GRAIN March 2007
Flu burung: Bonanza untuk “Ayam Besar” Krisis flu burung merebak luas. Setahun yang lalu, ketika pemerintah membentuk tim penyelidik pada lahan lahan kering, maka FAO mengacungkan jari menyalahkan peternakan rumahtangga Asia dan Afrika. GRAIN dan kelompok-kelompok lainnya menjelaskan bahwa industri peternakan peternakan unggas berskala besar dan perdagangan unggas global yang menyebarkan flu burung – bukanlah burung liar ataupun kandang-kandang di halaman rumah. Namun sekarang, hal ini telah menjadi pengetahuan umum, meskipun sedikit yang telah dilakukan untuk mengontrol sumber masalah industri, pemerintah masih tidak malu memaparkan teori burung liar untuk mengelak dari tanggungjawab. Baru beberapa minggu yang lalu, pemerintah Rusia di Moskow menyalahkan burung-burung yang bermigrasi atas wabah di dekat kota – pada musim dingin Rusia. Dimensi yang lebih menakutkan dari krisis flu burung, menjadi lebih terlihat. Tahun lalu, kami GRAIN memperingatkan, bahwa flu burung telah digunakan untuk meningkatkan kepentingan korporasi yang berkuasa, menempatkan kehidupan dan kesehatan jutaan orang dalam bahaya. Saat ini, lebih dari sebelumnya, agribisnis menggunakan bencana untuk mengkonsolidasi rantai makanan peternakan-ke-pabrik-ke-supermarket sebagai kompetisi skala kecilnya merupakan kejahatan, sedangkan perusahaan- perusahaan farmasi menambang misi yang diinvestasikan dalam data dasar global dari sampel-sampel flu untuk memperoleh keuntungan dari pasar-pasar vaksin yang putus asa dan menawan. Dua badan PBB – FAO dan WHO – tetap merupakan inti dari laporan ini, menggunakan ketinggian status,dan akses internasional mereka kepada pemerintah, dan mengendalikan aliran dana donor untuk keuntungan agenda korporasi. Membantai sektor peternakan kecil Petugas yang berwenang dengan flu burung akhirnya mengakui peranan yang dimainkan oleh perdagangan unggas dalam menyebarkan virus. Ini, jelas merupakan keterlambatan. Flu burung pertama mewabah di Asia Tenggara – Vietnam, Thailand, Kamboja, laos, dan kemudian Indonesia – terjadi di peternakan-peternakan tertutup dan intensif. Tetapi seluruh penyelidikan tidak pernah Against the grain – www.grain.org/atg/
1
dilakukan tentang mengapa penyakit menyebar pada peternakan-peternakan tersebut, dan bagaimana selanjut menyebar dari sana. Hal yang sama berlaku untuk Turki dan Mesir, di mana burung-burung liar dan kandang-kandang di halaman rumah dengan cepat disalahkan, sedangkan perusahaan unggas, yang memasok pasar dan para produsen “halaman rumah” dengan burungburung dengan merebaknya penyakit melalui industri, dibiarkan lepas dari kaitan perhatian. Bahkan di Korea Selatan, dengan unggas lepas yang sehat berkelana ke peternakan sebelahnya juga dihantam oleh penyakit, penguasa terobsesi dengan peranan burung-burung liar. Hanya di Inggris Raya pada Februari lalu tentang cerita bahwa peternakan peternakan besar yang “biosecure” (keamanan-hayatinya) hancur, dan selubung yang menyembunyikan banyak cara bahwa flu burung menyebar melalui koyaknya industri unggas transnasional. Petugas pemerintah mulanya menyalahkan burung liar atas wabah pada peternakan besar yang dimiliki oleh peternak raksasa Bernard Matthews, dan ternyata perusahaan mengeleminir berbagai laporan media massa tentang kemungkinan kaitannya dengan operasi-operasi mereka di Hungaria, mengatakan bahwa hal ini jauh dari area di negara yang terjangkiti wabah flu burung baru-baru ini. Tetapi kedua penjelasan tersebut runtuh ketika inspektur pemerintah menemukan selubung pada alasan-alasan perusahaan Inggris Raya yang membuktikan, bahwa daging dari rumah pemotongan di area yang terinfeksi flu burung di Hungaria memang pernah diproses pada peternakan Inggris Raya sesaat sebelum terjadinya wabah. Sekarang kembali ke pusat krisis Asia, pesan kepada peternak tetap, “Jadilah besar, sangat besar, atau keluar” (“Get big, really big, or get out.”) Pada tahun 2006, Vietnam, dengan kerjasama program pemerintah dan PBB, membuat rencana 10 tahun untuk, menurut kata kata Menteri Pertanian, merubah sektor perunggasannya “menjadi industri skala besar, moderen dalam istilah peternakan, memotong dan mengkonsumsi.” Pemerintah mulai dengan larangan pada unggas hidup di pusat-pusat perkotaan, memojok terhadap ribuan ternak di belakang rumah. Kemudian, dengan peraturan baru, yaitu melarang perdagangan dan pada pemotongan ternak dalam area pemukiman mulai diberlakukan. Pasar-pasar dan pemotongan ternak skala kecil ditutup, dan rumah-rumah pemotongan hewan dipindahkan kepada segelintir fasilitas berijin di pinggir-pinggir kota. Di Ho Chi Minh City, terdapat sebanyak 200 pasar lokal yang menjual ayam sebelum krisis flu burung; sekarang, ayam yang dapat secara legal dijual hanya oleh supermarket atau “selling point” peternakan perusahaan. Jumlah rumah pemotongan hewan di kota tersungkur dari 500 menjadi 3 unit saja. Perubahan drastis merusak produsen skala kecil karena supermarket dan rumah pemotongan hewan baru hanya menjual unggas yang disertifikasi menurut standar-standar yang tak dapat dipenuhi oleh peternak kecil. Tiga atau empat perusahaan yang mengendalikan produksi unggas industri Vietnam tidak hanya dapat menangkap pangsa pasar perkotaan; melainkan mereka pun mendapatkan tenaga buruh berupah rendah dari peternak yang tergusur untuk perluasan produksi dan pemotongan mereka. Restrukturisasi dengan cepat menjadi anugerah untuk perusahaan yang mungkin pertama membawa flu burung ke Vietnam. “Charoen Pokphand (CP) akan berhasil dalam merubah krisis menjadi peluang pengembangan,” kata Sooksunt Jiumjaiswanglerg, presiden dari CP Vietnam Livestock. Korporasi multinasional raksasa Thailand in, memasok rantai makanan cepat saji di Asia seperti KFC, mengendalikan sekitar 80% dari produksi ayam industrial Vietnam dan mengantisipasi pertumbuhannya di negara itu untuk meningkat 30% per tahun. Di Vietnam, CP merupakan pemasok utama untuk rantai supermarket BigC yang dimiliki Perancis, dan dewasa ini tengah membuka lebih dari 100 toko yang dimiliki CP Fresh Mart, dan 200-300 kedai ayam panggang CP. Sekarang di negara ini diperkirakan 80% dari produksi unggas nasionalnya sekurangnya sampai saat ini dipasok dari tangan produsen skala kecil, dan sekitar 70% dari rumahtangga Vietnam memelihara unggas, tak diragukan lagi banyak pemelihara unggas independen akan mengambil
Against the grain – www.grain.org/atg/
2
peluang mereka, namun menjadi lapisan bawah. Bicara dengan IPS News, Phan Anh Tam, petani itik yang di-angon/ digembalakan berskala kecil dari barat daya propinsi Tay Ninh Vietnam yang seluruh ternaknya dibunuhkan semasa wabah pada tahun 2003, menjelaskan bahwa dia hanya mempunyai sedikit pilihan tetapi akan melanggar hukum dan tetap beternak. “Bila mereka mau membunuh itik, mereka akan membunuh anak-anak saya, karena itik-itik ini adalah sarana saya untuk memberi mereka makan,” kata ayah lima anak ini. Selain status “pakar” mereka, orang-orang yang mencoba untuk melanggar hukum peternakan di halaman rumah tidak berperan pada bukti. Satu-satunya penjajakan studi untuk membandingkan resiko antara peternakan keluarga, dan operasional industri, berdasarkan data dari wabah flu burung di Thailand tahun 2004 ditemukan, bahwa “kandang-kandang di halaman rumah secara signifikan lebih rendah resiko terinfeksi [flu burung] dibandingkan dengan operasional unggas berskala komersial dari ayam-ayam pedaging atau petelur atau puyuh.” Tidak ada dari “pakar” ini, atau petugas pemerintah mengikuti saran mereka, menanggapi kebutuhan dari mayoritas orang yang terjangkit. Bila penduduk menentang perintah untuk membunuh ternak mereka, ini bukan karena mereka tidak mengerti potensi bahaya dari penyakit. Ini karena kehidupan mereka sedang dipertaruhkan, dan diberi kompensasi atau tidak, mereka tidak dapat membeli ke toko atau supermarket. Ini merupakan alasan utama mengapa FAO, dan industri peternakan unggas mempunyai waktu waktu yang sulit dalam memaksakan pendekatan standardisasi. Thailand bertindak terutama untuk melindungi industri ekspornya, sehingga menolak vaksinasi, dan berkonsentrasi pada pembunuhan dan restrukturisasi massal. China, dan Vietnam mengabaikan saran internasional, melainkan memutuskan vaksinasi massal. Negara-negara lain, seperti Nigeria, berjuang untuk memperlihatkan cara untuk menyenangkan donor, dan industri tanpa memicu pemberontakan di antara massa yang kehidupan dan keamanan pangannya bergantung pada sistem tradisional dari produksi unggas. Masalah dengan resep di Indonesia Segala sesuatunya rumit di Indonesia, karena flu burung mendatangkan paling banyak kerusakan. Di satu pihak, pemerintah pusat sedang mencoba untuk menentramkan donor, dan bisnis besar dengan mengikuti contoh-contoh Vietnam dan Thailand. Dilakukan himbauan untuk pemotongan massal dan larangan pada burung hidup di pemukiman kota yang mulai diberlakukan tanggal 1 Februari 2007 di Jakarta dan 9 propinsi lainnya dimana terdapat paling banyak terjadi flu burung. Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, bahkan mengumumkan bahwa larangan akan segera mencakup seluruh kepulauan. Peraturan-peraturan baru untuk pemuliaan (breeding), pemotongan dan pengecer unggas juga sedang dikembangkan di belakang pintu tertutup antara industri, pemerintah dan badan-badan PBB. Dalam tanda yang jelas dari apa yang akan terjadi, Jakarta telah menetapkan tempat-tempat untuk relokasi rumah-rumah pemotongan ternak, fasilitas penyimpanan, dan pasar-pasar burung. Menggunakan kata- kata yang dengan gampang diucapkan oleh rekan Vietnam, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan kepada reporter, “Peternakan unggas harus digabungkan dengan rumah-rumah pemotongan unggas.” Di sisi lain, pemerintah membiarkan industri besar sendiri. Untuk peternakan komersial berskala besar - dimana, meskipun mereka menyangkal terus-menerus, flu burung tetap masalah – semuanya bersifat sukarela. Lebih buruk lagi, pemerintah dan publik hanya dapat melakukan sedikit tetapi “menerima” apa yang dikatakan industri kepada mereka, karena masih ada hukum pada kitap undang- undang yang mencegah pemeriksaan peternakan tanpa ijin perusahaan. Bila saja undangundang tersebut terdaoat di Inggris Raya, maka kita tidak akan pernah tahu mengenai sumber dari wabah utama yang telah diderita negara tersebut.
Against the grain – www.grain.org/atg/
3
Tentu saja, cara-cara top-down pemerintah Indonesia sama sekali tidak selaras dengan kehidupan keseharian dari masyarakat. Maka, banyak orang mengabaikannya. Maka tak heran pemerintah sering mengandalkan militer untuk melakukan pembersihan, dan melaksanakan tugasnya. Namun di Jakarta, kurang dari sehari sesudah larangan diberlakukan burung dan unggas hidup dapat kembali dibeli di hampir semua tempat. “Praktek praktek perunggasan tradisional telah berakar dalam budaya kami dan penting bagi kehidupan masyarakat,” jelas Riza Tjahjadi dari Yayasan Biotani Indonesia di Jakarta. “Pemerintah memerlukan perjuangan yang sangat besar bila mengharapkan masyarakat agar menyerahkan burung-burung mereka, dan pasar-pasar di lingkungan mereka untuk pasokan ayam beku dari supermarket.” Memang, masyarakat mulai untuk mobilisasi penolakan. Pada 27 Februari 2007, Sebindo (Serikat Buruh Informal Indonesia) menggelar protes selama pertemuan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dipimpin oleh mantan Presiden Megawati Sukarnoputri. Protes adalah sebagian dari kampanye Sebindo untuk memberikan lebih banyak informasi yang realistis kepada publik tentang flu burung dan memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih masuk akal. Mereka menyalahkan pemerintah dan media massa atas terbentuknya kesalahan pemahaman yang mendalam dari masalah flu burung. Melalui perintah pembunuhan massal, mereka mengatakan, “Industri ternak berskala kecil Indonesia telah dinyatakan sebagai musuh dan diputuskan bersalah”. Sebagai hasilnya, negara telah menghukum rakyatnya dan tradisi-tradisi mereka. Lebih lanjut, dengan perintah relokasi dan integrasi industri perunggasan, maka pemerintah dengan sengaja mendorong negara kepada ketergantungan pada beberapa peternakan industri besar plus impor impor asing, dengan tanpa jaminan bahwa pilihan mereka akan membawa bebas dari flu burung. Secara keseluruhan, negara telah merusak dengan menyalahkan diri sendiri, menghancurkan sektor dan tradisi peternakan dan mengandalkan hanya pada industri peternakan transnasional, bila solusi yang terbaik, kata Sebindo, adalah untuk meningkatkan kehidupan yang lebih sehat dan keamanan hayati (biosecurity) yang nyata. Pemerintah lokal di seluruh pulau Jawa, dihadapkan dengan resisten populer, dan mengabaikan pengarahan pusat dari Jakarta. Gubernur Jawa Tengah, dengan peternak dan pedagang unggas mengancam protes massal, sejauh ini telah menolak melaksanakan pengarahan pusat untuk melarang dan membunuh unggas-unggas di halaman rumah, mengutip dampaknya pada ketahanan pangan masyarakat. Di Yogyakarta, dewan propinsi yang terdiri dari dokter hewan, peternak dan mahasiswa dari Forum Peduli Perunggasan Indonesia (Forum of Concern for Indonesian Poultry) memprotes langkah-langkah itu untuk menolak kebijakan pembunuhan massal dan mendukung peternakan halaman rumah, dan demi keanekaragaman unggas. Agribisnis jelas menderita, sekurangnya dalam jangka pendek, pada saat flu burung mewabah. Tetapi, entah di Indonesia, Rusia, India atau Mesir, pemerintah dan berbagai badan-badan inmternasional dengan cepat membela kaum industri, dan bahkan mengatur untuk merubah krisis flu burung menjadi peluang bagi korporasi besar untuk mengkonsolidasi kendali mereka dalam jangka panjang. Korporasi- korporasi tersebut adalah, dari CP di Thailand sampai Tyson di Amerika Serikat, telah bekerja keras untuk menjamin bahwa hal ini akan terjadi. Dalam bulan Oktober 2005, perusahaan perunggasan terbesar dunia datang bersama untuk membentuk International Poultry Council, untuk secara darurat membela dan meningkatkan posisi gabungan pada kebijakan flu burung. Ada pula International Egg Commission – sebuah kelompok lobi
Against the grain – www.grain.org/atg/
4
korporasi dengan mandat serupa, dan berdasarkan keanggotaan. Kedua organisasi memiliki status resmi dan memiliki perjanjian formal dengan badan-badan yang berpengaruh seperti FAO dan World Organisation for Animal Health, yang memberi mereka pengaruh langsung atas pengembangan kebijakan flu burung. Sebaliknya para produsen dan pedagang unggas berskala kecil tidak mempunyai akses tersebut; mereka benar-benar ditinggalkan dari proses pembuatan keputusan, pada tingkat nasional dan internasional, dan pada pertunjukan. Swastanisasi flu burung: ancaman kesehatan tertinggi Ketegangan yang sama mengganggu sisi kesehatan manusia dari krisis flu burung. Pada tanggal 9 Februari 2007, pecah kabar dalam media massa global bahwa Indonesia telah menghentikan pasokan sampel virus H5N1 (flu burung) lokal kepada WHO. Dari kajian pengalaman, pemerintah Indonesia telah belajar bahwa perusahaan Australia, CSL, sedang mengembangkan vaksin flu burung berdasarkan pada sampel virus dari Indonesia, yang di Jakarta sampelnya diserahkan kepada WHO, tanpa pemberitahuan atau permintaan ijin. Sebagai balasannya, cerita berlanjut, Jakarta menutup pintu untuk WHO – simbol mistik dari korporasi internasional dalam memerangi setiap pandemik flu burung yang potensial – dan memutuskan kesepakatan swasta malahan dengan perusahaan farmasi besar Amerika Serikat, Baxter International, karena Baxter telah setuju untuk memproduksi dan mengirimkan vaksin ke Indonesia menurut persyaratan pemerintah. Seluruh dunia, tetapi paling jelas di Barat, orang-orang mengutuk dan mencela Indonesia atas tindakan ini. Pemerintah dengan cepat dituduh rakus, salah arah, berpandangan sempit, dan nasionalistis – seperti bila dikatakan bahwa Indonesia diwajibkan untuk memberi, sehingga yang lainnya dapat menjual. Ini benar-benar menyakitkan bagi Jakarta. Ini bagaikan kembali kepada masa-masa penjajahan. Dengan padamnya api, WHO dan Menteri Kesehatan Indonesia menandatangani perjanjian perdamaian hubungan masyarakat, akan menjadi jelas bahwa kebanyakan orang telah salah mengerti tentang apa yang sedang terjadi dan apa yang dipertaruhkan. Indonesia bukan negara yang pertama yang berhenti mengirimkan sampel sampel virus flu burung ke WHO. Cina telah melakukannya. Selain itu, Indonesia berhenti mengirimkan hanya sampelsampel fisik dari daerahnya. Indonesia tidak berhenti mengumpulkan materi dan mengirimkan data lanjutan ke Jenewa. Jakarta tidak berusaha untuk menahan sandera dunia, melainkan hanya mencoba untuk menanggulangi tekanan-tekanan dari masalah nasional. Issu bagi pemerintah Indonesia adalah diperlukan pasokan yang cukup dari vaksin untuk menanggulangi bom waktu kesehatan masyarakat yang didudukinya. Indonesia adalah yang paling parah terkena, dari semua negara di dunia. Virus mewabah dalam populasi ternak sekarang; orangorang terus meninggal (38% dari semua kematian manusia yang dilaporkan dari flu burung di dunia adalah orang Indonesia), dan merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Taruhannya sangat tinggi. Pemerintah telah mengkalkulasikan bahwa pasokan global dari setiap perlakuan biasanya terbatas; yaitu tidak bisa dan tidak akan mampu membeli banyak vaksin, terutama pada saat dibutuhkan yang mana setiap pandemik akan tercipta; dan akibatnya dibutuhkan vaksin yang dikembangkan dari strain flu lokal untuk keefektifan terbesar. Sistem WHO ini mengemuka untuk negara seperti Indonesia. Organisasi ini mengharapkan negara-negara anggotanya agar mengirimkan sampel semua flu burung, manusia dan hewan yang diisolasi. Sampel disimpan di pusat-pusat kolaborasi WHO yang berlokasi di dunia kaya (Inggris, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia), sedangkan data diletakkan dalam database yang dilindungi dengan password, berlokasi (dimana lagi kalau bukan) di Amerika Serikat. Maka negara seperti Indonesia
Against the grain – www.grain.org/atg/
5
diharapkan agar secara gratis menyerahkan sampel-sampel virus dan biarkanlah pabrik-pabrik farmasi besar mengakses informasi untuk memproduksi obat milik mereka sendiri. Ini benar-benar seperti yang terjadi dengan CSL. Seluruh kekuatan yang tidak seimbang dipererat ke dalam sistem ini adalah fantastis. Bila Indonesia mengatakan “tidak lagi”, dikatakan “ini tidak adil”. Maka ini tidak benar bahwa negara negara miskin memasok ‘bahan baku’, dengan gratis kepada industri farmasi global yang memusatkan kekuatan pasar dan meraup keuntungan besar melalui monopoli pribadi yang disebut paten, terutama bila negara miskin menghadapi masalah kesehatan publik yang besar. Yang dihimbau Indonesia, seperti negara-negara lain berjuang dengan krisis flu burung, seperti Thailand, adalah untuk WHO, dan yang lainnya agar membantu mereka mengembangkan kemampuan untuk memproduksi vaksin mereka sendiri. Mempatenkan, yang mana negara-negara berkembang dipaksa untuk menerima dan mengikutinya, akan selalu menjadi hambatan. Inilah yang harus dilakukan: mencekik (“mengatur”) kompetisi. Inilah sebabnya mengapa farmasi raksasa seperti Syngenta, Novartis dan Pfizer berjuang demikian dengan ganasnya sekarang di India, Thailand dan Filipina untuk mencegah, sebanyak mungkin, lisensi wajib dan manufakturing generik. Masalahnya adalah yang paling kejam dari kepentingan komersial sempit melawan kepentingan masyarakat luas. Ketika negara-negara berkembang, dipimpin oleh Thailand, mencoba untuk merubah sistem distribusi sampel flu burung WHO pada bulan Juni lalu, sehingga akan menjadi terlarang untuk tujuan non-komersial, maka mereka, korporasi farmasi raksasa langsung berkata “tidak”. Orang-orang sekarang mulai mengatakan, “Baiklah, ya, Indonesia punya maksud. Setiap vaksin melawan pandemik flu burung harus dibagi. Dan teknologi untuk memproduksinya harus dibagi. Influensa burung adalah masalah ‘kesehatan publik’ memerlukan tanggapan ‘publik yang baik’.” Benar. Dan di Indonesia, kelompok-kelompok seperti Sebindo secara tegas mendesak bahwa setiap vaksin manusia terhadap flu burung haruslah gratis, tidak dijual. Tetapi ini tidak terjadi – atau kita kembali masuk ke dalam dilema ini lagi, dan lagi dan lagi – kecuali manusia dengan serius menantang sistem paten, yang melayani tujuan kecil dalam lapangan kesehatan tetapi membuat kaya perusahaan obat. CEO dan pemegang sahamnya bahkan lebih kaya. Besok, bila beberapa laboratorium mempatenkan virus H5N1 itu sendiri, maka orang-orang akan meneriakkan pembunuhan berdarah. Tetapi hari esok akan terlambat. Menghukum si miskin Tanggapan terhadap krisis flu burung berlipat ganda seperti rencana penyesuaian struktural. Di sini juga, bisnis besar dan badan-badan internasional menggunakan bencana, untuk memaksimalkan keuntungan korporasi dan menekan ke depan bahwa lebih dalam reformasi yang akan memeras si miskin lebih lanjut. Tetapi, sama seperti menejer dari rencana penyesuaian struktural yang terkenal yang telah demikian merusak Selatan, dan penguasa yang mengurus krisis flu burung juga demikian cepat kehilangan legitimasi. Semakin banyak orang percaya bahwa tanggapan resmi kepada flu burung sedikit berguna bagi kesehatan masyarakat ketimbang politik kekuasaan. Resistensi lokal harus dibangun secara menyeluruh, tingkatkan perhatian antara berbagai tingkat pemerintah yang telah terisi dengan kemarahan dari masyarakatnya dan badan-badan internasional dimana lobi-lobi korporasi telah berurat berakar. Ini juga mengapa upaya-upaya terbesar, seperti kekuatan militer dan sanksi ekonomi, sekarang digunakan untuk menundukkan perintah pusat. Visi global korporasi, sepenuhnya memadukan peternakan dan rumah pemotongan unggas mengaduk-aduk standardisasi burung untuk rak-rak supermarket – orang-orang telah menyebutkan “Big Chicken” untuk tingkat kontrol yang dipaksakan – akan dipadu ke dalam pembuat keputusan lebih dari sebelumnya. Ancaman dari wabah flu burung adalah menempatkan visi ke dalam praktek
Against the grain – www.grain.org/atg/
6
yang lebih cepat, dan lebih dalam dari yang pernah dicapai tanpa visi itu. Tetapi rasa sakit ini menyebabkan kehancuran di bawah reformasi, tidak untuk menyebutkan resiko kesehatan yang dihadapkan pada seluruh planet, ini berlimpah. Sisi balik dari tambang emas korporasi adalah menghancurkan sistem perunggasan tradisional dan keanekaragaman unggas yang ratusan juta manusia tergantung padanya untuk ketahanan pangan dan kehidupan mereka. Dalam hal itu, juga menghapus fondasi untuk solusi jangka panjang kepada flu burung. Seperti yang telah kita lihat di Indonesia, dan di tempat lain, orang tidak punya pilihan selain menolak.
Ucapan terima kasih: Riza Tjahjadi dan para relawan Yayasan BioTani Indonesia (
[email protected],
[email protected]) yang telah membantu dalam latar belakang riset ini. Istilah “Ayam Besar” (“big Chicken”) berasal dari Wendy Orent, anthropologis dan penulis sains Amerika Serikat.
Against the grain is a series of short opinion pieces on recent trends and developments in the issues that GRAIN works on. Each one focuses on a specific and timely topic. All GRAIN’s publications are available on the website at www.grain.org/publications/.
Against the grain – www.grain.org/atg/
7