IDENTIFIKASI PENANDA SSR YANG BERASOSIASI DENGAN JUMLAH DAN BOBOT TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
DWI YONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Jumlah dan Bobot Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Dwi Yono NIM A253130321
RINGKASAN DWI YONO. Identifikasi Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Jumlah dan Bobot Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU ENDRO KUSUMO, SOBIR, dan NURITA TORUAN-MATHIUS. Kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman tahunan yang berperan penting sebagai sumber minyak nabati dunia. Siklus pemuliaan tanaman kelapa sawit membutuhkan periode waktu yang cukup lama, karena itu seleksi dengan bantuan penanda molekuler sangat diperlukan untuk mempersingkat waktu seleksi. Seleksi dengan bantuan penanda molekuler memerlukan penanda yang berasosiasi dengan karakter yang diinginkan, terutama karakter daya hasil dan komponennya yang merupakan karakter kompleks dan tergantung pada latar belakang genetik. Oleh karena itu, identifikasi penanda yang berasosiasi dengan karakter yang diinginkan menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan mendapatkan penanda SSR yang berasosiasi dengan karakter jumlah tandan (JT) dan/atau bobot tandan rataan (BTR). Bahan tanam yang digunakan adalah populasi Tenera yang berasal dari persilangan antara Dura Deli dengan Pisifera AVROS. Populasi yang digunakan tersebut memiliki keragaman JT dan BTR yang signifikan berbeda. Sebanyak 18 penanda SSR dari basis data publik diasosiasikan dengan karakter JT dan/atau BTR. Data molekuler dianalisis untuk mengetahui profil penanda SSR yang terdiri dari keragaman alelik, tingkat heterozigositas dan informasi polimorfisme. Asosiasi antara penanda SSR dengan karakter JT dan BTR menggunakan analisis satu penanda dengan pembuatan sidik ragam satu faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanda SSR terkait JT yang terdiri dari 8 penanda (mEgCIR: 0380, 2433, 0801, 2577, 0037, 0781, 3534, dan 3718) mampu mengamplifikasi DNA dengan jumlah alel satu hingga empat dan rataan sebesar 2.3 alel per lokus. Penanda SSR terkait BTR yang terdiri dari 12 penanda (mEgCIR: 0380, 2433, 3428, 0408, 2595, 3160, 0195, 0804, 2387, 3672, 0782, dan 3750) mampu mengamplifikasi DNA dengan jumlah alel satu hingga empat dan rataan sebesar 2.4 alel per lokus. Keragaman alelik cukup rendah karena populasi merupakan hasil persilangan dari tetua yang telah intensif diseleksi. BTR pada populasi Tenera (DxP) berasosiasi secara signifikan dengan penanda mEgCIR3428. Tanaman dengan alel terpanjang (196 pasang basa) pada penanda mEgCIR3428 memiliki rataan BTR tertinggi. Penanda mEgCIR3428 dapat menjadi satu kandidat penanda untuk kegiatan seleksi tetua kelapa sawit Dura Deli dan Pisifera AVROS pada siklus seleksi selanjutnya. Kata kunci: analisis satu penanda, bobot tandan rataan, Dura Deli, jumlah tandan, Pisifera AVROS
SUMMARY DWI YONO. Identification of SSR Markers Associated to Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Bunch Number and Weight. Supervised by YUDIWANTI WAHYU ENDRO KUSUMO, SOBIR, and NURITA TORUANMATHIUS. Oil palm is a perennial oil crop that contribute the most important source of vegetable oil in the world. Oil palm breeding cycle take a long period, therefore molecular marker-assisted selection (MAS) is required to shorten the selection time. This MAS require the associated marker to desired trait, particularly for yield and the component that as a complex trait and genetic background depended. Therefore, identification of associated markers is essential. The aim of this study was to obtain SSR marker that associated with bunch number (BN) and average of bunch weight (ABW). Plant material was used in this study is Tenera population derived from Deli Dura x AVROS Pisifera. Eighteen SSR markers from public database were associated to BN and/or ABW trait. Molecular data analysed for SSR markers profile which consisted of allelic diversity, heterozygosity level, and polymorphism information content (PIC). Association between SSR markers to BN and ABW traits was performed with single marker analysis using one way analysis of variance. The results showed that SSR markers related to BN, that consist of 8 markers (mEgCIR: 0380, 2433, 0801, 2577, 0037, 0781, 3534, and 3718), were able to amplify DNA with one to four number of allele with the average of 2.3 alleles per locus. SSR markers related to ABW, that consist of 12 markers (mEgCIR: 0380, 2433, 3428, 0408, 2595, 3160, 0195, 0804, 2387, 3672, 0782, and 3750), were able to amplify DNA with one to four number of allele with the average of 2.4 alleles per locus. Allelic diversity is quite low because the population is a hybrid of the parents which have been intensively selected. ABW trait for this population was significant associated to mEgCIR3428 marker. Palms with the longest allele (196 base pairs) in mEgCIR3428 marker had the highest average of ABW. This marker may be used in the selection of Deli Dura and AVROS Pisifera palm on the next selection cycle.
Key words: average of bunch weight, AVROS Pisifera, bunch number, Deli Dura, single marker analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB dan PT SMART Tbk Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan PT SMART Tbk
IDENTIFIKASI PENANDA SSR YANG BERASOSIASI DENGAN JUMLAH DAN BOBOT TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
DWI YONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MSc.Agr.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 dengan judul Identifikasi Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Jumlah dan Bobot Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yudiwanti Wahyu Endro Kusumo, MS, Bapak Prof Dr Ir Sobir, MSi, dan Ibu Dr Nurita Toruan-Mathius, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan motivasi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada : 1 Bapak Jo Daud Dharsono selaku Head of Upstream PT SMART Tbk yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan studi S2, 2 Bapak Dr Tony Liwang selaku Division Head of Plant Production and Biotechnology PT SMART Tbk yang telah memberikan dukungan dan saran selama studi, 3 Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MSc.Agr. selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku perwakilan Program Studi PBT yang telah memberi masukan dan saran dalam perbaikan tesis, 4 Bapak Yong Yit Yuan beserta Staf Plant Breeding of SMART Research Institute atas bantuannya dalam penyediaan data fenotipik populasi uji, 5 Karyawan staf dan non-staf divisi Plant production and Biotechnology PT SMART Tbk yang telah membantu selama proses penelitian, serta 6 Ibunda Sri Mulyani, Ayahanda Paidi, Kakanda Eko Budiman, Adinda Muhammad Tri Mulyadi, Istri tercinta Rukiah, dan buah hati Arhabu Rizqi Musyaffa yang telah memberikan doa, motivasi, dan pengertiannya selama masa studi. Penulis sadari masih adanya kekurangan yang perlu diperbaiki dalam tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Januari 2016 Dwi Yono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Kelapa Sawit Botani Kelapa Sawit Pemuliaan Tanaman Kelapa Sawit Penanda Molekuler pada Kelapa Sawit Perbandingan Penanda SSR dengan Penanda Lain
3 3 3 5 6 7
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Tanaman Ruang Lingkup Penelitian Analisis Populasi Identifikasi Penanda SSR Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Karakter JT dan BTR
9 9 9 9 9 10 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Populasi Identifikasi Penanda SSR Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Karakter JT dan BTR
16 16 18 22
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
25 25 25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1. Perbandingan beberapa penanda molekuler (Park et al. 2009) 2. Penanda SSR yang digunakan dalam analisis asosiasi tanaman kelapa sawit 3. Tabulasi data molekuler kelapa sawit untuk perangkat lunak Power marker, GenAlEx, dan SPSS 4. Tabel sidik ragam analisis satu penanda pada analisis asosiasi tanaman kelapa sawit 5. Profil penanda SSR dalam analisis asosiasi tanaman kelapa sawit 6. Keragaman alelik, heterozigositas, dan PIC 16 penanda SSR pada tanaman kelapa sawit 7. Analisis variasi molekuler pada kelapa sawit berdasarkan famili Dura
8 11 14 15 19 20 22
DAFTAR GAMBAR 1. Ruang lingkup analisis asosiasi pada populasi kelapa sawit uji dari persilangan Dura Deli dan Pisifera AVROS 2. Proses isolasi DNA kelapa sawit (Macherey-Nagel 2014) 3. Proses pemisahan DNA kelapa sawit pada elektroforesis menggunakan sistem QIAxcel (Qiagen 2014) 4. Sebaran data JT dan BTR populasi uji progeni kelapa sawit 5. Sebaran data JT dan BTR yang rendah dan tinggi dari populasi kelapa sawit Tenera terpilih 6. Skoring pita hasil fragmentasi QIAxcel dari empat individu kelapa sawit Tenera pada penanda mEgCIR3534 7. Asosiasi enam penanda SSR dengan karakter JT kelapa sawit 8. Asosiasi 10 penanda SSR dengan karakter BTR kelapa sawit
10 12 13 16 17 18 23 23
DAFTAR LAMPIRAN 1. Korelasi Pearson antara karakter daya hasil dan komponen daya hasil tanaman kelapa sawit 2. Sidik ragam karakter JT dan BTR pada kelapa sawit berdasarkan famili Dura
32 32
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada periode tahun 2014 hingga 2015, total produksi minyak kelapa sawit di dunia sebagai bagian dari minyak nabati menempati urutan pertama, yaitu sebesar 39% dari total produksi minyak nabati di dunia. Saat ini Indonesia menjadi produsen dan pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada periode tersebut, Indonesia mampu memproduksi dan mengekspor minyak kelapa sawit sebesar 54% dari produksi dan ekspor total minyak kelapa sawit dunia (USDA 2015). Industri kelapa sawit di Indonesia pun memiliki peranan yang cukup penting dalam pendapatan negara dan lapangan pekerjaan. Ketika harga minyak sawit menurun hingga di bawah 750 USD, negara mendapat pemasukan melalui pungutan pajak ekspor minyak kelapa sawit sebesar 50 USD per ton minyak sawit yang diekspor (Permenkeu 2015). Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2015 kegiatan ekspor minyak sawit mampu menyumbang devisa hingga sebesar 1.3 miliar USD atau setara dengan Rp. 17.6 triliun. Di samping itu, industri ini pun mampu menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 5 juta jiwa (GAPKI 2016). Besarnya pengaruh Indonesia terhadap pasar minyak kelapa sawit dunia, menjadikan sangat pentingnya pengembangan komoditas kelapa sawit yang lebih progresif. Upaya untuk meningkatkan kualitas bahan tanam dan potensi hasil adalah melalui bidang pemuliaan. Metode yang umum digunakan adalah Seleksi Berulang Timbal Balik atau Reciprocal Recurrent Selection (RRS). Secara konvensional metode seleksi ini dilakukan berdasarkan karakter fenotipik, yang terdiri atas karakter vegetatif dan generatif baik berupa morfologi ataupun biokimia. Menurut Wong dan Bernardo (2008) dan Cros et al. (2015) satu siklus pemuliaan tanaman kelapa sawit menggunakan metode Reciprocal Recurrent Selection (RRS) membutuhkan waktu sekitar 19-20 tahun. Seleksi tanaman dengan metode RRS dapat dipersingkat dengan bantuan penanda molekuler sebagai karakter genotipik, baik dalam jumlah penanda yang banyak atau genomewide selection maupun hanya menggunakan penanda yang berasosiasi terhadap karakter fenotipik tertentu atau marker-assisted selection (Vinod 2009). Penggunaan penanda molekuler dalam pemuliaan tanaman kelapa sawit dapat menyingkat waktu pemuliaan hingga 68% (Wong dan Bernardo, 2008) bahkan 70% (Cros et al. 2015) dibandingkan dengan seleksi berdasarkan karakter fenotipik, yaitu dari sekitar 19-20 tahun menjadi sekitar 6 tahun pada siklus seleksi pertama dan seterusnya. Analisis asosiasi penanda molekuler terhadap beberapa karakter fenotipik penting yang bersifat kuantitatif pada tanaman kelapa sawit telah dilakukan. Karakter yang diasosiasikan dengan penanda molekuler merupakan komponen dari kualitas dan kuantitas daya hasil. Penanda yang berasosiasi dapat digunakan dalam memperoleh kelapa sawit dengan kualitas dan kuantitas daya hasil yang lebih baik. Ukoskit et al. (2014) menemukan penanda yang berasosiasi dengan rasio seks dan tersebar pada enam kelompok keterpautan. Lee et al. (2015) melaporkan adanya asosiasi karakter tinggi tanaman dengan 8 lokus dalam kelompok keterpautan kelima. Teh et al. (2016) memperoleh 80 penanda SNP yang berasosiasi dengan karakter rasio minyak terhadap mesokarp.
2 Karakter komponen daya hasil digunakan sebagai kriteria seleksi dalam memperoleh kelapa sawit dengan kualitas dan kuantitas daya hasil yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena beberapa karakter komponen daya hasil memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dari karakter daya hasil (Marhalil et al. 2013; Rafii et al. 2013; Noh et al. 2014). Beberapa komponen daya hasil adalah jumlah tandan, bobot tandan, komposisi asam lemak, rasio seks, dan rasio minyak dalam tandan. Karakter jumlah dan bobot tandan memiliki korelasi yang nyata terhadap daya hasil (Lampiran 1) dan memiliki nilai heritabilitas (arti luas) yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 68-78% dan 66-88.6% (Noh et al. 2014; Okoye et al. 2009) sehingga baik jika digunakan sebagai kriteria seleksi menuju sawit dengan kuantitas daya hasil yang lebih baik.
Perumusan Masalah Walaupun peta quantitative trait loci (QTL) pada kelapa sawit telah banyak ditemukan, namun peta tersebut hanya berlaku pada populasi yang diuji dan memerlukan pengujian jika akan digunakan pada populasi dengan latar belakang genetik yang berbeda. Xie et al. (2008) menyatakan bahwa QTL dipengaruhi oleh latar belakang genetik, namun terdapat penanda yang stabil pada beberapa latar belakang genetik dan dapat digunakan dalam seleksi. Liao et al. (2001) mengungkapkan bahwa QTL dapat saling bertukar akibat latar belakang genetik populasi yang diuji. Wang et al. (2014) menyatakan bahwa ekspresi QTL untuk hasil dan komponen hasil sangat dipengaruhi oleh latar belakang genetik dari populasi yang diuji. Penanda genetik yang dapat membedakan suatu karakter pada berbagai populasi dengan latar belakang genetik yang berbeda dapat dikatakan sebagai penanda genetik yang handal. Pada penelitian ini dilakukan asosiasi penanda mikrosatelit atau simple sequence repeat (SSR) dengan karakter jumlah tandan (JT) dan bobot tandan rataan (BTR) pada populasi kelapa sawit Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS). Penanda SSR yang digunakan berdasarkan peta QTL yang telah dibuat oleh Billotte et al. (2010) berdasarkan populasi persilangan antara Dura Deli x Tenera LaMe’ dan Dura Deli x Tenera Yangambi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan penanda SSR yang berasosiasi dengan jumlah tandan dan bobot tandan rataan pada populasi Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS).
Hipotesis Penelitian ini memvalidasi beberapa penanda SSR yang berasosiasi dengan JT dan BTR dari populasi lain yang sama tetua betinanya, yaitu Dura Deli. Berdasarkan adanya kesamaan tersebut maka dihipotesiskan terdapat minimal satu penanda SSR yang berasosiasi dengan karakter JT dan/atau BTR pada populasi Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS).
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (E. guineensis) saat ini telah banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan minyaknya baik dari daging buahnya maupun dari kernelnya. Pembudidayaan yang pesat terhadap tanaman ini terjadi di daerah ekuator, yaitu di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Tengah. Tanaman ini berasal dari daerah yang terletak antara Guinea dan Angola, Afrika Tengah. Terdapat tiga hal yang memperkuat pendapat ini, yang ditinjau dari sejarah, bahasa, dan geologi (Mansjoer 1980). Tumbuhan kelapa sawit ditemukan di sepanjang pantai di belahan Utara Senegal melalui Sierra Leone, Liberia, Pantai Gading, Ghana, Togo, Benin, Nigeria, Kamerun, Republik Rakyat Kongo, Angola sampai di belahan Selatan Republik Demokratik Kongo. Area tersebut sedikit berada di Afrika Barat namun lebih menyebar di Afrika Tengah yang terpusat di hutan tropis Nigeria, Kamerun, Kongo dan Angola sehingga area tersebut menjadi pusat asal dan persebaran kelapa sawit (Corley dan Tinker 2003). Penyebaran tanaman kelapa sawit dari Afrika bermula dari pengumpulan biji kelapa sawit di Afrika oleh pedagang Eropa dan ditanam di Amsterdam Botanic Garden, Belanda. Kelapa sawit masuk ke negara Indonesia, yaitu pada masa penjajahan Belanda di tahun 1848 dengan adanya pemindahan tanaman tersebut ke Kebun Raya Bogor. Empat tanaman kelapa sawit tipe Dura ditanam di Bogor yang kemudian menjadi stok bibit untuk perkembangan industri kelapa sawit dunia.
Botani Kelapa Sawit Klasifikasi tanaman kelapa sawit dalam sistem kekerabatan atau taksonomi adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Kelapa sawit merupakan tanaman palma monoesius yang termasuk dalam subfamili Cocoidae bersama dengan tanaman kelapa. Tanaman ini berasal dari Afrika dan Amerika. Genus Elaeis terdiri dari empat spesies yang telah dideskripsikan, yaitu E. guineensis, E. oleifera, E. odora, dan E. madagascariensis. E. oleifera dan E. odora dapat dijumpai di Amerika Selatan sebagai daerah asal dari kedua spesies tersebut, sedangkan E. guineensis dan E. madagascariensis berasal dari Afrika (Latiff 2000; Corley dan Tinker 2003). Spesies penghasil minyak dari genus Elaeis, adalah E. guineensis dan E. oleifera. Spesies yang umum dibudidayakan di Asia Tenggara adalah E. guineensis sedangkan E. oleifera dibudidayakan di Amerika latin. E guineensis dikenal sebagai kelapa sawit komersial yang memiliki
4 keunggulan utama pada kandungan minyak mentah atau crude palm oil (CPO) yang tinggi namun kandungan asam lemak tak jenuh (oleat, linoleat dan linolenat) sangat rendah antara 40% sampai 60%. Sedangkan E. oleifera memiliki kandungan CPO sangat rendah, tetapi memiliki persentase asam lemak tak jenuh sangat tinggi antara 70% sampai 83% dan pertumbuhan batang yang lambat (Irwansyah 2004). Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis dengan rataan suhu minimum antara 20 oC sampai 23 oC dan suhu maksimum antara 28 oC sampai 32 oC, curah hujan sebanyak 2 000 mm per tahun, serta panjang penyinaran minimum 5 jam per hari. Kelembaban atmosfir dan konsentrasi CO2 yang tinggi juga diduga menjadi faktor sangat penting untuk pertumbuhan kelapa sawit (Latiff 2000; Henson dan Chang 2000). Kelapa sawit dibudidayakan pada ketinggian lahan antara 0 sampai 600 mdpl dan tumbuh baik pada rentang pH tanah antara 4.0 sampai 6.5 dengan pH optimum 5.0 sampai 5.5. Keragaman genetik kelapa sawit cukup tinggi akibat sifat reproduksinya yang menyerbuk silang dengan bantuan serangga atau angin. Beberapa fenotipe berkaitan dengan hasil panen yang diwariskan secara monogenik antara lain karakter warna eksokarp dan ketebalan cangkang biji. Kedua karakter ini merupakan karakter utama penciri kelompok genotipe yang berkaitan dengan daya hasil. Karakter warna berhubungan dengan kualitas panen, yaitu kandungan karotenoid. Sedangkan karakter ketebalan biji berhubungan dengan proporsi kandungan CPO (Latiff 2000). Berdasarkan ketebalan cangkang buah, E. guineensis terbagi dalam tiga tipe, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera. Kelompok Dura (DD) memiliki cangkang tebal, dengan ketebalan antara 2 sampai 8 mm, kandungan mesokarp rendah sampai menengah dari kisaran 35% hingga 55%, di bagian luar tidak terdapat lingkaran sabut. Tenera (Dd) memiliki ketebalan cangkang antara 0.5 sampai 4 mm dengan kandungan mesokarp menengah sampai tinggi antara 60% sampai 96%, terdapat lingkaran sabut pada bagian luarnya. Sedangkan Pisifera (dd) memiliki ketebalan cangkang sangat tipis, bunga betina steril, buah gugur prematur, serta memiliki rasio organ reproduksi (sex ratio) lebih tinggi dibandingkan dengan Dura dan Tenera (Latiff 2000; Corley dan Tinker 2003). Pertumbuhan awal kelapa sawit setelah tahap bibit melibatkan pembentukan batang basal yang besar tanpa pemanjangan internodus. Sangat sedikit pertambahan tinggi tanaman pada tiga tahun pertama. Pada mulanya internodus mulai memanjang dan terbentuk batang columnar. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah tua, nodus diindikasikan dengan bekas luka daun secara eksternal, namun secara internal tidak terdapat batas antara internodus yang berdekatan (Corley dan Tinker 2003). Tanaman kelapa sawit dewasa terdiri atas 30 sampai 50 daun. Pada budidayanya, daun tua akan dipangkas. Susunan daun yang disebut sebagai aksis dari tanaman kelapa sawit dikenal sebagai filotaksis. Jika dilihat dari atas tanaman, susunan daun membentuk pola berbentuk segitiga yang tidak beraturan (Corley dan Tinker 2003). Pada kondisi drainase yang baik, akar kelapa sawit dapat mencapai jarak horizontal 16 m dan jarak vertikal 8 m. Akar sekunder berkembang dari akar primer dan akar tersier berkembang dari akar sekunder membentuk jaringan sistem perakaran. Absorpsi akar pada radius 3.5 sampai 4.5 m di sekitar pohon
5 dengan tanpa jaringan lignin pada ujung akar primer, sekunder dan tersier (Corley dan Tinker 2003). Tanaman kelapa sawit memiliki tipe pembungaan berumah satu. Bunga jantan dan betina terpisah pada tanaman yang sama. Akan tetapi, investigasi yang rinci pada bunga menunjukkan bahwa masing-masing primordial bunga termasuk organ jantan dan betina mampu menghasilkan bunga hermaprodit. Calon bunga mulai berinisiasi di dalam ketiak pada setiap daun tetapi beberapa tandan bunga gugur sebelumnya. Sebuah tandan bunga betina memiliki sekitar 250 spikelet dan masing-masing spikelet dapat memiliki antara 12 sampai 30 bunga. Tandan bunga jantan terdiri dari sekitar 100 000 bunga. Sebagian besar polen menghasilkan serbuk antara dua hingga empat hari setelah membuka dan polen menjadi viabel setelah enam hari (Corley dan Tinker 2003). Polinator atau hewan penyerbuk utama pada kelapa sawit adalah serangga dari subfamily Derelominae, yaitu spesies Elaeidobius kamerunicus yang ditemukan di Kamerun dan sedikit di Malaysia. Selain itu juga terdapat penyerbuk yang lain, yaitu angin, hujan, serangga Thrips hawaiiensis dan Mystrops costaricensis. Introduksi E. kamerunicus sebagai penyerbuk utama di Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan Colombia mampu meningkatkan hasil hingga 35% (Corley dan Tinker 2003).
Pemuliaan Tanaman Kelapa Sawit Peningkatan kualitas dan potensi daya hasil bahan tanam dilakukan melalui bidang pemuliaan. Metode yang umum digunakan dalam pemuliaan tanaman kelapa sawit adalah seleksi berulang timbal balik atau Reciprocal Recurrent Selection (RRS). Metode RRS berlangsung selama 19-20 tahun dalam satu siklus seleksinya (Wong dan Bernardo 2008; Cros et al. 2015), dan penyeleksian tanaman secara umum dilakukan berdasarkan karakter fenotipik. Penggunaan karakter fenotipik dalam kriteria seleksi menyebabkan kegiatan seleksi harus menunggu karakter tersebut terekspresi sehingga dapat diamati. Seperti pada karakter terkait kualitas dan kuantitas buah yang dapat diamati pada tanaman yang telah berumur sekitar 4 tahun setelah penyemaian kecambah. Selain itu, analisis tandan buah dapat dilakukan ketika tanaman kelapa sawit berumur sekitar 7-8 tahun dan analisis ini membutuhkan 3-5 tandan buah per tanaman (Rao et al. 1983). Pemuliaan tanaman kelapa sawit secara konvensional menggunakan karakter fenotipik sebagai kriteria seleksi. Hal ini menyebabkan proses pemuliaan tanaman kelapa sawit relatif lama. Namun seiring dengan perkembangan bidang bioteknologi pada kelapa sawit, dapat diterapkan seleksi tanaman yang diiringi dengan penggunaan penanda molekuler sebagai karakter genotipik. Karakter ini dapat diamati kapan dan pada bagian tanaman mana pun, karena pengamatannya berdasarkan urutan basa nitrogen dalam set kromosom. Penerapan seleksi tanaman yang dibantu penanda molekuler dapat mempersingkat waktu yang diperlukan pada siklus seleksi. Penyingkatan waktu terjadi dengan meniadakan proses uji progeni sehingga seleksi dapat dipersingkat dari 19-20 tahun menjadi hanya sekitar 6 tahun per siklus seleksi.
6 Penanda Molekuler pada Kelapa Sawit Penanda molekuler berbasis DNA sebagai karakter genotipik mempunyai akurasi yang tinggi dibandingkan dengan penanda fenotipik karena tidak terpengaruh dengan lingkungan. Selain itu penanda ini dapat dilakukan pada semua stadia pertumbuhan tanaman dan sangat membantu dalam program pemuliaan karena dapat mereduksi waktu dalam tahap seleksi. Pada tanaman lain telah dilakukan seleksi yang dibantu dengan penanda molekuler atau marker-assisted selection (MAS). Efisiensi dan perlunya penggunaan MAS pada tiap program pemuliaan tanaman tentu berbeda, namun penggunaan MAS pada program pemuliaan tanaman buah dapat dilakukan, berdasarkan genetik dan efisiensi ekonomi (Luby dan Shaw 2001). Pada pemuliaan tanaman tomat (Solanum lycopersicum L.) toleran cekaman salinitas berhasil diperoleh genotipe dengan peningkatan bobot buah total yang ditanam di tanah salin dengan memanfaatkan satu buah QTL, TG24 (Monforte et al. 1996). Pada pemuliaan tanaman gandum Durum (Triticum turgidum L.) toleran cekaman salinitas juga diperoleh genotipe dengan peningkatan hasil sebesar 25% yang ditanam di tanah salin dengan memanfaatkan dua buah QTL, Nax1 dan Nax2 (Munns et al. 2000). Pada pemuliaan tanaman apel (Malus x domestica Borkh.) diperoleh 8 dari 95 genotipe dengan kandungan etilen rendah memanfaatkan dua buah QTL, Md-ACS1 dan Md-ACO1 (Zhu dan Barritt 2008). Pada tanaman kelapa sawit belum ditemukan literatur terkait penggunaan MAS dalam program pemuliaan tanamannya, namun telah banyak penelitian yang menggunakan penanda molekuler dari studi keragaman populasi hingga pencarian penanda yang berasosiasi dengan karakter fenotipik penting yang dapat digunakan dalam MAS. Penanda molekuler yang digunakan pada kelapa sawit, seperti isoenzim, Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Simple Sequence Repeats (SSR), dan Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Beberapa penelitian telah dilakukan pada kelapa sawit menggunakan penanda molekuler, baik untuk studi keragaman genetik, profil sidik jari DNA, studi kestabilan genetik, maupun pembuatan peta QTL. Purba et al. (2000) melakukan studi keragaman genetik kelapa sawit Indonesia menggunakan penanda isoenzim dan AFLP. Billotte et al. (2001) melakukan penelitian keragaman genetik kelapa sawit pada genus Elaeis menggunakan penanda SSR. Barcelos et al. (2002) meneliti hubungan dan keragaman genetik antara kelapa sawit asal Amerika dan Afrika menggunakan penanda RFLP dan AFLP. Irwansyah (2004) berhasil mengidentifikasi delapan QTL yang eksisten terhadap lima peubah komponen kualitas minyak menggunakan penanda RAPD. Toruan-Mathius et al. (2005) menganalisis genotipe normal dan abnormal klon-klon kelapa sawit menggunakan penanda AFLP. Thawaro dan Te-chato (2008) melakukan verifikasi hibrida kelapa sawit dari kultur embrio zigotik setengah dewasa menggunakan penanda RAPD. Singh et al. (2008) menggunakan penanda RFLP yang berasal dari klon-klon cDNA yang dibuat dari analisis genom kelapa sawit untuk menguji 321 kelapa sawit Tenera hasil selfing. Singh et al. (2009) berhasil memperoleh penanda yang
7 berasosiasi dengan karakter komposisi asam lemak menggunakan penanda RFLP, AFLP, dan SSR. Zulhermana et al. (2010) menguji keragaman genetik ramet hasil kultur jaringan kelapa sawit klon Pisifera asal Nigeria menggunakan penanda SSR, dan ditunjukkan adanya variasi somaklonal dengan perubahan susunan SSR dari ortet ke ramet. Hairinsyah (2010) melakukan studi keragaman genetik 10 genotipe Tenera pada dua lokasi yang berbeda yang dikaitkan dengan faktor produksi, yaitu jumlah tandan dan berat tandan menggunakan penanda SSR. Hatorangan et al. (2010) membuat profil sidik jari DNA ortet kelapa sawit sebagai sumber eksplan perbanyakan klonal menggunakan penanda SSR. Ajambang et al. (2012) melakukan studi keragaman genetik populasi kelapa sawit liar asal Kamerun sebanyak 39 aksesi menggunakan penanda SSR. Artutiningsih (2012) melaporkan analisis kestabilan genetik ortet kelapa sawit Tenera dan klon-klon turunannya pada 90 tanaman yang berasal dari 10 genotipe menggunakan penanda SSR. Jeennor dan Volkaert (2014) melakukan pemetaan QTL dan berhasil memperoleh 16 QTL yang diduga mempengaruhi beberapa karakter penting terkait hasil minyak dengan menggunakan penanda SSR dan SNP. Ukoskit et al. (2014) menemukan penanda yang berasosiasi dengan rasio seks dan tersebar pada enam kelompok keterpautan menggunakan penanda AFLP dan SSR. Sayekti et al. (2015) menguji keragaman genetik plasma nutfah asal Angola menggunakan penanda SSR. Lee et al. (2015) melakukan pemetaan QTL terkait tinggi tanaman menggunakan penanda SSR dan SNP, dan diperoleh satu QTL mayor dan tujuh QTL minor yang berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Teh et al. (2016) memperoleh 80 penanda SNP yang berasosiasi dengan karakter rasio minyak terhadap mesokarp.
Perbandingan Penanda SSR dengan Penanda Lain SSR merupakan sekuen nukleotida berulang yang berukuran paling besar dalam genom eukariot (Delseny et al. 1983). SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi dan keragaman hasil yang rendah pada beberapa pengulangan atau dengan kata lain dapat diulang (Amos et al. 1996). SSR dapat menunjukkan pola pewarisan sifat ko-dominan, yang dapat membedakan genotipe homozigot dengan heterozigot secara spesifik (satu lokus dari tiap pasang primer). Jika dibandingkan dengan penanda RAPD, RFLP, dan AFLP, penanda SSR memiliki tingkat polimorfisme yang lebih tinggi (Powell et al. 1996). Namun jika dibandingkan dengan penanda SNP, penanda SSR lebih sesuai untuk analisis keragaman dan sidik jari DNA (Varshney et al. 2007). SSR tersedia cukup banyak dalam genom tanaman (Tabel 1). Tingkat polimorfismenya lebih tinggi dibandingkan dengan penanda RFLP. Pewarisannya bersifat ko-dominan ketika penanda RAPD dan AFLP bersifat dominan. Tingkat kerumitan atau kompleksitas tekniknya yang cukup mudah. Di samping itu penggunaan biaya yang hanya tinggi pada tahap awal jika dibandingkan dengan SNP yang berbasis sequencing.
8 Tabel 1 Perbandingan beberapa penanda molekuler (Park et al. 2009) Perbedaan
RFLP
RAPD
AFLP
SSR
SNP
Ketersediaan
sedang
sangat banyak
sangat banyak
banyak
sangat banyak
Tipe polimorfisme
perubahan perubahan perubahan panjang basa tunggal, basa tunggal, basa tunggal, pengulangan insersi, insersi, insersi, delesi, delesi, delesi, inversi inversi inversi
perubahan basa tunggal
Kualitas DNA
tinggi
sedang
tinggi
sedang
sedang
Informasi sekuen DNA
tidak perlu
tidak perlu
tidak perlu
perlu
perlu
Tingkat polimorfisme
sedang
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi
ko-dominan
dominan
dominan
ko-dominan
ko-dominan
Reproduktifitas
tinggi
rendah
sedang
tinggi
tinggi
Kerumitan teknik
tinggi
rendah
sedang
rendah
sedang
Biaya
tinggi
rendah
rendah
tinggi di awal
tinggi
Penggunaan ke spesies lain
sedang
tinggi
tinggi
sedang
rendah
Otomatisasi
rendah
sedang
sedang
tinggi
tinggi
Pewarisan
9
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari hingga Desember 2015. Penelitian ini terdiri atas analisis populasi, identifikasi penanda SSR, dan analisis asosiasi penanda SSR dengan karakter JT dan BTR. Selain pengambilan bahan tanam sebagai sumber asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic acid (DNA), kegiatan lainnya dilaksanakan di Plant Production and Biotechnology Division, PT SMART Tbk, Sentul.
Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS) yang ditanam tahun 2004 di Kebun Percobaan (uji progeni) Kelapa Sawit Padang Halaban, Sumatera Utara. Populasi ini dipilih karena telah memiliki data produksi yang lengkap selama enam tahun pengamatan, yaitu dari tahun 2007 hingga 2012.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas tiga kegiatan, yaitu analisis populasi, identifikasi penanda SSR, dan analisis penanda SSR yang berasosiasi dengan karakter uji (Gambar 1).
Analisis Populasi Pemilihan tanaman dilakukan berdasarkan data sekunder yang berisi informasi dan data fenotipik dari seluruh tanaman Tenera pada populasi uji progeni. Berdasarkan data, populasi tersebut terdiri atas 5 426 tanaman Tenera yang terkelompok dalam 145 progeni. Banyaknya tanaman tetua persilangan dalam membentuk populasi Tenera ini berjumlah 25 famili Dura dan 22 Pisifera. Karakter komponen hasil yang dijadikan kriteria seleksi dalam penelitian adalah JT dan BTR yang dipanen dalam satu tahun. Pemilihan tanaman diawali dengan dilakukannya observasi sebaran dan keragaman data 5 426 Tenera menggunakan statistik deskriptif dan analisis sidik ragam berdasarkan famili Dura. Selanjutnya dilakukan pengelompokan Tenera berdasarkan famili Dura. Hal ini dilakukan karena karakter komponen hasil seperti JT dan BTR lebih dipengaruhi oleh Dura sebagai tetua betina. Selain itu, setelah diperoleh penanda SSR yang berasosiasi pada populasi Tenera maka asosiasi juga dapat dilakukan pada tetua Dura karena pada populasi Dura dapat diamati karakter komponen hasil. Berbeda dengan populasi Dura, populasi Pisifera cenderung diarahkan untuk tidak membentuk bunga betina dan digunakan sebagai tanaman sumber polen.
10
Analisis Asosiasi
Identifikasi Penanda
Analisis Populasi
P1 25 Dura
22 Pisifera P2
F1
5 426 Tenera Tenera untuk asosiasi JT berdasarkan pada JT yang rendah dan tinggi
Tenera untuk asosiasi BTR berdasarkan pada BTR yang rendah dan tinggi
SSR berasosiasi dengan JT pada populasi yang beda latar belakang genetik
SSR berasosiasi dengan BTR pada populasi yang beda latar belakang genetik
Validasi Penanda Asosiasi SSR dengan JT
Validasi Penanda Asosiasi SSR dengan BTR
SSR berasosiasi dengan JT dan BTR pada populasi Dura Deli x Pisifera AVROS
P1: tetua betina, P2: tetua jantan, JT: jumlah tandan, BTR: bobot tandan rataan, SSR: simple sequence repeat Gambar 1 Ruang lingkup analisis asosiasi pada populasi kelapa sawit uji dari persilangan Dura Deli dan Pisifera AVROS Pemilihan Tenera dilakukan berdasarkan karakter JT atau BTR pada tiap kelompok Tenera berdasarkan famili Dura. Pada masing-masing karakter dipilih beberapa tanaman dengan JT atau BTR terendah dan tertinggi. Hasil pemilihan tanaman membentuk dua kelompok dengan nilai JT atau BTR yang rendah dan tinggi. Statistik deskriptif dan uji t dilakukan terhadap populasi Tenera hasil pemilihan.
Identifikasi Penanda SSR Penanda mikrosatelit atau SSR yang digunakan dalam analisis asosiasi ini merupakan penanda yang diduga memiliki asosiasi dengan karakter JT dan/atau BTR pada populasi lain yang berbeda latar belakang genetik. Berdasarkan peta
11 QTL yang dibuat oleh Billotte et al. (2010), diperoleh 18 penanda yang diduga berasosiasi dengan JT dan/atau BTR (Tabel 2). Tabel 2 Penanda SSR yang digunakan dalam analisis asosiasi tanaman kelapa sawit Karakter
LG
penanda SSR
Karakter LG
penanda SSR
JT
1 4
mEgCIR0380 a mEgCIR0801 mEgCIR2577 mEgCIR2433 b mEgCIR0037 mEgCIR0781 mEgCIR3534 mEgCIR3718
BTR
mEgCIR0380 a mEgCIR3428 mEgCIR0408 mEgCIR2595 mEgCIR3160 mEgCIR0195 mEgCIR0804 mEgCIR2387 mEgCIR3672 mEgCIR2433 b mEgCIR0782 mEgCIR3750
12 15
1 2 4 6 7 12 16
a,b = penanda yang sama pada karakter berbeda; LG = linkage group sumber : Billotte et al. (2010)
Analisis Laboratorium Sumber DNA adalah daun muda dari pelepah ketiga. Dipilih pelepah ketiga karena daun lebih bersih dan lunak dibandingkan dengan daun pada pelepah di bawahnya sehingga mempermudah proses isolasi DNA. Selain itu juga lebih mudah pengambilannya dibandingkan dengan pelepah di atasnya. Karakterisasi genotipik terdiri dari tujuh tahapan kerja, yaitu isolasi DNA, pengujian kualitas dan kuantitas DNA, penyamaan konsentrasi DNA, amplifikasi DNA, pengujian hasil PCR, fragmentasi DNA dan diakhiri dengan skoring hasil fragmentasi. Isolasi DNA dilakukan menggunakan metode Nucleospin Plant IITM (Macherey-Nagel 2014). Langkah-langkah dalam metode tersebut terdiri atas penggerusan sampel, lisis sel, penyaringan lisat, pengikatan DNA dengan membran, pencucian membran yang mengikat DNA, dan elusi DNA (Gambar 2). Penentuan kualitas DNA hasil isolasi dilakukan menggunakan teknik elektroforesis horizontal dengan gel agarosa. Teknik tersebut digunakan untuk mengkonfirmasi kemurnian DNA (Sambrook et al. 1989). Gel agarosa disiapkan dengan konsentrasi 1% (0.8 g agarosa dalam 80 mL TAE 1x untuk gel besar atau 0.4 g Agarosa dalam 40 mL TAE 1x untuk gel kecil). Sumur berukuran kecil dibuat di dalam gel dengan menggunakan sisir untuk memungkinkan dimasukkannya 3 µL DNA genom yang telah dicampur dengan 1 µL GelRed 1000x. Elektroforesis dijalankan selama 30 menit untuk gel besar atau 25 menit untuk gel kecil pada tegangan 100 V. Kemudian gel dimasukkan dalam alat transluminator UV Gel DocTM Universal Hood 76S/09155 untuk melihat pita genom yang terbentuk.
12 Penggerusan sampel 100 mg bobot basah daun gerus dalam mortar porselen dengan Nitrogen cair Lisis sel 400 µL bufer PL1 (SDS) 10 µL larutan RNAse A, inkubasi 10 menit suhu 65 °C Penyaringan lisat Lisat dimasukkan ke dalam Filter NucleoSpin TM (cincin ungu) sentrifugasi 2 menit dengan kecepatan 11 000 x g Pengikatan DNA supernatan ditambah 450 µL bufer PC, homogenisasi supernatan supernatan dimasukkan ke Filter NucleoSpin Plant II TM (cincin hijau) sentrifugasi 1 menit dengan kecepatan 11 000 x g Pencucian membran 400 µL bufer PW1 sentrifugasi 1 menit pada 11 000 x g 700 µL bufer PW2 sentrifugasi 1 menit pada 11 000 x g 200 µL bufer PW2 sentrifugasi 2 menit pada 11 000 x g Elusi DNA Column cincin hijau ditempatkan dalam tabung baru 50 µL bufer PE, inkubasi 5 menit suhu 65 °C 2x sentrifugasi 1 menit pada 11 000 x g Gambar 2 Proses isolasi DNA kelapa sawit (Macherey-Nagel 2014)
Penentuan kuantitas atau konsentrasi DNA dilakukan menggunakan Nanodrop 2000c (Thermo Scientific) spektrofotometer. Larutan yang digunakan sebagai blanko dalam mengukur konsentrasi DNA hasil isolasi adalah larutan yang sama yang digunakan sebagai pelarut DNA, yaitu elute solution (TE) dari kit NucleoSpin Plant II TM. Sebanyak 1 µL larutan DNA tiap genotipe diteteskan pada bagian pedestal (bagian alat untuk meletakkan sampel). Konsentrasi DNA muncul pada layar komputer yang terhubung dalam satuan ng µL-1. Larutan kerja dengan konsentrasi DNA 25 ng µL-1 dibuat melalui pengenceran larutan stok DNA menggunakan buffer TE. Larutan stok DNA disimpan pada freezer untuk penyimpanan jangka panjang. Amplifikasi SSR dilakukan di dalam 96 sumur Veriti Thermal cycler (Applied Biosystem) dengan 15 µL volume reaksi. PCR mix terdiri dari 3 µL DNA genom (25 ng µL-1), 1.5 µL primer forward (5 µmol µL-1), 1.5 µL primer reverse (5 µmol µL-1), 1.5 µL Dream Tag buffer, 1.5 µL dNTPs, 0.12 µL Taq DNA polymerase dan 5.88 µL ddH2O. PCR dijalankan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap denaturasi awal pada suhu 94 °C selama 5 menit. Tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus denaturasi selama 94 °C selama 5 detik, annealing dengan suhu optimum masing-masing penanda selama 30 detik dan
13 ekstensi pada 72 °C selama 50 detik. Tahap ketiga adalah reduksi suhu, berawal dari ekstensi akhir pada 72 °C selama 10 menit menjadi 4 °C. Pengujian keberhasilan PCR dilakukan secara sampling terhadap hasil amplifikasi DNA. Dipilih 3 sampel yang digunakan dalam pengujian. Pengujian ini menggunakan elektroforesis horizontal. Volume DNA yang diuji sebanyak 2.5 µL. Jika pita yang terbentuk jelas maka dapat dilanjutkan ke tahap fragmentasi menggunakan QIAxcel. Fragmentasi hasil PCR dilakukan menggunakan sistem QIAxcel. Prinsip pemisahan DNA pada QIAxcel dilakukan dalam pipa-pipa kapiler yang berisi gel dengan pewarna. Sampel DNA secara otomatis masuk ke dalam kapiler. DNA akan bermigrasi melalui kapiler ke ujung bermuatan positif, dan berinteraksi dengan pewarna dalam gel. Dalam migrasinya, DNA akan melalui detektor yang dapat mendeteksi dan mengukur signal dan kemudian mengubah signal emisi menjadi data elektronik yang selanjutnya akan terlihat sebagai gambar gel (Gambar 3).
Gambar 3 Proses pemisahan DNA kelapa sawit menggunakan sistem QIAxcel (Qiagen 2014)
pada
elektroforesis
Skoring data dilakukan berdasarkan ukuran pasang basa (pb) pita DNA dan ada tidaknya pita DNA hasil amplifikasi dari individu uji. Fragmen DNA yang dihasilkan dari QIAxcel diskor secara manual sebagai data kodominan 1, 2, 3, dst, dan data genotipik a, b, c, dsb. Analisis data menggunakan tiga perangkat lunak, yaitu Power marker v3.15 (Liu dan Muse, 2005), GenAlEx v6.5 (Peakall dan Smouse, 2012), dan SPSS 20. Power marker v3.15 menggunakan data skoring berupa data genotipik sebagai bahan analisis keragaman alelik, tingkat heterozigositas, dan informasi polimorfisme. GenAlEx v6.5 menggunakan data kodominan sebagai bahan analisis variasi molekuler. Sedangkan SPSS 20 dapat menggunakan baik data kodominan maupun genotipik sebagai bahan analisis asosiasi. Tabulasi data untuk perangkat lunak Power marker hanya terdiri atas data genotipik pada tiap penanda SSR yang digunakan. Sedangkan tabulasi data untuk perangkat lunak GenAlEx membutuhkan nomor sampel dan populasi yang menjadi faktor pengelompok, dalam penelitian ini adalah famili Dura sebagai
14 pengelompok. Tabulasi data untuk perangkat lunak SPSS dapat berupa data genotipik seperti pada Power marker (Tabel 3). Individu yang tidak memiliki pita diskor '?' untuk perangkat lunak Power marker atau '999' untuk perangkat lunak GenAlEx dan SPSS. Tabel 3
Tabulasi data molekuler kelapa sawit untuk perangkat lunak Power marker, GenAlEx, dan SPSS
Tabulasi untuk perangkat lunak Power marker SSR1 a/b a/b a/b ..
SSR2 ?/? a/c a/b ..
SSR3 a/a a/b a/b ..
SSR4 ?/? a/a a/a ..
SSR5 b/b b/c b/c ..
SSR6 a/a a/a a/a ..
[Jml pop 1] [pop 1]
[Jml pop 3] [pop 3]
2 2 2 ..
[Jml pop 2] [pop 2] SSR2 999 1 1 ..
SSR4 999 aa aa ..
SSR5 bb bc bc ..
JT 15 17 21 ..
Tabulasi untuk perangkat lunak GenAlEx [Jml lokus] [Jml sampel] Sampel 1 2 3 ..
pop 60 59 14 ..
[Jml pop] SSR1 1 1 1 ..
999 3 2 ..
Tabulasi untuk perangkat lunak SPSS SSR1 ab ab ab ..
SSR2 999 ac ab ..
SSR3 aa ab ab ..
999 dan ?: tidak berpita, pop: populasi, Jml: jumlah, JT: jumlah tandan
Profil Penanda SSR Populasi Sampel Analisis data molekuler meliputi profil hasil karakterisasi penanda SSR, analisis tingkat heterozigositas, analisis polimorfisme, dan analisis variasi molekuler. Keragaman alelik merupakan keragaman yang diukur dari jumlah alel yang terdeteksi, yang dihitung adalah jumlah dan frekuensi alel per lokus. Frekuensi alel merupakan proporsi jumlah suatu alel pada suatu lokus terhadap jumlah keseluruhan alel pada lokus tersebut. Alel pada lokus dapat diklasifikasikan menjadi dua, alel umum yaitu alel dengan frekuensi ≥5% dan alel khusus yaitu alel dengan frekuensi <5% (Marshall dan Brown 1975). Analisis tingkat heterozigositas dapat menunjukkan proporsi genotipe heterozigot yang terdeteksi dari karakterisasi genotipik, dibandingkan dengan genotipe total. Analisis polimorfisme dapat menunjukkan beragamnya alel yang diperoleh di tiap lokus dan ditunjukkan dengan nilai polymorphism information content (PIC). Nilai PIC yang semakin tinggi menunjukkan semakin informatif lokus tersebut dalam menjelaskan keragaman alelnya. Analisis variasi molekuler mampu menunjukkan pengaruh faktor pengelompok, dalam penelitian ini adalah famili Dura, terhadap keragaman data molekuler yang diperoleh.
15 Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Karakter JT dan BTR Asosiasi antara penanda molekuler dengan karakter fenotipik dapat dilakukan menggunakan metode analisis satu penanda (single marker analysis) (Champoux et al. 1995). Data genotipik hasil skoring digabungkan dengan data JT atau BTR, selanjutnya data dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS 20. Metode ini dilakukan menggunakan sidik ragam (Tabel 4). Tabel 4 Tabel sidik ragam analisis satu penanda pada analisis asosiasi tanaman kelapa sawit Sumber keragaman Penanda SSR Galat Total terkoreksi
Derajat bebas (db) db-ssr = kombinasi alel - 1 db-g = genotipe berpita kombinasi alel db-t = genotipe berpita -1
Jumlah kuadrat (JK) JK-ssr JK-g
Kuadrat tengah (KT) KT-ssr = JK-ssr db-ssr
F hitung KT-ssr KT-g
KT-g = JK-g db-g
JK-t
Sumber keragaman berupa penanda SSR dan merupakan kombinasi alel tiap tanaman (aa, ab, ac, bb, bc, dst) yang diperoleh dari hasil skoring. Penanda SSR dianggap sebagai peubah bebas (X). Data fenotipik JT atau BTR dianggap sebagai peubah tidak bebas (Y). Penanda SSR dinyatakan berpengaruh nyata terhadap keragaman data JT atau BTR ketika nilai F hitung penanda SSR lebih besar atau sama dengan (≥) nilai F tabel pada α 5%, dan dinyatakan sangat nyata jika ≥ nilai F tabel pada α 1%. Sidik ragam dilakukan terhadap masing-masing penanda SSR. Model linear dari tiap sidik ragam adalah Yij = µ + Xi + εij dengan Yij = peubah JT atau BTR pada genotipe ke-i dan repetisi ke-j, µ = rataan umum, Xi = pengaruh genotipe ke-i, dan εij = pengaruh lingkungan. Selain sidik ragam, dilakukan pembuatan boxplot untuk tiap genotipe (aa, ab, ac, bb, bc, dst) dari tiap lokus sehingga lebih dapat memberikan informasi terkait perbedaan JT atau BTR masing-masing genotipe di tiap lokus.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Populasi Populasi uji progeni memiliki keragaman JT dan BTR yang cukup tinggi dan merupakan rataan dari umur tanaman 3 hingga 8 tahun. JT terdistribusi dari 1 hingga 31 tandan per tanaman per tahun dengan rataan sebesar 16.5 ± 3.9 tandan. BTR terdistribusi dari 1 hingga 20 kg per tandan dengan rataan sebesar 9.8 ± 1.8 kg. Kurva sebaran data JT dan BTR menjulur ke kiri dan datar dengan nilai kurtosis masing-masing karakter sebesar 1.8 dan 2.2 (Gambar 4).
Gambar 4 Sebaran data JT dan BTR populasi uji progeni kelapa sawit
Famili Dura sebagai faktor pengelompok dalam pemilihan Tenera memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap keragaman data JT dan BTR (Lampiran 2). Hal ini cukup mendukung metode pemilihan tanaman Tenera yang diterapkan berdasarkan famili Dura. Mandal dan Mathur (2015) menunjukkan bahwa besarnya JT dan BTR antara Tenera dan Dura tidak begitu berbeda, sedangkan Pisifera memiliki JT dan BTR yang jauh lebih rendah. Populasi sampel terkelompok secara signifikan menjadi dua, yaitu tanaman dengan JT atau BTR rendah dan tanaman dengan JT atau BTR tinggi (Gambar 5).
17 Secara keseluruhan, populasi sampel JT terdiri dari 76 tanaman dan JT terdistribusi dari 6 hingga 29.2 tandan per tanaman per tahun. Sedangkan populasi sampel BTR terdiri dari 90 tanaman dan BTR terdistribusi dari 5.7 hingga 15.2 kg per tandan. Rataan JT dan BTR populasi ini menjadi lebih tinggi dari populasi uji progeni, yaitu dari 16.5 ± 3.9 menjadi sebesar 18.1 ± 7.1 tandan per tanaman per tahun dan 9.8 ± 1.8 menjadi sebesar 10.6 ± 2.8 kg per tandan. Terbentuknya dua kelompok tanaman pada sebaran populasi sampel merupakan implikasi dari metode pemilihan tanaman yang sengaja dipilih dengan JT atau BTR rendah dan tinggi pada tiap famili Dura.
**: nyata pada α 1%
Gambar 5
Sebaran data JT dan BTR yang rendah dan tinggi dari populasi kelapa sawit Tenera terpilih
Signifikansi perbedaan JT dan BTR antara kelompok yang terbentuk sangat diperlukan pada analisis asosiasi. Pada karakter JT, kelompok tanaman yang tergolong rendah terdiri dari 34 tanaman dengan rataan sebesar 10.7 ± 2.2 tandan per tanaman per tahun, sedangkan kelompok tanaman yang tergolong tinggi terdiri dari 42 tanaman dengan rataan sebesar 24.2 ± 2 tandan per tanaman per tahun. Pada karakter BTR, kelompok tanaman yang tergolong rendah terdiri dari 39 tanaman dengan rataan sebesar 7.6 ± 0.9 kg per tandan, sedangkan kelompok tanaman yang tergolong tinggi terdiri dari 51 tanaman dengan rataan sebesar 12.8 ± 1.3 kg per tandan.
18 Identifikasi Penanda SSR Hasil amplifikasi DNA menggunakan 18 penanda SSR menunjukkan terdapat dua penanda yang hanya menghasilkan satu pita dan monomorfis, yaitu mEgCIR0380 dan mEgCIR2433 (Tabel 5). Kedua penanda ini digunakan pada populasi sampel JT dan BTR. Profil 16 penanda lainnya memiliki jumlah alel yang relatif sedikit, berkisar dari 2 hingga 4 alel dengan rataan sebesar 2.3 alel per lokus (Tabel 6). Jumlah alel terbanyak diperoleh dari penanda mEgCIR3534 pada populasi sampel JT (Gambar 6) dan mEgCIR0782 pada populasi sampel BTR.
Gambar 6 Skoring pita hasil fragmentasi QIAxcel dari empat individu kelapa sawit Tenera pada penanda mEgCIR3534 Keragaman alelik pada penelitian ini relatif rendah. Beberapa penelitian yang menggunakan populasi persilangan juga menunjukkan keragaman alelik yang serupa. Hairinsyah (2010) menunjukkan bahwa rataan jumlah alel pada populasi DxT adalah sebesar 2.6 alel per lokus. Solin et al. (2014) menyatakan bahwa rataan jumlah alel tertinggi pada populasi DxP adalah sebesar 2.9 alel per lokus. Sayekti (2014) melaporkan bahwa rataan jumlah alel pada populasi kelapa sawit DxP, D, dan P adalah sebesar 3.6 alel per lokus. Cahyono (2015) memperoleh jumlah alel maksimal sebesar 4 alel pada populasi DxP. Pada plasma nutfah liar keragaman alelik cenderung lebih besar. Sayekti et al. (2015) melaporkan bahwa rataan jumlah alel yang muncul dari populasi plasma nutfah liar asal Angola adalah sebesar 5.1 alel per lokus. Thongthawee et al. (2010) juga melaporkan bahwa rataan jumlah alel dari kumpulan beberapa plasma nutfah liar sebesar 8 alel per lokus. Keragaman alelik populasi persilangan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan plasma nutfah liar. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan populasi persilangan dari tetua yang sudah lama terfiksasi melalui kegiatan seleksi yang intensif dari masa ke masa. Kegiatan pemuliaan Pisifera AVROS dilakukan oleh Perhimpunan pengusaha perkebunan karet di Pantai Timur Sumatra atau Algemene Vereniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS) sejak tahun 1921. Sedangkan kegiatan pemuliaan Dura Deli yang dilakukan di Dabou, Deli sejak tahun 1924 (Corley dan Tinker 2003). Hal ini dapat menyebabkan menghilangnya alel tertentu pada proses penyeleksian tanaman dari generasi ke generasi. Arias et al. (2012) menunjukkan penurunan alel yang signifikan pada populasi DxP dibandingkan dengan populasi liar.
19 Tabel 5 Profil penanda SSR dalam analisis asosiasi tanaman kelapa sawit Lokus
Motif
Sekuen primer (5'-3')
Suhu Annealing Polimorfisme (oC) 52 Monomorfik
mEgCIR0380 (gt)11
F:gctcggtacgcttgtttc
mEgCIR0801 (ga)22
R:tgttgatgggcatagaatagta F:tcacctactggttggcaggt
58
Polimorfik
mEgCIR2577 (ga)16
R:gaagcttagacgatggcagg F:gtgtaccatccaccatgcag
58
Polimorfik
R:tggtagtgatttgagcggtg mEgCIR2433 (ga)9
F:cacccttatgcccatccacc R:tctcgagctcctatccgtgg
58
Monomorfik
mEgCIR0037 (ag)18
F:ggtatttgggggaggtccag R:ttaacctccaggcctttgacc
53
Polimorfik
mEgCIR0781 (ga)17
F:gctgatttcacccctccctac R:gccttctgatgtccgtgtgta F:acgcgtcttggatacctctc R:agcatgccgattaaggatccag F:tacttgctaagctctctagc R:caggttctctgtaacaccag F:gacagctcgtgatgtaga
58
Polimorfik
58
Polimorfik
58
Polimorfik
52
Polimorfik
44
Polimorfik
F:tcaaagagccgcacaacaag R:actttgctgcttggtgactta F:tccttggaaggaagcagaga R:tgcgtgaacttctaccactgt
50
Polimorfik
60
Polimorfik
mEgCIR0195 (ga)21
F:cccaccacccctagcttctc
52
Polimorfik
mEgCIR0804 (ga)16
R:accccggtccaaataaaatc F:ggagttagtaagttagtgagagaga R:gcgttgtttggatgatg
51
Polimorfik
mEgCIR3534 (ga)16 mEgCIR3718 (ga)21 mEgCIR3428 (ga)15 mEgCIR0408 (ccg)5 mEgCIR2595 (ga)16 mEgCIR3160 (ag)17
R:gttcttggccgctatat F:ttgcggcccatcgtaatc R:tttctccctgtgacgtccct
mEgCIR2387 (ga)11
F:ttggtgagccatttgctaca R:cctccttccacccctctact
52
Polimorfik
mEgCIR3672 (ga)17
F:aaagccattccagactac
44
Polimorfik
R:ctcatagcctttgccgtgt mEgCIR0782 (ga)21
F:catcccaccacctttcatct R:gtcgaaagaagcgagatgct
58
Polimorfik
mEgCIR3750 (ga)16
F:tggatgactggatgttgccg R:ccctcttaattactccttccctcg
58
Polimorfik
F: primer forward, R: primer reverse
20
Tabel 6 Keragaman alelik, heterozigositas, dan PIC 16 penanda SSR pada tanaman kelapa sawit Lokus
Alel
Jumlah alel
Frekuensi alel (%)
Kisaran ukuran (pb)
He
PIC
Karakter JT mEgCIR0801
1 2 3 1 2
20 40 42 82 60
20 39 41 58 42
267-316
0.88
0.56
234-259
0.70
0.37
1 2 1 2 1 2 3 4 1 2
81 47 120 6 20 91 25 4 134 8
63 37 95 5 14 65 18 3 94 6
123-144
0.52
0.36
417-454
0.06
0.09
315-356
0.56
0.48
173-193
0.03
0.10
1 58 34 163-196 2 106 62 3 6 4 mEgCIR0408 1 103 75 197-452 2 35 25 mEgCIR2595 1 106 60 173-204 2 70 40 mEgCIR3160 1 126 77 181-215 2 18 11 3 20 12 mEgCIR0195 1 5 3 252-305 2 156 89 3 15 9 mEgCIR0804 1 144 83 191-286 2 30 17 mEgCIR2387 1 129 75 250-275 2 43 25 mEgCIR3672 1 129 86 160-175 2 21 14 mEgCIR0782 1 94 59 185-243 2 27 17 3 35 22 4 2 1 mEgCIR3750 1 145 83 142-170 2 29 17 He: Heterozigositas, PIC: Polymorphism Information Content
0.75
0.40
0.51
0.31
0.80
0.36
0.28
0.35
0.23
0.19
0.34
0.24
0.50
0.30
0.20
0.21
0.51
0.51
0.33
0.24
mEgCIR2577 mEgCIR0037 mEgCIR0781 mEgCIR3534
mEgCIR3718 Karakter BTR mEgCIR3428
21 Frekuensi alel di seluruh penanda SSR berkisar dari 1% hingga 95%. Jumlah alel dari 16 penanda SSR adalah sebanyak 40 alel. Terdapat 5 alel yang memiliki frekuensi yang rendah atau di bawah 5%, yaitu pada lokus mEgCIR0781, mEgCIR3534, mEgCIR3428, mEgCIR0195 dan mEgCIR0782. Empat dari lima alel tersebut merupakan alel dengan ukuran sekuen terpanjang dalam lokusnya, yaitu alel pada lokus mEgCIR0781, mEgCIR3534, mEgCIR3428 dan mEgCIR0782. Frekuensi dan panjang sekuen dari masingmasing alel tersebut adalah 4.8% (454 pb), 3% (356 pb), 4% (196 pb), dan 1% (243 pb). Alel pada lokus mEgCIR0195 merupakan alel terpendek dengan frekuensi dan panjang sekuen sebesar 3% (252 pb). Hairinsyah (2010) melaporkan bahwa penanda mEgCIR3428 pada populasi uji DxT juga memiliki alel dengan frekuensi yang cukup rendah, yaitu sebesar 18%. Alel-alel dengan frekuensi rendah tersebut (<5%) tergolong dalam alel khusus (Marshall dan Brown 1975). Alel yang memiliki frekuensi rendah dimungkinkan alel tersebut memiliki pengaruh negatif terhadap karakter penting atau memiliki keterpautan dengan lokus tertentu yang berpengaruh terhadap karakter penting. Hal ini menjadikan alel-alel tersebut menghilang selama proses seleksi tanaman dari generasi ke generasi. Jika alel tersebut berpengaruh negatif terhadap JT dan BTR maka kecenderungan tanaman yang memiliki alel khusus tersebut akan memiliki JT dan BTR yang rendah seperti pada lokus mEgCIR3534 dan mEgCIR0782. Namun jika alel tersebut hanya memiliki keterpautan dengan karakter seleksi selain JT dan BTR, maka mungkin saja alel khusus tersebut memiliki pengaruh positif terhadap JT dan BTR seperti pada lokus mEgCIR0781 dan mEgCIR3428. Tingkat heterozigositas seluruh penanda SSR berkisar dari 0.03 hingga 0.88. Terdapat empat lokus dengan tingkat heterozigositas yang relatif tinggi, yaitu pada lokus mEgCIR2577, mEgCIR0801, mEgCIR3428, dan mEgCIR2595 yang masing-masing sebesar 0.70, 0.88, 0.75, dan 0.80. Solin (2014) menunjukkan bahwa penanda mEgCIR0801 pada penelitiannya juga memiliki tingkat heterozigositas yang tinggi, yaitu sebesar 0.88. Hairinsyah (2010) melaporkan bahwa penanda mEgCIR3428 pada penelitiannya juga memiliki tingkat heterozigositas yang tinggi, yaitu sebesar 0.81. Nilai PIC seluruh penanda SSR berkisar dari 0.09 hingga 0.56. Besar kecilnya PIC tersebut terkait dengan frekuensi alel dalam lokusnya sesuai dengan rumus perhitungan PIC pada Spooner et al. (2007). Menurut Mateescu et al. (2005) nilai PIC terkelompok menjadi tiga, yaitu kelompok yang tidak informatif dengan nilai PIC <0.3, cukup informatif dengan nilai 0.3-0.59, dan sangat informatif dengan nilai >0.6. Berdasarkan klasifikasi tersebut, 10 dari 16 penanda SSR yang digunakan tergolong penanda yang cukup informatif, sedangkan yang lainnya tergolong tidak informatif dalam menjelaskan keragaman dari alel yang dimiliki. Lokus menjadi tidak informatif disebabkan jumlah alelnya yang sedikit dan didominasi dengan alel-alel dengan frekuensi yang rendah. Penanda yang memiliki nilai PIC relatif tinggi adalah pada mEgCIR0801 dan mEgCIR0782 yang masing-masing sebesar 0.56 dan 0.51. Cahyono (2015) melaporkan tingkat polimorfisme tertinggi pada populasi uji DxP sebesar 0.52. Sedangkan Solin (2014) menyatakan tingkat polimorfisme tertinggi pada populasi uji DxP dan Dura Deli sebesar 0.68 dan 0.74.
22 Analisis variasi molekuler terhadap masing-masing penanda SSR menunjukkan bahwa famili Dura berpengaruh secara signifikan terhadap tiga penanda SSR, yaitu mEgCIR0037, mEgCIR3718, dan mEgCIR3160 (Tabel 7). Namun hanya ada satu penanda yang keragaman molekulernya dipengaruhi secara signifikan oleh famili Dura namun tidak oleh individu tanaman dalam famili, yaitu mEgCIR0037. Hal ini menunjukkan bahwa data molekuler penanda mEgCIR0037 cukup beragam antara famili Dura namun seragam antara individu tanaman dalam famili. Tabel 7 Analisis variasi molekuler pada kelapa sawit berdasarkan famili Dura Penanda SSR
Fst
Fis
Karakter JT mEgCIR0801 mEgCIR2577 mEgCIR0037 mEgCIR0781 mEgCIR3534 mEgCIR3718
0.01 0.00 0.19 0.08 -0.03 -0.07
tn tn ** tn tn *
0.19 -0.18 0.13 0.84 0.16 0.89
** tn tn ** * **
Karakter BTR mEgCIR3428 mEgCIR0408 mEgCIR2595 mEgCIR3160 mEgCIR0195 mEgCIR0804 mEgCIR2387 mEgCIR3672 mEgCIR0782 mEgCIR3750
-0.02 -0.04 0.02 0.13 0.02 -0.02 -0.06 0.05 -0.01 -0.01
tn tn tn ** tn tn tn tn tn tn
-0.28 0.36 -0.58 0.39 0.07 0.01 -0.05 0.61 0.33 0.02
tn ** tn ** tn tn tn ** ** tn
tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%, ** = nyata pada α 1%, Fst == ragam antar famili dura, Fis Fis ==. ragam individu dalam famili dura . Fst ragam total ragam individu dalam famili dura + ragam antar individu
Penanda SSR yang Berasosiasi dengan Karakter JT dan BTR Pada karakter JT, penanda SSR yang digunakan dalam asosiasi sebanyak enam penanda. Analisis asosiasi keenam penanda tersebut menunjukkan tidak ada yang berasosiasi dengan karakter JT (Gambar 7). Sedangkan pada karakter BTR, penanda SSR yang digunakan sebanyak 10 penanda. Analisis asosiasi 10 penanda tersebut menunjukkan hanya satu yang berasosiasi secara signifikan dengan karakter BTR, yaitu mEgCIR3428 (Gambar 8).
23
tn: tidak nyata,
: rataan,
: median
Gambar 7 Asosiasi enam penanda SSR dengan karakter JT kelapa sawit
tn: tidak nyata, *: nyata pada α 5%,
: rataan,
: median
Gambar 8 Asosiasi 10 penanda SSR dengan karakter BTR kelapa sawit
24 Kombinasi alel dari lokus mEgCIR3428 terdiri dari tiga kombinasi, tiap kombinasi memiliki rataan BTR yang berbeda. Genotipe bb memiliki rataan BTR terendah, yaitu sebesar 9.6 kg per tandan. Genotipe ab memiliki rataan BTR menengah, yaitu sebesar 10.9 kg per tandan. Genotipe bc memiliki rataan BTR tertinggi, yaitu sebesar 13 kg per tandan. Hairinsyah (2010) melaporkan bahwa lokus mEgCIR3428 memiliki lima kombinasi alel, terdapat dua kombinasi alel yang homozigot dan salah satunya memiliki rataan BTR tertinggi sebesar 16.5 kg per tandan. Analisis asosiasi 16 penanda SSR pada populasi Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS) menunjukkan hanya terdapat satu penanda yang berasosiasi. Hal ini menunjukkan bahwa posisi lokus terkait karakter JT dan BTR dapat berubah akibat perbedaan latar belakang genetik. Hanya sebesar 5.6% lokus yang diduga berasosiasi dengan JT dan BTR pada populasi Dura Deli x Tenera Yangambi dan La Me (DxT) yang juga dapat berasosiasi pada populasi Dura Deli x Pisifera AVROS (DxP). Penanda yang berasosiasi pada populasi DxP memiliki jarak genetik yang amat dekat dengan salah satu lokus yang mengatur karakter BTR pada populasi DxT.
25
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penanda SSR terkait karakter jumlah tandan (JT) yang terdiri dari 8 penanda (mEgCIR: 0380, 2433, 0801, 2577, 0037, 0781, 3534, dan 3718) mampu mengamplifikasi DNA dengan jumlah alel satu hingga empat dan rataan sebesar 2.3 alel per lokus. Penanda SSR terkait karakter bobot tandan rataan (BTR) yang terdiri dari 12 penanda (mEgCIR: 0380, 2433, 3428, 0408, 2595, 3160, 0195, 0804, 2387, 3672, 0782, dan 3750) mampu mengamplifikasi DNA dengan jumlah alel satu hingga empat dan rataan sebesar 2.4 alel per lokus. BTR populasi Tenera (Dura Deli x Pisifera AVROS) berasosiasi secara nyata pada α 5% dengan penanda mEgCIR3428. Alel terpanjang pada penanda tersebut (196 pasang basa) berasosiasi dengan BTR yang tinggi.
Saran Proses validasi penanda sangat perlu untuk dilakukan jika akan digunakan penanda molekuler yang berasosiasi dengan karakter tertentu pada populasi yang berbeda latar belakang genetiknya. Penelitian ini hanya mendapatkan satu penanda yang berasosiasi dengan karakter BTR. Diperlukan lebih banyak lagi penanda yang berasosiasi agar proses seleksi tanaman dengan bantuan penanda molekuler dapat lebih akurat. Penelitian lanjutan dalam mengidentifikasi penanda yang berasosiasi dengan karakter JT dan BTR sangat perlu dilakukan. Penanda mEgCIR3428 dapat digunakan dalam proses seleksi tetua persilangan kelapa sawit Dura Deli dan Pisifera AVROS selanjutnya.
26
DAFTAR PUSTAKA Ajambang W, Sudarsono, Asmono D, Toruan-Mathius N. 2012. Microsatellite markers reveal Cameroon’s wild oil palm population as a possible solution to broaden the genetic base in the Indonesia-Malaysia oil palm breeding programs. Afr J Biotechnol. 11(69):13244-13249.doi:0.5897/AJB11.3897. Amos W, Sawcer SJ, Feakes RW, Rubinsztein DC. 1996. Microsatellites show mutational bias and heterozygote instability. Nat Genet. 13(4):390-391. Arias D, Montoya C, Rey L, Romero H. 2012. Genetic similarity among commercial oil palm materials based on microsatellite markers. Agron Colombiana. 30(2):188-195. Artutiningsih W. 2012. Analisis kestabilan genetik ortet kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan klon-klon turunannya menggunakan penanda mikrosatelit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Barcelos E, Amblard P, Berthaud J, Seguin M. 2002. Genetic diversity and relationship in American and African oil palm as revealed by RFLP and AFLP molecular markers. Pesq Agropec Bras. 37(8):1105-1114.doi:10.1590/S0100204X2002000800008. Billotte N, Risterucci AM, Barcelos E, Noyer JL, Amblard P, Baurens FC. 2001. Development, characterization and across-taxa utility of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) microsatellite markers. Genome. 44(3):413425.doi:10.1139/gen-44-3-413. Billotte N, Jourjon MF, Marseillac N, Berger A, Flori A, Asmady H, Adon B, Singh R, Nouy B, Potier F et al. 2010. QTL detection by multi-parent linkage mapping in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 120(8):16731687. Cahyono YFC. 2015. Kestabilan genetik somaklonal kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) hasil kultur in vitro menggunakan marka SSR [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Champoux MC, Wang G, Sarkarung S, Mackill DJ, O'Toole JC, Huang N, McCouch SR. 1995. Locating genes associated with root morphology and drought avoidance in rice via linkage to molecular markers. Theor Appl Genet. 90(7-8):969-981. Corley RHV, Tinker PB. 2003. The Oil Palm. 4th Edition. Oxford (UK): Blackwell Science Ltd. Cros D, Denis M, Sánchez L, Cochard B, Flori A, Durand-Gasselin T, Nouy B, Omore A, Pomies V, Riou V, et al. 2015. Genomic selection prediction accuracy in a perennial crop: case study of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Theor Appl Genet. 128:397-410. Delseny M, Laroche M, Penon P. 1983. Detection of sequences with Z-DNA forming potential in higher plants. Biochem Bioph Res Co. 116(1):113-120. GAPKI. 2016. Industri Sawit jadi Kunci Kemandirian Ekonomi. GAPKI [Internet]. [diunduh 2016 Jan 26]. Tersedia pada: www.gapki.or.id. Hairinsyah. 2010. Pendugaan parameter genetik dan analisa keragaman genetik kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan marka Simple Sequence Repeat (SSR) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
27 Hatorangan MR, Kusnandar AS, Toruan-Mathius N. 2010. Konstruksi sidik jari DNA kelapa sawit dengan menggunakan marka mikrosatelit. Technical Annual Report Plant Production and Biotechnology Division PT SMART Tbk. Bogor (ID): PT SMART Tbk. Henson IE, Chang KC. 2000. Oil Palm Productivity and its Component Processes. Basiron Y, Jalani BS, Chan KW, editors. Advances in Oil Palm Research Volume ke-1. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Palm Oil Board. p97-145. Irwansyah E. 2004. Peta pautan genetik marka RAPD dan analisis QTL kelapa sawit menggunakan populasi silang balik pertama menuju perbaikan kualitas minyak [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jeennor S, Volkaert H. 2014. Mapping of quantitative trait loci (QTLs) for oil yield using SSRs and gene-based markers in African oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Tree Genet Genomes. 10(1):1-14. Latiff A. 2000. The Biology of the Genus Elaeis. Basiron Y, Jalani BS, Chan KW, editors. Advances in Oil Palm Research Volume ke-1. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Palm Oil Board. p19-38. Lee M, Xia JH, Zou Z, Ye J, Rahmadsyah, Alfiko Y, Jin J, Lieando JV, Purnamasari MI, Lim CH, et al. 2015. A consensus linkage map of oil palm and a major QTL for stem height. Sci Rep. 5:8232. Liao CY, Wu P, Hu B, Yi KK. 2001. Effects of genetic background and environment on QTLs and epistasis for rice (Oryza sativa L.) panicle number. Theor Appl Genet. 103(1):104-111. Liu K, Muse SV. 2005. Power Marker: An integrated analysis environment for genetic marker analysis. Bioinformatics. 21(9):21282137.doi:10.1093/bioinformatics/bti282. Luby JJ, Shaw DV. 2001. Does marker-assisted selection make dollars and sense in a fruit breeding program?. HortScience. 36(5):872-879. Macherey-Nagel. 2014. Genomic DNA from Plant User Manual Rev.09 Nucleospin Plant II Protocols, Standard Protocol for Genomic DNA from Plant. Macherey-Nagel GmbH and Co.KG [Internet]. [diunduh 2015 Feb 28]. Tersedia pada: www.mn-net.com. Mandal G, Mathur RK. 2015. Performance of segregating Tenera x Tenera population in oil palm. Int J Bio-res Env Agril Sci. 1(3):108-113. Mansjoer A. 1980. Budidaya Kelapa Sawit. Bogor (ID): IPB Pr. Marhalil M, Rafii MY, Afizi MMA, Arolu IW, Noh A, Din AM, Kushairi A, Norziha A, Rajanaidu N, Latif MA, Malek MA. 2013. Genetic variability in yield and vegetative traits in elite germplasm of MPOB-Nigerian dura × AVROS pisifera progenies. J Food Agric Environ. 11(2):515-519. Marshall DR, Brown AH. 1975. Optimum sampling strategies in genetic conservation. In: A basic sampling strategy: theory and practice. Brown and Marshall 2006 [Internet]. [diunduh 2015 Feb 28]. Tersedia pada: http://cropgenebank.sgrp.cgiar.org/images/file/procedures/collecting1995/Chap ter5.pdf. Mateescu RG, Zhang Z, Tsai K, Phavaphutanon J, Burton-Wurster NI, Lust G, Quaas R, Murphy K, Acland GM, Todhunter RJ. 2005. Analysis of allele fidelity, polymorphic information content, and density of microsatellites in a genome-wide screening for hip dysplasia in a crossbreed pedigree. J Hered. 96(7):847-853.
28 Monforte AJ, Asins MJ, Carbonell EA. 1996. Salt tolerance in Lycopersicon species. IV. Efficiency of marker-assisted selection for salt tolerance improvement. Theor Appl Genet. 93(5-6):765-772. Munns R, Hare RA, James RA, Rebetzke GJ. 1999. Genetic variation for improving the salt tolerance of durum wheat. Crop Pasture Sci. 51(1):69-74. Noh A, Rafii MY, Din AM, Kushairi A, Norziha A, Rajanaidu N, Latif MA, Malek MA. 2014. Variability and performance evaluation of introgressed Nigerian dura x Deli dura oil palm progenies. Genet Mol Res. 13(2):24262437. Okoye MN, Okwuagwu CO, Uguru MI. 2009. Population improvement for fresh fruit bunch yield and yield components in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Am-Euras J Sci Res. 4(2):59-63. Park YJ, Lee JK, Kim NS. 2009. Simple sequence repeat polymorphisms (SSRPs) for evaluation of molecular diversity and germplasm classification of minor crops. Molecules. 14(11):4546-4569. Peakall R, Smouse PE. 2012. GenAlEx 6.5: genetic analysis in Excel. Population genetic software for teaching and research-an update. Bioinformatics. 28:25372539. Permenkeu. 2015. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 114/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Sekretariat Jenderal Kemenkeu RI. Jakarta. Powell W, Morgante M, Andre C, Hanafey M, Vogel J, Tingey S, Rafalski A. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Mol Breeding. 2(3):225-238. Purba AR, Noyer JL, Baudouin L, Perrier X, Hamon S, Lagoda PJL. 2000. A new aspect of genetic diversity of Indonesian oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) revealed by isoenzyme and AFLP markers and its consequences for breeding. Theor Appl Genet. 101(5-6):956-961. Qiagen. 2014. QIAxcel DNA Handbook Sample and Assay Technology Fifth Edition. Qiagen [Internet]. [diunduh 2015 Feb 28]. Tersedia pada: www.qiagen.com. Rafii MY, Isa ZA, Kushairi A, Saleh GB, Latif MA. 2013. Variation in yield components and vegetative traits in Malaysian oil palm (Elaeis guineensis jacq.) dura × pisifera hybrids under various planting densities. Ind Crop Prod. 46:147-157. Rao V, Soh AC, Corley RHV, Lee CH, Rajanaidu Y, Chin C, Lim K, Tan S, Lee T, Ngui M. 1983. A critical reexamination of the method of bunch quality analysis in oil palm breeding. In: Okoye MN, Okwuagwu CO, Uguru MI. 2009. Population improvement for fresh fruit bunch yield and yield components in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Am-Euras J Sci Res. 4(2):59-63. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual, 2nded, vol 1. New York (USA): Cold Spring Harbour Laboratory Pr. Sayekti U. 2014. Analisis keragaman genetik plasma nutfah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) asal Angola menggunakan marka mikrosatelit [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
29 Sayekti U, Widyastuti U, Toruan-Mathius N. 2015. Keragaman genetik kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) asal angola menggunakan marka SSR. J Agron Indonesia. 43(2):140-146. Singh R, Soon-Guan T, Panandam J, Rahman RA, Cheah S. 2008. Identification of cDNA-RFLP markers and their use for molecular mapping in oil palm (Elaeis guineensis). Asia-Pac J Mol Biol.16(3):53-63. Singh R, Tan SG, Panandam JM, Rahman RA, Ooi LC, Low ETL, Sharma M, Jansen J, Cheah SC. 2009. Mapping quantitative trait loci (QTLs) for fatty acid composition in an interspecific cross of oil palm. BMC Plant Biology. 9(1):114. Solin NWNM. 2014. Keragaman genetik dan identifikasi penanda spesifik karakter produksi pada progeni dan tetua kelapa sawit dengan marka SSR [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Solin NWNM, Sobir, Toruan-Mathius N. 2014. Genetic diversity of DxP population yield component in oil palm's paternal half-sib family based on microsatellite markers. Energy Procedia. 47:196-203. Spooner DM, Núñez J, Trujillo G, del Rosario Herrera M, Guzmán F, Ghislain M. 2007. Extensive simple sequence repeat genotyping of potato landraces supports a major reevaluation of their gene pool structure and classification. Proc Natl Acad Sci. 104:19398-19403. Thawaro S, Te-chato S. 2008. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) marker as a tool for hybrid oil palm verification from half mature zygotic embryo culture. J Agr Technol. 4(2):165-176. Thongthawee S, Tittinutchanon P, Volkaert H. 2010. Microsatellites for parentage analysis in an oil palm breeding population. Thai J Genet. 3:172-181. Toruan-Mathius N, Yuniastuti E, Setiamihardja R, Karmana HM. 2005. Analisis genotip normal dan abnormal pada klon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Menr Perkeb. 73(1):12-25. Ukoskit K, Chanroj V, Bhusudsawang G, Pipatchartlearnwong K, Tangphatsornruang S, Tragoonrung S. 2014. Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) linkage map, and quantitative trait locus analysis for sex ratio and related traits. Mol breeding. 33(2):415-424. USDA. 2015. Oilseeds: World Markets and Trade. United States Department of Agriculture, Foreign Agricultural Service [Internet]. [diunduh 2015 Dec 30]. Tersedia pada: https://apps.fas.usda.gov/psdonline. Varshney RK, Chabane K, Hendre PS, Aggarwal RK, Graner A. 2007. Comparative assessment of EST-SSR, EST-SNP and AFLP markers for evaluation of genetic diversity and conservation of genetic resources using wild, cultivated and elite barleys. Plant Sci. 173(6):638-649. Vinod KK. 2009. Genetic mapping of quantitative trait loci and marker assisted selection in plantation crops. In: Proceedings of the training programme on “In vitro Techniques in Plantation Crops”. pp.111-132 Wang X, Pang Y, Zhang J, Zhang Q, Tao Y, Feng B, Zheng T, Xu J, Li Z. 2014. Genetic background effects on QTL and QTL× environment interaction for yield and its component traits as revealed by reciprocal introgression lines in rice. Crop J. 2(6):345-357.
30 Wong CK, Bernardo R. 2008. Genomewide selection in oil palm: increasing selection gain per unit time and cost with small populations. Theor Appl Genet. 116(6):815-824. Xie XW, Xu MR, Zang JP, Sun Y, Zhu LH, Xu JL, Zhou YL, Li ZK. 2008. Genetic background and environmental effects on QTLs for sheath blight resistance revealed by reciprocal introgression lines in rice. Acta Agron Sin. 34:1885-1893. Zhu Y, Barritt BH. 2008. Md-ACS1 and Md-ACO1 genotyping of apple (Malus x domestica Borkh.) breeding parents and suitability for marker-assisted selection. Tree Genet Genomes. 4(3):555-562. Zulhermana, Sudarsono, Asmono D, Yulismawati. 2010. Intra- and interpopulation genetic diversity of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) Pisifera clones originated from Nigeria based on SSR markers analysis. International Oil Palm Conference [Internet]. [diunduh 2015 Feb 28]; Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/26233/IOPC Jogyakarta_Intra_and_Interpopulation_Diversity_of_Pisifera_Oil_Palm_Clone _Zulhermana_et_al_2010.pdf
31
LAMPIRAN
32 Lampiran 1 Korelasi Pearson antara karakter daya hasil dan komponen daya hasil tanaman kelapa sawit Bobot tandan (kg/tandan) : BTR
CPO 0.35 **
CPO+KPO 0.35 **
Jumlah tandan (tandan/tahun) : JT
0.65 **
0.66 **
0.73 **
Bobot buah (g)
0.05 **
0.05 **
0.04 **
Rasio buah-tandan (%)
0.12 **
0.13 **
-0.06 **
Pembentukan buah (%)
0.03 *
0.03 *
-0.04 **
Rasio cangkang-buah (%)
-0.15 **
-0.11 **
0.00
Rasio kernel-buah (%)
-0.13 **
-0.06 **
0.00
Rasio mesokarp basah-buah (%)
0.18 **
0.12 **
-0.01
Rasio mesokarp kering-buah (%)
0.36 **
0.31 **
0.01
Rasio minyak-mesokarp kering (%)
0.30 **
0.28 **
0.05 **
Rasio minyak-mesokarp basah (%)
0.36 **
0.35 **
0.03 *
-0.11 ** 0.42 **
-0.04 ** 0.38 **
Rasio kernel-tandan (%) Rasio minyak-tandan (%)
Tandan Buah Segar 0.38 **
-0.01 -0.01
**: nyata pada α 1%, *: nyata pada α 5% CPO: crude palm oil, KPO: kernel palm oil
Lampiran 2 Sidik ragam karakter JT dan BTR pada kelapa sawit berdasarkan famili Dura Karakter JT Sumber keragaman
db
Famili Dura
24 540 1 542 5
Galat Total terkoreksi
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
3004.9
125.2
79163.9
14.7
F hitung
Prob> F
8.5
0.000
F hitung
Prob> F
8.4
0.000
82168.7 Karakter BTR
Sumber keragaman
db
Famili Dura
24 540 1 542 5
Galat Total terkoreksi
Prob: probability, db: derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
620.0
25.8
16592.1
3.1
17212.1
33
RIWAYAT HIDUP Dwi Yono dilahirkan di kota Semarang, pada tanggal 3 Maret 1986. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan suami istri Paidi dan Sri Mulyani. Pendidikan Penulis dari SD hingga SMA berlokasi di kelurahan Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, yaitu SD Angkasa 3 tahun 1992-1998, SLTPN 128 tahun 1998-2001, dan SMUN 67 tahun 2001-2004. Penulis melanjutkan studi S1 Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004-2008. Setelah lulus S1, Penulis bekerja sebagai asisten perkebunan kelapa sawit Minamas pada tahun 2009 di Kalimantan. Setelah itu Penulis bekerja menjadi peneliti kelapa sawit di Sinarmas (PT SMART Tbk) pada akhir tahun 2009 di Bogor hingga tesis ini dibuat. Penulis melanjutkan studi S2 Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB atas bantuan beasiswa dari PT SMART Tbk dan dimulai sejak tahun 2013. Dalam masa studi S2, peneliti menikah dengan Rukiah pada akhir tahun 2014 dan dikaruniai seorang putra bernama Arhabu Rizqi Musyaffa pada akhir tahun 2015.