35
Jurnal Bioteknologi Pertanian, yang Vol. 8, No. 2,dengan 2003, sifat pp. 35-45 Identifikasi marka mikrosatelit terpaut toleransi...
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan aluminium pada padi persilangan Dupa x ITA131 Identification of microsatellite marker for tolerance to aluminum toxicity on rice derived from Dupa x ITA131 Joko Prasetiyono1, Tasliah1, Hajrial Aswidinnoor2, dan Sugiono Moeljopawiro 1 1
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111, Indonesia 2 Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Aluminum (Al) stress is one of major constraints in rice cultivation in acid soil. To obtain rice variety tolerant to Al stress, microsatellite marker has high potential for plant breeding, because it is reliable, effective, economic, and simple. To investigate quantitative trait loci (QTL) position for Al tolerance trait in rice, 190 F2 intercross population derived from a cross between an Al-tolerant variety Dupa and an Al-sensitive variety ITA131 were planted in Yoshida culture solution. Root length on stress solution (60 ppm AlCl 3 ) as phenotypic parameter was measured at 20 days after planting. Sixty six polymorphic microsatellite markers were amplified on DNA of 94 randomly selected F2 plants and used to construct QTL map. By employing single marker analysis, two QTLs on chromosome 7 were identified (P value < 0.05), meanwhile by interval mapping analysis, no QTL was identified (all LOD value < 3).
Perluasan areal pertanian ke luar Jawa merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian. Pada umumnya perluasan areal tersebut diarahkan ke tanah Podsolik Merah Kuning karena penyebaran tanah ini di Indonesia sangat luas, mencapai 45,794 juta ha atau 24,3% dari daratan Indonesia (Subagyo et al. 2000). Kendala utama pemanfaatan tanah tersebut adalah pH rendah, keracunan Al, Mn, Fe, serta unsur hara rendah terutama N dan P, serta pencucian hara cukup tinggi (Soepardi 1983). Beberapa perlakuan pemberian unsur hara buatan (pemupukan) telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara tersebut (Nasution dan Sudarman 1986). Cara terbaik untuk menanggulangi masalah tersebut adalah melalui perakitan varietas yang toleran terhadap kondisi lahan masam, sehingga pengapuran untuk meningkatkan pH tanah dapat diminimalkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa toleransi padi terhadap cekaman Al dikendalikan oleh lebih dari satu pasang gen, yang terlihat dari pewarisan secara kuantitatif. Khatiwada et al. (1996) menunjukkan bahwa nilai relatif panjang akar (RPA) yang tinggi dikendalikan oleh pengaruh aditif dan dominan, tetapi lebih banyak karena pengaruh aditif. Wu et al (1997) melakukan studi genetik untuk sifat toleransi terhadap keracunan Al pada padi dengan membuat persilangan dialel tidak sempurna pada delapan tetua jantan dan tujuh tetua betina. Hasilnya menunjukkan bahwa ragam general combine ability (CGA) lebih besar dibanding specific combine ability (SCA), sehingga pengaruh gen-gen aditif lebih besar. BianchiHall et al. (1998) menyebutkan bahwa toleransi terhadap keracunan Al pada kedelai toleran Al (PI 416937) dikontrol oleh dua sampai lima gen.
[Keywords: Rice, aluminum toxicity, microsatellite markers]
ABSTRAK Cekaman aluminium (Al) merupakan salah satu kendala utama dalam budi daya padi pada tanah masam. Dalam upaya mendapatkan varietas padi yang tahan terhadap keracunan Al, marka mikrosatelit memiliki potensi tinggi untuk diterapkan dalam pemuliaan tanaman karena efektif, ekonomis, dan sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk mengetahui posisi quantitative trait loci (QTL) sifat toleransi terhadap keracunan Al pada padi, 190 populasi F2 yang berasal dari persilangan Dupa (toleran Al) dan ITA131 (peka Al) diuji menggunakan larutan Yoshida. Panjang akar pada kondisi tercekam (60 ppm AlCl 3) yang diamati pada umur 20 hari setelah tanam digunakan sebagai data fenotipik. Enam puluh enam marka mikrosatelit digunakan untuk mengamplifikasi DNA dari 94 tanaman F2 yang diambil secara acak dan digunakan untuk membuat peta pautan. Analisis marka tunggal menghasilkan dua marka yang terpaut dengan QTL pada kromosom 7 (nilai peluang < 0,05), sedangkan berdasarkan analisis marka interval, tidak ada QTL yang terpaut dengan 66 marka tersebut (semua nilai LOD < 3). [Kata kunci: Padi, keracunan aluminium, marka mikrosatelit]
36 Berdasar kondisi tersebut maka seleksi secara konvensional menurut Bennet (1993) akan membutuhkan waktu yang lama dan areal yang luas untuk memproduksi satu galur baru. Seleksi berdasarkan fenotipe saja akan menemui kesulitan karena kondisi lingkungan yang bervariasi. Akibatnya, tekanan seleksi menjadi tidak merata sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pemilihan galur yang toleran. Selain itu, bila gen-gen yang mengatur sifat ketahanan bersifat aditif, seleksi akan lebih sulit dilakukan karena masing-masing gen hanya menyumbang sebagian kecil terhadap fenotipe tersebut. Marka molekuler yang terpaut dengan gen-gen (lokus-lokus sifat kuantitatif) dapat membantu mengurangi ukuran populasi dan waktu generasi dalam program pemuliaan. Selain itu, marka molekuler mampu menyeleksi sifat-sifat yang diinginkan pada tahap pembibitan, bahkan untuk sifat yang sangat sulit sekalipun yang bila menggunakan seleksi fenotipe memerlukan waktu yang panjang, seperti morfologi perakaran, resistensi terhadap hama dan penyakit, serta toleransi terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, garam, defisiensi atau keracunan mineral (McCouch dan Tanksley 1991). Perkembangan teknologi seperti RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit telah menjangkau pengujian polimorfisme DNA untuk pemetaan genetik, marka untuk pemuliaan tanaman, dan eksplorasi hubungan kekerabatan (Powell et al. 1996). Marka mikrosatelit mempunyai sifat seperti marka RFLP, merupakan motif sederhana urutan basa nitrogen yang terdapat pada kromosom suatu organisme. Urutan itu berulangulang sebagai motif yang unik. Para peneliti telah memetakan urutan tersebut, sehingga marka mikrosatelit memiliki kemampuan mendeteksi suatu populasi segregasi seakurat RFLP. Selain itu, secara teknis juga dimungkinkan untuk multiple loading pada gel poliakrilamid sehingga pendeteksian populasi segregasi dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan efisien (Panaud et al. 1995; McCouch et al. 1997). Sampai saat ini ratusan marka mikrosatelit telah dibuat (Panaud et al. 1996; Chen et al. 1997; Temnykh et al. 2000). Penggunaan marka mikrosatelit relatif mudah karena menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) sehingga dapat menjangkau seluruh kromosom. Oleh karena itu, peluang untuk mendapatkan marka yang terpaut dengan suatu karakter agronomi semakin besar. Pemanfaatan peta keterpautan mikrosatelit dalam perakitan varietas baru juga dapat menghemat waktu, tenaga, dan dana (Akagi et al. 1996). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterpautan marka mikrosatelit dengan sifat toleransi
Joko Prasetiyono et al.
terhadap keracunan Al pada padi hasil persilangan Dupa x ITA131. Marka yang terpaut dengan sifat toleransi dapat digunakan sebagai alat seleksi dalam program pemuliaan tanaman. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler, Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor pada bulan Januari 2000-Maret 2003. Bahan Bahan tanaman adalah 190 galur tanaman padi generasi kedua (F2) hasil persilangan Dupa x ITA131 dan tetuanya yang didapatkan dari Kebun Percobaan Muara, Bogor. Untuk uji fenotipik digunakan seluruh galur yang ada (190), sedangkan untuk analisis segregasi digunakan 94 galur yang dipilih secara acak dari populasi F2 tersebut. Primer mikrosatelit yang digunakan berjumlah 243 pasang (F dan R) berasal dari Research Genetic, Inc., USA. Metode Uji fenotipik Uji fenotipik menggunakan metode yang dideskripsikan oleh Lubis dan Suwarto (2000). Bak plastik diisi dengan larutan Yoshida (Yoshida et al. 1976) yang diencerkan 14 kali dengan penambahan Al (berasal dari AlCl3) 60 ppm. Untuk uji tetua hanya digunakan larutan Yoshida tanpa pemberian Al (0 ppm). Seratus sembilan puluh benih padi generasi F2 (Dupa x ITA131) dan kedua tetuanya diletakkan di atas gabus berlubang yang bagian bawahnya diberi lapisan kain kasa. Sebelum ditanam, benih direndam dalam larutan HgCl2 0,2% selama satu menit, dibilas dengan akuades tiga kali kemudian direndam kembali dengan akuades secukupnya selama 48 jam. Larutan Yoshida dipertahankan pada pH 4 ± 0,2 dengan cara mengamati perubahan pH larutan setiap dua hari sekali. Tanaman dibiarkan tumbuh sampai umur 20 hari kemudian diukur panjang akarnya. Tanaman kemudian dipindahkan ke dalam media biasa dan diambil daunnya untuk isolasi DNA. Hasil pengamatan panjang akar selanjutnya digunakan untuk menghitung relatif panjang akar (RPA) dari dua tetua dengan rumus sebagai berikut: RPA =
Panjang akar pada 60 ppm Al Panjang akar pada 0 ppm Al
37
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi...
Standar nilai RPA mengikuti Nasution dan Suhartini (1992) dan Khatiwada et al. (1996) yaitu: = toleran RPA > 0,7 RPA 0,69-0,62 = moderat RPA > 0,61 = peka Data panjang akar populasi F2 pada larutan Yoshida yang mengandung 60 ppm AlCl3 dipakai sebagai data fenotipik dan digunakan dalam uji keterpautan. Survai primer SSR dan uji keterpautan Daun dari dua tetua (Dupa dan ITA131) dan 190 nomor F2 (Dupa x ITA131) diambil untuk isolasi DNA menggunakan metode Dellaporta yang dimodifikasi (Dellaporta et al. 1983). RNAse ditambahkan untuk melarutkan RNA. Kualitas dan kuantitas DNA diamati dengan menggunakan alat elektroforesis dan spektrofotometer. Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada suhu 94 oC untuk denaturasi permulaan, selanjutnya dilakukan 35 siklus terdiri atas 1 menit pada suhu 94oC untuk denaturasi, 1 menit pada suhu 55 oC untuk penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 72 oC untuk pemanjangan primer. Perpanjangan primer terakhir dilakukan pada suhu 72oC selama 7 menit. Hasil PCR kemudian diseparasi menggunakan gel poliakrilamid 5%. Sampel diberi penanda migrasi DNA kemudian didenaturasi menggunakan mesin PCR pada suhu 94oC selama 5 menit dan secepat mungkin dimasukkan ke dalam kotak berisi es. Gel dipersiapkan terlebih dahulu dan dimasukkan dalam alat pencetak gel. Sampel dielektroforesis menggunakan gel poliakrilamid 5% pada suhu 50oC pada konstan daya 100 watt selama 3 jam. Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining. Kaca yang ditempeli gel berisi DNA direndam dalam baki yang berisi 10% asam asetat glasial (larutan fiksasi) dan digoyang selama 20 menit. Kaca dicuci dalam air bebas ion sebanyak 2 kali masingmasing 2 menit. Selanjutnya kaca direndam dalam larutan pewarna (silver staining) di atas mesin penggoyang selama 1 jam, kemudian dibilas dalam air bebas ion selama 10 detik. Kaca kemudian direndam dalam larutan developer hingga muncul pita-pita, setelah itu secepatnya direndam dalam larutan asam asetat selama 5 menit, dibilas dengan air bebas ion, dan dikeringanginkan. Primer yang menghasilkan pita yang berbeda posisi pada dua tetua dipilih sebagai primer untuk analisis segregasi pada F2 (Dupa x ITA131). Analisis segregasi dilakukan dengan mengamati pola pita pada populasi F2 yang bersegregasi dengan memberikan simbol kategori:
A = pola pita sama dengan tetua Dupa B = pola pita sama dengan tetua ITA131 H = pola pita mengandung kedua tetua - = tidak ada amplifikasi dan atau pita tidak sama dengan kedua tetua. Analisis data Uji kenormalan data dan plot data fenotipik menggunakan program SAS versi 7. Untuk mengetahui frekuensi alel masing-masing tetua, dihitung total masing-masing alel kemudian dibandingkan dengan jumlah total kedua alel Dupa dan ITA131. Uji X2 pada taraf 5% digunakan untuk menguji proporsi genotipe masing-masing marka/lokus, apakah mengikuti perilaku hukum Mendell atau tidak. Pembuatan peta mengacu pada susunan marka mikrosatelit yang dideskripsikan oleh Chen et al. (1997) dan Temnykh et al. (2000). Genotipe masing-masing primer dipilah dan diurutkan sesuai dengan posisinya pada peta yang sudah ada. Data tiap-tiap kromosom diolah menggunakan program MapMaker versi 2.0 (MacIntosh), sedangkan analisis QTL menggunakan program Qgene versi 3.0, berupa analisis marka tunggal dan marka interval.
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji fenotipik Uji fenotipik menggunakan larutan Yoshida dengan penambahan Al cukup sederhana, murah, cepat, dan akurat. Panjang akar digunakan sebagai parameter utama karena dari beberapa hasil penelitian, target utama keracunan Al adalah jaringan akar terutama ujung akar. Kondisi perakaran tanaman pada larutan Yoshida yang ditambah 60 ppm AlCl 3 merupakan cerminan kemampuan tanaman dalam upaya mengurangi pengaruh Al. Tanaman dengan kondisi perakaran yang panjang dan baik akan mampu mengurangi pengaruh Al, demikian pula sebaliknya. Hasil uji fenotipik dalam bak plastik disajikan pada Gambar 1. Rata-rata panjang akar Dupa pada media tanpa Al mencapai 9,5 cm dan pada 60 ppm Al sebesar 7,3 cm. Untuk ITA131, rata-rata panjang akar pada media yang mengandung 0 ppm Al sebesar 11,92 cm dan pada 60 ppm Al 2,58 cm. Relatif panjang akar (RPA) tetua Dupa dan ITA131 masing-masing adalah 0,77 dan 0,22. Berdasarkan hasil ini, Dupa tetap menunjukkan sifat toleran terhadap Al, sedang ITA131 juga tetap merupakan tetua yang peka. Dengan demikian dapat
38
Joko Prasetiyono et al.
disimpulkan bahwa seleksi dengan menggunakan larutan Yoshida + 60 ppm AlCl3 dapat digunakan untuk mengevaluasi populasi F2. Kondisi perakaran tetua Dupa dan ITA131 disajikan pada Gambar 2. Variasi panjang akar terlihat pada populasi F2, yang menunjukkan adanya segregasi sifat toleransi terhadap keracunan Al pada kedua tetuanya. Distribusi panjang akar mendekati normal dengan nilai hasil uji mendekati 1 (0,980861).
ada, dari 110 primer polimorfis tersebut kemudian dipilih 76 primer untuk mengamplifikasi DNA 94 individu F2. Hasil amplifikasi primer kedua tetua dapat dilihat pada Gambar 3. Dari 76 primer yang digunakan, 67 primer menghasilkan pita yang dapat diskor. Sembilan primer tidak bisa diskor karena polimorfisnya terlalu dekat (2 primer), pita terlalu banyak (3 primer), atau pita terlalu tipis (4 primer). Hasil amplifikasi disajikan pada Gambar 4.
Survai primer dan analisis segregasi F2
Pembuatan peta pautan
Hasil survai tetua menggunakan 243 primer mikrosatelit mendapatkan 110 primer (45,27%) yang polimorfis pada dua tetua, 3 primer tidak menghasilkan pita, 7 primer menghasilkan pita yang banyak, dan 123 primer sisanya menghasilkan pita monomorfis. Berdasarkan jarak antarprimer dalam peta keterpautan yang sudah
Kromosom 67 primer yang digunakan untuk analisis segregasi kemudian dikelompokkan berdasarkan peta yang dideskripsikan oleh McCouch et al. (1997) dan Temnykh et al. (2000). Dengan program Mapmaker/ Exp menggunakan fungsi centimorgan kosambi, kromosom akan terpecah apabila frekuensi rekombinasi melebihi 40% (batas tertinggi 50%) dengan batas LOD 3. Pemetaan menghasilkan 14 peta pautan dengan 66 primer, sedangkan satu primer tidak termasuk pada kelompok pautan. Pemetaan seharusnya menghasilkan 12 peta pautan sesuai dengan jumlah kromosom padi (n = 12). Hal ini karena kromosom 3 dan 8 masingmasing terpecah menjadi dua peta. Pada kromosom 3, jarak antara RM232 dan RM426 terlalu besar (106,3 cM) dengan frekuensi rekombinasi 48,6% sehingga melebihi batas yang ditentukan (data tidak ditampilkan). Demikian pula kromosom 8 terpecah karena primer RM126 dan RM256 tidak terpaut. Jumlah pautan yang tidak sesuai dengan jumlah kromosom padi ini disebabkan marka mikrosatelit yang digunakan masih terlalu sedikit untuk mencakup seluruh kromosom. Untuk menghubungkan peta yang terpisah diperlukan lebih banyak marka mikrosatelit atau menggunakan marka lain misalnya RFLP (Septiningsih et al. 2003). Empat belas peta pautan yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mencakup kromosom sepanjang 1.430 cM, dengan jarak rata-rata antarmarka 27,5 cM (Gambar 5). Panjang cakupan dan jarak antarprimer ini masih tergolong rendah. Peta pautan yang dibuat Wu et al. (2000) mampu mencakup 2.420 cM dengan jarak rata-rata antarmarka 11,7 cM. Nguyen et al. (2001) membuat peta pautan yang dapat mencakup kromosom sepanjang 1.715,8 cM dengan jarak rata-rata antarmarka 10,46 cM.
Gambar 1. Hasil uji fenotipik populasi F2 (Dupa x ITA131). Fig. 1. Phenotypic test result of F2 (Dupa x ITA131).
B
A
B
A
Gambar 2. Kondisi perakaran tetua Dupa (kiri) dan ITA131 (kanan) pada umur 20 hari setelah tanam pada larutan Yoshida yang ditambah 0 ppm Al (A) dan 60 ppm A1 (B). Fig. 2. Root condition of Dupa (left) and ITA131 (right) at 20 days after planting in Yoshida solution without (A) and with addition of 60 ppm Al (B).
Analisis QTL Marka mikrosatelit dapat digunakan untuk mengetahui frekuensi alel dan proporsi genotipe sesuai proporsi yang diharapkan. Berdasarkan perhitungan frekuensi
39
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi... 100 bp DNA ladder ▼
400 bp 300 bp 200 bp
23
21
5
11
8 2
17
7
4
1
12 10
3
100 bp
22 13
15
9
6
24
16 19
20
14 18
1. 2. 3. 4.
RM201 RM202 RM204 RM209
5. 6. 7. 8.
RM210 RM220 RM224 RM226
9. 10. 11. 12.
RM228 RM231 RM232 RM239
13. 14. 15. 16.
RM241 RM246 RM249 RM253
17. 18. 19. 20.
RM254 RM256 RM261 RM262
21. 22. 23. 24.
RM263 RM306 CT109 (RM264) CT114
Gambar 3. Hasil amplifikasi primer mikrosatelit pada tetua Dupa dan ITA131 pada gel poliakrilamid 5%. Fig. 3. Microsatellite primer amplification of Dupa and ITA131 at polyacrilamid gel 5%.
31
94 1
B 2
63
94
1
30
2 A
1
a
1
b
c
62
Gambar 4. Hasil amplifikasi 94 galur F2 (Dupa x ITA131) menggunakan primer CT 106a (RM 216) (A) dan RM 257 (B) pada gel poliakrilamid 5%; (1) Dupa dan (2) ITA131, a = pita seperti tetua ITA131, b = pita seperti tetua Dupa, dan c = pita seperti kedua tetua (heterosigot). Sampel 94 galur F2 yang dianalisis ditunjukkan no. 1 sampai 94. Fig.4. Amplification results of 94 F2 lines (Dupa x ITA131) using CT 106a primer (RM 216) (A) and RM 257 (B) at polyacrilamid gel 5%; (1) Dupa and (2) ITA131, a = bands like ITA131, b = bands like Dupa, and c = bands like Dupa and ITA131 (heterozygote). The 94 F2 lines were shown in no. 1 to no. 94.
alel, dari 66 marka yang diuji, 47,3% mengikuti pola alel Dupa dan 52,7% mengikuti pola alel ITA131. Proporsi alel yang diharapkan adalah 50% alel Dupa dan 50% alel ITA131 sehingga terjadi penyimpangan frekuensi
alel 2,7% cenderung ke alel ITA131. Perhitungan frekuensi alel ini mutlak diperlukan untuk mengetahui besarnya penyimpangan populasi yang digunakan. Apabila penyimpangan sangat besar, diperlukan
7
1
RM248
RM18
RM445
RM11
RM481
RM237
RM128 RM212
RM472
RM5
RM580
RM490
(43,0%) 64,7
(15,7%) 16,2
(15,2%) 15,7
(29,0%) 33,1
(26,0%) 28,8
(33,0%) 39,7
(11,9%) 12,1
(39,5%) 53,5
(24,4%) 26,7
(9,5%) 9,6 (14,2%) 14,6
8
2
RM126
RM506
RM138
RM166
RM240
RM221
RM263
RM262 RM475
RM492
RM555
RM211 RM279
(13,9%) 14,3
(10,0%) 10,1
(7,8%) 7,8
(21,7%) 23,2
(14,5%) 14,9
8A
3
RM264
RM230
RM256
RM282
RM232
RM489
RM22
(18,1%) 18
(15,2%) 15
(46,7%) 84
(26,3%) 29,2
(17,1%) 17,9
(8,3%) 8,3
9
3A
(28,1%) 31
(8,0%) 8,1
RM201
RM257 (11,6%) 11
RM566
RM464
RM442
RM520 (43,0%) 64,8
RM168
RM426
10
4 (6,6%) 6,7
(31,0%) 36,2
RM271
RM467
RM216
(39,6%) 53
(12,6%) 12
(22,1%) 23
RM474 (18,2%) 19
RM273
(23,3%) 25,2
(27,5%) 30,8
RM307 (14,1%) 14,5
11
5
RM144
RM21
RM209
RM202
RM167
RM26 RM538
RM440
RM509
RM437
RM548
(25,9%) 28
(15,8%) 16
(7,4%) 7,5
(42,0%) 61,0
(21,4%) 22,9
(9,0%) 9,0
12
6
RM277
RM247
RM19
RM340 RM439
RM50
RM510
RM170
Gambar 5. Peta pautan 66 primer mikrosatelit pada 94 individu F2 (Dupa x ITA131). Angka menunjukkan persentase frekuensi rekombinasi, disusul jarak antarmarka (cM) dan nama marka. Fig. 5. Linkage map of 66 microsatellite primers of 94 F2 lines (Dupa x ITA131). Numbers show percentage of recombination frequency, followed by a distance between markers (cM) and marker name.
(21,5%) 22,9
(31,1%) 36,5
(29,8%) 34,3
(46,6%) 83,9
(29,5%) 33,9
(18,0%) 18,8 (6,7%) 6,8
(40,2%) 55,5
(38,2%) 50,3
(23,6%) 25,7
(17,7%) 18,5
RM84
40 Joko Prasetiyono et al.
41
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi...
pengulangan pemilihan sampel populasi. Penyimpangan segregasi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan uji pautan. Hasil uji X2 (Tabel 1) menunjukkan bahwa 48 marka (72,73%) berperilaku seperti hukum Mendell (1:2:1), sedang 18 marka sisanya (27,27%) tidak berperilaku seperti hukum Mendell. Penyimpangan ini terjadi pada kromosom 2 (2 marka), kromosom 3 (4 marka), kromosom 3A (2 marka), kromosom 4 (1 marka), kromosom 5 (1 marka), kromosom 6 (3 marka), kromosom 7 (2 marka), kromosom 9 (2 marka), dan kromosom 11 (1 marka). Dari 18 marka yang menyimpang, 50% cenderung ke tetua ITA131, 28% ke tetua Dupa, dan 22% ke kedua tetua (heterosigot). Hal ini menunjukkan bahwa alel-alel pada 18 lokus tidak bersegregasi secara bebas. Setengah dari lokus-lokus tersebut masih didominasi oleh genotipe ITA131 (genotipe aa). Analisis marka tunggal Metode analisis marka tunggal tidak membutuhkan informasi susunan marka pada peta pautan. Metode ini membagi populasi ke dalam kelas-kelas berdasarkan genotipe setiap lokus/marka, dan menganggap adanya satu QTL jika terdapat perbedaan nyata dalam rataan skor fenotipe untuk masing-masing kelompok. Analisis marka tunggal dapat menggunakan uji tstudent, analisis varian (F) atau regresi (McCouch dan Doerge 1995). Uji t-student digunakan apabila genotipe yang diuji hanya ada dua macam, misal MM dan mm. Apabila genotipe yang diuji lebih dari dua macam dapat digunakan uji varian (F) atau regresi. Marka terpaut dengan QTL bila nilai peluangnya kurang dari 0,05 atau 0,01. Hasil analisis statistik untuk analisis marka tunggal dan proporsi genotipe dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan nilai peluang tersebut dapat ditentukan marka yang diduga terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al. Marka-marka yang diduga terpaut dengan sifat tersebut adalah RM492 (kromosom 2), RM 232 (kromosom 3), RM248 (kromosom 7), RM445 (kromosom 7), dan RM566 (kromosom 9). Namun, bila dilihat dari sumber segmen DNA, hanya marka RM248 dan RM445 (kromosom 7) yang memenuhi syarat. Dua marka ini memiliki segmen DNA dari Dupa sebagai sumber tetua toleran, sedangkan tiga marka lainnya mempunyai segmen DNA yang berasal dari ITA131 sebagai tetua peka. Hasil ini sesuai dengan analisis lanjutan (analisis permutasi) yang dilakukan 1.000 kali yang menghasilkan RM248 dan RM445 berbeda nyata pada taraf 5% (Fhit RM248=3,56 dan Ftabel=2,98; Fhit RM445=3,5 dan Ftabel=2,92).
Analisis marka interval Analisis marka interval digunakan karena QTL yang dideteksi kadang-kadang berada di antara dua marka. Analisis dilakukan dengan membandingkan nilai sifat (fenotipik) pada genotipe-genotipe dua marka dan memperkirakan pengaruh QTL yang diperoleh. Dengan membandingkan dua marka secara berurutan akan didapatkan posisi QTL di antara dua marka. Untuk menentukan ada tidaknya QTL dapat dilihat dari nilai regresi untuk masing-masing marka interval, atau dengan melihat nilai kemungkinan maksimum (nilai LOD maksimum). Untuk penelitian ini digunakan nilai batas LOD, yakni dengan membandingkan puncak LOD masingmasing kromosom dengan batas LOD minimal yang diperkenankan pada taraf 5%. Penentuan batas LOD minimal menggunakan analisis permutasi atau membandingkan dengan tabel simulasi yang telah dibuat. Batas LOD sangat tergantung pada panjang kromosom. Berdasarkan analisis menggunakan program Qgene (data tidak ditampilkan), dapat diketahui LOD tertinggi untuk tiap-tiap puncak interval masing-masing kromosom. LOD untuk masing-masing kromosom tidak terlalu tinggi. Untuk melihat LOD yang ideal, hasil ini kemudian dibandingkan dengan tabel simulasi menurut Van Ooijen (1999) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan analisis marka interval belum didapatkan marka-marka yang terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al. Hal ini sesuai dengan hasil analisis permutasi di mana marka dianggap terpaut dengan QTL bila puncak LOD melebihi 3,33 (taraf 5%) atau 4,45 (taraf 1%). Marka-marka yang dianalisis dalam penelitian ini masih belum bisa dipakai sebagai alat seleksi. Walaupun analisis marka tunggal mendapatkan dua marka yang terpaut dengan QTL, tetapi hasil tersebut belum memberikan gambaran rinci mengenai frekuensi rekombinasi di antara marka-marka dengan QTL dan juga efek dari QTL tersebut. Sebelum ditemukan metode analisis marka interval, hasil analisis tiap-tiap marka tunggal dibandingkan satu sama lain untuk memperkirakan posisi QTL yang lebih tepat. Tersedianya program komputer untuk analisis marka interval telah mempermudah dan mempercepat proses analisis marka interval. QTL yang berada di antara dua marka akan memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai efek dan posisinya. Analisis marka tunggal masih bisa digunakan bila peta pautan belum didapatkan. Namun bila peta pautan sudah berhasil dibuat,
42
Joko Prasetiyono et al. Tabel 1. Hasil analisis statistik marka tunggal (nilai peluang) dan proporsi genotipe (nilai X 2). Table 1. Statistical results for single marker analysis (probability value) and genotype proportion (X 2 values). Marka Marker RM237 RM212 RM128 RM472 RM5 RM580 RM490 RM84 RM138 RM166 RM240 RM221 RM263 RM475 RM262 RM492 RM555 RM279 RM211 RM282 RM232 RM489 RM22 RM442 RM520 RM168 RM426 RM273 RM307 RM538 RM26 RM440 RM509 RM437 RM548 RM439 RM340 RM50 RM510 RM170 RM248 RM18 RM445 RM11 RM481 RM126 RM506 RM264 RM230 RM256 RM201 RM257 RM566 RM464 RM271 RM467
Kromosom Chromosomes 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3A 3A 3A 3A 4 4 5 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 8 8 8A 8A 8A 9 9 9 9 10 10
Jarak (cM) Distance 0 33,9 40,7 59,5 115 165,3 191 209,5 0 16,2 31,9 65 93,8 133,5 145,6 199,1 225,8 240,4 250 0 7,8 31 45,9 0 29,2 47,1 55,4 0 64,8 0 6,7 42,9 68,1 98,9 113,4 0 7,5 68,5 91,4 100,4 0 22,9 59,4 93,7 177,6 0 64,7 0 14,3 24,4 0 18,9 34,6 119 0 11,8
Sumber Source
LOD
Nilai peluang Prob. value
Dupa Dupa Dupa Dupa Dupa I TA 1 3 1 Dupa Dupa Dupa Dupa Dupa Dupa Dupa I TA 1 3 1 Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa Dupa Dupa Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa Dupa Dupa Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1
0,23 0,89 1,26 0,76 0,75 0,06 0,1 1,02 0,75 1,26 0,51 0,03 0,42 0,27 0,01 1,69 0,41 0,62 0,3 0,55 1,44 0,08 0,09 1,29 0,05 0,26 0,29 0,54 0,07 0,42 0,72 0,16 0,4 0,47 0,1 0,15 0,36 0,15 0,25 0,69 1,53 0,69 1,51 0,14 0,19 0,08 0,02 0,34 0,61 0,33 0,34 0,35 1,52 0,11 0,08 0,32
0,599 0,1377 0,0603 0,1844 0,188 0,8748 0,8002 0,1031 0,1883 0,0605 0,3218 0,9353 0,3923 0,548 0,978 0,0232* 0,4012 0,2513 0,5126 0,2935 0,0404* 0,8368 0,8182 0,0565 0,8946 0,5602 0,524 0,3004 0,8556 0,3921 0,201 0,7002 0,41 0,3509 0,8005 0,7158 0,4485 0,7162 0,5728 0,2149 0,0331* 0,2149 0,0347* 0,7323 0,655 0,8367 0,9564 0,4691 0,2567 0,4792 0,4688 0,4585 0,0339* 0,7826 0,8371 0,49
X2 1,93 1,48 0,382 0,376 0,28 5,83 5,93 1,1 0,67 0,893 5,07 21,59 1,03 7,37 2,43 4,95 0,23 1,1 2,872 31,32 37,91 20,42 10,68 0,231,11 3,19 8,36 16,46 0,23 7,42 0,45 1,16 0,52 0,71 6,22 0,13 4,28 5,28 17,53 57,47 11,17 11,92 3,18 3,17 118,8 2,41 0,313 0,09 1,54 5,24 2,17 6,31 9,32 0,69 0,72 4,17 1,83
43
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi... Tabel 1. (lanjutan). Table 1. (continued). Marka Marker
Kromosom Chromosomes
Jarak (cM) Distance
Sumber Source
LOD
Nilai peluang Prob. value
X2
RM216 RM474 RM144 RM21 RM209 RM202 RM167 RM277 RM247 RM19
10 10 11 11 11 11 11 12 12 12
43,6 51,7 0 53,9 66,7 90,4 109,4 0 28,7 45
I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 I TA 1 3 1 Dupa Dupa Dupa Dupa I TA 1 3 1 Dupa Dupa
0,05 0,3 0,52 0,93 0,09 0,3 0,14 0,47 0,58 0,16
0,8946 0,5127 0,314 0,126 0,8183 0,5125 0,732 0,3509 0,2749 0,7003
1,46 0,27 0,23 16,24 5,61 2,09 3,47 0,78 0,28 3,43
Keterangan: Jumlah sampel yang dianalisis bervariasi dari 87 sampai 94 karena beberapa nomor tidak ada pita atau pitanya tidak seperti kedua tetuanya (data hilang). Sumber: asal segmen DNA yang terdeteksi. *Berbeda nyata pada taraf 5% (P<0,05). Nilai X 2 < 5,99 memenuhi hukum Mendell (1:2:1). Notes: Number of samples analyzed ranged between 87 and 94 because some samples had no bands or the bands are not same as those of their parent (the data missed). Source: Origin of detected DNA. *Highly different at 5% (P<0.05). X 2 value <5.99 fit Mendell's rule (1:2:1).
Tabel 2. Posisi puncak QTL untuk tiap-tiap kromosom. Table 2. Peak position of QTL of each chromosomes. Kromosom Chromosomes
Panjang total Total length
1 2 3 3A 4 5 6 72
209,5 250 45,9 55,4 64 113,4 100 177,6
8 8A 9 10 11 12
64,7 24,4 119 51,7 109,4 45
Posisi QTL QTL position (cm)
LOD
Batas LOD 1 Minimum LOD
RM472 - RM128 RM492 - RM262 RM232 - RM282 RM520 - RM442 RM307 - RM273 RM26 - R M 5 3 8 R M 3 4 0 - RM50 R M 2 4 8 - RM18 R M 4 4 5 - RM11 RM126 - RM506 RM230 - RM264 RM257 - RM566 RM271 - RM467 RM21 - R M 1 4 4 RM247 - RM277
1,4 2,03 1,54 1,24 0,54 0,84 0,63 1,73 1,73 0,12 0,6 1,51 0,32 0,9 0,45
3,1 3,1 2,4 2,4 2,7 2,9 2,7 3 3 2,7 2,4 2,9 2,7 2,9 2,4
Keterangan: 1 Batas LOD adalah LOD minimal yang akan memberikan hasil signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (P<0,05), berbeda-beda tergantung panjang total masing-masing kromosom. 2 Kromosom 7 memiliki dua puncak QTL yang hampir sama. Notes: 1 Minimal LOD that gives significant result at probability level 95% (P<0.05), the values were differed among chromosomes depending on its total length. 2 Chromosomes 7 has two QTL peaks.
44 sebaiknya hasil analisis marka interval saja yang dijadikan dasar alat seleksi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Nguyen et al. (2001) dengan menggunakan populasi F2 hasil persilangan Chiembau (padi toleran Al dari Vietnam) dengan Omon 269-65 (galur rakitan peka Al). Dari hasil penelitiannya, posisi QTL untuk sifat panjang akar pada kondisi keracunan Al terletak pada kromosom 1, sementara pada penelitian ini posisi QTL untuk sifat yang sama terletak pada kromosom 7. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa sifat toleransi terhadap keracunan Al dikendalikan oleh lebih dari satu gen. Hal ini terbukti pula dengan penelitian menggunakan bantuan marka molekuler. Wu et al. (2000) telah melakukan pemetaan QTL pada 150 galur recombinant inbred line (RIL) persilangan antara IR1552 (peka Al) dan Azusena (toleran Al). Disebutkan bahwa QTL yang mengendalikan panjang akar pada kondisi tercekam Al diatur oleh gen-gen yang berada pada kromosom 1 (RZ801-RG323) dan kromosom 12 (RG9-RG457). Disebutkan pula bahwa pada tahap awal pembibitan, toleransi terhadap keracunan Al dikontrol oleh pengaruh aditif, sedangkan pengaruh epistasi terjadi pada akhir masa pembibitan. Berdasarkan hal tersebut Wu et al. (2000) menyimpulkan bahwa QTL yang terdeteksi mungkin merupakan lokus-lokus yang terdiri atas banyak alel yang mengontrol toleransi terhadap Al, efisiensi pengikatan P, atau untuk toleransi Al dan Fe 2+. Nguyen et al. (2002) melakukan pemetaan QTL pada 146 double haploid padi hasil persilangan CT9993-510-1-M (toleran Al) dan IR62266-42-6-2 (peka Al) dengan menggunakan 280 marka DNA (RFLP, AFLP, dan mikrosatelit). Posisi QTL untuk panjang akar pada kondisi tercekam Al terdapat pada kromosom 1, 6, 7, 9, 10,dan 12, sedangkan pada kondisi normal pada kromosom 2, 7, dan 8. Dibandingkan dengan tanaman lain, ternyata toleransi tanaman padi terhadap keracunan Al tidak diatur oleh gen-gen yang mengumpul di satu tempat (satu kromosom) melainkan menyebar. Oleh karena itu, disarankan untuk merakit tanaman yang mengandung banyak gen (pyramiding gen) (Nguyen et al. 2001). Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya diduga karena penggunaan tetua persilangan yang berbeda. Mekanisme toleransi terhadap keracunan Al yang dimiliki Dupa mungkin berbeda dengan tetua toleran Al yang digunakan oleh peneliti sebelumnya. Untuk memastikan hal ini perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh mengenai keterpautan QTL yang berada pada kromosom 2, 3, 7, dan 9 dengan meng-
Joko Prasetiyono et al.
gunakan populasi F2 yang lebih besar dari 94 tanaman seperti yang digunakan dalam penelitian ini.
KESIMPULAN Teknik seleksi untuk ketahanan terhadap keracunan Al dengan menggunakan larutan Yoshida cukup sederhana, mudah, dan akurat. Pemetaan menghasilkan 14 peta pautan, di mana kromosom 3 dan 8 terpecah menjadi dua. Total jarak kromosom yang tercakup sebesar 1.430 cM dengan jarak rata-rata antarmarka 27,5 cM. Analisis marka tunggal mendapatkan dua marka mikrosatelit pada kromosom 7 (RM248 dan RM445) yang diduga terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al. Analisis marka interval belum mendapatkan marka-marka yang secara nyata menunjukkan posisi QTL. Perlu dilakukan analisis lanjutan dengan menambah jumlah individu F2 (Dupa x ITA131) menjadi 190 individu dan menambah jumlah primer mikrosatelit dengan mengkonsentrasikan pada kromosom 2, 3, 7, dan 9.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Erwina Lubis (Balai Penelitian Tanaman Padi) yang telah menyediakan bahan persilangan, serta Ir. M. Yunus, MSi; Dwinita W. Utami, MSi; dan KRT Trijatmiko, MSi (Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian) yang telah meluangkan waktunya untuk mendiskusikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Akagi, H., Y. Yokozeki, A. Inagaki, and T. Fujimura. 1996. Microsatellite DNA markers for rice chromosomes. Theor. Appl. Genet. 93: 1071-1077. Bennet, J. 1993. Maps and markers. In Genome Analysis of Plant, Pests, and Pathogens. Workshop Handbook. IRRI, Los Banos. p. 19-30. Chen, X., S. Temnykh, Y. Cu, F.G. Cho, and S.R. McCouch. 1997. Development of a microsatellite framework map providing genome wide coverage in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 95: 553-567. Dellaporta, S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation: version II. Plant. Mol. Biol. Rep 1(4): 1921. Bianchi-Hall, C.M., T.E. Carter, T.W. Rufty, C. Arellano, H.R. Boerma, D.A. Ashley, and J.W. Burton. 1998.
Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi... Heritability and resource allocation of aluminum tolerance derived from soybean PI 416937. Crop Sci. 38: 513-522. Khatiwada, S.P., D. Senadhira, A.L. Carpena, R.S. Zeigler, and P.G. Fernandez. 1996. Variability and genetics of tolerance for aluminum toxicity in rice (Oryza sativa L). Theor. Appl. Genet. 93: 738-744. Lubis, E. dan Suwarno. 2000. Seleksi padi gogo yang cocok untuk lahan masam. Buletin Plasma Nutfah 6(1): 47-52. McCouch, S.R. and S.D. Tanksley. 1991. Development and use of restriction fragment length polymorphism in rice breeding and genetics. p. 109-133. In G.S. Khush and G.H. Toenniessen (Eds.). Rice Biotechnology. IRRI. Los Banos, Philippines. McCouch, S.R. and R.W. Doerge. 1995. QTL mapping in rice. TIG 11(12): 482-487. McCouch, S.R., X. Chen, O. Panaud, S. Temnykh, Y. Xu, Y.G. Cho, N. Huang, T. Ishii, and M. Blair. 1997. Microsatellite marker development, mapping, and applications in rice genetics and breeding. Plant Mol. Biol. 35: 89-99. Nasution, I. dan O. Sudarman. 1986. Penelitian status hara padi sawah di tanah masam. Kumpulan Makalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor: 358-369. Nasution, I. dan T. Suhartini. 1992. Evaluasi metode uji ketahanan kultivar padi gogo terhadap tanah masam. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus 1991. AARP-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. hlm. 65-80. Nguyen, V.T., M.D. Burow, H.T. Nguyen, B.T. Le, T.D. Le, and A.H. Paterson. 2001. Molecular mapping of genes conferring aluminum tolerance in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 102: 1002-1010. Nguyen, V.T., B.D. Nguyen, S. Sarkarung, C. Martinez, A.H. Paterson, and H.T. Nguyen. 2002. Mapping of genes controlling aluminum tolerance in rice: Comparison of different genetic backgrounds. Mol. Genet. Genomics 267: 772-780. Panaud, O., X. Chen, and S.R. McCouch. 1995. Frequency of microsatellite sequences in rice (Oryza sativa L.). Genome 38: 1170-1176.
45 Panaud, O., X. Chen, and S.R. McCouch. 1996. Development of microsatellite markers and characterization of simple sequence length polymorphism (SSLP) in rice (Oryza sativa L.). Mol. Gen Genet. 252: 597-607. Powell, W., M. Morgante, C. Andre, M. Hanafey, J. Vogel, S. Tingey, and A. Rafalski. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Mol. Breed. 2: 225-238. Septiningsih, E.M., J. Prasetiyono, E. Lubis, T.H. Tai, T. Tjubaryat, S. Moeljopawiro, and S.R. McCouch. 2003. Identification of quantitative trait loci for yield and yield components in an advanced backcross population derived from the Oryza sativa variety IR64 and the wild relative O. rufipogon. Theor. App. Gen. 107: 1419-1432. Soepardi, G. 1983. Disawahkan dan tidak disawahkan sehubungan dengan pupuk P. Pertemuan Teknis Evaluasi Kerjasama Penelitian dan Pengujian ZA dan TSP di Petrokimia Gresik. PT Petrokimia Gresik. Gresik. 19 hlm. Subagyo, H., N. Suharta, dan Agus B.S. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21-65. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, dan D. Djaenuddin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Temnykh, S., W.D. Park, N. Ayres, S. Cartinhour, N. Hanck, L. Lipovich, Y.G. Cho, T. Ishii, and S.R. McCouch. 2000. Mapping and genome organization of microsatellite sequences in rice (Oryza sativa L.). Theor. Appl. Genet. 100: 697-712. Van Ooijen, J.W. 1999. LOD significance thresholds for QTL analysis in experimental populations of diploid species. Heredity 83: 613-624. Wu, P., B. Zhao, J. Yan, A. Luo, Y. Wu, and D. Senadhira. 1997. Genetic control of seedling tolerance to aluminum toxicity in rice. Euphytica 97: 289-293. Wu, P., C.Y. Liao, B. Hu, K.K. Yi, W.Z. Jin, J.J. Ni, and C. He. 2000. QTLs and epistasis for aluminum tolerance in rice (Oryza sativa L.) at different seedling stages. Theor. Appl. Genet. 100: 1295-1303. Yoshida S., D.A. Forno, J. Cock, and K.A. Gomez. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. 83 pp.