IDENTIFIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PALEMBANG DARI ZAMAN KLASIK HINGGA KEMERDEKAAN (683-2007)
MEILIYANI A34204009
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi dengan judul “IDENTIFIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN LAHAN KOTA PALEMBANG DARI ZAMAN KLASIK HINGGA KEMERDEKAAN (683-2007) ” merupakan karya tulis saya pribadi dengan arahan Dosen Pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebutkan rujukannya.
Bogor, Agustus 2008 Yang membuat pernyataan
Nama : Meiliyani NRP : A34204009
RINGKASAN MEILIYANI. A34204009. Identifikasi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Kota Palembang dari Zaman Klasik hingga Kemerdekaan (Tahun 683-2007). (Dibimbing oleh ALINDA F. M. ZAIN dan ARMAIKI YUSMUR) Pembangunan suatu kota menyebabkan perubahan penutupan dan penggunaan lahan suatu kota. Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang menyebabkan bertambahnya permintaan terhadap kebutuhan baik dari segi fisik, sosial, ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan yang terjadi pada suatu daerah diikuti oleh perkembangan wilayah tersebut yang menyebabkan perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Hal ini juga terjadi pada Kota Palembang sejak berkembangnya kota tersebut dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan. Dalam perkembangannya, Kota Palembang memiliki aspek-aspek pertumbuhan internal (lokal) dan eksternal (regional). Aspek pertumbuhan eksternal erat kaitannya dengan pengaruh wilayah belakangnya (hinterland), sedangkan aspek internal erat pengaruhnya dengan struktur fisik kota, ekonomi, serta sosial budaya penduduknya. Kedua aspek tersebut membentuk fungsi dan peran Kota Palembang dengan lima dimensi (RIK Palembang 1974-1994) yaitu sebagai Kota Dagang, Kota Pemerintahan, Kota Industri, Kota Pendidikan dan Kota Wisata. Selain itu, Kota Palembang sebagai pusat konsentrasi penduduk yang terbesar menjadi pusat orientasi dan pusat pelayanan utama, baik untuk wilayah kota maupun untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan sekitarnya, seperti pusat distribusi pemasaran produk pertanian, pusat distribusi produk sekunder dan tersier yang datang dari luar daerah (Bappeda Kota Palembang, 2005). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan; mengamati perubahan proporsi ruang terbuka hijau Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan; mengetahui trend serta faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan; melihat hubungan antara perubahan proporsi RTH dengan banjir yang terjadi di Kota Palembang dan menganalisis potensi banjir terhadan pelaksanaan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Palembang tahun 2005-2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang terdiri atas metode survei dan analisis peta. Proses penelitian dilakukan berdasarkan proses dalam sistem informasi geografi yang meliputi pengumpulan data, analisis awal, survei lapang, analisis lanjutan, dan penyajian hasil. Data yang digunakan dalam menganalisis perubahan penutupan dan penggunaan lahan adalah peta tua Kota Palembang tahun 1919, citra landsat tahun 1978, 1989, 2001 dan 2007, peta administrasi Kota Palembang, sejarah perkembangan Kota Palembang, data tata guna lahan, data pertumbuhan penduduk Kota Palembang dan data sosial ekonomi Kota Palembang dari masa ke masa. Semua data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak Arc View, ArcGIS dan Erdas Imangine 8.5. Hasil akhir yang diperoleh dari proses analisis adalah peta penutupan lahan Kota
Palembang dari zaman ke zaman (Klasik-Kemerdekaan), proporsi ruang terbuka hijau Kota Palembang. Kota Palembang merupakan Kota tertua di Indonesia yang telah mengalami berbagai periode perkembangan kota, mulai dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan. Sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang merupakan kota yang dinamis dan terus berkembang dari zaman Klasik hingga sekarang sehingga banyak terjadi perubahan fisik, sosial budaya maupun ekonomi. Hal ini berdambak positif dan negatif bagi perkembangan Kota Palembang. Perkembangan Kota Palembang pada zaman Klasik (683-1407), pada awal dibangunnya, kota Palembang telah ditata dengan baik menurut konsep yang didasarkan atas agama, yaitu konsep kosmologi, kesejajaran antara makro kosmos (jagad raya) dan mikro kosmos (dunia manusia). Tempat-tempat yang dianggap suci, seperti bangunan wihara dan candi ditempatkan di daerah yang tinggi jauh dari tepian sungai Musi, sedangkan pemukiman ditempatkan dekat dengan sungai atau di tepiannya. Pada zaman Kesultanan (1407-1821), sebagian besar Kota Palembang masih rawa. Pada bagian utara Kota Palembang terdapat lahan terbangun, sedangkan bagian selatan belum terlihat adanya lahan terbangun, dan masih didominasi oleh rawa. Pada zaman ini telah ada penataan tata ruang kota. Selain itu, pelabuhan Kota Palembang terkenal sebagai pelabuhan paling aman dan mempunyai peraturan paling baik pada zaman ini. Pada zaman Kolonial (1821-1945), peta yang digunakan adalah peta tahun 1919. Pada masa ini, Kota Palembang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau yaitu 90,34%, dari total luas Kota Palembang saat itu sekitar 224 km. Sedangkan ruang terbangun sebesar 2,74%, badan air 6,92% dan ruang terbuka sebesar 0,01%. Ruang terbuka hijau saat itu didominasi oleh rawa, yaitu sebesar 73,84% dari luas keseluruhan Kota Palembang saat itu. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 1920 jumlah penduduk Kota Palembang saat itu adalah 73.720 jiwa dan terus meningkat di tahun 1930 menjadi 108.140 jiwa (Hasbullah, 1996). Pada zaman Kemerdekaan I (1945-1965) tidak ditemukan peta yang lengkap, sehingga tidak dapat diketahui keadaan lahan pada saat itu. Pada zaman ini, juga banyak dilakukan pembangunan, sehingga dapat diketahui lahan terbangun di Kota Palembang pada zaman ini bertambah. Pada zaman ini diketahui luas kota Palembang yang sempat bertambah 115 km2 pada tahun 1944, kembali menjadi 224 km2 pada zaman Kemerdekaan. Menurut data BPS jumlah penduduk zaman ini adalah 151.305 jiwa pada tahun 1945 dan terus meningkat di tahun 1961 menjadi 474.971 jiwa. Dari sini terlihat dengan bertambahnya penduduk, sarana dan prasarana dan fasilitas fisik lainnya ikut bertambah. Pada zaman Kemerdekaan II (1965-1999), data yang digunakan adalah citra landsat Kota Palembang tahun 1978 dan 1989. Pada zaman ini, persentase ruang terbuka hijau Kota Palembang masih dominan walaupun tetap mengalami penurunan. Persentase ruang terbuka hijau tahun 1978 adalah 84,42% yang didominasi oleh rawa sebesar 49,48%, sedangkan persentase lahan terbangun hanya sebesar 5,95%. Pada tahun 1989 persentase ruang terbuka hijaunya menurun menjadi 66,04% yang didominasi oleh rawa sebesar 28,13% dan persentase lahan terbangun meningkat hingga 19,46%. Pada zaman ini, banyak pembangunan yang telah dilakukan, yaitu pembangunan jalan-jalan, jembatan
penyebrangan, petak-petak pasar secara swadaya masyarakat, pusat perbelanjaan, pembangunan gedung pusat pemerintahan kotamadya, taman-taman kota, RSUD dan pemakaman. Selain itu juga banyak dibangun pemukiman, perkantoran dan indusri-industri. Jumlah penduduk pada zaman ini adalah 582.581 jiwa ditahun 1971 jiwa, kemudian terus meningkat hingga tahun 1995 mencapai 1.352.301 jiwa. Keadaan Kota Palembang pada zaman kemerdekaan III (1999-2007) adalah keberadaan lahan terbangun mulai meningkat pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2007. Dari hasil interpretasi, didapatkan proporsi ruang terbuka hijau pada tahun 2001 adalah 61,94 % yang didominasi oleh rawa sebesar 20,41% dan tahun 2007 adalah 58,04% yang juga didominasi rawa sebesar 15,99% dari luas total Kota Palembang, sedangkan terjadi peningkatan lahan terbangun menjadi 24,27% ditahun 2001 dan 35,74% ditahun 2007. Berdasarkan hasil regristrasi penduduk tahun 2006 adalah 1.451.776 jiwa dengan pertumbuhan jumlah penduduk 2,27 %. Trend perubahan proporsi ruang terbuka hijau menurun dari zaman Kolonial sampai zaman Kemerdekaan III. Hal ini dikarenakan banyaknya pengalifungsian ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Salah satu jenis RTH yang proporsinya menurun dari zaman Kolonial sampai zaman Kemerdekaan III adalah rawa. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya air yang seharusnya ditampung oleh rawa tidak dapat ditampung oleh rawa sehingga terjadilah banjir. Dari hasil analisis persentasi RTH di Kota Palembang, didapat data presentase luasan RTH sebanyak 58,04% dari luasan Kota Palembang. Idealnya (menurut UU No 26 Tahun 2007) suatu kota mempunyai RTH 30% dari luas total wilayah kota. Peresentase luasan RTH di Kota Palembang lebih dari 30%, seharusnya dapat mengurangi dampak banjir, tetapi pada kenyataannya di Kota Palembang presentase luasan banjir meningkat sampai tahun 2004. Perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis RTH yaitu rawa, kebun campuran, sawah, hutan/taman wisata, tegalan, rumput dan semak belukar. Tiap jenis RTH mempunyai fungsi dan kemampuan konservasi terhadap air yang berbeda. Fakta yang terjadi di Kota Palembang yaitu RTH yang dulunya didominasi oleh rawa, sekarang telah didominasi oleh kebun campuran yaitu sebesar 24,78%. Hal tersebut diakibatkan adanya konversi lahan dari rawa menjadi kebun campuran. Padahal diketahui bahwa kemampuan konservasi air rawa jauh lebih baik dari pada kebun campuran. Selain itu, penyebaran RTH yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab banjir. Dalam pelaksanaan RTRW 2005-2015, banyak area yang dahulunya rawa, sekarang telah menjadi sawah, kebun campuran, rumput dan semak, tegalan dan badan air akan diubah lagi menjadi lahan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa, industri dan sarana olahraga). Pada kenyataannya di lokasilokasi tersebut telah terjadi banjir. Jika hal tersebut terus dilakukan dan tidak dilakukan penanggulangan banjir, diperkirakan banjir akan meluas. Selain terjadi perubahan pada penutupan lahan, terjadi juga perubahan penggunaan lahan di beberapa titik di Kota Palembang. Perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun fungsi. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang dipengaruhi oleh faktor jumlah penduduk, Kota Palembang sebagai ibukota provinsi Sumatera Selatan, kondisi fisik lahan dan kebijakan pemerintah Kota Palembang.
© Hak Cipta milik Meiliyani, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Meiliyani Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Meiliyani
IDENTIFIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN LAHAN DI KOTA PALEMBANG DARI ZAMAN KLASIK HINGGA KEMERDEKAAN (683-2007)
MEILIYANI A34204009
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Arsitektur Lanskap
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Kota Palembang dari Zaman Klasik hingga Kemerdekaan ini. Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat memperoleh gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moral maupun material. Pihak-pihak tersebut antara lain: 1. Dr. Ir. Alinda F. M. Zain, M.Si. selaku dosen pembimbing I skripsi dan pembimbing akademik, Armaiki Yusmur, S.Si selaku dosen pembimbing II skripsi. Terima kasih atas arahan, bimbingan dan saran yang telah diberikan kepada penulis dalam masa penyelesaian skripsi. 2. Dr. Ir Nurhayati H.S.A, Msc selaku dosen penguji. Terimakasih atas masukan, saran dan kritik yang telah diberikan. 3. Badan Arkeologi Kota Palembang, Ibu Vivi, Bappeda Kota Palembang atas bantuan datanya. 4. Temen-temen seperjuangan, Dyah, Dita, Fay untuk kebersamaan dan persaudaraan selama menjadi anak-anak ibu. 5. Teman-teman terbaik penulis Yuni, Dinny, Krishta, dan Lintang yang selalu memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Occy, Fida, Karin, Neno, Nana, Dayat, Sony, Imad, Anjar, Dimas, Sekar, Sari, Ria, Diena, Fuji, Diana, Tyas, Ipep, Buyung, Ozi, Intan, Dian, Deny, Syita, Putri, Fida, Dian, Ratih, Anggi, Cici, Piko, Hendi, Ridho. Terima kasih atas kebersamaannya di Lanskap 41. 7. Sahabat penulis Ven-Ven dan Selvi yang banyak memberi dukungan selama pembuatan sripsi ini. 8. Teman-teman kosan Vonti, Ai, Sio, Syerly, Wilin, Titin dan seluruh penghuni Perwira 44. Terima kasih atas kebersamaannya.
9. Okta, Tommy dan Dunan atas bantuannya. 10. Para staf Departemen Arsitektur Lanskap (Bu Yeni dkk), seluruh mahasiswa Arsitektur Lanskap angkatan 38,39,40,42,43. 11. Yang terakhir untuk keluargaku tercinta, Papa, Mama, Hen-hen, Chandra, Ngingin atas cinta, kasih sayang, dukungan moral dan material yang tiada hentinya dan tak terbatas bagi penulis selama masa tempuh pendidikan di IPB serta selama masa pengerjaan skripsi. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam hasil skripsi ini. Walau demikian, dengan segala kekurangannya penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan pada tanggal 23 April 1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Wijaya Putra dan Ibu Ellywaty. Pada tahun 1998 penulis lulus dari SD Xaverius, kemudian pada tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SLTP Xaverius. Selanjutnya penulis lulus SMU Xaverius pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI sebagai mahasiswa pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di IPB, penulis mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik, seperti menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) dan anggota Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia. Penulis juga pernah mengikuti beberapa pelatihan yang mendukung kegiatan akademis.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ iv PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 Latar Belakang................................................................................... 1 Tujuan................................................................................................ 4 Manfaat.............................................................................................. 4 Kerangka Pemikiran........................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7 Kota dan Perkembangannya ............................................................... 7 Ruang dan Ruang Terbuka ................................................................ 8 Ruang Terbuka Hijau ........................................................................ 9 Rawa................................................................................................ 11 Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan ................................. 11 Sistem Informasi Geografis .............................................................. 14 Penginderaan Jauh ........................................................................... 16 Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Pengindraan Jauh .............. 18 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 2005-2015.... 19 METODOLOGI........................................................................................ 23 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................... 23 Bahan dan Alat................................................................................. 23 Metode Kerja ................................................................................... 24 KONDISI UMUM .................................................................................... 28 Profil Wilayah ................................................................................. 28 Wilayah Administrasi ...................................................................... 28 Kondisi Fisik ................................................................................... 29 Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 31 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 33 Perkembangan Kota Palembang ....................................................... 33 Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Kota Palembang ....... 34
Zaman Klasik .......................................................................... 34 Zaman Kesultanan................................................................... 36 Zaman Kolonial....................................................................... 38 Zaman Kemerdekaan I............................................................. 42 Zaman Kemerdekaan II ........................................................... 44 Zaman Kemerdekaan III .......................................................... 49 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Palembang .............................. 57 Pola Perubahan Penggunaan Lahan .................................................. 69 Perubahan Proporsi Ruang Terbuka Hijau ........................................ 70 Potensi Banjir Terhadap Pelaksanaan RTRW Kota Palembang2005-2015 .................................................. 79 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan .................................................. 81 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 85 Kesimpulan...................................................................................... 85 Saran ............................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 88
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis Sumber Data................................................................................ 21 2 Proporsi RTH Kota Palembang dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan........................................... 71 3 Proporsi Rawa Kota Palembang dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan........................................... 72 4 Tabel Perubahan Rawa menjadi Penutupan Lainnya dari Tahun 1919 ke 2007...................................................................... 74 5 Jumlah Penduduk Kota Palembang Dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan ......................................... 82 6 Berbagai Kebijakan Pemerintah yang Berlaku di Kota Palembang ......................................................... 83
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pemikiran............................................................................. 6
2
Peta Rencana Pengembangan Wilayah Kota Palembang .................... 22
3
Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 23
4
Diagram Tahapan Kegiatan Penelitian................................................ 27
5
Peta Kota Palembang Tahun 1650...................................................... 36
6
Sketsa Kota Palembang Tahun 1821 .................................................. 37
7
Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1919 .......................... 40
8
Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1919....................... 41
9
Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1978 ......................... 45
10 Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1989 .......................... 46 11 Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1978....................... 47 12 Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1989....................... 47 13 Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1919, 1978 dan 1989 .............................................................. 47 14 Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2001 .......................... 50 15 Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2007 .......................... 51 16 Grafik Penutupan Lahan Kita Palembang Tahun 2001 ....................... 52 17 Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2007 ...................... 52 18 Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1919, 1978, 1989, 2001 dan 2007 ............................................ 52 19 Peta Perkembangan Kota Palembang dari Zaman Kesultanan (Kota Tua) hingga Kemerdekaan .................. 56 20 Masjid Agung Zaman Dulu ............................................................... 59 21 Masjid Agung Sekarang .................................................................... 59 22 Pasar 16 Ilir Zaman Dulu .................................................................. 60 23 Pasar 16 Ilir Sekarang ....................................................................... 60 24 Pasar Baru Zaman Dulu ..................................................................... 61 25 Pasar Baru Sekarang ......................................................................... 61 26 Jalan Tengkuruk Zaman Dulu ........................................................... 62 27 Jalan Tengkuruk Sekarang ................................................................ 62
28 Gedung Walikota Zaman Dulu .......................................................... 63 29 Gedung Walikota Sekarang ............................................................... 63 30 Rumah Sakit Caritas Zaman Dulu ..................................................... 64 31 Rumah Sakit Caritas Sekarang .......................................................... 64 32 Kantor Pos Merdeka Zaman Dulu ..................................................... 65 33 Kantor Pos Merdeka Sekarang .......................................................... 65 34 Jembatan Ampera Zaman Kolonial .................................................... 66 35 Jembatan Ampera Sekarang ............................................................... 66 36 Jalan Ratna Merdeka Zaman Dulu ..................................................... 67 37 Jalan Ratna Merdeka Sekarang .......................................................... 67 38 Gambar Istana Regering Commissaris Hindia Belanda ...................... 68 39 Gambar Istana Regering Commissaris Hindia Belanda ...................... 68 40 Hutan Wisata Punti Kayu .................................................................. 71 41 Lahan Pertanian ................................................................................ 71 42 Rawa ................................................................................................. 68 43 Lapangan Olahraga ........................................................................... 71 44 Jalur Hijau Jalan ................................................................................ 71 45 Grafik Penurunan proporsi RTH Kota Palembang ............................. 73 46 Grafik Penurunan proporsi Rawa Kota Palembang ............................ 73 47 Grafik Perbandingan Proporsi Jenis RTH Kota Palembang ................ 73 48 Grafik Persentase Luasan Banjir Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004......................................................................... 75 49 Grafik Curah Hujan Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004............... 75 50 Peta Persebaran Lokasi Banjir Kota Palembang Tahun 2004 .............. 76 51 Peta Potensi Wilayah Banjir Akibat Perubahan Penutupan Lahan Dalam Menjalankan RTRW 2005-2015 ............................................ 80
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai banyak kota tua yang berasal dari hunian tingkat sederhana. Namun, tidak semua kota tua tersebut dapat berkembang pesat menjadi sebuah kota besar. Kota tua di Indonesia adalah bentukan kolonial karena fisik kota tua jelas menunjukkan fisik kota di Belanda (Sandy, 1989). Diantara kota-kota tua yang ada di Indonesia, Palembang merupakan kota tua yang memiliki keunikan. Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang terus berkembang dan kelahirannya dicatat dalam sebuah prasasti yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Kondisi suatu kota pada kenyataannya tidak terlepas dari sejarah kota tersebut. Berbagai kejadian historis secara langsung maupun tidak mempengaruhi perkembangan suatu kota. Kota Palembang mempunyai sejarah yang panjang dalam pemerintahan, dimulai sejak zaman Sriwijaya, Kesultanan, Kolonial hingga Kemerdekaan. Hal ini mempengaruhi perkembangan kota Palembang hingga sekarang. Jauh sebelum penduduk Palembang mengenal budaya barat, ketika awal dibangunnya Sriwijaya oleh Dapunta Hyang tanggal 16 Juni 682, disadari atau tidak, penguasa Sriwijaya telah “mengenal” tata kota. Konsepnya adalah kesejajaran makro-kosmos (jagad raya) dan mikro-kosmos (dunia manusia). Setelah Kadatuan Sriwijaya runtuh dan masuk pengaruh Islam, wajah Kota Palembang berubah. Pusat pemerintahan dengan keraton sebagai jantungnya, terletak di tengah kota berbenteng. Dalam sejarahnya, Kota Palembang yang kemudian dikenal dengan nama Palembang-Darussalam, mengalami tiga kali perpindahan. Awalnya berlokasi di Kuto Gawang yang letaknya di sekitar Pusri. Kemudian berturut-turut pindah ke arah hulu, yaitu ke kawasan Beringin Janggut, Kuto Tengkuruk, dan terakhir Kuto Besak (Hanafia, 2004). Setelah dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke arah hulu Musi, di suatu tempat yang bernama Beringin Janggut. Lokasinya kira-kira di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Data mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat
ini tidak ada. Perkiraan lokasi hanya didasarkan atas toponimi yang masih tertinggal (Hanafia, 2004). Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1741-1757), pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke sebelah barat Sungai Tengkuruk (sekarang Jl. Jenderal Soedirman, kaki sisi utara Jembatan Ampera). Keraton yang dibangun ini dikenal dengan nama Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Batu. Pada masa pemerintahannya Palembang mengalami kemajuan pesat dalam hal pembangunan fisik, misalnya dibangun Masjid Agung (dahulu bernama Masjid Sultan), Keraton Kuto Tengkuruk, dan Makam Lemahabang (Hanafia, 2004). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, bentuk pemerintahan Palembang adalah Gemeente --istilah penduduk Palembang Haminte—yang dipimpin oleh seorang Burgemeester (sekarang setingkat walikota). Pemerintahan Palembang baru ada pada tahun 1919 (Stbl. 1938 no. 138) dengan pejabatnya J.G. Larive (25 Mei 1919 – 8 Desember 1920). Ia kemudian digantikan oleh P.E.E.J. Le Cocq d’Armandville (8 Desember 1920 – 2 Juni 1928). Sejak saat ini, sebagai satu kota kolonial di Nusantara, Palembang melakukan aktivitas pembangunan fisik secara besar-besaran sesuai dengan tugas dan wewenang Burgemeester, walaupun berjalan lambat karena keuangan yang terbatas. Tiap Burgemeester pada masa pemerintahannya bisa membangun apapun yang dapat dimanfaatkan masyarakat, sekurang-kurangnya masyarakat Eropa. Pembangunan sarana fisik di Palembang dimulai sejak tahun 1920-an, yaitu pengaspalan jalan sepanjang 20 km dari 64 km jalan tanah yang sudah ada. Kemudian pengurugan Sungai Tengkuruk di sebelah timur rumah Regeering Commissaris (sekarang Museum Mahmud Badaruddin II) (Hanafia, 2004). Burgemeester Palembang ketiga adalah Ir. Nessel van Lissa (2 Juni 1928 sampai tahun 1933). Ia adalah seorang Burgemeester yang berpengalaman dibidang pemerintahan yang juga seorang teknokrat. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat Stadsplan (Rencana Induk Kota) dengan mendatangkan Ir. Thomas Karsten, seorang ahli perencana kota dari Surabaya. Ia menyadari bahwa untuk membenahi Kota Palembang diperlukan suatu perencanaan yang matang. Dengan menggunakan peta kota yang baik dan akurat, perencanaan pembangunan mulai dilakukan. Stadsplan yang dibuat oleh Karsten
sebetulnya merupakan titik tolak dari perencanaan pembangunan kota modern, dan juga titik tolak perencanaan berdasarkan hukum (Hanafia, 2004). Pada masa setelah kemerdekaan, perkembangan Kota Palembang terbagi menjadi tiga periode, yaitu periode I kemerdekaan (1945-1965) yaitu setelah pengakuan kedaulatan RI Pemerintahan di Kota Palembang namanya menjadi Kota Besar Palembang yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat No.5 Tahun 1956. Selanjutnya Kota Besar Palembang berubah menjadi Kota Praja Palembang, berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957. Selanjutnya Periode II Kemerdekaan (1965-1995) Kota Praja Palembang berubah menjadi Kotamadya Tk. II Palembang, berdasarkan Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah No. 5 Tahun 1974. Pada Periode III Kemerdekaan (1999-2007), Kotamadya Tingkat II Palembang berubah menjadi Kota Palembang. Hal ini berdasarkan UndangUndang No. 22 Tahun 1999. Dalam
perkembangannya,
Kota
Palembang
memiliki
aspek-aspek
pertumbuhan internal (lokal) dan eksternal (regional). Aspek pertumbuhan eksternal erat
kaitannya
dengan
pengaruh
wilayah belakangnya
(hinterland), sedangkan aspek internal erat pengaruhnya dengan struktur fisik kota, ekonomi, serta sosial budaya penduduknya. Kedua aspek tersebut membentuk fungsi dan peran Kota Palembang dengan lima dimensi (RIK Palembang 1974-1994) yaitu sebagai Kota Dagang, Kota Pemerintahan, Kota Industri, Kota Pendidikan dan Kota Wisata. Selain itu, Kota Palembang sebagai pusat konsentrasi penduduk yang terbesar menjadi pusat orientasi dan pusat pelayanan utama, baik untuk wilayah kota maupun untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan sekitarnya, seperti pusat distribusi pemasaran produk pertanian, pusat distribusi produk sekunder dan tersier yang datang dari luar daerah (Bappeda Kota Palembang, 2005). Dari perkembangan tersebut, terlihat banyak pengaruh luar yang mempengaruhi perkembangan Kota Palembang, baik dari segi luas wilayah, jumlah penduduk, tata ruang kota dan sebagainya. Data terbaru menunjukkan jumlah penduduk Kota Palembang berjumlah 1.451.776 jiwa. (BPS Kota Palembang, 2007). Jumlah penduduk di Kota Palembang meningkat dari tahun ke
tahun. Hal ini disebabkan adanya migrasi penduduk dari daerah lain dan kelahiran di daerah setempat. Pembangunan suatu kota menyebabkan perubahan penutupan dan penggunaan lahan suatu kota. Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti oleh meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat yang menyebabkan bertambahnya permintaan terhadap kebutuhan baik dari segi fisik, sosial, ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan yang terjadi pada suatu daerah diikuti oleh perkembangan wilayah tersebut yang menyebabkan perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Hal ini juga terjadi pada Kota Palembang sejak berkembangnya kota tersebut dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan. Seiring dengan perubahan penutupan lahan di Kota Palembang juga terdapat masalah lingkungan yang terjadi di Kota Palembang, salah satunya adalah banjir. Penelitian ini menggunakan pemetaan dengan bantuan sistem informasi geografis untuk mengolah citra digital maupun peta tua. Citra digital sebagai data spasial untuk masa sekarang dan peta tua sebagai data spasial penggunaan dan penutupan suatu lahan pada masa lampau. Pengolahan citra digital dilakukan dengan mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan suatu area. Penggunaan sistem informasi geografis didasari bahwa sistem tersebut secara terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif dan efisien.
Tujuan Penelitian ini bertujuan diantaranya: 1.
Mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan.
2.
Mengamati perubahan proporsi ruang terbuka hijau Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan.
3.
Mengetahui trend serta faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan.
4.
Melihat hubungan antara perubahan proporsi RTH (Ruang Terbuka Hijau) terutama rawa dengan banjir yang terjadi di Kota Palembang.
5.
Menganalisis potensi banjir terhadap RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Palembang Tahun 2005-2015. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
perubahan tata guna lahan dan penutupan lahan di Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan dan diharapkan pada akhir penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintahan Kota Palembang dalam mengambil kebijakan berkaitan dengan tata guna lahan dan penutupan lahan di Kota Palembang.
Perkembangan Kota Palembang
Perkembangan Kota Palembang
berdasarkan sejarah dari zaman
secara umum (jumlah
Klasik-Kesultanan-Kolonial-
penduduk, kebutuhan
Kemerdekaan
penduduk, sarana dan prasarana pendukung kota, gaya hidup, kebijakan pemerintah)
Terjadi perubahan lanskap (tata guna lahan dan penutup lahan)
Perubahan proporsi RTH
Identifikasi trend dan faktor perubahan penggunaan dan penutupan lahan
Pendeteksian perubahan
Apakah
penggunaan dan penutupan
berpengaruh
lahan
tehadap banjir?
Analisis potensi banjir akibat pelaksanaan RTRW Kota Palembang Tahun 2005-2015
Gambar 1. Kerangka Pikir
TINJAUAN PUSTAKA Kota dan Perkembangannya Kota menurut Simonds (1983) adalah lanskap buatan manusia yang terjadi akibat aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan untuk keperluan hidupnya. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 pasal 30 kawasan strategis kabupaten atau kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten atau kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Hardey
dalam
Branch
(1995)
menggunakan
10
kriteria
untuk
mendefinisikan kota, yaitu: 1.
berukuran dan berpenduduk besar untuk zaman dan daerahnya;
2.
bersifat permanen;
3.
mempunyai kepadatan minimum untuk zaman dan daerahnya;
4.
mempunyai struktur dan pola dasar yang padat yang dikenali sebagai jalan dan ruang kota;
5.
merupakan suatu tempat di mana orang tinggal dan bekerja;
6.
mempunyai sejumlah minimal fungsi-fungsi kota, yang dapat meliputi sebuah pasar, suatu pusat pemerintahan atau politik, suatu pusat militer, suatu pusat keagamaan, atau suatu pusat intelektual lengkap dengan lembaga-lembaga yang bersangkutan;
7.
suatu masyarakat yang heterogen dan bertingkat-tingkat, serta adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat tersebut;
8.
suatu pusat ekonomi perkotaan untuk zaman dan daerahnya yang menghubungkan suatu hinterland pertanian dan mengolah bahan mentah untuk prasarana yang lebih luas;
9.
merupakan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya;
10.
merupakan suatu pusat difusi dan mempunyai suatu cara hidup perkotaan sesuai dengan zaman dan daerahnya. Kota merupakan pusat dari kegiatan, kebudayaan, dan kreativitas manusia.
Kota merefleksikan vitalitas dan kesempatan sosial manusia serta melambangkan kemajuan sosial dan ekonomi. Kesenangan publik, pelayanan kesehatan dan
kesejahteraan, rekreasi, kesempatan kerja, pendidikan, dan partisipasi demokrasi dinikmati oleh jutaan, bahkan milyaran dalam tatanan suatu kawasan kota. Pengertian kawasan perkotaan dalam Permendagri No 1 Tahun 2007 adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Pengertian kawasan perkotaan dalam UU No. 26/2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kusbiantoro dalam Komarudin (1999) menjelaskan sistem wilayah perkotaan yang ideal terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen utama, lingkungan,
dan
kelembagaan.
Komponen
utama
meliputi
sistem
aktivitas/kegiatan atau sistem demand (penduduk dan segenap kegiatan serta ruang darat, laut, dan udara, serta beragam penggunaannya) dan sarana pelayanan sosial dan ekonomi. Komponen lingkungan terdiri atas sistem lingkungan, fisiksosial-ekonomi-politik misalnya masalah produktivitas dan kemiskinan, dan lokalregional-nasional-internasional misalnya kota dengan wilayah sekitarnya dalam era
borderless
country.
kelembagaan/institusional
Komponen atau
sistem
kelembagaan
mencakup
penunjang/pelengkap,
aspek
sistem legal
(kebijaksanaan, hukum, dan peraturan perundang-undangan), keuangan atau sumber dana, dan organisasi (lembaga/pelaku terkait).
Ruang dan Ruang Terbuka Ruang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia dimanapun dia berada, baik secara psikologis dan emosional (persepsi), maupun dimensional. Manusia selalu berada dalam ruang, bergerak serta menghayati, berpikir dan juga menciptakan ruang untuk menyatakan bentuk dunianya. Dari berbagai pendapat tentang definisi ruang dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan suatu wadah yang tidak nyata, tetapi dapat dirasakan keberadaannya oleh manusia. Ruang didefinisikan oleh Komarudin (1999) sebagai wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup melakukan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut Permendagri No 1 Tahun 2007, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang atau jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan permendagri Nomor 1 Tahun 2007, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alami ataupun budidaya. Ruang terbuka hijau merupakan ruang terbuka, yang memiliki kekhususan sifat yang dimilikinya, yaitu bahwa pengisian ruang terbuka ini lebih didominasi oleh unsur hijau (tumbuhan), sedangkan unsur lainnya yaitu struktur bangunan yang merupakan pengisi dalam persentase penutupan yang kecil. Nurisjah (2002) mendefinisikan ruang terbuka hijau kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat di suatu wilayah perkotaan yang secara optimal sebagai daerah penghijauan dan berfungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian ruang terbuka hijau menurut UU No. 26/2007 adalah area memanjang atau jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut UU No. 26/2007 pasal 29 ayat 2 proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan pasal 3 yaitu proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Dalam UU No 26/2007 tentang penataan ruang, RTH ditunjukkan untuk fungsi ekologis (pereduksi polusi, penetralisir banjir, dll), fungsi estetika, serta untuk mereduksi landscape disaster (longsor, banjir). Hal ini juga untuk menjaga
keseimbangan ekosistem kota dan wilayah sekitar dalam rangka mewujudkan kota berkelanjutan. Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2007 ditinjau dari manfaatnya, terdapat delapan jenis RTH yaitu: 1.
RTH untuk mencerminkan identitas suatu daerah;
2.
RTH untuk sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
3.
RTH untuk sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
4.
RTH untuk meningkatkan ekonomi lahan perkotaan;
5.
RTH yang dapat menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
6.
RTH untuk sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
7.
RTH untuk sarana evakuasi untuk keadaan darurat;
8.
RTH yang dapat meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. Fungsi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan ialah sebagai paru-paru
kota untuk menyaring berbagai polusi udara yang diproduksi oleh pembakaran, industri, dan aktivitas lainnya. Secara umum RTH berfungsi arsitektural, teknik, kenyamanan, ekologis dan sosial ekonomi. Salah satu penjabaran manfaat RTH yang menjadi jiwa dari penjelasan RTH dalam Permendagri No 1 tahun 2007 yang sesuai dan menunjang fungsi RTH kawasan perkotaan antara lain: 1.
sebagai pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan;
2.
sebagai pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
3.
sebagai tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati;
4.
sebagai pengatur tata air;
5.
sebagai sarana estetika. Tujuan penataan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan menurut
Permendagri No. 1 Tahun 2007 adalah: 1.
menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
2.
mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
3.
meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.
Perubahan fungsi lahan cenderung mengubah ruang terbuka hijau kota atau lahan terbuka menjadi ruang terbangun untuk berbagai keperluan seperti perumahan, industri, pertokoan, kantor, dan lain-lain. Semakin sempitnya RTH dapat
menimbulkan
munculnya
kerawanan
dan
penyakit
sosial,
sifat
individualistik dan ketidakpedulian terhadap lingkungan yang sering ditemukan pada masyarakat perkotaan.
Rawa Rawa merupakan sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Pengertian rawa menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 27 Tahun 1991 tentang rawa, rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis. Hutan rawa memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp.), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp.), sagu (Metroxylon sp.), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis liana. Peran dan manfaat hutan rawa adalah sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai, sumber energi, sumber makanan nabati maupun hewani. Adapun yang mengatur secara khusus pengelolaan rawa, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa yang pada prinsipnya menekankan pendekatan konservasi dalam pengelolaan rawa.
Peraturan ini
diperjelas dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 tentang Reklamasi Rawa (Bappeda, 2004).
Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Pada awalnya istilah lahan menjadi perhatian para ilmuwan-ilmuwan ilmu sosial. Istilah tersebut menunjukan hasil pekerjaan manusia pada lahan tersebut.
Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan lahan (land use) adalah pemukiman, pembibitan, penggembalaan, rangeland, rekreasi, dan lain-lain. Istilah penutupan lahan (land cover) pada prinsipnya menjadi perhatian ilmu-ilmu alam, menunjukan pada penampakan lahan secara fisik. Hal ini mencakup, sebagai contoh kuantitas dan tipe permukaan vegetasi, air dan material-material tanah. Suatu penggunaan lahan mungkin sangat sesuai dengan satu kelas penutupan lahan. Satu kelas penutupan lahan mungkin mendukung berbagai jenis penggunaan lahan. Satu sistem penggunaan lahan dapat meliputi pengelolaan, beberapa penutupan lahan yang berbeda-beda. Batasan penggunaan dan penutupan lahan adalah terhubung. Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk (Yunus, 2006). Dilihat dari sistem keruangan kota penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Yunus (2006) menjelaskan bahwa pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan komunikasi dari dan ke daerahdaerah di sekitar kota utama, kondisi topografis, kondisi hidrologis merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota. Lebih lanjut Yunus (2006) menjelaskan bahwa dalam menganalisis pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota perlu pemahaman bentuk-bentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun, daerah peralihan kota-desa serta daerah perdesaan. Analisis mengenai perubahan penggunaan dan penutupan lahan memberikan suatu
alat
untuk
memperkirakan
perubahan
ekosistem
dan
implikasi
lingkungannya pada skala waktu dan keruangan yang bervariasi. Yang termasuk perubahan pada penutupan lahan adalah perubahan keanekaragaman biotik, produktivitas yang utama dan aktual, kualitas tanah, aliran permukaan, serta kecepatan sedimentasi (Meyer and Turner, 1994; Kikuchi dalam Zain, 2002). Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan menurut USGS disusun berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1.
tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan pengindraan jauh harus tidak kurang dari 85 persen;
2.
ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama;
3.
hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat pengindraan ke saat lain;
4.
sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas;
5.
kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya;
6.
sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data pengindraan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda;
7.
kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survei lapang;
8.
pengelompokan harus dapat dilakukan;
9.
harus dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang;
10.
lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.
( Lillesand dan Kiefer, 1990) Charles C. Colby dalam Zulkardi (1999), mengidentifikasi adanya dua gaya yang saling bertentangan yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan tata guna lahan kota, yaitu: 1.
Gaya sentripetal, bekerja menahan fungsi-fungsi tertentu di pusat kota dan menarik yang lain untuk berlokasi di sekitarnya. Gaya ini terjadi karena sejumlah kualitas daya tarik pusat kota, yaitu: a.
daya tarik tapak;
b.
kenyamanan fungsional, seperti aglomerasi;
c.
prestise fungsional, seperti kawasan tertentu untuk perdagangan elektronik, pakaian, dll.
2.
Gaya sentrifugal adalah gaya yang mendorong kegiatan berpindah dari pusat kota ke pinggiran kota, meliputi: a.
gaya spasial terjadi karena pusat kota sering mengalami kemacetan sedang di wilayah lain masih kosong;
b.
gaya site akibat daya tarik guna lahan ekstensif atau daya tarik alam di wilayah pinggiran dibanding guna lahan intensif di pusat kota;
c.
gaya situasional, akibat daya tarik dan kenyamanan yang lebih baik di pinggir kota;
d.
gaya evolusi sosial, akibat tingginya nilai tanah, pajak dan keterbatasan ruang di pusat kota;
e.
status dan organisasi hunian, sebagai akibat polusi di pusat kota.
Keadaan ini terjadi pada hampir seluruh belahan dunia. Perkembangan suatu wilayah yang berkaitan dengan semakin meningkatnya populasi penduduk telah menjadi masalah global. Hal ini perlu perhatian berbagai pihak yang ditekankan pada interaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk di dalamnya faktorfaktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan oleh manusia (de Sherbinin dalam Putri (2006)).
Sistem Informasi Geografis Prahasta (2007) mendefinisikan sistem informasi geografi sebagai alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Sistem informasi geografi merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis obyekobyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: a) masukan, b) manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2007). BAKOSURTANAL dalam Prahasta (2007) menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personal yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Basis analisis SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Analisis SIG
memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer dan perangkat lunak pendukung. Sistem informasi geografi merupakan seperangkat sistem berbasis komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasian database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang bertujuan untuk menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana strategi (ESRI dalam Prahasta, 2007). Secara umum pengertian SIG dapat diartikan sebagai sistem yang mampu mengumpulkan data kebumian yang diperoleh dari berbagai sumber dan menyimpannya dalam suatu database, sehingga dengan mudah data tersebut diperoleh kembali untuk dilakukan analisa ataupun manipulasi. Terdapat empat komponen penting yang saling berkaitan bila bekerja dengan sistem informasi geografi, yaitu sebagai berikut: 1.
Hardware atau perangkat keras, merupakan wadah berupa komputer yang berfungsi untuk mengoperasikan sistem informasi geografi.
2.
Software atau perangkat lunak yang berfungsi untuk menganalisis informasi geografi.
3.
Data dan metadata. Data geografi dan data tabular dapat diperoleh melalui pengukuran langsung di lapang maupun pembelian melalui pengukuran di lapang
maupun
pembelian
melalui
agen
tertentu.
SIG
akan
mengintegrasikan data spasial dengan sumber data lainnya dan kemudian dapat mengatur dan menyimpan data dalam bentuk data spasial maupun non spasial. 4.
Manusia. Teknologi SIG sangat tidak bernilai jika tidak ada manusia yang dapat mengatur sistem dan membagun rencana untuk mengaplikasikan masalah-masalah yang ada di dunia. Sistem informasi geografi mendeskripsikan obyek permukaan bumi dalam
hal:
1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur dan ketinggian). 2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis. 3. Hubungan antara data spasial, atribut dan waktu. Salah satu aktivitas penting dalam kegiatan sistem informasi geografi adalah pengisian basis data berupa digitasi dan memasukkan angka, kemudian analisa dapat dilakukan setelah basis data tersedia. Pemasukan data ke dalam sistem adalah data input diubah menjadi format data digital agar dapat disimpan dan dimanipulasi. Menurut Mastra (1993) dalam Nurcahyono (2003), data yang akan dimasukkan dengan cara digitasi tersebut diperlukan peta dasar yang baku dan dapat dipercaya serta beragam. Secara sederhana SIG dapat digambarkan sebagai penampakan berbagai informasi untuk memenuhi suatu fungsi kriteria tertentu. Data SIG berupa data digital yang berformat raster dan vektor. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau data foto udara digital serta foto udara satelit terdigitasi atau berupa peta dasar terdigitasi. Foto udara digital dan citra satelit digunakan secara saling melengkapi. Citra landsat TM merupakan contoh data citra digital dengan format raster. Data raster adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel. Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area, titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis) (GIS Consortium Aceh Nias, 2007).
Pengindraan Jauh Pengindraan jauh adalah ilmu yang digunakan untuk memperoleh informasi suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal, pengindraan jauh dapat diartikan sebagai proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor, kita mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pada umumnya
sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lainnya. Prinsip pengindraan jauh dalam pengamatan obyek di muka bumi dilakukan dengan cara mengukur radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh obyek yang dimaksud. Secara umum elemen yang terkait dalam pengindraan jauh dengan gelombang elektromagnetik untuk memperoleh informasi suatu obyek dan lingkungannya meliputi: 1.
sumber energi;
2.
perjalanan energi melalui atmosfer;
3.
interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi;
4.
sensor wahana pesawat terbang dan satelit;
5.
hasil pembentukan data dalam bentuk piktoral dan numerik.
(Lillesand dan Kiefer, 1990). Data pengindraan jauh dapat berupa citra (imaginery) dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena yang diteliti. Analisis data pengindraan jauh memerlukan rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (Purwadhi, 2001). Data hasil pengindraan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam sistem informasi geografis. Hasil pengindraan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran rekaman suatu obyek (biasanya berupa gambar pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak langsung direkam pada film (Simonett at al, 1983 dalam Susanto, 1986). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) di dalam pengindraan jauh, istilah ”foto” diperuntukan secara eksklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film. Istilah citra berkaitan dengan tiap produk piktorial, seluruh foto termasuk citra. Akan tetapi tidak semua citra berupa foto. Citra merupakan keluaran suatu sistem perekam data yang dapat bersifat optik, analog, dan digital. Interpretasi atau penafsiran citra mengindraan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar
dalam citra, dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Interpretasi citra pengindraan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu intepretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi citra secara digital adalah interpretasi data pengindraan jauh yang didasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) obyek secara keruangan (spasial). Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan obyek. Interpretasi citra digital merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral dengan bantuan komputer. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Setiap kelas kelompok pixel dicari kaitannya terhadap obyek atau gejala di permukaan bumi (Purwadhi, 2001). Klasifikasi citra bertujuan untuk segmentasi
terhadap
pengelompokan atau melakukan
kenampakan-kenampakan
yang
homogen
dengan
menggunakan teknik kuantitatif. Klasifikasi secara digital dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu klasifikasi nilai pixel berdasarkan pada contoh daerah yang diketahui jenis obyek dan spektralnya, yang disebut klasifikasi terbimbing atau klasifikasi terselia (supervised classification), klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis obyek dan nilai spektralnya, disebut klasifikasi tak terbimbing atau tak terselia (unsupervised classification), serta klasifikasi gabungan atau klasifikasi hibrida (hybride) menggunakan kedua cara yaitu gabungan antara klasifikasi terselia dan klasifikasi tak terselia (Purwadhi, 2001).
Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Pengindraan Jauh Kombinasi penggunaan sistem informasi geografi dan pengindraan jauh telah banyak diaplikasikan pada berbagai ilmu pengetahuan seperti pertanian, kehutanan, geologi, geofisika, lanskap, penutupan dan penggunaan lahan, bahkan dalam bidang bisnis. Pada prinsipnya, tujuan utama dari penggunaan sistem informasi geografi dan pengindraan jauh adalah untuk menggumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Deteksi perubahan penutupan dan penggunaan lahan menggunakan sistem informasi geografi dan pengindraan jauh telah diaplikasikan dalam analisa
keruangan seperti pada area perkotaan dan pedesaan. Data penutupan dan penggunaan lahan serta perubahannya sangat penting bagi seorang perencana dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Data ini pada umumnya dipresentasikan dalam bentuk spasial berupa peta disertai dengan data statistik setiap kelas penutupan dan penggunaan lahannya (Maulana, 2005).
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 2005-2015 Visi sebagai cara pandangan kedepan, tentang kemana pemerintahan Kota Palembang akan diarahkan dan apa yang ingin dicapai. Visi Kota Palembang yang disusun bedasarkan kriteria jelas, singkat, mudah diingat, mempunyai isi yang membangun, menarik dan menantang, yaitu “Palembang Kota Metropolitan Mandiri dan Berkualitas 2008”. Kota Palembang diharapkan sedapat mungkin dapat membangun dan mengembangkan kota dengan segala kemampuan dan potensi yang dimilikinya sendiri dengan dukungan sumber daya baik aparatur pemerintah maupun masyarakat kota berkualitas. Salah satu cara untuk mewujudkan visi Kota Palembang tersebut adalah dengan penataan ruang kota untuk mewujudkan stuktur kota, mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota, melestarikan kawasan dan bangunan bersejarah, serta peremajaan kawasan kumuh, dan revitalisasi tepian sungai. Dalam rangka mewujudkan tata ruang kota yang sesuai dengan rencana tata ruang, maka strategi pengembangan sektor-sektor dan bidang pembangunan dapat dilihat dan 2 pendekatan, yaitu pendekatan investasi dan pendekatan peletakannya pada ruang kota. Investasi pembangunan secara garis besar dibedakan atas Social Overhead Capital (SOC) atau investasi publik, dan Directly Productive Activity (DPA) atau investasi privat. Bentuk investasi publik adalah berupa prasarana kota dan sarana atau fasilitas sosial/umum, dan penanganannya oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah). Sementara investasi privat berupa kegiatan-kegiatan produktif langsung seperti: industri, perdagangan, jasa-jasa komersial, pengangkutan, perumahan dan bangunan-bangunan properti yang umumnya merupakan investasi
swasta atau masyarakat. Urutan yang ideal dalam pembangunan yang terencana, adalah investasi SOC (publik) mendahului investasi DPA (private).
Namun
dalam kasus-kasus khusus dapat saja investasi DPA diletakkan tanpa menunggu investasi SOC terlebih dulu. Pendekatan peletakan pembangunan fisik dapat dibedakan, yaitu pada : 1.
kawasan-kawasan yang telah terbangun (built up area),
2.
kawasan-kawasan pengembangan baru (development area). Investasi SOC berupa prasarana dan sarana di kawasan terbangun biasanya
berdasarkan prinsip memenuhi kebutuhan yang masih kurang menurut kebutuhan nyata. Sementara investasi SOC di kawasan-kawasan pengembangan baru bertujuan untuk merangsang atau menarik agar sektor-sektor pembangunan lainnya, terutama investasi DPA, masuk ke kawasan tersebut. Investasi
DPA
di
kawasan
terbangun
pada
prinsipnya
adalah
memapankan kegiatannya atau bahkan meningkatkan kegiatannya, sehingga muncul prinsip intensifikasi kegiatan. Namun dengan keterbatasan-keterbatasan ruang, mungkin sesekali kawasan terbangun tersebut telah jenuh untuk diinvestasi DPA yang bersangkutan. Oleh karena itu ada gejala pendorong untuk investasi DPA ini pindah ke luar kawasan terbangun, dan diharapkan masuk ke kawasankawasan pengembangan baru. Sementara untuk investasi DPA di kawasan pengembangan baru relatif akan mengikuti sejauh mana investasi SOC telah diletakkan di kawasan baru tersebut. Untuk kegiatan-kegiatan investasi yang sangat khusus mungkin saja investasi
DPA
mendahului
investasi
SOC.
Lazimnya kegiatan ini sangat tinggi tingkat komersialnya. Sebagaimana umumnya karakter kota, kawasan pusat kota dan sekitarnya merupakan kawasan dengan nilai tanah (land value) yang relatif tinggi dan diisi oleh kegiatan-kegiatan komersial (perdagangan dan jasa). Kawasan ini dikelilingi oleh kawasan perumahan yang cenderung lebih padat. Untuk kawasan pusat kota dan permukiman sekitarnya ini cenderung berkembang dengan pola intensifikasi. Secara fisik pola ini ditunjukkan oleh bangunan rapat dan konstruksinya yang bertingkat. Pola intensifikasi dalam pemanfaatan ruang di kawasan pusat kota tersebut di Kota Palembang berupa bangunan bertingkat dengan kegiatan-kegiatan
pertokoan/pusat perbelanjaan, pasar, kantor-kantor jasa komersial, rumah susun, yaitu kompleks hunian yang bertingkat, dan lain-lainnya. Mengingat sebagian dan kawasan pusat kota dan sekitarnya ini merupakan bangunan-bangunan tua dan perlu ditata lebih baik perletakannya, maka untuk masa datang, di kawasan ini mungkin dikembangkan sistem blok (block system) seperti dikemukakan dalam rekomendasi pengembangan. Upaya ini sekaligus merupakan revitalisasi kawasan pusat kota sejalan dengan semakin pentingnya peranan Kota Palembang dalam sistem kota-kota secara nasional dan regional. Pengembangan rumah susun dan penerimaan masyarakat kota terutama penghuninya terhadap keberadaannya merupakan indikasi bahwa pengembangan pola intensikasi untuk hunian ini berpeluang besar di masa datang. Di samping pola intensifikasi di atas, perkembangan fisik kota terutama ke arah pinggiran akan berpola ekstensifikasi, berupa pengembangan lokasi-lokasi baru yang belum terbangun dewasa ini. Berbarengan dengan itu pada lokasi-lokasi tertentu yang mencirikan sebagai pusat pelayanan, selain ekstensifikasi akan muncul pula intensifikasi, walau tidak seinsentif kawasan pusat kota. Demikian pula halnya di lokasi-lokasi tertentu di tepi jalan-jalan utama kota. Kedua pola (intensifikasi dan ekstensifikasi) di atas akan membutuhkan penyediaan prasarana (infrastruktur) dalam pengembangannya. Dengan demikian salah satu faktor penting yang akan menentukan adalah kemungkinan pengembangan prasarana, terutama prasarana dasar permukiman (jalan, air bersih. listrik, sanitasi, drainase, dan lain-lainnya). Mengingat lahan rawa ini cukup luas di wilayah Kota Palembang, maka pengembangan fisik ada yang berkaitan dengan pengembangan lahan rawa. Dalam
RTRW
pengembangan
lahan
rawa
terutama
diarahkan
untuk
permukiman/perumahan dan industri serta sebagian rawa dipertahankan sebagai daerah konservasi/resapan air. Pengembangan lahan rawa untuk kawasan terbangun dapat dilakukan dengan cara reklamasi/penimbunan seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Selain itu direkomendasikan bentuk pengembangan lain. Dalam pengembangan ini volume air yang ada pada lahan rawa tersebut tetap ditampung dalam kawasan dengan membuat badan-badan air seperti kolam,
saluran/kanal, atau lainnya. Dengan demikian air pada kawasan tersebut tidak "didesak pindah" ke kawasan lainnya. Oleh karena pembangunan badan-badan air tersebut, maka luas lahan yang dapat dibangun di atasnya hanya sebagian dari luas lahan kawasan sebelumnya. Dengan luas lahan yang hanya sebagian dan biaya pembangunan badan air yang dibutuhkan, maka berakibat kawasan tersebut
menjadi relatif mahal. Hal ini
mungkin dapat diatasi dengan menjadikannya permukiman bagi golongan berpenghasilan tinggi disertai subsidi silang untuk yang berpenghasilan menengah ke bawah (Bappeda Kota Palembang, 2004). Berikut adalah gambar peta RTRW Kota Palembang Tahun 2005-2015 (Gambar 1).
Sumber: Bappeda Kota Palembang
Gambar 1. Peta RTRW Kota Palembang Tahun 2005-2015
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari Februari sampai Juli 2008. Obyek penelitian difokuskan pada Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kota Palembang (Gambar 3). Untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Kampus IPB Darmaga Bogor. Berikut adalah peta lokasi penelitian.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah (Tabel 1). Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Data
Jenis Data
Sumber
Kegunaan
Peta Landsat Kota Palembang (Peta terbaru)
Sekunder
Biotrop
Peta Administrasi Kota Palembang (peta tua dan peta terbaru)
Sekunder
Badan Arkeologi, Bappeda Kota Palembang dan Jawatan Topografi TNI Angkatan Darat
Untuk mengetahui penutupan lahan tahun 1978, 1989, 2001 dan 2007 Untuk mengetahui batas administrasi tahun 1919 dan 2004
Lanjutan Tabel 1 Data
Jenis Data
Sumber
Kegunaan
Sejarah perkembangan Kota Palembang
Sekunder
Website Pemkot Palembang, Badan Arkeologi Kota Palembang
Untuk mengetahui sejarah kota Palembang dari masa ke masa
Tata Guna Lahan
Primer dan Sekunder
Pemkot Palembang Literatur Survei lapang
Untuk melihat penutupan dan penggunaan lahan
Data Pertumbuhan Penduduk Kota Palembang Data sosial ekonomi Kota Palembang dari masa ke masa
Sekunder Sekunder
Badan Pusat Statistik Kota Palembang Bappeda Kota Palembang
Untuk mengetahui pertumbuhan penduduk yang berpengaruh pada tata guna lahan Untuk mengetahui perkembangan sosial ekonomi dari masa ke masa
Data banjir Kota Palembang
Sekunder
Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Palembang
Untuk mengetahui luasan banjir
Alat yang digunakan adalah 1.
Kamera digital
2.
GPS (Global Positioning System)
3.
Komputer dengan perangkat lunak Arc.view GIS 3.3; Erdas Imagine 8.5; ArcGIS 9.2 serta microsoft word dan microsoft excell.
Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan terdiri atas pelaksanaan metode deskriptif dengan teknik survei dan analisis data. Proses penelitian dilakukan berdasarkan proses dalam sistem informasi geografi yang meliputi pengumpulan data, analisis awal, survei lapang, analisis lanjutan, dan penyajian hasil. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data sekunder yang didapat dari instansi terkait. Data yang didapat berupa data spasial dan tabular. Data spasial merupakan data yang bersifat keruangan, terdiri dari peta tua Palembang tahun 1919, citra landsat Kota Palembang tahun 1978, 1989, 2001 dan
2007, peta administrasi Kota Palembang. Peta-peta tersebut didapat dari Badan Arkeologi Kota Palembang, Jawatan Topografi TNI Angkatan Darat, Biotrop dan Bappeda Kota
Palembang.
Selanjutnya peta tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi perubahan penutupan dan penggunaan lahan Kota Palembang. Data tabular merupakan data yang berbentuk tulisan dan angka-angka. Data tersebut antara lain data kondisi sosial ekonomi Kota Palembang, sejarah Kota Palembang. Data tersebut di dapat dari Badan Arkeologi Kota Palembang, Bappeda Kota Palembang, Pemerintahan Kota Palembang dan Badan Pusat Statistik Kota Palembang. Analisis Awal Analisis awal dilakukan dengan men-scan peta-peta, melakukan koreksi geometri dan melakukan digitasi peta tua menjadi peta digital. Koreksi geometri bertujuan untuk melakukan retifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat bumi, regristrasi (mencocokan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sisitem proyeksi tertentu (Purwadhi, 2001). Kemudian dilakukan klasifikasi citra landsat yang sudah didapat menjadi 9 kawasan yaitu badan air, lahan terbangun, lahan terbuka, sawah, rawa, hutan, tegalan, kebun campuran, dan rumput. Klasifikasi citra landsat dilakukan setelah citra dikoreksi geometri dan dipotong (diambil Kota Palembangnya saja). Koreksi geometri ini dibantu dengan perangkat lunak Erdas Imagine 8.5 dan ArcGIS. Pada proses ini koordinat data vektor dan raster diubah ke dalam sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator). Pemilihan sistem koordinat ini bertujuan agar dapat diketahui luasan dari berbagai penutupan lahan pada masingmasing citra dan peta tua. Survei Lapang Survei lapang, dilakukan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dengan hasil interpretasi visual. Survei lapang juga dilakukan untuk melihat kesesuaian antara keadaan peta landsat dan kenyataan di lapangan. Survei lapang bertujuan untuk mengambil foto-foto penggunaan lahan pada masa ini dan dibandingkan dengan penggunaan masa lampau dan pengecekan dilapang.
Analisis Lanjutan Berupa pengolahan data yang didapatkan untuk mendapat hasil akhir yang diinginkan dari penelitian penggunaan dan penutupan lahan. Masing-masing peta (peta landsat) dilakukan pengidentifikasian area contoh yang mewakili setiap penggunaan dan penutupan lahan. Setelah itu, dilakukan overlay sehingga terlihat perubahan penggunaan dan penutupan lahannya. Penyajian Hasil Hasil penelitian ini berupa informasi spasial dari perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Palembang dari masa ke masa berdasarkan peta hasil overlay.
Kemudian
dicari
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perubahan
penggunaan dan penutupan lahan, menganalisis hubungan antara perubahan proporsi RTH dengan banjir yang terjadi di Kota Palembang, serta menganalisis potensi banjir terhadap penerapan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Palembang. Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi sampai pendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan berdasarkan aspek sejarah Kota Palembang sejak zaman Klasik hingga Kemerdekaan. Penelitian ini ”time line” yang digunakan adalah masa perkembangan penguasaan Kota Palembang mulai zaman Klasik-KesultananKolonial-Kemerdekaan
(683-2007).
Penelitian
ini
mengidentifikasi
dan
membandingkan penggunaan masa lalu dan sekarang, serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Selain itu juga melihat hubungan antara perubahan proporsi RTH dengan banjir yang terjadi di Kota Palembang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan prediksi untuk mengetahui keadaan masa depan setelah terjadi perubahan penggunaan dan penutupan lahan selama 100 tahun.
Persiapan Perizinan
Inventarisasi : Pengambilan data awal yang meliputi data sekunder (peta-peta Palembang, sejarah Palembang, data sosial ekonomi Palembang) .
Pengolahan dan Analisis Awal: Men-scan peta-peta, koreksi geometris, mendigitasi peta.
Survei lapang Pengecekan di lapang, pengumpulan data primer.
Analisis Lanjutan Pengklasifikasian penggunaan dan penutupan lahan, Identifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing peta, overlay peta.
Penyajian Akhir Perubahan penggunaan dan penutupan lahan dan perubahan proporsi RTH.
Faktor- faktor perubahan penutupan dan penggunaan lahan
Analisis hubungan antara perubahan proporsi RTH (rawa) dengan banjir yang terjadi di Kota Palembang
Analisis potensi banjir terhadap penerapan RTRW Kota Palembang. Gambar 4. Diagram Tahapan Kegiatan Penelitian
KONDISI UMUM KOTA PALEMBANG
Profil Wilayah Kota Palembang terkenal sebagai kota industri dan kota perdagangan. Posisi geografis Palembang yang terletak di tepian Sungai Musi dan tidak jauh dari Selat Bangka, sangat menguntungkan. Walaupun tidak berada di tepi laut, Kota Palembang mampu dijangkau oleh kapal-kapal dari luar negeri. Terutama dengan adanya Dermaga Tangga Buntung, Dermaga Sei Lais dan ditambah lagi dengan adanya Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Selain itu Kota Palembang terkenal sebagai kota tua, yang pernah menjadi pusat pendidikan agama Budha dan banyak terdapat peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang tersebar di seluruh kota dan sekitarnya, dan situs-situs ini masih belum terurus, seperti Beteng Kuto Besak yang bahkan menjadi polemik karena dijadikan tempat perniagaan. Suasana Kali Lima di Pasar 16 Ilir Kota Palembang yang khas karena dibelah dan dikelilingi Sungai Musi dan anak-anak sungainya, seharusnya lebih tepat menjadi kota sungai (Venice from the East), namun sayangnya pola pembangunan pada era lalu sangat kuat dengan visi penyeragaman, sehingga dibentuk sedemikian rupa menjadi kota daratan sebagaimana kota-kota lain di Pulau Jawa. Aliran sungai menjadi sempit, bahkan tertutup, rawa-rawa pun ditimbun lalu ketika hujan turun, genangan air dan banjir terjadi di mana-mana (Bappeda, 2004). Kurang baiknya penataan kota adalah masalah utama Kota Palembang yang dampaknya membias kemana-mana misalnya masalah sosial seperti maraknya pengemis jalanan, PKL yang sulit ditertibkan, sampai arus lalu lintas yang di beberapa tempat terasa semrawut tidak terlepas dari soal penataan kota yang sejak awal kurang tepat. Akibatnya ketika desakan penduduk dan aktivitas ekonomi menuntut kota dikembangkan semakin pesat, berbagai permasalahan sosial pun muncul. Wilayah Administrasi Secara geografis wilayah Kota Palembang berada antara 2º 52’ - 3º 5’ LS dan 104º 37’ - 104º52” BT dengan luas wilayah 400,61 km² dengan batas-batas sebagai berikut :
Batas Utara
: Kabupaten Banyuasin
Batas Selatan : Kabupaten Ogan Komering Ilir Batas Timur
: Kabupaten Banyuasin
Batas Barat
: Kabupaten Banyuasin
Kota Palembang terdiri dari 14 kecamatan yaitu Ilir barat II, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Ilir Barat I, Ilir Timur I, Ilir Timur II, Sako, Sukarami, Gandus, Kertapati, Plaju, Bukit Kecil, Kemuning, Kalidoni yang terdiri dari 103 kelurahan, dengan luas wilayah 400,61 km2 dengan jumlah penduduk 1.451.776 jiwa. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu kecamatan Sukarami (98,56 km2), sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu kecamatan 6,5 km2. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Ilir Timur I (13.882 jiwa/km2), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kecamatan Gandus (766 jiwa/km2).
Kondisi Fisik Musim yang terdapat di Kota Palembang sama dengan yang terjadi di Indonesia, yaitu musim kemarau dan penghujan. Dari bulan Juni sampai September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga menyebabkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember hingga Maret, arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini terjadi pertengahan tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November. Suhu udara rata-rata Kota Palembang berkisar 26,40 C sampai 28,90 C. Suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober sebesar 28,90 C, sedangkan suhu minimum terjadi pada bulan Januari sebesar 26,40C. Kecepatan angin hampir di seluruh wilayah Palembang merata disetiap bulannya, yaitu sekitar 2 knots hingga 6 knots. Faktor lain yang mempengaruhi hujan dan kecepatan angin adalah tekanan udara. Kota Palembang sebagian besar memiliki jenis tanah berlapis aluvial, liat dan berpasir, terletak pada lapisan yang masih muda, banyak mengandung minyak bumi, yang juga dikenal dengan Lembah Palembang-Jambi. Tanah relatif datar
dan rendah, tempat-tempat yang agak tinggi berada di bagian utara kota, dengan ketinggian rata-rata 0-20 mdpl. Sebagian Kota Palembang digenangi air terlebih lagi bila terjadi hujan terus menerus.
Terdapat perbedaan karakter topografi
antara Wilayah Seberang Ulu dengan Wilayah Seberang Ilir. Bagian wilayah Seberang Ulu pada umumnya mempunyai topografi yang relatif datar dan sebagian besar dengan tanah asli berada dibawah permukaan air pasang maksimum Sungai Musi (+ 3,75 m diatas permukaan laut) kecuali lahan-lahan yang telah dibangun (dan akan dibangun) dimana permukaan tanah telah mengalami penimbunan (dan reklamasi). Lapisan tanah yang terdapat di Kota Palembang berupa tanah lempung, pasir lempung, napal dan napal pasiran. Keadaan stratigrafi wilayah Kota Palembang terbagi atas 3 bagian, yaitu: 1.
Satuan aluvial dan rawa, terdapat di Seberang Ulu dan rawa-rawa dibagian Timur dan bagian Barat wilayah Kota Palembang.
2.
Satuan Palembang Tengah, mempunyai batuan lempung dan lempung pasiran yang kedap air, tersebar dibagian Utara.
3.
Satuan Palembang Bawah, tersebar dibagian dalam Kota Palembang dengan arah memanjang ke Barat daya dan Tenggara merupakan suatu rangkaian antiklin. Adanya perbedaan karakter topografi di Kota Palembang (kawasan
Seberang Ulu dengan Seberang Ilir) terkait dengan kondisi hidrologi, berupa keadaan anak-anak sungai dalam wilayah. Dibagian wilayah Seberang Ulu terdapat anak-anak sungai yang relatif besar dengan muara pada Sungai Musi. Anak-anak Sungai Musi yang relatif besar dan berhulu di Pegunungan Bukit Barisan adalah Sungai Ogan dan Sungai Komering, sedangkan anak-anak Sungai Musi yang relatif kecil adalah Sungai Keramasan yang berhulu di Kabupaten Muara Enim. Selain anak-anak sungai tersebut, terdapat pula anak-anak sungai kecil dan pendek yang bermuara pada Sungai Musi dan berhulu pada wilayah Kota Palembang dan kawasan sekitarnya, seperti Sungai Aur dan Sungai Sriguna. Pada bagian wilayah Seberang Ilir, aliran anak-anak sungai terbagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan karakteristik topografi yang ada, berupa adanya punggungan topografi. Pada bagian selatan punggungan, terdapat anak-anak
sungai yang mengalir pada Sungai Musi dan berhulu pada punggungan topografi. Anak-anak sungai tersebut meliputi Sungai Lambidaro, Sekanak, Buah, Batang, Selincah dan sebagainya. Pada bagian utara punggungan terdapat anak-anak sungai yang mengalir ke utara, yang bermuara antara lain ke Sungai Kenten.
Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Kota Palembang tahun 2006 sebanyak 1.451.776 jiwa, tersebar pada empat belas kecamatan. Pertumbuhan penduduk di Kota Palembang sebesar 2,27%. Laju pertumbuhan penduduk ini pada dasarnya masih tetap bersifat alami atau karena faktor kelahiran dan kematian, walaupun demikian juga dipengaruhi migrasi. Sementara itu jika dibandingkan per kecamatan terlihat penduduk kota Palembang terakumulasi di Kecamatan Sukarami sebesar 12,48 % (170.828 jiwa), urutan kedua berada di Kecamatan Ilir Timur II, yaitu sebesar 12,01 % (164.449 jiwa) dan diurutan ketiga di Kecamatan Seberang Ulu 1 sebesar 11,15 % (152.607 jiwa), sedangkan jumlah penduduk terendah di Kecamatan Bukit Kecil sebanyak 47.850 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata Kota Palembang adalah 3.417,9 jiwa per km2 pada tahun 2006. Kecamatan terpadat adalah Kecamatan Ilir Timur I dengan kepadatan penduduk sebesar 12.399,8 jiwa per km2, sedangkan tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Gandus, dengan tingkat kepadatan sebesar 744,1 jiwa per km2. Sektor unggulan di Kota Palembang cenderung didominasi oleh kegiatan yang notabene berkembang di kawasan perkotaan. Hal ini menunjukkan karateristik yang kuat mengenai perkembangan perekonomian Kota Palembang dalam skala regional. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang memiliki peranan paling besar dan memiliki keunggulan yang relatif tinggi dibandingkan sektor lainnya, dimana dalam kurun waktu 2000-2003 memiliki rata-rata laju pertumbuhan sebesar 7,82% terhadap perekonomian Kota Palembang. Selanjutnya sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang memberikan kontribusi kedua dan ketiga dalam menumbuhkan perekonomian Kota Palembang. Tumbuhnya sektor-sektor tersebut berkaitan erat dengan posisi
Kota Palembang yang tepat berada di tengah Provinsi Sumatera Selatan serta fungsi dan perannya sebagai ibukota provinsi. Di Kota Palembang, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki laju yang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Disamping itu, sektor industri pengolahan merupakan sektor prospektif dalam mendukung perekonomian Kota Palembang. Kondisi ini sesuai dengan kedudukan Kota Palembang sebagai kota industri dan jasa yang telah terbentuk pada beberapa bagian wilayah kota. Secara persentase, dalam kurun waktu tahun 2000-2003 sektor industri memberikan kontribusi sebesar 42,67% terhadap perekonomian Kota Palembang serta diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 23,65%. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa kedua sektor tersebut merupakan penyumbang yang vital dalam menumbuhkembangkan
roda
perekonomian Kota Palembang, sehingga memerlukan dukungan yang lebih besar dalam meningkatkan kinerja kedua sektor tersebut. Hal ini akan terkait pula dengan aspek lainnya yang berperan dalam menciptakan kedua sektor tersebut sebagai sektor unggulan di Kota Palembang, diataranya adalah daya serap terhadap tenaga kerja yang dapat ditampung. Realisasi penerimaan APBD Kota Palembang tahun 2006 mencapai sebesar Rp. 891.823.700.337,37,- atau naik sebesar 11,30% bila dibandingkan tahun 2005 sebesar Rp. 801.291.001.771,86,-Realisasi penerimaan APBD tahun 2006 berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan penerimaan lainnya yang terdiri dari atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan. Besarnya penerimaan dari PAD sebesar Rp. 89.676.046.899,37, -atau naik sebesar 15,84%. Bagian terbesar dari realisasi penerimaan APBD berasal dari Dana Alokasi Umum sebesar 61,80%, dengan nilai Rp. 551.149.000.000,00.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kota Palembang Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang telah mengalami berbagai periode perkembangan kota, mulai dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan. Kota Palembang merupakan kota yang dikelilingi air, bahkan terendam oleh air. Kemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang melayu menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah, akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu, Palembang lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air. Bahkan sampai saat ini di Kota Palembang masih banyak tanah yang tergenang, baik yang bersumber dari air sungai, rawa dan air hujan. Sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Selatan, Kota Palembang merupakan kota yang dinamis dan terus berkembang dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan (2007) sehingga banyak terjadi perubahan fisik, sosial budaya maupun ekonomi. Hal ini berdambak positif dan negatif bagi perkembangan Kota Palembang. Kota Palembang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Selatan menjadi pusat orientasi dan pusat pelayanan utama, baik untuk wilayah kota maupun untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan sekitarnya, seperti pusat kegiatan perdagangan, industri, dan jasa. Selain itu, Kota Palembang terletak pada jalur utama transportasi Lintas Sumatera dan terletak di dalam segitiga pertumbuhan wilayah Indonesia-Malaysia-Singapura (Pemerintahan Kota Palembang, 2005). Hal ini berpengaruh pada perkembangan perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang terutama berpengaruh pada ruang terbuka hijau dan rawa sebagai ruang terbuka hijau yang dominan di Kota Palembang. Perkembangan Kota Palembang sebagai salah satu kota metropolitan mempunyai sejarah yang panjang sejak zaman Klasik, Kesultanan, Kolonial hingga sekarang (Kemerdekaan). Perkembangan tersebut akan diurai dalam bahasan berikut ini.
Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Kota Palembang
Zaman Klasik (Sriwijaya, Kerajaan Palembang dan Cina) (683 - 1407) Dasar penentuan timeline pada zaman Klasik adalah berdasarkan tanggal kelahiran kota Palembang yang secara resmi dituangkan dalam surat keputusan Walikotamadya Kepala Daerah No. 57/UM/WK tanggal 6 Mei 1972, setelah melalui diskusi maka ditetapkan bahwa hari jadi kota Palembang adalah pada hari kelima paro terang bulan Asadha tahun 605 Saka atau tanggal 17 Juni 683 Masehi. Walaupun kelahiran Kota Palembang dicatat dalam sebuah prasasti yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Pada awal dibangunnya, Kota Palembang telah ditata dengan baik menurut konsep yang didasarkan atas agama, yaitu konsep kosmologi, kesejajaran antara makro kosmos (jagad raya) dan mikro kosmos (dunia manusia). Tempat-tempat yang dianggap suci, seperti bangunan wihara dan candi ditempatkan di daerah yang tinggi jauh dari tepian sungai Musi, sedangkan permukiman ditempatkan dekat dengan sungai atau di tepiannya. Gambaran mikro kosmos diwujudkan dalam bentuk kolam dan parit buatan yang ditempatkan di daerah Karanganyar. Untuk kelengkapan sebuah kota, Dapunta Hiyan Sri Jayanasa, penguasa pada waktu itu, pada tanggal 23 Maret 684 Masehi membangun taman yang kemudian diberi nama Sriksetra. Berdasarkan tempat ditemukannya prasasti yang menyebutkan nama taman ini, taman yang dibangun ini letaknya di daerah tinggi di sekitar Kecamatan Talang Kelapa. Pada saat ini sebagian lahannya diperuntukkan bagi perumahan Perumnas Talang Kelapa ( Hanafia, 2004). Pada zaman Sriwijaya, kebanyakan masyarakat tinggal di atas rakit maupun rumah panggung, sedangkan yang tinggal di darat hanyalah bangsawan. Pada zaman ini, wilayah palembang sebagian besar merupakan daerah tergenang baik berupa sungai maupun rawa. Pada masa ini, perkembangan kota Palembang menuju ke utara Sungai Musi karena wilayahnya lebih tinggi daripada di bagian selatan yang cenderung lebih rendah dan masih banyak terdapat rawa. Sriwijaya terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kota pelabuhan sungai. Sebagai kota pelabuhan, Palembang telah dikenal oleh dunia internasional sejak masih disebut Sriwijaya. Orang dengan latar belakang kebudayaan, warna
kulit dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu di kota ini sampai berabad-abad lamanya. Para pedagang dari berbagai bangsa dan budaya datang silih berganti ke kota ini. Berdasarkan catatan sejarah dan tinggalan budayanya, tercatat pedagang dari Arab, Parsi, India, Cina, Jepang, dan terakhir Eropa (Inggris dan Belanda) datang berniaga di Palembang (Hanafia, 2004). Kerajaan Sriwijaya berkuasa di Palembang sampai abad ke-12. Setelah itu palembang dikuasai oleh Kerajaan Palembang yang dimulai sejak tahun 1225 hingga 1397. Pada masa ini, walaupun Palembang dikuasai oleh kerajaan Palembang, namun kerajaan Palembang itu sendiri wajib memberi upeti pada penguasa Majapahit. Pada zaman ini, kota Palembang tidak banyak berubah, namun telah terdapat lahan pertanian yang dapat dilihat dari Sejarah Melayu (Hanafia, 2004). Pada masa kekuasaan Cina yang dimulai tahun 1397 hingga 1407, kota Palembang masih merupakan kota yang digenangi air, jarang sekali menemukan daratan. Perumahan para pemimpin berada di tanah kering di pinggir sungai, sedangkan rakyat tinggal di atas rumah rakit yang terbuat dari kayu yang diikatkan erat oleh tali-tali di tiang-tiang. Bila air pasang, rakit tersebut mengambang dan tidak tenggelam. Pada saat masa Cina, perdagangan maju pesat, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang mencapai 10.000 jiwa atau separuh penduduk Pasai yang pada saat yang sama menjadi pusat perdagangan di Sumatera belahan utara (Hanafia, 2004). Luas kota Palembang pada zaman ini dapat dilihat dari catatan pelaut Arab Abu Zaid Hasan di abad ke-10, mencatat beberapa gosip para pedagang bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam di waktu subuh dan terus menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang (satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus” (Hanafia, 2004). Jadi, dapat diketahui bahwa, orang-orang zaman itu, memperkirakan luas Palembang 625 km2 dan luasan saat itu lebih luas dari sekarang. Pada zaman ini pembangunan telah dilakukan di Kota Palembang, yaitu pembangunan tata ruang dan saluran air serta pengurukan dan penimbunan daerah rawa, baik untuk pembangunan istana, permukiman warga maupun tempat ibadat.
Selain itu juga terdapat pembangunan pelabuhan, sarana transportasi, industri dan Taman Srisentra. Zaman Kesultanan (1407 – 1821) Dasar penentuan timeline zaman Kesultanan adalah ketika Mugni diangkat menjadi raja Palembang dengan gelar Sultan Palembang. Zaman Kesultanan dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Palembang dan Kesultanan PalembangDarusalam. Pada zaman Kesultanan, pada awal kebangkitan, pusat pemerintahan Kota Palembang terletak di bagian timur Kota Palembang. Setelah hampir satu abad pindah ke bagian tengah Kota Palembang. Berikut adalah peta Kota Palembang tahun 1650 (Gambar 5).
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 5. Peta Kota Palembang Tahun 1650
Pada zaman ini, sebagian besar Kota Palembang masih rawa, ini dapat dilihat dari peta di atas. Pada bagian utara Kota Palembang terdapat lahan terbangun, sedangkan bagian selatan belum terlihat adanya lahan terbangun, dan masih didominasi oleh rawa. Pada zaman ini terdapat pembangunan Keraton, Kuto Lamo, Kuto Besak, benteng pertahanan (pemasangan lantai di Sungai Musi untuk menghalangi kapal masuk), mesjid (di 1 Ilir, Beringin Jangut dan Mesjid Agung), pelabuhan, tempat penambatan angkutan sungai, Makam raja-raja Palembang, klenteng, rumah limas, dan industri. Pada zaman ini telah ada penataan tata ruang kota. Selain itu, juga dibangun kanal-kanal yang berfungsi
ganda, yaitu sebagai alur pelayaran, pertanian dan pertahanan. Pada zaman ini, pelabuhan Kota Palembang terkenal sebagai pelabuhan paling aman dan mempunyai peraturan paling baik. Berikut adalah sketsa Kota Palembang tahun 1821 (Gambar 6).
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 6. Sketsa Kota Palembang Tahun 1821
Gambar sketsa yang dibuat oleh J. Jeakers menggambarkan situasi Palembang setelah penyerbuan tahun 1821. Di dalam sketsa tampak dua buah Kuto yang mempunyai bentuk gerbang beratap yang sama. Di sebelah kanan adalah Kuto Lama (dikenal juga Kuto Tengkuruk), sedangkan di sebelah kiri adalah Kuto Besak. Di bagian belakang Kuto Lama (sebelah kanan gerbang) tampak menjulang sebagian menara Masjid Sultan. Di bagian depan tembok Kuto Besak, di sebelah kiri pintu gerbang tampak bangunan yang memanjang dengan banyak tiang. Bangunan ini terbuat dari kayu dan beratap sirap dan mempunyai ruangan terbuka (tidak berdinding). Bangunan panjang ini disebut Pasebanan (Hanafia, 2004). Berdasarkan latar belakang sejarah penempatannya, perkembangan kota Palembang dimulai dengan penempatannya di jalur perdagangan, di muara-muara sungai besar yang menghubungkan daerah hilir dan daerah hulu sebagai daerah penghasil sumberdaya alam. Dengan demikian hidup dan berkembangnya Palembang dikarenakan faktor perdagangan (Hanafia, 2004). Palembang tidak dapat hidup dan berkembang apabila daerah-daerah penghasil baik yang berada di hulu maupun di hilir Musi. Karena itulah para
penguasa yang telah menetapkan Palembang sebagai pusat pemerintahannya, ia harus tetap mengusahakan daerah-daerah penghasil tetap berada di bawah kekuasaannya. Sejak masa Kerajaan Palembang-Islam hingga masa Kesultanan Palembang-Darussalam, wilayah kekuasaannya meliputi daerah hulu Musi dan anak-anak sungainya hingga ke Bengkulu, Lampung, dan Pulau Bangka dan Belitung. Salah satu sumber pendapatan Kesultanan Palembang-Darussalam adalah timah yang dihasilkan di Pulau Bangka dan Belitung. Hasil tambang ini merupakan barang komoditi yang sangat menguntungkan. Karena sangat menguntungkan, Sultan Badaruddin harus mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Gangguan itu dalam bentuk pencurian timah, penyelundupan, dan perampokan. Sultan juga harus mewaspadai para pedagang asing, seperti Inggris dan Belanda yang juga bernafsu menguasai komoditi ini. Selain timah, sumber pendapatan Kesultanan yang lain adalah lada. Tanaman ini dibudidayakan di Bangka, Belitung, dan Lampung. Komoditi ini cukup digemari oleh pedagang asing, baik pedagang dari Eropa (Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugis), maupun dari Asia (Arab, India, Cina). Pada sekitar tahun 1700-an, Palembang merupakan penghasil lada terbesar. Pada zaman ini, industri rakyat Palembang tumbuh subur (Hasbullah, 1996).
Zaman Kolonial (1821 – 1945) Dasar penentuan timeline zaman Kolonial adalah jatuhnya Benteng Kuto Besak ke tangan Belanda. Walaupun bentuk pemerintahan Kota Palembang adalah Gemeente, istilah Palembang Haminte baru ditetapkan pada tanggal 1 April 1906 berdasarkan Stbld No. 126 tahun 1906. Pada zaman ini peta yang digunakan belum berformat digital. Jadi untuk mengetahui keadaan lahan pada masa ini dilakukan beberapa proses dengan bantuan perangkat lunak sistem informasi geografis. Peta yang digunakan adalah peta tahun 1919 karena hanya peta ini yang ditemukan pada saat pengumpulan data.
Penutupan Lahan Pada masa ini, Kota Palembang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau (Gambar 8) yaitu 90,34%, dari total luas Kota Palembang saat itu sekitar 224 km2. Sedangkan ruang terbangun sebesar 2,74%, badan air 6,92% dan ruang terbuka sebesar 0,01%. Ruang terbuka hijau saat itu didominasi oleh rawa, yaitu sebesar 73,84% dari luas keseluruhan Kota Palembang saat itu. Keterbatasan informasi pada peta masa ini (Gambar 7) menyebabkan penyederhanaan dalam masingmasing kelas penutupan lahan.
Sumber : Jawatan Topografi TNI. AD, Skala 1: 100.000 Gambar 7. Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1919
Persentase 1919 6.92 13.69
0.88 1.92
2.74 0.01
Hutan Kebun campuran Lahan terbangun Lahan terbuka Rawa Semak belukar
73.84
Sungai
Gambar 8. Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1919
Penggunaan Lahan Pada zaman ini, penggunaan lahan mulai beragam. Mulai ada perkantoran, permukiman semakin meningkat, fasilitas untuk masyarakat telah meningkat, kawasan industri dan perkebunan mulai berkembang. Kondisi Fisik Pada zaman ini, Kota Palembang semakin berkembang. Ini terlihat dari banyaknya pembangunan yang dilakukan, yaitu pendirian dan pembongkaran bangunan, yaitu Verordening op het bouwen en der Gemeente Palembang, pembuatan rencana induk ruang kota, pembelian lapangan-lapangan untuk menimbun bahan bangunan, pembuatan jembatan, Perbaikan Jalan, pembuatan medan lalu lintas dekat, menyediakan lapangan-lapangan untuk lanjutan jalan kereta api Sumatera Selatan dari Kertapati ke Seberang, menyediakan lapangan pelabuhan, pendalaman alur sungai Musi, pembuatan jalan-jalan tembus dan pelebaran jalan, perbaikan tempat-tempat berlabuh untuk kapal-kapal, penyediaan tempat-tempat transit. Selain itu juga diadakan realisasi master plan Kota Palembang, yaitu Industrial estate, real estate dan sistem Ring and Radial bangunan jalan kota. Kondisi Sosial Ekonomi Palembang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Selatan, dari segi sosial maupun perekonomian terus berkembang. Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 1920 jumlah penduduk Kota Palembang adalah 73.720 jiwa dan terus meningkat di tahun 1930 menjadi 108.140 jiwa (BPS, 1994). Pada saat ini, Kota
Palembang telah banyak didatangi oleh pendatang, baik dari pribumi yang berasal dari daerah lain ataupun penduduk asing. Jumlah pendatang asing Cina adalah 17.404 jiwa, Belanda dan Eropa 2.222 jiwa, dan bangsa asing lainnya 4.117 jiwa (Hasbullah, 1996). Perekonomian Kota Palembang pada masa ini mengalami kemunduran. Semangat dan praktik industri yang tumbuh dan berkembang dari jiwa rakyat ambruk oleh investasi yang kelewat banyak dan kuat dari pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah penjajah dengan segala dalih memaksakan kebijakan industri yang sesuai dengan cita rasa dan kepentingannya. Pola perdagangan bebas rakyat yang bebas kemudian diintervensi. Bentuk intervensi yang dilakukan adalah monopolisme, yaitu membantu yang kuat dan menekan yang lemah, sehingga yang akan diuntungkan adalah penguasa. Penguasa kapitalis Belanda, saudagar Cina dan para penguasa di pemerintahan itulah yang memonopoli perdagangan dan industri tersebut, sedangkan rakyat mengalami kehancuran. Setelah kehancuran, perekonomian Palembang terbagi menjadi tiga warna, yaitu ekomomi kapitalis yang dikuasai pemerintah dan pemodal Belanda, sektor ekomomi rakyat yang berkutat pada kegiatan primer dan tradisional, serta aktivitas merkantilistik dalam bentuk pedagang perantara yang dikaplingkan Belanda untuk orang-orang keturunan Cina. Selain menguasai industri manufaktur, Belanda bersama-sama orang Cina menguasai mata rantai perdagangan hasil-hasil industri dan perkebunan, terutama karet dari pedalaman (Hasbullah, 1996).
Zaman Kemerdekaan I (1945-1965) Dasar penentuan timeline zaman kemerdekaan I adalah setelah Indonesia merdeka sampai terbentuknya Kotamadya tingkat II Palembang berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 1965 yang menyatakan bahwa Kota Palembang sebagai kotamadya tingkat II. Sebelumnya Kota Palembang pernah ditetapkan sebagai Kota Kelas A berdasarkan Keputusan Gubernur Kdh Tk. I Sumsel No. 103/1945. Setelah itu, Kota Palembang ditetapkan sebagai Kota Besar menurut UU No. 22 tahun 1948 dan berubah menjadi Kota Praja Palembang sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957.
Penutupan Lahan Untuk zaman ini, tidak ditemukan peta yang lengkap, sehingga tidak dapat diketahui keadaan lahan pada saat itu. Namun, pada zaman ini, diperkirakan lahan terbangun meningkat sedangkan ruang terbuka hijau menurun. Hal ini dapat diketahui dari pembangunan fisik yang terjadi. Penggunaan Lahan Pada zaman ini diketahui luas kota Palembang yang sempat bertambah 115 km2 pada tahun 1944, kembali menjadi 224 km2 pada zaman Kemerdekaan. Batas Kota Palembang saat itu adalah sebelah utara dengan Kabupaten Musi Banyuasin, Selatan dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir, sebelah Timur dengan Musi Banyuasin, dan sebelah barat dengan Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Muara Emin. Pada zaman ini, penggunaan lahan Kota Palembang semakin beragam. Ini terlihat dari dibangunnya Universitas Sriwijaya sebagai sarana pendidikan masyarakat Kota Palembang. Kondisi Fisik Pada zaman ini, juga banyak dilakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan pasar, perumahan rakyat, pembangunan jalan, penimbunan Musi Boulevard, perumahan proyek khusus kebangkan (PCK), pembangunan stadion, pembuatan kanal (terusan), pembangunan jembatan penyeberangan. Selain itu juga dilakukan pembebasan lahan untuk daerah industri PT Pusri, Universitas Sriwijaya, Traffic Garden di Bukit Besar. Pada zaman ini juga dibangun Jembatan Musi atau Jembatan Ampera pada bulan April 1962 sampai Mei 1965. Kondisi Sosial Ekonomi Menurut Data BPS jumlah penduduk zaman ini adalah 151.305 pada tahun 1945 dan terus meningkat di tahun 1961 menjadi 474.971. Dari sini terlihat dengan bertambahnya penduduk, sarana dan prasarana dan fasilitas fisik lainnya ikut bertambah. Pada zaman ini, perekonomian Kota Palembang semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya sektor industri yang menyokong perekonomian Kota Palembang.
Zaman Kemerdekaan II (1965-1999) Dasar penentuan rentang zaman kemerdekaan II adalah UU No 5 tahun 1974 yang menyatakan Kota Palembang adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang sampai berubah menjadi Kota Palembang. Pada zaman ini, perkembangan Kota Palembang telah menjadi kota raya kedua setelah Medan, dan hanya kedua kota ini saja yang berkembang cukup pesat di Sumatera. Penutupan Lahan Pada zaman ini, untuk melihat penutupan lahannya menggunakan interpretasi citra tahun 1978 dan 1989. Untuk keadaan zaman ini telah digunakan citra satelit sehingga dalam penentuan kelas dan informasi mulai lebih lengkap dan akurat. Untuk citra satelit ini, keadaan Kota Palembang mengacu keadaan Kota Palembang saat ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan melihat perubahan penutupan lahan dari tahun ke tahun. Pada zaman ini, persentase ruang terbuka hijau Kota Palembang masih dominan walaupun tetap mengalami penurunan. Persentase ruang terbuka hijau tahun 1978 (Gambar 11) adalah 84,42% yang didominasi oleh rawa sebesar 49,48%, sedangkan persentase lahan terbangun hanya sebesar 5,95%. Pada tahun 1989 persentase ruang terbuka hijaunya menurun (Gambar 12) menjadi 66,04% yang didominasi oleh rawa sebesar 28,13% dan persentase lahan terbangun meningkat hingga 19,46%. Berikut adalah gambar peta penutupan lahan Kota Palembang tahun 1978 dan 1989 (Gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1978
Gambar 10. Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1989
Persentase
9.99
5.43 2.75
8.87
Badan air Hutan
13.33 5.95
Kebun campuran Lahan terbangun Lahan terbuka
4.20
Rawa Sawah Semak
49.48
Gambar 11. Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1978
Persentase 1.82 1.82
Hutan
4.64
13.11
Kebun campuran
0.07 22.65
0.26
Badan air
Lahan terbangun Lahan terbuka Rawa Rumput dan semak
28.13 8.04
19.46
Sawah Tegalan Tidak ada data
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Persentase 1919 Presentase 1978 Presentase 1989 Persentase 2001
Ba da n
ai r Ke bu H u n ta La cam n ha pu n ra te n rb an La gu ha n n te rb uk R a um pu Ra td wa an S em ak Sa wa Te h Ti ga da la k ad n a da ta
Persentase
Gambar 12. Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1989
Gambar 13. Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1919,1978 dan 1989
Dari grafik (Gambar 13), dapat diketahui penutupan lahan yang meningkat ada empat kelas, yaitu kebun campuran, lahan terbuka, lahan terbangun dan sawah. Sedangkan yang mengalami penurunan ada tiga kelas, yaitu badan air, rawa dan semak belukar. Selain itu, terdapat perubahan yang dinamis dari kurun waktu tersebut, yaitu hutan hutan yang mengalami kenaikan pada tahun 1978 dan turun pada tahun 1989 dan tegalan yang baru ada tahun 1989. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan pada zaman ini semakin beragam. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fisik yang ada, banyak dilakukan pembangunan. Telah bermunculan pusat-pusat perbelanjaan, industri semakin banyak, perumahan dan lain sebagainya. Kondisi Fisik Pada zaman ini banyak pembangunan yang telah dilakukan, yaitu pembangunan jalan-jalan, jembatan penyeberangan, petak-petak pasar secara swadaya
masyarakat,
pusat
perbelanjaan,
pembangunan
gedung
pusat
pemerintahan kotamadya, taman-taman kota, RSUD, pemakaman. Selain itu juga banyak dibangun permukiman, perkantoran, indusri-industri, drainase, proyek pengeringan kota dan reklamasi. Kondisi Sosial Ekonomi Keberadaan industri juga mengalami perkembangan, selain industri PT Pusri yang telah ada sejak zaman kemerdekaan I, juga muncul indutri-industri lainnya. Jumlah penduduk pada zaman ini adalah 582.581 ditahun 1971, kemudian terus meningkat hingga tahun 1995 mencapai 1.352.301. Dengan bertambahnya penduduk, sarana dan prasarana di Kota Palembang terus bertambah. Pada zaman ini sektor industri cukup berkembang. Hal ini dapat dilihat dari data BPS tahun 1990. Sektor perdagangan secara keseluruhan pada tahun 1992 terjadi penurunan sebesar 18,38% dibandingkan dengan tahun 1991. Namun untuk perdagangan besar terjadi kenaikan yang cukup tinggi yaitu 47,59%. Demikian juga untuk perdagangan kecil, terjadi kenaikan yang cukup mencolok, yaitu 225,81%. Yang terjadi penurunan yang cukup tajam pada perdagangan menengah yaitu 42,75%.
Zaman Kemerdekaan III (1999-2007) Dasar penentuan zaman kemerdekaan III adalah berdasarkan UndangUndang No. 22 Tahun 1999, nama Kotamadya Tingkat II Palembang berubah menjadi Kota Palembang. Pada zaman ini Kota Palembang berkembang semakin pesat dan kompleks. Pada zaman ini, Kota Palembang mengalami pemekaran dari 8 kecamatan menjadi 14 kecamatan. Kecamatan Ilir Timur I menjadi Kecamatan Ilir Timur I dan Kemuning, Kecamatan Ilir Timur II menjadi Kecamatan Ilir Timur II dan Kalidoni, Kecamatan Ilir Barat I menjadi Ilir Barat I dan Bukit Kecil, Kecamatan Ilir Barat II menjadi Kecamatan Ilir Barat II dan Gandus, Seberang Ulu I bertambah menjadi Seberang Ulu I dan Kertapati, dan Seberang Ulu II menjadi Seberang Ulu II dan Plaju, sedangkan Sako dan Sukarami tidak mengalami perubahan. Penutupan Lahan Interpretasi citra yang digunakan pada zaman ini adalah tahun 2001 dan 2007. Dari hasil interpretasi citra yang telah dilakukan, didapatkan hasil, bahwa pada zaman ini keberadaan lahan terbangun mulai meningkat pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2007. Dari hasil interpretasi, didapatkan proporsi ruang terbuka hijau pada tahun 2001 (Gambar 16) adalah 61,94 % yang didominasi oleh rawa sebesar 20,41% dan tahun 2007 (Gambar 17) adalah 58,04% yang juga didominasi rawa sebesar 15,99% dari luas total Kota Palembang. Sedangkan terjadi peningkatan lahan terbangun menjadi 24,27% ditahun 2001 dan 35,74% ditahun 2007. Hal ini menunjukkan terjadi perubahan penutupan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Perubahan yang mencolok terlihat dari salah satu jenis Ruang terbuka hijau, yaitu rawa yang banyak berubah menjadi penutupan lainnya. Berikut adalah gambar peta penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan 2007 (Gambar 14 dan 15).
Gambar 14. Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2001
Gambar 15. Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2007
Persentase 4.54 Badan air
0.05 17.19
Hutan
2.63 20.19
1.48
Kebun campuran Lahan terbangun Lahan terbuka Rawa
20.41
Rumput dan Semak 9.24
24.27
Sawah Tegalan
Gambar 16. Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2001
Persentase 4.92
Badan air
0.03 11.87
Hutan
1.81
3.55
24.78
Kebun campuran Lahan terbangun Lahan terbuka
15.99
Rawa
1.30
Rumput dan Semak Sawah 35.74
Tegalan
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Persentase 1919 Presentase 1978 Presentase 1989 Persentase 2001 Persentase 2007
Ba da n
ai r Ke bu H u n ta La cam n ha pu n ra te n rb an La gu ha n n te rb uk R a um pu Ra td wa an S em ak Sa wa Te h Ti da ga la k n ad a da ta
Persentase
Gambar 17. Grafik Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 2007
Gambar 18. Grafik Perbandingan Penutupan Lahan Tahun 1919, 1989, 2001 dan 2007
Dari grafik (Gambar 18), menunjukkan perubahan dari tiap kelas penutupan lahan di Kota Palembang dari tahun 1919 hingga tahun 2007. Perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan Kota Palembang itu sendiri dan kondisi fisik Kota Palembang. Kelas penutupan yang mengalami peningkatan adalah lahan terbangun sedangkan yang mengalami penurunan adalah hutan. Selain itu, juga terdapat perubahan yang dinamis, yaitu badan air, kebun campuran, hutan, lahan terbuka, rumput dan semak, sawah serta tegalan. Lahan terbangun merupakan kelas penutupan yang selalu mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk Kota Palembang yang terus mengalami peningkatan hingga tahun 2007 sehingga kebutuhan akan lahan untuk sarana dan prasarana penduduk meningkat seperti permukiman, industri, pusat perdagangan, dan jalan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya peningkatan luas lahan terbangun di Kota Palembang pada tahun 1919-1978 meningkat 3,21%, tahun 1978-1989 meningkat 13,51%, tahun 1989-2001 meningkat 4,81%, dan pada tahun 2001-2007 meningkat 11,47%. Penutupan lahan yang terus mengalami penurunan adalah rawa. Hal ini dikarenakan banyaknya rawa yang direklamasi menjadi penutupan lainnya, seperti badan air, kebun campuran, lahan terbuka, sawah dan lahan terbangun. Besarnya penurunan rawa dapat dilihat dari tahun 1919-1978 menurun 24,36%, tahun 19781989 menurun 21,35%, tahun 1989-2001 menurun 7,52% dan tahun 2001-2007 menurun 4,42%. Penutupan lahan badan air, kebun campuran, hutan, lahan terbuka, rumput dan semak, sawah serta tegalan mengalami perubahan dinamis. Badan air pada tahun 1919-2001 menurun karena adanya reklamasi sungai, sedangkan pada tahun 2001-2007 mengalami peningkatan, karena adanya rawa yang beralih fungsi menjadi badan air, yaitu danau buatan. Sawah mengalami peningkatan dari tahun 1919-2001 karena banyaknya rawa yang berubah menjadi sawah dan mengalami penurunan pada tahun 2001-2007 karena adanya perubahan sawah menjadi lahan terbangun. Hal ini terjadi karena banyaknya masyarakat yang beralih profesi di bidang perdagangan. Lahan terbuka tahun 1919-2001 terus meningkat dan
menurun pada tahun 2007. Hal ini dikarenakan lahan pada tahun pada tahun 2007, banyak lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Untuk kelas penutupan Kebun campuran pada tahun 1919-1989, 2001-2007 mengalami peningkatan. Hal ini desebabkan adanya rawa yang beralih fungsi menjadi kebun campuran. Sedangkan pada tahun 1989-2001 proporsi kebun campuran menurun karena adanya perubahan penutupan lahan dari kebun campuran menjadi lahan terbangun. Hutan dari tahun 1919-1978 mengalami peningkatan karena adanya rawa yang direklamasi dan dialihfungsikan menjadi hutan. Sedangkan pada tahun 1978-2007, hutan terus mengalami penurunan. Penggunaan Lahan Secara umum penggunaan lahan di Kota Palembang dapat dibagi menjadi 17 klasifikasi guna lahan (Bappeda Kota Palembang, 2004), yaitu: 1.
Hutan, meliputi kawasan hutan lindung, hutan kota, kawasan cagar alam dan kawasan cagar budaya.
2.
Rawa, meliputi rawa perlindungan dan rawa reklamasi.
3.
RTH, meliputi ruang terbuka berupa jalur hijau di sekitar jalur tegangan tinggi.
4.
Kolam, berupa kolam-kolam yang tersebar di beberapa kecamatan.
5.
Permukiman, meliputi permukiman dan perumahan penduduk.
6.
Perdagangan dan jasa, meliputi sarana perekonomian berupa toko, pertokoan, swalayan, plaza, pasar, kegiatan dibidang jasa, dsb.
7.
Perkantoran, meliputi perkantoran swasta.
8.
Pemerintahan, meliputi bangunan-bangunan pemerintah terdiri dari kantor kelurahan, kecamatan, pemda, dan kantor pemerintah lainnya.
9.
Industri, meliputi industri polutif dan industri non polutif.
10.
Sarana, meliputi sarana olahraga, pendidikan, kesehatan dan peribadatan.
11.
Perkebunan, meliputi perkebunan karet, sawit, dll.
12.
Peternakan, meliputi kegiatan peternakan yang tersebar dibeberapa kecamatan.
13.
Sawah, meliputi areal pertanian sawah.
14.
Jalan, meliputi jalan-jalan utama kota yaitu arteri dan kolektor.
15.
Jalan lingkungan dan lahan kosong, meliputi jalan-jalan lingkungan dan lahan-lahan kosong.
16.
Sungai, meliputi kawasan sungai (perairan) yang melintas Kota Palembang.
17.
Lain-Lain, meliputi makam, bandara, TPA, terminal, dll.
Kondisi Fisik Untuk komponen pembentuk kota pada zaman ini terus mengalami perkembangan. Banyak pembangunan yang dilakukan, baik untuk perumahan, industri maupun perdagangan dan jasa. Di bidang perdagangan dan jasa ini ditandai dengan banyaknya pusat perbelanjaan dan ruko. Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil regristrasi penduduk tahun 2006 adalah 1.451.776 jiwa dengan pertumbuhan jumlah penduduk 2,27 %. Dengan bertambahnya penduduk, maka sarana dan prasarana untuk penduduk juga harus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun seringkali untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat, ruang terbuka hijau yang dikorbankan, terutama rawa yang sering direklamasi untuk pembangunan. Dalam perekonomian realisasi penerimaan APBD Kota Palembang tahun 2006 mencapai sebesar Rp. 891.823.700.337,37,- atau naik sebesar 11,30 persen bila dibandingkan tahun 2005 sebesar Rp. 801.291.001.771,86,- (BPS Kota Palembang, 2007). Dari perubahan dan perkembangan Kota Palembang tersebut, dapat dilihat secara spasial perkembangan kotanya pada gambar berikut (Gambar 19).
Gambar 19. Peta Perkembangan Kota Palembang Zaman Kesultanan (Kota Tua)-Kemerdekaan
Pada peta perkembangan Kota Palembang (Gambar19), perkembangan Kota Palembang dari zaman Kesultanan hingga Kemerdekaan. Pada peta juga terlihat dulu, pusat pusat Kota Palembang masih sangat kecil dan berkembang semakin besar hingga zaman Kemerdekaan. Pemilihan lokasi tersebut sebagai pusat kota karena pada zaman itu lokasi tersebut merupakan lokasi yang strategis yang dibatasi oleh empat sungai, yaitu Sungai Musi, Sungai Buah, Sungai Lunjuk dan Sungai Taligawe. Kota Palembang mengalami perluasan wilayah dari zaman Kolonial ke Kemerdekaan, namun pada salah satu bagian terjadi penyempitan. Pada tahun 1944 luas Kota Palembang sempat bertambah 115 km2, namun pada zaman kemerdekaan kembali lagi menjadi 224 km2. Sekarang luas Kota Palembang telah bertambah menjadi 400,61 km2. Penambahan luas tersebut, tidak diikuti oleh penambahan ruang terbuka hijau. Hal ini dikarenakan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat, sehingga banyak ruang terbuka hijau dikonversi menjadi permukiman dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Perubahan Penggunaan Lahan Kota Palembang Telah terjadi perubahan penggunaan lahan di Kota Palembang, dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan (2007). Ruang terbuka hijau banyak beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Rencana penggunaan lahan sampai tahun 2009 terdiri dari: 1.
Kawasan tidak terbangun yang meliputi kawasan lindung yaitu kawasan resapan air berfungsi menjaga dan mempertahankan konservasi air tanah, kawasan perlindungan setempat (sempadan sungai, ruang terbuka hijau yang termasuk di dalamnya rawa) dan kawasan suaka alam dan cagar budaya.
2.
Kawasan terbangun yang meliputi pemanfaatan untuk pusat pemerintahan kota dan provinsi, perdagangan dan jasa, permukiman, pendidikan, peribadatan, kesehatan, dan transportasi. Adapun kebijakan-kebijakan dasar pengembangan tata ruang Kota
Palembang adalah sebagai berikut: 1.
Untuk kawasan telah tebangun, keberadaannya perlu dipertahankan. Namun perlu diperhatikan dan dikaji apakah masih kurang penyediannya. Untuk itu
diperlukan kajian atau rencana pengembangan sektoral prasarana yang bersangkutan. Pada bagian-bagian wilayah kota tertentu, seringkali ditemui masih kurangnya penyediaan prasarana berupa jaringan-jaringan prasarana, atau mungkin diperlukan bentuk-bentuk pengembangan prasarana sesuai kebutuhan, atau mungkin diperlukan bentuk-bentuk prasarana baru sejalan dengan perkembangan yang ada. 2.
Untuk kawasan lindung, tidak boleh dialihfungsikan, tidak boleh dibangun untuk kegiatan permukiman atau pembangunan lainnya.
3.
Untuk kawasan yang belum terbangun masih boleh dialihfungsikan menjadi lahan terbangun sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dari kebijakan tersebut, masih memungkinkan kawasan yang telah
terbangun, bertambah bangunannya, sedangkan kawasan yang belum terbangun menjadi kawasan terbangun. Hal ini, dapat menyebabkan RTH di Kota Palembang semakin berkurang. Khususnya rawa yang banyak direklamasi dan menjadi lahan terbangun. Dari keseluruhan lahan terbangun, didapat data dari Bappeda Kota Palembang tahun 2004, sebagian besar lahan terbangun adalah permukiman, yaitu 29,90% dari luas keseluruhan Kota Palembang, sedangkan untuk perdagangan dan jasa, perkantoran, industri dan pemerintahan hanya sebesar 4.05% dari keseluruhan luas Kota Palembang. Pola penggunaan lahan terbangun saat ini belum merata dan konsentrasi lahan terbangun (khususnya lahan terbangun untuk kegiatan komersial) terbesar masih terdapat di kawasan-kawasan pusat kota. Kawasan utara Kota Palembang didominasi oleh kegiatan permukiman dan rawa. Kawasan sebelah timur Kota Palembang pun masih didominasi oleh kegiatan permukiman, dengan kegiatankegiatan lain (industri, petanian dan rawa) tersebar didalamnya. Kawasan selatan dan barat Kota Palembang didominasi oleh kegiatan pertanian. Kawasan perdagangan dan jasa serta perkantoran cenderung berkembang dikawasan tengah kota. Sedangkan untuk kegiatan indutri cenderung untuk berkembang di sebelah selatan dan barat Kota Palembang. Adanya kecenderungan tersebut, memaksa untuk terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan non-terbangun menjadi kawasan terbangun. Hal ini terjadi
pada kawasan pertanian dan rawa yang berubah fungsinya menjadi kawasan kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, maupun perkantoran. Terdapat beberapa titik Kota Palembang yang telah mengalami perubahan maupun tidak berubah. Berikut ini merupakan beberapa contoh tempat atau titik yang telah mengalami perubahan maupun tidak mengalami perubahan.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 20. Masjid Agung zaman dulu
Masjid Agung Palembang yang pada awalnya adalah Masjid Sultan. Gambar Sketsa sebelah kiri dibuat pada tahun 1847/1848. Pada awalnya Masjid Sultan ini tidak mempunyai menara, kemudian oleh Sultan Ahmad Najamuddin dilengkapi dengan menara. Foto kanan menunjukkan pada tahun 1893 bangunan masjid telah diubah. Bentuk arsitekturnya menjadi tidak serasi, sebuah masjid dengan atap limas, tetapi mempunyai gerbang serambi bergaya Doric. Pada tahun 1916 gerbang serambi tersebut dibongkar dan dibangun perluasan serambi (Hanafia, 2004). Terlihat pada gambar, lanskap di sekitar Masjid Agung masih asri dan didominasi oleh ruang terbuka hijau.
Gambar 21. Masjid Agung sekarang (2008)
Gambar 21 menunjukkan Masjid Agung yang sekarang (2007). Terlihat banyak terjadi perubahan dari segi bangunan maupun lanskap di sekitarnya. Lanskap disekitarnya berubah dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Daerah disekitar masjid menjadi ramai dan sering terjadi kemacetan.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang (Tahun 1915)
Gambar 22. Pasar 16 Ilir zaman dulu
Pasar tertua, terpadat, dan paling semrawut di seantero Sumatera adalah Pasar 16 Ilir (Gambar 22). Foto di atas adalah keadaan pasar pada tahun 1915 ketika belum dibangun dengan bangunan permanen dari beton. Di bagian kanan atas, keadaan pasar pada tahun 1930, diambil dari sudut rumah Regerring Commissaris (sekarang Museum Mahmud Badaruddin II). Foto samping kanan menunjukkan keadaan kemacetan lalu-lintas di Jalan 16 Ilir pada tahun 1930-an.
Gambar 23. Pasar 16 sekarang (Tahun 2007)
Gambar di atas menunjukkan Pasar 16 sekarang (Gambar 23). Terlihat adanya perubahan bangunan dari tahun 1915, tetapi pada tahun 1930 masih
terlihat hampir sama, namun terdapat pembaharuan bangunan walaupun bentuknya masih sama. Pada gambar di atas masih terlihat kesemrawutan di jalan 16 ilir. Selain itu, terlihat lanskap disekitarnya tidak banyak yang berubah.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 24. Pasar Baru zaman dulu (Zaman Kolonial)
Sejajar dengan Pasar 16 Ilir yang lama terdapat bangunan Pasar Baru (Gambar 24). Pasar Baru merupakan daerah pertokoan yang pertama di Palembang. Bangunannya berupa bangunan batu berlantai dua dengan atap berbentuk khas bangunan Cina yang mempunyai bubungan menonjol di bagian ujungnya. Antara satu bangunan dengan bangunan lain bersambung. Di antara dua deret pertokoan terdapat jalan yang lebarnya sekitar 5 meter, dan di kiri kanannya terdapat kaki-lima untuk pejalan kaki. Foto diatas adalah foto Pasar Baru tahun 1930.
Gambar 25. Pasar Baru Sekarang (Tahun 2007)
Gambar 25 menunjukkan Kondisi Pasar Baru sekarang. Bangunan pasar telah berubah. Pasar ini sekarang ramai dan terlihat semrawut. Lanskap di pasar tersebut tidak banyak yang berubah.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 26. Jalan Tengkuruk Zaman Dulu (Zaman Kolonial)
Gambar Jalan Tengkuruk pada Zaman Kolonial (Gambar 26). Terlihat bahwa lanskap disekitarnya telah didominasi lahan terbangun. Daerah ini pada masa itu masih sepi, renggang dan rapi. Terdapat bangunan-bangunan lama.
Gambar 27. Jalan Tengkuruk Sekarang (Tahun 2007)
Gambar di atas adalah Jalan Tengkuruk sekarang (Gambar 27). Terlihat bangunan-bangunan lama telah berubah menjadi ruko-ruko. Daerah yang dulunya sepi, telah menjadi ramai.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 28. Gedung Balai Kota Zaman Dulu (Zaman Kolonial)
Gedung Balai Kota tahun 1930 (Gambar 28). Terlihat kondisi pada masa itu lanskap di sekitarnya adalah air di muka kantor dari anak Sungai Kapuran dan dibatasi juga oleh air Sungai sekanak.
Gambar 29. Gedung Balai Kota Sekarang
Gambar di atas adalah Gedung Balai Kota sekarang (Gambar 29) yang diambil dari tempat yang berbeda. Terlihat terjadi perubahan lanskap di sekitarnya. Sungai Kapuran telah direklamasi untuk perluasan ruas jalan Merdeka. Namun bangunannya tidak mengalami perubahan.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 30. Rumah Sakit Caritas Zaman Kolonial
Gambar Rumah Sakit Caritas Zaman Kolonial (Gambar 30) merupakan salah satu rumah sakit yang baik di Kota Palembang. Bangunan Rumah Sakit Caritas masih sangat sederhana. Lanskap di sekitar Rumah Sakit Caritas, masih sangat lengang, asri, teratur dan jarang dilalui kendaraan bermotor.
Gambar 31. Rumah Sakit Caritas Sekarang (Tahun 2007)
Kondisi Rumah Sakit Caritas sekarang (Gambar 31) sangat berbeda dengan yang dulu. Ini terlihat dari bangunan yang telah berubah dan jauh lebih besar dan bagus. Rumah sakit ini masih merupakan salah satu rumah sakit terbaik di Kota Palembang. Lanskap di sekitar rumah sakit juga telah berubah. Terlihat dari yang dulu sepi, sekarang telah ramai dilewati angkutan umum dan pribadi.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 32. Kantor Pos Merdeka Zaman Dulu (Tahun 1930-1940)
Kantor Pos merdeka (Gambar 32) merupakan salah satu tepat yang penting karena melalui kantor pos ini masyarakat dapat berkomunikasi dengan orang yang berjauhan. Lanskap di sekitar kantor pos ini, pada gambar masih terlihat asri dan lengang.
Gambar 33. Kantor Pos Merdeka Zaman Sekarang
Kantor Pos Merdeka sekarang (Gambar 33) juga masih sering digunakan untuk berkirim surat dan melakukan kegiatan lainnya. Bangunan kantor pos sudah banyak berubah. Begitu juga dengan lanskap di sekitarnya, sekarang telah ramai dan dilalui oleh angkutan umum dan pribadi.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 34. Jempatan Ampera Zaman Kemerdekaan I
Jempatan Ampera (Gambar 34) merupakan jembatan sumbangan dari pemerintah Jepang untuk masyarakat Palembang dan merupakan jembatan yang sangat penting untuk transportasi di Palembang. Pada gambar terlihat jembatan bisa naik keatas, ketika ada kapal besar yang akan lewat. Lanskap di sekitarnya sudah mulai ramai oleh kendaraan, baik mobil, becak dan kapal-kapal yang lewat.
Gambar 35. Jembatan Ampera Sekarang (Tahun 2007)
Jembatan Ampera sekarang (Gambar 35) masih merupakan jembatan yang penting untuk transportasi di Kota Palembang. Jembatan Ampera sekarang tidak dapat naik lagi ketika ada kapal besar yang akan lewat. Lanskap di sekitar
jembatan juga berubah. Terlihat pada gambar lanskapnya telah cukup tertata rapi. Pada malam hari pemandangannya bagus.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 36. Jalan Ratna Merdeka Zaman Dulu (Zaman Kolonial)
Terlihat pada gambar Jalan Ratna Merdeka (Gambar 36) belum dilalui oleh kendaraan. Lanskapnya masih sangat asri, bersih dan rapi.
Gambar 37. Jalan Ratna Merdeka Sekarang (Tahun 2007)
Terlihat pada gambar, Jalan Ratna Merdeka sekarang (Gambar 37) telah dilalui oleh kendaraan. Kondisi jalan ini, masih tetap asri dan bersih, namun vegetasinya berkurang dan berubah.
Sumber: Badan Arkeologi Kota Palembang
Gambar 38. Gambar Istana Regering Commissaris Hindia Belanda
Terlihat gambar di atas adalah gambar Istana Regering Commissaris Hindia Belanda pada zaman Kolonial (Gambar 38). Istana dibangun pada tahun 1823 dan selesai tahun 1825. Istana ini dibangun diatas lahan bekas benteng Kuto Lamo.
Gambar 39. Gambar Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (Tahun 2008)
Pada gambar diatas, secara fisik tidak terlihat perbedaan bangunan pada zaman Kolonial dan sekarang (Gambar 39). Namun dari sisi penggunaan, penggunaan bangunan ini telah berubah. Sekarang bangunan ini adalah Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Dari beberapa gambar di atas, dapat dilihat adanya perubahan fungsi maupun fisik dari beberapa daerah di Kota Palembang. Perubahan ini ada yang
berdampak bagi Kota Palembang itu sendiri. Perubahan yang terjadi di beberapa tempat menyebabkan hilangnya nilai historikal tempat tersebut. Hal ini dikarenakan adanya bangunan tua yang tidak dipertahankan, tetapi dirubah menjadi bangunan modern yang menyebabkan kesan Kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia memudar. Disamping itu, terdapat juga bangunan yang masih dipertahankan hingga saat ini, yaitu Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Selain itu, pada beberapa area, seperti Pasar Baru, Pasar Tengkuruk dan area sekitar Masjid Agung yang dulu terlihat rapi dan teratur menjadi terlihat semerawut, macet dan tidak teratur.
Pola Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan pemanfaatan lahan di Kota Palembang dipengaruhi oleh gaya sentripetal yang menyebabkan tertariknya kegiatan dari luar kota untuk berlokasi di Kota Palembang. Hal ini dikarenakan Kota Palembang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Selatan yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di Sumatera Selatan. Semua sarana dan prasarana ada di Kota Palembang. Hal ini menarik masyarakat yang ada di pinggiran Kota Palembang untuk datang ke Kota Palembang. Beberapa pola perubahan penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi di Kota Palembang adalah: 1.
Perubahan penggunaan lahan dari rawa menjadi perumahan, industri dan pergudangan, perdagangan dan jasa.
2.
Perubahan penggunaan lahan dari rawa menjadi perumahan dan permukiman serta kebun campuran secara umum terjadi di seluruh bagian Kota Palembang.
3.
Perubahan penggunaan lahan dari rawa menjadi industri secara umum terjadi di Kecamatan Kalidoni.
4.
Perubahan penggunaan lahan dari rawa menjadi Perdagangan dan Jasa terjadi di Kecamatan Ilir Barat I. Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kota
Palembang berorientasi ke sektor ekonomi. Hal ini dapat terlihat pemerintah mengijinkan para investor untuk mereklamasi rawa dan dijadikan lahan terbangun
sehingga dapat lebih menguntungkan bagi investor dan pemerintah Kota Palembang.
Perubahan Proporsi Ruang Terbuka Hijau Perubahan penutupan lahan di Kota Palembang dari Zaman Sriwijaya hingga Kemerdekaan III, proporsi ruang terbuka hijau semakin menurun. Sebaliknya proporsi lahan terbangun semakin naik. Menurut Inmendagri No 14/1988 ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur, yang pada dasarnya tanpa bangunan, serta bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan, baik secara alamiah maupun budidaya/binaan (Irianti, 2008). Bentuk-bentuk ruang terbuka hijau di Kota Palembang adalah: 1.
lapangan olah raga (Gambar 43);
2.
jalur hijau dibawah tegangan tinggi, ekstra tinggi, pipa minyak/gas,
3.
hutan/taman kota (Gambar 40);
4.
pemakaman;
5.
lahan pertanian (Gambar 41);
6.
rawa (Gambar 42);
7.
lapangan upacara,
8.
jalur hijau (Gambar 44);
9.
kebun campuran. Dari bentuk-bentuk tersebut, terdapat tiga tipologi fungsi RTH di Kota
Palembang, yaitu 1.
Fungsi ekologi, yaitu rawa sebagai kawasan resapan air, hutan kota, jalur hijau dibawah tegangan tinggi, ektra tinggi, pipa minyak/gas.
2.
Fungsi sosial dan estetika, yaitu lapangan olahraga, pemakaman, lapangan upacara, jalur hijau.
3.
Fungsi budidaya, yaitu kebun campuran dan lahan pertanian.
Berikut adalah gambaran RTH di Kota Palembang (Gambar 40, 41, 42, 43, dan 44).
Gambar 40. Hutan Wisata Punti Kayu
Gambar 41. Lahan Pertanian
Gambar 42. Rawa
Gambar 43. Lapangan Olahraga
Gambar 44. Jalur Hijau Jalan Proporsi RTH Kota Palembang dari Zaman ke Zaman dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tabel Proporsi RTH Kota Palembang Dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan III Zaman
Tahun
Proporsi RTH
Klasik Kesultanan
-
-
Kolonial Kemerdekaan I
1919 -
90.33% -
Lanjutan Tabel 2 Zaman
Tahun
Kemerdekaan II
1978 1989 Kemerdekaan III 2001 2007 Sumber: Peta Tua dan Hasil Klasifikasi Citra Landsat
Proporsi RTH 84.42% 66.04% 61.94% 58.04%
Dari Tabel 2 terlihat bahwa proporsi RTH Kota Palembang cenderung menurun dari zaman Kolonial hingga Kemerdekaan III. Dari data di atas dapat diketahui RTH Kota Palembang pada tahun 2007 masih cukup banyak, yaitu sebesar 58,04% yang melebihi ketentuan UU No 26 Tahun 2007 (Pasal 29) yaitu minimal proporsi RTH 30%. Namun, jika dilihat dari citra ruang terbuka hijau di Kota Palembang tidak menyebar secara merata. Kebanyakan ruang terbuka hijau berada di pinggir kota, sedangkan di pusat kota ruang terbuka hijau hanya sedikit. Trend perubahan proporsi ruang terbuka hijau menurun dari zaman Kolonial sampai zaman Kemerdekaan III (Gambar 45) ini dikarenakan banyaknya pengalifungsian ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Salah satu jenis RTH yang proporsinya menurun dari zaman Kolonial sampai zaman Kemerdekaan III adalah rawa. Kota Palembang didominasi oleh rawa, maka ingin diketahui juga proporsi rawa Kota Palembang dari zaman ke zaman. Proporsi Rawa Kota Palembang dari zaman ke zaman dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Proporsi Rawa Kota Palembang Dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan III Zaman Klasik Kesultanan Kolonial Kemerdekaan I Kemerdekaan II
Tahun 1919 1978 1989 Kemerdekaan III 2001 2007 Sumber: Peta Tua dan Hasil Klasifikasi Citra Landsat
Proporsi Rawa 73.84% 49.48% 28.13% 20.41% 15.99%
Grafik Penurunan Proporsi RTH Kota Palembang 100.00% 1919 1978 1989 2001 2007
80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% RTH
Gambar 45. Grafik Penurunan Proporsi RTH Kota Palembang
Dari grafik (Gambar 45) terlihat bahwa proporsi rawa di Kota Palembang dari zaman ke zaman menurun. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengalihfungsian rawa menjadi sawah, lahan terbangun dan kebun campuran. Grafik Penurunan Proporsi Rawa Kota Palembang 80.00% 1919 1978 1989 2001 2007
60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Rawa
Gambar 45. Grafik Penurunan Proporsi Rawa Kota Palembang Grafik Perbandingan Proporsi RTH Kota Palembang 80 70
Persentase RTH
60 50 40 30 20 10 0 1910
1920
1930
1940
1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010
Tahun Hutan Rumput dan semak
Kebun campuran Sawah
Rawa Tegalan
Gambar 46. Grafik Perbandingan Proporsi Jenis RTH Kota Palembang
Dari grafik (Gambar 46) terlihat ruang terbuka hijau yang paling banyak menurun persentasenya adalah rawa. Dari zaman Klasik, Kota Palembang didominasi oleh rawa. Namun, dari grafik tersebut terlihat proporsi rawa terus menurun dari zaman Kolonial hingga Kemerdekaan III. Hal ini terjadi karena rawa seringkali direklamasi dan diubah menjadi lahan terbangun atau penutupan lainnya. Hal inilah yang merupakan salah satu sumber masalah yang mengakibatkan banjir di Kota Palembang. Menurut Mustafa Kamal, tim ahli pemerintah kota dan pakar perubahan fungsi lahan Universitas Sriwijaya (Unsri), pembangunan dengan cara pengurukan rawa berpotensi melestarikan banjir (Kompas, 2004). Banyaknya rawa yang ditimbun menyebabkan air yang seharusnya ditampung oleh rawa, akan beralih ke jalanan atau kawasan lain yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini juga didukung oleh topografi Kota Palembang yang rendah, yaitu sekitar 0-20 mdpl. Berikut adalah perubahan penutupan lahan dari rawa menjadi penutupan lainnya. Tabel 4. Tabel Persentase Perubahan Rawa menjadi Penutupan Lainnya dari Tahun 1919 ke 2007 Perubahan Rawa menjadi Penutupan lainnya 1919 2007 Rawa Badan air Rawa Hutan
Persentase % 1.270 0.006
Rawa
Kebun campuran
18.438
Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa
Lahan terbangun Lahan terbuka Rawa Rumput dan Semak Sawah Tegalan
43.613 0.826 17.790 2.606 14.480 0.971
Sumber: Hasil Overlay Peta Penutupan Lahan Kota Palembang Tahun 1919 dan 2007 Dari Tabel 4, dapat diketahui perubahan rawa paling banyak menjadi lahan terbangun, yaitu 43,613%. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya air yang seharusnya ditampung oleh rawa tidak dapat ditampung oleh rawa, atau masuk ke dalam tanah, sehingga terjadilah banjir. Dari beberapa sumber yang didapat Palembang sering terjadi banjir, namun data yang didapat dari badan pusat
statistik tahun 1990 dan Bappeda Kota Palembang hanya tahun 1990 dan 2004. Persentase luas banjir di Kota Palembang meningkat dari 1,1% menjadi 1,24%. Berikut adalah grafik persentase luasan banjir Kota Palembang yang hanya didapat data tahun 1990 dan 2004 (Gambar 47).
Persentase luas banjir
Grafik Persentase Luas Banjir Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004 1.3 1.25 1.2 1.15 1.1 1.05 1
Tahun Luas daerah banjir
1990
2004 Tahun
Sumber: BPS dan Bappeda Kota Palembang
Gambar 47. Grafik Persentase Luasan Banjir Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004 Curah Hujan (mm/bulan)
Grafik Curah Hujan Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004 195 194 193 192
Curah Hujan (mm/bulan)
191 190 189 188 1990
2004 Tahun
Sumber: BPS Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004
Gambar 48. Grafik Curah Hujan Kota Palembang Tahun 1990 dan 2004
Dari grafik di atas (Gambar 48), pada kenyataannya penurunan curah hujan tidak diikuti dengan berkurangnya persentase luasan wilayah banjir di Kota Palembang, namun tetap meningkat. Jika dilihat dari daya tampung air yang dapat ditangkap RTH, berkurangnya luasan RTH, terutama rawa diperkirakan dapat menyebabkan luasan banjir yang terjadi di Kota Palembang meningkat. Dari hasil analisis persentasi RTH di Kota Palembang, didapat data persentase luasan RTH sebanyak 58,04% dari luasan Kota Palembang. Idealnya (menurut UU No 26 Tahun 2007) suatu kota mempunyai RTH 30% dari luas total wilayah kota. Persentase luasan RTH di Kota Palembang lebih dari 30%, seharusnya dapat mengurangi dampak banjir, tetapi pada kenyataannya di Kota Palembang persentase luasan banjir meningkat sampai tahun 2004.
Perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis RTH yaitu rawa, kebun campuran, sawah, hutan/taman wisata, tegalan, rumput dan semak belukar. Tiap jenis RTH mempunyai fungsi dan kemampuan konservasi terhadap air yang berbeda. Fakta yang terjadi di Kota Palembang yaitu RTH yang dulunya didominasi oleh rawa, sekarang telah didominasi oleh kebun campuran yaitu sebesar 24,78%. Hal tersebut diakibatkan adanya konversi lahan dari rawa menjadi kebun campuran. Padahal diketahui bahwa kemampuan konservasi air rawa jauh lebih baik dari pada kebun campuran. Selain itu, penyebaran RTH yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Kota Palembang. Peran dan manfaat rawa adalah sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai, sumber energi, sumber makanan nabati maupun hewani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang terpenting adalah substansi RTH termasuk fungsinya dalam aspek ekologis/konservasi bukan sekedar persentase luasan RTH saja. Berikut adalah gambar peta persebaran lokasi banjir Kota Palembang tahun 2004 (Gambar 49).
Gambar 49. Gambar Persebaran Lokasi Banjir Kota Palembang Tahun 2004
Gambar tersebut memperlihatkan peta perubahan rawa menjadi penutupan lainnya pada tahun 1919 dan 2007 dan peta persebaran banjir. Dari gambar tersebut dapat diketahui di area yang dulunya rawa dan sekarang telah berubah menjadi lahan terbangun terjadi banjir. Perubahan rawa menjadi penutupan lainnya berdampak positif dan negatif bagi Kota Palembang. Dampak positif perubahan rawa menjadi kebun campuran, dan tegalan, dengan adanya perubahan tersebut mengakibatkan bertambahnya lahan pertanian dan kebun campuran di Kota Palembang sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduk Kota Palembang terhadap kebutuhan pekerjaan dan pangan. Dampak negatif dari hal tersebut adalah adanya kemampuan yang berbeda dari rawa, kebun campuran dan tegalan dalam menyimpan air. Dalam hal ini,salah satu pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah dengan membuat drainase di area tersebut sehingga tidak terjadi genangan. Perubahan rawa menjadi lahan terbangun juga berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya, dengan adanya konversi lahan dari rawa menjadi lahan terbangun, menyebabkan kebutuhan penduduk akan tempat tinggal dapat terpenuhi. Sedangkan dampak negatifnya, dengan adanya konversi tersebut, air yang biasanya ditampung oleh rawa tidak dapat lagi ditampung oleh rawa dan hal ini mengakibatkan terjadi banjir di Kota Palembang. Dari kedua hal tersebut pemerintahan Kota Palembang harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan tempat tinggal dan mengatasi masalah banjir yang terjadi di Kota Palembang. Salah satu pemecahan masalahnya adalah dengan melihat pola pembangunan tempat tinggal pada zaman dahulu. Jika dilihat dari sejarahnya, pada zaman Sriwijaya dan Kesultanan, rumah-rumah penduduk pada zaman itu berbentuk rumah panggung dan rumah rakit yang didirikan di atas rawa. Hal ini dilakukan agar tidak mengubah fungsi rawa sebagai daerah resapan air dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk akan tempat tinggal. Perubahan rawa menjadi lahan terbuka, rumput dan semak berdampak negatif karena dengan adanya perubahan tersebut fungsi rawa sebagai penampung air tidak dapat dilakukan secara maksimal oleh rumput, semak dan lahan terbuka. Sehingga dalam hal ini, salah satu pemecahan masalah yang dapat dilakukan
adalah dengan pengadaan saluran drainase agar pada saat hujan air tidak tergenang. Perubahan rawa menjadi hutan, badan air, sawah berdampak positif bagi Kota Palembang. Perubahan rawa menjadi hutan berdampak positif karena hutan mempunyai fungsi ekologis tersendiri dalam menyimpan air. Disisi lain, hutan juga dapat memperbaiki kualitas udara di Kota Palembang. Perubahan rawa menjadi badan air (danau buatan) berdampak positif, hal ini dikarenakan danau buatan tersebut dapat menampung air pada saat hujan. Disisi lain, danau buatan ini juga membuat kota lebih sejuk. Perubahan rawa menjadi sawah juga berdampak positif. Hal ini dikarenakan perubahan rawa menjadi sawah tidak dilakukan sepanjang tahun, tetapi hanya terjadi pada saat musim kemarau. Pada saat musim hujan, sawah tersebut kembali menjadi rawa yang dapat menampung air. Namun, akan lebih baik lagi jika rawa tersebut dapat menjadi sawah sepanjang tahun, dengan syarat adanya saluran drainase yang baik sehingga pada saat musim hujan, air dapat masuk ke dalam saluran drainase dan sawah tersebut dapat ditanam padi. Hal ini dapat meningkatkan hasil pertanian Kota Palembang, sehingga tidak kekurangan bahan pangan. Untuk mengatasi masalah banjir dan pengurukan rawa, pemerintah Kota Palembang telah melakukan upaya-upaya, yaitu: 1.
Dibuatnya konsep arahan pengembangan kawasan rawa, yaitu mengenai rawa mana yang boleh direklamasi, rawa mana yang dilindungi, dan rawa mana yang merupakan rawa pengawetan. Rawa reklamasi adalah lahan rawa yang potensial dikembangkan lebih lanjut dengan aplikasi teknologi yang sesuai dan berwawasan lingkungan dalam rangka pemanfaatannya secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan, sehingga dapat dicapai pemanfaatan ekosistem rawa yang berkesinambungan. Rawa lindung adalah rawa yang berfungsi perlindungan bagi sistem penyangga kehidupan atau kawasan perlindungan setempat melalui pendekatan ekosistem. Rawa pengawetan adalah rawa yang berfungsi melestarikan flora dan fauna tertentu beserta habitatnya dalam rangka mempertahankan keanekaragaman
hayati yang terdapat pada kawasan rawa, maka bentuk-bentuk suaka ini terkait erat dengan kegiatan pariwisata, penelitian dan ilmu pengetahuan. 2.
Adanya Peraturan Daerah No 13 Tahun 2002 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa atau Perda Rawa yang dikeluarkan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan.
3.
Dibuatnya strategi pengelolaan rawa.
4.
Adanya ketentuan untuk rawa yang boleh direklamasi, yaitu 50% dari rawa arus tetap dipertahankan.
5.
Pembuatan kolam retensi untuk menangulangi banjir.
Potensi Banjir Terhadap Pelaksanaan RTRW Kota Palembang 2005-2015 Dalam penataan ruang Kota Palembang, pemerintahan Kota Palembang telah membuat rencana tata ruang wilayah agar dapat mewujudkan stuktur kota, mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota, melestarikan kawasan dan bangunan bersejarah, serta peremajaan kawasan kumuh, dan revitalisasi tepian sungai. Namun pada kenyataannya, RTRW tersebut belum dapat mengatasi salah satu masalah lingkungan yang terjadi di Kota Palembang, yaitu banjir. Berikut adalah peta potensi wilayah banjir akibat perubahan penutupan lahan dalam menjalankan RTRW 2005-2015 (Gambar 50).
Gambar 51. Peta Potensi Wilayah Banjir Akibat Perubahan Penutupan Lahan dalam Menjalankan RTRW 2005-2015
Dari gambar 50, terlihat adanya lokasi-lokasi rawan banjir yang disebabkan perubahan penutupan lahan dari rawa menjadi penutupan lainnya. Rawa yang dikonversi menjadi lahan terbangun menyebabkan terjadinya banjir. Pada RTRW 2005-2015 yang dibuat oleh pemerintahan Kota Palembang banyak area yang dahulunya rawa, sekarang telah menjadi sawah, kebun campuran, rumput dan semak, tegalan dan badan air akan diubah lagi menjadi lahan terbangun (permukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa, industri dan sarana olahraga). Pada kenyataannya, sekarang di lokasi-lokasi tersebut telah terjadi banjir. Jika hal tersebut dilakukan terus dan tidak dibuat saluran drainase yang baik (penanggulangan banjir), maka diperkirakan banjir akan meluas.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan Palembang telah mengalami perkembangan dari zaman Klasik hingga Kemerdekaan III ini. Hal ini berpengaruh pada penutupan dan penggunaan lahan Kota Palembang. Dari zaman ke zaman terjadi perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang dipengaruhi beberapa hal, yaitu: 1.
Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kota Palembang terus bertambah dari zaman ke zaman. Hal ini menyebabkan bertambah pula kebutuhan ruang untuk penduduk Kota Palembang. Berdasarkan data yang didapat, jumlah penduduk Kota Palembang terus meningkat dari zaman ke zaman. Dari data terbaru menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Palembang pada tahun 2006 adalah 1.451.776 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk 2,27% (BPS Kota Palembang, 2007). Berikut adalah jumlah penduduk Kota Palembang dari zaman ke zaman (Tabel 5).
Tabel 5. Jumlah Penduduk dari Zaman Kolonial hingga Kemerdekaan Zaman
Tahun
Klasik Kesultanan Kolonial
1920 1930 Kemerdekaan I 1945 1961 Kemerdekaan II 1971 1995 Kemerdekaan III 2006 Sumber: Hasbullah (1996) dan BPS Kota Palembang
Terjadinya
pertambahan
penduduk
juga
Jumlah Penduduk (Jiwa) 73.720 108.140 151.305 474.971 582.581 1.352.301 1.451.776
berpengaruh
pada
pertambahan sarana dan prasarana kebutuhan penduduk. Dan hal ini juga berpengaruh pada penutupan dan penggunaan lahan Kota Palembang.
2.
Kota Palembang sebagai ibukota provinsi Sumatera Selatan Kota
palembang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Selatan
menyebabkan Kota Palembang menjadi kota utama yang memiliki kota-kota satelit di sekitarnya. Hal ini menyebabkan Kota Palembang menjadi pusat segala aktivitas terutama aktivitas ekonomi, sehingga pembangunan banyak dilakukan di Kota Palembang. Pembangunan yang dilakukan membuat terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang. 3.
Kondisi Fisik Lahan Kondisi
fisik
lahan
Kota
Palembang
yang
dominan
rawa,
menyebabkan banyaknya dilakukan reklamasi rawa menjadi penutupan dan penggunaan lahan lainnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Palembang yang semakin meningkat, melalui pembangunan permukiman, industri, pertanian dan perkebunan. 4.
Kebijakan Kebijakan pemerintah Kota Palembang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota
Palembang. Karena dengan adanya kebijakan akan mempengaruhi pengalokasian lahan, terutama dalam hal penataan ruang dan wilayah. Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kota Palembang adalah Perda No. 13 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa setiap pemilik lahan lebih dari 1000 m2 harus menyisakan lahannya 50% untuk retensi air. Namun dalam penerapannya, Perda No 13 Tahun 2002 sering dilakukan pelanggaran. Pelanggaran ini dikarenakan pelaksanaan perda rawa cenderung didekati dari perspektif profit ekonomi demi menarik retribusi atas setiap penimbunan rawa. Akibatnya semangat konservasi rawa dalam perda dibelokkan untuk kepentingan meningkatkan pendapatan daerah (Kompas, 2004). Kebijakan pemerintah juga berpengaruh pada visi kota pada masingmasing penguasaan pemerintahan, yang menentukan arah perkembangan Kota itu sendiri (Irianti, 2008). Berikut ini tabel yang menunjukkan perubahan kebijakan tersebut (Tabel 6).
Tabel 6. Berbagai kebijakan pemerintah yang berlaku di Kota Palembang. Zaman
Kebijakan
Bentuk Kota
Visi Kota
Klasik
• Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah No. 57/UM/WK tanggal 6 Mei 1972
-
Kota Pelabuhan
Kesultanan
−
-
Kota Pelabuhan
Kolonial
• Stbld No. 126 tahun 1906
Haminte
Kota Palembang sebagai pusat perdagangan
Kemerdekaan I
• Keputusan Gubernur Kdh Tk.I Sumsel No. 103 1945
Kota Kelas A
Kota Palembang sebagai pusat perdagangan
• UU No. 22 Tahun 1948 • UU No. 1 Tahun 1957
Kota Besar Kota Praja
Lanjutan Tabel 6 Zaman
Kebijakan
Bentuk Kota
Visi Kota
Kemerdekaan II
• UU No. 18 Tahun 1965
Kotamadya
Kota Palembang sebagai pusat perdagangan
Kota
Kota Palembang sebagai Kota wisata air
• UU No. 5 Tahun 1974 Kemerdekaan III
• UU No. 22 Tahun 1999
Dari tabel di atas dapat dilihat, orientasi penggunaan lahan Kota Palembang lebih untuk kepentingan perdagangan. Walaupun sekarang visi Kota Palembang adalah sebagai kota wisata air, namun orientasi penggunaan lahan Kota Palembang tetap untuk kepentingan komersil.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil analisis data, didapat bahwa Kota Palembang terus berkembang, baik dari segi luas, fisik maupun sosial dan ekonomi. Luas Kota Palembang bertambah dari zaman Kolonial yaitu 224 km2 menjadi 400,61 km2. Selain itu, terjadi banyak perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Kota Palembang yang dulu penutupan lahannya didominasi oleh rawa (hampir seluruh wilayahnya terdiri dari rawa) telah banyak berubah menjadi penutupan lainnya, seperti kebun campuran, lahan terbangun, semak belukar, dan lainnya. Pada Zaman Klasik, Kesultanan, dan Kolonial Kota Palembang masih didominasi oleh area hijau yang sebagian besar adalah rawa. Pada zaman Klasik dan Kesultanan, perkembangan kota Palembang menuju ke utara Sungai Musi karena wilayahnya lebih tinggi daripada di bagian selatan yang cenderung lebih rendah dan masih banyak terdapat rawa. Lahan terbangun hanya terdapat di utara Sungai Musi, dan masih sangat sedikit. Pada zaman Kolonal jumlah lahan terbagun mulai bertambah, namun Kota Palembang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau (90,34%), yang termasuk di dalamnya rawa (73,84%). Penggunaan lahan pada zaman Kolonial mulai beragam dan telah terdapat perkantoran, pemukiman semakin meningkat, fasilitas untuk masyarakat telah meningkat, kawasan industri dan perkebunan mulai berkembang. Memasuki zaman Kemerdekaan yang dibagi menjadi tiga zaman, lahan terbangun di Kota Palembang semakin meningkat, sedangkan ruang terbuka hijau yang termasuk rawa semakin berkurang. Pada zaman Kemerdekaan I (1945-1965) Kota Palembang mulai berkembang, lahan terbangun mulai bertambah, namun ruang terbuka hijau masih dominan saat itu. Pada zaman Kemerdekaan II (19651995) lahan terbangun semakin meningkat, sedangkan ruang terbuka hijau semakin berkurang. Pada zaman ini, industri mengalami perkembangan yang cukup baik, banyak industri yang bermunculan. Pada zaman Kemerdekaan III (1995-2007), Kota Palembang telah makin berkembang pesat menjadi kota yang kompleks. Pada zaman ini pembangunan terus dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang menyebabkan lahan terbangun semakin bertambah dan ruang terbuka hijau termasuk rawa semakin berkurang. Penggunaan lahan di Kota Palembang dari zaman ke zaman terus mengalami
perubahan.
Perubahan
yang
terjadi
baik
dari
perubahan
penggunaannya, penutupan lahannya, maupun fisik bangunan yang terdepan di lahan tersebut. Perubahan tersebut terjadi hampir di semua bagian Kota Palembang. Fungsi Kota Palembang pun ikut berubah dari kota perdagangan menjadi kota wisata air. Trend perubahan proporsi ruang terbuka hijau menunjukkan trend yang menurun dari zaman Kolonial hingga Kemerdekaan III. Rawa yang merupakan RTH yang sejak dahulu dominan di Kota Palembang semakin berkurang karena direklamasi dan diubah menjadi lahan terbangun. Hal ini yang menyebabkan Kota Palembang banjir. Dalam RTRW juga terdapat rencana untuk mereklamasi rawa menjadi penutupan lainnya. Jika RTRW dilaksanakan tanpa adanya usaha penanggulangan banjir (saluran drainase dan kolam retensi yang baik) diperkirakan banjir akan meluas. Perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jumlah penduduk, Kota Palembang sebagai ibukota provinsi Sumatera Selatan, kondisi fisik lahan dan kebijakan pemerintah. Pertambahan jumlah penduduk berpengaruh pada pertambahan kebutuhan ruang yang menyebabkan bertambahnya lahan terbangun. Kota Palembang sebagai ibukota provinsi Sumatera Selatan Kota Palembang menjadi pusat segala aktivitas terutama aktivitas ekonomi, sehingga pembangunan banyak dilakukan di Kota Palembang. Pembangunan yang dilakukan membuat terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di Kota Palembang. Kebijakan pemerintah juga mempengaruhi pengalokasian lahan di Kota Palembang, terutama dalam hal penataan ruang dan wilayah. Dari hasil penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh antara perubahan proporsi RTH dengan banjir di Kota Palembang. Ini dapat dilihat dari semakin menurun RTH terutama rawa diperkirakan menjadi pemicu banjir. Namun penurunan persentase luasan RTH bukanlah satu-satunya penyebab banjir, hal ini
juga
dipengaruhi
substansi
RTH
termasuk
fungsinya
dalam
aspek
ekologis/konservasi dan pemerataan RTH tersebut.
Saran Berdasarkan hasil analisis data, maka dalam rangka meningkatkan kualitas Kota Palembang disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Penerapan nyata Peraturan Daerah No 13 Tahun 2002 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa atau Perda Rawa yang dikeluarkan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan
2.
Konsep arahan pengembangan kawasan rawa yang telah dibuat oleh Bappeda Kota Palembang diterapkan dalan rencana spasial rawa, yaitu rawa mana yang merupakan rawa perlindungan, rawa mana yang merupakan rawa pengawetan dan rawa mana yang merupakan rawa reklamasi..
3.
Adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dalam mempertahankan ruang terbuka hijau Kota Palembang, terutama rawa.
4.
Perlindungan daerah yang seharusnya dilindungi dan dipertahankan, tidak boleh dialihfungsikan.
5.
Perbanyak kolam retensi dan saluran drainase yang baik agar dapat menanggulangi banjir.
6.
Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, sebaiknya dilakukan pembangunan rumah panggung yang dapat dibangun di atas rawa, sehingga fungsi rawa sebagai penyimpan air dapat dipertahankan dan tidak direklamasi.
DAFTAR PUSTAKA [Bappeda] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Palembang. 2004. Rencana Pengembangan Wilayah Kota Palembang. Palembang: Bappeda. [Bappeda] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Palembang. 2005. Review Tata Ruang Kota Palembang. Palembang: Bappeda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Palembang. 1990. Palembang dalam Angka. BPS: Palembang. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Palembang. 1994. Palembang dalam Angka. BPS: Palembang. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Palembang. 2007. Palembang dalam Angka. BPS: Palembang. Branch, M. C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif, Pengantar dan Penjelasan (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Eca. 2004. Perda Rawa Tidak Efektif, Rawa Palembang Diuruk. Kompas Online. [Media Online]. [25 Mei 2008]. Hakim, DR. 2006. Analisis Temporal dan Spasial Perubahan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Purwakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hanafiah, Djohan. 2004. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang. Palembang: Pemerintah Kota Palembang. Hasbullah, Jousairi.1996. Mamang dan Belanda. Palembang:Unsri. Irianti, Efita Fitri. 2008. Perubahan Penggunaan, Penutupan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Tahun 1905-2005 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Komarudin. 1999. Pembangunan Kota Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jendral Cipta Karya bekerjasama dengan Deputi Bidang Pengkajian Kebijaksanaan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Lillesand, T. M dan Kiefer, R. W. 1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Maulana, AS. 2005. Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Pengindraan Jauh untuk Mengidentifikasi Perkembangan Kawasan Perkotaan (Studi kasus di
Kawasan Puncak-Cianjur, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurcahyono, G. 2003.Karakteristik RTH di Jakarta Timur (Aplikasi SIG dan Pengindraan Jauh). [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Nurisjah, S. 2002. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kawasan Perkotaan. Bogor: Proseding Pelatihan Ruang Terbuka Hijau. Studio Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Kawasan Perkotaan. Departemen Menteri Dalam Negeri. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 27 Tahun 1991 tentang rawa. http://www.penataanruang.net/taru/nspm/PP_No27-1991.pdf. [ 5 Mei 2008]. Prahasta, Eddy. 2007. Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arc View. Bandung: Informatika. Purwadhi, F. S Hardiyanti. 2001. Interpretasi CitraDigital. Jakarta: Grasindo. Putri, P. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kotamadya Bandung Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis [Skripsi] Program Studi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian: Institut Pertanian Bogor. Sandy, L. M. 1989. Kota Indonesia, Dibandingkan Makalah Simposium Mencari Model Perkotaan Indonesia (Tidak Dipublikasikan). Depok. 11 hal. Simonds, O. J. 1983. Landscape Architecture. New York: McGraw-Hill. Susanto, 1986. Pengindraan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. www.depdagri.com [1 Februari 2008]. Yunus, H.S. 2006. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zain, AM. 2002. Aplikasi GIS dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Bogor: Prosiding Pelatihan Ruang Terbuka Hijau, Studio Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zulkaidi, D.(1999). Pemahaman Perubahan Penggunaan Lahan Sebagai Dasar Bagi Kebijakan Penanganannya. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Vol. 10. No. 2/Juni 1999.
GIS Consortium Aceh Nias. 2007. Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar. Banda Aceh: GIS Consortium Aceh Nias.