IDENTIFIKASI KUALITAS KONSUMSI PANGAN REMAJA STUNTING DAN NORMAL DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR
DYASTUTI PUSPITA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Identifikasi Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Stunting dan Normal di Sekolah Menengah Pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Dyastuti Puspita NIM I14110061
ABSTRAK DYASTUTI PUSPITA. Identifikasi Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Stunting dan Normal di Sekolah Menengah Pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kualitas konsumsi pangan, yang ditentukan berdasarkan dietary diversity score (DDS), remaja stunting dan normal. Seratus sembilan puluh siswa diikutkan dalam penelitian ini dengan menggunakan desain cross-sectional. DDS dihitung berdasarkan data semiquantitative food frequency selama satu bulan terakhir dengan cara menjumlahkan semua (9) kelompok pangan, sehingga kisaran skor adalah 0-9. Rata-rata DDS contoh stunting adalah lebih rendah daripada contoh normal, yaitu masing-masing sebesar 7.45 ± 1.25 dan 7.74 ±1.02. Terdapat hubungan yang signifikan (p=0.000, r=0.350) antara DDS dengan MAR. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa DDS dapat mencerminkan kualitas konsumsi pangan. Kata kunci: dietary diversity score, mean adequacy ratio, stunting
ABSTRACT DYASTUTI PUSPITA. Identification of Food Quality among Stunting and Normal Adolescent in Junior High School of Ciomas Sub-District, Bogor District. Supervisied by LILIK KUSTIYAH.
ABSTRACT The objective of this study was to identify the quality of food consumption, assessed by dietary diversity score (DDS), of stunting and normal adolescents. One hundred and ninety subjects were involved in this cross-sectional study. Dietary diversity data were estimated using DDS instruments derived from the last month of semi-quantitative food frequency data where all food groups were summed in the range of 0–9. Average of DDS of stunting adolescents were lower than normal ones, i.e. 7.45 ± 1.25 and 7.74 ± 1.02, respectively. There was significant correlation (p=0.000, r=0.350) between DDS and mean adequacy ratio (MAR).This research suggest that DDS can be used as estimated of the quality of food consumption. Keywords: dietary diversity score, mean adequacy ratio, stunting
IDENTIFIKASI KUALITAS KONSUMSI PANGAN REMAJA STUNTING DAN NORMAL DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KECAMATAN CIOMAS, KABUPATEN BOGOR
DYASTUTI PUSPITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Identifikasi Kualitas Konsumsi Pangan Remaja Stunting dan Normal di Sekolah Menengah Pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah bersedia membimbing, mengarahkan, memberikan waktunya, mengajarkan banyak hal, serta memberi saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M. S selaku dosen pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan masukan, arahan, dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. 3. Ayah Sudino dan Ibu Julince selaku orang tua penulis yang telah memberikan dukungan, kesabaran, kepercayaan, dan kasih sayangnya, serta seluruh keluarga penulis yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Dora Andriani, Nur Khoiriyah, Nisya Dewi Prameita, Rido Akbar, Raditya Putro, dan Wilda Eka Putri serta teman-teman Gizi Masyarakat 48 yang selalu memotivasi selama proses penyusunan skripsi dalam keadaan apapun. 5. SMPN 1 Ciomas dan SMP Ibnu Aqil Ciomas selaku pihak sekolah yang telah mengizinkan siswa-siswinya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. 6. Seluruh pihak yang terkait yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusinya dalam penulisan skripsi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas konsumsi pangan dari remaja stunting dan normal di sekolah menengah pertama Kecamatan Ciomas. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari beberapa kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Agustus 2015
Dyastuti Puspita
13
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
iv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Kegunaan
2
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
5
Desain, Tempat, dan Waktu
5
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
5
Jenis dan Cara Pegumpulan Data
5
Pengolahan dan Analisis Data
7
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
10 11
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
11
Karakteristik Contoh
12
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
14
Konsumsi Pangan
16
Keanekaragaman Konsumsi Pangan
21
Hubungan antar Variabel
24
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
31
14
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis dan cara pengumpulan data 7 Angka kecukupan gizi 8 Skor keanekaragaman konsumsi pangan 9 Pengkategorian variabel 10 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi 13 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan status gizi 15 Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi 17 Rata-rata NAR berdasarkan status gizi 17 Sebaran kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi 18 Rata-rata frekuensi konsumsi untuk setiap kelompok pangan berdasarkan status gizi 20 Sebaran kategori MAR berdasarkan status gizi 21 Sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi dan status gizi 22 Sebaran rata-rata±standar deviasi berdasarkan status gizi 23 Sebaran contoh berdasarkan kategori DDS dan status gizi 24
DAFTAR GAMBAR 1
2
Kerangka pemikiran: identifikasi kualitas konsumsi pangan remaja stunting dan normal di sekolah menengah pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor Bagan cara penarikan contoh
4 6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Uji hubungan karakteristik contoh dan karakteristik sosial ekonomi keluarga 31 Uji hubungan karakteristik contoh dengan NAR energi dan zat gizi 32 Uji hubungan karakteristik contoh dengan MAR dan DDS 33 Uji hubungan karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan NAR energi dan zat gizi 34 Uji hubungan karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan MAR dan DDS 35 Uji hubungan NAR energi dan zat gizi, MAR, dan DDS 36 Dokumentasi penelitian 37
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat pembangunan nasional pada suatu bangsa dikatakan berhasil jika memiliki sumberdaya manusia (SDM) berkualitas. Menurut Bappenas (2011) SDM berkualitas ditandai dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang terjaga, menguasai pengetahuan, dan teknologi. Hal ini erat kaitannya dengan keadaan status gizi yang baik. Status gizi yang baik dipengaruhi secara langsung oleh kecukupan asupan gizi yang baik (kuantitas dan kualitas) serta keadaan kesehatan yang baik (UNICEF 2006). SDM yang berkualitas dapat dipersiapkan sejak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja akan terjadi banyak perubahan dalam kejadian pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tercepat kedua setelah bayi dalam daur kehidupan. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Transisi atau perubahan yang terjadi dimasa remaja meliputi perubahan biologis, perubahan kognitif, dan perubahan emosional. Perubahan ini akan dapat tercapai optimal dengan didukung oleh asupan gizi yang baik (Blake 2015). Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam bidang gizi pada masa remaja. Jika keadaan gizi pada masa remaja dibiarkan maka akan memungkinkan terjadinya permasalahan gizi, seperti kejadian stunting. Stunting merupakan keadaan rendahnya tinggi badan menurut usia (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) (WHO 2007). Dampak dari kejadian stunting ini menurut ACC/SCN (2000) yaitu dapat menurunkan perkembangan fungsi motorik, mental, serta kapasitas fisik. Riskesdas (2013) menunjukkan indikator status gizi berdasarkan TB/U memberikan informasi mengenai masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang telah berlangsung lama dan berdampak pada bentuk tubuh menjadi pendek. Prevalensi stunting sejak tahun 2007 sampai 2013 cenderung fruktuatif. Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), prevalensi stunting secara nasional masingmasing sebesar 36.8%, 35.6%, dan 37.2% pada tahun 2007, 2010, dan 2013. Prevalensi stunting, baik nasional maupun provinsi, khususnya Jawa Barat berada dalam kategori masalah berat menurut WHO (2010) dalam Riskesdas (2013), karena berada pada rentang 30-39%. Prevalensi stunting 2013 pada provinsi Jawa Barat dengan golongan usia remaja, yaitu usia 13-15 tahun, mengalami penurunan yang tidak signifikan dari tahun 2010. Hal ini ditunjukkan oleh total prevalensi stunting yang terjadi di Jawa Barat pada usia remaja sebesar 33.8% dan 34.8% pada tahun 2013 dan 2010. Stunting digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pendek dan sangat pendek. Prevalensi pendek dan sangat pendek yang terjadi di Jawa Barat pada usia remaja secara berurutan, yaitu sebesar 21.2% dan 12.6% pada tahun 2013 serta 21.9% dan 12.9% pada tahun 2010. Kejadian stunting dipengaruhi secara langsung oleh keadaan konsumsi pangan, baik kuantitas maupun kualitasnya, serta kejadian penyakit infeksi. Pengukuran kuantitas pangan dapat dilihat melalui tingkat kecukupan zat gizi atau nutrient adequacy ratio (NAR). Adapun pengukuran kualitas pangan dapat diketahui dengan menggunakan indikator skor keanekaragaman konsumsi pangan
2
(dietary diversity score/DDS). Indikator ini dinilai sangat mewakili terhadap penilaian kecukupan zat gizi pada penelitian dimasyarakat pedesaan di Sri Lanka (r=0.48, p<0.01). Nilai indikator tersebut akan meningkat dengan mempertimbangkan kuantitas dari pangan yang dikonsumsi (Rathnayake et. al 2012). Penelitian Rah et. al (2010) di pedesaan Bangladesh menunjukkan bahwa pengurangan keanekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu penyebab kuat terhadap kejadian stunting. Selain itu, penambahan variasi makanan juga dianggap penting dalam memperbaiki keadaan status gizi. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas dari konsumsi pangan terhadap kejadian stunting menarik untuk dikaji. Selain itu, sejauh ini belum ada penelitian tentang hubungan kualitas konsumsi pangan dengan stunting pada remaja di Kecamatan Ciomas. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengkaji kualitas konsumsi pangan dengan menggunakan indikator DDS yang dikembangkan oleh FAO (2010) pada remaja stunting dan normal di sekolah menengah pertama (SMP) Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji kualitas konsumsi pangan remaja stunting dan normal di sekolah menengah pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji karakteristik contoh dan karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh stunting dan normal. 2. Mengkaji tingkat kecukupan energi dan zat gizi atau nutrient adequacy ratio (NAR), mean adequacy ratio (MAR), dan dietary diversity score (DDS). 3. Menganalisis perbedaan karakteristik contoh dan karakteristik sosial ekonomi antara contoh stunting dan normal. 4. Menganalisis perbedaan NAR, MAR, dan DDS antara contoh stunting dan normal. 5. Menganalisis hubungan MAR dan DDS.
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan yang cukup sesuai kebutuhan dan pentingnya mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam dalam mencegah kejadian stunting. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi remaja untuk dapat mengatur asupan makanannya dengan baik dan juga bagi pemerintah sebagai bentuk pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menyusun strategi program pencegahan kejadian stunting.
3
KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi merupakan keadaan gizi seseorang yang diukur atau dinilai pada satu waktu. Hasil yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dan merupakan salah satu indikator keberhasilan seseorang dalam memenuhi kebutuhan gizinya. Hal ini akan terlihat pada seorang melalui keadaan berat dan tinggi badannya. Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan kejadian penyakit infeksi. Namun, penelitian ini tidak membahas secara langsung mengenai keterkaitan kejadian penyakit infeksi dengan kejadian stunting. Menurut ACC/SCN (2000), keadaan status gizi akan mempengaruhi keadaan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan banyak terjadi pada usia remaja. Hal ini erat kaitannya dengan kejadian transisi. Banyak perubahan yang terjadi diusia remaja, seperti perubahan tinggi badan, perubahan hormonal, dan kematangan seksual. Perubahan tersebut membutuhkan asupan gizi yang baik agar pertumbuhan yang terjadi dapat tercapai secara optimal. Selain itu perkembangan yang terjadi pada remaja adalah meningkatkan kepercayaan diri. Tingkat kepercayaan diri berdampak pada keadaan pemenuhan gizi remaja, sehingga remaja terbiasa menentukan makanan yang akan dikonsumsi berdasarkan persepsinya. Asupan gizi akan secara langsung mempengaruhi status gizi. Asupan gizi yang kurang dalam waktu lama akan menimbulkan masalah gizi, yaitu stunting. Oleh karena itu keadaan stunting sangat dipengaruhi langsung oleh keadaan konsumsi pangan. Konsumsi pangan itu sendiri dipengaruhi oleh jumlahnya secara kuantitas dalam memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh dan kualitasnya dalam keanekaragaman sumber zat gizi. Kuantitas zat gizi dapat dilihat dari keadaan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dari setiap individu yang diukur menggunakan rasio kecukupan gizi (nutrient adequacy ratio/NAR), sedangkan kualitas konsumsi dapat dilihat melalui skor keanekaragaman konsumsi pangan (dietary diversity score/DDS). Kecukupan makanan pada individu dapat diukur melalui perbandingan DDS dengan rasio rata-rata tingkat kecukupan gizi (mean adequacy ratio/MAR) (Meisya 2014). Stunting dapat disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari genetik. Perempuan dewasa stunting memiliki resiko kecenderungan yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Keadaan BBLR memicu risiko terjadinya gangguan pertumbuhan ketika masa kanak-kanak (UNSSCN 2010). Hal ini dapat menyatakan bahwa masalah stunting jika tidak diatasi dengan serius akan menjadi masalah berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya (World Bank 2006). Faktor eksternal termasuk didalamnya adalah kecukupan asupan zat gizi dan sanitasi lingkungan (Yasmin 2014). Karakteristik keluarga dan contoh akan mempengaruhi keadaan konsumsi pangan. Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi antara lain: tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, besarnya keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Sedangkan, karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin, dan besarnya uang jajan. Penjabaran ini menduga bahwa karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, kuantitas dan kualitas konsumsi pangan, merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada usia remaja. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
4
Status Gizi: Stunting Normal
Konsumsi Pangan
Faktor genetik: Tinggi badan ibu
Penyakit Infeksi
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi atau nutrient adequacy ratio (NAR) Mean adequacy ratio (MAR) Dietary diversity score (DDS)
Karakteristik Contoh: Usia Jenis Kelamin Uang Jajan
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga: Tingkat pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Besar keluarga
Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran: identifikasi kualitas konsumsi pangan remaja stunting dan normal di sekolah menengah pertama Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
5
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan dalam satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SMP Ibnu Aqil Ciomas dan SMPN 1 Ciomas, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 relatif tinggi, yaitu sebesar 35.3%. Pengambilan data dimulai pada bulan Januari-Maret 2015.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII SMP pada tahun ajaran 2014/2015. Penelitian diawali melalui penentuan status gizi siswa-siswi dengan cara pengukuran langsung berat badan dan tinggi badan pada populasi penelitian. Pemilihan contoh dilakukan berdasarkan status gizi. Siswa-siswi yang memiliki nilai z-skor TB/U kurang dari -2 SD termasuk dalam contoh stunting sementara siswa-siswi yang memiliki z-skor TB/U lebih dari sama dengan -2 SD termasuk dalam contoh normal. Gambar 2 disajikan bagan cara penarikan contoh pada penelitian ini. Jumlah contoh minimal adalah 93 siswa-siswi yang diperoleh berdasarkan rumus: n = (Z2α x p x q)/d2 Keterangan: n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan Z2α = Tingkat kemaknaan atau nilai sebaran baku pada taraf nyata 95% (1,96) p = Proporsi/prevaleni stunting di Provinsi Jawa Barat q = (1-p) d = Presisi (limit error) atau kesalahan yang dapat ditaksir = 0.1
n ≥ (1.962 x 0.353 x 0.689)/0.12 ≥ 93 contoh minimal
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan pengisian kuesioner yang telah dipersiapkan dan telah diberi arahan oleh peneliti. Data primer meliputi karakteristik individu contoh (usia, jenis kelamin, serta besarnya uang jajan), karakteristik sosial ekonomi keluarga (tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besarnya keluarga yang tinggal dalam satu rumah), serta konsumsi pangan contoh. Data sekunder yang dikumpulkan adalah gambaran umum sekolah yang diperoleh melalui informasi baik lisan maupun tertulis dari pihak sekolah serta melalui pengamatan langsung.
6
Jumlah siswa-siswi kelas VII (N=596)
Skrining TB/U (n=596)
Stunting (n=114) Sangat pendek (z-skor <-3 SD) Pendek (-3 SD ≤ z-skor < -2 SD)
Normal (n=482) (z-skor ≥ -2 SD)
Acak terstratifikasi sesuai jenis kelamin DO (n=38, tidak hadir dan tidak bersedia)
Sampel data terpilih (N=228)
Stunting (n=114)
Normal (n=114)
Data kuesioner I yang dianalisis (n=190)
Stunting (n=95)
Normal (n=95)
Data kuesioner II yang dianalisis (n=134)
Stunting (n=67)
Normal (n=67)
Gambar 2 Bagan cara penarikan contoh Data karakteristik contoh dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh contoh yang dipandu oleh peneliti dan setelah mendapatkan penjelasan. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh orang tua contoh, namun setelah contoh mendapatkan penjelasan dari peneliti. Status gizi contoh ditentukan dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan secara langsung. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur berat badan yaitu timbangan injak digital dan untuk mengukur tinggi badan menggunakan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0.1 cm. Sementara, data konsumsi pangan contoh
7
didapatkan berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang dipandu oleh peneliti. Data konsumsi pangan berasal dari data Semi-Quantitative Food Frequency Questioner (S-QFFQ). Jenis dan cara pengumpulan data secara rinci selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No
Variabel
1
Karakteristik Contoh
2
Sosial Ekonomi Keluarga
3
Status gizi secara antropometri
4
Konsumsi Pangan
Jenis Data - Usia - Jenis Kelamin - Besarnya uang jajan - Tingkat pendidikan orang tua - Pendapatan keluarga - Besarnya keluarga -Berat badan (BB) -Tinggi badan (TB) - S-QFFQ
Cara Pengumpulan Pengisian kuesioner setelah mendapat penjelasan dan dipandu oleh peneliti. Pengisian kuesioner oleh orang tua setelah contoh mendapat penjelasan dari peneliti. - Menggunakan timbangan injak digital - Menggunakan microtoise Pengisian kuesioner yang dipandu oleh peneliti.
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data dan analisis data meliputi: editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Data yang diperoleh kemudian diolah, disajikan dalam bentuk tabel, diagram, atau kurva, dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for window. Karakteristik contoh meliputi jenis kelamin dan usia. Usia contoh berada dalam rentang 11-14 tahun. Jenis kelamin dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Besarnya uang jajan disesuaikan dengan rata-rata dari seluruh contoh. Contoh dengan uang jajan dibawah rata-rata dikategorikan kedalam kategori uang jajan kecil, sedangkan contoh dengan uang jajan diatas rata-rata dikategorikan kedalam kategori uang jajan besar. Karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi: tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan besarnya keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Tingkat pendidikan orang tua dikategorikan menjadi: tidak tamat SD, SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan tinggi. Namun, untuk mempermudah penyajian dalam pembahasan maka tingkat pendidikan orang tua dikategorikan menjadi kurang dari tamat SMA dan lebih dari atau sama dengan tamat SMA. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar secara mudah dapat diketahui berapa orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi. Pendapatan keluarga dikategorikan menjadi: rendah (< Rp1 000 000), cukup (Rp1 000 000-Rp2 999 000), tinggi (Rp3 000 000-Rp3 499 000), dan sangat tinggi (>Rp3 499 000). Besar keluarga dikategorikan menjadi: keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥8 orang). Penyajian dalam pembahasan mempermudah pengkategorian dengan membagi menjadi dua kategori, yaitu kurang dari Rp3 000 000 dan lebih dari atau sama dengan Rp 3 000 000. Data status gizi diolah secara manual dengan menggunakan rumus baku antropometri kemudian dikategorikan menurut indeks TB/U, seperti pada Tabel 4. Data konsumsi pangan meliputi tingkat konsumsi energi dan zat gizi/nutrient
8
adequacy ratio (NAR) dan kualitas konsumsi pangan yang dinilai dengan mutu gizi/mean adequacy ratio (MAR). NAR dikategorikan berdasarkan Riskesdas (2003) kedalam lima kategori, yaitu defisit berat, defisit sedang, defisit ringan, cukup, dan lebih. Penyajian NAR dalam pembahasan dikategorikan menjadi tiga ketegori, yaitu defisit, cukup, dan lebih. MAR dikategorikan berdasarkan Hardinsyah (1996) dalam Anwar (2013) kedalam empat kategori, yaitu sangat kurang, kurang, cukup, dan baik. Penyajian MAR dalam pembahasan dikategorikan menjadi tiga ketegori, yaitu kurang, cukup, dan baik. Kategori NAR dan MAR secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Perhitungan tingkat konsumsi energi dan zat gizi pangan dimulai dengan mengkonversi data konsumsi pangan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan 2004 (DKBM 2004). Kandungan gizi dari data konsumsi dapat dikonversi menggunakan rumus berikut: KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij : kandungan zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram Bj : berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g) Gij : kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj : persen bahan makanan j yang dapat dimakan (% BDD)
NAR dihitung dengan menggunakan rumus, sebagai berikut: NAR = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: NAR : nutrient adequacy ratio/tingkat konsumsi Ki : konsumsi zat gizi i AKGi : angka kecukupan gizi I (angka yang dianjurkan)
energi dan zat gizi
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat dilihat dari Angka Kecukupan energi, protein dan zat gizi yang dianjurkan pada remaja berdasarkan AKG 2013 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Angka kecukupan gizi Kelompok umur Laki-laki 10-12 tahun 13-15 Tahun Perempuan 10-12 tahun 13-15 tahun
BB (kg)
TB (cm)
Energi (kkal)
Protein (g)
Vit A (mcg)
Vit C (mg)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Seng (mg)
34 46
142 158
2100 2475
56 72
600 600
50 75
1200 1200
13 19
14 18
36 46
145 155
2000 2125
60 69
600 600
50 65
1200 1200
20 26
13 16
MAR dihitung dengan menggunakan rumus, sebagai berikut: MAR = Ʃ NAR/ Ʃ jenis zat gizi Keterangan: MAR Ʃ NAR Ʃ zat gizi
: mean adequacy ratio/mutu gizi : jumlah NAR : jumlah jenis zat gizi
9
Data keanekaragaman konsumsi pangan diolah menggunakan instrumen DDS yang dikembangkan oleh FAO (2010). Keanekaragaman konsumsi pangan disusun dan dinilai berdasarkan 9 kelompok pangan. Sembilan kelompok pangan tersebut terdiri dari makanan pokok berpati; sayuran hijau; buah dan sayur sumber vitamin A; buah dan sayur lainnya; jeroan; daging dan ikan; telur; polong, kacang, dan biji-bijian; serta susu dan produk susu (FAO 2010; Kennedy et al. 2007; Meisya 2014). Pemberian skor pada DDS sesuai pada ketentuan Kennedy et al. (2007), jika mengonsumsi kelompok pangan lebih dari sama dengan 10 g maka akan diberikan skor 1, sedangkan kurang dari 10 g diberikan skor 0. Tabel 3 disajikan keterangan rinci mengenai jenis bahan makanan yang tergolong kedalam setiap kelompok pangan. Tabel 3 Skor keanekaragaman konsumsi pangan Kelompok Pangan Makanan pokok berpati Sayuran hijau Buah dan sayur sumber vitamin A Buah dan sayur lainnya
Bahan Makanan Beras, jagung/maizena, singkong, kentang, ubi, gandum/terigu atau olahan dari bahan tersebut (roti, mie, bubur atau produk dari tepung-tepungan) Buncis, brokoli, daun singkong, selada, sawi hijau, daun labu, bayam, kangkung Wortel, labu kuning, mangga, papaya, tomat
Skor1
Timun, terung, jamur, kacang panjang, apel, alpukat, pisang, durian, anggur, jambu biji, kelengkeng, pir, nanas, rambutan, belimbing, stroberi, semangka Jeroan Hati, ampela, paru, usus, babat Daging dan ikan Daging sapi, daging domba, daging ayam, daging bebek, ikan basah, ikan kering, dan olahan lainnya Telur Telur ayam, telur bebek, telur puyuh Polong, kacang, dan Kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, dan produk biji-bijian olahan kedelai (tempe, tahu, susu kedelai), produk olahan kacang-kacangan dan biji-bijian (selai kacang) Susu dan produk susu Susu full cream, susu rendah lemak, susu skim, keju, ice cream, yoghurt Sumber: FAO 2010; Kennedy et al. 2007; Meisya 2014 1
Penentuan skor adalah berdasarkan Kennedy et al. (2007), yakni: Skor = 1, jika mengonsumsi jenis pangan lebih dari atau sama dengan 10 gram Skor = 0, jika tidak mengonsumsi jenis pangan atau mengonsumsi dengan jumlah kurang dari 10 gram
Tabel 4 menyajikan pengkategorian variabel penelitian secara rinci. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif meliputi: distribusi frekuensi, rata-rata, standar deviasi, dan persentase. Analisis deskriptif dilakukan pada karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, dan besar uang jajan), karakteristik sosial ekonomi keluarga (tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga), serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi, dan keanekaragaman konsumsi pangan contoh. Adapun analisis inferensia meliputi uji beda dan dilanjutkan dengan uji hubungan. Uji beda yang dilakukan adalah 1). menguji perbedaan karakteristik contoh dan karakteristik sosial ekonomi keluarga antara contoh stunting dan normal, 2). menguji perbedaan NAR, MAR, dan DDS antara karakteristik contoh stunting dan normal, dan 3). menguji perbedaan NAR, MAR, dan DDS antara
10
karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh stunting dan normal. Uji hubungan dilakukan pada: 1). menguji hubungan antara karakteristik contoh dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga, 2). menguji hubungan antara karakteristik contoh dengan NAR, 3). menguji hubungan antara karakteristik contoh dengan DDS, 4). menguji hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan NAR, 5). menguji hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan DDS, dan 6). menguji hubungan antara MAR dengan DDS. Tabel 4 Pengkategorian variabel No 1
Variabel Karakteristik contoh 1. Usia (Almasier 2002)
2. 2
Kategori
Jenis kelamin
Karakteristik sosial ekonomi keluarga 1. Tingkat pendidikan orang tua (Depkes 2010)
2.
Pendapatan keluarga (rupiah/bulan) (BPS 2010)
3.
Besar keluarga (BKKBN 1998)
3
Status gizi (TB/U) (WHO 2007)
4
Konsumsi pangan 1. Tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 2003)
2. 3.
4.
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral (Gibson 2005) MAR (Hardinsyah dalam Anwar 2013)
DDS (Mirmiran et al. 2004)
1. 2. 3. 4.
11 tahun 12 tahun 13 tahun 14 tahun
1. 2.
Laki-laki Perempuan
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3.
Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat perguruan tinggi/sederajat Rendah < Rp1 000 000 Cukup Rp1 000 000 – Rp2 999 000 Tinggi Rp3 000 000 – Rp3 499 000 Sangat tinggi > Rp3 499 000 Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (≥ 8 orang)
1. 2. 3.
Sangat pendek (z-skor <-3 SD) Pendek (-3 SD ≥ z-skor < -2 SD) Normal (z-skor ≥ -2 SD)
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3.
Defisit Berat (<70% AKG) Defisit Sedang (70-79% AKG) Defisit Ringan (80-89% AKG) Cukup (90-119% AKG) Lebih (≥ 120% AKG) Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Sangat kurang (<55%) Kurang (55-69.9%) Cukup (70-84.9%) Baik (≥85%) Kurang (<3 jenis kelompok pangan) Sedang (3-5 jenis kelompok pangan) Baik (≥6 jenis kelompok pangan)
Definisi Operasional Besar keluarga
adalah banyaknya anggota keluarga yaitu ibu, ayah, anak-anaknya serta orang lain yang tinggal bersama
11
Contoh normal
Karakteristik contoh Konsumsi pangan
Pendapatan keluarga Pendidikan orang tua Status gizi
Sosial ekonomi keluarga Stunting
dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga yang dinyatakan dalam jiwa. adalah siswa atau siswi kelas VII Ibnu Aqil Ciomas dan SMPN 1 Ciomas yang memiliki z-skor TB/U ≥2 standar deviasi (SD) dari nilai median referensi pertumbuhan internasional NCHS/WHO dan berusia 11-15 tahun. adalah data usia, jenis kelamin, dan besarnya uang jajan contoh. adalah jumlah dan rata-rata kuantitas serta kualitas pangan yang dikonsumsi contoh. Kuantitas pangan diukur menggunakan NAR dan MAR, sedangkan kualitas pangan diukur menggunakan DDS. adalah pendapat ayah dan ibu yang diperoleh setiap bulannya dalam satuan rupiah. adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh dan diselesaikan oleh ayah dan ibu. adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan energi dan zat gizi dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, diperoleh dari pengukuran antropometri dengan indeks tinggi badan menurut usia (TB/U) yang kemudian dibandingkan dengan referensi WHO Reference 2007 dan dinyatakan dalam z-skor. adalah data tingkat pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. adalah keadaan status gizi berdasarkan indeks tinggi badan menurut usia (TB/U) dengan nilai z-skor TB/U <-2 SD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari puluhan kecamatan dengan karakteristik yang berbeda. Salah satu kecamatan tersebut adalah Kecamatan Ciomas. Kecamatan Ciomas terletak di 3 km dari pusat Kota Bogor. Letak Kecamatan Ciomas yang strategis membuat kecamatan ini menjadi kecamatan terpadat dengan luas wilayah terkecil di Kabupaten Bogor, yaitu seluas 16.3 km2. Meskipun memiliki luas wilayah yang kecil, Kecamatan Ciomas memiliki fasilitas pendidikan formal yang memadai, terdiri atas: 51 Sekolah Dasar (SD), 20 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 3 Sekolah Menengah Atas (SMA), 4 Madrasah Aliyah (MA), 9 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan 1 Perguruan Tinggi.
12
Dua dari dua puluh SMP yang ada di Kecamatan Ciomas, yaitu SMP Negeri 1 Ciomas yang terletak di Desa Sukamakmur dan SMP Ibnu Aqil yang terletak di Desa Laladon. SMP Negeri 1 Ciomas merupakan SMP Negeri yang didirikan pada 26 Juni 1985 dengan nama awal yaitu SMP Negeri 3 Ciomas, namun pada tahun 2002, nama sekolah ini berubah menjadi SMP Negeri 1 Ciomas, dikarenakan terjadi pemekaran wilayah di Kecamatan Ciomas. SMP ini mempunyai akreditasi A (amat baik) dan termasuk kedalam kategori Sekolah Adiwiyata yang Mandiri. Adiwiyata merupakan salah satu program Kementrian Negara Lingkungan Hidup dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan keasadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Program ini diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju lingkungan yang sehat dan menghidarkan dampak lingkungan yang negatif. SMP Negeri 1 Ciomas memiliki masing-masing 9 kelas untuk tingkat VII, VIII, dan IX dengan jumlah siswa 36-42 orang untuk setiap kelas. Selain ruang kelas, SMP Negeri 1 Ciomas memiliki ruang lainnya, seperti: ruang guru, ruang kepala sekolah, unit kesehatan sekolah (UKS), ruang tata usaha (TU), koperasi siswa, koperasi sekolah, laboratorium bahasa, laboratorium IPA, ruang multimedia, kantin, toilet, lapangan upacara, lapangan olahraga, lapangan parkir, perpustakaan, ruang bimbingan konseling (BK), dan masjid. Fasilitas di SMP Negeri 1 Ciomas cukup lengkap dan dalam kondisi baik, namun terdapat beberapa toilet yang tidak dapat digunakan. SMP Ibnu Aqil merupakan SMP yang didirikan oleh sebuah yayasan, yaitu Yayasan Ibnu Aqil. Yayasan ini tidak hanya membangun tingkat pendidikan formal SMP, namun juga ada SMA dan SMK yang terletak pada lokasi yang sama. SMP Ibnu Aqil memiliki masing-masing 8 kelas untuk tingkat VII, VIII, dan IX dengan jumlah siswa 36-38 orang untuk setiap kelas. Fasilitas yang ada di SMP Ibnu Aqil antara lain ruang guru, ruang kepala sekolah, laboratorium komputer, kantin, toilet, lapangan olahraga, lapangan parkir, dan masjid. Fasilitas SMP Ibnu Aqil juga digunakan bersama dengan SMA dan SMK Ibnu Aqil.
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, dan besarnya uang jajan perhari. Jumlah contoh yang diteliti adalah sebanyak 190 orang, masing-masing terdiri atas 95 orang untuk setiap kelompok contoh, baik stunting maupun normal. Jumlah contoh diambil berdasarkan data screening SMP Ibnu Aqil dan SMPN 1 Ciomas, yang menunjukkan prevalensi sebesar 21.03%. Menurut Riskesdas (2013), stunting dapat menunjukkan masalah gizi jika berada pada prevalensi lebih dari 20%. Tabel 5 disajikan sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi contoh. Usia contoh Berdasarkan hasil penelitian, baik kelompok stunting dan normal berada pada rentang usia 11-14 tahun. Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata usia contoh untuk setiap kelompok, stunting (64.2%) dan normal (66.3%) adalah 12 tahun. Kejadian stunting berada pada usia 14 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi, yaitu 6.3%. Hal ini dapat menginformasikan bahwa kejadian stunting akan
13
cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Hasil penelitian Friedman et al. (2005), Arnelia (2011), dan Yasmin et al. (2014) menunjukkan bahwa peningkatan prevalensi kejadian stunting sejalan dengan peningkatan usia. Penelitian Friedman et al. (2005), di Kenya pada 1080 anak usia sekolah menunjukkan indeks TB/U semakin menjauh dari nilai media beriringan dengan meningkatnya usia. Menurut Senbanjo et al. (2011), pada penelitiannya terhadap 630 anak sekolah di Nigeria, menunjukkan bahwa peningkatan prevalensi stunting searah dengan peningkatan usia, secara signifikan terjadi pada anak laki-laki. Hal ini juga berhubungan dengan kejadian percepatan pertumbuhan (growth spurt), yang tidak terjadi atau terlambat terjadi pada kelompok stunting dibandingkan dengan kelompok normal. Menurut Partnership for Child Development (1999), penelitian yang dilakukan pada anak usia 8-9 tahun dan 12-13 tahun, terdapat hubungan yang kuat antara TB/U dengan usia telat masuk sekolah. Hal ini berkaitan dengan tingginya anak stunting yang tidak menyelesaikan pendidikan di sekolah. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan status gizi Karakteristik Usia 11 Tahun 12 Tahun 13 Tahun 14 Tahun Total Rata-rata±SD Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Uang Jajan/hari Median (min, max) Kecil (< Rp12 623) Besar(≥ Rp 12 623) Total Rata-rata±SD
Stunting n
%
Normal n
%
Total n
%
2 2.1 61 64.2 26 27.4 6 6.3 95 100 12.77±6.604
1 1.1 63 66.3 28 29.5 3 3.1 95 100 12.76±5.855
3 1.6 124 65.2 54 28.5 9 4.7 190 100 12.76±6.225
35 36.8 60 63.2 95 100 12 000 (5 000, 30 000) 54 56.8 41 43.2 95 100 12 421.05± 4 781.567 1) uji Mann-Whitney 2) uji chi-square
35 36.8 60 63.2 95 100 12 000 (5 000, 40 000) 44 46.3 51 53.7 95 100 12 826.32± 5 995.019
70 36.8 120 63.2 190 100 12000 (5000, 40000) 98 51.6 92 48.4 190 100 12 623.68± 5 411.796
p-value
0.5731)
1.0002)
0.8801)
Jenis kelamin Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagain besar (63.2%) contoh baik stunting dan normal adalah perempuan. Penelitian ini menunjukkan persentase laki-laki sebesar 36.8%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rosmalina dan Ernawati (2010), Senbanjo et al. (2011), dan Vedlina (2014) yang menunjukkan bahwa prevalensi pada anak perempuan lebih tinggi. Namun hal ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian Friedman et al. (2005), yang menunjukkan bahwa prevalensi pada anak laki-laki signifikan lebih tinggi. Anak perempuan stunting ketika tumbuh menjadi perempuan dewasa stunting memiliki resiko kecenderungan yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Keadaan ini akan memicu risiko terjadinya gangguan pertumbuhan
14
ketika masa kanak-kanak (UNSSCN 2010). Hal ini dapat menunjukkan bahwa masalah stunting jika tidak diatasi dengan serius akan menjadi masalah berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya (World Bank 2006). Uang jajan Hasil penelitian ini menunjukkan uang jajan rata-rata baik pada contoh stunting maupun normal adalah sebesar Rp12 623. Uang jajan yang dimaksud adalah uang jajan yang digunakan contoh untuk membeli makanan dan minuman selama satu hari. Contoh yang memiliki uang jajan kurang dari rata-rata dikategorikan kedalam kategori kecil, sedangkan yang lebih dari rata-rata masuk kedalam kategori besar. Hasil penelitian menunjukkan uang jajan yang dimiliki pada anak stunting sebagian besar berada dalam kategori kecil (56.8%). Namun hal ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, antara contoh stunting dan normal (p=0.880). Uang jajan yang digunakan untuk membeli makanan dan minuman akan turut mempengaruhi kontribusi dan kecukupan energi dan zat gizi lain yang akan berujung pada status gizi. Menurut penelitian Ulya (2003), kontribusi jajanan makanan akan menyumbang sebesar 10-20% kecukupan energi pada anak sekolah dasar. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa remaja stunting cenderung memiliki uang jajan yang relatif lebih rendah dibandingkan remaja normal. Uang jajan tersebut akan mempengaruhi contoh, sehingga remaja stunting cenderung lebih sedikit mengkonsumsi makanan dan minuman, baik jajan di sekolah atau di luar sekolah. Hal ini cenderung membawa dampak pada keadaan status gizi contoh.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi yang diamati pada penelitian ini, terdiri atas: tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan besarnya keluarga. Jumlah contoh yang diteliti pada karakteristik sosial ekonomi keluarga hanya sebesar 134 orang. Hal ini dikarenakan sebanyak 56 orang tidak mengumpulkan data sampai pada waktu yang ditentukan oleh peneliti. Contoh sebanyak 134 orang terbagi menjadi dua kelompok contoh stunting dan normal, masing-masing sebesar 67 orang. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang dalam mendapatkan informasi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berhubungan dengan tingkat pendidikan orang tua yang diterapkan dalam keluarga. Tingkat pendidikan pendidikan orang tua merupakan suatu usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak dalam mencapai kedewasaan jasmani dan rohani (Madanijah 2003). Berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan status gizi pada tabel 6. Proporsi tingkat pendidikan terbesar pada ayah (58.2%) maupun ibu (71.7%) pada kelompok stunting adalah kurang dari tamat SMA. Hasil analisis
15
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua pada kelompok stunting dan normal (p>0.05). Keadaan ini berbanding terbalik terhadap hasil penelitian dan kajian Senbanjo et al. (2011), Vedlina (2014), Yasmin (2014) dan Arifin (2015) yang menunjukkan bahwa prevalensi stunting signifikan lebih tinggi pada anak yang orang tuanya berpendidikan rendah. Menurut Madanijah (2003), pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak memiliki hubungan yang positif. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kesadaran seorang ibu dalam merawat kesehatan anak dan keluarga. Meisya (2014) menunjukkan bahwa pendidikan orang tua yang tinggi akan berpeluang mendapatkan pendapatan keluarga yang tinggi sehingga keadaan ini dapat berdampak pada penyediaan pangan yang lebih baik. Pernyataan ini didukung oleh Sukandar (2007), pola asuh anak terkait dengan pemberian makan, konsumsi pangan, dan status gizi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga dan status gizi Kategori
Stunting n
Normal %
Pendidikan ayah < Tamat SMA 39 58.2 ≥ Tamat SMA 28 41.8 Pendidikan ibu < Tamat SMA 48 71.7 ≥ Tamat SMA 19 28.4 Pendapatan < Rp3 000 000 49 74.2 ≥ Rp3 000 000 18 26.9 Besar keluarga Kecil (≤4 orang) 26 38.9 Sedang (5-7 orang) 37 55.1 Besar (≥8 orang) 4 6.0 Total 67 100 Median (Min, Max) 5 (2,10) 1) uji Mann-Whitney; *signifikan pada p<0.05
Total
pvalue1)
n
%
n
%
34 33
50.8 49.2
73 61
54.4 45.6
0.334
42 25
62.7 37.3
89 45
66.5 33.5
0.329
42 25
62.7 37.3
91 43
67.9 32.1
0.730
38 29 0 67
66.7 33.3 0 100
64 47.7 66 49.3 4 3.0 134 100 5 (2,10)
0.012*
4 (2,7)
Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga pada penelitian ini adalah pendapat ayah dan ibu yang diperoleh setiap bulannya dalam satuan rupiah. Menurut Miller dan Rodgers (2009) pada level rumah tangga, tingkat pendapatan dan kekayaan akan berhubungan erat dengan akses terhadap pembelian makanan dan pelayanan kesehatan. Tabel 6 menunjukkan bahwa kategori tingkat pendapatan orang tua dengan persentase terbesar pada kelompok stunting (74.2%) dan kelompok normal (62.7%) adalah kategori kurang dari Rp3 000 000. Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pendapatan orang tua contoh stunting dan normal (p>0.05). Hal ini berbanding terbalik menurut hasil penelitian Riskesdas (2010), Vedlina (2014), dan Arifin (2015) yang menunjukkan bahwa pendapatan keluarga berhubungan dengan ekonomi keluarga, semakin tinggi ekonomi keluarga semakin rendah kejadian stunting
16
pada keluarga tersebut. Hal ini berkaitan dengan kemudahan dalam penyediaan pangan dan kecukupan konsumsi pangan dalam keluarga. Besar keluarga Besar keluarga dalam penelitian ini adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan biasanya hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga. Semakin besar jumlah penduduk di suatu daerah maka pemerintah harus menyediakan bahan makanan dalam jumlah cukup. Hal ini berlaku juga pada jumlah anggota keluarga, semakin besar jumlah anggota keluarga semakin juga tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 6 menunjukkan bahwa kejadian stunting (55.1%) terbesar berada pada keluarga dengan kategori sedang (5-7 orang). Sedangkan kelompok contoh normal (66.7%) berada pada kategori keluarga kecil (≤4 orang). Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap kedua kelompok contoh tersebut (p<0.05). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Senbanjo et al. (2011) dan Yasmin (2014) yang menunjukkan bahwa semakin besar anggota keluarga, prevalensi stunting cenderung semakin meningkat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan konsumsi jika tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang lama akan memicu terjadinya masalah gizi seperti stunting. Pernyataan ini didukung oleh Sanjur (1982), yakni jumlah anggota keluarga yang relatif banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besarnya keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pemberian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga.
Konsumsi Pangan Jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu pada suatu waktu dapat didefinisikan sebagai konsumsi pangan (Khomsan et al. 2004). Konsumsi pangan yang cukup dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangan. Berdasarkan jenis data, konsumsi pangan dapat dinilai secara kuantitatif dan kualitatif. Kuantitas konsumsi pangan dapat dilihat dari rata-rata asupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi, sedangkan kualitas konsumsi pangan dapat dilihat melalui skor keanekaragaman konsumsi pangan atau dietary diversity score (DDS). Asupan energi dan zat gizi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2013 menentapkan bahwa kecukupan energi anak usia 10-12 tahun dan 13-15 tahun untuk perempuan dan laki-laki secara berurutan adalah sebesar 2 000-2 100 Kal/hari dan 2 125-2 475 Kal/hari. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata asupan energi untuk usia 11-14 tahun pada remaja kelompok stunting (1 789±455 Kal/hari) lebih rendah daripada remaja kelompok normal (1 953±516 Kal/hari). Asupan zat gizi lainnya, seperti: protein, kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C juga lebih rendah pada remaja kelompok stunting dibandingkan dengan remaja kelompok normal. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok stunting dan normal pada asupan energi dan protein (p<0.05). Hasil penelitian ini
17
sejalan dengan kajian yang dilakukan Yasmin (2014) dan Arifin (2015), yang menunjukkan bahwa asupan energi dan protein contoh stunting adalah signifikan lebih rendah dibandingkan contoh normal. Tabel 7 Rata-rata asupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi Energi dan zat gizi
Asupan
Stunting Energi (Kal/hari)2) 1 789±455 Protein (g/hari)1) 72.9±23.8 Kalsium (mg/hari)2) 601.1±281.8 Zat Besi (mg/hari)2) 22.0±7.8 Seng (mg/hari)2) 10.0±1.0 Vit A (mcg/hari)2) 1 069.8±765.3 Vit C (mg/hari)2) 83.0±65.3 1) uji t; 2) uji Mann-Whitney; *signifikan pada p<0.05
Normal 1 953±516 82.0±29.9 675.2±317.0 23.4±9.5 10.2±1.1 1 211.0±894.5 98.5±94.2
p-value 0.032* 0.023* 0.119 0.494 0.176 0.270 0.661
Nutrient adequacy ratio (NAR) NAR atau ratio kecukupan gizi atau biasa dikenal dengan tingkat kecukupan gizi (TKG) merupakan persentase yang diperoleh melalui jumlah asupan masing-masing zat gizi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) sesuai usia dan jenis kelamin. NAR dapat menunjukkan estimasi kecukupan gizi dari diet. Menurut Mirmiran et al. (2004) terdapat energi dan tiga belas jenis zat gizi lainnya yang dapat digunakan untuk menentukan NAR, tetapi hasil penelitian Marlina et al. (2011) menunjukkan bahwa NAR dapat ditentukan dengan hanya menggunakan energi dan 6 jenis zat gizi (protein, kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C). Tabel 8 menunjukkan rata-rata NAR berdasarkan status gizi. Tabel 8 Rata-rata NAR berdasarkan status gizi NAR (%) Stunting Normal Energi2) 85.7±23.4 93.2± 25.7 Protein1) 118.4±40.1 132.9±49.9 Kalsium2) 50.1±23.5 56.3±26.4 Zat Besi2) 118.9±47.6 129.6±66.8 Seng2) 76.8±1.3 78.3±1.3 Vit A2) 178.3±127.5 201.8±149.1 Vit C2) 154.1±128.5 178.5±177.5 1) uji t; 2) uji Mann-Whitney; *signifikan pada p<0.05 Energi dan zat gizi
p-value 0.037* 0.028* 0.090 0.204 0.355 0.270 0.735
Secara keseluruhan, NAR energi dan zat gizi lainnya pada kelompok stunting lebih rendah dibandingkan kelompok normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada NAR energi dan protein antara kelompok stunting dan kelompok normal. Rata-rata NAR energi pada kelompok stunting adalah sebesar 85.7% yang berarti termasuk kategori defisit (<70%) menurut Depkes (2003), sedangkan rata-rata NAR protein yaitu sebesar 118.4% yang termasuk dalam kategori cukup (90-119%). Kekurangan energi akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan sesuai dengan fungsi energi, bahkan jika terjadi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kurusakan pada jaringan tubuh. Jika hal ini terjadi pada anak maka
18
dapat menyebabkan keadaan malagizi yang disebut marasmus. Menurut Almatsier (2001), keadaan kekurangan protein pada anak dapat menyebabkan keadaan malagizi yang dikenal dengan kwashiorkor. Masalah kekurangan protein banyak ditemukan pada masyarakat dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Keadaan kekurangan energi dan protein secara bersamaan dinamakan energyprotein malnutrition (EPM). Rata-rata NAR untuk kalsium (50.1%) dan seng (76.8%) pada kelompok stunting termasuk dalam kategori kurang (<77%), sedangkan zat besi, vitamin A, dan vitamin C berada dalam kategori cukup (≥77%) (Gibson 2005). Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh stunting (62.1%) tingkat kecukupan energinya tergolong tingkat defisit. Tingkat kecukupan protein kelompok stunting (46.3%) dan kelompok normal (56.8%) berada pada kategori lebih. Tingkat kecukupan mineral zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C sebagian besar contoh (>50%) berada pada kategori cukup, tetapi pada tingkat kecukupan mineral kalsium, lebih dari setengah contoh stunting (86.3%) dan contoh normal (76.8%) tergolong kedalam kategori kurang. Hasil penelitian ini, mungkin dapat disebabkan karena rendahnya konsumsi susu pada kedua kelompok contoh. Hal ini tidak sejalan dengan kajian Yasmin (2014) yang menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin dan mineral lebih dari setengah contoh (>50%) berada pada kategori kurang, bahkan tingkat kecukupan mineral seng pada 90.69% contoh tergolong kurang. Hasil analisis kajian tersebut juga menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji chi-square, terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting (p<0.05). Tabel 9 Sebaran kategori tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan status gizi Variabel Tk. Kecukupan Energi Lebih Normal Defisit Tk. Kecukupan Protein Lebih Normal Defisit Tk. Kecukupan Kalsium Cukup Kurang Tk. Kecukupan Zat Besi Cukup Kurang Tk. Kecukupan Seng Cukup Kurang Tk. Kecukupan Vit A Cukup Kurang Tk. Kecukupan Vit C Cukup Kurang Total
n
Stunting %
n
Normal %
n
Total %
12 24 59
12.6 25.3 62.1
21 30 44
22.1 31.6 46.3
33 54 103
17.4 28.4 54.2
44 29 22
46.3 30.5 23.2
54 20 21
56.8 21.1 22.1
98 49 43
51.6 25.8 22.6
13 82
13.7 86.3
22 73
23.2 76.8
35 155
18.4 81.6
76 19
80.0 20.0
74 21
77.9 22.1
150 40
78.9 21.1
48 47
50.5 49.5
52 43
54.7 45.3
100 90
52.6 47.4
78 17
82.1 17.9
79 16
83.2 16.8
120 70
63.2 36.8
63 32 95
66.3 33.7 100
65 30 95
68.4 31.6 100
128 62 190
67.4 32.6 100
19
Frekuensi konsumsi Frekuensi konsumsi dapat memberikan informasi mengenai kebiasaan makan yang diukur dalam periode tertentu. Tabel 10 menunjukan rata-rata frekuensi konsumsi untuk setiap kali konsumsi dalam seminggu pada kelompok contoh. Tabel 10 secara keseluruhan menunjukkan hampir sebagian besar rata-rata frekuensi pada setiap kelompok pangan lebih tinggi pada kelompok contoh normal dibandingan kelompok contoh stunting. Namun terdapat perbedaan pada kelompok pangan makanan pokok yang menunjukkan bahwa frekuensi makanan pokok yang sering dikonsumsi adalah nasi, mie, dan roti. Rata-rata konsumsi makanan pokok seperti nasi dikonsumsi lebih banyak pada kelompok contoh stunting (18.14 kali/minggu), sedangkan pada kelompok contoh normal (17.98 kali/minggu) lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok rata-rata mengkonsumsi nasi dua kali dalam sehari. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara kedua kelompok contoh. Sumber asupan protein hewani pada penelitian ini terbagi kedalam empat kelompok, yaitu: daging, ikan, dan hasil olahannya; telur; jeroan; serta susu dan hasil olahannya. Rata-rata terbesar frekuensi keempat kelompok pangan tersebut berada pada kelompok contoh normal, kecuali rata-rata frekuensi dari telur ayam, kelompok contoh stunting (6.45 kali/minggu) lebih besar dibandingkan rata-rata frekuensi konsumsi telur ayam pada kelompok contoh normal (6.16 kali/minggu). Berdasarkan tabel 10, juga dapat diketahui bahwa frekuensi rata-rata sumber protein nabati dengan kelompok pangan polong, kacang, dan biji-bjian juga menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi protein nabati terbesar yaitu berada pada kelompok contoh normal. Frekuensi konsumsi tahu pada makanan sumber protein nabati kelompok contoh normal (7.07 kali/minggu) lebih besar dibandingkan kelompok contoh stunting (5.71 kali/minggu). Hasil uji beda rata-rata frekuensi antara kelompok contoh stunting dan normal pada protein nabati dan protein hewani pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Li et. al (2010) dan Darapheak et. al (2013), keduanya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) terhadap rata-rata frekuensi konsumsi antara anak dan balita stunted dengan anak dan balita normal. Bahkan hasil penelitian Darapheak et. al (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan konsumsi pangan hewani dengan kemungkinan penurunan risiko stunting sebesar 2.38%. Darapheak et. al (2013) juga menyatakan pentingnya konsumsi pangan hewani terutama pada masa pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena pada pangan hewani terdapat berbagai zat gizi mikro yang sulit diperoleh jika hanya mengonsumsi pangan nabati. Zat gizi mikro yang dimaksud adalah vitamin A, vitamin B12, riboflavin, kalsium, zat besi, dan seng yang berperan dalam pembentukan jaringan tubuh. Frekuensi sayuran hijau yang paling sering dikonsumsi oleh kelompok contoh stunting dan normal adalah bayam, sebesar 4.12±4.90 dan 4.16±4.92 kali/minggu. Sedangkan pada kelompok pangan sayur dan buah sumber vitamin A, bahan pangan yang paling sering dikonsumsi adalah wortel. Selain itu, pisang, rambutan, dan jeruk adalah tiga bahan pangan yang paling sering dikonsumsi dalam kelompok pangan sayur dan buah lainnya baik pada kelompok contoh stunting maupun normal.
20
Tabel 10 Rata-rata frekuensi konsumsi untuk setiap kelompok pangan berdasarkan status gizi Kelompok pangan Makanan pokok Nasi Mie Roti Daging, ikan, dan hasil olahannya Ayam Sosis Nugget Telur Telur bebek Telur ayam Telur puyuh Polong, kacang, dan biji-bijian Tahu Tempe Oncom Sayuran hijau Bayam Kangkung Kol Sayuran dan buah vitamin A Wortel Mangga Pepaya Sayur dan buah lainnya Pisang Rambutan Jeruk Jeroan Hati Ampela Usus Susu dan hasil olahannya Susu full cream Ice cream Yoghurt Makanan jajanan Donat Bakso Batagor Minuman manis Teh manis Pop ice Jus buah Suplemen Vitamin C 1) uji Mann-Whitney
Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Stunting Normal
p-value1)
18.14±4.06 3.59±3.60 3.48±3.61
17.98±4.41 2.96±2.61 3.47±3.95
0.949 0.766 0.593
3.77±3.39 3.22±4.59 2.47±4.50
4.08±3.63 3.65±4.63 3.42±5.32
0.640 0.343 0.079
0.06±0.38 6.45±4.90 0.58±1.53
0.22±1.47 6.16±5.06 0.33±1.19
0.585 0.052 0.199
5.71±5.07 6.06±5.18 1.69±3.26
7.07±6.15 6.79±5.98 1.98±3.61
0.199 0.642 0546
4.12±4.90 3.30±4.24 0.56±1.57
4.16±4.92 3.68±4.41 1.21±3.17
0.993 0.407 0.245
2.49±4.53 2.21±3.30 1.81±2.67
3.67±5.54 2.96±4.61 1.82±3.28
0.076 0.299 0.460
3.40±4.27 3.80±5.62 1.69±2.44
4.11±5.85 3.42±5.18 3.09±4.22
0.780 0.439 0.109
0.79±1.77 0.73±1.93 1.00±2.25
1.14±2.68 1.10±2.41 1.57±3.41
0.275 0.106 0.375
1.60±3.75 1.33±2.48 1.48±2.88
1.71±3.63 1.42±2.27 1.95±3.43
0.293 0.270 0.430
1.28±2.67 2.23±2.60 1.52±2.36
2.14±3.59 2.52±3.16 2.32±3.25
0.046 0.918 0.084
3.95±4.48 1.33±2.80 0.78±2.76
4.20±4.60 1.79±2.89 1.53±4.62
0.702 0.265 0.378
0.03±0.23
0.15±1.44
0.570
Perez-Rodrigo et al. (2003) menyatakan bahwa pisang merupakan buah yang paling disukai anak-anak dan orang muda untuk segala usia dan gender. Ketiga kelompok pangan tersebut dalam hasil analisis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara kelompok contoh stunting dan normal.
21
Jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak adalah makanan dan minuman. Jenis jajanan yang paling sering dikonsumsi baik pada kelompok contoh stunting dan normal adalah donat, bakso dan teh manis. Hasil penelitian Madanijah et al. (2010) menunjukkan bahwa 46% siswa mengalokasikan uang saku yang diberikan orang tua untuk membeli jajanan. Menurut hasil penelitian Aurisinkala-Appado (2013) dalam Arifin (2015) menunjukkan bahwa jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak usia sekolah umumnya adalah makanan yang mengandung banyak garam, gula, energi, dan lemak, seperti makanan yang digoreng dan minuman kemasan. Selain itu, menurut hasil penelitian Shaikh et al. (2014) menunjukkan bahwa anak usia sekolah lebih sering mengonsumsi teh, susu dan produk susu, sayuran non hijau, dan makanan kemasan (biskuit, keripik, dan coklat). Mean adequacy ratio (MAR) MAR atau rata-rata rasio kecukupan gizi atau dikenal juga dengan mutu gizi asupan pangan dihitung berdasarkan rata-rata tingkat kecukupan gizi (NAR) untuk seluruh zat gizi. Tingkat kecukupan gizi tersebut dinyatakan dalam persen dengan nilai maksimum 100. Hardinsyah (1996) dalam Anwar (2013) menyatakan alasan tersebut adalah untuk meminimalkan kompensasi antar nilai NAR yang rendah dan tinggi secara matematik, karena secara biologis antar zat gizi yang berbeda tidak dapat saling substitusi tetapi saling berinteraksi. Tabel 11 disajikan sebaran nilai MAR berdasarkan status gizi. Tabel 11 Sebaran kategori MAR berdasarkan status gizi Kategori MAR Kurang Cukup Baik Rata-rata ± SD p-value1) 1) uji Mann-Whitney
Stunting n % 18 19.0 33 34.7 44 46.3 80.25±1.30
Normal n % 15 15.8 33 34.7 47 49.5 82.16±1.31 0.585
Total n % 33 17.3 66 34.7 91 47.9 81.21±13.11
Berdasarkan analisis, diketahui bahwa hampir setengah contoh stunting (46.3%) dan contoh normal (49.5%) tergolong dalam kategori baik. Rata-rata MAR pada kelompok contoh stunting dan normal secara berurutan adalah 80.25±1.30% dan 82.16±1.31%. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan persentase hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Steyn et. al (2006), Marlina (2011), Lativa (2013), dan Meisya (2014), yaitu sebesar 63.3%, 71.62%, 62.0%, dan 56.1%.
Keanekaragaman Konsumsi Pangan Keanekaragaman konsumsi pangan mempengaruhi kecukupan asupan zat gizi sehingga dapat membawa dampak baik pada kesehatan (Styen et. al 2005). Hal ini didukung oleh FAO (2010) yang menyatakan bahwa pada keanekaragaman konsumsi pangan individu, peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan dapat menunjukkan peningkatan kecukupan zat gizi pada
22
makanan yang dikonsumsi. Keanekaragaman pangan dapat diukur melalui indikator yang dikembangkan oleh FAO (2010), yaitu menggunakan skor keanekaragaman konsumsi pangan atau dietary diversity score (DDS). FAO (2010) menyatakan bahwa indikator DDS tepat dalam mengukur keanekaragaman konsumsi pangan pada beberapa kelompok usia, jenis kelamin, serta mengukur kecukupan zat gizi baik makro maupun mikro dalam konsumsi pangan. Bahkan penelitian Mirmiran et. al (2004) menyebutkan bahwa DDS mempunyai hubungan yang positif dengan kecukupan konsumsi zat gizi makro dan mikro pada anak remaja. DDS adalah suatu indikator pengukuran keanekaragaman pangan yang dihitung berdasarkan kelompok pangan dalam periode waktu tertentu pada 7 hari atau mencapai 15 hari (Winichagoon 2008). Keanekaragaman pangan tersebut dihitung dengan menjumlahkan kelompok pangan yang dikonsumsi setiap harinya menggunakan Semi-Quantitative Food Frequency Questioner (S-QFFQ). Menurut Torheim (2004), Quantitative Food Frequency Questioner (QFFQ) merupakan aplikasi pengukuran keanekaragaman pangan yang sudah divalidasi dan dapat menunjukkan peringkat serta klasifikasi kecukupan subjek, tetapi hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan lebih baik pada laki-laki dibandingkan perempuan. Tabel 12 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi dan status gizi. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi dan status gizi Stunting (n=95) n % Makanan pokok 95 100 Daging, ikan, dan hasil olahannya 94 98.95 Telur 87 91.58 Polong, kacang, dan biji-bijian 91 95.79 Sayuran hijau 73 76.84 Buah dan sayur sumber vitamin A 85 89.47 Buah dan sayur lainnya 92 96.84 Jeroan 30 31.58 Susu dan produk susu 61 64.21 1) uji Mann-Whitney; *signifikan pada p<0.05 Kelompok Pangan
Normal (n=95) N % 95 100 95 100 87 91.58 93 97.89 79 83.16 88 92.63 93 97.89 47 49.47 58 61.05
Total n % 190 100 189 99 174 92 184 97 152 80 173 91 185 97 77 41 119 63
p-value1) 1.000 1.000 0.317 1.000 0.408 0.278 0.447 0.651 0.012* 0.654
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa contoh stunting mengonsumsi semua kelompok pangan lebih sedikit daripada contoh normal, meskipun secara statistik tidak signifikan perbedaannya, kecuali pada kelompok pangan jeroan. Contoh stunting (31.58%) mengonsumsi jeroan signifikan (p<0.05) lebih sedikit daripada contoh normal (49.47%). Jeroan merupakan salah satu sumber protein hewani. Menurut Allen (1994), komposisi zat gizi pada sumber protein hewani juga mengandung zat gizi lainnya, seperti zat besi, seng, tembaga, kalsium, dan vitamin A. Dengan demikian, kurangnya konsumsi sumber protein hewani akan berdampak pada rendahnya keberadaan zat besi, seng, tembaga, kalsium, dan vitamin A. Kekurangan zat besi, seng, kalsium, dan vitamin A erat kaitannya dengan permasalah pertumbuhan linier pada anak. Menurut Hettiarachchi (2006), dampak yang muncul ketika mengalami kekurangan zat gizi mikro tersebut adalah kematian dini, kesehatan yang buruk, kebutaan, stunting, keterbelakangan mental,
23
ketidakmampuan belajar, serta kapasitas yang rendah saat berkerja. Bahkan hal ini menjadi sangat penting ketika terjadi pada masa remaja karena akan menimbulkan konsekuensi negatif, seperti imunitas rendah, morbiditas meningkat, dan gangguan kognitif. Lebih rendahnya jumlah contoh stunting yang mengonsumsi kesembilan kelompok pangan daripada contoh normal sesuai dengan hasil penelitian Li et. al (2010) yang dilakukan di China pada anak usia 2-17 tahun yang menunjukkan bahwa keanekaragaman pangan pada anak stunted lebih rendah, terutama pada konsumsi pangan sumber protein hewani. Tabel 13 menunjukkan rata-rata skor DDS berdasarkan kelompok pangan dan status gizi. Daging, ikan, dan hasil olahannya merupakan kelompok pangan yang memiliki rata-rata paling tinggi pada kelompok contoh stunting (0.99±0.103), maupun kelompok contoh normal (1.00±0.000), setelah makanan pokok. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee et. al (2012), yang menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi tertinggi pada anak stunting terdapat pada kelompok pangan sayur-sayuran karena anak stunting lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan yang banyak tersedia sayur-sayuran. Namun, hasil penelitian ini juga didukung oleh kajian Yasmin (2014) yang menunjukkan bahwa pada kelompok contoh normal rata-rata skor keanekaragaman dengan menggunakan indikator healthy eating index (HEI), skor tertinggi terdapat pada kelompok pangan lauk hewani. Hasil analisis kajian tersebut juga menunjukkan terdapat perdedaan yang signifikan (p<0.05) antara kelompok contoh stunting dan kelompok contoh normal. Tabel 13 Sebaran rata-rata±standar deviasi berdasarkan status gizi Kelompok pangan Makanan pokok Daging, ikan, dan hasil olahannya Telur Polong, kacang, dan biji-bijian Sayuran hijau Buah dan sayur sumber vitamin A Buah dan sayur lainnya Jeroan Susu dan produk susu DDS
Stunting 1.00±0.000 0.99±0.103 0.92±0.279 0.96±0.202 0.77±0.424 0.89±0.309 0.97±0.176 0.32±0.467 0.64±0.482 7.45±1.253
Normal 1.00±0.000 1.00±0.000 0.92±0.279 0.98±0.144 0.83±0.376 0.93±0.263 0.98±0.144 0.49±0.503 0.61±0.490 7.74±1.023
Rata-rata skor keanekaragaman pangan (DDS) baik pada kelompok contoh stunting dan normal, secara berturut-turut adalah 7.45±1.253 dan 7.74±1.023 (Tabel 14). Menurut Mirmiran et. al (2004), hasil skor keanekaragaman pangan yang dikatakan beragam jika mengonsumsi ≥6 kelompok pangan. Berdasarkan Tabel 14, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik pada kelompok contoh stunting maupun normal sudah baik, yaitu telah mengonsumsi lebih dari 6 jenis kelompok pangan. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa terdapat 1.1% kelompok contoh stunting dan tidak terdapat pada contoh normal yang tergolong dalam DSS kategori kurang (<3 jenis kelompok pangan). Sedangkan, pada kategori golongan sedang (3-5 jenis kelompok pangan), baik kelompok contoh stunting maupun kelompok contoh normal memiliki persentase yang sama, yaitu 3.2%. Kategori DDS dengan kriteria baik (≥6 jenis kelompok pangan) pada kelompok contoh
24
normal (96.8%) memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan kelompok contoh stunting (95.8%). Hasil analisis pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor DDS yang nyata (p>0.05) antara kelompok contoh stunting dan normal. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori DDS dan status gizi Kategori DDS Kurang (<3 jenis) Sedang (3-5 jenis) Baik (≥6 jenis) Total Rata-rata±SD p-value1) 1) uji Mann-Whitney
Stunting n % 1 1.1 3 3.2 91 95.8 95 100 7.45±1.253
Normal n % 0 0 3 3.2 92 96.8 95 100 7.74±1.023 0.692
Total n % 1 0.5 6 3.2 183 96.3 190 100 7.59±1.15
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Rah et. al (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hasil skor yang rendah pada keanekaragaman konsumsi pangan anak stunting dengan menggunakan indikator DDS di pedesaan Bangladesh. Rendahnya keanekaragaman konsumsi pangan pada anak stunting juga didukung oleh hasil penelitian Li et. al (2010). Keanekaragaman pangan yang tinggi dapat memberikan informasi kecukupan zat gizi harian dan berhubungan erat dengan keadaan status gizi (Yasmin 2014). Hubungan antar Variabel Variabel karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diuji hubungan dengan variabel lainnya adalah pendidikan ayah dan ibu, pendapatan keluarga, dan besarnya keluarga. Variabel karakteristik contoh yang diuji hubungan dengan variabel karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah uang jajan dan z-skor TB/U. Uang jajan didapatkan contoh dari orang tua merupakan gambaran dari pendapatan keluarga dan z-skor TB/U contoh merupakan data rasio dalam menentukan status gizi. Hubungan karakteristik contoh dan sosial ekonomi keluarga dengan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendapatan keluarga tidak berhubungan (p>0.05) dengan besarnya uang jajan yang diberikan kepada contoh. Namun, pendapatan keluarga berhubungan signifikan positif dengan tingkat pendidikan ayah (p=0.001, r=0.292). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka pendapatan keluarga akan meningkat. Menurut Meisya (2014), pendidikan orang tua yang lebih baik akan berpeluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Darmon dan Drewnoski (2008) menyatakan bahwa pekerjaan yang lebih baik akan membawa peluang dalam mendapatkan pendapatan keluarga yang lebih tinggi, sehingga pemenuhan dan penyediaan pangan dalam rumah tangga menjadi lebih baik. Hasil uji korelasi Spearman lainnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan yang negatif terhadap besar kelurga dengan nilai z-skor TB/U. Semakin besar keluarga berarti
25
semakin banyak jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, maka akan semakin rendah nilai z-skor TB/U yang dapat diartikan bahwa kejadian dengan status gizi stunting semakin tinggi (p=0.013, r=-0.213). Jumlah anggota keluarga yang relatif banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga menyebabkan makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kecukupan setiap anggota keluarga (Sanjur 1982). Tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan besar keluarga menunjukkan tidak adanya hubungan dengan asupan zat gizi contoh berdasarkan hasil uji korelasi Spearman. Hasil uji korelasi tersebut juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan dengan tingkat kecukupan serta DDS. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Shi et. al (2005), hasil penelitian Arifin (2014), dan Meisya (2014) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua berhubungan signifikan positif dengan asupan dan tingkat kecukupan zat gizi. Menurut Madanijah (2003), pendidikan orang tua memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup. Hal ini berkaitan dengan mudahnya orang tua dalam mendapatkan informasi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif (p<0.05) antara DDS dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (NAR) dan MAR. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Menurut Torheim et al. (2003); Mirmiran et al. (2004); Steyn et al. (2006); dan Rathnayake et al. (2012) menyatakan bahwa DDS merupakan indikator yang baik dalam mengukur tingkat kecukupan zat gizi. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa semakin tinggi DDS maka NAR dan MAR akan semakin tinggi. DDS dapat dinilai dengan diterapkannya ketentuan konsumsi jumlah minimum 10 gram untuk perkelompok pangan. Menurut Kennedy et al. (2006), hal tersebut dapat meningkatkan koefisien korelasi NAR dan MAR. Koefisien korelasi (r) antara DDS dengan MAR pada penelitian ini adalah sebesar 0.350, angka tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marlina (2011), yang menunjukkan besar koefisien korelasi MAR sebesar 0.354. Menurut Steyn et al. (2006), besarnya koefisien korelasi tersebut dapat mendukung DDS menjadi indikator yang kuat dalam menentukan tingkat kecukupan zat gizi dan mutu gizi. Hubungan antara kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dengan status gizi Salah satu variabel karakteristik contoh yang diuji hubungan dengan asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi (NAR), MAR, serta DDS adalah z-skor TB/U. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan (p>0.05) antara z-skor TB/U dengan asupan energi dan zat gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi (NAR), MAR, serta DDS. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan kajian Yasmin (2014), berdasarkan hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0.05) pada tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan kejadian stunting. Hasil penelitian mengenai DDS juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria oleh Olumakaiye (2013) pada rata-rata anak usia 8 tahun yang menyatakan bahwa kejadian stunting memiliki hubungan yang signifikan (p=0.024) dengan rendahnya DDS. Kelompok pangan berdasarkan DDS yang dinilai rendah adalah pada kelompok jeroan, susu dan produk olahannya, telur, serta buah dan sayur sumber vitamin A.
26
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rata-rata usia contoh stunting dan normal adalah 12 tahun. Namun, proporsi usia yang lebih dewasa (14 tahun) lebih tinggi pada contoh stunting dibandingkan contoh normal. Proporsi jenis kelamin lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki untuk kedua kelompok contoh. Rata-rata uang jajan yang digunakan contoh untuk membeli makanan dan minuman dalam sehari adalah sebesar Rp12 623. Sebagian besar contoh stunting mempunyai uang jajan kurang dari rata-rata. Jenjang pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu, baik contoh stunting maupun normal menunjukkan persentase terbesar berada pada kategori kurang dari tamat SMA. Sebagian besar pendapatan keluarga baik contoh stunting maupun contoh normal berada pada kategori cukup. Besar keluarga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara contoh stunting dengan contoh normal. Jumlah terbesar pada besar keluarga contoh stunting adalah 10 orang anggota keluarga, sedangkan pada contoh normal adalah sebesar 7 orang anggota keluarga. Rata-rata asupan energi, protein, kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (NAR) lebih rendah pada contoh stunting dibandingkan dengan contoh normal. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan energi dan protein antara contoh stunting dan contoh normal. Sebagian besar contoh stunting memiliki hasil MAR dan DDS lebih rendah dari contoh normal. Pendidikan ayah berhubungan signifikan positif dengan besarnya pendapatan keluarga. Besar keluarga berhubungan signifikan negatif dengan zskor TB/U, artinya kejadian stunting semakin banyak terjadi pada keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak. DDS menunjukkan adanya hubungan signifikan positif terhadap NAR energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan juga MAR.
Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa DDS belum sepenuhnya menggambarkan kecukupan zat gizi, terutama energi dan protein, meskipun kategori MAR dan DDS sudah cukup baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendidikan gizi agar tidak sekedar menekankan pada keanekaragaman (jenis) konsumsi pangan, tetapi jumlah konsumsi pangan juga perlu diperhatikan.
27
DAFTAR PUSTAKA
[ACC/SCN] Administrative Committee on Coordination Subcommittee on Nutrition. 2000. The world nutrition situation: nutrition throughout the life cycle [Internet]. [Diunduh 17 Januari 2015]. Allen LH. 1994. Nutritional influences on linear growth: a general review. European Clinical Journal of Nutrition. 48(Suppl.):S75-S89. Almasier S . 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Anwar K. 2013. Konsumsi pangan dan gizi serta skor pola pangan harapan (PPH) pada dewasa usia 19-49 tahun di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arifin YN. 2015. Hubungan antara karakteristik keluarga dan konsumsi pangan dengan status gizi dan prestasi belajar anak sekolah dasar stunting dan normal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Amelia. 2011. Karakteristik remaja dengan riwayat gizi buruk dan pendek pada usia dini. Jurnal Pangan dan Gizi. 6(1):42-50. [Internet]. [Diunduh 26 Mei 2015]. Baliwati YF, Roosita K. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. [Internet]. [Diunduh 15 Januari 2015]. Blake Joan Salge. 2015. Nutrition and You, Thrird Edition. America (US): Pearson Education. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Darapheak C, Takano T, Kizuki M, Nakamura K, Seino K. 2013. Consumption of animal source foods and dietary diversity reduce stunting in children in Cambodia. International Archives of Medicine. 6:29. Tersedia pada http://www.intarchmed.com/content/6/1/29. [Internet]. [Diunduh 6 Juni 2015]. Darmon Nicole, Drewnoski Adam. 2008. Does social class predict diet quality?. American Journal of Clinical Nutrition. 87:1107-17. [Internet]. [Diunduh 23 Juni 2015]. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta. ________________________________. 2010. Kesehatan Remaja dan Problem Solusinya. Jakarta (ID). Salemba Medika.
28
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity. [Internet]. Italy (IT): FAO. [Diunduh 13 Januari 2015]. Tersedia pada: fao.org. Friedman JF, Phillips PA, Mirel LB. 2005. Progression od stunting and its predictors among school-aged children western in Kenya. European Journal of Clinical Nutrition. 59:914-922. [Internet]. [Diunduh 26 Mei 2015]. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assessment. New York: Oxford University Press. Hettiarachchi Manjula, Liyanage Chandrani, Wickremasinghe Rajitha, Hilmers David C, Abrams Steven A. 2006. Prevalence and severity of micronutrient deficiency: a cross-sectional study among adolescents in Sri Lanka. Asia Pac J Clin Nutr: 15(1):56-63. [Internet]. [Diunduh 30 Januari 2015]. Kennedy GL, Pedro MR, Seghieri C, Nantel G, Brouwer I. 2007. Dietary dieversity score is a useful indicator of micronutrient intake in non-breastfeeding Filipino children. J Nutr. 137: 472-477. [Internet]. [Diunduh 26 Januari 2015]. Lativa. 2013. Konsumsi pangan dan gizi serta skor pola pangan harapan (PPH) pada remaja usia 13-18 tahun di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lee EM, Park MJ, Ahn HS, Lee SM. 2012. Differences in dietary intakes between normal and short stature Korean children visiting a growth clinic. Clinical Nutrition Research. 1:23-29. [Internet]. [Diunduh 23 Juni 2015]. Li Y, Wedick NM, Lai J, He Y, Hu X, Liu A, Du S, Zhang J, Yang X, Chen C et al. 2010. Lack of dietary diversity and dyslipidaemia among stunted overweight children: the 2002 China National Nutrition and Health Survey. Public Health Nutrition. 14(5):896–903. [Internet]. [Diunduh 6 Juni 2015]. Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI_SEHAT” bagi ibu serta dampaknya bagi perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Marlina Lina. 2011. Sensitivity and specificity of dietary diversity indicator to estimate nutrient intake adequacy of children aged 24-59 months in Bandung City [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Meisya YD. 2014. Skor keanekaragaman pangan (dietary diversity score) remaja di Bandung dan Padang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Miller JE dan Rodgers YV. 2009. Mother’s education and children’s nutritional status: New Evidence from Cambodia. Asian Development Review 26 (1): 131-165 [Internet]. [Diunduh 11 April 2015]. Mirmiran P, Azadbakkht L, Esmaillzadeh A, Azizi F. 2004. Dietary diversity score in adolescents – a good indicator of the nutritional adequacy of diets:
29
Tehran lipid and glucose study. Asia Pacific J Clin Nutr. 13 (1): 56-60. [Internet]. [Diunduh 30 Januari 2015]. Olumakaiye MF. 2013. Dietary diversity as a correlate of undernutrition among school-age children in southwestern Nigeria. Journal of Child Nutrition & Management. 37 (1). [Internet]. [Diunduh 9 Juni 2015]. Partnership for Child Development. 1999. Short stature and the age of enrolment in primary school: studies in two African countries. Social Science Med. 48:675-82. Perez-Rodrigo C, Ribas L, Serra-Majem LI, Aranceta J. 2003. Food Preference of Spanish Children and Young People: the enKid Study. EJCN. 57: S45-S48. [Internet]. [Diunduh 6 Juni 2015]. Rah JH, Akhter N, Semba RD, de Pee S, Bloem MW, Campbell AA, MoenchPfanner R, Sun K, Badham J, Kreamer K. 2010. Low dietary diversity is a predictor of child stunting in rural Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition. 64: 1393-1398. [Internet]. [Diunduh 18 Januari 2015]. Rathnayake KM, Madushani PAE, Silva KDRR. 2012. Use of dietary diversity score as a proxy indicator of nutrient adequacy of rural elderly people in Sri Lanka. BioMed Central. 5: 469. [Internet]. [Diunduh 18 Januari 2015]. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2010. [Internet]. [Diunduh 14 April 2014]. _____________________________. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2013. [Internet]. [Diunduh 14 April 2014]. Rosmalina Yuniar, Ernawati Fitrah. 2010. Hubungan status gizi mikro dengan status gizi pada anak SLTP. PGM puslitbang gizi dan makanan, badan litbang kesehatan, kemenkes RI, 33(1), 14-22. Sanjur D. 1982. Social and cultural perspective in nutrition. New Jersey: Prentice Hall Inc. Senbanjo IO, Oshikoya KA, Odusanya OO, Njokanma OF. 2011. Prevalence of and risk factors for stunting among school children and adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. Journal Health Population Nutrition. 29(4):364-370. [Internet]. [Diunduh 1 April 2015]. Shaikh N, Patil S, Ramakhrishnan U, Cunningham S. 2014. Food Consumption of Indian Adolescent in a Globalizing World. Federation of American Society foe Experimental biology. Shi Z, Lien N, Kumar BN, Holmboe-Ottesen G. 2005. Socio-demographic Differences in Food Habits and preferences of School Adolescents in Jiansu Province, China. EJCN. 59: 1439-1448. [Internet]. [Diunduh 9 Juni 2015]. Steyn NP, Nel JH, Nantel G, Kennedy G, Labadarios D. 2006. Food variety and dietary diversity scores in children: are they good indicators of dietary adequacy?. Pub Health Nutr. 9(5), 644-650. [Internet]. [Diunduh 1 April 2015].
30
Torheim LE, Ouattara F, Diarra MM, Thiam FD, Barikmo I, Hatloy A. 2004. Nutrient adequacy and dietary diversity in rural Mali. Eur J Clin Nutr. 58:594–604. [Internet]. [Diunduh 6 Juni 2015]. Ulya N. 2003. Analisis deskriptif pola jajan dan kontribusi zat gizi makanan jajanan terhadap konsumsi sehari dan status gizi anak kelas IV, V, dan VI SD Negeri Cawang 05 Pagi Jakarta Timur Tahun 2003 [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 2006. UNICEF joint health and nutrition strategy for 2006-2015. Economic and Social Council. [Internet]. [Diunduh 18 Januari 2015] Tersedia pada: unicef.org [UNSSCN] United Nation System Standing Committee on Nutrition. 2010 6th report on the world nutrition situation: progress in nutrition. Geneva (CH): WHO. [Internet]. [Diunduh 23 Juni 2015]. Vedlina Elda. 2014. Kualitas konsumsi pangan dan prestasi belajar remaja stunted dan normal di SMAN 1 Dramaga, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years. [Internet]. [Diunduh 28 Januari 2015]. Tersedia pada: who.int. Winichagoon P. 2008. Limitation and resolution for dietary assessment micronutrient intakes. Asia Pac J Nutr: 17(S1):296−298. [Internet]. [Diunduh 6 Juni 2015]. World Bank. 2006. Repositioning nutrition as central to development: a strategy for large-scale action. Washington DC (US): The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. [Internet]. [Diunduh 23 Juni 2015]. Yasmin Ghaida. 2014. Faktor risiko stunting pada anak usia sekolah [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
31
Lampiran 1 Uji hubungan karakteristik contoh dan karakteristik sosial ekonomi keluarga Correlations uangjajan Spearman's rho
uangjajan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
usia
pendayah
pendibu
pendapatan
beskel
zskor
usia
pendayah
pendibu
pendapatan
beskel
zskor
1.000
.047
-.032
-.143
.026
.008
.056
.
.588
.714
.099
.762
.926
.518
134
134
134
134
134
134
134
*
.042
.020
Correlation Coefficient
.047
1.000
-.085
-.024
Sig. (2-tailed)
.588
.
.329
.780
.034
.627
.817
N
134
134
134
134
134
134
134
1.000
**
**
.090
.083
Correlation Coefficient
-.032
-.085
Sig. (2-tailed)
.714
.329
.
.000
.001
.301
.340
N
134
134
134
134
134
134
134
-.143
-.024
.633**
1.000
.102
-.049
.126
Sig. (2-tailed)
.099
.780
.000
.
.240
.571
.147
N
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.026
.184*
.292**
.102
1.000
.318**
.062
Sig. (2-tailed)
.762
.034
.001
.240
.
.000
.477
N
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.008
.042
.090
-.049
.318**
1.000
-.213*
Sig. (2-tailed)
.926
.627
.301
.571
.000
.
.013
N
134
134
134
134
134
134
134
*
1.000
Correlation Coefficient
.633
.184
.292
Correlation Coefficient
.056
.020
.083
.126
.062
Sig. (2-tailed)
.518
.817
.340
.147
.477
.013
.
N
134
134
134
134
134
134
134
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
-.213
32
Lampiran 2 Uji hubungan karakteristik contoh dengan NAR energi dan zat gizi Correlations UANGJAJAN ZSKORTBU TKE TKPROT TKCA TKFE TKVITA TKVITC TKZN Spearman's rho
UANGJAJAN Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
ZSKORTBU
TKE
TKPROT
TKCA
TKFE
TKVITA
TKVITC
TKZN
1.000
.030
.105
.069
.110
-.009
-.107
.069
.044
.
.686
.151
.345
.133
.898
.143
.343
.553
N
188
188
188
188
188
188
188
188
188
Correlation Coefficient
.030
1.000
.077
.074
.073
-.025
-.002
-.049
.088
Sig. (2-tailed)
.686
.
.294
.308
.316
.730
.982
.504
.227
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
Correlation Coefficient
.105
.077
1.000
.853** .630** .510**
.468**
Sig. (2-tailed)
.151
.294
.
.000
.000
.000
.000
.000
.000
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
**
.264**
.538** .279**
Correlation Coefficient
.069
.074 .853
Sig. (2-tailed)
.345
.308
.000
.
.000
.000
.000
.000
.000
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
**
**
.074
**
1.000 .697
.714
.459
.474
Correlation Coefficient
.110
.073 .630
Sig. (2-tailed)
.133
.316
.000
.000
.
.000
.000
.000
.309
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
1.000
**
**
.141
Correlation Coefficient
-.009
-.025 .510
.697
.714
1.000 .561
.561
.534
.426
.591
.472
Sig. (2-tailed)
.898
.730
.000
.000
.000
.
.000
.000
.052
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
.459** .534** .426**
1.000
.598**
-.016
Correlation Coefficient
-.107
-.002 .468**
Sig. (2-tailed)
.143
.982
.000
.000
.000
.000
.
.000
.830
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
Correlation Coefficient
.069
.474** .591** .472**
.598**
1.000
.101
Sig. (2-tailed)
.343
.504
.000
.000
.000
.000
.000
.
.168
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
.074
.141
-.016
.101
1.000
-.049 .538**
Correlation Coefficient
.044
.088 .279
Sig. (2-tailed)
.553
.227
.000
.000
.309
.052
.830
.168
.
N
188
190
190
190
190
190
190
190
190
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.264
33
Lampiran 3 Uji hubungan karakteristik contoh dengan MAR dan DDS
Correlations UANGJAJAN Spearman's rho
UANGJAJAN
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
ZSKORTBU
MAR
DDS
ZSKORTBU
MAR
DDS
1.000
.030
.017
-.002 .975
.
.686
.821
N
188
188
188
188
Correlation Coefficient
.030
1.000
.009
.105
Sig. (2-tailed)
.686
.
.907
.149
N
188
190
190
190
Correlation Coefficient
.017
.009
1.000
.350**
Sig. (2-tailed)
.821
.907
.
.000
N
188
190
190
190
**
1.000
Correlation Coefficient
-.002
.105
Sig. (2-tailed)
.975
.149
.000
.
N
188
190
190
190
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.350
34
Lampiran 4 Uji hubungan karakteristik keluarga dengan NAR energi dan zat gizi Correlations pendayah pendibu pendapatan beskel TKE TKPROT TKCA TKFE TKVITA TKVITC TKZN Spearman's pendayah rho
Correlation Coefficient
1.000
.633**
.292**
.090
.076
.107
.114
.002
.085
.047
.139
Sig. (2-tailed)
.
.000
.001
.301
.382
.218
.189
.985
.330
.590
.108
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**
1.000
.102 -.049
.030
-.006
.073 -.097
.063
-.019
-.005
Sig. (2-tailed)
.000
.
.240
.571
.734
.947
.404
.267
.468
.828
.956
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**
-.002
-.020
.075 -.092
.097
.025
-.055
N pendibu
Correlation Coefficient
pendapatan Correlation Coefficient
beskel
TKE
TKPROT
TKCA
TKFE
TKVITA
TKVITC
TKZN
.633
**
.102
Sig. (2-tailed)
.001
.240
.
.000
.985
.823
.391
.292
.264
.774
.525
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.090
-.049
.318** 1.000 -.052
-.043
-.043 -.079
-.042
-.052
.011
Sig. (2-tailed)
.301
.571
.000
.
.552
.618
.621
.363
.627
.551
.904
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.076
.030
.850** .619** .528**
.496**
Sig. (2-tailed)
.382
.734
.985
.552
.
.000
.000
.000
.000
.000
.000
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.107
-.006
1.000 .732** .740**
.443**
Sig. (2-tailed)
.218
.947
.823
.618
.000
.
.000
.000
.000
.000
.000
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**
**
**
**
**
.197*
.292
1.000 .318
-.002 -.052 1.000
-.020 -.043 .850**
.542** .304**
.501** .317**
Correlation Coefficient
.114
.073
.075 -.043 .619
Sig. (2-tailed)
.189
.404
.391
.621
.000
.000
.
.000
.000
.000
.023
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**
**
**
1.000
**
**
.229**
.732
1.000 .598
.514
.537
Correlation Coefficient
.002
-.097
Sig. (2-tailed)
.985
.267
.292
.363
.000
.000
.000
.
.000
.000
.008
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**
**
**
**
1.000
**
.092
-.092 -.079 .528
.740
.598
.422
.512
Correlation Coefficient
.085
.063
.097 -.042 .496
Sig. (2-tailed)
.330
.468
.264
.627
.000
.000
.000
.000
.
.000
.289
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.047
-.019
.501** .537** .512**
.546**
1.000
.177*
Sig. (2-tailed)
.590
.828
.774
.551
.000
.000
.000
.000
.000
.
.041
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.139
-.005
-.055
.011 .304**
.317**
.197* .229**
.092
Sig. (2-tailed)
.108
.956
.525
.904
.000
.000
.023
.008
.289
.041
.
N
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
134
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2tailed).
.025 -.052 .542**
.443
.514
.422
.546
.177* 1.000
35
Lampiran 5 Uji hubungan karakteristik keluarga dengan MAR dan DDS Correlations pendayah Spearman's rho
pendayah
beskel
MAR
DDS
beskel
MAR
DDS
.292**
.090
.101
.032
.
.000
.001
.301
.245
.716
134
134
134
134
134
134
**
1.000
.102
-.049
.042
-.107
Sig. (2-tailed)
.000
.
.240
.571
.632
.219
N
134
134
134
134
134
134
.292**
.102
1.000
.318**
.032
.019
Sig. (2-tailed)
.001
.240
.
.000
.715
.828
N
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.090
-.049
.318**
1.000
-.078
-.117
Sig. (2-tailed)
.301
.571
.000
.
.370
.180
N
pendapatan
pendapatan
.633**
Sig. (2-tailed)
pendibu
pendibu
1.000
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
.633
N
134
134
134
134
134
134
Correlation Coefficient
.101
.042
.032
-.078
1.000
.357**
Sig. (2-tailed)
.245
.632
.715
.370
.
.000
N
134
134
134
134
134
134
**
1.000
Correlation Coefficient
.032
-.107
.019
-.117
Sig. (2-tailed)
.716
.219
.828
.180
.000
.
N
134
134
134
134
134
134
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.357
36
Lampiran 6 Uji hubungan NAR energi dan zat gizi, MAR, dan DDS Correlations DDS Spearman's rho
DDS
Correlation Coefficient
1.000
Sig. (2-tailed) N TKE
Correlation Coefficient
TKFE
TKVITA
TKVITC
TKZN
MAR
.235
TKPROT **
.205
**
TKCA .206
TKFE TKVITA TKVITC TKZN
**
.196
**
**
.438
.277
MAR
**
.080
.350**
.
.001
.004
.004
.007
.000
.000
.271
.000
190
190
190
190
190
190
190
190
190
.235**
1.000
.853**
.630**
.510**
.468**
.538**
.279**
.762**
Sig. (2-tailed)
.001
.
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
.205**
.853**
1.000
.697**
.714**
.459**
.474**
.264**
.774**
Sig. (2-tailed)
.004
.000
.
.000
.000
.000
.000
.000
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
1.000
**
**
**
.074
.758**
TKPROT Correlation Coefficient
TKCA
TKE
Correlation Coefficient
.206
.630
.697
.561
.534
.591
Sig. (2-tailed)
.004
.000
.000
.
.000
.000
.000
.309
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
**
1.000
**
**
.141
.702**
Correlation Coefficient
.196
.510
.714
.561
.426
.472
Sig. (2-tailed)
.007
.000
.000
.000
.
.000
.000
.052
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
**
**
1.000
**
-.016
.814**
Correlation Coefficient
.438
.468
.459
.534
.426
.598
Sig. (2-tailed)
.000
.000
.000
.000
.000
.
.000
.830
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
.277**
.538**
.474**
.591**
.472**
.598**
1.000
.101
.813**
Sig. (2-tailed)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.
.168
.000
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
Correlation Coefficient
.080
.279**
.264**
.074
.141
-.016
.101
1.000
.126
Sig. (2-tailed)
.271
.000
.000
.309
.052
.830
.168
.
.084
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
**
**
**
**
**
**
**
.126
1.000
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
.350
.762
.774
.758
.702
.814
.813
Sig. (2-tailed)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.084
.
N
190
190
190
190
190
190
190
190
190
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
37
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Tangerang pada 21 Desember 1993 dari Ayah Sudino dan Ibu Julince. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Al-Ikhlas Kota Tangerang pada tahun1999, SDN Priuk 4 Kota Tangerang pada tahun 2005, SMPN 244 Jakarta Utara pada tahun 2008, dan SMAN 1 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan (SNMPTN Undangan). Penulis merupakan anak pertama dalam keluarga yang berkesempatan kuliah di perguruan tinggi. Selama perkuliahan, penulis aktif diorganisasi dan beberapa kepanitiaan, seperti HIMAGIZI IPB (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi IPB) 2012-2014, Nutrition Fair 2012, dan International Symposium on Food and Nutrition (ISFAN) 2015. Penulis dua tahun berturut-turut ikut berkontribusi dalam pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang sampai pada tahap didanai oleh DIKTI. PKM tersebut berupa karya tulis ilmiah yang ditulis bersama rekan lainnya, yaitu berjudul “Formulasi dan Daya Terima Susu Fermentasi yang Ditambah Ganyong (Canna edulis. Kerr) sebagai Minuman Sinbiotik serta Daya Hambatnya terhadap Pertumbuhan E.coli” dan “Hubungan antara Pengetahuan Gizi dan Praktik Ibu tentang Kebiasaan Sarapan dengan Besar Uang Saku Anak di Desa Cihideung Udik” pada tahun 2013, serta “Cookies Cilembu Prebiotik dengan Cream lactobasillus bulgaricus yang Diformulasi untuk Menghambat Pertumbuhan E.coli” dan “Formulasi Minuman Sinbiotik Susu Kambing dan Kacang Merah dalam Upaya Daya Hambat Pertumbuhan Bakteri Myobacterium tubercolosis untuk Terapi Diet Tuberkolosis” pada tahun 2014. Juli-Agustus 2014, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Bersama Masyarakat (KKBM) di Kabupaten Bogor, Kecamatan Rumpin, Desa Rabak. September-Oktober 2014, penulis melaksanakan Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Azra Bogor. Topik kajian ID pada bagian penyakit dalam adalah Gastroenteritis Akut, Dehidrasi Sedang, Sirosis Hati, Hepatitis B, Diabetes Melitus Tipe 2, dan Hipersplenisme, bagian penyakit anak adalah Bacterial Infection + Low Intake Susp. Tuberculosis Paru, dan bagian penyakit bedah adalah Dyspepsia dd/ Chronic Appendicitis.