MAKA ALAH PRO OPOSAL O PERASIO ONAL PENELITIAN T TA. 2014
KONTRIIBUSI SEKTO K OR PER RTANIIAN DA ALAM PENCA P APAIAN N TARG GET M DGs DAN IMPLIK KASINY YA PAD DA SD DGs
Oleh: Sumaryan nto Edi Basun no Sri Hastuti Su uhartini Raangga Ditya a Yofa Cut R Rabiatul Ad dawiyah
PU USAT SOSIAL EK KONOMI DAN KEBIJA AKAN PE ERTANIA AN BADAN PENELITIAN DA AN PE ENGEMB BANGAN PERTAN NIAN 2014
2
KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDGs DAN IMPLIKASINYA PADA SDGs Ringkasan Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals – MDGs) akan berakhir Tahun 2015 dan akan dilanjutkan dengan Sustainable Development
Goals (SDGs). Sebagai kelanjutan MDGs maka modal dasar pencapaian SDGs adalah pencapaian target MDGs. Agenda pokok
SDGs adalah merampungkan
pencapaian target MDGs yang tersisa,meningkatkan kualitas pencapaian target yang telah ada; dan terkait dengan mandat Rio+20 akan meningkatkan bobot perhatian pada aspek sosial dan lingkungan hidup. Berprinsip pada sinergi sosialekonomi-lingkungan, strategi pencapaian SDGs akan berbasis pendekatan partisipatif pada proses perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat bottom-up. Pada dasarnya 8 sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals - MDGs) saling terkait dan strategi pencapaiannya membutuhkan pendekatan multi disiplin dan lintas sektor yang terkoordinasikan secara sistematis dan konsisten. Semua sektor berkontribusi, baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu konstelasi yang kompleks dan dinamis. Oleh karena itu manfaat utama dari pengetahuan, data, informasi dan rekomendasi dari hasil kajian empiris mengenai kontribusi suatu sektor dalam pencapaian MDGs adalah untuk menyempurnakan kebijakan dan penentuan skala prioritas program/kegiatanpada sektor tersebut; tetapi kurang relevan untuk dasar pertimbangan penentuan alokasi anggaran antar sektor dalam kebijakan fiskal. Adalah fakta bahwa dimensi ekonomi makin mendominasi nilai-nilai peradaban modern. Mengacu fakta tersebut maka sasaran nomor 1 MDGs yaitu eradikasi kemiskinan dan kelaparan seringkali dipandang sebagai epicentrum sasaran MDGs. Sektor pertanian adalah penghasil pangan. Sementara itu aktor utama pertanian adalah petani serta buruh tani yanghampir semuanya tinggal di pedesaan. Jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkatkesejahteraannya tertinggal darikelompok masyarakat yang lain. Oleh karena itu meskipun kontribusi relatif sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) makin 3
rendah tetapi peran sektor ini sangat strategis, baik dalam pencapaian MDGs maupun SDGs. Sampai saat ini data dan informasi dari hasil penelitian/kajian empiris yang mencerminkan kinerja/kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian target MDGs belum tersedia. Setidaknya jawaban atas sejumlah pertanyaan berikut belum tersedia.Pertama,penurunan jumlah penduduk miskin komunitas petani dan perbandingannya dengan penduduk pedesaan pada umumnya; serta variasinya antar agroekosistem. Kedua, hubungan antara pertumbuhan sektor pertanian wilayah dengan penurunan jumlah petani miskin. Ketiga, perkembangan penyerapan tenaga kerja di pedesaan dan implikasinya terhadap pendapatan petani serta variasinya antar agroekosistem. Keempat, hubungan antara status perkembangan
perekonomian
desa
dengan
distribusi
pendapatan.Kelima,
implikasinya terhadap strategi yang harus ditempuh dalam pencapaian SDGs. Untuk kepentingan perumusan program, jawaban atas pertanyaan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut sehingga diketahui faktor-faktor penjelasnya. Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas. Data yang akan dianalisis terdiri dari atas data sekunder lingkup nasional dan tingkat provinsi serta data primer dari hasil survey.Data sekunder yang akan dianalisis adalah data SUSENAS dari dua atau tiga titik waktu, data perkembangan PDRB setiap provinsi yang tersedia, dan data-data lainnya yang relevan yang akan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dari instansi lain yang terkait. Data primer yang akan dianalisis adalah data hasil survey kerjasama penelitian PSEKP – JICA – IFPRI dan dari hasil survey yang akan dilakukan pada tahun ini.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada dasarnya misi pembangunan hampir semua negara konvergen dengan misi Millenium Development Goals (MDGs) yang pasca 2015 akan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagai ilustrasi, agenda kebijakan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin; distribusi pendapatan yang 4
lebih merata; pelestarian lingkungan; kesetaraan gender;perbaikan kesehatan ibu;penurunan tingkat kematian anak;peningkatan akses kaum tertinggal pada pendidikan;dan pemberantasan penyakit HIV, malaria, dan penyakit menular lainnya adalah agenda pokok pembangunan yang dihadapi oleh hampir semua negara, terutama negara-negara berkembang. Perbedaan antar negara pada umumnya hanya terletak pada level dan implikasinya pada prioritas penanganan dalam jangka pendek – menengah. Dengan kata lain upaya pencapaian target MDGs tidak relevan jika dikaitkan dengan dengan motif pencitraan di gelanggang internasional karena pada hakekatnya selaras dengan agenda pembangunan nasional. Menjelang
2015
hampir
semua
negara
berkepentingan
melakukan
akselerasi pencapaian MDGs.Pencapaian MDGs adalah modal dasar untuk pembangunan milenium pasca 2015 yaitu SDGs. Sebanyak 192 negara sepakat bahwa dalam SDGs terkandung muatan satu mandat hasil pertemuan The United
Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada Juni 2012. Tantangan utamanya adalah mencapai pembangunan
berkelanjutan
melaluiperbaikan
lingkungan
hidup
tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial; sedangkan strateginya berbasis partisipatif dengan pemberian bobot yang lebih besar pada pendekatan bottom up. Mengingat bahwa SDGs pada dasarnya merupakan kelanjutan dari MDGs maka pembelajaran dari MDGs sangat berharga perumusan sasaran, indikator, target, dan strategi pencapaian SDGs. Pembelajaran tersebut hanya dapat diperoleh dari hasil monitoring, kajian, dan penelitian empiris. Pada dasarnya motivasi dan orientasi pembangunan milenium adalah “human development” sehingga strategi pencapaian sasarannya terkait dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam perkembangan peradaban. Dalam konteks itu ternyata nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam peradaban modern didominasi dimensi ekonomi. Kecenderungan ini berlaku pada lingkup global, regional, nasional, bahkan pada sebagian besar komunitas lokal1. Oleh karena itu
1
Banyak bukti menunjukkan bahwa berbagai kasus konflik sosial berakar dari permasalahan ekonomi. Secara empiris banyak kasus menunjukkan bahwa kemiskinan yang diderita individu, rumah tangga, ataupun suatu komunitas menyebabkan akses mereka pada kecukupan pangan, fasilitas perumahan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup yang layak; bahkan keaamanan, keadilan dan kemerdekaan menjadi sangat terbatas.
5
sasaran nomor 1 yaitu “eradikasi kemiskinan dan kelaparan” seringkali dipandang sebagai epicentrum sasaran MDGs. Kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs terletak pada kinerja sektor pertanian2. Ini merupakan implikasi logis dari kodisi berikut. Pertama, mayoritas penduduk miskin berada di negara-negara berkembang yang nafkah utamanya bergantung pada sektor pertanian. Kedua, adanya keterkaitan yang sangat erat antara kemiskinan dan kerawanan pangan; sedangkan penghasil pangan adalah sektor pertanian, (iii)sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga masa depan ketahanan pangan akan diwarnai oleh pertumbuhan pasokan pangan yang tidak stabil dan harga pangan makin volatil. Implikasinya, sebagian penduduk yang semula telah berhasil keluar dari kemiskinan potensial untuk kembali jatuh miskin. Ditambah pula dengan munculnya penduduk miskin yang baru maka secara agregat persentase penurunan jumlah penduduk miskin menjadi lebih lambat. Di dalam negeri, monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian MDGs lingkup nasional dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian terkait. Secara umum perkembangan yang telah dicapai sampai saat ini menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Beberapa indikator MDGs secara nasional telah tercapai dan sebagian besar target MDGs secara nasional diperkirakan akan tercapai (on track).Meskipun demikian untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja capaian MDGs masih perlu upaya-upaya khusus antara lain pada target penurunan angka kematian ibu melahirkan, pencegahan HIV/AIDS dan peningkatan tutupan lahan. Pada saat yang sama, kesenjangan antardaerah dalam pencapaian sasaran MDGs perlu terus diperkecil, antara lain dengan memberikan perhatian yang lebih besar bagi daerah-daerah yang kinerja pencapaian MDGs-nya masih di bawah rata-rata nasional (BAPPENAS, 2012). Hasil monitoring dan evaluasi tersebut menyajikan gambaran agregat mengenai
tingkat
pencapaian
MDGs
untuk
setiap
sasaran
dan
status
perkembangan menuju 2015. Termasuk pula didalamnya rekomendasi mengenai
2
Bagi Indonesia, sektor pertanian terbulti pula sebagai “sektor kunci” resiliensi perekonomian nasional dari guncangan negatif yang dahsyat akibat krisis finansial Tahun 1998 yang lalu.
6
target dan strategi yang perlu dilakukan dalam pencapaian MDGs dalam waktu yang tersisa serta agenda lanjutannya. Sudah barang tentu untuk kepentingan Kementerian/Lembaga terkait dalam rangka peningkatan kinerja pencapaian dan kelanjutannya masih diperlukan adanya kebijakan dan program yang relevan dengan mandatnya masing-masing. Untuk perumusan kebijakan dan program tersebut dibutuhkan data dan informasi dari hasil-hasil penelitian/kajian empiris lingkup makro maupun mikro. Hasil kajian lingkup makro bermanfaat dalam penentuan skala prioritasyang lazimnya merupakan salah satu agenda dalam perumusan kebijakan dan program kegiatan.
Pengkajian
lingkup
dibutuhkan
untuk
memperolehpemahaman,
pengetahuan, data, dan informasi mengenai: jenis, tipe, dan sumber-sumber permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam implemetasi kebijakan dan program, sebagaimasukan untuk melakukan validasi empiris atas hasil penelitian lingkup makro, untuk memperoleh kejelasan tentang aspek-aspek teknis yang mempengaruhi dinamika pembangunan di sektor pertanian dan keterkaitannya dengan sektor-sektor lain beserta keragamannya, dan untuk mengetahui aspekaspek sosial – ekonomi – budaya yang sifatnya spesifik lokal yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan strategi kebijakan dan pelaksanaan program. 1.2. Dasar Pertimbangan Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga terentaskan dari kemiskinan dan kelaparan adalah hasil pembangunan dari berbagai sektor melalui peran langsungnya maupun peran tidak langsungnya melalui kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) dalam sistem ekonomi. Disisi lain, proses terbentuknya kemiskinan tidak hanya melibatkan variabel-variabel ekonomi tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial, budaya, hukum, dan politik dalam suatu konstelasi hubungan yang sangat rumit. Dengan demikian kontribusi suatu sektor dalam eradikasi kemiskinan dan kelaparan sesungguhnya sangat sulit diukur dan di sisi lain kurang relevan jika dialamatkan untuk “klaim keberhasilan atau ketidak berhasilan” yang dicapai suatu sektor dan kemudian digunakan sebagai justifikasi dalam alokasi anggaran antar sektor dalam kebijakan fiskal. 7
Mengacu pada prinsip itu maka motivasi dan orientasi kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai dalam pembangunan pertanian berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan rumah tangga pedesaan pada umumnya. Relevansi dan legitimasi kajian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa salah satu misi pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani; yang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010 – 2014 juga ditempatkan sebagai salah satu dari empat target sukses Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian, 2010). Berdasarkan kondisi obyektif bahwa sampai saat ini masih banyak banyak rumah tangga petani yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam kaitannya dengan kontribusi sektor pertanian pada pencapaian MDGs dan implikasinya pada strategi pencapaian SDGs pengetahuan, data, dan informasi berikut ini sangat diperlukan. Pertama, perkembangan penurunan kemiskinan pada komunitas petani dan perbandingannya dengan penduduk pedesaan pada umumnya; serta variasinya antar agroekosistem. Kedua, hubungan antara pertumbuhan sektor pertanian wilayah (provinsi) dengan penurunan jumlah petani miskin. Ketiga, perkembangan penyerapan tenaga kerja di pedesaan dan implikasinya terhadap pendapatan petani serta variasinya antar agroekosistem. Keempat, hubungan antara status perkembangan perekonomian desa dengan distribusi pendapatan. Kelima, implikasinya terhadap strategi yang harus ditempuh dalam pencapaian SDGs. Dengan mengetahui level dan variasi pencapaian
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya
diharapkan
dapat
berkontribusi dalam perumusan kebijakan, strategi, dan program peningkatan kinerja sektor pertanian dalam peningkatan kesejahteraan petani. 1.3. Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs. Mengacu pada mandat Kementerian Pertanian, ruang lingkupnya difokuskan pada sasaran nomor 1 dalam MDGs yaitu eradikasi kemiskinan dan kelaparan terutama pada komuniats petani khususnya dan di wilayah pedesaan pada umumnya. Untuk itu rincian tujuannya adalah:
8
1. Untuk
mengetahui
perkembangan
proporsi
penduduk
miskin
pada
komunitas petani khususnya dan di pedesaan pada umumnya, serta variasinya antar provinsi dan antar agroekosistem. 2. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan
status
agroekosistem
perkembangan terhadap
perekonomian
penyerapan
tenaga
wilayahdan
kerja
dan
kondisi
penurunan
kemiskinan. 3. Untuk mengidentifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian SDGs. 4. Untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs. 1.4. Keluaran yang Diharapkan Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan keluaran berupa hasil analisis, data, dan informasimengenai: 1. Perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani khususnya dan di pedesaan pada umumnya, serta variasinya antar provinsi dan antar agroekosistem. 2. Pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status perkembangan perekonomian wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan. 3. Simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian SDGs. 4. Untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs. 1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Hasil kajian ini berguna dalam penyempurnaan program akselerasi peningkatan kesejahteraan petani yang secara eksplisit merupakan salah satu butir dari empat target sukses Kementerian Pertanian dan selaras dengan 9
pencapaian MDGs.Rekomendasi, data dan informasi tersebut juga akan berguna dalam penyempurnaan strategi kebijakan dan program sektor pertanian dalam pencapaian SDGs.Dampaknya adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan efektivitas program pembangunan sektor pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani dan perbaikan lingkungan; yang pada dasarnya selaras dengan pencapaian MDGs dan SDGs.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals – MDGs) merupakan komitmen internasional tentang sasaran pembangunan manusia (human development) dan Indonesia ikut di dalamnya. Sasaran yang akan dicapai dalam MDGs dijabarkan dalam 8 tujuan3. Tujuan nomor 1 adalah “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan” dan serigkali dipandang sebagai epicentrum sasaran MDGs karena: (1) pencapaian target ini merupakan komponen penunjang utama untuk pencapaian tujuan MDGs lainnya, (2) secara empiris populasi global yang tergolong miskin dan mengalami kelaparan masih sangat besar jumlahnya. Sampai dengan 2015, target yang akan dicapai untuk tujuan nomor 1 tersebut adalah: (a) menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk berpendapatan kurang dari USD 1(Purchasing Power Parity – PPP) per hari dalam kurun waktu sekitar 15 tahun dari 1990 – 2015, (b) menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda, dan (c) menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015. Sekitar 70 persen kelompok sasaran MDGs hidup di wilayah pedesaan, terutama di Asia dan Afrika; dan dari kelompok tersebut sebagian besar adalah penduduk yang menggantungkan nafkah utamanya dari pertanian. Oleh karena itu 3
Terdapat 8 sasaran MDGs yaitu: (1) eradikasi kemiskinan ekstrim dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.
10
peranan sektor pertanian dalam pencapaian MDGs sangat strategis. Dalam Rosegrant et al (2006) dinyatakan: “Given that the majority of poor people live in
villages or rely on agriculture, and that agriculture paves the way for economic growth in the poorer nations, agricultural and rural development will underlie progress on the broad array of economic and social indicators that the MDGs emphasize”. Peran strategis sasaran nomor 1 ini tidak akan berhenti pada pencapaian sasaran MDGs, tetapi juga untuk sasaran pada pembangunan milenium pasca 2015 yang disepakati dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs). Alasannyasebagai berikut. Pertama, adalah fakta bahwa jumlah penduduk miskin sangat besar sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dan menengah. Kedua, implikasi dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan karena pertumbuhan vegetatif dan produktif komoditas pertanian sangat rentan terhadap variabilitas iklim yang sangat tajam atau ekstrim(IPCC, 2007; FAO, 2007). Kondisi ini menyebabkan: (i) pertumbuhan produksi pangan melemah, (ii) harga pangan cenderung meningkat dan semakin volatil. Pada gilirannya, hal itu menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena: (i) sebagian individu atau rumah tangga yang semula telah terangkat dari garis kemiskinan (dan masih berada di dekat border line garis kemiskinan) sangat potensial terjatuh kembali menjadi miskin, dan (ii) munculnya barisan kelompok miskin yang baru. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan kelaparan sangat banyak, mencakup aspek ekonomi maupun sosial budaya. Dari sudut pandang ekonomi, penyebab kemiskinan terkait dengan tiadanya atau sangat
terbatasnya
kemampuan
individu
untuk
mengakses
kesempatan
memperoleh pendapatan sehingga kebutuhan dasarnya tidak dapat dipenuhi. Dari sudut pandang sosial budaya, kemiskinan seringkali dipandang sebagai outcomes dari interaksi sosial dimana sistem kelembagaan yang berlaku mengalami kegagalan dalam mencegah terpinggirkannya sebagian anggota komunitas untuk berpartisipasi
optimal
dalam
mengakumulasikan
nilai-nilai
yang
dijunjung 11
komunitas tersebut sehingga harkatnya sebagai manusia sangat tertinggal dari kelompok lainnya. Oleh karena itu kemiskinan bersifat multi dimensi. Kemiskinan mengacu pada ukuran absolut maupun ukuran relatif. Implikasinya, pengentasan kemiskinan membutuhkan pendekatan multi disiplin dan lintas sektor yang terkoordinasikan dengan harmonis dan konsisten. Mengacu pada akar penyebab dan proses terbentuknya kemiskinan, perumusan strategi pengentasan kemiskinan harus mempertimbangkan dengan seksama implikasi dari keragaman di ranah akar rumput (grass root). Kondisi sosial, kultural, dan geografis adalah beragam sehingga pendekatan “one size fits for all” tidak mungkin diterapkan. Oleh karena itu MDGs dan SDGs disusun untuk men-drive pembangunan dengan pendekatan multi sektor (Maftuchan, 2013). Dengan tetap menyadari bahwa eradikasi kemiskinan merupakan hasil kerja multi sektor, secara teoritis kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian sasaran nomor 1 MDGs mencakup aspek-aspek berikut: 1. Ketahanan pangan. Sebagai sektor penghasil pangan maka kontribusi langsung sektor pertanian dalam pencapaian MDGs adalah melalui peranannya dalam mendukung tercukupinya ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau oleh sebagian besar atau seluruh lapisan masyarakat. 2. Pengurangan kemiskinan. Sektor pertanian merupakan gantungan nafkah tak kurang dari 30 persen rumah tangga. Sebagai contoh, pada tahun 2008 saja jumlah rumah tangga pertanian pangan utama (padi, jagung, kedele, dan tebu) adalah sekitar 17.8 juta(Sumaryanto, 2009). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14.99, 6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani. 3. Lapangan kerja, termasuk untuk kaum muda dan perempuan.Pasar tenaga kerja di bidang pertanian, terutama pada usaha pertanian rakyat pada umumnya informal sehingga relatif mudah diakses oleh tenaga kerja tanpa perlu
adanya
persyaratan
formal
keterampilan/pengetahuannya.
Dalam
yang hal
menunjukkan penyerapan
kualifikasi
tenaga
kerja
perempuan, pada sistem usahatani terdapat jenis-jenis kegiatan yang ternyata 12
menjadi semacam “jatah” pekerjaan untuk tenaga kerja perempuan, misalnya pada kegiatan tanam atau penyiangan. 4. Pendukung utama sektor non pertanian di pedesaan. Cukup banyak industri pengolahan hasil pertanian berskala mikro dan industri rumah tangga di pedesaan yang mengandalkan tenaga kerjanya dari kelompok miskin. 5. Jaring pengaman sosial dan pengentasan kemiskinan. Karakteristik sektor pertanian tidak terlepas dari jejak sejarah yang di dalamnya sarat dengan bentuk-bentuk
kelembagaan
sosial
yang
terkait
dengan
pemerataan
pendapatan. Seiring dengan perkembangan sistem perekonomian desa sebagian kelembagaan tersebut memang mengalami degradasi. Namun di sebagian wilayah pedesaan (terutama yang jauh dari perkotaan), kelembagaan sosial yang fungsinya selaras dengan jaring pengaman sosial masih banyak ditemukan; dan berperan nyata dalam pengentasan kemiskinan di wilayah tersebut. Kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs tidak dapat dijelaskan hanya melalui penelitian empiris lingkup makro. Alasannya sebagai berikut. Pertama,
data
makro
yang
tersedia
hanya
memadai
untuk
mengukur
perkembangan penduduk miskin yang pekerjaan utamanya berada di sektor pertanian. Di sisi lain, kendatipun profesinya petani namun sumber pendapatan sebagian besar rumah tangga pertanian di Indonesia berasal dari berbagai sumber, termasuk dari bekerja ataupun berusaha pada sektor non pertanian. Dalam perumusan kebijakan, rekomendasi dan data ataupun informaso yang dihasilkan dari analisis lingkup makro tersebut akan berguna setidaknya dalam penentuan kelompok sasaran dalam program pengentasan kemiskinan melalui sektor pertanian, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan “bagaimana cara mengentaskannya”. Untuk itu harus dilengkapi dengan kajian lingkup mikro yang datanya dikumpulkan dari suatu survey yang dirancang untuk menjawab tujuan tersebut. 2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait Publikasi Badan Pusat Statistik (2014) menyajikan bahwa per September 2013 proporsi penduduk miskin adalah 11.47 persen. Jika dirinci menurut wilayah, 13
di perkotaan adalah 8.52 persen, sedangkan di pedesaan 14.42 persen. Pada tahun 1990 proporsinya adalah 15.10; di perkotaan 16.80 persen, sedangkan di pedesaan 14.30 persen. Dengan urutan yang sama, pada tahun 2000 angkanya adalah 19.14 persen; di perkotaan 14.60 persen, di pedesaan 22.38 persen4. Pada tahun 2010, proporsi penduduk miskin masih mencapai 13.33 persen; di perkotaan 9.87 persen, sedangkan di pedesaan 16.56 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa: (i) proporsi penduduk miskin makin kecil tetapi laju penurunannya bervariasi antar periode, (ii) proporsi penduduk miskin di pedesaan lebih besar daripada penduduk perkotaan, (iii) dinamika penurunan kemiskinan di perkotaan lebih sensitif terhadap perkembangan ekonomi nasional, (iv) laju penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih cepat daripada di pedesaan, dan (v) untuk menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi separuhnya dalam periode 1990 – 2013 masih diperlukan kerja keras. Fakta tersebut agak berbeda dari optimisme yang secara implisit termuat dalam laporan hasil monitoring dan evaluasi atas pencapaian target MDGs dalam BAPPENAS (2012) yang menyatakan bahwa dalam periode yang 1990 – 2011 Indonesia berhasil menurunkan tingkat kemiskinanmenjadi hampir setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upayauntuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimanadiukur oleh garis kemiskinan nasional dari tingkat saat ini sebesar13.33 persen (2009) dan diperkirakan dapat menuju targetnya sebesar 810 persen pada tahun 2014. Prevalensikekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 18.4persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDGsebesar 15.5 per sen pada tahun 2015. Menurut Tangka (2013), penentuan garis kemiskinan di Indonesia kurang tepat jika hanya menggunakan batas ambang garis kemiskinan sebesar USD 1 per kapita per hari seperti yang ditetapkan oleh bank dunia. Kemiskinan adalah masalah yang sangat kompleks, sehingga pengukurannya perlu memperhitungkan faktor-faktor penting lain. Hal ini antara lain disebabkan : (1) situasi yang dialami masyarakat saat ini sangat berbeda dengan sebelum tahun 1996 di mana
4
Tahun 2000 merupakan tahun kedua proses pemulihan ekonomi dari kontraksi dahsyat perekonomian nasional yang terjadi pada tahun 1998.
14
Indonesia belum mengalami berbagai krisis dan inflasi, (2) angka kemiskinan Indonesia tahun 1990 sebesar 15.1 persen sebagai dasar penentuan target penduduk yang hidup di bawah kemiskinan kurang tepat.Dasar perhitungan tersebut sebaiknya tidak diperbandingkan dengan tahun-tahun berikutnya yang memiliki situasi yang berbeda,(3) dalam laporan PBB penggunaan indikator USD 1 per kapita per hari tidak dapat memberi gambaran kemiskinan yang valid karena profil kemiskinan di setiap daerah tidak sama. Terlepas dari belum adanya metode pengukuran yang tanpa kritik, pencapaian atas target penurunan angka kemiskinan adalah suatu keberhasilan yang pantas diapresiasi. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa berpuas diri atas capaian itu tidaklah layak. Secara filosofis, pengentasan kemiskinan adalah agenda pokok pembangunan manusia yang tak akan pernah selesai. Kemiskinan merupakan kegagalan dalam banyak dimensi kehidupan manusia yang dapat terlihat seperti kelaparan, kesehatan yang buruk, malnutrisi, pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah, tempat tinggal yang tidak layak, kerentanan, ketidakberdayaan, terkucilkan dalam lingkungan sosial, dan lain sebagainya (Kakwani and Silber, 2008)5. Prioritas ke depanuntuk menurunkan kemiskinandan kelaparan adalah dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastrukturpendukung, dan memperkuat sektor pertanian (BAPPENAS, 2012). Perhatianan khusus perlu diberikan pada:(i) perluasan fasilitas kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); (ii)pemberdayaan masyarakat miskin dengan meningkatkan akses dan penggunaan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii) peningkatan akses penduduk miskinterhadap pelayanan sosial; dan (iv) perbaikan penyediaan proteksi sosial bagi kelompoktermiskin di antara yang miskin. Kendala utama dalam pembiayaan yang dihadapi petani (yang merupakan penggerak utama sektor pertanian) adalah keengganan lembaga pembiayaan dalam memberikan pinjaman. Keengganan ini disebabkan karena petani (yang dianggap melakukan bisnis dalam skala mikro/kecil) tidak dapat memenuhi
5
Kajian yang akan dilakukan ini tidak berpretensi untuk mempersoalkan kontroversi tersebut dan tidak pula diorientasikan untuk mencari metode pengukuran yang dianggap tepat karena kemiskinan bersifat multi dimensi sehingga indikator yang digunakan dalam pengukuran masih selalu mengundang kritik; tergantung sudut pandang yang diterapkan untuk mengevaluasinya.
15
persyaratan seperti tidak memiliki peringkat kredit, juga tidak memelihara catatan yang diperlukan untuk dilakukan penilaian (appraisal). Selain itu, petani juga kekurangan agunan berharga (Jacob Yaron et al, 1997). Oleh karena itu, petani biasanya melakukan pinjaman kepada individu-individu yang dapat memberikan pinjaman dengan skala kecil (Ledgerwood, 1999), namun permasalahan berikutnya adalah banyak dari individu-individu tersebut yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi (rentenir). Peran penting sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan telah banyak dibuktikan dalam berbagai tinjauan maupun penelitian empiris(Thirtleet al, 2002; Thurlow, 2004; Thurlow et al, 2004; Christensen et al, 2010; CervantesGodoy, and Dewbre 2010; Dedan et al, 2012). Terutama pada negara-negara berkembang, peranannya makin menonjol ketika didukung pengembangan infrastruktur yang memadai. Ini selaras dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur pertanian dan pedesaan adalah basis bagi peningkatan produktivitas (Van Blarcom et al, 1993; Van De Walle, 1996; Zhang and Fan, 2000). Bagi Indonesia, fakta menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional sangatstrategis. Setidaknya ada 5 agumen mendasar dibalik julukan itu. Pertama, perannya sebagai sektor penyedia pangan bangsa. Kedua, perannya sebagai penyedia lapangan kerja karena meskipun kontribusi relatif sektor pertanian dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) terus menurun seiring dengan makin berkembangnya sektor industri, jasa, dan manufaktur; tetapi sektor ini masih tetap merupakan penyerap lapangan kerja terbesar (Kementan, 2010). Ketiga,pada masa krisis ekonomi (1998 – 2003), sektor pertanian adalah yang paling mampu bertahan dan bahkan mampu berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dari kontraksi ekonomi yang dahsyat. Keempat, oleh karena proporsi jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak dan sebagian besar dari pedesaan tersebut struktur ekonomi dan kesempatan kerjanya didominasi pertanian maka peranan sektor pertanian sebagai gantungan nafkah mayoritas penduduk pedesaan dan dalam pengentasan kemiskinan menjadi sangat penting. Kelima, dalam hubungannya dengan implikasi perubahan iklim maka peranan sektor pertanian untuk menjawab tantangan makin 16
strategis karena meskipun di satu sisi sektor ini termasuk paling rentan, tetapi di sisi lain paling potensial pula sebagai pemain utama aksi mitigasi perubahan iklim sebagaimana dinyatakan dalam IPCC (2001), IPCC (2007) dan FAO (2007). Mengacu pada situasi dan kondisi empiris di lapangan, upaya akselarasi kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs dapat dilakukan melalui kombinasi dari beberapa pendekatan berikut. Pertama, rehabilitasi dan perluasan lahan pertanian. Untuk perluasan lahan pertanian, upaya jangka pendek yang dapat ditempuh adalah pendekatan fungsional. Perluasan luas baku lahan pertanian akan berdampak pada jangka menengah dan panjang dan berdasarkan kondisi obyektif layak untuk dilakukan di Luar Pulau Jawa dan sebagian lokasi di Pulau Jawa. Rehabilitasi lahan pertanian diorientasikan untuk mengembalikan kesuburan lahan. Ini terutama diperlukan di sebagian besar desa yang selama ini telah mengalami over intensifikasi pertanian. Kedua, perbaikan infrastruktur fisik dan pengelolaan sistem irigasi pada pedesaan yang usahataninya berbasis sistem usahatani sawah. Ketiga, percepatan dan perluasan aplikasi teknologi adaptif terhadap iklim ekstrim melalui penerapan pola tanam dan sistem budidaya tanaman yang lebih produktif dan berwawasan lingkungan. Keempat, perbaikan sistem tataniaga pertanian; baik di pasar input maupun pasar output usahatani. Selama ini kebijakan dan program tersebut di atas telah dilakukan. Akan tetapi hasilnya pada tataran “grass root”, terutama dalam kontekspeningkatan kesejahteraan petani tentu saja bervariasi. Pemahaman mengenai sumber-sumber variasi dan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya sangat penting sebagai masukan untuk perumusan kebijakan akselerasi peningakatan pendapatan petani.
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kelaparan adalah dua kondisi yang saling terkait. Gambaran sederhananya adalah bahwa karena miskin maka daya belinya sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya (mengalami 17
kelaparan). Namun tidak semua individu yang mengalami kelaparan terjadi akibat miskin. Kemiskinan cenderung berimpit dengan kelaparan jika tingkat kemiskinan berada pada tingkatan ekstrim. Artinya, individu atau rumah tangga yang mengalami tingkat kemiskinan ekstrim, ciri utamanya adalah kekurangan pangan (mengalami kelaparan). Kelompok sasaran utama dari sasaran nomor 1 dalam MDGs adalah kelompok tersebut. Berdasarkan perhitungan, ukuran kuantitaif yang mencerminkan tingkat kemiskinan ekstrim adalah pendapatan per kapita sebesar 1 USD (satu dollar Amerika) per hari. Sebagai bagian integral sistem perekonomian, kontribusi sektor pertanian dalam lingkup makro mencakup aspek pembentukan output, nilai tambah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, penciptaan devisa, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan maupun sebagai pemasok bahan baku bagi perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya terutama indstri pengolahan. Dengan analisis Input – Output (I-O), aspek-aspek tersebut dapat diukur. Akan tetapi untuk mengkaji kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs, pendekatan tersebut tidak sesuai karena sejumlah alasan berikut. Di satu sisi, kemiskinan adalah suatu konsep yang mengacu pada status sosial-ekonomi individu, rumah tangga, atau kelompok. Proses terbentuknya kemiskinan terjadi melalui interaksi yang melibatkan berbagai faktor yang meliputi dimensi ekonomi, sosial-budaya, hukum, bahkan sosial-politik. Berbagai sektor berkontribusi melalui peran dan fungsinya dalam suatu konstelasi hubungan yang rumit. Di sisi lain, data I-O mengacu pada gambaran agregat mengenai nilai output dan input dalam sistem perekonomian serta alokasinya antar sektor. Orientasi utamanya adalah untuk mengetahui hakekat keterkaitan antar sektor ekonomi beserta implikasinya dalam sistem perekonomian. Dari
pendekatan
lingkup
makro,
pada
umumnya
yang
dapat
diketahuiadalah perkembangan penurunan persentase penduduk miskin menurut wilayah administratif. Informasi tersebut berguna sebagai bahan evaluasi untuk menyusun
skala
prioritas
dan
kelompok
sasaran
program
pengentasan
kemiskinan. Akan untuk kepentingan pembangunan sektoral, diperlukan kajian lebih lanjut karena dari data yang tersedia belum dapat menyentuh langsung variabel-variabel terkait dengan dimensi teknis yang sifatnya instrumentatif. 18
Sebagai contoh, melalui aspek manakah berkurangnya kemiskinan dan kelaparan tersebut terbentuk? Melalui peningkatan produktivitas pertaniankah atau melalui skala usaha? Melalui pengembangan usahatani apa yang akan efektif untuk mengurangi angka kemiskinan? Berlaku untuk seluruh agroekosistemkah atau pada
agroekosistem
tertentu
saja?
Kelompok
manakah
yang
terangkat
pendapatannya, apakah semua kelompok termasuk rumah tangga yang pekerjaan utamanya buruh tani? Melalui mekanisme pasar semata ataukah ada mekanisme kelembagaan yang menjadi determinan sistem pembagian pendapatan? Semua informasi ini hanya dapat diperoleh dari analisis lingkup mikro berbasis data hasil survey tingkat rumah tangga di pedesaan. Mengingat bahwa informasi ini sangat penting untuk perumusan kebijakan dan program yang lebih operasional maka kajian-kajian empiris berbasis analisis lingkup mikro ini sangat dibutuhkan. Pada analisis lingkup mikro cakupan analisis meliputi aspek-aspek penguasaan sumberdaya pertanian, aplikasi teknologi, produktivitas usahatani, struktur kesempatan kerja dan pendapatan, peranan anggota rumah tangga usia muda dan perempuan pada kegiatan kerja produktif pada sektor pertanian khususnya maupun sektor non pertanian pada umumnya, pola konsumsi pangan, dan sebagainya. Sumber karagaman lain yang mempengaruhi kontribusi pertanian terhadap eradikasi kemiskinan dan kelaparan yang perlu dianalisis adalah pengaruh
perbedaan
perekonomian
desa,
agroekosistem, kondisi
tingkat
infrastruktur
kepadatan
pertanian
dan
agraris,
struktur
pedesaan,
dan
sebagainya. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan (ruang lingkup, menjawab masing-masing tujuan penelitian)
pendekatan
untuk
Motivasi dan orientasi kajian ini adalah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dan program sektor pertanian dalam rangka akselerasi peningkatan pendapatan petani yang dalam Renstra Kementan 2010 – 2014 merupakan salah satu dari empat target sukses pembangunan pertanian periode tersebut. Perlu digaris bawahi bahwa pada hakekatnya peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu misi pembangunan pertanian yang akan berlaku sepanjang masa. 19
Berangkat dari motivasi dan orientasi tersebut, fokus kajian ini diarahkan pada komunitas petani khususnya dan rumah tangga pedesaan pada umumnya. Alasan memperluas cakupan kajian pada penduduk pedesaan didasarkan atas argumen: (i) mayoritas penduduk pedesaan berasal dari rumah tangga petani, (ii) dinamika
perekonomian
desa
ditentukan
oleh
dinamika
pertanian,
(iii)
pemahaman mengenai kesejahteraan petani hanya dapat dilakukan dengan mengaitkannya dengan kesejahteraan rumah tangga pedesaan karena sebagian besar akar kelembagaan sosial pada komunitas pertanian banyak yang berimpit dengan kelembagaan pedesaan. Pendalaman kajian pada lapis terbawah komunitas tersebut selaras dengan pencapaian MDGs khususnya sasaran nomor 1 dan implikasinya pada strategi pencapaian SDGs.Untuk itu terdapat empat kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut. 3.2.1. Menganalisis perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani khususnya dan penduduk pedesaan pada umumnya, serta variasinya antar provinsi maupun antar agroekosistem. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan lingkup makro dan lingkup makro. Terkait ketersediaan datanya, pendekatan lingkup makro ditujukan untuk mengetahui perkembangan dan variasinya antar provinsi, sedangkan pendekatan
lingkup
mikro
ditujukan
untuk
mengetahui
variasi
antar
agroekosistem. Pada lingkup makro, perkembangan proporsi penduduk miskin di pedesaan per provinsi telah tersedia dalam publikasi BPS dari beberapa titik waktu. Untuk perkembangan yang terjadi pada komunitas petani, pendekatannya adalah sebagai berikut: (1) melakukan pemilahan rumah tangga petani dari total populasi pedesaan, (2) identifikasi rumah tangga petani miskin menurut metode pengukuran yang diterapkan BPS. Analisis akan dilakukan untuk setiap provinsi. Selain mengkaji perkembangan proporsi petani miskin, akan dilakukan pula distribusi pendapatannya. Pada
pendekatan
lingkup
mikro,
pemilahan
petani
menurut
tipe
agroekosistem desa dapat dilakukan. Pada data lingkup mikro mengingat populasinya adalah penduduk pedesaan maka pemilahan sub populasi petani dari 20
populasi pedesaan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang akan diterapkan adalah yang hasil pengukurannya konsisten hasil kajian-kajian terdahulu dan hasil kajian kualitatif berdasarkan hasil survey yang akan dilakukan dalam kajian ini. 3.2.2. Menganalisispengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status perkembangan perekonomian wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan. Analisis lingkup makro diorientasikan untuk mengetahui pengaruh tingkat perkembangan perekonomian wilayah terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin yang terentaskan dari kemiskinan. Dengan beberapa keterbatasannya, variasi tingkat perkembangan perekonomian wilayah ini tercermin dari struktur PDRB. Analisis
lingkup
mikro
ditujukan
untuk
mengetahui
pengaruh
perkembangan perekonoman desa dan tipe agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan. Indikator tingkat perkembangan perekonomian desa tercermin dari struktur kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, sedangkan indikator tipe agroekosistem tercermin dari sistem usahatani dominan desa yang bersangkutan. Meskipun profesinya bertani, sebagian dari pendapatan mayoritas rumah tangga petani di Indonesia berasal dari sektor non pertanian. Oleh karena itu terentaskannya rumah tangga tersebut dari kemiskinan dapat berasal dari peningkatan pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun dari luar pertanian. Pada lingkup agreat desa, seiring perkembangan ekonomi terjadilah proses urbanisasi. Cirinya, peranan sektor non pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dan penciptaan pendapatan meningkat. Jika peningkatannya lebih besar daripada peningkatan yang terjadi pada sektor pertanian maka peranan sektor pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan di pedesaan menurun. Dalam konteks ini terjadi proses timbal balik. Makin banyak rumah tangga petani yang sumber utamanya dari sektor pertanian mendorong terjadinya proses urbanisasi, di sisi lain terkait dengan multiplier effect sektor-sektor ekonomi tersebut maka 21
semakin besar pula rumah tangga petani yang akan mengandalkan peningkatan pendapatannya dari sektor non pertanian – sampai terjadi kejenuhan pada sektor non pertanian. Proses urbanisasi desa tersebut bervariasi. Sumber-sumber variasi antara lain
tipe
agroekosistem
wilayah
pertanian
dominan
di
desa
tersebut,
konektivitasnya terhadap pusat-pusat pertumbuhan ekonomi modern, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi orientasi angkatan kerja pada jenis-jenis pekerjaan yang diminatinya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja pedesaan dan penurunan kemiskinan pada komunitas petani dapat dikaji melalui pendekatan lingkup makro yang diperdalam dengan kajian lingkup mikro. 3.2.3. Identifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian MDGs. Kemiskinan adalah salah satu fenomena dari tingkat pencapaian (status) kesejahteraan yang sangat rendah. Indikator yang mencerminkan kesejahteraan cukup banyak meliputi aspek pendapatan, konsumsi, pemilikan aset, status kesehatan, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Di sisi lain, faktor-faktor penyebabnya juga melibatkan banyak variabel, dalam dimensi ekonomi maupun sosial budaya. Untuk mengkaji substansi permasalahan ini, data lingkup makro yang tersedia hanya sebagian kecil sehingga akan terlibat dengan penggunaan variabel “proxy” yang cukup banyak. Selain itu(kecuali SUSENAS, SAKERNAS), unit onservasi pada sebagian besar data sekunder lingkup makro pada umumnya adalah wilayah, bukan rumah tangga. Dengan kata lain identifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan tidak dapat hanya mengandalkan kajian lingkup makro. Oleh karena itu pendekatan yang akan diterapkan dalam kegiatan identifikasi simpul-simpul kritis ini akan mengandalkan data mikro hasil survey. Pemanfaatan data mikro hasil survey juga memungkinkanuntuk melakukan kajian
aspek
kelembagaan
sosial
yang
terkait
dengan
pengentasan
kemiskinan.Selain itu, substansi permasalahan yang terkait dengan aspek lingkungan dan pemerataan yang hasilnya akan dimanfaatkan dalam perumusan strategi pencapaian SDGs pada level “grass root” lebih mudah didekati dengan 22
kajian lingkup mikro. Selebihnya, kedalaman kajian tentang kemiskinan memang membutuhkan unit observasi individu atau rumah tangga yang lazimnya diperoleh dari hasil survey lingkup mikro. 3.2.4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs. Dengan memanfaatkan sintesis hasil kegiatan 3.2.1 – 3.2.4, pendekatan yang diterapkan dalam perumusan kebijakan berpijak pada kerangka pikir berikut. Esensi dari kebijakan dan program akselerasi pengentasan kemiskinan adalah peningkatan
efektivitas
program
pemberdayaan
kelompok
miskin
melalui
pendekatan multi disiplin dan lintas sektor secara sinergis. Pemberdayaan kelompok miskin tidak dapat mengandalkan pendekatan teknokratis melalui sistem kelembagaan formal semata karena akar penyebab kemiskinan melibatkan pula aspek sosial budaya. 3.2.5. Lokasi Penelitian Untuk kajian lingkup makro, cakupannya adalah nasional dengan tingkat rincian provinsi. Pada masing-masing provinsi akan dilakukan pemilahan wilayah menurut desa vs kota dan menurut status perkembangan ekonomi yang tercermina pada kontribusi relatif sektor pertanian dalam PDRB. Pada kajian lingkup mikro, justifikasi pemilihan lokasi penelitian mengacu pada
tujuan
perkembangan
untuk
memperoleh
perekonomian
variasi
desa.
tipe
Secara
agroekosistem
garis
besar
dan
terdapat
tingkat 4
tipe
agroekosistem yaitu: (i) pesawahan, (ii) lahan kering dominan usahatani pangan/hortikultura/ternak, (iii) lahan kering dominan perkebunan, dan (iv) desa pantai berbasis perikanan tangkap. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penelitian akan dilakukan di Provinsi Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. 3.2.6. Responden Pengayaan informasi atas data sekunder pada kajian lingkup makro dilakukan dengan menggali data kualitatif yang terkait dengan program-program 23
pengentasan kemiskinan. Ini dapat digali melalui wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten pada instansi yang terkait dengan asal perolehan data sekunder tersebut. Responden untuk kajian lingkup mikro mencakup rumah tangga pertanian dan pedesaan. Rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang mengelola usahatani sedikitnya satu musim dalam satu tahun kalender pertanian. Termasuk dalam kategori ini adalah rumah tangga yang mengelola usahatani dari menggarap lahan milik orang lain, atau jika peternak adalah yang mengelola usaha ternak milik pihak lain. Rumah tangga pedesaan adalah rumah tangga yang domisilinya di pedesaan, termasuk di dalamnya rumah tangga pertanian. Responden pada penelitian ini adalah sub sampel dari sampel rumah tangga pada survey rumah tangga pedesaan pada peneliian kerjasama JICA – IFPRI – PSEKP pada tahun 2010 yang lalu. Sub sampel tersebut difokuskan pada lapis bawah dan tengah dalam konteks pendapatan yang diproksi dari total pengeluaran rumah tangga masing-masing responden pada survey 2010 tersebut. Selain rumah tangga sampel, kelompok tani dan aparat desa juga akan dijadikan responden pada penelitian ini, utamanya untuk menggali informasi pada aspek kelembagaan. 3.3. Data dan Metode Analisis 3.3.1. Data Data yang akan dianalisis mencakup data sekunder dan data primer. Data sekunder digunakan untuk analisis lingkup makro, sedangkan data primer digunakan untuk analisis lingkup mikro. Data sekunder yang akan dianalisis adalah data SUSENAS dan data PDRB Provinsi serta Statistik Pertanian dari beberapa titik waktu. Data ini akan dieproleh dari Badan Puat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian di Pusat maupun di Daerah lokasi penelitian. Data yang akan dianalisis untuk kajian lingkup mikro terdiri dari: (i) data hasil survey pada kerjasama penelitian kerjasama penelitian JICA – IFPRI – PSEKP yang dilaksanakan pada tahun 2010 yang lalu, dan (ii) data primer yang akan dikumpulkan melalui resurvey sebagian rumah tangga pada sebagian desa-desa 24
lokasi penelitian yang disebutkan pada butir (i). Data yang akan dikumpulkan pada survey ini lebih
banyak ditujukan untuk menggali aspek-aspek kualitatif
yang dapat menjelaskan peranan kelembagaan yang terkait dengan sektor pertanian maupun kelembagaan sosial di pedesaan yang terkait dengan programprogram pengentasan kemiskinan. 3.4. Metode Analisis 3.4.1. Analisis perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani dan penduduk pedesaan serta variasinya provinsi dan antar agroekosistem. Metode analisis yang akan diterapkan mengkuti metode pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS. Terkait dengan itu maka analisis perkembangan proporsi penduduk miskin di pedesaan antar provinsi dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil pengukuran yang telah dilakukan lembaga tersebut. Untuk mengkaji perkembangan yang terjadi pada komunitas petani, prosedurnya adalah sebagai berikut. Langkah pertama adalah melakukan pemilahan komunitas petani dari seluruh populasi. Ini dapat dilakukan dengan mengidentifiksi rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama. Langkah berikutnya adalah menghitung rumah tangga yang termasuk kategori di bawah garis kemiskinan dengan metode pengukuran seperti tersebut di atas untuk setiap provinsi. Data yang akan dianalisis adalah data SUSENAS beberapa titik waktu. Untuk mengetahui variasi penduduk miskin antar agroekosistem, data yang digunakan adalah data hasil survey pada kerjasama penelitian JICA – IFPRI – PSEKP yang dilakukan pada tahun 2010. Total jumlah contoh pada survey tersebut adalah 2200 rumah tangga dari 98 desa pada 7 provinsi, mencakup rumah tangga petani maupun non pertani. Identifikasi tipe agroekosistem mengacu pada sistem usahatani dominan pada desa yang bersangkutan. Metode yang diterapkan untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin pada komunitas petani maupun pada komunitas mengikuti metode pengukuran yang dilakukan BPS. Dalam rangka pendalaman, akan dilakukan pula identifikasi rumah tangga miskin dengan menggunakan ukuran “setara beras”. Kemiskinan mencakup ukuran absolut maupun relatif. Garis besar mengenai kemiskinan relatif tercermin dari distribusi pendapatan. Untuk itu, dalam 25
kajian ini juga akan dilakukan analisis distribusi pendapatan. Ukuran yang akan dipakai adalah Indeks Gini dan visualisasinya dapat disajikan dengan kurva Lorenz. Ini akan diterapkan pada kajian lingkup makro maupun lingkup mikro tersebut di atas. 3.4.2. Analisis tentang pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status perkembangan ekonomi wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan. Kajian lingkup makro ditujukan untuk mengetahui status perkembangan ekonomi wilayah terhadap penurunan proporsi penduduk miskin. Unit analisisnya adalah provinsi.Tipologi tingkat perkembangan wilayah didasarkan atas peranan sektor pertanian dalam struktur PDRB dan proporsi penduduk pedesaan terhadap total populasi masing-masing provinsi. Selain tingkat perkembangan wilayah, variabel lain yang diduga mempengaruhi penurunan proporsi penduduk miskin adalah pertumbuhan PDRB riil sektor pertanian, pertumbuhan total PDRB riil, dan nilai tukar petani. Metode sederhana untuk mengkajinya adalah dengan menggunakan regresi. Pada analisis lingkup mikro, kajiannya mencakup pula aspek penyerapan tenaga kerja. Selain tingkat perkembangan ekonomi wilayah, faktor lain yang diduga sebagai sumber variasi adalah tipe agroekosistem. Serupa dengan analisis pada lingkup makro, penyederhanaan dalam pengambilan kesimpulan juga akan didekati dengan memanfaatkan regresi tetapi faktor penjelasnya akan lebih lengkap, sesuai dengan ketersediaan datanya. Unit analisisnya adalah desa dan rumah tangga. 3.4.3. Identifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian SDGs. Indikator kemiskinan yang paling populer adalah daya beli. Daya beli ditentukan oleh pendapatan dan harga barang dan jasa yang berlaku pada komunitas yang bersangkutan. Mengingat bahwa kemiskinan bersifat multi dimensi maka validitas pengukuran kemiskinan berdasarkan satu variabel 26
seringkali menjadi sasaran kritik yang berakar pada perbedaan sudut pandang dan konteks (Kakwani and Silber, 2008). Dengan tetap menyadari keterbatasan yang ada jika orientasinya adalah untuk mengkaji perkembangan (dengan data “time series”), sampai saat ini daya beli merupakan ukuran yang paling banyak dipakai. Akan tetapi jika orientasinya untuk memperbandingkan tingkat kemiskinan antar komunitas dalam suatu waktu tertentu dengan pendekatan “cross section” maka validitasnya menurun. Selain adanya sumber variasi yang berasal dari perbedaan harga barang dan jasa pada sisi konsumsi maupun sisi produksi (termasuk tingkat upah), turunnya validitas dari ukuran tersebut juga terkait dengan: (i) sifat kumulatif pendapatan dan nilai aset antar waktu, (ii) implikasi dari sifat “kemiskinan relatif”. Terkait dengan itu maka kajian tentang kemiskinan perlu dilengkapi dengan kajian aspek-aspek pada pemilikan aset rumah tangga dan distribusi pendapatan pada komunitas yang bersangkutan. Kemiskinan adalah suatu “status” yang mengacu pada ketertinggalan dalam kesejahteraan. Oleh karena itu untuk pendekatan untuk mengidentifikasi simpulsimpul kritis pengentasan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan. Serupa dengan kemiskinan, kesejahteraan juga multi dimensi. Jika dipandang sebagai variabel maka merupakan variabel laten endogen (latent endogenous variable – misalnya dilambangkan sebagaiη ) yang tidak dapat diamati secara langsung. Terhadap variabel ηini yang dapat diamati adalah himpunan variabel yang representatif sebagai ndikatornya dan himpunan variabel yang diduga mempengaruhinya. Estimasi sebaran populasi menurut ηdapat dilakukan dengan pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) dengan model Multi Indicators Multi Causes (MIMIC). Model ini sebenarnya sudah cukup lama diketahui. Pertama kali diperkenalkan
oleh
Jöreskog
and
Goldbreger
(1975).
Beberapa
contoh
pemanfaatan model ini misalnya pada kajian sektor informal (Giles and Tedds, 2002, Breusch, 2005; Buehn and Schneider, 2008) ataupun estimasi kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim (Sumaryanto dkk, 2012). Interpretasi atas ηtidak dapat dilakukan karena merupakan angka-angka “simpul” yang menjembatani himpunan variabel penyebab dari berbagai aspek 27
yang berbeda dengan himpunan indikator dari beberapa dimensi. Akan tetapi himpunan nilai ηmempunyai ukuran pemusatan, ukuran dispersi, dan bentuk sebaran. Oleh karena itu dapat digunakan untuk konsisten untuk melakukan pemeringkatan, misalnya dengan pendekatan percentile, pemeringkatan berbasis varian, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh gambaran lebih rinci, dapat dilakukan dengan teknik dekomposisi melalui komparasi ukuran pemusatan maupun
dispersi
variabel-variabel
penyebabnya
ataupun
variabel-variabel
indikatornya. Bentuk dasar model ini adalah bahwa vektor variabel-variabel indikator
y ( p 1) terhubungkan oleh suatu variabel laten ( ) dengan vektor variabelvariabel penyebab x ( q 1) . Meniru presentasi model MIMIC pada penelitian Giles and Tedds (2002) pada kajiannya mengenai sektor informal di Canada, hubungan antara y, , dan x adalah sebagai berikut:
yi i i
(1)
i xi i
(2)
dalam hal ini diketahui,
( q 1) dan 1 1 adalah vektor-vektor parameter yang tidak
sedangkan
galatnya
yaitu
i ( p 1)
dan
i (skalar) diasumsikan
mempunyai nilai tengah nol, sedangkan varian diag (1 ,, p ) dan yang satu dengan lainnya tidak berkorelasi. Model yang terdiri atas persamaan (1) dan (2) tersebut di atas tidak menentukan skala untuk semua parameternya, sehingga diperlukan adanya suatu persyaratan normalisasi. Ini dapat dilakukan dengan mengadopsi pendekatan konvensional yaitu dengan cara menetapkan unsur pertama dari vektor tersebut bernilai satu, jadi 1 1 . Dalam model MIMIC, x adalah “weakly exogenous” dimana distribusinya kondisional terhadap x. Ini berimplikasi pada struktur sebarannya, nilai tengah, maupun varian variabel-variabel yang diobservasi. Jadi: E( yi xi ) E ( xi i ) i xi xi ,
(3)
var( yi xi ) var ( xi i ) i xi var i i xi
(4)
28
Persamaan (3) dan (4) dapat dinyatakan dalam bentuk reduksinya (reduced form) sebagai berikut:
yi xi vi dimana dan vi
(5)
(0, ) , dan . Secara umum, struktur model
MIMIC berimplikasi restriktif pada parameter reduced form dan . Metode estimasi yang tak bias untuk model MIMIC adalah maximum
likelihood (ML). Perangkat lunak yang mudah digunakan adalah AMOS, LISREL, dan STATA 12. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah STATA 12. Terdapat beberapa bentuk model MIMIC, tergantung pada jumlah variabel penjelas (x) dan indikator (y) yang dilibatkan dalam model. Bentuk final model MIMIC yang akan diterapkan dalam penelitian ini akan dapat ditentukan setelah eksplorasi atas data yang dikumpulkan selesai dilakukan. Untuk sementara, diduga bahwa indikator yang sesuai untuk merefleksikan “kesejahteraan” antara lain: pendapatan per kapita, total nilai aset rumah tangga, konsumsi beras per kapita, pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan pokok, nilai rekening listrik, dan sebagainya; sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi η (tingkat kesejehteraan) adalah nilai pemilikan aset produktif (lahan, ternak, peralatan pertanian), produktivitas kerja, jumlah anggota rumah tangga usia kerja, beban tanggungan rumah tangga, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan sebagainya. Data yang akan dianalisis adalah data hasil survey pada penelitian kerjasama JICA – IFPRI – PSEKP pada tahun 2010 karena jumlah observasinya sangat memadai (lebih dari 2000), aspek yang digali lengkap, dan relevan untuk kajian ini karena implementasi kebijakan pencapaian sasaran MDGs di Indonesia secara efektif berlaku pada periode 2000 – 2015.
29
IV.
ANALISIS RISIKO
Tabel 1. Daftar Risiko, Penyebab dan Dampak No 1
2
3
Risiko Rendahnya keterbukaan informasi responden
Tugas-tugas kantor untuk kegiatan non penelitian bersifat dadakan dan sporadis Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Penyebab Rasa kekhawatiran dari informasi yang diberikan tersebut berdampak kurang baik terhadap usahanya Tuntutan pekerjaan dari atas yang kurang terjadwal dengan baik
Dampak Data kurang lengkap, akurat, dan rinci
Perubahan lingkungan yang mengharuskan dilaksanakan justifikasi perubahan anggaran
Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan terganggu sehingga dapat memperlambat pelaksanaan
Mengganggu pelaksanaan kegiatan penelitian
Tabel 2. Daftar Penanganan Risiko No 1
Risiko Rendahnya keterbukaan informasi pedagang dan pengusaha/industri
2
Tugas-tugas kantor yang sporadis
3
Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
V.
Penanganan Melakukan teknik wawancara secara baik dan benar, melalui pendampingan petugas instansi terkait dan memberikan penjelasan urgensi penelitian ini bagi responden Mengatur pembagian tugas dan tanggungjawab diantara tim pelaksana penelitian Membuat perencanaan penelitian dengan strategi Plan-A dan Plan-B, sehingga jika terjadi perubahan anggaran tinggal dilaksanakan salah satu dari plan tersebut
TENAGA PELAKSANAAN
Tabel 3. Susunan Tim Pelaksana
No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama
Gol.
Dr. Sumaryanto Edi Basuno Ph.D Ir. Sri Hastuti Suhartini, M.Si Cut Rabiatul Adawiyah, SP Rangga Ditya Yofa, SP
IV/c IV/d III/d III/a III/a
Jabatan Fungsional/ Bidang Keahlian Peneliti Madya Peneliti Utama Peneliti Muda Peneliti Pertama Staf Peneliti
Kedudukan dalam Tim Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. Statistik.
2014. Statistik Kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat 30
BAPPENAS. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Breusch, T., 2005. Estimating the Underground Economy using MIMIC Models. Available from: [http://129.3.20.41/eps/em/papers/0507/0507003. pdf]. Buehn, A. and Schneider, F., 2008. "MIMIC Models, Cointegration and Error Correction: An Application to the French Shadow Economy". CESIFO Working Paper, No. 2200.Cervantes-Godoy, D. and J. Dewbre (2010), "Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction", OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 23, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5kmmv9s20944-en Christensen, L., L. Demery, and J. Kuhl. 2010. The (Evolving) Role of Agriculture in Poverty Reduction: An Empirical Perspective. WIDER Working Paper 2010/36 (Helsinki, UNU-WIDER). Dedan Oriewo Ong'anya, Jackline M. Omuya, Kennedy Mwengei B. Ombaba, and Phyllis A. Arogo. 2012. The Role of Agricultural Growth on Millenium Development Goals in Kenya: A Strategy of Poverty Reduction. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS) 3(4): 324-331. E. O. Oriola. 2009. Irrigation agriculture: An option for achieving the millennium development goals in Nigeria. Journal of Geography and Regional Planning Vol. 2(7), pp.176-181, July, 2009. FAO. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries: Perspective, framework and priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations, Rome. Giles, D., and L. Tedds (2002), "Taxes and The Canadian Underground Economy", Canadian Tax Foundation Toronto, Paper n. 106, Canada. IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York. IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: Impacts, Adaptati on and Vulnerability. Contributi on of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Hanson (eds), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 7-22. Jöreskog, K. and A. Goldberger (1975) 'Estimation of a Model with Multiple Indicators and Multiple Causes of a Single Latent Variable', Journal of the American Statistical Association, 70(351). Kakwani, N. and J. Silber. 2008. Quantitative Approaches to Multidimensional Poverty Measurement (Ed.). PALGRAVE MACMILLAN, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, N.Y. 10010. 265 halaman. 31
Ledgerwood, J. 1999. Microfinance Handbook: An Institutional And Financial Perspective I. Maftuchan, A. 2013. Pembiayaan Pembangunan Pasca-2015: Memperbanyak Sumber, Melipatgandakan Alokasi, dan Mendemokratiska Pengelolaan, Indonesia dan Perjalanan Menuju MDGs: Agenda Ke Depan, Jurnal Analisis Ekonomi, Vol 18 No 1 Agustus 2013, Bandung Rosegrant, Mark W., C. Ringler, T. Benson, X. Diao, D. Resnick, J. Thurlow, and M. Torero. 2006. Agriculture and achieving the Millennium Development Goals. International Food Policy Research Institute (FPRI), Washington, D.C. Report No. 32729-GLB. Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil Dalam era Persaingan Pasar Global. Makalah utama yang disampaikan pada Seminar Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani" yang diselenggarakan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian pada Tanggal 14 Oktober 2009 di Bogor. Tangka, Mike Verawati. 2013. Pencapaian MDGs di Indonesia Hingga Tahun 2013. Jurnal Analisis Sosial 18(1):1-17: Indonesia dan Perjalanan Meraih MDGs: Agenda ke Depan Thirtle, C., L. Beyers, L. Lin, V. McKenzie-Hill, X. Irz, S. Wiggins, and J. Piesse. 2002. The Impact of Changes in Agricultural Productivity on the Incidence of Poverty in Developing Countries. Report to Department for International Development (DfID) no. 7946. London & East Kilbride, UK. Thurlow, J. 2004. "Growth and Market Opportunities in Zambian Agriculture." International Food Policy Research Institute, Washington, DC. Thurlow, J., and P. Wobst. 2004. "The Road to Pro-Poor Growth in Zambia: Past Lessons and Future Challenges." Forthcoming Development Strategies and Governance Division Discussion Paper, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Input paper into the World Bank project "Operationalizing Pro-Poor Growth," Washington, D.C. Van Blarcom, B., O. Knudsen, and J. Nash. 1993. "The Role of Public Expenditures for Agriculture." World Bank Discussion Paper # 216. The World Bank, Washington, DC. Van De Walle, D. 1996. Infrastructure and Poverty in Viet Nam. Washington, DC: The World Bank. Yaron, J., P. B. Mc Donald, Jr., et al. 1997. Rural Finance: Issues, Design, and Best Practices. The World Bank. Washington, D.C. Zhang, X., and S. Fan. 2000. "Public Investment and Regional Inequality in Rural China." Discussion Paper No. 71, Environment and Production Technology Division, International Food Policy Research Institute, Washington, DC.
32