di Desa mereka tersebut diburu dan memiliki nilai ekonomi tersendiri. Bahkan menurut salah seorang warga, ketika itu ada sebagian masyarakat yang sampai membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penambangan pasir, walaupun hanya bermodalkan cangkul, wadah dan serokan, kelompok masyarakat tersebut bertahan cukup lama sebelum akhirnya tersingkir oleh industri penambangan pasir yang jauh lebih besar. Masuknya industri pertambangan di Desa ini pada akhirnya hanya menjadikan mereka sebagai pekerja, limpahan pasir yang awalnya menurut sebagian masyarakat mampu mereka manfaatkan untuk mensejahterakan mereka ternyata justru sebatas mensejahterakan para pemodal besar. Walaupun perusahaan tambang pada sebelum tahun 2000 lebih tergolong padat karya, namun faktanya tidak pernah ada masyarakat yang mampu mencapai titik kesejahteraan tersebut. Seperti halnya yang disebutkan oleh ATP (60 tahun): “Saya dulu (sekitar tahun 1990) sempat kerja menggali pasir juga di PT BO, hanya dibayar beberapa perak, tapi yang terpenting bisa untuk makan keluarga. Dahulu pekerjanya sangat banyak, banyak warga desa yang ikut menambang, tapi “mandormandornya” itu bukan orang sini, apalagi bosnya itu kan orang Jakarta. Kalau bos atau mandor saya kurang tahu dapat berapa, tapi pastilah mereka dapat lebih besar. Berbedalah sama pekerja walaupun yang lelah itu kita.” Memang hal yang dinyatakan oleh bapak ATP merupakan salah satu awal dimana ironi pertambangan pasir Galunggung dimulai. Namun hal tersebut belum seberapa dibanding kondisi pasca tahun 2000, dimana industri pertambangan pasir yang masuk sudah mulai menggunakan alat-alat berat. Memang menurut sebagian masyarakat apa yang terjadi pasca masuknya industri pertambangan pada tahun 2000 merupakan hal yang berdampak buruk bagi mereka. Berbeda ketika dahulu dimana pihak perusahaan masih menggunakan cara konvensional, industri yang masuk pasca tahun 2000 lebih tergolong sebagai industri padat modal, sehingga dampak positif yang ditimbulkan pun tergolong minim, bahkan dalam kaitannya dengan peluang kerja, hanya sedikit masyarakat dari Desa Mekarjaya yang pada saat itu bekerja di perusahaan tambang. Justru secara nyata berbagai dampak negatif terus mulai mereka rasakan, dari kerusakan ekologi hingga sosial maupun ekonomi. Hingga pada akhirnya berbagai
33
lapisan masyarakat mulai melakukan penolakan atas kehadiran perusahaan tambang pasir tersebut. Penolakan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal, namun juga hingga masyarakat yang bukan merupakan warga Galunggung. Bahkan menurut sebagian informan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti WALHI sempat masuk untuk melakukan advokasi. Namun hingga saat ini menurutnya tidak ada langkah atau informasi yang lebih lanjut terkait dengan advokasi yang dilakukan oleh LSM tersebut. Selain LSM skala nasional, kelompok atau basis masyarakat lokal juga ada yang turut berkontribusi untuk melakukan advokasi terhadap pihak pemerintah dan perusahaan tambang, diantaranya adalah Kelompok Pembenihan Ikan Mekar Saluyu. Bahkan pada tahun 2013 lalu, kelompok pembenihan ikan ini dan didukung dengan sebagian masyarakat di Desa Mekarjaya, telah berhasil membuat pernyataan kesepakatan antara pihak masyarakat, perusahaan tambang dan juga pemerintah terkait dengan dampak ekologis yang disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir (Lampiran 5). Beberapa poin utama yang menjadi kesepakatan yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan empat orang perwakilan dari perusahaan tambang tersebut diantaranya adalah bahwa pihak perusahaan tambang harus secara nyata menganggulangi persoalan dampak dan limbah tambang yang menyebabkan degradasi kualitas lingkungan, dengan membuat saluran irigasi baru ataupun membuat kantong limbah. Walaupun surat kesepakatan tersebut telah ditandatangani seluruh stakeholders terkait, dan menyatakan jika terdapat segala ketidaksesuaian atau pelanggaran dari poin-poin perjanjian tersebut maka pihak perusahaan tambang dapat dituntut secara hukum, namun hingga saat ini belum ada realisasi yang dapat memuaskan seluruh pihak. Bahkan lambat laun, penolakan kehadiran perusahaan tambang tidak hanya sebatas pada penekanan permasalahan lingkungan, namun juga implikasinya terhadap aspek sosial hingga tuntutan ekonomi masyarakat. Masyarakat kawasan Gunung Galunggung yang pada awalnya menjaga keseimbangan alam dan ekosistem Gunung Galunggung secara baik dengan menghargai nilai lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya (biocentrism), mau tidak mau pada dewasa ini justru memperoleh hasil yang sebaliknya, berupa degradasi kualitas ekosistem yang diakibatkan oleh dominasi kekuatan industri tambang pasir yang semakin berkembang dan besar. Merupakan suatu ironi pula ketika pada awalnya banyak masyarakat yang mengaharapkan kesejahteraan dengan kehadiran perusahaan tambang pasir tersebut, namun justru harus dihadapkan dengan fakta jika industri tersebut malah membuat eksistensi mata pencaharian mereka semakin terancam.
Aktor Swasta Sebagai kawasan pertambangan yang memiliki sumber daya pasir yang berlimpah, kawasan Gunung Galunggung dianggap sebagai lahan strategis yang sejak lama telah menjadi incaran berbagai industri besar. Bahkan seusai rehabilitasi kawasan pasca erupsi pada tahun 1982 - 1983,
34
mulai marak industri pertambangan pasir di kawasan ini, mulai yang berskala kecil yang merupakan hasil inisiasi dari masyarakat lokal, hingga yang berskala besar yang merupakan hasil investasi pejabat nasional pada era itu. Selain itu, pasir Galunggung yang dianggap memiliki kualitas terbaik pada eranya, menurut sebagian informan dipergunakan untuk menyokong program pembangunan yang kala itu sedang digencarkan oleh pemerintah orde baru. Aktivitas yang dilakukan masyarakat itu namun pada akhirnya mulai menarik masuk berbagai perusahaan atau industri tambang yang berskala lebih besar. Pada sekitar tahun 1984-1985 mulai masuklah industri tambang pasir pertama di kawasan Gunung Galunggung, diantaranya adalah PT HS dan PT BO. Kedua perusahaan tersebut juga masih menggunakan cara konvensional dalam melakukan aktivitas penambangan. Selain itu, kedua perusahaan ini juga masih memanfaatkan hampir 80 persen tenaga kerja masyarakat lokal, sehingga tergolong sebagai usaha yang padat karya. Seperti yang disebutkan oleh DDG (52 tahun) yang merupakan salah satu pegawai pemerintah di Desa Mekarjaya: “Ketika jaman PT HS atau PT BO itu masyarakat seolah semakin terbantu. Mereka itu sama sekali belum menggunakan „beku‟ („beku‟ merupakan istilah lokal untuk menyebut buldozer), jadi ada kerjasama antara pihak perusahaan dengan masyarakat. Sehingga kalau ketika itu mungkin istilahnya perusahaan sebagai pihak yang memberi modal untuk masyarakat. Jadi masyarakat tidak keberatan walaupun sudah muncul istilah “perusahaan tambang”, berbeda dengan sekarang.” Pasca masuknya PT HS dan PT BO di Kecamatan Sukaratu dan juga sebagian di wilayah Kecamatan Padakembang, sebagian besar masyarakat mulai mengetahui bahwa pasir Galunggung ternyata memiliki nilai jual yang tinggi. Masyarakat lokal yang awalnya secara bebas melakukan aktivitas penambangan secara individual namun pada akhirnya mulai kalah dan secara perlahan tersingkir oleh industri-industri skala besar yang juga masuk untuk mengeruk sumber daya alam pasir Galunggung tersebut. Terlebih pasca pembangunan rel kereta api yang langsung menghubungkan antara Gunung Galunggung dan stasiun kereta api yang berada di daerah Indihiang, kota Tasikmalaya. Rel kereta tersebut dimanfaatkan untuk membawa material pasir dengan jumlah yang sangat besar. Hal tersebut juga mengindikasikan kualitas pasir Galunggung yang memang memiliki pangsa pasarnya tersendiri. Menurut salah seorang informan, rel kereta tersebut dibangun oleh PT BO, perusahaan yang juga merupakan milik salah satu anggota dari keluarga cendana, keluarga yang menguasai rezim pemerintahan kala itu. Pasir-pasir yang diangkut tersebut juga dianggap sebagai cikal bakal berbagai pembangunan gedung hingga jalan tol di kota Jakarta. “Pasir Galunggung sudah terkenal di seluruh pelosok sepertinya. Apalagi ketika jaman Pak Harto itu kan menggunakan rel kereta
35
pasir, yang selanjutnya dikirim ke Jakarta untuk program pembangungan. Untuk sampai kesini kan bisa melalui Tol Cipularang, tol tersebut juga kan hasil dari pasir Galunggung. Belum lagi gedung-gedung tinggi, jalan tol lainnya, sampai ada yang bilang bandara juga itu kan pasir Galunggung semua.” (MKM 51 tahun) Lebih lanjut, bahkan beberapa pihak sempat menyebutkan pada tahun 2000an pasir Galunggung sempat sampai di ekspor ke luar negeri, namun sayangnya tidak banyak bukti atau informasi yang dapat diperoleh dalam kaitannya dengan informasi tersebut. Keberadaan rel kereta ini namun secara umum membawa perubahan yang cukup berarti terhadap kondisi di Desa, walaupun dari proses pengambilan pasirnya masih tergolong menggunakan cara yang konvensional, namun aktivitas pertambangan pasir skala besar yang dilakukan oleh industri tersebut sama sekali belum pernah terjadi dan dialami oleh masyarakat sebelumnya. Walaupun aktivitas pertambangan tersebut sebagian besar lebih terkonsentrasi di kawasan utara, atau tepatnya di Kecamatan Sukaratu, namun masyarakat di Kecamatan Padakembang juga lama kelamaan menjadi mulai banyak terpengaruh dengan keberadaan aktivitas pertambangan tersebut, sehingga pasca habisnya izin PT HS dan PT BO pada pertengahan tahun 1990-an, banyak masyarakat yang mulai mencoba untuk berbisnis pasir Galunggung secara mandiri ataupun berkelompok. Setelah era pertambangan dengan cara konvensional usai, pada pasca reformasi atau tepatnya sekitar tahun 2000 mulai masuk berbagai perusahaan yang menggunakan alat berat untuk melakukan pengerukan pasir, termasuk di Desa Mekarjaya. Seperti yang juga disebutkan oleh DDG (52 tahun): “Setelah sekitar tahun 2000, itu baru mulai banyak masuk yang menggunakan „beku‟. Ada CV PG, CV FR, CV SA, dan yang terakhir PT KR dan CV AS. Walaupun dapat dikatakan perusahaan tidak sebesar PT HS atau PT BO, tapi ternyata dampak yang ditimbulkan lebih parah untuk masyarakat.” Pasca masuknya perusahaan-perusahaan tersebut, kawasan Gunung Galunggung seolah semakin menjadi wilayah yang dimanfaatkan hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Pihak swasta yang melakukan pengerukan secara besar-besaran ini keberadaannya semakin diperparah ketika mereka mengabaikan berbagai hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari perusahaan, diantaranya seperti melakukan pengelohan limbah serta tanggung jawab sosial dan lingkungan lainnya. Faktanya, hal seperti itu tidak pernah secara tegas dan teratur dilakukan oleh pihak pertambangan, bahkan tuntutan masyarakat untuk melakukan pengelolaan limbah seolah tidak pernah memiliki lanjutannya hingga kini, hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh pihak perusahaan pertambangan.
36
Bahan Material Pasir
Proses Penggalian / Pengambilan Material Pasir
Limbah Tambang
Proses Pembersihan Material Pasir Hasil Tambang Pemindahan Material Pasir ke Truk Pengangkut
Harga Pasaran < Rp. 80.000/kubik
Harga Pasaran > Rp. 80.000/kubik
Dijual Langsung di sekitar lokasi Dibawa ke Penampung Pasir
Dijual untuk lingkup dalam kota
Dijual untuk lingkup luar kota
Gambar 3 Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat juga memang penjualan pasir Galunggung sudah memiliki pasarnya sendiri, bahkan sampai hingga luar daerah Jawa Barat. Bahkan istilah “pasir Galunggung” sudah cukup terkenal di kalangan-kalangan industri. Berikut pernyataan dari bapak ABK (51 tahun) yang dahulu juga sempat bekerja sebagai supir truk pasir Galunggung di salah satu perusahaan swasta: “Kalau soal kualitas dapat digolongkan nomor satu. Dulu saja saya (ketika jadi supir truk pasir) setiap hari bisa membawa sampai ratusan kubik itu pesanan orang. Sampai-sampai banyak itu pengusaha yang langsung datang ke lokasi. Ketika itu kalau tanya tukang ojek di bawah (daerah Singaparna) atau yang daerah Indihiang itu pasti langsung diantarkan ke lokasi. Kalau kata orang-orang itu kan pasir Galunggung bagus untuk semen dan bangunan. Bahkan istilahnya pasir Galunggung itu punya jenisnya sendiri, bukan pasir putih atau pasir beton, tapi pasir Galunggung namanya.”
37
Keuntungan dan berlimpah tersebut namun menurut sebagian masyarakat tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan transparansi antara stakeholders terkait. Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat diketahui jika pada dasarnya orientasi profit swasta yang menjadikan sumber daya alam hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan manusia (antroposentris) menyebabkan adanya ketidakadilan yang harus diterima oleh masyarakat. Terlebih mengingat kawasan ini telah dikeruk sejak tahun 1984, seharusnya perjuangan masyarakat atas kepentingan serta tuntutan kesejahteraan mereka harus menjadi aspek vital yang diperhatikan oleh penyelenggara industri maupun seluruh stakeholders yang terkait.
Aktor Pemerintah Negara Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang memposisikan penting masyarakatnya khususnya ketika berkaitan dengan pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya alam. Seperti yang termuat dalam landasan dasar negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3), disebutkan jika, bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat tersebut secara jelas mensyaratkan jika segala kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia akan didistribusikan, dimanfaatkan, dan dipergunakan oleh pemerintah sebagai representasi Negara untuk kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat di interpretasikan juga bahwa kedua aktor tersebut, baik masyarakat dan pemerintah memang dituntut untuk memiliki kerja sama dan sinergi yang positif untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun hal tersebut pada faktanya sulit untuk diimplementasikan, terlebih ketika hadirnya pihak swasta atau perusahaan, yang terkadang memiliki kepentingan yang bertolak dengan pihak masyarakat. Dalam konteks pemanfaatan objek tambang pasir di kawasan Gunung Galunggung, perusahaan tambang berskala besar mulai masuk di kawasan ini pada pasca rehabilitasi kawasan yang terkena dampak erupsi Gunung Galunggung usai, atau sekitar tahun 1984. Secara konstitusional, pada era tersebut Indonesia memiliki satu undang-undang yang secara khusus membahas tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup, yakni dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982. Undang-undang yang juga dianggap tumpang-tindih dengan keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 ini juga pada awalnya menimbulkan polemik, namun terdapat butir baru yang dianggap berpihak terhadap masyarakat dan juga lingkungan. Butir ini yang selanjutnya dikenal dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL sendiri merupakan suatu kajian tentang dampak dari suatu usaha ataupun kegiatan yang nantinya menjadi pertimbangan utama dalam perizinan suatu usaha atau kegiatan tersebut. Namun pada implementasinya, belum adanya pedoman pelaksanaan yang jelas menyebabkan AMDAL hanya tercantum sebagai formalitas atau
38
hingga hanya sebagai pemenuhan persyaratan bantuan luar negeri dan permintaan lembaga donor. Seperti halnya yang disebutkan oleh RHM (60 tahun) yang dulunya merupakan pegawai pemerintah Desa Mekarjaya: “Dulu itu sepertinya tidak ada AMDAL. Perusahaan masuk ya langsung saja, mungkin saya kurang paham prosesnya bagiamana, tapi saya juga sebagai masyarakat tidak pernah dengar yang seperti itu, apalagi kalau tahu di syarat AMDAL harus persetujuan masyarakat. Hal seperti itu tidak pernah ada.” Secara tekstual, peraturan dan perundang-undangan Indonesia sudah cukup ideal jika mampu dilaksanakan sesuai amanatnya, namun seperti yang dapat dengan mudah kita temui, justru banyak terjadi tumpang tindih perizinan atau penyimpangan dalam pelaksanaan undang-undang tersebut yang pada akhirnya dapat secara nyata merugikan masyarakat. Bahkan aktivitas seperti pertambangan pasir skala besar yang pernah terjadi di kawasan Gunung Galunggung pada era orde baru, sama sekali hampir tidak ada bekas rekam jejaknya. Menurut sebagian besar masyarakat, hal tersebut terjadi karena hegemoni politik orde baru yang menyebabkan seluruh tindakan pejabat adalah benar masih melekat dengan pemikiran masyarakat kala itu. Mereka menganggap walaupun perusahaan-perusahaan tersebut datang tanpa izin dan tidak transparan terhadap masyarakat, selama itu didukung oleh pemerintah pusat maka hal tersebut merupakan hal yang harus juga mereka dukung. Terlebih bagi sebagaian masyarakat yang berada di lokasi sekitar pertambangan kala itu, terbukanya peluang kerja yang baru merupakan suatu insentif ekonomi yang dianggap sangat menguntungkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa awal kehadiran perusahaan tambang di kawasan Gunung Galunggung ini memang lebih tergolong padat karya dibandingkan dengan saat ini, hal tersebut pada akhirnya yang juga membuat masyarakat cenderung mendukung keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut. Industri pertambangan padat modal yang ditandai dengan pemanfaatan alat-alat berat yang mulai masuk di kawasan Kecamatan Padakembang pada tahun 2000-an, secara perlahan semakin membatasi peluang kerja masyarakat yang seharusnya sebagai pihak yang diuntungkan secara ekonomi pasca kehadiran perusahaan tambang. Seiring berkembangnya waktu, pemerintah semakin memperjelas posisi masyarakat dan hukum dan peraturan tentang lingkungan dalam konstitusi Indonesia. Sebagai contoh adalah hasil revisi dari UU No. 4 tahun 1982, yakni adalah UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang ini, dijelaskan juga tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), baik UKL dan UPL pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan/atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. Kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL umumnya merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dianggap tidak menimbulkan dampak krusial baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. Pada umumnya, pertambangan galian golongan C yang termasuk
39
di dalamnya adalah objek tambang pasir tergolong pada kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. UKL-UPL ataupun AMDAL pada dasarnya mensyaratkan adanya transparansi dan keberpihakan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungannya. Namun walaupun demikian, dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam pasir di kawasan ini masih sangatlah rawan penyimpangan, Hal ini juga dikarenakan tidak adanya peraturan di tingkat daerah yang secara khusus menyoroti persoalan pertambangan pasir. Padahal terhitung setidaknya sudah hampir 30 tahun lebih pasir Galunggung telah dikeruk oleh berbagai industri yang keluar dan masuk, dan tidak hanya menguntungkan bagi pendapatan lokal daerah, namun bahkan hingga pendapatan nasional. Boks 1. Kisah Kehidupan kasus Bapak JIL (53 Tahun) Bapak JIL merupakan warga asli kampung Karangdan, Desa Mekarjaya, kecamatan Padakembang. Ketika tahun 2005, beliau merupakan salah satu orang yang turut terlibat dalam proses produksi di perusahaan pertambangan pasir milik salah satu juragan tambang yang bertempat tinggal di Jakarta. Menurutnya, ketika itu aktivitas pertambangan memang mengalami masa “keemasannya”. Banyak bermunculan perusahaan tambang pasir yang menerima pesanan pasir dalam jumlah yang besar. Namun menurutnya, hampir kesemua perusahaan tersebut tidak pernah melalui proses perizinan yang resmi. “Sudah rahasia umum jika disini orang lebih senang mengurus lewat jalur „belakang‟. Dan sudah rahasia umum juga jika juragan tambang semakin kaya, dan pekerjanya tetap miskin”. Pernyataan tersebut juga setidaknya telah menggambarkan alasan kuat mengapa beliau memilih kembali bekerja sebagai buruh tani dan mengurus kolam ikan pada tahun 2007. “Bagaimanapun juga pertanian jauh lebih menjanjikan”, tuturnya. Hal ini juga yang menjadi tuntutan dari sebagian masyarakat dan sebagiannya adalah kelompok Masyarakat Galunggung Menggugat, mereka mendesak untuk dilakukannya moratorium atas penambangan pasir Galunggung. Menurut mereka keuntungan yang dirasakan oleh pihak perusahaan ataupun pemerintah tidak berimbang dengan dampak dari pertambangan pasir yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat. Bahkan menurut mereka, regulasi yang lemah menyebabkan berbagai celah yang dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh penambang yang hanya sekedar cari untung. Implikasinya, banyak perusahaan yang sama sekali tidak mengantongi izin dapat dengan bebas melakukan aktivitas penambangan dan bahkan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai perusahaan tambang.
40
Tabel 3 Jumlah perusahaan industri Tasikmalaya Tahun 2013
sedang dan
besar
Kabupaten
No.
Kecamatan
Sedang
Besar
Jumlah
1
Singaparna
3
1
4
2
Cigalontang
1
0
1
3
Leuwisari
0
0
0
4
Sariwangi
0
0
0
5
Padakembang
0
0
0
6
Sukaratu
0
0
0
Sumber: Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka 2013
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat data yang cukup berbeda dengan fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan tabel tersebut, dari total enam Kecamatan yang berada di kawasan sekitar wilayah Gunung Galunggung, hanya Kecamatan Singaparna yang disebutkan terdapat industri sedang dan besar. Padahal industri besar dan sedang yang berada di kawasan Kecamatan Singaparna bukanlah industri pertambangan pasir. Sedangkan Kecamatan yang secara nyata kaya dengan industri pertambangannya seperti Kecamatan Padakembang dan Kecamatan Sukaratu disebutkan tidak terdapat satupun industri golongan sedang atau besar. Padahal yang dimaksudkan dengan industri besar-sedang adalah perusahaan industri dengan jumlah tenaga kerja minimal 20 orang. Padahal industri tambang yang pada saat ini ada di Kecamatan Padakembang khususnya Desa Mekarjaya merupakan industri berskala besar yang jelas-jelas memiliki tenaga kerja lebih dari 20 orang. Bahkan menurut pemerintah Desa Mekarjaya sendiri, CV AS yang merupakan salah satu industri tambang terbesar di kawasan Gunung Galunggung telah melakukan aktivitas pertambangannya sejak tahun 2006. Bahkan menurut pihak Desa CV AS baru saja memperpanjang kontraknya pada tahun 2011 lalu. Tentunya sebagai perusahaan besar yang telah lama eksis CV AS setidaknya dapat digolongkan pada perusahaan golongan sedang dan besar. Pernyataan tersebut juga diperjelas oleh beberapa warga dari Desa Mekarjaya yang rumahnya berada tepat di pinggir jalan utama yang merupakan jalur dimana truk-truk pengangkut material pasir berlalu-lalang. Menurut mereka sejak dahulu atau khususnya pasca-orde baru tahun 1998 aktivitas pertambangan pasir hanya sempat berhenti beberapa saat, namun tidak lama kemudian truk-truk kembali berlalu lalang mengangkut material pasir Gunung Galunggung. Terlebih menurut mereka semenjak adanya pembangunan jalan aspal yang diinisiasi juga oleh pihak masyarakat, pemerintah dan pihak pertambangan pasir. Jalan aspal yang selanjutnya kerap disebut warga sebagai jalan baru ini setidaknya telah menjadi “saksi” bahwa aktivitas pengangkutan material pasir dari Gunung Galunggung memang tidak pernah sepenuhnya berhenti. Seperti halnya yang dikatakan
41
oleh SNY (43 tahun) warga Desa Mekarjaya yang bertempat tinggal di sekitar pinggir jalan baru: “Sepengetahuan saya itu tidak pernah sampai tidak ada truk di jalan (jalan Desa Mekarjaya), pasti saja selalu ada. Apalagi kalau sampai satu atau dua tahun tidak ada truk pasir yang “lalu lalang” itu tidak pernah sama sekali. Belakangan ini juga sama, saya kan sejak lama tinggal di sini (di pinggir jalan), jadi selalu dengar kalau ada truk yang lewat. Tapi kalau masalah ada izin atau tidak, kita masyarakat kurang mengerti, yang masyarakat tahu selama ini jika masih ada truk lewat, maka berarti penambangan pasir masih berlangsung.” Pernyataan SNY juga mengindikasikan adanya data yang bertolak belakang dengan fakta yang berada di lapangan. Walaupun menurut data pada tahun 2013 di wilayah Kecamatan Padakembang tidak terdapat industri yang termasuk pada golongan menenengah atau besar, sebagian besar masyarakat menyatakan pernyataan yang menyatakan sebaliknya, dimana pada tahun 2013 mereka masih dapat melihat truk yang berlalu lalang membawa material pasir. Pada dasarnya, isu aktivitas penambangan pasir Galunggung secara ilegal atau tanpa izin memang sudah sering didengar warga sejak aktivitas penambangan pasir pada zaman rezim orde baru, namun hingga saat ini masih banyak warga yang tidak mampu bertindak untuk menanggapi persoalan tersebut. Namun bagaimanapun juga, bagi sebagian warga yang kritis dan menuntut dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan pasir Gunung Galunggung, transparansi dan kejelasan legalitas aktivitas penambangan pasir Galunggung merupakan salah satu hal yang mereka gaungkan. Tetapi baik pemerintah tingkat Desa maupun di tingkat Kecamatan seolah saling menghindar dan cenderung beralasan permasalahan penambangan merupakan permasalahan kompleks yang dari aspek perizinannya lebih banyak diurus oleh pemerintah pusat. Seperti yang disebutkan oleh YYT (52 tahun) seorang peternak ikan di Desa Mekarjaya yang juga cukup aktif dalam menuntut hak-hak masyarakat yang terkena dampak dari aktivitas penambangan pasir: “Saya dan teman-teman dari kelompok pembenihan ikan itu sudah bukan sekali atau dua kali datang ke kantor desa. Tapi tetap saja hasilnya sama, ketika awal tahun kemarin kita baru kesana dan meminta surat tentang perizinan perusahaan tambang, tetapi tidak pernah ada. Padahal seharusnya izin menambang di daerah kita, di wilayah kita, ya minimal harus jelaslah suratnya ke masyarakat, karena itu hak masyarakat sebenarnya, tapi ya kenyataannya berbeda. Disini pokoknya uang yang berkuasa.” Kelompok pembenihan ikan yang bapak YYT maksud adalah kelompok pembenihan ikan Mekar Saluyu Desa Mekarjaya yang mayoritas anggotanya merasa dirugikan atas dampak degradasi kualitas air sungai dari
42
aktivitas penambangan pasir. Berdasarkan pemaparan bapak YYT juga, pada saat ini setidaknya terdapat tiga perusahaan pertambangan pasir yang melakukan aktivitas penambangannya di tiga lokasi yang berbeda di Desa Mekarjaya. Hal ini kembali menunjukkan adanya perbedaan pernyataan antara pemerintah Desa dengan masyarakat. Dimana menurut pihak pemerintah Desa pada tahun 2014 ini hanya terdapat satu perusahaan pertambangan pasir yang sedang aktif melakukan aktvitas penambangan, yakni CV AS. Berbagai fakta dan data yang menyatakan adanya penyimpangan tersebut setidaknya mampu memperlihatkan arah tendensi pihak pemerintah terkait dengan permasalahan pertambangan di kawasan Gunung Galunggung. Pemerintah yang seharusnya mampu merepresentasikan kekuatan populis justru malah terksesan bertindak sebaliknya dengan otoritas yang dimiliki. Bahkan dapat dikatakan orientasi pemerintah dalam kasus ini lebih cenderung mirip dengan pihak swasta yang mengedepankan keuntungan elite semata. Cara pandang pemerintah yang lebih cenderung bertumpu pada benefit, developmentalism, dan antroposentris atau cara pandang yang menganggap alam hanya sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, ini merupakan cara pandang yang setidaknya telah merugikan masyarakat yang berada di kawasan Gunung Galunggung selama kurang lebih tiga puluh tahun. Permasalahan ini pula yang sepertinya telah bercabang dan berkembang hingga tataran dan struktur pemerintah yang lebih kompleks. Terbukti dengan hingga saat ini sama sekali tidak terdapat kebijakan afirmatif yang dianggap mampu mendorong tujuan utama masyarakat yang berada di sekitar kawasan pertambangan, yakni kesejahteraan.
Ikhtisar Penyelenggaraan otonomi daerah pada era ini tidak jarang justru menimbulkan dinamika dan polemik yang baru. Hal ini tergambarkan juga dengan carut marut politik dan kepentingan para aktor dalam kaitannya keberadaan perusahaan pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Terlebih, sebagai sebagai objek tambang yang memiliki nilai strategis, pasir di Gunung Galunggung harusnya dikeruk dengan mementingkan kepentingan masyarakat sekitarnya. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan adanya penyimpangan dan non-transparansi pihak pemerintah terhadap keberadaan perusahaan tambang di Desa Mekarjaya. Padahal dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan tersebut tidak hanya sebatas di satu desa, namun juga hingga Desa-Desa lainnya diantaranya Desa Rancapaku yang tepat berada di sebelah Desa Mekarjaya. Namun memang pada akhirnya permasalahan ini bermuara pada perbedaan ideologi serta cara pandang para aktor tersebut dalam memandang lingkungan dan juga objek sumber daya alam. Seperti yang disimpulkan dalam Tabel 4 berikut ini:
43
Tabel 4 Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung No. Aktor Ideologi Peran Fakta Suara masyarakat yang minor meyebabkan (1) Penambang masyarakat konvensional, tersingkir dan Kesejahteraan, 1 Masyarakat Populis, (2) korban berada pada posisi Biocentrism kebijakan inferior atas tekanan dan (3) advokasi dominasi pihak swasta dan pemerintah
2
3
Swasta
Pemerintah
Profit, Antroposentris
(1) Pelaku industri pertambangan, (2) penyuplai dan pendistribusi kebutuhan pasir konsumen, (3) tanggung jawab sosial terhadap masyarakat
(1) Mengatur regulasi, (2) memberikan Profit, izin penambangan, Antroposentris, Developmentalism (3) melakukan pengawasan kontrak dan aktivitas penambangan
Tuntuntan suplai pasir yang tinggi tidak jarang menyebabkan pihak swasta cenderung mementingkan keuntungan tanpa memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi sekitarnya Lemahnya regulasi di tingkat daerah dan law enforcement menybabkan banyaknya celah penyimpangan yang dimanfaatkan oknum pemerintah untuk melanggengkan kepentingan dan ego elite
Berdasarkan tabel 4, setidaknya dapat mengindikasikan jika memang terdapat perbedaan ideologi dan kepentingan antara pihak masyarakat, pemerintah, dan swasta. Padahal seharusnya masing-masing aktor tersebut dapat saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama yang saling
44
menguntungkan, terlebih dengan landasan pemerintah yang memegang prinsip otonomi daerah, seharusnya semakin menjadikan pihak pemerintah sebagai pemegang otoritas mutlah yang dapat berpihak terhadap masyarakat dan memposisikan mereka sebagai objek dan juga subjek prioritas sesuai dengan amanat konstitusi. Dimana seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih afirmatif yang mampu secara esensial menyentuh kepentingan masyarakat. Namun faktanya, memang di Kabupaten Tasikmalaya sendiri sampai saat ini belum ada kebijakan yang secara khusus mengatur permasalahan penambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Padahal mungkin ketegasan pihak pemerintah seperti itu yang dapat menjadi salah satu faktor yang dapat benar-benar mencapai kepentingan dan tujuan bersama antara stakeholders terkait.
45
ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR Bab ini akan membahas mengenai dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di Kecamatan Padakembang terhadap masyarakat di Desa Mekarjaya (Desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir). Dampak yang menjadi fokus penelitian dibagi menjadi tiga aspek, yakni, dampak ekologi, dampak sosial, dan juga dampak ekonomi.
Dampak Ekologi Permasalahan ekologi yang terdapat di kawasan Gunung Galunggung mulai muncul pasca masuknya aktivitas pertambangan pasir skala industri pada sekitar tahun 1984. Pada tahun tersebut, rehabilitasi kawasan serta pembangunan tanggul penyangga sepanjang sungai Cikunir yang berfungsi sebagai “jalur” aliran lahar juga dibuat. Tanggul tersebut terbentang dari hulu ke hilir sungai Cikunir yang juga melewati Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun bagi masyarakat, ternyata tanggul tersebut tidak dapat menjadi “penyangga” sebenarnya untuk bencana yang secara nyata mengancam mereka, karena bagi sebagian masyarakat, bencana yang sebenarnya justru berada di arah Barat Laut Desa Mekaraya dan Desa Rancapaku, yakni di kawasan dusun Karangdan, Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang. Dusun Karangdan merupakan salah salah satu kawasan dimana terdapat perusahaan tambang berskala besar yang sudah cukup lama melakukan pengerukan pasir. Terhitung sejak tahun 2006 (dan masih diperpanjang hingga sekarang) perusahaan CV AS sudah melakukan aktivitas penambangan pasir di kawasan tersebut. Namun, sebetulnya perusahaan seperti CV AS hanya merupakan salah satu perusaahaan yang aktif pada saat ini di kawasan Kecamatan Padakembang. Setidaknya lebih dari lima perusahaan besar silih berganti melakukan pengerukan pasir di kawasan Kecamatan Padakembang, khususnya di Desa Mekarjaya sejak tahun 1984. Seiring dengan keluar-masuknya perusahaan pertambangan tersebut, permasalahan yang ditimbulkan khususnya terkait dengan aspek lingkungan juga semakin nyata terlihat. Pasalnya. aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut menghasilkan limbah yang juga mengalir melalui sungai Cikunir, yang baik secara langsung ataupun melalui anak sungainya dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk keperluan sehari-hari ataupun mata pencaharian. Tentunya hal tersebut sangat berpengaruh terhadap masyarakat, bahkan banyak masyarakat yang hingga kesulitan memperoleh air bersih, terlebih bagi mereka yang benarbenar menggantungkan sumber airnya pada aliran sungai. Dampak ekologi lain yang ditimbulkan juga dapat secara jelas terlihat dari jalan utama yang dimanfaatkan oleh truk-truk perusahaan tambang yang lalu lalang membawa material pasir hasil kerukan. Seperti
46
sudah disebutkan pada bab sebelumnya, pasir Gunung Galunggung merupakan pasir unggulan yang banyak dicari oleh orang, terlebih dengan harga yang kompetitif dan kualitasnya yang baik, tentunya banyak orang yang mencari atau “memburu” pasir Galunggung langsung di lokasinya. Hal tersebut terbukti karena memang sepanjang jalan alternatif menuju Gunung Galunggung yakni jalan Cisinga5, kita dapat menemui banyaknya titik-titik atau gundukan pasir di pinggir jalan yang langsung dijual oleh beberapa perusahaan tambang pasir. Namun, konsekuensinya adalah jalan yang dilalui oleh truk-truk tersebut lebih cepat rusak, bahkan hal tersebut dapat dirasakan sepanjang jalan Kecamatan Padakembang sepanjang kurang lebih 1.5 kilometer. Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung akan dibahas kedalam empat sub-bab yang merepresentasikan empat indikator, yaitu: 1. Tingkat Degradasi Kualitas Air Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada kualitas air, baik yang berasal dari aliran sungai ataupun galian sumur yang biasa masyarakat manfaatkan untuk keperluan konsumsi maupun non-konsumsi. 2. Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi masyarakat yang lebih peka atau rentan terhadap suatu ancaman bahaya, kecelakaan, atau bencana atas perubahan kondisi alam atau lingkungan lainnya. 3. Tingkat Polusi Melalui Udara Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap kondisi udara serta polusi atau gangguan yang terjadi melalui medium udara lainnya, baik polusi udara seperti debu atau polusi suara seperti kebisingan yang diakibatkan oleh berbagai proses dan aktivitas penambangan pasir. 4. Tingkat Alih Fungsi Lahan Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi, keberadaaan, serta bentuk atau fungsi lahan atau tanah terbuka dan/atau tanah garapan yang berada di lingkungannya. Secara spesifik, dampak ekologi yang terjadi di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel dibawah ini.
5
Jalan Cisinga merupakan jalan yang terletak di antara Kota Tasikmalaya dan Kecamatan Singaparna. Jalan ini merupakan jalan yang kerap dipergunakan beberapa truk perusahaan tambang pasir untuk mengangkut material pasir dari lokasi pertambangan yang terletak di puncak Gunung Galunggung ke tempat pengumpulan pasir, dan untuk selanjutnya didistribusikan ke kota Tasikmalaya atau bahkan luar kota.
47
Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air Salah satu aspek yang paling krusial dan menyusun keseimbangan ekosistem di Desa Mekarjaya maupun di Desa Rancapaku adalah air. Air yang bersih ketika dahulu dapat dengan mudah diperoleh oleh masyarakat melalui aliran sungai besar maupun cabang anak sungai yang juga kerap dibuat secara sengaja untuk kepentingan sawah, kolam ternak ikan dan lain sebagainya. Namun masyarakat di kedua desa tersebut harus merasakan permasalahan yang lambat laun semakin mengancam mereka, hal tersebut antara lain karena air yang dahulu berlimpah pada saat ini sudah berbalik menjadi “aliran limbah” yang tidak dapat mereka atau bahkan pihak pemerintah kendalikan (Lampiran 7). Sungai Cikunir yang bahkan sejak dahulu menjadi tempat tumpuan masyarakat untuk pengairan sawah hingga sanitasi, dari tempat bermain anak-anak sampai tempat wisata untuk orang tua, harus mau tidak mau mengalami perubahan yang cukup singifikan. Seperti yang disebutkan oleh OTR (46 Tahun): “Dulu kalau diingat sungai Cikunir itu sangat luas, lebar. Airnya juga bening, bersih. Sampai-sampai kalau lagi nonton film Mahabharata di TV, saya suka bilang ke si Anwar anak saya, tuh dulu sungai Cikunir itu sebesar sungai Gangga, bagusnya juga seperti sungai Gangga, kalau sore atau pulang sekolah suka dipakai minum sampai mandi anak-anak, masih berani dulu mah soalnya emang airnya masih bersih. Tapi sekarang “boro-boro” lah, sekarang air sungainya sudah keruh, warnanya hitam, banyak pasir-pasirnya.” Pernyataan oleh ibu OTR bukanlah tidak beralasan, pasalnya untuk kawasan gunung, air merupakan suatu sumber daya alam yang memang tersedia secara berlimpah dan banyak dimanfaatkan masyarakatnya. Sebagai kawasan dataran tinggi, sumber daya air yang secara alami mengalir dari puncak gunung ini seharusnya dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kepentingan masyarakat. Namun kenyataannya pada saat ini sumber daya air justru seolah hanya bermanfaat bagi sebagian pihak saja. Terlebih mengingat kawasan industri pertambangan pasir terletak di kawasan hulu Gunung Galunggun, sehingga pemanfaatan air di kawasan hulu oleh industri ini akan menghasilkan limbah yang akan mengalir hingga ke kawasan hilir. Masyarakat yang awalnya memiliki sumber daya air bersih yang berlimpah, pada saat ini mau tidak mau harus berusaha lebih keras untuk memperoleh air bersih yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Keberadaan industri pertambangan yang seharunsnya memperhatikan aspek ekologis dan sosial yang komperhensif, justru seolah tidak peduli dan bahkan cenderung mengabaikan atas fakta degradasi kualitas lingkungan yang terjadi. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap degradasi kualitas air dapat dilihat pada pada Tabel 5.
48
Tabel 5 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat degradasi kualitas air Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air menjadi tidak jernih (keruh)
56.67
40.00
3.33
83.33
16.67
0.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warna air menjadi berwarna gelap
30.00
53.33
16.67
73.33
26.67
0.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air dipenuhi oleh endapan pasir / butir-butir batuan halus
13.33
53.33
33.33
80.00
16.67
3.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air bersih lebih sulit diperoleh
6.67
26.67
66.67
83.33
16.67
0.00
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air menjadi berbau tidak sedap (seperti bau besi, lumpur dsj)
13.33
46.67
40.00
63.33
30.00
6.67
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa secara garis besar masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki penilaian yang berbeda terkait dengan tingkat degradasi kualias air. Masyarakat Desa Mekarjaya memiliki penilaian yang lebih variatif dan memiliki kecenderungan netral, sedangkan Desa Rancapaku memiliki penilaian ke arah negatif secara mutlak. Berikut adalah penjelasan terkait data dari Tabel 5: 1. Aktivitas penambangan pasir telah menyebabkan air menjadi tidak jernih, hal ini dirasakan secara nyata oleh masyarakat di Desa
49
Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun terdapat perbedaan dimana untuk masyarakat Desa Mekarjaya, hanya sebanyak 56.67 persen yang menjawab setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan masyarakat Desa Rancapaku lebih besar yakni sebanyak 83.33 persen. Namun walaupun demikian, beberapa responden dari Desa Rancapaku mengatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, masyarakat lebih kesulitan ketika mencari sumber air bersih. Masyarakat harus menggali sumur jauh lebih dalam dibanding dengan sebelumnya, karena menurut masyarakat, “lapisan kotor” yang ada ketika menggali sumur pada saat ini jauh lebih banyak. Terbukti dengan hasil sebanyak 83.33 persen masyarakat Desa Rancapaku yang merasa air bersih lebih sulit diperoleh, sedangkan hasil sebaliknya, yakni sebesar 66.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya merasa tidak setuju jika air bersih lebih sulit diperoleh. 2. Bagi masyarakat, perubahan warna air merupakan salah satu indikator apakah air tersebut layak ataukah tidak layak untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya. Masyarakat Desa Mekarjaya lebih mengganggap warna air yang ada selama ini mungkin tidak mengalami perubahan yang berarti, terbukti dengan 53.33 persen yang menjawab pernyataan tersebut dengan jawban netral, berbeda dengan masyarakat Desa Rancapaku yang sebanyak 73.33 persen menjawab pernyataan tersebut dengan jawaban setuju. Hal tersebut memang kembali lagi dikarenakan posisi Desa Rancapaku yang mayoritas kampung atau dusunnya dilewati oleh aliran sungai Cikunir yang saat ini telah tercemar. Selain berwarna gelap, sungai Cikunir juga terkadang membawa butiran-butiran pasir halus, hal ini juga yang meresahkan masyarakat, terbukti dengan 80 persen masyarakat Desa Rancapaku merasa telah terjadi degradasi kualitas air karena banyaknya material pasir yang terbawa melalui sungai dan lain sebagainya. Berbeda dengan masyarakat Desa Mekarjaya yang menjawab pernyataan tersebut dengan mayoritas jawaban netral sebanyak 53.33 persen. 3. Selain perubahan warna, ternyata aroma air juga mengalami perubahan. Khususnya bagi masyarakat Desa Rancapaku, sebagiam responden setuju jika air yang saat ini terdapat di Desa terkadang berbau lumpur, hal itu dapat terlihat dari jawaban masyarakat Desa Rancapaku yang menjawab setuju pernyataan tersebut sebanyak 63.33 persen. Sedangkan sebaliknya, mayoritas responden Desa Mekarjaya menjawab pertanyaan tersebut dengan netral sebanyak 46.67 persen. Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terkait dengan berbagai pernyataan tersebut. Memang faktor posisi sangat mempengaruhi permasalahan air di kawasan ini. Desa Rancapaku yang hampir seluruh wilayahnya terlewati oleh aliran sungai Cikunir, dimana sungai Cikunir pasca pertambangan pasir mengalami perubahan ke arah keruh yang cukup jelas terlihat, sedangkan masyarakat yang dulunya hanya memperoleh air bersih dari air sungai Cikunir harus
50
kesulitan memperoleh sumber air alternatif lainnya. Berbeda dengan masyarakat Desa Mekarjaya, walaupun aktivitas pertambangan pasir justru dilakukan di Desa ini, namun tidak semua kampung atau dusunnya terlewati aliran sungai Cikunir, sehingga memang sejak dahulu banyak masyarakat Desa Mekarjaya yang sudah mencari sumber air bersih alternatif, diantaranya adalah dengan menggali sumur. Selain permasalahan lokasi Desa, menurut sebagian warga khususnya masyarakat Desa Mekarjaya, munculnya mayoritas tanggapan netral atau tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan terjadinya degradasi kualitas air tersebut juga hal dikarenakan adanya “insentif ekonomi” secara tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mekarjaya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh LSR (47 tahun): “Warga disini memang lebih sering “diam” kalau masalah air. Bukannya tidak bermasalah, itu contohnya Dusun Karangdan yang bersebelahan dengan Sungai Cikunir. Tapi mereka diam saja, karena memang banyak warung disana yang buka garagara banyaknya supir atau pekerja tambang yang beristirahat. Jadi kalau protes sama saja membuat pendapatan berkurang, sehingga yang protes justru orang dari Desa Rancapaku. Bagaimanapun di Desa Rancapaku tidak ada penambangan pasir, tapi mau tidak mau masyarakat desa jadi terkena dampaknya juga. Bukanya dapat untung, tapi malah buntung. ” Pada dasarnya memang masyarakat Desa Rancapaku justru menjadi pihak yang lebih dirugikan dengan aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di Desa Mekarjaya. Walaupun demikian, masyarakat Desa Rancapaku memiliki beberapa solusi yang secara kolektif dilakukan bersama-sama untuk mengatasi kesulitan dalam memperoleh air bersih. Diantaranya adalah kerja sama masyarakat dalam melakukan aktivitas gotong royong, misalnya ketika melakukan penggalian sumur. Bahkan selain itu. masyarakat Desa Rancapaku banyak yang mengadakan “patungan” untuk pembelian pompa air di beberapa titik di Desa, yang nantinya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke rumah-rumah masyarakat yang tidak memiliki sumur. Beberapa hal tersebut mungkin dapat menjadi manfaat positif yang masyarakat peroleh dibalik berbagai dampak negatif yang semakin nyata mereka hadapi. Namun, hal tersebut juga bukan berarti masyarakat Desa Mekarjaya tidak merasakan dampak dari aktivitas pertambangan pasir. Sama halnya dengan masyarakat Desa Rancapaku, banyak masyarakat Desa Mekarjaya yang memanfaatkan sumber air untuk kegiatan petanian dan beternak ikan. Sehingga tentunya perubahan kualitas air juga akan berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Seperti yang disebutkan oleh RYD (60 tahun) seorang peternak ikan di Desa Mekarjaya yang sangat merasakan dampak negatif dari aktivitas pertambangan pasir:
51
“Dulu misalnya dari 50 biji benih bayi ikan itu hasilnya bisa hampir 100 persen hidup semua, tapi sekarang paling juga hanya 30 sampai 50 persen yang hidup. Air untuk kolam kan diambil langsung dari sungai, tapi sekarang sungainya kotor, banyak lumpur dan pasir. Akhirnya benih-benih bayi ikan banyak yang tertimbun dibawah lumpur dan mati, tebalnya (lumpur) bahkan pernah sampai dua centimeter hanya dalam waktu dua hari” Demikian halnya dengan DNG (57 tahun) yang berprofesi sebagai petani di Desa Mekarjaya. Beliau telah bertani sejak usianya masih masih muda, dan sampai sekarang beliau masih menjalani profesi tersebut, namun beliau menyatakan terdapat beberapa perbedaan dalam bercocok tanam ketika pada zaman dahulu dan sekarang, terlebih pada satu sampai tiga tahun belakangan ini: “Waktu masih muda, petani itu kesulitannya itu kalau bukan pupuk ya benih. Tapi sekarang malah susahnya karena cuaca yang tidak tentu, ditambah air yang buruk. Saya sendiri kurang paham apakah ada hubungannya atau tidak, tapi rasanya sejak kualitas air buruk gara-gara tambang pasir, sawah juga jadi buruk, semakin kesini (padi) jadi banyak penyakit dan kualitasnya menurun.” Dampak tersebut hampir dirasakan serupa oleh mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya yang berprofesi sebagai petani maupun peternak ikan, khususnya yang berada di dekat aliran sungai Cikunir. Namun, secara garis besar kesulitan yang dialami oleh masyarakat Desa Mekarjaya berbeda dengan masyarkat di Desa Rancapaku, dimana masyarakat Desa Rancapaku benarbenar mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga mata pencaharian, sedangkan masyarakat Desa Mekarjaya mengalami kesulitan hanya sebatas ketika melakukan kegiatan bertani atau beternak ikan, namun untuk konsumsi atau kebutuhan sehari-hari masih dapat terpenuhi. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika degradasi kualitas air lebih dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku yang merupakan desa yang berada di sekitar kawasan hilir Sungai Cikunir. Faktor lokasi memang sangat mempengaruhi dampak air ini, terlebih sebagian besar dusun di Desa Rancapaku berada tepat bersebelahan dengan aliran Sungai Cikunir.
Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana Banyak faktor yang pada dasarnya mempengaruhi terjadinya suatu bencana atau suatu keadaan yang bahaya, diantaranya adalah faktor alam hingga faktor buatan manusia itu sendiri. Seringkali manusia tidak menyadari aktivitas atau kegiatan yang dilakukannya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Seperti
52
yang terjadi di kawasan Kecamatan Padakembang, aktivitas pertambangan yang dilakukan di salah satu lokasi Desanya yakni Desa Mekarjaya, secara cepat atau lambat juga mendorong terjadinya suatu kondisi bahaya yang dapat mengancam masyarakat. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kerentanan terhadap bencana dapat dilihat pada pada Tabel 6: Tabel 6 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat kerentanan terhadap bencana Presentase (%) Total (%) No
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan terjadinya banjir
6.67
40.00
53.33
86.67
13.33
0.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan tanah menjadi tidak subur
13.33
66.67
20.00
60.00
40.00
0.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan terjadinya longsor
10.00
33.33
56.67
53.33
33.33
13.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jalan di Desa banyak yang berlubang
90.00
3.33
6.67
16.67
40.00
43.33
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan mobilitas masyarakat terhambat
80.00
13.33
6.67
40.00
46.67
13.33
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 6, baik Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku memiliki variasi jawaban yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan antara dua Desa tersebut tidak memiliki jawaban yang mutlak sama, berikut adalah penjelasannya:
53
1. Banjir merupakan bencana yang tergolong jarang untuk kawasan pegunungan atau yang berada di dataran tinggi. Namun tidak dengan Desa Mekarjaya atau khususnya Desa Rancapaku, terbukti dengan persentase jawaban responden Desa Rancapaku sebesar 86.67 persen yang menyatakan bahwa bencana banjir yang beberapa waktu belakangan ini terjadi merupakan salah satu dampak dari aktivitas penambangan pasir yang dilakukan di Desa Mekarjaya. Sedangkan bagi masyarakat Desa Mekarjaya, sebanyak 53.33 persen responden justru mengatakan sebaliknya, mereka merasa banjir yang terjadi di Desa lebih disebabkan faktor alam, dan bukan merupakan dampak jangka pendek atau bahkan jangka panjang dari aktivitas pertambangan pasir. Walaupun demikian, setidaknya terdapat 6.67 persen masyarakat di Desa Mekarjaya yang menganggap bahwa aktivitas pertambangan pasir memang salah satu penyebab utama dari terjadinya banjir di kawasan ini. 2. Kesuburan tanah merupakan faktor penting yang berkaitan juga baik dengan aktivitas sehari-hari ataupun mata pencaharian masyarakat. Berdasarkan data, sebanyak 60.00 persen masyarakat Desa Rancapaku menyatakan aktivitas pertambangan pasir merupakan penyebab dari tanah yang tidak subur, sedangkan 40.00 persen lainnya menyatakan netral. Persentase netral yang cukup besar tersebut diantaranya disebabkan oleh masyarakat yang merasa kurang adanya hubungan langsung antara aktivitas pertambangan pasir dengan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan untuk masyarakat Desa Mekarjaya, sebesar 66.67 persen menjawab netral, dan 20 persen lainnya menjawab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. 3. Longsor juga merupakan salah satu bencana yang belakangan banyak diketahui justru dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Dalam konteks pertambangan misalnya, aktivitas pengerukan pasir atau objek material tambang lainnya secara tidak langsung membuat kawasan sekitarnya menjadi terkikis. Hal tersebut yang selanjutnya menjadikan kawasan tanah tersebut rawan dan dapat dengan mudah menyebabkan longsor. Sebanyak 53.33 persen masyarakat Desa Rancapaku juga sependapat dengan hal tersebut, mereka menyatakan aktivitas pertambangan pasir erat kaitannya dengan bencana longsor, walaupun demikian, sebanyak 56.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan tersebut, padahal di beberapa titik kawasan Desa Mekarjaya khususnya daerah Barat dan Barat Laut sempat terjadi beberapa kali longsor, namun banyak dari mereka yang beranggapan itu lebih disebabkan oleh faktor alam. 4. Jalan merupakan salah satu faktor yang penting untuk dibahas, karena kecelakaan juga kerap terjadi di jalanan. Terlebih mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya ataupun Rancapaku mengandalkan kendaraan roda dua untuk beraktifitas. Namun hal yang menarik adalah pada poin ini, hampir seluruh responden dari Desa Mekarjaya memiliki jawaban yang sama, yakni 90 persen responden di Desa Mekarjaya menyebutkan jalanan yang berlubang atau rusak saat ini disebabkan oleh aktivitas pertambangan pasir, atau lebih tepatnya
54
akibat lalu-lalang truk yang membawa muatan pasir. Sedangkan di Desa Rancapaku, 43.33 persen justru tidak setuju dengan pernyataan tersebut, dan hanya 16.67 persen yang setuju. Hal tersebut juga dikarenakan faktor peraturan yang dibuat oleh masyarakat, yang melarang segala truk bermuatan pasir untuk melewati jalan Desa. Walaupun demikian, masih ada saja truk yang lewat jika malam hari atau diwaktu-waktu ketika Desa sedang sepi. 5. Mobilitas masyarakat juga berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam merespon bencana. Mobilitas masyarakat yang terhambat tentunya akan berpengaruh terhadap berkurangnya kemampuan masyarakat dalam mengantisipasi suatu bencana atau bahaya, terlebih masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku tinggal di kawasan Gunung berapi yang masih aktif. Sebanyak 80.00 persen masyarakat Desa Mekarjaya setidaknya menyebutkan hal yang serupa, mereka merasa mobilitas mereka terhambat karena faktor aktivitas pertambangan pasir, baik akibat jalan yang rusak hingga truk-truk besar yang selalu mendominasi jalan Desa hampir selama 24 jam. Sedangkan untuk masyarakat Desa Rancapaku, sebanyak 46.67 persen masyarakatnya menyatakan netral tentang pengaruh aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan mobilitas masyarakat yang terhambat. Hal ini salah satunya dikarenakan adanya jalan alternatif Desa untuk menuju pusat kota atau kabupaten yang berada di sebelah timur Desa Rancapaku. Jalan ini juga yang sering dimanfaatkan masyarakat untuk “menghindari” jalan utama Kecamatan dan juga jalan utama Desa Mekarjaya yang hancur akibat lalu-lalang truk bermuatan pasir. Berbicara soal bencana, memang secara empiris baik Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku tergolong kawasan yang tidak terlalu rawan oleh bencana. Namun walaupun demikian, baik banjir maupun longsor sempat terjadi di kedua desa tersebut. Berikut pemaparan ASD (50 tahun): “Kalau di Desa Mekarjaya sebenarnya longsor atau banjir itu hampir tidak pernah. Tapi longsor beberapa bulan yang lalu sempat ada di daerah dekat Dusun Karangdan. Tapi untungnya tidak terlalu parah. Kalau banjir baru bulan Meret lalu tanggal 19 kalau tidak salah, lokasinya juga di dusun Karangdan, daerah Kubangeceng, banjir saat itu bahkan sampai ke pesantren yang dibawahnya. Sedangkan kalau daerah Desa Rancapaku, banjirnya yang cukup sering terjadi, karena banyak rumah dekat sungai Cikunir atau Cikunten situ, sehingga kalau sedang hujan besar langsung membanjiri rumah warga” Berdasarkan penuturan Bapak ASD, untuk wilayah yang rawan longsor dan banjir Karangdan, dusun yang juga merupakan penambangan pasir dilakukan. Walaupun
Desa Mekarjaya sebetulnya itu adalah kawasan dusun kawasan dimana aktvitas mungkin masyarakat Desa
55
Mekarjaya banyak yang tidak menyadari secara langsung dampak pertambangan pasir terhadap bencana longsor atau banjir tersebut. namun sebagian masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa seiring dengan berkembangnya industri pertambangan di kawasan Desa Mekarjaya, bencana alam yang terjadi di kawasan desa ini juga cenderung lebih terlihat. Terlebih aktivitas penambangan pasir yang telah dilakukan hampir kurang lebih 20 tahun di desa ini dilakukan hampir secara konstan atau terus menerus, hampir tidak ada “waktu luang” bagi ekosistem untuk memulihkan kondisinya. Sehingga tentu saja hal tersebut akan berpengaruh secara nyata terhadap eksistensi kondisi dan struktur tanah serta lingkungan di kawasan sekitar lokasi pertambangan itu sendiri. Seperti halnya yang disebutkan oleh ibu OTR (46 Tahun) seorang warga Desa Mekarjaya: “Kalau lihat ke daerah tambang (daerah dusun Karangdan) sana itu “parah” kondisinya”. Selain jalanan hancur, banyak truk-truk besar yang lewat, kalau lihat sepanjang jalan itu benar-benar seperti jalan kering, seperti sama sekali tidak diperhatikan kondisi lingkungan disekitarnya. Pokoknya melihatnya sudah “ngeri”, apalagi kalau membayangkan dulu itu juga sebenernya hutan yang banyak hewannya, banyak tumbuhannya, bisabisanya sampai berubah seperti itu.” Pendapat berbeda justru dinyatakan oleh masyarakat di Desa Rancapaku, menurut masyarakat hal yang menjadi penyebab terjadinya bencana banjir atau longsor di daerah ini justru diantaranya diakibatkan oleh masyarakat sendiri. Hal ini berawal dari tanggul yang dibuatkan oleh pemerintah pada tahun 1984, tanggul itu berfungsi sebagai penyangga sungai Cikunir yang dahulu juga berfungsi sebagai jalur lahar dari puncak Gunung Galunggung. Tanggul setinggi kurang lebih dua meter dan lebar kurang lebih empat meter itu didirikan sepanjang hulu hingga hilir sungai Cikunir. Namun ketika itu, masyarakat banyak yang kecewa dengan pemerintah yang tidak melakukan kompensasi atau penggantian biaya atas tanggul yang dibuat di atas tanah milik masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan reaksi masyarakat yang agresif, masyarakat yang kecewa dengan pemerintah pada akhirnya merusak dan bahkan menjual pasir yang menjadi badan tanggul Sugai Cikunir tersebut. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah tersebut sebetulnya bertujuan positif, tanggul yang dibuat tersebut setidaknya akan dapat mengantisipasi aliran lahar hingga menjalar ke pemukiman masyarakat, namun pada saat itu nyatanya banyak masyarakat yang tidak terima dengan tindakan pemerintah tersebut. Hingga pada akhirnya tanggul yang berisi pasir yang digunakan untuk menyangga aliran lahar itu dihancurkan oleh masyarakat, dan pasir-pasirnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dijual kembali, bahkan ada beberapa yang memanfaatkannya untuk kepentingan membangun rumah. Berikut pemaparan salah satu warga Desa Rancapaku yang ikut dalam aktivitas pengrusakan tanggul yang ada di Kampung Cipager, Desa Rancapaku dalam boks kasus
56
Boks 2. Kisah Kehidupan kasus Bapak KRN (55 Tahun) Bapak KRN merupakan warga asli kampung Cipager, Desa Rancapaku, kecamatan Padakembang. Lokasi rumah beliau yang hanya kurang lebih berjarak 10 meter dari sungai Cikunir, membuat erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 juga turut memporak-porandakan lingkungan tempat tinggalnya. Pasca rehabilitasi kawasan pada tahun 1983-1984, bapak KRN juga turut membantu proses perbaikan fasilitas Desa, termasuk dalam pembuatan tanggul yang dibuat sepanjang sungai Cikunir. Tanggul yang tujuan awalnya adalah positif, yakni menjadi penyangga aliran lahar jika kembali mengalir melalui sungai Cikunir, lama kelamaan malah dianggap sebagian warga sebagai hal yang negatif karena tidak adanya kompensasi, khususnya yang berkenaan dengan pemanfaatan lahan yang dijadikan tanggul. Hingga pada akhirnya di penghujung tahun 1998, ketika orde-baru runtuh dan krisis ekonomi melanda Indonesia, masyarakat satu persatu mulai “menghancurkan” tanggul yang berisi pasir tersebut. “Karena tidak ada kompensasi, ya sudah kita buat kompensasi sendiri” tuturnya, beliau juga mengatakan pasir dari tanggul ini sangat bermanfaat, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga membangun rumah-rumah warga yang memang pada saat itu sedang sulit-sulitnya. Walaupun pada akhirnya masyarakat memperoleh “kompensasi” dari „pembangunan tanggul‟, yakni dengan „menjual tanggul‟ itu sendiri, banyak masyarakat yang pada akhirnya menyadari dampak buruk dari hancurnya tanggul tersebut, diantaranya adalah Bapak KRN. “Memang semua itu akan selalu ada positif dan negatifnya”, tuturnya. Selain permasalahan banjir dan longsor, permasalahan utama yang disoroti dalam penelitian ini adalah permasalahan aksesibilitas atau jalan yang dimanfaatkan oleh masyarakat setiap harinya. Jalan utama di Kecamatan Padakembang merupakan jalan yang selain dimanfaatkan oleh warga juga dimanfaatkan oleh truk-truk pengangkut material pasir yang selama hampir 24 jam terus berlalu-lalang. Jalan utama ini melewati dua Desa di Kecamatan Padakembang, yakni Desa Cisaruni, dan Desa Mekarjaya. Permasalahan jalan secara spesifik dapat dilihat di Desa Mekarjaya, sepanjang jalan dari dusun Karangdan (yakni dusun yang terdapat aktivitas pertambangan) hingga masuk ke jalan utama, jalan yang setiap hari dilewati truk-truk pengangkut pasir ini dapat dikatakan rusak parah. Selain membahayakan masyarakat, jalanan yang rusak ini juga membuat mobilitas masyarakat menjadi terhambat. Namun sebagai reaksi atas hal tersebut, beberapa masyarakat di Desa Mekarjaya khususnya daerah dusun Cikembang membuat “jalur bebas truk”, yakni melarang truk yang bermuatan pasir untuk lewat. Bahkan secara khusus masyarakat di kampung Babedahan, Desa Mekarjaya membuat portal yang bertujuan untuk menghalangi truk masuk ke kawasan kampung. Hal tersebut juga serupa seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Rancapaku, bahkan untuk Desa Rancapaku, hampir sepanjang jalan Desa ini hampir tidak pernah
57
dilintasi oleh truk-truk besar pengangkut pasir, padahal jalur-jalur tersebut (termasuk jalan di dusun Cikembang) merupakan jalan yang dulunya juga dimanfaatkan oleh truk-truk pasir untuk membawa material pasirnya ke tempat penampungan. Reaksi yang dilakukan masyarakat memang tergolong wajar, mengingat dampak dari lalu lalang truk ini secara nyata telah mengancam warga. Seperti yang disebutkan oleh LSR (47 tahun), yang juga merupakan pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang: “Jalan utama yang di depan itu kan namanya jalan baru, tapi sama sekali tidak terlihat baru, seharusnya mungkin itu dinamakan “jalan baru setaun tapi sudah rusak”. Apalagi kalau naik motor, depan dan belakang truk semua, ditambah jalannya juga banyak yang berlubang, sangat rawan. Untung saja tidak pernah ada yang sampai tabrakan atau kecelakaan parah, tapi kalau yang jatuh dari motor lumayan sering sepertinya. Rasanya jika dikatakan jalannya mau diperbaiki juga bakal sama saja selama masih dilewatin truk-truk pasir itu.” Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika kemunculan resiko atau kerentanan masyarakat terhadap bencana dirasakan baik oleh masyarakat di Desa Mekarjaya dan juga Desa Rancapaku. Namun hal yang esensial justru lebih dirasakan oleh mayoritas masyarakat Desa Rancapaku dimana ancaman banjr dan longsor lebih sering terjadi akibat jarak Desa yang lebih dekat dengan aliran sungai. Walaupun demikian Desa Mekarjaya juga merasakan hal yang sama, namun hanya sebagian kecil wilayahnya yang mengalami bencana banjir atau longsor, yakni hanya di kawasan dusun Karangdan. Sedangkan untuk permasalahan jalan yang rusak, masyarakat Desa Mekarjaya lebih merasakan dampaknya dibandingkan dengan masyarakat Desa Rancapaku. Hal ini dikarenakan Desa Mekarjaya merupakan jalan utama truk-truk besar pengangkut material pasir yang berlalu lalang.
Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara Udara yang bersih dan sehat mungkin menjadi dambaan bagi banyak orang, bahkan bagi sebagian orang mungkin akan bersusah payah mencari “udara” tersebut ke daerah dataran yang lebih tinggi. Karena memang seperti kita ketahui, daerah yang lebih tinggi atau apalagi memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, umumnya sudah mulai banyak ditumbuhi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi, yang biasanya sarat akan oksigen dan lingkungan yang asri. Namun hal tersebut agaknya sulit diperoleh oleh masyarakat Kecamatan Padakembang, khususnya Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, walaupun berada di daerah pegunungan, namun letak Desa yang hanya sekitar 400-600 di atas permukaan laut ditambah dengan aktivitas pertambangan dan lalu-lalang truk yang membawa material pasir, membuat udara di kawasan ini seolah
58
tidak hanya kering, namun juga dipenuhi oleh debu-debu atau pasir halus yang berterbangan. Selain menyalurkan debu, medium udara juga mampu menghasilkan apa yang disebut sebagai “polusi suara”. Terlebih aktivitas pertambangan merupakan suatu aktivitas industri yang memerlukan berbagai alat berat, yang tentunya bagi sebagian orang apalagi yang berada dekat kawasan tambang akan merasa terganggu dengan suara-suara yang dihasilkan. Belum lagi seperti permasalahan truk besar yang lalu-lalang membawa material pasir, tentunya bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar jalan utama atau jalan yang dilalui truk tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan terganggu. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kerentanan terhadap polusi melalui udara dapat dilihat pada pada Tabel 7: Tabel 7 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat polusi melalui udara Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan udara dipenuhi debu
70.00
23.33
6.67
10.00
30.00
60.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jalan atau rumah dipenuhi debu
73.33
23.33
3.33
13.33
36.67
50.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menimbulkan kebisingan yang mengganggu
56.67
30.00
13.33
0.00
36.67
63.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat enggan berlama-lama di luar rumah
30.00
50.00
20.00
0.00
46.67
53.33
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat lebih mudah terserang penyakit (ISPA)
46.67
40.00
13.33
10.00
43.33
46.67
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 7, baik Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku memiliki pernyataan yang sangat bertolak. Tidak terdapat satupun
59
pernyataan yang yang dijawab sama oleh mayoritas responden yang berasal dari kedua Desa tersebut, berikut adalah penjelasannya: 1. Sebagian masyarakat Desa Mekarjaya mungkin dapat dikatakan sudah terbiasa dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan di Desa ini. Namun berdasarkan data, terlihat sebanyak 70.00 persen masyarakat Desa Mekarjaya merasa dampak dari aktivitas pertambangan ini cukup mengganggu, khususnya dalam kaitannya dengan banyaknya debu yang dihasilkan oleh truk-truk pembawa pasir yang lalu lalang pada siang hari. Sedangkan bagi masyarakat Desa Rancapaku, dimana di Desa ini tidak terdapat aktivitas pertambangan dan jalan utama Desanya tidak boleh dilalui truk pengangkut pasir, setidaknya 60.00 persen responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan yang menyebutkan akibat pertambangan pasir, udara menjadi dipenuhi debu. 2. Demikian halnya dengan debu yang berada di jalan-jalan atau bahkan rumah warga. Masyarakat Desa Mekarjaya sebagaian besar atau sebanyak 73.33 menjawab setuju, sedangkan berbanding terbalik dengan masyarakat di Desa Rancapaku yang sebanyak 50.00 persen menjawab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Namun responden dari Desa Rancapaku sisanya menjawab pada pilihan netral (36.67 persen), dan setuju (13.33 persen). Terdapat beberapa alasan oleh responden yang memilih jawaban tersebut, diantaranya adalah bahwa walaupun tidak ada truk yang membawa material pasir yang diperbolehkan melewati kawasan Desa Rancapaku, tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya masih kerap ada truk-truk yang melanggar peraturan tersebut dan melewati kawasan ini, sehingga tidak jarang bekas-bekas pasir ikut terbawa angin dan bahkan sampai ke dekat rumah warga. 3. Kebisingan atau gangguan suara secara nyata dirasakan oleh masyarakat Desa Mekarjaya, terlihat dari tabel sebanyak 56.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya merasakan kebisingan atau gangguan suara yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir. Sedangkan sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku menyatakan tidak setuju dengan adanya kebisingan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir dengan persentase sebesar 63.33 persen. 4. Dengan kondisi lingkungan yang banyak tercemar oleh polusi udara seperti debu-debuan dan lain sebagainya, ada kemungkinan masyarakat akan enggan untuk berlama-lama diluar rumah. Namun masyarakat Desa Mekarjaya sebanyak 50.00 persen memiliki jawaban netral terhadap pernyataan tersebut, sedangkan persentase terbesar kedua berada pada jawaban setuju (30.00 persen), dimana masyarakat memang menjadi enggan berlama-lama diluar rumah lantaran debu-debu tersebut memunculkan perasaan udara cenderung “tidak aman” untuk dihirup. Namun sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku memiliki jawaban yang bertolak dengan jawaban mayoritas responden dari Desa Mekarjaya, dimana sebanyak 53.33
60
persen responden dari Desa Rancapaku tidak setuju dengan pernyataan tersebut. 5. Debu atau polusi melalui udara erat kaitannya dengan penyakit atau infeksi saluran pernafasan. Berkaitan dengan hal tersebut, sebanyak 46.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataanaktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat lebih rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk diantaranya masalah saluran pernafasan. Namun sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku memiliki pernyataan yang berbeda, yakni sebesar 46.67 responden tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Ketika membahas tentang pencemaran atau polusi, maka akan dibahas pula terkait dengan sumber pencemaran atau polusi itu sendiri. Dalam kaitannya dengan aktivitas pertambangan pasir, tentu saja aktivitas penggalian material tambang hingga pengangkutan material tambang dapat menyebabkan dampak polusi udara yang cukup berarti. Terlebih dengan objek tambang yang berupa pasir, pada dasarnya pasir merupakan butir-butir batuan halus atau dapat disebut juga sebagai kersik halus, yang ukuran materinya sangat kecil yang dapat dengan mudah terbawa oleh angin. Pasir yang terbawa oleh angin dapat dengan mudah terhirup oleh manusia, dan itulah yang dapat menjadi pemicu atau penyebab berbagai penyakit diantaranya adalah infeksi saluran pernafasan. Belum lagi akibat debu-debu lain atau kotoran yang ikut terbang terbawa angin karena jalanan yang kotor dan gersang akibat lalu-lalang truk-truk besar pembawa material pasir. Hal tersebut selain membawa penyakit, dianggap sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat Desa Mekarjaya membawa pengaruh yang buruk juga terhadap aktivitas atau kegiatan sehari-hari. Seperti yang dituturkan oleh LSR (47 tahun), seorang ibu dari Desa Mekarjaya yang juga merupakan pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang: “Masyarakat disini mungkin sudah sampai biasa dengan debu, bahkan mungkin suara berisik truk pasir yang lewat juga sudah biasa. Tapi sebenarnya bagaimana juga dibalik hati masingmasing pasti “risih”, tapi mau mengeluh juga percuma. Apalagi itu debu kan sangat menganggu, dagangan ibu saja kalau didiemkan satu hari pasti sudah tebal debu-debunya. Takutnya kalau kotor gitu juga konsumen jadi pada tidak mau beli.” Senada dengan pernyataan ibu LSR, salah seorang masyarakat Desa Rancapaku yakni pak JJG (54 tahun) menuturkan tentang keluhannya terkait dengan dampak polusi udara yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan pasir: “Saya dulu sempat tinggal di daerah Kubangeceng. Disana bisa dibilang kondisinya cukup jauh dengan disini, disana tiap jam truk juga lewat, mau magrib, tengah malam, sampai subuh juga masih saja ada truk.. Parahnya, truknya bukan sekedar truk biasa, tetapi truk tua yang hampir selalu membawa muatan pasir
61
berlebih. Coba saja dilihat pasti selalu kelebihan muatan, dan bukan apa-apa, jadinya juga masyarakat yang terkena dampaknya, pasirnya kan jadi pada jatuh, selain bikin kotor dan itu juga jadi kehirup sama kita.” Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika permasalahan polusi melalui udara jauh lebih dirasakan di Desa Mekarjaya. Hal ini dikarenakan jalan Desa Mekarjaya juga dimanfaatkan oleh truk-truk pengangkut material pasir berlangsung hampir selama 24 jam. Hal itu yang pada akhirnya berdampak pada kebisingan dan polusi udara berupa debu dan pasir-pasir yang berterbangan sepanjang Desa Mekarjaya. Berbeda dengan Desa Rancapaku, dimana di Desa ini memang sama sekali tidak terdapat aktivitas penambangan pasir. Hal ini juga bahkan didukung dengan kesepakatan yang disusun oleh masyarakat dan pihak pemerintah Desa yang melarang truk pengangkut material pasir untuk melewati jalur di Desa. Padahal jalur Desa Rancapaku ketika dahulu menjadi salah satu alternatif jalan yang cukup sering dilalui truk.
Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan Konversi lahan merupakan suatu fenomena tersendiri yang dapat menjadi pembahasan menarik dari sudut pandang agraria. Bahkan secara khusus lahan juga memiliki definisi dan tipe-tipenya sendiri, namun secara umum dalam penelitian ini, alih fungsi lahan dimaknai sebagai suatu transformasi areal pertanian menjadi areal non-pertanian. Seperti diketahui, mayoritas mata pencaharian masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku berada pada sektor pertanian. Namun pasca terjadinya erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983, lahan-lahan sawah yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk bertani, serta lahan pekarangan yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk beternak atau berkebun menjadi tertimbun oleh material pasir. Banyak masyarakat yang merasa mampu mengatasi masalah timbunan pasir tersebut dengan caranya masing-masing, diantaranya adalah dengan membuangnya ke aliran sungai, hingga menjualnya kepada tengkulak atau “pengepul pasir dadakan” yang pada pasca meletusnya Gunung Galunggung memang banyak tersebar hampir di seluruh Desa. Namun, tidak semua masyarakat merasa mampu dalam melakukan pekerjaan pembersihan pasir tersebut. Sebagian besar masyarakat juga banyak yang akhirnya menyewakan, atau bahkan hingga menjual lahannya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat yang umumnya lebih memiliki modal, atau juga disewakan pada industri penjualan pasir skala kecil yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Namun masyarakat tidak sadar bahwa pada dasarnya akibat konversi lahan tersebut memunculkan berbagai dampak yang mungkin dapat dikatakan juga merugikan masyarakat. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap alih fungsi lahan dapat dilihat pada pada Tabel 8:
62
Tabel 8 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat alih fungsi lahan Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jumlah hutan berkurang
76.67
20.00
3.33
36.67
13.33
50.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan banyak fauna yang punah
33.33
40.00
26.67
20.00
13.33
66.67
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan banyak flora yang punah
16.67
53.33
30.00
3.33
23.33
73.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jumlah atau luas sawah menjadi berkurang
60.00
20.00
20.00
20.00
26.67
53.33
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan luas pekarangan atau kebun warga menjadi berkurang
70.00
20.00
10.00
33.33
30.00
36.67
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Pada Tabel 8 dapat dilihat jika persentase jawaban mayoritas responden antara Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku kembali saling bertolak belakang. Hal tersebut secara spesifik dapat dikarekan faktor lokasi, dimana Desa Mekarjaya sejak tahun 1984 atau pasca erupsi Gunung Galunggung sudah mulai diminati oleh industri pertambangan, baik industri pertambangan kecil, hingga industri pertambangan besar-sedang. Sedangkan berbeda dengan Desa Rancapaku, dimana di kawasan ini hampir tidak pernah ada satupun industri pertambangan skala besar-sedang yang melakukan pengerukan material pasir.
63
Bagi masyarakat Desa Mekarajaya, sebetulnya banyak “harga” yang harus dibayar oleh masyarakat dengan pembiaran masuknya industriindustri tersebut. Diantaranya seperti yang empiris dapat terlihat, dimana pada saat ini kawasan Desa Mekarjaya semakin terkikis oleh aktivitas pertambangan itu sendiri, bahkan lambat laun mulai meninggalkan “romantisme Desa” yang sejatinya dimiliki oleh Desa ini. Terkait dengan masing-masing pernyataan dalam tabel, berikut adalah penjelasannya: 1. Aktivitas pertambangan pasir jelas-jelas menyebabkan luas hutan berkurang. Terlebih untuk masyarakat Desa Mekarjaya, seperti dalam tabel terlihat sebanyak 76.67 persen responden menjawab setuju dengan pernyataan tersebut. Jawaban itu muncul memang dikarenakan jumlah hutan yang terkonversi akibat pembukaan lahan aktivitas pertambangan pasir cukup besar, terlebih jika dikalkulasikan semenjak pembukaan lahan pertama secara besarbesaran atau yang menurut responden terjadi pada sekitar tahun 1986. Namun hal yang sebaliknya terlihat pada Desa Rancapaku, berdasarkan data setidaknya 50.00 persen responden menjawab tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan luas hutan berkurang. Namun walaupun demikian, terdapat 36.67 persen responden dari Desa Rancapaku yang menjawab setuju pada pernyataan tersebut. Menurut sebagian masyarakat, memang sebetulnya dahulu banyak kawasan hutan yang menyimpan gundukan pasir, dan itu juga akhirnya dimanfaatkan sebagian besar masyarakat, namun untungnya tidak pernah sampai pada penjualan lahan atau dikonversikan untuk hal yang lainnya. 2. Terkait dengan keberadaan fauna, sebetulnya di kawasan ini bukan merupakan tempat tinggal banyak hewan apalagi satwa endemik. Hanya saja banyak hewan sejenis kera yang tinggal di habitat hutan sebelah utara Kecamatan Padakembang. Dan menurut sebagaian masyarakat, pasca adanya aktivitas pertambangan pasir para kera tersebut menjadi terusir dari habitat aslinya, dan bahkan pernah sampai ada kera yang menyusuri perumahan warga. Namun pernyataan yang menyatakan dampak aktivitas pertambangan menyebabkan punah atau langkanya suatu hewan tersebut ditanggapi netral oleh mayoritas responden Desa Mekarjaya (40.00 persen), dan tidak setuju oleh mayoritas responden Desa Rancapaku (66.67 persen). 3. Demikian halnya dengan keberadaan flora, di kawasan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan khas yang secara nyata dapat dilihat keberadaannya. Dan tidak berbeda jauh dengan pernyataan sebelumnya, untuk responden di Desa Mekarjaya mayoritas menjawab pernyataan ini dengan jawaban netral sebesar 53.33 persen, sedangkan untuk masyarakat di Desa Rancapaku menjawab pernyataan ini dengan jawaban tidak setuju sebesar 73.33 persen. Persentase tidak setuju yang cukup tinggi ini dipercaya oleh sebagian dari responden karena memang di kawasan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan atau pohon yang khas sejak zaman dahulu. Walaupun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang
64
mempercayai tentang keberadaan pohon Jamuju, sebuah jenis pohon langka yang habitatnya adalah kawasan selatan Tasikmalaya. 4. Areal sawah merupakan salah satu areal yang pada erupsi tahun 1982 - 1983 banyak tertimbun oleh material pasir dari Gunung Galunggung. Hal tersebut juga yang menjadikan banyak masyarakat mengkonversikan areal sawahnya untuk kepentingan pertambangan atau yang lainnya. Berdasarkan data, sebanyak 60.00 persen responden dari Desa Mekarjaya menjawab setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan sebanyak 53.33 persen responden dari Desa Rancapaku tidak setuju dengan pernyataan tersebut. 5. Sama halnya dengan areal persawahan, areal pekarangan rumah menurut sebagian besar responden pada pasca erupsi tahun 1982 1983 banyak yang dimanfaatkan oleh warga untuk dikeruk material pasirnya. Hal ini terlihat dengan jawaban sebagian besar responden dari Desa Mekarjaya yang mengatakan Setuju (70.00 persen) terhadap pernyataan tersebut. Namun hal ini masih berbanding terbalik dengan jawaban responden dari Desa Rancapaku, dimana sebesar 36.67 persen responden menjawab pernyataan ini dengan jawaban tidak setuju. Material pasir yang berlimpah pada pasca erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983 memang memunculkan suatu dilematika baru. Pasalnya, di satu sisi gelimpangan pasir tersebut memberikan kerugian karena banyaknya areal sawah, pekarangan, hutan hingga rumah warga yang rusak. Namun, di satu sisi juga memberikan manfaat positif karena material pasir tersebut dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi. Namun ketika pemanfaatan terhadap sumber daya alam yang ada terlalu “bablas” atau tendensius, yang terjadi justru kerugian yang mungkin akan senantiasa dirasakan oleh masyarakat di generasi-generasi mendatang. Kerugian atas pertambangan pasir itu yang pada saat ini mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya rasakan, pasalnya ketika zaman dahulu sebelum erupsi Gunung Galunggug terjadi, kawasan Desa Mekarjaya masih sangat terbilang asri dengan hutan-hutan yang sangat banyak. Bahkan beberapa diantara masyarakat mengganggap ketika dahulu hutan Galunggung menyimpan jenis pohon yang pada saat ini tergolong langka, yakni pohon Jamuju. Sebetulnya pohon Jamuju merupakan pohon endemik yang hidup di habitat selatan Tasikmalaya, namun pohon yang memiliki kemiripan karakteristik dengan pohon Akasia ini dianggap memang cocok untuk hidup di daerah kawasan Gunung Galunggung. Seperti halnya yang disampaikan oleh OMH (58 tahun) yang merupakan warga asli Desa Mekarjaya: “Waktu jaman dulu disini banyak pohon, dari yang kecil-kecil sampai yang besar. Tapi saya kurang tahu juga itu namanya pohon apa, tapi dulu katanya ada yang nyebut juga pohon Jamuju. Tapi kita tidak pernah memperhatikan, tapi yang pasti setelah banyaknya penambangan pasir di daerah atas
65
(Kecamatan Sukaratu) dan terus berlanjut ke bawah (Kecamatan Padakembang) pohon-pohon ya sudah jadi habis begitu saja. Binatang-binatangnya juga jadi mulai berkurang, yang dulunya banyak terlihat tupai lompat-lompat, atau bahkan suara jangkrik, saat ini sekarang jadi mulai ikut menghilang.” Walaupun pohon Jamuju di kawasan Gunung Galunggung kebaeradaannya belum pasti, namun setidaknya hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan ekosistem yang nyata di kawasan ini. Disamping eksistensi dan keberadaan hutan serta flora dan faunanya, sawah juga dapat menjadi indikator dalam melihat gejala konversi lahan yang ada di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pasca letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983, banyak areal sawah dan pekarangan warga yang menjadi tertimbun oleh pasir. Namun hal tersebut justru disambut positif oleh masyarakat, bahkan ketika itu sempat dikenal dengan istilah sewa lahan untuk para penambang pasir. Seperti yang disebutkan oleh SMT (50 tahun) yang juga merupakan warga asli dari Desa Mekarjaya: “Dulu itu pasca letusan pasir ada dimana-mana, Jadi banyak warga yang menyewakan sawahnya untuk dikeruk. Masyarakat jelas inginnya dapat untung, selain untung karena sawahnya “dibersihkan”, dapat uang juga dari uang sewa tersebut. Makanya dulu itu banyak yang menyewakan sampai puluhpuluhanan bata ke si penambang (pemodal) itu. Tapi selain di sewakan, juga banyak yang akhirnya sampai dijual, bayarannya soalnya juga lumayan, katanya sampai ada yang ditukar dengan kerbau, alat-alat tani, elektronik ya macam-macam.” Berdasarkan pemaparan tersebut, memang banyak responden maupun informan yang mengatakan sampai akhirnya menjual sawah atau pekarangan6 yang sebelumnya disewakan itu karena dirasa cukup menguntungkan. Namun sayangnya tidak semua masyarakat merasakan manfaat jangka panjang dari menjual sawah atau pekarangan tersebut, karena pasca rehabilitasi lokasi, sebagian besar masyarakat mulai kembali ke profesi awalnya, dan kembali menggantungkan hidup pada bertani ataupun beternak. Dampak negatif semakin dirasakan khususnya bagi masyarakat yang telah terlanjur menjual habis areal sawah atau pekarangannya, mereka justru mengalami masalah yang berlipat karena tidak adanya sawah atau pekarangan yang dapat ditanami dengan berbagai tanaman atau tumbuhan yang dapat dijual atau dikonsumsi. Padahal, bagi masyarakat Desa, terlebih dengan mayoritas penduduknya adalah petani, sebetulnya sawah merupakan suatu investasi jangka panjang antara “hidup dan mati”. Isitlah “Pekarangan” yang digunakan disini tidak selalu merujuk pada definisi tanah yang berada di sekitar rumah, ataupun halaman belakang. Istilah “Pekarangan” ini juga digunakan masyarakat untuk merujuk pada kebun milik warga bahkan yang letaknya cukup jauh dengan lokasi tempat tinggal.
6
66
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika permasalahan alih fungsi lahan akibat kehadiran perusahaan pertambangan lebih dominan terlihat di wilayah Desa Mekarjaya. Karena pasca erupsi Gunung Galunggung tahun 1982 - 1983 Desa Mekarjaya sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi pebisnis tambang. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya sawah atau lahan warga yang dijual kepada pihak perusahaan tambang. Dengan banyaknya material pasir yang menimbun sawah dan pekarangan warga kala itu ditambah tawaran bayaran yang tinggi, banyak masyarakat di Desa Mekarjaya yang langsung tergiur untuk menjual lahan miliknya. Sedangkan respons berbeda terdapat di Desa Rancapaku, sehingga tidak terdapat lahan yang beralih fungsi menjadi lokasi penambangan di kawasan ini.
Dampak Sosial Masyarakat sebagai suatu kesatuan yang dinamis, tentunya dapat terpengaruh oleh berbagai perubahan kondisi yang terjadi di lingkungannya. Demikian halnya dengan masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, aktivitas pertambangan pasir yang telah sejak dahulu terdapat di kawasan ini bukan tidak mungkin akan dapat mempengaruhi kondis sosial masyarakat. Dari pembentukan opini masyarakat, hingga mungkin kaitannya dengan tingkat kesadaran atau kepeduliannya terhadap lingkungannya yang secara nyata semakin terdegradasi oleh berbagai proses dari aktivitas pertambangan pasir. Respons atau reaksi masyarakat terhadap aktivitas pertambangan pasir ini pada dasarnya akan selalu terpolarisasi ke dalam dua kubu yang berbeda. Ada pihak yang akan merasakan dampak positif pasca kehadiran perusahaan tambang, diantaranya seperti bagaimana perusahaan tambang mampu membantu dalam meningkatkan ekonomi desa, membantu masyarakat dalam aktivitas sosial atau pembangunan fasilitas desa, hingga dianggap sebagai pihak yang berjasa dalam membantu “memulihkan” kondisi pasca erupsi Gunung Galunggung yang pada saat itu memang dipenuhi oleh timbunan pasir yang tidak terkontrol. Namun demikian juga sebaliknya, ada pihak-pihak yang merasa bahwa dampak negatif yang dibawa oleh perusahaan tambang ini jauh lebih dominan, seperti anggapan bahwa perusaahan pertambangan ini hanya sebatas berorientasi profit, tidak mementingkan dan memperhatikan hak-hak masyarakat hingga memunculkan suatu perasaan tidak suka yang direpresentasikan dengan tensi konflik yang berbeda-beda. Secara lebih lanjut, hal tersebut juga dapat dilihat terkait dengan respons ekologi politik yang terjadi baik di Desa Mekarjaya dan juga Desa Rancapaku. Sebagian masyarakat ada yang merespons keberadaan perusahaan pertambangan berserta dampak yang ditimbulkannya dengan reaksi radikal, namun ada juga yang cenderung kompromistik. Berbagai hal tersebut pada akhirnya menunjukkan bagaimana keberagaman dan dinamika sosial yang juga secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh keberadaan perusahaan tambang pasir.
67
Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek sosial yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung dalam penelitian ini akan dibahas kedalam empat subbab yang juga akan merepresentasikan empat indikator, yaitu: 1. Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan, apakah keberadaannya justru sebagai sumber berbagai masalah dan merebut hak-hak masyarakat, atau malah justru sebaliknya. 2. Tingkat Hubungan Antar Aktor Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap bagaimana kecenderungan hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan perusahaan, serta masyarakat dengan pemerintah. 3. Tingkat Konflik Sosial Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap kedalaman atau bentuk konflik baik antara masyarakat dengan masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan swasta dan pemerintah. 4. Cara Pandang Terhadap Lingkungan Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap lingkungannya pasca kehadiran berbagai aktivitas dan proses penambangan pasir. Secara spesifik, dampak sosial yang terjadi di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel dibawah ini.
Persepsi Terhadap Dampak Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir Pada saat ini, mungkin memang terhitung hanya terdapat satu perusahaan atau industri tambang berskala besar yang aktif di Desa Mekarjaya, namun bagaimanapun juga perusahaan tersebut telah membawa berbagai dampak yang secara langsung maupun tidak langsung juga akan dirasakan masyarakat, bahkan hingga sampai pada masyarakat Desa Rancapaku dimana tidak terdapat industri tambang pasir di desa ini. Indikator ini pada akhirnya melihat persepsi masyarakat terkait kehadiran perusahaan tambang pasir, dan kaitannya dengan hak-hak yang seharusnya masyarakat peroleh baik dalam aspek sosio-ekologis maupun sosio-ekonomi. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap keberadaan perusahaan tambang pasir dapat dilihat pada pada Tabel 9:
68
Tabel 9 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap dampak keberadaan perusahaan tambang pasir Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan Perusahaan Tambang Pasir tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya
43.33
50.00
6.67
70.00
30.00
0.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tidak sesuai dengan janji / kesepakatan awal ketika melakukan perizinan
56.67
36.67
6.67
76.67
23.33
0.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir telah mengabaikan hak atas ekonomi yang seharusnya masyarakat peroleh
6.67
50.00
43.33
66.67
33.33
0.00
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir telah mengabaikan hak atas lingkungan yang seharusnya masyarakat peroleh
33.33
60.00
6.67
60.00
40.00
0.00
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir merupakan penyebab terjadinya perselisihan di masyarakat
26.67
50.00
23.33
63.33
33.33
3.33
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
69
Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat jika mayoritas jawaban dari masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki perbedaan yang cukup bertolak dalam kaitannya dengan persepsi terhadap keberadaan perusahaan tambang. Hanya terdapat satu pernyataan yang dijawab dengan penilaian yang sama. Terkait dengan masing-masing pernyataan dalam tabel, berikut adalah penjelasannya: 1. Bagi masyarakat Desa Mekarjaya, aktivitas pertambangan pasir memang menghadirkan suatu kondisi yang baru. Dimana sebagaian masyarakat menganggap keberadaannya membawa dampak positif, dan ada juga yang negatif. Namun mayoritas responden atau sebesar 50.00 persen dari Desa Mekarjaya menjawab netral pernyataan yang menyatakan bahwa keberadaan peusahaan tambang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya. Namun ternyata, sebanyak 43.33 persen mayarakat Desa Mekarjaya juga menjawab setuju pernyataan tersebut, bagi sebagian responden ini diakibatkan karena perusahaan tambang cenderung hanya mementingkan kepentingan bisnis, apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan seperti, program-program lingkungan ataupun pemberdayaan masyarakat lokal tidak pernah ada yang terealisasi. Sedangkan bagi masyarakat Desa Rancapaku, sebesar 70.00 persen responden menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Desa Rancapaku tersebut menganggap mereka tidak pernah ikut dilibatkan dalam bantuan atau bentuk apapun oleh pihak perusahaan tambang pasir, padahal mereka juga harus merasakan dan menanggung dampak-dampak negatif yang diakibatkan aktivitas pertambangan. 2. Dalam proses perizinan aktivitas pertambangan, biasanya akan didahului oleh pembuatan AMDAL ataupun UKL-UPL. Menurut pihak pemerintah Desa, memang AMDAL telah dibuat oleh seluruh pihak perusahaan tambang yang akan melakukan aktivitasnya di Desa Mekarjaya. Dokumen tersebut menurut pihak pemerintah Desa juga berisi tentang kesepakatan dan persetujuan masyarakat terkait dengan aktivitas pertambangan. Namun, hal tersebut bertolak dengan apa yang sebanyak 56.67 persen responden dari Desa Mekarjaya katakan, mereka justru menganggap dokumen tersebut hanya sebagai “penghias” dan isinya justru dengan mudah diabaikan oleh pemerintah maupun pihak perusahaan tambang, bahkan untuk hal yang paling dasar seperti air saja, mereka harus mengalami kesulitan karena pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir. Tidak berbeda jauh, mayoritas responden di Desa Rancapaku juga menjawab setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir tidak sesuai dengan janji atau kesepakatan awal ketika melakukan perizinan. Sebanyak 76.67 persen responden yang menjawab ini, juga menyebutkan air merupakan poin penting yang ditutuntut masyarakat untuk menjadi fokus perhatian perusahaan perusahaan tambang sejak dahulu, namun tetap saja kehadiran perusahaan tambang masih membuat mereka kesulitan dalam memperoleh air bersih yang seharusnya menjadi hak mutlak mereka.
70
3. Dalam kaitannya dengan hak atas ekonomi, mayoritas responden di Desa Mekarjaya menjawab pernyataan tersebut dengan jawaban netral sebesar 50.00 persen. Hal ini diantaranya dikarenakan karena walaupun tidak terdapat program atau perhatian khusus terkait aspek ekonomi, aktivitas pertambangan pasir dapat membuka peluangpeluang kerja baru seperti warung kelontong atau warung makan, yang juga turut meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun bagi 66.67 persen masyarakat dari Desa Rancapaku, menyatakan bahwa aktivitas pertambangan pasir lebih negatif terkait hak atas ekonomi yang seharusnya mereka peroleh, diantaranya karena perusahaan pertambangan tidak membuka peluang kerja ataupun memberi bantuan ekonomi (kompensasi) yang berarti. 4. Aktivitas pertambangan memang secara jelas harus memperhatikan hak masyarakat atas lingkungan, seperti halnya yang tertera dalam dokumen AMDAL ataupun UKL-UPL. Namun bagi sebesar 60.00 persen responden di Desa Mekarjaya, mereka memilih menjawab pernyataan tersebut dengan jawaban netral, karena menurut mereka kerusakan lingkungan yang ada pada saat ini bukan tanggung jawab perusahaan tambang sepenuhnya, namun juga harus diingat tentang faktor alam. Kecuali seperti kerusakan jalan dan banyaknya debu, menurut mereka itu memang murni disebabkan oleh pertambangan pasir. Namun berbeda dengan mayoritas responden di Desa Rancapaku, sebanyak 60.00 persen responden menjawab pernyataan tersebut dengan pilihan setuju. Hal ini diantaranya karena lingkungan yang menjadi tercemar pada saat ini memang berkaitan langsung dengan aktivitas pertambangan pasir, bahkan salah seorang responden ada yang mengatakan ketika dahulu sempat selama hampir tiga hari pertambangan pasir yang berada di Desa Mekarjaya berhenti beroperasi, dan aliran sungai Cikunir yang melewati sebagian besar kampung di Desa Rancapaku menurutnya telah menjadi lebih jernih. 5. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam masyarakat sendiri terdapat pihak-pihak yang mendukung keberadaan pertambangan pasir dan pihak yang menolak keberadaan pertambangan pasir. Dua hal yang berbeda tersebut bukan tidak mungkin dapat menimbulkan perselisihan diantara masyarakat sendiri, atau dapat dikatakan juga sebagai konflik horizontal. Namun sebanyak 50.00 persen responden dari Desa Mekarjaya menjawab netral dengan pernyataan tersebut, sedangkan 63.33 persen masyarakat dari Desa Rancapaku menjawab setuju, hal ini menurut masyarakat dikarenakan memang pernah sampai ada konflik yang terjadi diantara masyarakat Desa sendiri, walaupun masih berada pada tataran laten. Berdasarkan penjelasan di atas, memang dapat diketahui jika masyarakat Desa Mekarjaya lebih bersifat netral dan cenderung sulit dalam menentukan sikap positif atau negatif terhadap keberadaan perusahaan tambang. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya seperti yang juga disebutkan oleh ASD (50 tahun):
71
“Masyarakat disini memang bingung, mau dibilang merasa rugi ya rugi, untung ya untung (dengan keberadaan perusahaan tambang). Terlebih disini kalau ada pembangunan masjid, sampai kemarin itu kantor desa juga dapat sumbangan dari perusahaan tambang. Pokoknya kalau untuk pembangunan atau sosial, perusahaan tambang pasti ngasih, jadi mau bagimana juga jadi untung ke masyarakat.” Memang apa yang disebutkan oleh bapak ASD dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa mayoritas responden Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan jawaban netral. Belum lagi, hal ini juga nantinya akan berkaitan juga dengan dampak-dampak positif terhadap ekonomi masyarakat Desa Mekarjaya. Namun hal berbeda terdapat pada mayoritas jawaban masyarakat di Desa Rancapaku. Hampir keseluruhan responden di Desa ini menjawab dengan respons negatif terkait keberadaan perusahaan tambang pasir. Walaupun sama seperti di Desa Mekarjaya, perusahaan tambang pasir kerap memberikan bantuan berupa material pasir jika masyarakat Desa Rancapaku membutuhkannya untuk kepentingan sosial. Namun seperti yang disebutkan oleh JJG (54 tahun), yang juga merupakan warga dari Desa Rancapaku: “Mau bagaimana juga perusahaan tambang melakukan “perusakan” lebih parah. Disini sungai kotor, air bersih jadi sulit, mau keluar desa juga jalanan rusak (ke arah Desa Mekarjaya), kan seperti itu mah tidak akan bisa “dibayar” pakai pasir saja. Mau dibayar pakai pasir berapa truk juga tetap saja, yang jadi masalah kan lingkungannya ini yang sudah mereka rusak. Harusnya kalau memang mau memperhatikan masyarakat ya coba bantulah warga dengan air bersih, bantulah warga dengan program-program tani, benih atau pupuk. Kalau sebatas seperti ini (memberi pasir) sebetulnya tidak lebih dari cara mereka (pihak perusahaan tambang) “cari muka”, tetapi dibaliknya tetep saja merusak.” Memang menurut sebagian besar responden dari Desa Rancapaku, permasalah lingkungan khususnya air merupakan salah satu hal yang tidak dapat dibayar dengan materi apapun. Terlebih, air sungai Cikunir yang sejak dahulu masyarakat manfaatkan untuk berbagai kebutuhan masyarakat sudah semakin mengalami penyusutan akibat dari aktivitas pertambangan pasir. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika pernyataan terkait keberadaan perusahaan tambang yang berada di Desa Mekarjaya dijawab oleh mayoritas masyarakat di Desa Rancapaku secara negatif, sedangkan sebagian besar masyarakat di Desa Mekarjaya menjawab dengan netral. Walaupun sebenarnya di kawasan Desa Rancapaku sama sekali tidak terdapat perusahaan tambang, namun dampak negatif yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir secara esensial berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada akhirnya menyebabkan masyarakat merasa perusahaan tambang benar-benar merebut hak-hak mereka,
72
khususnya terkait dengan air bersih yang kualitasnya semakin terdegradasi pasca kehadiran perusahaan tambang. Sedangkan untuk Desa Mekarjaya, keberadaan perusahaan tambang justru dianggap sebagian warga memberikan keuntungan ekonomi baik langsung maupun tidak langsung, hal ini juga yang akhirnya menimbulkan dilema dan masyarakat cenderung netral pada pernyataan tersebut.
Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor Masyarakat, pemerintah dan swasta merupakan tiga aktor yang akan selalu berhubungan apalagi jika kaitannya dengan pemanfaatan suatu sumber daya alam. Pihak pemerintah merupakan pihak yang memiliki otoritas dan juga penentu legalitas atas izin aktivitas ataupun lahan yang dimanfaatkan oleh pihak swasta. Namun tidak jarang atas otoritas besar yang dimilikinya tersebut justru memunculkan adanya celah penyimpangan yang kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pihak pemerintah maupun pihak swasta dalam melanggengkan kepentingan ataupun ego elite tertentu. Demikian halnya dengan aktivitas pertambangan pasir yang terdapat di Desa Mekarjaya, pihak swasta yang dimaksudkan disini adalah CV AS, yang merupakan salah satu industri pertambangan skala besar yang kurang lebih selama delapan tahun telah melakukan aktivitas pertambangan di desa ini. Sedangkan pihak pemerintah yang dimaksud adalah pihak aparatur tingkat Desa dan Kecamatan, baik di Desa Mekarjaya maupun di Desa Rancapaku. Menurut masyarakat, baik pemerintah ataupun swasta terkadang berada pada pihak yang sama dan terkesan “mengabaikan” atau memposisikan masyarakat sebagai subjek yang tidak memiliki peran penting dalam pengambilan suatu keputusan. Padahal sesuai dengan amanat konstitusi, masyarakat justru merupakan pihak yang seharusnya paling diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan, terlebih terhadap sesuatu hal yang nantinya akan berpengaruh secara nyata terhadap kondisi lingkungan dan hidup masyarkat banyak. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap hubungan antar aktor pada Tabel 10:
73
Tabel 10 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap hubungan antar aktor Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak suka antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir
40.00
36.67
23.33
76.67
23.33
0.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak percaya antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir
26.67
43.33
30.00
73.33
26.67
0.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa saling curiga antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir
60.00
30.00
10.00
66.67
33.33
0.00
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan renggangnya hubungan antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir
13.33
56.67
30.00
60.00
33.33
6.67
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir
10.00
36.67
53.33
50.00
46.67
3.33
100.00
100.00
6
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak suka antara masyarakat dengan pihak pemerintah
10.00
60.00
30.00
3.33
43.33
53.33
100.00
100.00
7
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak percaya antara masyarakat dengan pihak pemerintah
33.33
43.33
23.33
0.00
46.67
53.33
100.00
100.00
8
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa saling curiga antara masyarakat dengan pihak pemerintah
63.33
23.33
13.33
6.67
60.00
33.33
100.00
100.00
9
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan renggangnya hubungan antara masyarakat dengan pihak pemerintah
13.33
56.67
30.00
10.00
43.33
46.67
100.00
100.00
10
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak pemerintah
3.33
40.00
56.67
0.00
40.00
60.00
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
74
Berdasarkan data dari Tabel 10 dapat terlihat jika antara responden dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku memiliki respons yang cukup berbeda. Seperti pada kolom pernyataan nomor satu sampai dengan lima dimana berisi pernyataan persepsi terhadap pihak swasta atau perusahaan tambang, dan kolom nomor enam sampai dengan sepuluh dimana berisi pernyataan persepsi terhadap pihak pemerintah. Berikut adalah penjelasannya: 1. Dari sebanyak sepuluh pernyataan yang menyatakan tentang persepsi terhadap pihak swasta dan juga pemerintah, responden dari Desa Mekarjaya memiliki variasi jawaban yang beragam, dari setuju, netral hingga tidak setuju. Jawaban mayoritas setuju muncul pada pernyataan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat tidak suka dengan keberadaan tambang pasir (40.00 persen), dan juga pada pernyataan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi curiga dengan pihak pertambangan (60.00 persen). Hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas responden merasa sebenarnya ada yang tidak beres dengan aktivitas pertambangan pasir di Desa Mekarjaya, bahkan ada salah seorang responden yang menyebutkan jika sebenarnya adanya “kongkalikong” antara pihak perusahaan pertambangan dengan pihak pemerintah. Itu juga didukung dengan mayoritas responden dari Desa Mekarjaya yang menjawab setuju dengan pernyataan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan rasa saling curiga antara pihak masyarakat dengan pihak pemerintah (63.33 persen). Namun walaupun demikian, mayoritas responden menjawab tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak swasta ataaupun pihak pemerintah. 2. Berbeda dengan mayoritas responden dari Desa Mekarjaya, untuk persepsi terhadap swasta atau pihak perusahaan tambang mayoritas responden dari Desa Rancapaku memiliki jawaban yang seragam, yakni setuju. Hal ini memang seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa mayoritas masyarakat Rancapaku tidak memiliki kedekatan atau kepentingan khusus dengan pihak perusahaan tambang, sehingga pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat tidak suka dengan keberadaan perusahaan tambang dijawab oleh responden sebanyak 76.67 persen. Namun walaupun demikian, masyarakat Desa Rancapaku merasa pihak pemerintah lebih mendukung dan turut memperhatikan keluhan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan dampak pertambangan pasir. Terkait dengan hasil dari Tabel 10, seorang informan yakni bapak SND (50 tahun) yang merupakan warga asli Desa Mekarjaya menyebutkan tentang alasan kuat mengapa mayoritas responden memiliki memiliki rasa curiga cukup tinggi dengan pihak pemerintah:
75
“Orang-orang disana (kantor desa) saya kenal dan pada baikbaik, cuma ya mungkin ini kan namanya “uang berkuasa”. Seperti waktu bikin perizinan tambang, atau perpanjang usaha tambang itu sering ktia dengan ada tanda tangan palsu, jadi dianggapnya masyarakat setuju padahal sama sekali tidak pernah. Saya sebetulnya kurang tahu karena itu urusan “pejabat”, tapi bisa dinilai sendiri seperti apa keadaan sebenarnya. Itu juga Alfamart baru yang dijalan utama, kan sekarang ditutup. Kenapa? Ya kasusnya sama, tanda tangan persetujuan warga ada padahal tidak ada warga yang sebenarnya menandatangani.” Berbeda dengan mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya, seperti yang terlihat di Tabel 10 jika mayoritas responden masyarakat Rancapaku memiliki jawaban yang positif terhadap persepsi dan hubungan dengan pihak pemerintah. Seperti yang juga disebutkan oleh JJG (54 tahun): “Pemerintah sebetulnya mendukung masyarakat. Kita beberapa kali demo tentang tambang pihak pemerintah juga sampai ikut mendukung. Jadi kalau ada apa-apa masyarakat juga jadi enak melapor ke mereka (pemerintah). Sampai waktu itu juga pernah orang desa (pemerintah) yang bantu melaporkan soal tambang itu ke pihak kecamatan. Jadi masyarkat juga nyaman untuk menyampaikan keluh kesahnya.” Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika masyarakat Desa Mekarjaya memang sebagian besar masyarakatnya berada pada posisi dilematis, dimana cenderung netral dengan variasi jawaban lainnya berada pada jawaban setuju dan tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan hubungan atau relasi masyarakat dengan pihak swasta dan juga pemerintah. Sedangkan respons berbeda ditunjukkan oleh responden Desa Rancapaku, tidak hanya sebatas curiga dan tidak percaya terhadap perusahaan tambang, sebagian besar responden menyatakan bahkan sampai mulai muncul perasaan benci. Namun walaupun demikian responden dari Desa Rancapaku memiliki kecenderungan respons yang cukup positif terhadap pihak pemerintah, hanya saja muncul perasaan curiga khususnya hal yang berkenaan dengan adanya kompensasi atau uang yang diberikan perusahaan tambang.
Persepsi Terhadap Konflik Sosial Konflik pada umumnya dapat terjadi ketika adanya dua atau lebih perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok yang saling bertemu. Dalam kasus pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya baik pihak pemerintah, swasta ataupun masyarakat memiliki cara pandang dan kepentingan yang berbeda terhadap objek sumber daya alam yang ada. Hal tersebut tentunya dapat memicu
76
gesekan-gesekan sosial yang dapat berujung pada konflik. Konflik sendiri memiliki variasi bentuk hingga tensinya senidri. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap konflik sosial pada Tabel 11. Tabel 11 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap konflik sosial Presentase (%) Total (%) No.
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat teguran dari pihak tertentu
3.33
16.67
80.00
16.67
70.00
13.33
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat terror dari pihak tertentu
0.00
23.33
76.67
6.67
63.33
30.00
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat ancaman dari pihak tertentu
3.33
16.67
80.00
26.67
50.00
23.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat melakukan aksi demonstrasi secara halus (pemogokan, long march, dll)
20.00
56.67
23.33
63.33
36.67
0.00
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat melakukan demonstrasi secara radikal (kekerasan, perusakan, dll)
0.00
46.67
53.33
33.33
50.00
16.67
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan data dari Tabel 11 maka dapat dilihat jika kembali terdapat perbedaan antara jawaban mayoritas responden dari Desa
77
Mekarjaya dan mayoritas dari Desa Rancapaku. Berikut penjelasan dari data Tabel 11: 1. Mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan adanya teguran, terror ataupun ancaman terhadap masyarakat yang diakibatkan oleh aktivias pertambangan pasir. Persentase sebesar 76.00 sampai 80.00 persen mendominasi jawaban responden dengan pilihan tidak setuju. Hal ini dikarenan menurut sebagian besar responden baik pihak tambang, pemerintah maupun masyarakat memang enggan dan tidak pernah mau untuk menempuh jalur represif dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Bahkan walaupun pernah terjadi beberapa kali aksi demo di Kecamatan Padakembang, mungkin secara umum dapat dikatakan hanya sedikit masyarakat dari Desa Mekarjaya yang ikut dalam aksi demonstrasi tersebut. Beberapa masyarakat Desa Mekarjaya khususnya yang tinggal di daerah dekat aliran sungai Cikunir memiliki caranya sendiri dalam melakukan “demonstrasi”, bukan dengan long march, ataupun aksi kekerasan. Terbukti berdasarkan data dari Tabel 11 bahwa sebanyak 53.33 persen responden Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan akibat aktivitas pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi secara radikal atau melalui jalur kekerasan. Walaupun demikian, sebesar 56.67 persen responden menyatakan setuju dengan pernyataan yang menyatakan akibat aktivitas pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi secara halus. 2. Berdasarkan Tabel 11 mayoritas masyarakat Desa Rancapaku memilih netral dengan pernyataan yang menyebutkan adanya teguran, terror ataupun ancaman terhadap masyarakat yang diakibatkan oleh aktivias pertambangan pasir. Terkait dengan alasan memilih jawaban netral, beberapa responden beranggapan jika di Desa Rancapaku sendiri terdapat “orang tambang” yang kerap mengawasi aksi masyarakat, terlebih ketika akan melakukan demonstrasi. Walaupun sebetulnya yang dimaksud oleh masyarakat lebih mengarah pada hambatan, dan bukan ancaman secara langsung, masyarakat tetap merasa hal tersebut sebagai tekanan tersendiri yang mempengaruhi aksi masyarakat. Dan terkait dengan aksi masyarakat, sebanyak 63.33 persen responden setuju dengan pernyataan yang menyatakan akibat aktivitas pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi secara halus. Serta sebesar 50.00 persen responden netral dengan pernyataan akibat aktivitas pertambangan pasir, masyarakat melakukan demonstrasi secara radikal atau melalui jalur kekerasan. Aksi demontrasi yang terjadi di Kecamatan Padakembang memang telah beberapa kali terjadi. Demonstrasi yang diikuti oleh hanya beberada desa dari Kecamatan Padakembang ini setidaknya dalam satu tahun terakhir ini telah dilakukan kurang lebih empat sampai sepuluh kali. Namun hasilnya masih saja nihil, walaupun sempat ada surat kesepakatan yang
78
ditandatangani oleh pihak masyarakat dan swasta (Lampiran 5), namun sepertinya hal tersebut sama sekali belum memberikan keadilan seperti yang masyarakat dambakan. Seperti yang disebutkan oleh ibu LSR (47 tahun) yang merupakan warga Desa Mekarjaya: “Kalau dari jaman dulu demo mungkin sudah ada puluhan kali. Bahkan dulu bukan cuma warga sini yang ikut berdemo. Tahun 2010 – 2011 banyak juga orang luar yang kesini untuk tanyatanya tentang tambang, seperti wartawan. Tapi akhrinya samasama saja, sampai sekarang juga tetap saja perusahaan tambang beroprasi. Malah sepertinya semakin “menjadi”.” Memang seperti yang disebutkan oleh ibu LSR, sebetulnya aksi demonstrasi telah cukup banyak dilakukan. Seperti yang pada tahun 2011 lalu, masyarakat yang tergabung dengan Masyarakat Galunggung Menggugat (MGM) menuntut adanya moratorium penambangan pasir galunggung. Bahkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat ini sudah beberapa kali disorot media. Bahkan sempat sampai ada dukungan dari Asosiasi Pengusaha Tambang (APT) Tasikmalaya yang juga menuntut adanya pertimbangan lebih lanjut tentang kegiatan penambangan pasir di Gunung Galunggung. Walaupun demikian, menurut masyarakat, perusahaan tambang tidak pernah sampai ada yang berhenti beroperasi. Bahkan paling lama hanya berhenti selama dua atau tiga hari setelah mendapat teguran, namun selanjutnya kembali beroperasi tanpa adanya perbaikan sistem operasional. Penjelasan di atas mungkin dapat menjadi salah satu faktor alasan mengapa masyarakat Desa Mekarjaya menjadi lebih apatis terhadap aksiaksi demonstrasi. Karena menurut sebagian masyarakat, aksi demonstrasi yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap kondisi penghidupan mereka, apalagi hingga menutup perusahaan tambang yang ada di desa mereka. Selain itu, cara pandang kompromistik ini juga dikarenakan adanya ketergantunggan ekonomi ataupun kedekatan relasional antara masyarakat dengan pihak pertambangan pasir. Baik secara langsung maupun tidak langsung keberadaan perusahaan pertambangan membawa perubahan sosial yang secara nyata dirasakan masyarakat, dari terbukanya peluang kerja atau meningkatnya aktivitas ekonomi desa. Berbeda dengan kondisi atau respons dari masyarakat Desa Rancapaku yang tidak memiliki ketergantungan ekonomi atau kedekatan sosial dengan perusahaan pertambangan, sehingga respons radikal cenderung menonjol dari masyarakat desa ini, karena munculnya paradigma “nothing to lose” sehingga representasi tindakan mereka lebih bebas dan tidak terikat oleh nilai-nilai tertentu. Walaupun demikian, pernyataan tersebut tidak berlaku untuk seluruh masyarakat Desa Mekarjaya. Karena sampai pada saat ini masih cukup banyak masyarakat Desa Mekarjaya yang melakukan perjuangannya dengan caranya masing-masing. Sepert YYT (52 tahun) yang merupakan masyarakat Desa Mekarjaya yang juga aktif di kelompok pembenihan Ikan Mekar Saluyu. Berikut pemaparan tentang bapak YYT dalam boks kasus.
79
Boks 3. Kisah Kehidupan kasus Bapak YYT (52 Tahun) Bapak YYT merupakan seorang warga Desa Mekarjaya yang berprofesi sebagai peternak ikan. Sebagai seseorang yang menggantungkan hidupnya pada hasil penjualan ikan, tentu pencemaran air yang diakibatkan oleh limbah pertambangan akan sangat mempengaruhi mata pencahariannya. Namun sebagai respons atas hal tersebut, bapak YYT memiliki caranya sendiri. Ditengah gegap gempita demonstrasi dan penolakan oleh masyarakat secara berbondong-bondong, bapak YYT lebih memilih “berdemo” dengan caranya sendiri. Beliau mendokumentasikan berbagai dampak yang diakibatkan pertambangan pasir dengan kamera telepon genggamnya. Dari air sungai yang keruh, hingga ikan-ikan mati yang berasal dari kolam berukuran 1.5 x 3 meter miliknya. Namun dari situ, beliau mulai dianggap sebagai “aktivis” yang turut memperjuangkan hak-hak masyarakat. Sampai pada akhirnya beliau juga dipanggil untuk berdiskusi langsung dengan pihak pemerintah hingga perwakilan tambang. Pada saat ini mungkin kita masih dapat melihat tulisannya yang terpampang jelas di pinggir jalan utama Desa Mekarjaya, tulisan itu berbunyi “PEMERINTAH JANGAN PURA-PURA TIDAK TAHU TENTANG PENCEMARAN LIMBAH, KARENA KAMI SUDAH BERI TAHU!”. Emosi tulisan tersebut juga benar-benar tergambarkan ketika penulis sempat berdiskusi dengan beliau, “Air ini nafkah saya, untuk keluarga saya. Dan saya rela mati demi itu”. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika pada dasarnya konflik lebih cenderung lebih dalam pada masyarakat di Desa Rancapaku. Mereka cenderung melakukan protes secara bersama-sama yang tidak jarang mengarah pada tindakan-tindakan anarkis, seperti melempari batu alat-alat berat pihak tambang, truk pengangkut pasir dan lain sebagainya. Bahkan dahulu sempat ada kejadian dimana masyarakat Desa Rancapaku dan kampung-kampung di sekitarnya melakukan perlawanan dan penolakan terhadap keberadaan truk pasir dengan menanam pisang di jalur yang menjadi lalu lalang truk tersebut. Sedangkan untuk Desa Mekarjaya, mayoritas masyarakatnya cenderung lebih menghindari aksiaksi protes seperti yang terdapat di Desa Rancapaku. Namun walaupun demikian, sebagian masyarakatnya tetap ada yang melakukan aksi-aksi perlawanan dan penolakan terkait keberdaan perusahaan pertambangan dengan memanfaatkan sarana ruang publik (Lampiran 6), spanduk protes dan cara yang lebih non-represif lainnya.
Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan Kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud jika manusia yang berada didalamnya juga turut serta menjaganya. Namun faktanya, kondisi yang menyimpang semakin banyak ditemui, tidak jarang
80
justru manusia yang menjadi salah satu penyebab utama kerusakan tersebut. Terlebih dengan dalih “sudah faktor alam”, banyak manusia yang semakin acuh terhadap kelestarian lingkungan. Cara pandang individu terhadap lingkungannya memang beragam, dan banyak faktor juga yang mempengaruhinya, dari pengetahuan, pola atau kebiasaan hingga kelembagaan. Namun pada dasarnya cara pandang tersebut lebih dikonstruksikan secara abstrak dan subjektif. Demikian halnya dengan masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, dampak dari aktivitas pertambangan pasir tidak hanya telah menyentuh pada tataran fisik, namun juga jauh bahkan hingga cara pandang masyarakat terhadap lingkungannya. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap cara pandang lingkungan dapat dilihat pada pada Tabel 12. Tabel 12 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapak terhadap cara pandang lingkungan Presentase (%) Total (%) No.
MKJ
Pernyataan
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan
23.33
53.33
23.33
56.67
43.33
0.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk melakukan kerja bakti
10.00
60.00
30.00
10.00
56.67
33.33
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk membersihkan lingkungan sekitar rumah
40.00
43.33
16.67
36.67
46.67
16.67
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari sungai, kolam, dsj.
6.67
23.33
70.00
40.00
36.67
23.33
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa membuang sampah sembarangan
3.33
20.00
76.67
13.33
30.00
56.67
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
81
Berikut adalah penjelasan dari hasil data di Tabel 12: 1. Masyarakat Desa Mekarjaya cenderung memilih posisi netral (dengan persentase sebesar 43.00–60.00 persen) dalam kaitannya dengan pernyataan dampak aktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan dan enggan untuk melakukan kerja bakti dan bersih-bersih rumah. Responden yang menjawab ini secara garis besar mengatakan bahwa pasca maraknya aktivitas pertambangan pasir di Desa, banyak rumah-rumah khususnya yang berada di daerah pinggir jalan kesulitan untuk membersihkan rumahnya dari debu-debu yang bertumpuk, sehingga pada akhirnya lebih memilih untuk mendiamkannya. Selain itu, pola atau kebiasaan masyarakat untuk melakukan kerja baki memang semakin memudar pasca masuknya modernisasi di Desa ini, bahkan menurut salah seorang responden, kerja bakti di Desa Mekarjaya hanya dilakukan hanya ketika ada acara seremonial atau menyambut hari kemerdekaan ataupun pejabat yang akan datang. Namun walaupun demikian, sebanyak 70.00 76.00 persen responden dari Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari atau membuang sampah sembarangan. 2. Respons yang berbeda dapat ditemui di mayoritas responden dari Desa Rancapaku. Terlihat dari sebesar 56.67 persen responden setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan. Pernyataan setuju sebesar 40.00 persen juga terdapat pada pernyataan lainnya, yakni aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari sungai ataupun kolam. Hal tersebut menurut sebagian responden adalah wajar, karena pasca sungai Cikunir tercemar oleh limbah pertambangan, masyarakat jadi sama sekali tidak dapat memanfaatkan air tersebut. Bahkan hingga ke air selokan di tingkat Desa pun sudah tercemar oleh air-air limbah, sehingga bagi masyarakat, tidak akan ada pengaruhnya jika mereka juga turut mencemari air tersebut. Namun untuk pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa membuang sampah sembarangan, mayoritas responden menjawabnya dengan tidak setuju sebesar 56.67 persen. Baik masyarakat di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku telah mengalami cara pandang lingkungan yang berbeda dalam kaitannya dengan keberadaan peruahaan pertambangan pasir. Namun walaupun demikian, terkait dengan upaya mengelola sampah atau limbah rumah tangga di kedua Desa ini masih sangatlah minin. Baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku hampir seluruh dusun atau kampungnya sama sekali tidak memiliki tempat sampah yang dikelola baik oleh pemerintah maupun secara kolektif. Masyarakat kedua Desa ini masih menggunakan cara konvensional, yakni dengan membakar sampah-sampah rumah tangganya. Bagi mereka
82
hal tersebut tidaklah salah, selain itu, sebagian besar responden juga memiliki kecenderungan membalikkan pernyataan tersebut dengan membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Seperti halnya yang disebutkan oleh OTR (46 Tahun): “Kalau sampah plastik, kertas, atau daun itu dibakar. Tapi kalau ada sisa makanan. nasi, lauk pauk itu kita lempar ke “balong” (kolam perorangan milik warga). Disini memang kebanyakan seperti itu, orang yang ngelola sampahnya juga tidak ada, ya jadi dikelola masing-masing. Tapi itu saja perusahaan tambang juga buang limbahnya sembarangan. Limbahnya juga lebih kotor, seharusnya itu yang lebih dulu diatur oleh pemerintah.” Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika pada dasarnya keberadaan perusahaan tambang mempengaruhi juga cara pandang masyarakatnya terhadap lingkungan. Khususnya untuk masyarakat Desa Rancapaku, apatisme masyarakat terhadap sungai Cikunir juga secara jelas ditunjukkan dengan banyaknya masyarakat yang membuang sampah di aliran sungai ini. Karena menurut mereka sungai yang pada awalnya sangat jernih dan deras ini memang sudah rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi pasca kehadiran perusahaan tambang. Sedangkan itu untuk Desa Mekarjaya, khususnya untuk yang bertempat tinggal di sekitar jalan utama yang juga dilewati truk pembawa material pasir, rasa ketidakpedulian juga setidaknya terdapat di sebagian warga, pasalnya truk yang hampir 24 jam berlalu lalang ini juga menibulkan debu-debu yang sangat tebal yang mengotori teras atau pekarangan rumah warga.
Dampak Ekonomi Keberadaan industri skala sedang atau besar di Desa tentunya akan dapat berpengaruh kuat terhadap aktivitas ekonomi Desa secara umum. Selain diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, keberadaan industri tersebut juga dianggap mampu memberikan dampak positif terhadap industri-industri kecil yang berada di lingkungan sekitarnya, seperti dengan adanya program kemitraan, program pemberdayaan, dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya hal tersebut juga kembali pada pihak industri itu sendiri, dan tentunya peran serta pemerintah yang harus lebih dominan dan berpihak kepada masyarakat. Secara garis besar, keberadaan aktivitas pertambangan pasir di Desa Mekarjaya juga dianggap sebagian masyarakatnya membawa dampak positif. Namun terdapat juga beberapa pihak yang justru merasa keberadaan perusahaan tambang tersebut tidak berarti apa-apa, bahkan justru dianggap sebagai penghambat aktivitas ekonomi Desa. Terlebih untuk sebagian besar masyarakat dari Desa Rancapaku, dimana pandangan mereka terhadap keberadaan perusahaan pertambangan lebih berkecenderungan negatif. Maka dari itu, berdasarkan penjabaran tersebut permasalahan aspek ekonomi yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir di kawasan
83
Gunung Galunggung akan dibahas kedalam empat sub-bab yang juga akan merepresentasikan empat indikator, yaitu: 1. Tingkat Pendapatan Indikator ini akan melihat ukuran besaran pendapatan yang didapat oleh masyarakat baik dari sektor pertanian maupun sektor nonpertanian. 2. Tingkat Kesempatan Bekerja Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap bagaimana peluang yang diperoleh masyarakat dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan baik yang berkaitan langsung dengan pertambangan ataupun tidak. 3. Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa Indikator ini akan melihat persepsi masyarakat terhadap interaksi dalam kegiatan ekonomi dan/atau jumlah aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi di Desa. Secara spesifik, dampak ekonomi yang terjadi di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada pembahasan dan tabel-tabel dibawah ini.
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan pada dasarnya merupakan suatu jumlah atau total uang yang diterima oleh responden yang diperoleh baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian. Pendapatan tentunya berkaitan erat dengan profesi atau mata pencaharian masyarakat itu sendiri. Walaupun berdasarkan data pemerintah desa mayoritas mata pencaharian masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku adalah petani. Namun kondisi dilapangan justru menunjukkan kondisi dimana banyak warga yang berprofesi sebagai buruh, khususnya buruh kasar. Selain itu dari sudut pandang lain, keberadaan perusahaan pertambangan juga ternyata menimbulkan perubahan sosial yang berimplikasi terhadap mata pencaharian masyarakat, diantaranya dengan munculnya pola pekerjaan masyarakat yang bekerja merangkap sebagai petani dan buruh tambang, ataupun petani dan supir truk pasir. Menurut masyarakat, transisi pekerjaan masyarakat pada saat ini diantaranya dikarenakan semakin sedikitnya lahan pertanian, selain itu banyaknya sawah milik masyarakat yang diperjualbelikan menyebabkan lahan sawah yang besar dan luas hanya cenderung dimiliki perorangan. Sehingga pada akhirnya mulai banyak warga baik di Desa Rancapaku maupun Desa Mekarjaya yang mau tidak mau beralih profesi menjadi buruh baik di dalam kota maupun luar kota. Berikut adalah grafik rata-rata pendapatan rumah tangga responden dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku:
84
Tingkat Pendapatan Rp18,000,000 Rp16,000,000
Rp15,800,000 Rp14,520,000
Rp14,000,000 Rp10,620,000 Rp10,425,000
Rp12,000,000 Rp10,000,000 Rp8,000,000
Rp7,668,000 Rp7,447,059 Desa Mekarjaya
Rp6,000,000
Desa Rancapaku
Rp4,000,000 Rp2,000,000 RpTinggi
Sedang Kategori
Rendah
Gambar 4 Rata-rata pendapatan rumah tangga responden Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku April 2013 – April 2014 Gambar 4 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat Desa Mekarjaya lebih besar daripada masyarakat di Desa Rancapaku. Dapat terlihat baik pada kategori pendapatan sedang dan juga tinggi masyarakat dari Desa Mekarjaya memiliki jumlah yang lebih besar. Walaupun nilai tersebut secara garis besar bukan merupakan kontribusi langsung dari sektor pertambangan, namun hal tersebut dipengaruhi juga oleh kontribusi secara tidak langsung dari keberadaan perusahaan tambang pasir, diantaranya peluang kerja dan wirausaha masyarakat di Desa Mekarjaya yang lebih besar dari masyarakat di Desa Rancapaku. Namun terdapat juga faktor lainnya, diantaranya adalah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagian besar kampung atau dusun di Desa Rancapaku terlewati oleh aliran sungai Cikunir, demikian halnya dengan sawah milik warga, cukup banyak yang terletak tepat di pinggiran sungai Cikunir. Hal ini tentunya sangat mengancam mata pencaharian masyarakat, terlebih dengan penyusutan ukuran dan pengendapan yang dialami sungai Cikunir, ancaman banjir yang akan langsung merendam sawah masyarakat menjadi salah satu ancaman besar yang juga kerap mempengaruhi hasil produksi dan pendapatan masyarakat. Permasalahan peluang kerja juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan erat dengan tingkat pendapatan, dan untuk di Desa Mekarjaya memang secara kasat mata dapat terlihat jika banyak masyarakat yang berasal dari Desa Mekarjaya yang berjualan makanan atau usaha warung kelontong. Karena memang pada dasarnya kawasan Desa Mekarjaya merupakan salah satu kawasan strategis yang kerap dimanfaatkan oleh para supir-supir truk atau pekerja tambang untuk berisrirahat, selain itu jalan utama Desa yang juga menjadi salah satu jalan alternatif menuju kawasan
85
wisata Gunung Galunggung secara tidak langsung juga membuat banyaknya wisatawan khususnya pada akhir minggu berlalu-lalang melalui jalur ini. Namun hal sebaliknya justru terdapat di Desa Rancapaku, seperti yang disebutkan oleh USR (43 tahun) yang merupakan salah satu penjual warung kelontong di Desa Rancapaku: “Kalau disini (Desa Rancapaku) tergolong sepi jalannya. Coba saja lewat sekitar jam 12.00, pasti jalan sepi, orang yang lalu lalang juga jarang. Beda lah kalau dibandingkan dengan Desa Mekarjaya. Makanya dikit yang buka warung disini, paling hanya ada beberapa. Sisanya ya bertani, kalau bapak-bapaknya apalagi yang masih muda banyak yang jadi buruh ke Jakarta, ada yang kerja juga di tempat wisata, tapi kalau kerja di tambang itu hampir tidak ada disini. Soalnya memang kalah sama „beku‟, jadi tidak terlalu untung, untungnya cuma kecil.” Pernyataan yang dinyatakan oleh ibu USR memang cukup menggambarkan juga bagaimana kondisi mata pencaharian sebagian besar masyarakat di Desa Mekarjaya. Memang pada dasarnya baik masyarakat di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku pada saat ini hampir sudah tidak ada yang menggantungkan secara mutlak penghidupan mereka pada sektor pertambangan. Hanya beberapa orang mungkin yang bertahan di sektor ini, itu pun biasanya hanya orang-orang yang memiliki relasi dan jabatan tertentu di perusahaan. Sedangkan untuk buruh dan supir pengangkut pasir, pekerjaan itu lebih bersifat tidak mengikat dan hanya cenderung “musiman”. Lain halnya ketika dulu, sebelum masuknya era industri di kawasan ini, seorang informan menyatakan masih ada masyarakat yang melakukan penambangan pasir baik secara berkelompok ataupun perorangan, namun seiring dengan masuknya industri tersebut, penambang konvensional ini semakin tersingkir dan bahkan sama sekali tidak ada yang bertahan. Seperti halnya yang disebutkan oleh bapak RRK (56 tahun) yang merupakan warga Desa Rancapaku. “Dulu itu jelas ramai, hampir seluruh warga di kawasan Gunung Galunggung mungkin setidaknya sempat ikut menambang. Tapi sekarang jelas semakin kalah oleh perusahaan, warga sama sekali tidak bisa apa-apa, tidak ada tambahan dari “berkah pasir” lagi. Tapi walaupun begitu masih ada saja yang mengambil pasir kalau hujan, karena kalau hujan, pasir itu cukup banyak yang terbawa arus sampai-sampai menggumpal. Hal ini dimanfaatkan dan dikumpulkan warga, siapa tau bermanfaat.” Memang banyak masyarakat yang beranggapan pada saat ini pasir tidak lagi membawa “berkah” seperti yang mereka rasakan ketika sebelum runtuhnya rezim orde baru. Bahkan masyarakat juga mengatakan pada saat ini keuntungan hanya diperoleh oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kekuatan jaringan serta kekuasaan, dan bukan berada pada masyarakat
86
sekitar ataupun buruh pertambangan. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada Gambar 6. Harga Pasaran ± Rp. 30.000/kubik
Penggali Pasir
Harga Pasaran ± Rp. 30.000/kubik
Tauke Pasir
Harga Pasaran ± Rp. 60.000/kubik
Toko Bangunan / Pasir Harga Pasaran ± Rp. 230.000/kubik
Konsumen
Harga Pasaran
± Rp. 80.000/kubik
Gambar 5 Rantai penjualan pasir Galunggung Berdasarkan Gambar 5, setidaknya memang dapat terlihat jika penggali pasir yang langsung menjualnya ke toko bangunan atau tauke7 hanya mendapat keuntungan yang tergolong rendah. Harga pasir yang berada di tangan pihak tauke setidaknya menjadi belipat dua kali lipat dari harga yang dijual oleh penggali tambang. Demikian halnya ketika tauke melakukan penjualan langsung ke konsumen, harga jual menjadi kembali bertambah menjadi sekitar Rp. 80.000 per-kubik. Harga yang ditawarkan tersebut setidaknya memiliki selisih harga sekitar Rp. 50.000 per-kubik dengan harga yang ditawarkan oleh penggali pasir. Namun perbedaan yang paling terlihat adalah ketika pasir Galunggung telah dijual oleh pihak toko bangunan. Setidaknya terdapat selisih harga sebesar kurang lebih Rp. 200.000 per-kubik antara harga jual penggali pasir dan harga jual toko bangunan. Angka yang cukup jauh berbeda ini, telah mengindikasikan adanya ketidakadilan ekonomi yang terjadi antara pihak-pihak yang samasama memanfaatkan objek material pasir Galunggung. Padahal secara logika, para pekerja dan penggali pasir tersebut harus lebih banyak menguras waktu dan tenaga. Namun insentif dan keuntungan yang diperoleh oleh para pekerja seolah sangat tidak adil dan justru menguntungkan pihak pemodal saja. Hal tersebut memang pada akhirnya menjadi salah satu faktor menagapa banyak masyarakat yang enggan untuk bekerja di sektor pertambangan. Konstruksi sistem kapitalisme yang 7
Tauke merujuk pada istilah pihak perusahaan atau kepala kerja suatu perusahaan pertambangan.
87
dipraktikan oleh pihak swasta secara nyata hanya akan semakin memunculkan kesenjangan antara pihak pekerja dan pemodal. Pihak pekerja (masyarakat) yang mengidamkan kesejahteraan akan selalu terganjal oleh perbedaan cara pandang dan ideologi yang saling bertentangan. Terlebih tidak jarang pihak swasta mendapat dukungan dari oknum pemerintahan yang juga memiliki cara pandang yang lebih berorientasi profit dan cenderung mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan jika pendapatan masyarakat di Desa Mekarjaya memiliki perolehan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Rancapaku. Hal ini diantaranya dikarenakan faktor implikasi dampak ekologis yakni banjir terhadap berkurangnya hasi produksi masyarakat Desa Rancapaku, hingga adanya peluang kerja yang lebih besar untuk bidang wirausaha di Desa Mekarjaya. Sedangkan dalam kaitannya dengan pendapatan dari faktor pertambangan, pada saat ini sangatlah kecil jumlahnya masyarakat baik dari Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku yang melakukan aktivitas penambangan secara konvensional. Selain karena tergerus oleh kehadiran industri, pendapatan yang dihasilkan oleh sektor ini tergolong tidak terlalu besar, sehingga banyak masyarakat yang justru mencari alternatif sumber pendapatan lainnya.
Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja Industri pertambangan memang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi. Karena terdapat berbagai proses didalamnya, dari penggalian hingga pengangkutan hasil tambang yang membutuhkan jumlah pekerja yang banyak. Hal tersebut mungkin pada dasarnya dapat dikatakan sebagai salah satu manfaat positif yang diakibatkan oleh keberadaan aktivitas tambang pasir. Dampak negatif yang diakibatkan pertambangan pasir namun lambat laun lebih dirasakan secara esensial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah untuk peluang kerja di sektor tambang tersebut justru lebih di dominasi oleh orang-orang dari luar Desa, atau kehadiran perusahaan tambang yang justru semakin mengancam eksistensi pekerjaan petani ataupun peternak ikan, baik karena adanya konversi lahan ataupun dampak ekologis lain yang ditimbulkan. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kesempatan bekerja dapat dilihat pada pada Tabel 13:
88
Tabel 13 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat kesempatan bekerja Presentase (%) No.
1
2
3
4
5
Pernyataan Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang nonpertanian Aktivitas penambangan pasir menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat Aktivitas penambangan pasir tidak membuka peluang bekerja bagi masyarakat setempat Aktivitas penambangan pasir didominasi oleh pekerja dari luar Desa
MKJ
Total (%)
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
36.67
46.67
16.67
56.67
43.33
0.00
100.00
100.00
10.00
33.33
56.67
53.33
46.67
0.00
100.00
100.00
3.33
66.67
30.00
13.33
60.00
26.67
100.00
100.00
10.00
46.67
43.33
56.67
43.33
0.00
100.00
100.00
26.67
40.00
33.33
80.00
20.00
0.00
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan data dari Tabel 13 maka dapat dilihat kecenderungan responden di Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan netral, sedangkan untuk responden di Desa Rancapaku cenderung menjawab pada pilihan Setuju. Berikut adalah penjelasannya: 1. Pada pernyataan pertama, yakni aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, sebesar 46.67 persen responden di Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan netral. Namun, mayoritas pilihan kedua adalah setuju, dengan persentase sebesar 36.67 persen. Hal tersebut dikarenakan bagi sebagian masyarakat, aktivitas pertambangan pasir
89
tidak secara langsung berakibat pada berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, walaupun memang akibat air bersih yang semakin sulit diperoleh berimplikasi juga terhadap menurunnya hasil produksi mereka, tetapi menurut mereka berkurangnya peluang kerja pertanian pada saat ini lebih disebabkan oleh individu itu sendiri. Karena semakin banyaknya orang yang menjual sawah hingga pekarangan rumah mereka, baik untuk alasan ekonomi ataupun pembangunan. Namun, untuk pernyataan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non-pertanian, sebesar 56.67 persen responden di Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Karena dengan aktivitas pertambangan yang hampir 24 jam terus beroperasi, dianggap dapat membuka peluang baru khususnya bagi masyarakat yang berada di dekat lokasi tambang untuk membuka warung kelontong dan warung makan, bahkan terdapat juga industri batako yang cukup menyerap tenaga kerja dari warga Desa Mekarjaya. 2. Berbeda dengan mayoritas responden di Desa Mekarjaya, sebagian besar responden di Desa Rancapaku atau sebesar 56.67 Setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, dan sebesar 53.33 persen juga setuju dengan pernyataan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non-pertanian. Secara spesifik responden menyebutkan alasannya, diantaranya untuk bidang pertanian jelas disebabkan oleh keruhnya air yang berpengaruh terhadap hasil produksi pertanian, bahkan sampai ada yang pada akhirnya menjual sawah milikinya karena dirasa beberapa tahun belakangan ini pertanian kurang menguntungkan. Terlebih untuk yang memiliki sawah di sekitar sungai Cikunir, pendangkalan sungai yang diakibatkan pertambangan pasir juga telah menyebabkan beberapa kali sawah yang berada di sekitarnya hancur karena terendam luapan sungai. 3. Terkait dengan peluang kerja yang diciptakan oleh aktivitas pertambangan pasir, walaupun mayoritas responden Desa Mekarjaya lebih memilih jawaban netral, namun kecenderungan responden tersebut juga berada pada jawaban tidak setuju. Terbukti dengan persentase tidak setuju sebesar 33.33 – 43.33 persen mendominasi pernyataan yang menyatakan, aktivitas pertambangan pasir menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat, dan juga pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir didominasi oleh pekerja dari luar Desa. Hal tersebut diantaranya dikarenakan memang terdapat beberapa masyarakat Desa Mekarjaya yang bekerja di perusahaan tambang, dimana mayoritas bekerja sebagai supir truk dan buruh tambang harian. Sedangkan untuk Desa Rancapaku, yang terjadi justru sebaliknya, seluruh responden dari Desa Rancapaku mengatakan di Desa Rancapaku sama sekali tidak ada yang bekerja di perusahaan tambang pasir. Walaupun pernah ada beberapa orang yang bekerja di perusahaan tambang, itu lebih
90
dikarenakan sistem kekerabatan, bukan karena memang terbukanya lowongan kerja. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui jika dampak negatif terkait keberadaan perusahaan tambang jauh lebih dirasakan oleh masyarakat di Desa Rancapaku. Berbeda dengan masyarakat di Desa Mekarjaya yang masih dapat merasakan insentif ekonomi yang diakibatkan oleh keberadaan perusahaan pertambangan. Seperti halnya yang juga dikatakan oleh LSR (47 tahun): “Masyarakat di sini memang beberapa ada yang bekerja di perusahaan. Itu seperti pemuda yang di warung dekat rumah, itu beberapa orang selain ngojek juga ada yang menjadi supir truk. Namun mereka bekerja kalau sedang ada proyeknya saja, yang kerjanya tetap atau bosnya tetap saja bukan orang sini (Desa Mekarjaya).” Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada dasarnya masyarakat Desa Mekarjaya memiliki peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan Desa Rancapaku dalam kaitannya dengan kehadiran perusahaan tambang. Hal ini selain d\ikarenakan Desa Rancapaku cukup berada jauh dengan lokasi tambang, jalur Desa Rancapaku yang sama sekali tidak boleh dilalui oleh truk pengangkut material pasir. Padahal untuk di Desa Mekarjaya, beberapa warung makan atau kelontong kerap menjadi salah satu incaran para supir truk pengangkut pasir untuk beristirahat.
Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa Keberadaan perusaahaan pertambangan pasir tentunya selain diharapkan dapat membuka peluang kerja baru, tentunya diharapkan juga bahwa mereka mampu menggerakkan atau meningkatkan aktivitas ekonomi yang terdapat di desa. Baik itu yang diindikasikan dengan meningkatnya transaksi jual beli masyarakat, hingga semakin ramainya warung makan ataupun warung kelontong di desa. Seperti halnya yang disebutkan oleh Bapak CHY (43 tahun) yang dulunya sempat menjadi mandor tambang di salah satu perusahaan berskala sedang di Desa Mekarjaya: “Salah satu tanggung jawab perusahaan sebetulnya ya memang harus mampu menggerakan perekonomian desa. Dari awal kita juga diminta untuk mampu membuka peluang pekerjaan, hingga membantu kegiatan ekonomi ataupun sosial di desa. Itu semua sudah perusahaan lakukan sebetulnya, walaupun pada akhirnya sering muncul pro dan kontra.” Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa dapat dilihat pada pada Tabel 14.
91
Tabel 14 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa Presentase (%) Total (%) No
Pernyataan
MKJ
RCP
S
N
TS
S
N
TS
MKJ
RCP
1
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat
3.33
63.33
33.33
13.33
76.67
10.00
100.00
100.00
2
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan aktivitas transaksi jual beli di Desa menurun
3.33
70.00
26.67
36.67
60.00
3.33
100.00
100.00
3
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli
66.67
30.00
3.33
50.00
36.67
13.33
100.00
100.00
4
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung kelontong di Desa semakin sepi
3.33
56.67
40.00
46.67
53.33
0.00
100.00
100.00
5
Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung makan di Desa semakin sepi
10.00
43.33
46.67
43.33
46.67
10.00
100.00
100.00
Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku
Berdasarkan Tabel 14 maka dapat dilihat jika mayoritas jawaban responden dari kedua Desa memiliki pola dan kecenderungan yang sama. Berikut adalah penjelasannya: 1. Baik untuk Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, pernyataan yang menyatakan, aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya daya beli dan transaksi jual beli masyarakat, dijawab oleh mayoritas responden dengan pilihan netral sebesar 60.00 – 76.67 persen. Berdasarkan penuturan salah satu responden dari Desa Mekarjaya, menurutnya memang dapat dikatakan jika pasca masuknya industri pertambangan pasir transaksi jual beli di Desa menjadi meningkat, khsusunya sekitar tiga atau empat tahun belakangan ini, namun menurutnya itu hanya terjadi pada awal-
92
awalnya saja, sekarang bahkan transaksi atau jual beli di tingkat Desa terlihat semakin menurun, hal ini diindikasikan dari semakin sedikitnya masyarakat Desa yang berlama-lama di warung kopi atau warung makan, hingga semakin jarang terlihatnya orang keluar Desa untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau menjual hasil pertanian atau perikanan. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan responden dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku sebesar 50.00 dan 66.67 persen yang setuju dengan pernyataan, aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli. 2. Terkait dengan peluang usaha baru dan semakin ramainya warung kelontong atau warung makan di Desa akibat dari keberadaan perusahaan tambang, sebesar 46.67 – 56.67 persen responden dari Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataan tersebut. Namun berbeda dengan sebagian besar responden dari Desa Rancapaku, dimana sebesar 46.67 – 50.00 persen responden tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan warung kelontong atau warung makan menjadi semakin ramai dengan adanya kegiatan atau keberadaan pertambangan pasir. Hal ini kembali lagi dipengaruhi dengan posisi atau lokasi Desa, dimana di Desa Mekarjaya merupakan salah satu pusat dari aktivitas pertambangan pasir yang terdapat di Kecamatan Padakembang, sedangkan Desa Rancapaku sama sekali tidak terdapat perusahaan atau industri pertambangan, dan bahkan truktruk pembawa material pasir dilarang lewat di kawasan ini. Padahal seperti yang dikatakan oleh salah seorang responden dari Desa Mekarjaya, semenjak maraknya aktivitas pertambangan baik pendapatan warung makan ataupun warung kelontong menjadi meningkat tajam, terlebih untuk warung yang buka hingga larut malam. Walaupun secara garis besar responden di Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataan yang menyatakan keberadaan perusahaan tambang membuat baik warung kelontong atau warung makan menjadi ramai, namun menurut salah seorang responden tidak semuanya dapat bertahan dan memanfaatkan peluang tersebut, pasalnya supir truk yang beristirahat itu umumnya secara bergerombol atau ramai-ramai, sehingga ketika mereka sudah nyaman berada di satu lokasi atau warung, mereka akan enggan untuk berpindah-pindah lagi. Seperti halnya yang dialami oleh ibu TIN (46 tahun) yang merupakan warga Desa Mekarjaya yang sempat mencoba membuka warung makan di pinggiran jalan Desa Mekarjaya: “Dulu waktu awalnya itu dikasih tahu teman, katanya ramai disana, banyak yang nongkrong, apalagi kalau sore atau malam kan suka banyak yang istirahat. Tapi baru jalan hampir satu tahun sudah mau bangkrut itu (warung) punya saya. Soalnya kalau supir itu sudah pada punya tempat istirahat sendiri, jadi ternyata kalau sore atau malam hari ya sudah sepi.”
93
Namun walaupun demikian, bagi sebagian orang lainnya ramainya jalan utama masih menjadi sesuatu yang menjanjikan. Diantaranya adalah ibu MMN (56 tahun), beliau merupakan warga kampung Kubangeceng, Desa Mekarjaya yang baru saja memulai usahanya berjualan makanan rumahan di sekitar jalan utama di Desa Mekarjaya: “Disini ibu jualan belum sampai satu bulan. Ibu tertarik soalmya disini ramai, apalagi kalau hari sabtu – minggu, banyak juga wisatawan dari dalam atau luar kota yang datang. Tapi kalau hari biasa ya “untung-untungan” saja, kalau sopir (truk) gitu agak jarang kesini. Paling di warung bawah (daerah Desa Cisaruni, Kec. Mekarjaya) atau daerah dekat jembatan (daerah Desa Tawangbanteng, Kec. Sukaratu) pada ngumpulnya. Jadi kalau ditanya keuntungan warung setelah adanya tambang mah sebenernya emang mungkin menguntungkan buat warga, tapi satu dua orang aja.” Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada dasarnya keberadaan perusahaan pertambangan pasir cukup berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Desa. Diantaranya adalah dampaknya terhadap frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli. Pernyataan tersebut ditanggapi secara negatif oleh mayoritas responden baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku, hal ini cukup beralasan dikarenakan jalan utama yang juga dipergunakana untuk jalur truk pembawa material pasir telah menyebabkan jalanan rusak parah, sehingga tidak jarang membuat masyarakat menjadi terhambat atau bahkan enggan untuk berpergian. Bahkan sebagian responden juga mengatakan, tidak jarang masyarakat terlebih ibu-ibu yang mengambil jalur memutar untuk menghindari jalan rusak dan juga truk. Membayar ongkos bahan bakar lebih besar menurutnya lebih baik daripada harus melewati jalanan yang rusak dan debu-debu yang dihasilkan oleh truk-truk pengangkut pasir.
94
Ikhtisar Secara garis besar, baik Desa Mekarjaya (Desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir) memiliki kecenderungan jawabannya masing-masing terkait dengan keberadaan perusahaan tambang pasir. Perbedaan dan perbandingan dampak ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada Gambar 7: Perbandingan Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Aktivitas Pertambangan Pasir di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku 30
Frekuensi
25 20 15 10 5 0 Dampak Ekologi
Dampak Sosial Desa Mekarjaya
Dampak Ekonomi
Dampak Ekologi
Dampak Sosial
Dampak Ekonomi
Desa Rancapaku
Gambar 6 Perbandingan dampak pertambangan pasir Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku Berdasarkan Gambar 6 dapat disimpulkan, baik pada aspek sosial maupun ekonomi, dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Desa Mekarjaya. Namun untuk aspek ekologi, masyarakat Desa Mekarjaya memiliki persentase ke arah negatif yang lebih tinggi. Desa Mekarjaya yang terletak di hulu, dan Desa Rancapaku yang terletak di hilir pada akhirnya menjadi salah satu faktor alasan mengapa dampak ekologi di Desa Rancapaku menjadi lebih krusial. Konsekuensi letak Desa ditambah sebagian besar kampung atau dusun di kawasan Desa Rancapaku yang terlewati aliran sungai Cikunir menjadikan berbagai permasalahan ekologis lebih tampak di kawasan ini. Berikut dampak negatif ekologi yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku: 1. Kualitas air yang memburuk, khususnya air yang mengalir melalui sungai. Selain menjadi tidak dapat dikonsumsi, air tersebut juga menyebabkan munculnya endapan pasir yang mengancam eksistensi mata pencaharian warga yang beternak ikan dan juga petani, baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku. 2. Kualitas udara yang memburuk, khususnya untuk Desa Mekarjaya dimana kawasan Desa ini memang terdapat aktivitas pertambangan
95
dan jalur Desanya dimanfaatkan untuk pengangkutan pasir oleh truktruk besar. Selain itu, hal ini juga berimplikasi terhadap jalanan di Desa dan Kecamatan yang rusak parah. Bahkan tidak jarang menyebabkan warga dari Desa Rancapaku mengambil jalur yang lebih jauh untuk menghindari jalanan rusak yang kurang lebih sepanjang 1.5 kilometer tersebut. 3. Kerentanan terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir yang semakin mengancam masyarakat. Terlebih untuk Desa Rancapaku, penyusutan ukuran Sungai Cikunir yang juga melewati sebagian besar pemukiman warga menyebabkan bencana banjir lebih sering terjadi ketika turun hujan besar. 4. Jumlah hutan, sawah dan pekarangan warga yang semakin berkurang. Walaupun berada di kawasan pegunungan, namun keasrian dan segarnya udara pegunungan sulit ditemukan di kawasan ini. Khususnya di kawasan Desa Mekarjaya yang telah menjadi primadona dan lokasi strategis penambangan pasir sejak era orde baru. Selain dampak ekologi, dampak sosial juga merupakan suatu aspek yang sangat sensitif jika dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pertambangan pasir. Polarisasi masyarakat menjadi setuju dan tidak setuju dengan aktivitas penambangan pasir, hingga memunculkan konflik-konfik baik antara masyarakat dengan swasta, pemerintah atau bahkan dengan masyarakat itu sendiri. Berikut dampak negatif sosial yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku: 1. Mayoritas masyarakat di Desa Rancapaku menyatakan kehadiran perusahaan pertambangan pasir telah merebut hak-hak dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat. Walaupun terdapat kompensasi seperti bantuan pasir untuk pembangunan masjid atau kegiatan sosial lainnya, bagi masyarakat Desa Rancapaku hal tersebut tidak berarti apa-apa. Namun bagi Desa Mekarjaya, bantuan-bantuan tersebut cukup memberikan kompensasi atas keberadaan perusahaan tambang di Desanya disamping terbukanya peluang kerja dan usaha baru, namun mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya tetap menyatakan perusahaan pertambangan tetap telah merebut hak-hak masyarakat, khususnya hak atas lingkungan yang sehat dan air yang bersih. 2. Bagi masyarakat Desa Rancapaku, kehadiran perusahaan tambang tidak hanya menimbulkan rasa tidak suka, namun juga hingga menimbulkan rasa curiga dan bahkan kebencian. Hal ini hampir berbanding terbalik dengan persepsi masyarakat di Desa Mekarjaya. Namun baik untuk Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, keduanya sama-sama memiliki rasa curiga terhadap pihak pemerintah dalam kaitannya dengan keberadaan perusahaan pertambangan pasir. 3. Munculnya konflik dan gerakan sosial masyarakat yang memprotes keberadaan perusahaan pertambangan. Namun baik Desa Rancapaku dan Desa Mekarjaya memiliki cara protes yang berbeda, dimana Desa Rancapaku melakukannya dengan aksi long-march secara
96
bersama-sama yang tidak jarang mengarah pada aksi-aksi anarkis, sedangkan Desa Mekarjaya melakukannya dengan memanfaatkan ruang publik, spanduk, surat-surat teguran dan lainnya yang cenderung dilakukan perorangan. 4. Cara pandang lingkungan sebagian masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku memiliki perubahan ke arah yang negatif pasca kehadiran aktivitas pertambangan pasir. Tidak jarang apatisme ini ditunjukkan warga dengan membuang sampah sembarangan, atau bahkan memudarnya kebiasaan gotong royong warga dalam membersihkan lingkungan. Pada aspek eknomi, dampak negatif juga lebih cenderung menonjol pada Desa Rancapaku, yakni di Desa yang berada jauh dengan lokasi pertambangan. Begitupun dengan di Desa Mekarjaya, walaupun dapat dikatakan ada manfaat positif yang diakibatkan oleh keberadaan perusahaan pertambangan, namun hal tersebut tidaklah berpengaruh secara krusial. Berikut dampak negatif ekonomi yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku: 1. Keberadaan perusahaan pertambangan pasir pada akhirnya tidak mempengaruhi peningkatan tingkat pendapatan masyarakat secara berarti. Hanya sedikit masyarakat Desa Mekarjaya yang bekerja di perusahaan tambang, dan hal tersebut nyatanya juga tidak mampu memberikan keadilan dan peningkatan ekonomi masyarakat. 2. Peluang kerja di sektor pertambangan sangatlah minim, bahkan dapat dikatakan pekerjaan sektor ini hanya terbuka untuk pekerjaan buruh tambang dan supir truk. Pada akhirnya hal ini juga yang menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat Desa Mekarjaya ataupun Rancapaku lebih memilih bekerja di sektor non pertambangan, bahkan banyak masyarakat yang lebih memilih merantau hingga ke kota-kota besar untuk menjadi buruh kasar dibanding menjadi buruh tambang di Desanya sendiri. 3. Telah terjadi penurunan aktivitas ekonomi di desa. Hal ini diantaranya diindikasikan dengan sepinya warung kelontong ataupun warung makan baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku, tempat yang ketika dulu sering dimanfaatkan warga untuk bersantai atau berdiskusi tersebut menurut sebagian warga saat ini cenderung lebih sepi, terlebih pada siang hari dimana sedang terjadi puncak aktivitas penambangan pasir. Bahkan lebih jauh, hal ini juga berdampak pada keengganan masyarakat untuk melakukan jual beli keluar Desa. Pada dasarnya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya pada masing-masing indikator baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi, dapat dikatakan bahwa memang aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di kawasan Gunung Galunggung ini telah memberikan suatu perubahan kondisi yang secara esensial terhadap masyarakat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Namun permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut juga dapat dikatakan merupakan permasalahan klasik yang
97
memang selalu dapat ditemui di kawasan sekitar lokasi pertambangan. Baik dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Rumpin pada tahun 2011 (Sulton 2011), ataupun penelitian yang di lakukan di kawasan Gunung Merapi pada tahun terkait dengan kehadiran perusahaan tambang galian golongan C (Yudishtira, Hidayat, Hadiyanto 2011), memang permasalahan utamanya selalu terletak pada beberapa aspek berikut, diantaranya adalah berkurangnya debit dan juga degradasi kualitas air permukaan dan mata air, aktivitas dan proses penambangan yang membuat jalanan rusak dan juga mendatangkan polusi udara, ancaman krisis ekologi dan bencana alam, serta konflik yang diakibatkan oleh persaingan pekerjaan dan ketidakadilan sosial dan juga ekonomi. Dibalik berbagai dampak negatif tersebut, namun terdapat juga dampak positif yang dirasakan oleh pihak masyarakat maupun pemerintah. Walaupun dampak positif tidak terlalu nyata terlihat, namun berikut adalah beberapa dampak positif dari keberadaan perusahaan pertambangan pasir: 1. Keberadaan perusahaan pertambangan pasir secara tidak langsung membuka peluang usaha baru. Hal ini khususnya dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Mekarjaya yang bertempat tinggal di dekat lokasi tambang. Terbukti pasca banyaknya supir truk dan pekerja tambang, banyak bermunculan warung-warung makan di sekitar lokasi tambang yang kerap dimanfaatkan oleh pekerja tersebut untuk beristirahat. Selain itu, peluang usaha juga memang terbuka untuk mereka yang memiliki modal, diataranya seperti peluang usaha pabrik pembuatan batako. 2. Adanya bantuan materi dari pihak perusahaan pertambangan untuk kegiatan pembangunan dan kegiatan sosial di Desa. Walaupun tidak mendapat respons yang baik dari seluruh warga, namun bantuan yang diberikan oleh pihak pertambangan ini setidaknya telah berkontribusi dalam membangun jalan bahkan hingga fasilitas Desa lainnya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat dilihat adanya kontradiksi dan hal yang tidak berimbang antara dampak positif dan juga dampak negatif yang ditimbulkan dengan keberadaan perusahaan pertambangan pasir. Hal ini juga pada akhirnya berkaitan dengan bagaimana ideologi dan orientasi kepentingan para aktor yang terlibat di dalamya. Terbukti hampir selama tiga puluh tahun pasir Galunggung dimanfaatkan oleh kapitalis, kejelasan regulasi dan penanggulangan atas berbagai dampak tersebut tidak pernah ada yang berarti dan dapat menyentuh akar permasalahan didalamnya. Terlebih permasalahan lingkungan merupakan permasalahan kompleks yang saling terintegrasi dengan aspek-aspek lainnya. Sudah seharusnya fakta di atas menjadi salah satu langkah untuk menghadirkan solusi atas dampak ekologi, sosial dan ekonomi akibat pertambangan pasir di Gunung Galunggung yang seharusnya didukung oleh seluruh stakeholders terkait.
98
99
PENUTUP Simpulan Berdasarkan pemaparan data dan deskripsi pada pembahasan skripsi ini, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut: 1. Terdapat tiga aktor besar yang terlibat dalam kontestasi kepentingan atas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung, yakni masyarakat, pemerintah dan swasta. Masing-masing aktor tersebut memiliki ideologi dan cara pandang yang berbeda. Aktor masyarakat cenderung memiliki ideologi populisme serta menekankan pada kesejahteraan dan biocentrism, aktor swasta cenderung memiliki ideologi yang berorientasi pada profit dan pandangan yang antroposentris, sedangkan pemerintah cenderung memiliki ideologi developmentalism dan pandangan yang antroposentris. Pihak masyarakat yang mengidamkan kesejahteraan justru menjadi aktor yang menempati posisi paling inferior, terlebih pasca tahun 2000 dimana industri pertambangan cenderung berorientasi padat modal. Orientasi pihak swasta yang cenderung mementingkan profit semata hanya semakin memperparah keadaan, tidak jarang hal ini juga pada akhirnya memunculkan protes atau gelombang pergerakan di lapisan masyarakat sipil yang menuntut adanya keadilan atas tidak berimbangnya keuntungan yang diperoleh antara masyarakat dan pihak swasta. Keberadaan perusahaan tambang yang seharusnya mampu mensejahterakan masyarakat, justru malah menciptakan kesenjangan yang baru. Lemahnya law enforcement juga menyebabkan celah penyimpangan kebijakan dapat dengan mudah disusupi. Terbukti dengan aturan atau perizinan yang tidak melalui proses semestinya, mengindikasikan adanya deal politik yang terjadi antara oknum pemerintah dengan swasta. Padahal, permasalahan pertambangan di Gunung Galunggung merupakan permasalahan kompleks yang membutuhkan penyelesaian komperhensif stakeholders terkait yang didukung dengan paradigma pencapaian kepentingan dan kesejahteraan bersama. 2. Telah terjadi perubahan ekologi, sosial dan ekonomi baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku, namun secara esensial, dampak negatif justru lebih dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku yang merupakan desa yang berada jauh dengan lokasi pertambangan. Perubahan yang terjadi tidak hanya berada pada tataran fisik, namun juga mendalam dan secara langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Namun pada akhirnya, respons masyarakat terkait perubahan tersebut juga relevan dengan ideologi aktor serta bagaimana dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Respons ekologi politik yang kompromistik pada Desa Mekarjaya dinilai sebagai representasi “ketergantungan” ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung dan juga kedekatan sosial antara masyarakat dengan pihak pertambangan. Lain halnya dengan respons radikal
100
yang ditunjukkan sebagian masyarakat di Desa Rancapaku yang menunjukkan adanya paradigma “nothing to lose”. Namun secara garis besar, perubahan yang telah terjadi akibat aktivitas penambangan pasir adalah: (a) degradasi kualitas air dimana sebagian besar sumber air di tingkat Desa telah tercemar oleh limbah penambangan pasir (b) lalu lalang truk pengangkut pasir yang menyebabkan udara dipenuhi debu dan jalan yang hancur yang pada akhirnya menghambat mobilitas masyarakat (c) bencana banjir dan longsor yang diakibatkan oleh penyusutan sungai dan konversi lahan untuk kepentingan penambangan (d) konflik baik laten maupun manifes yang bersifat horizontal dan juga vertikal (e) munculnya apatisme masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (f) munculnya peluang usaha dan kerja baru baik yang secara langsung maupun tidak langsung diakibatkan oleh keberadaan penambangan pasir.
Saran 1. Perlu adanya tindakan penanggulangan limbah secara spesifik dan serius oleh pihak swasta dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah secara mutlak, baik dari hulu hingga hilir. Terlebih mengingat aktivitas penambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung telah dilakukan sejak lama, dimana sudah terdapat belasan atau bahkan puluhan perusahaan tambang yang keluarmasuk untuk melakukan pengerukan pasir di kawasan ini. Sehingga pemulihan kondisi lingkungan dan pemberhentian aktivitas pertambangan secara temporer mungkin dapat menjadi opsi yang harus dipertimbangkan secara khusus. 2. Kebijakan afirmatif yang pro-rakyat di tingkat daerah perlu diciptakan untuk mendukung sinergi yang saling menguntungkan antar stakeholders terkait. Law enforcement dan revolusi mental para elite juga perlu ditekankan untuk menciptakan regulasi yang sesuai amanat konstitusi dan tendensi populisme yang sejati. Kebebasan pemerintah yang berlandaskan otonomi daerah seharusnya mampu menjadikan pihak pemerintah mampu mengelola objek tambang pasir di kawasan Gunung Galunggung menjadi objek yang memiliki nilai jual dan posisi pasar yang strategis, dimana selain dapat memeberikan peningkatan pendapatan asli daerah namun juga dapat memberi peningkatan pendapatan bagi masyarakat. 3. Perlu adanya transparansi dan pelibatan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan dalam kaitannya dengan proses perizinan ataupun pengelolaan dampak lingkungan di kawasan Gunung Galunggung. Terlebih dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan pasca aktvitas penambangan pasir baik pada aspek ekologi, sosial maupun ekonomi, baik pihak pemerintah maupun pihak swasta seharusnya dapat lebih terbuka dan memperhatikan kepentingan masyarakat untuk meminimalisir dampak negatif yang terus semakin memburuk.
101
DAFTAR PUSTAKA Antoro KS. 2010. Konflik-konflik sumberdaya alam di kawasan pertambangan pasir besi: studi implikasi otonomi daerah (studi kasus di kabupaten Kulon Progo provinsi daerah istimewa Yogyakarta). [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 149 hal. Bertens K. 1993. Etika. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama. 328 hal. Dharmawan AH. 2006. Mewujudkan good ecological governance dalam pengelolaan sumberdaya alam. [Internet]. [diunduh 3 Februari 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.psp3.ipb.ac.id/file/Studi_Pembangunan_Lingkungan2006. pdf. _____. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik. Sodality. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014]. 1(1): 1-40. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46436/arya%2 0hadi%20dharmawan_001.pdf?sequence=3. Erwiantono. 2004. Hubungan antara karakteristik komunikasi dan sikap komunitas terhadap perusahaan (kasus pertambangan timah di Kabupaten Bangka Barat) [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 115 hal. Hakri, Dadang. 2011 9 Sep. Masyarakat Desak moratorium penambangan pasir Galunggung. [Internet]. [diunduh 18 April 2014]. Tunas Bangsa. Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://www.tubasmedia.com/berita/masyarakat-Desak-moratoriumpenambangan-pasir-galunggung/. Kartodihardjo H. 2008. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA): Krisis ekologi dan masalah di baliknya. [Internet]. [diunduh 6 Februari 2014]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41924/pengelo laan%20sumbet%20daya%20alam%20%28SDA%29.pdf?sequence=. Keraf AS. 2010. Etika lingkungan hidup. Jakarta [ID]: Kompas. 408 hal. Lay C. 2007. Nilai strategis isu lingkungan dalam politik Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [dikutip 11 Oktober 2013]. 11(2): 153-172. Dapat diunduh dari: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/download/51 /42.
102
Nugraha I. 2013 22 Des. Konflik agraria 2013 meningkat, 21 warga tewas, 30 tertembak. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014]. Mongabay. Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://www.mongabay.co.id/2013/12/22/konflik-agraria-2013meningkat-21-warga-tewas-30-tertembak/. Otonomi belum sejahterakan rakyat. 2011 7 Des. [Internet]. [diunduh 12 Oktober 2013]. Kompas. Nasional : [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://nasional.kompas.com/read/2011/12/07/04254547/Otonomi.Belu m.Sejahterakan.Rakyat. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pertiwi HD. 2011. Dampak keberadaan perusahaan pertambangan batubara terhadap aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat di era otonomi daerah (kasus: Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Raharja S. 2011. Pendidikan berwawasan ekologi: pemberdayaan lingkungan sekitar untuk pembelajaran. [Internet]. [diunduh pada 24 Juni 2013]. Dapat diakses pada: http://eprints.uny.ac.id/137/1/PENDIDIKAN_BERWAWASAN_EK OLOGI.pdf. Riswan O. 2013 6 Nov. 2.300 hektare rusak akibat tambang pasir besi. [Internet]. [diunduh 3 Februari 2013]. Sindo. Metro : [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://metro.sindonews.com/read/2013/11/06/21/802219/2-300hektare-rusak-akibat-tambang-pasir-besi. Samad F. 2013. Dampak pertambangan nikel terhadap sosial - ekonomi ekologi masyarakat di Kecamatan Wasile Kabupaten Halmahera Timur. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 84 hal. Soemarwotto O. 1997a. Analisis mengenai dampak lingkungan. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University. 326 hal. _____. 1997b. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta [ID]: Djambotan. 381 hal. Sulton A. 2011. Dampak aktivitas pertambangan bahan galian golongan C terhadap kondisi kehidupan masyarakat Desa. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 120 hal.
103
Suriansyah EA. 2009. Dampak pertambangan terhadap fungsi ekonomi lingkungan dan pendapatan masyarakat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Tarmansyah US. 2011 29 Jun. Dampak negatif otonomi daerah dan peran dephan dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara. [Internet]. [diunduh 5 Februari 2014]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pertahanan RI. Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/dampak-negatifotonomi-daerah-dan-peran-dephan-dalam-pendayagunaan-sumberdaya-nasional-untu. Thoha M. 2004. Perilaku organisasi: Konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta (ID): PT Raja Grafiindo Persada. 375 hal. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Wihardandi A. 2012 15 Feb. Lemah tegakkan hukum, akan perparah konflik lahan akibat tambang. [Internet]. [diunduh 16 Maret 2014]. Mongabay. Utama: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: www.mongabay.co.id/2012/08/15/lemah-tegakkanhukum-akan-perparah-konflik-lahan-akibat-tambang/. Yudhistira, Hidayat, Hadiyanto. 2011. Kajian dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir di Desa keningar daerah kawasan Gunung Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan. 09 (02): 76-84. [Internet]. [diunduh 20 Mei 2014]. Dapat diunduh dari: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/view/407 2/pdf. Zabila N. 2013. Persepsi dan partisipasi wanita tani dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) P2KP. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 92 hal.
104
105
LAMPIRAN
106
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian: Desa Mekarjaya
107
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian: Desa Rancapaku
108
Lampiran 3 Kuesioner penelitian KUESIONER PENELITIAN
DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR TERHADAP KONDISI EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG
No. Responden
: ……………………………………….................
Nama Responden
: .............................................................................
Lokasi Wawancara
: .............................................................................
Hari/Tanggal Wawancara
: .............................................................................
A. IDENTITAS RESPONDEN Nama lengkap : No. Telp. / HP : Jenis kelamin : ( )L/( )P Umur : Tahun. Suku : Alamat : Lama tinggal di lokasi : Tahun. Pendidikan terakhir : ( ) Tidak Sekolah ( ) SD (Tamat/Tidak Tamat) ( ) SMP (Tamat/Tidak Tamat) ( ) SMA (Tamat/Tidak Tamat) ( ) Universitas (Tamat/Tidak Tamat) ( ) Lainnya......... Status kependudukan : ( ) Asli ( ) Pendatang, dari………… Status perkawinan : ( ) Belum menikah ( ) Menikah ( ) Cerai Hidup ( ) Cerai Mati Pekerjaan utama : ( ) Petani ( ) Buruh Tani ( ) Peternak Ikan ( ) Pegawai Swasta (Buruh) ( ) Wiraswasta ( ) Pelajar ( ) Lainnya:…………………. Pekerjaan sampingan :
109
B. DAMPAK EKOLOGI Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan kondisi ekosistem dan/atau lingkungan, sesuai dengan yang anda rasakan. Keterangan: o S = Setuju o N = Netral o TS = Tidak Setuju I. Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air No Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir 1. menyebabkan air menjadi tidak jernih (keruh) Aktivitas penambangan pasir 2. menyebabkan warna air menjadi berwarna gelap Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air dipenuhi oleh 3. endapan pasir / butir-butir batuan halus Aktivitas penambangan pasir 4. menyebabkan air bersih lebih sulit diperoleh Aktivitas penambangan pasir menyebabkan air menjadi berbau 5. tidak sedap (seperti bau besi, lumpur dsj)
N
II. Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Terhadap Bencana No Pernyataan S N Aktivitas penambangan pasir 6. menyebabkan terjadinya banjir Aktivitas penambangan pasir 7. menyebabkan tanah menjadi tidak subur Aktivitas penambangan pasir 8. menyebabkan terjadinya longsor Aktivitas penambangan pasir 9. menyebabkan jalan di Desa banyak yang berlubang Aktivitas penambangan pasir 10. menyebabkan mobilitas masyarakat terhambat
TS
TS
110
III. Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara No Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir 11. menyebabkan udara dipenuhi debu Aktivitas penambangan pasir 12. menyebabkan jalan atau rumah dipenuhi debu Aktivitas penambangan pasir 13. menimbulkan kebisingan yang mengganggu Aktivitas penambangan pasir 14. menyebabkan masyarakat enggan berlama-lama di luar rumah Aktivitas penambangan pasir 15. menyebabkan masyarakat lebih mudah terserang penyakit (ISPA) IV. Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan No Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir 16. menyebabkan jumlah hutan berkurang Aktivitas penambangan pasir 17. menyebabkan banyak fauna yang punah / berkurang Aktivitas penambangan pasir 18. menyebabkan banyak flora yang punah / berkurang Aktivitas penambangan pasir 19. menyebabkan jumlah atau luas sawah menjadi berkurang Aktivitas penambangan pasir 20. menyebabkan luas pekarangan atau kebun warga menjadi berkurang
N
TS
N
TS
111
C. DAMPAK SOSIAL Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan kondisi sosial dan interaksi antar aktor (masyarakat, pemerintah, dan swasta) serta lingkungan, sesuai dengan yang anda rasakan. I. Persepsi Terhadap Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir No. Pernyataan S N 1 Aktivitas penambangan pasir yang dilakukan Perusahaan Tambang Pasir tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar Aktivitas penambangan pasir 2 yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tidak sesuai dengan janji / kesepakatan awal ketika melakukan perizinan Aktivitas penambangan pasir 3 yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir telah mengabaikan hak ekonomi yang seharusnya masyarakat peroleh Aktivitas penambangan pasir 4 yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir telah mengabaikan hak atas lingkungan yang seharusnya masyarakat peroleh Aktivitas penambangan pasir 5 yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir di Kecamatan Padakembang merupakan penyebab terjadinya perselisihan di masyarakat
TS
112
II. Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor No. Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir 6 menyebabkan rasa tidak suka antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir Aktivitas penambangan pasir 7 menyebabkan rasa tidak percaya antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir Aktivitas penambangan pasir 8 menyebabkan rasa saling curiga antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir Aktivitas penambangan pasir 9 menyebabkan renggangnya hubungan antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir 10 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak Perusahaan Tambang Pasir 11 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak suka antara masyarakat dengan pihak pemerintah 12 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa tidak percaya antara masyarakat dengan pihak pemerintah 13 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan rasa saling curiga antara masyarakat dengan pihak pemerintah 14 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan renggangnya hubungan antara masyarakat dengan pihak pemerintah 15 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan kebencian antara masyarakat dengan pihak pemerintah
N
TS
113
III. Persepsi Terhadap Konflik Sosial No. Pernyataan S 16 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat teguran dari pihak tertentu 17 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat terror dari pihak tertentu 18 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat kerap mendapat ancaman dari pihak tertentu 19 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat melakukan aksi demonstrasi secara halus (pemogokan, long march, dll) 20 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat melakukan demonstrasi secara radikal (kekerasan, perusakan, dll) IV. Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan No. Pernyataan S 21 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi acuh terhadap lingkungan 22 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk melakukan kerja bakti 23 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi enggan untuk membersihkan lingkungan sekitar rumah 24 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa mencemari lingkungan 25 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat menjadi lebih leluasa membuang sampah sembarangan
N
TS
N
TS
114
D. DAMPAK EKONOMI Berilah tanda (X) pada pernyataan dibawah ini pada kolom yang telah disediakan. Isi kolom tersebut sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan pola dan struktur ekonomi, sesuai dengan yang anda rasakan: I.
II. No 1.
2. 3. 4. 5. III. No 6. 7. 8. 9. 10.
Pendapatan Selama Satu Tahun Terakhir Pendapatan (Rp/tahun) dari Jenis Pekerjaan Anggota Keluarga Utama Sampingan Total Kepala Keluarga Istri Anak Lainnya…… Total keseluruhan Catatan:
Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non-pertanian Aktivitas penambangan pasir menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat Aktivitas penambangan pasir tidak membuka peluang bekerja bagi masyarakat setempat Aktivitas penambangan pasir didominasi oleh pekerja dari luar Desa Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa Pernyataan S Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Aktivitas penambangan pasir menyebabkan aktivitas transaksi jual beli di Desa menurun Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung kelontong di Desa semakin sepi Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung makan di Desa semakin sepi
N
TS
N
TS
115
Lampiran 4 Panduan wawancara mendalam Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Aparatur Pemerintah dan/atau Dinas-Dinas Terkait
Hari dan Tanggal Wawancara
:
Lokasi dan Waktu Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Pekerjaan Informan
:
• Pra-Kehadiran Perusahaan Tambang Pasir a. Bagaimana sejarah pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung? b. Sumber daya alam apa saja yang pada saat itu dimanfaatkan? c. Apakah dalam kaitannya dengan sumber daya alam pasir, pemerintah memiliki aturan atau regulasi khusus? d. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah pemanfaatan sumber daya alam tersebut? e. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah pemanfaatan sumber daya alam tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? f. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung? g. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah pemanfaatan sumber daya alam tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? h. Apakah pernah muncul permasalahan-permasalahan terkait pemanfaatan sumber daya alam tersebut, baik antara pihak pemerintah dengan pihak swasta, swasta dengan masyarakat, atau bahkan pemerintah dengan masyarakat? • Pasca-Kehadiran Perusahaan Tambang Pasir a. Bagaimana awal mula kehadiran pihak Perusahaan Tambang Pasir di Kecamatan Padakembang? b. Siapa saja aktor atau perusahaan-perusahaan yang terlibat? c. Bagaimana proses AMDAL / UKL-UPL hingga akhirnya muncul pemberian izin pemanfaatan kawasan terhadap Perusahaan Tambang Pasir tersebut? d. Pertimbangan apa yang utama yang akhirnya muncul pemberian izin pemanfaatan kawasan terhadap Perusahaan Tambang Pasir tersebut? e. Apakah sebelum melakukan pemanfaatan ada sosialisasi atau penjelasan khusus kepada masyarakat baik dari pihak Perusahaan Tambang Pasir ataupun Pemerintah?
116
f. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut? g. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? h. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut? i. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? (Pada aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi) j. Bagaimana tanggung jawab Perusahaan Tambang Pasir tersebut terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan? k. Pasca kehadiran Perusahaan Tambang Pasir tersebut, apakah pernah muncul permasalahan-permasalahan lain misalnya, antara pihak pemerintah dengan pihak swasta, swasta dengan masyarakat, atau bahkan pemerintah dengan masyarakat? Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Desa atau Masyarakat Informan
Hari dan Tanggal Wawancara
:
Lokasi dan Waktu Wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
Pekerjaan Informan
:
a. Bagaimana awal mula kehadiran pihak Perusahaan Tambang Pasir di Kecamatan Padakembang? b. Perusahaan apa saja yang pada saat ini masih melakukan aktivitasnya? Apakah anda dilibatkan dalam kaitannya izin atau aktivitas perusahaan tambang tersebut? c. Secara umum, apa saja manfaat yang timbul setelah kehadiran Perusahaan Tambang Pasir tersebut? d. Secara khusus, apa saja manfaat yang muncul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? e. Secara umum, apa saja dampak yang timbul setelah kehadiran Perusahaan Tambang Pasir tersebut?
117
f. Secara khusus, apa saja dampak yang timbul setelah adanya penambangan pasir yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut khususnya bagi masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? (Pada aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi) g. Menurut anda siapa yang paling bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan? h. Apakah pernah terjadi bencana atau kejadian kecelakaan beberapa waktu belakangan ini di Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku? i. Apakah menurut anda hal tersebut terjadi ada kaitannnya dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut? j. Apakah secara khusus ada perubahan cara atau pola mata pencaharian masyarakat akibat adanya aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Perusahaan Tambang Pasir tersebut? k. Apakah pernah terjadi konflik yang terjadi di masyarakat sebagai respons dari dampak tersebut? l. Jika Ya, apakah terdapat aksi-aksi lanjutan sebagai representasi dari konflik? Apa saja yang diperjuangkan (atau dituntut) oleh masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku ketika melakukan aksi tersebut? m. Menurut anda, seberapa penting ekosistem kawasan Gunung Galunggung bagi kehidupan masyarakat Desa Mekarjaya (dan/atau) Desa Rancapaku?
118
Lampiran 5 Surat pernyataan tentang kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan pasir pada bulan Maret tahun 2013
119
120
Lampiran 6 Salah satu bentuk protes warga terhadap dampak negatif dari aktivitas penambangan pasir di Desa Mekarjaya melalui media massa
121
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Penambang pasir konvensional yang masih memanfaatkan kawasan Sungai Cikunir
Truk pengangkut pasir yang melewati jalan Desa Mekarjaya
Spanduk protes masyarakat Desa Mekarjaya yang terpampang dijalan raya
Aktivitas penambangan skala industri yang berada di hulu sungai Cikunir
Pemindahan pasir dari truk pengangkut ke tempat penampungan
Kolam milik warga yang airnya tercemar akibat penambangan pasir
122
Salah satu jalan Desa Mekarjaya yang diberi penghalang agar truk tidak lewat
Salah satu jalan penjual pasir yang berada di Desa Mekarjaya
Salah satu peternak ikan dari Desa Mekarjaya yang sedang menulis spanduk protes
Tidak jarang pengendara motor harus menyingkir ketika truk pasir lewat
Jalanan utama menuju Desa Mekarjaya yang hancur akibat lalu lalang truk pasir
Penyusutan Sungai Cikunir yang dapat dilihat dari kawsan Desa Rancapaku
123
RIWAYAT HIDUP Faris Rahmadian dilahirkan di Bogor pada tanggal 29 Agustus 1992. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Edi Saputra dan Farma Ruri Utari, dengan adik bernama Vania Rahmasari. Penulis memulai jenjang pendidikan formal pertama yakni pada tahun 1998 – 2004 di SDN Polisi 1 Bogor, lalu penulis melanjutkannya ke SMP Negeri 9 Bogor pada tahun 2004 – 2007, dan SMA Negeri 7 Bogor pada tahun 2007 – 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM). Selama berkuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis juga turut aktif dalam organisasi kampus. Penulis merupakan pengurus Himpunan Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) selama dua periode (2012-2013) di divisi Community Development. Selain itu, penulis juga turut aktif berkontribusi pada berbagai kegiatan di kampus, diantaranya dalam berbagai kepanitiaan HIMASIERA, Familiarity Night FEMA, Indonesian Ecology Expo, dan lain sebagainya.