STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGANAN FLU BURUNG PADA BURUNG LIAR DI INDONESIA
Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza
STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PENANGANAN FLU BURUNG PADA BURUNG LIAR DI INDONESIA
Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza Jakarta, Desember 2008
LEMBAGA DAN ORGANISASI PENDUKUNG: Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Pusat Penelitian Biologi – LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), CIVAS (Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies), IdOU (Perhimpunan Ornitolog Indonesia), WCS-IP (Wildife Conservation Society-Indonesia Program), WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme), dan Yayasan Kutilang Indonesia. Pendanaan bagi proses-proses lokakarya dan perumusan didukung oleh APHIS - United States Department of Agriculture, dan Komnas FBPI
TIM PERUMUS (BERDASARKAN ABJAD): Albert T. Mulyono, Ani Mardiastuti, Dewi M. Prawiradilaga, Dwi Astuti, Heru Setijanto, Ige Kristanto, Indra Exploitasia Semiawan, Mira Fatmawati, Mochamad Indrawan, Pudjo Setio, Umi Purwanti, Wilson Novarino, Wishnu Sukmantoro, Winda Widyastuti, Yeni A. Mulyani, Yus Rusila Noor, dan Zulfi Arsan.
EDITOR: Heru Setijanto (Editor Utama), Mochamad Indrawan, Ani Mardiastuti, Dewi M. Prawiradilaga, Yeni A. Mulyani, Yus Rusila Noor, dan Mira Fatmawati
Desain sampul Tata Letak Foto Sampul Fotografer
: Djatmiko Widhi W. : Arif Faisal : :
iii DAFTAR SINGKATAN APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APHIS-USDA : Animal and Plant Health Inspection Service United States De partment of Agriculture BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balitbangkes : Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan BBLITVET : Balai Besar Penelitian Veteriner BBVet : Balai Besar Veteriner BKN : Badan Koordinasi Nasional BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam BPPV : Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner BTN : Balai Taman Nasional FB : Flu Burung FKH : Fakultas Kedokteran Hewan CITES : Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CIVAS : Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies DEPHUT : Departemen Kehutanan DEPKES : Departemen Kesehatan DEPTAN : Departemen Pertanian Dirjen : Direktur Jenderal DNA : Deoxyribonucleic Acid (Asam Deoksiribonukleat) DSO : District Surveillance Officer EFSA : European Food Safety Authority FAO : Food and Agricultural Organization of the United Nations HPAI : Highly Pathogenic Avian Influenza IBA : Important Bird Area IBBS : Indonesian Bird Banding Scheme IdOU : Indonesian Ornithologists’ Union (Perhimpunan Ornitolog Indo nesia) IPB : Institut Pertanian Bogor KAN : Komite Akreditasi Nasional Keppres : Keputusan Presiden Kesling : Kesehatan Lingkungan Kesra : Kesejahteraan Rakyat KNEPK : Komite Nasional Etika Penelitian Kesehatan Komnas FBPI : Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza
iv Kpts LIPI LPAI LSM Mentan Menko OIE
: : : : : : :
PBB : PCR : PEMDA : PDSR : PHKA : Polhut : PP : PPS : POSKESBURLI : Ristek : RPJP : RPJM : Satker : Satgas : SDM : SDT : SK : SKB : SOP : TN : TNPFBBL : TTC : UGM : UNAIR : UN-CBD : UNUD : USGS NHWC : UU WCS-IP WI-IP YKI
: : : :
Keputusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Low Pathogenic Avian Influenza Lembaga Swadaya Masyarakat Menteri Pertanian Menteri Koordinator Office International des Epizooties (World Organization for Ani mal Health) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Polymerase Chain Reaction Pemerintah Daerah Participatory Disease Surveillance and Response Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Polisi Hutan Peraturan Pemerintah Pusat Penyelamatan Satwa Pos Kesehatan Burung Liar Riset dan Teknologi Rencana Pembangunan Jangka Pendek Rencana Pembangunan Jangka Panjang Satuan Kerja Satuan Tugas Sumber Daya Manusia Sistem Database Terpadu Surat Keputusan Surat Keputusan Bersama Standard Operating Procedure Taman Nasional Tim Nasional Penanggulangan Flu Burung pada Burung Liar Tim Tanggap Cepat Universitas Gadjah Mada Universitas Airlangga United Nation Convention on Biological Diversity Universitas Udayana United States Geological Survey National Hydrologic Warning Council Undang-undang Wildlife Conservation Society – Indonesia Program Wetlands International – Indonesia Program Yayasan Kutilang Indonesia
v RINGKASAN EKSEKUTIF Melalui serangkaian proses konsultasi dan perumusan oleh para pemangku kepentingan, telah dirumuskan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penangananan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia. Dokumen ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam mencegah dan menangani kasus flu burung pada burung liar yang ada di Indonesia. Tujuan pembuatan dokumen ini adalah agar kegiatan surveilans flu burung di Indonesia berjalan dengan selaras dan saling menunjang. Untuk merumuskan dan melaksanakan strategi nasional secara efektif, diperlukan landasan kebijakan dan kelembagaan yang jelas. Dari segi kebijakan, telah dihasilkan sejumlah produk hukum terkait untuk pengelolaan burung liar. Dari segi kelembagaan, telah diidentifikasi pemangku kepentingan terkait, dengan berbagai kepentingan yang perlu diperhatikan satu persatu, dan sinergi pun perlu dibangun. Secara keseluruhan, aspek kebijakan dan kelembagaan masih dapat ditingkatkan. Dalam perumusan strategi ini perlu diperhatikan berbagai prinsip terkait, termasuk pentingnya kesehatan manusia, pentingnya kesejahteraan satwa, pentingnya mengindahkan standar dan kesepakatan/perjanjian, serta kesadaran bahwa dokumen ini perlu mengantisipasi perubahan-perubahan. Kerangka kerja dokumen ini bertumpu pada tiga pilar, yaitu strategi, rencana aksi nasional, dan penerapan standar surveilans burung liar. Strategi nasional dan rencana aksi sebagai turunannya meliputi tujuh aspek sebagai berikut: 1. Pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini; 2. Pengembangan dan koordinasi riset; 3. Kajian epidemiologi; 4. Prosedur berbagi data (data sharing), pengembangan sistem informasi, dan proses pengambilan keputusan; 5. Pengembangan kemampuan dan pemberdayaan pemangku kepentingan; 6. Penyempurnaan kebijakan sektoral; 7. Pendanaan. Jangka waktu untuk Strategi dan Rencana Aksi Nasional ini ditetapkan selama lima tahun (2009 – 2014). Sistem deteksi dini terhadap flu burung pada burung liar perlu dikembangkan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Sistem deteksi dini ini juga harus dibangun dengan melibatkan departemen teknis terkait, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Pengembangan dan koordinasi riset bertujuan untuk meningkatkan deteksi dini dan karakterisasi infeksi FB serta pelaporannya pada burung liar di tingkat nasional melalui sebuah jejaring surveilans yang terkoordinasi.
vi Epidemiologi dalam kajian burung liar bertujuan untuk menghasilkan informasi mengenai epidemiologi, yang terkait dengan berbagai aspek, terutama: burung liar sebagai jenis reservoir dan target (host) untuk flu burung, sistem tanggap dini berhubungan dengan epidemiologi, dan pengelolaan kesehatan lingkungan untuk mencegah penularan FB pada satwa liar. Koordinasi dilakukan dibawah suatu badan koordinasi nasional, untuk memfasilitasi serta memobilisasi para pihak yang bertanggung jawab atas proses pengambilan keputusan dan pembagian data (data sharing). Untuk meningkatkan terjalinnya alur informasi serta peranserta yang efektif bagi pencegahan dan penanganan flu burung pada burung liar, maka diperlukan pengembangan kemampuan/pemberdayaan pemangku kepentingan secara terencana, terpadu dan menyeluruh. Dalam kaitannya dengan flu burung, kebijakan penanganan burung liar secara umum dapat diperkuat, baik untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan, maupun untuk memobilisasi dana secara efektif. Sementara itu, untuk mendukung pelaksanaan surveilans pada burung liar dibutuhkan perangkat hukum yang dapat mengkoordinasikan serta mengintegrasikan program selanjutnya dari aksi surveilans terkait. Lebih lanjut, dengan memperhatikan masa kerja badan koordinasi nasional, serta memperhatikan bahwa pengendalian penyakit flu burung di Indonesia telah menjadi contoh kasus yang sangat penting (kesehatan, pertanian, kehutanan) dan telah terdokumentasi dengan baik, maka kegiatan surveilans flu burung di Indonesia perlu dilanjutkan sebagai upaya jangka panjang, dengan menyiapkan kebijakan yang sesuai pula. Lingkup rencana strategi pendanaan adalah untuk mewujudkan mobilisasi sumberdaya keuangan baik dari APBN, APBD, swasta, maupun kerjasama internasional bagi pengelolaan burung liar dan habitatnya terkait pengendalian flu burung. Penggalangan dana perlu memperhatikan kapasitas perencanaan dan pengganggaran termasuk yang berbasis kinerja Sebagai acuan untuk melaksanakan penerapan standar surveilans burung liar, digunakan dua referensi yang bersifat saling melengkapi, yaitu: (a) “Panduan Burung Liar dan Flu Burung: Pengantar riset lapangan terapan dan teknik pengambilan contoh penyakit” oleh FAO dan Wetlands International (didukung oleh Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); (b) “Pedoman Pemantauan Flu Burung (Avian Influenza) pada Burung Air dan Unggas: Disertai Bahan Informasi Kesehatan Masyarakat” oleh Yayasan Kutilang Indonesia dan IdOU (Perhimpunan Ornitolog Indonesia). Untuk masa yang akan datang diperlukan pedoman lain yang lebih terpadu dan menyeluruh.
vii
Daftar Isi Daftar Singkatan Ringkasan Daftar Isi Daftar Lampiran Kata Pengantar BAB I. Pendahuluan Latar belakang Maksud dan tujuan Ruang lingkup Burung liar di Indonesia Burung liar yang menjadi sasaran surveilans Lingkup praktik pengelolaan Kebijakan dan kelembagaan pengelolaan burung liar dan habitatnya Kebijakan Kelembagaan Tantangan bagi kebijakan dan kelembagaan pengelolaan burung liar dan habitatnya Prinsip-prinsip dasar Kerangka kerja rencana strategi dan rencana aksi nasional BAB II. Strategi dan rencana aksi Pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini Pengembangan dan koordinasi riset Kajian epidemiologi Prosedur berbagi bata (data sharing), pengembangan sistem informasi, dan proses pengambilan keputusan Pengembangan kemampuan dan pemberdayaan pemangku kepentingan Penyempurnaan kebijakan sektoral Pendanaan BAB III. Rincian strategi dan rencana aksi BAB IV. Penerapan standar surveilans burung liar dan jenis terkait BAB V.
Penutup
Referensi Lampiran
viii DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Istilah dan definisi
Lampiran 2.
Daftar jenis burung di mana virus flu burung patogenik tinggi H5N1 ditemukan pada populasi burung liar dan/atau burung tangkapan
Lampiran 3.
Jenis-jenis burung sasaran program surveilans
Lampiran 4.
Jenis-jenis burung lahan basah dan burung pemangsa di Indonesia
Lampiran 5.
Beberapa lokasi penting untuk surveilans burung lahan basah di Indonesia
Lampiran 6.
Beberapa lokasi penting untuk surveilans burung pemangsa di Indonesia
Lampiran 7.
Sebaran lahan basah penting untuk burung air
Lampiran 8.
Lokasi sebaran burung pemangsa migran di indonesia
ix KATA PENGANTAR Saat ini flu burung (FB) merupakan salah satu penyakit yang mendapat perhatian serius di seluruh dunia. Penyakit yang disebabkan oleh virus FB tipe A subtipe H5N1 ini mampu menginfeksi hewan (terutama unggas) dan manusia. Ancaman penularan ke manusia membuat dunia khawatir akan perkembangan FB yang berpotensi menyebabkan pandemik influenza. Kerugian akibat FB sangat besar, baik material maupun non material. Jutaan ekor unggas mati akibat infeksi virus FB. Selain kematian unggas, FB juga telah memakan korban manusia. Kematian manusia di dunia telah mencapai lebih dari 250 orang. Di Asia, FB pertama kali dideteksi pada tahun 1997 di Hongkong, yang kemudian menyebar ke beberapa negara Asia lainnya. Kasus FB pada unggas pertama kali terjadi di Indonesia pada bulan Agustus 2003. Pada saat itu serangan terjadi pada peternakan ayam komersial dan menyebabkan kematian ratusan ribu ekor ayam. Hingga saat ini jutaan ekor unggas telah mati akibat penyakit ini. Pada bulan Juli 2005 tercatat kasus FB pertama pada manusia. Data dari Komnas FBPI menunjukkan bahwa kasus FB pada manusia di Indonesia sampai Desember 2008 tercatat sebanyak 141 kasus dengan kematian manusia mencapai 115 orang (case fatality rate, atau tingkat kematian sekitar 82%). Upaya pengendalian virus pada unggas belum dapat dijalankan dengan optimal. Bertambahnya korban manusia dari waktu ke waktu menjadi salah satu indikator belum berhasilnya pengendalian tersebut. Jika upaya pengendalian pada unggas tidak dilakukan secara optimal maka kemungkinan bertambahnya korban manusia semakin besar. Hal ini didasarkan pada fakta, bahwa jalur penularan virus FB yang terjadi masih dari hewan (unggas) ke manusia. Virus FB tipe A secara alami ditemukan pada beberapa jenis burung air, termasuk burung pantai. Terdapat peningkatan jumlah laporan mengenai virus H5N1 yang menginfeksi dan menyebabkan kematian di burung-burung liar, termasuk beberapa jenis burung-burung bermigrasi. Namun demikian, peran burung liar (terutama yang bermigrasi) dalam penyebaran jarak jauh H5N1 sejauh ini belum terbukti secara ilmiah. Sebaliknya, terdapat kemungkinan bahwa burung liar telah menjadi korban dari persebaran H5N1 pada unggas ternak dan peliharaan (termasuk burung dalam sangkar). Di Asia, kematian pada burung liar akibat virus H5N1 berhasil didokumentasikan pada lebih dari 40 jenis burung liar, diantaranya burung bangau, angsa, camar, dan alap-alap. Untuk meningkatkan keamanan hayati (biosecurity) secara nasional, perlu dikembangkan suatu sistem yang mampu mendeteksi masuknya virus-virus flu burung ganas melalui burung-burung liar. Beberapa institusi di Indonesia diketahui telah melakukan berbagai inisiatif kegiatan untuk mengindentifikasi keberadaan virus flu burung pada burung-
x burung bermigrasi yang singgah di Indonesia. Namun, hingga saat ini berbagai informasi mengenai inisiatif tersebut masih tersimpan di setiap institusi yang melaksanakan studi-studi tersebut. Selain itu, setiap institusi memiliki berbagai metode surveilansnya masing-masing. Dengan demikian terjadi resiko tumpang tindih dan pengulangan di lokasi yang sama, serta belum adanya prioritas jenis ataupun standarisasi metodologi pengambilan dan pengujian sampel. Dari berbagai permasalahan yang tergambar di atas maka terbangunnya komunikasi dan jaringan kerja diantara berbagai institusi yang sudah, sedang dan akan melaksanakan surveilans pada burung liar di lapangan sangat mendesak, baik itu dari pihak pemerintah, akademisi, organisasi non-pemerintah, maupun sektor swasta. Selain itu, untuk membawa para pihak yang terkait agar dapat mengkontribusikan sumberdaya dan komitmennya dalam pengendalian dan pencegahan flu burung, sangat penting untuk segera mengembangkan strategi nasional yang disepakati oleh semua pihak dan disetujui oleh pemerintah Indonesia. Strategi nasional tersebut diharapkan akan menjadi pedoman bagi pemerintah dan pihak-pihak lain dalam menyelenggarakan monitoring dan surveilans flu burung ganas pada burung-burung liar, baik di tingkat daerah maupun nasional. Penyusunan Rencana Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia dilakukan melalui tiga langkah. Pada langkah pertama, dilakukan lokakarya nasional yang melibatkan para pihak (14 – 16 April 2008 di Bogor, Jawa Barat). Pada tahap kedua, tim kecil (perumus) bekerja mensintesiskan hasil lokakarya (30 - 31 Juli 2008 di Bogor, Jawa Barat) sehingga dihasilkan dokumen ini. Dalam tahap selanjutnya maka hasil sintesis dan dokumen hasil ini disosialisasikan tanggal 3 Desember 2008 kepada peserta yang telah berkontribusi pada lokakarya nasional. Berbagai lembaga telah mendukung penyusunan rencana strategi dan rencana aksi nasional ini, antara lain Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, CIVAS (Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies), IdOU (Perhimpunan Ornitolog Indonesia), WI –IP (Wetlands International-Indonesia Programme), Wildlife Conservation Society-Indonesia Program) dan Yayasan Kutilang Indonesia. Dukungan dana telah diberikan oleh APHIS - United States Department of Agriculture Ucapan terima kasih disampaikan kepada 98 peserta lokakarya nasional (14 – 16 April 2008) yang telah berkontribusi secara aktif. Naskah ini dirumuskan oleh perwakilan para pihak: Albert T. Mulyono, Ani Mardiastuti (Editor), Dewi Malia Prawiradilaga (Editor), Dwi Astuti, Ige Kristanto, Indra Exploitasia Semiawan, Mira Fatmawati (Editor), Mochamad Indrawan (Editor; Ketua Tim Perumus), Pudjo Setio, Umi Purwanti, Wilson Novarino, Wishnu Sukmantoro, Winda Widyastuti,
xi Yeni A. Mulyani (Editor), Yus Rusila Noor (Editor; Wakil Ketua Tim Perumus), dan Zulfi Arsan, dengan koordinasi Heru Setijanto (Editor Utama; Koordinator Surveilans dan Monitoring Terpadu Komnas FPBI) Suatu hal yang positif dari persiapan dokumen ini adalah keterlibatan para pihak dari berbagai sektor dan bidang. Melalui partisipasi yang efektif maka keberlanjutan akan terbangun. Keberlanjutan adalah hal yang sangat penting, khususnya untuk mengantisipasi emerging dan re-emerging diseases, sehingga dalam jangka menengah dan jangka panjang, penanganan tidak bersifat terburuburu, namun dilakukan secara pro-aktif, sistematik, dan terukur. Dengan terwujudnya dokumen rencana strategis dan rencana aksi nasional untuk penanganan flu burung pada unggas liar ini maka pihak Komnas FPBI berbesar hati telah menjalankan peran fasilitasi, karena penanganan flu burung terbukti membutuhkan pendekatan lintas sektor dan lintas komponen. Tak ada gading yang tak retak. Pada akhirnya, dokumen ini akan selalu dapat diperbaiki, dan sebagai living document maka berbagai perkembangan terbaru dari mutasi virus maupun penanganan yang lebih komprehensif akan selalu terakomodir.
Jakarta,
Desember 2008
Ketua Pelaksana Harian Komnas FPBI
1
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Flu burung (FB) adalah penyakit unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari keluarga atau suku (famili) Orthomyxoviridae. Virus FB memiliki beberapa sub-tipe yang dibedakan menurut antigen haemaglutinin dan neuraminidase (glycoproteins) yang menyelubungi permukaan virus. Sampai sekarang sebanyak 16 antigen haemaglutinin yang berbeda (H1-H16) dan sembilan neuraminidase telah dikenali, dan masing-masing sub-tipe virus diidentifikasi berdasarkan kombinasi antigen yang dimilikinya (seperti H5N1 dan H3N2; lihat Lampiran 1 untuk penjelasan tentang istilah dan definisi). Virus FB dapat diklasifikasikan sebagai patogenik jinak (Low Pathogenic Avian Influenza – LPAI) dan patogenik ganas (High Pathogenic Avian Influenza – HPAI). Pengklasifikasian virus FB sebagai LPAI atau HPAI tergantung tingkat keganasan virus tersebut pada unggas. Sejak lama burung liar telah diketahui sebagai inang dari virus LPAI. LPAI telah diisolasi dari 105 jenis burung liar, dengan reservoir alami terbesar ditemui pada bangsa (ordo) Anseriformes dan Charadriiformes. Kedua bangsa ini juga beranggotakan berbagai jenis yang bermigrasi, yang berdasarkan penelitian terdahulu juga menunjukkan potensinya dalam menyebarkan virus HPAI. Sebanyak 75 jenis dari 10 ordo burung tercatat dapat menyebarkan virus HPAI, hampir 60% diantaranya adalah burung air. Pada burung liar, LPAI bisa mempengaruhi aktivitas mencari makan dan migrasi. Burung yang tertular tidak menunjukkan tanda-tanda klinis penyakit yang jelas. Penyusunan ulang dan penggabungan (replikasi) virus LPAI pada inang bisa menyebabkan munculnya virus yang bersifat lebih ganas. Selain itu pada saat bersirkulasi pada unggas peliharaan virus tersebut bisa bermutasi menjadi HPAI, dimana salah satu HPAI yang mewabah akhir-akhir ini disebabkan oleh H5N1. Namun, data dan informasi yang tersedia sejauh ini belum memadai untuk memberikan kejelasan mengenai peran burung liar dalam penyebaran flu burung, baik yang berkaitan dengan peternakan (unggas) maupun manusia. Kasus FB yang disebabkan oleh H5N1 dilaporkan pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus 2003 di Pulau Jawa dan kemungkinan menyebar ke seluruh Indonesia melalui proses transportasi dan perdagangan unggas. Sejak pertengahan tahun 2003 hingga tahun 2004 kematian unggas akibat kasus ini tercatat telah mencapai jumlah lebih dari 10 juta ekor. Kasus ini tercatat pada ternak unggas (ayam ras petelur, ayam bukan ras, ayam kampung, itik, puyuh, merpati dan perkutut serta jenis lainnya). Sampai dokumen ini dibuat, kasus FB
Pendahuluan
2
telah dilaporkan di 31 dari 33 provinsi di Indonesia. Kasus FB pada manusia dilaporkan pertama kali pada bulan Juni 2005 di Tangerang. Sampai Desember 2008 tercatat sebanyak 141 kasus dengan kematian manusia mencapai 115 orang (case fatality rate atau tingkat kematian sekitar 82%). Walaupun hasil penelitian tidak selalu menunjukkan secara nyata, namun kontak dengan unggas diperkirakan sebagai salah satu cara penularan yang paling sering terjadi. Secara garis besar, bahaya yang ditimbulkan FB bagi Indonesia bisa berupa: • Keselamatan jiwa manusia, baik korban penularan dari unggas ke manusia maupun risiko terjadinya pandemi yang dapat menyebabkan kematian jutaan manusia; • Hancurnya sektor peternakan unggas, yang berakibat pada hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi jutaan peternak; • Menurunnya konsumsi protein hewani, yang dapat menurunkan kualitas SDM dalam jangka panjang; • Potensi risiko ancaman terhadap kelestarian populasi burung liar sebagai salah satu unsur keanekaragaman hayati Indonesia; • Citra buruk (baik karena penyakitnya maupun karena penanganan yang tidak benar) yang dapat menimbulkan kehancuran ekonomi karena travel warning, terancamnya usaha pariwisata, turunnya investasi, anjloknya nilai tukar, dsb.; • Bahaya pandemi, yang dapat menyebabkan kematian jutaan manusia. Flu burung merupakan suatu permasalahan yang bersifat multi-dimensi dan memerlukan pendekatan lintas sektor, termasuk; pertanian, kesehatan, kedokteran, kehutanan, ekologi dan lingkungan, serta perencanaan pembangunan nasional. Berbagai kegiatan yang terkait dengan surveilans FB pada burung liar di Indonesia telah dilaksanakan oleh berbagai pihak, seperti lembaga penelitian, universitas, lembaga konservasi, dan LSM. Tantangan untuk penanganan flu burung secara efektif seringkali ditimbulkan oleh kekurangan dalam landasan kebijakan dan kelembagaan. Dengan demikian, untuk mengharmonisasikan penanganan flu burung diperlukan suatu Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penangananan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia, yang akan dapat memayungi berbagai kegiatan pengelolaan burung liar di habitatnya terkait dengan penanganan flu burung, baik di tingkat nasional maupun daerah. 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN “Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia” disusun mengingat adanya ancaman penyebaran virus FB pada burung liar dan kemungkinan penularannya dari burung liar kepada unggas dan sebaliknya, serta belum adanya strategi nasional yang menyeluruh
3
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
untuk menanggulanginya. Dokumen ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam mencegah dan menangani kasus FB pada burung liar yang ada di Indonesia. Dokumen ini juga dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk membangun komunikasi dan jaringan kerja di antara berbagai sektor serta dijadikan pedoman bagi pemerintah maupun pihak-pihak terkait untuk melaksanakan pengelolaan burung liar dan pengendalian serta penanganan flu burung pada burung liar. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan juga agar kegiatan surveilans FB di Indonesia berjalan dengan sinergis. 1.3. RUANG LINGKUP Jenis burung yang termasuk dalam “Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia” mencakup seluruh jenis burung liar yang ada di Indonesia, baik yang berada di habitat alaminya (termasuk burung liar bermigrasi maupun penetap), maupun burung-burung liar yang berada di habitat non-alami (kebun binatang dan penangkaran). Selanjutnya, berdasarkan tipe pengelolaan utama maka dikenal pembagian secara in-situ, dan ex-situ, sebagaimana di jelaskan pada uraian berikutnya. 1.3.1. Burung Liar di Indonesia Indonesia merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan sangat penting dalam upaya konservasi di dunia. Khusus untuk burung, saat ini tercatat sebanyak 1598 jenis burung tersebar di Indonesia (Sukmantoro dkk. 2007). Jumlah ini mencakup hampir 17% dari kekayaan jenis burung di dunia. Sebanyak 372 jenis diantaranya merupakan jenis yang endemik dan 149 jenis lainnya merupakan burung bermigrasi (migrant). Kelompok burung bermigrasi ini bisa berupa kelompok burung air (waterbird), burung pemangsa (raptor), burung pantai (wader) atau dari kelompok burung bangsa penyanyi (Passeriformes). Burung liar di Indonesia mendiami berbagai tipe habitat, baik habitat alami (dari pantai sampai pegunungan tinggi) maupun habitat buatan (seperti tambak, sawah dan permukiman). Selain itu, burung liar juga bisa dipelihara, baik di lembaga konservasi (misalnya kebun binatang, pusat penangkaran satwa) maupun peliharaan pribadi. Luasnya daerah sebaran burung liar tersebut memungkinkan tingginya interaksi antara burung liar dengan kehidupan manusia, yang selanjutnya memberikan peluang bagi penyebaran virus dari burung kepada manusia. 1.3.2. Burung Liar yang Menjadi Sasaran Surveilans Secara umum, telah dilakukan inventarisasi keberadaan H5N1 pada berbagai jenis burung liar dan burung tangkapan di dunia (Lampiran 2). Berdasarkan pola dan habitat mencari pakannya jenis-jenis burung sasaran program sur-
Pendahuluan
4
veilans dapat dibedakan atas kelompok-kelompok berikut (lihat Lampiran 3 dan 4): a) jenis-jenis burung lahan basah; b) jenis-jenis burung pemangsa; c) jenis-jenis “perantara” (bridge species). Sementara itu, berdasarkan status kehadiran dan perkembang-biakannya di Indonesia, surveilans dapat ditujukan pada: a) jenis-jenis burung bermigrasi; b) jenis-jenis burung yang berkembang biak secara berkoloni. Jenis-jenis burung lahan basah dapat didefinisikan sebagai jenis-jenis burung yang secara ekologi sangat bergantung pada kehadiran lahan basah. Burung lahan basah sering disebut juga sebagai kelompok burung air. Sampai saat ini di Indonesia telah tercatat setidaknya 184 jenis burung lahan basah yang berasal dari 20 suku. Ke-184 jenis burung tersebut dapat digolongkan kedalam beberapa bangsa, dan setidaknya enam bangsa yang sering dikaitkan dengan FB, yaitu: unggas air (bangsa Anseriformes), burung pantai, camar dan dara laut (bangsa Charadriformes), kuntul, cangak dan bangau (bangsa Ciconiiformes), titihan (bangsa Podicipedidae), mandar dan tikusan (bangsa Gruiformes), dan pecuk (bangsa Pelecaniformes). Jenis-jenis burung yang termasuk bangsa tersebut dapat ditemukan pada hampir seluruh tipe habitat lahan basah, termasuk berbagai jenis lahan basah buatan, seperti tambak dan sawah. Terkait dengan FB, jenis-jenis burung lahan basah dapat dikatakan sebagai kelompok terpenting yang perlu mendapatkan perhatian dalam kegiatan surveilans. Alasannya, H5N1 pada burung liar pertama kali ditemukan pada kelompok burung lahan basah di Cina pada tahun 2003, dan dalam perkembangan selanjutnya diketahui bahwa hampir 60% jenis burung liar yang tertular virus H5N1 (dan tingkat kematiannya tertinggi) adalah kelompok burung lahan basah. Kelompok ini perlu mendapat perhatian karena, sebagai kelompok burung liar, tingkat interaksinya sangat tinggi dengan jenis-jenis burung peliharaan yang mencari makan pada habitat yang sama. Dengan demikian, resiko terjadinya penularan dari burung liar kepada burung peliharaan ataupun sebaliknya adalah sangat tinggi. Jenis-jenis burung pemangsa mudah dikenali karena penampakannya yang cukup mencolok, dengan paruh runcing serta kuku tajam. Ukuran tubuhnya beragam, mulai dari burung-burung yang memiliki rentang sayap hanya sekitar 25 - 30 cm hingga burung bangkai yang rentang sayapnya bisa mencapai 3 meter. Burung pemangsa ini, yang tergolong dalam bangsa Falconiformes, terdiri atas berbagai suku: Elang, Alap-alap, Rajawali, dan burung Pemakan-bangkai. Penyebaran atau migrasi burung pemangsa melingkupi seluruh kepulauan yang ada di Indonesia. Di Indonesia diketahui terdapat 71 jenis burung pemangsa, di-
5
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
antaranya 25 jenis yang melakukan migrasi jarak jauh. Beberapa kriteria burung pemangsa yang perlu diperhatikan sebagai sasaran potensial bagi surveilans flu burung di Indonesia adalah: a) b)
c)
jenis yang individunya secara umum pernah tercatat1 terinfeksi flu burung, baik secara in-situ maupun ex- situ; jenis yang individunya secara umum pernah tercatat terinfeksi flu burung, dan jenis atau sub-jenis terkait juga terdapat di dalam wilayah Indonesia, baik sebagai penetap atau burung bermigrasi; jenis yang individunya ternyata terinfeksi di dalam wilayah Indonesia, baik sebagai penetap atau migran: i. jenis yang individunya terjaring atau tertangkap, dan dari tubuhnya diperoleh isolasi H5N1; ii. jenis yang individunya didapatkan mati, dan dari tubuhnya diperoleh isolasi H5N1.
Jenis-jenis “perantara” (bridge species) adalah jenis-jenis burung yang telah beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap habitat yang telah dimodifikasi dan dihuni manusia. Secara kedekatannya dengan manusia, disamping hewan domestik/ peliharaan, jenis-jenis perantara ini adalah yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Beberapa jenis yang sejauh ini telah diketahui tertular H5N1, baik di Indonesia maupun di negara lain, dan banyak dikenal adalah merpati peliharaan Columba livia, bondol dan gereja (suku Estrildidae dan Ploceidae), Gagak (suku Corvidae), dan Jalak (suku Sturnidae). Peristiwa burung bermigrasi merupakan salah satu aspek yang penting bagi surveilans, karena selama ini sering timbul asumsi bahwa burung bermigrasi mampu bertindak sebagai carrier yang efektif, walaupun selama lima tahun terakhir ini penelitian di berbagai belahan bumi tidak berhasil membuktikan asumsi tersebut. Banyak jenis burung mengarungi jarak jauh antara tempat mereka berbiak dan daerah yang bukan daerah ”kelahirannya” selama musim migrasi. Banyak jenis burung yang berbiak di belahan bumi utara - termasuk burung-burung pantai, penyanyi, pemangsa, dll., sebagian, atau bahkan seluruh populasinya bermigrasi pada musim tertentu. Burung air adalah salah satu yang paling dikenal diantara burung bermigrasi musiman tersebut. Sebagai penampung (reservoir) alami, atau yang dikenal sebagai “tempat” terdapatnya virus flu burung, pergerakan jenis ini dapat berperan penting dalam memelihara dan menyebarkan virus-virus jinak dan dapat juga menyebarkan virus H5N1 (walaupun sejauh ini bukti ilmiah tidak, atau belum, ditemukan). ‘Secara umum pernah tercatat’ disini berarti kasusnya pernah didokumentasikan di suatu tempat di dunia, baik dalam jalur migrasi yang mencakup Indonesia, maupun yang tidak mencakup Indonesia (lihat Lampiran 1) 1
Pendahuluan
6
Pada beberapa jenis burung, individu-individu yang berbiak berkumpul di suatu lokasi dan membuat sarang yang saling berdekatan satu sama lainnya, sehingga membentuk kumpulan atau koloni sarang. Jenis-jenis burung yang berbiak dalam koloni umumnya adalah jenis-jenis burung laut dan burung air yang biasa mencari makan di lahan basah, seperti cangak dan kuntul (suku Ardeidae). Pada burung air tidak jarang koloni terdiri atas beberapa jenis burung, misalnya seperti yang ada di Pulau Rambut, Provinsi DKI Jakarta. Jenis burung darat juga ada yang berbiak dalam koloni, misalnya walet (suku Apodidae) dan layang-layang (suku Hirundinidae). Dalam kaitannya dengan surveilans flu burung maka burung yang berbiak dalam koloni, terutama jenis burung lahan basah, sangat penting untuk diperhatikan. Jika ada individu dalam koloni yang terpapar flu burung maka peluang penularan antar individu sangat besar. Hal ini mengingat bahwa jarak antar sarang dalam koloni bisa sangat berdekatan. 1.3.3. Lingkup Praktik Pengelolaan Secara umum, pengelolaan burung liar dibagi atas pengelolaan in-situ dan ex-situ. Untuk pengelolaan in-situ, sampai pada tahun 2004 tercatat seluas 4,7 juta ha kawasan lahan basah penting sebagai habitat burung air liar telah dilindungi oleh negara. Di luar kawasan konservasi yang ditetapkan Pemerintah, Indonesia mempunyai 227 area penting (habitat) burung/Important Bird Areas (IBA); 195 diantaranya adalah habitat dari jenis burung yang secara global terancam. Dari 227 IBA, 58 (25%) merupakan kawasan lindung, 42 (19%) sebagian wilayahnya berupa kawasan lindung, sementara 127 (56%) merupakan kawasan yang tidak terlindungi (BirdLife 2004). Untuk pengelolaan ex-situ, tercatat 26 Lembaga Konservasi, 14 penangkar dan 7 Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang menangani pengelolaan burung liar dilindungi di luar habitat alaminya. Pengelolaan in-situ menjadi sangat penting, karena banyak studi menyebutkan bahwa burung-burung liar, terutama yang bermigrasi, dapat berpotensi menjadi sumber penyebar virus H5N1 penyebab FB. Sementara burung liar yang ditangkap dan dipelihara (captive) dapat berperan sebagai sumber penyakit ketika burung liar menjadi komoditas perdagangan, dan penularan penyakit terjadi pada saat pemindahan satwa , yang dikenal dengan istilah translokasi. 1.4. KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN BURUNG LIAR DAN HABITATNYA Sebagai pedoman untuk merumuskan dan melaksanakan program rinci dan lintas-sektoral bagi pengelolaan burung liar dan habitatnya di lapangan, termasuk mengantisipasi serta menangani flu burung yang mungkin melibatkan keberadaan burung liar di Indonesia, diperlukan strategi nasional yang efektif. Untuk merumuskan dan melaksanakan strategi nasional secara efektif, diperlu-
7
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
kan landasan kebijakan dan kelembagaan yang jelas. 1.4.1. Kebijakan Pengembangan kebijakan pengelolaan burung liar dan habitatnya, termasuk penanganan flu burung yang melibatkan burung liar, tengah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia, antara lain dengan menetapkan berbagai landasan hukum dan kebijakan, baik dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah dan/atau produk hukum lain yang menunjang upaya terkait. Sejauh ini, Pemerintah telah membuat beberapa produk hukum terkait burung liar dan habitatnya serta penanganan flu burung (Tabel 1). Landasan hukum dan kebijakan tersebut merupakan kumpulan kaidah dan pedoman, yang bertujuan agar strategi terkait dapat mencakup lintas sektor dan terfokus pada lingkup permasalahan di tingkat nasional serta internasional, sebagaimana dirumuskan oleh tingkat pusat, dengan partisipasi penuh dari tingkat daerah. Tabel 1. Beberapa produk hukum terkait dengan burung liar dan habitatnya serta penanganan flu burung di Indonesia. Produk Hukum Keterangan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Mengatur hal-hal yang berke-naan dengan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosis- konservasi keanekaragaman hayati termasuk temnya konservasi jenis-jenis burung dan habitatnya. UU No. 5 tahun 1994 tentang Pengesa- Mengesahkan konvensi PBB mengenai han Konvensi PBB mengenai Keaneka- keanekaragaman hayati yang antara lain berragaman Hayati (UN CBD) isi tentang tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan; identifikasi pemantauan keanekaragaman hayati; serta pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang merugikan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelo- Antara lain berisi tentang asas, tujuan, dan laan Lingkungan Hidup sasaran, hak, kewajiban, dan peran masyarakat, upaya pelestarian fungsi serta tata cara mengenai pengelolaan lingkungan hidup UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehu- Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan tanan pengelolaan hutan, termasuk wilayah perlindungan dan konservasi hutan yang merupakan habitat satwa
Pendahuluan
8
PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Mengatur, pengelolaan dan perlindungan Jenis Tumbuhan dan Satwa jenis-jenis tumbuhan dan satwa baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaa- Mengatur pemanfaatan sumber daya alam tan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan atau bagian-bagiannya, seperti dalam bentuk pengkajian, penelitian, penangkaran dan perdagangan PP No. 68 tahun 1999 tentang Kawasan Mengatur dan mengelola kawasan konservasi Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian yang merupakan habitat penting dan terlindAlam ungi bagi kehidupan tumbuhan dan satwa liar Keppres No. 43 tahun 1978 tantang Pengesahan Konvensi International mengenai perdagangan species flora dan fauna yang terancam punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Keppres No. 48 tahun 1991 mengenai Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat
Mengatur tentang pembatasan, pelarangan dan pemantauan terhadap jenis flora dan fauna yang terancam punah, atau dapat menjadi terancam punah, akibat diperdagangkan secara internasional Konvensi ini berisi tentang konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah yang mempunyai nilai penting secara internasional terutama lahan basah yang menjadi habitat burung air bermigrasi
Instruksi Presiden No. 1/2007 tentang Mengatur koordinasi antar sektor dalam penPenanganan dan Pengendalian Virus Flu anganan dan pengendalian flu burung di InBurung donesia Keputusan Menteri Kehutanan 447/KptsII/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar
Mengatur tentang pengelolaan tumbuhan dan satwa yang terkait dengan pemanfaatannya, termasuk didalamnya adalah pengaturan mengenai transportasi satwa
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK Mengatur tentang tugas satgas pengendalian 203/Menhut-II/2006 tanggal 8 Juni 2006 flu burung pada burung liar dan satwa liar tentang “Satuan Tugas Pengendalian Flu lainnya Burung pada Burung Liar dan Satwa Liar Lainnya” Disamping beberapa peraturan perundangan di atas yang langsung terkait dengan burung liar dan flu burung, juga terdapat beberapa peraturan perundangan lainnya yang lebih terkait dengan penanganan penyakit menular, antara lain:
9
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
a. UU No. 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan; b. UU No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; c. PP No. 15/1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (memuat pengaturan penolakan masuknya jenis penyakit hewan ke dalam wilayah negara RI, antar wilayah Indonesia, pencegahan timbulnya penyakit hewan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan); d. PP 82/2000 tentang Karantina Hewan; e. SK Mentan No. 393/Kpts/PD.620/7/2007 tentang Pernyataan Berjangkit nya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (Flu burung) di Wilayah Indonesia (memuat pengumuman pernyataan 31 provinsi di Indonesia telah tertular penyakit FB pada unggas); f. SK Dirjen Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02/2004 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza Pada Unggas (flu burung; memuat pedoman dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan peny akit menular flu burung pada unggas dan produknya). 1.4.2. Kelembagaan Pengelolaan burung liar dan habitatnya di Indonesia dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. Untuk jenis burung liar yang dilindungi dan atau terancam punah maupun yang tidak terancam punah, baik yang berada di dalam habitat alami maupun di luar habitat alaminya, tanggung jawab dan kewenangan pengelolaannya berada di Departemen Kehutanan, sedangkan untuk kegiatan penelitian, apabila melibatkan pihak asing (internasional), tanggung jawab serta kewenangan pelaksanaan dan perijinan berada di Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek)2. Tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan oleh Departemen Kehutanan berlaku pula untuk burung-burung liar yang tidak dilindungi tetapi berada di dalam kawasan konservasi. Namun, ketika burung-burung tersebut berada di luar kawasan konservasi, walaupun kebijakan konservasi tetap berada pada Departemen Kehutanan, pengelolaan dan penanganannya menjadi kewenangan dan tanggungjawab berbagai pihak di daerah, terutama pemerintah daerah. Risiko terjadinya tumpang-tindih dan benturan antara para pemangku kepentingan masih perlu diselesaikan.
Mengacu pada PP 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing. 2
Pendahuluan
10
Perencanaan, pengelolaan, implementasi, pengawasan dan monitoring serta evaluasi penanganan pengendalian flu burung seringkali dilakukan secara terpisah tanpa mengindahkan atau berkonsultasi dengan institusi yang berwenang menangani konservasi. Keadaan ini menjadikan pengendalian flu burung tidak efektif, dan menyebabkan munculnya kegiatan pengendalian yang berlebihan dan bertentangan dengan prinsip pelestarian terhadap jenis yang seharusnya dilindungi. Pengelolaan burung liar dan habitatnya serta pengendalian flu burung pada burung liar secara tepat dan menyeluruh perlu melibatkan semua pihak yang memiliki tugas dan tanggungjawab yang terkait langsung dengan burung liar. Para pemangku kepentingan yang diharapkan dapat berperan aktif dalam penanganan flu burung yang terkait dengan burung liar adalah: a)
Departemen Kehutanan: bertanggungjawab terhadap upaya pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekositem nya, termasuk kewenangan pengelolaan kawasan konservasi dan satwa liar (dalam hal ini burung liar) baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Pada tingkat daerah tugas tersebut dilaksanakan oleh Balai (atau Balai Besar) Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Tamman Nasional yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan; b) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: bertanggungjawab dalam melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan satwa (dalam hal ini burung liar) baik dilindungi maupun tidak dilindungi dan yang terkait dengan upaya pengendalian flu burung; c) Departemen Pertanian: dengan Rencana Strategi Nasional Pengendalian Flu Burung3 bertanggungjawab terhadap penetapan kebijakan, pedoman, langkah-langkah strategis, koordinasi dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanganan FB terutama pada unggas peternakan; d) Departemen Kesehatan: bertanggung jawab terhadap penetapan kebijakan, pedoman, langkah-langkah strategis, koordinasi dalam rangka pence gahan, pengendalian, dan penanganan FB serta kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza terutama pada manusia; e) Pemerintah Daerah: bertanggung-jawab pada koordinasi pengelolaan wilayah habitat burung liar, dan mempunyai kewenangan pengelolaan habitat burung liar di luar kawasan konservasi mulai dari tahap perenca naan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi;
Untuk periode 2005 – 2008 sudah dirumuskan dan dijalankan; untuk 2009 - 2012 sedang dikembangkan. 3
11
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
f)
Institusi Pendidikan dan Institusi Penelitian: bertanggung jawab untuk melakukan riset terkait dengan kompleksitas penyebaran dan penanganan flu burung terkait dengan burung liar; g) Organisasi non-pemerintah (termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat dan perhimpunan profesi serta media masa): bertanggungjawab untuk melaksanakan visi dan misi organisasi masing-masing sebagai agen perubahan serta berperan mendukung Pemerintah melakukan implementasi pedoman, langkah-langkah strategis, maupun mendukung koordinasi dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanganan FB serta kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza pada hewan dan manusia; h) Masyarakat umum: berperan penting untuk bertindak sebagai penjaga/ pengawas lingkungan setempat dan sumber daya alam hayati yang ter kandung didalamnya, serta membantu pemantauan lingkungan setempat dan sebagainya. Berkaitan dengan peran pemerintah daerah, perlu diperhatikan bahwa berdasarkan UU No. 4/1984 mengenai wabah penyakit serta berdasarkan UU No. 40/1991 mengenai pengendalian penyakit menular4 maka telah dirancang sistem komunikasi dan komando yang mencakup provinsi dan kabupaten/kota. Sistem komunikasi dan komando ini perlu diberdayakan, khususnya untuk mengantisipasi timbulnya keadaan darurat, sehingga tanggap darurat tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat yang berada jauh dari lokasi kejadian. 1.4.3. Tantangan bagi Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Burung Liar dan Habitatnya Secara umum masih terdapat beberapa tantangan dan kesenjangan dalam sistem regulasi dan kelembagaan pada pengelolaan burung liar dan habitatnya yang terkait dengan pengendalian flu burung, antara lain: a) Belum adanya kejelasan peran dan tanggungjawab para pemangku kepentingan lain dalam perlindungan dan pelestarian burung liar secara in- situ terutama di luar kawasan konservasi; b) Kewenangan pengendalian flu burung berada di berbagai sektor sehing ga perencanaan program pengendalian flu burung menjadi kurang terintegrasi; c) Terbatasnya kapasitas kelembagaan dalam penanganan kasus flu burung pada burung liar di beberapa daerah yang menjadi habitat penting bagi burung; Walaupun mekanisme respon dirancang untuk kasus wabah penyakit pada manusia, namun organisasi dan mekanisme komunikasi dapat diperluas untuk keperluan respons terhadap wabah FB pada burung liar, sehingga penanganan lebih efisien dan terpadu. 4
Pendahuluan d)
e)
12
Belum adanya sistem pengelolaan informasi dalam pelaksanaan pengendalian flu burung secara in-situ dan ex-situ,sementara pengetahuan masyarakat terhadap flu burung masih sangat kurang; Belum tersedianya peraturan dan ketentuan tentang biosecurity dan tracking system (untuk mengetahui daerah asal atau asal usul) pada burung liar yang tidak dilindungi terutama pada burung-burung liar yang diperdagangkan, sehingga besarnya potensi sebagai sumber penyebaran penyakit flu burung tidak diketahui pasti.
1.5. PRINSIP-PRINSIP DASAR Dengan memperhatikan berbagai kaidah, kebijakan teknis, serta hal-hal yang telah dirumuskan dalam Strategi Nasional untuk Pengendalian Flu Burung dan Kesiapan Pandemi Influenza (BAPPENAS 2005), maka strategi penanganan flu burung pada burung liar ini dikembangkan dengan mengacu pada lima prinsip dasar: a)
b)
c) d)
e)
Utamakan kesehatan manusia. Prinsip untuk memprioritaskan keselamatan manusia adalah yang paling penting; Perhatikan keselamatan dan kenyamanan satwa burung. Keselamatan dan kenyamanan burung ini termasuk aspek konservasi dan kesejahteraan. Sedapat mungkin burung liar, termasuk yang bermigrasi, perlu secara pro-aktif dihindarkan dari kegiatan yang mengancam keselamatan dan kenyamanan mereka. Termasuk di dalamnya adalah asumsi bahwa satwa burung bermigrasi merupakan penyebar efektif bagi penyebaran H5N1, yang sejauh ini belum pernah terbukti secara ilmiah; Integrasikan upaya lintas komponen. Komponen tersebut termasuk pemerintah, swasta, masyarakat, organisasi profesi, organisasi internasional dan pemangku kepentingan lainnya; Sepakati standar yang telah dirumuskan. Standar mengenai kesepakatan dan perjanjian yang selama ini telah dirumuskan, baik di tingkat nasional serta internasional perlu diperhatikan dan digunakan; Laksanakan manajemen yang terus menerus. Mengingat epidemiologi FB yang bersifat sangat dinamis dan terus berkembang, maka perlu dilakukan manajemen perubahan secara terus menerus. Dengan demikian, dokumen ini perlu diberlakukan sebagai living document yang sewaktu-waktu dapat diperbaiki dan/atau dilengkapi sesuai dengan perkembangan informasi dan pengetahuan terkait.
13
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
1.6. KERANGKA KERJA STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL Surveilans yang efektif terhadap burung liar pada habitat alami serta yang berdekatan dengan hunian manusia merupakan kunci strategi penanganan flu burung pada burung liar. Dalam hal ini kerangka kerja terkait dirumuskan berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional, didalamnya tercakup tujuh aspek, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini; Pengembangan dan koordinasi riset; Kajian epidemiologi Prosedur berbagi data (data sharing), pengembangan sistem informasi, dan proses pengambilan keputusan; Pengembangan kemampuan dan pemberdayaan pemangku kepentingan; Penyempurnaan kebijakan sektoral; Pendanaan.
Jangka waktu untuk Rencana Strategi dan Rencana Aksi Nasional ini ditetapkan selama lima tahun (2009 – 2014). Prosedur pengumpulan data yang terstandarisasi merupakan bagian penting dari strategi dan rencana aksi yang efektif. Mengingat keterbatasan pengetahuan akan metoda-metoda terkait, khususnya pengambilan sampel dari burung liar, maka perlu dirumuskan acuan dan pedoman terkait (Bab IV).
Strategi dan Rencana Aksi
16
BAB II STRATEGI DAN RENCANA AKSI 2.1. PEMBANGUNAN DAN PENGUATAN SISTEM DETEKSI DINI Sistem deteksi dini terhadap flu burung pada burung liar perlu dikembangkan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Sistem deteksi dini ini juga harus dibangun dengan melibatkan departemen teknis terkait, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Alur pembangunan sistem deteksi dini adalah seperti dalam Gambar 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini, adalah kerjasama antar lembaga, serta tipologi laboratorium (rujukan dan pendukung). a) Kerjasama Antar Lembaga Peranan masing-masing departemen teknis dan kelembagaan nonpemerintah (lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, perhimpunan profesi) ditetapkan berdasarkan kewenangan teknis, tupoksi dan visi-misi organisasi. Komnas FBPI ditetapkan sebagai lead agency, untuk menjalankan fungsi koordinasi lintas departemen. Departemen Kehutanan sebagai pemegang otoritas dan penanggung jawab pengelolaan (Management Authority) untuk hidupan liar di Indonesia, termasuk di dalamnya burung liar. Departemen Pertanian sebagai pemegang otoritas dan penanggung jawab pengelolaan di bidang kesehatan hewan. Yang tak kalah penting, di masa mendatang kerja sama antar lembaga perlu didukung oleh suatu komite nasional yang perlu dibentuk, agar dapat mengakomodasi rencana surveilans nasional pada hidupan liar yang tidak hanya dapat mengakomodasi penyakit flu burung saja, melainkan berbagai penyakit lain yang bersifat zoonosis (termasuk emerging dan re-emerging diseases) yang berasal dari satwa liar. Komite nasional yang diusulkan adalah suatu badan yang dapat diperkuat dengan legalitas hukum, terdiri atas komponen-komponen departemen teknis terkait dan lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai komitmen dan kepedulian terhadap konservasi, kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat. b) Laboratorium Rujukan dan Pendukung Laboratorium di tingkat nasional yang dipakai sebagai rujukan dalam pelaksanaan surveilans flu burung pada burung liar adalah (a) Balai-Balai Penyidikan Penyakit Veteriner di bawah Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian dan Balai Besar Penelitian Veteriner di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, serta (b) laboratorium pendukung FKH5 dan institusi yang kompeten lainnya. Dengan perhatian pada berbagai laboratorium yang telah aktif pada saat ini yaitu FKH IPB, FKH UGM, FKH UNAIR, FKH UNUD, serta tidak menutup kemungkinan ditingkatkannya pelibatan FKH lain di masa mendatang. 5
17
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Gambar 1. Alur pembangunan sistem deteksi dini nasional.
Kematian masal/penemuan kasus penyakit pada burung
Di Dalam Kawasan Konservasi (kewenangan dan tanggung jawab Dephut)
Di Luar Kawasan Konservasi (kewenangan dan tanggung jawab PEMDA)
Organisasi non pemerintah pemerhati satwa liar
Masyarakat Umum
Organisasi non pemerintah pemerhati satwa liar
Petugas Kawasan Konservasi
Surveilans burung liar berbasis peran masyarakat
DESA (Desa Siaga, Desa Tanggap Flu Burung)
Kecamatan
Petugas Departemen Teknis
Deptan (PDSR)
Dephut (Polhut/Satker)
Kabupaten
Depkes (DSO)
Laboratorium Rujukan
LIPI
DEPTAN
DEPHUT
Provinsi
DEPKES
Nasional
KOMNAS FBPI / KOMNAS ZOONOSIS
TNPFBBL OIE/WHO
Internasional
Strategi dan Rencana Aksi
18
2.2. PENGEMBANGAN DAN KOORDINASI RISET Pengembangan dan koordinasi riset bertujuan untuk meningkatkan deteksi dini dan karakterisasi infeksi FB serta pelaporannya pada burung liar di tingkat nasional melalui sebuah jejaring surveilans yang terkoordinasi. Secara khusus, tujuan pengembangan dan koordinasi riset adalah: a) Mengkonfirmasi dan mengidentifikasi jenis/spesies sasaran, yaitu burung liar yang diduga berpotensi mempunyai peran dalam penyebaran virus. Upaya lebih lanjut terhadap konfirmasi dan identifikasi tersebut meliputi upaya membangun kerjasama antar negara (terutama dalam jalur migrasi yang dilalui jenis burung liar bermigrasi), untuk tukar menukar informasi; b) Mengidentifikasi jenis sasaran (burung liar bermigrasi yang berpotensi membawa H5N1), meliputi berbagai kriteria yaitu jenis/spesies yang diketahui: i. mempunyai sejarah kematian serentak dalam populasi yang disebabkan oleh infeksi virus FB; ii. mempunyai sejarah adanya isolasi virus FB dari burung-burung yang sehat; iii. memiliki ketergantungan terhadap habitat lahan basah; iv. berbagi habitat dengan hewan domestik; v. dapat menerima adanya aktivitas manusia dan dapat mencapai fasilitas manusia, terutama hewan yang telah didomestikasi; vi. bermigrasi melalui IBA (Important Bird Area /Daerah Burung Penting); vii. bermigrasi/ bersirkulasi antara negara-negara tertentu dalam suatu wilayah, sesuai dengan jalur terbang utama/major flyway: viii. telah terbukti dapat menyebabkan dampak ekonomi yang nyata; c) d)
e)
f)
Mempelajari keanekaragaman strain virus FB pada jenis sasaran, khususnya burung bermigrasi tertentu; Mempelajari pola distribusi dan migrasi (geospatial dan temporal) dari jenis penting burung liar tertentu di Indonesia. Pola distribusi dipetakan berdasarkan hasil kajian burung liar terutama burung liar bermigrasi; Melaksanakan surveilans dan pemantauan flu burung pada burung migran melalui pembentukan jejaring regional (lihat Lampiran 5- 8 untuk daftar lokasi surveilans burung lahan basah dan burung pemangsa); Memperbaiki pemahaman dan menyebarkan informasi ilmiah kepada pemerintah dan berbagai lapisan masyarakat mengenai peran burung bermigrasi dalam kaitannya dengan pergerakan H5N1.
19
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Dalam strategi pengembangan dan koordinasi riset, terdapat berbagai aktivitas yang perlu diprioritaskan, termasuk diantaranya: a) Pengembangan Sistem Database Terpadu (SDT) meliputi pangkalan data jenis/spesies burung liar, termasuk: i. pangkalan data burung liar bermigrasi dan pola penyebarannya; ii. pangkalan data jenis/spesies burung liar bermigrasi dan burung liar penetap yang teridentifikasi terkena FB; iii. pangkalan data burung liar di karantina, PPS, lokasi penangkaran lainnya dan kebun binatang; iv. pangkalan data variasi galur per lokasi maupun per jenis, dan pangkalan data hasil analisa laboratorium berhubungan dengan FB. b) Pengembangan metodologi riset misalnya dengan metode penangkapan jenis/spesies terkait (pencincinan dan penandaan burung), metode uji serolgi – PCR, dan metode kajian epidemiologi serta kesehatan masyarakat; c) Teknik dan tahapan pengujian laboratorium secara lengkap didasarkan pada standar prosedur pemeriksaan yang berlaku pada laboratorium rujukan, yaitu: i. tes serologis (serological test) untuk semua burung, terutama reservoir (HPAI maupun LPAI) dan dalam sejarahnya terdapat keterpaparan LPAI untuk jenis tertentu yang menjadi indikator; ii. melakukan PCR pada semua burung dan habitatnya (tanah, air); iii. mengisolasi semua burung yang terbukti positif melalui pengujian PCR; iv. melakukan pengurutan kode genetik (sequencing) semua burung positif PCR sesuai protokol yang berlaku.
d)
Teknik dan tahapan tersebut diatas dilaksanakan berdasarkan pertimbangan jenis sasaran yang menjadi prioritas dan ketersediaan data populasi yang diperlukan untuk menentukan besaran sampelnya, sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya secara statistika. Data tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk rekomendasi penentuan status suatu wilayah, sehingga berkontribusi pula pada pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini. Sistem surveilans Sistem surveilans flu burung pada burung liar dapat dilaksanakan ber dasarkan pada tujuan surveilans yang dilakukan. Berdasarkan tujuannya, kegiatan surveilans dapat dikategorikan menjadi: i. surveilans lingkungan (environment surveillance), bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus flu burung pada habitat burung liar; ii. surveilans jenis (species surveillance), bertujuan untuk mendeteksi
Strategi dan Rencana Aksi
20
keberadaan virus flu burung pada pada semua jenis burung liar di habitatnya; iii. surveilans viral (viral surveillance), bertujuan untuk mendeteksi strain virus flu burung pada burung liar. Berkaitan dengan pembangunan sistem surveilans, maka perlu diperha tikan sistem, kajian hasil, serta respons (tanggapan) terhadap surveilans yang telah dilakukan a) Prosedur sistem surveilans: i. In-situ : 1. Periode waktu: Dilakukan dua kali setahun dalam periode migrasi dan/atau sewaktu-waktu setelah ada kasus wabah untuk daerah yang beresiko tinggi 2. Jenis: Jenis perantara (bridge species) dan jenis reservoir 3. Sasaran wilayah: Habitat burung yang menjadi jenis sasaran, termasuk wilayah konservasi ii. Ex-situ: 1. Periode waktu: Berkala disesuaikan dengan manajemen pengelola/penanggung jawab dan sewaktu-waktu jika terjadi ancaman wabah (misalnya terjadi wabah di peternakan di lingkaran/ring I dan II) 2. Jenis sasaran: Aves6 3. Wilayah sasaran: kebun binatang, penangkaran, pusat penyelamatan satwa (PPS), pedagang/penampung burung liar, Pasar Burung dan lembaga ex-situ lainnya. b) Kajian Hasil Surveilans: Dilakukan oleh para ahli/peneliti (termasuk panel ahli Komnas) lintas sektoral (dokter hewan, ornithologist, epidemiologists, dll.) terhadap hasil surveilans yang dilakukan, termasuk juga resiko bahaya. Berdasarkan hasil kajian tersebut, selayaknya komite ahli ini menerbitkan suatu rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan (respons). Hal ini juga meliputi dan berlaku untuk sistem kajian resiko wabah. c) Respons: Dilakukan oleh Lembaga yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab terkait, dalam hal ini Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh instansi terkait di daerah tersebut (Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan dan dinas-dinas terMamalia (tikus, kucing, karnivora) dapat dipertimbangkan, mengingat infeksi pada grup-grup ini telah terjadi di Indonesia 6
21
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
d)
kait lainnya) untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu guna menanggapi hasil surveilans dan melakukan tindakan yang direkomendasikan oleh komite (panel) ahli. Respon atau tanggapan juga dilakukan untuk menindak-lanjuti laporan kejadian wabah pada burung liar baik ex situ maupun in situ Pengembangan mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan: Mekanisme koordinasi serta pertukaran informasi data dalam bentuk mailing lists, diskusi atau kegiatan pertemuan. Pengembangan teknik lokakarya – pembagian pembelajaran sebagai salah satu metode berbagi informasi dan pengalaman serta sebagai ajang koordinasi berbagai pemangku kepentingan. Selain itu dilakukan pula kegiatan seminar paparan dalam kaitannya dengan diseminasi informasi dan pengetahuan FB terkait dengan satwa liar.
2.3. KAJIAN EPIDEMIOLOGI Epidemiologi dalam kajian burung liar bertujuan untuk menghasilkan informasi mengenai epidemiologi yang berhubungan dengan berbagai aspek, terutama: burung liar sebagai jenis reservoir dan target (host) untuk flu burung, sistem tanggap dini berhubungan dengan epidemiologi, dan pengelolaan kesehatan lingkungan untuk mencegah penularan FB yang terkait satwa liar. Strategi epidemiologi bertumpu pada tiga pilar yaitu: a) b) c)
Penyebarluasan informasi epidemiologi yang berhubungan dengan burung liar; Penyertaan sistem tanggap dini berhubungan dengan epidemiologi; Pengelolaan Kesehatan Lingkungan (Kesling) untuk mencegah penularan FB.
Kajian secara menyeluruh meliputi distribusi, dinamika dan determinan penyakit flu burung pada burung liar diselenggarakan melalui suatu tahapan kegiatan yang terstruktur dengan memperhatikan kewenangan instansi terkait. Pelaksanaan strategi epidemiologi diatas dijabarkan dalam tahapan kegiatan aksi yang merupakan suatu kesatuan tindakan yang tak terpisahkan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat). Keberhasilan dari strategi epidemiologi sangat erat kaitannya dengan tindakan pelacakan dan pemantauan (surveillance and monitoring) sebagaimana telah diuraikan pada strategi 2.2. di atas.
Strategi dan Rencana Aksi
22
2.4. PROSEDUR BERBAGI DATA (DATA SHARING), PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI, DAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN Koordinasi dilakukan dibawah suatu badan koordinasi nasional7, untuk memfasilitasi serta memobilisasi para pihak yang bertanggung jawab atas proses pengambilan keputusan8 dan pembagian data. Mekanisme dan fungsi yang diusulkan adalah sebagai berikut. a) Fungsi pembagian data sebaiknya dilakukan berkoordinasi dengan proses pengambilan keputusan sebagai bagian fungsional badan koordinasi nasional; b) Untuk proses pengambilan keputusan ditetapkan strategi berikut: i. Proses pengambilan keputusan diberlakukan sebagai suatu proses fasilitasi; dengan demikian untuk tataran operasional diselenggarakan melalui suatu kolektivitas, serta personalianya diberi mandat untuk melaksanakan hal-hal terkait; ii. Dengan dibekali sumber-sumber daya yang memadai, maka dalam keadaan darurat (misalnya, burung liar terbukti menginfeksi manusia) tim ini dapat diberi mandat dan mengambil peran sebagai Tim Tanggap Darurat; c) Untuk pembagian data, perlu ditunjuk tim yang terdiri atas perwakilan para pihak; d) Koordinasi dengan daerah perlu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan perencanaan dan pelaporan kasus di daerah, maka perlu dipertimbangkan: i. Penyaluran informasi kasus di daerah kepada pusat, dan penyebarluasan informasi yang terangkum kepada daerah; ii. Pembuatan daftar pihak yang dapat dihubungi di daerah, setidaknya pada tingkat provinsi;
Dalam pertemuan Avimore, Skotlandia, (Avian Influenza and Wildlife Workshop ‘Practical Lessons Learned’ Aviemore, Scotland, UK 26-28 June 2007), disampaikan pentingnya koordinasi lintas sektoral, dengan dukungan politis dari eselon tinggi pemerintahan. Koordinasi perlu setidaknya mencakup sektor-sektor Pertanian, Lingkungan, Kehutanan, dan Kesehatan, serta dibantu berbagai organisasi teknis. Dalam kaitannya dengan penanganan AI pada burung liar, maka fungsi koordinasi di tingkat nasional sebaiknya tetap berada pada suatu badan koordinasi nasional. 7
Salah satu alternatif untuk proses pengambilan keputusan adalah mendelegasikan tugas ini pada Satgas Dephut. Namun bila tugas ini diserahkan pada badan koordinasi nasional, maka pandangan lintas sektoral akan terwujud, sementara Satgas Dephut masih dapat memberikan masukan efektif karena telah terwakili dalam tim perumus. 8
23
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
iii.
iv.
Pengembangan sistem peringatan dini berbasis masyarakat untuk burung liar, seperti yang telah dikembangkan oleh FAO untuk unggas ternak; Pembuatan mekanisme pemberitahuan melalui surat elektronik (atau mekanisme cepat lainnya) pada tingkat provinsi dan mungkin ditambah beberapa lembaga kabupaten yang berminat. untuk kepentingan koordinasi dan sinergi, baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Seandainya burung liar diidentifikasi telah terinfeksi, maka perlu dipertimbangkan langkah yang secara pro-aktif akan di tempuh dengan memperhatikan prinsip-prinsip terkait (Sub-bab 1.5.). Untuk proses pengambilan keputusan badan koordinasi nasional perlu melibatkan para pemangku kepentingan terkait, termasuk perwakilan media massa, dan proses ini diselenggarakan secara kolektif, serta terfasilitasi secara sistematik Koordinasi dengan daerah perlu memperhatikan hal-hal di bawah ini: a) Tim proses pengambilan keputusan perlu mengarahkan agar kegiatan berbagi data kepada daerah dapat dilakukan secara otomatis dan berkala, misalnya setiap satu atau dua bulan sekali; b) Di daerah, data dikirim melalui institusi terkait, misalnya berbagai laboratorium kesehatan hewan yang ditunjuk; c) Setidaknya pada tingkat provinsi (31 terinfeksi dari 33); tidak menutup kemungkinan pada tingkat kabupaten, bila yang bersangkutan menyatakan keinginan dan kesiapannya; d) Untuk setiap provinsi perlu ditunjuk perwakilan/ penanggung jawab yang memiliki akses email yang memadai. Berkaitan dengan kegiatan berbagi data, untuk kejelasan pelaksanaan tugas perlu ditunjuk suatu institusi penanggung jawab. Diharapkan LIPI dapat mengkoordinasi pangkalan data dan pembagian data. Untuk keefektifan kegiatan berbagi data, maka perlu dibuat mailing list, dan warta berkala. Mailing list diperlukan untuk: a) Kerja sama i. antar instansi di tingkat pusat (termasuk penyampaian data dari satu instansi teknis kepada instansi lainnya, misalnya dari Dephut ke Deptan); ii. instansi pusat ke daerah, serta iii. antar instansi di daerah b) Berbagi pengalaman, dan praktik terbaik; c) Menyalurkan informasi pengetahuan terbaru mengenai FB (sebulan sekali); d) Menampung informasi dari daerah, sebagai bagian dari sistem peringatan dini;
Strategi dan Rencana Aksi e)
f) g)
24
Mengembangkan pendekatan bersama (terstandarisasi) untuk memban gun pengamanan biologis bagi burung liar, unggas ternak, dan lingkungan terkait: i. Menentukan jenis burung prioritas untuk dipantau, serta berbagai saran mengenai tipe surveilans, kriteria untuk surveilans, identifikasi lokasi prioritas untuk surveilans (termasuk pada skala rute migrasi), serta penen tuan kelimpahan relatif populasi burung air di berbagai daerah; ii. Membangun standarisasi penanganan burung liar (misalnya melalui Indonesian Bird Banding Scheme); iii. Mekanisme perjinan, mekanisme pelaksanaan, mekanisme pelapo ran, mekanisme penanganan sampel; Membangun strategi komunikasi; Membangun protokol informasi, termasuk pencegahan dan tanggapan.
Berkaitan dengan pelibatan dan penguatan media masa, agar terbangun visi dan misi yang sama antara para praktisi, perwakilan media perlu dilibatkan dalam struktur proses pengambilan keputusan semenjak tahap perencanaan. Seandainya burung liar terinfeksi H5N1, maka: a) perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemisahan antara ternak ung gas dan burung liar (terutama jenis perantara), dimana ternak unggas mungkin merupakan mata rantai yang lebih taktis untuk diputus dan tidak akan mengganggu ekosistem alami secara drastis; b) yang bertugas untuk menyampaikan situasi darurat tersebut (bila satwa liar terkena infeksi dan turut berperan sebagai penyebar efektif H5N1) adalah pihak Departemen Kehutanan berkoodinasi dengan Departemen Pertanian9; c) perlu diputuskan bagaimana menangani hubungan dengan media, dan menjaga agar media melaporkan dengan benar sehingga masyarakat paham penanganan terbaik untuk satwa dan terbaik untuk manusia. Untuk memobilisasi proses-proses diatas perlu disiapkan penyempurnaan kebijakan sektoral (Sub-bab 2.6 dan 3.6) serta penganggaran10 yang memadai (Sub-bab 2.7 dan 3.7)
9
Termasuk merumuskan dan menyampaikan pernyataan resmi
dengan memperhatikan berbagai acuan kebijakan termasuk: UU 17/ 2003 mengenai keuangan negara, PP 105, dan PP 108/ 2000 terkait peningkatan manajemen finansial pada sektor publik, serta PP 58/ 2005 mengenai pelaporan kinerja 10
25
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
2.5. PENGEMBANGAN KEMAMPUAN DAN PEMBERDAYAAN PEMANGKU KEPENTINGAN Untuk meningkatkan peranserta serta sampainya alur informasi mengenai kegiatan pencegahan dan penanganan flu burung pada burung liar, maka diperlukan kegiatan pengembangan kemampuan/pemberdayaan pemangku kepentingan yang terencana, terpadu dan menyeluruh. Para pemangku kepentingan utama yang dituju dalam kegiatan tersebut adalah termasuk: a) Masyarakat umum yang hidup di sekitar burung liar; b) Pelaku penangkapan burung liar; c) Petugas pelaksana sistem surveilans burung liar; d) Pengambil keputusan dan kebijakan pada berbagai tingkat; e) Media (wartawan) sebagai penyebar informasi. Sementara itu, mengingat keterbatasan yang ada serta prioritas yang dituju, maka kegiatan pembangunan kemampuan tersebut selayaknya diprioritaskan pada hal sebagai berikut: a) Kemampuan secara formal /peningkatan pendidikan formal; b) Kemampuan teknis dan pengetahuan praktis, terutama terkait dengan kegiatan surveilans; c) Kemampuan komunikasi; d) Kemampuan koordinasi dan penyaluran informasi; e) Teknik pelaporan; f) Perubahan perilaku, baik dalam hal sikap terhadap burung liar di alam maupun terhadap peran burung liar terkait dengan penyebaran flu burung. 2.6.
PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN SEKTORAL
Dalam kaitannya dengan flu burung, kebijakan penanganan burung liar secara umum dapat diperkuat, baik untuk meningkatkan efisiensi maupun untuk memobilisasi dana secara efektif. Sementara itu, secara khusus, dalam operasional pelaksanaan surveilans pada burung liar dibutuhkan perangkat hukum yang dapat mengkoordinasikan serta mengintegrasikan program selanjutnya dari aksi surveilans terkait. Perangkat hukum tersebut dikembangkan dengan mengacu pada peraturan perundangan terkait, dan setidaknya mencakup unsurunsur berikut: a) yang terkait dengan penyelenggaraan tugas pokok organisasi di kemen terian/departemen dan lembaga non-departemen; b) yang menjadi landasan bagi badan koordinasi nasional, dan selanjutnya dapat dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Strategi dan Rencana Aksi
26
Dalam kaitannya dengan tatanan pemerintahan yang efektif, maka desentralisasi perlu diterapkan bagi pengelolaan burung liar di habitatnya (khususnya di luar kawasan konservasi dan berlaku bagi jenis yang tidak dilindungi). Pemerintah Daerah perlu diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dalam membangun wilayahnya terutama terkait dengan habitat alami dari burung liar (di luar kawasan konservasi) serta pengembangan pemanfaatan burung liar. Namun demikian, penyerahan kewenangan tersebut juga harus disertai dengan penyerahan tanggung jawab terhadap konservasi jenis-jenis burung liar secara in situ maupun ex situ. Pengendalian dan penanganan flu burung, dengan demikian, perlu dirancang memenuhi azas dan prinsip desentralisasi yang disertai dengan program peningkatan kapasitas bagi daerah dalam pelaksanaan konservasi burung liar dan pengendalian flu burung. Lebih lanjut, dengan memperhatikan masa kerja badan koordinasi nasional, serta memperhatikan bahwa pengendalian penyakit flu burung di Indonesia telah menjadi contoh kasus yang sangat penting (kesehatan, pertanian, kehutanan) dan telah terdokumentasi dengan baik, maka kegiatan surveilans flu burung di Indonesia perlu dilanjutkan sebagai upaya jangka panjang, dengan menyiapkan kebijakan yang sesuai pula. Untuk menjamin terselenggaranya penyempurnaan kebijakan sektor, maka payung hukum perlu segera dibuat untuk setidaknya dua prioritas: a) Melegalisir dokumen Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, program dan kegiatan juga harus sejalan dengan Rencana Strategi Nasional Penanganan Flu Burung di Indonesia dan Renstra sektor terkait. b) Melegalisir penyelenggaraan surveilans pada burung liar termasuk kegiatan berbagi data dan proses pembuatan keputusan dengan memperhatikan fokus aksi (jenis sasaran, lokasi sasaran, lembaga sasaran, dan prioritas aksi), mekanisme aksi, pendanaan dan sumber dananya. Perangkat hukum tersebut dapat dibuat dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menko Kesra dan Departemen/ Lembaga Non-Departemen terkait atau Peraturan/ Instruksi Presiden terkait dengan pengendalian Flu Burung di Indonesia. Dalam rangka memberdayakan program surveilans dalam kerangka kerja yang desentralistis, maka diperlukan pembuatan dan penyebar luasan pedoman sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati. Selanjutnya, mekanisme hubungan kerja dan prioritas pekerjaan perlu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan bagi badan koordinasi nasional (Komnas FBPI) dan Satgas Dephut pada khususnya. Prioritas yang perlu dikerjakan oleh badan koordinasi nasional tersebut adalah mempersiapkan materi untuk pertemuan, dan mengkoordinasi-
27
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
kan seluruh sektor untuk menyusun rencana aksi tingkat lapangan, yang akan didukung oleh Satgas Dephut. Pada akhirnya, untuk menjaga keberlanjutan upaya surveilans, maka kegiatan surveilans perlu dimasukkan kedalam dokumen-dokumen perencanaan terkait baik di pusat maupun daerah . Dengan demikian perlu dipersiapkan penyusunan perangkat hukum yang lebih tinggi, seperti Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Zoonosis Berpotensi Pandemi di Indonesia, yang salah satu isinya melanjutkan dan menguatkan peran pengendalian penyakit flu burung di Indonesia.
2.7.
PENDANAAN
Lingkup rencana strategi pendanaan adalah untuk mewujudkan mobilisasi sumberdaya keuangan baik dari APBN, APBD, swasta, maupun kerjasama internasional bagi pengelolaan burung liar dan habitatnya terkait pengendalian flu burung. Penggalangan dana perlu memperhatikan kapasitas perencanaan dan pengganggaran termasuk yang berbasis kinerja . Dalam rencana aksi untuk memobilisasi pendanaan, terdapat berbagai kemungkinan dan hal penting yang perlu diperhatikan: a) Berkaitan dengan potensi mobilisasi penganggaran dari dana pemerintah (APBN, APBD), maka pendanaan perlu dimasukkan dalam perencanaan dan penganggaran resmi. Pengajuan proposal pun harus disiapkan agar dapat diterima melalui proses legislatif. b) Berkaitan dengan potensi mobilisasi dana kerja sama internasional (bilateral ataupun multilateral), maka perlu diperhatikan bahwa dana pendamping sering kali dibutuhkan, dan bahwa dokumen proyek terkait sesuai dengan PP 2/2006 perlu didaftarkan terlebih dahulu ke BAPPNAS agar dimasukkan ke dalam Blue Book (List of Technical Assistance), baik melalui mekanisme pendanaan on-lending, maupun on-granting; c) Berkaitan dengan pendanaan yang tersedia dari ratifikasi perjanjian in ternasional, maka terdapat berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan. Beberapa perjanjian telah diikuti oleh Indonesia diantaranya adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Internasional untuk Pengelolaan Lahan Basah (Ramsar Convention), Konvensi Perdagangan Species Satwa dan Tumbuhan Liar yang Terancam Kepunahan (CITES) serta Kemitraan Jalur Terbang Asia Timur – Australasia (“Kemitraan Jalur Terbang”). Dalam berbagai kerjasama internasional tersebut terdapat kewajiban negara peserta untuk secara aktif terlibat dalam kegiatan pengelolaan dan pelestarian satwa liar. Kerjasama “Kemitraan Jalur Terbang” dimana Indonesia merupakan salah satu negara perintis, se
Strategi dan Rencana Aksi
d)
28
cara khusus menyebutkan adanya himbauan bagi negara-negara peserta untuk secara aktif mempromosikan kegiatan surveilans terkait dengan isu flu burung Berkaitan dengan potensi mobilisasi dana swasta, maka kecenderungan pihak swasta membangun corporate social responsibility dan corporate environmental responsibility akan membuka kesempatan pendanaan. Yang perlu dijaga adalah agar kesempatan pendanaan tersebut tidak menjadi ajang terjadinya green-washing.
Terlaksananya dan terbentuknya mekanisme koordinasi
Indikator
Ada atau tidaknya (peningkatan) data pelaporan masyarakat yang diterima oleh Satgas, PDRS, DSO
Komnas, Deptan, Terdapat SOP sistem deteksi dini Dephut, Depkes Komnas, Deptan, Diterimanya informasi mengenai alur dan Dephut, Depkes SOP deteksi dini kejadian FB pada burung liar oleh berbagai elemen masyarakat termasuk PEMDA LSM, Dephut, Terdapat 1 kader di satu desa dengan 1 Deptan struktur berbasis-komunitas
Penanggung jawab Komnas
1.4. Membentuk kader atau kelompok masyarakat yang peduli terhadap keberadaan dan kesehatan burung liar Dephut, Deptan, 1.5. Penguatan fungsi Satgas Dephut dan PDRS, DSO (sehingga tim-tim yang su- Depkes dah terbentuk dapat berfungsi optimal)
1.3. Sosialisasi sistem deteksi dini
1.1. Koordinasi antar sektor Pertemuan ke- sepakatan Komnas, departemen terkait dan perwakilan masyarakat sipil (termasuk LSM dan media) 1.2. Pembentukan SOP sistem deteksi dini
Aksi
STRATEGI 1: Pembangunan dan penguatan sistem deteksi dini
6 bulan
6 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
Target Waktu
Dari tujuh strategi yang telah disampaikan pada Bab II, selanjutnya dibuat penjabaran rencana aksi seperti tertera pada matriks-matriks di bawah ini. Pada masing-masing matriks dilengkapi pula dengan instansi penanggungjawab, indikator keberhasilan kegiatan, serta target waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Untuk beberapa strategi dirasakan perlu dibuat sub-strategi, guna memudahkan pengelompokan aksi.
RINCIAN STRATEGI DAN RENCANA AKSI
BAB III
29 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
TNPFBBL
kondisi hasil positif dan kondisi wabah
1.11. Pembentukan SOP untuk
6 bulan
6 bulan
6 bulan
Adanya SOP untuk penemuan kasus positif dan kejadian wabah
5 bulan
Diterimanya laporan secara berkala di tingkat Setiap bulan nasional oleh Komnas dan TNPFBBL Adanya hasil evaluasi dari hasil laporan dan Setiap 3 tindakan tanggapan (surveilans) dam adanya bulan rekomendasi untuk rencana surveilans berikutnya.
Terbentuknya Tim Nasional Penanggulangan Flu Burung pada Burung Liar (TNPFBBL)
Komnas
Komnas
Terbentuknya POSKESBURLI dan TTC pada tingkat kabupaten SOP pada setiap tahap pemeriksaan, SOP rujukan yang harus dilakukan oleh laboratorium pendukung kepada laboratorium rujukan
Komnas, Deptan, Dephut, Depkes Deptan, Dephut, Universitas
Komnas
Pembentukan Pos Kesehatan Burung Liar dan Tim Tanggap Cepat Pertemuan antara seluruh Laboratorium rujukan untuk membicarakan prosedur standar yang sama dalam pemeriksaan burung liar (termasuk dengan laboratorium BKSDA/PPS, laboratorium tingkat provinsi, laboratorium di pusat penangkaran atau kebun binatang) Pembentukan dan penugasan tim ahli pada tingkat nasional untuk memberikan tanggapan ke lapangan terhadap hasil laporan kasus dan memberikan kajian terhadap hasil surveilans burung liar yang sudah dilakukan Pemantauan
1.10. Evaluasi dan rekomendasi
1.9.
1.8.
1.7.
1.6.
Rincian strategi dan Rencana Aksi 30
Penanggung jawab Indikator
Target Waktu
Sub-Strategi 2A. Mempelajari pola distribusi dan migrasi (geospasial dan temporal) pada jenis kunci LIPI dan LSM Studi pola migrasi dilakukan setahun 2 kali di 2 kali 2.1. Studi pola migrasi burung liar di Indonesia termasuk kajian migrasi baik yang beberapa taksa, terutama burung air dan rap- setahun berjarak dekat maupun lintas-benua tor (burung pemangsa) secara berkala tiap tahun dalam 2 tipe musim (migrasi datang dan migrasi balik) Studi pola distribusi burung lokal teridenti2 kali 2.2. Studi pola distribusi burung liar lokal yang LIPI , Deptan teridentifikasi terkena flu burung di Indo- dan LSM fikasi terutama yang terindikasi terkena flu setahun nesia burung secara in situ maupun ex situ Sub-Strategi 2B. Mempelajari keanekaragaman strain virus flu burung di jenis-jenis kunci tertentu LIPI, LSM, Terdapat karakteristik isolat virus yang ber1–3 2.3. Kajian strain virus AI hasil dari isolasi burung liar target. Kajian meliputi isolasi Dephut, Deptan hasil diidentifikasi dari burung liar tahun DNA serta kajian karakter DNA dan melibatkan studi perbandingan dengan tipe DNA kontrol Terdapat karakteristik isolat virus yang ber6 bulan 2.4. Kajian mengenai distribusi strain virus flu LIPI, LSM, burung di berbagai tempat di Indonesia Dephut, Deptan hasil diidentifikasi dari burung liar dan distridari burung liar in situ dan ex situ businya Terdapat studi ekologi jenis burung liar yang 4 bulan 2.5. Studi ekologi burung liar yang berpotensi LIPI, LSM dan terinfeksi flu burung universitas terinfeksi flu burung. LIPI dan LSM Terdapat peta integrasi distribusi dan migrasi 2 bulan 2.6. Pengembangan metode spasial dalam memetakan distribusi dan migrasi berburng liar yang terinfeksi flu burung bagai jenis burung liar yang berpotensi terinfeksi flu burung.
Aksi
STRATEGI 2: Pengembangan dan koordinasi riset
31 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Sub-Strategi 2C. Mengkonfirmasi dan mengidentifikasi jenis kunci burung liar yang diduga berpotensi mempunyai peran dalam penyebaran virus LIPI Database terbangun 1 tahun 2.7. Membangun sistim database terpadu (SDT) untuk burung liar dan database diperbaharui secara berkala. Database dibangun dari hasil pelaporan, kajian ilmiah dan informasi tertulis maupun lisan yang telah diverifikasi/ terseleksi LIPI , Dephut, Diskusi kajian dan analisis 4 bulan 2.8. Memfasilitasi kajian atau analisa secara terpadu mengenai flu burung pada burung liar bersama-sama Deptan, Depkes dan dalam de- ngan para pemangku kepentingan LSM setiap tahun 2.9. Pengembangan kajian dan pertukaran informasi antar LIPI Pertukaran informasi terjadi 1 kali negara-negara terkait flu burung secara berkelanjutan setahun Sub-Strategi 2D. Melaksanakan surveilans dan monitoring flu burung di burung liar melalui pembentukan jejaring nasional 2.10. Melakukan pemetaan pemangku-kepentingan yang LIPI, LSM, Dephut, pemangku-kepentingan kunci 1 kali terkait isu flu burung di Indonesia dan konteks jaringan Deptan, Universitas berhasil dipetakan setahun regional 2.11. Membangun jejaring nasional dalam konteks melakuLIPI, LSM, Dephut, Jejaring terbentuk 1 bulan kan surveilans (riset) dan monitoring flu burung Deptan, Universitas & Organisasi terkait 2.12. Membangun rencana aksi bersama dalam konteks LIPI, LSM, Deptan, Konsep Rencana aksi terwu1 bulan surveilans (riset) dan monitoring flu burung Dephut, Universitas jud & organisasi terkait 2.13. Mengembangkan koordinasi / kolaborasi teknis riset/ LIPI, LSM, Deptan, Koordinasi/kolaborasi terwujud 5 bulan monitoring dan mekamisme pelaporan dan diseminasi Dephut, Universitas dalam riset flu burung informasi & organisasi terkait 2.14. Pengembangan mekanisme pertukaran informasi antar TNPFBBL Minimal satu mailing list atau 1 tahun pemangku-kepentingan jejaring sistem sms terwujud
Rincian strategi dan Rencana Aksi 32
Sub-Strategi 2E. Memperbaiki pemahaman dan menyebarkan informasi ilmiah mengenai peran burung liar dalam penyebaran flu burung kepada kelompok-kelompok sasaran yang berbeda (pemerintah dan komunitas ilmiah). LSM, Dephut & Pembelajaran bersama 1 kali 2.15. Pembelajaran bersama bagi para pihak terkait terutama berkenaan dalam kegiatan riset dan monitoring AI Deptan dilakukan dua kali setahun setahun setahun dua kali LSM, Dephut & Minimal 1 kali seminar flu 1 kali 2.16. Mengembangkan serial diskusi melalui seminar paparan setahun sekali untuk melihat perkembangan Deptan burung yang dikoordinasi setahun kegiatan riset dan monitoring flu burung dalam jejaring flu burung
33 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Penanggung jawab
Indikator
Sub-Strategi 3A: Penyebarluasan informasi epidemologi yang berhubungan dengan burung liar LIPI, LSM dan Univer- Riset dan kajian telah dilakukan di dua 3.1. Kajian epidemologi terhadap AI pada burung liar di Indonesia sitas lokasi suspect dan dihubunghkan dengan burung liar 3.2. Kajian spasial penyebaran AI, ruang lingkup LIPI, Dephut, Deptan, Dihasilkan setidaknya satu peta sebaran AI tanggap dini AI spasial Depkes, LSM dan pada burung liar di Indonesia Universitas Riset dan kajian penting setidaknya di 4 3.3. Kajian kesmas mengenai AI dan burung liar LSM dan Universitas termasuk burung liar dikandangkan atau lokasi penting dalam penyebaran AI ditangkarkan di Indonesia 3.4. Kajian tindak (kaji tindak partisipatif) epiLSM dan Universitas Dilakukan setidaknya 2 kali lokakarya demologi AI untuk melihat kondisi peruba(lokakarya awal dan lokakarya akhir) han atau kemajuan proteksi dari masyarakat tehadap AI Sub-Strategi 3B: Penyertaan sistem tanggap dini berhubungan dengan epidemologi LIPI, LSM, Dephut, Satu dokumen tanggap dini AI di produksi 3.5. Dokumen strategi tanggap dini AI pada burung liar Deptan dan universitas 3.6. SOP tanggap dini AI LIPI, LSM, Dephut, SOP tanggap dini AI diproduksi dan disaDeptan dan universihkan tas Sub-Strategi 3C: Pengelolaan Kesehatan Lingkungan (Kesling) untuk mencegah penularan AI LIPI dan LSM Lokakarya terselenggara dengan meli3.7. Pengembangan lokakarya partisipatif kepada masyarakat mengenai pencegahan AI batkan masyarakat berkaitan dengan kesling LSM dan Universitas Implementasi pengelolaan lingkungan dan 3.8. Pengelolaan dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang AI di lokasi-lokasi keadaan masyarakat di 4 kabupaten pentutama penyebaran AI pada satwa liar, tering bagi penyebaran flu AI utama yang bermigrasi
Aksi
STRATEGI 3: Kajian epidemiologi
2 kali setahun 2 tahun
6 bul an
6 bulan
1 bulan
6 bulan
1 tahun
1 tahun
Target Waktu
Rincian strategi dan Rencana Aksi 34
Penyebaran informasi pengetahuan terbaru TNPFBBL mengenai FB Menampung informasi dari daerah TNPFBBL
TNPFBBL 4.7. Membuat strategi komunikasi Sub-Strategi 4C: Pelibatan dan penguatan media massa Menko Kesra, Dephut, 4.8. Sosialisasi kepada mdia massa dalam rangka pengendalian fb pada burung liar Deptan, Depkes, Pemda, LSM, Perguruan Tinggi
4.6.
4.5.
Komnas FBPI dan LIPI
Komnas FBPI dan LIPI
Komnas FBPI dan LIPI
4.2.
Rapat koordinasi dalam rangka pembuatan pangkalan data dan pembangunan data 4.3. Advokasi dansosialisasi di daerah Sub-Strategi 4B: Membentuk jejaring informasi 4.4. Pembuatan mailing list mulai dari pusat sampai ke daerah
LIPI
Penanggung jawab
Sub-Strategi 4A: koordinasi dengan daerah 4.1. Rapat koordinasi Nasional
Aksi
adanya media massa yang terlibat dalam pengendalian FB pada burung liar
Terdapat pangkalan semua data dan informasi Terdapat strategi komunikasi
Terdapat list dari setiap instansi yang melakukan kegiatan dari pusat sampai daerah Terbentuknya sistem informasi
Terbentuknya mekanisme koordinasi pusat sampai ke daerah Terlaksananya rapat koordinasi dan terbentuknya pusat pangkalan data Terlaksananya rencana aksi
Indikator
5 tahun
1 tahun
rutin
rutin
6 bulan
1 tahun
6 bulan
1 tahun
Target Waktu
STRATEGI 4: Prosedur berbagi data (data sharing), Pengembangan sistem informasi, dan proses pengambilan keputusan
35 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
5.9.
5.8.
5.7.
5.6.
5.5.
5.4.
5.3.
5.2.
5.1.
Indikator
TNPFBBL
TNPFBBL
Terselenggarakannya rapat koordinasi yang terdokumentasi dan dapat dievaluasi
adanya media massa yang terlibat dalam pengendalian FB pada burung liar
Terdapat pangkalan semua data dan informasi Terdapat strategi komunikasi
6 bulan
Komnas FBPI dan LIPI Terdapat list dari setiap instansi yang melakukan kegiatan dari pusat sampai daerah TNPFBBL Terbentuknya sistem informasi
Setiap 4 bulan
5 tahun
1 tahun
rutin
rutin
1 tahun
6 bulan
1 tahun
Target Waktu
Komnas FBPI dan LIPI Terlaksananya rencana aksi
Terbentuknya mekanisme koordinasi pusat sampai ke daerah Komnas FBPI dan LIPI Terlaksananya rapat koordinasi dan terbentuknya pusat pangkalan data
LIPI
Penanggung jawab
Menko Kesra, Dephut, Deptan, Depkes, Pemda, LSM, Perguruan Tinggi Rapat koordinasi secara berkala mengenai Komnas kegiatan surveilans burung liar
Peningkatan pendidikan formal melalui program beasiswa Penugasan Dokter Hewan pada setiap BKSDA dan setiap kabupaten pada Departemen Pertanian Pelatihan dan pendampingan bagi pelaksana teknis lapangan surveilans burung liar Pelatihan bagi petugas labratorium yang terlibat dalam prosedur baki dan wajib dalam penanganan sampel Evaluasi, verifikasi dan sertifikasi kapasitas laboratorium Peningkayan kapasitas laboratorium untuk pemeriksaan sampel pada burung liar Pelatihan komunikasi resiko bagi petugas yang terlibat baik di lapangan, laboratorium, maupun di tingkat pembuat keputusan yang akan menjadi tingkatan tertinggi dalam menyampaikan informasi secara resmi Koordinasi dengan media massa dalam perluasan informasi mengenai FB pada burung liar
Aksi
STRATEGI 5: Pengembangan kemampuan dan pemberdayaan pemangku kepentingan
Rincian strategi dan Rencana Aksi 36
Komnas, LSM, Lembaga Donor
5.13. Mengetahui persepsi dan perubahan perilaku masyarakat terhadap usahausaha surveilans dan konservasi burung liar
* Asumsi tersedia sumber daya manusia yang memadai
Masing-masing bidang/ instansi Komnas, Dephut, Deptan, Depkes, LSM, media massa Komnas, Dephut, Deptan, Depkes, LSM
5.10. Rapat koordinasi teknis antar laboratorium, antar petugas teknis lapangan 5.11. Kampanye melalui media massa (cetak dan elektronik) mengenai surveilans burung liar 5.12. Penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan konservasi dan kepedulian terhadap burung liar Setiap 3 bulan
Sepanjang tahun (minmal 3 bulan sekali) Sepanjang tahun, setiap saat (minimal 6 bulan sekali) Membuat survey informasi dasar mela- Secara berjenlui lembar pertanyaan, serta evalujang setiap 3 asi/peningkatan perubahan perilaku bulan (dalam tahapan waktu sebelum dan setelah dilaksanakan sosialisasi dan survey tersebut
Terdapat cetak lepas, poster, iklan layanan masyarakat, brosur, gambar tempel, dll Terdapat program pendampingan masyarakat,adanya penyuyluhan dan berbagai dialog
Hasil rapat dan hasil evaluasi
37 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Penanggung jawab
Indikator
Target Waktu
Sub-Strategi 6A. Melegalisir dokumen Rencana Strategis dam Rencana Aksi Nasional Penanganan flu Burung pada Burung Liar di Indonesia 6.1. Rapat koordinasi penetapan instansi pem- Komnas Kesepakatan instansi pemrakarsa per- 3 bulan rakarsa SKB atau Perpres angkat hukum 6.2. Rapat koordinasi dengan Biro Hukum Instansi Pemrakarsa Draft SKB atau Perpres dan Draft PP 1 tahun Departemen/Non-Departemen atau Sekretentang Pengendalian Zoonosis Berpotariat Negara tensi Pandemi di Indonesia 6.3. Meningkatkan komitmen pada pihak untuk Menko Kesra, Dephut, Rencana program tercantum dalam Setiap menyelaraskan program dan kegiatan yang Deptan, Depkes, LIPI, rencana strategis sektor Terbenbulan sejalan dengan Rencana Strategis NasioPemda, LSM, Perguruan tuknya mekanisme hubungan kerja nal Penanganan Flu Burung dalam Renstra Tinnggi antar sektor sektor terkait melalui pembentukan forum konsultasi dan komunikasi. Sub-Strategi 6B. Melegalisir penyelenggaraan surveilans pada burung liar Menko Kesra, Dephut, Tersedianya pedoman-pedoman resmi 1 tahun 6.4. Membuat dasar hukum untuk semua pedoman yang terkait dengan surveilans Deptan, Depkes, LIPI, pada burung liar a.l.: pedoman berbagi Pemda, LSM, Perguruan data, pedoman fokus aksi (jenis sasaran, Tinnggi lokasi sasaran, lemaga sasaran, dan prioritas aksi), pedoman mekanisme pendanaan Menko Kesra, Dephut, Meningkatnya pengetahuan dan kesSetiap 6.5. Sosialisasi pedoman Deptan, Depkes, Pemda, daran para pihak terdapat pengendaltahun LSM, Perguruan Tinnggi ian flu burung pada burung liar
Aksi
STRATEGI 6: Penyempurnaan kebijakan sektoral
Rincian strategi dan Rencana Aksi 38
Penanggung jawab
Indikator
Target Waktu
Sub-Strategi 7A. Pendanaan dimasukkan dalam perencanaan dan penganggaran resmi pemerintah Tersusunnya rencana anggaran sektoral Setiap 7.1. Mengembangkan rencana anggaran baik Menko Kesra, Dephut, pada tingkat nasional maupun wilayah/ Deptan, Depkes, Pemda maupun terpadu tahun daerah Menko Kesra, Dephut, Rencana anggaran tercantum dalam Setiap 7.2. Memasukkan rencana pendanaan pada anggaran resmi pemerintah, misalnya Deptan, Depkes, Pemda rencana anggaran pembayaan negara tahun melalui APBN, APBD, atau blue book BAPPENAS Sub-Strategi 7B. Mobilisasi dana kerjasama internasional dan dana pendamping Menko Kesra, Dephut, Terjalin kerjasama dengan pihak interSetiap 7.3. Aktif melakukan diseminasi dan ekspose rencana aksi kepada masyarakat interDeptan, Depkes, LIPI, nasional untuk melaksanakan butir-butir tahun nasional, termasuk kemungkinan untuk Pemda, LSM, Perguruan rencana aksi bekerjasama secara sejajar dan saling Tinnggi menguntungkan Menko Kesra, Dephut, Rencana anggaran pendamping terSetiap 7.4. Memasukkan dana pendamping dalam anggaran resmi pemerintah Deptan, Depkes, LIPI, cantun dalam rencana anggaran pemtahun Pemda biayaan negara Sub-Strategi 7C. Mobilisasi dana swasta Menko Kesra, Dephut, Terjalinnya kerjasama dengan pihak Setiap 6.5. Diseminasi dan ekspose rencana aksi kepada pihak swasta dan mendorong ket- Deptan, Depkes, Pemda, internasionall untuk melaksanakan butirtahun erlibatan pihak swasta untuk bekerjasama LSM, Perguruan Tinnggi butir rencana aksi
Aksi
STRATEGI 7: Pendanaan
39 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Penerapan Standar Surveilans Burung Liar dan Jenis Terkait
42
BAB IV PENERAPAN STANDAR SURVEILANS BURUNG LIAR DAN JENIS TERKAIT Sebagai acuan untuk melaksanakan surveilans, maka digunakan dua referensi yang bersifat saling melengkapi, yaitu: a)
”Panduan Burung Liar dan Flu Burung: Pengantar riset lapangan terapan dan teknik pengambilan contoh penyakit” oleh FAO dan Wetlands International (dengan dukungan dari Departemen Kehutanan, Depar-
b)
temen Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); ’Pedoman Pemantauan Flu Burung pada Burung Air dan Unggas: diser tai bahan informasi kesehatan masyarakat’ oleh Yayasan Kutilang Indo nesia dan IdOU (Perhimpunan Ornitolog Indonesia).
Untuk keperluan praktis, maka panduan bagi surveilans perlu ditentukan secara optimal. Keadaan ideal yang diharapkan adalah tersedianya dan digunakannya satu acuan bersifat terpadu dan menyeluruh serta praktis. Namun, karena panduan demikian tidak tersedia maka diperlukan beberapa panduan sekaligus. Agar optimal, maka sementara ini sebaiknya panduan dibatasi pada dua judul saja,dengan pertimbangan sebagai berikut: a)
b)
Panduan lapangan dari FAO dan Wetlands International bersifat ter padu dan menyeluruh terutama dari aspek teknik penangkapan, serta cakupan jenis yang dituju (karena tidak terbatas pada burung air bermigrasi); Panduan YKI-IdOU ditulis berdasarkan pengalaman lapangan yang ses uai dengan kondisi dan fasilitas lapangan di Indonesia, dan lebih lanjut panduan ini telah diselia oleh para ahli termasuk Balitbangkes, Komisi Nasional Etika Penelitian Kesehatan, PHKA, dan IdOU.
Untuk jangka menengah masih diperlukan suatu panduan yang mencakup seluruh aspek surveilans flu burung yang dapat diterapkan di Indonesia. Dengan demikian, tindakan yang perlu dilakukan untuk mempromosikan standar surveilans yang baik adalah sebagai berikut: a) b)
memproduksi, mencetak dan menyebarkan pedoman terkait; menyusun dan memproduksi pedoman yang lebih terpadu dan menyeluruh dengan memperhatikan panduan yang telah tersedia.
43
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
BAB V PENUTUP Burung liar mempunyai peran yang sangat vital pada ekosistem dan lingkungan hidup manusia sehingga keberadaannya harus dilestarikan. Menanggapi penyebaran virus H5N1 ganas di Indonesia memerlukan aksi dari sejumlah institusi untuk bekerjasama dan menelaah segala cara penyebaran virus tersebut di negara ini, termasuk tentang kemungkinan burung liar berfungsi sebagai vektor penyebar virus berbagai penyakit pada manusia dan hewan domestik. Kontroversi mulai muncul tentang tindakan eradikasi pada burung liar karena tidak sejalan dengan prinsip konservasi. Keterkaitan burung liar dengan penyebaran penyakit Avian Influenza atau flu burung perlu menjadi perhatian Indonesia karena merupakan salah satu negara terpenting yang disinggahi burung migran, hal ini didukung oleh banyak studi yang menyebutkan burung-burung migran dapat berpotensi menjadi sumber penyebar virus H5N1 penyebab flu burung. Namun demikian masih diperlukan banyak data dan informasi untuk membuktikan bahwa terjadi penularan dari burung migran ke unggas lokal. Penanganan flu burung pada burung liar perlu penggalangan aksi bersama multisektoral bekerjasama menelaah dan merumuskan program bersama berkaitan dengan pengendalian penyebaran virus tersebut. Oleh karenanya penguatan kelembagaan perlu ditingkatkan, dan adanya badan koordinasi nasional seperti Komnas FBPI merupakan kebutuhan yang perlu dipertahankan. Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung pada Burung Liar di Indonesia ini disusun sebagai pedoman dalam mencegah dan menangani kasus flu burung pada burung liar yang ada di Indonesia serta bertujuan agar kegiatan surveilans flu burung di Indonesia berjalan dengan selaras dan saling menunjang antar berbagai pemangku kepentingan. Dokumen ini yang merupakan living document akan menjadi pedoman bagi pemerintah dan pihak-pihak lain dalam menyelenggarakan monitoring dan surveilans flu burung ganas pada burung-burung liar, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Referensi
44 REFERENSI
BAPPENAS. 2005. Rencana Strategis Nasional Pengenadilian Flu Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006 – 2008. Chen H, Li Y, Li Z, Shi J, Shinya K, Deng G, et al. 2006. Properties and dissemination of H5N1 viruses isolated during an influenza outbreak in mi gratory waterfowl in western China. J Virol 80 (12):5976-83. Ducatez MF, Olinger CM, Owoade AA, De Landtsheer S, Ammerlaan W, Niesters HG, et al. 2006. Avian flu: multiple introductions of H5N1 in Nigeria. Nature 442(7098):37 Lei FM, Qu YH,; Tang QQ, An SC.2003. Priorities for the conservation of avian biodiversity in China based on the distribution patterns of endemic bird genera. Biodiversity and Conservation 12(12):2487-2501 Fouchier, RAM, Bestebroer TM, Herfst S,Van der Kemp L, Rimmelzwaan GF & Ostehaus ADME. 2000. Detection of Influenza A virus from different species by PCR amplification of conserved sequences in the Matrix gene. J. Clin.Microbiol. 38(11): 4096-4101. Kou Z, Lei FM, Yu J, Fan ZJ, Yin ZH, Jia CX, et al. 2005. New genotype of avian influenza H5N1 viruses isolated from tree sparrows in China. J Virol. 79(24):15460-6. Lee MS, Chang PC, Shien JH, Cheng MC, Shieh HP. 2001. Identification and subtyping of avian influenza viruses by reverse transcription PCR. J. Virol.Methods 97: 13-22. Normile D. 2006. Avian influenza. Evidence points to migratory birds in H5N1 spread. Science 311(5765):1225. Office International des Epizooties. 2005. Manual Standards for Diagnostic Tests & Vaccines. pp. 212-219. Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, M. Muchtar & N. Kemp. 2007. Daftar Burung – Burung di Indonesia no. 2. Bogor: Indonesian Ornithologists’ Union. Susanti R, Soejoedono RD, Mahardika IGNK, Wibawan IWT, Suhartono MT. 2007. Waterfowl Potential as Reservoirs of HPAI H5N1 viruses. JITV vol. 12 (2): 160-166 WHO. 2006. Avian influenza (“ bird flu”) - Fact sheet. World Health Organization. February, 2006
45
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Istilah dan Definisi •
Antigen: adalah substansi asing yang dapat terikat pada suatu reseptor sel-sel darah putih yang bersifat spesifik, dan dapat menyebabkan reaksi kekebalan terutama berperan dalam pembentukan antibodi.
•
‘Bottleneck site’: adalah lokasi migrasi burung dimana terjadi penyempitan jalur sehingga burung terkonsentrasi dalam lajur yang sempit. ‘Bottle neck site’ umum ditemukan pada jalur migrasi burung pemangsa, dan disebabkan karena topografi maupun cuaca menyebabkan hanya jalur tersebut yang mudah dilalui oleh burung bermigrasi tersebut
•
Burung air (waterbird): adalah jenis-jenis burung yang secara ekologis hidupnya tergantung pada lahan basah, baik dalam mencari makan, beristirahat maupun berlindung dan berbiak
•
Burung bermigrasi (migrant): adalah populasi burung yang melakukan pergerakan terbang ulang alik pada arah tujuan tertentu, pada waktu tertentu setiap tahun, antara tempat berbiak dengan satu atau lebih lokasi tidak berbiak
•
Burung liar (wild bird): adalah burung yang hidup di berbagai tempat yang masih memiliki sifat-sifat liar baik hidup bebas maupun dipelihara
•
Burung pemangsa (Raptor): adalah jenis-jenis burung pemakan daging yang tergolong ke dalam ordo Falconiformes
•
Corporate environmental responsibility: adalah tanggung jawab perusahaan untuk memelihara lingkungan sekitar yang telah dipengaruhi oleh dampak kegiatan perusahaan tersebut
•
Corporate social responsibility: adalah tanggung jawab perusahaan pada pembangunan sumber daya setempat. Tanggung jawab sosial ini dapat di laksanakan bukan saja dengan membantu pembangunan setempat dalam bidang ketenaga-kerjaan, namun bahkan perlu menjangkau pendidikan dan kesehatan serta kesetaraan jender. Dalam hal ini berlaku logika bahwa kesehatan lingkungan tidak dapat dipisahkan
Lampiran
46
dengan penghidupan, pendidikan dan kesehatan serta kesetaraan jender bagi masyarakat setempat. •
Emerging disease or re-emerging disease: adalah infeksi baru yang terjadi dari evolusi atau perubahan dari agen penyakit bersifat pathogen yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian menyebar ke daerah geografik atau populasi baru; atau agen bersifat patogenik tersebut atau penyakit tersebut tidak terdeteksi atau tidak dikenali pada waktu sebelumnya, yang kemudian muncul sebagai penyakit yang memberikan implikasi (dampak) berarti bagi kesehatan hewan atau kesehatan masyarakat
•
Ex-situ: adalah di luar habitat aslinya
•
Flu burung (Avian influenza): adalah penyakit hewan menular pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviri dae
•
Green-washing: adalah upaya yang bertujuan membersihkan citra suatu perusahaan yang dalam kegiatan komersialnya telah merusak lingkungan
•
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI): adalah Flu Burung dengan patogenisitas tinggi (ganas)
•
In-situ: adalah pada/di habitat aslinya
•
Jenis/ spesies endemik: adalah jenis yang hanya terdapat di suatu lokasi atau kisaran geografi tertentu dan tidak terdapat di tempat lain manapun di dunia
•
Jenis perantara (=‘bridge species’): adalah (jenis) satwa liar yang berperan sebagai perantara ekologi yang menularkan virus influenza dari satwa liar ke hewan domestik, atau sebaliknya Pada umumnya jenis perantara hidup sebagai penetap di sekitar pemukiman manusia atau lahan pertaniannya. Penularan berpotensi terjadi melalui kontak langsung (satwa dengan unggas) atau melalui air dan tanah yang digunakan bersama. Untuk jenis burung, yang sering di duga sebagai jenis perantara antara lain: bebek dan angsa liar (Anatidae), pergam (Columbidae), jalak (Sturnidae), gereja (Passeridae), layang-layang (Hirundinidae). Menurut EFSA (2006) bukti mengenai peran jenis perantara baru merupakan
47
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
bukti tidak langsung, misalnya ketika dalam beberapa kejadian wabah HPAI H5N1 pada unggas ternyata satwa liar di sekelilingnya turut ada yang mati (Sumber: EFSA. 2006. European Food Safety Authority- EFSA-Q-2005-243 Scientific Statement on Migratory birds and their possible role in the spread of highly pathogenic avian influenza: Adopted by written procedure on the 4th of April 2006. EFSA-Q-2005-243) •
Jenis/ spesies reservoir: adalah jenis (burung/unggas) dimana virus telah melakukan adaptasi secara efektif, dan khususnya pada jenis yang berperan menjadi reservoir alami, maka mutasi gen pada virus tidak terjadi lebih lanjut
•
Lead Agency: adalah lembaga yang bertanggungjawab melaksanakan tugas dan/atau fungsi tertentu
•
Living document: adalah dokumen acuan yang dapat diperbaiki dan atau diperbaharui dari waktu ke waktu
•
Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI): adalah Flu Burung dengan patogenisitas rendah
•
Management authority: adalah lembaga yang berwenang dan bertanggungjawab melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengelolaan
•
Monitoring: adalah kegiatan surveilans yang dilakukan hanya pada waktu tertentu, dan tidak diikuti dengan tindakan pengendalian lebih lanjut
•
On-granting: adalah mekanisme penerusan hibah kepada pihak penerima (Pemerintah Daerah atau Badan Usaha Milik Negara) yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku
•
On-lending: adalah mekanisme penerusan pinjaman terhadap pihak penerima (Pemerintah Daerah atau Badan Usaha Milik Negara) yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku
•
Paserin (Passerine): adalah jenis-jenis burung petengger yang tergolong ke dalam bangsa atau ordo Passeriformes
•
Reservoir: lihat ’jenis/spesies reservoir’
Lampiran
48
•
Sequencing: adalah proses pengurutan secara seri suatu materi tertentu
•
Strain: adalah sekelompok individu dari suatu jenis (atau anak jenis) yang memiliki sifat khas dan/atau ciri fisiologis yang sama
•
Surveilans: adalah suatu sistem yang terus menerus dilakukan dalam pengumpulan, analisa dan interpretasi data tentang frekwensi dan distribusi penyakit dalam suatu populasi dengan tujuan untuk mengambil langkahlangkah pengendalian atau tindakan investigatif lebih lanjut. Data surveilens digunakan baik untuk menentukan kebutuhan akan langkah-langkah menen tukan program pengendalian dan untuk mengkaji efektifitas program pengendalian. Surveilans dapat dilakukan secara aktif atau pasif, sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Surveilans aktif diterapkan dalam sistem dimana kegiatan dilakukan dengan mengunjungi lokasi yang sesuai untuk mengidentifikasi kasus-kasus penyakit baru atau kasus-kasus kematian akibat penyakit tertentu, atau mendapakan data-data yang diperlukan. Surveilans aktif dapat diartikan sebagai pencarian kasus secara aktif. Surveilans pasif diterapkan dalam sistem di mana pengumpulan dan pengunaan data tertentu didasarkan pada pelaporan.
•
Taksa: adalah kelompok organisme berdasarkan bentuk, ukuran, dan sifat genetiknya. Pengelompokkan ini dilakukan untuk mencapai sistem klasifikasi yang menggambarkan hubungan evolusi dari mahluk hidup. Dengan demikian, maka dilakukan secara bertingkat (misalnya marga, jenis, anak jenis dan seterusnya)
•
Travel-warning: adalah larangan yang dikeluarkan suatu negara bagi warganya untuk melakukan perjalanan di suatu negara lain
49
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
LAMPIRAN 2 Daftar jenis burung di mana virus flu burung patogenik tinggi H5N1 ditemukan pada populasi burung liar dan/atau burung tangkapan* (per September 2007**)
Takson Anseriformes Anatidae
Kelompok jenis
Habitat
Jumlah jenis dimana H5N1 ditemukan TangkaTotal Liar pan
Bebek, Mentok, Angsa
Lahan basah, pesisir
30
11
19
Charadriiformes Laridae Scolopacidae
Camar Burung pantai
Pesisir, Lahan basah Lahan basah
3 1
3 1
2 0
Gruiformes Raliidae
Tikusan, Mandar
Lahan basah
4
4
0
Pelecaniformes Phalacrocoracidae
Pecuk padi
Pesisir, Lahan basah
2
2
0
Podicipediformes Podicipedidae
Titihan
Pesisir, Lahan basah
2
2
0
Falconiformes Accipitridae Falconidae
Elang, Rajawali Alap-alap
Umum Umum
7 2
5 1
2 2
Passeriformes Corvidae Lain-lain
Gagak Burung penyanyi
Umum Umum
3 12
3 8
0 4
Sempidan, Puyuh bukit
Umum
4
2
2
Pergam, Walik
Umum
2
2
0
Galliformes Phasianidae Columbiformes Columbidae
* Burung tangkapan termasuk yang disimpan di Kebun binatang. Beberapa jenis ter masuk liar maupun tangkapan. ** Sumber data: USGS NHWC website
Lampiran
50
LAMPIRAN 3 Jenis Burung Sasaran Program Surveilans Secara umum, berdasarkan pola dan habitat mencari makannya jenis-jenis burung sasaran program surveilans dapat dikelompokan menjadi: a) Jenis-jenis burung lahan basah b) Jenis-jenis burung pemangsa c) Jenis-jenis “perantara” Sementara itu, berdasarkan status kehadiran dan perkembangbiakannya di Indonesia, surveilans dapat ditujukan pada sasaran berikut: a) Jenis-jenis burung bermigrasi b) Jenis-jenis burung yang berkembang biak secara berkoloni a. Jenis-jenis burung lahan basah FAO & Wetlands International (2008) mengklasifikasikan jenis-jenis burung lahan basah beserta karakteristiknya ke dalam kelompok berikut: i)
Unggas Air (Anseriformes)
Kelompok burung ini beranggotakan jenis-jenis Itik, Mentok dan Angsa yang umumnya berukuran sedang hingga besar. Sebagian dari kelompok ini sangat dekat dengan kebudayaan manusia karena telah dipelihara selama beribu tahun yang lalu. Di seluruh dunia, kelompok ini jumlahnya sekitar 150 jenis, sementara di Indonesia jumlahnya hanya sekitar 19 jenis saja. Sebagian diantara mereka tersebar dan dapat ditemukan di seluruh Indonesia, sementara yang lainnya penyebarannya hanya terbatas di Indonesia Timur (misalnya Anseranas semipalmata, Dendrocygna eytoni, Cygnus atratus dan Anas waigiuensis di Papua; Anas fuligula di Sulawesi) atau di Indonesia Barat saja (misalnya Cairina scutulata di Sumatra dan Jawa). Jenis Mentok rimba Cairina scutulata telah dikategorikan sebagai salah satu jenis yang paling terancam punah secara global dan populasinya diperkirakan tidak lebih dari 200 ekor dengan sebaran populasi utama di wilayah pantai timur Sumatra. Jenis lain, seperti Itik kapas Nettapus coromandelianus masih ditemukan di beberapa lokasi di Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi, tetapi keseluruhan populasinya dikategorikan sebagai cukup mengkhawatirkan karena semakin menyusutnya habitat lahan basah mereka. Di alam liar, mereka umumnya ditemukan secara berkelompok, baik ketika sedang mencari makan maupun terbang dan beristirahat. Meskipun demikian, pada saat berbiak, sebagian besar dari mereka justru melakukannya secara terpisah. Beberapa melakukannya di wilayah perairan dengan
51
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
memanfaatkan vegetasi di sekitarnya, sementara beberapa jenis lainnya memanfaatkan lubang di pohon besar sebagai tempat yang aman untuk bersarang. Anak-anak mereka umumnya bersifat precocial (artinya segera setelah menetas mampu mengikuti induknya dan dapat mencari makan sendiri) Terkait dengan flu burung, kelompok ini patut memperoleh perhatian tertinggi karena dari daftar jenis dan jumlah burung yang liar yang mati karena virus H5N1, kelompok unggas air tercatat memiliki pathotype virus H5N1 ganas maupun jinak yang paling umum ditemukan kembali. Dalam sejarah penyebarannyapun, jenis ini diketahui sebagai kelompok yang paling umum tertular pada saat kejadian serangan H5N1 diketahui di lahan basah Cina pada tahun 2005/2006. Meskipun demikian, penelitian yang lebih mendalam sangat perlu dilakukan mengenai peran kelompok ini dalam penyebaran virus H5N1 di Indonesia. Hal ini terutama disebabkan adanya ketidakcocokan antara jenis-jenis yang telah tertular secara global dengan jenis-jenis yang hidup di habitat lahan basah Indonesia. Penelitian selayaknya ditujukan untuk memperoleh informasi lebih mendalam mengenai pola sebaran, pergerakan, ekologi makan serta interaksinya dengan unggas domestik. Perlu pula diketahui daerah-daerah penting yang mendukung kehidupan kelompok tersebut dalam jumlah yang banyak. ii)
Burung Pantai (Charadriiformes)
Sesuai dengan namanya, kelompok burung pantai sangat bergantung kepada ekosistem pantai, terutama pada saat mencari makan dan beristirahat. Meskipun banyak diantara mereka yang berbiak maupun mencari makan jauh dari wilayah pantai, tetapi mereka masih tetap bergantung kepada wilayah pantai sebagai kawasan perantara dalam melakukan migrasi. Kelompok ini sebagian besar memang dikenal sebagai jenis-jenis yang bermigrasi, dimana pada musim hangat secara umum mereka berbiak di belahan bumi utara dan kemudian melakukan migrasi ke belahan bumi selatan pada saat musim dingin. Indonesia telah diketahui merupakan wilayah yang sangat penting sebagai tempat mereka singgah untuk mencari makan dan menambah enerji untuk perjalanan berikutnya. Secara taksonomis, sebagian besar burung pantai merupakan bagian dari keluarga Charadriidae dan Scolopacidae. Sebagian lainnya merupakan anggota dari keluarga yang jumlah jenisnya lebih sedikit, seperti Jacanidae, Rostratulidae, Haematopodidae, Recurvirostridae, Burhinidae, Glareolidae dan Phalaropidae. Dengan penekanan pada kegiatan migrasi mereka, beberapa jenis lain yang juga hidup di habitat pantai (seperti Kuntul dan Bangau) tidak dimasukkan ke dalam kelompok ini. Sejauh ini, diseluruh dunia telah teridentifikasi paling tidak sebanyak 214 jenis burung pantai, dimana sekitar 65 jenis diantaranya telah terctat di
Lampiran
52
Indonesia. Sebagian besar melakukan migrasi, sementara beberapa jenis tercatat berbiak di Indonesia, seperti Cerek Jawa Charadrius javanicus. Menurut FAO & Wetlands International (2008) meskipun frekuensi keseluruhan virus jinak pada burung pantai termasuk tinggi, virus ganas H5N1 sejauh ini hanya ditemukan pada satu jenis, yaitu burung Trinil Hijau Tringa ochropus pada keluarga Scolopacidae. Demikian pula, burung pantai nampaknya tidak menularkan atau menyebarkan H5N1. Meskipun burung-burung pantai menempati wilayah luas dan waktu yang sama dengan unggas air pada rute migrasi Asia, namun burung-burung tersebut tidak membawa virus ke Australia dimana mereka menghabiskan musim panas di selatan dalam jumlah besar (dan ke tempat dimana berbagai jenis Anatidae yang berkembang biak di belahan bumi utara biasanya tidak bermigrasi). Sejauh ini informasi dasar telah diperoleh mengenai penyebaran jenisjenis burung dari kelompok ini di Indonesia. Meskipun demikian, informasi yang lebih tersebar dan terinci masih sangat diperlukan. Selain itu, data mengenai peranan kelompok jenis ini dalam penyebaran virus H5N1 sangat diperlukan melalui peningkatan jumlah surveilans di lokasi yang lebih tersebar. iii)
Burung Camar dan Dara Laut (Charadriiformes)
Kelompok burung Camar dan Dara Laut umum ditemukan terutama di perairan pesisir dimana para nelayan sedang mencari ikan. Kelompok ini secara alami mencari makan berupa ikan yang hidup di perairan dangkal. Meskipun demikian, kerap kali juga teramati bahwa kelompok ini mencari makan berdekatan dengan lingkungan manusia, seperti pada tumpukan sampah, wilayah peternakan unggas dan pertanian serta memakan bangkai. Pola makan seperti ini yang kemudian menjadikan mereka potensial untuk tertular virus flu burung dan dapat dijadikan sebagai sasaran program surveilans. Virus flu burung jinak secara musiman umum terdapat pada ordo ini, termasuk burung Camar dan Dara Laut, dan virus H5N1 telah terisolasi di tiga jenis burung Camar, termasuk dua diantaranya yang terkena selama merebaknya wabah di Cina pada tahun 2005. Jenis burung Dara Laut lain yang sekerabat (Sternidae) mungkin juga bisa menjadi sasaran surveilans kasus penyakit, karena Dara Laut biasa merupakan jenis yang pertama kali diketahui mengalami kematian tinggi akibat penularan ganas pada tahun 1961. Akan tetapi, kebanyakan Dara Laut mempunyai pola makan khusus yang mungkin bisa menurunkan risiko terkena virus H5N1 karena mereka secara eksklusif hanya memakan ikan-ikan kecil dibawah permukaan air dengan penyelaman dangkal (FAO & Wetlands International, 2008) iv)
Kuntul, Cangak dan Bangau (Ciconiiformes)
Sebagian besar anggota kelompok ini umum ditemukan pada habitat yang
53
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
berdekatan dengan lingkungan manusia, seperti sawah, tambak padang rumput, meskipun beberapa diantaranya (khususnya kelompok Bangau) mencari makan di lokasi yang jauh dari pemukiman. Mereka mencari makan berupa organisme yang umum terdapat di lahan basah, baik ikan, reptilia, amfibia maupun serangga. Beberapa jenis, terutama pemakan ikan, sering dianggap sebagai hama budidaya perikanan, sementara yang lainnya, terutama pemakan serangga, dianggap banyak membantu petani karena memangsa hama pertanian. Dalam mencari makan, beberapa diantaranya; misalnya Kuntul Egretta spp, Roko-roko Plegadis falcinellus, Bangau kepala besi Threskiornis melanocephalus berbagi tempat dengan hewan peliharaan, misalnya dengan Bebek di persawahan yang sedang diolah. Kelompok ini pada umumnya berbiak secara bersama-sama beberapa jenis dalam kelompokan yang jumlahnya cukup besar (hingga mencapai puluhan ribu). Sarang umumnya ditempatkan pada ranting dan cabang pohon dengan stratifikasi dan pola peruangan yang terstruktur dan cenderung memiliki komposisi dan hirarki tertentu. Walaupun kelompok ini secara umum tidak diketahui sebagai inang yang umum bagi flu burung, namun virus H5N1 telah ditemukan setidaknya pada empat jenis Cangak atau Kuntul dan dua jenis Bangau (FAO & Wetlands International 2008). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Universitas Al Azhar Indonesia, IPB dan Wetlands International juga menunjukkan adanya kepentingan untuk memasukkan kelompok ini dalam program surveilans flu burung di Indonesia, khususnya untuk kelompok burung yang berbiak secara berkoloni. v)
Titihan (Podicipedidae)
Kelompok berukuran kecil ini lebih sering ditemukan menghabiskan waktunya di perairan yang ditumbuhi oleh rerumputan dan tumbuhan air lainnya. Telur mereka ditempatkan pada sarang terapung di perairan, dimana mereka juga mencari makanan berupa ikan dan invertebrata air di lingkungan yang sama. Kelompok ini tidak biasa dikenal sebagai tempat yang umum bagi virusvirus flu burung, walaupun virus H5N1 telah ditemukan paling kurang pada dua jenis, Titihan Kecil Tachybaptus ruficollis dan Titihan Jambul Podiceps cristatus (FAO & Wetlands International). vi)
Mandar dan Tikusan (Gruiformes)
Kelompok ini agak kurang dikenal terutama karena ukuran yang kecil dan sifatnya yang sangat pemalu. Waktu mencari makan, mereka lebih suka menyendiri berjalan mengendap-endap dan kemudian melarikan diri begitu ada gangguan yang dianggap bahaya. Jenis-jenis dari kelompok ini lebih sering didengar suaranya daripada terlihat. Keluarga burung ini dibagi dua “kelompok alami”, yaitu kelompok Mandar
Lampiran
54
Air dan kelompok Tikusan yang lebih banyak tinggal di rawa-rawa. Jenis seperti Mandar Hitam (Fulica atra) yang dikenal luas dan Mandar Batu (Gallinula chloropus) nampaknya lebih rentan terhadap virus H5N1, walaupun setidaknya satu jenis Tikusan (FAO & Wetlands International 2008) dan Mandarpadi sintar (Gallirallus striatus) (LIPI data tidak dipublikasikan) juga telah tertular. vii)
Pecuk Padi (Pelecaniformes)
Jenis-jenis Pecuk Padi lebih sering ditemukan bertengger pada tiang-tiang pinggir laut atau menyelam di perairan pantai, meskipun adapula yang berbiak dan mencari makan di wilayah yang lebih ke pedalaman. Di Indonesia, mereka pada umumnya berbiak secara berkoloni pada ranting pohon di wilayah pesisir. Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh kelompok ini adalah sifat bulunya yang tidak tahan air, sehingga sering terlihat bertengger pada tiang-tiang sambil merentangkan sayapnya untuk dijemur. Pecuk Padi diduga kadang-kadang menjadi ‘tempat’ virus-virus flu burung, dan sub-tipe virus H5N1 telah diisolasi paling kurang pada dua jenis, termasuk Pecuk-padi besar (Phalacrocorax carbo) yang tersebar luas dan dapat ditemukan di wilayah pantai dan daerah pedalaman di kebanyakan wilayah Erasia, Afrika dan Australia. Yang menarik adalah bahwa Pecuk Padi sering tertular virus Newcastle Disease (Paramyxoviridae), yang menyebabkan adanya penyakit unggas yang tersebar luas, sekalipun interaksi antara kelompok-kelompok ini hanya sedikit atau tidak diketahui sama sekali. b)
Burung Pemangsa (Falconiformes)
Menurut FAO & Wetlands International (2008) banyak jenis burung pemangsa telah tertular virus H5N1 yang mematikan. Walaupun secara umum tidak dianggap sebagai burung-burung “lahan basah”, peran mereka sebagai pemangsa dan pemakan bangkai jenis burung lainnya membuat mereka rentan terhadap virusvirus flu burung melalui konsumsi dan keterpaparan. Burung pemangsa diyakini melakukan kontak dengan penyakit tersebut melalui kontak langsung dengan jaringan-jaringan yang tertular pada saat mereka memakan bangkai unggas dan burung- burung liar yang mati akibat H5N1, atau memangsa burung-burung tertular yang menjadi lemah akibat virus tersebut. c)
Jenis-jenis “Perantara” (Bridging Species)
Kepentingan surveilans pada kelompok “perantara” terutama terletak pada kebiasaan mereka untuk mencari makan di lokasi sekitar peternakan unggas terbuka dan kemudian bergerak ke lokasi lain dimana manusia juga berkatifitas atau tempat dimana burung liar juga mencari makan. Dengan demikian terdapat potensi besar untuk terjadinya (saling) penularan.
55 d)
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Burung-burung Migran dan Penularan Virus H5N1 (sumber: FAO & Wetlands International, 2008)
Migrasi antara daerah berbiak dan tidak berbiak adalah sebuah fenomena yang telah terdokumentasi dengan baik. Migrasi memungkinkan jenis migran mengeksploitasi pasokan makanan yang berlimpah pada musim tertentu di habitat yang sangat produkif selama musim berbiak, tetapi kurang produktif, beku atau tandus selama musim tertentu dalam setahun. Jangkauan migrasi sangat berbeda, tergantung masing-masing jenis. Sebenarnya segmen-segmen populasi tertentu dapat tinggal dalam suatu daerah yang dianggap ramah sepanjang tahun sebagai “penduduk penetap” jika kondisi memungkinkan. Beberapa jenis, seperti burung pantai, melakukan migrasi tahunan lintas-katulistiwa yang sangat jauh. Mereka berkembang biak selama musim panas di utara kemudian terbang ke lintang tengah atau selatan yang lebih ramah sejauh Amerika Selatan, ke bagian selatan, dan Afrika Selatan serta Australasia pada saat musim dingin menerjang belahan bumi utara. Rute-rute migrasi burung dikelompokkan menjadi “jalur terbang” untuk membantu usaha pengelolaan dan konservasi internasional. Sebuah jalur terbang dapat didefinisikan sebagai “keseluruhan jarak jenis burung yang bermigrasi (atau kelompok-kelompok atau jenis-jenis terkait atau populasi-populasi yang nyata dari satu jenis tunggal) yang dengannya ia berpindah setiap tahun dari tempat berbiak ke lokasi tidak berbiak, termasuk tempat-tempat beristirahat dan mencari makan sementara serta daerah yang menjadi tujuan migrasi burung tersebut” (lihat Boere dan Stroud 2006 untuk penjelasan lanjutan). Kelompok-kelompok lain seperti Itik yang berkembang biak pada garis-garis lintang yang lebih tinggi mungkin hanya dapat bermigrasi paling jauh ke katulistiwa di selatan. Sebagai contoh, Itik Utara (Anas acuta) - Itik yang umum, tersebar luas dan berkembang biak di wilayah utara Eropa dan Asia, melintasi kebanyakan wilayah Kanada, Alaska dan Amerika bagian barat-tengah - bermigrasi dari selatan menuju timur, selatan dan tenggara Asia, Afrika barat dan timur serta dari Amerika Utara kearah selatan menuju bagian utara Amerika Selatan. Beberapa jenis mungkin menggunakan jalur terbang yang berbeda untuk penerbangan ke arah selatan (musim gugur di bagian utara) dan migrasi ke arah utara (musim semi di utara), dan populasi yang berbeda dari jenis yang sama mungkin menggunakan jalur-jalur terbang yang berbeda untuk mencapai daerah-daerah tidak berbiak yang terpisah. Berbagai karakteristik migrasi burung air dan kelompok lainnya di belahan bumi utara tidak selalu berlaku bagi jenis yang ada di belahan bumi bagian selatan. Burung air Afrika Selatan dan Australia cenderung bersifat nomaden (berpindah-pindah) di mana perpindahan mereka ditentukan oleh ketersediaan pasokan makanan dan turunnya hujan, dan bukan bersifat migrasi. Akan tetapi, ada beberapa jenis dari lokasi berbiak belahan bumi bagian selatan (Australia) yang
Lampiran
56
bermigrasi menuju arah utara (Asia Tenggara). Sekalipun peran beberapa jenis yang bermigrasi dalam perkembangbiakan dan penyebaran galur-galur jinak telah lama dikenal, peran mereka dalam penyebaran virus H5N1 ganas masih kurang jelas. Selama wabah awal ganas H5N1 yang terjadi pada unggas peliharaan di Asia Tenggara tahun 2003/04, tidak ada bukti yang kuat bahwa burung-burung liar dapat juga tertular, yang kemudian berpindah jauh dan menyebarkan virus itu pada saat mereka berpindah. Selama periode ini, penyebaran virus melalui unggas peliharaan, termasuk Itik peliharaan (Anas platyrhynchos), kebanyakan dihubungkan dengan perpindahan hewan melalui perdagangan, dan kebanyakan kasus H5N1 pada unggas liar terjadi pada saat yang sama dengan wabah unggas di daerah sekitar. Pasar basah/perdagangan daging segar yang melibatkan burung-burung liar dalam kurungan merupakan mekanisme bagi penyebaran penyakit pada jarak pendek, menengah atau panjang. Burung pemangsa dan paserin merupakan jenis populer yang umumnya diperdagangkan di pasar unggas internasional, baik secara legal ataupun gelap. Burung pemangsa yang diselundupkan ke Belgia pada tahun 2004, adalah burung pertama yang tertular virus ganas H5N1 yang terdeteksi di Eropa. Namun demikian, keadaan berubah ketika virus flu burung H5N1 menyebar ke Asia barat dan Eropa pada tahun 2005/06. Kasus dan wabah terlokalisir yang terjadi pada hidupan liar tercatat di beberapa negara dimana berbagai upaya ketahanan hayati yang keras dilakukan. Nampaknya tingkat ketahanan hayati dan higienis akan berpengaruh terhadap kejadian tumpahnya virus ke usaha unggas komersial. Penemuan burung-burung migran yang sakit, hampir mati atau mati yang tertular virus H5N1 di lokasi yang tersebar di Eropa Barat menunjukan kemungkinan serangan penyakit itu melalui perpindahan hewan liar.
K
J J
Buntutsate Merah Buntutsate Putih
2. Pelecaniformes 2.1 Phaethontidae Phaethon rubricauda Phaethon lepturus
S S
J
S
J
Titihan Jelaga Titihan Jambul
K
J
S
Titihan Australia
Nama Indonesia
1. Podicipediformes 1.1 Podicipedidae Tachybaptus novaehollandiae Tachybaptus ruficollis Podiceps cristatus
Nama Jenis
C
C
C
C
Sebaran
M M
M M
M
M
T
T
T
T
P
P
P
P
N<> N<>
<> N<>
<>
Status Status Perlindungan KehadIUCN CITES Lindung iram
Perlindungan IUCN : EN (Endangered), CR (Critical), VU (Vulnerable), NT (Near Threatened), DD (Data Deficient) CITES : I (Appendix I), II (Appendix II) Lindung : Status perlindungan di Indonesia (A: UU No. 5 tahun 1990, B: PP No. 7 tahun 1999)
Sebaran S : Sumatera ; K : Kalimantan ; J : Jawa ; C : Sulawesi ; M : Maluku ; T : Nusa Tenggara ; P : Papua
Status Kehadiran N : Pendatang (Non-breeder)
Keterangan:
Jenis-jenis burung lahan basah dan burunbg pemangsa di Indonesia (sumber: Sukmantoro dkk. 2007)
LAMPIRAN 4
57 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Cikalang Besar Cikalang Kecil Cikalang Christmas
Pecukpadi Besar Pecukpadi Hitam Pecukpadi Belang Pecukpadi Kecil Pecukular Asia
Angsabatu Topeng Angsabatu Kakimerah Angsabatu Coklat Angsabatu Christmas
Undan Putih Undan Paruh-totol Undan Kacamata
Cangak Abu
2.2 Fregatidae Fregata minor Fregata ariel Fregata andrewsi
2.3 Phalacrocoracidae Phalacrocorax carbo Phalacrocorax sulcirostris Phalacrocorax melanoleucos Phalacrocorax niger Anhinga melanogaster
2.4 Sulidae Sula dactylatra Sula sula Sula leucogaster Papasula abbotti
2.5 Pelecanidae Pelecanus onocrotalus Pelecanus philippensis Pelecanus conspicillatus
3. Ciconiiformes 3.1 Ardeidae Ardea cinerea
S
S
K
K K
S S S S S S
K
K K
S S
S S S
J
J J J
J J J J
J J J J
J J J
C
M
M M M M
C C C C
M
C C
M M M M M M
C C C
T
T
T T T
T
T T
T T T
P
P
P P P
P
P P P
P P P
N<
N< N< N>
N<> N<> N<> <
N<> > > N< <>
N<> N<> <>
NT
EN
NT
CR
I
I
AB AB AB
AB AB AB AB
AB
AB
Lampiran 58
Cangak Pasifik Cangak Laut Cangak Merah Cangak Besar Kuntul Belang Kuntul Perak Kuntul Australia Kuntul Kecil Kuntul Cina Kuntul Karang Kuntul Kerbau Blekok Cina Blekok Sawah Kokokan Laut Kowakmalam Abu Kowakmalam Merah Kowak Jepang Kowak Melayu Bambangan Rimba Bambangan Kuning Bambangan Coklat Bambangan Merah Bambangan Hitam
Bangau Bluwok
Ardea pacifica Ardea sumatrana Ardea purpurea Ardea alba Egretta picata Egretta intermedia Egretta novaehollandiae Egretta garzetta Egretta eulophotes Egretta sacra Bubulcus ibis Ardeola bacchus Ardeola speciosa Butorides striata Nycticorax nycticorax Nycticorax caledonicus Gorsachius goisagi Gorsachius melanolophus Zonerodius heliosylus Ixobrychus sinensis Ixobrychus eurhythmus Ixobrychus cinnamomeus Ixobrychus flavicollis
3.2 Ciconiidae Mycteria cinerea
J J J J K K K K
S S S S S
J
J
C
C C C C
C C C C C C
J J J J
K K K K K K K K
S S S S S S S S S S S
J J J J J J
K
S
C C C C C C C C C C
J J J
K K K
S S S
T T M
T
P
T
P
M
T
P
P P
P P P P P
P P
M M
T T
T T
M M M
T T T T T T T
M M M M M M M
P P
<
N> <> N< N<> > N<> > <> N< N<> N<> N< < <> N< <> N< N< G N<> N< N< <> VU
NT
EN
VU
I
AB
AB
AB AB AB AB B B
AB
AB
59 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Ibis Australia Ibis Papua Ibis Karau Ibissendok Raja
Elang Tiram Baza Jerdon Baza Pasifik Baza Hitam Elang Ekorpanjang Sikepmadu Asia Sikepmadu Sulawesi Elang Kelelawar Elang Tikus Elang Paria
4. Falconiformes 4.1 Accipitridae Pandion haliaetus Aviceda jerdoni Aviceda subcristata Aviceda leuphotes Henicopernis longicauda Pernis ptilorhynchus Pernis celebensis Macheiramphus alcinus Elanus caeruleus Milvus migrans
Ibis Rokoroko Ibis Cucukbesi
Bangau Sandanglawe Bangau Storm Bangau Leherhitam Bangau Tongtong
3.3 Threskiornithidae Plegadis falcinellus Threskiornis melanocephalus Threskiornis molucca Threskiornis spinicollis Pseudibis davisoni Platalea regia
Ciconia episcopus Ciconia stormi Ephippiorhynchus asiaticus Leptoptilos javanicus
K K K
S S S
J J
J
K
S
J
J
J J
J J
J
K K
K K
K
K K
J
S
S S
S S
S
S S
C C C C C
C C C
C
C
C
M
M
M
M
M
M
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
P P P
P
P
P
P
P P
P
P
N<> < > N< G < <
> > < >
N<> <
< < <> <
AB AB AB B AB AB AB AB AB AB AB
CR
II II II II II II II II II II
AB
NT
AB
AB AB
AB AB B
EN NT VU
Lampiran 60
Haliastur sphenurus Haliastur indus Haliaeetus leucogaster Ichthyophaga humilis Ichthyophaga ichthyaetus Circaetus gallicus Spilornis cheela Spilornis kinabaluensis Spilornis rufipectus Circus assimilis Circus melanoleucos Circus aeruginosus Circus spilonotus Circus approximans Accipiter trivirgatus Accipiter griseiceps Accipiter badius Accipiter soloensis Accipiter trinotatus Accipiter fasciatus Accipiter novaehollandiae Accipiter melanochlamys Accipiter henicogrammus Accipiter poliocephalus Accipiter gularis Accipiter virgatus
Elang Siul Elang Bondol Elanglaut Perutputih Elangikan Kecil Elangikan Kepalakelabu Elangular Jaripendek Elangular Bido Elangular Kinabalu Elangular Sulawesi Elangrawa Tutul Elangrawa Tangling Elangrawa Katak Elangrawa Timur Elangrawa Coklat Elangalap Jambul Elangalap Kepalakelabu Elangalap Shikra Elangalap Cina Elangalap Ekortotol Elangalap Coklat Elangalap Kelabu Elangalap Mantel-hitam Elangalap Halmahera Elangalap Pucat-sosonokan Elangalap Nipon Elangalap Besra K K K K K K K K K K
K K
S S S S S
S S S S S S
S S
J J
J
J
J J J
J J
C
C C C
C
C
C C
C C C C
T T
T T
M M M
T
T
T
T T
M
M M
P
P P P
P
P P
P P P
> <> <> < < N< < B E > N< N< < E N< N< E > > G E G N< < VU
NT NT
II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II
AB AB AB AB AB B AB B AB AB AB AB B B AB AB AB AB AB AB AB AB AB AB B AB
61 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Accipiter nanus Accipiter cirrhocephalus Accipiter erythrauchen Accipiter rhodogaster Accipiter meyerianus Accipiter buergersi Accipiter doriae Butastur liventer Butastur indicus Buteo buteo Harpyopsis novaeguineae Ictinaetus malayensis Aquila gurneyi Aquila audax Aquila clanga Hieraaetus fasciatus Hieraaetus pennatus Hieraaetus morphnoides Hieraaetus kienerii Spizaetus cirrhatus Spizaetus floris Spizaetus bartelsi Spizaetus lanceolatus Spizaetus alboniger Spizaetus nanus
Elangalap Kecil Elangalap Kalung Elangalap Maluku Elangalap Dadamerah Elangalap Meyer Elangalap Bahucoklat Elangalap Doria Elang Sayapcoklat Elang Kelabu Elang Buteo Rajawali Papua Elang Hitam Rajawali Kuskus Rajawali Ekorbaji Rajawali Totol Elang Bonelli Elang Setiwel Elang Kecil Elang Perutkarat Elang Brontok Elang Flores Elang Jawa Elang Sulawesi Elang Gunung Elang Wallace S
J J
K K
K K
S S
S S
J
J
S
S
J
S K
J J J
C
C
C
C C
C
C
M M
M M
M
M
M
T
T
T P
P P
P
P
P P P
P
E > E E > G G N< N< N< G < G > N< < N< > N< < E E E < < VU
EN EN
VU
NT
VU
DD NT
NT
II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II II
AB B AB AB AB B AB AB AB B AB AB AB AB B B B AB AB AB B AB AB AB AB
Lampiran 62
Alapalap Capung Alapalap Coklat Alapalap Erasia Alapalap Sapi Alapalap Layang Alapalap Walet Alapalap Macan Alapalap Australia Alapalap Kawah
Boha Wasur Belibis Totol Belibis Rumbai Belibis Kembang Belibis Polos Soang Hitam Umukia Raja Mentok Rimba Trutu Coklat Trutu Hijau Itik Gunung Itik Bungalan Itik Benjut
4.2 Falconidae Microhierax fringillarius Falco berigora Falco tinnunculus Falco moluccensis Falco cenchroides Falco subbuteo Falco severus Falco longipennis Falco peregrinus
5. Anseriformes 5.1 Anatidae Anseranas semipalmata Dendrocygna guttata Dendrocygna eytoni Dendrocygna arcuata Dendrocygna javanica Cygnus atratus Tadorna radjah Cairina scutulata Nettapus pulchellus Nettapus coromandelianus Salvadorina waigiuensis Anas penelope Anas gibberifrons J
K K
S S
J
J
J J
J
J J J J
J
S
K K
K
S
S S
K
K
K
S
S
S
C C
C C
C
C
C C C
C C
M
M
M
M M M
M M
T
T
T
T T
T
T T
T T T
P P
P
P P
P P P P
P P P
P P
P
> <> > <> < > > < > <> G N< <
< > N< T N> N< <> > <>
EN VU
EN
I
II II II II II II II II I
AB
AB B AB AB AB B AB AB AB
63 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Itik Kelabu Itik Alis Itik Utara Itik Jurai Kambangan Australi Kambangan Hitam
Jenjang Brolga
Mandarpadi Dadakelabu Mandarpadi Sintar Mandarpadi Kalungkuning Mandarpadi Zebra Tikusan Ceruling Tikusan Kakikelabu Tikusan Tukar Mandargunung Merah Mandargunung Garisputih Mandargunung Mayr Mandargunung Koma Mandar Dengkur Mandar Talaud Mandar Mukabiru Mandar Maluku
Anas gracilis Anas superciliosa Anas acuta Anas querquedula Aythya australis Aythya fuligula
5.2 Gruidae Grus rubicunda
5.3 Rallidae Rallus pectoralis Gallirallus striatus Gallirallus philippensis Gallirallus torquatus Rallina fasciata Rallina eurizonoides Rallina tricolor Rallicula rubra Rallicula leucospila Rallicula mayri Rallicula forbesi Aramidopsis plateni Gymnocrex talaudensis Gymnocrex rosenbergii Gymnocrex plumbeiventris K K
S S
K
K
S
S
S S S
J J
J
J J J J
C C C
C
C C C
C C C
C
T
M
M
T
T T T
T
T
M
M
M
M M
P
P P P P P
P P
P
P
P P
P P
> < <> < <> < > G E G G E E E >
>
> > N<> <> N> N<
VU EN VU EN
NT DD
II
AB
B
Lampiran 64
Mandar Gendang Mandar Kasuari Mandar Bakau Tikusan Kerdil Tikusan Merah Tikusan Siberia Tikusan Polos Tikusan Alisputih Kareo Zaitun Kareo Sulawesi Kareo Talaud Kareo Padi Mandar Bontod Mandar Kelam Mandar Batu Mandar Besar Mandar Hitam
Pedendang Topeng
Burungsepatu Jengger Burungsepatu Teratai Burungsepatu Picisan
Habroptila wallacii Megacrex inepta Eulabeornis castaneoventris Porzana pusilla Porzana fusca Porzana paykullii Porzana tabuensis Poliolimnas cinerea Amaurornis olivacea Amaurornis isabellina Amaurornis magnirostris Amaurornis phoenicurus Gallicrex cinerea Gallinula tenebrosa Gallinula chloropus Porphyrio porphyrio Fulica atra
5.4 Heliornithidae Heliopais personata
6. Charadriiformes 6.1 Jacanidae Irediparra gallinacea Hydrophasianus chirurgus Metopidius indicus
K K K K K
S S
S S
S
K K
K
S
S S
K K K
S S S
J J
J
J J J
J J
J
J J J
C
C C C C C C C C C
C C C
M
M M
M
M
M M M
M
M
T
T T T T T
T
T T
P
P P
P
P P P
P P P
> < <
N<
E G > <> < < <> <> <> E E < < > < <> <> VU
VU
NT
VU NT
65 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Berkikkembang Besar
Kedidir Belang Kedidir Kelam
Trulek Kelabu Trulek Gelambirmerah Trulek Jawa Trulek Topeng Cerek Besar Cerek Kernyut Cerek Kalungkecil Cerek Tilil Cerek Jawa Cerek Topimerah Cerek Melayu Cerek Paruhpanjang Cerekpasir Mongolia Cerekpasir Besar Cerek Asia Cerek Lututmerah
6.2 Rostratulidae Rostratula benghalensis
6.3 Haematopidae Haematopus longirostris Haematopus fuliginosus
6.4 Charadriidae Vanellus cinereus Vanellus indicus Vanellus macropterus† Vanellus miles Pluvialis squatarola Pluvialis fulva Charadrius dubius Charadrius alexandrinus Charadrius javanicus Charadrius ruficapillus Charadrius peronii Charadrius placidus Charadrius mongolus Charadrius leschenaultii Charadrius veredus Erythrogonys cinctus K K K K K K K K
S S S S
K
S S S S
S S
S
J J J J J J J J J J J
J
J
J
C C C
C
C C C C
C
C
M M M
M M M M M
M
P P P P
P
T T T T T
P P P P
P
T T T T T
T
T
< < E > N<> N<> N<> N< E > < < N<> N<> N<> >
> >
<>
NT
NT
CR
AB
Lampiran 66
6.5 Scolopacidae Numenius minutus Numenius phaeopus Numenius tahitiensis Numenius arquata Numenius madagascariensis Limosa limosa Limosa lapponica Tringa erythropus Tringa totanus Tringa stagnatilis Tringa nebularia Tringa guttifer Tringa flavipes Tringa ochropus Tringa glareola Xenus cinereus Actitis hypoleucos Heteroscelus brevipes Heteroscelus incanus Arenaria interpres Limnodromus scolopaceus Limnodromus semipalmatus Recurvirostra novaehollandiae Gallinago hardwickii
Gajahan Kecil Gajahan Penggala Gajahan Tahiti Gajahan Erasia Gajahan Timur Birulaut Ekorhitam Birulaut Ekorblorok Trinil Tutul Trinil Kakimerah Trinil Rawa Trinil Kakihijau Trinil Nordmann Trinil Kakikuning Trinil Hijau Trinil Semak Trinil Bedaran Trinil Pantai Trinil Ekorkelabu Trinil Penjelajah Trinil Pembalikbatu Trinillumpur Paruhpanjang Trinillumpur Asia Trinillumpur Lehermerah Berkik Jepang J J J J J J J J
K K K K K K K K K K K K K K
S S S S S S S S S S S S S S S S S
J J J
J J J J
K
S
J J
C
C
C C C C C
C C C
C C C
C C C
M
M M M M
M M M
M M M M
M M
T
T
T T T T
T
T T T
T T T T
T T
P P P
P P P P P P P
P P P
P P P
P P
N<> N<> < N<> N<> N<> N<> N<> N<> N<> N<> N< < N< N<> N<> N<> N<> N> N<> BG N<> > > NT
EN
VU
I
II
AB
AB
AB AB B AB AB
67 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Berkik Ekorlidi Berkik Rawa Berkik Ekorkipas Berkikgunung Merah Berkikgunung Papua Berkikgunung Sulawesi Berkikgunung Maluku Kedidi Besar Kedidi Merah Kedidi Putih Kedidi Lehermerah Kedidi Temminck Kedidi Jaripanjang Kedidi Ekor-panjang Kedidi Golgol Kedidi Paruhlebar Trinil Rumbai
Gagangbayang Belang
Kakirumbai Kecil
Wiliwili Semak
Gallinago stenura Gallinago megala Gallinago gallinago Scolopax saturata Scolopax rosenbergii Scolopax celebensis Scolopax rochussenii Calidris tenuirostris Calidris canutus Calidris alba Calidris ruficollis Calidris temminckii Calidris subminuta Calidris acuminata Calidris ferruginea Limicola falcinellus Philomachus pugnax
6.6 Recurvirostridae Himantopus leucocephalus
6.7 Phalaropodidae Phalaropus lobatus
6.8 Burhinidae Burhinus grallarius
K K K
S S S S K
K
K K K K K K
S S S S S
K K
S S S S
J
J
J J J J J
J J J J
J J J J
C
C
C C C C C
C C C C
C
C C
M
M
M M M M
M M M M M
M M M
T
T
T T T T
T T T T
T T
P
P
P
P P P
P P P P
P P
P
>
<>
<>
N<> <> < G G E E N<> N<> N<> N<> N< N<> N<> N<> N<> N<>
NT
NT EN
NT
AB
Lampiran 68
Wiliwili Besar
Terik Australia Terik Asia
Skua Kutub Camarkejar Pomarin Camarkejar Arktika Camarkejar Kecil
Camar Kepalacoklat Camar Perak Camar Kepalahitam Camar Sabine Daralaut Kumis Daralaut Sayapputih Daralaut Tiram Daralaut Caspia Daralaut Biasa Daralaut Jambon Daralaut Tengkukhitam Daralaut Fiji Daralaut Batu
Esacus neglectus
6.9 Glareolidae Stiltia isabella Glareola maldivarum
6.10 Stercorariidae Catharacta maccormicki Stercorarius pomarinus Stercorarius parasiticus Stercorarius longicaudus
6.11 Laridae Larus brunnicephalus Larus novaehollandiae Larus ridibundus Xema sabini Chlidonias hybridus Chlidonias leucopterus Gelochelidon nilotica Hydroprogne caspia Sterna hirundo Sterna dougallii Sterna sumatrana Sterna lunata Sterna anaethetus J J J
K K K K
S
J
J J J
J
J J J
J J
J
K K K
K
K K
K
S S S S S S S S S
S
S S
S S
S
C
C C C
C C C
C
C C
C C
C
M M M M M M M M M
M
M
M M
M
T
T T T T T T T
T T T
T T
T
P P P P P P P P P
P P
P
P P
P
N< > N<> N<> N<> N<> N<> <> N<> N<> <> > <>
<> N<> > >
> N<>
<>
NT
II
B B B B AB AB AB B AB AB AB B AB
AB
69 Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Sterna fuscata Sterna albifrons Sterna bergii Sterna bengalensis Sterna bernsteini Sterna paradisea Sterna aleutica Anous stolidus Anous minutus Gygis alba
Daralaut Sayaphitam Daralaut Kecil Daralaut Jambul Daralaut Benggala Daralaut Cina Daralaut Arktik Daralaut Aleutian Camarangguk Coklat Camarangguk Hitam Daralaut Putih S S S S
S S S S
K K
K K K K J J J J
J J J J C C C
C C C
T T
M
T
T T T T
M
M M M M M P P P
P P P P
<> N<> <> <> < N<> < N<> N<> N<> CR
AB AB AB AB AB B B AB AB AB
Lampiran 70
71
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
LAMPIRAN 5 Beberapa lokasi penting untuk surveilans burung lahan basah Nama Lokasi
Periode Penting
Tanjung Bakung, Sumatera Tanjung Datuk, Sumatera Delta Sungai Musi Banyuasin, Sumatera
Tidak berbiak
Rawa Tulang Bawang, Lampung
Tidak berbiak
Cagar Alam Pulau Dua, Jawa
Berbiak
Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jawa
Berbiak
Tidak berbiak Tidak berbiak
Muara Gembong, Muara Tidak berbiak Angke, Kamal Muara, dan Karang Mulya, Jawa Indramayu - Cirebon, Tidak berbiak Jawa TN Karimunjawa, Jawa Berbiak Delta Bengawan Solo, Delta Brantas, Perengan Semangkan, Jawa Suwung, Bali
Tidak berbiak
Sumba, NTT
Tidak berbiak
Tidak berbiak
Alasan untuk pemilihan kawasan/ kepentingan bagi jenis bermigrasi Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5.000 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5.000 individu Salah satu lokasi terpenting persinggahan burung migran di Indonesia, dengan catatan pengamatan 115.000 ekor. Tempat penting bagi Limnodramus semipalmatus (>2.200 ekor), Limosa limosa (>30.000 ekor), dan Limosa lapponica (7.000 ekor) Lokasi koloni berbiak terpenting burung air di Sumatera, termasuk jenis Kuntul kecil, Kuntul besar, dan Pecuk ular Salah satu lokasi terpenting koloni berbiak sekitar 40.000 ekor burung air dari sekitar 10 jenis Lokasi penting tempat koloni berbiak burung air, termasuk jenis Wilwo Mycteria cinerea Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 29.000 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 10.000 individu Lokasi penting untuk tempat berbiak jenis-jenis camar Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 19.000 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.100 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.000 individu
Lampiran
72
Pantai Kupang, NTT
Tidak berbiak
Pulau Jawa, Muara Ulu, Pulau Berau, Senipah, Pulau Bukuan, Tanjung Sembilang, Pulau Layangan, Kalimantan Lampuko-Mampie, Sulawesi Lanteboeng, Makasar, Maros, Sulawesi Muara Sungai Salowatu (Banjare-Patiro, Ujong Patiro, Palima Bajuwa - Tipulwe, Banawatu), Sulawesi Pantai Utara Teluk bone (Palopo, Baliase, Malengke, Montalinga, Baliase Wotu, Watulengkua, Teluk Usu), Sulawesi Pulau Kimaam (Rawa Dembuwuan, Rawa Cumoon), Papua Tn. Wasur dan Rawa Biru, Papua
Tidak berbiak
Tidak berbiak Tidak berbiak Tidak berbiak
Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 5.100 individu. Empat ekor Limnodramus semipalmatus serta 250 ekor Numenius madagascariensis pernah tercatat. Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.000 individu
Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.100 individu Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 4.100 individu Sekitar 750 ekor tercatat di kawasan ini
Tidak berbiak
Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 4.100 individu
Tidak berbiak
Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 2.200 individu dari 21 jenis Lokasi penting dengan catatan jumlah pengamatan sampai 6.900 individu dari 25 jenis. Lokasi penting bagi Numenius minutus
Tidak berbiak
73
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
LAMPIRAN 6 Beberapa Lokasi Penting Untuk Surveilans Burung Pemangsa Kriteria lokasi target untuk tanggap dini adalah sebagai berikut; Berdasarkan kekerapan dilalui dalam jalur bermigrasi, maka dapat dibedakan tiga urutan 1. 2. 3.
Lokasi-lokasi yang penting sebagai bagian penyebaran dan/atau jalur migrasi burung pemangsa (LT1) Lokasi-lokasi yang penting sebagai tempat istirahat atau kegiatan lain (di luar musim berbiak) pada burung pemangsa bermigrasi (LT2) Lokasi-lokasi yang diperkirakan sebagai bagian dari distribusi atau jalur migrasi burung pemangsa (LT3)
Berdasarkan skala prioritas maka dapat dibedakan tiga urutan 1.
2.
3.
Lokasi yang dipastikan atau diperkirakan merupakan jalur migrasi atau distribusi utama, dengan populasi manusia yang padat, sebagai sentra unggas yang padat, serta secara ilmiah dipastikan memiliki individu bu rung pemangsa terinfeksi H5N1 (HP1) Lokasi yang dipastikan atau diperkirakan jalur migrasi atau distribusi utama atau diperkirakan jalur distribusi atau migrasi utama, populasi penduduk yang padat, sebagai sentra unggas yang padat, serta dilewati oleh burung pemangsa yang secara umum pernah tercatat sebagai terinfeksi H5N1 (setidaknya di belahan lain di dunia) (HP2) Lokasi yang dipastikan atau diperkirakan jalur migrasi atau distribusi utama atau diperkirakan jalur distribusi atau migrasi utama, populasi penduduk yang padat, sebagai sentra unggas yang padat, namun tidak dilewati oleh burung pemangsa yang secara umum pernah tercatat se bagai terinfeksi H5N1 (di belahan lain di dunia)(HP3).
Catatan: Periode penting bagi burung pemangsa bermigrasi adalah Oktober- September/Februari-April Beberapa lokasi dipastikan penting bagi burung pemangsa bermigrasi namun sebagian lokasi lain belum di teliti Nama Lokasi Pulau Rupat
Periode Penting Alasan Penggolongan Oktober - September/Februari Lokasi penting jalur migrasi - April dan tenggeran (HP2, LT1 & 2) (‘bottleneck site’)
Lampiran Bengkalis dan Bintan TN Berbak
74 Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Februari - April
Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) TN Way Kambas Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Merak Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Serpong Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Jakarta Februari - April Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Cibinong Oktober - September/Februari Lokasi bagian jalur migrasi - April (HP2, LT3) Bogor Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Puncak Oktober - September Lokasi penting jalur migrasi dan tenggeran (HP2, LT1 & 2) (‘bottleneck site’) Bandung Utara Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Tasikmalaya Oktober - September/Februari Lokasi bagian jalur migrasi dan - April tenggeran (HP3, LT2 & 3) Dieng Oktober - September Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Semarang Utara Februari - April Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Jogjakarta (Merapi) Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) TN Bromo - Tengger Oktober - September Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Argopuro Oktober - September Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Jember Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) TN Alas Purwo Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Madura Oktober - September Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) TN Bali Barat Oktober - September/Februari Lokasi penting jalur migrasi - April (HP2, LT1) (‘bottleneck site’)
75
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
Tamblingan Gunung Agung
Danau Batur Gunung Seraya
Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April
Lombok
Oktober - September/Februari - April
Flores
Oktober - September/Februari - April Oktober - September
TN Komodo Golo Lusang Sangihe Talaud Manado/Minahasa Teluk Tomini Makasar Pulau Laut
Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September Oktober - September/Februari - April Oktober - September
Balikpapan
Oktober - September/Februari - April Oktober - September/Februari - April Oktober - September
Kotawaringin
Oktober - September
TN Tanjung Puting
Oktober - September
Teluk Kumai
Oktober - September
Pulau Nias
Februari - April
Delta Mahakam
Lokasi bagian jalur migrasi dan tenggeran (HP2, LT2 & 3) Lokasi penting jalur migrasi dan tenggeran (HP2, LT1 & 2) (‘bottleneck site’) Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Lokasi penting jalur migrasi dan tenggeran (HP2, LT1 & 2) (‘bottleneck site’) Lokasi penting jalur migrasi dan tenggeran (HP2, LT1 & 2) (‘bottleneck site’) Lokasi bagian jalur migrasi (HP2, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi penting jalur migrasi (HP2, LT1) (‘bottleneck site’) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3)
Lampiran
76
Oktober - September/Februari - April Sungai Siak Riau Oktober - September/Februari - April Sembilang, Sumsel Oktober - September Banda Aceh
Sukabumi
Oktober - September
Sumedang
Oktober - September
Pulau Ternate
Oktober - September
Pulau Tanimbar
Oktober - September/Februari - April Oktober - September
Ketapang, Kalbar
Lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT2 & 3) Diperkirakan lokasi bagian jalur migrasi (HP3, LT3)
LAMPIRAN 7
Sebaran lahan basah penting untuk burung air
77
Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanganan Flu Burung Pada Burung Liar di Indonesia
LAMPIRAN 8
Lokasi sebaran burung pemangsa migran di Indonesia
Lampiran 78