DAMPAK WABAH FLU BURUNG TERHADAP PERUBAHAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PETERNAK DAN PEDESAAN DI INDONESIA Oleh: Edi Basuno dan Yusmichad Yusdja
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Permasalahan. Wabah AI di Indonesia telah memasuki tahun ke 5 sejak kejadian wabah
pertama kali bulan Agustus tahun 2003. Pemerintah sepanjang tahun terus berusaha menggendalikan penyebaran virus AI, melalui kebijakan 9 langkah biosekuriti antara lain pelaksanaan program vaksinasi, program kompensasi dan pengawasan lalu lintas serta perdagangan unggas dan hasil-hasilnya. Tahun 2006 wabah AI sudah menurun signifikan, demikian juga dengan jumlah wilayah yang terserang. Wabah AI yang terjadi setelah tahun 2006 pada umumnya lebih sering pada peternakan unggas non ras. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah dan peternak serta pengusaha peternakan harus terus menerus meningkatkan biosekuriti dan melaksanakan pengendalian wabah dalam usaha mencapai status Indonesia bebas AI. Dunia memberikan perhatian yang besar terhadap wabah AI di Indonesia yang sampai saat ini belum berhasil dikendalikan. Dunia mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam mencegah terjadinya penularan AI kepada manusia dan antara manusia dengan manusia yang pada akhirnya berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia, saat ini, menjadi pusat perhatian dunia karena korban manusia yang meninggal akibat AI menduduki peringkat tertinggi di dunia. Wabah AI yang terjadi dalam waktu 5 tahun itu secara nyata mempunyai dampak sosial ekonomi yang luas terhadap industri unggas (poultry production industry) khususnya peternak kecil (small farmer) dan pengusaha rumah potong ayam skala kecil dan para pedagang pada semua level. Dalam masa wabah tersebut sekitar 11 juta ekor ayam telah dimusnahkan, sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan usahanya pada tahun 2005.
Dampak AI baik langsung dan tak langsung telah
menyebabkan produksi ayam turun sampai 60 persen. Untuk itu, target Indonesia bebas AI tahun 2009 harus disertai dengan terjadinya recovery industry secara menyeluruh. Untuk mencapai harapan tersebut, Indonesia harus terlebih dahulu mempunyai pemahaman tentang dampak sosial ekonomi pada industri peternakan, sehingga perumusan program pengendalian AI dapat lebih efektif. 1
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dampak wabah AI terhadap sosial ekonomi peternak yang berada pada wilayah kecamatan/desa yang tertular AI. Perhatian perlu diberikan terhadap dampak sosial ekonomi, terutama terhadap aspek pendapatan, kesempatan kerja dan kemungkinan melanjutkan usaha. Hal penting lainnya adalah sikap mereka terhadap wabah AI, apakah mereka menghentikan usaha atau menggantikan dengan usaha lain atau bangkit kembali dan bagaimana mereka melakukan hal itu. Kemudian, bagaimana dengan dampak sosial ekonomi pada wilayah yang tidak tertular? Apakah mereka menghadapi masalah yang sama dengan peternak di wilayah tertular dan apakah terdapat perubahan dalam melaksanakan biosekuriti, vaksinasi dan usaha-usaha pencegahan wabah AI lainnya? Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas itu, beberapa negara Asia yakni Indonesia, China, Vietnam dan Thailand melaksanakan penelitian dengan judul Socio-economic Impacts of HPAI Outbreaks and Control Measures on Smallscale and Backyard Poultry Producers in Asia. Penelitian ini dilaksanakan pada waktu yang bersamaan di ke empat negara tersebut yakni mulai Januari tahun 2007 dan berakhir April tahun 2009. Sebagai bagian dari satu penelitian yang lebih besar, makalah ini fokus pada membahas karakteristik peternak, pengetahuan peternak tentang kebijakan penanggulangan dan gejala penyakit AI, sosial kapital dan hasil Focus Group Discussion (FGD)
II. STRUKTUR DAN KEBIJAKAN INDUSTRI PETERNAKAN UNGGAS DI INDONESIA 2.1.
Struktur dan Kebijakan Industri Peternakan Unggas Indonesia melalui kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1976
telah berhasil mengembangkan semua kelengkapan industri perunggasan, terutama ayam ras, antara lain perusahaan pembibitan, perusahaan pabrik pakan, perusahan obat-obatan ternak dan perusahaan pengolahan hasil ternak. Industri pembibitan pada awalnya terbatas pada pemeliharaan induk ayam atau Parent Stock (PS) dalam skala komersial untuk menghasilkan doc final stock (FS). Dalam waktu 10 tahun, industri ini berkembang dengan dipeliharanya ayam induk atau Grand Parent Stock (GPS). Sampai saat ini, Indonesia belum mampu menghasilkan breed sendiri, karena itu perkembangan industri peternakan di Indonesia sangat tergantung pada impor bibit.
2
Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997/1998 telah membuat terpuruk industri perunggasan nasional. Akibat ketergantungan yang tinggi pada impor, maka sebagian besar usaha peternakan hancur. Industri pabrik pakan kembali pulih pada tahun 2000 dan mencapai produksi normal kembali pada tahun 2002. Tahun 2003 jumlah ayam petelur mencapai 85 juta dan ayam broiler sekitar 250 juta ekor yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, terutama pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 45 persen dan 30 persen dari total populasi.
Produksi telur mencapai 701.203 ton
pertahun dan produksi broiler mencapai 819 juta ton. Produksi telur dan broiler diperkirakan telah memenuhi permintaan efektif dalam negeri. Dari tahun 2003 hingga 2008, pertumbuhan populasi ayam petelur dan broiler relatif melambat karena pertumbuhan pendapatan yang relatif lambat dan adanya berbagai kendala perekonomian dalam negeri. 2.2.
Peran Perusahaan Komersil Skala Kecil
Perkembangan industri perunggasan di Indonesia yang dimulai tahun 1967 di arahkan untuk membangun struktur budidaya atau produksi dalam bentuk usaha rakyat. Menurut UU Peternakan 1967, peternakan merupakan usaha rakyat, artinya, skala komersial tidak diperkenankan masuk.
Tujuan utama pengembangan
perusahaan peternakan di Indonesia adalah meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan para peternak komersil skala kecil. Hal ini sangat penting karena Indonesia menghadapi masalah tingkat penggangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi. Berdasarkan pusat data Persatuan Peternakan Unggas Indonesia (PPUI) pada tahun 1980 tercatat sekitar 80.000 peternak ayam petelur dengan skala usaha di bawah 2.500 ekor1. Peran usaha rakyat mencapai 65 persen, sedangkan sisanya perusahaan komersial. Namun pada tahun 1990, peran usaha rakyat semakin susut menjadi 55 persen, sedang usaha komersial meningkat menjadi 45 persen. Ternyata, desakan permintaan yang sangat cepat telah mendorong pertumbuhan perusahaan komersil yang terintegrasi dalam skala besar yang sebenarnya dilarang menurut UU Peternakan 1967. Pertumbuhan perusahaan komersial terintegrasi ini sulit dicegah, maka pada tahun 1990, pemerintah mencabut Keppres 50/1981 dan menerbitkan kebijakan baru, yakni Keppres 22/90 yang pada dasarnya mengijinkan usaha komersil dalam budidaya ternak ayam ras, dengan catatan perusahaan harus melakukan 1
(Poultry Indonesia, 1980) 3
kegiatan produksi dengan pola kemitraan atau kontrak farm dengan peternak rakyat dan 60 persen produksi ditujukan untuk ekspor. Dengan strategi ini, pemerintah berharap usaha rakyat tetap dapat berkembang, sementara kebutuhan konsumsi telur dan daging ayam dapat dipenuhi. Namun pada akhir tahun 2003 terjadi krisis outbreak AI yang sangat merugikan perusahaan peternakan. Sebagian besar perusahaan komersil yang diserang wabah AI adalah perusahan komersil mandiri, karena mereka pada umumnya memliki kemampuan finansial yang rendah dalam melaksanakan bioskuriti.
Krisis AI
memberikan dampak sangat buruk kepada sebagian besar
perusahan komersil. Pada tahun 2006, sebagai akibat wabah AI, maka peran usaha rakyat turun menjadi 30 persen dan usaha komersil meningkat menjadi 70 persen2. 2.3.
Peran Usaha Kecil Terhadap Produksi dan Lapangan Kerja
Tinjauan
di
atas
memperlihatkan
bahwa
sesungguhnya
pemerintah
mendukung perkembangan usaha peternakan rakyat agar berperan dalam industri. Pemerintah menganggap hal ini penting dalam kerangka pemecahan masalah dalam negeri, antara lain kesempatan kerja dan sumber pendapatan. Industri rakyat diperkirakan masih menampung sebesar 20 ribu rumah tangga yang menjadikan usahanya sebagai usaha utama. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan3 jumlah orang yang hidup dalam perusahaan komersial sekitar 385 ribu orang. Jumlah ternak yang dipelihara oleh kelompok ini adalah 19,9 juta ekor layer atau 44 persen dari populasi nasional dan 38.3 juta ekor broiler atau 15 persen dari total populasi nasional. Pada umumnya pasar hasil unggas ras untuk Jakarta dikuasai oleh usaha komersial, dengan pangsa sebesar 90 persen. Selain itu, usaha komersial tidak saja menguasai pasar, tetapi juga saluran tataniaga, sehingga pendatang baru akan sulit memasuki pasar. Perdagangan broiler misalnya, telah diatur oleh para pedagang besar, sehingga tingkat harga broiler dijaga sedemikian rupa supaya tetap tinggi. Ada kecenderungan sedang terjadi bentuk monopoli dalam pasar hasil unggas di Jakarta. Sekarang harga ayam pada tingkat peternak hanya 30 persen dari harga akhir. 2 3
Pinsar (2006). Makalah yang disampaikan dalam pertermuan dengan PSE KP. Pinsar. Jakarta. Statistik Peternakan (1990-2000). Statistical Book on Livestock 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta
4
III.
METODA PENELITIAN
Berdasarkan data wabah kasus AI sejak tahun 2004 sampai 2005 di Indonesia dapat ditetapkan tiga provinsi penelitian yakni provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Lampung masing-masing mewakili kriteria tingkat serangan wabah berat, sedang dan ringan. Dari setiap provinsi dipilih dua kabupaten dengan kriteria tingkat serangan wabah terbesar dalam provinsi itu. Kemudian dari setiap kabupaten dipilih 2 kecamatan/desa berdasarkan kriteria tingkat serangan wabah AI terberat yang ada dalam kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam setiap provinsi ditentukan 4 kecamatan/desa penelitian dan 12 kecamatan/desa. Selain responden peternak, maka dalam setiap desa dilakukan wawancara kelompok yang disebut Focus Group Discussion (FGD). Responden FGD berguna untuk menggali masalah-masalah sosial yang muncul atau perubahan-perubahan sosial yang terjadi, baik dalam rumah tangga maupun dalam wilayah atau desa penelitian. Dalam setiap desa dilakukan 3 kali FGD, terdiri dari FGD dengan wakil perempuan (KP), FGD dengan wakil laki-laki (KL) dan FGD dengan wakil warga miskin (KM). Teknik wawancara untuk jenis responden sektor III dan IV dilakukan a secara individu/responden dengan kuesioner. Untuk jenis responden KP, KL dan KM dilakukan diskusi secara kelompok. Untuk maksud ini, dipersiapkan dengan membuat pokok-pokok diskusi yang akan dibahas. Kelompok responden penting lainya adalah informan kunci, yang mungkin seorang kepala desa, kepala dinas, penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan, dokter hewan yang bertugas di lapang. Responden KI dapat kepala desa, kepada dinas peternakan, penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan, dokter hewan yang bertugas di lapang dan sebagainya. Secara keseluruhan, dilakukan 36 FGD, wawancara dengan 36 informan kunci dan 720 peternak Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif untuk memperoleh bukti-bukti dan gambaran peternak kecil dan peternak backyard dalam rangka memahami bagaimana peternak dan masyarakat menghadapi dampak wabah AI baik langsung atau tidak langsung. Pendekatan kualitatif terutama ditujukan untuk mengekplorasi isu kunci dan mendapatkan pengertian yang mendalam atas isu tersebut dan untuk memahami perilaku responden. Pendekatan kuantitatif terutama ditujukan untuk mendapatkan bukti-bukti statistik dampak wabah AI terutama pada usaha skala kecil.
5
IV. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI 4.1.
Identitas Peternak Peternak responden umumnya berumur 45-49 tahun yang merupakan usia
produktif dan matang dalam menjalankan usaha. Namun demikian tingkat pendidikan relatif rendah, bahkan sebagian besar buta huruf. Demikian juga anggota keluarga, termasuk peternak, yang merupakan kader desa jumlahnya sangat terbatas, yaitu hanya 3 - 4 persen (Tabel 1). Berlatar belakang pendidikan dan pengetahuan yang relatif terbatas, maka teknik budidaya unggas umumnya mengandalkan pengalaman semata. Sebagian dari peternak pada awalnya hanya mengikuti keberhasilan peternak pemula di lingkungan mereka. Inilah yang menjadi penyebab munculnya desa peternakan ayam dengan populasi total sampai 200-300 ribu ekor, khususnya pulau Jawa. Dengan berjalannya waktu, melalui bimbingan petugas peternakan pemerintah dan swasta (technical service) para peternak meningkatkan pengetahuannya. Petugas swasta, termasuk pemilik poultry shop jauh lebih aktif dibandingkan petugas pemerintah. Jika dihubungkan tingkat pendidikan dengan status infeksi, peternak yang usaha unggasnya terinfeksi wabah AI jauh lebih banyak terjadi pada peternak yang buta huruf.
Selanjutnya jika dipilah berdasarkan tingkat serangan, pada daerah
tingkat serangan berat yaitu Jawa Barat, sebagian besar (59.1%) peternaknya buta huruf. Fakta ini menunjukan bahwa pada usaha unggas, tingkat pendidikan peternak menentukan
dalam
mengelola
usaha,
diantaranya
dalam
mencegah
dan
mengendalikan penyakit ternak. Fakta ini baik langsung maupun tidak langsung kenyataan merupakan ancamaan bagi penularan AI. Selain pengetahuan dan keterampilan, usaha unggas juga membutuhkan tenaga kerja untuk melakukan aktivitas pembelian saprodi, pemeliharaan unggas dan pemasaran produk.
Sebagian dari mereka masih usia sekolah, sehingga tidak
mungkin membantu orang tua membantu mengelola usaha unggas. Oleh karena itu, sebagian besar peternak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga, yang pada umumnya berasal penduduk desa setempat.
6
Tabel 1. Karakteristik Peternak Responden Berdasarkan Tingkat Serangan dan Status Wabah AI di Indonesia, Tahun 2008. Tingkat Serangan Wabah AI Ringan Non Infeksi Infeksi
Uraian Umur KK (tahun)
Sedang Non Infeksi Infeksi
Berat Non Infeksi Infeksi
Total Non Infeksi Infeksi
47.0
48.0
45.7
44.3
48.7
45.5
47.2
45.8
31.7
12.9
26.7
14.6
45.8
13.3
34.7
13.6
9.6
4.2
13.3
10.4
17.5
3.8
13.5
6.1
c. SMP
17.5
9.6
19.2
13.3
14.2
2.1
16.9
8.3
d. SMA
7.9
4.6
1.7
0.8
2.1
1.3
3.9
2.2
e. Lainnya
1.3
0.8
0
0
0
0
0.4
0.3
4.2
4.3
4.3
4.3
4.6
4.7
4.4
4.4
3.2
2.4
3.5
4.2
4.3
3.5
3.7
3.4
96.8
97.6
96.5
95.8
95.7
96.5
96.3
96.6
Pendidikan KK(%) a. Buta huruf b. SD
JART (jiwa) ART Kader Desa (%) a. Kader b. Bukan kader
4.2.
Identitas Aset Peternak Nilai asset yang dimiliki dapat dijadikan indikasi kesejahteraan dan
kemampuan
peternak
melakukan pemulihan
usaha
jika usaha mengalami
kebangkrutan akibat sesuatu hal, seperti serangan wabah AI. Ada empat kelompok asset penting milik peternak yang diidentifikasi yaitu rumah, aset rumah tangga, aset pertanian dan lahan. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Pada umumnya peternak memiliki satu unit rumah, namun ada peternak yang memiliki dua unit rumah. Bahkan di Lampung dan Jatim ada peternak yang memiliki rumah sampai tiga unit.
Sebaliknya ada peternak yang tidak memiliki rumah.
Mereka adalah peternak muda yang masih tinggal serumah dengan orang tua mereka. Jumlah peternak yang tidak memiliki rumah ada sembilan peternak di Jabar dan dua peternak di Jatim. Jenis asset rumah tangga terdiri dari berbagai jenis, diantaranya adalah: TV dan perlengkapannya, kamera, mesin cuci, kulkas, kompor gas, mobil, sepeda motor, dan handphone.
Demikian juga jenis asset pertanian terdiri dari berbagai jenis,
diantaranya adalah: mesin pengolah pakan, sprayer, mobar, sumur dan pompa air, ternak kerja, truck, gerobak tenaga manusia, dan kuda. Berdasarkan kepemilikan tiga jenis asset tersebut menunjukkan bahwa peternak Jawa Timur dan Lampung memiliki nilai asset jauh lebih tinggi dibandingkan peternak Jawa Barat. Peternak di Jawa
7
Barat,
ternyata
adalah
masyarakat
relatif
miskin,
yang
menggantungkan
pendapatannya pada usaha unggas. Usaha unggas merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi masyarakat. Karena pendidikan yang rendah dan miskin, mereka relatif mempunyai sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar desa, kecuali menjadi buruh kasar. Tabel 2. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008 Jenis dan Nilai Asset
Lampung Non Infeksi Infeksi
Jatim Infeksi
Jabar
Non Infeksi
Infeksi
Non Infeksi
1. Jumlah rumah (unit/peternak) a. Satu unit
155
69
138
92
176
48
b. Dua unit
7
8
5
2
7
0
c. Tiga unit
1
0
1
0
0
0
d. Empat unit
0
0
0
0
0
0
a. Nilai Aset Rumah
82995
85376
94815
108330
43223
33888
b. Nilai Asset Rumah Tangga
18584
15498
25274
31800
5818
5402
5877
5795
1206
3277
646
317
107456
106669
121295
143407
49687
39607
2. Nilai Aseet (Rp000)
3. Nilai Asset Pertanian 4. Total Nilai Asset
Berdasarkan luas pemilikan lahan, peternak Lampung memiliki lahan terluas (1,01 Ha -2,07 Ha) dibandingkan dengan peternak Jawa Timur (0,18 ha – 0,33 Ha) dan Jawa Barat (0,19 Ha). Sebagian besar lahan yang dimiliki digunakan peternak untuk tanaman pangan yang dibudidayakan sebagai sumber pendapatan lain selain usaha unggas. Bahkan peternak di Lampung dan Jawa Barat, untuk menambah penghasilan rumah tangga, mereka mengusahakan lahan tanaman pangan melebihi yang dimilikinya dengan cara menyewa atau bagi hasil. Sebaliknya peternak Jawa Timur, dengan alasan perlu perhatian khusus pada usaha unggasnya, mereka menyewakan atau bekerjasama dengan petani lain untuk mengusahakan lahan yang dimilikinya.
8
Tabel 3. Pemilikan Rumah dan Nilai Asset Peternak, Tahun 2008 Penggunaan Lahan Tan. Pangan Tan. Horti. Kolam Lahan Hutan Padang rumput Total Luas
Status Asset Milik sendiri Diusahakan Milik sendiri Diusahakan Milik sendiri Diusahakan Milik sendiri Diusahakan Milik sendiri Diusahakan Milik sendiri Diusahakan
Lampung Tidak Infeksi Infeksi 0,79 1,15 0,81 1,15 0,03 0,05 0,03 0,05 0 0 0 0 0,19 0,07 0,19 0,07 0 0 0 0 1,01 1,27 1,03 1,27
Jawa Timur Tidak Infeksi Infeksi 0,28 0,18 0,26 0,15 0,03 0 0,03 0 0,01 0 0,01 0 0,01 0 0,01 0 0 0 0 0 0,33 0,18 0,31 0,15
(Ha) Jawa Barat Tidak Infeksi Infeksi 0,17 0,18 0,22 0,18 0,02 0,01 0,02 0,01 0 0 0 0 0 0 0,01 0 0 0 0,01 0 0,19 0,19 0,26 0,19
Berdasarkan kepemilikan asset, peternak Lampung dan Jawa Timur memiliki asset relatif lebih tinggi dibandingkan peternak Jawa Barat. Karakteristik pemilikan asset ini besar pengaruhnya terhadap kinerja usaha unggas.
Hal tersebut terkait
dengan pengelolaan usaha unggas, sumber pendapatan dan resiko usaha utama yang mereka lakukan.
4.3.
Pengetahuan Tentang Kebijakan Penanggulangan AI Tingkat pengetahuan responden terhadap komponen kebijakan pengendalian
wabah AI mempengaruhi tingkat keyakinan peternak dalam melaksanakan pengendalian wabah AI. Kepada peternak ditanyakan apakah mereka mengetahui beberapa komponen utama pengendalian AI, yang semuanya dapat dilakukan oleh peternak. Pada Tabel 4 disajikan hasil jawaban peternak. Secara total, hanya 25,1 persen yang mengetahui komponen pengendalain wabah AI secara keseluruhan, sedangkan sisanya hanya mengetahui item tertentu saja. Tabel 4 memperlihatkan bahwa peternak yang mengetahui keseluruhan item kebijakan penanggulangan AI berkisar antara 9,6 (tingkat serangan berat) sampai 35,4 persen (daerah tingkat serangan ringan). Semakin tinggi tingkat serangan semakin kecil persentase peternak yang mengetahui semua item pengendalian wabah AI. Dengan demikian, pada wilayah serangan berat justru hanya sebagian kecil peternak yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang kebijakan pemerintah. Hal ini
9
disebabkan oleh pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan oleh pemerintah daerah yang kurang intensif. Tabel 4. Jumlah Peternak yang Mengetahui Item Kebijakan Penanggulangan AI Item
Ringan
Sedang
Berat
Total
1. Pemusnahan
57.5
69.2
47.9
58.2
2. Vaksinasi
95.4
96.7
53.3
81.8
3. Penyemprotan Kandang
92.9
96.3
55.0
81.4
4. Diisolasi
36.7
29.2
9.6
25.1
5. Pembakaran
54.6
74.2
50.0
59.6
6. Penggantian
35.4
36.3
19.2
30.3
7. Pemberian antibiotik
51.3
50.4
24.2
41.9
Tahu Semua Item
35.4
29.2
9.6
25.1
Angka ini sekaligus
memperlihatkan bahwa peternak pada tingkat
pengetahuan yang relatif rendah dan hal ini berlaku untuk semua responden. Tingkat pengetahuan ini relatif rendah, maka tidak heran mengapa semakin berat wilayah serangan, maka semakin berat dampak sosial ekonomi yang dihadapi. Hal ini menunjukan lemahnya sistem penyuluhan dan sosialisasi pemerintah dalam pengendalian AI, sehingga peternak tidak melakukan persiapan atau tidak mendapat bantuan untuk melakukan antisipasi terhadap wabah AI. Transfer ilmu pengetahuan antara peternak juga tidak mungkin dilakukan karena tingkat pengetahuan mereka yang rendah. 4.4.
Pengetahuan Tentang Gejala Penyakit Flu Burung Tingkat pengetahuan seseorang terhadap sesuatu akan mempengaruhi kualitas
perilakunya dalam menghadapi sesuatu tersebut. Dalam hal ini, kualitas perilaku peternak dalam menghadapi wabah AI sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan peternak terhadap penyakit AI dan bagaimana menghadapinya, serta usaha-usaha pengendalian yang harus dilakukan. Secara umum,
pemerintah setempat, para
penyuluh dan petugas-petugas pelayanan dari swasta, pada masa wabah telah melakukan sosialisasi tentang gejala penyakit AI dan cara-cara pengendaliannya. Namun sosialisasi itu dilakukan setelah wabah AI berlalu dan peternak sudah terlanjur menderita. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cepatnya tingkat serangan penyakit AI.
10
Pemahaman peternak tentang gejala penyakit AI dapat diketahui dengan menyebutkan sebanyak 13 gejala penyakit AI, yang semuanya merupakan satu paket dari keseluruhan gejala AI. Jumlah peternak yang mengetahui gejala AI didasarkan pada persentase peternak yang mengetahui setiap gejala AI. Dari hasil perhitungan yang diperlihatkan pada Tabel 5 dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (i) pada umumnya peternak tidak mengetahui ke 13 gejala tersebut sebagai gejala AI, (ii) persentase responden yang mengetahui keseluruhan gejala AI tersebut 8 persen untuk wilayah wabah ringan, 2 persen wilayah sedang dan 2,5 persen pada wilayah berat, (iii) secara total terdapat 2,6 persen responden yang mengetahui keseluruhan gejala AI. Tingkat pengetahuan yang relatif rendah tersebut, mengakibatkan relatif sulit bagi peternak untuk mampu menghadapi wabah AI. Gejala yang paling diketahui peternak tentang gejala penyakit adalah ayam yang mati mendadak, jengger bengkak berwarna kebiruan, serta warna kulit yang kemerah-merahan . Tabel 5. Persentase Responden yang Mengetahui Gejala Penyakit AI Ringan
Sedang
Berat
Total
Unggas Mati Tiba-Tiba
94.2
94.2
82.9
90.4
Bulu Tidak Teratur
2.9
2.1
9.6
4.9
Makan Sedikit
10.8
5.8
10.8
9.2
Suhu Panas
8.0
8.8
7.1
6.5
Mengantuk
9.2
7.1
6.3
7.5
Lemah
4.6
8.3
9.6
7.5
Jengger Bengkak Kebiruan
73.3
90.4
56.7
73.5
Kulit Kemerah-merahan
24.6
15.0
17.1
18.9
Diare
4.6
2.5
7.1
4.7
Susah Bernapas
2.5
10.4
15.8
9.6
Produksi Berhenti/turun
2.5
2.9
2.5
2.6
Warna Tinja Putih
6.3
13.3
12.1
10.6
Karkas Biru
7.5
25.0
21.3
17.9
8.0
2.1
2.5
2.6
Tahu Semua Item
4.5.
Modal Sumberdaya Status sosial ekonomi suatu rumah tangga dapat ditunjukkan dengan
kemampuan rumah tangga tersebut dalam mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan ini dapat dibedakan menjadi kebutuhan primer
11
dan sekunder. Perilaku rumah tangga responden dalam kaitannya dengan manajemen keuangan rumah tangga diketahui dengan membandingkan besarnya pengeluaran sebelum dan sesudah terjadi wabah. Dari sini dapat dianalisis besar kecilnya dampak yang ditimbulkan oleh wabah AI, baik langsung maupun tidak langsung dalam pengeluaran uang untuk berbagai keperluan rumah tangga.
4.5.1. Pengeluaran untuk Kesehatan Bagi sebuah keluarga, kondisi kesehatan yang prima merupakan dambaan, termasuk responden dari studi ini. Hampir setiap rumah tangga menyediakan anggaran untuk kesehatan keluarga yang besarnya disesuaikan dengan keadaan keuangan. Dari data pengeluaran rumah tangga dapat diketahui besarnya alokasi untuk memelihara kesehatan anggota keluarga. Tabel 6 menyajikan perbedaan besarnya anggaran untuk kesehatan, sebelum dan sesudah wabah AI. Di semua lokasi studi terjadi kenaikan pengeluaran untuk kesehatan yang cukup tinggi. Hal ini kalau dikaitkan dengan terjadinya wabah AI, terasa aneh, karena wabah AI disatu pihak menyebabkan kerugian bagi peternak, tetapi dipihak lain justru terjadi pengeluaran untuk kesehatan. Salah satu kemungkinan adalah dimilikinya cadangan dana atau tabungan oleh responden dan adanya prioritas keluarga untuk lebih memperhatikan kesehatan keluarga, dalam rangka menghindari virus AI. Peningkatan yang relatif tinggi terjadi dilokasi medium dan high incidence, yaitu pada peternakan yang bebas AI. Tabel 6. Rata-rata Pengeluaran untuk Kesehatan (Rp000)
No 1. 2 3
Kejadian Ringan Sedang Berat
Terserang Sebelum Setelah 297.31 594.83 381.08
Tidak terserang Sebelum Setelah
633.83 896.15 775.82
276.62 397.53 307.02
454.16 817.61 838.81
Total Sebelum Setelah 290.7 517.2 366.0
576.2 865.3 788.7
4.5.2. Pengeluaran untuk Pendidikan Berbeda dengan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan, pengeluaran untuk pendidikan mengalami penurunan, terutama terjadi di lokasi high incidence, baik untuk ternak yang terinfeksi maupun yang bebas (Tabel 7). Demikian pula terjadi sedikit penurunan di lokasi serangan sedang, yaitu pada rumah tangga yang ternaknya terinfeksi AI. Data menunjukkan adanya dampak langsung wabah AI di 12
lokasi serangan berat. Namun demikian, dilokasi serangan ringan dan sedang, yaitu untuk rumah tangga yang tidak terkena infeksi justru terjadi peningkatan biaya pendidikan. Kalau dilihat menurut lokasi studi, maka penurunan terjadi dilokasi serangan berat dan peningkatan terjadi dilokasi serangan ringan dan sedang. Perilaku rumah tangga dalam alokasi biaya pendidikan, khususnya dilokasi serangan berat mengindikasikan bahwa responden lebih melihat pentingnya aspek kesehatan dibanding aspek pendidikan. Hal ini dapat diartikan bahwa responden masih lebih mementingkan mencari solusi yang sifatnya jangka pendek belum ke jangka panjang. Menjaga kesehatan menjadi lebih prioritas bagi sebagian responden karena biaya pengobatan bagi anggota keluarga yang sakit biasanya tidak kecil. Dampak wabah AI dalam hal ini menjadi jelas mempengaruhi anggaran rumah tangga untuk keperluan kesehatan, bukan untuk biaya pendidikan, khususnya bagi responden dilokasi serangan berat. Tabel 7. Rata-rata Pengeluaran untuk Pendidikan (Rp000) No 1 2 3
Kejadian Ringan Sedang Berat
Terserang Sebelum 2,007.73 2,518.62 1,606.15
Setelah 2,473.31 2,411.51 1,590.30
Tidak terserang Sebelum 2,045.44 1,711.28 1,879.92
Setelah 2,561.15 2,524.71 1,317.61
Total Sebelum 2,019.8 2,201.1 1,662.0
Setelah 2,501.5 2,456.0 1,534.6
4.6. Kesejahteraan 4.6.1. Pengeluaran untuk Konsumsi Walaupun wabah AI merugikan secara ekonomi, ternyata bagi responden hal ini tidak sampai menurunkan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi sehari-hari. Hasil survei justru menunjukkan terjadinya peningkatan pengeluaran untuk konsumsi disemua lokasi studi. Peningkatan terbesar terjadi diantara responden yang tidak mengalami wabah AI, terutama diantara responden dilokasi serangan berat, yaitu kenaikan sebesar Rp. 2,5 juta/tahun, disusul oleh lokasi serangan sedang dan ringan, masing-masing Rp. 1.8 juta/tahun dan Rp. 1.5 juta/tahun (Tabel 8). Kebutuhan dasar berupa pangan sehari-hari untuk keluarga merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda ketersediannya, kecuali mampu menahan lapar. Peningkatan pengeluaran kemungkinan besar terjadi karena meningkatnya harga kebutuhan pokok, bukan karena tingkat konsumsi yang meningkat. Artinya, dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar konsumsi keluarga yang jumlahnya relatif sama, responden harus meningkatkan
13
jumlah pengeluaran. Hal ini merupakan sesuatu yang positif bagi anggota keluarga karena kebutuhan pokok pangan tidak dikorbankan karena terjadinya kenaikan harga.
Tabel 8. Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi (Rp000) Terserang No 1. 2 3
Tidak terserang
Total
Kejadian Ringan Sedang Berat
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
5,274.04 7,142.39 7,656.57
6,882.09 8,876.38 7,864
5,526.74 6,282.68 6,224.49
7,099.32 8,116.65 8,790.22
Sebelum 5,355.1 6,804.3 7,364.2
Setelah 6,951.8 8,577.6 8,053.1
4.6.2. Pengeluaran untuk Peralatan Rumah Tangga Pengeluaran lain yang langsung berkenaan dengan anggota rumah tangga adalah bentuk pengeluaran lain yang juga perlu dipenuhi oleh responden. Salah satunya adalah kebutuhan peralatan rumah tangga, mulai dari alat-alat elektronik untuk hiburan sampai alat-alat mask didapur. Pada lokasi serangan ringan, terjadi kenaikan pengeluaran, sedang di lokasi serangan berat terjadi kenaikan hampir tiga kali untuk peternakan yang terserang. Angka-angka di lokasi serangan berat sulit untuk dikaitkan dengan kejadian wabah AI, karena peternakan yang terkena wabah AI justru mempunyai kemampuan untuk membeli peralatan rumah tangga. Dari Tabel 9 menarik untuk disimak yaitu data dari lokasi serangan sedang yang angkanya menunjukkan penurunan sebesar Rp. 881 ribu/tahun pada peternakan yang terkena wabah, sedangkan pada peternakan yang bebas AI terjadi penurunan Rp. 843 ribu/tahun. Angka-angka ini dalam batas tertentu dapat menunjukkan keterkaitan antara dampak AI dengan kemampuan rumah tangga yang menurun dalam membelanjakan uangnya. Tabel 9. Rata-Rata Pengeluaran untuk Peralatan Rumah Tangga (Rp000) No 1 2 3
Kejadian Ringan Sedang Berat
Terserang Sebelum Setelah 481.91 2,624.76 740.01
974.06 1,743.93 2,087.30
Tidak terserang Sebelum Setelah 554.41 2,174.20 516.84
787.14 1,331.06 455.51
Total Sebelum Setelah 505.2 2,447.6 694.4
914.1 1,581.5 1,754.1
14
4.6.3. Pengeluaran untuk berbagai Kesenangan Pengeluaran yang sifatnya untuk kesenangan, seperti bepergian kekota, berkunjung ke saudara, berekreasi dsb. umumnya menempati prioritas yang lebih rendah. Demikian pula besaran uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk maksudmaksud tersebut juga relatif kecil. Hal ini tampak diketiga lokasi studi, meskipun besaran uang dilokasi serangan sedang relatif lebih besar dari kedua lokasi lainnya. Dari besaran uang yang dikeluarkan, dapat diketahui bahwa responden belum banyak yang mampu untuk melakukan hal-hal yang sifatnya “membuang uang”, berhubung masih banyaknya kepentingan lainnya yang memerlukan pembiayaan. Dari Tabel 10 dapat dilihat adanya penurunan dilokasi serangan berat dan dilokasi serangan sedang, khusus untuk yang terinfeksi, sedang dilokasi serangan ringan justru menunjukkan adanya kenaikan. Tabel 10. Rata-Rata Pengeluaran untuk Berbagai Kesenangan (Rp000) No 1 2 3
4.7.
Kejadian
Terserang Sebelum Setelah
Ringan Sedang Berat
122.85 670.34 177.96
150.46 266.34 116.38
Tidak terserang Sebelum Setelah 103.50 217.98 184.69
137.66 317.55 176.53
Total Sebelum Setelah 116.6 492.4 179.3
146.4 286.5 128.7
Modal Sosial
4.7.1. Hubungan Sosial Terjadinya wabah AI diperkirakan mengganggu hubungan sosial antar warga masyarakat di lokasi studi. Hal ini disebabkan oleh meluasnya kekhawatiran baik diantara peternak maupun non peternak, karena AI telah menimbulkan korban bukan hanya pada ayam, tetapi juga korban manusia. Pemberitaan meluas di media massa mengakibatkan semua pihak waspada terhadap dampak yang ditimbulkan oleh wabah AI. Hasil survei menunjukkan ternyata tingkat hubungan sosial diantara masyarakat relatif tidak terganggu, seperti dapat dilihat Tabel 11. Angka dalam Tabel 11 menunjukkan angka rata-rata dari berbagai variabel yang menjadi indikator perubahan hubungan sosial dan dicantumkan dibagian bawah Tabel. Misalnya, secara umum, peternakan yang terkena infeksi lebih banyak responden yang merasakan bahwa wabah AI berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat, dengan rata-rata 45 persen. Sebaliknya diantara peternakan yang bebas angkanya hanya 19 persen.
15
Menarik untuk disimak adalah peternak yang bebas wabah AI dilokasi high incidence, kurang dari 10 persen yang merasa adanya perubahan hubungan sosial karena wabah AI. Kuatnya rasa kekeluargaan di antara masyarakat dilokasi studi mengakibatkan wabah AI tidak mampu mempengaruhi hubungan diantara warga masyarakat. Perasaan kurang senang dari penduduk yang tidak memelihara unggas akan terjadinya wabah AI mampu ditahan sehingga tidak terjadi antara pemelihara dan bukan pemelihara unggas.
Demikian pula tidak pernah dilaporkan adanya
retaknya hubungan antara desa yang terkena wabah AI dengan desa yang bebas. Rupanya perkiraan dari luar tentang tergangunya hubungan sisal diantara warga masyarakat tidak dapat diketemukan secara nyata dilokasi studi. Tabel 11. Dampak wabah AI terhadap Hubungan Sosial Responden (%) No 1 2 3 4 Notes:
Hubungan/konflik/solidaritas 1) Antara Ringan Sedang Berat Total 1)
Terserang
Tidak terserang
36.2 42.9 57.3 45.4
17.6 29.5 8.5 18.6
Hubungan antar warga, peternak dan non peternak, warga dan kantor dinas peternakan, warga dan kader desa, warga dan kantor desa, desa dan desa tetangga, konflik antara peternak dan non peternak, solidaritas peternak dan non peternak
4.7.2. Jejaring Sosial Networking Jejaring sosial disini dimaksudkan jejaring yang dimiliki oleh peternak dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan usahanya, termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Kuatnya jejaring sosial tentu saja akan mampu meringankan beban yang diderita oleh responden yang terkena terinfeksi AI. Tabel 12 menyajikan informasi tentang apakah peternak menerima bantuan dan pihak lain ketika wabah AI muncul. Secara keseluruhan hampir 80 persen peternak yang ayamnya terinfeksi tidak memperoleh bantuan selama wabah, sedang bagi yang terkena wabah, hanya 36 persen yang tidak memperoleh bantuan. Disamping itu, keterlibatan berbagai pihak seperti pihak tokoh desa setempat, aparat pemerintah dan rekanan bisnis ternyata relatif minim perannya. Untuk lokasi studi dengan serangan ringan dan sedang, ternyata peran rekanan bisnis lebih menonjol dibanding lainnya, meskipun hal seperti ini tidak terjadi dilokasi serangan berat.
16
Tabel 12. Responden Penerima Bantuan dari Pihak Lain (%) No 1
2
3
4
Bantuan dari Serangan Ringan - Tidak ada - Pimpinan desa - Pemerintah - Rekan bisnis
Terserang
Tidak terserang
80.4 6.7 8.6 11.7
85.7 3.9 7.8 16.9
Serangan Sedang - Tidak ada - Pimpinan desa - Pemerintah - Rekan bisnis
58.2 2.7 5.5 13.7
61.7 6.4 4.3 12.8
Serangan Berat - Tidak ada - Pimpinan desa - Pemerintah - Rekan bisnis
92.7 4.7 10.5 3.7
89.8 4.1 2.0 4.1
Total - Tidak ada - Pimpinan desa - Pemerintah - Rekan bisnis
78.6 6 8.4 9.2
35.7 2.7 3.8 4.2
Selain adanya bantuan dan peran berbagai pihak dalam kaitannya dengan saat terjadinya wabah AI, dampak lain wabah terhadap berbagai aspek jejaring sosial juga menjadi bagian dari informasi yang dikumpulkan. Jejaring sosial yang dimaksud disini mulai dari solidaritas masyarakat sampai pada kemungkinan terjadinya depresi psikis pada responden. Secara keseluruhan dari ketiga lokasi studi tampak bahwa 80 persen dari responden yang terkena wabah merasa bahwa wabah AI tidak berpengaruh terhadap berbagai variabel jejaring sosial. Sedangkan hampir 20 persen responden merasakan adanya peningkatan dari berbagai variabel tersebut. 4.7.3. Kebiasaan Sosial Secara umum, kebiasan sosial adalah hal-hal yang biasa dipraktekkan oleh masyarakat dan telah memperoleh legitimasi bersama. Kebiasaan sosial dalam studi ini dikaitkan dengan praktek memelihara ayam, mulai yang menyangkut tentang aturan masyarakat sampai kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di lokasi studi. Artinya, apakah dengan adanya wabah AI terdapat dampak yang dirasakan atau dialami responden. Dari berbagai variabel yang ditanyakan, ternyata sebagian besar responden menyatakan bahwa wabah AI tidak
17
berdampak nyata terhadap berbagai variabel tersebut dan hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Menarik untuk disimak adalah tentang kebiasaan mengkonsumsi ayam dan telur serta praktek memelihara ayam yang terjadi dilokasi serangan ringan dan sedang. Persentase responden yang menyatakan berdampak relatif lebih tinggi dibanding dilokasi serangan berat. Sebaliknya praktek mencari pekerjaan akibat berhentinya usaha peternakan banyak diakui oleh responden di lokasi serangan sedang dan berat. Kedua hal ini menunjukkan ciri khas dari masing-masing lokasi berkaitan dengan kebiasaan mereka akibat adanya wabah AI. Secara keseluruhan Tabel 13 juga menunjukkan bahwa praktek memelihara ayam menjadi variabel yang dipilih oleh sekitar 30 persen responden diketiga lokasi.
18
Tabel 13. Dampak Wabah AI terhadap Berbagai Kebiasaan Sosial (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kebiasaan Sosial Kebiasaan masyarakat Kesepakatan masy. Kebiasaan mengkonsumsi ayam/telur Kebiasaan dalam memelihara ayam Kebiasaan dalam menjual ayam/telur Kebiasaan dalam memotong ayam Penggunaan ayam untuk upacara Menjadikan ayam sebagai hobi Keluarga mencari pekerjaan Perempuan mengelola bisnis Perempuan dalam pemasaran ayam/telur Kelompok dalam menentukan harga jual Kelompok dalam penyediaan fasilitas farm Perubahan dalam praktek beragama
Serangan ringan Tidak Terserang terserang 12.3 9.1 7.4 2.6
Serangan sedang Tidak Terserang terserang 4.1 4.3 4.1 6.4
Serangan berat Tidak Terserang terserang 2.1 4.1 1.0 0
Total
6 4
Tidak terserang 5.9 3.6
Terserang
21.5
14.3
19.9
16.0
3.1
2.0
14
12.3
20.2
16.9
57.5
66.0
13.1
4.1
28.4
35
3.1
0
11.0
8.5
3.1
4.1
5.4
4.5
7.4 3.1 13.5 0.6 3.1
7.8 1.3 11.7 1.3 3.9
1.4 0.7 4.1 24.0 8.2
3.2 0 2.1 23.4 8.5
0 0.5 7.8 46.6 2.1
0 4.1 4.1 20.4 2.0
2.8 1.4 8.6 25 4.2
4.1 1.4 5.9 15 5.4
1.8
2.6
4.8
3.2
3.1
6.1
3.2
3.6
0
1.3
6.2
8.5
0
0
1.8
4.1
0.6
1.3
6.2
9.6
1.0
0
2.4
4.5
0.6
0
9.6
5.3
1.0
0
3.4
2.3
19
4.7.4. Kepercayaan Sosial Kepercayaan sosial dimaksudkan sebagai kepercayaan diantara penduduk desa, kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan informal serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hasil survei memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan diatas tidak banyak berubah seperti dinyatakan secara keseluruhan oleh lebih dari 80 persen responden, seperti dapat disimak pada Tabel 14. Hasil ini antara lain mengungkapkan bahwa terjadinya wabah AI tidak sampai merusak kepercayaan yang selama ini dibangun oleh masyarakat dilokasi studi. Kekuatan ini merupakan salah satu modal sosial yang dimiliki oleh warga masyarakat dan terus dipelihara sepanjang waktu serta telah teruji kekuatannya. Meskipun demikian, perlu juga dilihat angka kepercayaan sosial diantara peternak yang terkena wabah dilokasi serangan sedang yang relatif rendah, dibanding dengan di kedua lokasi lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lambannya respon dari pimpinan informal dan aparat pemerintah dalam menghadapi wabah AI. Demikian pula, responden di lokasi serangan sedang juga relatif lebih banyak yang menyatakan adanya penurunan kepercayaan mereka, terutama pada pemerintah, yaitu sekitar 17 persen.
20
Tabel 14. Dampak Wabah AI Terhadap Berbagai Kepercayaan Sosial (%) No. Kepercayaan Sosial 1
2
3
Serangan ringan Terserang Tidak terserang
Serangan sedang Terserang Tidak terserang
Serangan berat Terserang Tidak terserang
Total Terserang Tidak terserang
Antar warga - Tidak berdampak - Meningkat - Berkurang
87.7 9.8 0
89.6 10.4 0
74.7 2.0 13.0
89.4 4.3 3.2
97.9 1.0 0.5
100 0 0
87.8 4.2 4.0
91.8 5.4 1.4
Terhadap pimpinan informal - Tidak berdampak - Meningkat - Berkurang
94.5 3.1 0.6
97.4 1.3 1.3
66.4 17.8 7.5
88.3 4.3 5.3
90.6 2.1 3.7
87.8 0 2.4
84.8 7.0 3.8
91.4 2.3 3.2
Terhadap pemerintah - Tidak berdampak - Meningkat - Berkurang
96.3 0.6 1.2
98.7 1.3 0
66.4 8.9 18.5
67.0 6.4 16.0
88.5 1.6 7.3
85.7 2.0 2.0
84.6 3.4 8.6
82.3 3.6 7.3
21
4.7.5. Organisasi Sosial Secara keseluruhan lebih dari 80 persen responden menyatakan bahwa wabah AI tidak sampai mempengaruhi atau berdampak terhadap jumlah organisasi. Demikian pula wabah tidak mempengaruhi jumlah anggota dan menyebabkan berubahnya frekuensi pertemuan yang biasa diadakan. Diantara usaha peternakan yang terkena dan tidak terkena infeksi, hasil survei memperlihatkan relatif tidak terdapat perbedaan, seperti dapat dilihat pada Tabel 15. Sebagian responden di lokasi dengan serangan sedang justru menyatakan bahwa wabah AI menyebabkan peningkatan kinerja organisasi secara umum. Hal ini mungkin karena adanya proses belajar dari pengalaman, sehingga responden berinisiatif untuk berorganisasi lebih baik. Tabel 15. Dampak Wabah AI terhadap Organisasi Sosial (%) No
Aspek Organisasi
Terserang Tidak Meningkat berdampak
1
2
3
4
Tidak terserang Berkurang
Tidak Meningkat berdampak
Berkurang
Serangan ringan - Jumlah organisasi - Jumlah anggota - Frekuensi rapat
87.1 85.3 84.7
7.4 8.6 8.0
-
92.2 92.2 92.2
5.2 5.2 5.2
-
Serangan sedang - Jumlah organisasi - Jumlah anggota - Frekuensi rapat
79.4 78.1 78.8
10.3 8.2 13.7
2.0 5.5 0.7
85.1 71.3 75.3
10.6 8.5 17.2
1.1 13.8 2.1
Serangan berat - Jumlah organisasi - Jumlah anggota - Frekuensi rapat
74.9 70.2 68.6
0.5 -
10.5 12.0 12.6
79.6 75.1 79.6
-
2.0 -
Total - Jumlah organisasi - Jumlah anggota - Frekuensi rapat
80.2 77.4 76.8
5.6
4.6
86.4 79.5 82.3
6.4 5.4 9.1
0.9 5.9 0.9
Namun demikian, informasi berbeda diperoleh dari lokasi serangan berat, yaitu terjadi penurunan kinerja organisasi, meskipun hanya dinyatakan oleh sekitar 10 persen dari responden yang terkena wabah. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh semangat yang menurun akibat menderita karena wabah. Organisasi yang terdapat di ketiga lokasi studi dinilai cukup tangguh dalam menghadapi wabah AI, seperti ditunjukan oleh hasil survei tersebut. Namun demikian, masih perlu diupayakan peningkatan lebih lanjut agar keberadaan organisasi berkaitan dengan 22
usaha peternakan mampu menjembatani berbagai kebutuhan anggota. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai pelatihan secara terprogram, sehingga manfaat adanya organisasi benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh anggota dan bukan hanya sekedar pertemuan arisan, seperti banyak ditemui dilokasi studi. 4.7.6. Keputusan Pengambilan keputusan disini antara lain untuk mengetahui peran kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam usaha peternakan keluarga, terutama dalam hal pengelolaan bisnis seharihari, pemasaran dan hubungan ke masyarakat. Tuntutan peran perempuan untuk hal-hal tersebut secara tidak disadari telah menjadi tugas dan keharusan perempuan dalam rumah tangga peternak. Memang diakui, ketelitian dalam bekerja, kesanggupan dalam bernegosiasi serta penempatan diri di masyarakat dari suatu rumah tangga sering menjadi dominasi perempuan. Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menganggap wabah AI mempunyai dampak untuk ketiga variabel tersebut dan secara keseluruhan, lebih dari 90 persen responden menyatakan hal tersebut. Peningkatan peran tampaknya tidak terlalu berarti, karena angkanya kurang dari 10 persen, baik untuk yang terkena wabah maupun yang tidak terkena. Selain itu, informasi tentang pengambilan keputusan juga dilihat dari peran penyuluh dalam menyampaikan informasi tentang adanya wabah AI, peran asosiasi peternak dalam memotivasi peternak untuk menentukan harga jual serta peran asosiasi dalam memotivasi peternak untuk memiliki berbagai fasilitas untuk usaha peternakan. Hasil survei menunjukkan bahwa secara keseluruhan dampak AI tidak mempengaruhi peran penyuluh dalam menyampaikan informasi, seperti dinyatakan oleh lebih dari 70 persen responden. Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa lokasi serangan sedang kondisinya relatif lebih baik dibanding dua lokasi lainnya. Selain hanya dinyatakan oleh sekitar 60 persen dari responden, jumlah responden yang menyatakan terjadinya peningkatan juga relatif lebih tinggi, terutama dilokasi yang tidak terkena wabah AI. Demikian pula, peran asosiasi juga relatif tidak terkena dampak akibat wabah AI, seperti dinyatakan oleh lebih dari 85 persen.
23
Tabel 16. Dampak Wabah AI terhadap Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (%) Terserang No
Peran Perempuan
1.
Serangan Ringan - Manajemen Unggas - Pemasaran Produk - Hubungan ke Masy. Serangan Sedang - Manajemen Unggas - Pemasaran Produk - Hubungan ke Masy. Serangan Berat - Manajemen Unggas - Pemasaran Produk - Hubungan ke Masy. Total - Manajemen Unggas - Pemasaran Produk - Hubungan ke Masy.
2
3
4
Tidak terserang
Tidak Tidak Meningkat Tidak tahu Meningkat Tidak tahu berdampak berdampak 88.3 90.8 90.2
9.8 7.4 1.2
1.8 1.8 8.6
90.9 94.8 92.2
7.8 5.2 1.3
1.3 6.5
87.0 91.8 93.1
8.2 5.5 .7
2.7 2.0 4.1
88.3 88.3 91.5
10.6 10.6 6.4
1.1 1.1 2.1
95.3 95.3 94.8
2.1 1.6 1.6
2.1 2.6 3.7
93.9 93.9 93.9
-
6.1 6.1 6.1
90.6 92.8 92.8
6.4 5.2 1.8
2.2 2.2 5.4
90.4 91.8 92.3
7.3 6.4 3.2
2.3 1.8 4.5
Tabel 17. Dampak Wabah AI terhadap Peran Penyuluh dan Asosiasi dalam Pengambilan Keputusan (%) Terserang No 1.
2
3
4
Peran Penyuluh Serangan Ringan - Peran Penyuluh - Asosiasi - harga - Asosiasi-fasilitas Serangan Sedang - Peran Penyuluh - Asosiasi - harga - Asosiasi-fasilitas Serangan Berat - Peran Penyuluh - Asosiasi - harga - Asosiasi-fasilitas Total - Peran Penyuluh - Asosiasi - harga - Asosiasi-fasilitas
Tidak terserang
Tidak Tidak Meningkat Tidak tahu Meningkat Tidak tahu berdampak berdampak 74.2 92.2 93.2
19.6 1.2 1.2
5.5 6.8 5.5
81.8 88.3 89.6
14.3 1.3 2.6
3.9 10.4 7.8
67.8 84.9 78.1
26.7 4.1 8.9
5.5 11.0 13.0
63.8 77.7 78.7
34.0 12.8 12.8
2.1 9.6 8.5
70.2 91.6 91.6
23.0 -
5.2 7.3 6.8
75.5 91.8 89.8
16.3 4.1
8.2 8.2 6.1
70.8 89.8 88.2
23.0 1.6 3.0
5.4 8.2 8.2
72.7 84.5 85.0
23.2 5.9 7.3
4.1 9.5 7.7
24
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 5.1.
Kesimpulan
1. Kerugian yang ditimbulkan wabah AI disebabkan terutama oleh kematian unggas yang tinggi, penurunan produksi dan permintaan hasil ternak menurun. Selain itu, penyebab lain adalah dari aspek manusia, yaitu peternak skala kecil tidak mempunyai tingkat pendidikan yang cukup dan hampir tidak mungkin melakukan biosecurity yang membutuhkan biaya dengan keuntungannya yang belum nyata. Pilihannya adalah tidak beternak atau biosecurity dumumnya mereka memilih beternak. 2. Dampak wabah AI di suatu wilayah tidak menyebabkan kerusakan kekayaan sosial yang ada, namun terindikasi bahwa semakin padat populasi ayam dan peternak dalam sebuah desa, maka semakin berat wabah AI yang terjadi, yang dicirikan oleh banyak usaha ternak yang berhenti akibat kematian ayam yang tinggi. Sebaliknya, di wilayah kontrol (serangan rendah), letak peternakan relatif berjauh dari pemukiman dan dalam desa yang relatif jarang penduduknya, sehingga kejadian wabah AI relatif jarang. Implikasi dari keadaan ini adalah perlunya usaha peternakan sektor 4 dipindahkan ke desa-desa yang kerapatan penduduk dan ternaknya rendah. 3. Wabah AI tidak merusak keadaan sosial di pedesaan tetapi merusak sendi-sendi perekonomian pedesan yakni teradinya kerusakan sistem ekonomi yang telah eksis, meningkatkan pengangguran, peningkatan migrasi dan sebagainya. Keadaan sosial yang tidak berubah tersebut tidak menjadi jaminan bagi tidak terjadinya wabah AI pada masa mendatang. Hal ini disebabkan sebetulnya masyarakat memiliki kepekaan yang rendah terhadap wabah AI, sebagai akibat lemahnya sosialisasi pemerintah, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, rasa setiakawan yang tinggi dan tidak ada pilihan usaha lain. 4. Sebuah desa seperti desa lokasi penelitian telah berubah menjadi sebuah ”Peternakan Skala Besar” yang menempati desa tersebut. Pada umumnya, sebuah desa peternakan semacam itu telah mempunyai organisasi dan hubungan sosial dan hubungan kerja antara masyarakat. Hubungan ini hanya dapat dipertahankan jika peternak skala kecil bangkit kembali. Recovery tidak berlangsung dengan cepat di lokasi serangan berat, karena sebagian besar peternak tidak mempunyai pilihan lain selain usaha unggas. Kebangkrutan usaha unggas berarti kebangkrutan ekonomi rumah tangga.
25
5. Peternak baik diwilayah kontrol maupun wilayah terserang berat, tidak begitu respon dengan program pengendalian wabah AI yang dilakukan pemerintah. Sebagian besar peternak tidak mengetahui dengan baik terhadap program pengendalian wabah AI. Tetapi peternak bersedia melakukan suatu program jika program tersebut tidak menimbulkan kerugian dan tambahan biaya bagi peternak. Program vaksinasi adalah program yang banyak diterima oleh peternak karena program ini merupakan bantuan gratis dari pemerintah. Dalam hal pemusnahan ayam terserang, peternak hanya mau melakukan jika petugas pemerintah bersama mereka, sebaliknya jika tidak ada petugas, peternak akan menjual ayam sakit tersebut, sebagai tambahan pendapatan keluarga.
5.2.
Implikasi Kebijakan
1. Saatnya sekarang dinyatakan bahwa usaha ternak skala kecil tidak diperbolehkan lagi dalam bentuk mandiri, harus dalam bentuk kemitraan dengan sistem inti-plasma. Sistem ini menjamin lalu lintas input dan output yang aman dan termonitor. Pada sisi lain, penempatan usaha skala kecil harus terpisah dari sektor usaha backyard. Ini berarti diperlukan program agar usaha skala kecil dipindahkan dari pemukiman pedesaan yang padat. Perlu ada rumusan baku spesifik lokasi tingkat kepadatan jumlah penduduk terhadap total areal dan berapa jumlah ternak sektor E yang dapat berada di wilayah tsb. 2. Untuk mengurangi kesemrawutan arus lintas input, maka dibutuhkan adanya tata tertib pengemasan dan sistem alat angkut yang digunakan. Hal lain adalah peternak skala kecil dilarang menjual ayam hidup, tetapi hanya diizinkan menjual karkas. Dengan demikian, setiap peternak skala kecil harus menyediakan sebuah peralatan potong ayam, atau bermitra. Peternak skala kecil hanya dapat menjual ternak hidup kepada mitra, dan mitra berkewajiban menyediakan sarana angkutannya yang aman. 3. Atas dasar itu, perlu dirumuskan suatu paket strukturisasi skala kecil dan backyard dalam kaitannya dengan sektor A, B dan C. Rencana restruktusasi tersebut pada dasarnya adalah dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan sektor C dan skala kecil dengan tidak meninggalkan penataan lingkungan hidup yang nyaman. Implementasi praktis dari restrukturisasi adalah diwujudkannya model peternakan skala kecil.
26