IDENTIFIKASI POLA DAN PROSES PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS FRAGMENTASI DI WILAYAH PERI-URBAN KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
OLEH: MUHAMMAD AHMAD LANTA A156100081
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-Urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2012
MUHAMMAD AHMAD LANTA NRP A156100081
ABSTRACT
MUHAMMAD AHMAD LANTA. Identification of Land Use Change Pattern and Processes Using Fragmentation Analysis in Peri-urban Area of Makassar of South Sulawesi Province. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Peri-urban area hosts resources and environment to support essential ecosystem functions for urban settlements. Growing number of urban residents trigger increasing need of land use conversion for settlements, industries, and businesses. Generally, population growth rate in peri-urban regions is higher than on urban, including in Makassar hading to a land use change vast and dynamic. Pattern and process of land use change in Peri-urban area of Makassar city were analyzed using transition and fragmentation analysis where as actor of the land use change was presented based on semi structured interview. The results of transition matrix analysis presented information regarding land use change pattern. Makassar experienced rapid land use change, for example from rice fields, ponds, and swamps were converted to upland crops and eventually converted to settlements, industries, and businesses. Rice fields to settlements or industries conversion process occurred through land draining and land filling. Land use change was usually preceded by transfer of land ownership. It frequently happened due to government policy and socio-economic condition of the society. Fragmentation analyses of land use were conducted on land use for settlements, industries, and businesses as the major land use pattern in urban areas. The results indicated that Peri-urban of Makassar were very dynamic, not only in spatial perspective but also in terms of complex processes. Fragmentation types such as core, edge, and patch contributed to urban sprawl. Fragmentation process of land use was characterized by perforated type. The decline of patch value could be interpreted as an indication of land agglomeration. Land use change occurred in Peri-urban of Makassar was done by landowners in a variety of ethnicity/race and education levels. It should be mentioned here that construction of public services by the government also contributed to this land use change and its fragmentation. Keywords: land use change, fragmentation analysis, peri-urban.
RINGKASAN MUHAMMAD AHMAD LANTA. Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO. Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga kawasan perkotaan. Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali (sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air (Sancar et al. 2009). Fenomena sprawl di wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao (2010). Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Martinuzzi et al. (2007) mengemumukan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global mempengaruhi perubahan iklim dunia. Di Indonesia, konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan (Wicke et al. 2011). Isu perubahan penggunaan lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan. Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan ratarata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan. Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan untuk perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000-2010) di Kota Makassar sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar 2010). Umumnya laju pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban berada diatas laju pertambahan penduduk Kota Makassar. Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi penggunaan lahan. Analisis fragmentasi dapat dilakukan pada penutupan/penggunaan lahan perkotaan (Parent dan Hurd 2008). Analisis fragmentasi lanskap (Landscape Fragmentation Analysis yang disingkat LFA) mengidentifikasi empat tipe fragmentasi yaitu: Core, Patch, Edge, dan Perforated (Vogt et al. 2007). Kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan. Penelitian ini mempelajari proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku dan tingkat pendidikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi penggunaan lahan yang diturunkan dari data penginderaan jauh resolusi tinggi. Pola perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan matriks transisi. Analisis fragmentasi (LFA) digunakan dalam mengidentifikasi pola fragmentasi penggunaan lahan. Aktor perubahan penggunaan lahan ditelusuri dengan melakukan wawancara ke masyarakat dan pola pengambilan sampel yang digunakan adalah pola transek 8-arah dari pusat kota (deskriptif). Perubahan penggunaan TPLK menjadi perumahan /permukiman pada periode 2001 ke 2007 maupun periode 2007 ke 2010 merupakan perubahan paling tinggi di wilayah penelitian diikuti lahan industri dan lahan bisnis. Pola konversi TPLB maupun empang/tambak menjadi perumahan/permukiman, industri, dan bisnis mempunyai karakter yang berbeda antara periode pertama dan periode kedua. Variasi perubahan penggunaan lahan pertanian juga terjadi
pada lahan TPLB dan Empang/tambak menjadi TPLK, walaupun memiliki kondisi cenderung menurun dari sisi luasan antara periode pertama dan periode kedua. Konversi lahan pertanian (TPLB, TPLK, dan Empang/tambak) menjadi lahan non pertanian (Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis) diketahui lebih tinggi pada periode pertama dibandingkan periode kedua. Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan lahan. Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tingginya beban pajak lahan (tambak di sekitar jalan tol), kebutuhan uang tunai (menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya ibadah haji), dan pemilik lahan yang menetap di luar Sulawesi Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah penelitian. Analisis fragmentasi penggunaan lahan dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis sebagai pola penggunaan lahan utama pada wilayah urban atau wilayah yang menuju ke struktur urban. Hasil LFA menunjukkan bahwa tipe fragmentasi core, patch, dan edge pada penggunaan lahan perumahan/permukiman mengalami peningkatan luasan pada dua periode pengamatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Peri-urban Makassar merupakan wilayah yang sangat dinamis berubah, tidak hanya dari segi luasan tetapi juga dari proses yang kompleks. Peningkatan luasan ketiga tipe fragmentasi diartikan sebagai perkembangan perumahan/permukiman perkotaan yang sprawl. Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh peningkatan luas tipe perforated. Penurunan luasan tipe perforated menandakan konversi penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dikonversi. Tipe core industri mengalami pertambahan luasan yang menunjukkan bahwa kawasan industri tumbuh cukup pesat di wilayah studi. Peningkatan luasan tipe edge merupakan dampak meningkatnya luasan tipe core yang tidak tertata dengan baik, sedangkan peningkatan luasan tipe perforated menjadi indikasi pembangunan industri yang mengisolasi penggunaan lahan non industri. Pembentukan patch industri pada periode 2001-2007 dan penurunan luasan pada periode 2007-2010 menjadi indikasi adanya aglomerasi industri. Ketiga tipe fragmentasi penggunaan lahan bisnis mengalami peningkatan luasan yaitu core, patch, dan edge yang mengindikasikan berkembangnya area bisnis secara kurang tertata. Perbedaan mendasar dari dua penggunaan lahan sebelumnya adalah bahwa pembangunan area bisnis tidak mengisolasi penggunaan lahan non bisnis. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya tipe perforated pada analisis penggunaan lahan bisnis dari tahun 2001, 2007, dan tahun 2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa LFA mampu dimanfaatkan dalam mengkaji motif dan proses perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan analisis fragmentasi penggunaan lahan perlu didalami dengan menganalisis aktor perubahan penggunaan lahan, terutama berdasarkan etnis/suku dan tingkat pendidikan. Hasil survei lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden yang memperlihatkan tidak adanya etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah Peri-urban Kota Makassar dilakukan oleh pemilik lahan dengan tingkat pendidikan SD sampai S1, bahkan konversi lahan juga dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana pelayanan publik oleh pemerintah. Kata kunci: perubahan penggunaan lahan, analisis fragmentasi, peri-urban.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI POLA DAN PROSES PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN ANALISIS FRAGMENTASI DI WILAYAH PERI-URBAN KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUHAMMAD AHMAD LANTA
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Tesis : Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Pengunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-Urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan Nama : Muhammad Ahmad Lanta NIM : A156100081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Si., M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 10 Desember 2012
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc
PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “ Identifikasi Pola dan Proses Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Analisis Fragmentasi di Wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan”. Kajian wilayah Peri-Urban sangat penting untuk ditelaah, karena wilayah ini sangat rentan terhadap desakan perubahan penggunaan lahan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta dorongannya dalam menyelesaikan studi. 2. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M. Sc, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Ir. Bambang Hendro Trisasongko, M.Si, M.Sc, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 4. Prof. Dr. Ir. Hazairin Zubair, MS, Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS, dan Prof. Dr. Syafiuddin, M.Si, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB Bogor. 5. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Sembah sujud kepada kedua orang tua Lanta Laisi dan St. Zubaedah atas segala perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta doa yang tak pernah putus dipanjatkan. Kakak Ir. Jumardi Lanta, Sultan Lanta dan adik Kusufiah Samzi Lanta atas segala kasih sayang dan dorongan semangatnya. 7. Rekan-rekan PWL tahun 2010 (Reguler dan Khusus) dan MBK tahun 2010, terkhusus kepada Seniarwan, SP dan Muh. Munawir Syarif, SP atas diskusinya terkait kajian spasial dan dorongan semangat selama menempuh studi di IPB .
8. Ardiansyah, SP atas bantuan data citra satelit serta kesediaan berdiskusi kepada penulis terkait Kawasan Perkotaan Mamminasata. 9. Muh. Fitrah Irawan, SP, Irwanto, SP, Muh. Amri, SP, Eko Pramana Hamdis, SP, Atmadi Sawal, SP, dan adik-adik di Peduli Lingkungan Alam dan Tanah (PLAT-UNHAS) atas bantuannya selama penulis penelitian di Makassar. 10. Rekan-rekan di esensi foundation atas fasilitasinya selama penulis penelitian di Makassar. 11. drg. Syalmiah Launu, SKG atas dorongan semangat dan motivasinya selama penulis menempuh studi di IPB 12. Rekan-rekan di Rumah Kost Gizi Abadi atas dorongan semangatnya. 13. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT. memberkatinya. Amin.
Bogor,
Desember 2012
Muhammad Ahmad Lanta
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sopeng Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Januari 1981 dari Ayah yang bernama Lanta Laisi dan Ibu yang bernama St. Zubaedah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Liliriaja Kabupaten Soppeng dan melanjutkan pendidikan ke Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. tahun 2004.
Lulus program sarjana pada
Bekerja di esensi foundation Makassar dari tahun 2004-2010.
Penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2010. Selama mengikuti program S2, makalah penulis telah disajikan dalam Regional Workshop: Water, Land, and Southeast Asia Food Sovereignty di Bogor pada tanggal 18 sampai 19 September 2012 dengan judul “Agricultural Land Conversion and Land Fragmentation Processes in Peri-urban of Makasssar, Indonesia”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
vi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .............................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................
1 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan ............................................................ 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan ........................................... 2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap ............................................ 2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan ............................................ 2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah ......................
5 6 8 9 9
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 3.2. Bahan dan Alat ................................................................... 3.3. Pelaksanan Penelitian .......................................................... 3.3.1 Pengumpulan Data .................................................... 3.3.2 Analisis Data .............................................................. 3.4. Diagram Alir Penelitian .......................................................
11 11 11 11 13 20
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah .................................... 4.2. Kondisi Demografi ............................................................... 4.3. Karakteristik Ekonomi .......................................................... 4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah ..................... 4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah .......................................
21 23 24 26 28
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010 ............... 5.1.1 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2001-2007 .. 5.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode 2007-2010 .. 5.2 Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan ................................. 5.3 Aktor Perubahan Penggunaan Lahan ..................................
31 35 37 41 47
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .......................................................................... 6.2 Saran ...................................................................................
55 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
57
LAMPIRAN ....................................................................................
61
6
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian ...................................
13
2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar .....................................................................................
14
3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan ..
15
4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan menurut kecamatan peri urban di Kota Makassar tahun 2010 ......
21
5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar .......................
22
6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri urban di Kota Makassar Tahun 2007 ...................................................................
22
7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri urban Kota Makassar dari tahun 2000 – 2010 ..........................................................................
24
8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar ....................
26
9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar
27
10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 (ha) ................................................................................................
35
11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 (ha) ................................................................................................
35
12. Luas (ha) tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan di wilayah peri urban Kota Makassar ................................................
41
13. Luas (ha) tipe fragmentasi perforated pada penggunaan lahan utama di wilayah peri urban Kota Makassar ...................................
46
14. Aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar .................................................
52
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Matriks transisi ...............................................................................
7
2. Peta lokasi penelitian di wilayah peri urban Kota Makassar ..........
12
3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman ....................................
17
4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b) ...........................
17
5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi (Diadopsi dari Parent and Hurd 2008) .....................................................................................
19
6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar .............................................................
20
7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) .......................................................
25
8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009) ...................................................................
25
9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001 ...
32
10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007 ...
33
11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010 ...
34
12. Empang/tambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya (kiri), Perumahan/Permukiman yang mengelilingi sawah (TPLB) di Kecamatan Manggala (tengah), dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empang/tambak di Kecamatan Tamalate (kanan) ........................................................
38
13. Hasil Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK dan Perumahan/Permukiman di Kecamatan Rappocini (kiri) dan Proses Awal Konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi Perumahan/Permukiman di Kecamatan Tamalanrea (kanan) ........
39
14. Perubahan tipe perforated perumahan/permukiman tahun 2001 dan 2007 menjadi tipe core perumahan/permukiman tahun 2010 ...
42
15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan) ...........................................................................
47
16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara .....................
48
17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar .............................
50
18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku ......................................................................................
50
19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar .............................................
51
vi
20. Pabrik pengepakan di Kecamatan Tamalanrea (kiri atas), Pergudangan hasil bumi di Kecamatan Biringkanaya (kiri bawah), Trans Studio dan Mall GTC di Kecamatan Tamalate (tengah atas bawah), Kantor Camat Biringkanaya (kanan atas), dan Kantor Camat Tamalate (kanan bawah). ....................................................
52
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman 2010 ..............................................................................................
63
2. Peta fragmentasi penggunaan lahan industri 2010 ........................
64
3. Peta fragmentasi penggunaan lahan bisnis 2010 ...........................
65
4. Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku, tingkat pendidikan, dan status terhadap lahan di wilayah peri urban Kota Makassar .................................................
66
5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar .....
68
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Area Peri-urban merupakan daerah transisi antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Wilayah yang berperan secara ekologis sebagai penyangga
kawasan perkotaan.
Perkembangan wilayah perkotaan yang tidak terkendali
(sprawl) mengakibatkan kehancuran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air (Sancar et al. 2009).
Perkembangan kota yang tidak terkendali (sprawl) di
wilayah Peri-urban telah ditemukan oleh Martinuzzi et al. (2007) dan Zhao (2010).
Lebih lanjut Martinuzzi et al. (2007) mengungkapkan bahwa arah
perkembangan kota yang sprawl berada di wilayah periferi dan bergerak menjauhi pusat kota.
Dinamika penggunaan lahan sangat menarik dikaji di
wilayah ini karena rentan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Umumnya konversi lahan pertanian di wilayah Peri-urban, yaitu wilayah dengan karakter transisi sektor primer ke sektor sekunder dan sektor tersier.
Martinuzzi et
al.(2007) mengemukakan bahwa peran area perkotaan dalam sistem global mempengaruhi perubahan iklim dunia. dari
waktu
ke
waktu
dapat
Telaah perubahan penggunaan lahan
mengungkapkan
efek
dan
dampak
dari
perkembangan kota di area Peri-urban (Huang et al. 2009). Di Indonesia terdapat dua isu utama perubahan penggunaan lahan yaitu konversi hutan (deforestation) dan konversi lahan pertanian (agricultural land conversion).
Konversi hutan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan
kelapa sawit menjadi isu utama perubahan penggunaan lahan hutan. Pengembangan area perkebunan dengan mengkonversi hutan telah ditemukan oleh Wicke et al. (2011) di Indonesia dan Malaysia. Isu perubahan penggunaan lahan yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan area terbangun dengan mengkonversi lahan pertanian di wilayah perkotaan.
Perubahan
penggunaan lahan di wilayah perkotaan berdampak pada perubahan iklim mikro. Tokairin et al. (2010) menemukan adanya dampak peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan menimbulkan dampak berupa fragmentasi penggunaan lahan. Arsyad dan Rustiadi (2008) menguraikan bahwa fragmentasi fisik lahan dan kepemilikan lahan, mengakibatkan tingginya biaya produksi per satuan unit lahan, sehingga menurunkan daya saing ekonomi karena tidak tercapainya economics of scale. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh
2
pemenuhan kebutuhan manusia dibanding dampak dari bencana alam. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada meningkatnya konsumsi lahan sehingga mengakibatkan perubahan penggunaan lahan. Kajian fragmentasi penggunaan lahan telah dilakukan oleh Huang et al. (2009) di Taipei-Taiwan. Delapan metrik lanskap dari Fragstat digunakan untuk analisis spasial perubahan pola lanskap peri-urban di area Taipei-Taoyuan. Hasil menunjukkan bahwa area terbangun di wilayah studi telah meningkat sebesar 130% dari 466.32 km2 pada tahun 1971 menjadi 1071.43 km2 pada tahun 2006. Lanskap di wilayah yang direncanakan non-perkotaan ditemukan sangat terfragmentasi. Kajian yang dilakukan oleh Liu et al. (2011) menemukan bahwa kebijakan yang berbeda akan merubah pola penggunaan lahan dan lanskap. Fragmentasi penggunaan lahan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi, sosial, dan kebijakan. Sancar et al. (2009) dan Huang et al. (2009) mengamati perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Fragstat.
Kajian
perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan salah satunya adalah analisis fragmentasi.
Beberapa pendekatan analisis
fragmentasi yaitu Patch Analysis, Fragstats (Fragmentation Statistic), dan Analisis fragmentasi lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis). Analisis
fragmentasi
lanskap
dapat
dilakukan
pada
penutupan/penggunaan lahan hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008).
Pendekatan ini diduga mampu menemukan motif
perubahan penggunaan lahan dan proses fragmentasi lahan. Kajian perubahan penggunaan lahan telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan. Tetapi telaah perubahan penggunaan lahan menggunakan analisis fragmentasi masih terbatas dilaporkan, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Umumnya kajian perubahan penggunaan lahan dikaitkan dengan faktor-faktor penyebabnya (Munibah 2008; Trisasongko et al. 2009; dan Liu et al. 2011). Berbeda dengan studi terdahulu, kajian ini berupaya mengidentifikasi aktor-aktor perubahan penggunaan lahan di Kota Makassar.
Wilayah kajian terfokus pada lima
kecamatan di Kota Makassar (Peri-urban) yang berbatasan dengan kabupaten lain
dalam
Kawasan
Sungguminasa, Takalar).
Metropolitan
Mamminasata
(Makassar,
Maros,
3
1.2.
Rumusan Masalah Pertambahan jumlah penduduk perkotaan mendorong meningkatnya
kebutuhan penggunaan lahan perkotaan seperti permukiman, industri, dan bisnis. Di Kota Makassar, laju pertambahan penduduk selama 10 tahun terakhir (2000–2010) adalah sebesar 1,65% (BPS Kota Makassar, 2011). Umumnya laju pertambahan penduduk kecamatan Peri-urban (Kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar) berada diatas laju pertambahan penduduk Kota Makassar.
Pertambahan jumlah penduduk Peri-urban yang
tinggi mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Perubahan
penggunaan lahan diduga memberi dampak fragmentasi penggunaan lahan. Fragmentasi penggunaan lahan, khususnya di wilayah perkotaan akan menyulitkan pengelolaan kawasan perkotaan.
Masalah yang muncul adalah
kemacetan lalu lintas, meningkatnya biaya infrastruktur, waktu perjalanan yang lama, kualitas lingkungan yang menurun, dan masalah interaksi sosial (Habibi dan Asadi 2011). Telaah fragmentasi penggunaan lahan secara multitemporal dapat mengidentifikasi orientasi masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Kecenderungan masyarakat dan potensi sumberdaya lahan dapat menjadi dasar perencanaan
pengembangan
wilayah
maupun
penyusunan
kebijakan
perencanaan ruang. Fenomena perkembangan wilayah perkotaan tidak lepas dari kebijakan pengembangan wilayah seperti perencanaan pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Selatan salah satunya memuat tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar).
Kebijakan tersebut disahkan menjadi Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 tahun 2003 dan dikuatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional yang menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional. Terbitnya Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan
Mamminasata
merupakan
indikasi
kuat
dukungan
pemerintah pusat dalam mendukung pengembangan Kawasan Timur Indonesia. Dampak dari kebijakan tata ruang nasional dan tata ruang provinsi menempatkan Makassar sebagai Kota Inti dan Kota Satelit terdiri dari Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa (Sungguminasa), dan Kabupaten Takalar. Sebagai Kota Inti, Makassar dituntut dapat menyediakan sarana-sarana pelayanan bagi kawasan perkotaan di sekitarnya dan Kawasan Timur Indonesia.
4
Pemenuhan kebutuhan ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 26 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005 – 2015. Kebijakan tersebut memuat arah pengembangan Kota Makassar yang menjadikan Wilayah Utara sebagai Kawasan Pengembangan Bandara Terpadu,
Industri
Terpadu,
Pendidikan Terpadu,
dan
Maritim
Terpadu
(Kecamatan Biringkanaya), Wilayah Timur (Tamalanrea, Manggala, dan Rappocini)
dan
Selatan
Pemukiman Terpadu.
(Tamalate)
sebagai
Kawasan
Pengembangan
Areal yang dijadikan kawasan pengembangan terpadu
merupakan lahan pertanian dan rawa yang tersisa di Kota Makassar. Uraian
fenomena
dan
rumusan
permasalahan
diatas
mendasari
tersusunnya pertanyaan penelitian yaitu : 1.
Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar ?
2.
Bagaimana proses perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar ?
3.
Bagaimana karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah Periurban Kota Makassar ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempelajari perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi dan mengidentifikasi aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan 2001 ke 2007 dan 2007 ke 2010 dengan menggunakan analisis matriks transisi, 2. Mengidentifikasi proses perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan analisis fragmentasi (Landscape Fragmentation Analysis) 3. Mengetahui karakteristik aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku dan tingkat pendidikan.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual.
Penggunaan lahan dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad 2010). Salah satu data penting untuk perencanaan wilayah adalah data penggunaan lahan (Preinzel dan Treitz 2004). Data ini memberikan gambaran aktifitas manusia memanfaatkan sumberdaya lahan. Informasi penggunaan lahan didapatkan dari survei lapangan, diturunkan dari data penginderaan jauh atau kombinasi keduanya. Umumnya survei lapangan menghasilkan informasi penggunaan lahan secara detail, cukup untuk membuat peta penggunaan lahan detail.
Namun survei komprehensif termasuk jarang digunakan karena biaya
yang mahal dan waktu yang lama. Saat ini keperluan survei lapangan dipenuhi dari data penginderaan jauh dan mampu dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 pasal 1 ayat 23, kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1 ayat 25 berbunyi kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pasal 1 ayat 26 Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
6
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa (Departemen Pekerjaan Umum, 2007). Sitorus (2010) menguraikan bahwa perancangan fisik suatu lingkungan kehidupan harus berdasarkan tiga segi utama yaitu : 1. FOLK (Manusia) Termasuk studi tentang masalah penduduk, kebutuhan sosial seperti tempat ibadah, kesehatan, rekreasi, dan lain-lain. 2. Place (Ruang atau tempat) Termasuk studi tentang mengenai lingkungan, pola fisik, iklim, geologi, topografi, vegetasi, pola penggunaan lahan. 3. Work (Pekerjaan) Termasuk latar belakang ekonomi dari suatu lingkungan tertentu, sumbersumber pekerjaan, pembiayaan, dan lain-lain. Tiga segi utama tersebut, kemudian di Indonesia dikembangkan sebagai : perumahan, karya (tempat bekerja), marga (jaringan jalan), suka (rekreasi dan hiburan), penyempurna seperti pendidikan, peribadatan, puskesmas, poliklinik. Dalam kenyataan pengelompokan dari apa yang dikatakan “kegiatan pelayanan” yang mempunyai nilai sosial murni, tumpang tindih dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik, ekonomi, budaya, ataupun fisik. Oleh karena itu “pelayanan sosial” tersebut umumnya dikategorikan sebagai berikut: 1. Pelayanan sosial yang bersifat kultural yang tercakup didalamnya : fasilitas pendidikan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas hiburan 2. Pelayanan sosial yang bersifat fisik: perumahan, fasilitas kesehatan, pos keamanan 3. Pelayanan sosial yang bersifat ekonomi: fasilitas pasar, pertokoan, transport lokal dan regional 4. Pelayanan sosial yang bersifat politik: pusat pemerintahan. 2.2. Perubahan Penggunaan Lahan Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur masyarakat dan perekonomian sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Permintaan terhadap sumberdaya lahan ini menjadi faktor pendorong proses perubahan penggunaan lahan, yang secara garis besar dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok utama, yaitu: (1) deforestasi baik ke arah pertanian intensif maupun non pertanian, (2) konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan (3) penelantaran lahan. Ketiga
7
kelompok utama perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan gambaran permasalahan penggunaan lahan yang menurunkan konflik sosial, ekonomis, kelembagaan dan politis (Saefulhakim et al. 2004). Kajian
perubahan
penggunaan
lahan
sangat
tergantung
dari
pemanfaatan data spasial. Data tersebut dapat diturunkan dari peta penggunaan lahan dan data penginderaan jauh. Umumnya kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh resolusi rendah. Kajian perubahan penggunaan lahan dalam skala yang lebih besar membutuhkan tingkat kedetailan informasi yang lebih tinggi.
Ketersediaan data citra penginderaan
jauh resolusi tinggi seperti Ikonos (1 m), Quick Bird (0,60 m), World View (0,50 m), dan Geo Eye (0,60 m) mempermudah kajian perubahan penggunaan lahan skala detail sampai semi detail. Umumnya hambatan yang ditemukan adalah akses data spasial yang mahal di lembaga penyedia data maupun instansi pemerintah. Perubahan penggunaan lahan dapat dijabarkan dengan berbagai pendekatan.
Kajian pustaka menyajikan informasi bahwa matriks transisi
merupakan salah satu alat analisis
yang banyak
dimanfaatkan untuk
menjelaskan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah. Matriks transisis telah digunakan oleh Prenzel dan Treitz (2004) di Manado Sulawesi Utara, mayoritas perubahan penggunaan lahan terjadi di pinggiran kota (yaitu di pinggiran desa-kota). Tahun 1990, pada dasarnya tidak ada hutan hujan primer di pinggiran Manado, daerahnya didominasi oleh perkebunan kelapa serta lahan pertanian yang telah dibersihkan. Akibatnya, sebagian besar perubahan yang diamati melibatkan konversi lahan untuk ekstraksi pertanian kelapa dan built-up atau pre-built-up (yaitu tanah). Pola urbanisasi yang diamati terjadi pada topografi permukaan tanah datar di daerah utara ke arah kota Paniki Bawah (yaitu menuju bandara), timur menuju Bitung, dan selatan menuju Tomohon. Perubahan yang terjadi berdekatan dengan rute akses utama.
Matriks transisi
dapat dilihat pada Gambar 1. Tahun ke x+1 Penggunaan Penggunaan Penggunaan Lahan a Lahan b lahan ke-z Tahun ke-x
Penggunaan Lahan a Penggunaan Lahan b Penggunaan Lahan ke-z
Gambar 1. Matriks transisi.
8
Dua informasi yang dapat diekstrak dari pendekatan matriks transisi. Bagian pertama yang merupakan bagian yang ditandai (diagonal matriks) memberikan gambaran bahwa tidak terjadi perubahan penggunan lahan wilayah tersebut.
Pada bagian lain (off-diagonal) memberikan informasi luasan
penggunaan lahan yang berubah pada tahun ke-x+1. Matriks transisi cukup memberikan gambaran dinamika penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah.
Kekuatannya terletak pada perubahan
penggunaan lahan tetapi tidak dapat memberikan gambaran motif perubahan penggunaan lahan. Kajian perencanaan wilayah menggunakan analisis matriks transisi perlu ditindaklanjuti dengan analisis fragmentasi. Perkembangan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis merupakan isu utama perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan. Di Kawasan Perkotaan Manado Sulawesi Utara, lahan terbangun bertambah 158,8 ha dari tahun 1990 sampai 1999 dan peningkatan luasan berasal dari konversi padang rumput, kebun campuran, dan lahan terbuka (Prenzel dan Treitz 2004). 2.3. Analisis Fragmentasi Lanskap Analisis Fragmentasi Lanskap (Lanscape Fragmentation Analysis yang disingkat LFA) merupakan salah satu alat analisis spasial yang berbasis pengolahan morfologi citra dalam Sistem Informasi Geografis seperti di Arc View dan Arc-GIS. Alat analisis ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi fragmentasi hutan, tetapi dapat juga digunakan pada lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Vogt et al. (2007) melakukan pemetaan pola spasial dengan pengolahan morfologi citra untuk mengidentifikasi fragmentasi hutan di Taman Nasional Val Grande Italia Utara. Pengolahan
morfologi
citra
dalam
proses
analisis
penggunaan lahan menjadi kelebihan alat analisis ini.
fragmentasi
Presisi spasial dan
akurasi tematiknya yang tinggi sementara tetap mempertahankan kemampuan label fitur pada tingkat piksel untuk setiap skala pengamatan, karena akurasi yang lebih tinggi pada ringkasan statistik pemetaan tingkat piksel dan trend analisis pada tingkat landskap juga akan lebih akurat (Vogt et al. 2007). Lebih lanjut Vogt et al. (2007) menambahkan bahwa pendekatan morfologi citra dapat menemukan lebih banyak aplikasi klasifikasi tingkat piksel dan pemetaan pola, seperti identifikasi fragmentasi internal dan eksternal.
Ada empat tipe
fragmentasi yang teridentifikasi yaitu Core, Patch, Edge, dan Perforated.
9
Hurd et al. (2006) mengidentifikasi terjadinya sprawl di wilayah Connecticut dengan beberapa indikasi antara lain: Core hutan menurun dari waktu ke waktu, karena kehilangan hutan dan konversi untuk kategori fragmentasi hutan lainnya. Perforated hutan meningkat dari waktu ke waktu. Edge hutan menurun, tetapi sedikit meningkat dalam kontribusi persennya. Patch hutan juga meningkat dari waktu ke waktu, baik dari sisi luasan maupun kontribusi persennya. Umumnya konversi hutan yang terjadi berada jauh dari pusat perkotaan. 2.4. Fragmentasi Lahan Perkotaan Fragmentasi perkotaan didefinisikan sebagai sebuah fenomena spasial hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan sistem kota (Burgess 2007). Fenomena urban sprawl merupakan salah satu bentuk fragmentasi penggunaan lahan perkotaan yang umumnya terjadi di wilayah sub-urban. Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa perluasan wilayah urban ke wilayah pinggir kota berdampak pada meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil. Di lain pihak, proses ini sering sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif. Perkembangan area terbangun yang tidak terkendali (urban sprawl) terjadi di Delta Jeneberang Kecamatan Tamalate Kota Makassar.
Hasil
penelitian Useng et al. (2011) menemukan adanya peningkatan luas area terbangun dan permukiman sebesar 18% (1999-2003) dan 34% (2003-2010). Penggunaan lahan area terbangun dan permukiman dari 213,37 ha tahun 1999 meningkat menjadi 729,26 ha tahun 2010. Penggunaan lahan yang mengalami desakan adalah lahan kering, sawah, dan tambak. Fragmentasi lanskap biasanya disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia seperti urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan, serta elemen lanskap seperti jalan, kereta api, dan sungai. Oleh karena itu, hubungan antara fragmentasi lanskap dan faktor dampaknya harus diperkuat dengan indikator kuantitatif (Gao dan Li 2011). 2.5. Perencanaan dan Penataan Ruang Wilayah Terbitnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
10
pengendalian pemanfaatan ruang.
Produk hukum dari Rencana Tata Ruang
Wilayah berhierarki mulai dari level nasional, provinsi, kabupaten/kota. Rencana-rencana turunan dari RTRW seperti Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan
Zonasi.
Penyelenggaraan
penataan
ruang
bertujuan
untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:(a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Departemen Pekerjaan Umum, 2007). Wilayah Kota Makassar merupakan kawasan perkotaan inti Kawasan Metropolitan Mamminasata. Penetapan kawasan perkotaan inti diatur melalui beberapa peraturan baik nasional maupun provinsi. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 2003 tentang RTRW Metropolitan Mamminasata. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No.26 Tahun 2008) menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan sudut kepentingan ekonomi dan tahap pengembangan I (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Perda No.9 Tahun 2009) menetapkan Kawasan Mamminasata sebagai Revitalisasi dan percepatan pengembangan kota-kota pusat pertumbuhan provinsi untuk revitalisasi kota-kota yang telah berfungsi dengan tahap pengembangan I – IV (Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 2009).
Wujud dukungan pemerintah
pusat terkait pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata yaitu terbitnya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005-2015) telah diterbitkan menjadi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2006 (Pemerintah Kota Makassar, 2006). Tetapi Revisi Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menjadi Undang-Undang No. 26 tahun 2007 berdampak pada produk hukum yang hierarkinya berada dibawah Undang-Undang untuk melakukan penyesuaian. Sampai saat ini (2012) revisi mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar belum disahkan menjadi Peraturan Daerah Kota Makassar.
11
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian merupakan wilayah Peri-urban Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Wilayah peri-urban adalah wilayah kecamatan yang
mengelilingi pusat kota dan berbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar. Wilayah peri-urban di lokasi penelitian terdiri dari lima Kecamatan yaitu Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, Kecamatan Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate (Gambar 2).
Penelitian ini
dilakukan pada Bulan Maret - Agustus 2012. Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari: perencanaan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, pengecekan lapangan, analisis data, interpretasi hasil, dan penulisan. 3.2. Bahan dan Alat Bahan dan alat tulis yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak Software Microsoft Word, Microsoft Excel, Arc-GIS versi 9.3, dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera digital, Global Positioning System (GPS) Garmin Oregon, dan kuesioner. 3.3. Pelaksanan Penelitian 3.3.1. Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan penduduk untuk menggali informasi terkait proses terjadinya perubahan penggunaan lahan yang berdampak pada fragmentasi penggunaan lahan. Data sekunder terdiri dari data spasial dan data atribut. Data spasial berupa Peta Rupa Bumi Indonesia Kota Makassar skala 1 : 50.000, Peta Administrasi Kota Makassar skala 1 : 25.000, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015 skala 1 : 25.000, Citra Satelit akuisisi tahun 2001, tahun 2007 (Ikonos), dan 2010 (Google Earth). Data atribut berupa jumlah penduduk, laju pertambahan penduduk (2001-2010), dan data PDRB Kota Makassar.
12
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di wilayah peri urban Kota Makassar
13
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Jenis , bentuk, dan sumber data penelitian Jenis data Skala Bentuk Peta Rupa Bumi Indonesia 1 : 50 000 Dijital Peta Administrasi 1 : 25 000 Dijital
Kota Makassar dalam Angka (2002,2007, 2010, 2011)
-
Tabular
Sumber data Bakosurtanal Bappeda Kota Makassar JICA – Mamminasata dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan BPS Kota Makassar
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
-
Tabular
Wawancara
Citra Satelit (Ikonos) akuisisi 12 Agustus 2001, 2 April 2007, dan 13 Juli 2010 (Google Earth)
1 m dan 0,6 m
Dijital
3.3.2. Analisis data Klasifikasi penggunaan lahan Citra satelit yang diperoleh telah terkoreksi geometri berdasarkan peta Bakosurtanal sehingga dapat dilanjutkan dengan proses klasifikasi penggunaan lahan.
Metode klasifikasi visual didasarkan pada tiga hierarki klasifikasi
penutupan/penggunaan lahan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Ketiga hierarki klasifikasi diturunkan menjadi warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer 1997), dan kedekatan interpreter dengan objek (Munibah 2008). Teknik dijitasi secara on screen digunakan untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan seperti Permukiman/Perumahan (PP), Lahan Industri (LI), Bisinis (B) merupakan penggunaan lahan utama dalam analisis.
Penggunaan lahan
mangrove dan tanaman kehutanan lainnya diklasifikasi menjadi Hutan (H). Tambak dan Empang diklasifikasi sebagai penggunaan lahan Empang/Tambak (ET).
Sawah diklasifikasi menjadi Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB).
Klasifikasi Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) terdiri dari tegalan, kebun campuran, tanah kosong.
Taman, Lapangan, Jalan Utama, dan Pekuburan
diklasifikasi sebagai Penggunaan Lahan Lain (PLL). Tubuh Air (TA) terdiri dari sungai, kanal, waduk, dan rawa.
Generalisasi penutupan lahan menjadi
klasifikasi penggunaan lahan disajikan ada Tabel 2.
14
Tabel 2. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan wilayah peri-urban Kota Makassar No Penutupan Lahan Klasifikasi Penggunaan Lahan Sawah Tanaman Pangan Lahan Basah 1 (TPLB) Ladang Kebun Campuran Tanaman Pangan Lahan Kering 2 (TPLK) Lahan Kosong Area berumput SPBU Pertamina Mini Market/Mall Pasar 3 Bisnis (B) Tempat Rekreasi Hotel Terminal Angkutan Darat Pabrik Pengolahan/Pengepakan Pabrik Kapur 4 Industri (I) Pergudangan Instalasi Gardu Listrik PLN Perumahan/Permukiman Rumah Ibadah Gedung Olah Raga 5 Perumahan/Permukiman (PP) Rumah / Toko (Ruko) Perkantoran Sekolah/Perguruan Tinggi Mangrove 6 Hutan (H) Jati/Tanaman Kehutanan Tambak 7 Empang/Tambak (ET) Empang Rawa Sungai/Kanal 8 Tubuh Air (TA) Waduk Area Perairan Jalan Utama Lapangan Terbuka ( Sepak Bola dan Golf) 9 Area Pekuburan Penggunaan Lahan Lain (PLL) Taman Kota TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah)
15
Visualisasi penggunaan lahan pada sumber yang berbeda memberikan karakteristik tampilan objek yang berbeda. Tampilan penggunaan lahan pada wilayah penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan No 1
Penggunaan Lahan Citra Satelit Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB): Sawah
2
Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK): Kebun/Ladang Bisnis: SPBU Pertamina
3
4
Industri: Industri Pengepakan
5
Perumahan/ Permukiman
6
Hutan : Mangrove
7
Empang/ Tambak
8
Tubuh Air : Sungai
9
Penggunaan Lahan Lain : Jalan Utama
Foto Lapangan
16
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan distribusi penggunaan lahan pada dua (atau lebih) data dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik. Teknik identifikasi yang umum digunakan adalah membandingkan atribut data tersebut.
Perubahan nilai pada atribut
tersebut umumnya luasan (ha) penggunaan lahan (Trisasongko et al. 2009). Perubahan distribusi penggunaan lahan tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010 dianalisis menggunakan matriks transisi. Hasil analisis matriks transisi menyajikan informasi pola perubahan penggunaan lahan. Analisis Fragmentasi Penggunaan Lahan Fragmentasi penggunaan lahan adalah proses perubahan penggunaan lahan dari penggunaan homogen menjadi heterogen. perubahan
penggunaan
lahan
menjadi
lahan
Kecenderungan
terbangun
dan
indikasi
perkembangan kota yang sprawl dapat diidentifikasi dengan analisis fragmentasi. Salah satu alat analisis fragmentasi penggunaan lahan adalah Landscape Fragmentation Analysis, yang dapat dijalankan di software Arc View maupun Arc GIS (Vogt et al. 2007). Analisis fragmentasi mengidentifikasi empat tipe yaitu : Core (inti), perforated (berlubang), edge (tepi), dan patch. Kajian fragmentasi penggunaan lahan dapat dilakukan untuk berbagai tipe penutupan/penggunaan lahan seperti hutan, lahan semak, lahan perkotaan, dan lain-lain (Parent dan Hurd 2008). Gambaran mengenai empat tipe fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman disajikan pada Gambar 3. Proses diferensiasi pada Model LFA menggunakan operasi logika dengan dua pendekatan analisis piksel (picture element) yaitu 8 tetangga dan 4 tetangga (Gambar 4). Proses analisis fragmentasi dimulai dari peta tematik dengan dua atribut, misalnya perumahan/permukiman dan non perumahan/permukiman. Ukuran batas ditentukan secara arbiter yaitu 25 meter. Core ditetapkan jika piksel inti dan 8 tetangga adalah perumahan/permukiman, dan berada pada jarak lebih besar 25 meter dari non perumahan/permukiman. Patch ditetapkan jika piksel dan 4 tetangga (depan belakang, kiri kanan) perumahan/permukiman, berada
pada
jarak
lebih
kecil
sama
dengan
25
meter
dari
perumahan/permukiman, dan tidak masuk dalam track piksel core.
non Edge
ditetapkan berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi tidak berdekatan dengan patch non perumahan/permukiman. Perforated ditetapkan berada pada track piksel core perumahan/permukiman tetapi berdekatan dengan
17
patch non perumahan/permukiman.
Analisis fragmentasi penggunaan lahan
perkotaan hanya dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Bagan alir proses pemilahan tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 3. Tipe fragmentasi perumahan/permukiman.
(a)
(b) Piksel tetangga
Piksel inti
Gambar 4. Ilustrasi piksel 8 tetangga (a) dan 4 tetangga (b). Area Core, misalnya pada perumahan/permukiman, memiliki piksel yang dipertimbangkan tidak terdegradasi oleh “efek tepi”. Bagian tepi dalam perumahan/permukiman
yang
lain
selebihnya diklasifikasi sebagai Edge.
dipertimbangkan
sebagai
Perforated,
Sementara itu, Patch adalah fragmen
kecil perumahan/permukiman yang sama sekali terdegradasi oleh “efek tepi”. Proses analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan untuk tiga titik pengamatan dengan tahapan sebagai berikut:
18
1. Mengekstrak peta penggunaan lahan menjadi dua tema seperti peta perumahan/permukiman (2), peta non perumahan/permukiman (1). 2. Mengkonversi format data vektor menjadi data raster (interval 10 m) dengan pertimbangan ukuran rata-rata satu unit bangunan (10x10) m, ukuran file, dan waktu pemrosesan data. 3. Menentukan edge width (lebar tepi), yaitu diasumsikan sebesar 25 m 4. Memasukkan peta penggunaan lahan (perumahan/permukiman) dua tema (Perumahan/permukiman dengan kode 2 dan non perumahan/permukiman dengan kode 1) pada Landscape Fragmentation Tools 5. Menghasilkan peta fragmentasi penggunaan lahan permukiman/permukiman. 6. Tahapan 1-5 dilakukan ulang untuk penggunaan lahan industri dan area bisnis. Hasil dari proses analisis fragmentasi penggunaan lahan memberikan gambaran mengenai proporsi tipe fragmentasi penggunaan lahan pada tiga seri pengamatan penggunaan lahan selama 10 tahun terakhir.
Kecenderungan
perubahan luasan tipe fragmentasi memberikan gambaran motif perubahan penggunaan lahan dan proses fragmentasi penggunaan lahan. Analisis Deskriptif: Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Proses perubahan penggunaan lahan dikendalikan oleh manusia sebagai aktornya.
Aktor perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota
Makassar ditelusuri dengan melakukan wawancara semi terstruktur ke masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan dengan pola transek 8 arah dari pusat kota (Center of Business District). Metodologi transek telah digunakan oleh Shrestha et al. (2012) untuk mendeksi fragmentasi sepanjang perkotaanperdesaan di Phoenix Metropolitan Area AS.
Shrestha et al. (2012)
menggunakan ukuran blok transek dengan interval 15 km dan pusat piksel digunakan untuk analisis fagmentasi. Namun pada penelitian ini, penentuan titik sampel dilakukan secara purposive berdasarkan penggunaan lahan yang melewati garis transek dari Center of Business District (CBD).
Penentuan
sampel berbasis titik dilakukan dengan pertimbangan penggunaan lahan yang heterogen di wilayah perkotaan.
Jumlah responden yang menjadi sampel
pengamatan dan wawancara adalah sebanyak 72 titik. Informasi yang digali adalah terkait status kepemilikan lahan, etnis/suku, dan tingkat pendidikan. Variabel ini didasarkan pada fakta kualitatif bahwa status kepemilikan, etnis/suku, dan tingkat pendidikan diduga mendorong terjadinya perubahan
19
penggunaan lahan. Pengambilan foto penggunaan lahan dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hasil wawancara dan pengamatan lapangan diorganisir menggunakan analisis deskriptif.
Analisis deskriptif mampu
memberikan informasi pendukung dalam menggambarkan identitas dan kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan.
Karakteristik aktor
perubahan penggunaan lahan yang diamati adalah etnis/suku dan tingkat pendidikan.
Gambar 5. Bagan alir klasifikasi tipe fragmentasi penggunaan lahan (Diadopsi dari Parent dan Hurd 2008).
20
3.4. Diagram Alir Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, jenis, dan pendekatan analisis serta hasil yang diharapkan, disusun diagram alir penelitian seperti disajikan pada Gambar 6
Analisis Permasalahan
Paradigma Pengembangan Kota : 1. Pusat Pertumbuhan KTI 2. Pusat Permukiman 3. Pusat Industri dan Jasa 4. Kota Berkelanjutan
Kondisi Eksisting : 1. Pengembangan Sarana dan Prasarana 2. Pertambahan Jumlah Penduduk 3. Kebijakan Pemanfaatan Ruang 4. Fragmentasi Penggunaan Lahan
Interpretasi Citra Satelit dan Dijitasi Peta Penggunaan Lahan
Tahap Pengumpulan Data
Peta Penggunaan Lahan 2001
Tahap Analisis Data Landscape Fragmentation Analisys Tools : - Core - Patch - Perforated - Edge
Peta Penggunaan Lahan 2007
Peta Penggunaan Lahan 2010
Matriks Transisi Penggunaan Lahan (2001 dan 2007) dan Penggunaan Lahan (2007 dan 2010)
Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Fragmentasi Penggunaan Lahan (2001, 2007, 2010)
1. Permukiman/Perumahan 2. Lahan Industri 3. Lahan Bisnis
Wawancara Aktor Perubahan Penggunaan Lahan : - Etnis/suku -Tingkat Pendidikan
Tahap Interpretasi Hasil
Proses Perubahan Penggunaan Lahan di Peri-urban Kota Makassar
Gambar 6. Diagram alir penelitian perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografis dan Fisik Wilayah Wilayah penelitian secara geografis terletak antara 5005’ – 5015’ Lintang Selatan dan 119020’ – 119030’ Bujur Timur dengan ketinggian antara 0 sampai 25 meter dari permukaan laut (mdpl). Batas wilayah penelitian secara administrasi: Sebelah Utara
: Kecamatan Mandai dan Kecamatan Marusu (Kabupaten Maros)
Sebelah Timur
: Kecamatan Moncongloe (Kabupaten Maros) dan Kecamatan Pattalassang,
Kecamatan
Somba
Opu,
kecamatan
Pallangga, dan Kecamatan Barombong (Kabupaten Gowa) Sebelah Selatan
: Kecamatan Galesong Utara (Kabupaten Takalar)
Sebelah Barat
: Wilayah kecamatan lain di Kota Makassar dan Selat Makassar.
Kota Makassar memiliki luas wilayah 177.75 km2 yang terdiri dari daratan dan pulau-pulau. Wilayah Peri-urban Kota Makassar mencakup lima kecamatan yang terdiri dari 39 kelurahan dengan luas 133,64 km2 atau 76,02% dari luas Kota Makassar. Wilayah Kecamatan Biringkanaya memiliki wilayah yang paling luas dan Kecamatan Rappocini dengan luas wilayah paling kecil. Perbandingan luas kecamatan, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas wilayah, persentase luas kota, dan jumlah kelurahan menurut kecamatan peri-urban di Kota Makassar Tahun 2010 Persentase Jumlah No Kecamatan Luas (km2) luas kota (*) kelurahan 1 Tamalate 20,21 11,50 10 2 Rappocini 9,23 5,25 10 3 Manggala 24,14 13,73 6 4 Biringkanaya 48,22 27,43 7 5 Tamalanrea 31,84 18,11 6 Jumlah 133,64 76,02 39 Keterangan: (*) Dari luas Kota Makassar
Sumber: BPS (2011). Ditinjau dari kondisi jarak dari Ibu Kota Kecamatan ke Lapangaan Karebosi sebagai Pusat Kota Makassar, Kecamatan paling jauh adalah Kecamatan Biringkanaya sejauh 12 km, Kecamatan paling dekat adalah
22
Kecamatan Makassar dengan jarak 0 km. Lima Kecamatan area penelitian berada pada jarak antara 5 km–12 km dari pusat kota Makassar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Jarak ibukota kecamatan ke pusat Kota Makassar No Kecamatan Jarak (km) 1
Tamalate
5
2
Rappocini
7
3
Manggala
9
4
Biringkanaya
12
5
Tamalanrea
10
Sumber: BPS Kota Makassar (2011) Ketinggian tempat di wilayah penelitian bervariasi mulai dari ketinggian 0-25 mdpl (meter dari permukaan laut). Ketinggian tempat menurut kecamatan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Ketinggian tempat lima kecamatan peri-urban di Kota Makassar No
Kecamatan
Ketinggian tempat (mdpl)
1
Tamalate
1–6
2
Rappocini
2–6
3
Manggala
2 – 22
4
Biringkanaya
1 – 19
5
Tamalanrea
1 – 22
Sumber: BPN Kota Makassar (2008) Topografi Kota Makassar umumnya datar dengan tingkat kemiringan lereng 0-8%. Wilayah penelitian yang memiliki ketinggian diatas 10 mdpl hanya ada di Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Manggala. 11 kecamatan lainnya berada dibawah ketinggian 10 mdpl. Jenis tanah yang terdapat di Kota Makassar terdiri dari jenis tanah Inceptisol dan Ultisol. Jenis tanah Inceptisol dominan berada di bagian barat dan selatan Kota Makassar. Jenis tanah Ultisol dominan berada di sebelah utara Kota Makassar. Bagian timur Kota Makassar jenis tanahnya merupakan kombinasi dari kedua jenis tanah tersebut. Wilayah Kota Makassar memiliki stasiun pengamatan iklim yaitu curah hujan dan suhu udara di BMG IV Stasiun Maritim Paotere.
Curah hujan rata-
23
rata tahunan selama kurung waktu dari 1997 – 2011 berkisar pada 3.083 mm. Suhu rata-rata antara 250C sampai 330C. Tadjang (2001) menguraikan bahwa sistem klasifikasi yang digunakan oleh Oldeman dalam menetapkan macam bulan adalah curah hujan rata-rata bulanan selama periode paling sedikit 10 tahun.
Kriteria tinggi curah hujan rata-rata yang digunakan Oldeman dalam
menentukan macam bulan adalah: (1) Bulan Kering (BK) adalah bulan dengan curah hujan rata-rata <100 mm, (2) Bulan Lembab adalah bulan dengan curah hujan rata-rata 100-200 mm, (3) Bulan Basah adalah bulan dengan curah hujan rata-rata >200 mm. Berdasarkan kriteria macam bulan, periode Bulan Basah terjadi pada Desember, Januari, Februari, Maret, dan April. Bulan Kering terjadi pada Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober. Bulan Mei dan Nopember merupakan Bulan Lembab di Kota Makassar. Menurut Oldemen Wilayah Kota Makassar termasuk tipe iklim pertanian C3.
Sedangkan menurut Schmid-
Ferguson, Kota Makassar termasuk wilayah dengan tipe hujan D (daerah sedang dengan ciri vegetasi hutan musim). 4.2. Kondisi Demografi Dari sisi demografi, jumlah penduduk Kota Makassar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini terbukti oleh kenaikan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 226.686 jiwa dari kondisi jumlah penduduk pada tahun 2000 yang mencapai 1.112.688 jiwa. Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebesar 1.339.374 jiwa, lebih dari 50%-nya berada di wilayah lima kecamatan perbatasan dengan kabupaten tetangga Kota Makassar. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi penduduk di Kota Makassar masih berorientasi ke pinggir atau menjauhi pusat pemerintahan.
Fakta ini
diperkuat oleh pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah peri-urban berada diatas rata-rata kota.
Pertambahan penduduk Kota Makassar (2000-2010)
sebesar 1,65%. Wilayah Kecamatan yang pertambahan penduduknya diatas rata-rata kota adalah Biringkanaya (5,45%), Manggala (3,90%), Tamalate (2,50%), Tamalanrea (2,00%), kecuali Kecamatan Rappocini yang pertambahan penduduknya berada dibawah rata-rata kota (1,50%). Kecamatan lainnya yang berada di sekitar pusat kota yang mengalami pertambahan penduduk minus dengan kata lain terjadi pengurangan jumlah penduduk yaitu Kecamatan Mamajang (-0,30), Kecamatan Makassar (-0,15), Kecamatan Ujung Pandang (0,72), Kecamatan Wajo (-1,83), dan Kecamatan Boantoala (-0,87). Selebihnya berada pada kisaran pertambahan pertambahan penduduk dari 0,3% sampai
24
1,2%.
Fenomena pertambahan penduduk yang kurang merata di atas,
mengindikasikan adanya daya tarik yang lebih kuat di wilayah pinggiran kota.
Tabel 7. Jumlah penduduk (jiwa) kecamatan peri-urban Kota Makassar dari tahun 2000 - 2010 No
Kecamatan
2000
2001
2004
2005
2006
2008
2010
1
Tamalate
130777
131871
143987
144458
148589
152197
170878
2
Rappocini
128637
128962
136128
136725
139491
142958
151091
3
Manggala
77443
79251
92411
92524
96632
99008
117075
4
Biringkanaya
96057
97951
118633
119818
125636
128731
167741
5
Tamalanrea
Total
5 Kecamatan
Total MAKASSAR Persentase Kota Makassar (%)
82641
83873
84247
84890
86987
89143
103192
515.555
521.908
575406
578.415
597.335
621.162
709.977
1,112,688
1,130,384
1,179,024
1,193,434
1,223,540
1,253,656
1,339,374
46,33
46,17
48,80
48,47
48,82
48,2
53,01
Sumber: BPS Kota Makassar (2012) 4.3. Karakteristik Ekonomi Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memberikan gambaran kapasitas suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah untuk periode waktu tertentu. Ada tiga sisi pendekatan dapat dipakai dalam melihat PDRB yaitu, sisi produksi, sisi pengeluaran dan sisi pendapatan.
Ketiganya memberikan
gambaran komposisi dan nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan, dan sumber pendapatan. Wilayah kabupaten/kota memiliki kondisi geografis dengan berbagai potensi sumberdaya yang membuat masyarakatnya dapat bertahan bahkan berkembang.
Perbedaan struktur perekonomian tiap
wilayah ditentukan oleh potensi sumberdaya fisik, manusia, dan keuangan. Secara garis besar, pertumbuhan PDRB Kota Makassar Tahun 2000-2009 menunjukan pertumbuhan positif. Untuk lebih jelasnya kondisi PDRB Kota Makassar atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Gambar 7. Tiga sektor utama yang menopang peningkatan nilai tambah di Kota Makassar yaitu perdagangan/restoran/hotel, industri pengolahan, dan angkutan dan komunikasi. Ketiga sektor utama ini cenderung bergerak naik dari tahun 2001 ke tahun 2009. Besarnya distribusi sektor tersier dan sekunder merupakan indikasi Kota Makassar sebagai fungsi pengolahan dan distribusi terhadap area di sekitarnya.
Fakta ini juga didukung oleh jumlah hotel pada tahun 2001
sebesar 91 unit menjadi 188 unit pada tahun 2010.
Peranan sektor primer
seperti pertanian dan pertambangan/penggalian relatif kecil dan cenderung
25
stagnan selama 10 tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Kota Makassar
mencapai dua dijit (Gambar 8) pada saat pesta demokrasi berlangsung yaitu 2004 (Pemilihan Legislatif) dan 2008 (Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan).
PDRB Per Sektor Atas Dasar Harga Konstan di Makassar (2001-2009) 5000.000
Pertanian
4500.000 Pertambangan/Penggalian
(Milyar Rupiah)
4000.000 3500.000
Industri Pengolahan
3000.000
Listrik, Gas, dan Air
2500.000
Bangunan
2000.000 1500.000
Perdagangan/Restoran/Hotel
1000.000
Angkutan dan Komunikasi
500.000
Bank dan Lembaga Keuangan
0.000
Jasa-Jasa
Gambar 7. Grafik pertumbuhan PDRB per sektor berdasarkan harga konstan di Kota Makassar (2001-2009).
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Tren Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan di Kota Makassar (2001-2009) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
(%) 7.30
7.14
8.60
10.17
7.16
8.09
8.11
10.52
9.20
Gambar 8. Tren pertumbuhan ekonomi atas dasar harga konstan di Kota Makassar (2001-2009)
26
4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Wilayah Dalam penelitian ini, infrastruktur dibagi ke dalam tiga bagian, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur umum. Infrastruktur umum terdiri dari sarana transportasi dan jalan, prasarana dan sarana utilitas pemukiman dan perumahan, telekomunikasi dan informasi, sumber daya air, ketenagalistrikan. Infastruktur pendidikan pada tahun 2010 di Kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 452 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.033 orang dan jumlah murid sebanyak 144.499 orang. Jumlah SLTP sebanyak 179 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.268 orang dan jumlah murid sebanyak 61.107 orang. Jumlah SLTA 116 unit dengan jumlah guru sebanyak 5.595 orang dan jumlah murid sebanyak 35.567 orang (BPS, 2011). Infastruktur kesehatan pada tahun 2010 di Kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2010, dari 119 unit puskesmas dapat di kategorikan menjadi 38 puskesmas, 44 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah.
Di samping sarana
kesehatan, ada sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter praktek sebanyak 1.108 orang dan bidan praktek sebanyak 117 orang (BPS, 2011). Ketersediaan fasilitas jalan mendorong terjadinya interaksi antar kawasan dalam suatu wilayah. Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh fasilitas jalan sebagai media interaksi antar sektor dan antar perumahan ke tempat bekerja. Panjang dan fungsi jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 8
Tabel 8. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar No 1 2 3 4
Fungsi Jalan Arteri Kolektor Lokal Inspeksi Kanal Jumlah Sumber: BPS (2010)
Panjang (km) 76,52 380,93 1120,88 15,13 1.593,46
Kondisi sarana dan prasarana jalan di Kota Makassar terdiri dari jalan arteri, kolektor, lokal, dan inspeksi kanal.
Berdasarkan aspek panjang jalan,
jalan lokal mendominasi fungsi jalan di Kota Makassar. Jalan kolektor dan arteri
27
merupakan fungsi jalan terpanjang kedua dan ketiga.
Terakhir fungsi jalan
inspeksi kanal yang terpendek. Gambaran fungsi jalan dengan panjang jalan tidak
cukup
memberikan
informasi
wilayah
dalam
melayani
interaksi
masyarakatnya. Kondisi kualitas jalan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 9
Tabel 9. Panjang jalan (km) dirinci menurut kondisi jalan di Kota Makassar Tahun
Baik 2001 1070,97 2005 121,13 2010 772,69 Sumber: BPS (2010)
Kondisi Jalan Sedang Rusak Ringan 292,70 206,48 215,24 149,69 264,04 238,15
Rusak Berat 23,31 15,19 318,58
Sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat Kota Makassar pada saat ini berasal dari sumur, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan sumur bor. Berdasarkan data dari PDAM Kota Makassar sampai dengan akhir tahun 2009 jumlah pelanggan PDAM Kota Makassar sebanyak 146.687 pelanggan, dengan jumlah total air yang disalurkan sepanjang tahun 2009 sebanyak 38.825.667 m3. Persentase volume air terbesar yang disalurkan oleh PDAM adalah pelanggan rumah tangga, persentasenya mencapai 81% dari persentase keseluruhan, sedangkan yang lainnya merupakan pemakaian pelanggan dalam bidang
Bisnis,
Industri,
Pemerintah,
Sosial,
dengan
masing-masing
persentasenya sebesar 9%, 1%, 5%, 4%. Gerak pembangunan di Kota Makassar tidak terlepas dari dukungan sarana dan prasarana energi listrik dalam upaya mendorong pertumbuhan perekonomiaan dan pembangunan lainnya. Energi listrik ini dipergunakan untuk keperluan domestic dan industri. Berdasarkan data dari BPS Kota Makassar, satu kantor cabang, empat kantor rayon, dua kantor sub ranting, dan satu listrik desa yang melayani kebutuhan energi masyarakat, khususnya Kota Makassar. Tahun 2009 energi yang terjual sebanyak 1.172.533.660 Kwh dengan daya yang tersambung sebesar 559.639.875 VA.
Jumlah pelanggan sebanyak 241.396
buah. Sarana telekomunikasi di Kota Makassar berdasarkan data tahun 2009, jumlah sambungan telepon kategori pelanggan 198.867, kategori line in service sebanyak 199.443, kategori connected line sebanyak 295.210 dan telah mampu menjangkau semua kecamatan yang ada di Kota Makassar.
Pelayanan jasa
oleh Pos dan Giro melalui PT. Pos Indonesia sebanyak 32 unit dengan klasifikasi
28
1 unit Kantor Pos dan Giro Kelas II, 4 unit Kantor Pos dan Giro Kelas VII, 24 unit Kantor Pos dan Giro Kelas X, tiga unit Kantor pos dan Giro Pembantu. Selain itu sarana telekomunikasi yang dapat diakses oleh masyarakat yaitu melalui penyediaan layanan seluler oleh beberapa provider yang mengembangkan investasinya di Kota Makasar. Hal ini dapat diketahui dengan beroperasinya tower seluler yang tersebar di 14 kecamatan di Kota Makassar. 4.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah Kebijakan Perencanaan Ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar No 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar (2005 - 2015). Perencanaan pemanfaatan ruang akan dibagi menjadi 13 kawasan pengembangan terpadu dan tujuh kawasan pengembangan khusus. Ketigabelas kawasan pengembangan terpadu terdiri dari: 1. Kawasan Pusat Kota, yang berada pada bagian tengah Barat dan Selatan Kota mencakup wilayah Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah dan Tamalate; 2. Kawasan Permukiman Terpadu, yang berada pada bagian tengah pusat dan Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Manggala, Panakukang, Rappocini dan Tamalate; 3. Kawasan Pelabuhan Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat dan Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo; 4. Kawasan Bandara Terpadu, yang berada pada bagian tengah
Timur
Kota,
mencakup
wilayah
Kecamatan
Biringkanaya
dan
Tamalanrea; 5. Kawasan Maritim Terpadu, yang berada pada bagian Utara Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea; 6. Kawasan Industri Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalanrea dan Biringkanaya; 7. Kawasan Pergudangan Terpadu, yang berada pada
bagian
Utara
Kota,
mencakup
wilayah
Kecamatan
Tamalanrea,
Biringkanaya dan Tallo; 8. Kawasan Pendidikan Tinggi Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Panakukang, Tamalanrea dan Tallo; 9. Kawasan Penelitian Terpadu, yang berada pada bagian tengah Timur Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 10. Kawasan Budaya Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 11. Kawasan Olahraga Terpadu, yang berada pada bagian Selatan Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 12. Kawasan Bisnis dan Pariwisata Terpadu, yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Tamalate; 13. Kawasan Bisnis Global Terpadu,
29
yang berada pada bagian tengah Barat Kota, mencakup wilayah Kecamatan Mariso. Tujuh kawasan pengembangan khusus terdiri dari: 1. Kawasan Khusus Pariwisata Maritim, yang berada pada kepulauan Spermonde Makassar, mencakup wilayah Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah; 2. Kawasan Khusus Pengembangan Sungai Tallo, yang berada sepanjang koridor Sungai Tallo; 3. Kawasan Khusus Pengembangan Sungai Jeneberang yang berada sepanjang koridor Sungai Jeneberang; 4. Kawasan Khusus Pengendalian Pantai Makassar, yang berada sepanjang ±35 km pesisir pantai Makassar; 5. Kawasan Khusus Konservasi Budaya, yang letak dan posisinya tersebar di beberapa titik dalam wilayah Kota Makassar; 6. Kawasan Khusus Pusat Energi dan Bahan Bakar Terpadu, yang letaknya berada di bagian Utara Kota (muara Sungai Tallo), mencakup wilayah Kecamatan Tallo; 7. Kawasan Khusus Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Sampah Terpadu, berada pada Kecamatan Manggala. Wilayah Peri-Urban Kota Makassar termasuk dalam 10 kawasan pengembangan terpadu yaitu: permukiman terpadu (Manggala, Rappocini, Tamalate), kawasan bandara terpadu, industri terpadu, dan pergudangan terpadu (Biringkanaya, Tamalanrea), kawasan maritim terpadu dan pendidikan terpadu (Tamalanrea), kawasan budaya terpadu, olah raga terpadu, bisnis dan pariwisata terpadu (Tamalate). Dan lima kawasan pengembangan khusus yaitu kawasan khusus pengembangan sungai Tallo (Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala), kawasan khusus pengembangan sungai Jeneberang (Tamalate), kawasan khusus pengendalian Pantai Makassar ( Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tamalate), kawasan khusus konservasi budaya (tersebar di beberapa titik dalam wilayah Kota Makassar), kawasan khusus tempat pembuangan dan pemrosesan sampah terpadu (Manggala). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar (2009-2014) tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2009.
Penyusunan RPJMD bertujuan merumuskan kebijakan dan
program pembangunan dengan mengakomodir berbagai kepentingan dan aspirasi segenap lapisan masyarakat, sehingga lebih memantapkan pencapaian Visi Pemerintah Kota Makassar Tahun 2014, yakni "Makassar Menuju Kota Dunia Berlandas Kearifan Lokal".
Kebijakan dan sasaran prioritas
pembangunan dititikberatkan pada aspek: Kebijakan Peningkatan Kualitas Manusia, Pengembangan Tata Ruang dan Lingkungan, Penguatan Struktur
30
Ekonomi, Desentralisasi Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik dan Bebas Korupsi, Penegakan Hukum dan Hak Azasi Manusia.
31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Penggunaan Lahan Tahun 2001, 2007, dan 2010 Hasil interpretasi data citra satelit 2001, 2007, dan 2010 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Klasifikasi penggunaan lahan terdiri dari Hutan (H), Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB), Tanaman Pangan Kering (TPLK), Empang/Tambak (ET), Perumahan/permukiman (PP), Industri (I), Bisnis (B), Tubuh Air (TA), dan Penggunaan Lahan Lain (PLL).
Sebaran penggunaan lahan diwilayah Peri-
Urban Kota Makassar pada tahun 2001, 2007, dan 2010 disajikan secara berturut-turut pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Penggunaan lahan perumahan/permukiman merupakan kelas gabungan areal perumahan/permukiman, perkantoran, rumah/toko, gedung olah raga, rumah ibadah, dan sekolah/perguruan tinggi.
Pola permukiman yang terlihat
mengelompok yaitu terdapat pada wilayah Kecamatan Rappocini dan sebagian Kecamatan
Tamalate
(sebelah
utara
Sungai
Jeneberang).
Pola
perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya cenderung mengelompok mengikuti jalan tetapi menyebar pada area yang jauh dari jalan utama dan pusat kota. Kecenderungan pola perumahan/permukiman yang menyebar terdapat di Kecamatan Tamalate (Tanjung Bunga dan Barombong). Areal pertanian terdiri dari TPLB dan TPLK.
TPLB merupakan kelas
penggunaan lahan sawah sedangkan TPLK adalah kelas gabungan penggunaan lahan tegalan, kebun campuran, lahan kosong, dan area berumput. TPLB di wilayah penelitian cenderung mengelompok di Kecamatan Manggala dan Tamalate. Pola TPLB yang menyebar terdapat di kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya.
Pola TPLK yang cenderung menyebar diantara
penggunaan lahan perumahan/permukiman lebih banyak dijumpai di Kecamatan Manggala, Kecamatan Tamalanrea dan Kecamatan Biringkanaya.
TPLB
umumnya ditanami padi pada musim hujan sedangkan pada musim kering ditanami kangkung dan bayam. Produktifitas tanaman padi di wilayah penelitian adalah sekitar 5 ton/ha. Penggunaan lahan TPLK umumnya ditanami ubi kayu, pisang, dan mangga. Komoditi ubi kayu dan pisang diolah menjadi keripik atau dijual langsung ke pasar terdekat. Ubi kayu dan pisang diolah dengan industri berbasis rumah tangga dan umumnya terdapat di Kecamatan Biringkanaya.
32 32
Gambar 9. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2001
32
Gambar 10. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2007
33
33 34
Gambar 11. Peta penggunaan lahan wilayah peri urban Kota Makassar 2010
35
Perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan matriks transisi (Tabel 10 dan Tabel 11).
Hasil tabulasi silang dua data penggunaan lahan
menyajikan informasi bentuk-bentuk perubahan penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan terdiri dari dua periode yaitu tahun 2001 ke tahun 2007 dan tahun 2007 ke tahun 2010. Tabel 10. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2001 dan 2007 (dalam ha) Ke 2007 Penggunaan Lahan Hutan
H
TA
ET
121,5
0,8
TPLB 0,7
0,0
TPLK
PP
I
0,0
0,1
B
PLL
Jumlah (2001)
0,0
0,0
0,0
123,1
D
Tubuh Air
0,5
1063,8
2,3
2,0
51,0
29,0
2,9
9,0
3,7
1164,3
a
Empang/
1,2
2,1
1702,1
0,7
110,7
11,5
25,8
6,9
4,9
1865,9
r
Tambak
i
TPLB
0,0
145,7
0,0
2479,3
247,3
66,4
99,8
0,1
14,2
3052,7
2
TPLK
0,4
7,6
0,9
0,0
2471,0
325,4
52,8
27,4
10,3
2895,9
0
PP
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
3816,9
0,5
3,3
2,2
3822,9
Industri
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,3
316,0
0,0
0,0
316,3
Bisins
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
57,2
0,0
57,2
Penggunaan
0,0
0,1
0,0
0,0
1,2
3,3
0,4
0,1
249,2
254,3
123,5
1220,1
1706,0
2482,0
2881,3
4252,9
498,2
104,0
284,5
13552,4
0 1
Lahan Lain Jumlah (2007)
Keterangan: H= Hutan; TA= Tubuh Air; ET= Empang/Tambak; TPLB= Tanaman Pangan Lahan Basah; TPLK= Tanaman Pangan Lahan Kering; PP= Perumahan/Permukiman; I= Industri; B= Bisnis; PLL= Penggunaan Lahan Lain.
Tabel 11. Matriks transisi penggunaan lahan antara tahun 2007 dan 2010 (dalam ha) Ke 2010 Penggunaan Lahan Hutan
H
TA
ET
TPLB
TPLK
PP
I
B
PLL
Jumlah (2010)
123,5
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
123,5
D
Tubuh Air
0,0
1201,0
0,0
0,0
13,2
3,3
1,9
0,8
0,0
1220,1
a
Empang/
0,0
0,0
1661,4
0,0
27,9
0,7
2,4
13,7
0,0
1706,0
r
Tambak
i
TPLB
0,0
0,0
0,0
2433,9
29,4
13,4
5,3
0,0
0,0
2482,0
2
TPLK
0,5
0,0
0,0
0,0
2679,6
108,5
78,4
7,3
7,0
2881,3
0
PP
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
4252,9
0,0
0,0
0,0
4252,9
Industri
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
498,2
0,0
0,0
498,2
Bisinis
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
104,0
0,0
104,0
Penggunaan
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
3,8
0,0
0,0
280,7
284,5
124,0
1201,0
1661,4
2433,9
2750,1
4382,6
586,1
125,7
287,7
13552,4
0 7
Lahan Lain Jumlah (2007)
5.1.1. Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun 2001-2007 Tahap pertama perubahan penggunaan lahan adalah dari tahun 2001 ke tahun 2007. Pada periode ini, perubahan penggunaan lahan Tanaman Pangan
36
Lahan Kering (TPLK) menjadi permukiman/perumahaman merupakan perubahan paling tinggi di wilayah penelitian diikuti oleh lahan industri dan lahan bisnis. Pola perubahan penggunaan lahan pada Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB) maupun empang/tambak mempunyai karakter yang sama yaitu terkonversi menjadi permukiman/perumahan, industri, dan bisnis. Perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi industri lebih tinggi dibandingkan empang/tambak. Proses ini diduga terjadi karena biaya konstruksi pembangunan industri lebih murah pada lahan TPLB dibandingkan empang/tambak.
Kebutuhan volume bahan
timbunan dan material pondasi lebih besar pada lahan empang/tambak dibanding TPLB. Dari sisi akses, letak TPLB dominan lebih berdekatan dengan jalan tol dibanding empang/tambak.
Variasi perubahan penggunaan lahan
pertanian juga terjadi pada lahan TPLB menjadi TPLK. Empang/tambak juga mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi TPLK. Pengembangan
perumahan/permukiman
terjadi
di
seluruh
wilayah
penelitian. Hasil survei lapangan menyajikan informasi perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi Kantor Camat Biringkanaya, Perumahan Griya Mulya Asri, Gedung Olah Raga Sudiang di Kecamatan Biringkanaya.
Pembangunan
Jembatan Barombong (Kecamatan Tamalate) yang melintasi Sungai Jeneberang menjadi langkah menghubungkan wilayah Kabupaten Takalar dengan Kota Makassar dan menjadi salah satu pusat konversi lahan. Pengembangan area perumahan/permukiman Tanjung Bunga (Kec. Tamalate) tidak lepas dari arah pengembangan Kota Makassar yang didukung oleh pengembang PT. GMTDC (Gowa Makassar Tourism Development). Dukungan pengembangan kawasan tidak hanya pada pembangunan sarana perumahan/permukiman tetapi juga dalam bisnis berbasis pariwisata. Bentuk dukungan pengembangan di sektor bisnis adalah pembangunan Mall Grade Trade Center (GTC) dan Rekreasi Pantai Tanjung Bayam dan Tanjung Merdeka. Pengembangan area bisnis yang terdapat di Kecamatan Biringkanaya adalah pembangunan Pusat Niaga Daya, Terminal Regional Daya (Relokasi Terminal Darat Panaikang). Di Kecamatan Tamalanrea, bentuk pengembangan sektor bisnis yaitu pembangunan Mall Makassar Town Square (MTos) dan mini market yang terdapat di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan. TPLK yang dikonversi menjadi area pengembangan lahan industri terdapat di Kecamatan Biringkanaya.
Hal ini dapat dipahami karena sebagian wilayah Kecamatan
Biringkanaya termasuk Kawasan Industri Makassar (KIMA).
Area kawasan
37
industri yang dikelola perusahaan pemerintah
yaitu PT. KIMA.
Perusahan
pemerintah dengan komposisi saham Pemerintah Pusat (60%), Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (30%), dan Pemerintah Kota Makassar (10%). PT. KIMA mengembangkan bisnis utama yaitu penjualan tanah kapling industri, penyewaan Bangunan Pabrik Siap Pakai (BPSP), dan penyewaan gudang. Pengembangan area industri berupa perusahaan pengepakan dan pergudangan yang berada diluar wilayah KIMA terdapat di sepanjang Jalan Tol Ir. Sutami. Pembangunan Perumahan Villa Mutiara Timur merupakan bentuk perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi Perumahan/permukiman. Proses ini dimulai dengan perubahan TPLB menjadi TPLK. Perubahan TLPB menjadi TPLK di sekitar area Pembangunan Villa Mutiara Timur menjadi indikasi adanya praktik pengeringan sawah. Isu lapangan yang ditemukan pada wilayah kecamatan Biringkanaya dan Tamalanrea menyajikan informasi bahwa sawah tidak dapat dikelola karena tidak ada sumber air untuk pengairan.
Praktik
perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi TPLK di Kecamatan Tamalate, Rappocini, dan Manggala mempunyai pola yang berbeda dibandingkan Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea.
Pembentukan TPLK
merupakan hasil penimbunan TPLB. Penimbunan tubuh air (Gambar 13 kiri) dan empang/tambak (Gambar 12 kanan) dapat dijumpai di Kecamatan Rappocini dan Tamalate. Hasil analisis matriks transisi (Tabel 10) menyajikan informasi yang tidak logis yaitu
perubahan TPLB menjadi Tubuh air. Hal ini diduga karena TPLB
yang ditelantarkan sehingga permukaan badan sawah dan pematang tertutupi oleh rumput. Selain warna/rona, TPLB diinterpretasi dari segi bentuk (kotak) dan ukuran (lebar pematang sawah). Proses interpretasi obyek menjadi sulit karena kondisi obyek yang tertutupi rumput dengan latar belakang air. Namun demikian, hal tersebut dapat pula diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi obyek untuk ekstraksi informasi penggunaan lahan dari data penginderaan jauh atau kondisi tubuh air temporer pada saat perekaman citra. 5.1.2. Perubahan Penggunan Lahan Periode Tahun 2007-2010 Tahap kedua perubahan penggunaan lahan pada data penggunaan lahan 2007 dan penggunaan lahan 2010. Hasil analisis matriks transisi (Tabel 11) menyajikan informasi bahwa tekanan perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi perumahan/permukiman merupakan tekanan yang paling tinggi, diikuti oleh industri, dan bisnis.
Pola perubahan penggunaan lahan mempunyai
38
karakter yang berbeda dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan periode
pertama.
Perubahan
penggunaan
lahan
TPLB
menjadi
perumahan/permukiman lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan empang/tambak. Penggunaan lahan empang/tambak menjadi bisnis diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan TPLB. Namun demikian, pada tahap ini tidak terjadi perubahan penggunaan lahan TLPB menjadi bisnis. Penggunaan lahan TPLB
dan empang/tambak mendapat tekanan menjadi
TPLK, walaupun memiliki kondisi cenderung menurun dari sisi luasan dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan periode pertama. Pola perubahan penggunaan lahan di wilayah studi dimulai dari konversi TPLB, empang/tambak menjadi TPLK. Tahap akhir dari perubahan penggunaan lahan dari TPLK adalah menjadi perumahan/permukiman, industri, dan bisnis (Gambar 12). Matriks transisi menunjukkan adanya konversi TPLK menjadi area bisnis yaitu SPBU Pertamina Pintu I & Pintu II Unhas, Pasar Sentral Bumi Tamalanrea
Permai
di
Kecamatan
Tamalanrea.
Pembangunan
perumahan/permukiman dilakukan untuk memenuhi tingginya permintaan kebutuhan rumah untuk pekerja di Kawasan Industri Makassar (KIMA), pondokan bagi mahasiswa dan pekerja sektor bisnis, serta kebutuhan perumahan bagi masyarakat umum.
Tekanan terhadap TPLK (kebun campuran dan tanah
terbuka) untuk pembangunan perumahan/permukiman juga diteliti oleh Preinz dan
Treitz
(2004)
di
Kawasan
Perkotaan
Manado.
Pembangunan
perumahan/permukiman dan industri dengan mengkonversi TPLK ditemukan oleh Trisasongko (2009) di sekitar Jalur Tol Cikampek.
Gambar 12. Empang/tambak yang dikelilingi Industri di Kecamatan Biringkanaya (kiri), Perumahan/Permukiman yang mengelilingi sawah (TPLB) di Kecamatan Manggala (tengah), dan Bisnis yang dikelilingi TPLK dari hasil penimbunan empang/tambak di Kecamatan Tamalate (kanan).
39
Arahan RTRW Kota Makassar 2005-2015 mengalokasikan TPLB untuk pengembangan permukiman terpadu.
Perubahan penggunaan lahan TPLB
menjadi perumahan/permukiman dan industri terdapat di wilayah penelitian pada periode ini, yang menunjukkan bahwa proses konversi telah berjalan dalam waktu yang lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Proses konversi TPLB menjadi perumahan/permukiman atau industri terjadi melalui proses antara yaitu pengeringan atau penimbunan TPLB menjadi TPLK.
Praktik konversi TPLB
menjadi perumahan/permukiman atau industri melanggar amanah UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Konversi lahan ini tidak hanya dijumpai pada sawah, tetapi juga terjadi
pada
tambak
yang
dahulu
banyak
dijumpai
di
wilayah
studi.
Pembangunan Trans Studio di Kecamatan Tamalate merupakan bentuk konversi empang/tambak menjadi bisnis. Proses konversi empang/tambak menjadi bisnis dimulai dari penimbunan lahan. Umumnya penggunaan lahan tubuh air jarang terkonversi menjadi penggunaan lahan pertanian atau non pertanian. Namun demikian, hal ini tidak terjadi di Makassar. Desakan terhadap penggunaan lahan tubuh air terjadi di wilayah penelitian baik untuk kepentingan pertanian maupun non pertanian. Perubahan penggunaan lahan yang dominan pada tubuh air adalah menjadi penggunaan lahan pertanian (Tanaman Pangan Lahan Kering) dan lahan non pertanian (Perumahan/Permukiman). Konversi tubuh air pada periode 2001 ke 2007 diketahui lebih tinggi dibanding rentang waktu 2007 ke 2010. Hasil survei lapangan (Gambar 13) menunjukkan bahwa bentuk tubuh air yang dikonversi adalah rawa.
Gambar 13.
Hasil konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK dan Perumahan/Permukiman di Kecamatan Rappocini (kiri) dan proses awal konversi Tubuh Air (Rawa) menjadi Perumahan/Permukiman di Kecamatan Tamalanrea (kanan).
Fenomena perubahan penggunaan lahan diduga terjadi karena adanya perubahan nilai lahan dari aspek produktivitas penggunaan lahan dan
40
aksesibilitas.
Pergeseran penggunaan lahan ke arah yang lebih produktif
didorong oleh tersedianya aksesibilitas dan dukungan kebijakan pemerintah. Produktivitas industri, permintaan perumahan/permukiman, dan permintaan area bisnis yang tinggi mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Pertambahan penduduk Peri-urban dan arah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015 menjadi faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Trisasongko et al. (2009) di sepanjang tol Cikampek bahwa kebijakan perencanaan ruang ikut mendorong konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Dampak konversi lahan pertanian adalah fragmentasi lahan baik fisik maupun kepemilikan. Skala usaha pertanian menjadi menurun yang berdampak pada menurunnya peluang pendapatan masyarakat di sektor pertanian. Ruswandi et al. (2007) memperkuat pernyataan tersebut bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani. Fenomena tersebut diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan nonpertanian. Pemenuhan kebutuhan manusia dan arah kebijakan pembangunan mendorong
proses
perubahan
penggunaan
lahan.
Pembangunan
perumahan/permukiman, industri, dan bisnis menjadi fokus utama dalam kajian ini. Pemilihan ketiga penggunaan lahan didasarkan pada pertambahan jumlah penduduk peri urban yang berada di atas rata-rata kota, besarnya peranan sektor industri, dan sektor perdagangan/hotel/restoran. Pemenuhan kebutuhan perumahan/permukiman masih mendominasi perubahan penggunaan lahan di wilayah peri urban Kota Makassar. Penggunaan lahan perumahan/permukiman seluas 3.822,9 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 4.382,6 ha pada tahun 2010.
Permintaan lahan untuk industri berada di urutan kedua, diikuti
penggunaan lahan untuk bisnis. Penggunaan lahan industri seluas 316,3 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 586.1 ha pada tahun 2010. Lahan bisnis seluas 57,2 ha pada tahun 2001 meningkat menjadi 125,7 ha pada tahun 2010. Perubahan penggunaan lahan didahului oleh pengalihan kepemilikan lahan.
Isu lapangan yang ditemukan adalah bahwa pengalihan kepemilikan
lahan terjadi karena kebijakan pemerintah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Tingginya beban pajak lahan (tambak di sekitar jalan tol),
kebutuhan uang tunai (menikahkan anak, renovasi rumah tinggal, dan biaya
41
ibadah haji), dan pemilik lahan yang tinggal dan menetap di luar Sulawesi Selatan merupakan faktor utama pemicu alih kepemilikan lahan di wilayah penelitian. Hasil kajian Nurmani (2007) menemukan bahwa penggunaan lahan berupa industri dan perdagangan & jasa memberikan pengaruh terhadap pajak lahan. Dari aspek penggunaan lahan, terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai land rent non pertanian dan pertanian. Nilai land rent dapat dipertimbangkan sebagai dasar untuk menetapkan pajak lahan.
Lebih lanjut
Nurmani (2007) mengemukakan bahwa land rent tinggi belum tentu diikuti dengan pajak lahan yang tinggi. 5.2. Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Analisis fragmentasi penggunaan lahan perkotaan dilakukan pada penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis sebagai pola penggunaan lahan utama pada wilayah urban atau wilayah yang menuju ke struktur urban. Pola aktivitas manusia dalam memanfaatkan ruang dapat terindentifikasi dari analisis fragmentasi penggunaan lahan.
Gambaran tipe
fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman, industri, dan bisnis tersaji pada Tabel 12 Tabel 12. Luas (ha) tipe fragmentasi penggunaan lahan perkotaan di wilayah peri urban Kota Makassar No
Penggunaan Lahan
Tipe Fragmentasi
2
Perumahan/ Permukiman
Industri
2007
2010
2001-2007
2007-2010
2437.3
2700.9
2782.0
+
+
Patch
82.5
102.8
107.0
+
+
Edge
1202.9
1295.6
1314.2
+
+
Perforated
138.9
153.6
147.3
+
Core
181.2
286.7
360.0
+
+
Patch
2.4
4.1
2.0
+
-
Edge
135.3
206.5
218.7
+
+
0.4
0.9
1.3
+
+
Core
29.0
50.7
62.4
+
+
Patch
2.7
4.3
5.1
+
+
Edge
26.3
49.1
58.2
+
+
0.0
0.0
0
0
Perforated
3
Bisnis
Periode
2001
Core 1
Tahun
Perforated 0.0 Keterangan : (+) Bertambah, ( - ) Berkurang, ( 0 ) Tetap.
-
Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Perumahan/Permukiman Tabel 12 menunjukkan bahwa tiga tipe fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman, yaitu core, patch, dan edge mengalami peningkatan
42
luasan pada dua periode pengamatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa peri urban Makassar merupakan wilayah yang sangat dinamis berubah, tidak hanya dari segi luasan tetapi juga dari proses yang kompleks. Peningkatan luasan ketiga tipe fragmentasi diartikan sebagai perkembangan perumahan/permukiman perkotaan yang sprawl.
Hal ini sesuai pendapat Hurd et al. (2006) bahwa
indikasi sprawl adalah terjadinya peningkatan luasan tipe core yang didukung oleh peningkatan luasan tipe patch. Urban sprawl adalah perkembangan area periferi yang bergerak ke arah menjauhi pusat kota (Martinuzzi et al. 2007). Tipe perforated mengalami peningkatan luasan pada periode pertama tetapi terjadi penurunan luasan pada periode kedua. Peningkatan luasan tipe perforated
menjadi
indikasi
perumahan/permukiman
oleh
kuat
mulai
terjadinya
penggunaan
lahan
isolasi
lahan
non
perumahan/permukiman.
Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh peningkatan luas tipe perforated.
Penurunan
luasan
tipe
perforated
menandakan
konversi
penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dikonversi (Gambar 14). pembangunan
Survei lapangan menguatkan fenomena tersebut bahwa perumahan/permukiman
didahului
dengan
mengisolasi
penggunaan lahan non perumahan/permukiman.
a
b
Gambar 14.
c
Perubahan tipe perforated perumahan/permukiman tahun 2001 (a) dan 2007 (b) menjadi tipe core perumahan/permukiman tahun 2010 (c).
Fenomena urban sprawl membawa dampak negatif khususnya dari aspek mobilitas.
Zhao (2010) mengungkapkan dua dampak negatifnya.
Pertama:
meningkatnya kebutuhan untuk jarak perjalanan yang panjang antara pusat kota dan area sub-urban. Kedua: menghasilkan masalah yang berhubungan dengan penyediaan transportasi publik dan meningkatnya kebutuhan perjalanan oleh kendaraan pribadi. Menurut Habibi dan Asadi (2011), beberapa faktor penting
43
penyebab urban sprawl adalah pertumbuhan penduduk dan pendapatan, harga lahan dan akses penyediaan perumahan yang murah, beberapa pertimbangan terkait sistem transportasi yang murah, pusat pelayanan baru untuk melayani daerah pinggiran kota, infrastruktur, subsidi dan pelayanan publik. Poelmans et al. (2009) menambahkan bahwa faktor yang penting menentukan pola urban sprawl yaitu aksesibilitas dan interaksi dengan wilayah tetangga. Kebijakan Pemerintah Kota Makassar yang terkait penataan ruang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Makassar No. 6 Tahun 2006 Tentang Rencana
Tata
pengembangan
Ruang Wilayah Kawasan
Kota
Permukiman
Makassar Terpadu
(2005-2015). terdapat
Manggala, Kecamatan Rappocini, dan Kecamatan Tamalate.
di
Arahan Kecamatan
Perkembangan
perumahan/permukiman terjadi pada seluruh wilayah penelitian. Fenomena ini dapat dijadikan indikasi adanya perbedaan perencanaan yang disusun oleh pemerintah dengan orientasi masyarakat.
Perbedaan kebijakan pemerintah
dengan orientasi masyarakat terkait arahan pemanfaatan ruang juga ditemukan oleh
Huang
et
al.
(2009)
di
Taipei
Taiwan.
Peningkatan
luas
perumahan/permukiman di Makassar tidak lepas dari pertambahan jumlah penduduk. Jumlah penduduk keseluruhan di lima kecamatan pada tahun 2001 sebanyak 521.908 jiwa.
Jumlah penduduk Makassar meningkat menjadi
597.335 jiwa pada tahun 2006 dan menjadi 709.977 jiwa pada tahun 2010. Kecenderungan para migran memiliki rumah tinggal permanen di wilayah perkotaan mendorong meningkatnya kebutuhan perumahan/permukiman. Nilai yang dianut masyarakat migran akan meningkatnya kelas sosial adalah jika memiliki rumah di perkotaan sehingga mendorong tingginya permintaan perumahan/permukiman.
Dari
aspek
ekonomi,
investasi
di
sektor
perumahan/permukiman mempunyai risiko kerugian yang rendah. Nilai investasi perumahan/permukiman mengalami kenaikan seiring perkembangan waktu. Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Industri Penggunaan lahan industri pada tiga seri pengamatan mengalami pertambahan luasan untuk tiga tipe fragmentasi, yaitu core, edge, dan perforated.
Tipe core industri mengalami pertambahan luasan.
Hal ini
menunjukkan bahwa kawasan industri tumbuh cukup pesat di wilayah studi. Pola peningkatan luasan tipe core diikuti oleh tipe edge dan perforated. Peningkatan luasan tipe edge merupakan dampak meningkatnya luasan tipe core yang tidak tertata baik dalam satu kawasan khusus. Peningkatan luasan
44
tipe perforated menjadi indikasi pembangunan industri yang mengisolasi penggunaan lahan non industri.
Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa
penggunaan lahan di sekitar industri adalah TPLB, TPLK, Tubuh Air (Rawa), dan Empang/Tambak. Pembentukan patch-patch industri pada periode 2001-2007 dan penurunan luasan pada periode 2007-2010 menjadi indikasi adanya aglomerasi industri. Menurut Rustiadi et al. (2009), aglomerasi disebabkan oleh adanya kerjasama untuk memanfaatkan skala ekonomi atau untuk penghematan biaya transportasi. Lin dan Ben (2009) menambahkan bahwa aglomerasi industri menawarkan banyak keuntungan dan industri yang selaras dengan aglomerasi akan menarik banyak perusahaan karena mampu mendapat manfaat ekonomi. Aglomerasi industri ditemukan di sepanjang Jalan Tol Ir. Sutami, sebagai sarana jalan tol yang menjadi akses utama dari luar Kota Makassar menuju Pusat Kota Makassar, Pelabuhan Soekarno Hatta, dan Pusat Bisnis Panakukkang. Arahan pemanfaatan ruang untuk Pengembangan Industri Terpadu dan Pergudangan Terpadu terdapat di wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea. Pertambahan areal industri terdapat di lokasi yang sesuai dengan RTRW Kota Makassar 2005-2015. Pembangunan area industri yang cenderung meningkat tidak lepas dari arahan pembangunan wilayah Kota Makassar. Sektor industri menjadi sektor kedua
dalam
menopang
PDRB
Kota
Makassar
setelah
sektor
perdagangan/restoran/hotel. Area industri tahun 2001 adalah seluas 319,16 ha dan meningkat menjadi 498,15 ha pada tahun 2007. Pertambahan luas area industri diiringi oleh meningkatnya PDRB Kota Makassar (harga konstan) dari Rp 1.198.574.000.000,- pada 2001 menjadi Rp 2.756.584.000.000,- pada tahun 2007. Area industri tahun 2007 meningkat dari 489,15 ha menjadi 582,00 ha pada tahun 2010. Pertambahan luas area industri diiringi oleh meningkatnya PDRB Kota Makassar (harga konstan) sebesar Rp 2.756.584.000.000,- pada 2007 menjadi Rp 3.134.152.000.000,- pada tahun 2010. Peranan sektor industri pengolahan di Kota Makassar sebesar 20,74% dari PDRB Kota Makassar (BPS, 2011). Tipe Fragmentasi Penggunaan Lahan Bisnis Perbedaan pola perubahan nilai tipe fragmentasi ditemukan pada penggunaan lahan bisnis.
Ketiga tipe fragmentasi mengalami peningkatan
luasan yaitu core, patch, dan edge. Peningkatan luasan tipe core dan tipe edge menandakan bahwa terbentuknya core baru diikuti juga oleh terbentuknya tipe
45
edge. Kecenderungan yang sama terjadi pada tipe patch. Ketiga fenomena peningkatan tipe fragmentasi bisnis mengindikasikan berkembangnya area bisnis secara sprawl. Perbedaan mendasar dari dua penggunaan lahan sebelumnya adalah bahwa pembangunan area bisnis tidak mengisolasi penggunaan lahan non bisnis.
Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya tipe perforated pada
analisis fragmentasi penggunaan lahan bisnis dari tahun 2001, tahun 2007, dan tahun 2010. Wilayah Kecamatan Tamalate menjadi arahan pemanfaatan untuk Pengembangan Kawasan Bisnis Global Terpadu, Kawasan Bisnis Pariwisata Terpadu, dan Kawasan Bisnis Olah Raga Terpadu. Pembangunan Mall GTC, Wisata Pantai (Akkarena, Tanjung Merdeka,Tanjung Bayam, dan Barombong), dan Trans Studio adalah bentuk dukungan pemerintah dalam menciptakan daya tarik sektor bisnis di Kota Makassar. Tetapi perkembangan area bisnis terjadi secara tidak teratur di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan (Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea). Peningkatan kualitas jalan sebagai sarana aksesibilitas utama diduga mendorong berkembangnya area-area bisnis di wilayah penelitian. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Poelmans dan Romapey (2009) dan Habibi dan Asadi (2012). Fenomena ini berdampak pada bertambahnya waktu tempuh ke pusat kota akibat kemacetan. Arus kendaraan yang mengalami kemacetan khususnya terjadi di depan Makassar Town Square (MTos). Penggunaan lahan bisnis terdiri dari pasar tradisional, pusat niaga, mini market, mall, SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), hotel, dan tempat rekreasi. Sektor bisnis merupakan wujud dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Sektor tersebut menjadi komponen utama dalam menopang
pertumbuhan ekonomi Kota Makassar. Peranan sektor perdagangan/hotel/dan restoran dalam PDRB Kota Makassar adalah sebesar 28,71%. Pembangunan mall dan mini market berkembang mengikuti jalan di wilayah Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea, walaupun ruang fasilitas bisnis sudah disediakan oleh pemerintah. Pembangunan Pusat Niaga Daya di Kecamatan Biringkanaya dan Pasar Sentral BTP (Bumi Tamalanrea Permai) di Kecamatan Tamalanrea merupakan bentuk penyediaan sarana bisnis oleh pemerintah Kota Makassar. Fenomena ini memberikan gambaran lemahnya pengawasan pemerintah terkait pengendalian pemanfaatan ruang.
46
Proses
fragmentasi
penggunaan
lahan
utama
berdasarkan
letak
administrasi di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 13. Tipe perforated untuk penggunaan
lahan
perumahan/permukiman di
wilayah
studi
mengalami
peningkatan luasan pada periode pertama tetapi terjadi penurunan luasan pada periode kedua, kecuali Kecamatan Biringkanaya. Nilai perforated di Kecamatan Biringkanaya mengalami peningkatan luasan baik periode pertama maupun kedua.
Peningkatan luasan tipe perforated mengindikasikan bahwa proses
fragmentasi lahan sangat intensif di Kecamatan Biringkanaya dibandingkan empat kecamatan lainnya di wilayah studi. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya perumahan baru di sekitar Gedung Olah Raga Sudiang dan Rumah Sakit Sayang Rakyat.
Tipe perforated untuk penggunaan lahan industri hanya
ditemukan di Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea.
Dua
periode pengamatan menyajikan pola perubahan nilai luasan yang berbeda. Proses fragmentasi lahan masih berlangsung di Kecamatan Biringkanaya sedangkan di Kecamatan Tamalanrea baru mulai berkembang yang ditandai oleh munculnya tipe perforated pada periode kedua.
Tipe perforated
penggunaan lahan bisnis tidak ditemukan di lima kecamatan wilayah studi. Tabel. 13. Luas (ha) tipe fragmentasi perforated pada penggunaan lahan utama di wilayah peri urban Kota Makassar No
1
2
Kecamatan
Biringkanaya
Tamalanrea
Penggunaan Lahan
5,8
8,2
8,3
+
+
Industri
0,4
0,9
0,9
+
0
Bisnis
0,0
0,0
0,0
0
0
Perumahan/Permukiman
9,9
11,0
10,6
+
-
Industri
0,0
0,0
0,4
0
+
0,0
0,0
0,0
0
0
13,1
15,3
13,1
+
-
Industri
0,0
0,0
0,0
0
0
Bisnis
0,0
0,0
0,0
0
0
68,5
71,9
68,6
+
-
Industri
0,0
0,0
0,0
0
0
Bisnis
0,0
0,0
0,0
0
0
41,5
47,2
45,6
+
-
Industri
0,0
0,0
0,0
0
0
Bisnis
0,0
0,0
0,0
0
0
Perumahan/Permukiman Manggala
Perumahan/Permukiman 4
Rappocini
Perumahan/Permukiman 5
Tamalate
Periode 2001-2007 2007-2010
Perumahan/Permukiman
Bisnis 3
Tahun 2001 2007 2010
Keterangan: (+) Bertambah, ( - ) Berkurang, ( 0 ) Tetap.
47
Perkembangan
area
perumahan/permukiman,
industri,
dan
bisnis
(Gambar 15) seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan.
Dampak jangka panjang dari perkembangan kota yang tidak
terkendali adalah perubahan iklim mikro.
Tokairin et al. (2010) menemukan
adanya peningkatan rata-rata suhu udara di Jakarta akibat perubahan penggunaan lahan menjadi area terbangun menggunakan model meteorologi mesoscale. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kenyamanan tinggal dalam wilayah urban tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa Landscape Fragmentation Analysis (LFA) mampu dimanfaatkan dalam mengkaji proses fragmentasi dan perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan analisis fragmentasi penggunaan lahan perlu didalami dengan menganalisis aktor perubahan penggunaan lahan, terutama berdasarkan etnis/suku dan tingkat pendidikan.
Gambar 15. Perumahan/permukiman di Kecamatan Manggala (kiri), Industri di Kecamatan Tamalanrea (tengah), dan Bisnis di Kecamatan Tamalate (kanan). 5.3.
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Hasil survei lapangan dengan metode sampling transek 8 arah
menggunakan GPS (Global Positioning System) menyajikan distribusi responden di wilayah Peri-urban Kota Makassar. Lima jalur pengambilan sampel dari pusat kota ditetapkan pada penelitian ini dengan total jumlah sampel adalah 72 responden.
Responden terdiri dari pemilik lahan dan responden yang
mengetahui informasi penggunaan lahan yang dilewati oleh jalur pengambilan sampel (Gambar 16). Jumlah titik pengambilan sampel yang melewati lima jalur sebanyak 62 responden. Sepuluh responden lainnya terdiri dari lima responden di kantor camat dan lima responden diambil secara acak diantara lima jalur
48
pengambilan sampel. Perubahan penggunaan lahan terjadi atas kendali aktivitas manusia menjadi pusat perhatian dalam bagian ini.
Hubungan perubahan
penggunaan lahan dengan aktor perubahan penggunaan lahan ditelaah menggunakan analisis deskriptif.
Status Responden Bukan Pemilik Lahan 42%
Pemilik Lahan 58%
Gambar 16. Status responden terhadap lahan di titik wawancara. Data ini menyajikan informasi status responden terhadap lahan di titik-titik wawancara.
Distribusi responden menyajikan informasi bahwa pemanfaatan
sumberdaya lahan di wilayah peri-urban sebagian dilakukan untuk aktifitas pemiliknya sehari-hari dan sebagian lagi untuk kepentingan investasi. Dari 72 titik pengambilan sampel, terdapat 18 titik responden dengan status bukan pemilik lahan yang berada pada penggunaan lahan pertanian. Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Etnis/Suku Etnis/suku yang diasumsikan berperan dalam perubahan penggunaan lahan terlihat bersifat heterogen (Gambar 17). Pola distribusi sampel etnis/suku cenderung mengelompok pada lokasi yang jauh dari pusat kota.
Tingginya
keragaman etnis/suku dipicu oleh migrasi masyarakat luar Sulawesi ke Kota Makassar.
Pola distribusi sampel yang mengelompok menjadi indikasi
ketidaktergantungan suatu kelompok etnis/suku terhadap jarak ke pusat kota. Namun demikian, dalam penelitian ini pola etnis/suku yang mengelompok di wilayah peri urban Kota Makassar tidak dikuatkan oleh sampel di kecamatan tetangga yang berbatasan dengan Kota Makassar, mengingat keterbatasan ruang lingkup penelitian.
Wilayah sampling hanya dilakukan pada lima
kecamatan di Kota Makassar. Gambar 17 menyajikan informasi pola distribusi sampel di wilayah penelitian. Kecenderungan sampel yang mengelompok terdapat pada wilayah yang jauh dari pusat kota. Faktor etnis/suku yang masih cenderung berkelompok adalah Makassar dan Tionghoa, serta fasilitas Milik Pemerintah. Etnis/suku yang
49
mengelompok secara spasial berada pada bagian Timur Laut, Tenggara, dan Selatan. Kecenderungan untuk mengelompok bagi etnis/suku Makasar terdapat pada arah transek arah Timur Laut dan Tenggara. Etnis/suku yang cenderung mengelompok di arah selatan yaitu Tionghoa.
Fenomena ini dapat dijadikan
indikasi adanya ekspansi penguasaan lahan oleh etnis/suku Tionghoa. Wilayah ini merupakan kawasan pengembangan bisnis di Kota Makassar.
Etnis/suku
yang lain terdistribusi pada lima jalur transek. Informasi distribusi responden berdasarkan etnis suku secara proporsional disajikan pada Gambar 18. Distribusi responden memperlihatkan tidak adanya salah satu etnis/suku yang dominan dalam fragmentasi maupun konversi lahan. Gambaran distribusi responden dapat dijadikan indikasi tingkat heterogenitas masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan. Komposisi masyarakat yang beragam menyajikan informasi terkait karakter masyarakat yang sifatnya terbuka. Orientasi berbagai etnis/suku dapat digambarkan dari hubungan antara aktor dan pola perubahan penggunaan lahan. Namun demikian kajian ini membatasi diri pada kecenderungan aktor perubahan penggunaan lahan dengan identitas etnis/suku. Distribusi aktor perubahan penggunaan lahan tersaji pada Gambar 19. Gambar 19 menunjukkan bahwa semua etnis/suku berkontribusi dalam perubahan penggunaan lahan.
Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan
menyajikan informasi bahwa tidak ada etnis/suku yang dominan melakukan perubahan penggunaan lahan. Namun demikian, etnis/suku Tionghoa dan Bugis cenderung memiliki kontribusi lebih tinggi dari sisi proporsi diikuti etnis/suku Makassar, Non-Etnis/suku (Milik Pemerintah), dan etnis/suku lainnya seperti Toraja dan dari luar Sulawesi. Kejadian sengketa lahan mempunyai proporsi yang setara dengan etnis/sukToraja dan etnis/suku dari Luar Sulawesi. Hasil wawancara di lapangan menemukan informasi bahwa sengketa lahan umumnya terjadi antara sesama etnis/suku Makassar.
Sengketa lahan muncul saat
etnis/suku lain, utamanya Tionghoa, bersedia membeli lahan tersebut. Titik lahan sengketa cenderung terfokus pada wilayah dengan perubahan penggunaan lahan empang/tambak menjadi TPLK. terdapat
di
wilayah
Kecamatan
Kejadian sengketa lahan umumnya
Tamalate,
pengembangan bisnis di Kota Makassar.
yang
merupakan
kawasan
50
Gambar 17. Peta titik responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar. Etnis/suku Responden Jawa
Sengketa 4% Batak 1% Bima 1% 2%
Tionghoa 20%
Toraja 4% Bugis 15%
Non-Etnis/suku (Pemerintah) 22%
Makassar 31%
Gambar 18. Distribusi responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku.
51
Sengketa 7%
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan
NonEtnis/suku(P emerintah) 14%
Luar Sulawesi 14%
Makassar 14% Tionghoa 22%
Bugis 22%
Toraja 7%
Gambar 19. Proporsi aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah peri urban Kota Makassar. Perubahan penggunan lahan pada periode tahun 2001 ke tahun 2010 memperlihatkan bahwa semua etnis/suku berperan menjadi aktor perubahan penggunaan lahan.
Konversi penggunaan lahan pertanian menjadi non
pertanian dilakukan oleh berbagai etnis/suku yang bermukim di Kota Makassar. Orientasi
perubahan
penggunaan
lahan
khususnya
untuk
kepentingan
perumahan/permukiman, industri, dan bisnis. Tabel 14 menyajikan informasi kecenderungan etnis/suku melakukan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dominan terjadi pada jalur 1, jalur 5, dan pengambilan sampel acak.
Pembangunan sarana
industri umumnya dilakukan oleh etnis/suku Tionghoa pada jalur 1.
Bentuk
sarana industri yang dibangun adalah pabrik pengepakan dan gudang hasil bumi.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kebutuhan padat modal yang hanya
dimiliki oleh beberapa kalangan tertentu.
Orientasi pengadaan sarana bisnis
ditemukan pada jalur 5. Etnis/suku dari Luar Sulawesi merupakan aktor yang mendominasi perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan pembangunan sarana bisnis. Bentuk sarana bisnis yang telah dibangun saat ini adalah Mall GTC dan Trans Studio. Satu titik pada jalur ini menjadi lahan sengketa antara sesame etnis/suku Makassar pada saat dilakukan survei lapangan.
Lahan
sengketa
TPLK.
tersebut
merupakan
konversi
empang/tambak
menjadi
Perubahan penggunaan lahan juga dilakukan oleh pemerintah, yaitu untuk penyediaan sarana pelayanan publik. Pembangunan Kantor Camat Biringkanaya dan Kantor Camat Tamalate adalah beberapa contoh bentuk pengadaan sarana
52
pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah.
Visualisasi perubahan
penggunaan lahan di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 20. Tabel 14. Aktor perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku di wilayah Peri-urban Kota Makassar Kode Sampel
Penggunaan Lahan 2001
Penggunaan Lahan 2007
Penggunaan Lahan 2010
Jalur
Aktor (Etnis/suku)
3
TPLK
Industri
Industri
1
Tionghoa
13
TPLB
TPLB
Perumahan/Permukiman
1
Makassar
14
TPLB
TPLK
TPLK
1
Tionghoa
16
TPLB
Industri
Industri
1
Tionghoa
26
TPLK
Bisnis
Bisnis
2
Bugis
46
Tubuh Air
Bisnis
Bisnis
4
Bugis
56 58
Empang/Tambak Empang/Tambak
Empang/Tambak Bisnis
Bisnis Bisnis
5 5
Luar Sulawesi Luar Sulawesi
59
Empang/Tambak
TPLK
TPLK
5
Sengketa (MakassarMakassar) Makassar
61
TPLK
Bisnis
Bisnis
5
63
TPLK
Perumahan/Permukiman
Perumahan/Permukiman
Acak
67
TPLK
TPLK
Perumahan/Permukiman
Acak
68
TPLK
Perumahan/Permukiman
Perumahan/Permukiman
Acak
Toraja
71
TPLB
TPLK
Perumahan/Permukiman
Acak
Bugis
Nonetnis/suku (Pemerintah) Non etnis/suku (Pemerintah)
Gambar 20. Pabrik pengepakan di Kecamatan Tamalanrea (kiri atas), Pergudangan hasil bumi di Kecamatan Biringkanaya (kiri bawah), Trans Studio dan Mall GTC di Kecamatan Tamalate (tengah atas bawah), Kantor Camat Biringkanaya (kanan atas), dan Kantor Camat Tamalate (kanan bawah).
53
Aktor Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Tingkat Pendidikan Penggalian informasi tentang tingkat pendidikan pemilik lahan di lapangan pada umumnya menemui kendala akibat separuh responden yang ditemui bukan merupakan pemilik lahan. Responden yang ditemui mempunyai informasi yang terbatas mengenai tingkat pendidikan pemilik lahan.
Aktor perubahan
penggunaan lahan yang penting adalah pemilik lahan.
Keterkaitan aktor
perubahan penggunaan lahan berbasis tingkat pendidikan ditemukan dengan cara menghubungkan perubahan penggunan lahan yang terjadi dengan responden sebagai pemilik lahan di titik pengambilan sampel. Analisis deskriptif menunjukkan
bahwa
perubahan
penggunaan
lahan
yang
terjadi
sepenuhnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pemilik lahan.
tidak
Dinamika
perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah peri urban Kota Makassar dilakukan oleh pemilik lahan dengan tingkat pendidikan SD sampai S1, bahkan konversi lahan juga dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana pelayanan publik oleh pemerintah (Lampiran 4).
Dengan demikian, tidak
dijumpai pengaruh yang signifikan terhadap komponen tingkat pendidikan tertentu. Kajian terkait aktor perubahan penggunaan lahan sangat penting ditelaah karena menjadi pengendali terjadinya konversi lahan. Penambahan arah transek atau penggunaan metode sampling yang lain dapat dilakukan untuk lebih menguatkan temuan aktor perubahan penggunaan lahan. Pendapatan rumah tangga sebagai variabel yang diduga mengendalikan perubahan penggunaan lahan juga dapat ditelaah sebagai identitas aktor perubahaan penggunaan lahan. Hal ini didasari oleh pendapat Zhao (2010) bahwa salah satu yang menjadi faktor perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan pendapatan.
Proses
ekstraksi informasi sejarah perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini menemui hambatan lapangan.
Bentuk hambatan yang ditemukan adalah
responden yang bukan merupakan pemilik lahan sehingga mempunyai keterbatasan
informasi
penggunaan lahan.
dan
keragu-raguan
dalam
mengungkap
sejarah
Kesulitan esktraksi informasi umumnya ditemukan pada
wilayah pengembangan industri dan bisnis. Area industri dan bisnis merupakan wilayah yang rentan terhadap terjadinya konflik lahan. Hal ini tidak lepas dari tingginya harga tanah di kedua area tersebut.
55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Perubahan penggunaan lahan yang dominan pada periode 2001-2007 adalah konversi TPLK menjadi Perumahan/permukiman, Industri dan Bisnis. Konversi TPLK menjadi Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis masih mendominasi perubahan penggunaan lahan periode 2007-2010.
Pola
perubahan penggunaan lahan yaitu dari TPLB, Empang/Tambak, Tubuh Air (Rawa) menjadi TPLK, Perumahan/permukiman, Industri, dan Bisnis. Konversi TPLK menjadi perumahan/permukiman merupakan perubahan penggunaan lahan terluas di wilayah penelitian. 2. Peningkatan luas tipe fragmentasi core, edge, dan patch menjadi indikasi pengembangan area perumahan/permukiman dan bisnis yang tidak tertata dengan baik.
Proses fragmentasi penggunaan lahan dicirikan oleh
peningkatan luasan tipe perforated.
Penurunan luas tipe perforated
menandakan konversi penggunaan lahan menjadi perumahan/permukiman telah sangat berkembang, dengan kemungkinan segera menuju ke tahap leveling off dengan laju perubahan yang semakin menurun karena tidak adanya lahan yang dapat dikonversi. patch
pada
penggunaan
lahan
Penurunan luasan tipe fragmentasi
industri
menjadi
indikasi
terjadinya
aglomerasi. Proses fragmentasi penggunaan lahan sangat intensif terjadi di Kecamatan Biringkanaya dibandingkan dengan empat kecamatan lainnya di wilayah studi. 3. Aktor
perubahan
penggunaan
lahan
TPLK
dan
TPLB
menjadi
Perumahan/permukiman dilakukan oleh etnis/suku Makassar, Bugis, Toraja, dan pembangunan kantor camat oleh pemerintah.
Etnis/suku Tionghoa
umumnya melakukan perubahan penggunaan lahan dari TPLB dan TPLK menjadi Industri.
Pembangunan sarana Bisnis dengan mengkonversi
Empang/tambak, Tubuh Air (Rawa), dan TPLK dilakukan oleh aktor perubahan penggunaan lahan dengan identitas etnis/suku Bugis, Makassar, dan Luar Sulawesi. Perubahan penggunaan lahan dari TPLB menjadi TPLK dilakukan oleh etnis/suku Bugis dan Tionghoa.
Perubahan penggunaan
lahan dari TPLB menjadi Perumahan/permukiman dilakukan oleh aktor dengan tingkat pendidikan SMP. Aktor dengan tingkat pendidikan S1 dan kepentingan pemerintah melakukan perubahan penggunaan lahan dari TPLK
56
menjadi Perumahan/permukiman. Perubahan penggunaan lahan dari TPLK dan Tubuh Air (rawa) menjadi Bisnis dilakukan oleh aktor dengan tingkat pendidikan SD. Konversi TPLB menjadi TPLK dilakukan oleh aktor dengan tingkat pendidikan SMA. 4. Landscape Fragmentation Analysis (LFA) mampu dimanfaatkan dalam mengkaji proses fragmentasi dan perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. 6.2.
Saran
1. Penelitian yang terkait model proyeksi fragmentasi penggunaan lahan perkotaan dirasakan perlu dilakukan sebagai alat kajian dalam menyusun peraturan zonasi dan pengendalian pemanfaatan ruang. 2. Kajian terkait aktor perubahan penggunaan lahan berbasis mata pencaharian utama dan tingkat pendapatan rumah tangga dengan menambah arah transek dari pusat kota atau menggunakan metode sampling yang lain di Kawasan Metropolitan Mamminasata.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S, Rustiadi E. 2008. Penyelamatan tanah, air, dan lingkungan. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Arsyad S, 2010. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Bogor [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2002. Kota Makassar dalam Angka 2002. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2007. Kota Makassar dalam Angka 2007. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2010. Kota Makassar dalam Angka 2010. Makassar: BPS Kota Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Makassar. 2011. Kota Makassar dalam Angka 2011. Makassar: BPS Kota Makassar. Burgess R. 2007. Technological determinism and urban fragmentation: a critical analysis. School of the Built Environment, Oxford Brookes University. [Dep.PU] Departemen Pekerjaan Umum 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang. Jakarta: Dep.P.U Gao J, Li S. 2011. Detecting spatially non-stationary and scale-dependent relationships between urban landscape fragmentation and related factors using geographically weighted regression. Applied Geography 31: 292302. Habibi S, Asadi N. 2011. Causes, results and methods of controlling urban sprawl. Procedia Engineering 21: 133 -141. Huang S-L, Wang S-H, Budd WW. 2009. Sprawl in Taipei’s peri-urban zone: responses to spatial planning and implications for adapting global environment change. Landscape and Urban Planning 90: 20-32. Hurd J, Parent J, Civco D. 2006. Forest fragmentation in Connecticut: what do we know and where are we headed?. Center for Land use Education And Research (CLEAR) Department of Natural Resources Management & Engineering The University of Connecticut.
58
Lillesand MT, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, Penerjemah; Sutanto, Editor. Terjemahan dari Remote Sensing and Image Interpretation. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lin M-W, Ben T-M. 2009. Impact of government and industrial agglomeration on industrial land prices: a Taiwanese case study. Habitat International 33: 412-418. Liu M, Hu Y, Zhang W, Zhu J, Chen H, Xi F. 2011. Application of land-use change model in guiding regional planning: a case study in Hun-Taizi river watershed, Northeast China. Chinese Geograpichal Science 21: 609618. Martinuzzi S, Gould WA, Gonzales OMR. 2007. Land development, land use, and urban sprawl in Puerto Rico integrating remote sensing and population census data. Landscape and Urban Planning 79: 288-297. Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan penggunaan lahan berwawasan lingkungan: studi kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurmani NE. 2007. Keterkaitan pajak lahan dengan penggunaan lahan: studi kasus Kecamatan Cibinong dan Cileungsi Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Parent J, Hurd J. 2008. An Improved Method for Classifying Forest Fragmentation. Center for Land use Education And Research. Department of Natural Resources Management & Engineering The University of Connecticut. [Pemprov] Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2003. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata. Makassar. [Pemprov] Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan 2009 - 2029. Makassar. [Pemkot] Pemerintah Kota Makassar. 2006. Peraturan Daerah Kota Makassar No. 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 2005 – 2015. Makassar. [Pemkot] Pemerintah Kota Makassar. 2009. Peraturan Daerah Kota Makassar No. 6 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Makassar 2009-2014. Makassar.
59
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta. [Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar. Jakarta Poelmans L, Romapey AV. 2009. Detecting and modelling spatial patterns of urban sprawl in highly fragmented Areas: a case study in the FlandersBrussels region. Landscape and Urban Planning 93: 10-19. Prenzel B, Treitz P. 2004. Remote sensing change detection for a watershed in North Sulawesi, Indonesia. Progress in Planning 61: 349-363. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan pengembangan wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Dampak konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di daerah Bandung Utara. Jurnal Agro Ekonomi 25: 207-219. Saefulhakim S, Panuju DR, Rustiadi E, Suryaningtyas DT. 2003. Pengembangan model sistem interaksi antar aktifitas sosial ekonomi dengan perubahan penggunaan lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sancar C, Turan SO, Kadiogullari AL. 2009. Land use-cover change processes in urban fringe areas: Trabzon case study, Turkey. Scientific Research and Essay 4: 1454-1462. Shrestha MK, York AB, Boone CG, Zhang S. 2012. Land fragmentation due to rapid urbanization in the Phoenix Metropolitan Area: analyzing the spatiotemporal patterns and drivers. Applied Geography 32: 522-531. Sitorus S.R.P. 2011. Penataan Ruang. Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tadjang HS. 2001. Klimatologi Dasar. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Tokairin T, Sofyan A, Kitada T. 2010. Effect of land use changes on local meteorological conditions in Jakarta, Indonesia: toward the evaluation of the thermal environment of megacities in Asia. International Journal of Climatology 30: 1931-1941.
60
Trisasongko BH, Panuju DR, Iman LS, Harimurti, Ramly AF, Anjani V, Subroto H. 2009. Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Useng D, Prawitosari T, Achmad M, Salengke. 2011. Urban sprawl on Jeneberang delta of Makassar: a remote sensing and GIS perspective. International Seminar on Sustainable Urban Development (ISOSUD2011) Jakarta 24-27 July. 2011. Vogt P, Riitters KH, Estreguil C, Kozak J, Wade TG, Wickham JD. 2007. Mapping spatial patterns with morphological image processing. Landscape Ecology 22: 171-177. Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Faaij A. 2011. Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia. Land Use Policy 28: 193-206. Xie D, Liu Y, Chen J. 2011. Mapping urban environmental noise: a land use regression method. Environmental Science & Technology 45: 7358-7364. Zhao P. 2010. Suistainable urban expansion and transportation in a growing megacity: consequences of urban sprawl for mobility on the urban fringe of Beijing. Habitat International 34: 236-243.
LAMPIRAN
63
Lampiran 1. Peta fragmentasi penggunaan lahan perumahan/permukiman 2010
64
Lampiran 2. Peta fragmentasi penggunaan lahan industri 2010
65
Lampiran 3. Peta fragmentasi penggunaan lahan bisnis 2010
66
Lampiran 4. Identitas responden perubahan penggunaan lahan berbasis etnis/suku, tingkat pendidikan, dan status terhadap lahan di wilayah peri urban Kota Makassar No. Sampel
Penggunaan Lahan 2001
Penggunaan Lahan 2007
Penggunaan Lahan 2010
Jalur
Etnis/suku
Tingkat Pendidikan
1
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
1
Pemerintah
Pemerintah
P
2
Empang/Tambak
Empang/Tambak
Empang/Tambak
1
Tionghoa
S1
BP
Status
3
TPLK
Industri
Industri
1
Tionghoa
S1
BP
4
PLL
PLL
PLL
1
Makassar
TT SD
BP
5
TPLK
TPLK
TPLK
1
Makassar
SD
P
6
TPLB
TPLB
TPLB
1
Tionghoa
SMP
BP
7
PP
PP
PP
1
Makassar
TT SD
P
8
Industri
Industri
Industri
1
Tionghoa
SMA
BP
9
PP
PP
PP
1
Pemerintah
Pemerintah
P
10
TPLB
TPLB
TPLB
1
Tionghoa
TT SD
BP
11
PP
PP
PP
1
Makassar
S1
P
12
TPLK
TPLK
TPLK
1
Makassar
TT SD
P
13
TPLB
TPLB
PP
1
Makassar
SMP
P
14
TPLB
TPLK
TPLK
1
Tionghoa
SD
BP
15
TPLB
TPLB
TPLB
1
Makassar
SD
P
16
TPLB
Industri
Industri
1
Tionghoa
SD
BP
17
PP
PP
PP
1
Bima
SD
P
18
TPLK
TPLK
TPLK
1
Makassar
SD
P
19
TPLB
TPLB
TPLB
1
Makassar
SMP
P
20
Hutan
Hutan
Hutan
2
Pemerintah
Pemerintah
P
21
TPLK
TPLK
TPLK
2
Makassar
TT SD
BP
22
PP
PP
PP
2
Makassar
SMA
P
23
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
2
Toraja
SMA
P
24
TPLK
TPLK
TPLK
2
Pemerintah
Pemerintah
P
25
PP
PP
PP
2
Pemerintah
Pemerintah
P
26
TPLK
Bisnis
Bisnis
2
Bugis
SMP
BP
27
TPLB
TPLB
TPLB
2
Makassar
TT SD
BP
28
PP
PP
PP
2
Bugis
D3
P
29
TPLK
TPLK
TPLK
2
Pemerintah
Pemerintah
P
30
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
2
Pemerintah
Pemerintah
P
31
TPLB
TPLB
TPLB
2
Makassar
SMA
P
32
TPLK
TPLK
TPLK
2
Makassar
SMP
P
33
PP
PP
PP
3
Bugis
S1
P
34
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
3
Makassar
SMA
BP
35
PP
PP
PP
3
Bugis
S3
P
36
PP
PP
PP
3
Toraja
SMA
BP
37
TPLK
TPLK
TPLK
3
Jawa
S2
P
38
PP
PP
PP
3
Pemerintah
Pemerintah
P
39
TPLK
TPLK
TPLK
3
Jawa
S1
BP
40
PP
PP
PP
3
Bugis
SMA
BP
41
TPLB
TPLB
TPLB
3
Bugis
SD
BP
67
Lanjutan Lampiran 4. 42
PP
PP
PP
3
Makassar
SD
BP
43
PP
PP
PP
3
Makassar
S1
BP
44
TPLB
TPLB
TPLB
3
Makassar
SD
P
45
PLL
PLL
PLL
4
Pemerintah
Pemerintah
P
46
Tubuh Air
Bisnis
Bisnis
4
Bugis
SD
P
47
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
4
Pemerintah
Pemerintah
P
48
PP
PP
PP
4
Bugis
SMA
P
49
Tubuh Air
Tubuh Air
Tubuh Air
4
Pemerintah
Pemerintah
P
50
PP
PP
PP
4
Makassar
SMA
BP
51
TPLK
TPLK
TPLK
4
Tionghoa
SMA
BP
52
TPLK
TPLK
TPLK
4
Tionghoa
SD
BP
53
TPLB
TPLB
TPLB
4
Tionghoa
SD
BP
54
TPLK
TPLK
TPLK
4
Tionghoa
SD
BP
55
Empang/Tambak
Empang/Tambal
Empang/Tambak
5
Tionghoa
SD
BP
56
Empang/Tambak
Empang/Tambak
Bisnis
5
Batak
SD
BP
57
TPLK
TPLK
TPLK
5
Bugis
SD
BP
58
Empang
Bisnis
Bisnis
5
Jawa
SD
BP
59
Empang
TPLK
TPLK
5
Sengketa
SMA
BP
60
TPLK
TPLK
TPLK
5
Tionghoa
SMA
BP
61
TPLK
Bisnis
Bisnis
5
Makassar
SD
P
62
PP
PP
PP
3
Tionghoa
S1
P
63
TPLK
PP
PP
Kantor Camat
Pemerintah
Pemerintah
P
64
PP
PP
PP
Kantor Camat
Pemerintah
Pemerintah
P
65
PP
PP
PP
Kantor Camat
Pemerintah
Pemerintah
P
66
PP
PP
PP
Kantor Camat
Pemerintah
Pemerintah
P
67
TPLK
TPLK
PP
Kantor Camat
Pemerintah
Pemerintah
P
68
TPLK
PP
PP
Acak
Toraja
S1
P
69
PP
PP
PP
Acak
Bugis
S2
P
70
TPLB
TPLB
TPLB
Acak
Makassar
S1
P
71
TPLB
TPLK
PP
Acak
Bugis
SMA
P
72
TPLB
TPLB
TPLB
Acak
Makassar
SMP
BP
Keterangan: TT SD: Tidak Tamat SD ; P: Pemilik Lahan; BP: Bukan Pemilik Lahan
68 68
Lampiran 5. Curah hujan (mm) Stasiun Paotere BMG Wilayah IV Makassar. Bulan
Tahun
SF
Tahunan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
1997
529
846
193
189
21
4
14
0
0
0
25
176
1997
5
7
0
1998
167
110
240
220
87
23
257
110
56
174
684
862
2990
9
2
1
1999
1277
994
433
580
140
76
31
6
12
126
225
836
4736
8
3
1
2000
823
778
1114
338
337
37
180
67
0
47
84
303
4108
7
3
2
2001
445
893
813
687
163
11
92
0
0
6
20
550
3680
6
5
1
2002
1042
813
435
617
139
87
31
2
0
0
2
97
3265
5
5
2
2003
492
695
534
157
110
147
5
15
0
7
20
104
2286
7
5
0
2004
928
618
690
624
54
59
33
0
0
0
24
129
3159
5
7
0
2005
531
718
235
200
139
6
2
35
0
0
165
225
2256
7
5
0
2006
398
587
649
353
265
26
137
1
0
0
0
20
2436
6
6
0
2007
694
486
283
197
36
130
4
3
0
16
215
869
2933
7
5
0
2008
639
721
559
440
145
56
50
9
0
2
46
188
2855
6
6
0
2009
922
738
196
71
48
35
41
0
0
15
17
474
2557
5
7
1
2010
873
429
279
230
144
124
100
57
231
223
238
760
3688
10
1
1
2011 RataRata
562
529
595
386
162
8
1
0
0
40
183
827
3293
7
5
0
688
664
483
353
133
55
65
20
20
44
130
428
3,083
100
72
6.667
4.8
Bulan
BB
BB
BB
BB
BL
BK
BK
BK
BK
BB
BK
BL
BK
BL
BB
SF
:D
: daerah sedang dengan ciri vegetasi musim
BB
:5
BB
: > 200 mm
BB
: >100 mm
BL
:2
BL
: 100 - 200 mm
BL
:60-100 mm
BK
:5
BK
: < 100 mm
BK
: <60 mm
Tipe Old
: C3
72