IDENTIFIKASI TITIK KRITIS TRACEABILITY MENGGUNAKAN METODE PENDEKATAN Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) PADA INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BREADED DI PT Y
MOLLY HESAMESTYNA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN MOLLY HESAMESTYNA. Identifikasi Titik Kritis Traceability Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality Analysis (FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan AGOES M. JACOEB. Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menggunakan metode FMECA untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi udang breaded di PT Y. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pemahaman terhadap proses produksi (serta proses traceability di perusahaan), pembuatan outline (skema) proses produksi dan analisis data. Tahapan penelitian pembuatan skema proses adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan serta mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan, dan metode pelabelan yang digunakan). Analisis data dilakukan berdasarkan Sistem Pakar dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu: Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes and Effects Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu: Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis) dan Analisis efek (efek lokal dan global). Sedangkan analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA) dilakukan melalui empat tahapan: Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S), Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P), Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan metode RPN dan Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix). Hasil FMECA yang dilakukan pada manajemen sistem traceability diperusahaan maka diperoleh bahwa PT Y memiliki 10 titik kegagalan yaitu pada failure ID 1.10; 1.20; 1.30; 9.10; 16.10; 17.10; 19.10; 19.20; 25.10; 25.20. Penyebab-penyebab kegagalan adalah tidak ada pencatatan Surat perjanjian jual beli udang (1.10); tidak ada Nota pembelian produk (1.20); Tidak ada pencatatan Nota timbang produk saat di tambak/ tiba diperusahaan (1.30); Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan(9.10; 16.10; 17.10); Tidak diberikannya label (19.10); Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded (19.20); Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC (25.10); dan Misslabelling (25.20). Setelah diketahui kemungkinan-kemungkinan titik kegagalan traceability dalam perusahaan maka peneliti mengajukan proposal perbaikan struktural manajemen taceability dalam perusahaan. Proposal ini bertujuan menurunkan level/ area kritis dari masing-masing failure ID tersebut sehingga mencapai keefektifan dan keefisienan sistem manajemen internal traceability perusahaan.
IDENTIFIKASI TITIK KRITIS TRACEABILITY DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN FMECA (Failure Modes Effects and Criticality Analysis ) PADA INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG DI PT Y
MOLLY HESAMESTYNA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Titik Kritis Traceability Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality Analysis (FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Molly Hesamestyna
Judul
: Identifikasi Titik Kritis Traceability dengan Menggunakan Pendekatan FMECA (Failure Modes Effects and Criticality Analysis pada Industri Pengolahan Udang di PT Y
Nama
: Molly Hesamestyna
NRP
: C34061993
Menyetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc NIP. 19611101 198703 1 002
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol NIP. 19591127 1986010 1 005
Mengetahui Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Ir. Sanga P. Simanjuntak dan Dra. Herly Manurung. Penulis menempuh pendidikan di TK Agape Doulos, Jakarta pada tahun 1993-1994. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SD Katholik Nusa Melati, Jakarta Timur selama enam tahun pada tahun 19942000. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Jakarta pada tahun 2000-2003 serta melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 64 Jakarta pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Strata 1 (S1) program studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB serta asisten mata kuliah Avertebrata Air pada periode 2008/2009 dan periode 2009/2010. Penulis menyusun tugas akhir dengan judul Identifikasi Titik Kritis Traceability dengan Menggunakan Pendekatan FMECA (Failure Modes Effects and Criticality Analysis pada Industri Pengolahan Udang di PT Y di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Pelaksanaan skripsi ini bertempat di PT Y. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS (Alm) selaku dosen pembimbing sekaligus dosen Pembimbing Akademik, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol selaku dosen pembimbing kedua dan Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Ir. Dadi R.Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pengarahan dalam skripsi ini. 5. Kedua orangtuaku tercinta serta seluruh keluargaku yang senantiasa memberikan doa, semangat dan dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Bogor. 6. Pimpinan PT Adijaya Guna Satwatama, Cirebon, Jawa Barat yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan penelitian. 7. Ibu Yeni selaku pembimbing di lapangan, yang telah banyak membantu dan memberikan informasi, bimbingan dan pengarahan saat di lapangan. 8. Bapak Budi dan Bapak Fuad Sulaiman, atas segala bimbingan kepada penulis saat melaksanakan skripsi di lapangan. 9. Mba Rika, mba Ruri, mba Naoki atas bantuannya selama penulis berada di lapangan.
iv
10. Seluruh karyawan harian dan borongan serta seluruh staff yang telah membantu dan memberikan semangat saat di lapangan. 11. K‟eka dan teman-teman di Perwira 43, terimakasih atas bantuannya selama ini. 12. Teman-teman KPS‟43 PMK, terimakasih atas kebersamaanya selalu. 13. Teman-teman seperjuanganku Holland, Cikui, Arin, Tika, Hilda, Septin dan Idmar yang yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian. 14. Uuk, K‟era, Cece, Anggi, Ratna, Ratih, Achi, serta semua teman-temanku di THP‟43, 44, dan 45 yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian. 15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya. Terima kasih.
Bogor, Juli 2011
Molly Hesamestyna
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi 1 PENDAHULUAN...............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................3 2.1 Udang ........................................................................................................... 3 2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi udang ....................................................... 3 2.1.2 Komposisi kimia udang ................................................................... 5 2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang ................................................................ 5 2.3 Mutu dan Keamanan Pangan ........................................................................ 7 2.3.1 Mutu Pangan .................................................................................... 7 2.3.2 Keamanan pangan ............................................................................ 8 2.4 Traceability (Mampu Telusur) ................................................................... 10 2.5 Dokumentasi dan Perekaman ..................................................................... 13 2.6 Metode FMECA ......................................................................................... 16 3 METODOLOGI ...............................................................................................19 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 19 3.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................... 19 3.3 Tata Laksana Penelitian.............................................................................. 20 3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi ........................................... 20 3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi.................................. 20 3.3.3 Analisis data ................................................................................... 20 3.4 Tehnik Pengumpulan Data ......................................................................... 22 3.5 Pakar ........................................................................................................... 23 4 PEMBAHASAN ...............................................................................................25 4.1 Keadaan Umum Perusahaan ....................................................................... 25 4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan ........................................ 25 4.1.2 Struktur organisasi perusahaan ...................................................... 26 4.1.3 Fasilitas produksi ........................................................................... 27
vi
4.2 Proses Produksi dan Dokumentasi ............................................................. 30 4.2.1 Pengadaan bahan baku ................................................................... 30 4.2.2 Penerimaan bahan baku ................................................................. 31 4.2.3 Pencucian 1 .................................................................................... 32 4.2.4 Potong kepala ................................................................................. 33 4.2.5 Pencucian II ................................................................................... 34 4.2.6 Sortasi ukuran ................................................................................ 34 4.2.7 Sortasi final .................................................................................... 35 4.2.8 Pencucian III .................................................................................. 35 4.2.9 Kupas (peeled) ............................................................................... 35 4.2.10 Pembuangan usus ......................................................................... 36 4.2.11 Pencucian dan penimbangan ........................................................ 36 4.2.12 Gores perut ................................................................................... 37 4.2.13 Stretching ..................................................................................... 37 4.2.14 Pencucian IV ................................................................................ 37 4.2.15 Soaking ....................................................................................... 38 4.2.16 Pre-dust ........................................................................................ 38 4.2.17 Batter dan bread crumb ............................................................... 38 4.2.18 Penyusunan tray ........................................................................... 39 4.2.19 Penimbangan ................................................................................ 39 4.2.20 Pemeriksaan akhir ........................................................................ 39 4.2.21 Pembekuan ................................................................................... 40 4.2.23 Pengemasan ke dalam polybag .................................................... 40 4.2.24 Pendeteksian logam ..................................................................... 40 4.2.25 Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC) ............................. 42 4.2.26 Penyimpanan dalam ruang pendinginan (Cold Storage/ CS) ...... 42 4.2.27 Stuffing dan distribusi .................................................................. 42 4.3 Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA) ....................... 48 4.4 Analisis FMEA ........................................................................................... 51 4.4.1 Pengangkutan bahan baku.............................................................. 53 4.4.2 Penerimaan bahan baku ................................................................. 53 4.4.3 Pencucian ....................................................................................... 54 4.4.4 Potong Kepala (PK) ....................................................................... 55 4.4.5 Pencucian II ................................................................................... 55 4.4.6 Sortasi size ..................................................................................... 55 4.4.7 Sortasi final .................................................................................... 56 4.4.8 Pencucian III .................................................................................. 56 4.4.9 Kupas ............................................................................................. 56 4.4.10 Pembuangan usus ......................................................................... 56 4.4.13 Stretching ..................................................................................... 57 4.4.14 Pencucian IV ................................................................................ 58 4.4.15 Soaking ......................................................................................... 58 4.4.16 Pemberian pre-dust ...................................................................... 58 4.4.17 Pemberian batter dan breadcrumb............................................... 59 4.4.18 Penyusunan tray ........................................................................... 59 4.4.19 Penimbangan ................................................................................ 59 vii
4.4.20 Pemeriksaan akhir ........................................................................ 59 4.4.21 Pembekuan ................................................................................... 60 4.4.22 Pemeriksaan filth.......................................................................... 60 4.4.23 Pengemasan primer ...................................................................... 60 4.4.24 Pendeteksian logam ..................................................................... 61 4.4.25 Pengemasan sekunder .................................................................. 61 4.4.26 Penyimpanan dalam Cold Storage (CS) ...................................... 61 4.4.27 Stuffing dan distribusi .................................................................. 62 4.5. Analisis CA .............................................................................................. 62 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................76 5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 76 5.2 Saran ........................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................77
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia ..................................................5 Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah ......................................................6 Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD-1629A ............................................................................................. 23 Tabel 4 Daftar pemasok udang (Supplier) perusahaan .........................................33 Tabel 5 Kode jam/ waktu produksi ......................................................................42 Tabel 6 Outline dokumen perekaman perusahaan .................................................44 Tabel 7 Sortasi ukuran SF pada udang Black Tiger (Penaeus monodon) ..............48 Tabel 8 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) ........................64 Tabel 9 Tingkat kepelikan (severity classification) ...............................................64 Tabel 10 Deteksi terjadinya kegagalan (detection) ................................................65 Tabel 11 Analisis FMECA dari kedua pakar .........................................................67 Tabel 12 Proposal pengajuan perbaikan struktural bagi perusahaan .....................75
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1 Identifikasi udang secara umum.............................................................3 Gambar 2 Matriks analisis kritikal............................. ...........................................24 Gambar 3 Tagging pada proses penerimaan bahan baku............... .......................31 Gambar 4 Tagging pada tahap potong kepala................ .......................................34 Gambar 5 Tagging pada tahap sortasi ukuran................ .......................................35 Gambar 6 Pelabelan pada kemasan primer (polybag).................. ........................41 Gambar 7 Pelabelan pada kemasan sekunder................................... ....................42 Gambar 8 Kisaran RPN pada masing-masing titik kegagalan traceability .........65 Gambar 9 Hasil analisis CA pada matriks kritikal............................ ....................69 Gambar 10 Hasil analisis CA: perbaikan struktural pada sistem tracaebility ......66
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1. Manajemen TC dalam proses produksi breaded ..............................82 Lampiran 2. Analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) .......................83 Lampiran 3. Analisis FMECA oleh Pakar 1 (perusahaan)....................................90 Lampiran 4. Analisis FMECA oleh Pakar 2 (akademik) ......................................93 Lampiran 5. Struktur organisasi PT Y ..................................................................96
xi
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas penting dalam perikanan Indonesia (KKP 2010). Selain itu, udang memiliki kandungan lemak yang rendah dan kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Negara tujuan utama ekspor produk udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008). Ekspor udang Indonesia ke luar negeri mengalami kendala yang diakibatkan masalah berkaitan dengan keamanan pangan. Keamanan pangan menjadi sangat penting saat ini bagi masyarakat internasional mengingat pangan dapat menjadi transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari suatu negara ke negara lain. Mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Saat ini, masyarakat Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan. Pada kasus tahun 2008, masih ditemukan 3 notifikasi pada produk udang beku (frozen shrimps) yang berasal dari Indonesia (RASFF 2009). Pada saat ditemukannya notifikasi ALERT pada suatu produk maka akan dilakukan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin. Saat dilakukannya penarikan ulang terhadap produk, maka perusahaan memerlukan traceability untuk dapat menelusuri bahan baku produk. Traceability dibutuhkan oleh produsen/ perusahaan, sehingga jika suatu permasalahan berkembang selama proses produksi maka produsen dapat menarik kembali hanya batch yang terkena masalah dan bukan keseluruhan produk yang diproduksi bersamaan pada saat itu. Hal ini menjadi penting bagi produsen untuk membuat surat izin agar dilakukan penghentian proses produksi pada bagian lot yang bersangkutan sehingga mencegah produk yang berasal dari lot yang sama tersebut selesai di produksi (Martinez et al. 2005). Sistem Mampu Telusur (traceability) merupakan salah satu tahapan dalam pelaksanaan persyaratan standar ISO 22000:2005. Acu silang antara HACCP dan ISO 22000:2005 menunjukkan bahwa dibutuhkannya tahapan dokumentasi dan
2
perekaman (record keeping). Pada saat terjadi penarikan produk dari pasar (recall product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok langsung, proses produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk (traceability system) membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal internal audit dan laporan internal audit) (Thaheer 2005). Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan bagi perusahaan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).
1.2 Tujuan Tujuan
dilakukannya
penelitian
ini
adalah
menganalisis
dan
mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dengan menggunakan metode FMECA dalam proses produksi udang breaded di PT Y.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi tinggi (Purwaningsih 1995). Udang merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas perikanan di Indonesia (KKP 2010). 2.1.1. Deskripsi dan klasifikasi udang Udang diklasifikasikan ke dalam filum Crustacea dan genus Penaeus. Setiap udang kemudian dibagi-bagi kembali atas suku, marga dan jenis yang berbeda-beda. Udang juga dibedakan menurut tempat hidupnya yaitu udang laut dan udang darat (Purwaningsih 1995). Klasifikasi udang menurut Bailey-Brock dan Shaun (1992): Filum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Sub-kelas
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Sub-Ordo
: Natantia
Famili
: Penaeidae
Genus
: Penaeus
Gambar 1 Morfologi udang secara umum (Sumber : King 2007 dalam Gillett 2008) Ordo Decapoda memiliki 3 pasang apendik pada thorax pertama, sepasang maxiliped yang termodifikasi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, serta
4
5 pasang apendik yang berfungsi sebagai kaki jalan (pereipod), sehingga dinamakan Decapoda bearati “10 kaki”. Abdomen udang terdiri dari 6 ruas dan memiliki 5 pasang kaki yang berfungsi sebagai kaki renang (pleopods), sepasang uropod yang berfungsi untuk mendayung udang saat berenang serta memiliki telson (Bailey-Brock dan Shaun 1992). Penyatuan bagian kepala dengan beberapa ruas thorax/ ruas abdomen pada Crustacea dinamakan cephalothorax. Seluruh abdomen udang tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan kitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan sehingga memudahkan udang bergerak. Bagian kepala-dada tertutup oleh sebuah kelopak yang dinamakan kelopak kepala atau cangkang kepala (carapaceae). Pada bagian anterior cephalothorax terdapat cucuk kepala (rostrum) yaitu berupa “gigi” yang meruncing dan pinggirnya bergerigi (Suyanto dan Ahmad 2004). Udang merupakan hewan nokturnal yaitu sifat binatang yang aktif mencari makan pada waktu malam. Pada waktu siang mereka lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri di dalam lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam dalam air (Suyanto dan Ahmad 2004). Udang merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas perikanan di Indonesia (KKP 2010). Tiga pangsa pasar utama ekspor produk udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008). Data ekspor perikanan Indonesia yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa terdapat 665.274 ton atau 4.628.729.000 dolar AS udang dikirim ke berbagai negara di Uni Eropa, AS dan Jepang (KKP 2010). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekspor udang Indonesia mengalami naik turun selama tahun 2005 hingga 2009. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa negara penghasil devisa terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat yaitu 2.080.839.000 US$. Data produksi udang di Indonesia dari tahun 2005 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia Negara tujuan Jepang Tahun Volume (Ton)
Amerika Serikat Nilai (US$
Volume (Ton)
1.000)
Nilai (US$ 1.000)
Uni Eropa Volume (Ton)
Nilai
Total
(US$ 1.000)
2005
46.051
373.534
50.698
327.819
27.179
159.292
984.573
2006
50.581
420.252
61.235
418.556
35.232
196.430
1.182.286
2007
40.334
334.982
60.399
420.720
28.845
178.195
1.063.475
2008
39.582
337.681
80.479
550.773
26.825
177.855
1.213.195
2009
35.875
264.861
62.173
362.971
19.786
104.808
850.474
Total
212.423
1.731.310
314.984
2.080.839
137.867
816.580
Sumber: KKP (2010)
2.1.2 Komposisi kimia udang Meningkatnya permintaan udang tidak terlepas dari mutu udang yaitu sebagai bahan pangan yang bergizi. Udang memiliki kandungan lemak yang rendah dan kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Udang seperti crustrasea pada umumnya mengandung asthaxantin, yaitu suatu jenis karotenoid yang berwarna merah muda atau merah. Warna kebiruan pada udang segar dihasilkan dari ikatan asthaxantin dengan protein. Jika terkena panas maka ikatan protein dengan asthaxanthin akan terputus sehingga menghasilkan warna merah kekuningan yang khas dari karotenoid bebas. Komposisi kimia daging udang dapat dilihat pada Tabel 2.
2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang Syarat bahan baku udang segar yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk harus memenuhi SNI 01-2728.2-2006. Bahan baku udang segar adalah semua jenis udang hasil perikanan yang baru ditangkap/ dipanen dan belum mengalami penanganan dan pengolahan. Mutu bahan baku yang harus dipenuhi adalah bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (BSN 2006).
6
Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah Bahan gizi
Satuan
Kandungan gizi per 100 gram udang 75,86 106 444 20,31 1,73 1,20
Air g Energi kkal Energi kj Protein g Total lipid (fat) g Abu g Karbohidrat (by g 0,91 difference ) Serat (total dietary ) g 0,0 Gula g 0,00 Mineral Kalsium (Ca ) mg 52 Besi (Fe ) mg 2,41 Magnesium (Mg ) mg 37 Fosfor (P) mg 205 Kalium (K) mg 185 Natrium (Na) mg 148 Seng (Zn) mg 1,11 Tembaga (Cu ) mg 0,264 Mangan (Mn ) mg 0,050 Selenium (Se ) mcg 38,0 Vitamin Vitamin C (total mg 2,0 ascorbic acid) Thiamin mg 0,028 Riboflavin mg Catatan: nilai dan berat gizi yang digunakan untuk edible portion (spesies udang campuran) Sumber: Anonima (2010) Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut (BSN 2006): -
Kenampakan
: bening, cemerlang, antar ruas kokoh
-
Bau
: segar
-
Tekstur
: elastis, padat dan kompak.
Penurunan mutu pada udang terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidasi. Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur dan rupa yang berubah (Purwaningsih 1995). Penurunan mutu secara autolisis adalah proses penurunan yang terjadi karena kegiatan enzim yang sudah secara alami sudah ada di dalam
7
tubuh udang. Enzim secara alami terdapat pada ikan hidup yaitu di dalam sistem pencernaan dan dalam daging. Kegiatan enzim pada ikan hidup dapat diatur oleh badan ikan dan kegiatannya menguntungkan bagi ikan. Saat ikan mati, enzimenzim tersebut masih tetap aktif dan enzim proteolitis yang semula menguraikan bahan makanan yang masuk ke dalam perut ikan karena sudah tidak ada lagi makanan yang masuk lalu enzim tersebut akan menguraikan jaringan disekitarnya. Proses ini disebut autolisa, yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan itu mati (Moeljanto 1992). Proses ini ditandai dengan perubahan rasa, warna, tekstur dan rupa ikan (Purwaningsih 1995). Penurunanan mutu secara bakteriologis adalah proses penurunan mutu yang disebabkan kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir, permukaan tubuh, insang, dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini mengakibatkan daging udang terurai dan menimbulkan bau busuk (Purwaningsih 1995). Pencegahan atau usaha untuk menghentikan penurunan mutu ikan secara bakteriologis adalah pendinginan atau pembekuan ikan. Untuk mengurangi bakteri di dalam insang dapat dilakukan dengan mencuci atau membuang insangnya, lalu mencucinya dengan menggunakan air bersih. Pengurangan bakteri dari dalam rongga perut dilakukan dengan membuang semua isi perut dan mencucinya bersih-bersih (Moeljanto 1992). Pencegahan terhadap terjadinya penurunan mutu secara oksidasi biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Penurunan mutu ini terjadi karena lemak udang dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga akhirnya menimbulkan bau dan rasa yang tengik (Purwaningsih 1995).
2.3 Mutu dan Keamanan Pangan 2.3.1 Mutu Pangan Pemahaman perusahaan terhadap mutu sangat penting untuk memenuhi persyaratan mutu yang diminta oleh konsumen. J.M. Juran mendefinisikan mutu sebagai “fitness for use” (cocok atau layak untuk digunakan). Fitness for use juga memiliki arti yaitu suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan
(Muhandri
dan
Darwin
2008).
ISO
9000:2000
8
mendefinisikan mutu (quality) adalah derajat yang dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan. Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996, pengertian mutu pangan berkaitan dengan keamanan pangan yaitu nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Sedangkan pada literatur lain, mutu adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, dan bukan pula oleh pemasaran atau manajemen. Mutu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. Pengukuran terhadap mutu dilakukan dengan menentukan dan mengevaluasi hingga derajat atau tingkat suatu produk atau jasa mendekati keseluruhan gabungan ini (Feigenbaum 1983). Pada industri pangan, mutu ditentukan oleh berbagai karakteristik yang terus
berkembang mengikuti
kebutuhan konsumen
yang semakin luas
spektrumnya. Salah satu karakteristik mutu yang menjadi isu dalam nasional dan internasional adalah karakteristik keamanan pangan (food safety). Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi suatu masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan (Muhandri dan Darwin 2008). Terdapat beberapa jenis bahaya dalam bisnis pangan yang dapat mempengaruhi secara negatif atau membahayakan konsumen, yaitu bahaya biologis, kimia, dan bahaya fisik (Winarno dan Surono 2004). Karakteristik keamanan ini dirasakan banyak menghambat ekspor produk pangan negara-negara dunia ketiga ke negara maju, misalnya Amerika serikat, Eropa, dan Jepang karena persyaratan yang diberlakukan secara ketat. Apabila produsen ingin mendapatkan pasar ke negara-negara tersebut, maka karakteristik ini harus ditangani secara intensif (Muhandri dan Darwin 2008). 2.3.2 Keamanan pangan Mutu dan keamanan pangan ikan menjadi salah satu aspek penting saat mengekspor produk perikanan Indonesia. Definisi keamanan pangan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996 tentang Pangan hampir senada dengan definisi FAO/WHO yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
9
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pada literatur lain, yaitu Regulation (EC) No. 178/2002 (2002), definisi keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama proses produksi, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi kepada konsumen. Setiap tahapan tersebut harus diperhatikan dengan baik mengingat setiap tahapan tersebut dapat memiliki bahaya potensial terhadap keamanan pangan. Keamanan pangan menjadi sangat penting juga karena pangan dapat menjadi transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari suatu negara ke negara lain. Masyarakat internasional memperhatikan keamanan pangan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan pada pangan yang dijualnya, maka akan lebih banyak terjadi kasus penahanan dari negara importir (Hariyadi 2007). Keamanan pangan juga menjadi aspek penting bagi masyarakat Eropa. Negara-negara Eropa memiliki ketentuan yang bersifat mandatory yang harus dipenuhi oleh semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa (RASFF 2009). Masyarakat Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan. Sistem tersebut menyediakan peralatan efektif sehingga dapat saling bertukar informasi dalam menjawab resiko serius pada pangan atau pakan (Regulation (EC) No. 178/2002). Sistem tersebut menyediakan lembaga yang berwenang dalam pertukaran informasi pada masing-masing negara meliputi Komunitas Eropa (Europa Commision/ UE), EFTA (European Free Trade Assocation), EFSA (European Food Safety Authority) serta negara lainnya yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Iceland, Ireland, Italy, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands dan Norway. Dasar hukum RASFF adalah Regulasi (EC) No. 178/2002 dengan pemberlakuan bersifat
10
mandatory bagi semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa. RASFF disepakati dengan menerapkan dua macam notifikasi yaitu notifikasi ALERT dan notifikasi INFORMASI. Notifikasi ALERT adalah notifikasi yang bertalian dengan produk yang ada di pasar kawasan Eropa, yang beresiko serius bagi pengguna. Notifikasi INFORMASI adalah notifikasi yang berhubungan pada produk yang beresiko bagi pengguna, namun diasumsikan tidak beredar di pasar Eropa (misalnya tertahan di perbatasan, produk terlanjur kadaluarsa, ada periode waktu lama antara penemuannya dengan notifikasi). Notifikasi
ALERT
mengharuskan
langkah
penahanan,
pelepasan,
atau
pengendalian sesegera mungkin. Sedangkan notifikasi INFORMASI tidak mengharuskan adanya langkah aksi secara cepat (RASFF 2009). Pada keseluruhan kasus notifikasi pada tahun 2000 keatas untuk kategori produk: Crustacea dan produk turunan Crustacea (Crustaceans and products thereof) terdapat 87 notifikasi. Pada tahun 2008, terdapat 3 notifikasi yang disebabkan oleh kondisi higiene yang buruk serta bahaya kimia (kloramfenikol dan merkuri).
2.4 Traceability (Mampu Telusur) Pengertian traceability berdasarkan Derrick dan Dillon (2004) adalah kemampuan untuk menelusuri, mengikuti, dan mengidentifikasi unit/ batch produk “dengan unik” pada keseluruhan tahapan produksi, proses, dan distribusi. Menurut ISO 22005 (2007), sistem traceability merupakan alat yang berfungsi membantu suatu organisasi beroperasi dalam suatu rantai pasok pangan atau pakan untuk mencapai sasaran hasil yang didefinisikan dalam sistem manajemen. Traceability adalah kemampuan untuk dapat mengikuti pergerakan pangan atau pakan pada setiap tahapan produksi, pengolahan, dan distribusi. Pergerakan pangan atau pakan tersebut juga termasuk asal bahan baku, riwayat selama pengolahan atau distribusi serta pada keseluruhan bagian produksi dan rantai proses produksi. Perusahaan harus melakukan perekaman terhadap pelaksanaan traceability dan dokumen perekaman traceability tersebut harus tetap disimpan. Peraturan Uni Eropa No.178/ 2002 pada pasal 3 menyatakan bahwa traceability adalah kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti riwayat dari
11
pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan (food-producing animal), dan bahan tambahan yang akan dicampur ke dalam pangan/pakan pada keseluruhan tahapan proses produksi, pengolahan dan distribusi. Keseluruhan tahapan tersebut yaitu mulai pada saat produksi awal (dari kolam, tambak/ laut), proses produksi di pabrik, penyimpanan, distribusi penjualan hingga saat mencapai konsumen akhir (yaitu orang-orang yang tidak menggunkana pangan tersebut sebagai bagian dri operasi/ aktivitas dalam bisnis pangan/pakan) (Regulation (EC) No. 178/2002). CAC (2010) juga menyampaikan definisi traceability seperti pada UE No.178/ 2002, yaitu kemampuan untuk mengikuti pergerakan pangan secara spesifik pada masing-masing tahapan produksi, pengolahan dan distribusi. Moe (1998), traceability merupakan salah satu subsistem penting dalam manajemen mutu. Pengembangan sistem internal traceability digunakan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan data, kontrol sistem (plant control) dan jaminan mutu produk. Traceability menyediakan informasi sejarah produk yang menghubungkan antara bagian hulu (upstream) pada rantai pasok perusahaan (seperti pada saat proses pemesanan bahan baku) ke bagian hilir (downstream) (seperti proses pengiriman sesuai dengan karakter masing-masing produk), sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk tujuan pelaporan bagi kedua belah pihak ataupun bagi pihak ketiga (Regattieri et al. 2007). Kemampuan sistem traceability dalam menelusuri produk yaitu mencakup tracable dan trackable. Trackable (tracing) yaitu kemampuan sistem dapat mengikuti jejak produk dalam rantai produksi pangan mulai dari pemasok hingga mencapai konsumen/ke bagian hilir (downstream). Tracking menjadi salah satu faktor kritis efisiensi penarikan produk dari pasaran. Tracing merupakan kemampuan suatu sistem dalam mengidentifikasi asal dan karakteristik suatu bahan baku (tracing back)/ ke bagian hulu (upstream) (Dupuy et al. 2005). Sistem mampu telusur terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) Mampu telusur terhadap pemasok (supplier traceability) yaitu untuk menjamin bahwa asal bahan baku (ingredient) dapat diidentifikasi dari rekaman (record) dan dokumentasi; 2) Mampu telusur terhadap rantai proses (process traceability) yaitu untuk menjamin bahwa semua bahan-bahan (ingredient), rekaman proses dari suatu pabrik dapat
12
diidentifikasi; 3) Mampu telusur terhadap pelanggan (customer traceability) yaitu untuk menjamin bahwa pelanggan dari semua produk yang disuplai dapat diidentifikasi (Wiryanti 2009). Moe (1998), sistem yang bagus dalam pengawasan kualitas dan traceability dalam proses produksi dapat menghasilkan beberapa keuntungan kompetitif bagi perusahaan, yaitu: a)
Meningkatkan pengawasan terhadap proses, melalui petunjuk sebabakibat (cause-and-effect) sehingga dapat diketahui produk yang tidak memenuhi standart perusahaan;
b) Menghubungkan secara langsung antara produk akhir dan data bahan baku, sehingga secara spesifik dapat meningkatkan proses produksi dan memberikan jaminan penggunaan bahan baku untuk menghasilkan produk akhir; c)
Mencegah pencampuran bahan baku yang berkualitas baik dengan bahan baku yang berkualitas rendah sehingga menghasilkan campuran (mixed) produk yang tidak menguntungkan bagi perusahaan;
d) Proses audit mutu menjadi lebih mudah. Traceability berarti menyediakan informasi lebih bagi produsen/ perusahaan dalam menjamin mutu dan kemanan produk, serta adanya transparansi sistem perusahaan sehingga dapat membantu menemukan tahapan proses produksi yang bermasalah pada rantai produksi pangan (supply chain) yang kompleks. Traceability menjadikan pemerintah lokal setempat dapat mengidentifikasi produk yang memiliki bahaya bagi kesehatan konsumen serta penarikan produk (jika diperlukan) (Schroder 2008). Sistem perekaman (record keeping) yang merupakan salah satu dasar dari sistem Mampu Telusur (Traceability) sebenarnya telah ada dalam konsep Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP), yaitu pada prinsip keenam: penetapan sistem perekaman. Penerapan sistem HACCP ditekankan pada pelaksanaan Pre-requisite Program (PRP), analisis resiko bahaya (baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi) dan pengendalian titik kritis. Rekaman pada kegiatan pemantauan HACCP merupakan catatan dan dokumen untuk menjamin dan mengendalikan Titik Kendali Kritis (TKK)/
13
Critical Control Points (CCP) secara efektif sehingga produk tersebut aman dikonsumsi dan memenuhi batas keberterimaan (Thaheer 2005). Penerapan ISO memadukan Standar Internasional yaitu prinsip-prinsip sistem dan tahapan penerapan HACCP yang dikembangkan oleh Komisi bersama antara FAO dan WHO dalam Codex Alimentarius Commission (CAC) dengan sistem Mampu Telusur (Traceability). Pada saat terjadi penarikan produk dari pasar (recall product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok langsung, proses produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk (traceability system) ini membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal internal audit dan laporan internal audit). Selain itu, rekaman identifikasi lot ingredient bahan pengemas dan produk akhir dari hasil perekaman pelaksanaan HACCP juga dapat digunakan untuk membantu saat terjadi recall product. Rekaman produk harus dipelihara pada periode tertentu untuk asessmen sistem sehingga memudahkan penanganan produk yang potensial tidak aman dan jika terjadi kasus penarikan produk (Thaheer 2005).
2.5 Dokumentasi dan Perekaman Unsur dokumentasi
utama dan
pelaksanaan perekaman.
sistem Dokumen
traceability merupakan
adalah
melakukan
data-data
yang
terdokumentasi, misalnya pedoman mutu, Prosedur mutu, log book, spesifikasi, instruksi kerja, dan formulir. Rekaman merupakan hasil dari sesuatu yang didokumentasikan, misalnya formulir pemantauan/ pemeriksaan yang telah diisi dan disahkan. Selain itu juga dibutuhkan penyimpanan rekaman. Penyimpanan rekaman dilakukan setidaknya selama „self life‟ produk. Penyimpanan rekaman dibutuhkan untuk memudahkan penelusuran produk jika terjadi penyimpangan maupun memudahkan dalam menarik kembali (recall) produk di pasaran (Wiryanti 2009).
14
Proses dokumentasi dilakukan dengan mencatat “penanda khusus” atau berupa kode batch produk yang diproses pada tiap tahapan. Kode batch yang tertempel pada produk akan berbeda-beda pada tiap tahapan proses produksi dan tiap jenis produk (Derrick dan Dillon 2004). Kode batch dicantumkan pada keseluruhan
jenis
barang
(sehingga
mirip
seperti
label
pada
seluruh
barang/produk) di dalam perusahaan sebagai informasi keseluruhan tahapan dalam rantai pasok yaitu asal bahan baku, proses produksi, pengemasan dan penyimpanan produk (Regattieri et al. 2007). Menurut Derrick dan Dillon (2004), ada tiga jenis metode yang dapat digunakan dalam melakukan sistem pelabelan: 1). Metode pelabelan dengan menggunakan kertas (paper-based traceability) Sistem ini paling banyak digunakan pada keseluruhan industri, yakni pengkodean
dengan
menggunakan
kertas.
Langkah
awal
sebelum
menerapkan sistem ini adalah membuat “kode identifikasi batch” produk, sehingga QA dapat langsung mencatat tiap kode yang tertempel pada produk pada lembar dokumentasi tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon 2004). Keuntungan penggunaan metode ini adalah murah dan sangat sederhana sehingga lebih fleksibel digunakan pada tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). Metode ini membutuhkan ketelitian yang tinggi dari operator dalam penulisan kode dilakukan secara manual (Regattieri et al. 2007). Proses recall akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena kemungkinan disintegritas data sangat tinggi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). 2). Metode pelabelan dengan menggunakan bar-code/scanner (bar-code/scanner traceability) Sistem ini menggunakan barcodes dan scanner untuk membaca serta memasukkan
kode-kode
tersebut
ke
dalam
komputer.
Metode
ini
menggunakan manajemen data sehingga tidak memakan waktu lama saat memberi kode dan memiliki tingkat ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan paper based system (Regattieri et al. 2007). Penggunaan barcodes, scanner
dan komputer membuat kode batch pada tiap tahapan proses
tersebut dapat saling dihubungkan satu sama lain didalam basis data (Derrick
15
dan Dillon 2004). Proses scanning pada sistem ini masih menggunakan campur tangan manusia sehingga masih memungkinkan terjadinya kesalahan dan inefisiensi. Penyebab lain inefisiensi metode ini yaitu saat terjadinya kontak fisik pada label dan menyebabkan label rusak (“optical damage”) (Regattieri et al. 2007). 3). Metode pengkodean dengan menggunakan teknologi modern yaitu (radiofrequency identification/ RFID) Perkembangan selama beberapa dekade terakhir sudah diimplementasikan sistem informasi teknologi (information technology/ IT). Inovasi teknologi serta tehnik banyak dikembangkan dan digunakan untuk sektor perikanan, misalnya dalam sistem pelaporan, manajemen perusahaan serta manajemen mutu. Selain itu juga digunakan untuk mengatur dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan (Derrick dan Dillon 2004). Pusat dari penggunaan IT adalah penggunaan komputer di dalam perusahaan. Komunikasi IT dengan menggunakan intranet perusahaan akan memudahkan komunikasi informasi secara cepat. Penggunaan e-mail dan Worl Wide Web juga akan mempermudah dan lebih mempercepat pemindahan informasi antara suplier dan customer (Derrick dan Dillon 2004). Sistem RFID menggunakan frekuensi gelombang radio tertentu untuk membaca, dan atau memodifikasi data yang dimasukkan ke dalam elctronic circuit atau microchip yang biasanya dibungkus dengan plastik yang tidak mudah rusak sehingga membentuk “tag”. Sistem RFID terdiri dari tiga komponen yaitu transceiver yang berfungsi mengirimkan energi (dalam bentuk gelombang radio) melalui antena, kemudian bertemu dengan RFID tag, sehingga memancarkan sinyal radio yang ada didalam tag dan pada akhirnya diteruskan untuk menunjukkan informasi yang ada didalam tag. Transceiver dapat disatukan dengan berbagai macam peralatan mulai dari portal (doorways); hand held scanner misalnya yang digunakan dalam barcode scanner; atau peralatan lainnya (Derrick dan Dillon 2004). Implementasi RFID di dalam perusahaan akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Akan tetapi, penggunaan metode ini dapat mengurangi
16
kebutuhan tenaga kerja, waktu pengaplikasian kode yang cepat serta efisien (Regattieri et al. 2007).
2.6 Metode FMECA Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability di dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan perusahaan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008). FMECA
yang
bagus
menolong
seorang
analis
mengidentifikasi
kemungkinan titik kegagalan potensial, kegagalan yang umum yang terjadi serta penyebab (dan efek-efek yang ditimbulkan) dengan cara memberi skala prioritas pada titik-titik kegagalan yang berhasil diidentifikasi dan melakukan tindakan koreksi. Seorang analis menggunakan FMECA adalah mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan kegagalan tersebut sebelum tiba di pelanggan/ konsumen (Kwai-Sang et al. 2009). Bertolini et al. (2006), analisis titik kegagalan (failure mode) menyediakan informasi penting dalam: - Subsistem dan barang (produk) akhir sistem dalam susunan hierarki (analisis fungsional skema produksi)
17
- Berbagai kegagalan („failure’) atau „malfunctioning’ yang umum terjadi, serta daftar dan deskripsi seluruh titik kegagalan (failure mode) yang dianalisis berpotensi terjadi selama proses; - Peluang kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity) dan sampai sejauh mana masing-masing titik kegagalan tersebut dapat dideteksi; - Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA), yang mengklasifikasikan keseluruhan titik kegagalan tersebut berdasarkan kepentingannya. Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan visibility tool yang dapat dengan mudah dimengerti dan digunakan (Braglia 2000). Metode FMECA merupakan metode yang mudah dioperasikan serta alat yang efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk. Analisis dengan metode FMECA memiliki dua macam pendekatan utama yang dapat digunakan untuk dapat melakukan FMECA yaitu hardware approach dan functional apprach. Hardware appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin (senjata) dapat diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan (alur proses), gambaran secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach juga disebut bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan yang nantinya akan digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi. Functional approach umumnya digunakan ketika komponenkomponen mesin (senjata) tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke bawah (top-down approach). Functional approach digunakan untuk menganalisis akibat-akibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US Military Standard 1983). Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu: (i) Analisis awal, dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis), yaitu mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (cause of failures); (ii) Tahap kedua, dikenal sebagai CA (Criticality Analysis), untuk menilai resiko kegagalan, serta menentukan peluang kejadian dan tingkat kepelikan,
18
berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan (failure mode) yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Evaluasi terhadap titik kegagalan (failure mode) dapat dilakukan dengan menggunakan 2 pendekatan yang berbeda yaitu Criticality Number (CN) atau mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah hasil yang membahayakan dikarenakan subyektifitas hasil analisis (Carmignani 2009). Metode FMECA menggunakan sistem Pakar. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Penggunaan Pakar pada penelitian ini didasarkan pada penilaian orang yang dianggap ahli tentang traceability. Penilai tersebut didukung oleh keahlian, pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga penilaian yang diberikan tepat terhadap variabel keputusan yang dijadikan sebagai parameter (Eriyatno dan Fadjar 2007). Pada proses akuisisi pengetahuan maka penetapan sumber informasi atau responden, yaitu pakar atau ahli terkait, didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: (1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2) reputasi, kedudukan , dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan (3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Seorang pakar dalam menyelesaikan suatu persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu: efektif, efisien dan sadar akan keterbatasan. Metoda utama yang digunakan dalam menyerap pengetahuan dari seorang ahli adalah melalui wawancara secara langsung dan mendalam (in depth interview) (Eriyatno dan Fadjar 2007).
19
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perusahaan pengolahan udang breaded di PT Y pada bulan Agustus 2010 hingga September 2010.
3.2 Kerangka Pemikiran Sistem traceability dalam rantai pasok pangan menjadi semakin berkembang dan menjadi perhatian dalam industri pangan. Saat ini, produsen pangan mengembangkan dan mengadopsi sistem internal traceability untuk meningkatkan keamanan pangan, dimana traceability dapat menjadi subsistem yang penting dalam manajemen kualitas pangan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghadirkan pendekatan metodologi yang baru sehingga dapat melakukan analisis struktural yang sudah ada dalam perusahaan dengan mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan kegagalan traceability yang dapat terjadi dalam perusahaan dengan aplikasi Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Identifikasi titik kritis traceability dilakukan melalui pengamatan dan pengecekan terhadap: kode traceability (Traceability Code/ TC) dan dokumen perekaman. Traceability Code (TC) digunakan sehingga dapat membedakan setiap tahapan proses produksi di dalam perusahaan. Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan. Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan perusahaan sebagai acuan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability yang efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).
20
3.3 Tata Laksana Penelitian Tahapan penelitian dilakukan melalui tiga tahapan , yaitu: 3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi Hal dasar yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah memahami proses produksi di perusahaan. Pada tahapan ini juga dilakukan pemahaman terhadap proses traceability di perusahaan untuk mengetahui kegiatan di ruang produksi serta meminta penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas kepada pembimbing di lapangan dan pelaku proses produksi dalam hal ini adalah operator mesin. Peneliti juga melakukan pengamatan dan pengecekan terhadap kode traceability (Traceability Code/ TC), manajemen TC serta mengumpulkan dokumen perekaman. 3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi Tahap awal sebelum dibuatnya outline (skema) proses produksi adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan. Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan) dan metode pelabelan yang digunakan. Pengumpulan data selanjutnya akan digunakan
untuk
menentukan penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (causes of failures) (pada masing-masing tahapan proses) untuk digunakan pada tahapan analisis FMEA serta melakukan penilaian titik kritis dengan menggunakan acuan pada Tabel 3. 3.3.3 Analisis data Analisis data dilakukan berdasarkan sistem Pakar dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu: 1) Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes and Effects Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu: a) Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis) Pada tahapan ini dilakukan beberapa tahapan yaitu: - Menentukan function ID - Menentukan tahapan proses atau bisa disebut dengan function
21
- Menentukan titik-titik kegagalan traceability (failure mode) dan penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan tersebut (causes of failures) Penentuan failure mode dapat dilihat dari pengamatan secara langsung atau dari dokumen mengenai berapa kali/ intensitas terjadinya pada tahapan
tersebut.
Sedangkan
penyebab
terjadinya
kegagalan
diidentifikasi pada masing-masing tahapan proses (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Evaluasi failure mode pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Risk Probbality Number (RPN). b) Analisis efek (effects analysis) Analisis efek dibedakan menjadi dua macam yaitu: - Analisis efek lokal (local effect) Misalnya: salah satu penyebab terjadinya kegagalan (cause of failure) pada tahapan penerimaan bahan baku adalah kesalahan manusia/ pekerja (human error) maka efek lokal (local effect) yang terjadi adalah terjadinya kekeliruan atau kesalahan dalam pendokumentasian (recording error). - Analisis efek global (global effect) Misalnya: kehilangan informasi yaitu informasi pada perusahaan menjadi salah atau informasi produk menjadi kurang lengkap. 2) Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA) Analisis kritikal dilakukan melalui empat tahapan: a) Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S) b) Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P) c) Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan metode RPN (Bertolini et al. 2006; Bowles 2004; Carmignani 2009; KwaiSang et al. 2009). RPN = S x O x D d) Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix) Analisis kegagalan secara kualitatif menggunakan matriks kritikal (Criticality matrix) terhadap tingkat kepelikan (severity classification) dan peluang terjadinya (probability of occurence level) menggunakan pakar. Informasi dalam failure criticality dapat dirangkum secara efisien dalam
22
criticality matrix, dimana setiap kolom dihubungkan untuk menunjukkan tingkatan kepelikan (severity level) dan tiap baris menunjukkan peluang terjadinya (occurence level). Semakin ke kiri kolom tersebut, maka menujukkan bahwa peluang terjadinya titik-titik kegagalan tersebut semakin tinggi (begitu sebaliknya) dan jika semakin ke atas baris tersebut, maka menunjukkan bahwa tingkat kepelikan kegagalan tersebut adalah semakin tinggi (begitu juga sebaliknya) (Bertolini et al. 2006; US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983). Matriks analisis kritikal dapat dilihat pada Gambar 2. e) Menentukan tingkatan/ area kritis (Criticality level) Tahapan ini dilakukan untuk menentukan permasalahan tersebut berada pada salah satu tingkatan/ area kritis, yaitu: -
Unacceptable
-
Undesirable
-
Acceptable with revision
-
Acceptable without revision
Menentukan tingkat kepelikan dan peluang terjadinya kegagalan dilakukan berdasarkan pada MIL-STD-1629A yang dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil dari analisis menunjukkan perlu tidaknya tindakan koreksi dari perusahaan. Jika hasil dari analisis FMECA didapat bahwa tahapan tersebut berada pada area kritis (criticality level): unacceptable atau undesirable, maka sebaiknya dilakukan tindakan koreksi sehingga pada akhirnya diperoleh bahwa tahapan tersebut menjadi berada pada area kritis: acceptable with revision atau acceptable without revision. Tindakan koreksi yang dilakukan dapat berupa : - Adopsi prosedur baru untuk manajemen operasi atau - Sejumlah perbaikan struktural skema proses sehingga adanya modifikasi dari skema produksi yang sudah ada sebelumnya di perusahaan.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data pada penleitian ini dilakukan melalui dua sumber yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari unit produksi pengolahan udang breaded beku SF PT Y, hasil kuesioner pakar serta
23
wawancara langsung kepada QC produksi dan staf-staf produksi. Data sekunder diperoleh dari PT Y, Studi pustaka serta berbagai informasi dari berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan selama berlangsungnya pelaksanaan di PT Y. 3.5 Pakar Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Pakar (misalkan: dari pihak akademik, manajer produksi, keamanan produk dan manajer mutu) merupakan sejumlah orang yang pendapatnya dapat digunakan untuk
mengaplikasikan
metode FMECA berdasarkan sistem Pakar. Pada saat penelitian digunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik (dosen). Pakar dari pihak perusahaan terdiri dari QC yang berhubungan langsung pada saat proses produksi yaitu staf-staf QC dan staf-staf produksi. Eriyatno dan Fadjar (2007), penentuan pakar dari pihak perusahaan berdasarkan pengalaman pribadi pakar yang bekerja di dalam perusahaan sehingga dianggap mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Braglia (2000), pakar juga dapat ditentukan menurut pengalaman dari staf yang berkaitan dengan traceability di perusahaan.
Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL-STD-1629A Deskripsi Tingkat kepelikan I Catatstophic: tingkat kepelikan dimana menyebabkan kehilangan banyak informasi (total lost) II Critical: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan berat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. III Marginal: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan ringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. IV Minor: tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan). Peluang terjadinya A Frequent: peluang terjadinya tinggi B Reasonably common: peluang terjadinya moderat (sedang) C Occasional: peluang terjadinya jarang D Rare: sangat tak mungkin terjadi E Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol. Sumber: (US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983)
24
Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy (peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan)
Klasifikasi tingkat kepelikan
Klasifikasi tingkat kepelikan
A
B
C
D
E
I II III IV Acceptable Acceptable
Area kritis
Unacceptable Undesirable
with
Without
Revision
revision
Gambar 2 Matriks analisis kritikal
25
4 PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Perusahaan Lokasi PT Y terletak di Jalan Mundu Pesisir No. 33, Desa Mundu Pesisir, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki lokasi yang strategis karena berada di depan jalan raya dan tidak jauh dari kota sehingga memudahkan akses transportasi. Perusahaan juga dilengkapi dengan fasilitas air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan juga mendapatkan kemudahan dalam mencari sumber daya manusia atau tenaga kerja dari wilayah sekitar karena letaknya yang berada di sekitar pemukiman penduduk. Luas bangunan yang dimiliki PT Y yaitu sebesar 2500 m2 yang terdiri atas 5 bangunan yaitu bangunan utama, gudang produksi, tempat pengolahan limbah, bengkel dan mess karyawan. 4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan Salah satu anak cabang dari PT Japfa Comfeed Indonesia yang berpusat di Jakarta adalah PT Y. Perusahaan ini didirikan dengan akta notaris Teddy Anwar, SH No. 37 pada tanggal 4 Maret 1998 yang pada awalnya berkantor pusat di Wisma IWI, Jalan Perjuangan Jalur Lambat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan saat ini telah pindah di Jalan MT. Haryono kav. 16, Wisma Millenia lt. 8 Jakarta Selatan. Proses kegiatannya baru dimulai pada tanggal 26 Juli 1999. Latar belakang didirikannya perusahaan yaitu dengan melihat potensi kota Cirebon sebagai kota penghasil udang, selain itu perusahaan pengolahan pembekuan udang yang belum terlalu banyak sehingga memungkinkan untuk menjadikan peluang bisnis yang baik. Perusahaan ini bergerak di bidang pengolahan udang beku, misalnya udang mentah beku (Frozen Shrimp), udang masak beku (Frozen Cooked Shrimp) dan udang breaded beku (Frozen Breaded Shrimp), akan tetapi sejak tahun 2007 kegiatan ekspor udang mentah beku dihentikan dan dialihkan dalam bentuk produk olahan udang masak beku dan breaded yakni katei, tsummame, ebi katsu, dan ebi furai. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya permintaan dari konsumen di negara-negara pengekspor.
26
Perusahaan menyediakan kebutuhan ekspor maupun lokal. Saat ini negara tujuan ekspornya meliputi Jepang sebanyak 60% dari total produksi, USA sebanyak 20% dari total produksi dan negara-negara Uni Eropa sebanyak 20% dari total produksi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan perikanan di Cirebon yang bergerak di bidang pengolahan udang. Berdasarkan penilaian kelayakan dasar yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ini perusahaan tersebut telah memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dengan nilai kelayakan dasar A. Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) telah diterapkan di perusahaan, yaitu dalam melakukan proses produksi telah berpedoman pada manual HACCP (HACCP-Plan) dan diverifikasi secara internal maupun eksternal. Verifikasi internal dilakukan oleh tim HACCP perusahaan, sedangkan verifikasi eksternal dilakukan oleh pemerintah, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini PT Y dilengkapi dengan surat dan sertifikat antara lain : 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) No. SIUP 0033/10-23/PB/VII/2009. 2. Surat Pernyataan Halal No. 025c/Per./LPPOM MUI/II/2009. 3. Sertifikat Halal No. 00030023510103. 4. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 277/PP/SKP/PB/V/8/07 untuk jenis produk Frozen Shrimp. 5. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 276/PP/SKP/PB/IV/8/07untuk jenis produk Frozen Breaded Shrimp. 6. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 91/PP/SKP/PB/V/6/08 untuk jenis produk Frozen Cooked Shrimp. 7. Sertifikat Penghargaan Departemen Kelautan dan Perikanan atas penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan Konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai sistem jaminan mutu dalam pengolahan hasil perikanan. 4.1.2 Struktur organisasi perusahaan Struktur organisasi yang dimiliki perusahaan ini disusun sebagai pelimpahan wewenang, tugas dan tanggung jawab yang ada pada setiap tingkat pemimpin dari yang teratas sampai yang terbawah. Struktur organisasi tersebut
27
menggambarkan garis instruksi yang mengindikasikan bahwa organisasi tersebut dijalankan dengan pembagian tugas ataupun pemberian mandat yang jelas. Perusahaan dipimpin oleh seorang plant manager yang membawahi berbagai kepala bagian. Masing-masing kepala bagian mempunyai bawahan yang menjalankan tugas-tugasnya sampai kepada tingkat operasional.
Struktur
organisasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.1.3 Fasilitas produksi Perusahaan menyediakan fasilitas produksi baik bahan maupun peralatan untuk memperlancar jalannya proses produksi. Peralatan produksi yang digunakan oleh PT Y, antara lain: 1. Meja kerja Meja kerja merupakan meja yang digunakan untuk melakukan proses produksi udang. Meja kerja di ruang produksi berbeda-beda baik jenis maupun ukurannya. Hal ini disesuaikan menurut fungsi atau kegunaannya dalam proses produksi. Meja kerja terbuat dari bahan plastik, stainless steel dan fiber glass yang tahan karat dan mudah dibersihkan. PT Y memiliki 5 macam meja kerja, yaitu: - Meja dengan ukuran (236 x 170 x 82) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat pemotongan kepala; - Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk tempat melakukan sortasi yang meliputi ukuran, mutu dan warna; - Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat melakukan sortasi final yang meliputi ukuran, mutu dan warna; - Meja dengan ukuran (246 x 90 x 871) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk meja susun; - Meja dengan ukuran (106 x 62 x 76) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk meja pengemasan. 2. Bak penampungan Bak ini digunakan untuk menampung udang, es dan tutup long pan,terdiri dari 4 macam, yaitu:
28
- Bak plastik ukuran (90 x 35 x 42) cm3, digunakan untuk menyimpan tutup long pan; - Bak fiber ukuran (110 x 55 x 70) cm3, digunakan untuk menampung dan tempat mencuci udang pada saat pembongkaran; - Bak fiber dan stainless steel ukuran (90 x 50 x 70) cm3, digunakan untuk menampung es; - Bak fiber ukuran (360 x 60 x 75) cm3, digunakan untuk mencuci udang setelah dilakukan pemotongan kepala. 3. Keranjang plastik Keranjang ini digunakan untuk menampung udang ketika proses produksi. Selain tidak berkarat, keranjang ini juga ringan dan mudah untuk dibersihkandan terdiri dari 3 macam keranjang plastik, yaitu: - Keranjang ukuran (68 x 50 x 38) cm3, digunakan untuk mengangkut udang dari ruang penerimaan ke ruang pemotongan kepala; - Keranjang ukuran (32 x 34 x 10) cm3, digunakan pada tahapan sortasi; - Keranjang ukuran (38 x 30 x 14) cm3, digunakan untuk menampung kepala hasil pemotongan. 4. Timbangan Timbangan digunakan untuk mengetahui berat udang awal, berat udang setelah diproses, serta berat udang pada saat proses pengepakan. Timbangan yang digunakan dalam proses produksi adalah timbangan digital. Timbangan ini dikalibrasi setiap tahunnya serta pada saat proses produksi
berlangsung.
Perusahaan memiliki 4 macam timbangan, yaitu: - Timbangan besar berkapasitas 150 kg, digunakan untuk menimbang udang yang diterima dan setelah selesai pemotongan kepala; - Timbangan kecil berkapasitas 10 kg, digunakan untuk proses pengambilan contoh (sampling) di ruang penerimaan dan ruang produksi; - Timbangan kecil berkapasitas 3 kg dan 6 kg, digunakan untuk menimbang udang per pan. 5. Mesin pembeku (freezer) Mesin pembeku ini digunakan untuk membekukan produk udang dan terdiri atas:
29
- Satu unit Contact Plate Freezer (CPF), berkapasitas masing-masing 336 inner pan x 1,8 kg, dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -30 0
C sampai -40 0C dengan waktu pembekuan selama 150 menit.
- Satu unit Air Blast Freezer (ABF), berkapasitas 2500 kg per hari dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -30 0C sampai -40 0C dan waktu pembekuan selama 25-30 menit. Mesin pembeku ini terdiri dari 5 rak bertingkat, masing-masing rak memiliki kapasitas 1080 tray, sehingga dalam 5 rak mampu menampung 5400 tray. 6. Bahan pengemas Bahan pengemas yang digunakan PT Y terdiri dari 3 lapisan, yaitu: - Kemasan primer, terdiri dari plastik polyethylen dengan ukuran (48,5 cm x 45 cm). - Kemasan sekunder, terbuat dari karton yang dilapisi lilin pada kedua permukaannya, disebut juga inner carton dengan ukuran (28 x 19 x 6) cm3. - Kemasan tersier, disebut juga master carton yang dilapisi lilin pada bagian dalam dan mempunyai ukuran (39 x 30 x 20) cm3. 7. Ruang penyimpanan beku (cold storage) Ruang penyimpanan beku yang dimiliki oleh perusahaan ada 3 buah. Kapasitas tiap ruang penyimpanan adalah 11.770 master carton dengan suhu operasi -25 ˚C. 8. Peralatan lain - Lori atau kereta dorong, digunakan untuk mengangkat udang dari proses satu ke proses yang lainnya sehingga memudahkan jalannya produksi serta untuk mengangkut master carton yang berisi produk pada saat proses stuffing. - Mesin pengikat (strapping machine), digunakan untuk mengikat master carton dengan lakban dan strapping band. - Mesin vakum, digunakan untuk membuat kemasan plastik hampa udara sehingga plastik merekat pada udang. - Metal detector, digunakan untuk mendeteksi bahan asing dan logam pada produk. - Sekop, terbuat dari plastik untuk mengambil es keping. - Cukitan, digunakan untuk membuang usus pada udang.
30
- Fiber Boxes, merupakan wadah yang berbentuk persegi panjang dan terbuat dari bahan fiber. Fiber box ini digunakan untuk menyimpan es curai (flake ice) yang akan digunakan dalam proses produksi. - Tong penampung air, digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk mencuci alat-alat produksi. - Pallet, digunakan sebagai alas lantai yang diletakkan di lorong yang menuju pintu masuk ruang produksi sehingga keranjang tidak bersentuhan langsung dengan lantai.
4.2 Proses Produksi dan Dokumentasi Penerapan sistem traceability dalam perusahaan melalui dokumentasi dan perekaman. Dokumen (data-data yang terdokumentasikan) yang ada di dalam perusahaan berupa log book dan formulir dalam proses produksi. Rekaman yang dihasilkan dalam proses produksi adalah formulir pemantauan dalam tiap tahapan proses yang nantinya akan diperiksa oleh Staf QC. Proses dokumentasi dilakukan dengan mencatat identitas bahan baku yang dicatat pada etiket berupa keterangan tanggal penerimaan bahan baku, supplier, serta jenis udang yang diterima. Etiket tersebut diikutkan pada setiap tahapan proses produksi. Kegiatan proses produksi udang breaded pada PT Y terdiri atas beberapa tahap proses yang dimulai dari pembelian hingga tahapan stuffing (pengisian pada kontainer). 4.2.1 Pengadaan bahan baku Pengangkutan bahan baku mencakup kegiatan pembelian yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok serta diadakan perjanjian antara kedua belah pihak. Pihak perusahaan mengirimkan staf pembelian untuk melakukan perjanjian dengan pemasok agar dapat mengirimkan bahan baku bagi perusahaan serta dihasilkannya dokumen berupa Surat Perjanjian Jual Beli Udang antara kedua belah pihak. Surat Perjanjian Jual Beli Udang berisi keterangan: nama dan alamat penjual, nama pembeli, petak tambak yang akan dipanen, jenis udang, size udang, harga, keterangan, pelaksanaan panen, sistem pembayaran, no. rekening penjual, tanggal perjanjian, dan tanggal kedua belah pihak menandatangani perjanjinan tersebut.
31
Bahan baku yang diperoleh dari para pemasok tersebut harus memenuhi kualitas standar yang ditentukan oleh perusahaan antara lain bahan baku merupakan udang segar yang baru dipanen dari tambak, tidak berbau lumpur, utuh dan tidak cacat, serta warna udang cerah, bau segar, daging kenyal, elastis, bening dan mengkilap. Bahan baku udang yang telah disepakati akan ditransportasikan dengan menggunakan mobil bak ataupun mobil truk. Selama transportasi diberikan es dengan perbandingan udang dan es adalah 1:2 untuk menjaga suhu udang tetap ≤2 oC. 4.2.2 Penerimaan bahan baku Proses penerimaan udang dilakukan di ruang penerimaan bahan baku (raw material receiving area). Saat bahan baku tiba di perusahaan maka Staf Pembelian akan menerima surat garansi dari pemasok dan melakukan perekaman pada Form Nota Pembelian Produk serta Nota Timbang Produk. Keranjang yang berisi udang akan langsung dibawa masuk ke dalam area penerimaan (Receiving Area) melalui lubang atau pintu kecil, dimana pintu tersebut langsung menuju ruang proses atau ruang produksi. Pada area ini, staf QC penerimaan bahan baku akan merekamnya pada log book QC yaitu berisi informasi: nama pemasok, berat udang total, serta uji mutu bahan baku (seperti Soft shell, Discolouration, Odour, Blackspot, Whitespot/ Moulting, Broken Shell, Scratch). Uji mutu bahan baku dilakukan dengan cara sampling dengan mengambil udang secara acak sebanyak 10 ekor. Setelah uji tersebut, maka QC penerimaan bahan baku melakukan tagging bahan baku yang mencakup jenis udang, kode pemasok, dan tanggal penerimaan. Tagging pada proses penerimaan bahan baku dapat dilihat pada Gambar 3.
BT/ 14 BU
Keterangan: BT : Jenis Udang (Black Tiger) 14 : Tanggal Penerimaan Udang BU : Kode pemasok
Gambar 3 Tagging pada proses penerimaan bahan baku
Tujuan dilakukannya pengecekan kualitas dan penerimaan surat garansi pada tahap penerimaan berguna untuk menjaga sistem keamanan pangan yang
32
berkelanjutan. Pengujian antibiotik dan mikrobiologi pada udang bertujuan untuk memverifikasi surat garansi yang diterima dari pemasok. Selain itu, staf QC laboratorium akan mengambil udang dari area penerimaan sebanyak 3-5 ekor untuk pengujian mikrobiologi (yaitu Salmonella, Vibrio, E. coli) serta uji residu antibiotik bahan baku. Pengujian dilakukan secara internal di dalam laboratorium perusahaan dan hasilnya akan direkam dalam Form Laporan Kriteria Mikroba Bahan Baku dan Laporan Residu Antibiotik Bahan Baku. Pemberian keterangan pemasok udang pada etiket dilakukan berdasarkan daftar pemasok udang perusahaan yang sudah ditentukan dan dapat dilihat pada Tabel 4. Pemasok eksternal udang black tiger perusahaan terdiri dari 8 pemasok. Masing-masing pemasok bahan baku perusahaan mengumpulkannya dari tambaktambak yang sudah didaftarkan oleh perusahaan. Pemasok tersebut bertugas untuk mendokumentasikan harian keterangan bahan baku dari tambak yang dipanen. Masing-masing pemasok (sebagai pemasok tingkat 2) misalnya akan mencatat tambak udang yang dipanen dari tambak Marita yang berasal dari Cirebon (sebagai pemasok tingkat I) pada tanggal 14 Mei 2010. Maka, pemberian keterangan pemasok yang akan dituliskan pada etiket berupa kode CM. 4.2.3 Pencucian 1 Proses pencucian terdiri dari 3 tahap dengan air PDAM. Tahap pertama pencucian dengan air dingin biasa yang bertujuan untuk menurunkan kotoran yang menempel pada tubuh udang. Tahap kedua pencucian dengan air klorin dingin 150-200 ppm yang bertujuan menurunkan jumlah mikroba pada udang. Tahap ketiga pencucian dengan air dingin yang bertujuan untuk mengurangi konsentrasi klorin yang berasal dari keranjang kedua. Pencucian dilakukan dengan mengaduk udang berulang-ulang secara perlahan selama 30 detik. Saat mencuci, kotoran dan bahan-bahan asing dibuang ke tempat sampah. Setelah dicuci, udang dipindahkan ke box fiberglass untuk diproses ke tahap selanjutnya, yaitu pemotongan kepala. Lapisan di dalam box fiberglass terdiri dari tiga lapisan. Lapisan paling bawah box dilapisi dengan es terlebih dahulu untuk menjaga suhu udang ≤2 oC, kemudian dimasukkan udang dan udang akan dilapisi es lagi untuk menjaga agar suhu udang tetap dingin.
33
Tabel 4 Daftar pemasok udang (Supplier) perusahaan No . 1.
Nama Pemasok Tasio
BK BM BW AI
Kluwut Tarakan
Carmin
AN AK E
Cantigi Cantigi
Sarip
ET ED AM
Rosyid Daka 6.
Kb. Kelapa Kb.Kelapa Cantigi
Hendra
Tatang Daka 5.
CM CH CD CS CP CR B
Hj.Kopsah Kenny 4.
Cirebon Cirebon Kapetekan Limbangan Kluwut Gebang
Udin Katok S Kamim Warcita
3.
Kode C
Marita Harmaita Darma Sudira Pai Rukini 2.
Asal
Demak Cantigi
Suteja
Hata 7. BUDHI UTOMO BUDHI UTOMO 8. Tuin Rohman Nurcholis Yono Sumber: PT Y (2010)
MR MS F
Kr.Anyar Tarakan Pangkalan Indramayu Pangkalan
FH BU G GR GN GY
4.2.4 Potong kepala Udang yang telah dicuci atau diambil dari box fiberglass, kemudian dikumpulkan menggunakan keranjang plastik ke area pemotongan kepala. Udang dipindahkan dari keranjang plastik ke meja pemotongan kepala yang telah dilapisi dengan es. Proses pemotongan kepala dilakukan secara manual oleh karyawan untuk menghilangkan kepala udang. Tahap ini harus dilakukan secara hati-hati dan cepat untuk mencegah kerusakan. Sisa dari proses ini dipisahkan dari produk dan dibuang secepat mungkin ke tempat sampah. Hal ini bertujuan mencegah kontaminasi dan pertumbuhan bakteri. Suhu pusat udang tetap dijaga ≤2 oC.
34
Pengukuran suhu udang dilakukan oleh Staf QC pada waktu tertentu dengan menggunakan alat thermocouple. Udang tanpa kepala akan ditimbang dan dicatat oleh operator. Pada tahap ini dilakukan tagging yang menunjukkan bahwa udang telah mengalami potong kepala. Tagging pada tahap potong kepala dapat dilihat pada Gambar 4. Keterangan: 14 BU BT/ HL
14 BU BT HL
: Tanggal Penerimaan Udang : Kode pemasok : Jenis Udang (Black Tiger) : Headless (Potong Kepala)
Gambar 4 Tagging pada tahap potong kepala 4.2.5 Pencucian II Udang yang telah mengalami pemotongan kepala akan dicuci sebanyak tiga tahap. Tahap pertama pencucian menggunakan air dingin yang bertujuan menghilangkan sisa-sisa kotoran dan lendir yang ada pada tubuh udang. Pencucian yang kedua menggunakan air klorin dingin 100-150 ppm dengan tujuan menurunkan jumlah mikroba yang terdapat pada udang. Pencucian ketiga menggunakan air dingin sebagai pembilasan akhir udang serta menghilangkan efek dan bau klorin. Pencucian dilakukan dengan mengaduk udang berulangulang secara perlahan selama 30 detik. Air untuk pencucian tersebut diganti setelah dilakukan tiga kali pencucian, namun apabila air sudah terlihat kotor maka segera dilakukan penggantian untuk menghindari kontaminasi silang. 4.2.6 Sortasi ukuran Pengelompokan size udang dapat dilakukan secara manual atau dengan menggunakan mesin pada area sizing. Area sizing terdiri dari area manual sizing dan conveyor sizing. Jika jumlah bahan baku hanya sedikit (kurang dari 1 ton), proses sortasi dilakukan secara manual pada area manual sizing. Akan tetapi, apabila bahan baku sangat banyak maka proses sortasi dibantu dengan menggunakan mesin sortasi (conveyor sizing) dan selanjutnya disortasi kembali secara manual untuk menentukan size lebih spesifik. Udang disortasi ukurannya sesuai dengan kebutuhan pembeli. Pada saat sortasi berlangsung suhu pusat udang harus dijaga ≤2 oC dengan pemberian es yang cukup.
35
Udang yang telah dikelompokkan berdasarkan ukurannya dikumpulkan di keranjang plastik dan setiap keranjang diberi etiket yang mencakup jenis udang, kode pemasok, dan tanggal penerimaan serta size udang. Setelah itu, udang dikirim ke proses sortasi final. Pada tahap ini dilakukan tagging yang menunjukkan udang telah mengalami sortasi ukuran berdasarkan jenis produk. Tagging pada tahap sortasi ukuran dapat dilihat pada Gambar 5. Keterangan: 14 BU 4L SF
14 BU 4L SF
: Tanggal Penerimaan Udang : Kode pemasok : Ukuran Udang : Jenis Produk
Gambar 5 Tagging pada tahap sortasi ukuran 4.2.7 Sortasi final Sortasi final dilakukan secara manual di area sortasi final. Udang dipindahkan dari keranjang meja sortasi yang telah diberi es. Setelah udang diletakkan di atas meja, udang kemudian dilapisi dengan es untuk menjaga agar suhu pusat udang ≤2 oC selama proses. Udang yang telah disortasi diletakkan dalam keranjang bersih. Setiap kelompok size udang harus dilakukan sortasi final. Udang disortasi berdasarkan kualitas dan ukurannya. Kontrol dan pengawasan atas kontaminasi bahan asing dilakukan saat sortasi. Udang yang telah disortasi akan dikumpulkan ke dalam keranjang plastik dan selanjutnya udang dicuci. Tujuan dilakukannya sortasi final yaitu mengecek ulang ukuran udang agar ukuran udang seragam dan sesuai dengan kebutuhan pembeli. 4.2.8 Pencucian III Setelah sortasi udang dicuci lagi sebanyak tiga tahap. Tahap pertama pencucian menggunakan air dingin, tahap kedua pencucian dengan air klorin dingin 50-70 ppm dan tahap ketiga dilakukan pembilasan dengan air dingin. Pencucian dilakukan dengan mengaduk udang berulang-ulang secara perlahan selama 30 detik. 4.2.9 Kupas (peeled) Tahapan ini dilakukan pada area pengupasan dan dilakukan secara manual. Meja yang digunakan pada tahapan ini diberikan lapisan es kepingan (flake ice)
36
yang berfungsi menjaga suhu udang ≤2 oC. Pengecekan suhu udang dilakukan pada waktu tertentu oleh staf QC dengan menggunakan thermocouple. Karyawan menggunakan peralatan berupa alat khusus berupa special metal ring yang digunakan pada jempol tangan dan berfungsi membantu karyawan mengupas kulit udang. Kulit udang dikupas dari ruas pertama (dihitung dari kaki yang menempel dekat pada cephalothorax) hingga ruas kelima dan ruas keenam tidak dikupas. Pengupasan dilakukan secara cepat dan dengan hati-hati. Kulit udang dari udang yang telah dikupas harus dipisahkan dan dibuang ke dalam tempat sampah. Pengupasan udang dari batch berbeda tidak boleh dicampur. Udang yang telah dikupas kemudian dimasukkan ke dalam keranjang, dilapisi dengan kepingan es dan diberikan ke tahap selanjutnya. 4.2.10 Pembuangan usus Proses pengupasan dilakukan secara manual diatas meja yang telah dilapisi es kepingan (flake ice) untuk menjaga suhu udang ≤2 oC dan dilakukan pengecekan suhu oleh staf QC dengan menggunakan thermocouple pada waktu tertentu. Proses pembuangan usus dilakukan manual menggunakan pin devein dengan membuat lubang kecil pada bagian punggung udang untuk mengambil usus udang. Proses ini harus dilakukan secara cepat dan hati-hati dan lubang yang dibuat harus sekecil mungkin. Usus yang telah dibuang tersebut kemudian disatukan untuk dibuang dan udang yang telah dibuang ususnya akan dimasukkan ke dalam keranjang, dilapisi dengan kepingan es untuk diberikan ke tahap selanjutnya. 4.2.11 Pencucian dan penimbangan Proses ini dilakukan pada area penimbangan untuk memastikan tidak ada usus yang masih tersisa di dalam tubuh udang. Selain itu, tahap ini juga berfungsi untuk mengecek kembali agar tidak ada kotoran, kepala atau kaki yang masih menempel pada udang. Pada tahap ini, udang akan dicuci dan akan dilakukan penimbangan total. Penimbangan dilakukan untuk menentukan berat yang dihasilkan oleh karyawan borongan dan menentukan komposisi larutan perendaman udang pada tahap selanjutnya.
37
4.2.12 Gores perut Tahap gores perut dan stretching dilakukan di dalam ruang PTO (Peeled Tail On). Tahapan ini bermanfaat membantu pada tahap proses selanjutnya, yaitu tahap stretching. Proses gores perut dilakukan dengan meletakkan udang pada meja dan kemudian menggores perut searah diagonal sebanyak tiga kali dengan menggunakan pisau. Gores perut tidak boleh terlalu dalam, karena jika terlalu dalam maka udang akan putus atau rusak saat udang pada tahap stretching. Proses ini dilakukan secara manual diatas meja yang telah dilapisi es kepingan (flake ice) untuk menjaga suhu udang ≤2 oC dan pengecekan es dilakukan secara manual oleh staff QC. 4.2.13 Stretching Tahap stretching dilakukan untuk menciptakan bentuk udang dan membantu pada tahap proses selanjutnya. Setelah melalui tahap stretching maka bentuk udang berubah dari coiled form menjadi straight form (lurus). Udang akan menjadi lebih panjang dan mudah putus, sehingga pekerja perlu lebih berhati-hati. Proses stretching dilakukan pada ruangan yang sama dengan tahap belly cutting. Stretching dilakukan secara manual dengan meletakkan udang per ekor pada peralatan khusus dan kemudian ditekan dengan menggunakan stretcher. Selama proses ini panjang udang bertambah secara variatif sehingga menghasilkan jenis produk yang berbeda. Selama tahap ini, karyawan juga perlu untuk menjaga ekor udang agar mekar dan terbuka (wide open tail). Udang yang telah mengalami stretching akan ditimbang dan kemudian dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Proses ini dilakukan dengan mempertahankan rantai dingin dengan menggunakan es kepingan pada meja sehingga suhu udang tetap terjaga ≤2 oC. Supervisor PTO akan mengawasi tahapan gores perut dan stretching sedangkan QC Staf akan melakukan pengecekan suhu pada waktu tertentu. 4.2.14 Pencucian IV Tahap pencucian pertama menggunakan air dingin yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran dan lendir yang ada pada tubuh udang. Pencucian yang kedua menggunakan air klorin dingin 20-25 ppm dengan tujuan menurunkan jumlah mikroba yang terdapat pada udang. Pencucian ketiga menggunakan air dingin sebagai pembilasan akhir udang serta menghilangkan
38
efek dan bau klorin. Pencucian dilakukan dengan mengaduk udang berulangulang secara perlahan selama 30 detik. Air untuk pencucian tersebut diganti setelah dilakukan tiga kali pencucian, namun apabila air sudah terlihat kotor maka segera dilakukan penggantian untuk menghindari kontaminasi silang. 4.2.15 Soaking Soaking bertujuan untuk merendam udang dalam larutan sehingga diperoleh udang sesuai dengan permintaan pembeli. Klasifikasi jenis larutan perendaman udang berbeda-beda dan memiliki tujuan yang berbeda sesuai dengan permintaan pembeli. 4.2.16 Pre-dust Proses breaded berarti melapisi permukaan udang (coating) dengan predust, batters dan breadcrumb. Ketiga jenis coating ini dikombinasikan penggunaaanya dalam proses produksi. Pre-dust digunakan sebagai coating serta berfungsi melindungi udang dari kehilangan air. Selain itu, pre-dust juga berfungsi untuk membantu batter dan breadcrumb dapat merekat baik dengan udang. Pre-dust digunakan untuk melapisi udang pada keseluruhan udang yang telah mengalami proses stretching, kecuali pada ruas keenam dan ekor udang. Proses breading dilakukan pada ruang breaded. Didalam ruangan ini terdapat tiga conveyor dan di kedua sisi conveyor tersebut terdapat meja stainlees steel panjang. Conveyor berfungsi untuk meletakkan dan mengalirkan bahanbahan yang dibutuhkan karyawan selama proses breaded yaitu pre-dust, batter, bread crumb, dan tray. 4.2.17 Batter dan bread crumb Setelah proses pre-dust, maka dilanjutkan dengan proses pencelupan kedalam batter, kecuali pada ruas keenam dan ekor udang. Setiap jenis produk yang dihasilkan pada PT Y memiliki formula batters yang berbeda-beda tergantung dengan jenis produk yang dihasilkan. Perbedaan batters ini menghasilkan viskositas batters yang berbeda-beda sehingga diperlukannya pengecekan suhu batters pada saat persiapan batters oleh staf QC. Coating terakhir pada udang adalah breadcrumb. Proses breaded ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah udang broken, udang rusak serta mencegah
39
pertumbuhan bakteri. Proses yang dilakukan saat proses batter dan bread crumb adalah: - Udang yang telah dilapisi dengan batters diletakkan kedalam breadcrumb - Udang kemudian dilapisi dengan breadcrumb, dan kemudian dibuat bentuk seperti segitiga dengan menggunakan kedua tangan - Udang diambil dengan menggunakan tangan kanan, dan kemudian dipindahkan dengan menggunakan tangan kiri untuk membersihkan breadcrumb yang masih banyak menempel. 4.2.18 Penyusunan tray Udang yang telah melalui proses breading (pre-dust, batter, dan bread crumb) maka akan disusun oleh karyawan ke dalam tray. Jumlah udang yang ada didalam tray disusun sesuai dengan spesifikasi produk. Udang diletakkan di dalam tray dengan posisi kepala udang seluruhnya menghadap searah. Selain itu, udang yang diletakkan didalam tray harus dalam keadaan ekor terbuka dan menghadap ke bawah (open downward). 4.2.19 Penimbangan Setelah tahap penyusunan didalam tray, maka masing-masing karyawan diharuskan untuk menimbang ulang berat udang per tray. Berat udang yang ditimbang harus memenuhi spesifikasi berat yang sudah ditentukan oleh perusahaan. 4.2.20 Pemeriksaan akhir Pada ujung conveyor, udang yang telah mengalami proses breaded dilakukan pemeriksaan akhir yang mencakup penimbangan udang, pengecekan filth atau benda asing lain dan penyusunan tray ke dalam long pan. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan berat udang per tray agar udang yang dihasilkan memenuhi standard yang telah disepakati dengan pembeli. Jika udang tidak memenuhi standard berat yang ditentukan, maka udang akan dikembalikan kepada pekerja yang melakukan breaded pada tray yang bermasalah tersebut. Pada tahap ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap ekor udang yaitu ekor dalam keadaan mekar, terbuka dan menghadap kebawah (open downward). Selain itu, tray udang juga harus diperiksa agar tidak ada filth ataupun sisa-sisa pre-dust, batters, breadcrumb yang masih ada didalam tray. Jika ada filth atau
40
benda asing lain yang ditemukan, maka akan direkam untuk kemudian dilaporkan kepada QC staff. Setelah dilakukan pemeriksaan, tray disusun ke dalam long pan dan kemudian disusun ke dalam lorry. Lorrry dapat memuat sekitar 30 long pans. Setelah lorry penuh, maka lorry akan dimasukkan kedalam ABF untuk membekukan produk. 4.2.21 Pembekuan Pembekuan udang breaded menggunakan ABF sehingga dihasilkan udang dengan suhu pusat 18 0C. Tahap pembekuan dilakukan selama 6 jam hingga maksimal mencapai 2 hari pada suhu -30 0C hingga -35 0C. Udang yang dibekukan di dalam ABF harus kurang dari dua hari karena jika produk terlalu lama dibekukan, maka akan terbentuk kristal es di sekeliling udang. Pembentukan kristal es merupakan hal yang tidak diharapkan karena dapat mengurangi kualitas udang setelah penyimpanan. Jika ditemukan kristal es pada udang, maka udang akan dipindahkan dan dibekukan ulang kembali. Suhu ABF harus dipertahankan dan dicek pada waktu tertentu oleh staff QC. 4.2.22 Pemeriksaan filth Sebelum udang dimasukkan ke dalam polybag, maka dilakukan pengecekan terhadap filth atau benda asing lainnya. Jika filth atau benda asing lainnya ditemukan maka akan direkam dan dilaporkan kepada Staff QC. 4.2.23 Pengemasan ke dalam polybag Pengemasan produk dilakukan pada dua ruangan yang terpisah yaitu pada area bersih dan area kotor. Pada area bersih dilakukan pengemasan ke dalam polybag serta pengecekan terhadap filth dan pengecekan logam. Sedangkan, area kotor digunakan untuk melakukan pengemasan kedalam Master Cartoon (MC). Pengemasan dilakukan ke dalam polybag plastik dan diberikan keterangan penomoran yaitu tanggal, bulan dan tahun produksi serta kode pemasok. Penomoran polybag dapat dilihat pada Gambar 6. Jika persediaan polybag belum ada, maka sementara udang akan dikemas ke dalam polybag sementara. 4.2.24 Pendeteksian logam Tahap selanjutnya adalah pengecekan metal dan berat tray udang pada area pendeteksian logam. Sebelum metal detector dipakai, maka harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan Fe 1.0 dan Sus 2.0 pada setiap pergantian shift kerja. Produk akan dilewatkan melalui conveyor ke dalam metal detector dan
41
sekaligus dilakukan pengecekan berat. Jika berat udang tidak memenuhi standard atau ditemukan logam, maka produk secara otomatis akan dipisahkan oleh mesin untuk kemudian dilakukan pengecekan ulang. YYYY MM DD/ A
2010 08 20/ BU
Keterangan: 2010 : Tahun pengemasan 08 : Bulan pengemasan 2 : Tanggal pengemasan BU : Kode area untuk asal pemasok
Keterangan: YYYY : Year (Tahun Pengemasan) MM : Month (Bulan pengemasan) DD : Date (Tanggal pengemasan) A : Kode area untuk asal pemasok Gambar 6 Pelabelan pada kemasan primer (polybag) 4.2.25 Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC) Polybag akan ditransfer ke ruang pengepakan (packing area), lalu pengecekan terhadap tanggal produksi dan tanggal kadaluwarsa produk serta pengemasan polybag ke dalam kemasan sekunder yaitu Master Cartoon (MC). Pengemasan sekunder menggunakan horizontal flow wrapping machine atau super wrapper machine. Mesin pengemas ini berfungsi merekatkan plastik kemasan sekunder dengan menggunakan panas. Pengemasan sekunder ini akan disatukan ke dalam Master Cartoon dan diikat menggunakan strapping machine. Label pada master cartoon harus dicek yaitu tanggal produksi, tanggal kadaluwarsa, kode shift saat pengemasan, dan jenis udang. 2010 08 20/ BU I.BU.B
Keterangan: 2010 : Tahun pengemasan 08 : Bulan pengemasan 20 : Tanggal pengemasan I : Shift pengemasan (I: untuk stuffing pada pukul 07.00-12.00 II: untuk stuffing pada pukul 13.00-21.00) BU : Kode pemasok B : Kode jam/ waktu packing (Production hour code)
Gambar 7 Pelabelan pada kemasan sekunder Kode jam/ waktu produksi saat pengemasan berlangsung dilakukan berdasarkan kode yang telah ditentukan oleh perusahaan. Kode jam/ waktu produksi dapat dilihat pada Tabel 5.
42
Tabel 5 Kode jam/ waktu produksi Code Production Time A 07.01 – 08.00 B 08.01 – 09.00 C 09.01 – 10.00 D 10.01 – 11.00 E 11.01 – 12. 00 F 12.01 – 13.00 G 13.01 – 14.00 H 14.01 – 15.00 I 15.01 – 16.00 J 16.01 – 17.00 K 17.01 – 18.00 L 18.01 – 19.00 M 19.01 – 20.00 N 20.00 – 21.00 Sumber: PT Y (2010) 4.2.26 Penyimpanan dalam ruang pendinginan (Cold Storage/ CS) Udang yang telah dimasukkan ke dalam master cartoon seharusnya langsung disimpan kedalam cold storage untuk mencegah udang mencair, kontaminasi, atau mengalami dekomposisi. Produk disimpan di dalam cold storage berdasarkan jenis produk dan diletakkan dengan hati-hati. Penyimpanan di dalam cold storage berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sebelum produk didistribusikan atau diekspor. Suhu Cold Storage akan dicek pada waktu tertentu oleh Staff QC. Ruangan ini dapat mempertahankan suhu udang atau produk tetap ≤-18 oC. Alat pemantau suhu terdapat di bagian luar ruang penyimpanan beku (cold storage). 4.2.27 Stuffing dan distribusi Distribusi produk dilakukan dengan menggunakan truk atau kontainer yang memiliki insulasi agar suhu pusat udang tetap stabil pada 18 0C. Proses stuffing dilakukan di ruang pemuatan (stuffing area) serta harus dilakukan dengan hati-hati dan cepat untuk mencegah terjadinya kerusakan produk dan fluktuasi suhu produk. Sebelum dilakukan proses stuffing, kontainer harus dipastikan agar benar-benar bersih dari kerusakan dan kotoran serta suhu yang tepat sehingga produk memenuhi permintaan pembeli. Analisis terhadap proses traceability di perusahaan dilakukan melalui pengamatan terhadap dokumen perekaman proses produksi dan pengamatan
43
langsung saat proses produksi. Pada tiap tahapan proses terdiri dari satu, dua atau lebih dokumen perekaman. Pengumpulan dokumen perekaman ini dilakukan untuk mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses meliputi tahapan proses yang didokumentasikan, pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap orang yang bertanggung jawab pada tiap tahapan tersebut, tempat dilakukannya perekaman dokumen, metode pelabelan yang digunakan dan informasi utama dari dokumen
perekaman tersebut. Data tersebut kemudian
disatukan untuk dijadikan outline (skema) dari dokumen perekaman perusahaan. Metode pelabelan yang dilakukan di perusahaan masih bersifat manual. Keuntungan penggunaan metode ini adalah murah dan sangat sederhana sehingga lebih fleksibel digunakan pada tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). Metode ini membutuhkan ketelitian yang tinggi dari operator dalam penulisan kode dilakukan secara manual (Regattieri et al. 2007). Kelemahan dari penggunaan metode ini adalah proses recall akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena kemungkinan disintegritas data yang tinggi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). Pengamatan terhadap proses pengkodean selama proses produksi dilakukan melalui tagging manual pada produk udang breaded 4L “SF” yang diproduksi pada tanggal 17 Juli 2010. Outline sistem pengkodean dalam perusahaan dapat dilihat pada Tabel 6. Penomoran formulir (form) pada outline ini merupakan formulir yang tercantum dalam dokumen HACCP di PT Y.
44
Tabel 6 Outline sistem pengkodean dalam perusahaan Record Data Storage PENGKODEAN Tempat Informasi Utama Pengangkutan Bagian Staf pembelian: bahan baku Kantor menerima surat pembelian garansi dari pemasok
Penerimaan bahan baku
Pencucian 1
Form Nota Pembelian Produk Nota Timbang Produk Receiving Staf QC: area Form 2 Laporan Mutu Bahan Baku yang berisi: No, tanggal, Kode/ Size, Spesies, Asal bahan baku, Soft shell, Discolouration, Odour, Blackspot, Whitespot/ Moulting, Broken Shell, Scratch, Suhu, Tindakakan Koreksi, Penanggung Jawab dan Pengecekan oleh Staf. Laboratorium Staf lab: Form 18: Laporan Kriteria Mikroba Bahan baku Form 15: Laporan Residu Antibiotik Bahan Baku Form 3 – Laporan Air Pencucian oleh
BT/ 14 BU
Keterangan: 14 BU
: Tanggal Penerimaan Udang : Kode pemasok
45
QC di pagi hari, siang hari (setelah istirahat) dan siang hari menjelang sore yang berisi: Nomor area, Waktu (I, II, III), temperatur air, Tindakakan Koreksi, Penanggung Jawab dan Pengecekan oleh Staf. Form 4 – Laporan Kontrol Suhu udang yang berisi: Pengecekan suhu pusat udang dengan menggunakan thermometer tusuk (thermocouple): nomor lokasi, Suhu (A, B, C, D, E, F), dan Tindakan Koreksi.
Potong Kepala
Pencucian II Sortasi ukuran Sortasi final
Pencucian III Kupas
Pembuangan usus
Processing Area
Form 4 – Laporan Kontrol Suhu Form 4 – Laporan Kontrol Suhu
14 BU BT/ HL
Keterangan: 14 Ai BT HL
14 BU 4L SF Keterangan: 14
Form 4 – Laporan Kontrol Suhu Form 4 – Laporan Kontrol
: Tanggal Penerimaan Udang : Kode pemasok : Jenis Udang (Black Tiger) : Headless (Potong Kepala)
BU 4L SF
: Tanggal Penerimaan Udang : Kode pemasok : Ukuran Udang : Jenis Produk
46
Suhu Pencucian IV Gores perut
PTO‟s room
Stretching
PTO‟s room
Soaking
PTO‟s room
Pemberian pre-dust
Breaded room
Pemberian batters dan bread crumb
Breaded room
Penyusunan di tray Penimbangan
Breaded room Breaded room Breaded room ABF
Pemeriksaan akhir Pembekuan
Form 4 – Laporan Kontrol Suhu Form 4 – Laporan Kontrol Suhu Form 5: Laporan Perendaman Hasil proses perendaman dengan pemeriksaan secara visual oleh operator produksi untuk setiap lot Form 21 – Laporan Pemasakan Form 23 – Record Keeping of Panko, Batter& PTOS.
Tidak dilakukan tagging (Hanya ada tagging nomor pekerja yang melakukan proses breaded)
Form 24 Form 8: Record Keeping of Entering Blast Freezer/ Laporan Pembekuan: nomor, nomor rak/ Total tray, tanggal masuk ABF, waktu dan suhu saat masuk ABF,ukuran, kode pemasok, waktu dan suhu akhir produk saat keluar
Tidak dilakukan tagging (untuk mengetahui bahan baku yang sedang diproses, tapi data dapat dilihat langsung pada Record Keeping of Entering Blast Freezer)
47
Pemeriksaan filth Pemeriksaan ke dalam polybag
Packing area I Packing area I
Deteksi logam
Packing area I
Pengemasan dalam master cartoon
Packing area II
ABF, tanggal keluar ABF, ukuran, nomor rack/ Total tray, Checked by, Responsibility Form 10 Form 9: Laporan Pengemasan Inspeksi visual: kondisi pengemas, seal, label, dan kode produksi atau tanggal kadaluarsa secara acak di pagi hari, siang dan sore hari
Tidak dilakukan tagging
2010 08 20/ BU
Keterangan: 2010 08 20 BU
: Tahun pengemasan : Bulan pengemasan : Tanggal pengemasan : Kode area untuk asal pemasok (C = Pemasok Tasio)
Form 7: Tidak dilakukan tagging Laporan Deteksi Logam: Pada setiap produk Pemeriksaan standar dengan menggunakan test piece Form 9: 2010 08 25/ BU Laporan I.BU.B Pengemasan dan Pelabelan Production Date 20 Agustus 2010 Inspeksi Expiry date visual: kondisi 20 Feb 2012 pengemas, seal, label, dan kode produksi atau tanggal
48
kadaluarsa secara acak di pagi hari, siang dan sore hari Penyimpanan dalam cold storage
Cold Storage
Stuffing
Stuffing area
Form 11: Laporan Suhu Cold Room setiap jam Mencatat jenis dan jumlah produk yang telah dimuat Mencatat kode produksi dan merk produk yang dimuat
Keterangan: 2010 : Tahun pengemasan 08 : Bulan pengemasan 25 : Tanggal pengemasan C : Kode area untuk asal pemasok I : Shift pengemasan (I: untuk stuffing pada pukul 07.00-12.00 II: untuk stuffing pada pukul 13.00-21.00) BU : Kode pemasok B : Kode jam/ waktu packing (Production hour code)
Sortasi ukuran pada udang Black Tiger (Penaeus monodon) di perusahaan dilakukan berdasarkan ukuran udang dan langsung diklasifikasikan pada jenis produk saat udang akan diolah. Sortasi ukuran SF pada PT Y dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sortasi ukuran SF pada udang Black Tiger (P. monodon) Gram HL Jenis ukuran produk Ukuran 23 – UP SF 4L (B) 16 – 20 20 – 22 SF 4L 21 – 25 17,1 – 19 SF 3L (B) 26 – 30 16 – 17 SF 3L 26 – 30 13 – 15,9 SF 2L 31 – 35 11 – 12, 9 SF L (B) 36 – 40 10 – 10,9 SF L 41 – 50 8,9 – 9,9 KZN L 41 - 50 Sumber: PT Y (2010) 4.3 Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA) Tahap awal sebelum dibuatnya outline (skema) proses produksi adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi dalam perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan.
49
Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan, dan metode pelabelan yang digunakan. Data tersebut kemudian disatukan dan digambarkan skema proses produksi yang dapat dilihat pada Lampiran 1 yaitu Lampiran manajemen TC dalam proses produksi breaded. Tahap pelabelan yang digunakan pada Lampiran 1 sama dengan Tabel 6 yaitu Tabel Outline dokumen perekaman perusahaan. Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa misalkan pada tanggal 14 Agustus 2010 terdapat bahan baku yang masuk yang berasal dari 2 pemasok eksternal perusahaan maka akan diberikan label di dalam ruang pengolahan. Perbedaan keterangan pada label tersebut hanyalah keterangan pemasok udang. Pada tahap penerimaan bahan baku dan pencucian, label yang dicantumkan masih sama dan baru akan berubah pada saat memasuki tahapan potong kepala, yakni diberi tambahan keterangan headless (HL). Pada tahap potong kepala dan pencucian II memiliki label yang sama serta akan berubah pada saat di tahap sortasi ukuran. Pada tahapan ini udang akan dipersiapkan menjadi udang breaded dengan nama SF. Produk udang yang diproduksi pada tanggal 14 dari dua pemasok adalah SF dengan memiliki ukuran produk yang berbeda-beda. Pada tahapan ini udang akan dipisahkan menurut size dan pada akhir tahapan, udang yang mengalami afal dan broken dari masingmasing size SF akan
disatukan. Label yang dicantumkan pada tahapan ini
merupakan label yang nantinya akan diteruskan hingga tahap akhir (pencucian IV). Pada akhir tahapan gores perut dan stretching yang dilakukan di ruang PTO maka udang broken dari masing-masing ukuran dengan jenis produk SF akan dipisahkan dari udang yang bermutu bagus. Kemudian udang broken dari jenis produk SF akan disatukan dengan udang broken dari jenis produk lainnya. Pada tahapan breading dan pembekuan di perusahaan tidak dilakukan pelabelan pada udang secara langsung tetapi keterangan mengenai bahan baku yang saat itu sedang diproses dapat diketahui melalui dokumentasi yang ada. Pada tahapan breaded, saat proses produksi berlangsung hanya ada pencatatan nomor pekerja yang melakukan breading saja. Dokumen pencatatan pada tahapan pembekuan dapat dilihat pada Form 10. Selain itu, pada tahapan pemeriksaan filth
50
dan pendeteksian logam masih belum dilakukan pelabelan dan hanya ada pencatatan jika terjadi temuan yang dicatat pada dokumen perekaman. Setelah dilakukan pengamatan tehadap proses produksi, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Pendekatan analisis FMEA yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan bottomup approach/ hardware approach (Bertolini et al. 2006; US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983). Pendekatan ini digunakan karena konsep sistem pada perusahaan sudah ada serta digunakan untuk membahas kemungkinan kegagalan traceability yang dapat terjadi per tahapan proses produksi. Setiap kemungkinan kegagalan yang diidentifikasi akan ditentukan tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan pada MIL-STD-1629A yang dapat dilihat pada Tabel 3 (US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983). Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan visibility tool yang dapat dengan mudah dimengerti dan digunakan (Braglia 2000). Metode FMECA merupakan metode yang mudah dioperasikan serta alat yang efektif dalam mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk (US Military Standard 1983). Penentuan terhadap salah satu pendekatan FMEA yang akan digunakan peneliti harus ditetapkan dari awal. Penentuan pendekatan penting sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan analisis tahapan proses produksi yaitu apakah harus dilakukan per tahapan proses (hardware approach) atau hanya perlu membahas beberapa tahapan proses produksi yang penting saja (functional approach) atau gabungan dari keduanya (mixed approach). Pendekatan FMEA pada penelitian ini menggunakan hardware approach memiliki kelebihan yaitu menganalisis keterandalan sistem produksi baik keterandalan keseluruhan sistem/ per tahapan proses (Braglia 2000; Carmignani 2009). Selain itu, penggunaan metode FMECA pada penelitian ini dikarenakan sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini menggunakan dua pakar sehingga diharapkan dapat mengurangi subyektifitas hasil analisis (Carmignani 2009). Tahapan proses traceability di perusahaan juga dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu: Analisis FMEA dan Analisis CA.
51
4.4 Analisis FMEA Tahapan
awal
analisis
FMECA
dikenal
sebagai
FMEA
yaitu
mengidentifikasi kemungkinan penyebab terjadinya kegagalan (cause of failures) (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis) dan analisis efek (effects analysis) titik-titik kegagalan traceability. Analisis efek terdiri dari dua macam yaitu analisis efek lokal (local effect) dan analisis efek global (global effect). Pada tahap pertama dilakukan tehnik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara secara terbuka kepada para pakar untuk merespons pertanyaan dalam garis besar. Setiap pertanyaan yang diajukan saat wawancara terstruktur dengan menggunakan angket yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang sudah diamati terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian di perusahaan oleh peneliti mengenai kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi di perusahaan melalui studi literatur. Tipe dan bentuk pertanyaan yang diajukan pada tahap pertama ini adalah bersifat terbuka artinya jawaban yang diberikan bersifat bebas sehingga pada saat wawancara tersebut juga dapat memberikan masukan kepada peneliti untuk kemudian ditambahkan dalam daftar kemungkinan-kemungkinan kegagalan traceability dalam perusahaan. Pakar pada saat wawancara tahap awal ini terdiri dari QC-QC yang berhubungan langsung pada saat proses produksi yaitu staf-staf QC dan staf-staf produksi. Wawancara terhadap QC dilakukan secara langsung pada saat proses produksi untuk merangkum kegagalankegagalan yang kemungkinan dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi didalam perusahaan. Tahap wawancara juga dilakukan terhadap pakar dari pihak akademik dan pengumpulan data juga dilakukan melalui studi literatur. Analisis titik-titik kemungkinan kegagalan traceability dilakukan melalui pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan traceability dan efek yang ditimbulkannya (jika kegagalan tersebut terjadi pada setiap tahapan tersebut). Efek yang ditimbulkan pada setiap tahapan proses produksi mencakup efek lokal dan efek global. Setiap kegagalan-kegagalan traceability pada tiap tahapan proses produksi diberi kode secara unik sesuai dengan tahapan dan
52
kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi pada setiap tahapan proses produksi, misalkan pada tahapan pertama diberi function ID = 1 dan seterusnya. Kode ini digunakan untuk menganalisis secara spesifik pada tiap-tiap kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi pada tiap tahapan proses. 4.4.1 Pengangkutan bahan baku Pada tahapan pertama proses produksi dengan function ID 1, yaitu pengangkutan bahan baku ke perusahaan terdapat tiga kemungkinan terjadinya kegagalan dan masing-masing memiliki efek lokal dan efek global. Kemungkinan kegagalan pertama dengan function ID 1.10 adalah tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang. Jika pada tahapan ini tidak dilakukan pencatatan oleh perusahaan, maka efek lokal yang ditimbulkan adalah tidak diketahuinya nomor tambak yang dipanen dan efek global yang ditimbulkan adalah perusahaan tidak mengetahui asal bahan baku. Sebelum proses penerimaan bahan baku dilakukan, perusahaan melakukan survei terhadap beberapa tempat yang akan dijadikan sebagai
pemasok
udang
bagi
perusahaan.
Kedua
belah
pihak
akan
menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Udang, sehingga nantinya perusahaan akan lebih mudah dalam penyediaan bahan baku dan proses produksi dapat dilakukan secara terus menerus. Pembaharuan terhadap Surat Perjanjian Jual Beli Udang tidak harus dilakukan karena sudah ada rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Kemungkinan kegagalan kedua dengan function ID 1.20, yang dapat terjadi pada tahapan proses penerimaan bahan baku adalah tidak ada Nota pembelian Produk. Jika perusahaan tidak mencatat Nota pembelian Produk, maka efek lokal yang ditimbulkan adalah tidak adanya bukti pembelian dan efek global yang ditimbulkan adalah tidak adanya dokumentasi perusahaan. Kemungkinan kegagalan ketiga adalah Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan. Jika perusahaan tidak mencatat ataupun melakukan pengecekan ulang timbangan udang yang diterima perusahaan, maka perusahaan tidak mengetahui dengan pasti berat total udang yang diterima perusahaan dan dapat menyebabkan terjadinya efek global berupa tidak adanya dokumentasi perusahaan. Selain itu, pencatatan terhadap Nota Timbang Produk dengan function ID 1.30, saat di tambak/ tiba diperusahaan akan sangat diperlukan oleh
53
perusahaan mengingat antara berat udang dari tambak dengan berat udang pada waktu pembongkaran biasanya terdapat selisih berat. Pada saat udang tiba diperusahaan, akan terjadi kenaikan berat udang karena udang menyerap air selama proses pengangkutan udang ke perusahaan dan sebelum pembongkaran. 4.4.2 Penerimaan bahan baku Tahap proses kedua dengan function ID 2, adalah penerimaan bahan baku yaitu terdapat 2 kemungkinan kegagalan. Kemungkinan kegagalan pertama dengan function ID 2.10 adalah tidak diberikannya label pada saat penerimaan. Label tersebut harus berisi tentang asal bahan baku. Saat penerimaan bahan baku di perusahaan, supervisor akan mencatat data tentang bahan baku pada Laporan Mutu Bahan Baku yang berisi: No, tanggal, Kode/ Size, spesies, asal bahan baku, soft shell, discolouration, odour, blackspot, whitespot/ moulting, broken shell, scratch, suhu serta staf laboratorium akan melakukan pengujian mikrobiologi dan residu antibiotik serta merekamnya pada Form 18: Laporan Kriteria Mikroba Bahan baku dan Form 15: Laporan Residu Antibiotik Bahan Baku. Hal ini sesuai dengan Derrick dan Dillon (2004), pada saat penerimaan bahan baku di perusahaan, maka supervisor harus merekam tahapan proses serta mengisi detail formulir perekaman yang berisi tanggal penerimaan bahan baku, supplier, spesies udang, jumlah, kualitas bahan baku. Akan tetapi, perusahaan masih belum melakukan pencatatan secara detail yang mencakup informasi tentang tanggal pemanenan
udang
berlangsung
dari
pemasok,
data
tentang
tanggal
pemberangkatan udang dari tambak. Data tentang tanggal pemberangkatan udang dari tambak sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa udang yang diterima oleh perusahaan tiba dengan tepat waktu, mencegah terjadinya kemunduran mutu udang yang disebabkan waktu transportasi udang yang terlalu lama sehingga mutu udang yang diterima perusahaan adalah udang yang masih segar dan tidak terjadi proses dekomposisi. Pada tahap ini, jika pelabelan tidak dilakukan, maka efek lokal yang ditimbulkan adalah tidak adanya informasi mengenai bahan baku sehingga hal ini menyebabkan terjadinya efek global berupa kehilangan informasi yaitu sulit dilakukannya pelacakan terhadap asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. Kemungkinan kegagalan kedua dengan function ID 2.20 pada tahap penerimaan bahan baku adalah tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji
54
mikrobiologi dan uji antibiotik. Jika tahap ini tidak dilakukan, maka efek global yang ditimbulkan adalah Mengetahui kualitas bahan baku (serta mencegah diterimanya udang yang seudah mengalami dekomposisi) serta efek global yang ditimbulkan adalah tidak diketahuinya kualitas bahan baku yang diterima oleh perusahaan. Menurut CAC (2010), bahwa ketika tahap penerimaan bahan baku maka potential hazards yang dapat terjadi adalah kontaminasi mikrobiologi, antioksidan, sulfit, pestisida dan minyak bakar (fuel oil merupakan kontaminasi kimia) dan potential defects yang dapat terjadi adalah kualitas batch yang tidak seragam (variable batch quality), pencampuran spesies udang, taints, blackspot, kemunduran mutu yang disebabkan enzim dari cephalotorax udang (softening from head enzyms) dan dekomposisi. Maka seharusnya perusahaan harus mengetahui sejarah bahan baku udang untuk mencegah kemungkinan adanya residu antibiotik atau kimia yang terkandung pada udang. Adanya pengujian mikrobiologi terhadap bahan baku berkaitan dengan keamanan pangan. Ketika perusahaan melakukan pengujian mikrobiologi, maka hal tersebut dapat dijadikan bahwa bahan baku yang diterima oleh perusahaan memiliki kualitas prima. Selain itu, pengujian mikrobiologi pada tahap akhir proses produksi udang dapat dijadikan sebagai acuan bahwa udang yang diproses oleh perusahaan dilakukan dibawah proses sanitasi dan higiene yang baik. Menurut Venogupal (2006), produk perikanan yang tidak dilakukan dibawah pengawasan kondisi higiene yang ketat dapat mengakibatkan patogen. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 1264 sampel udang Individuaaly Quick Frozen (IQF) kupas dan pembuangan usus mentah dan 914 sample udang ready-to-eat yang sudah dimasak yang diproduksi secara komersial dari hasil tambak black tiger (P. monodon) menunjukkan bahwa terkontaminasi oleh E. coli, koagulase positif Staphylococcus dan Salmonella spp. Selan itu, dari udang beku mentah yang diuji juga positif mengandung bakteri patogen tersebut. 4.4.3 Pencucian Pelabelan udang pada setiap tahap pencucian dalam alur proses produksi dengan function ID 3.10, 5.10, 8.10, 11.10, 14.10 karena dapat menyebabkan terjadinya pencampuran bahan baku jika dalam sehari dilakukan proses produksi
55
dari dua bahan baku yang berbeda pemasok. Selain itu, jika pada tahap pencucian tidak dilakukan proses tagging maka pelaksanaan proses traceability akan terputus dan menyebabkan terjadinya efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku dan menyebakan efek global yaitu kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.4 Potong Kepala (PK) Pelabelan pada tahap potong kepala dengan function ID 4, pada kemungkinan kegagalan
pertama dengan function ID 4.10 yaitu jika tidak
dilakukan proses tagging maka pelaksanaan proses traceability akan terputus. Efek lokal kegagalan ID 4.10 yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku dan menyebakan efek global yaitu kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk. Selain itu, kemungkinan kegagalan kedua dengan function ID 4.20 adalah jika tidak dilakukan penghitungan terhadap rendemen setelah proses potong kepala. Rendemen udang yang dihasilkan setelah proses potong kepala perlu dilakukan agar perusahaan dapat menentukan dengan pasti rendemen udang yang seharusnya dihasilkan pada setiap proses produksi berlangsung. Efek global yang dapat ditimbulkan adalah jika terlalu banyak daging udang yang terbuang, maka dapat merugikan perusahaan. PT Y telah memiliki standar persentase hasil rendemen potong kepala udang black tiger yaitu 63-64% (PT Y 2011). 4.4.5 Pencucian II Pelabelan udang dengan function ID 5 perlu dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya pencampuran bahan baku jika dalam sehari dilakukan proses produksi dari dua bahan baku yang berbeda pemasok. Selain itu, jika pada tahap pencucian tidak dilakukan proses tagging maka pelaksanaan proses traceability akan terputus dan menyebabkan terjadinya efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku dan menyebakan efek global yaitu kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.6 Sortasi size Tahapan sortasi size dengan function ID 6.10 dapat memungkinkan terjadinya efek lokal berupa tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta
56
efek global berupa kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asalusul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.7 Sortasi final Tahapan sortasi final dengan function ID 7.10 dapat memungkinkan terjadinya efek lokal yaitu jika tidak dilakukan pelabelan maka dapat menimbulkan efek lokal berupa tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global berupa kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.8 Pencucian III Pelabelan udang dengan function ID 8.10 perlu dilakukan dikarenakan dapat menyebabkan terjadinya pencampuran bahan baku jika dalam sehari dilakukan proses produksi dari dua bahan baku yang berbeda pemasok. Selain itu, jika pada tahap pencucian tidak dilakukan proses tagging maka pelaksanaan proses traceability akan terputus dan menyebabkan terjadinya efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku dan menyebakan efek global yaitu kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk. 4.4.9 Kupas Proses pengupasan dan pembuangan usus memerlukan pelabelan. Pada perusahaan telah dilakukan pelabelan seperti pada Gambar 5. Proses pelabelan tersebut merupakan label yang ditransfer dari proses sebelumnya, yaitu mulai dari tahapan sortasi ukuran. Tagging selama proses produksi mulai dari tahapan sortasi ukuran akan tetap sama dan ditransfer hingga pada tahap soaking yaitu tanggal penerimaan udang, kode pemasok, ukuran udang dan jenis produk. Tahapan kupas dengan function ID 9 memiliki 2 kemungkinan kegagalan traceability yaitu dengan function ID 9.20 yaitu tidak diberikannya pelabelan maka dapat menimbulkan efek lokal berupa tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global berupa kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.10 Pembuangan usus Tahapan ini memiliki function ID 10.10 dengan kemungkinan kegagalan yaitu tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan. Efek lokal yang
57
dapat ditimbulkan adalah sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi serta efek global yang dilakukan adalah saat ada penarikan produk maka produk hanya dapat dilacak berdasarkan sumber bahan baku. 4.4.12 Gores Perut Pada tahapan gores perut dan dengan function ID 12.10 seharusnya dilakukan pelabelan terhadap nomor pekerja/ nomor grup pekerja karena jika tidak ada pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja, dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulitnya melakukan pengecekan
terhadap
karyawan
yang
menyebabkan
produk
menjadi
terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja/ grup pekerja yang melakukan tahapan gores perut. Selain itu, saat dilakukan proses recall, maka perusahaan akan menderita rugi besar karena pelacakan hanya dapat dilakukan dari sumber bahan baku sehingga keseluruhan bahan baku yang datang pada hari tersebut akan ditarik dan dimusnahkan. 4.4.13 Stretching Pada tahapan stretching dengan function ID 13.10 seharusnya dilakukan pelabelan terhadap nomor pekerja/ nomor grup pekerja. Hal ini mengingat jika tidak ada pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulitnya melakukan pengecekan
terhadap
karyawan
yang
menyebabkan
produk
menjadi
terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja/ grup pekerja yang melakukan tahapan stretching. Udang breaded yang dihasilkan melalui pengupasan, pembuangan usus, dan stretching (coated stretched shrimp) juga disebut dengan Nobashi. Proses stretching dilakukan untuk merubah bentuk udang menjadi lurus melalui tahap pemotongan secara paralel (atau pada perusahaan disebut dengan tahapan gores perut) pada bagian abdomen bawah udang serta menekannya dengan menggunakan peralatan sederhana merupakan suatu teknik baru. Proses tersebut
58
dapat menambah sekitar 1-2 cm panjang udang, tergantung pada ukuran udang akan bermanfaat dalam menambah luas permukaan udang yang akan terlapisi dengan coating selama breading serta menghasilkan penampilan yang lebih menarik minat konsumen (Venugopal 2006). Pemilihan terhadap produk breaded (value-added breaded shrimp) dengan menggunakan black tiger yaitu produk tersebut dapat dijual dan mencapai harga yang menguntungkan bagi perusahaan. Selain itu, udang black tiger merupakan jenis udang yang paling banyak dipilih oleh konsumen (Venugopal 2006). 4.4.14 Pencucian IV Pelabelan udang dengan function ID 14.10 perlu dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya pencampuran bahan baku jika dalam sehari dilakukan proses produksi dari dua bahan baku yang berbeda pemasok. Selain itu, jika pada tahap pencucian tidak dilakukan proses tagging maka pelaksanaan proses traceability akan terputus dan menyebabkan terjadinya efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku dan menyebabkan efek global yaitu kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.15 Soaking Pada tahap soaking dengan function ID 15.10, terjadi kegagalan di lapangan yaitu tidak diberikannya label dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.16 Pemberian pre-dust Pada tahapan pemberian pre-dust dengan function ID 16.10 seharusnya dilakukan pelabelan terhadap nomor pekerja/ nomor grup pekerja. Hal ini mengingat jika tidak adanya pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya
59
penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja/ grup pekerja yang melakukan tahapan stretching. 4.4.17 Pemberian batter dan breadcrumb Pada tahapan pemberian batter dan breadcrumb dengan function ID 17.10 seharusnya dilakukan pelabelan terhadap nomor pekerja/ nomor grup pekerja, sebab jika tidak adanya pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulit melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja/ grup pekerja yang melakukan tahapan stretching. 4.4.18 Penyusunan tray Pada tahap penyusunan tray dengan function ID 18.10, terjadi kegagalan di lapangan yaitu tidak diberikan label dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.19 Penimbangan Pada tahap penimbangan dengan function ID 19.10, dapat terjadi kemungkinan kegagalan tidak diketahuinya berat akhir udang setelah proses breaded maka dapat menimbulkan efek lokal yaitu produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi produk. Efek global yang ditimbulkan bagi konsumen adalah terjadinya penipuan terhadap konsumen yang dapat digolongkan ke dalam economic fraud. 4.4.20 Pemeriksaan akhir Pada tahapan pemeriksaan akhir, tidak hanya dilakukan pengecekan terhadap kemungkinan kegagalan pada proses pelabelan. Kemungkinan kegagalan juga dapat terjadi jika tidak ada pengecekan terhadap kadar mikrobiologi produk dengan function ID 20.10. Pengecekan terhadap kandungan mikroiologi akan menentukan produk tersebut terkontaminasi atau tidak selama proses produksi. Pada saat dilakukan asessment traceability, perusahaan akan melakukan pengujian terhadap jumlah mikrobiologi yang terdapat pada udang segar yaitu
60
pada tahap penerimaan bahan baku dan pada tahap akhir pengolahan (sebelum proses pengemasan produk). Pengujian jumlah mikroba pada tahap penerimaan bahan baku dilakukan untuk mengendalikan jumlah mikroba yang terdapat dalam udang. Pengujian mikrobiologi penting dilakukan karena saat pengolahan ikan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan mikroflora ikan. Selain itu, beberapa tambahan mikroflora dapat terjadi akibat kontaminasi silang selama pengolahan (Connell 1980 dalam Thaheer 2005). Pengujian terhadap jumlah mikrobiologi juga dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penarikan produk. Pada tahap pemeriksaan akhir dengan kemungkinan kegagalan yaitu tidak diberikannya label (function ID 20.10) dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.21 Pembekuan Pada tahap pembekuan dapat terjadi kemungkinan kegagalan yaitu human error (tidak didokumentasikan nomor rak yang masuk kedalam ruang ABF ataupun enis alat pembeku lainnya) dengan function ID 21.10. Terjadinya kemungkinan kegagalan pada tahap ini memiliki 2 efek lokal yaitu tidak diketahui dengan pasti jumlah produk yang dihasilkan serta dapat menyebabkan terjadinya pencampuran produk saat proses produksi dan efek global yang ditimbulkan adalah kehilangan informasi sehingga tidak adanya informasi produk. 4.4.22 Pemeriksaan filth Pada tahap pemeriksaan filth dapat terjadi kemungkinan kegagalan yaitu tidak diberikannya label (function ID 22.10) dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.23 Pengemasan primer Pada tahap pengemasan primer dengan function ID 23.10 dapat terjadi 2 kemungkinan kegagalan yaitu function ID 23.10 tidak diberikannya label dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul
61
udang jika terjadi penarikan produk. Selain itu, kemungkinan kegagalan dengan function ID 23.20 adalah kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan (rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan) dapat menyebabkan efek lokal yaitu kemungkinan produk terkontaminasi serta efek global yaitu dapat menyebabkan product recall. 4.4.24 Pendeteksian logam Pada tahap pendeteksian logam dengan kemungkinan kegagalan yaitu tidak diberikannya label (function ID secara berurutan 22.10 dan 24.10) dan menimbulkan efek lokal yaitu tidak adanya informasi mengenai bahan baku serta efek global kehilangan informasi sehingga sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk. 4.4.25 Pengemasan sekunder Pada tahap pengemasan sekunder ke dalam master cartoon dengan function ID 25.10, tahapan ini perlu diperhatikan karena dapat terjadi kemungkinan kegagalan berupa misslabelling yang disebabkan oleh kelalaian karyawan. Kegagalan pada tahapan ini dapat menyebabkan kehilangan informasi dan akan sangat menyulitkan perusahaan saat melakukan traceback. Selain itu, kemungkinan kegagalan lain yang biasanya terjadi pada kebanyakan perusahaan adalah “penomoran produk tersisa”, yaitu penomoran produk sesuai dengan produk yang paling banyak diproduksi hari itu. Terjadinya kegagalan ini dapat menyebabkan efek lokal yang mengakibatkan rekaman pencatatan menjadi tidak akurat serta efek global berupa terjadinya bias dan sulit melakukan pelacakan produk. 4.4.26 Penyimpanan dalam Cold Storage (CS) Tahap penyimpanan dalam cold storage dengan function ID 26.10 merupakan tahap yang penting dimana perlunya pencatatan master cartoon yang keluar dan masuk cold storage yaitu untuk penerapan First In First Out (FIFO). Pencatatan ini dilakukan agar sirkulasi udang yang keluar dan masuk cold storage dapat lekas diketahui. Selain itu, jika dilakukan pencatatan yang jelas, maka juga dapat diketahui stok udang perusahaan dengan pasti.
62
4.4.27 Stuffing dan distribusi Tahap akhir proses produksi adalah stuffing dan distribusi (function ID 27) memiliki dua kemungkinan kegagalan. Kemungkinan kegagalan pertama (function ID 27.10) adalah pengemasan produk yang kurang baik. Efek lokal yang diakibatkan dari kemungkinan kegagalan ini adalah kemasan tidak dapat melindungi produk dengan baik sehingga nantinya ini akan berpengaruh merugikan konsumen. Selain itu, kemungkinan kegagalan kedua (function ID 27.20) adalah perekaman invoice. Invoice sangat diperlukan karena mencakup keseluruhan proses produksi yang dilakukan oeh perusahaan. Invoice ini biasanya juga membuktikkan bahwa perusahaan melakukan setiap tahapan proses dengan baik dan pelaksanaanya diawasi oleh QC pengolahan. Selain itu, perekaman invoice bermanfaat dalam mempermudah perusahaan saat penarikan produk. 4.5. Analisis CA Setelah dilakukannya tahap pertama, maka dibuat kuesioner oleh peneliti dengan merangkum kemungkinan kegagalan-kegagalan yang dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di dalam perusahaan. Pengisian kuesioner dilakukan untuk tahapan selanjutnya yaitu analisis kritikal (Critical Analysis/ CA) dengan menggunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik. Pakar akan
menentukan tingkat kepelikan
(Severity/ S) dan menentukan peluang terjadinya (Probability/ P) terhadap kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang pernah dan mungkin dapat terjadi selama di perusahaan. Hasil kuesioner dengan menggunakan pakar dapat dilihat pada Lampiran 3. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Pakar (misalkan: dari pihak akademik, manajer produksi, keamanan produk dan manajer mutu), merupakan sejumlah orang yang pendapatnya dapat digunakan untuk mengaplikasikan metode FMECA. Pada saat penelitian digunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik (dosen). Pakar dari pihak perusahaan terdiri dari QC yang berhubungan langsung pada saat proses produksi yaitu stafstaf QC dan staf-staf produksi. Eriyatno dan Fadjar (2007), penentuan pakar dari pihak perusahaan berdasarkan pengalaman pribadi pakar yang bekerja di dalam
63
perusahaan sehingga dianggap mampu memberikan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Pakar juga dapat ditentukan menurut pengalaman dari staf yang berkaitan dengan traceability di perusahaan (Braglia 2000). Evaluasi titik kritis dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu Criticality Number (CN) dan dengan mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertollini et al. 2006). Evaluasi titik kritis yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan RPN. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan acuan RPN pada SAE J1739 yaitu Standard yang digunakan pada industri automobile dan juga biasa digunakan sebagai standard pada industri lainnya. Analisis FMEA dengan menggunakan metode RPN untuk memberi peringkat (ranking) dan menaksir resiko titik kegagalan yang potensial terjadi pada desain titik kritis traceability. RPN adalah metode yang dikembangkan dengan menganalisis tingkat kepelikan (severity level), tingkat peluang terjadinya (probabbility of occurence level) dan tingkat ditemukannya (detection of occurence level) pada setiap kemungkinan kegagalan titik kritis traceability. Ketiga faktor tersebut akan dikalikan dan masing-masing faktor memiliki ranking yang berkisar antara 1 hingga 10 dimana pada akhirnya nilai RPN yang dihasilkan akan memiliki rentang dari 1 hingga 1000. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004; Carmignani 2009; Kwai-Sang et al. 2009). Kegagalan yang mempunyai nilai RPN lebih tinggi diasumsikan lebih penting dan diberi prioritas lebih tinggi untuk segera diperbaiki (Kwai-Sang et al. 2009). Penentuan
peringkat
pada
masing-masing
kemungkinan
kegagalan
traceability menggunakan acuan MIL-STD 1629A secara kualitatif. Data kualitatif tersebut kemudian diberikan ranking pada masing-masing level sehingga dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan acuan pada Ford (1988) dalam Bowles dan Pelaez (1995) yang dapat dilihat pada Tabel 8, 9 dan 10. Analisis dari kedua pakar digunakan untuk menentukan tingkat kepelikan dari masing-masing kemungkinan kegagalan traceabbility di perusahaan. Hasil kuisioner dari kedua pakar dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Hasil analisis dari kedua pakar tersebut akan dirata-ratakan untuk mendapatkan rata-rata tingkat
64
kepelikan pada masing-masing kemungkinan kegagalan dan digunakan untuk mengetahui nilai RPN masing-masing kemungkinan kegagalan. Hasil analisis dari kedua pakar dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil dari analisis tersebut juga dapat dilihat pada Gambar 8 dimana dapat dilihat kisaran nilai RPN pada masingmasing titik kegagalan traceability.
Tabel 8 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) Ranking Peluang terjadinya kegagalan Level Possible Failure Rates 10 Frequent: peluang terjadinya tinggi A 1 in 2 9 1 in 3 8 Reasonably common: peluang B 1 in 8 terjadinya moderat (sedang) 7 6 5 4 3 2 1
Occasional: jarang
peluang
terjadinya C
Rare: sangat tak mungkin terjadi
D
Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol.
E
1 in 20 1 in 80 1 in 400 1 in 2.000 1 in 15.000 1 in 150.000 < 1 in 1.500.000
Tabel 9 Tingkat kepelikan (Severity classification) Ranking Efek Level Arti kepelikan Catastrophic Tingkat kepelikan dimana 9,10 Sangat tinggi menyebabkan kehilangan banyak informasi (total lost) 7,8 Tinggi Tingkat kepelikan dimana Critical menyebabkan ketidakefisienan berat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. 4,5,6 Sedang Marginal Tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan ringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. 2,3 Rendah Minor Tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan). 1 Sangat Very Minor rendah
65
Tabel 10 Deteksi terjadinya kegagalan (detection) Ranking Detection Criteria: Likelyhood of Detection by Design Control 10 Benar-benar tidak Design Control Traceability tidak akan dan/atau tentu tidak dapat mendeteksi kegagala; atau tidak ada design Control 9 Sangat sedikit Sangat sedikit peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 8 Sedikit Sedikit sekali peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 7 Sangat rendah Sangat rendah peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 6 Rendah Rendah peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 5 Sedang Sedang peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 4 Agak tinggi Agak tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 3 Tinggi Tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 2 Sangat tinggi Sangat tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 1 Hampir pasti Design Control Traceability hampir pasti dapat mendeteksi kegagalan Sumber: Bowles dan Pelaez (1995) 700 600
RPN
500 400 300 200 100 0
Failure ID Gambar 8 Kisaran RPN pada masing-masing titik kegagalan traceability
66
Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy (peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan) A
B
C
D
E
(peningkatan tingkat kepelikan)
Klasifikasi tingkat kepelikan
I 1.10-1.20 1.30
II 9.10 17.10
III
20.10-20.20 23.10-23.20 26.10 27.10-27.20
16.10
IV
19.10-19.20 25.10-25.20
Unacceptable
Undesirable
Area kritis
2.10-2.20 3.10 4.10-4.20 5.10-6.10 7.10-8.10 9.20 10.10-14.10 15.10-16.10 18.10-19.20 21.10-22.10 22.20-24.10
Acceptable with Revision
Acceptable Without revision
Gambar 9 Hasil analisis CA pada matriks kritikal
Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy (peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan) (peningkatan tingkat kepelikan)
Klasifikasi tingkat kepelikan
A
B
C
D
E
I II 9.10 17.10 1.10-1.20 1.30-16.10 19.10-19.20 25.10-25.20
III
IV Unacceptable Area kritis
Undesirable
Acceptable with Revision
Acceptable Without revision
Gambar 10 Hasil analisis CA: perbaikan struktural pada sistem tracaebility
67
Tabel 11 Analisis FMECA dari kedua pakar Failur Tahapan proses Kemungkinan Kegagalan/ Penyebab e ID 1 Pengangkutan Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual bahan baku Beli Udang
D
RPN
3
1
24
D
3
1
24
8
D
3
1
24
2.10
4.5
D
3
2
27
Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji mikrobiologi dan uji antibiotik
2.20
4.5
D
3
1
13.5
3 Pencucian 1
Tidak diberikannya label
3.10
4.5
D
3
3
40.5
4 Potong Kepala
Tidak diberikannya label
4.10
4.5
D
3
3
40.5
Tidak ada penimbangan rendemen udang setelah potong kepala
4.20
3
D
3
3
27
Tidak diberikannya label
5.10
4.5
D
3
3
40.5
2 Penerimaan bahan baku
5 Pencucian II
Failure
S
O
1.10
8
D
Tidak ada Nota pembelian Produk
1.20
8
Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan
1.30
Tidak diberikannya label pada saat penerimaan
Level in matrix Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision
68
6 Sortasi size
Tidak diberikannya label
6.10
4.5
D
3
3
40.5
7 Sortasi final
Tidak diberikannya label
7.10
4.5
D
3
3
40.5
8 Pencucian III
Tidak diberikannya label
8.10
4.5
D
3
3
40.5
9 Kupas (peeled)
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan Tidak diberikannya label
9.10
6
A
10
10
600
9.20
4.5
D
3
3
40.5
10 Pembuangan usus
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan
10.10
4.5
D
3
10
135
11 Pencucian III
Tidak diberikannya label
11.10
4.5
D
3
10
135
12 Gores perut
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan
12.10
4.5
D
3
10
135
13 Stretching
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan
13.10
4.5
D
3
10
135
14 Pencucian IV
Tidak diberikannya label
14.10
4.5
D
3
3
40.5
Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Undesirable Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision
69
15 Soaking
Tidak diberikannya label
15.10
4.5
D
3
3
40.5
16 Pemberian predust
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan
16.10
4.5
A
10
10
450
17 Pemberian batter dan bread crumb 18 Penyusunan tray
Tidak ada tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan Tidak diberikannya label
17.10
4.5
A
10
10
450
18.10
4.5
D
3
3
40.5
19 Penimbangan
Tidak diberikannya label
19.10
4.5
D
3
3
40.5
Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded
19.20
6
C
6
3
108
Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk
20.1.0
4.5
D
3
1
13.5
Tidak diberikannya label
20.20
4.5
D
3
3
40.5
Tidak diberikannya label
21.10
4.5
D
3
3
40.5
21.20
3
D
3
5
45
22.10
4.5
D
3
3
40.5
20 Pemeriksaan akhir
21 Pembekuan
Human error (tidak didokumentasikan nomor rack yang masuk kedalam ruang ABF) 22 Pemeriksaan filth Tidak diberikannya label
Acceptable without revision Acceptable with revision Undesirable Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable with revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable
70
23 Pengemasan primer
24 Pendeteksian Logam 25 Pengemasan sekunder
26 Penyimpanan dalam cold storage 27 Stuffing dan Distribusi
Tidak diberikannya label
23.10
4.5
C
6
3
81
Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan (rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan) Tidak diberikannya label
23.20
4.5
C
6
3
81
24.10
4.5
C
6
3
81
Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC Misslabelling
25.10
8
C
6
5
240
25.20
8
C
6
1
48
Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon produk udang yang masuk dan keluar (First In First Out) Pengemasan produk kurang baik
26.10
4.5
C
6
3
81
27.10
3
C
6
1
18
Perekaman invoice
27.20
6.5
C
6
1
39
without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision
71
Setelah diketahui nilai RPN masing-masing titik, maka dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan matriks kritikal (Criticality matrix) terhadap tingkat kepelikan (severity classification) dan peluang terjadinya (probability of occurence level) oleh pakar. Masing-masing titik kegagalan akan dianalisis dengan menggunakan matriks analsis kritikal untuk menentukan area kritis masing-masing titik kegagalan. Area kritis yang paling parah dan paling dihindari adalah “unacceptable” (Veer dan Olav 2003). Hasil analisis dengan menggunakan matriks kritikal dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil kuisioner yang didapatkan dari pakar akan dianalisis dengan menggunkaan matriks kritikal untuk melihat tingkat kepelikan masing-masing titik kritis. Tindakan selanjutnya yang akan dilakukan adalah mengajukan proposal kepada perusahaan mengenai perbaikan serta tindakan koreksi yang perlu dilakukan perusahaan. Proposal yang diajukan bertujuan mengurangi level/ area kritis dari masing-masing titik kritis tracability misalnya dari “undesirable” menjadi “acceptable with revision” (Bertollini et al. 2006). Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh pakar, maka didapatkan bahwa pada kode 2.10, 2.20, 3.10, 4.10, 4.20, 5.10, 6.10, 7.10, 8.10, 9.20, 10.10, 11.10, 12.10, 13.10, 14.10, 15.10, 23.10, 23.20, 24.10, 26.10, 27.10 dan 27.20 adalah acceptable without revision. Artinya pada tahapan tersebut sudah dilakukan penerapan traceability secara baik tanpa perlu adanya perbaikan pada tahapan tersebut. Pada kode 1.10, 1.20, 1.30, 19.10 adalah acceptable with revision artinya masih diperlukannya sedikit revisi pada tahapan tersebut. Pada ID 1.10 jika terjadi kegalan traceability tersebut maka efek lokal yang ditimbulkan adalah tidak diketahuinya nomor tambak yang dipanen. Revisi yang dapat dilakukan adalah dengan selalu memperhatikan sebelum udang dikirim ke perusahaan untuk memastikan bahwa pemasok mencatat tambak yang dipanen pada hari tersebut. Pada ID 1.20 juga diperlukannya revisi berupa lebih diperhatikan kembali menangani saat pencatatan Nota pembelian produk dan Nota timbang produk sehingga dokumentasi perusahaan dapat terjamin 100% keberhasilannya. Revisi yang perlu dilakukan pada ID 19.20 adalah perlunya penimbangan berat akhir
72
udang sebelum dimasukkan kedalam kemasan. Akan tetapi, pada kenyataanya di perusahaan sudah melakukannya dengan baik. Pada beberapa ID lainnya yaitu 9.10, 17.10, 18.10, 19.10, 20.10, 20.20, 21.10, 22.10, serta 25.10 masih belum dapat diidentifikasi di perusahaan dikarenakan masih belum diterapkannya secara langsung pada tahapan tersebut. Penerapan dokumentasi secara menyeluruh pada setiap tahapan proses produksi memang masih belum dapat dilakukan, tetapi ketika terjadi penarikan produk maka perusahaan sudah dapat menelusuri kembali asal bahan baku udang. Tidak adanya keterangan atau kode pada ID 9.10, 16.10 dan 17.10 yang menjelaskan tentang pekerja/ nomor grup pekerja merupakan tahapan yang perlu direvisi kembali oleh perusahaan. Saran yang dapat diberikan pada perusahaan adalah perlunya dilakukan pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja yang melakukan tahapan tersebut.Tidak adanya pelabelan yang mencakup nomor pekerja/ nomor grup pekerja dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja/ grup pekerja yang melakukan tahapan pengupasan dan pembuangan usus. Selain itu, jika terjadi kasus penarikan produk maka perusahaan akan menderita rugi besar dikarenakan pelacakan hanya dapat dilakukan dari sumber bahan baku sehingga keseluruhan bahan baku yang datang pada hari tersebut akan ditarik dan dimusnahkan. Sedangkan ID 18.10, 19.20, 20.20, 22.10 tidak dilakukan proses tagging secara langsung pada udang pada saat proses produksi menyebabkan saat dilakukan traceback secara langsung lewat label menjadi terputus. Akan tetapi, hal tersebut memang dapat ditelusuri lewat dokumen dan rekaman yang berkaitan dengan tahapan proses produksi tersebut. Maka saran yang diberikan untuk perusahaan adalah agar diberikannya juga label pada setiap tahapan proses produksi. Pada ID 25.10 terjadi kegagalan berupa penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1
73
MC. Kegagalan tersebut dapat menyebabkan kegagalan berupa efek global berupa rekaman pencatatan menjadi tidak akurat serta efek global mengakibatkan terjadinya bias dan sulitnya melakukan pelacakan produk. Hal ini dilakukan oleh perusahaan dikarenakan permintaan dari pembeli. Seharusnya hal tersebut tidak boleh dilakukan dikarenakan akan sangat menyulitkan bagi perusahaan nantinya saat dilakukannya penarikan produk. Pada tahap pengemasan sekunder dengan ID 25.20 yaitu terjadinya kemungkinan kegagalan misslabelling masih perlu dilakuknnya revisi. Terjadinya kegagalan pada tahapan ini harus lebih diperhatikan kembali oleh perusahaan, terutama karena pelabelan pada pengemasan sekunder di perusahaan masih menggunakan cara manual (dengan alat bantu stempel), maka masih bisa dimungkinkan terjadinya kesalahan berupa human error. Setelah dilakukannya revisi, maka diperkirakan perusahaan dapat melakukan traceability lebih efektif dan efisien. Berdasarkan pembahasan diatas maka ditetapkan bahwa titik kritis traceability pada perusahaan adalah ID 11.0, 1.20 dan 1.30 yaitu pada tahapan penerimaan bahan baku serta ID 25.10 yaitu pada tahapan pengemasan sekunder. Setelah dilakukan revisi pada proses produksi diharapkan proses produksi menjadi lebih baik dan saat dilakukan analisis maka didapatkan penerapan traceability di perusahaan menjadi lebih efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006). Maka proposal yang diajukan untuk perusahaan dapat dilihat pada Tabel 12 serta masing-masing area kritis dapat diturunkan menjadi selevel lebih rendah dari sebelumnya seperti pada Gambar 10. Sistem traceability tidak berfungsi meningkatkan mutu produk tapi secara tidak langsung memperlihatkan mutu suatu perusahaan. Sistem traceability tidak berfungsi mengurangi kemungkinan terjadinya krisis mutu pangan tapi mengurangi konsukensi tingkat keparahannya (Dupuy et al. 2005). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan
74
produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008). Selain itu, pengembangan sistem internal traceability digunakan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan data, kontrol sistem (plant control) dan jaminan mutu produk. Kalibrasi peralatan ukur berdasarkan standart yang dapat ditelusuri oleh standart nasional/ internasional penting diterapkan oleh seluruh produsen pangan. Kalibrasi peralatan ukur berdasarkan standart digunakan auditor sebagai dasar yang berlaku secara umum selama penilaian mutu produk serta penilaian terhadap hasil yang berkaitan dengan spesifikasi produk (Moe 1998). Sistem traceabilty tidak berfungsi untuk meningkatkan mutu produk tetapi secara tidak langsung memperlihatkan mutu dari suatu perusahaan. Sistem traceability tidak berfungsi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya krisis pangan tapi mengurangi konsukuensinya (Dupuy et al. 2005). Selain itu, saran tambahan bagi perusahaan adalah ditambahkannya keterangan pada label produk termasuk mengenai: jenis produk breaded yang dihasilkan serta perbandingan komposisi udang dan breading. Ketebalan dari lapisan coating pada produk breaded dapat mencapai 40-60% dari berat produk. Tiga jenis produk udang breaded mentah berdasarkan persentase daging udang yaitu lightly breaded (dimana prduk tersebut hanya boleh memiliki 35% atau kurang dari 35% breading dan 65% atau lebih 65% udang dalam produk), breaded shrimp (bahwa minimum 50% produk tersebut adalah udang), dan produk imitasi (produk tersebut dapat memiliki kurang dari 50% udang dalam produk tersebut) (Kanduri dan Eckhardt 2002; Venogupal 2006) .
75
Tabel 12 Proposal pengajuan perbaikan struktural bagi perusahaan Posisi dalam matriks (sebelum perubahan struktural) II-D
Failure
Kemungkinan Kegagalan/ Penyebab
1.10
Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang
1.20
Tidak ada Nota pembelian Produk
II-D
1.30
Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
II-D
9.10
Area kritis (sebelum perubahan struktural) Acceptable with revision Acceptable with revision Acceptable with revision
III-B
Undesirable
16.10
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
IV-A
Acceptable with revision
17.10
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
III-A
Undesirable
19.10
Tidak diberikannya label
III-C
19.20
Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded
III-C
Acceptable with revision Acceptable with revision
25.10
Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC Misslabelling
III-C
Acceptable with revision
III-C
Acceptable with revision
25.20
Perubahan struktural
Pelaksanaan pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang Perekaman Nota pembelian Produk Perekaman Nota pembelian Produk Pelaksanaan tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan Pelaksanaan tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan Pelaksanaan tagging grup karyawan/ masingmasing karyawan Pemberian label
Posisi dalam matriks (setelah perubahan struktural) IV-C
IV-C IV-C
Area kritis (setelah perubahan struktural) Acceptable without revision Acceptable without revision Acceptable without revision
III-C
Acceptable with revision
IV-C
Acceptable without revision
III-C
Acceptable with revision
IV-C
Acceptable without revision Acceptable without revision
Penimbangan berat akhir udang setelah proses breaded Pencatatan label sesuai hari
IV-C
IV-C
Acceptable without revision
Pelabelan denan benar
IV-C
Acceptable without revision
76
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil FMECA yang dilakukan pada manajemen sistem traceability diperusahaan maka diperoleh bahwa PT Y memiliki 10 kemungkinan titik kegagalan yaitu pada failure ID 1.10; 1.20; 1.30; 9.10; 16.10; 17.10; 19.10; 19.20; 25.10; 25.20. Penyebab kemungkinan kegagalan adalah tidak ada pencatatan Surat perjanjian jual beli udang (1.10); tidak ada Nota pembelian produk (1.20); Tidak ada pencatatan Nota timbang produk saat di tambak/ tiba diperusahaan (1.30); Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan(9.10; 16.10; 17.10); Tidak diberikannya label (19.10); Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded (19.20); Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC (25.10); dan Misslabelling (25.20). Peneliti mengajukan proposal perbaikan struktural manajemen taceability dalam perusahaan yang bertujuan menurunkan level/ area kritis dari masing-masing failure ID sehingga tercapai keefektifan dan keefisienan sistem manajemen traceability di dalam perusahaan.
5.2 Saran Saran bagi perusahaan adalah perusahaan dapat melaksanakan proposal pengajuan perbaikan struktural manajemen traceability yang diajukan oleh peneliti. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya penentuan titik kritis traceability dengan aplikasi fuzzy logic agar perhitungan dengan menggunakan RPN dapat lebih akurat. Saran lainnya adalah penentuan titik kritis traceability dengan menggunakan metode lain misalnya Criticality Number (CN) yang dapat diaplikasikan pada perusahaan dengan produksi skala besar. Selain itu, dapat diberikannya pemberian kuisioner dengan menggunakan lebih banyak pakar atau dengan penggunaan metode Delphi agar dapat lebih mengurangi subyektifitas serta bias pendapat pakar.
77
DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2010. Shrimp: Nutrition facts of raw shrimp (mixed species). http://www.dietaryfiberfood.com/shrimp-nutrition.php [4 Juli 2010]. Bailey-Brock JH dan Shaun MM. 1992. Penaeid Taxonomy, Biology and Zoogeography. Didalam: Fast AW dan L. James L, editor. Marine Shrimp Culture: Principles and Practices. U.S.A: Elsevier Science Publishing Company Inc. Blue Revolution Consulting Inc. and Speyside Environmental Consultant PI. 2005. Final report: An analysis of the Requirements, Current Conditons and Opportunities for Traceability in the British Columbia Seafood Sector – Assessing the State of Readiness. British Columbia: Archipelago Marine Research Ltd. B Murty KH. 1991. Perdagangan Udang Internasional. Jakarta: Penebar Swadaya. Braglia M. 2000. MAFMA: Multi-Attribute Failure Mode Analysis. International Journal of Quality and Reliability Management 17(9):1017-1033. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2728.2006: Udang segarBagian 2: Persyaratan Bahna Baku. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bertolini M, Maurizio B dan Roberto M. 2006. FMECA approach to product tracebility in the food industry. Journal of Food Control 17:137-145. Bowles JB. 2004. An assesement of RPN priorization in a Failure Mode, Effects and Criticality Analysis. Journal of the IEST 2004; 47:51-6. Bowles JB dan Pelaez CE. 1995. Fuzzy logic priorization of failures in a system Failure Mode, Effects and Criticality Analysis. Journal of Reliability Engineering and System Safety 50:203-213 Braglia M. 2000. MAFMA: Multi-Attribute Failure Mode Analysis. International Journal of Quality and Reliability Management 17(9):1017-1033. [CAC] Codex Alimentarius Commision. 2003. Code of Practice for Fish and fishery Products (CAC/ RCP 52-2003). Joint Food and Agriculture Organization/ World Health Organization Food Standards Programme. Roma, Italy. [CAC] Codex Alimentarius Commision. 2010. CAC Procedural Manual, Ed ke-9. Joint Food and Agriculture Organization/ World Health Organization Food Standards Programme. Roma, Italy.
78
Carmignani G. 2009. An integrated structural framework to cost-based FMECA: The priority-cost FMECA. Journal of Reliability Engineering and System Safety 94:861-871. Derrick S dan Dillon M. 2004. A guide to Traceability within the fish industry. 2004. Swiss: SIPPO/ EUROFISH. Dupuy C, V. Botta-Genoulaz,dan A.Guinet. 2005. Batch dispersion model to optimise traceability in food industry. Journal of Food Engineering 70:333339. Gillet R. 2008. Global study of shrimp fisheries – FAO Fisheries Technical Paper No.475. 331 pp. Roma Hariyadi P. 2007. Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan Melalui Ilmu Dan Teknologi. Bogor: Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB. International Organization for Standardization (ISO). 2000. ISO 9000:2000. Quality Management Systems – Fundamentals and Vocubulary. Geneva: ISO Secretariate. ____________________________________________ . 2005. ISO 22000:2005. Food Safety Management Systems – Requirement for any organization in the food chain . Geneva: ISO Secretariate. Kanduri, L dan R.A. Eckhardt. 2002. Food Safety in Shrimp Processing – A Handbook for Shrimp Processors, Importers, Exporters and Retailers. USA: Fishing New Books, a division of Blackwell publishing. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Kwai-Sang C, Ying-Ming W, Gary KKP dan Jian-Bo Y. 2009. Failure mode and effects using a group-based evidential reasoning approach. Journal of Computers and Operations Research 36: 1768-1779. Marimin. 2004. Tehnik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Moe T. 1998. Perspective on food manufacture. Trends in food Science and Food Technology 9:211-214.
79
Muhandri T dan Darwin K.2008. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press. Prihatman K, editor. 2000. Budidaya Udang Windu (Palaeomonidae/ Penaeidae). Jakarta: Bappenas. Purwaningsih S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya.
[RASFF] Rapid Alert system for Food and Feed. 2009. Annual Report 2008. Luxemburg: European Communities. Regattieri A, M Gamberi dan R Manzini. 2007. Traceablity of food products: General framework and experimental evidence. J Food Engineering 81:347356. Suyanto SR dan Ahmad M. 2004. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya. Regulation (EC) No. 178/2002. (2002). Laying down the general principles and requirements of food law, establishing the European Food Safety Authority and laying down procedures in matters of food safety. The European Parliament and the Council of European Union. Official Journal of the European Communities. Schroder U. 2008. Challenges in the Traceability of Seafood. J. Of Consumer Protection and Food Safety 3: 45-48. Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points). Jakarta: PT Bumi Aksara. US Military Standard, MIL-STD-1629A. (1980). Procedures for Performing a Failure Mode, Effect and Criticality Analysis. USA: Department of Defense. US Military Standard, MIL-STD-1629A. (1983). Procedures for Performing a Failure Mode, Effect and Criticality Analysis. USA: Department of Defense. Venugopal, V. 2006. Seafood Processing – Adding Value Through Quick Freezing, Retortable Packaging, and Cook-Chilling. New York: Taylor and Francis Group. Winarno FG dan Surono. 2004. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor: M-Brio Press.
80
Wiryanti J. 2009. Traceability (Mampu Telusur) dalam pelatihan ISO 22000:2005. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), IPB.
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1. Manajemen TC dalam proses produksi breaded
83
Lampiran 2. Analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Function Failure ID 1.
1.10
Tahapan Kemungkinan Kegagalan/ Proses Penyebab Pengangkutan Tidak ada pencatatan Surat bahan baku Perjanjian Jual Beli Udang Tidak ada Nota pembelian Produk
1.20
Analisis FMEA Efek Lokal Tidak diketahuinya nomor tambak yang dipanen
2.
2.10
Penerimaan bahan baku
2.20
3.
3.10
Pencucian 1
Kehilangan informasi: tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Tidak adanya bukti pembelian
1.30 Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan Tidak diberikannya label pada saat penerimaan
Efek Global
Tidak diketahuinya berat total udang yang diterima perusahaan
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji mikrobiologi dan uji antibiotik
Mengetahui kualitas bahan baku (serta mencegah diterimanya udang yang seudah mengalami dekomposisi)
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Tidak adanya dokumentasi perusahaan
Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Tidak diketahuinya kualitas bahan baku yang diterima oleh perusahaan Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk
84
4.
4.10
Potong Kepala
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
4.20 Penimbangan rendemen udang Agar diketahui rendemen udang dengan pasti setelah potong kepala
5.
5.10
Pencucian II
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
6.
6.10
Sortasi size
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
7.
7.10
Sortasi final
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
8.
8.10
Pencucian III
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk Jika terlalu banyak bagian udang yang dibuang, maka dapat merugikan perusahaan Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk
85
9.
9.10
Kupas (peeled)
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
Sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi
Saat ada penarikan produk maka produk hanya dapat dilacak berdasarkan sumber bahan baku
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Saat ada penarikan produk maka produk hanya dapat dilacak berdasarkan sumber bahan baku Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Saat ada penarikan produk maka produk hanya dapat dilacak berdasarkan sumber bahan baku Saat ada penarikan produk maka produk hanya dapat dilacak berdasarkan sumber
9.20
10.
10.10
Pembuangan usus,
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
Sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi
11.
11.10
Pencucian III
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
12.
12.10
Gores perut
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
Sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi
13.
13.10
Stretching dan
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
Sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi
86
14.
14.10
Pencucian IV
Tidak diberikannya label
15.
15.10
Soaking
Tidak diberikannya label
16.
16.10
Pemberian pre-dust
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
17.
17.10
Pemberian batter dan bread crumb
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
18.
18.10
Penyusunan tray
Tidak diberikannya label
19.
19.10
Penimbangan
Tidak diberikannya label
19.20 Mengetahui berat akhir udang
bahan baku Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Tidak adanya informasi mengenai Kehilangan informasi: bahan baku sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Sulitnya melakukan pengecekan Saat ada penarikan terhadap karyawan yang produk maka produk menyebabkan produk menjadi hanya dapat dilacak terkontaminasi berdasarkan sumber bahan baku Sulitnya melakukan pengecekan Saat ada penarikan terhadap karyawan yang produk maka produk menyebabkan produk menjadi hanya dapat dilacak terkontaminasi berdasarkan sumber bahan baku Tidak adanya informasi mengenai Kehilangan informasi: bahan baku sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Tidak adanya informasi mengenai Kehilangan informasi: bahan baku sulit dilakukan pelacakan asal-usul Agar produk yang dihasilkan sesuai udang ika terjadi Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
87
setelah proses breaded
20.
20.10
Pemeriksaan akhir
Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk
20.20
dengan spesifikasi produk
Mengetahui kadar mikrobiologi pada produk (sehingga mengetahui apakah selama proses produksi teradi proses kontaminasi atau tidak)
penarikan produk Mencegah terjadinya penipuan terhadap konsumen Menghindari terjadinya penarikan produk (akibat adanya kontaminasi mikrobiologi)
Tidak diberikannya label Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
21.
21.10
Pembekuan
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
21.20 8/ Human error (tidak Tidak diketahui dengan pasti didokumentasikan nomor rack jumlah produk yang dihasilkan yang masuk kedalam ruang Dapat menyebabkan terjadi nya ABF) pencampuran produk
22.
22.10
Pemeriksaan filth
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: tidak adanya informasi produk
Kehilangan informasi: sulit dilakukan
88
23.
23.10
Pengemasan primer
Tidak diberikannya label
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan (rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan) Tidak diberikannya label
Kemungkinan produk terkontaminasi
Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC
Rekaman pencatatan menjadi tidak akurat
Misslabelling
Kelalaian karyawan
Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon produk udang yang masuk dan keluar (First In First Out)
Tidak diketahuinya stok udang perusahaan dengan pasti
23.20
24.
24.10
Pendeteksian Logam
25
25.10
Pengemasan sekunder
25.20
26.
26.10
Penyimpanan dalam cold storage
Tidak adanya informasi mengenai bahan baku
pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang ika terjadi penarikan produk Menyebabkan product recall Kehilangan informasi: sulit dilakukan pelacakan asal-usul udang jika terjadi penarikan produk Terjadi bias dan sulitnya melakukan pelacakan produk
Kehilangan informasi: tidak adanya informasi produk Agar barang tersirkulasi dengan baik di perusahaan
89
27.
27.10
Stuffing dan Distribusi
Pengemasan produk kurang baik
Kemasan tidak dapat melindungi produk dari kerusakan
Merugikan konsumen
Perekaman data perusahaan
Mempermdah perusahaan saat dilakukan product recall
27.20 Perekaman invoice
90
Lampiran 3. Analisis FMECA oleh Pakar 1 (perusahaan) Failure Tahapan proses ID 1 Pengangkutan bahan baku
Failure
S
D
RPN
Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang
1.10
II
8
D
3
1
24
Tidak ada Nota pembelian Produk
1.20
II
8
D
3
1
24
Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan
1.30
II
8
D
3
1
24
Tidak diberikannya label pada saat penerimaan
2.10
IV
3
D
3
2
18
Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji mikrobiologi dan uji antibiotik
2.20
IV
3
D
3
1
9
3 Pencucian 1
Tidak diberikannya label
3.10
IV
3
D
3
3
27
4 Potong Kepala
Tidak diberikannya label
4.10
IV
3
D
3
3
27
Tidak ada penimbangan rendemen udang setelah potong kepala
4.20
IV
3
D
3
3
27
5 Pencucian II
Tidak diberikannya label
5.10
IV
3
D
3
3
27
6 Sortasi size
Tidak diberikannya label
6.10
IV
3
D
3
3
27
7 Sortasi final
Tidak diberikannya label
7.10
IV
3
D
3
3
27
8 Pencucian III 9 Kupas (peeled)
Tidak diberikannya label Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak diberikannya label
8.10 9.10
IV III
3 6
D A
3 10
3 10
27 600
9.20
IV
3
D
3
3
27
2 Penerimaan bahan baku
Kemungkinan Kegagalan/ Penyebab
O
91
10 Pembuangan usus 11 Pencucian III
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
10.10
IV
3
D
3
10
90
Tidak diberikannya label
11.10
IV
3
D
3
10
90
12 Gores perut
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak diberikannya label
12.10
IV
3
D
3
10
90
13.10
IV
3
D
3
10
90
14.10
IV
3
D
3
3
27
Tidak diberikannya label Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
15.10
IV
3
D
3
3
27
16.10
IV
3
A
10
10
300
17.10
IV
3
A
10
10
300
Tidak diberikannya label
18.10
IV
3
D
3
3
27
Tidak diberikannya label Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded
19.10 19.20
IV III
3 6
D C
3 6
3 3
27 108
Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk
20.10
IV
3
D
3
1
9
Tidak diberikannya label Tidak diberikannya label Human error (tidak didokumentasikan nomor rack yang masuk kedalam ruang ABF) Tidak diberikannya label
20.20 21.10 21.20
IV IV IV
3 3 3
D D D
3 3 3
3 3 5
27 27 45
22.10
IV
3
D
3
3
27
13 Stretching 14 Pencucian IV 15 Soaking 16 Pemberian predust 17 Pemberian batter dan bread crumb 18 Penyusunan tray 19 Penimbangan
20 Pemeriksaan akhir 21 Pembekuan
22 Pemeriksaan filth
92
23 Pengemasan primer
24 Pendeteksian Logam 25 Pengemasan sekunder
26 Penyimpanan dalam cold storage 27 Stuffing dan Distribusi
Tidak diberikannya label
23.10
IV
3
C
6
3
54
Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan (rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan) Tidak diberikannya label
23.20
IV
3
C
6
3
54
24.10
IV
3
C
6
3
54
Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC Misslabelling Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon produk udang yang masuk dan keluar (First In First Out)
25.10
III
6
C
6
5
180
25.20 26.10
III IV
6 3
C C
6 6
1 3
36 54
Pengemasan produk kurang baik
27.10
IV
3
C
6
1
18
Perekaman invoice
27.20
IV
3
C
6
1
18
93
Lampiran 4. Analisis FMECA oleh Pakar 2 (akademik) Failure Tahapan proses ID 1 Pengangkutan bahan baku
2 Penerimaan bahan baku
Kemungkinan Kegagalan/ Penyebab Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang Tidak ada Nota pembelian Produk Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak/ tiba diperusahaan Tidak diberikannya label pada saat penerimaan
Failu re 1.10
II
8
D
1.20 1.30
II II
8 8
2.10
II I II I II I II I I V II I II I II I II I II I
Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji mikrobiologi dan uji antibiotik
2.20
3 Pencucian 1
Tidak diberikannya label
3.10
4 Potong Kepala
Tidak diberikannya label
4.10 4.20
5 Pencucian II
Tidak ada penimbangan rendemen udang setelah potong kepala Tidak diberikannya label
6 Sortasi size
Tidak diberikannya label
6.10
7 Sortasi final
Tidak diberikannya label
7.10
8 Pencucian III
Tidak diberikannya label
8.10
9 Kupas (peeled)
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan
9.10
5.10
S
O
D
RPN
3
1
24
D D
3 3
1 1
24 24
6
D
3
2
36
6
D
3
1
18
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
3
D
3
3
27
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
6
A
10
10
600
94
Tidak diberikannya label
9.20
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak diberikannya label
10.10
12.10
14 Pencucian IV
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak diberikannya label
15 Soaking
Tidak diberikannya label
15.10
16 Pemberian pre-dust
16.10
17 Pemberian batter dan bread crumb 18 Penyusunan tray
Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan Tidak diberikannya label
19 Penimbangan
Tidak diberikannya label
19.10 19.20
20 Pemeriksaan akhir
Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk Tidak diberikannya label
20.20
Tidak diberikannya label
21.10
10 Pembuangan usus 11 Pencucian III 12 Gores perut 13 Stretching
21 Pembekuan
11.10
13.10 14.10
17.10 18.10
20.10
II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I
6
D
3
3
54
6
D
3
10
180
6
D
3
10
180
6
D
3
10
180
6
D
3
10
180
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
6
A
10
10
600
6
A
10
10
600
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
6
C
6
3
108
6
D
3
1
18
6
D
3
3
54
6
D
3
3
54
95
22 Pemeriksaan filth
Human error (tidak didokumentasikan nomor rack yang masuk kedalam ruang ABF) Tidak diberikannya label
23 Pengemasan primer
Tidak diberikannya label
24 Pendeteksian Logam
Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan (rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan) Tidak diberikannya label
25 Pengemasan sekunder
26 Penyimpanan dalam cold storage 27 Stuffing dan Distribusi
Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC Misslabelling Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon produk udang yang masuk dan keluar (First In First Out) · Pengemasan produk kurang baik ·
Perekaman invoice
21.20
I V
3
D
3
5
45
22.10 II I 23.10 II I 23.20 II I
6
D
3
3
54
6
C
6
3
108
6
C
6
3
108
24.10 II I 25.10 I
6
C
6
3
108
10
C
6
5
300
25.20 I 26.10 II I
10 6
C C
6 6
1 3
60 108
27.10
3
C
6
1
18
10
C
6
1
60
27.20
I V I
Lampiran 5. Struktur organisasi PT Y
96
Lampiran 1. Manajemen TC dalam proses produksi breaded
Supplier
Supplier Penerimaan bahan baku Pencucian I Potong Kepala
4L SF 14/ Ai
4L SF B 14/ Ai
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
4L SF B 14/ Ai 4L SF B 14/ Ai
Pencucian IV Soaking
Pendeteksian Logam Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC), Penyimpanan dalam Cold Storage dan Stuffing
4L SF B 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai
4L SF B 14/ Ai
Stretching
Pemeriksaan filth Pengemasan dalam polybag
Suplier 2/ BU
BT/ 14 Ai
BT/ 14 BU
BT/ 14 Ai
BT/ 14 BU
14 Ai BT/ HL
14 BU BT/ HL
14 Ai BT/ HL
Pencucian II Sortir Ukuran Sortir final, Pencucian III, Kupas, Pembuangan usus, Pencucian Gores Perut
Breading: Pre-dust, Batter dan Bread Crumb, Penyusunan di tray, Penimbangan, Pemeriksaan Akhir
Suplier 1/ Ai
Broken
4L SF B 14/ Ai Tagging: berupa nomor karyawan Pencatatan jumlah rak yang masuk dalam Form 8
Broken
14 BU BT/ HL 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
4L SF B 14/ BU
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
4L SF B 14/ BU
4L SF 14/ BU
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
4L SF B 14/ BU
4L SF 14/ BU
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
4L SF B 14/ BU
4L SF 14/ BU
4L SF 14/ Ai
3L SF B 14/ Ai
3L 14/ Ai
2L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
4L SF B 14/ BU
4L SF 14/ BU
3L SF B 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
4L SF 14/ BU
3L SF B 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU€
2010 08 20/ BU
2010 08 20/ BU
2010 08 20/ BU
2010 08 20/ BU
4L SF 14/ Ai
3L SF 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
L SF B 14/ Ai
L SF 14/ Ai
Afal 14/ Ai
Broken 14/ Ai
Form 10
Form 10
Form 10
Form 10
Form 10
Form 10
Form 10
4L SF B 14/ BU
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ Ai
2010 08 20/ BU
--
--
--
--
--
--
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
2010 08 20/ Ai I.Ai.B
-2010 08 20/ Ai I.Ai.B
4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU
--
--
2010 08 20/ BU I.BU.E
2010 08 20/ BU I.BU.E
3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF B 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF 14/ BU
2L SF 14/ BU
3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU
-2010 08 20/ BU I.BU.E
-2010 08 20/ BU I.BU.E
-2010 08 20/ BU I.BU.E
Broken Afal 14/ BU 14/ BU