IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK
FAUZIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Identifikasi, Klasifikasi dan Analisis Struktur Spesies Kawanan Ikan Pelagis Berdasarkan Metode Deskriptor Akustik adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2005
Fauziyah NIM 995193
IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK
FAUZIYAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi Nama NIM
: Identifikasi, Klasifikasi dan Analisis Struktur Spesies Kawanan Ikan Pelagis Berdasarkan Metode Deskriptor Akustik : Fauziyah : 995193
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Indra Jaya, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota
Dr.Ir.Budi Suharjo, M.S Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja
Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 8 Februari 2005
Tanggal Lulus :
ABSTRAK FAUZIYAH. Identifikasi, Klasifikasi dan Analisis Struktur Spesies Kawanan Ikan Pelagis Berdasarkan Metode Deskriptor Akustik. Dibimbing oleh INDRA JAYA, BONAR P PASARIBU dan BUDI SUHARJO. Di lingkungan tropis, tingkat keanekaragaman spesies yang bercampur dan menempati volume air yang sama sangat tinggi. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi para ilmuwan dalam menduga stok ikan. Tingkat akurasi pendugaan stok ikan dipengaruhi oleh sejauh mana proses identifikasi spesies kawanan ikan tersebut dilakukan. Persoalan mendasar lain adalah diperlukannya pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur kawanan ikan. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan teknik hidroakustik. Penelitian ini mengambil lokasi survei akustik di Perairan Selat Bali pada tahun 1998, 1999 dan 2000. Metode deskriptor akustik digunakan untuk mengekstraksi data akustik. Metode ini menghasilkan tiga kategori yakni morfometrik, energetik dan batimetrik. Program Acoustic Descriptor Analyzer dikembangkan untuk memudahkan ekstraksi dan analisis kawanan ikan pada data akustik. Analisis yang digunakan untuk mendukung proses tersebut adalah analisis gerombol, analisis diskriminan dan analisis variogram. Kawanan ikan yang terdeteksi di Perairan Selat Bali melalui analisis gerombol sebesar 86.2% adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya bukan kawanan ikan lemuru. Kawanan ini diduga sebagai kawanan tongkol dan layang. Melalui analisis diskriminan, kawanan ikan dapat diidentifikasi secara benar berdasarkan spesies sebesar 96.55% dan morfometrik merupakan pembeda dalam pemisahan spesies kawanan ikan tersebut. Kawanan ikan dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran ikan dan musim yakni: pada musim peralihan I didominasi kawanan lemuru ukuran sedang (protolan). Musim timur didominasi kawanan lemuru ukuran besar (lemuru) dan campuran. Musim peralihan II didominasi kawanan lemuru ukuran kecil (sempenit) dan protolan. Melalui analisis diskriminan juga, kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan secara benar sebesar 98%. Morfometrik, batimetrik, energetik dan data tambahan (suhu dan salinitas) merupakan pembeda dalam pemisahan ukuran ikan lemuru kecuali variabel tinggi kawanan ikan pada morfometrik. Penentuan struktur kawanan ikan lemuru melalui analisis variogram memaparkan bahwa deskriptor akustik hanya berperan sebesar 60 %. Kawanan ikan lemuru memiliki kecenderungan untuk bertahan pada bentuk semula sehingga dapat digolongkan ke dalam dimensi fraktal. Secara lebih rinci dapat dikemukakan bahwa karakteristik kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali adalah sebagai berikut: musim peralihan I (Maret-Mei), ikan lemuru membentuk kawanan pada siang hari di dekat dasar perairan baik di perairan dalam maupun perairan dangkal. Kawanan ikan lemuru berbentuk oval tebal dengan luasan sedang dan berdensitas rendah. Musim timur (Juni-Agustus), ikan lemuru membentuk kawanan pada siang hari di dekat dasar perairan baik di perairan dalam maupun perairan dangkal. Kawanan lemuru berbentuk oval lonjong dengan luasan kecil dan berdensitas padat. Musim Peralihan II (September-November), ikan lemuru membentuk kawanan sepanjang hari di seluruh kolom perairan. Umumnya berada di perairan dangkal. Kawanan lemuru berbentuk oval pipih dengan ukuran yang paling luas dan berdensitas rendah. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode deskriptor akustik dapat dijadikan dasar untuk identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur spesies kawanan ikan, dimana kawanan ikan pelagis yang ada di Perairan Selat Bali dapat dibedakan antara lemuru dan bukan lemuru. Selanjutnya, perubahan struktur kawanan ikan lemuru tergantung pada perubahan spasial dan temporal berdasarkan musim dan ukuran ikan. Pendekatan ini diharapkan berguna untuk memberikan pandangan dan kontribusi baru dalam meningkatkan akurasi stok ikan pelagis menggunakan teknik hidroakustik melalui metode deskriptor akustik. Kata kunci : Identifikasi, klasifikasi, struktur, kawanan ikan, deskriptor akustik
ABSTRACT FAUZIYAH. Species Identification, Classification and Analysis of Pelagic Fish Schools Structure Based on Acoustic Descriptors. Under the direction of INDRA JAYA, BONAR P PASARIBU and BUDI SUHARJO Species identification of pelagic fish schools is first and key step toward a better estimate of fish stock. The challenge of identifying fish species in tropical environment is species diversity, they mix and occupy the same volume of water. The other significant problem to increase accuracy of fish stock estimate is better understanding the factor that affected fish school structure. In this study, acoustic descriptor (AD) is used as one of the approach for pelagic fish school identification. The AD was divided into three categories, namely energetic, morphometric and bathymetric. For that purpose, the AD analyzer software was developed to extract AD from echogram, which were obtained during a series of hydroacoustic surveys conducted in the Bali Strait in 1998, 1999 and 2000. In addition, statistical analysis was used (Multivariate analysis and geostatistical) to support identification, classification and analysis of pelagic fish schools structure. Discriminant analysis results indicated that pelagic fish schools are correctly identified as high as 96.55% in all data set (with confident interval is 98% for Bali sardinella fish schools and 87.5% for others that were estimated as Eastern little tunas and Scads). Among those three AD, the morphometric category influences on the separation of fish school species. Discriminant analysis results also indicated that Bali sardinella fish schools are correctly classified based on fish size as high as 98% of all surveys. The fish size is successfully classified into three group: Bali sardinella fish of small size – (sempenit), medium size – (protolan) and large size –(lemuru). The application of all AD and the analysis on auxiliary data (temperature, salinity and daytime) indicate that all variables contribute in the fish size classification, except height variable of the fish schools. Variogram techniques showed that 60% of AD has a role to defining the fish schools structure. The detail of Bali sardinella fish schools characteristics in the Bali Strait can be described as follows: In transitional first season (March-May), the fish formed the school during daytime and located closed to sea bottom. The fish schools were in thick oval shape with medium cross-sectional area, low density. Some of the fish schools were in deep water and the other were in shallow water. During northeast monsoon (Jun-August), the fish also formed the school during daytime and located closed to sea bottom. The fish schools were in vertical oval shape with narrow cross-sectional area, high density. Some of the fish schools were in deep water and the other were in shallow water. In second transitional season (September-November), the fish formed the school during daytime and occupy the whole water columns. The fish schools were in thin oval shape with large cross-sectional area, low density and located in shallow water. In conclusion of this study, AD can be used to identify, classify and analyze pelagic fish schools structure, where pelagic fish school in this case can be separated between Bali sardinella and the others. The structure of Bali sardinella fish schools depended on spatial and temporal changes based on season and fish body length. Key Words: Identification, classification, structure, fish school, acoustic descriptors
Dengan menyebut nama Al lah yang Maha pengasih l agi Maha penyayang Segal a puj i bagi Allah, T uhan (yang mendidik) semesta alam. Maka nikmat T uhanmu yang manakah kamu dustakan? Dia kirimkan dua macam laut (tawar dan asin), yang bertemu keduanya. (T etapi) di antara keduanya ada dinding (sehingga) tiada bercampur keduanya. Sesungguhnya telah Kami berikan hikmah (ilmu pengetahuan) kepada Luqman (firman Kami): Berterimakasihl ah kepada Allah. Barangsiapa berterima kasih (kepada-Nya), maka hanya berterima kasih untuk dirinya, dan barangsiapa yang tidak berterima kasih, maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi maha terpuj i. Maha benar All ah dengan segala firman-Nya
Untuk kedua orang tua (alm), kakak-kakak dan adik serta suami tercinta.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema besar yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2003 ini adalah meningkatkan akurasi dugaan stok ikan di perairan tropis. Kesulitan mendasar adalah keanekaragaman spesies. Sehingga diperlukan metode dan teknik yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Karena itulah penulis membuat disertasi ini dari sudut pandang bidang akustik dengan memulai langkah awal yaitu identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur spesies kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dengan mengenalkan deskriptor akustik sebagai metode dan teknik yang digunakan. Disertasi ini dibagi ke dalam 3 bab kajian yakni identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur kawanan ikan pelagis.
Salah satu dari judul tersebut yakni
identifikasi kawanan ikan pelagis telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan (JIPPI). Naskah ini memuat dua artikel yang merupakan pengembangan dari judul identifikasi kawanan ikan pelagis yaitu Pengembangan Perangkat Lunak Acoustic Descriptor Analyzer (ADA versi 2004) Untuk Identifikasi Kawanan Ikan Pelagis dan Penentuan Karakteristik Kawanan Ikan Pelagis Dengan Menggunakan Deskriptor Akustik yang telah dan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan Indonesia (JIPPI) bulan Desember 2004 dan Juni 2005. Penelitian ini tidak mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan
yang setulus-tulusnya kepada Bapak Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr.Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc dan Bapak Dr.Ir. Budi Suharjo, M.S selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, nasihat dan pengarahan sejak awal sampai akhir penelitian ini. Bapak Dr.Ir. Mulia Purba, M.Sc, Dr.Ir. Wudianto, M.Sc dan Dr.Ir. Chandra Nainggolan, M.Sc selaku penguji luar komisi, atas saran perbaikan pada disertasi ini. Kepala UPT Baruna Jaya, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, atas izin penggunaan data akustik di Perairan Selat Bali Tahun 1998-2000. Terima kasih dan penghargaan disampaikan pula kepada Pengelola BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan FMIPA Universitas
Sriwijaya,
Rektor
Institut
Pertanian
Bogor,
Direktur
Sekolah
Pascasarjana IPB, para dosen dan staf karyawan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Program Studi Teknologi Kelautan IPB. Bapak Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Bapak Dr.Ir.Gondo Puspito, M.Sc, Bapak Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja dan Bapak Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc selaku mantan komisi pembimbing dan Bapak Ir. Syafi’i atas bantuan aplikasi program Matlab. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya angkatan Tahun 1999 atas dukungan dan kerjasamanya. Demikian juga terima kasih penulis sampaikan kepada St. Aisjah Farhum, M.Si., Yopi Novita, M.Si., Eva Tri Lestari, S.Pi., Faik Kurahman, S.Pi., Dr.Ir. Sugeng Hariwisudo, M.Si., Hana., Ratih, S.Pi., Ayi Rahmat, M.Si., Sri Pujiyati, M.Si., Risti E A S.Pi., Dr.Roza Yusfiandayani. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya dengan hati yang tulus dan penuh cinta kasih penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar H. Jauharul Arifin (Alm) dan Hj. Masnu’ah (Alm) khususnya H. Budjaeri dan keluarga, suami tercinta Ir. Ardani dan keluarga di Jl. Gaharu Blok D 18A Ciampea atas pengertian, do’a, kesabaran dan dukungan moral yang menyertai selama studi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor,
Mei 2005
Fauziyah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon-Jawa Barat pada Tanggal 31 Desember 1975 dari pasangan H. Jauharul Arifin (Alm) dan Hj. Masnu’ah (Alm).
Penulis
merupakan anak ke delapan dari sembilan bersaudara. Pendidikan dasar sampai atas penulis selesaikan di Cirebon yaitu di MI PUI Siti Mulya, SMP Muhammadiyah I dan SMU Muhammadiyah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB dan setahun kemudian penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti program langsung ke program doktor pada program studi yang sama tanpa harus menamatkan jenjang master. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Servis Kopling H. Arifin, Beasiswa Bung Hatta dan Beasiswa
Departemen
Pendidikan Tinggi (Beasiswa BPPS). Penulis magang di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB pada Laboratorium Alat Penangkapan Ikan tahun 1998-2000. Tahun
2001
menjadi dosen magang di Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya. Tahun 2002 bekerja sebagai konsultan bidang perikanan di Yayasan Komunitas Yogyakarta. Tahun 2002 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Sriwijaya Palembang Sumatera Selatan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi Ilmu Kelautan. Penulis menikah
dengan Ir. Ardani pada tanggal 6 Januari 2002. Selama
mengikuti
program
S3,
penulis
menjadi
anggota
Forum
Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB (FORMULA IPB) tahun 1999-2000 pada Departemen Humas. Karya ilmiah berjudul The difference catches of red snapper by bottom longline in Sunda Strait, West Java dan Vertical catch distribution of multi-hook handline in Sarwandori Bay, Papua telah disajikan padaThe JSPS International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area di Bogor tahun 2000.
Artikel
yang berkenaan dengan bagian dari penulisan
disertasi telah dan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan Indonesia (JIPPI) bulan Desember Tahun 2004 berjudul Pengembangan Perangkat Lunak Acoustic Descriptor Analyzer (ADA versi 2004) Untuk Identifikasi Kawanan Ikan Pelagis dan bulan Juni Tahun 2005 berjudul Penentuan Karakteristik Kawanan Ikan Pelagis Dengan Menggunakan Deskriptor Akustik.
DAFTAR ISI
Halaman GLOSARI ........................................................................................................... vi DAFTAR TABEL................................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xv 1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................. 1.3 Manfaat Penelitian ................................................................................ 1.4 Hipotesis................................................................................................ 1.5 Kerangka Pemikiran..............................................................................
1 1 4 4 4 5
2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 2.1 Pengertian Shoal dan School Ikan ....................................................... 2.2 Identifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan ............................................... 2.3 Klasifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan ................................................. 2.4 Struktur Hidroakustik Kawanan Ikan..................................................... 2.5 Perkembangan Deskriptor Akustik ....................................................... 2.6 Perikanan Pelagis di Perairan Selat Bali .............................................. 2.7 Pendugaan Kawanan Ikan menggunakan Hidroakustik ......................
9 9 11 15 16 18 23 25
3
4
METODOLOGI............................................................................................. 29 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 3.2 Bahan dan Alat Penelitian..................................................................... 3.3 Pengolahan Data................................................................................... 3.3.1 Pengolahan Data Akustik............................................................ 3.3.2 Pengembangan Perangkat Lunak .............................................. 3.4 Analisis Data .........................................................................................
29 29 30 30 32 41
IDENTIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN .............................................. 4.1 Pendahuluan ......................................................................................... 4.2 Metode Penelitian.................................................................................. 4.3 Analisis Data ......................................................................................... 4.4 Hasil....................................................................................................... 4.5 Pembahasan ......................................................................................... 4.6 Kesimpulan ........................................................................................... Daftar Pustaka..............................................................................................
48 48 51 55 59 65 70 71
5 KLASIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN ............................................... 73 5.1 Pendahuluan ......................................................................................... 73 5.2 Metode Penelitian ................................................................................. 74 5.3 Analisis Data ......................................................................................... 80 5.4 Hasil ...................................................................................................... 83 5.5 Pembahasan ......................................................................................... 95 5.6 Kesimpulan ........................................................................................... 102 Daftar Pustaka.............................................................................................. 103 6. ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN .............................. 105 6.1 Pendahuluan ......................................................................................... 105 6.2 Metode Penelitian.................................................................................. 106 6.3 Analisis Data ......................................................................................... 110 6.4 Hasil ...................................................................................................... 111 6.5 Pembahasan ......................................................................................... 115 6.6 Kesimpulan ........................................................................................... 121 Daftar Pustaka.............................................................................................. 121 7 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 7.1 Pengembangan program Acoustic Descriptor Analyzer version 2004 .. 7.2 Identifikasi kawanan ikan pelagis ........................................................... 7.3 Klasifikasi kawanan ikan lemuru............................................................. 7.4 Analisis struktur kawanan ikan lemuru ................................................... 7.5 Identifikasi kawanan ikan pelagis secara menyeluruh ...........................
123 123 125 127 130 132
8 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 134 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 137 LAMPIRAN ........................................................................................................ 141
DAFTAR TABEL Halaman 2.1 11 2.2 18 2.3 18 2.4 19 2.5 19 2.6 20 2.7 20 2.8 20 2.9 21 2.10 21
Identifikasi ikan secara in situ dan ex situ ................................................... Deskriptor akustik untuk klasifikasi (Rose & Leggett,1988) ........................ Deskriptor akustik menurut Richards et al. (1991) ...................................... Deskriptor akustik menurut Baussant et al. (1993) ..................................... Deskriptor akustik menurut Diner et al. (1989)............................................ Deskriptor akustik menurut Barange (1994)................................................ Deskriptor akustik menurut Lu & Lee (1995) ............................................... Deskriptor akustik menurut Scalabrin et al. (1996) ..................................... Deskriptor akustik menurut Masse et al. (1996).......................................... Deskriptor akustik menurut Reid et al .(2000) .............................................
2.11 22 2.12 22 2.13 22 2.14 23 3.1 37 3.2 38 3.3 39 3.4 40 3.5 40 3.6 41 4.1 53 4.2 54 4.3 55 4.4 60 4.5 61 4.6 62 4.7 64 4.8 64 4.9 64 4.10 68 4.11 69 4.12 69 5.1 78 5.2 79 5.3
Deskriptor akustik menurut Bahri & Freon (2000) ....................................... Deskriptor akustik menurut LeFevre et al. (2000) ....................................... Deskriptor akustik menurut Coetzee (2000) ................................................ Deskriptor akustik menurut Lawson (2001) ................................................. Deskriptor akustik dan formula perhitungan ................................................ Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan............................. Kategori deskriptor akustik........................................................................... Deskriptor akustik untuk identifikasi kawanan ikan pelagis ........................ Deskriptor akustik untuk klasifikasi kawanan ikan pelagis .......................... Deskriptor akustik untuk struktur kawanan ikan pelagis ............................. Deskriptor akustik dan formula perhitungan ................................................ Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan............................. Perhitungan deskriptor akustik menggunakan program Acoustics Descriptor Analyzer version 2004................................................................ Data hasil perhitungan deskriptor akustik di Perairan Selat Bali Tahun 1998-2000 menggunakan program ADA-2004 ........................................... Matriks korelasi untuk menyeleksi variabel deskriptor akustik................... Matriks komponen utama dengan varimax rotation .................................... Tes kesetaraan kelompok............................................................................ Model standar diskriminan untuk kawanan ikan lemuru ............................. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis ....................................................... Ringkasan deskriptor morfometrik kawanan ikan pelagis ........................... Ringkasan deskriptor energetik kawanan ikan pelagis ............................... Ringkasan deskriptor batimetrik kawanan ikan pelagis .............................. Deskriptor akustik dan formula perhitungan untuk klasifikasi kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali ................................................ Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan............................. Data nilai rataan deskriptor akustik dan data tambahan kawanan
83 5.4 85 5.5 85 5.6 86 6.1 108 6.2 109 6.3 111 6.4 115
ikan lemuru di perairan Selat Bali ................................................................ Uji kesetaraan kelompok.............................................................................. Nilai koefisien fungsi klasifikasi dari model standar diskriminan (Fisher's linear discriminant functions) untuk kawanan ikan lemuru.......... Hasil klasifikasi kawanan ikan lemuru ......................................................... Deskriptor akustik dan formula perhitungan ................................................ Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan............................. Nilai rataan deskriptor akustik kawanan lemuru di perairan Selat Bali ....... Metode skoring untuk menentukan klasifikasi variogram............................
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Kerangka pemikiran identifikasi, klasifikasi dan struktur spesies kawanan ikan pelagis berdasarkan deskriptor akustik.................................................. 8 2.1 Diagram Venn hubungan definisi tingkah laku gerombolan ikan dan kawanan ikan (Pitcher & Parrish, 1983) ........................................................ 10 2.2 Kawanan herring tunggal dari identifikasi survei akustik sistem pengolahan citra. Tabel sebelah kanan merupakan deskriptor yang dihitung pada kawanan herring (Reid et al., 2000).............................................................. 14 2.3 Skema tipologi akustik untuk aplikasi database ESDU (Reid et al., 2000).. 17 2.4 Rata-rata bulanan produksi ikan dari pukat cincin berdasarkan jenis ikan, Tahun 1996-1998 (Wudianto, 2001) ..................................................... 24 3.1 Perairan Selat Bali ......................................................................................... 29 3.2 Alur pemrosesan dan analisis data penelitian............................................... 31 3.3 Echogram EP 500 dan proses pengolahan citra program ADA-2004 .......... 33 3.4 Skema pengukuran deskriptor ...................................................................... 34 3.5 Perbedaan sudut yang dibentuk dalam deteksi kawanan............................. 35 3.6 Alur pemrosesan analisis diskriminan kawanan ikan pelagis ...................... 46 3.7 Contoh Variogram (Maclennan & Simmonds, 1992)..................................... 47
4.1 Alur identifikasi kawanan ikan pelagis ........................................................... 52 4.2 Proses pengolahan citra deskriptor morfometrik, batimetrik dan energetik program Acoustics Descriptor Analyzer version 2004 .................................. 55 4.3 Alur pemrosesan analisis diskriminan identifikasi kawanan ikan.................. 58 4.4 Perhitungan deskriptor akustik morfometrik kawanan ikan........................... 59 4.5 Perhitungan deskriptor akustik batimetrik kawanan ikan .............................. 59 4.6 Perhitungan deskriptor akustik energetik kawanan ikan ............................... 59 4.7 Grafik Scree plot............................................................................................ 61 4.8 Dendogram identifikasi kawanan ikan berdasarkan analisis gerombol ....... 63 4.9 Karakteristik kawanan ikan pelagis di Perairan Selat Bali ........................... 70 5.1 Tahapan metode klasifikasi kawanan ikan lemuru....................................... 77 5.2 Rata-rata suhu (oC) perairan Selat Bali berdasarkan musim dan kedalaman. (a) Musim Peralihan I, (b) Musim Timur, dan (c) Musim Peralihan II (Wudianto,2001) ........................................................................ 75 5.3 Alur pemrosesan analisis diskriminan kawanan ikan lemuru....................... 82 5.4 Dendogram klasifikasi kawanan lemuru berdasarkan analisis gerombol .... 84 5.5 Rasio panjang dan tinggi kawanan lemuru di Perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II ............................................ 87 5.6 Area kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II......................................................................... 87 5.7 Rata-rata kedalaman kawanan ikan lemuru dalam kolom air di perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II............................ 88 5.8 Posisi kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan di Perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II ..................................... 89 5.9 Energi kawanan lemuru di Perairan Selat Bali ............................................. 89 5.10 Waktu harian kawanan lemuru di Perairan Selat Bali ................................. 90 5.11 Sebaran suhu kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali ........................ 91 5.12 Sebaran suhu dan salinitas kawanan lemuru terhadap kedalaman di Perairan Selat Bali.................................................................................... 92 5.13 Densitas volume kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali.................... 92
5.14 93 5.15 94 5.16 94 5.17 101 6.1 107 6.2 110 6.3 113 6.4
Densitas kawanan ikan lemuru pada peralihan I......................................... Densitas kawanan ikan lemuru pada musim timur...................................... Densitas kawanan ikan lemuru pada peralihan II........................................ Karakteristik kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali........................... Tahapan analisis struktur kawanan ikan lemuru ......................................... Contoh Variogram ........................................................................................ Sebaran energi akustik dan waktu harian kawanan ikan lemuru................ Contoh klasifikasi variogram berdasarkan (3) tiga kategori (a) terstruktur, (b) struktur lemah dan (c) tak berstruktur ............................
114 6.5 Contoh kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali (a) kawanan protolan (b) kawanan lemuru, (c) kawanan sempenit & (d) kawanan campur.......... 119
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Contoh Echogram EP 500 ........................................................................... Contoh data analysis pelagic layer .............................................................. Contoh data Sv dari analysis expended integral ......................................... Contoh data TS dari analysis trace tracking pelagic ................................... Tampilan program ADA-2004 ...................................................................... Nilai rataan deskriptor akustik untuk identifikasi, klasifikasi dan struktur.... Analisis statistik untuk identifikasi kawanan ikan pelagis ............................ Analisis statistik untuk klasifikasi kawanan ikan lemuru.............................. Analisis statistik untuk identifikasi kawanan ikan pelagis secara Menyeluruh................................................................................................... 10. Bahasa pemrograman ADA-2004............................................................... 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
141 142 143 144 145 146 147 153 157 163
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Survei hidroakustik dalam bidang perikanan dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan stok ikan di suatu perairan. Untuk memenuhi harapan tersebut, survei-survei yang dilakukan selama ini berupaya menyediakan informasi mengenai distribusi dan kelimpahan relatif spesies ikan. Informasi yang lebih rinci dari survei hidroakustik tersebut terdapat pada echogram
atau
data
akustik.
Echogram
memiliki
keterbatasan
dalam
membedakan gema (echo) spesies yang ada, sehingga sulit menentukan jenis dan kawanan ikan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan teknik atau metode penentu yang benar terhadap echogram yang dikumpulkan tersebut, terutama pada kawanan ikan yang multi spesies (Misund, 1997 diacu dalam Lawson et al., 2001). Algoritma pola pengenalan yang berupa deskriptor akustik merupakan salah satu cara dalam mengatasi keterbatasan dalam membedakan echogram antar spesies. Deskriptor akustik akan mengidentifikasi gema kawanan ikan pada echogram sehingga akan diketahui spesies kawanan ikan yang ada. Berbagai penelitian telah dilakukan oleh beberapa peneliti luar untuk mengetahui pola agregasi ikan menggunakan algoritma, antara lain: (1)
Rose & Leggett (1998) memulai penelitian di Kanada mengenai klasifikasi sinyal hidroakustik spesies kawanan ikan.
Penelitian ini
menekankan pada pengklasifikasian pada energi hambur balik (backscatter) dengan diskriminator SPT (Standarized Peak to Trough distance) dan PP (Peak to Peak). (2)
Masse & Rouxel (1991) memperbaiki metode kelimpahan akustik dengan membedakan gerombolan (shoal) ikan pelagis menggunakan sistem INES/MOVIES.
(3)
Richards et al. (1991) berusaha mengklasifikasikan kumpulan ikan di Kanada berdasarkan survei integrasi gema. Penelitian ini berupaya mengenalkan spesies pada dua daerah yang berbeda, yaitu pada dasar perairan dan daerah shelf break.
(4)
Weill et al. (1993) menyempurnakan metode Masse dan Rouxel (1991) dalam sebuah perangkat lunak deteksi akustik yaitu MOVIES-B khusus untuk klasifikasi spesies gerombolan ikan (di Indonesia telah dilakukan oleh Sadhotomo, 2001).
(5)
Marshal & Petitgas (1993) melakukan prediksi perkiraan kelimpahan ikan secara akustik dengan perkiraan shoal by shoal dari biomassa stok sehingga harus diketahui spesies dari gerombolan ikan.
(6)
Barange (1994) melakukan identifikasi, klasifikasi dan struktur patchiness spesies atau taksonomi secara akustik
dihubungkan
dengan tampilan frontal. Hasilnya adalah deteksi target dan distribusi frekuensi panjang patchiness dapat dibedakan antar spesies serta pengukuran in situ distribusi target strength
(TS).
Penelitian yang
dilakukan di Afrika Selatan ini merupakan awal mula dikenalkan deskriptor akustik. (7)
Lu & Lee (1995) melakukan identifikasi spesies gerombolan ikan dari echogram dengan sistem Echo-signal Image Processing.
(8)
Simmonds et al. (1996) dan Gerlotto et al. (1999) mengembangkan teknik identifikasi spesies menggunakan wideband, multi frekuensi dan multi beam untuk narrow band echo-sounder namun teknik ini masih dalam percobaan dan mahal.
(9)
LeFevre et al. (2000) membuat perangkat lunak bernama FASIT (Fisheries Assessment and Species Identification Toolkit) untuk mengidentifikasi spesies menggunakan pengolahan citra digital. Penelitian ini terbatas pada morfologi spesies.
(10) Coetzee (2000) meneliti gerombolan ikan sardin menggunakan sistem perkiraan patch dan analisis gerombolan ikan (SHAPES) untuk mengetahui karakteristik kawanan ikan (school) sardin di Afrika Selatan.
Hasilnya adalah adanya hubungan yang nyata antara
pengukuran morfologi kawanan dan struktur densitas.
Variabel-
variabel pada deskriptor morfologi adalah variabel yang paling berperan dalam deskriptor kawanan ikan sardin. Lawson et al. (2001) mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis menggunakan deskriptor akustik dengan ketepatan identifikasi mencapai 88.3%. Deskriptor akustik ini mengacu pada standar baku yang dikembangkan Reid et al. (2000) yaitu: positional (jarak shoal sekitarnya yang paling dekat), morphometric
(tinggi gerombolan ikan, area), energetic (rata-rata dan variasi energi hambur balik) dan bathymetric (kedalaman gerombolan ikan). Alat yang digunakan untuk menduga kelimpahan kawanan ikan adalah scientific echosounder split beam. Pengukuran geometri, dimensi, energi atau disebut juga deskriptor akustik, jika dilakukan secara manual akan menghabiskan waktu dengan hasil yang tidak akurat pada volume data yang besar selama survei akustik. Perkembangan terkini di bidang sains perikanan, teknologi akustik, pengolahan
sinyal
digital
dan
pengolahan
citra
digital,
memungkinkan
diintrepretasikan informasi tersebut untuk identifikasi kawanan ikan dengan sinyal akustik
menjadi
lebih
baik.
Beberapa
peneliti
sudah
ada
yang
mengembangkannya berupa karakteristik kawanan ikan dengan digitalisasi sinyal hambur balik (back-scattered). Bahkan dapat membedakan antar spesies ikan di lingkungan sub tropis, dengan berbagai tingkat kesuksesan (Coetzee, 2000). Salah satu arahan dalam disertasi ini adalah mengembangkan perangkat lunak
untuk
memudahkan
perhitungan
deskriptor
akustik
menggunakan
pengolahan citra digital pada sinyal hambur balik. Pengembangan perangkat lunak ini sebagai langkah awal dalam pendeteksian kawanan ikan pelagis di suatu perairan. Pendugaan
stok
ikan
sulit
dilakukan
di
lingkungan
tropis
karena
keanekaragaman spesies lebih beragam dibandingkan dengan di lingkungan sub tropis. Identifikasi kawanan ikan pelagis menjadi lebih riskan atau rawan untuk dilakukan.
Untuk mengatasinya, perlu dipastikan komposisi spesies di suatu
perairan yang di dominasi oleh satu atau dua spesies dan identifikasi ditekankan pada spesies yang membentuk kelompok bukan pada individu spesies. Berkaitan dengan hal tersebut, maka data akustik yang digunakan dalam penelitian ini adalah data survei akustik di perairan Selat Bali. Hal ini didasarkan pada, hasil penelitian Wudianto (2001) yang mengemukakan bahwa ikan pelagis yang dominan tertangkap di perairan Selat Bali menggunakan pukat cincin (purse seine) antara lain lemuru (Sardinella lemuru), layang (Decapterus spp.), tembang (Sardinella fimbriata), banyar (Rastrelliger
kanagurta), slengseng (Scomber
australasicus), dan tongkol (Auxis spp.). Ikan pelagis sebagian besar didominasi oleh jenis lemuru (kisaran 14-98%, rata-rata 67%), selanjutnya tongkol (kisaran 0.5-56%, rata-rata 19%), layang (kisaran 0.1-61%, rata-rata 10%) dan ikan lainnya (kisaran 0.1-14%, rata-rata 4%) pada Tahun 1996-1998. Disamping itu, perikanan lemuru untuk industri lokal berkembang pesat dan berperan penting bagi kehidupan masyarakat setempat di perairan Selat Bali.
Identifikasi spesies berguna untuk menduga stok ikan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang tepat.
Untuk melengkapi identifikasi diperlukan
klasifikasi kawanan berdasarkan faktor yang berpengaruh terhadap identifikasi. Klasifikasi membantu dalam pembuatan kelas-kelas kawanan secara sistematis. Langkah terakhir adalah struktur kawanan. Struktur kawanan menggambarkan pembentukan kawanan ikan dalam kolom perairan secara lebih rinci. Ketiga poin tersebut (identifikasi, klasifikasi dan struktur) merupakan satu rangkaian untuk menentukan karakteristik kawanan ikan sehingga stok ikan di suatu daerah dapat diperkirakan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Pembuatan program (perangkat lunak) untuk pengolahan echogram dan ekstraksi deskriptor akustik (2) Identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur kawanan ikan pelagis berdasarkan deskriptor akustik di perairan Selat Bali (3) Perumusan karakteristik kawanan ikan pelagis berdasarkan deskriptor akustik di perairan Selat Bali
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam hal: (1) Pendugaan stok ikan di perairan Selat Bali dan ikan pelagis lainnya (2) Peningkatan produktifitas penangkapan ikan target.
1.4 Hipotesis (1) Deskriptor akustik dan back-Scattering Strength Volume (Sv) dapat dijadikan dasar untuk identifikasi, klasifikasi dan struktur kawanan ikan pelagis (2) Kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat diidentifikasi berdasarkan spesies (3) Klasifikasi kawanan ikan lemuru dapat dibedakan berdasarkan musim dan ukuran ikan (4) Adanya pola pembentukan kawanan ikan lemuru pada analisis struktur kawanan ikan lemuru
1.5 Kerangka Pemikiran
Azis et al., 1998 mengulas mengenai potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan
sumberdaya
ikan
laut
di
perairan
Indonesia
dengan
mengelompokkan sumber daya ikan laut Indonesia menjadi 12 kelompok yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang konsumsi, ikan hias, udang dan krustasea, moluska dan tripang, sepalopoda, penyu, mamalia, rumput laut, induk dan benih alami komersial.
Selanjutnya membagi wilayah
perairan Indonesia menjadi 9 (sembilan) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Sumberdaya ikan laut yang telah diduga potensinya berdasarkan WPP terdiri dari tujuh kelompok, yaitu: ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang konsumsi, udang peneid, lobster, cumi-cumi dan ikan hias. Jika ditarik
benang merahnya maka potensi, pemanfaatan dan peluang
pengembangan sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: taksonomi (ikan dan non-ikan), habitat (pelagis, demersal dan karang), ukuran ikan (pelagis besar dan kecil) dan benih komersial. Hal yang perlu dicermati adalah pendugaan potensi ikan laut belum menyentuh pada hal yang bersifat fundamental yaitu pendugaan stok ikan berdasarkan spesies. Pendugaan stok ikan berdasarkan spesies diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara lebih terarah dan sistematis. Di perairan tropis, dalam hal ini perairan Indonesia, permasalahan utamanya adalah keanekaragaman spesies menyulitkan dalam pendugaan stok ikan per spesies di suatu perairan (Gambar 1.1). Langkah awal untuk mengatasi hal tersebut adalah mendapatkan data dan informasi mengenai komposisi spesies ekonomis penting yang dominan di suatu perairan. Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, maka lokasi kajian difokuskan di perairan Selat Bali dimana komposisi dan dominasi spesies ikan pelagis kecil telah diketahui. Ada dua pendekatan dalam menduga stok ikan pelagis kecil, yaitu (1). metode semi-kuantitatif dan (2). metode hidroakustik. Metode semi-kuantitatif lebih beresiko untuk dilakukan karena menggunakan metode penalaran (reasoning) dan perhitungan
(calculating)
sehingga
mendapatkan
perkiraan
sementara
(preliminary) dan kasar (Azis et al., 1998). Disertasi ini menggunakan metode hidroakustik. Keunggulan metode ini adalah kemampuannya menganalisis distribusi kelimpahan dengan jangkauan jarak yang luas terhadap suatu organisme atau agregasi/kumpulan yang tidak merusak lingkungan dan menggambarkan kondisi saat itu juga.
Tetapi, metode hidroakustik memiliki keterbatasan yaitu ketidakmampuannya dalam membedakan gema spesies yang ada pada echogram, sehingga sulit menentukan jenis dan kawanan ikan. Barange (1994) berusaha menentukan jenis dan kawanan zooplankton dan horse mackerel dengan mengenalkan deskriptor akustik sebagai parameter penentu kawanan ikan.
Penelitian terus berlanjut
sampai akhirnya hasil penelitian Lawson et al (2001) menunjukkan bahwa deskriptor akustik dapat digunakan untuk identifikasi spesies anchovy, sardine dan round herring dengan ketepatan 88.3%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka disertasi ini menggunakan deskriptor akustik sebagai dasar dalam identifikasi, klasifikasi dan struktur kawanan ikan pelagis kecil di perairan tropis khususnya perairan Selat Bali. Hal yang perlu dicermati adalah identifikasi kawanan ikan merupakan kunci untuk mengetahui spesies ikan di suatu perairan. Langkah berikutnya adalah klasifikasi kawanan ikan yang dapat menggambarkan ciri-ciri spesies secara spesifik berdasarkan musim. Struktur kawanan ikan merupakan pelengkap dalam melihat pembentukan kawanan dalam kolom perairan. Hasil perhitungan deskriptor akustik identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan akan dianalisis lebih mendalam menggunakan Analisis Faktor (Factor Analysis) untuk mencari keeratan hubungan antar deskriptor akustik, Analisis Gerombol (Cluster Analysis) untuk mengelompokkan kawanan ikan pelagis dan Analisis Diskriminan (Discriminant Analysis) untuk menentukan deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan.
Analisis yang
digunakan untuk struktur kawanan ikan adalah teknik variogram. sebagai indikator apakah deskriptor akustik yang
Teknik ini
digunakan untuk mengukur
kawanan ikan memiliki struktur atau tidak. Ketiga rangkaian tersebut (identifikasi, klasifikasi dan struktur) diharapkan saling menunjang untuk mendapatkan karakteristik kawanan ikan di perairan tropis dalam hal ini perairan Selat Bali, sehingga stok spesies ikan dapat diperkirakan keakuratannya. Dalam disertasi ini, tahapan pendugaan stok ikan berdasarkan analisis deskriptor akustik dibagi menjadi 4 (empat) tahap yakni:
Tahap I. Identifikasi kawanan ikan pelagis Tahap ini memerlukan data survei akustik dari lapangan yang meliputi data echogram dan data oseanografi (suhu dan salinitas). Identifikasi kawanan ikan diarahkan untuk dapat membedakan spesies kawanan ikan pelagis kecil khususnya yang dominan tertangkap. Tahap II. Klasifikasi kawanan ikan lemuru Pada tahap ini spesies kawanan ikan pelagis kecil yang telah diketahui (dititik beratkan pada kawanan ikan lemuru) selanjutnya dibuat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan strata/klasifikasinya dan diperlukan parameter agar suatu kelompok dapat dikatakan sebagai kelas tertentu. Tahap III. Analisis struktur kawanan ikan lemuru Tahap ini difokuskan pada penentuan bentuk spesies kawanan ikan lemuru berdasarkan distribusi spasial dan temporalnya. Tahap IV. Pembahasan umum Tahap ini merupakan upaya mencari hubungan dan keterpaduan dari setiap tahapan yang telah dilakukan. Tahapan I, II dan III memerlukan deskriptor akustik yang sesuai. Adapun deskriptor akustik yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptor akustik yang dikembangkan dari rumusan Lawson et al. (2001), Coetzee (2000), dan Bahri & Freon (2000) untuk identifikasi, klasifikasi dan struktur kawanan ikan. Standar baku pemilihan deskriptor akustik dirujuk dari Reid et al. (2000). Hasil akhir disertasi ini adalah mendapatkan karakteristik kawanan ikan pelagis di perairan tropis khususnya perairan Selat Bali sehingga akan bermanfaat langsung dalam usaha penangkapan ikan dan pelestarian sumberdaya ikan.
P er m as al ah an S T OK I K AN
Pendekatan
Hidr oak us tik
Permasalahan Utama
Pemecahan masalah
Hasi l
S emi k uantitatif
S ulit menentukan j enis & kawanan ikan pada echogr am
Analis is Faktor , Ger ombol & Dis k r iminan
Des kr iptor akus tik
T ek nik Var iogr am
I dentifikas i, k las ifik as i & analis is s tr uk tur s pes ies k awanan ikan pelagis
K ar akter is tik kawanan ikan pelagis
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran identifikasi, klasifikasi dan struktur spesies kawanan ikan pelagis berdasarkan deskriptor akustik
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Gerombolan (Shoal) dan Kawanan (School) Ikan
Predator dan makanan adalah kunci dalam memahami gerombolan ikan. Kerjasama dalam menaklukkan predator dan mencari makan secara bersama-sama menggambarkan keseimbangan antara bergabung, bersaing, atau meninggalkan kelompok. Dalam kehidupan nyata, saat predator menghampiri gerombolan ikan yang sedang mencari makan, maka secara spontan gerombolan ikan tersebut akan bersikap waspada. Sekali terdeteksi oleh predator, gerombolan ikan akan mempertahankan diri daripada mencari makan (feeding) (Pitcher & Parrish, 1983).
Gerombolan ikan menunjukan adanya kesan koordinasi dan sekali-kali
terlihat mempunyai derajat sosial yang sama tanpa pemimpin yang saling bekerja sama melindungi spesies (Breder, 1954; Shaw, 1962; Radokov, 1973 diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983). Dalam hal ini, gerombolan lebih memperhatikan kehomogenan dan kesinkronan. Tingkah laku gerombolan lebih banyak tertuju pada spekulasi fungsi (Shaw, 1978; Partridge, 1982a diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983), sampai sekarang eksperimen kunci masih sedikit dilakukan. Pada gerombolan ikan, menghindari serangan sederhana dan serangan mendadak sama sekali tidak berhubungan dengan seleksi tingkah laku kelompok. Kelompok ikan yang tinggal bersama untuk alasan sosial disebut “gerombolan/shoal” (Pitcher & Parrish, 1983), analog dengan hal “kawan” untuk burung. Didefinisikan sebagai kelompok sosial ikan, gerombolan tidak mempunyai implikasi untuk struktur atau fungsi. Pitcher & Parrish (1983) menjelaskan bahwa sinkronisasi dan polarisasi kelompok renang disebut “school”. Schooling atau perkawanan ikan adalah salah satu tingkah laku pamer oleh ikan dalam gerombolan (Gambar 2.1) dan kawanan ikan mempunyai struktur yang dapat diukur dalam sinkronisasi dan polarisasi. Secara akustik, obyek yang terlihat pada echogram menggambarkan agregasi
organisme bukan secara individual, sehingga disebut ‘kawanan’.
Kawanan, akan terlihat pada peralatan survey akustik, echosounder ataupun sonar pada berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah jejak gema (echo trace) tunggal, kuat dan terputus-putus. Reid et al. (2000) menyebutkan bahwa pengertian ‘kawanan’ akan selalu menimbulkan debat antar ilmuan biologi tingkah laku, sehingga tidak mungkin untuk diputuskan. Definisi ‘kawanan’ untuk tujuan akustik ini mewakili kumpulan
yang terlihat pada echosounder. Definisi yang diberikan Kieser et al. (1993) diacu dalam Reid et al. (2000) adalah agregasi ikan multiple. Disertasi ini, merujuk pengertian schooling atau ‘kawanan ikan’ pada Gambar 2.1 bahwa, kawanan ikan memiliki kekhasan dalam polarisasi kelompok renang tertentu dan tingkah laku tertentu, sehingga terlihat sebagai suatu struktur khas yang dapat dijadikan sebagai suatu parameter terukur. T ingkah laku individu
Ger om bol an / S h oal Kr iter ia: hubungan K aw a s os ial n an / Kriteria: tingkah S laku ch ool s inkr onis as i renang
T aktik Anti pr edator
B A
E D
KE T E RANGAN: A. menghindar i vacuole/lubang yang mer upakan ancaman B . invas i dengan cepat C. polaris as i kompak D. kumpulan ter pencar E . melar ikan dir i dengan s embunyi
C
Mencar i makan Memij ah
Gambar 2.1 Diagram Venn hubungan definisi tingkah laku gerombolan dan kawanan ikan (Pitcher & Parrish, 1983) Berdasarkan diagram Venn pada Gambar 2.1, memijah dan mencari makan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup sehingga ikan akan memijah atau mencari makan dapat dilakukan dalam bentuk kelompok (schooling, shoaling) atau individu. Ikan membentuk gerombol berdasarkan hubungan sosial baik itu mencari makan, memijah atau upaya mempertahankan diri dari predator. Gerombolan ikan biasanya juga akan membentuk kawanan ikan. Kawanan ikan terbentuk sebagai upaya untuk menunjukkan jati diri kelompok tertentu. Hal ini terlihat pada kesinkronan kelompok dengan tingkah laku dan kelompok renang tertentu. Tujuan pembentukan kelompok (shoaling, schooling) adalah sebagai upaya memudahkan mencari makan, mencari pasangan dalam memijah dan taktik untuk menghindar atau mempertahankan diri dari serangan predator. Ikan soliter (hidup secara individu) mempertahankan diri dari serangan predator dengan cara melarikan diri dan sembunyi. Taktik yang dilakukan oleh gerombolan
ikan
untuk
menghindari
serangan
predator
adalah
dengan
membentuk polarisasi kompak kemudian membentuk pencaran dan bergabung lagi sehingga menyulitkan predator untuk memangsa. Sementara kawanan ikan, taktik yang dilakukannya adalah dengan membentuk polarisasi kompak kemudian melakukan invasi dengan cepat dan yang terpenting tidak membiarkan adanya vacuoles yang merupakan ancaman masuknya predator dalam kawanan. 2.2 Identifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan
Ikan dapat di identifikasi dengan 2 (dua) cara, yakni identifikasi ikan secara ex situ dan secara in situ. Identifikasi ikan secara ex situ atau secara taksonomi adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi ikan dengan mengambil sampel ikan, dilihat ciri-ciri meristik dan morfometriknya (atau dilihat sampel DNA nya) serta mencocokkannya dengan kunci identifikasi dan taksonomi.
Identifikasi ikan
secara in situ atau secara hidroakustik adalah suatu usaha untuk mengenali atau mengidentifikasi kawanan ikan dengan gelombang suara yang ada pada suatu area tertentu, pada waktu tertentu tanpa menyentuh kawanan ikan tersebut. Kelebihan dan kekurangan identifikasi ikan tersebut tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Identifikasi ikan secara in situ dan ex situ Identifikasi Ikan Ex situ (Taksonomi) Kelebihan
Spesies ikan dapat langsung diketahui secara akurat
Dapat dilakukan kapan saja dan tidak memerlukan peralatan khusus dalam penyimpanan sampel.
In situ (Hidroakustik)
Kekurangan
Membutuhkan waktu relatif lama dalam identifikasi ikan di areal tertentu (terutama di daerah tropis) Densitas ikan dapat diketahui dengan cara sampling
Kelebihan
Kekurangan
Dapat mengetahui densitas dan penyebaran spesies ikan yang diidentifikasi di suatu perairan
Tingkat keakuratan masih rendah
Dapat mengidentifikasi spesies tanpa menyentuh kawanan ikan
Identifikasi dengan DNA masih mahal
Harus dengan biologi
ditunjang sampling
Mahal biaya surveinya
Sebagaimana diungkapkan pada Tabel 2.1, salah satu kelemahan metode hidroakustik adalah dalam hal identifikasi ikan. Oleh karena itu Lu & Lee (1995) mengembangkan software EIPS (Echo-signal Image Processing System) untuk mengidentifikasi
spesies
ikan
dari
echogram
gerombolan
ikan,
dengan
menggunakan dual beam echosounder. Sistem pengolah sinyal akustik tersebut berisi program untuk transformasi citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan fungsi diskriminan untuk identifikasi
spesies.
Selain itu digunakan juga principal component analysis, clustering
analysis dan stepwise discriminant analysis dalam menentukan hubungan antara deskriptor.
Deskriptor akustik penting dalam
identifikasi spesies
yang
berhubungan dengan struktur eksternal gerombolan ikan (area, perimeter, tinggi, lebar, panjang aksis, sirkular, rektangular dan jumlah piksel) dan struktur internal gerombolan ikan (nilai rata-rata, standar deviasi, skewness, kurtosis dan amplitude sinyal).
Keakuratan identifikasi spesies menggunakan sistem ini
mencapai 98% untuk round scad, 97% untuk anchovy, 94% untuk skipjack, 91% untuk larval fish dan 67% untuk horse mackerel. Scalabrin et al. (1996) melakukan identifikasi akustik narrow-band gerombolan ikan monospesifik. Sinyal narrow-band backscatter mengandung informasi yang berbeda maka ekstraksi fitur yang benar, penting dalam keberhasilan identifikasi spesies gerombolan ikan. Data akustik yang digunakan untuk identifikasi spesies yaitu echogram, amplitude probability, density function dan fitur spektral.
Image processing digunakan untuk memperbaiki deskriptor
gerombolan ikan, namun hasilnya belum dapat mengidentifikasi spesies. Alasannya adalah: (1) penggunaan narrow-band echosounder pada perairan dangkal tidak sesuai untuk fitur alat, seperti lebar beam, durasi pulsa dan frekuensi. Echosounder tersebut umumnya beroperasi dengan single beam width (10o), sehingga mengakibatkan rendahnya angular resolution yang secara serius membahayakan pengukuran morfologi shoal; (2) Data yang digunakan mencakup periode waktu yang lama (5 tahun) dan musim yang berbeda. Konsekuensinya, kisaran yang luas dari kondisi lingkungan ditunjukkan dengan berubah-ubahnya pengamatan untuk horse mackerel. Spesies ini menunjukkan perbedaan tingkah laku, yang mungkin berhubungan dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan makannya. Kisaran yang luas pada karakteristik akustik mengakibatkan perubahan struktur gerombolan ikan dan tumpang tindih spesies. LeFeuvre
et
al.
(2000)
mengembangkan
peralatan
analisis
untuk
mengidentifikasi cod (Gardus marhua) dan capelin (Mallotus villosus) dengan menggunakan echogram resolusi tinggi. Pendekatan teknik pengolahan citra digunakan untuk menilai dan menganalisis berbagai fitur akustik yang diterima. Selanjutnya mengembangkan model algoritma untuk membedakan antar spesies. Klasifikasi jarak Mahalanobis digunakan pada pengukuran jarak antar spesies. Implementasi peralatan analisis tersebut diuji dengan perangkat lunak “FASIT” (Fisheries Assessment and Species Identification Toolkit) menggunakan data echosounder digital 38 KHz. Pendekatan yang digunakannya ditekankan pada
pengembangan peralatan untuk ekstraksi fitur dan teknik klasifikasi pada situasi tertentu, dan tidak mengembangkan algoritma klasifikasi secara umum. Identifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan dilakukan oleh Lawson et al. (2001). Pengukuran deskriptor akustik ditekankan pada deskriptor morfometrik, energetik dan bathymetrik kawanan ikan anchovy (Engraulis capensis), sardine (Sardiops sagax) dan round herring (Etrumeus whiteheadi). Pengukuran
kawanan
ikan
diekstraksi
menggunakan
software
komersial
(echoview sonar data). Data akustik dikumpulkan dengan echosounder vertikal selama operasi trawl survei stok pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan pada bulan November 1997, 1998 dan 1999. Ketepatan identifikasi spesies yang diperoleh dalam studi ini mencapai 88.3% tergantung penggunaan variabel pada diskriminasi. Studi tersebut telah menunjukkan bahwa analisis langsung pada data akustik konvensional menghasilkan identifikasi spesies dengan keakuratan tinggi. Pencantuman variabel tambahan memperbaiki identifikasi spesies secara substansial. Gambar 2.2 adalah kawanan herring tunggal dari identifikasi survei dalam sistem pengolahan citra (Reid et al., 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, ada beberapa hal yang dapat meningkatkan keakuratan identifikasi spesies kawanan ikan, yaitu: (1)
Penggunaan alat hidroakustik split beam echosounder menghasilkan identifikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan dual beam ataupun single beam.
(2)
Penggunaan deskriptor akustik yang relevan disuatu perairan diperlukan dalam memperbaiki identifikasi spesies kawanan ikan.
(3)
Adanya faktor lingkungan yang menunjang seperti suhu, salinitas, lintang, bujur, musim dan sebagainya.
Permukaan laut
Kawanan Ikan
Dasar perairan
Gambar 2.2. Kawanan herring tunggal dari identifikasi survei akustik sistem pengolahan citra. Tabel sebelah kanan merupakan deskriptor yang dihitung pada kawanan herring (Reid et al., 2000).
2.3 Klasifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan
Definisi klasifikasi menurut Ludwig (1988) adalah pengelompokan atau penggerombolan (cluster) dari suatu objek berdasarkan pada kemiripannya. Lagler et al. (1963) menambahkan bahwa organisme akuatik, termasuk ikan, dapat diklasifikasikan secara ekologi dengan cara yang berbeda-beda. Menurut toleransi lingkungan, dapat dikelompokkan dari toleransi sempit sampai ke lebar, seperti ‘steno’ dan ‘eury’. Klasifikasi suhu yaitu stenothermal dan eurythermal, salinitas yaitu stenohaline atau euryhaline dan seterusnya.
Contoh lain klasifikasi ikan, berdasarkan kategori basis lokasi dalam ekosistem akuatik seperti bentik (ikan dasar), pelagis (berenang bebas), atau planktonik (pergerakannya tergantung arus). Klasifikasi berdasarkan arah migrasi seperti migrasi vertikal dan horizontal.
Rose & Leggett (1988) telah berhasil melakukan klasifikasi kawanan ikan
cod, capelin dan mackerel dengan deskriptor akustik.
Quadratic Discriminant
Function digunakan untuk analisis klasifikasi kawanan ikan berdasarkan target strength, kedalaman, dan jarak off-bottom mencapai ketepatan 77%.
Sampel
bebas akustik kawanan cod dan capelin selama tahun 1985 yang berhasil diklasifikasikan mencapai ketepatan 93%, berdasarkan variabel SPT (Standarized Peak to Through distance), PP (Peak to Peak distance), koefisien variasi inversi, kedalaman dan jarak off-bottom.
Fisher (1936) diacu dalam Rose & Leggett
(1988) menyatakan bahwa teknik diskriminan cocok untuk klasifikasi taksonomi dari sinyal akustik. Richards et al. (1991) juga berhasil melakukan klasifikasi ikan rockfish (famili Scorpaenidae) di perairan sebelah barat laut Vancouver Island-Kanada. Berdasarkan integrasi echo, penggunaan Nearest Neighbour Analysis (NNA) mencapai ketepatan di atas 97%. Variabel yang digunakan adalah time of day, dispersion, log mean volume density dan mean off bottom distance.
Studi
tersebut tidak mempertimbangkan fitur berdasarkan kedalaman, karena klasifikasi agregasi ikan harus didasarkan pada karakteristik fitur dari distribusi echo ikan bukan pada lokasi secara geografi. Penelitian mengenai klasifikasi kawanan ikan secara hidroakustik masih jarang dilakukan bila dibandingkan dengan identifikasi kawanan ikan. Klasifikasi kawanan ikan merupakan kelanjutan dari identifikasi kawanan ikan. Titik berat pada klasifikasi kawanan ikan terletak pada pembuatan kelas-kelas yang dijadikan parameter. 2.4 Struktur Hidroakustik Kawanan Ikan
Freon et al. (1992) menyatakan bahwa strukutur kawanan ikan secara umum digambarkan dalam 3 parameter yaitu: 1) densitas rata-rata seluruh kawanan, 2) susunan ikan secara individu dalam struktur dan 3) bentuk eksternal kawanan.
Parameter-parameter tersebut dipengaruhi faktor internal (tingkat
kedewasaan spesies) dan eksternal. kelompok
yaitu:
1)
kondisi
Faktor eksternal dibagi menjadi dua
lingkungan
(temperatur,
intensitas
cahaya,
ketersediaan mangsa) dan 2) stimuli eksternal (stimuli visual yang datang dari predator alam atau kapal).
Struktur kawanan internal bersifat heterogen dan
struktur ini berubah ketika
ada kapal yang lewat di atas kawanan.
Struktur
kawanan tersebut mempengaruhi variabilitas densitas, khususnya untuk kawanan ikan pelagis.
Di lain pihak, heterogenitas struktur kawanan mengakibatkan
kesulitan dalam memperkirakan biomassa kawanan berdasarkan volume eksternal pada multibeam sonar dan perkiraan densitas yang menggunakan perhitungan visual atau model distribusi. Studi akustik yang dilakukan oleh Masse et al. (1996) mengenai struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis bertujuan menganalisis perkiraan jejak gema spesies spesifik yang diinginkan dan menguji pengaruh susunan spesies pada posisi vertikal, dan bentuk dari kawanan. Karakteristik yang diamati adalah ukuran (tinggi, vertical cross-section area), elongasi (panjang/tinggi), energi hambur balik (densitas) dan distribusi vertikal (kedalaman dasar, altitude school). Struktur kawanan yang dinyatakan dalam tipologi akustik dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Reid et al., 2000).
Skema yang mewakili tipologi akustik ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Scattered fish. Dicirikan dengan sejumlah besar gema ikan tunggal yaitu ikan tidak beragregat dalam suatu struktur (tipe 1).
(2)
Fish in schools. Dicirikan dengan sejumlah diskret dan kawanan yang dapat diidentifikasi.
Informasi ini secara langsung bisa berasal dari database
kawanan yang digambarkan langsung (tipe 2). (3)
Fish in aggregation. Pada layar echogram ikan terbentuk dalam agregasi yang hilang. Agregasi ini digambarkan sebagai ‘clouds’ (tipe 3)
(4)
Fish in pelagic layer (tipe 4a). Ikan pada lapisan ini seringkali terlihat menyebar pada lapisan mid-water yang bersambungan sampai dengan beberapa mil.
Lapisan seperti ini sulit digambarkan menggunakan citra.
Ada beberapa yang terlihat seperti patahan-patahan kecil dalam lapisan.
Gambar 2.3 Tipologi akustik untuk aplikasi database ESDU (Reid et al., 2000).
Struktur seperti ini meskipun dapat dilihat sebagai suatu rangkaian dalam kawanan terpisah, sebaiknya dilihat sebagai lapisan struktur. Dalam hal ini echogram membentuk lapisan tipis dalam kolom air.
Sebuah lapisan,
meskipun terjadi patahan sebaiknya dilihat dalam bentuk 3D seperti diagram kue dengan sesekali terdapat lubang. (5)
Fish in demersal layer (tipe 4b). Memiliki kemiripan dengan tipe 4a tetapi lebih dekat dengan dasar laut. Argumen yang sama tentang kekontinuan spasial demersal seperti pada lapisan pelagis
2.5 Perkembangan Deskriptor Akustik
Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik. Deskriptor akustik pertama kali dikenalkan oleh Rose & Leggett (1988).
Penelitian yang dilakukan berupa klasifikasi sinyal
hidroakustik kawanan ikan berdasarkan spesies. Alat akuisisi data akustik yang digunakan adalah echosounder dual beam model Biosonics 105 (120kHz). Hasil analisis diskriminan kuadratik memaparkan bahwa deskriptor akustik dapat diklasifikasikan secara benar sebesar 93% adalah kawanan cod dan capelin. Tetapi akan berkurang tingkat akurasinya (77%) jika melibatkan nilai TS. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Deskriptor akustik untuk klasifikasi (Rose & Leggett, 1988) No
Deskriptor Akustik
No
Deskriptor Akustik
[1].
Off Bottom distance (m)
[5].
Standar deviation voltage (V )
[2].
School depth (m)
[6].
Peak to Peak (m)
[3].
Maximum voltage (V )
[7].
SPT
[4].
2
2
2
Mean voltage (V )
Penelitian ini dilanjutkan oleh Richards et al. (1991) dengan klasifikasi kumpulan (assemblage) ikan berdasarkan survei integrasi gema menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda di Kepulauan Vancouver Canada. Alat yang digunakan adalah BioSonic digital echo integrator.
Hasil Nearest-
neighbour analysis (NNA) menunjukkan bahwa kumpulan ikan rockfish dapat dibedakan berdasarkan kategori habitat sebesar 97%. Deskriptor akustik yang digunakannya untuk penelitian tertera pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Deskriptor akustik menurut Richards et al. (1991) No
Deskriptor Akustik
No Deskriptor Akustik
[1]. [2].
Off Bottom (D) Dispersi (N)
[3]. [4].
Time (T) Density mean volume (V)
Penelitian hidroakustik mengenai pola spasial plankton menggunakan echogram dilakukan di Perancis oleh Baussant et al. (1993). Metode deskriptor akustik yang digunakan adalah geometri (maksudnya morfometrik) dan statistik (maksudnya energetik). Alat yang digunakan adalah model BioSonic 102 (38kHz). Hasil analisis mutivariate menunjukkan bahwa terjadi korelasi negatif antara deskriptor akustik geometri dan statistik pada patches plankton. Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Deskriptor akustik menurut Baussant et al. (1993) A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10].
Geometry Area Perimeter External Hight External Width Internal Hight Internal Width Fractal Dimension Nearest Neighbour Distance Nearest Neighbour Angle Coefisien vertikal rugosity
B. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9].
Statistic Mean Intensity Maximum intensity Variance Coefisien variation Skewness Kurtosis Horizontal rugosity Vertikal rugosity Coefisien horizontal rugosity
Pada penelitian sebelumnya, Freon et al.,1992 mengamati langsung dengan melihat struktur kawanan, densitas rata-rata dan bentuk kawanan (plumelike, egg-shaped dan mill). Alat yang digunakan adalah SIMRAD EY-M sounder portable (70 kHz). Penelitian ini tidak menggunakan deskriptor akustik. Weill et al.,1993 mengembangkan software MOVIES B khusus untuk mendeteksi kawanan ikan. Software ini merupakan pengembangan dari INESMOVIES (Diner et al., 1989). Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Deskriptor akustik menurut Diner et al. (1989) A. [1]. [2]. B. [3]. [4].
General ESDU (0.1 mil) Speed vessel (S) Acoustic Echosounder frequency (kHz) Number of sample above echo integrasi threshold (Sa) [5]. Number of ping (N) [6]. Number of total sample (St) C. Time and space position [7]. Year [8]. Day a year [9]. Time [10]. Quadrate geography [11]. Longitude [12]. Latitude
A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. B. [7]. [8]. [9]. [10]. C. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Morphology Height Length Perimeter Cross sectional Area Fractal Dimension Elongation Bathymetric Depth Bottom Shoal depth Shoal minimum altitude Shoal altitude index Energetic Deviation (Qd) Volume reverberation Index Energy backscatter Amplitude Mean value Amplitude sample maximum value
[16]. [17].
Amplitude standar deviation Amplitude coefisien variation
Di Afrika Selatan, Barange (1994) mengembangkan deskriptor akustik dengan pengenalan matriks.
Alat yang digunakan adalah split beam echo
sounder SIMRAD EK500 dengan frekuensi operasional 38 kHz. Pada penelitian ini,
Barange
menemukan
adanya
pengelompokan
(patchiness)
biologi
berdasarkan data hambur balik akustik. Hasilnya adalah pengelompokkan ikan horse mackerel dan zooplankton dapat diidentifikasi sebesar 54-78%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Deskriptor akustik menurut Barange (1994) A. [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. B. [6]. [7].
Size and shapes Length Height Area Perimeter Fractal dimension Relational Nearest Neighbour Distance (NND) Nearest Neighbour Angle (NNA)
C. [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Feature internal patch Mean acoustic Intensity Variance acoustic intensity Maximum acoustic Intensity Minimum acoustic Intensity Skewness Kurtosis Horizontal roughness Vertikal roughness
Di Taiwan, Lu & Lee (1995) mengidentifikasi spesies gerombolan ikan menggunakan sistem pengolahan citra jejak sinyal (sinyal-echo image processing) dengan deskriptor akustik. Alat yang digunakan adalah dual beam echosounder. Hasilnya adalah gerombolan ikan pelagis (round scad, skip jack, horse mackerel dan larva ikan) dapat diidentifikasi sebesar 98%.
Deskriptor akustik yang
digunakan tertera pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Deskriptor akustik menurut Lu & Lee (1995) A [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. [9]. [10].
External structure Cross section area Perimeter Hight Width Length Major axis angle Number of pixel Elongation Circularity Rectangularity
B. [11]. [12]. [13]. [14]. [15]. [16]. [17].
Internal structure Mean signal amplitudo Standar deviation signal amplitudo Skewness Kurtosis Integrated optical density Horizontal uniform optical density Vertikal uniform optical density
Scalabrin et al.,1996 mengidentifikasi gerombolan sardin dan anchovy di Teluk Biscay, Perancis menggunakan deskriptor akustik sebesar 98%, tetapi akan berkurang tingkat akurasinya jika melibatkan jarak yang luas berdasarkan ruang dan waktu. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Deskriptor akustik menurut Scalabrin et al.(1996) No Deskriptor Akustik [1]. Nearest Neighbour Distance
No Deskriptor Akustik [4]. Shoal number density
[2]. Standar Deviation [3]. Mean
[5]. IAR (ratio area influence)
Deskriptor ini ditambahkan dari MOVIES-B, yaitu: No [1]. [2]. [3]. [4]. [5].
Deskriptor Akustik Area Bottom depth Shoal minimum depth Length Elongation
No [6]. [7]. [8]. [9].
Deskriptor Akustik Fractal dimension Scattering volume Average Amplitudo Amplitudo standar deviation
Masse et al.,1996 membuat kajian akustik dalam struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis. Alat yang digunakan adalah single beam echo sounder Ossian 1500 (38 kHz). Deskriptor yang digunakan berasal dari program INES-MOVIES sebagaimana tertera pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Deskriptor akustik menurut Masse et al. (1996) No [1]. [2]. [3].
Deskriptor Akustik Height Elongation Vertical cross area
No Deskriptor Akustik [4]. Back scattering energy [5]. Vertical distribution (bottom depth & acoustic school)
Selanjutnya Reid et al., 2000 membuat standar baku dalam menganalisis kawanan ikan berdasarkan hasil survei. Data diekstraksi menjadi 3 parameter utama yaitu, kawanan (school), ESDU dan bagian (region). Deskriptor akustik yang digunakan sebagai standar baku tertera pada Tabel 2.10. Tabel 2.10. Deskriptor akustik menurut Reid et al. (2000) [1].
[2].
[3].
School Parameter Position Morfometrik Energetic Environment Biological ESDU Position Energetic Hydrography Acoustic typology Seabed Region/Strata
= = = = =
Temporal, vertical and geographical Shape, height, width etc Total acoustic energy and internal school variation index Hidrography and physical (seabed substrat and topography) Species, age structure, others species etc
= = = = =
Date, time, vessel log, longitude, latitude Total echo integral from fish or plankton Sea surface temperature, and salinities (SST and SSS) Scattered fish, school fish, aggregation fish, pelagis layer etc Depth water, seabed topography, slope, substrat
Bahri & Freon (2000) membuat struktur spasial kawanan ikan pelagis menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda Laut Mediterranean. Metode geostatistik (teknik variogram) digunakan untuk menganalisis struktur spasial.
Berdasarkan
teknik
variogram,
kawanan
ikan
pelagis
di
Laut
Mediterranean memiliki struktur. Deskriptor akustik yang digunakannya tertera pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Deskriptor akustik menurut Bahri & Freon (2000) No [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7].
Deskriptor Akustik Back scatter energy School Reverberation volume index Length Average hight Maximum hight Elongation Roughness school
No [8]. [9]. [10]. [11]. [12]. [13].
Deskriptor Akustik Perimeter Area Average depth Minimum Altitude Relatif Altitude Minimum depth
Pada perkembangan selanjutnya, LeFevre et al., 2000 mengembangkan perangkat lunak FASIT untuk mengidentifikasi bentuk, tekstur dan objek positif gerombolan ikan menggunakan deskriptor akustik. Hasilnya adalah gerombolan ikan (Cod, Capelin, Red Fish) dapat diidentifikasi sebesar 98%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.12. Tabel 2.12. Deskriptor akustik menurut LeFevre et al. (2000). No [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8].
Deskriptor Akustik Area Perimeter Compactness Roughness Width Height Axis Elongation
No [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Deskriptor Akustik Mean Amplitude Maximum Amplitude Minimum Amplitude Amplitude Standard deviation Depth to the top of the object Depth to the centroid of the object Distance from the object to the seabed
SHAPES (SHoal Analysis and Patch Estimation System) untuk mencirikan kawanan sardin di Agulhas Bank Afrika Selatan diteliti oleh Coetzee
(2000).
Pada analisis echogram, ditekankan pada penggunaan scattering area sebagai variabel dalam menghitung scattering volume. Hasilnya adalah deskriptor akustik morfologi merupakan deskriptor akustik yang paling berperan dalam karakteristik kawanan ikan sardine. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Deskriptor akustik menurut Coetzee (2000). A [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6]. [7]. [8]. C [16]. [17].
Morphology Height (apparent) Length (apparent) Height (real) Length (real) Area Volume Perimeter Fractal dimension Correction data NND NNA
B [9]. [10]. [11]. [12]. [13]. [14]. [15].
Internal Energetic Mean echo intensity Standard deviation of echo intensity Coefficient of variation of echo intensity Coefficient of Horizontal roughness Coefficient of Vertical roughness Skewness Kurtosis
[18]. [19].
Number of cells Ping to discard
Lawson et al., 2001 mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan berupa data suhu dan salinitas. Hasilnya adalah kawanan ikan pelagis (anchovy, sardine, round herring) dapat diidentifikasi sebesar 88,3%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Deskriptor akustik menurut Lawson et al. (2001) A. Morphometric [1]. Height [2]. Length [3]. Perimeter [4]. Area
B. Energetic [5]. Mean acoustic energy [6]. Standard deviation of acoustic energy [7]. Skewness of acoustic energy [8]. Kurtosis of acoustic energy C. Bathymetric [9]. Mean school depth [10]. Altitude index
2.6 Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali
Burhanudin & Preseno (1982) diacu dalam Wudianto (2001) menyatakan bahwa perairan Selat Bali diperkirakan memiliki luas mencapai 900 mil persegi dan dibatasi oleh daratan Pulau Jawa (di sebelah barat), daratan pulau Bali (di sebelah timur), Laut Jawa (Selat Madura) dengan lebar 1 mil (di sebelah utara) dan Samudera Hindia dengan lebar 28 mil (di sebelah selatan).
Usaha penangkapan di perairan Selat Bali terutama ditujukan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil seperti lemuru, tembang, dan layang. Alat tangkap yang umum digunakan oleh nelayan setempat yakni: pukat cincin, payang, jaring insang, rawai dasar, pancing, bagan, sero dan lainnya. Spesies kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali sebagian besar didominasi oleh jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru) dengan kisaran 14-98%, selanjutnya tongkol (Auxis spp) dengan kisaran 0.5-56%, layang (Decapterus sp) dengan kisaran 0.1-61% dan ikan lainnya dengan kisaran 0.1-14% pada Tahun 1996-1998 (Wudianto, 2001). Lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil yang berdasarkan buku statistika perikanan Indonesia, terdiri dari beberapa jenis antara lain: Sardinella longiceps, S. aurita, S. leiogaster, S. clupeiodes, dan Amblygaster sirm. Perairan Selat Bali umumnya didominasi oleh Sardinella longiceps. Tahun-tahun terakhir ini sebutan S. longiceps jarang digunakan sebagai sebutan nama ilmiah lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali (Wudianto, 2001). Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana, 1982 diacu dalam Merta, 1992 mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru di perairan selat Bali yang dilakukan oleh Wongratana,1982 adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Subgenus : Harengula Species : Sardinella lemuru Bleeker, 1983 Budihardjo et al., 1990 menyebutkan bahwa sekitar 80% produksi total ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru). Komposisi hasil tangkapan pada Gambar 2.4, menunjukkan bahwa spesies kawanan ikan pelagis kecil didominasi oleh lemuru. Produksi hasil tangkapan lemuru yang tinggi terjadi bulan Agustus sampai Desember.
Gambar 2.4. Rata-rata bulanan produksi ikan dari pukat cincin berdasarkan jenis ikan, Tahun 1996-1998 (Wudianto, 2001) Nelayan di perairan Selat Bali membedakan ukuran panjang ikan lemuru hasil tangkapan menjadi 4 penamaan, yaitu: sempenit (panjang maksimal 11 cm), protolan (15 cm), lemuru (18 cm) dan lemuru kucing (panjang minimal 19 cm) (Merta, 1992). 2.7 Pendugaan Kawanan Ikan Menggunakan Hidroakustik
Pendeteksian kawanan ikan dengan menggunakan peralatan hidroakustik dilakukan pertama kali oleh nelayan Norwegia sekitar tahun 1934. Selama Perang
Dunia II hidroakustik mengalami perkembangan yang luar biasa sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang berakhir, pengetahuan tentang akustik diaplikasikan untuk pendeteksian ikan secara intensif, namun hasilnya belum terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan (Widodo, 1999). Setelah diketemukannya integrator gema (echo-integrator) secara digital yang mampu mengkuantifikasikan hasil mengamatan akustik maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan (Johanneson & Mitson, 1983). Di Indonesia pemanfaatan metode akustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan Kapal Penelitian Lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Ditjen Perikanan (Venema, 1996 diacu dalam Wudianto, 2001). Penggunaan metode akustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne (1983) yang dikutip Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode akustik dibanding metode lainnya antara lain: (1) dengan metode akustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam (variance) yang rendah atau ketelitian yang tinggi, dan (5) memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan. Beberapa kekurangan pemanfaatan metode akustik antara lain: (1) lemah dalam memilahmilah ikan berdasarkan spesies, (2) kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, (3) agak rumit dan komplek (4) diperlukan biaya awal yang tinggi, (5) diperlukan sampling biologi ikan dan (6) kemungkinan terjadi bias saat penentuan target strength dan kalibrasi. Menurut Scalabrin & Masse (1993) pendeteksian kawanan ikan secara akustik dapat digolongkan menjadi 2 cara jika dilihat dari prinsip kerjanya yaitu: (1) pengamatan dari atas (secara vertikal) dengan echosounder dan (2) pengamatan dari arah samping (secara mendatar) dengan sonar. Sesuai dengan keterbatasan jangkauan alat, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan echosounder yang prinsip kerjanya dari atas maka pengukuran terhadap panjang kawanan ikan hasilnya lebih teliti dibanding hasil pengukuran terhadap tingginya. Namun sebaliknya, jika penggunaan sonar hasil pengamatan tinggi kawanan ikan lebih akurat dibanding hasil pengamatan terhadap panjang kawanan. 2.7.1 Echosounder split beam system Echosounder split-beam memiliki transducer yang dibagi dalam 4 kuadran.
Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang
diterima masing-masing kuadran.
Transducer memiliki dua fungsi yaitu
pertama, mengubah energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping; kedua, ketika target memantulkan
ping, transducer mengubah echo akustik ke sinyal elektrik. Pulsa transmisi digunakan untuk seluruh transducer tetapi sinyal yang diterima oleh tiap kuadran diproses secara terpisah (MacLennan & Simmond, 1992). 2.7.2 Target strength dan densitas ikan Target strength (TS) merupakan kekuatan dari suatu objek atau target untuk
memantulkan
(Ehrenberg, 1983).
gelombang
suara
yang
datang
mengenainya
Dengan demikian target strength dapat dirumuskan
seperti berikut (Urick, 1983) TS = 10 log ó/4ð ..………………..……(2.1) Menurut MacLennan & Simmonds (1992), TS merupakan backscattering cross section (ó bs) dari target. Clay & Medwin (1979) yang dikutip MacLennan & Simmonds (1992) menyatakan ó bs lebih tepat digambarkan sebagai total dari cross section, yaitu merupakan total dari kuantitas sebesar 4ð, untuk memperjelas perbedaan dari satuan intensitas lain karena ó bs meliputi satu unit area. Backscattering cross section dapat juga digambarkan dalam satuan decibels (dB) sehingga nilai back scattering cross section adalah ó/4ð,
dimana acoustic cross-section (ó) merupakan luas bidang
penerima sejumlah energi dari target yang memantulkan gema.
Dengan
demikian persamaan TS dapat dituliskan sebagai berikut: TS = 10 log óbs ……………………..…...(2.2) Johanesson & Mitson (1983) menambahkan bahwa ikan tidak berbentuk seperti bola (spere) dan tidak kaku, sehingga pantulan gelombang suara yang mengenainya tidak teratur (anisotropic reflector).
Hal ini
menyebabkan TS ikan menjadi sangat kompleks untuk diketahui. Nilai TS ikan anchovy hidup dalam kurungan yang dilakukan oleh Iida et al., 1999 adalah: TS = 20 log L – 67.7………………..........……(2.3) Nilai TS untuk pendugaan stok ikan pelagis di Afrika Selatan adalah: TS (dB/kg) = -10.9 log L-20.9 .……….…............(2.4) Sedangkan nilai TS ikan sardin hasil penelitian Coetzee (2000) adalah
TS (dB/kg) = 14.9 log L-13.21 …...........………...(2.5) Menurut MacLenan & Simmonds (1992) diketahui bahwa rata-rata nilai TS dari jenis ikan lemuru (Clupea sp.) berkisar antara (45.6 - 47.6) dB hampir sama dengan ikan jenis herring. Rata-rata ukuran panjang yang dimiliki ikan lemuru, khusus perairan Selat Bali, berkisar antara 6-23 cm sepanjang tahun (Merta,1992). Metode echo integration (integrasi gema) digunakan untuk mengintegrasi densitas ikan, dimana gema dari target ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan.
Integrasi gema berguna untuk
mengubah energi total dari gema ikan menjadi densitas ikan dalam satuan fish/m3 atau kg/m3. Pendugaan nilai densitas dihitung dari nilai SA yang merupakan nilai integrasi gema. Untuk mendapatkan nilai SA (Scattering area) didapat dari persamaan berikut
R2
R1
SA = 4πR 2 Sv.∂r (1852m / nm ) ……..………
∫
2
..………….…(2.6)
Untuk mendapatkan nilai Sv (Scattering volume) yang merupakan nilai dari intensitas suara yang mengenai target pada volume air tertentu (m3) didapat dari persamaan berikut ini:
Sv =
SA …………………………….(2.7) 2 4πR (1852m / nm ) ( R2 − R1 ) 2
dimana R = jarak referensi (1 m), R2-R1 = tinggi lapisan perairan yang dianalisis. Sehingga nilai densitas ikan berdasarkan areanya adalah :
ρA = dimana
SA ..........................................................(2.8) σ bs
ρA
= densitas ikan perluasan perairan pada kolom air tertentu
SA
= nilai back scattering area
σbs
= nilai back scattering cros section
Nilai σbs adalah sebagai berikut: σ bs = 10
TSi 10
.......................................(2.9)
Persamaan densitas untuk berat TS normal ikan herring (Clupea harengus) pada 38 kHz adalah:
SA Density g .m − 3 = 0.1TS / kg .18522.∆R 4π .10
(
) (
[
* 1000 ...............................(2.10)
)
]
Density( g.m −2 ) = 10 (log S A −76.34)−TS / kg *100 .............................................(2.11) Halldôrs s on dan R eynis s on (1983) diacu dalam Coetzee (2000).
3 METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003 – Agustus 2004 di Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor dan UPT Baruna Jaya BPPT Jakarta. L I N T A N G
80
LAUT BALI
8012’
Pengambengan 0
S E L A T A N
8 24’
8036’
20 m
Tabanan gs ratu
Muncar 20 m
Badung
8048’
200 m SAMUDERA INDONESIA 114024’
114036’
114048’
1150
114012’
BUJUR TIMUR Keterangan:
Gambar 3.1. Perairan Selat Bali
lintasan survei akustik Tahun 1999 lintasan survei akustik Tahun 1998 lintasan survei akustik Tahun 2000
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan data survei akustik kapal Baruna Jaya IV BPPT bulan Mei 1999, Agustus 2000 dan September 1998 di Perairan Selat Bali (Gambar 3.1). Data ini dianggap mewakili kondisi selama musim angin peralihan I (Maret – Mei) sebagai musim paceklik, musim timur (Juni - Agustus) dan musim angin peralihan II (September – November) sebagai musim ikan. Data tersebut meliputi data hidroakustik dan data oseanografi (suhu dan salinitas). Kapal yang digunakan adalah kapal mid water trawl dengan kecepatan ratarata 10 knot.
Peralatan yang digunakan untuk akuisisi data akustik adalah
SIMRAD EK 500 split beam echosounder (120 kHz dan panjang pulsa 0.2 ms). Alat ini digunakan untuk pendeteksian target di bawah laut terutama kawanan ikan. Lintasan survei akustik berdasarkan bentuk dan lokasi perairan selat Bali berupa rancangan lintasan paralel sepanjang pantai Bali menuju Samudera Hindia dengan kedalaman 4-150 m. Peralatan yang digunakan untuk pengukuran nilai suhu dan salinitas (data oseanografi) adalah CTD. 3.3 Pengolahan Data
Data akustik yang akan diolah, terlebih dahulu dipastikan komposisi spesiesnya dan didominasi oleh satu spesies. Spesies yang tercampur akan diabaikan. Kawanan ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan yang dominan tertangkap di suatu perairan. Budihardjo et al. (1990) menyatakan bahwa sekitar 80% produksi total ikan yang didaratkan dari perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru). Sehubungan dengan itu dipilih ikan lemuru di perairan Selat Bali sebagai dasar studi. Kawanan ikan pada kedalaman lebih dari 150 m diabaikan dengan asumsi bukan lagi merupakan ikan target yang ingin dideteksi. Proses pengolahan dan analisis data melalui 2 (dua) tahap yaitu pengolahan data akustik dan pengembangan perangkat lunak. Tahapan alir pemrosesan data tersebut tertera pada Gambar 3.2. 3.3.1
Pengolahan data akustik Langkah pertama pengolahan data akustik adalah mengubah raw data
yang berupa datagram (DG) menjadi data terkompres (data-threshold/DT) menggunakan perangkat lunak EP500. Contoh echogram EP 500 dapat dilihat pada Lampiran 1. Data ini selanjutnya dianalisis menggunakan perangkat lunak EP500 dengan menu analyze pelagic layer, analyze trace tracking pelagic, dan analyze expended interval.
Echogram yang digunakan adalah TVG 40log(r).
Semua data disimpan dalam file ASCII dengan extention *.csv. Data tersebut berupa Matriks Data Akustik (MDA), yakni matriks data akustik ikan pelagis, matriks data Target Strength (TS) dan matriks data back-scattering volume (Sv). Contoh MDA dapat dilihat pada Lampiran 2-4.
Langkah berikutnya adalah
menyeleksi MDA berdasarkan tipologi akustik (Reid et al., 2000). Pemilihan data berguna untuk menghemat waktu pengolahan citra dan menghindari tidak adanya target pada echogram.
P engol ahan dat a aku s t i k
Data T hr es hold
S of t w ar e E P 5 0 0
Analys is : pelagic layer tr ace tr acking pelagic ex pended inter val
Matr iks Data Akus tik
S eleks i Echogr am (T ipologi akus tik Reid et al, 2000) P engem bangan per an gkat l unak
P r ogr am ‘Acou s t ic D es cr ipt or An alyz er -2 0 0 4 ’
Pr os es Oper as i Pengolahan Citr a 1. I nter change 2. Filter ing Data (S eleks i War na) 3. B iner is as i
Des kr iptor Akus tik: 1.Ener getik 2.Mor fometr ik 3.B atimetr ik
Data Akus tik Data Os eanogr afi
Anali s is dat a
Analis is S tatis tika : 1. Analis is Faktor 2. Analis is Ger ombol 3. Analis is Dis kr iminan T eknik Var iogr am H as i l
1.I dentifikas i kawanan ikan pelagis 2.K las ifikas i kawanan ikan lemur u 3.S tr uktur kawanan ikan lemur u
Keter angan :
i nput
pr ogr am
pr os es
output
Gambar 3.2 Alur pemrosesan dan analisis data penelitian
3.3.2
Pengembangan perangkat lunak Program ”Acoustics Descriptor Analyzer (ADA versi 2004)” dikembangkan
untuk mengekstraksi deskriptor akustik secara otomatis dari data akustik. Prosedur pembuatan perangkat lunak program secara umum terdiri dari 3 (tiga) tahapan yaitu: 1). identifikasi kebutuhan (needed identification) 2).desain sistem (system design), dan 3) uji coba program (verification) Pada tahap identifikasi kebutuhan, diidentifikasi kebutuhan perangkat lunak yang hendak dibangun dan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna berupa hasil perhitungan deskriptor akustik dan bentuk kawanan ikan sehingga input yang dibutuhkan untuk membangun perangkat lunak adalah MDA dan variabel-variabel deskriptor akustik.
Pada desain sistem, dirancang tampilan program (interface) dan
pembuatan programnya (source code). (Graphical
User
Interface)
untuk
Tampilan program berbasis GUI
memudahkan
pengguna
(user)
dalam
mengoperasikannya dan pembuatan program menggunakan Windows 98 atau versi lainnya (Windows 2000, Windows XP) sebagai dasar untuk aplikasi bahasa pemrograman Matlab versi 6.3. Bahasa pemrograman ADA-2004 dapat dilihat pada Lampiran 10. Tahap terakhir adalah tahap uji coba program dengan data. Uji coba ini menggunakan data akustik Tahun 1998-2000 di perairan Selat Bali. Secara umum, program yang dibangun berisikan A). proses operasi pengolahan citra dan B). deskriptor akustik. A). Proses operasi pengolahan citra (image processing) Pada bagian pengolahan citra terdiri atas 3 (tiga) tahap, yakni: (1). Interchange, yaitu merubah matriks data akustik yang berbentuk angka dengan extention *.csv ke dalam bentuk gambar (*.jpg). Tujuannya adalah memudahkan dalam pengolahan dan perhitungan deskriptor akustik. (2). Seleksi warna/filtering, tujuan dari seleksi warna adalah memilih warna yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Warna pada display adalah warna yang menunjukkan kisaran nilai Sv. Threshold nilai Sv pada penelitian ini adalah -80dB. Selang Sv yang digunakan untuk mendeteksi kawanan lemuru adalah (–30 dB) – (-80 dB). Bila kawanan ikan terlihat terlalu ekstrim, tidak berbentuk (amorphous) dan atau
densitasnya
rendah
maka
diasumsikan
bukan
kawanan
(kemungkinan besar plankton, lapisan scatter fish atau noise).
ikan
(3). Binerisasi,
untuk
memisahkan
objek
dari
background-nya
sehingga
perhitungan deskriptor dapat dilakukan (Gambar 3.3).
Dasar Perairan
Schooling ikan
A. Echogram asli dari EP 500
B. Interchange
C. Seleksi Warna dengan nilai Sv (-50 dB) – (-70 dB)
D. Binerisasi
Gambar 3.3. Echogram B). Deskriptor akustik EP 500 dan operasi pengolahan citra Program ADA-2004
Pada saat kapal melewati jalur transek yang telah ditentukan, kawanan ikan di bawah kapal tersebut akan terdeteksi dan terekam serta terlihat langsung pada gambar echogram di layar (display) yang merupakan kumpulan echogram dari beberapa target (kawanan ikan). Kawanan ikan yang terlihat pada display kemudian
diestimasi
ukuran
panjang,
tinggi,
area,
energi
dan
posisi
kedalamannya, seperti diilustrasikan pada Gambar 3.4. Ping Bathymetr ic
Surface
Morphometric MinDept h
L1
Length
L2
H1
Schoo l Depth
Height
H2
Off bottom/ min Alt
D epth (m )
Energetic Sv)
(kumpulan piksel nilai
Perimeter
Bottom
Gambar 3.4. Skema pengukuran deskriptor
Perhitungan deskriptor akustik merupakan tahap akhir pada penggunaan program “Acoustics Descriptor Analyzer version 2004’.
Deskriptor dihitung
berdasarkan matriks data berupa piksel objek yang terdeteksi.
Parameter
kawanan dihitung berdasarkan deskriptor akustik, meliputi morfometrik, batimetrik dan energetik. Morfometrik kawanan menggambarkan bentuk dan ukuran kawanan ikan dalam kolom perairan. Nilai morfometrik didapatkan dari kumpulan nilai Sv yang membentuk kawanan. Penentuan panjang kawanan ikan dihitung berdasarkan jumlah ping kawanan ikan dikalikan dengan faktor koreksi (k). Faktor koreksi adalah jumlah
meter per ping (dihitung menggunakan kecepatan kapal dan laju ping). Panjang kawanan tersebut adalah panjang kawanan yang terlihat. Untuk mendapatkan panjang kawanan sebenarnya dihitung dengan mengkoreksi panjang kawanan yang terlihat dengan sudut yang dibentuknya (efek beam-width) (Diner, 1998 diacu dalam Weill et al, 1993) . Secara lebih jelas tertera pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Perbedaan sudut yang dibentuk dalam deteksi kawanan (ICES, 2000) θ = bukaan beam nominal
B = deteksi sudut pada sisi cone yang mengalokasikan bahwa seluruh ikan mempunyai konribusi pada tingkat gema (echo level) (B = f{d(Rv – Sv)} A = sudut ‘attack’ yang harus digunakan untuk koreksi panjang echo-trace : dL = 2 x P x tan (A/2)
Tinggi kawanan ikan ditentukan berdasarkan piksel terakhir kawanan dikurangi dengan piksel pertama kawanan dan dikoreksi dengan kecepatan suara dalam air dan panjang pulsanya (Coetzee, 2000). Panjang dan tinggi kawanan ikan dibatasi pada bentukan elips untuk memudahkan perhitungan. Panjang dan tinggi kawanan minimum adalah 8 m dan 2 m. Pertimbangan ukuran elips ini berdasarkan hasil penelitian Wudianto (2001).
Batimetrik kawanan menggambarkan posisi kawanan ikan pada kolom perairan. Posisi kawanan ikan pada kolom perairan menentukan jenis kawanan ikan yaitu kawanan ikan pelagis atau kawanan ikan demersal Posisi kawanan ikan dalam kolom perairan (relative altitude) ditentukan dengan mendapatkan nilai rata-rata kedalaman kawanan ikan (mean depth) dibagi dengan kedalaman perairan (depth) dikalikan 100. Rata-rata Kedalaman kawanan ikan dalam kolom perairan ditentukan berdasarkan jumlah kedalaman kawanan dibagi dengan jumlah ping dalam kawanan atau dengan mendapatkan kedalaman kawanan ikan minimum ditambahkan dengan setengah dari tinggi kawanan. Energetik kawanan merupakan energi intensitas suara yang mengenai kawanan ikan (back-scattering strength volume). Perhitungan akustik kawanan ikan ditentukan dengan merata-ratakan nilai Sv yang sudah dibuat ke dalam anti logaritma. Satuan dari energi ini adalah dB (desiBel). Pada perhitungan deskriptor energetik, membutuhkan matriks data berupa nilai Sv dan nilai TS. Nilai Sv merupakan nilai energi hambur balik dari kawanan ikan dan nilai TS merupakan kekuatan pantul dari kawanan. Nilai TS berkorelasi dengan ukuran ikan. Pada selang nilai Sv yang diseleksi (filter) dibuat juga selang TS terseleksi sehingga pada titik tertentu pada kawanan ikan terdapat nilai Sv dan nilai TS yang dikehendaki. Nilai TS kawanan lemuru adalah (-47)-(-50) dB untuk kedalaman 4-54 m dan (-43)-(-50) dB untuk kedalaman 79-104 m (Wudianto, 2001).
Hal ini
berdasarkan perhitungan nilai TS ikan lemuru (Clupea sp) oleh MacLenan dan Simmond (1992) dan TS ikan Anchovy oleh Iida (1999). Ukuran panjang cagak (Fork Length) ikan lemuru di Perairan Selat Bali, berkisar antara 6-23 cm (Merta,1992). Perhitungan, simbol dan definisi deskriptor akustik yang digunakan pada penelitian ini secara jelas dipaparkan pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2.
Tabel 3.1 Deskriptor akustik dan formula perhitungan No
Deskriptor
A
Energetik
Formula perhitungan
1
2
3
Rata-rata energi akustik, dB
E 10 log10 ∑ i 1) n
Standar deviasi energi akustik
E SD =
∑
(Ei − En )2 n −1
i
Skewness
K3
(E SD )2
Sv
En = 10 10 1)
atau
1) 2)
3 n.∑ (E i − E n ) jika n = 3; dimana K = i 3 [(n − 1)(. n − 2 )]
1) 2)
0 jika n<3 4
Kurtosis
Ei − E n n(n + 1) ∑ (n − 1)(n − 2)(n − 3) i E SD T S = 10 l og ó/ 4ð5) Kurtosis =
5 6 7
Target Strength Modus TS Densitas Volume
B
Morfometrik
8
Tinggi, m
9
SA Density (g .m − 3 ) = * 1000 0 .1TS / kg 2 . 1852 .∆ R ) (4π . 10
2)
2)
Tinggiterlihat = (Vertikalakhir − Vertikalawal ) 4) Cγ 2) Tinggi nyata = Tinggiterlihat − 2 Panjang terlihat = ∑ ping .k 2)
Panjang, m
Perimeter
4
Nilai TS yang sering muncul5)
Panjang 10
2 1) 3(n − 1) − ( 2 )( 3 ) n n − −
•
s el
nyata
= Panjang
t er l uar
dar i
ϕ 4 − 2 D m tan 2 π
terlihat
k awanan
i kan
2)
( menggunak an
4
neighbourhood)4) 11
Area, m2
• s el * t i nggi 1 s el * panj ang 1 s el
12 13
Elongasi Dimensi fraktal
Elongasi = Panjang/tinggi3)
C 14
15
16 17
Dimensi
P Ln 4 ∗ 2 = Ln (A )
_ fraktal
4)
3)
Batimetrik
(D i ) 1)
Rata-rata kedalaman kawanan,m
Mean _ depth =
Relative Altitude, %
R _ Altitude =
Mininum Altitude
jarak antara dasar perairan dan batas kawanan yang
Minimum Depth
jarak antara permukaan laut dan batas kawanan yang
∑
n
Min . Alt + MaxH / 2 * 100 Depth
paling rendah (m) lebih atas (m)
3)
3)
Keterangan : dirujuk dari 1)Lawson (2001), 2) Coetzee (2000), 5)
3)
(2004) dan variabel pendukung energi akustik
3)
Bahri & Freon (2000),
Tabel 3.2 Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan
4)
Fauziyah
Simbol
Definisi
Rata-rata
Rata-rata nilai Sv adalah intensitas yang direfleksikan oleh
Energi akustik
suatu kelompok single target, dimana target berada pada volume air tertentu (m3) dengan threshold 80 dB. Target Strength digunakan untuk mengetahui ukuran ikan
TS
(satuan dB) dan modus TS digunakan untuk mengetahui nilai TS yang paling sering muncul Densitas
Kepadatan kawanan ikan, SA adalah scattering area dan R
volume
adalah jarak kawanan dalam hal ini adalah tinggi kawanan (satuan ikan/m3).
(Vertakhir-
Vertawal adalah nilai piksel (m) pada titik awal kawanan ikan
Vertawal)
Vertakhir adalah nilai piksel (m) pada titik akhir kawanan ikan
(Cγ/2)
adalah persamaan efek panjang pulsa, dimana C adalah kecepatan sound (m/det) dan γ adalah panjang pulsa (m.det).
k
adalah faktor koreksi, yaitu jumlah meter per ping yang dihitung dari kecepatan kapal (knot) dan laju ping (ping/menit)
2Dm tan(ö/2)
efek
lebar
sorot
(beam)
(Diner,1998
diacu
dalam
Lawson,2001) dimana Dm adalah rata-rata kedalaman kawanan dan ö adalah s udut antar trandus er
dan tepi
kawanan diukur s aat deteks i pertama. ö s ebagai fungs i nominal sudut sorot dan perbedaan antar rata-rata densitas energetik gerombolan ikan (Sv) dan processing threshold . Faktor koreksi untuk memperkirakan panjang kawanan yang
4/π
dikehendaki (Coetzee, 2000) Area
Luas kawanan ikan
Elongasi
Rasio panjang terhadap tinggi kawanan ikan
Dimensi fraktal
Geometri bangun alam, P adalah perimeter dan A adalah area
Relative altitude
posisi kawanan dalam kolom air (%)
Berdasarkan perkembangan deskriptor akustik pada bagian Tinjauan Pustaka (Bab 2) maka, selama kurun waktu 1988 sampai 2001, penggunaan
deskriptor akustik telah mengalami berbagai revisi.
Namun ada beberapa
deskriptor akustik yang selalu digunakan untuk mendeteksi kawanan ikan. Deskriptor tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, seperti tertera pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Kategori deskriptor akustik Deskriptor akustik A Energetik tampilan internal patch dan struktur internal B Morfometrik morfologi, ukuran & bentuk, geometri & struktur eksternal C Posisi Batimetrik
Variabel Mean Maximum Minimum
Standard Deviation Kurtosis & Skewness Roughness (horizontal, vertical)
Length Height Elongation
Perimeter Area Fractal Dimension
Mean school depth, minimum depth Off bottom atau minimum altitude
Untuk deskriptor akustik energetik dengan variabel mean, standar deviasi, maksimum dan minimum terdapat berbagai model variabel. Variabel-variabel ini dihitung berdasarkan analisis akustik yang akan digunakan seperti mean energy acoustic, mean amplitude, mean acoustic intensity, mean packing density dan mean voltage. Deskriptor akustik yang digunakan pada penelitian identifikasi, klasifikasi dan struktur spesies kawanan ikan ini sebagai berikut: Deskriptor akustik untuk identifikasi kawanan ikan pelagis Deskriptor akustik energetik menggunakan formula perhitungan Lawson et al. (2001)1) karena hasil penelitiannya diperoleh ketepatan identifikasi spesies 7695%. Deskriptor akustik morfometrik menggunakan formula perhitungan Coetzee (2000)2) untuk panjang dan tinggi dengan mempertimbangkan faktor koreksi Diner (1998) dan faktor koreksi untuk memperkirakan panjang kawanan. Variabel perimeter dan area dikembangkan oleh Fauziyah (2004) 4). Perimeter dihitung dari sisi terluar sel kawanan ikan menggunakan 4 neighbour. Area dihitung dari jumlah seluruh sel
kawanan ikan dikalikan dengan panjang dan tinggi satu sel.
Deskriptor akustik batimetrik menggunakan formula perhitungan Bahri & Freon (2000)3) untuk relative altitude karena menggambarkan posisi kawanan dalam kolom perairan (berhubungan dengan kedalaman dasar perairan). Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Deskriptor akustik untuk identifikasi kawanan ikan pelagis Deskriptor Akustik
Variabel
1) 2)
1)
ν ν ν ν ν ν ν ν ν ν
Mean acoustic energy 1) 2) Standard deviation of acoustic energy 1) 2) Skewness 1) 2) Kurtosis 2) 4) 2) B. Morfometrik Height 2) Length 4) Perimeter 4) Area 1) 3) 1) C. Batimetrik Mean school depth 3) Relative Altitude Keterangan : dirujuk dari 1)Lawson (2001), 2) Coetzee (2000), 3) Bahri & Freon (2000) dan 4) Fauziyah (2004) A. Energetik
Deskriptor akustik untuk klasifikasi kawanan ikan pelagis Deskriptor akustik yang digunakan pada klasifikasi kawanan ikan pelagis merupakan penambahan dan pengurangan dari deskriptor akustik identifikasi kawanan ikan pelagis.
Deskriptor akustik morfometrik ditambahkan variabel
elongasi untuk mengukur rasio tinggi terhadap panjang kawanan ikan sebagai geometri kawanan ikan. Data tambahan berupa suhu dan salinitas merupakan faktor eksternal (lingkungan) di luar faktor internal (data akustik) yang mempengaruhi pembentukan kawanan. Densitas
volume berguna untuk
mengetahui kepadatan kawanan ikan pada kolom perairan. Data pendukung digunakan untuk menyeleksi kisaran TS yang dikehendaki pada mean acoustic energy yang telah diseleksi sehingga didapatkan ukuran ikan yang lebih cermat. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Deskriptor akustik untuk klasifikasi kawanan ikan pelagis Deskriptor Akustik 1) A. Energetik 2) 3) 4) B. Morfometrik
Variabel ν Mean acoustic energy1) ν Height 2) ν Length 2) ν Perimeter 4) ν Area4) ν Elongation3) 1) 3) ν Mean school depth 1) C. Batimetrik ν Relative Altitude3) 2) ν Temperature D. Data tambahan ν Salinity ν Volume Density2) 5) ν Target Strength (TS) 5) E. Data pendukung ν TS Modus 5) 1) Keterangan : dirujuk dari Lawson (2001), 2) Coetzee (2000), 3) Bahri & Freon (2000), 4)Fauziyah 5) (2004), dan variabel pendukung
Deskriptor akustik untuk struktur kawanan ikan pelagis Deskriptor akustik pada struktur kawanan ikan difokuskan pada posisi batimetrik kawanan ikan dalam kolom air.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat
pembentukan kawanan ikan dalam kolom air sehingga dapat dilihat struktur kawanan ikannya. Deskriptor akustik batimetrik didominasi formula perhitungan Bahri & Freon (2000) yakni kawanan ikan diukur berdasarkan 3 kedalaman yaitu kedalaman di atas kawanan, kedalaman rata-rata kawanan dan kedalaman dibawah kawanan. Deskriptor akustik morfometrik ditambahkan variabel dimensi fraktal dimensi fraktal sebagai bangun geometri untuk menjelaskan bangun alam yang bersifat tidak teratur dan terlihat rumit untuk diterangkan melalui geometri Euclidian. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6 Deskriptor akustik untuk struktur kawanan ikan pelagis Deskriptor Akustik 1) 2) A. Energetik
Variabel 1) ν Mean acoustic energy 2) ν Volume Density 2) 3) 4) 2) ν Height B. Morfometrik 2) ν Length 4) ν Perimeter 4) ν Area 3) ν Elongation 3) ν Fractal dimension 1) 3) 1) ν Mean school depth C. Batimetrik 3) ν Relative Altitude 3) ν Minimum altitude 3) ν Minimum depth Keterangan : dirujuk dari 1)Lawson (2001), 2) Coetzee (2000), 3) Bahri & Freon (2000), 4)Fauziyah (2004)
3.4
Analisis data
3.4.1 Analisis Statistika Tujuan penggunaan analisis statistika adalah: 1). Mencari keeratan hubungan
antar
deskriptor
(morfometrik,
batimetrik
dan
energetik);
2).
Mengelompokkan kawanan ikan dengan nilai deskriptor akustik berdasarkan ukuran kemiripan (similarity) atau ketakmiripan (dissimilarity); 3). Menentukan deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok tersebut. Untuk tujuan tersebut dilakukan Analisis Peubah Ganda (Multivariate Analysis) yang meliputi: analisis faktor (factor analysis), analisis gerombol (cluster analysis) dan analisis diskriminan (discriminant analysis). Program statistik yang digunakan adalah SPSS 11.5 for Windows. 1) Faktor analisis (analysis factor). Analisis faktor pada penelitian ini digunakan untuk mencari keeratan hubungan/korelasi antar deskriptor akustik sebagai peubah bebas, sehingga ditemukan sesuatu yang alami pada respon variabel atau peubah tak bebas.
Model analisis faktor adalah sebagai berikut: dimana X =
X = Λf + e
vektor berdimensi-p dari respons teramati yang disebut vektor acak, X’ = (x1, x2, ...,xp)
f
=
vektor berdimensi-q dari variabel tak teramati yang disebut ’common factors’ , f’ = (f1,f2,...fq)
e
=
vektor berdimensi-p dari variabel tak teramati yang disebut ’unique factors’, e’ = (e1,e2,...,ep)
Λ =
matriks koefisien tak diketahui berukuran pxq disebut ’ factor loadings’
Dengan asumsi bahwa faktor-faktor spesifik tidak berkorelasi antara satu dengan lainnya dan dapat dinyatakan sebagai berikut: E(ee’) = ψ dan cov (e,f’) =0 Model dasar analisis faktor dapat dituliskan sebagai berikut: q
Xi =
∑λ j =i
ij
f j + ei
Struktur koragam model analisis faktor dinyatakan dalam persamaan berikut : Var (Xi) = hi2 + ψi Komponen hi2 disebut komunalitas yang menunjukkan proporsi ragam dari variabel respon Xi yang diterangkan oleh q faktor bersama, ψi merupakan ragam dari variabel respons Xi yang disebabkan oleh faktor spesifik atau ragam spesifik (Rummel, 1970). 2) Analisis gerombol (Clustering Analysis) Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan objek-objek menjadi beberapa gerombol berdasar peubah-peubah yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan objek dalam gerombol yang sama dibandingkan antar objek dari gerombol yang berbeda (Siswadi & Suharjo, 1999).
Analisis
gerombol dapat juga dilakukan untuk menggerombolkan peubah-peubah ke dalam suatu gerombol-gerombol peubah berdasarkan koefisien korelasi antar peubah tersebut (Johnson & Wichern, 1998). Secara umum teknik penggerombolan dibagi menjadi 2 yaitu : 1.
Teknik
berhirarki,
yang
dipilah
menjadi
teknik
(agglomerative) dan teknik pembagian (divisive), dan
penggabungan
2.
Teknik tak berhirarki, misalnya teknik penyekatan (partitioning) dan penggunaan grafik (Siswadi & Suharjo, 1999)
Teknik
berhierarki
disajikan
dalam
bentuk
dendrogram
sehingga
penggerombolan akan lebih mudah diidentifikasi dan informatif. Ukuran ketakkemiripan(dissimilarities) antar objek pengamatan adalah jarak antar objek.
Jarak antara dua objek harus didefinisikan sedemikian rupa
sehingga semakin pendek jarak maka semakin kecil ketakmiripannya begitupun sebaliknya.
Nilai ukuran ketakmiripan yang sering digunakan
adalah jarak Euclid bila antar peubah saling bebas atau saling orthogonal, sedangkan jarak mahalanobis digunakan bila semua peubah saling berkorelasi atau tidak saling orthogonal (Johnson & Wichern, 1998) Metode penggabungan yang digunakan antar gerombol berhierarki adalah metode pautan tunggal, pautan lengkap, pautan rataan, terpusat dan ward. Teknik gerombol berhierarki berguna untuk : 1. pemisahan kawanan ikan pelagis ke dalam gerombol kawanan ikan lemuru dan bukan lemuru, 2. pemisahan kawanan ikan lemuru ke dalam gerombol kawanan sempenit, protolan dan lemuru. 3) Analisis diskriminan (Discriminant Function Analysis) Analisis diskriminan (discriminant analysis) adalah teknik statistika yang dipergunakan untuk mengelompokkan individu atau obyek ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan sekumpulan peubah-peubah bebas (Dillon & Goldstein, 1984). Fungsi diskriminan merupakan fungsi atau kombinasi linear peubahpeubah asal yang akan menghasilkan cara terbaik dalam pemisahan kelompok-kelompok tersebut. Fungsi ini akan memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Fungsi ini tentunya disamping akan dapat digunakan untuk menerangkan perbedaan antar kelompok juga dapat digunakan dalam masalah klasifikasi (Siswadi & Suharjo, 1998). Metode diskriminan pertama kali diperkenalkan oleh Fisher (1936) sebagai suatu teknik statistika yang berguna dalam bidang taksonomi, dan setelah itu banyak dikembangkan pada bidang lainnya (Kleinbum, 1987 diacu dalam Siswadi & Suharjo, 1998). Cara terbaik yang digunakan dalam masalah klasifikasi merupakan cara yang mempunyai peluang terkecil kesalahan klasifikasi atau tingkat kesalahan pengalokasian objek dari kelompok-kelompok tersebut. Jadi adanya dua fungsi
yang berbeda dapat diperoleh karena tujuan kedua masalah tersebut juga berbeda. Istilah lain bagi analisis ini adalah klasifikasi, alokasi, dan pengenalan pola (Siswadi & Suharjo, 1998). Pembentukan Fungsi Diskriminan Salah satu pendekatan yang digunakan dalam analisis diskriminan ialah penggunaan jarak Mahalanobis. Andaikan ada m kelompok contoh acak masing-masing berukuran n1, n2,..., nm dengan p peubah yang diamati, X1, X2,..., Xp. Vektor rataan dari m contoh tersebut x1, x2,..., xm dapat dianggap sebagai dugaan vektor rataan populasi. Andaikan pula dugaan matriks koragam kelompok ke-i ialah C1. Jarak Mahalanobis setiap atau suatu objek dapat dihitung terhadap m vektor rataan tersebut dan akan digolongkan pada suatu kelompok yang terdekat terhadap vektor rataannya. Jarak Mahalanobis antara suatu objek x terhadap vektor rataan kelompok ke-j, xj diduga oleh : (xxj)’C -1(x-xi); dengan C=Σ(ni-1)Ci/Σ(ni-1) sebagai dugaan koragam gabungan dari m kelompok contoh. Dalam hal ini anggapannya ialah matriks koragam tiap kelompok sama. jadi, kelompokkan objek x ke kelompok ke-i bila: (x-xi)’C 1
(x-xi) = minimum {(x-xj)’C -1(x-xj);j=1,2,.....m}. Pendekatan lain dalam analisis diskriminan ialah dengan mencari fungsi
diskriminan yang merupakan kombinasi linear dari peubah-peubah yang diamati dan akan memberikan nilai sedekat mungkin bagi objek-objek dalam kelompok yang sama dan sebesar mungkin bagi objek-objek antar kelompok. Bila matriks koragam total T = (tij), matriks koragam dalam kelompok W = (wij), dan matriks koragam antar kelompok B = (bij), maka T = W+B. Bila fungsi diskriminan Z1 = a11X1+a12X2+..+a1pXp = a1’X yang memaksimumkan nisbah antara ragam antar kelompok dengan ragam dalam kelompok maka yang ingin dicari ialah a1 sehingga a1’Ba1/a1’Wa1 maksimum.
Fungsi
diskriminan lainnya yaitu Z1=a1’X yang memaksimumkan ai’Bai/ai’Wai dengan kendala tidak berkorelasi dalam kelompok dengan Z1,Z2,..,Zi-1. Vektor-vektor a1,a2,..,ai dapat diperoleh sebagai vector ciri yang berpadanan dengan akar ciri η1• η2•..• ηi dari matriks W-1B (Siswadi & Suharjo, 1998). Adapun pengujian fungsi diskriminan dapat dilakukan dengan menggunakan statistik V-Bartlett melalui pendekatan khi-kuadrat sebagai berikut : a. Uji Fungsi Diskriminan Pertama Statistik Uji :
1 s V1 = N − 1 − (p + m ) ln ∑ (1 − λ m ) 2 m =1 Jika V1 < ÷α2 ,p (m -1) artinya persentase relatif yang diterangkan oleh fungsi diskriminan pertama nyata secara statistik. b. Uji Fungsi Diskriminan ke-r Statistik uji : s
Vr = [N − 1 − 12 ( p + m)]Ln ∑ (1 + λ m ) m=r
Jika Vr < ÷α2 , (p − r +1)(m − r ) artinya fungsi diskriminan ke-r masih diperlukan untuk menerangkan perbedaan p-peubah diantara m-kelompok. Pengamatan xij dikelompokkan ke dalam kelompok ke-i bila :
∑ (y r
m =1
m
− y im
) = ∑ [a (x 2
t m
ij
− x k0
)] ≤ ∑ [a (x − x )] 2
2
t m
k0
dimana : y m = vektor skor diskriminan ke-m dari obyek
y im = nilai tengah skor diskriminan ke-m dari kelompok ke-i a tm = vektor koefisien fungsi diskriminan xij = vektor pengamatan dari objek yang akan dikelompokkan
x k0 = vektor nilai tengah peubah pembeda dari kelompok ke – i r = banyaknya fungsi diskriminan penggolongan (Rencher, 1995) Analisis diskiminan akan menyeleksi (1) deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru dan bukan kawanan ikan lemuru, (2) deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru (kawanan sempenit, protolan, lemuru dan campur) dan (3) mengalokasikan suatu kawanan ikan (baru) ke dalam salah satu kelompok kawanan tersebut.
Penggunaan analisis diskriminan ini
berhubungan dengan fungsinya, yaitu memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok (Siswadi & Suharjo,1999).
Sehingga variabel-variabel pada kelompok yang berbeda
dapat ditentukan. Kelompok yang akan digunakan pada identifikasi kawanan ikan pelagis adalah kelompok kawanan ikan lemuru dan bukan lemuru, adapun pada klasifikasi kawanan ikan lemuru adalah kelompok kawanan sempenit, protolan dan lemuru (Gambar 3.6).
Data: Deskriptor akustik Data oseanografi
Kelompok: kawanan lemuru & Non kawanan lemuru 2. kawanan lemuru, protolan, sempenit & campur 1.
Uji kenormalan ganda Metode plot khi kuadrat
Data menyebar normal
T idak
transformasi
Ya Uji kehomogenan matriks koragam antar dan dalam gerombol
fungsi diskriminan linear
T idak
Fungsi diskriminan kuadratik
Ya Pembuatan Plot
Gambar 3.6. Alur pemrosesan analisis diskriminan kawanan ikan pelagis
3.4.2 Teknik Variogram Teknik ini digunakan pada struktur kawanan ikan lemuru.
Variogram
mengukur variabilitas rata-rata antara 2 point x dan x+h, dimana h adalah jarak (Matheron, 1970 diacu dalam Bahri & Freon, 2000):
γ(h) = 0.5E (z(x+h) – z(x))2 Pada persamaan diatas, z(x) adalah nilai deskriptor pada titik x; z (x+h) adalah nilai deskriptor pada jarak h dari x; γ(h) adalah fungsi modulus dan orientasi vektor h yang mengindikasikan perbedaan nilai yang ada karena pertambahan jarak.
Klasifikasi variogram berdasarkan strukturnya dibagi menjadi 3 bagian yaitu : (1) Terstruktur: garis bertambah perlahan-lahan secara teratur sampai mendekati nilai asimtotik. Jarak yang pendek atau panjang diketahui berdasarkan survei atau deskriptor.
Model yang digunakan adalah bola (spherical) atau
eksponensial disesuaikan dengan variogram eksperimental (Gambar 6.2A); (2) Struktur lemah: model dicocokkan pada aspek variogram secara keseluruhan, tetapi dengan kualitas yang tidak bagus dan pilihan model tidak nyata. Selanjutnya variogram ini berada pada perbedaan adanya gumpalan (nugget) pada jarak yang kecil, biasanya sekitar 3 mil (Gambar 6.2B) dan; (3) Tanpa struktur: aspek yang benar-benar tidak menentu, murni acak dan garis osilasi berada di sekitar tingkat keragaman
jarak yang kecil.
klasifikasi
aspek
variogram
menampakkan
tanpa
Dalam kategori ini,
tipe
(atypical),
bentuk
kubah/lengkung, bentuk bintang atau gelombang (Gambar 6.2C).
γ
γ
γ
h
h
h
(A)
(B)
(C)
Gambar 3.7 Contoh variogram. γ adalah covariance antar densitas ikan yang diamati di jarak lokasi bagian h. (A) distribusi contagious, γ(0) 0; (B) Efek nugget, γ(0) menjadi batas; (c) distribusi acak, γ adalah bebas terhadap h (Maclennan & Simmonds, 1992).
4 IDENTIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN
4.1 Pendahuluan Identifikasi spesies ikan secara hidroakustik merupakan salah satu tantangan besar pada bidang akustik perikanan dan kelautan. Pemecahan masalah identifikasi ini berguna dalam bidang manajemen sumberdaya perikanan dimana keakuratan hasil dari pendugaan biomassa kawanan ikan secara hidroakustik sangat diperlukan (MacLennan & Simmonds, 1992).
Identifikasi
spesies secara akustik mungkin juga dapat memberikan sumbangan yang berguna terhadap tingkah laku kawanan ikan dan faktor lingkungannya (Scalabrin & Masse, 1993 diacu dalam Scalabrin et al., 1996). Metode pendugaan stok ikan secara hidroakustik dengan cara observasi sederhana, echo counting, pemetaan sonar, pemetaan echosounder dan echo integrasi (Maclennan & Simmonds, 1992), telah banyak digunakan dalam estimasi kelimpahan stok ikan pelagis. Sistem kerja metode ini didasari oleh sistem gema atau gelombang. Bunyi pada medium air, dimana getaran ultrasonik dipancarkan oleh suatu pemancar dan setelah mengenai suatu target, getaran akan dipantulkan kembali dan diterima oleh alat penerima pantulan bunyi, sedangkan jarak yang ditempuh oleh bunyi tersebut diterima oleh alat pencatat atau ditampilkan pada layar khusus. metode echo integrasi.
Metode yang paling umum digunakan adalah
Namun metode ini dibatasi oleh ketidakmampuannya
dalam menentukan spesies kawanan target, atau kumpulan individu ikan atau spesies yang hanya sementara (Inoue, 1981 diacu dalam Lu & Lee, 1995). Selama ini metode identifikasi spesies kawanan yang paling umum digunakan adalah melakukan sampling trawl atau purse seine untuk kemudian dicocokkan atau dibandingkan dengan target secara akustik yang ada pada echogram.
Walaupun demikian, identifikasi spesies berdasarkan karakteristik
echogram tersebut adalah bersifat subjektif (Coetzee, 2000). Selain itu, adanya spesies yang tercampur dalam agregasi (terutama di lingkungan tropis) akan mengarah pada komposisi spesies yang bias. Berbagai pendekatan yang akustik telah dilakukan.
mengarah pada identifikasi spesies secara
Beberapa peneliti berusaha memfokuskan diri dalam
identifikasi spesies secara akustik, dimulai dengan Barange et al., 1994 yang
mendeteksi
target
tunggal
dari
distribusi
frekuensi
panjang
patchiness.
Patchiness dibedakan antar spesies. Pengukuran in situ distribusi TS digunakan untuk mengidentifikasi spesies ikan atau kelompok taksonomi. Hasil yang dicapai adalah spesies yang berbeda ukuran dan bentuk agregasi antara zooplankton dan ikan
pelagis
(horse
mackerel).
Namun
memiliki
keterbatasan
dalam
mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis seperti anchovy, skip jack dan horse mackerel saat menguji data pada skala temporal dan spasial (Lu & Lee, 1995; Haralabous & Georgakarakos, 1996; Scalabbrin et al., 1996). Disamping keterbatasan yang ditemui, hasil yang dicapai Lu & Lee (1995) memberikan harapan baru karena menunjukkan tingkat keakuratan ikan lebih dari 90%, hanya saja pada horse mackerel kurang dari 70%.
Teknik lain yang dikembangkan
adalah teknik wide band dengan jaringan saraf tiruan (artificial neural network), multi frekuensi dan multi beam yang juga menunjukkan harapan dalam mengidentifikasi spesies (Simmonds et al., 1996), namun sistem ini masih dalam tahap percobaan dan masih mahal.
Scalabrin et al., 1996 mencoba dengan
kebalikannya yaitu narrow beam backscatter dengan mengembangkan 4 metode yaitu ekstraksi, seleksi deskriptor, pemilihan metode klasifikasi dan validasi serta menggunakan pengolahan citra akustik.
Namun hasilnya hanya menunjukkan
57%, hal ini karena keterbatasan pada skala waktu dan ruang. Interpretasi visual echogram dengan diskriminasi taksonomi berdasarkan kaidah umum merupakan usaha pertama pada penggunaan sinyal akustik (LeFevre et al., 2000). Sinyal tersebut digunakan untuk identifikasi target dengan taxa dan metode ini telah digunakan oleh beberapa nelayan.
Kaidah umum
menggunakan teknik multivariate pada kekuatan tegangan (bayangan abu-abu pada echogram), bentuk, ukuran dan posisi kawanan dalam kolom air telah membuka wawasan tentang pengetahuan spesies yang hampir diketahui. Kelemahan teknik ini adalah bersifat subjektivitas dan intensif dikerjakan. Metode baru yang bisa dikatakan berhasil dengan tingkat keakuratan identifikasi spesies mencapai 88,3% adalah yang dikembangkan oleh Lawson et al. (2001). Instrumen yang digunakan adalah EK 500 split beam echosounder (38kHz). Deskriptor akustik Lawson et al. (2001) berpatokan pada standar baku Reid et al. (2000) dan mengembangkannya menjadi 18 deskriptor berupa rasio pengukuran. Deskriptor yang ada dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu energetik, morfometrik dan posisi batimetrik. Identifikasi target umumnya berdasarkan nilai Target Strength (TS), dimana algoritma diukur dari proporsi energi hambur balik yang datang oleh target
(Maclennan & Simmonds,1992). Nilai TS berbeda antar spesies dengan ukuran tubuh berbeda (Love, 1971), hal ini menunjukkan kurangnya informasi mengenai identifikasi spesies. Rose & Leggett (1988) menemukan bahwa TS capelin 16 cm dan mackerel 40 cm (tanpa gelembung renang) adalah sama. Di sisi lain, TS individu ikan berbeda lebih dari 30 dB ketika berenang pada orientasi yang berbeda (Mukai et al., 1983 diacu dalam Rose & Leggett, 1988). Lebih jauh lagi, sulit menentukan TS individu ikan pada gerombolan ikan dengan kerapatan agregat (Lu & Lee, 1995). Nilai TS yang berbeda-beda tersebut menyulitkan dalam identifikasi target sehingga diperlukan pendekatan lainnya untuk mengidentifikasi target. Penelitian ini menggunakan pendekatan berdasarkan nilai Sv yaitu rasio antara intensitas yang direfleksikan oleh suatu kelompok single target, dan target berada pada volume air tertentu (m3) yang diinsonifikasi sesaat dan diukur pada jarak satu meter dari target dengan intensitas suara yang mengenai target. Berdasarkan uraian pada bagian tinjauan pustaka dalam tulisan ini, maka pada disertasi ini penelitian identifikasi spesies kawanan ikan pelagis secara hidroakustik dibatasi sebagai berikut: (1)
Agregasi ikan lebih ditekankan pada kawanan (school) ikan daripada gerombolan ikan (shoal).
Kawanan ikan yang dijadikan acuan adalah
berdasarkan tipologi akustik tipe 2 (Reid et al, 2000) (2)
Penggunaan alat hidroakustik split beam echosounder menghasilkan identifikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan dual beam ataupun single beam
(3)
Algoritma pola pengenalan dalam identifikasi ini adalah deskriptor akustik. Deskriptor ini meliputi deskriptor akustik secara bentuk dari kawanan ikan(morfometrik), posisi kawanan ikan dalam kolom air (batimetrik) dan energi akustik yang dipantulkan oleh kawanan (energetik).
(4)
Kawanan ikan pelagis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan yang dominan tertangkap di suatu perairan. Sehubungan dengan itu dipilih ikan lemuru (dominan 80%), di perairan Selat Bali sebagai dasar studi. Penelitian identifikasi ini merujuk pada teknik yang digunakan oleh
Coetzee (2000), Lawson (2001), dan Bahri & Freon (2000). Kata school atau kawanan pada penelitian ini merujuk pada definisi Pitcher & Parrish (1983) yaitu suatu kelompok ikan yang bersifat homogen, berstruktur dalam sinkronisasi dan polarisasi sedangkan gerombolan ikan (shoal) lebih mengarah pada kelompok
ikan yang tinggal bersama untuk alasan sosial, tidak memiliki struktur dan fungsi. Penggunaan kawanan ikan pun merujuk pada Kieser et al. (1993) diacu dalam Reid et al. (2000) yaitu gregasi ikan multiple. Tujuan identifikasi secara hidroakustik ini adalah identifikasi spesies kawanan ikan
pelagis menggunakan deskriptor akustik
dan perumusan
karakteristik kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali. Hal ini untuk menguji hipotesis bahwa (1) Deskriptor akustik dapat dijadikan dasar untuk identifikasi spesies kawanan ikan pelagis, (2) Kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat diidentifikasi berdasarkan spesies menggunakan deskriptor akustik dan (3) Adanya deskriptor akustik (morfometrik, batimetrik dan energetik) yang dapat dijadikan tolok ukur dalam identifikasi kawanan ikan. Identifikasi kawanan ikan pelagis bermanfaat untuk meningkatkan hasil tangkapan dan meningkatkan keakuratan estimasi stok ikan pelagis secara umum.
4.2 Metode Penelitian Hasil pengolahan data akustik menggunakan perangkat lunak EP 500 berupa Matriks Data Akustik (MDA).
Selanjutnya dilakukan seleksi echogram
berdasarkan tipologi Reid et al (2000). Pemilihan echogram berguna untuk menghemat waktu pengolahan citra dan menghindari tidak adanya target pada echogram.
Tahapan identifikasi kawanan ikan pelagis tersebut tertera pada
Gambar 3.2. Program ”Acoustics Descriptor Analyzer-Version 2004 (ADA versi 2004)” yang dibuat merupakan pengembangan dari teknik pengolahan citra (image processing) dan GUI (Graphical User Interface) untuk merubah data echogram dari EP 500 ke dalam pengolah citra. Keluaran program ADA-2004 berupa hasil perhitungan deskriptor akustik dan citra kawanan ikan. Deskriptor akustik dan formula perhitungan tertera pada Tabel 4.1. Selanjutnya dianalisis menggunakan analisis statistika yaitu analisis faktor, analisis gerombol dan analisis diskriminan untuk mengidentifikasi kawanan ikan pelagis berdasarkan spesies menggunakan deskriptor akustik.
P engol ahan dat a aku s t i k
Data T hr es hold
S of t w ar e E P 5 0 0
Analys is : pelagic layer tr ace tr acking pelagic ex pended inter val
Matr iks Data Akus tik
S eleks i Echogr am (T ipologi akus tik Reid et al, 2000) P engem bangan per an gkat l un ak
P r ogr am ‘Acou s t ic D es cr ipt or An alyz er -2 0 0 4 ’
Pr os es Oper as i Pengolahan Citr a 4. I nter change 5. Filter ing Data (S eleks i War na) 6. B iner is as i
Des kr iptor Akus tik: 1.Ener getik 2.Mor fometr ik 3.B atimetr ik Anali s is dat a
Analis is 4. 5. 6.
S tatis tika : Analis is Faktor Analis is Ger ombol Analis is Dis kr iminan
H as i l
I dentifikas i kawanan ikan pelagis
Keter angan :
input
pr ogr am
pr os es
output
Gambar 4.1 Alur identifikasi kawanan ikan pelagis
4.2.1 Deskriptor Akustik Perhitungan deskriptor akustik merupakan tahap akhir pada penggunaan program “Acoustics Descriptor Analyzer version 2004’. Deskriptor akustik dihitung berdasarkan matriks data berupa piksel objek yang terdeteksi.
Dasar
pengambilan deskriptor akustik telah diulas pada Bab 3 Metodologi. Perhitungan deskriptor akustik yang digunakan untuk identifikasi kawanan ikan pelagis tertera pada Tabel 4.1. Adapun simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan tertera pada Tabel 4.2. Tabel 4.1 Deskriptor akustik dan formula perhitungan No
Deskriptor
A
Energetik
1
Rata-rata energi akustik, dB
2
3
Formula perhitungan Sv
E 10 log10 ∑ i 1) n
Standar deviasi energi akustik
E SD =
∑
(Ei − En )2 n −1
i
Skewness
K3
(E SD )2
En = 10 10 1)
atau
1) 2)
3 n.∑ (E i − E n ) jika n = 3; dimana K = i 3 [(n − 1)(. n − 2 )]
1) 2)
0 jika n<3 4
Kurtosis
B
Morfometrik
5
Tinggi, m
6
Panjang, m
Perimeter
2)
Tinggi terlihat = (Vertikal akhir − Vertikal awal ) 4) Cγ 2) Tinggi nyata = Tinggiterlihat − 2 Panjangterlihat = ∑ ping.k 2) Panjang
7
2 Ei − E n 1) 3(n − 1) n(n + 1) − (n − 1)(n − 2)(n − 3) ∑i E SD (n − 2)(n − 3) 4
Kurtosis =
•
s el
nyata
= Panjang
t er l uar
dar i
terlihat
ϕ 4 − 2 D m tan 2 π
k awanan
i kan
2)
( menggunak an
4
neighbourhood)4) 8
Area, m2
C
Batimetrik
9
10
• s el * t i nggi 1 s el * panj ang 1 s el
Rata-rata kedalaman kawanan,m
Mean _ depth =
Relative Altitude, %
R _ Altitude =
Keterangan : dirujuk dari 4)
1)
∑
(D i ) 1) n
Min . Alt + MaxH / 2 * 100 Depth
Lawson (2001), Fauziyah (2004).
2)
4)
Coetzee (2000),
3)
3)
Bahri & Freon (2000), dan
Tabel 4.2 Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan Simbol
Definisi
Rata-rata
Rata-rata nilai Sv adalah intensitas yang direfleksikan oleh
Energi akustik
suatu kelompok single target, dimana target berada pada volume air tertentu (m3) dengan threshold 80 dB.
TS
Target Strength digunakan untuk mengetahui ukuran ikan (satuan dB) dan modus TS digunakan untuk mengetahui nilai TS yang paling sering muncul
Densitas
Kepadatan kawanan ikan, SA adalah scattering area dan R
volume
adalah jarak kawanan dalam hal ini adalah tinggi kawanan (satuan ikan/m3).
(Vertakhir-
Vertawal adalah nilai piksel (m) pada titik awal kawanan ikan
Vertawal)
Vertakhir adalah nilai piksel (m) pada titik akhir kawanan ikan
(Cγ/2)
adalah persamaan efek panjang pulsa, dimana C adalah kecepatan sound (m/det) dan γ adalah panjang pulsa (m.det).
k
adalah faktor koreksi, yaitu jumlah meter per ping yang dihitung dari kecepatan kapal (knot) dan laju ping (ping/menit)
2Dm tan(ö/2)
efek lebar sorot (beam) (Diner,1998 diacu dalam Lawson, 2001) dimana Dm adalah rata-rata kedalaman kawanan dan ö adalah s udut antar trandus er dan tepi kawanan diukur s aat deteks i pertama. ö s ebagai fungs i nominal s udut s orot dan
perbedaan
antar
rata-rata
densitas
energetik
gerombolan ikan (Sv) dan processing threshold . 4/π
Faktor koreksi untuk memperkirakan panjang kawanan yang dikehendaki (Coetzee, 2000)
Area
Luas kawanan ikan
Elongasi
Rasio panjang terhadap tinggi kawanan ikan
Dimensi fraktal
Geometri bangun alam, P adalah perimeter dan A adalah area
Relative altitude
posisi kawanan dalam kolom air (%)
Contoh proses pengolahan citra dan perhitungan deskriptor akustik masing-masing tertera pada Gambar 4.2 dan Tabel 4.3.
1.Running Perimeter untuk perhitungan morfometrik
2.Running binerisasi untuk perhitungan batimetrik
3. Seleksi nilai TS (-43 dB) – (-50 dB) untuk perhitungan energetik
Gambar 4.2 Proses pengolahan citra deskriptor morfometrik, batimetrik dan energetik program Acoustics Descriptor Analyzer version 2004 Tabel 4.3 Perhitungan deskriptor akustik menggunakan program Acoustics Descriptor Analyzer version 2004 P ar am et er K aw an an I kan S pes ies T anggal Waktu L intang B uj ur
: : : : :
L emur u 19- 08- 2000 07: 13 114 o 41’ 587’’ 08 o 47’ 471’’
Mor f om et r ik
E n er get ik Mean ener gy acous tics : - 55.54 dB S tandar Devias i : 5.59 S kewnes s : - 1.45 Kur tos is : - 0.03 T S r ata- r ata : - 44.7 dB Dens itas Volume : 101.3 gr /m 3
4.3 Analisis data
T inggi Panj ang Ar ea Per imeter Elongas i Dimens i fr aktal
: : : : : :
30.01 m 16. 6 m 1.049 m 2 277.12 0.55 1.22
B at im et r ik Minimum k edalaman Kedalaman r ata- r ata Minimum Altitude Relative Altitude
: : : :
57 m 73.5 m 2 m 20.1 %
Tujuan penggunaan analisis statistika adalah: 1). Mencari keeratan hubungan
antar
deskriptor
(morfometrik,
batimetrik
dan
energetik);
2).
Mengelompokkan kawanan ikan dengan nilai deskriptor akustik berdasarkan ukuran kemiripan (similarity) atau ketakmiripan (dissimilarity); 3). Menentukan deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok tersebut dan dapat menentukan suatu kawanan ikan (baru) ke dalam salah satu kelompok
tersebut.
Program statistik yang digunakan adalah SPSS 11.5 for Windows.
Untuk tujuan tersebut dilakukan tahapan analisis sebagai berikut: 1) Faktor analisis (analysis factor). Analisis faktor pada penelitian ini digunakan untuk mencari keeratan hubungan/korelasi antar deskriptor akustik sebagai peubah bebas, sehingga ditemukan sesuatu yang alami pada respon variabel atau peubah tak bebas. Model analisis faktor adalah sebagai berikut: dimana X =
X = Λf + e
vektor berdimensi-p dari respons teramati yang disebut vektor acak, X’ = (x1, x2, ...,xp)
f
=
vektor berdimensi-q dari variabel tak teramati yang disebut ’common factors’ , f’ = (f1,f2,...fq)
e
=
vektor berdimensi-p dari variabel tak teramati yang disebut ’unique factors’, e’ = (e1,e2,...,ep)
Λ =
matriks koefisien tak diketahui berukuran pxq disebut ’ factor loadings’
Dengan asumsi bahwa faktor-faktor spesifik tidak berkorelasi antara satu dengan lainnya dan dapat dinyatakan sebagai berikut: E(ee’) = ψ dan cov (e,f’) =0 Model dasar analisis faktor dapat dituliskan sebagai berikut: q
Xi =
∑λ j =i
ij
f j + ei
Struktur koragam model analisis faktor dinyatakan dalam persamaan berikut : Var (Xi) = hi2 + ψi Komponen hi2 disebut komunalitas yang menunjukkan proporsi ragam dari variabel respon Xi yang diterangkan oleh q faktor bersama, ψi merupakan ragam dari variabel respons Xi yang disebabkan oleh faktor spesifik atau ragam spesifik (Rummel, 1970). 2) Analisis gerombol (Clustering Analysis) Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan objek-objek menjadi beberapa gerombol berdasar peubah-peubah yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan objek dalam gerombol yang sama dibandingkan antar objek dari gerombol yang berbeda (Siswadi & Suharjo, 1999).
Analisis
gerombol dapat juga dilakukan untuk menggerombolkan peubah-peubah ke dalam suatu gerombol-gerombol peubah berdasarkan koefisien korelasi antar peubah tersebut (Johnson & Wichern, 1998). Secara umum teknik penggerombolan dibagi menjadi 2 yaitu : 3.
Teknik
berhirarki,
yang
dipilah
menjadi
teknik
penggabungan
(agglomerative) dan teknik pembagian (divisive), dan 4.
Teknik tak berhirarki, misalnya teknik penyekatan (partitioning) dan penggunaan grafik (Siswadi & Suharjo, 1999)
Teknik
berhierarki
disajikan
dalam
bentuk
dendrogram
sehingga
penggerombolan akan lebih mudah diidentifikasi dan informatif. Ukuran ketakkemiripan(dissimilarities) antar objek pengamatan adalah jarak antar objek.
Jarak antara dua objek harus didefinisikan sedemikian rupa
sehingga semakin pendek jarak maka semakin kecil ketakmiripannya begitupun sebaliknya.
Nilai ukuran ketakmiripan yang sering digunakan
adalah jarak Euclid bila antar peubah saling bebas atau saling orthogonal, sedangkan jarak mahalanobis digunakan bila semua peubah saling berkorelasi atau tidak saling orthogonal (Johnson & Wichern, 1998) Metode penggabungan yang digunakan antar gerombol berhierarki adalah metode pautan tunggal, pautan lengkap, pautan rataan, terpusat dan ward. Teknik gerombol berhierarki berguna untuk pemisahan kawanan ikan pelagis ke dalam gerombol kawanan ikan lemuru dan bukan lemuru. 3) Analisis diskriminan (Discriminant Function Analysis) Analisis diskriminan adalah teknik multivariate yang dapat mengklasifikasikan spesies atau tipe agregasi yang tidak diketahui ke dalam satu kelompok diskret. Analisis ini akan menyeleksi (1) deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru dan bukan kawanan ikan lemuru dan (2) mengalokasikan suatu kawanan ikan (baru) ke dalam salah satu kelompok kawanan tersebut.
Penggunaan analisis diskriminan ini
berhubungan dengan fungsinya, yaitu memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok (Siswadi & Suharjo, 1999). Sehingga variabel-variabel yang berbeda dapat ditentukan. Kelompok yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kelompok kawanan ikan lemuru dan kelompok bukan kawanan ikan lemuru (Gambar 4.3).
Data: Deskriptor akustik
Kelompok: 1. kawanan I kan Lemuru
2. Non kawanan ikan lemuru
Uji kenormalan ganda Metode plot khi kuadrat
Data menyebar normal
T idak
transformasi
Ya Uji kehomogenan matriks koragam antar dan dalam gerombol
fungsi diskriminan linear
T idak
Fungsi diskriminan kuadratik
Ya Pembuatan Plot Gambar 4.3 Alur pemrosesan analisis diskriminan identifikasi kawanan ikan
4.4 Hasil 4.4.1 Pendeteksian Kawanan Ikan dengan Program ADA-2004 Data akustik yang dikumpulkan selama pelayaran akustik kapal Baruna Jaya IV tahun 1998-2000 sebanyak 602 echogram.
Data tersebut kemudian
dipilah berdasarkan tipologi akustik (Reid et al., 2000) menjadi 58 echogram data terpilih. Contoh hasil pendeteksian kawanan ikan dengan program ADA-2004 dapat dilihat pada Gambar 4.4 – Gambar 4.6. Hasil perhitungan 58 kawanan ikan pelagis terpilih kemudian di tabulasikan seperti pada Tabel 4.4. Hasil perhitungan deskriptor akustik morfometrik
Kawanan lemuru setelah perimeterisasi Selang Energi Sv (- dB) yang digunakan
Gambar 4.4 Perhitungan deskriptor akustik morfometrik kawanan ikan Hasil perhitungan deskriptor akustik batimetrik
Kawanan lemuru setelah binerisasi
Gambar 4.5 Perhitungan deskriptor akustik batimetrik kawanan ikan Hasil perhitungan deskriptor akustik energetik Selang nilai Sv
Kawanan lemuru sebelum binerisasi Selang nilai T S (-dB) yang digunakan Selang Energi Sv (- dB) yang digunakan
Gambar 4.6 Perhitungan deskriptor akustik energetik kawanan ikan
Tabel 4.4 Data hasil perhitungan deskriptor akustik di Perairan Selat Bali Tahun 1998-2000 menggunakan program ADA-2004 Variabel Akustik
Peralihan I Rataan CV
Morfometrik Panjang (m) Tinggi (m) Area (m2) Perimeter Energetik Energi (dB) Skewness Batimetrik Mean depth (m) Relative Altitude (%) Jumlah Kawanan (n)
Musim Timur Rataan CV
Peralihan II Rataan CV
Gabungan Rataan CV
412.3 14.2 1136.0 319.1
0.51 0.56 1.21 0.78
258.5 13.4 2260.2 422.6
1.69 0.68 2.23 1.82
1813.0 12.0 10779.6 1195.5
0.09 0.50 0.15 0.04
772.8 13.1 4671.6 641.0
1.48 0.59 2.16 1.46
-61.4 -0.96
0.06 0.24
-54.7 -0.96
0.17 0.47
-58.1 -0.5
1.13 2.70
-57.1 -0.8
0.13 0.55
81.4 17.2 12
0.27 0.50
50.6 32.13 28
0.69 0.57
82.1 35.5 18
0.35 0.24
66.8 30.1 58
0.55 0.61
Keterangan : Nilai CV merefleksikan koefisien variasi dari rataan
4.4.2 Pendugaan Kawanan Ikan dengan Analisis Statistika Hasil pendugaan kawanan ikan pada Tabel 4.4 selanjutnya divalidasi secara statistika berdasarkan 3 tahap analisis yaitu: 1 Analisis Faktor Matriks korelasi pada Tabel 4.5 menghasilkan korelasi nyata seluruh variabel pada masing-masing deskriptor akustik morfometrik, energetik dan batimetrik. Hal ini menunjukkan adanya keeratan hubungan antar variabel pada masing-masing deskriptor akustik tersebut.
Selain itu, terdapat korelasi yang
sangat nyata antara deskriptor batimetrik dengan energetik yaitu, berkorelasinya rata-rata kedalaman kawanan dengan energi.
Relative altitude berkorelasi
dengan energi, standar deviasi dan skewness. Korelasi yang nyata juga terjadi pada deskriptor batimetrik dengan morfometrik yaitu, berkorelasinya rata-rata kedalaman kawanan dengan tinggi dan perimeter.
Relative altitude berkorelasi nyata dengan seluruh variabel pada
deskriptor morfometrik. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran kawanan ikan tergantung pada posisinya di kolom perairan, begitu pun sebaliknya. Korelasi antara deskriptor energetik dengan morfometrik terjadi pada variabel standar deviasi dan skewness dengan variabel panjang, area dan perimeter. Hal ini menandakan bahwa bentuk dan ukuran kawanan dapat memperkirakan energi hambur balik volumenya.
Tabel 4.5 Matriks korelasi untuk menyeleksi variabel deskriptor akustik Variabel DA Mean depth
Mean depth 1
Rel.alt
Energi
Rel.alt
-0,496
1
Energi
-0,770
0,485
1
SD
-0,142
0,240 -0,249
SD
Skew
Kur
Panjang
Tinggi
Area
1
0,209
-0,314 0,361
-0,853
1
Kurtosis
-0,134
-0,187
-0,090
0,260
-0,495
1
Panjang
0,174
0,425
-0,108
-0,451
0,501
-0,128
1
Tinggi Area
0,227 0,082
0,217 0,406
-0,176 -0,107
-0,163 -0,409
0,196 0,453
-0,058 -0,018
0,187 0,914
1 0,299
1
Perimeter
0,240
0,258
-0,130
-0,473
0,491
-0,126
0,750
0,474
0,758
Skewness
Cetak tebal menandakan korelasi nyata pada P < 0.05 Cetak tebal & garis bawah menandakan korelasi nyata P < 0.05 pada masing-masing deskriptor akustik Metode
Analisis
Komponen
Utama
(AKU)
mendistribusikan pembobotan pada komponen utama.
digunakan
untuk
Pembobotan tersebut
menunjukkan korelasi antar komponen. Untuk mengetahui banyaknya komponen utama digunakan Grafik Scree plot (Gambar 4.7). Pada grafik tersebut, terdapat 3 komponen yang nilai eigenvalue-nya diatas 1 sehingga ketiga komponen tersebut dapat menjelaskan deskriptor akustik. Terdapat 3 (tiga) komponen utama untuk meringkas ke sepuluh variabel dari deskriptor akustik (Tabel 4.6). Komponen pertama, variabel panjang, tinggi, area
dan
perimeter
benar-benar
menggambarkan
bentuk
dan
ukuran
(morfometrik) kawanan ikan. Komponen kedua, variabel mean depth dan relative altitude merefleksikan variabel yang berhubungan dengan posisi kawanan ikan dalam kolom perairan (batimetrik) dan variabel energi akustik merefleksikan suatu kelompok single target. Komponen ketiga, variabel standar deviasi, skewness dan kurtosis menggambarkan simpangan, distribusi dari rata-rata energi akustik ekor dan puncak suatu sebaran data. S c r e e P lo t 5
4
E ig e n v a lu e
3
2
1
0 1
2
3
4
5
6
7
8
C o m p o n e n t Nu m b e r
Gambar 4.7 Grafik Scree plot
9
10
Tabel 4.6. Matriks komponen utama dengan varimax rotation
Mean Depth Rel. Altitude Energi SD Skewness Kurtosis Panjang Tinggi Area Perimeter
1 ,163 ,400 -,160 -,400 ,393 ,128 ,874 ,513 ,925 ,865
Komponen 2 -,899 ,736 ,901 ,077 -,084 -,052 ,055 -,152 ,079 -,078
3 ,138 ,308 -,088 -,743 ,862 -,787 ,229 ,007 ,115 ,204
2 Analisis Gerombol Analisis Gerombol (Cluster Analysis) berhirarki dengan penggabungan menggunakan metode ward’s. Nilai ukuran ketakmiripan yang digunakan adalah jarak mahalanobis.
Jarak ini digunakan karena nilai deskriptor akustik saling
berkorelasi. Analisis gerombol berhierarki ini hasilnya disajikan dalam bentuk dendogram dapat dilihat pada Gambar 4.8. Berdasarkan kemiripannya jika dendogram tersebut dipotong pada jarak terpanjang maka terdapat 2 gerombol kelompok kawanan ikan yaitu, kawanan lemuru dan bukan kawanan lemuru.
Sebanyak 8 (13.8%) kawanan ikan
dikategorikan bukan kawanan lemuru dan 50 (86.2%) kawanan ikan dikategorikan sebagai kawanan lemuru. 3 Analisis Diskriminan Langkah selanjutnya adalah menganalisis deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan 2 kelompok kawanan ikan tersebut. Hasilnya dapat dilihat pada uji kesetaraan pada Tabel 4.7. Hasil uji kesetaraan kelompok menunjukkan bahwa deskriptor akustik dengan nilai p < 0.05 adalah relative altitude, SD, Skewnees, panjang, tinggi, area dan perimeter. Hal ini menunjukkan bahwa deskriptor akustik tersebut merupakan deskriptor yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan. Analisis diskriminan ini menghasilkan koefisien untuk menentukan suatu kawanan ikan pelagis baru. Model koefisien untuk kawanan ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 4.8.
4.8 0.00
56332.66
112665.32
Distance
168997.98
Tabel 4.7 Tes kesetaraan kelompok Deskriptor Akustik Mean Depth Rel. Altitude Energi
Wilks’ Lambda 0,947 0,921 0,983
F 3,118 4,823 0,949
df1 1 1 1
df2 56 56 56
Sig. 0,083 0,032 0,334
Tabel 4.8 Model standar diskriminan untuk kawanan ikan lemuru Fungsi 1 0.917 0.803 0.720 0.308 -0.259 0.233 0.192 -0.047 -0.046 0.021
Variabel Deskriptor Akustik Perimeter Area (m2) Panjang (m) Skewness SD Tinggi (m) Relative altitude (%) Kurtosis Energi (dB) Mean depth (m)
Tingkat keakuratan data awal (58 data echogram) yang dijadikan sebagai variabel diskriminan analisis ini dapat dilihat pada Tabel 4.9 tentang Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis berikut ini: Tabel 4.9. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis Kawanan ikan pelagis Lemuru Non lemuru
Identifikasi kawanan ikan dari fungsi diskriminan Lemuru
49 (98.0) 1 (12.5)
Keterangan: angka dalam kurung adalah %
Non lemuru
1 (2.0) 7 (87.5)
Jumlah kawanan ikan 50 100) 8 (100)
Jumlah salah identifikasi 1 (2.0) 1 (12.5)
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian identifikasi kawanan ikan lemuru sebesar 98% dan kawanan ikan bukan lemuru sebesar 87.5%. Artinya dari 50 kawanan ikan lemuru, 1 kawanan ikan lemuru salah identifikasi ke dalam kawanan ikan bukan lemuru. Begitu juga dengan salah identifikasi pada
kawanan ikan bukan lemuru, yaitu dari 8 kawanan ikan ada 1 kawanan ikan salah identifikasi ke dalam kawanan ikan lemuru. Hasil analisis gerombol menyatakan bahwa kawanan ikan no 53 adalah kawanan lemuru dan kawanan ikan no 55 adalah kawanan bukan lemuru, ternyata menghasilkan salah identifikasi seperti pada Tabel 4.9.
4.5 Pembahasan 4.5.1 Identifikasi Kawanan Ikan Pelagis Kebutuhan kawanan ikan terhadap ruang hidup tidak selalu sama, hal ini disebabkan oleh 3 (tiga) hal yakni, 1) bentuk, ukuran, posisi dan energi kawanan ikan sebagai faktor internal sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lain dan dalam spesies itu sendiri, serta dari kelas umur juvenil ke kelas umur dewasa, 2) karakteristik kawanan ikan mungkin tergantung pada faktor eksternal seperti faktor suhu, salinitas (hidrologi), keberadaan predator dan mangsanya dan 3) komposisi spesies kawanan mungkin berpengaruh pada distribusi vertikal dan tingkah laku kawanan.
Berdasarkan asumsi tersebut maka faktor internal dan ekternal
mempunyai interaksi yang komplek, sehingga perlu diurai satu persatu untuk mendapatkan pola yang benar. Adanya korelasi yang kuat antar deskriptor akustik (morfometrik, batimetrik dan energetik) di perairan Selat Bali cukup untuk dijadikan tolok ukur yang lebih baik dalam mendeteksi kawanan ikan pelagis secara internal. Korelasi antara posisi kawanan dalam kolom air (relative altitude) dengan deskriptor morfometrik menjelaskan bahwa bentuk dan ukuran kawanan ikan tidak terlepas dari tingkah laku kawanan tersebut. Migrasi harian berpengaruh terhadap posisi ikan dalam kolom perairan, sehingga korelasi yang terjadi adalah korelasi tingkah laku kawanan ikan baik untuk alasan mencari makan atau hubungan sosial. Hasil dendogram analisis gerombol menunjukkan bahwa sebesar 86.2% kawanan ikan adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya kawanan bukan ikan lemuru. Hasil penelitian diatas menguatkan penelitian Budihardjo et al. (1990) yang menyatakan bahwa sekitar 80% produksi total ikan yang didaratkan dari perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru). Merta (1992) mengemukakan bahwa produksi ikan lemuru yang didaratkan di perairan Selat Bali berkisar antara 65.86 – 92.89% dari produksi total Tahun 1984-1989. Hasil tersebut hampir sama dengan hasil pengamatan Wudianto, 2001 melalui komposisi hasil tangkapan ikan Tahun 1996-1998 yang memaparkan bahwa
kawanan ikan pelagis yang dominan dan sering muncul di perairan Selat Bali adalah kawanan lemuru, tongkol dan layang.
Bila diamati lebih jauh, maka
kawanan ikan lemuru lebih dominan dibandingkan kawanan tongkol dan layang di perairan Selat Bali. Sehingga kawanan bukan ikan lemuru diprediksi sebagai kawanan ikan tongkol dan layang. Hasil analisis diskriminan memaparkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pemisahan kawanan ikan lemuru dan bukan ikan lemuru adalah tinggi, panjang, area, perimeter (deskriptor morfometrik), relative altitude (deskriptor batimetrik), skewness dan standar deviasi (deskriptor energetik). Merujuk dari hasil yang didapat, maka deskriptor morfometrik dapat dijadikan sebagai deskriptor yang berpengaruh terhadap pemisahan kawanan ikan pelagis. Deskriptor energetik hanya sebaran distribusi dan simpangan bakunya saja yang dapat dijadikan sebagai faktor pemisah. Variabel energi tidak dapat dijadikan sebagai faktor penentu, hal ini mungkin disebabkan energi akustik ikan pelagis kecil relatif sama. Deskriptor batimetrik hanya relative altitude saja yang dapat dijadikan sebagai faktor penentu, sedang variabel mean depth tidak dapat dijadikan sebagai faktor penentu. Hal ini berkaitan dengan migrasi harian ikan dimana posisi kawanan ikan berada pada lapisan atas, bawah atau dasar perairan bukan pada nilai kedalamannya (m). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil pengamatan Coetzee (2000) yang menyatakan bahwa variabel-variabel morfologi adalah deskriptor akustik yang paling berperan dalam menentukan karakteristik kawanan ikan sardine. Begitupun Lu & Lee menyatakan bahwa variabel-variabel struktur eksternal (morfologi) adalah deskriptor akustik yang berperan dalam menentukan kawanan ikan skipjack, round scad, horse mackerel, anchovy dan larva ikan. Namun Lawson (2001)
menyatakan
bahwa
deskriptor
akustik
morfometrik
tidak
dapat
membedakan kawanan ikan anchovy, sardine dan round herring, justru deskriptor akustik energetik dan batimetrik yang paling berperan. Fenomena ini mungkin dapat dijelaskan dari hasil pengamatan Baussant et al.,1993 yang menunjukkan bahwa analisis mutivariate bisa menyebabkan terjadi korelasi negatif antara deskriptor akustik morfometrik dan energetik pada patches plankton. Model pada Tabel 4.8 menjelaskan fungsi dari pemisahan kelompok. Secara lebih jelas nilai koefisien yang menggambarkan kawanan ikan lemuru dapat dinotasikan sebagai berikut: F(x) = 0.917Peri + 0.803Area + 0.72Pj + 0.308Skew - 0.259SD + 0.233Tg + 0.192RA - 0.047Kur - 0.046E + 0.021MD.
nilai deskriptor dari kawanan ikan yang dimasukkan ke dalam fungsi tersebut akan memperoleh kisaran nilai 0-1.
Nilai yang cenderung bernilai 1 (satu) dapat
dimasukkan ke dalam kelompok kawanan ikan lemuru dan nilai yang cenderung bernilai 0 (nol) dapat dimasukkan ke dalam kelompok kawanan bukan ikan lemuru. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis menunjukkan bahwa 96.55% ((49+7/58)*100) kawanan ikan pelagis yang diteliti dapat diidentifikasi dengan benar, sedang sisanya mengalami salah identifikasi. Kawanan ikan pelagis yang diidentifikasi dengan benar menunjukkan bahwa kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat diidentifikasi berdasarkan spesies menggunakan deskriptor akustik. 4.5.2 Karakteristik Kawanan Ikan Pelagis Morfometrik kawanan ikan pelagis Berdasarkan bentuk dan ukuran (morfometrik) diketahui bahwa kawanan lemuru berbentuk oval pipih dengan luasan kecil, artinya ukuran panjang kawanan 35 kali dari tingginya dan area yang melingkupi kawanan lemuru kurang dari 2.000 m2 dengan perimeter kurang dari 400 (Tabel 4.10).
Sedang bentuk kawanan
bukan lemuru adalah oval lebih pipih dengan area yang luas, artinya ukuran panjang kawanan 130 kali dari tingginya dan area yang melingkupi kawanan lebih dari 20.000 m2 dengan perimeter diatas 1000.
Jika dibandingkan dengan
kawanan bukan lemuru maka morfometrik kawanan lemuru lebih kecil (small school) daripada kawanan bukan lemuru. Perbedaan bentuk kawanan ikan terkait dengan spesies dan ukuran ikan (body length). Spesies dan ukuran panjang tubuh yang berbeda akan memiliki tingkah laku yang berbeda. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan Lu & Lee (1995) yang menyatakan bahwa spesies dan ukuran panjang tubuh (body length) dapat dibedakan dari deskriptor akustik morfometrik dengan membandingkan ikan berukuran kecil (anchovy dan larva ikan) dan ikan berukuran besar (skipjack, round scad dan horse mackerel).
Tabel 4.10. Ringkasan deskriptor morfometrik kawanan ikan pelagis Kawanan lemuru Kawanan bukan lemuru Panjang Tinggi Area Perimeter Panjang Tinggi Area Perimeter Minimum 17 2 59 33 1060 12 13189 1182 Maksimum 2110 32 9335 2531 7093 32 71558 4471 Rataan 455 12 1823 366 2761 21 22477 2362
Kawanan ikan yang terlihat pada echosounder tidak menghasilkan kawanan ikan nyata yang memproduksi jejak gema sehingga citra kawanan pada echogram dipertimbangkan sebagai ’true’ mask image yang merupakan citra distorsi. Ukuran kawanan yang tampak pada echogram, hasilnya berbeda dengan perhitungan deskriptor akustik. Hal ini dikarenakan, kawanan ikan pada echogram terdiri dari kumpulan piksel yang berbentuk bujursangkar antara panjang dan tinggi. Pada kenyataannya, saat sinyal ditembakkan pada target terdapat faktor koreksi yaitu kecepatan kapal, laju ping dan sudut sorot (beam) yang dibentuknya. Faktor koreksi dapat dilihat pada variabel panjang. Panjang terlihat adalah 177.78 m dan panjang terkoreksi adalah 176.86 m dengan koreksi ping/meter adalah 4.04. Energetik kawanan ikan pelagis Salah satu tujuan penelitian identifikasi kawanan ini adalah menyeleksi nilai energi intensitas akustik yaitu nilai Sv ikan pelagis terutama lemuru. Berdasarkan penelitian Lawson et al, 2001 kisaran nilai Sv untuk ikan pelagis kecil (anchovy, sardine, round herring) di Agulhas Bank Afrika Selatan adalah (-65 dB) – (-60dB). Disamping itu digunakan kisaran (-30 dB) – (-60 dB) untuk keakuratan analisis dan menghindari deteksi secondary beam. Coetzee, 2000 menggunakan threshold nilai 10 SA unit (m2.nautical mile-2) yang setara dengan nilai Sv = -66 dB untuk kawanan ikan sardine di Agulhas Bank Afrika Selatan. Kisaran energi akustik yang digunakan pada penelitian ini antara (-30 dB) – (80 dB).
Hasil yang diperoleh untuk maksimum energi akustik kawanan ikan
pelagis adalah –77 dB dan minimum adalah –42 dB (Tabel 4.11). Energi akustik kawanan lemuru (-57 dB) di perairan Selat Bali lebih kuat dibandingkan dengan kawanan bukan lemuru (-60 dB). Hal ini berarti kawanan lemuru memiliki arah gerak renang dan struktur daging dan tulang yang sedikit berbeda daripada kawanan bukan lemuru, namun selang bedanya relatif kecil (3 dB) sehingga energi akustik tidak dapat dijadikan patokan untuk membedakan kawanan ikan pelagis kecil (sesuai dengan hasil analisis diskriminan). Tabel 4.11 Ringkasan deskriptor energetik kawanan ikan pelagis
Minimum Maksimum Rataan
Energi -76.8 -42.0 -56.8
Kawanan lemuru Kawanan bukan lemuru StDev Skewness Kurtosis Energi StDev Skewness Kurtosis 1.8 -1.8 -1.3 -75.9 1.7 -0.6 -1.3 8.1 0.0 0.8 -54.9 3.0 0.0 -0.5 4.7 -0.9 -0.8 -59.5 2.4 -0.3 -0.9
Energi akustik kawanan ikan pelagis kecil ((-57) –(-60) dB) di perairan Selat Bali (perairan tropis) sedikit lebih kuat dibandingkan dengan energi akustik kawanan ikan pelagis ((-60) –(-66) dB) di Agulhas Bank Afrika Selatan (perairan sub tropis). Hal ini terkait dengan perbedaan musim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingkah laku kawanan. Implikasinya adalah perbedaan ukuran ikan, struktur daging dan kekerasan tulang pada spesies yang sama karena lemah kuatnya energi akustik tergantung pada ukuran ikan, kekenyalan daging, kekerasan tulang dan gelembung renang ikan. Batimetrik kawanan ikan pelagis Posisi kawanan ikan lemuru pada kolom perairan umumnya cenderung dekat dasar perairan dengan kedalaman optimum 60 m dari permukaan laut dan posisi kawanan bukan ikan lemuru berada di pertengahan kolom perairan dengan kedalaman optimum 80 m dari permukaan laut (Tabel 4.12). Hal ini terkait dengan migrasi harian dari kawanan ikan pelagis pada umumnya dimana pada malam hari berada di permukaan laut dan pada siang hari menuju dasar perairan. Kejadian ini sesuai dengan hasil pengamatan Wudianto (2001), dimana pada siang hari gerombolan ikan lemuru berada pada lapisan perairan yang cukup dalam yaitu sekitar 75 m dan pada malam hari gerombolan ikan bergerak mendekati permukaan air. Tabel 4.12. Ringkasan deskriptor batimetrik kawanan ikan pelagis
Minimum Maksimum Rataan
Kawanan lemuru Mean Depth (m) Rel. Alt. (%) 13.0 5.7 147.0 69.8 63.4 28.0
Bukan kawanan lemuru Mean Depth (m) Rel. Alt (%) 28.5 12.5 150.0 80.9 87.5 43.0
Uraian mengenai perbandingan bentuk, energi dan posisi kawanan ikan pelagis mengarah pada pembentukan karakteristik kawanan ikan pelagis menjadi kawanan ikan lemuru dan kawanan bukan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Karakteristik kawanan ikan pelagis diperoleh dari perbedaan karakter pada kedua kawanan tersebut yakni pada bentuk (morfometrik) selanjutnya pada posisinya
dalam kolom air.
Penjabaran diatas dapat dilihat pada Gambar 4.9 berupa
karakteristik kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali. K aw an an L em u r u P er m u kaan Air
B u kan K aw an an L em u r u
10 m 72%
57%
50 m 28%
100 m
43% 150 m E n er gi ( dB )
bat i m et r i -5 7
-6 0
Gambar 4.9 Karakteristik kawanan ikan pelagis di Perairan Selat Bali
4.6 Kesimpulan Deskriptor akustik dapat dijadikan dasar dalam identifikasi spesies kawanan ikan pelagis.
Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis gerombol bahwa
sebesar 86.2% kawanan ikan yang terdeteksi di perairan Selat Bali adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya kawanan bukan ikan lemuru (diprediksi sebagai kawanan tongkol dan layang). Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa deskriptor akustik yang berperan terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan pelagis adalah deskriptor akustik morfometrik. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis menunjukkan bahwa 96.55% kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat diidentifikasi dengan benar berdasarkan spesies menggunakan deskriptor akustik. Karakteristik kawanan ikan lemuru adalah sebagai berikut: berbentuk oval pipih dengan luasan kecil (small school). Energi akustik yang dipantulkannya sebesar (-57 dB). Posisinya pada kolom perairan umumnya cenderung dekat dasar perairan dengan kedalaman optimum 60 m dari permukaan laut dan kawanan bukan lemuru berbentuk oval lebih pipih dengan area yang luas (large school). Energi akustik yang dipantulkannya sebesar (-60 dB). Posisinya berada di pertengahan kolom perairan dengan kedalaman optimum 80 m dari permukaan laut.
Pustaka
Bahri, T., and Freon, P. 2000. Spatial structure of coastal pelagic schools descriptors in the Mediterranean Sea. Fisheries Research, 48: 157-166. Baussant, T., Ibanez, F., and Etienne, M. 1993. Numeric analysis of plantonic spatial patterns revealed by echograms. Aquatic Living Resources vol, 6, 175-184. Coetzee, J. 2000. Use of a shoal analysis and patch estimation system (SHAPES) to characterise sardine schools. Aquatic Living Resources, Vol 13 (1):1-10. Haralabous, J., and Georgakarakos, S. 1996. Artificial neural networks as a tool for species identification of fish schools. ICES Journal of Marine Science, 53: 173-180. Johnson, R.A., and Wichern, D.W. 1998. Applied multivariate statistical analysis, 4th edition. New Jersey: Prentice-Hal. Lawson, G.L., Barange, M., and Freon, P. 2001. Species identification of pelagic fish schools on the South African continental shelf using acoustic descriptors and ancillary information. ICES Journal of Marine Science, 58:275-287. Love, R.K. 1971. Measurement of fish target strength. A review. Fisheries Bulletin, 69(4): 703-715. Lu, H.J., and Lee, K.T. 1995. Species identification of fish shoal from echograms by an acho-signal image processing system. Fisheries Research, 24: 99 – 111. LeFeuvre, Rose, G.A., Gosine, R., Hale, R., Pearson, W., and Khan, R. 2000. Acoustics species identification in the Northwest Atlantic using digital image processing. University Newfoundland Canada.14p.
Maclennan, D.N., and Simmonds, E.J. 1992. Fisheries acoustics. Chapman and Hall. Fish and Fisheries Series 5. 325 pp. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru Sardinella lemuru bleeker, 1853 di perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya. Disertasi (tidak dipublikasikan) Program Pascasarjana IPB. Bogor. 201 hal.
Pitcher, T.J., and Parrish, J.K. 1983. Behaviour of teleost fishes, 2nd Edition. Chapman & Hall, London. 295-337. Reid, D., Scalabrin, C., Petitgas, P., Masse, J., Aukland, R., Carrera, P., and Georgakarakos, S. 2000. Standard protocols for the analysis of school based data from echo sounder surveys. Fisheries Research: 47, 125-136. Rose, G.A., and Leggett, W.C. 1988. Hydroacoustic signal classification of fish school by species. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 45: 597-604. Rummel, R.J. 1970. Applied factor analysis. United States of American.
Scalabrin, C., Diner, N., Weill, A., Hillion, A., and Mouchot, M-C. Narrowband acoustic identification of monospecific fish shoal. Journal of Marine Science, 53:181-188.
1996. ICES
Simmonds, E.J., Armstrong, F., and Coplan, P.J. 1996. Species identification using wideband backscatter with neural network and discriminant analysis. ICES Journal of Marine Science, 53:189 – 195. Siswadi dan Suharjo, B. 1999. Analisis eksplorasi data peubah ganda. Jurusan Matematika dan FMIPA-IPB. Bogor. 87 hal. Wudianto. 2001. Analisis sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker,1853) di perairan Selat Bali; kaitannya dengan optimasi penangkapan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 221 hal.
5
KLASIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN
5.1 Pendahuluan Sejauh ini aplikasi teknik hidroakustik dalam bidang perikanan dibatasi pada ketidakmampuan membedakan secara objektif antar kelompok taksonomi berdasarkan gelombang suara yang dipantulkan (diterima) (Thorne, 1983 diacu dalam Rose & Leggett, 1988). Beberapa percobaan telah dilakukan dalam mengkuantifikasi dan menginterpretasikan echogram melalui algoritma pola pengenalan.
Kelemahan echogram adalah grafik yang sederhana dan masih
secara kasar mewakili energi yang dihamburbalikkan. Nero & Magnuson (1989) diacu dalam Richards et aI. (1991) menggambarkan data echo integrasi yang diperoleh dari kedalaman 1 m dengan jarak interval 25 m, menemukan data yang berguna untuk membedakan kumpulan ikan dan invertebrata dari beberapa massa air yang berbeda, sehingga data dengan resolusi tinggi dimungkinkan klasifikasi kawanan ikan, paling tidak sampai kelompok taksonominya. Usaha yang telah dilakukan untuk mengklasifikasi dan menginterpretasi echogram secara objektif adalah dengan mengukur berbagai karakteristik dan menggunakannya sebagai input algoritma pada pola pengenalan (Azzali (1982); Nion & Castaldo (1982) diacu dalam Richards et al. (1991)). Sekalipun echogram merupakan grafik yang kasar, namun dapat menghadirkan gambar yang lebih halus pada fekuensi yang lebih tinggi.
Interpretasi echogram lebih lanjut
memungkinkan pengklasifikasian taksonomi. Pendekatan menggunakan informasi yang ada pada sinyal backscatter digital dapat digunakan untuk klasifikasi target. Pendekatan ini terdiri dari 3 teknik utama yaitu (1). Teknik dual beam dan split beam untuk mengukur scatter suara, (2). teknik respon multifrekuensi wideband dan (3). ekstrasi fitur dari sinyal echosounder narrowband. Penelitian ini menggunakan teknik split beam. Teknik ini dapat memisahkan ukuran dan posisi ikan yang berbeda dalam beam.
Klasifikasi ukuran
memungkinkan untuk dilakukannya klasifikasi berdasarkan taksonomi saat taxa target mempunyai distribusi ukuran yang diskrit. Caranya adalah dengan: (1). menghubungkan klasifikasi ukuran ikan dengan nilai TS ikan dan nilai Sv, (2). memanfaatkan dominasi lemuru di Selat Bali memudahkan taksonomi di lingkungan multispesies.
Dominasi ini didasarkan pada kondisi dilapangan
dimana kawanan ikan di perairan tropis umumnya dalam kelompok-kelompok kecil dan berjarak atau longgar. Pengertian
klasifikasi
perlu
difahami
sebagai
pengelompokan
atau
penggerombolan (cluster) dari suatu objek berdasarkan pada kemiripannya, sehingga langkah pertama dalam pengklasifikasian adalah dengan melibatkan data secara kuantitatif dan kualitatif (Ludwig, 1988). Termasuk didalamnya data mengenai kelimpahan kawanan ikan (densitas). Tujuan klasifikasi kawanan lemuru adalah (1) klasifikasi spesies kawanan ikan lemuru dengan menggunakan deskriptor akustik dan data tambahan, (2) karakteristik kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Hipotesisnya adalah (1) deskriptor akustik dapat dijadikan dasar untuk klasifikasi spesies kawanan ikan lemuru; (2) klasifikasi kawanan ikan lemuru dapat dibedakan berdasarkan musim dan ukuran ikan; (3) data tambahan (suhu, salinitas dan waktu harian) berpengaruh terhadap klasifikasi kawanan ikan lemuru. Manfaat yang dapat diambil dari kajian klasifikasi ini adalah bahwa dengan mengetahui densitas dan pengelompokan ikan yang telah diklasifikasikan, maka akan lebih mudah menangkap ikan secara langsung pada spesies target.
5.2 Metode Penelitian Berdasarkan hasil identifikasi kawanan ikan (Bab 3) diketahui identifikasi kawanan ikan lemuru dan bukan kawanan ikan lemuru, sehingga langkah selanjutnya adalah membuat klasifikasi kawanan ikan.
Pada Bab ini akan
difokuskan pada klasifikasi kawanan ikan lemuru. Tahapan metode penelitian ini secara lebih jelas tertera pada Gambar 5.1. Kawanan ikan lemuru diklasifikasikan berdasarkan 2
(dua)
dasar
pengelompokkan yakni: 1) Deskriptor akustik (faktor internal) Deskriptor akustik meliputi morfometrik, energetik, batimetrik dan ditambahkan densitas volume. Dasar pengelompokkannya diperoleh berdasarkan nilai minimum, maksimum dan rata-rata dari masing-masing variabel deskriptor akustik. Selanjutnya dihitung simpangan bakunya sebagai dasar pembuatan selang klasifikasi.
Sehingga klasifikasi deskriptor akustik adalah sebagai
berikut : elongasi dibagi menjadi 3 kategori yaitu oval lonjong ( < 30), oval tebal (30-100) dan oval pipih ( > 100). Area dibagi menjadi 3 kategori yaitu luas ( > 3000 m2), sedang (1000-3000 m2) dan sempit ( < 1000 m2 ). Relative
altitude dibagi menjadi 3 kategori yaitu berada di lapisan dasar (0-30%), lapisan tengah (30-60%) dan lapisan atas (60-90%). Energi intensitas akustik dibagi menjadi 3 kategori yaitu lemah (<(-60) dB), sedang ((-51) - (-60) dB) dan kuat (>(-50) dB). Densitas kawanan ikan lemuru pada bulan September Tahun 1998 dan bulan Mei Tahun 1999 adalah 0.004-3.065 ikan/m3 (Wudianto, 2001) dan rata-rata densitas kawanan ikan sardine adalah 0.5 ikan/m3 (Coetzee, 2000). Adapun densitas volume kawanan ikan lemuru pada penelitian ini adalah 0.001-3.539 ikan/m3 dengan rata-rata 0.38 ikan/m3
sehingga dasar pengelompokkan
densitas ikan lemuru menjadi 3 kategori yaitu: padat ( >1 ikan/m3), sedang (0.1 – 1 ikan/m3 ) dan jarang ( < 0.1 ikan/m3 ). 2) Data tambahan (faktor eksternal) Data tambahan berupa suhu, salinitas dan waktu harian. Nilai kisaran suhu diperoleh dari hasil penelitian Wudianto (2001).
Berdasarkan Gambar 5.2
diketahui bahwa kisaran suhu adalah 14.5–30.7oC.
Rata-rata suhu pada
o
kedalaman 0-100 m adalah 25 - 30 C kecuali pada musim peralihan II suhu berada pada kisaran 20-30oC. Modus suhu pada kedalaman 0-100 m adalah 27 - 28 oC sehingga suhu diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu: rendah (<270C), sedang (27-280C) dan tinggi (>280C).
o
(a)
max
→
o
min
(b)
max
→
min
o
max
→
min
(c)
o
Gambar 5.2 Rata-rata suhu ( C) di perairan Selat Bali berdasarkan musim dan kedalaman. (a) musim peralihan I, (b) musim timur, dan (c) musim peralihan II (Wudianto,2001). Salinitas dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah (< 33.4 o/oo), sedang (33.4-34.0 o
/oo) dan tinggi (> 34.0 o/oo). Waktu harian diklasifikasikan menjadi 4 kategori
yaitu: Pagi (05.00-09.00), Siang (10.00-14.00), Sore (15.00-18.00) dan Petang (19.00-04.00). Selanjutnya dianalisis menggunakan analisis statistika yaitu analisis gerombol dan analisis diskriminan untuk mengklasifikasi kawanan lemuru berdasarkan
penamaan
penangkapan.
ikan
lemuru
(ukuran
ikan
lemuru)
dan
musim
Klasifikasi berdasarkan musim dibagi menjadi 3 bagian yaitu,
musim timur (bulan Agustus), musim peralihan I (bulan September) dan musim peralihan II (bulan Mei). Penamaan ikan lemuru di perairan Selat Bali dibagi 4 jenis, yaitu
lemuru sempenit dengan ukuran (7.5-10.5 cm) dan kisaran TS (-
50dB)-(-47dB). Lemuru protolan dengan ukuran (10.5-15.0 cm) dan kisaran TS (47dB)-(-44dB). Lemuru dengan ukuran (15.0-21.5 cm) dan kisaran TS (-44dB)-(41dB) dan lemuru campuran (campuran antara sempenit dengan protolan, protolan dengan lemuru atau campuran ketiganya). Untuk selanjutnya disebut kawanan sempenit, protolan, lemuru dan campur saja. Nilai kisaran TS didapatkan dari program ADA-2004 dengan melihat TS rata-rata dan modus TS pada setiap kawanan ikan lemuru.
Ukuran panjang kawanan ikan lemuru mengacu pada
penamaan ikan lemuru oleh masyarakat setempat (Dwiponggo & Subani, 1971) dan kisaran TS di dapat dari perhitungan Iida et al. (1999) yang menggunakan spesies Anchovy hidup dalam kurungan.
I den t if i kas i
K aw an an I kan P el agi s
K aw an an I kan L em u r u
K l as i f i kas i
K awanan I kan Non Lemur u
D as ar pen gelom pokkan
D es kr i pt or Aku s t i k ( F akt or I n t er n al ) - Mor fometr ik - E ner getik - B atimetr ik
D at a T am bah an ( F akt or E kt er n al ) - S uhu - S alinitas
An al is i s S t at is t i ka - Analis is Ger ombol - Analis is Dis k r iminan
P en am aan L em u r u - S empenit - Pr otolan - L emur u - Campur an
Mu s im - Per alihan I - Mus im T imur - Per alihan I I
K ar akt er is t ik K aw an an I kan L em u r u D i P er air an S elat B ali
Gambar 5.1. Tahapan metode klasifikasi kawanan ikan lemuru
5.2.1 Deskriptor Akustik Dasar pengambilan deskriptor akustik telah diulas pada Bab 3 Metodologi. Perhitungan deskriptor akustik yang digunakan untuk klasifikasi kawanan ikan
lemuru tertera pada Tabel 5.1. Adapun simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan tertera pada Tabel 5.2. Tabel 5.1.
No
Deskriptor akustik dan formula perhitungan untuk klasifikasi kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali Deskr ipt or
F ormula per hit ungan
A
Energetik
1
Rata-rata energi akustik, dB
2 3 4
T S = 10 log ó/4ð 5)
Target Strength (dB) Modus TS Densitas Volume
B
Morfometrik
5
Tinggi, m
6
Sv
E 10 log10 ∑ i 1) atau En = 10 10 1) n Nilai TS yang sering muncul5) SA Density (g .m − 3 ) = * 1000 0 .1TS / kg 2 . 1852 .∆ R ) (4π . 10
Tinggi terlihat = (Vertikal akhir − Vertikal awal ) 4) Cγ 2) Tinggi nyata = Tinggi terlihat − 2 Panjangterlihat = ∑ ping.k 2)
Panjang, m
Panjang
7
2)
nyata
= Panjang
terlihat
ϕ 4 − 2 D m tan 2 π
2)
• s el terluar dari kawanan ikan (menggunakan 4
Perimeter
neighbourhood)4) 8
Area, m2
• s el * tinggi 1 s el * panjang 1 s el
9
Elongasi
Elongasi = panjang/tinggi3)
B
Posisi Batimetrik
10
Rata-rata kedalaman kawanan, m
11
Relative Altitude, %
Mean _ depth = R _ Altitude =
∑
(D i ) 1) n
Min . Alt + MaxH / 2 * 100 Depth
Keterangan : dirujuk dari 1)Lawson (2001), 2) Coetzee (2000), (2004), dan
5)
4)
3)
variabel pendukung
3)
4)
Bahri & Freon (2000), Fauziyah
Tabel 5.2 Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan Simbol Rata-rata
Definisi Rata-rata nilai Sv adalah intensitas yang direfleksikan oleh
Energi akustik
suatu kelompok single target, dimana target berada pada volume air tertentu (m3) dengan threshold 80 dB. Target Strength digunakan untuk mengetahui ukuran ikan
TS
(satuan dB) dan modus TS digunakan untuk mengetahui nilai TS yang paling sering muncul Densitas
Kepadatan kawanan ikan, SA adalah scattering area dan R
volume
adalah jarak kawanan dalam hal ini adalah tinggi kawanan (satuan ikan/m3).
(Vertakhir-
Vertawal adalah nilai piksel (m) pada titik awal kawanan ikan
Vertawal)
Vertakhir adalah nilai piksel (m) pada titik akhir kawanan ikan
(Cγ/2)
adalah persamaan efek panjang pulsa, dimana C adalah kecepatan sound (m/det) dan γ adalah panjang pulsa (m.det).
k
adalah faktor koreksi, yaitu jumlah meter per ping yang dihitung dari kecepatan kapal (knot) dan laju ping (ping/menit)
2Dm tan(ö/2)
efek lebar sorot (beam) (Diner,1998 diacu dalam Lawson, 2001) dimana Dm adalah rata-rata kedalaman kawanan dan ö adalah s udut antar trandus er dan tepi kawanan diukur saat deteksi pertama. ö s ebagai fungs i nominal s udut s orot dan
perbedaan
antar
rata-rata
densitas
energetik
gerombolan ikan (Sv) dan processing threshold . Faktor koreksi untuk memperkirakan panjang kawanan yang
4/π
dikehendaki (Coetzee, 2000) Area
Luas kawanan ikan
Elongasi
Rasio panjang terhadap tinggi kawanan ikan
Dimensi fraktal
Geometri bangun alam, P adalah perimeter dan A adalah area
Relative altitude
posisi kawanan dalam kolom air (%)
5.3 Analisis Data Analisis statistika digunakan untuk (1) mengelompokkan kawanan ikan lemuru dengan nilai deskriptor akustik dan data tambahan (suhu dan salinitas) berdasarkan ukuran kemiripan (similarity) atau ketakmiripan (dissimilarity), dan 2).
menentukan deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru. Pada kajian ini lebih difokuskan pada klasifikasi kawanan ikan lemuru ke dalam kawanan sempenit, kawanan protolan, kawanan lemuru, dan kawanan campur. Untuk tujuan tersebut dilakukan Analisis Peubah Ganda (Multivariate Analysis) yang meliputi: analisis gerombol (cluster analysis) dan analisis diskriminan (discriminant analysis).
Program statistik yang digunakan adalah
SPSS 11.5 for Windows. 1) Analisis gerombol (Clustering Analysis) Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan objek-objek menjadi beberapa gerombol berdasar peubah-peubah yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan objek dalam gerombol yang sama dibandingkan antar objek dari gerombol yang berbeda (Siswadi & Suharjo, 1999).
Analisis
gerombol dapat juga dilakukan untuk menggerombolkan peubah-peubah ke dalam suatu gerombol-gerombol peubah berdasarkan koefisien korelasi antar peubah tersebut (Johnson & Wichern, 1998). Secara umum teknik penggerombolan dibagi menjadi 2 yaitu : 5.
Teknik
berhirarki,
yang
dipilah
menjadi
teknik
penggabungan
(agglomerative) dan teknik pembagian (divisive), dan 6.
Teknik tak berhirarki, misalnya teknik penyekatan (partitioning) dan penggunaan grafik (Siswadi & Suharjo, 1999)
Teknik
berhierarki
disajikan
dalam
bentuk
dendrogram
sehingga
penggerombolan akan lebih mudah diidentifikasi dan informatif. Ukuran ketakkemiripan(dissimilarities) antar objek pengamatan adalah jarak antar objek.
Jarak antara dua objek harus didefinisikan sedemikian rupa
sehingga semakin pendek jarak maka semakin kecil ketakmiripannya begitupun sebaliknya.
Nilai ukuran ketakmiripan yang sering digunakan
adalah jarak Euclid bila antar peubah saling bebas atau saling orthogonal, sedangkan jarak mahalanobis digunakan bila semua peubah saling berkorelasi atau tidak saling orthogonal (Johnson & Wichern, 1998). Metode penggabungan yang digunakan antar gerombol berhierarki adalah metode pautan tunggal, pautan lengkap, pautan rataan, terpusat dan ward. Teknik gerombol berhierarki berguna untuk pemisahan kawanan ikan pelagis ke dalam gerombol kawanan sempenit, protolan, lemuru dan campur.
3) Analisis diskriminan (Discriminant Function Analysis) Analisis diskriminan adalah teknik multivariate yang dapat mengklasifikasikan spesies atau tipe agregasi yang tidak diketahui ke dalam satu kelompok grup diskret. Analisis ini akan menyeleksi (1) deskriptor akustik dan data tambahan yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru (sempenit, protolan, lemuru dan campur) dan (2) mengalokasikan suatu kawanan ikan lemuru (baru) ke dalam salah satu kelompok kawanan tersebut. Penggunaan analisis diskriminan ini berhubungan dengan fungsinya, yaitu memberikan nilai-nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok (Siswadi & Suharjo 1999).
Sehingga variabel-
variabel pada kelompok yang berbeda dapat ditentukan. Kelompok yang akan digunakan pada klasifikasi kawanan ikan lemuru adalah kelompok kawanan sempenit, protolan, lemuru dan campur (Gambar 5.3).
Data: Deskriptor akustik Data tambahan
Kelompok: kawanan lemuru, protolan, sempenit & campur
Uji kenormalan ganda Metode plot khi kuadrat
Data menyebar normal
T idak
transformasi
Ya Uji kehomogenan matriks koragam antar dan dalam gerombol
fungsi diskriminan linear
T idak
Fungsi diskriminan kuadratik
Ya Pembuatan Plot
Gambar 5.3 Alur pemrosesan analisis diskriminan kawanan ikan lemuru
5.4 Hasil Data hasil perhitungan program ADA versi 2004 dan data tambahan ditabulasikan pada Tabel 5.3. Tabel tersebut berisikan nilai rataan dari deskriptor akustik kawanan ikan lemuru dan data tambahan (suhu dan salinitas) di perairan Selat Bali. Data tambahan diperlukan untuk mengetahui gambaran kawanan ikan lemuru secara eksternal. Tabel 5.3 Data nilai rataan deskriptor akustik dan data tambahan kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali Deskriptor Variabel Panjang (m) Tinggi (m) Elongasi Area (m2) Perimeter Energi (dB) Mean Depth (m) Rel. Altitude (%) Suhu (oC) Salinitas (o/oo) Densitas (ikan/m3)
Peralihan I Musim Timur Peralihan II Rataan CV Rataan CV Rataan CV 412.32 0.51 154.63 1.26 1147.30 0.60 14.17 0.56 12.13 0.66 9.34 0.37 41.02 0.68 17.58 1.22 135.71 0.68 1135.92 1.21 1000.00 1.51 4291.92 0.61 319.13 0.78 240.99 1.13 682.14 0.93 -61.44 0.06 -53.80 0.16 -58.46 0.06 81.38 0.27 46.08 0.65 83.08 0.48 17.23 0.50 31.87 0.59 30.47 0.55 27.84 0.05 28.67 0.01 23.11 0.19 33.09 0.01 34.16 0.002 33.76 0.005 0.05 0.94 0.67 1.34 0.09 0.55 12 26 12 Jumlah Kawanan (n) Keterangan: Nilai CV merefleksikan koefisen variasi dari rataan.
Gabungan Rataan CV 454.71 1.21 11.95 0.61 51.56 1.33 1822.68 1.24 365.62 1.15 -56.75 0.13 63.43 0.56 28.02 0.62 27.13 0.12 33.81 0.01 0.38 1.85 50
5.4.1 Klasifikasi Kawanan Lemuru dengan Analisis Statistika Tabulasi data kawanan ikan lemuru dari program ADA versi 2004 dan data tambahan, selanjutnya divalidasi secara statistika berdasarkan 2 tahap analisis yaitu: Analisis Gerombol Hasil analisis gerombol berhierarki disajikan dalam bentuk dendogram dapat dilihat pada Gambar 5.3. Jika dendogram tersebut dipotong pada jarak 500 maka terdapat 4 gerombol kelas kawanan ikan lemuru yaitu, kawanan lemuru (30%), kawanan protolan (32%), kawanan sempenit (18%) dan kawanan campuran (20%). Analisis Diskriminan Langkah selanjutnya adalah menganalisis deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap klasifikasi 4 kelompok kawanan ikan lemuru. Hasil analisis diskriminan dapat dilihat pada uji kesetaraan (test equality) pada Tabel 5.4.
5.4 0
500
10245
15172
Distance
Tabel 5.4 Uji kesetaraan kelompok Variabel deskriptor Mean depth (m)
Wilks' Lambda 0,371
F 26,002
df1 3
df2 46
Sig. 0,000
Relative altitude (%)
0,507
14,899
3
46
0,000
Energi (dB) Panjang (m)
0,427
20,571
3
46
0,000
0,324
31,999
3
46
0,000
Tinggi (m)
0,979
0,322
3
46
0,809
2
Berdasarkan hasil uji pada Tabel 5.4 dapat
dilihat bahwa seluruh
deskriptor akustik mempunyai nilai p < 0.05 kecuali variabel tinggi.
Hal ini
menunjukkan bahwa hampir seluruh deskriptor akustik dan data tambahan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap klasifikasi kelompok kawanan ikan lemuru. Jika ada kawanan ikan lemuru akan dimasukkan ke dalam salah satu dari 4 (empat) kelas ikan lemuru tersebut maka dapat menggunakan nilai koefisien fungsi klasifikasi dari model standar diskriminan canonical pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Nilai koefisien fungsi klasifikasi dari model standar diskriminan (Fisher's linear discriminant functions) untuk kawanan ikan lemuru Variabel deskriptor
Klasifikasi Kawanan Ikan Lemuru
Akustik & data tambahan Mean depth (m)
Sempenit -3,083
Protolan -3,297
Lemuru -3,501
Campur -3,470
-8,521
-8,831
-9,242
-8,968
-,146
-,162
-,173
-,175
Relative altitude (%) Panjang (m) 0
Suhu ( C) o
Salinitas ( /oo) 3
Densitas Volume (ikan/m ) (Constant)
68,212
70,866
73,629
72,991
1215,189
1212,442
1251,996
1247,888
,036 -20939,405
,035 -20870,528
,037 -22257,015
,043 -22113,791
Tingkat keakuratan data deskriptor akustik dan data tambahan (50 data echogram) yang dijadikan sebagai variabel pada analisis diskriminan dapat dilihat pada Tabel 5.6 tentang hasil klasifikasi kawanan ikan lemuru. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian klasifikasi kawanan sempenit, protolan dan lemuru
sebesar 100% dan kawanan campur sebesar
90%. Artinya dari 10 kawanan campur, 1 kawanan ikan salah klasifikasi ke dalam kawanan lemuru. Adapun kawanan sempenit, protolan dan lemuru tidak terjadi salah klasifikasi.
Tabel 5.6. Hasil klasifikasi kawanan ikan lemuru Klasifikasi kawanan ikan lemuru Sempenit Protolan Lemuru Campur
Klasifikasi kawanan ikan lemuru dari fungsi diskriminan Sempenit Protolan Lemuru Campur 0 0 0 9 (0) (0) (0) (100) 0 0 0 16 (0) (0) (0) (100) 0 0 0 15 (0) (0) (0) (100) 0 0 1 9 (0) (0) (10) (90)
Keterangan: angka dalam tanda kurung adalah %
Jumlah kawanan ikan lemuru 9 (100) 16 (100) 15 (100) 10 (100
Jumlah salah klasifikasi 0 (0) 0 (0) 0 (0) 1 (10)
5.4.2 Dasar Pengelompokkan Deskriptor akustik dan data tambahan sebagai dasar pengelompokan dalam pembuatan kelas klasifikasi kawanan ikan lemuru, secara rinci akan dipaparkan sebagai berikut: (1) Morfometrik kawanan ikan lemuru Elongasi merupakan rasio antara panjang terhadap tinggi kawanan ikan. Nilai elongasi berguna untuk melihat bentuk kawanan ikan lemuru. Klasifikasi bentuk kawanan ikan lemuru adalah oval pipih, oval tebal dan oval lonjong. Elongasi kawanan ikan lemuru secara umum memiliki nilai maksimal 293.7, nilai minimal 0.6 dan nilai rata-ratanya 51.6 (Gambar 5.5). Pada peralihan I dan musim timur bentuk kawanan lemuru adalah oval tebal dan lonjong.
Pada musim
peralihan II berbentuk oval pipih. Perbandingan elongasi antara musim timur dan musim peralihan I adalah sepertujuh dan sepertiga kalinya dibandingkan dengan musim peralihan II. Area dihitung berdasarkan jumlah total luas piksel dalam kawanan ikan lemuru. Klasifikasi area kawanan ikan lemuru adalah sempit, sedang dan luas. Area kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali memiliki nilai maksimal 9335 m2, nilai minimal 59 m2 dan nilai rata-ratanya 1823 m2 (Gambar 5.6). Pada peralihan I dan musim timur area kawanan ikan lemuru adalah sedang dan sempit. Pada musim peralihan II memiliki area yang paling luas. Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa pada musim peralihan II kawanan ikan lemuru yang mempunyai elongasi paling besar pun mempunyai area yang paling luas. Perbandingan area kawanan ikan lemuru pada peralihan II adalah 4 kalinya dari peralihan I dan musim timur. Fenomena diatas menunjukan bahwa area kawanan ikan lemuru akan dipengaruhi oleh dimensi panjang, tinggi dan tingkat kepadatan piksel kawanan.
Musim Timur
Peralihan II
Elongasi
Peralihan I
Kawanan Ikan Lemuru
Gambar 5.5 Elongasi kawanan lemuru di Perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II Musim Timur
Peralihan II
Area (m2)
Peralihan I
Kawanan ikan lemuru
Gambar 5.6 Area kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II (2) Batimetrik kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan Mean depth atau rata-rata kedalaman kawanan ikan lemuru berguna untuk melihat keberadaan kawanan ikan lemuru pada kolom perairan. Kawanan ikan lemuru rata-rata berada pada kedalaman 63.4m dengan maksimal dan minimal rata-rata kedalaman adalah 147 m dan 13 m (Gambar 5.7). Keberadaan kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan tergantung pada musim dan migrasi harian ikan. Pada peralihan I, kawanan ikan lemuru berada pada kedalaman 50-115m. Pada musim timur, kawanan ikan lemuru berada pada
kedalaman 3-30m dan sebagian pada kedalaman 17-80m, dan pada peralihan II, kawanan ikan lemuru berada pada kedalaman 30-140m (terpencar). Musim Timur
Peralihan II
Mean Depth (m)
Peralihan I
Kawanan ikan lemuru
Gambar 5.7 Rata-rata kedalaman kawanan ikan lemuru dalam kolom air di perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II
Relative altitude atau posisi kawanan ikan dalam kolom air berguna untuk melihat posisi kawanan ikan pada kolom perairan dihubungkan dengan batimetri (dasar perairan). Posisi kawanan ikan lemuru diukur dari permukaan laut sampai dasar perairan dengan satuan persen (%). Posisi kawanan ikan lemuru dalam kolom air dibagi menjadi 3 bagian, yaitu lapisan atas, tengah dan bawah. Posisi kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali maksimum 70%, minimum 5.7% dan umumnya berada pada posisi 28%. Pada peralihan I, posisi kawanan ikan lemuru di lapisan dasar yaitu 6-34% dihitung dari dasar perairan. Musim timur dan peralihan I, posisi kawanan ikan lemuru di lapisan dasar sampai tengah yaitu 6-70%
dan 18-63% dari dasar
perairan (Gambar 5.8). Jika dihubungkan antara relative altitude dengan mean depth dapat dijabarkan sebagai berikut:
musim peralihan I, posisi kawanan ikan lemuru
berada di lapisan dasar perairan dengan kedalaman 50-100 m dari permukaan laut. Musim timur, posisi kawanan ikan lemuru berada di lapisan dasar sampai pertengahan kolom air dengan kedalaman 3-80 m dari permukaan laut sementara musim peralihan II, posisi kawanan ikan lemuru berada di lapisan dasar sampai pertengahan kolom air diberbagai tingkat kedalaman.
Relative altitude (%)
Peralihan I
Musim Timur
Peralihan II
Gambar 5.8 (3)
Posisi kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan di Perairan Selat Bali pada peralihan I, musim timur dan peralihan II
Energetik kawanan ikan lemuru Energi akustik kawanan ikan lemuru pada peralihan I berada pada selang
–55 sampai –67 dB. Energi kawanan ikan lemuru pada musim timur berada pada selang –42 sampai –73 dB sedang kawanan ikan lemuru pada peralihan II berada pada selang –55 sampai –65 dB. Berdasarkan Gambar 5.9, klasifikasi kawanan ikan lemuru pada peralihan I mempunyai energi akustik yang lemah dengan rataan (-61) dB dan peralihan II mempunyai energi akustik sedang dengan rataan (-58) dB sementara energi akustik pada musim timur dapat dikelompokkan menjadi 2 yakni kawanan ikan yang memiliki energi akustik sedang (-57 dB) dan energi akustik kuat (-41 dB). Peralihan I
Peralihan II
Energi akustik (dB)
Musim Timur
Kawanan ikan lemuru
Gambar 5.9 Energi kawanan lemuru di Perairan Selat Bali (4). Waktu harian kawanan ikan lemuru Survei akustik pada peralihan I dilakukan pada tanggal 30 April-1 Mei 1999. Musim Timur dilakukan pada tanggal 17-19 Agustus 2000 dan peralihan II dilakukan pada tanggal 11-12 September 1998. Survei akustik dilakukan selama
24 jam pada seluruh survei. Teknik pengambilan data rata-rata dilakukan setiap 6 menit sekali. Pada peralihan I, ikan lemuru membentuk kawanan pada siang hari. Musim timur, ikan lemuru membentuk kawanan pada pagi dan siang hari. Adapun pada peralihan II, kawanan lemuru dapat dijumpai sepanjang hari (Gambar 5.10). Pembentukan kawanan ikan umumnya dipengaruhi oleh: (1). stimuli atau rangsangan dari luar seperti menghindari predator atau mencari lingkungan yang sesuai, (2). stimuli internal seperti memijah, mencari makanan dan sifat/tingkah laku ikan tersebut untuk membentuk kawanan. Peralihan II
Musim Timur
Waktu harian (jam)
Peralihan I
Kawanan ikan lemuru
Gambar 5.10 Waktu harian kawanan lemuru di Perairan Selat Bali (5). Suhu dan salinitas kawanan ikan lemuru Kawanan ikan lemuru akan mencari kisaran suhu dan salinitas yang sesuai pada berbagai kedalaman dan tetap berusaha berada di atas lapisan termoklin. Pada peralihan I, kawanan ikan
lemuru dikategorikan memiliki suhu sedang
(rataan 27.8 oC) dan salinitas rendah (rataan 33.1o/oo).
Pada musim timur,
o
kawanan ikan lemuru memiliki suhu tinggi (rataan 28.7 C) dan salinitas tinggi (rataan 34.1o/oo). Pada peralihan II, kawanan ikan lemuru memiliki suhu rendah (rataan 23.1oC) dan salinitas sedang (rataan 33.8 o/oo) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 5.11. Perubahan suhu secara vertikal ini sebagian besar dipengaruhi oleh faktor penaikan massa air (Wudianto, 2001). Pada musim peralihan I terjadi penaikkan massa air dan semakin jelas pada musim timur. Pada musim peralihan II masih terlihat sisa penaikkan massa air.
Gambar 5.11 Sebaran suhu dan salinitas kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali
Jika dihubungkan dengan keberadaan kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan, maka suhu akan menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman terutama pada musim peralihan I dan peralihan II.
Pada musim timur, kawanan
ikan lemuru cenderung menempati suhu yang relatif sempit yaitu 28.7 oC. Begitupun
dengan
salinitas.
Salinitas
akan
meningkat
seiring
dengan
bertambahnya kedalaman terutama pada musim peralihan I dan peralihan II. Pada musim timur, kawanan ikan lemuru cenderung menempati salinitas yang relatif sempit yaitu 34.1 o/oo (Gambar 5.12). (6). Densitas kawanan ikan lemuru Densitas volume dihitung berdasarkan nilai rata-rata Sv dengan rata-rata TS-nya pada setiap trace kawanan. Pada musim peralihan I dan II, kawanan ikan lemuru mempunyai densitas rendah dengan rata-rata densitas 0.05 dan 0.09 ikan/m3.
Pada musim timur, densitas rata-ratanya adalah 0.67 ikan/m3.
Bila
diamati lebih lanjut, pada musim timur terdapat 2 kelompok densitas yaitu kawanan ikan yang memiliki densitas sedang dengan nilai kurang dari 0.5 ikan/m3 dan densitas padat dengan nilai diatas 1 ikan/m3 (Gambar 5.13).
Peralihan I
Musim timur
Peralihan II
Gambar 5.12 Sebaran suhu dan salinitas kawanan lemuru terhadap kedalaman di Perairan Selat Bali 4.0
Peralihan I
Musim Timur
Peralihan II
3.5
Densitas (ikan/m3)
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Kaw anan ikan lemuru
Gambar 5.13 Densitas kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali Penyebaran ikan secara horisontal dapat dilihat pada Gambar 5.14 – 5.16. Kawanan ikan lemuru pada musim peralihan I (musim paceklik) umumnya berada pada kedalaman lebih dari 200 m di perairan Jawa/Selat Bali bagian barat dan pada kedalaman kurang dari 100 m di perairan Bali/ Selat Bali bagian timur. Ratarata densitas kawanan ikan lemuru adalah 0.05 ikan/m3 seperti pada Gambar 5.14.
Penyebaran ikan pada musim paceklik ini terkait dengan suhu dimana
terjadi penaikan suhu sehingga kawanan ikan mencari kisaran suhu yang sesuai yaitu menuju perairan dalam namun tetap berada di atas termoklin. L I N T A N G S E L A T A
80
LAUT BALI
8012’
Pengambengan 8024’
8036’
8048’
20 m
Tabanan
gs ratu
Muncar 20 m
Badung
Gambar 5.14 Densitas horizontal kawanan ikan lemuru pada peralihan I Kawanan ikan lemuru pada musim timur umumnya menyebar di sekitar perairan pantai Bali yaitu di sepanjang Badung menuju Tabanan pada kedalaman kurang dari 200 m. Di perairan Jawa kawanan ikan lemuru masih berada pada kedalaman lebih dari 200 m. Densitas kawanan ikan lemuru berkisar antara 0-3.5 ikan/m3 seperti pada Gambar 5.15. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa densitas kawanan ikan lemuru relatif sedang sampai padat. Kawanan ikan lemuru yang terkonsentrasi di perairan sekitar Badung memiliki densitas padat. Kawanan ikan lemuru di perairan Jawa dan perairan Tabanan Bali memiliki densitas rendah. Kawanan ikan pada musim peralihan II (musim ikan) umumnya menuju perairan yang terlindung di Selat Bali yaitu di sepanjang perairan dangkal di Badung terus ke Tabanan menuju Pengambengan. Di perairan Jawa, kawanan ikan lemuru mulai menuju perairan dangkal dekat pantai. Densitas kawanan ikan lemuru berkisar antara 0.01-0.5 ikan/m3 seperti pada Gambar 5.16.
Gambar
tersebut memperlihatkan bahwa densitas kawanan ikan lemuru relatif sedang. Kawanan ikan di perairan Badung dan Tabanan memilki densitas sedang sementara di perairan pengambengan kawanan ikan memiliki densitas jarang. L I N T A N G S E L A T A N
80
LAUT BALI
8012’
Pengambengan 8024’
8036’
20 m
Tabanan
gs ratu
Muncar 20 m
8048’
Badung
200 m SAMUDERA INDONESIA 114024’
114036’
114048’
1150
114012’
BUJUR TIMUR Keterangan :
3
= 0 – 0.01 ikan/m
3
= 0.5 –1 ikan/m3
3
Gambar 5.15 Densitas horizontal kawanan ikan lemuru pada musim timur L I N T A N G S E L A T A N
80
LAUT BALI
8012’
Pengambengan 0
8 24’
8036’
8048’
20 m
Tabanan
gs ratu
Muncar 20 m
Badung
200 m SAMUDERA INDONESIA 114024’
114036’
114048’
1150
114012’
BUJUR TIMUR 3 3 Keterangan : =0– 0.01 ikan/m = 0.5 –1 ikan/m Gambar 5.16 Densitas horizontal kawanan ikan lemuru pada peralihan II 3 = 0.01 –0.1 ikan/m = 1-2.5 ikan/m3 Pergerakan kawanan ikan lemuru3 berdasarkan Gambar 5.14-5.16 = 0.1 – 0.5 ikan/m = > 2.5 ikan/m3 nampaknya dapat dikelompokkan menjadi 2 arah pergerakan yaitu pergerakan
kawanan ikan lemuru dari perairan Bali menuju perairan terlindung dan pergerakan kawanan ikan lemuru dari perairan Jawa menuju perairan terlindung. Pergerakan kawanan ikan lemuru dari perairan Bali pada peralihan I dimulai dari perairan kurang dari 100 m di perairan Tabanan.
Kawanan ikan
lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan protolan. Pada musim timur, kawanan ikan lemuru menuju perairan dangkal dekat pantai mulai dari perairan Badung sampai Tabanan. Kawanan ikan lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan campuran antara lemuru dan sempenit. Pada peralihan II, kawanan ikan lemuru sudah bergerak menuju perairan terlindung yaitu dari perairan Badung, menuju Tabanan sampai Pengambengan. Kawanan ikan lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan protolan dan sempenit. Pergerakan kawanan ikan lemuru dari perairan Jawa pada peralihan I dimulai dari perairan dalam (lebih dari 200m). Kawanan ikan lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan protolan. Pada musim timur, kawanan ikan lemuru
masih berada di perairan dalam. Kawanan ikan lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan lemuru. Pada peralihan II, kawanan ikan lemuru mulai bergerak dari perairan Muncar menuju perairan terlindung. Kawanan ikan lemuru pada musim ini didominasi oleh kawanan sempenit.
5.5 Pembahasan 5.5.1
Klasifikasi kawanan ikan lemuru Ikan lemuru sebagai ikan pelagis kecil mempunyai sifat senang
bergerombol.
Tujuan ikan bergerombol adalah untuk memudahkan mencari
makan, menghindar dari serangan predator dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai (Pitcher & Parrish, 1986). Berdasarkan hasil analisis gerombol, kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan menjadi 4(empat) kelas ukuran ikan, yaitu kelompok kawanan lemuru (30%), kawanan protolan (32%), kawanan sempenit (18%) dan kawanan campuran (20%). Hasil analisis diskriminan memaparkan bahwa seluruh variabel (deskriptor akustik dan data tambahan) berpengaruh terhadap pembentukan kelas kawanan ikan lemuru kecuali variabel tinggi. Hal ini mungkin disebabkan kisaran tinggi kawanan ikan lemuru relatif sama. Wudianto (2001) menyatakan bahwa tinggi gerombolan ikan lemuru tidak berbeda nyata bagi kedua
pengamatan
(September, 1998 dan Mei, 1999). Nilai koefisien pada Tabel 5.4 menjelaskan fungsi dari klasifikasi kelompok kawanan ikan lemuru. Secara lebih jelas dinotasikan sebagai berikut: F(Lemuru) = -3.501MD - 9.42RA - 0.173Pj + 73.63Suh +1251.996Sal + 0.037D F(Campur) = -3.47MD - 8.968RA - 0.175Pj + 72.99Suh +1247.888Sal + 0.043D F(Sempenit) =-3.083MD - 8.521RA - 0.146Pj + 68.212Suh +1215.2Sal + 0.036D F(Protolan) = -3.297MD - 8.831RA - 0.162Pj + 70.87Suh +1212.44Sal + 0.035D Nilai deskriptor dari kawanan ikan lemuru yang dimasukkan ke dalam salah satu fungsi tersebut akan memperoleh kisaran nilai 0-1.
Nilai yang
cenderung bernilai 1 (satu) dapat dimasukkan ke dalam kelompok kawanan lemuru x dan nilai yang cenderung bernilai 0 (nol) dapat dimasukkan ke dalam salah satu fungsi lainnya. Berdasarkan hasil analisis gerombol dan diplotkan dengan musim, kawanan ikan lemuru juga dapat diklasifikasikan menjadi 3(tiga) kategori yaitu musim peralihan I didominasi oleh kawanan protolan, musim timur didominasi oleh kawanan lemuru (57.7%) dan campuran (38.5%) sedang musim peralihan II didominasi kawanan sempenit (67%) dan protolan (33%).
Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil pengamatan Dwiponggo (1982) menyatakan bahwa pada bulan September yaitu permulaan dari musim ikan, ’lemuru’ kecil atau ’semenit’ telah mulai nampak di bagian Utara dari Selat.
Begitupun dengan Wudianto
(2001) yang mengemukakan bahwa pada peralihan I, ikan lemuru memiliki ukuran yang lebih besar antara 12-20 cm dan pada peralihan II, ikan lemuru memiliki ukuran yang masih kecil (sempenit). Hasil
klasifikasi menunjukkan
bahwa
98% [([9+16+15+9]/50)x100]
kawanan ikan lemuru yang diteliti dapat diklasifikasikan dengan benar, sedang sisanya mengalami salah klasifikasi. Kawanan ikan lemuru yang diklasifikasikan dengan benar menunjukkan bahwa kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran ikan menggunakan deskriptor akustik dan data tambahan. Faktor internal pembentukan kawanan ikan lemuru Pada musim peralihan I, kawanan ikan lemuru berbentuk oval tebal dengan luasan sedang. Menjelang musim timur, bentuk kawanan ikan mengecil (luasan sempit) yakni oval lonjong dan pada musim peralihan II, bentuk kawanan ikan lemuru melebar berbentuk oval pipih dan oval tebal dengan area yang besar. Fenomena diatas sesuai dengan hasil pengamatan kawanan ikan sardine di Jepang yang sangat tergantung musim. Pada musim dingin (posisi termoklin agak dalam), kawanan ikan sardine menjadi menebal ke bawah, sebaliknya pada musim panas (posisi termoklin lebih dangkal) kawanan ikan menjadi melebar dan pipih (Inagake & Hirano, 1983). Kejadian ini dapat uraikan sebagai berikut: pada perairan tropis, saat terjadi penaikan massa air (peralihan I dan musim timur), kawanan ikan lemuru membentuk small school sebagai strategi mengatasi kisaran suhu yang sempit dan saat penaikan massa air tinggal sisa-sisa (peralihan II), kawanan ikan lemuru membentuk large school sebagai upaya mengatasi kisaran suhu yang relatif dingin. Rata-rata panjang kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali adalah 454 m. Rata-rata panjang kawanan ikan pada Peralihan II mencapai 1147 m dan ratarata panjang kawanan ikan pada musim timur hanya 154 m. Sebagai pembanding kawanan ikan herring di Gratangan Fjord Norwegia mencapai panjang 5.5 km (Maclennan & Simmonds, 1992). Berdasarkan hasil pengamatan dengan teknik hidroakustik menunjukkan bahwa pada musim peralihan I (30 April - 1 Mei tahun 1999), kawanan ikan lemuru (protolan) berada di lapisan dasar perairan pada kedalaman 80 m dan
terkonsentrasi di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal (perairan Bali) diduga untuk melakukan pemijahan. Kawanan protolan merupakan lemuru dengan ukuran sedang (11-15 cm) memiliki bentuk dan ukuran sedang (elongasi 54 dan area 1844 m2). Protolan merupakan ikan remaja dari ikan lemuru. Pada masa ini, kawanan ikan mulai membentuk diri, mencari pasangan dan awal matang gonad.
Penelitian ini memperkuat hasil penelitian Merta (1992) yang
menduga pada bulan Mei-Juli ikan lemuru melakukan pemijahan dan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang sesuai, ikan lemuru beruaya ke perairan yang agak dalam. Panjang ikan lemuru pada kematangan gonadnya yang pertama rata-rata 18.04 cm. Mendekati musim timur (17-18 Agustus tahun 2000), kawanan campur (lemuru dan sempenit) menuju perairan dangkal yaitu di perairan Badung dan perairan Tabanan-Bali untuk mencari makan (pada musim ini kelimpahan plankton cukup tinggi). Kawanan campuran ini berada di pertengahan kolom perairan pada kedalaman 20 m. Kawanan lemuru berada di perairan dalam (perairan Jawa). Kawanan lemuru berada di lapisan dasar perairan pada kedalaman 50 m (umumnya lemuru dewasa).
Kawanan lemuru ini diduga akan melakukan
pemijahan sesuai dengan hasil penelitian Merta (1992) yang menyatakan bahwa ikan lemuru di Selat Bali mempunyai musim pemijahan yang panjang, diperkirakan mulai bulan Mei dan puncaknya bulan Juli, dan memanjang sampai bulan Agustus atau September. Kawanan lemuru dewasa lebih banyak membentuk kawanan kecil (elongasi 21 dan area 763 m2), Hal ini berhubungan dengan tingkah laku dan hubungan memijah dalam kelompok. Namun jika kawanan lemuru ini bercampur, cenderung membentuk kawanan yang lebih kecil lagi (elongasi 12 dan area 647 m2). Hal ini berhubungan dengan ketersediaan makanan. Pada musim timur tersedia makan melimpah (plankton) sehingga kawanan ikan lemuru dengan berbagai ukuran berkumpul untuk mencari makan. Pada peralihan II (11-12 September tahun 1998), kawanan ikan lemuru bergerak menuju perairan dangkal yang terlindung (perairan Badung, Tabanan, Pengambengan dan Muncar) untuk pembesaran. Kawanan sempenit ini berada di dekat dasar perairan pada kedalaman 100 m dan sisanya (protolan) berada di pertengahan kolom perairan pada kedalaman 40 m. Kawanan sempenit merupakan ikan lemuru dengan ukuran paling kecil (kurang dari 11 cm) namun membentuk kawanan dengan bentuk dan ukuran yang paling besar (elongasi 170 dan area 5161 m2). Hal ini merupakan taktik sempenit
menghindar dari serangan predator.
Ukuran kecil merupakan mangsa yang
empuk bagi predator sehingga besarnya ukuran dan bentuk kawanan diperlukan untuk pertahanan diri. Energi akustik mempengaruhi densitas kawanan.
Kawanan lemuru
(musim timur) memiliki energi akustik sedang maka densitasnya sedang. Kawanan sempenit memiliki energi akustik yang lemah maka densitasnya pun rendah.
Kawanan protolan (musim peralihan I dan II) memiliki energi akustik
lemah sampai sedang maka densitasnya pun sama. Hal yang menarik justru diperoleh saat kawanan ikan lemuru tersebut bercampur. Energi akustiknya jauh lebih kuat dibandingkan kawanan yang tidak bercampur dan densitasnya mengikuti energi akustik yang dipantulkannya. Faktor eksternal pembentukan kawanan ikan lemuru Ikan lemuru akan membentuk kawanan di lapisan dasar perairan pada siang hari, begitu menjelang malam hari ikan lemuru akan berpencar menuju permukaan perairan dan tidak membentuk kawanan. Pada kondisi seperti ini ikan lemuru sukar untuk dideteksi bentuk kawanannya seperti yang dikemukakan Laevastu & Hayes (1982) yakni ikan pelagis biasanya bergerak ke dekat permukaan saat menjelang malam hari dan menuju perairan yang agak dalam menjelang siang. Barange & Hampton (1997) menyatakan bahwa jenis ikan anchovy dan pilchard yang tergolong kelompok clupeid membentuk kawanan padat pada waktu siang hari. Hal ini diperkuat Coetzee, 2000 menyatakan bahwa kawanan sardine dapat dibedakan bentuk kawanannya pada siang hari dan cenderung menyebar di lapisan-lapisan permukaan pada malam hari sehingga sulit untuk dideteksi bentuk kawanannya. Ikan lemuru merupakan jenis ikan pelagis yang sering melakukan migrasi dalam bentuk kawanan sehingga dalam siklus hidupnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Suhu dan salinitas berperan sebagai faktor pembatas dalam
kehidupannya. Pada saat terjadi perubahan suhu dan salinitas maka kawanan ikan lemuru akan mencari kisaran suhu dan salinitas yang sesuai. Toleransi suhu bagi kawanan ikan lemuru
adalah 16-29oC, dengan jarak toleransi mencapai
13oC. Musim peralihan I (musim kemarau) dimana kisaran suhu cukup tinggi maka kawanan ikan lemuru cenderung menuju ke perairan yang lebih dalam. Pada musim ini terjadi penaikan massa air yang cukup tinggi sehingga suhu dan salinitas optimum bagi kawanan lemuru pada saat tersebut adalah 27.8oC dan 33.1o/oo. Pada musim timur, kenaikan massa air semakin jelas sehingga kawanan lemuru menempati kisaran suhu dan salinitas yang relatif sempit yaitu 28.7oC dan
34.1o/oo. Pada peralihan II, hanya tinggal sisa-sisa penaikan massa air sehingga kawanan lemuru menempati kisaran suhu dan salinitas relatif longgar yaitu 2127oC dan 33.7o/oo. Suhu merupakan faktor penting bagi ikan lemuru. Kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali cenderung melakukan pemijahan ataupun mencari makan pada kisaran suhu 28-29 oC dan mencari daerah terlindung untuk pembesaran pada kisaran suhu 21-27 oC. Kawanan lemuru umumnya berada pada suhu 29 oC, kawanan protolan memiliki kisaran suhu optimum 27-28 oC dan kawanan sempenit memiliki suhu optimum 21 oC. Kepadatan kawanan ikan lemuru terkait dengan kelimpahan plankton (musim timur).
Berdasarkan hal tersebut maka, suhu
berpengaruh secara langsung terhadap aktifitas dan siklus hidup kawanan ikan lemuru dan berpengaruh tidak langsung pada kepadatan kawanan ikan lemuru. Fenomena diatas agak berbeda dengan hasil pengamatan Wudianto (2001) yang menunjukkan bahwa meningkatnya kelimpahan ikan lemuru seiring dengan menurunnya nilai suhu dan meningkatnya kelimpahan fitoplankton.
Kejadian
diatas dimungkinkan karena suhu pada penelitian ini adalah kisaran suhu kawanan ikan lemuru bukan kisaran suhu perairan secara vertikal ataupun horisontal. 5.5.2 Karakteristik kawanan ikan lemuru Hasil pengamatan dengan teknik hidroakustik menunjukkan bahwa karakteristik kawanan ikan lemuru ternyata bervariasi pada ketiga musim pengamatan seperti disajikan pada Gambar 5.17. Musim peralihan I (30 April - 1 Mei tahun 1999) adalah musim paceklik yang merupakan masa peralihan antara musim barat dan musim timur. Karakteristik kawanan ikan lemuru pada peralihan I adalah sebagai berikut: kawanan lemuru berukuran 11-15 cm (kawanan protolan) berbentuk oval tebal dengan area yang sedang, kawanan ikan berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 50-100m dari permukaan laut, suhu optimum bagi kawanan ikan adalah 27oC, kepadatannya rendah/ jarang, membentuk kawanan pada siang hari, dapat ditemui di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal (perairan Bali). Kawanan ikan lemuru yang mendominasi musim timur (17-18 Agustus tahun 2000) adalah kawanan lemuru dan kawanan campuran.
Karakteristik
kawanan lemuru adalah sebagai berikut: kawanan ikan berukuran lebih dari 15 cm (kawanan lemuru) berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit, umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 10-75m dari
permukaan laut, suhu optimum bagi kawanan ikan adalah 29oC, kepadatannya sedang, membentuk kawanan pada pagi sampai siang hari, sebagian dapat ditemui di perairan dalam yaitu di perairan Jawa dan lainnya menuju perairan dangkal di perairan Tabanan-Bali. Sedangkan karakteristik kawanan campuran adalah sebagai berikut: kawanan ikan bercampur antara lemuru, protolan maupun sempenit. Kawanan berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit, kawanan berada pada pertengahan kolom perairan dengan kedalaman sekitar 10-30m dari permukaan laut, suhu optimum bagi kawanan ikan adalah 29oC, kepadatannya tinggi, membentuk kawanan yang kompak pada siang hari, terkonsentrasi di perairan dangkal (perairan Badung menuju Tabanan-Bali). Musim peralihan II (masa peralihan antara musim timur dan musim barat) adalah musim panen ikan lemuru bagi nelayan setempat. Kawanan ikan yang mendominasi musim peralihan II adalah kawanan sempenit dan protolan. Karakteristik kawanan sempenit adalah sebagai berikut: kawanan ikan berukuran kurang dari 11 cm, berbentuk oval pipih dengan area yang paling luas, kawanan berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 50-100m dari permukaan laut, suhu optimum bagi kawanan ikan adalah 21oC, kepadatannya rendah, membentuk kawanan secara kompak sepanjang hari, sebagian dapat ditemui di perairan Jawa dan sebagian lainnya menuju perairan dangkal di daerah Pengambengan-Bali.
Adapun kawanan protolan berbentuk oval tebal dengan
area yang sedang, kawanan berada di tengah kolom perairan dengan kedalaman sekitar 30-50m dari permukaan laut, suhu optimum bagi kawanan ikan adalah 27oC, kepadatannya sedang, membentuk kawanan pada sore sampai malam hari, terkonsentrasi di perairan Badung menuju perairan Tabanan. Peralihan I
Musim Timur
Peralihan II
Permukaan air Campur 48%
83% 50m
62 % Protolan
82% Lemuru
73%
Protolan Sempenit
100m
Dasar perairan
150m
Deskripsi o
Suhu ( C) o Salinitas ( /oo) Waktu Elongasi 3 Area (m ) Energi (-dB) 3 Densitas (ikan/m )
Peralihan I Protolan 27.8 33.1 Siang 41 1136 (-61.4) 0.05
Musim Timur Lemuru Campur 28.6 28.8 34.2 34.1 Pagi-siang Siang 20.5 11.7 763 647 (-57.4) (-46.1) 0.16 1.5
Peralihan II Protolan Sempenit 26.9 21.2 33.6 33.8 Sore-malam Pagi-malam 67.5 169.8 2552 5161 (-56.1) (-59.6) 0.13 0.075
Gambar 5.17 Karakteristik kawanan ikan lemuru di Perairan Selat Bali Berdasarkan karakteristik kawanan ikan lemuru, maka dapat diperkirakan lokasi dan waktu penangkapan lemuru secara efektif dan efisien namun perlu diperhatikan pengalokasian lemuru untuk kelestariannya. Arah pergerakan kawanan ikan lemuru di perairan Bali dan perairan Jawa, nampaknya terjadi perbedaan waktu pertumbuhan. Hal ini terlihat dari ukuran tubuh ikan lemuru. Di perairan Jawa pada peralihan I (akhir bulan April), kawanan ikan yang mendominasi adalah protolan.
Pada musim timur (bulan Agustus),
kawanan ikan yang mendominasi adalah lemuru.
Pada peralihan II (bulan
September), kawanan ikan yang mendominasi adalah sempenit. Di perairan Bali pada peralihan I, kawanan ikan yang mendominasi adalah protolan. Pada musim timur, kawanan ikan yang mendominasi adalah campuran (lemuru dan sempenit). Pada peralihan II, kawanan ikan yang mendominasi adalah sempenit dan protolan. Bila dibandingkan kawanan ikan lemuru di perairan Jawa dan Bali maka kawanan ikan lemuru di perairan Bali lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan kawanan ikan lemuru di perairan Jawa.
5.6 Kesimpulan Deskriptor akustik dapat dijadikan dasar dalam klasifikasi spesies kawanan ikan lemuru. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis gerombol bahwa kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran ikan dan musim yakni: pada musim peralihan I didominasi kawanan protolan, musim timur didominasi kawanan lemuru dan campuran dan musim peralihan II didominasi kawanan sempenit dan protolan. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa seluruh deskriptor akustik merupakan faktor penentu dalam pembuatan kelas kawanan lemuru, kecuali variabel tinggi. Analisis ini juga menunjukkan bahwa data tambahan (suhu dan salinitas) berpengaruh terhadap klasifikasi kawanan ikan lemuru. Hasil klasifikasi
menunjukkan bahwa 98% kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali dapat diklasifikasikan dengan benar berdasarkan ukuran ikan. Karakteristik kawanan ikan lemuru pada peralihan I adalah sebagai berikut: kawanan lemuru berukuran 11-15 cm, berbentuk oval tebal dengan area yang sedang. Kawanan ikan berada pada lapisan dasar dengan kedalaman sekitar 80 m. Berdensitas rendah dan membentuk kawanan pada siang hari dengan suhu 27oC. Kawanan ikan berada di perairan Jawa dan Bali diduga untuk melakukan pemijahan. Karakteristik kawanan ikan lemuru pada musim timur adalah sebagai berikut: kawanan ikan lemuru didominasi oleh kawanan lemuru dan campuran. Kawanan lemuru berukuran lebih dari 15 cm berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Kawanan ikan berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 50 m. Berdensitas sedang dan membentuk kawanan pada pagi sampai siang hari dengan suhu 29oC. Kawanan ini terkonsentrasi di perairan dalam (perairan Jawa). Adapun karakteristik kawanan campuran adalah sebagai berikut:
kawanan ikan bercampur antara lemuru dan sempenit.
Kawanan
berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Kawanan ikan berada pada pertengahan kolom perairan dengan kedalaman sekitar 20 m. Berdensitas tinggi dan membentuk kawanan yang kompak pada siang hari dengan suhu 29oC. Kawanan ini terkonsentrasi di perairan dangkal (perairan Badung dan Tabanan) menuju perairan terlindung. Kawanan ikan yang mendominasi musim peralihan II adalah kawanan sempenit dan protolan. Karakteristik kawanan sempenit adalah sebagai berikut: kawanan ikan berukuran kurang dari 11 cm, berbentuk oval pipih dengan area yang paling luas.
Kawanan ikan berada pada lapisan dasar perairan dengan
kedalaman sekitar 100 m. Berdensitas rendah dan membentuk kawanan secara kompak sepanjang hari dengan suhu 21oC. Kawanan ini berada di perairan Jawa dan di perairan Bali, sedangkan kawanan protolan berbentuk oval tebal dengan area yang sedang.
Kawanan ikan berada di tengah kolom perairan dengan
kedalaman sekitar 40m. Berdensitas sedang dan membentuk kawanan pada sore sampai malam hari pada suhu 27oC. Pergerakan kawanan ini dimulai dari perairan Badung menuju Tabanan untuk mencari daerah terlindung.
Pustaka
Bahri, T., and Freon, P. 2000. Spatial structure of coastal pelagic schools descriptors in the Mediterranean Sea. Fisheries Research, 48: 157-166. Barange, M., and Hampton, I. 1997. Spatial structure of co-occuring anchovy and sardine population from acoustic data implication for surveys design. Fisheries oceanography, 6(2): 94-108. Coetzee, J. 2000. Use of a shoal analysis and patch estimation system (SHAPES) to characterise sardine schools. Aquatic Living Resources, Vol 13 (1):1-10. Dwiponggo, A., dan Subani, W. 1971. Masalah perikanan lemuru dan bagan di Selat Bali. LPP 1/7. Laporan Penelitian Perikanan Laut, (1): 92-122. Iida, K., Mukai, T., and Hwang, D.J. 1999. Target strength measurement of live fish using a net cage. Proceeding of the 3rd JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali Island-Indonesia. Inagake, D., and Hirano, T. 1983. Vertical distribution of the japanese sardine in relation to temperature and thermocline at the purse seine fishing grounds east of Japan. Bulletin Japan Society Fisheries, 49(10): 1533-1539. Johnson, R.A., and Wichern, D.W. 1998. Applied multivariate statistical analysis, 4th edition. New Jersey: Prentice-Hal. Laevastu, T., and Hayes, M.L. 1982. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England. 199p. Lagler, K.F., Bardach, J.E., and Muller, R.R. 1962. Ichtiology. John Wiley and Sons, Inc. New York. London. 432-433. Lawson, G.L., Barange, M., and Freon, P. 2001. Species identification of pelagic fish schools on the South African continental shelf using acoustic descriptors and ancillary information. ICES Journal of Marine Science, 58:275-287. LeFeuvre, Rose, G.A., Gosine, R., Hale, R., Pearson, W., and Khan, R. 2000. Acoustics species identification in the Northwest Atlantic using digital image processing. University Newfoundland Canada.14p. Ludwig, A.L., and Reynolds, J.F. 1988. Statistical ecology: A primer on methods and computing. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru Sardinella lemuru bleeker, 1853 di perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya. Disertasi (tidak dipublikasikan) Program Pascasarjana IPB. Bogor. Xvr + 201 hal. Pitcher, T.J., and Parrish, J.K. 1983. Behavior of teleost fishes, 2nd Edition. Chapman & Hall, London. 295-337.
Richards, L.J., Kieser, R., Timothy, J.M., and Candy, J.R. 1991. Classification of fish assemblages based on echo integration surveys. Canadian Journal Fish Aquatics Science, Vol. 48: 1264-1272. Rose, G.A., and Leggett, W.C. 1988. Hydroacoustic signal classification of fish school by species. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 45: 597-604. Siswadi dan Suharjo, B. 1999. Analisis eksplorasi data peubah ganda. Jurusan Matematika dan FMIPA-IPB. Bogor. 87 hal. Wudianto. 2001. Analisis sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sarinella lemuru Bleeker,1853) di perairan Selat Bali; kaitannya dengan optimasi penangkapan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
6 STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN 6.1
Pendahuluan Keanekaragaman
(heterogenity)
lingkungan
abiotik
memungkinkan
berkumpulnya ikan di daerah yang sesuai, dan ruang hidup ikan ditentukan berdasarkan pola pergerakannya yang terkait dengan kehadiran ikan lainnya. Reaksi individu ikan terhadap keberadaan ikan lainnya akan membentuk formasi kawanan atau menempati daerah tertentu. Fungsi kawanan menurut Pitcher & Parrish (1983) yakni sebagai tempat ikan berlindung di dalam interaksi jaringan yang kompleks.
Spesies yang hidup berdampingan akan mengarah pada
perubahan bentuk dan tingkah laku baik sebagian maupun seluruhnya (Wooton, 1990 diacu dalam Masse et al., 1996). Struktur kawanan ikan menggambarkan geometri, densitas dan posisi kawanan dalam kolom perairan sehingga struktur tersebut dipahami sebagai perubahan bentuk kawanan dalam kolom air yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Perubahan struktur kawanan dipengaruhi oleh faktor internal (yaitu kondisi ikan dalam kawanan itu sendiri seperti adanya dua atau lebih spesies dan tingkat kematangan gonad) dan faktor eksternal. Faktor ekternal dibagi dua yaitu: faktor eksternal yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu, intensitas cahaya, ketersediaan mangsa), dan stimuli eksternal yaitu stimuli visual atau gangguan yang datang dari predator alami atau dari kapal (Freon et al., 1992). Ciri-ciri struktur kawanan menurut Bahri & Freon (2000) meliputi beberapa faktor yaitu: (1) diurnal cycle, secara umum faktor ini menyebabkan munculnya kawanan ikan ke permukaan diikuti dengan menyebarnya ikan saat tenggelam. Variabilitas tingkah laku tinggi karena adanya variasi in situ intensitas cahaya dan tingkah laku mencari makan; (2) status fisiologi dan aktivitas individu seperti reproduksi, mencari makan dan berburu yang berimplikasi pada terbentuknya individu secara berbeda-beda; (3) interaksi antar spesies. Kehadiran spesies lain mempengaruhi tingkah laku, bentuk dan posisi kawanan selama bersaing atau adanya hubungan antara predator dan mangsanya; (4) adanya unsur yang mengganggu/merusak,
seperti
kapal
yang
datang menyebabkan
reaksi
menghindar yang mungkin mengubah bentuk dan posisi kawanan; (5) kondisi
lingkungan, diketahui berpengaruh paling tidak pada posisi vertikal kawanan, khususnya kehadiran termoklin yang jelas. Pada bab ini pokok bahasan ditujukan untuk menganalisis struktur kawanan ikan lemuru menggunakan deskriptor akustik. Hipotesis yang diajukan adalah: (1) Deskriptor akustik dapat dijadikan dasar untuk analisis struktur kawanan ikan lemuru; (2) Perubahan struktur kawanan ikan lemuru dalam kolom perairan dapat diketahui berdasarkan musim dan ukuran ikan. Manfaat analisis struktur kawanan ini adalah sebagai langkah awal untuk (1) mengkaji pengaruh faktor lingkungan terhadap struktur kawanan ikan dan (2) mengkaji pemanfaatan data akustik berdasarkan kawanan atau agregasi ikan bukan individu ikan.
6.2 Metode Penelitian Berdasarkan hasil klasifikasi kawanan ikan lemuru diketahui bahwa karakteristik kawanan lemuru dapat dikelompokkan menurut musim dan ukuran ikan (lihat Bab 4 dan 5). Pada penentuan struktur kawanan ikan lemuru diperlukan juga deskriptor akustik sebagai dasar pengukuran. Dasar pengambilan deskriptor akustik telah diulas pada Bab 3 (Metodologi Penelitian). Tahapan perhitungan deskriptor dapat dilihat pada Tabel 6.1. Setelah diperoleh deskriptor akustik yang sesuai, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa kawanan lemuru di perairan Selat Bali memiliki struktur atau tidak. Adapun cara atau kuantifikasi struktur tersebut dilakukan dengan teknik variogram. Metode skoring digunakan untuk membuat peringkat struktur pada variabel deskriptor akustik menjadi 3 kategori, yakni terstruktur (bernilai 3), struktur lemah (bernilai 2) dan tanpa struktur (bernilai 1) pada seluruh musim. Disamping teknik variogram, dibuat pula sebaran energi akustik berdasarkan ukuran ikan dan waktu harian, yakni memplotkan energi akustik kawanan ikan lemuru dari yang terendah sampai yang tertinggi dihubungkan dengan batimetrik dan morfometrik.
Sebaran energi akustik ini
berguna untuk melihat sebaran jejak gema dalam satu kawanan dan distribusi vertikalnya. Secara lebih jelas tertera pada Gambar 6.1. Selanjutnya mengkaji perubahan struktur kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali berdasarkan musim dan ukuran ikan (body length). Analisis struktur kawanan ikan lemuru akan menunjang atau memperkuat hasil klasifikasi berupa karakteristik kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Fenomena pembentukan kawanan ikan lemuru juga diulas berdasarkan geometri fraktal. Kusumayudha (2004) menyatakan bahwa keterbatasan manusia dalam memahami kompleksitas alam, telah menyebabkan manusia kemudian
memecah suatu sistem menjadi subsistem-subsistem kecil (fraction) yang lebih mudah dipelajari. Sebenarnya di dalam kerumitan terdapat suatu kesederhanaan, dan di dalam kekacauan terdapat suatu keberaturan. Ciri-ciri yang biasanya dijumpai pada bangun fraktal, adalah bahwa bagian terkecil dari benda itu merupakan cerminan bentuk keseluruhannya (the part is reminiscent of the whole). Dengan kata lain, bahwa di dalam suatu himpunan fraktal, bagian dari himpunan tersebut merupakan skala kecil dari keseluruhannya (Kusumayudha, 2004).
K l as i f i kas i
K aw an an I kan L em u r u
P en am aan i kan l em u r u
Mu s im
K ar akt er i s t i k kaw an an I kan L em u r u An al is i s S t r u kt u r
D es kr i pt or Aku s t i k - Mor fometr ik - E ner getik - B atimetr ik
An al is i s - T ek nik Var iogr am - Metode S k or ing
S ebar an en er gi aku s t ik D im en s i f r akt al
An ali s is S t r u kt u r K aw an an I kan L em u r u
Gambar 6.1 Tahapan analisis struktur kawanan ikan lemuru 6.2.1 Deskriptor Akustik
Perhitungan deskriptor akustik yang digunakan untuk analisis struktur kawanan ikan lemuru tertera pada Tabel 6.1. Adapun simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan tertera pada Tabel 6.2. Tabel 6.1 Deskriptor akustik dan formula perhitungan No
Deskriptor
A
Energetik
1
Rata-rata energi akustik, dB
2
Densitas Volume
B
Morfometrik
3
Tinggi, m
4
Panjang, m
Formula perhitungan
Perimeter
En = 10 10 1)
atau
SA Density (g .m − 3 ) = * 1000 0 .1TS / kg 2 . 1852 .∆ R ) (4π . 10
2)
Tinggi terlihat = (Vertikal akhir − Vertikal awal ) 4) Cγ 2) Tinggi nyata = Tinggiterlihat − 2 Panjangterlihat = ∑ ping.k 2) Panjang
5
Sv
E 10 log10 ∑ i 1) n
•
s el
nyata
= Panjang
t er l uar
dar i
terlihat
ϕ 4 − 2 D m tan 2 π
k awanan
i kan
2)
( menggunak an
4
neighbourhood)4) 6
Area, m2
• s el * t i nggi 1 s el * panj ang 1 s el
7 8
Elongasi Dimensi fraktal
Elongasi = Panjang/tinggi3)
C 9
10
11 12
Dimensi
P Ln 4 ∗ 2 = Ln (A )
_ fraktal
4)
3)
Batimetrik
(D i ) 1)
Rata-rata kedalaman kawanan,m
Mean _ depth =
Relative Altitude, %
R _ Altitude =
Mininum Altitude
jarak antara dasar perairan dan batas kawanan yang
Minimum Depth
jarak antara permukaan laut dan batas kawanan yang lebih atas (m) 1)
n
Min . Alt + MaxH / 2 * 100 Depth
paling rendah (m)
Keterangan : dirujuk dari 4)
∑
Lawson (2001), Fauziyah (2004).
3)
3)
3) 2)
Coetzee (2000),
3)
Bahri & Freon (2000),dan
Tabel 6.2 Simbol dan definisi yang digunakan dalam perhitungan
Simbol
Definisi
Rata-rata
Rata-rata nilai Sv adalah intensitas yang direfleksikan oleh
Energi akustik
suatu kelompok single target, dimana target berada pada volume air tertentu (m3) dengan threshold 80 dB.
TS
Target Strength digunakan untuk mengetahui ukuran ikan (satuan dB) dan modus TS digunakan untuk mengetahui nilai TS yang paling sering muncul
Densitas
Kepadatan kawanan ikan, SA adalah scattering area dan R
volume
adalah jarak kawanan dalam hal ini adalah tinggi kawanan (satuan ikan/m3).
(Vertakhir-
Vertawal adalah nilai piksel (m) pada titik awal kawanan ikan
Vertawal)
Vertakhir adalah nilai piksel (m) pada titik akhir kawanan ikan
(Cγ/2)
adalah persamaan efek panjang pulsa, dimana C adalah kecepatan sound (m/det) dan γ adalah panjang pulsa (m.det).
k
adalah faktor koreksi, yaitu jumlah meter per ping yang dihitung dari kecepatan kapal (knot) dan laju ping (ping/menit)
2Dm tan(ö/2)
efek lebar sorot (beam) (Diner,1998 diacu dalam Lawson, 2001 ) dimana Dm adalah rata-rata kedalaman kawanan dan ö adalah s udut antar trandus er dan tepi kawanan diukur s aat deteks i pertama. ö s ebagai fungs i nominal s udut s orot dan
perbedaan
antar
rata-rata
densitas
energetik
gerombolan ikan (Sv) dan processing threshold . 4/π
Faktor koreksi untuk memperkirakan panjang kawanan yang dikehendaki (Coetzee, 2000)
Area
Luas kawanan ikan
Elongasi
Rasio panjang terhadap tinggi kawanan ikan
Dimensi fraktal
Geometri bangun alam, P adalah perimeter dan A adalah area
Relative altitude
6.3 Analisis Data
posisi kawanan dalam kolom air (%)
Analisis data yang digunakan pada struktur kawanan ikan adalah teknik variogram. Variogram mengukur variabilitas rata-rata antara 2 titik x dan x+h, dimana h adalah jarak (Matheron, 1970 diacu dalam Bahri & Freon, 2000):
γ(h) = 0.5E (z(x+h) – z(x))2 .............................................................(6.1) Pada persamaan 6.1, z(x) adalah nilai deskriptor pada titik x; z (x+h) adalah nilai deskriptor pada jarak h dari x; γ(h) adalah fungsi modulus dan orientasi vektor h yang mengindikasikan perbedaan nilai yang ada karena pertambahan jarak. Klasifikasi variogram berdasarkan strukturnya dibagi menjadi 3 bagian yaitu : (1) Terstruktur: garis bertambah perlahan-lahan secara teratur sampai mendekati nilai asimtotik. Jarak yang pendek atau panjang diketahui berdasarkan survei atau deskriptor.
Model yang digunakan adalah bola (spherical) atau
eksponensial disesuaikan dengan variogram eksperimental (Gambar 6.2A); (2) Struktur lemah: model dicocokkan pada aspek variogram secara keseluruhan, tetapi dengan kualitas yang tidak bagus dan pilihan model tidak nyata. Selanjutnya variogram ini berada pada perbedaan adanya gumpalan (nugget) pada jarak yang kecil, biasanya sekitar 3 mil (Gambar 6.2B) dan; (3) Tanpa struktur: aspek yang benar-benar tidak menentu, murni acak dan garis osilasi berada di sekitar tingkat keragaman
jarak yang kecil.
klasifikasi
aspek
variogram
menampakkan
tanpa
Dalam kategori ini,
tipe
(atypical),
bentuk
kubah/lengkung, bentuk bintang atau gelombang (Gambar 6.2C).
γ
γ
γ
h
h
h
(A)
(B)
(C)
Gambar 6.2 Contoh variogram. γ adalah covariance antar densitas ikan yang diamati di jarak lokasi bagian h. (A) distribusi contagious, γ(0) 0; (B) Efek nugget, γ(0) menjadi batas; (c) distribusi acak, γ adalah bebas terhadap h (Maclennan & Simmonds, 1992).
6.4 Hasil
Data hasil perhitungan program ADA versi 2004 ditabulasikan pada Tabel 6.3 berikut ini. Tabel 6.3 Nilai rataan deskriptor akustik kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali Musim Jenis ikan lemuru Deskriptor Akustik Morfometrik Panjang (m) Tinggi (m) Area (m2) Perimeter Elongasi Dimensi Fraktal Energetik Energi (dB) Batimetrik Mean Depth (m) Rel. Altitude (%) Min depth (m) Min Altitude (m) Densitas (ikan/m3)
Timur Lemuru Rataan CV
Peralihan I, II Protolan Rataan CV
Peralihan II Sempenit Rataan CV
Timur Campuran Rataan CV
131.4 11.4 768.0 212.9 20.6 1.2
0.87 0.71 0.74 0.57 1.31 0.07
473.4 13.4 1490.0 399.2 47.6 1.3
0.45 0.54 0.93 0.67 0.63 0.07
1392.6 8.4 5161.8 703.4 169.8 1.1
0.53 0.32 0.54 1.12 0.56 0.21
104.8 11.2 647.5 160.9 11.7 1.1
0.47 0.52 0.56 0.61 0.74 0.08
-57.4
0.10
-60.1
0.07
-59.6
0.07
-46.1
0.06
55.2 0.34 70.4 0.39 105.9 0.25 18.4 0.42 22.3 0.59 26.9 0.67 45.10 0.36 62.0 0.46 100.6 0.27 5.10 0.94 9.3 0.70 34.0 0.81 0.156 1.05 0.070 0.81 0.074 0.64 15 16 8 Jumlah Kawanan (n) Keterangan: Nilai CV merefleksikan koefisien variasi dari rataan.
22.4 51.2 15.4 17.7 1.499
0.22 0.26 0.40 0.50 0.64
10
Bentuk kawanan ikan lemuru secara umum adalah oval baik oval tebal, oval pipih maupun oval lonjong (lihat bab klasifikasi).
Nilai dimensi fraktal
kawanan sempenit dan campuran adalah 1.1, kawanan lemuru adalah 1.2 dan kawanan protolan adalah 1.3. Nilai dimensi fraktal kawanan ikan lemuru berada pada selang 1.0-1.5 yang berarti kawanan ikan lemuru memiliki bentuk yang akan berulang ke dalam bentuk yang sama (Tabel 6.3). Kawanan lemuru kecil ’sempenit’ dan lemuru sedang ’protolan’ memiliki rata-rata energi akustik yang lemah yaitu -59.6 dB dan -60.1 dB, kawanan lemuru memiliki rata-rata energi akustik sedang yaitu -57.4 dB dan kawanan campur memiliki rata-rata energi akustik kuat yaitu -46.1 dB. Jika dihubungkan dengan densitas kawanan maka, kawanan sempenit dan protolan memiliki densitas rendah, kawanan lemuru memiliki densitas sedang dan kawanan campur memiliki densitas padat sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin kuat energi akustik sejalan dengan makin padatnya densitas kawanan. Hal ini berarti energi akustik merefleksikan densitas kawanan ikan. Gambar 6.3 memperlihatkan bahwa kawanan sempenit memiliki area dan elongasi yang paling besar namun energi akustiknya rendah. Kawanan campuran
dan lemuru sama-sama memiliki elongasi dan area yang sempit namun energi akustiknya berbeda jauh, kawanan lemuru memiliki energi akustik sedang sementara kawanan campuran memiliki energi akustik kuat. Sebaran energi akustik kawanan ikan lemuru pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kuat lemahnya energi akustik sulit ditentukan apakah dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran kawanan ikan maupun posisinya dalam kolom perairan. Ikan lemuru membentuk kawanan pada pagi sampai siang hari pada seluruh musim kecuali musim peralihan II (Gambar 6.3). Posisi kawanan lemuru dalam kolom air berada dekat dasar perairan (kedalaman dasar perairan maksimum 100m) yaitu di kedalaman rata-rata 55 m dari permukaan air.
Posisi
kawanan campuran dalam kolom air berada dekat permukaan sampai pertengahan kolom air (kedalaman dasar perairan maksimum 60m) yaitu di kedalaman rata-rata 22 m dari permukaan air. Posisi kawanan protolan dalam kolom air berada dekat dasar perairan (kedalaman dasar perairan maksimum 125m) yaitu di kedalaman rata-rata 81 m dari permukaan air (pada peralihan I), sedang pada peralihan II kawanan protolan berada pada seluruh kolom perairan. Kawanan sempenit pada kedalaman 150 m berada dekat dasar perairan, sementara pada kedalaman lebih dari 150 m berada dekat permukaan sampai pertengahan kolom air. 6.4.1 Klasifikasi variogram Variogram diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan kualitas strukturnya dan dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Variogram terstruktur berarti
deskriptor akustik berperan dalam menentukan perubahan struktur kawanan ikan. Variogram struktur lemah berarti deskriptor akustik sedikit berperan dalam menentukan perubahan struktur kawanan ikan dan variogram tanpa struktur (struktur acak) berarti deskriptor akustik tidak berperan dalam menentukan perubahan struktur kawanan ikan. Berdasarkan hasil skoring klasifikasi variogram (Tabel 6.4), sebagian besar (60%) variogram dapat dikategorikan memiliki struktur dan struktur lemah, sedangkan sisanya (40%) tanpa struktur (struktur acak). Hal ini berarti, deskriptor akustik yang berperan dalam mengkaji struktur kawanan ikan lemuru sebesar 60%.
Variabel-variabel deskriptor akustik tersebut adalah panjang, tinggi,
Kedal aman (m)
minimum depth dan minimum altitude.
Dasar perairan
(a) kawanan lemuru
(b) kawanan campuran
(c ) kawanan protolan
(d ) kawanan sempenit Keterangan :
pagi
siang
sore
malam
Gambar 6.3 Sebaran energi akustik dan waktu harian kawanan ikan lemuru Deskriptor akustik yang berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru pada seluruh musim adalah tinggi kawanan dan yang tidak berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru adalah energi akustik kawanan. Kawanan ikan lemuru yang mengalami perubahan struktur secara dinamis adalah pada musim peralihan II dan secara stabil/statis adalah pada musim timur. Peralihan I/Panjang
Peralihan II/Tinggi 0.75
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
0.60 0.45 0.30 0.15 0
5
10
15
mil
20
25
30
0.00 0
5
10
15
20
25
30
(a) Peralihan I/ Tinggi
Musim Timur/Min Alt
0.6
0.40
0.5
0.30
0.4
0.20
0.3 0.2
0.10
0.1
0.00 0
5
10
15
20
25
30
0 0
5
10
mil
(b)
15
20
25
30
25
30
mil
Musim Timur/ Min Depth
Peralihan II/ Energi 1.50
1.2
1.00
0.8
0.50
0.4 0
0.00 0
5
10
(c)
15
20
25
30
0
5
10
15
20
mil
mil
Gambar 6.4 Contoh klasifikasi variogram berdasarkan tiga kategori (a) terstruktur, (b) struktur lemah, dan (c) tak berstruktur
Tabel 6.4 Metode skoring untuk menentukan klasifikasi variogram Deskriptor Akustik
Peralihan I
Musim Timur
Peralihan II
Skor
Panjang
2
1
3
6
Tinggi
3
2
3
8
Energi akustik
1
1
1
3
Minimum Depth
2
1
3
6
Minimum Altitude
1
2
3
6
Skor
9
7
13
29
Keterangan : 3 = terstruktur , 2 = struktur lemah, 1 = tanpa struktur
6.5 Pembahasan
6.5.1 Struktur kawanan ikan lemuru Perubahan bentuk kawanan ikan di kolom perairan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Hal ini berarti struktur kawanan ikan dibatasi pada
perubahan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Sebaran energi akustik kawanan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1983) pada Gambar 6.3 merupakan kondisi kawanan ikan lemuru secara nyata dalam kolom air karena tidak dipengaruhi oleh stimuli visual yakni adanya gangguan kapal. Hasil klasifikasi struktur menggunakan teknik variogram menunjukkan bahwa sebesar 60% kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali memiliki struktur (terstruktur dan struktur lemah) pada seluruh survei. Deskriptor akustik tinggi dan panjang (morfometrik), minimum altitude dan minimum depth (batimetrik) berperan dalam membentuk struktur kawanan ikan lemuru pada seluruh survei kecuali deskriptor akustik energetik. Hal ini menunjukkan bahwa kawanan ikan lemuru memiliki pola yang stabil untuk membentuk struktur spasial di setiap musim (peralihan I, II dan timur).
Deskriptor akustik tinggi berperan kuat dalam
membentuk struktur kawanan ikan lemuru di seluruh musim. Bahri & Freon (2000) menyatakan bahwa deskriptor tinggi maksimum kawanan ikan sardine, sprat dan anchovy terstruktur pada seluruh survei di Laut Adriatik dan Catalan. Ciri-ciri struktur kawanan menurut Bahri & Freon (2000) salah satunya adalah status fisiologi dan aktivitas individu seperti reproduksi, mencari makan dan berburu yang berimplikasi pada terbentuknya individu secara berbeda-beda; dan kondisi lingkungan, diketahui berpengaruh paling tidak pada posisi vertikal kawanan, khususnya kehadiran termoklin yang jelas. Pada musim peralihan II, seluruh deskriptor saling berperan kuat dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru kecuali deskriptor energi akustik. Dwiponggo (1982) menyatakan bahwa pada Bulan September (musim peralihan II) yaitu permulaan dari musim ikan, ’lemuru’ dan ’semenit’ telah mulai nampak di bagian Utara dari Selat Bali.
Diperkuat oleh pengamatan Wudianto (2001)
menyatakan bahwa nilai TS ikan pada musim peralihan II menunjukkan gerombolan ikan lemuru kecil ’sempenit’ berada di perairan lapisan atas. Kawanan ikan lemuru kecil ’sempenit’ belum memiliki bentuk kawanan yang stabil sehingga terlihat dinamika pembentukan kawanan (mencari kelompok) yaitu saling berperannya deskriptor akustik dalam membentuk struktur kawanan. Fungsi kawanan menurut Pitcher & Parrish (1983) yakni sebagai tempat ikan berlindung di dalam interaksi jaringan yang kompleks.
Spesies yang hidup
berdampingan akan mengarah pada perubahan bentuk dan tingkah laku baik
sebagian maupun seluruhnya (Wooton, 1990 diacu dalam Masse et al., 1996). Pembentukan kawanan dapat dilihat dari sebaran energi akustiknya (Gambar 6.4) dimana terjadi satu-dua pusat energi yang mengindikasikan dinamika orientasi ikan dalam membentuk kawanan. Pada musim timur, peranan deskriptor akustik melemah, hanya deskriptor tinggi dan minimum altitude saja yang sedikit berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru, sedangkan deskriptor lainnya tanpa struktur.
Hal ini
dikarenakan ukuran kawanan ikan lemuru yang mendominasi kawanan ikan adalah kawanan lemuru dan campuran. Kawanan lemuru dewasa cenderung sudah memiliki bentuk yang stabil sehingga seluruh deskriptor akustik tidak berperan lagi dalam membentuk kawanan lemuru. Minimum altitude (jarak antara dasar perairan dengan kawanan ikan) dan tinggi kawanan sedikit berperan dalam menentukan kawanan lemuru karena terkait dengan tingkah laku pemijahan kawanan lemuru yang sudah matang gonad.
Merta (1992) menduga pada bulan Mei-Juli ikan lemuru
melakukan pemijahan dan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang sesuai, ikan lemuru beruaya ke perairan yang agak dalam. Kawanan lemuru yang akan berpijah berada didekat dasar perairan pada batas-batas tertentu yakni rata-rata 5.1 m dari dasar perairan. Kawanan campuran cenderung tidak membentuk struktur yang jelas. Dwiponggo (1982) menyatakan bahwa setelah melakukan pemijahan, nampaknya ikan-ikan dewasa beruaya masuk ke Selat Bali, kadang berada bersama-sama dengan gerombolan ikan-ikan yang masih kecil, sehingga kawanan campuran diduga terdiri dari kawanan lemuru dan sempenit. Deskriptor akustik tinggi kawanan berperan lemah dalam membentuk struktur kawanan campuran. Hal ini mungkin terkait dengan penaikan massa air yang semakin jelas pada musim tersebut (Wudianto, 2001).
Suhu permukaan cenderung tinggi dan kawanan
lemuru mencari toleransi suhu yang sesuai dengan kisaran suhu yang relatif sempit.
Deskriptor akustik nampaknya sedikit berperan dalam pembentukan
kawanan terkait dengan kelimpahan plankton. Plankton sebagai sumber makanan pada musim tersebut cukup tinggi sehingga kawanan ikan lemuru berkumpul untuk mencari makan. (densitas padat).
Hal ini ditandai dari sebaran energi akustik yang kuat
Berdasarkan hal tersebut maka kawanan campuran tidak
membentuk struktur yang jelas. Pada musim peralihan I,
deskriptor akustik yang berperan kuat dalam
menentukan struktur kawanan ikan lemuru adalah tinggi dan yang sedikit berperan
adalah panjang dan minimum depth (jarak antara permukaan air dengan kawanan ikan). Kawanan ikan lemuru pada musim ini adalah kawanan protolan. Kawanan protolan merupakan kawanan ikan lemuru yang mencapai umur remaja dan mulai matang gonad. Merta (1992) menyatakan bahwa persentase tertinggi ikan lemuru matang gonad untuk siap memijah (TKG IV) terdapat pada bulan Juni. Musim peralihan I pada penelitian ini adalah bulan Mei.
Pada musim ini kawanan
protolan mulai memasuki tahap reproduksi sehingga kawanan protolan sedang mengalami masa transisi dalam membentuk struktur kawanan ikan. Deskriptor tinggi kawanan berperan dalam pembentukan struktur kawanan, terkait dengan terjadinya penaikkan massa air sehingga kisaran suhu secara vertikal relatif sempit. Kawanan ikan yang memasuki tahap reproduksi mulai menuju lingkungan yang sesuai, yaitu menuju perairan dalam.
Berdasarkan hal tersebut, maka
panjang kawanan dan minimum depth sedikit berperan dalam mengatur perubahan struktur kawanan menuju perairan dalam. Berdasarkan uraian diatas maka kawanan ikan lemuru menunjukkan perubahan struktur tergantung pada perubahan spasial dan temporal menurut musim dan ukuran ikan (body length). 6.5.2 Energi akustik kawanan ikan lemuru Pola penyebaran energi akustik nampak dari kuat lemahnya sinyal yang dipantulkan. Saat sinyal mengenai target maka sinyal akan mendeteksi target berdasarkan jumlah trace (jejak) yang terkena pantulan. Banyak sedikitnya trace tergantung pada jarak antar individu ikan (dalam hal ini difokuskan pada banyak sedikitnya individu ikan dalam suatu kawanan). Trace yang paling banyak akan menimbulkan efek pantul yang kuat sampai jumlah trace semakin sedikit maka efek pantulanpun melemah. Energi akustik nampaknya kurang berperan dalam menentukan apakah kawanan ikan membentuk struktur tertentu atau tidak. Namun energi akustik justru berperan untuk mengetahui orientasi individu ikan membentuk kawanan (perhatikan Gambar 6.3 untuk kawanan sempenit). Musim Peralihan II, kawanan sempenit dan protolan mendominasi di perairan Selat Bali. Kawanan sempenit merupakan lemuru berukuran kecil, sehingga baru mulai membentuk kawanan. Orientasi pembentukan kawanan terlihat dari adanya satu atau lebih pusat energi. Berdasarkan hal tersebut maka deskriptor lainnya saling menunjang dalam pembentukan struktur kawanan sempenit.
Pola energi kawanan ikan lemuru secara umum adalah adanya pusat energi yang memiliki sinyal energi yang kuat dan sewaktu menuju kawanan terluar maka energi makin melemah. Adanya pusat energi ini berguna untuk melihat arah orientasi kawanan lemuru di kolom perairan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh kawanan protolan dan lemuru pada Gambar 6.5. Pusat energi kawanan ikan merefleksikan padatnya densitas pada lokasi di dalam kawanan tersebut. Arah orientasi kawanan ikan akan terlihat bila suatu kawanan mengalami gangguan seperti serangan predator maupun gangguan kapal yang melewati kawanan. Pengamatan dengan stimuli visual telah dilakukan oleh Freon et al. (1992) dengan pengamatan langsung menggunakan kapal dan kamera bawah air di Afrika Barat pada kawanan sardine (Sardinella aurita off Venezuela, Sardinella maderensis off Cameroon dan Harengula clupeola off Martinique).
Penelitian ini
menghasilkan 6 variasi kawanan dilihat dari
permukaan laut yang dapat dibagi menjadi 2 tipe yakni tipe amoebiform dan eggshaped. Energi akustik tidak berpengaruh terhadap bentuk kawanan tetapi berpengaruh terhadap densitas kawanan (Gambar 6.3).
Lemuru tergolong
kelompok cluipeid yang membentuk kawanan padat pada waktu siang hari dan menyebar saat malam hari. Informasi densitas kawanan lemuru sangat penting bagi keberhasilan penangkapan ikan karena pengoperasian alat tangkap akan efektif jika dilakukan pada kawanan atau gerombolan ikan dengan densitas yang padat.
(a)
Sinyal energi akustik yang paling kuat
(b)
(c)
(d)
Gambar 6.5 Contoh kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali. (a) kawanan protolan, (b) kawanan lemuru, (c) kawanan sempenit dan (d) kawanan campur 6.5.3 Migrasi harian kawanan ikan lemuru Ciri-ciri struktur kawanan menurut Bahri & Freon (2000) salah satunya adalah diurnal cycle, secara umum faktor ini menyebabkan munculnya kawanan ikan ke permukaan diikuti dengan menyebarnya ikan saat tenggelam. Variabilitas tingkah laku menjadi tinggi karena adanya variasi intensitas cahaya, mencari makan dan kondisi lingkungan (adanya termoklin). Ikan pelagis sebagian besar hidupnya berada di dekat permukaan air. Namun adanya diurnal cycle karena variabilitas tingkah laku, membuat ikan berenang dari permukaan sampai dasar perairan.
Ikan lemuru sebagai ikan
pelagis bisa berada dekat dasar perairan sampai kedalaman hampir 150 m. Hal ini diperkuat oleh Dwiponggo (1982), berdasarkan survei menggunakan kapal penelitian Jurong diketahui bahwa ikan lemuru masih dapat bertahan hidup sampai dengan kedalaman 120 m. Pada kedalaman lebih dari 150 m, ikan lemuru akan tetap berada dekat permukaan sampai pertengahan kolom perairan (perhatikan Gambar 6.3 pada kawanan sempenit). Hal ini menunjukkan bahwa ikan pelagis memiliki batas toleransi kedalaman. Secara umum jenis ikan pelagis biasanya bergerak ke dekat permukaan pada saat menjelang malam hari dan menuju perairan agak dalam menjelang siang hari (Laevastu & Hayes, 1982). Lemuru yang merupakan ikan diurnal (aktif pada siang hari) tersebar membentuk kawanan pada pagi dan siang hari di seluruh survei (peralihan I, musim timur dan peralihan II) pada kedalaman 22-81 m dan akan menyebar ke permukaan dalam bentuk terpencar (scatter) pada malam hari sehingga tidak ditemukan lemuru berbentuk kawanan pada malam hari. Saat musim panen ikan (peralihan II), lemuru membentuk kawanan yang besar (large school) sepanjang hari di seluruh kolom perairan. Kejadian ini sesuai dengan hasil pengamatan Dwiponggo (1982) yang menyatakan bahwa gerombolan ikan lemuru pada siang hari berada di kedalaman 40-80 m, dan berenang ke lapisan atas pada waktu malam hari.
Begitupun
dengan Freon et al. (1992) yang menyatakan bahwa kawanan sardine diketahui saat siang hari sebagian besar biomassa spesies ada dalam bentuk kawanan di dasar perairan.
Kawanan sardine (Sardinella aurita off Venezuela, Sardinella
maderensis off Cameroon dan Harengula clupeola off Martinique) ini masih satu sub genus (Harengula) dengan kawanan
lemuru (Sardinella lemuru Bleeker,
1853) di Selat Bali. Migrasi harian (penyebaran secara vertikal) kawanan ikan lemuru sangat tergantung pada pergerakan termoklin musiman.
Saat termoklin mendekati
permukaan (musim timur) maka ikan lemuru membentuk kawanan yang tipis (kecil), namun sebaliknya saat termoklin bergerak ke perairan dalam (peralihan II) maka ikan lemuru membentuk kawanan yang tebal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Inakage & Hirano (1983) dan Wudianto (2001).
Misund (1993)
menyatakan bahwa kawanan ikan pelagis berbentuk pipih umumnya saat berada didekat permukaan atau dasar perairan dan berubah bentuk menjadi oval saat berada di lapisan tengah. 6.5.4 Bentuk kawanan ikan lemuru Pengamatan bentuk suatu objek dapat ditentukan secara euclidean atau fraktal.
Secara euclidean kawanan herring berbentuk antara lain bulat, oval,
memanjang, empat persegi, parabolik dan tidak beraturan, namun sebagian besar (hampir 70%) berbentuk beraturan yaitu bulat, oval dan persegi empat (Misund et al., 1993). Bentuk kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali sebagian besar adalah oval. Secara geometri fraktal, bentuk kawanan ikan lemuru tidak dapat dikategorikan berbentuk oval, karena tidak terlihat adanya bangun tersebut. Untuk benda-benda alam, bentuk suatu objek tidak bisa digolongkan ke dalam bangun Euclidean biasa.
Berdasarkan hal tersebut, maka kawanan lemuru dapat
digolongkan ke dalam bangun yang disebut fraktal. Kusumayudha, 2004 menyatakan bahwa geometri fraktal mempunyai karakter-karakter penting antara lain self similar, self affine, self inverse, dan self squaring. Yang jelas skala panjangnya tidak spesifik atau invariant. Berbeda dengan geometri euclidean, penyekalaan fraktal dicirikan oleh bilangan-bilangan pecahan atau tak bulat (noninteger), yang disebut dimensi fraktal (fractal dimensions). Rataan nilai dimensi fraktal pada seluruh survei adalah 1.17. Nilai ini berada diantara selang 1 sampai 1.5 yang berarti data akustik yang digunakan tidak bersifat acak dan data memiliki kecenderungan untuk bertahan pada bentuk semula/tetap, artinya bentuk kawanan ikan yang ada akan terus berulang ke dalam bentuk yang sama.
6.7 Kesimpulan
Klasifikasi struktur menggunakan teknik variogram menunjukkan bahwa sebesar 60% deskriptor akustik berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali dan sisanya tidak berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan . Energi akustik kawanan lemuru nampaknya kurang berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru tetapi berperan dalam melihat orientasi ikan dalam membentuk kawanan. Perubahan struktur kawanan ikan lemuru tergantung pada perubahan spasial dan temporal menurut musim dan ukuran ikan (body length). Kawanan ikan lemuru digolongkan ke dalam geometri yang disebut fraktal. Nilai dimensi fraktal pada seluruh survei adalah 1.17 yang berarti kawanan ikan memiliki kecenderungan untuk bertahan pada bentuk semula.
Pustaka Bahri, T., and Freon, P. 2000. Spatial structure of coastal pelagic schools descriptors in the Mediterranean Sea. Fisheries Research 48: 157-166. Coetzee, J. 2000. Use of a shoal analysis and patch estimation system (SHAPES) to characterise sardine schools. Aquatic Living Resources, Vol 13 (1):1-10 Dwiponggo, A. 1982. Beberapa aspek biologi ikan lemuru, Sardinella spp. dalam: Prosiding Seminar Perikanan Lemuru (S. Nurhakim, Budiharjo dan Suparno). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. 205 - 216. Freon, P., Gerlotto, F., and Soria, M. 1992. Change in school structure according to external stimuli: description and influence on acoustic assessment. Fisheries Research, 15: 45-66. Inagake, D., and Hirano, T. 1983. Vertical distribution of the japanese sardine in relation to temperature and thermocline at the purse seine fishing grounds east of Japan. Bulletin Japan Society Fisheries, 49(10): 1533-1539. Kusumayudha, S.B. 2004. Geometri fraktal di goyang inul. KK/ARTIKEL/3.SHTML HTTP://PUBLIK.GEOPANGEA.OR.ID/SARI tanggal 18 desember 2004. Laevastu, T., and Hayes, M.L. 1982. Fisheries oceanography and ecology. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England. 199p. Lawson, G.L., Barange, M., and Freon, P. 2001. Species identification of pelagic fish schools on the South African continental shelf using acoustic descriptors and ancillary information. ICES Journal of Marine Science, 58:275-287. Maclennan, D.N., and Simmonds, E.J. 1992. Fisheries acoustics. Chapman and Hall. Fish and Fisheries Series 5. 325 pp.
Masse, J., Koutsikopoulos, C., and Patty, W. 1996. The structure and spatial distribution of pelagic fish schools in multispecies clusters: an acoustic study. ICES Journal and Marine Science, 53: 155-160. Merta, I.G.S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru Sardinella lemuru bleeker, 1853 di perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya. Disertasi (tidak dipublikasikan) Program Pascasarjana IPB. Bogor. 201 hal. Misund, O.A. 1993. Dynamics of moving masses variability in packing density, shape and size among herring, spart, and saithe schools. ICES Journal Marine Science, 50:145-160 Pitcher, T.J., and Parrish, J.K. 1983. Behavior of teleost fishes, 2nd Edition. Chapman & Hall, London. 295-337. Wudianto. 2001. Analisis sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker,1853) di perairan Selat Bali; kaitannya dengan optimasi penangkapan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 221 hal.
7
PEMBAHASAN UMUM
Tema besar yang akan dibangun pada penelitian ini adalah pendugaan stok ikan secara hidroakustik. Dalam menduga stok ikan diperlukan informasi yang lebih rinci dari survei hidroakustik yang terdapat pada data akustik atau echogram. Echogram yang merupakan sinyal akustik dapat dianalisis dengan mendigitasi/mengekstrak data back-scattering strength volume (Sv)-nya. Langkah awal dalam menduga stok ikan di suatu perairan adalah dengan identifikasi spesies ikan.
Selama ini metode identifikasi spesies yang paling
umum digunakan adalah melakukan sampling trawl atau purse seine untuk kemudian dicocokkan atau dibandingkan dengan data akustik yang ada pada echogram.
Kesulitan mendasar pada identifikasi di lingkungan tropis adalah
keanekaragaman spesies.
Pendugaan stok diupayakan tidak menggabungkan
spesies satu dengan lainnya karena masing-masing spesies berbeda bentuk, ukuran dan habitatnya. Salah
satu solusinya adalah perlu diketahui komposisi spesies ikan
dominan di suatu perairan. Tujuannya adalah memudahkan dalam identifikasi spesies ikan. Hal ini terkait dengan teori peluang, dimana dengan adanya spesies dominan maka spesies ikan dapat diidentifikasi dengan keakuratan yang tinggi. Selain itu, diperlukan teknik dan metode penentu yang benar dalam identifikasi spesies. Teknik yang digunakan adalah teknik hidroakustik dengan alat echosounder split beam.
Metode yang digunakan adalah algoritma pola
pengenalan berupa deskriptor akustik. Deskriptor ini dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yakni morfometrik (bentuk dan ukuran), energetik (energi akustik) dan batimetrik (posisi ikan dalam kolom perairan) (Lawson, 2001).
Sampel data
akustik adalah data akustik di perairan Selat Bali karena spesies lemuru merupakan spesies dominan (Budihardjo et al., 1990; Merta, 1992; Wudianto, 2001).
Sumber data akustik menggunakan pendekatan nilai Sv sehingga
identifikasi yang cocok adalah berdasarkan kawanan (school) dan tidak berdasarkan spesies (target tunggal). 7.1 Pengembangan program Acoustic Descriptor Analyzer version 2004 Data akustik diekstraksi menggunakan deskriptor akustik. Namun, data akustik tersimpan dalam memori yang cukup banyak sehingga diperlukan suatu program atau perangkat lunak yang membantu dan memudahkan dalam
menganalisis berbagai tampilan kawanan ikan pada echogram. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikembangkan program menggunakan teknik pengolahan citra (image processing techniques) dengan tampilan GUI (Graphical User Interface) untuk kemudahan dalam aplikasi. Program aplikasi komputer untuk mendeteksi kawanan ikan pelagis ini di beri nama ‘ADA-versi 2004’ yang merupakan singkatan dari Acoustic Descriptor Analyzer version 2004.
Nama program tersebut merupakan intisari dari
pembuatan algoritma untuk menghitung deskriptor akustik.
Kata ‘version’
merupakan penanda bahwa program aplikasi ini dibuat pada tahun 2004, dan dapat terus direvisi sehingga mengalami penyempurnaan.
Tampilan utama
program ADA-versi 2004 tampak pada Lampiran 5. Tampilan (interface) program sengaja ditampilkan secara sederhana untuk memudahkan pengguna dalam menjalankan program. Konsep kesederhanaan sengaja
ditonjolkan
agar
menjadi
kekuatan
program
yaitu,
kemudahan
menjalankan program tersebut sekalipun bagi pengguna awam. Sistem operasi yang dapat digunakan adalah Windows ’98, Windows 2000 dan Windows XP.
Dengan banyaknya sistem operasi yang dapat digunakan
sebagai platform, maka diharapkan program ini lebih mudah untuk digunakan. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah program Matlab produksi The MathWorks. Inc. Matlab merupakan bahasa komputasi teknis yang sudah umum digunakan di kalangan industri, pemerintahan dan akademis dari berbagai bidang seperti teknik, ilmu pengetahuan murni dan aplikasi-aplikasi lain (Edyanto 2000). Keputusan pembuatan bahasa pemrograman Matlab didasari oleh kegunaan Matlab secara umum yaitu untuk 1) matematika dan komputasi, 2) pengembangan algoritma, pemodelan, simulasi, dan pembuatan prototype, 3) analisis data, eksplorasi dan visualisasi, 4) pembuatan aplikasi (Edyanto, 2000). Program ADA-versi 2004 ini dibangun untuk memecahkan masalah pendugaan stok ikan dengan teknik hidroakustik dengan menyediakan informasi mengenai deskriptor akustik dan densitas spesies kawanan ikan pelagis. Keakuratan hasil perhitungan deskriptor akustik yang dihasilkan oleh program komputer tergantung pada akurasi data masukkan (input data) dan seleksi nilai Sv (energi) dan nilai TS yang dilakukan oleh pengguna. Penelitian yang menggunakan teknik pengolahan citra dengan deskriptor akustik dilakukan juga oleh Lu & Lee, 1995 dengan program EIPS; Scalabrin et al., 1996 dengan program INES MOVIES; LeFevre, 2000 dengan program FASIT; Lawson et al., 2001 dengan program Echoview. Penelitian ini dilaksanakan di
perairan sub tropis.
Metode ini dapat mengidentifikasi kawanan ikan pelagis
dengan tingkat akurasi tinggi (88-98%), tetapi akan berkurang tingkat akurasinya jika dihubungkan dengan jarak yang luas berdasarkan ruang dan waktu (lihat Scalabrin et al., 1996). 7.2 Identifikasi kawanan ikan pelagis Data akustik yang digunakan adalah data survei Tahun 1998-2000 di Selat Bali. Survei tersebut mewakili musim timur, peralihan I dan II. Data akustik yang tersedia berupa 602 echogram.
Setelah dipilah menggunakan tipologi akustik
Reid, 2000 menjadi 58 kawanan ikan pelagis. Korelasi yang kuat terjadi antar variabel pada deskriptor akustik cukup dijadikan dasar dalam deteksi kawanan ikan pelagis secara internal. Adanya korelasi menunjukkan bahwa bentuk dan ukuran kawanan, posisi kawanan dalam kolom perairan dan energi kawanan dapat menjelaskan mengenai tingkah laku kawanan yakni mencari makan, memijah, menghindar dari serangan predator maupun migrasi harian. Hasil dendogram analisis gerombol menunjukkan bahwa sebesar 86.2% kawanan ikan adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya kawanan bukan ikan lemuru. Hasil penelitian diatas hampir sama dengan hasil pengamatan Wudianto, 2001 melalui komposisi hasil tangkapan ikan Tahun 1996-1998 yang memaparkan bahwa kawanan ikan lemuru lebih dominan dibandingkan kawanan tongkol dan layang di perairan Selat Bali, sehingga kawanan bukan ikan lemuru dapat diprediksi sebagai kawanan ikan tongkol dan layang. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Merta (1992) yakni produksi ikan lemuru yang didaratkan di perairan Selat Bali berkisar antara 65.86 – 92.89% dari produksi total Tahun 1984-1989. Hasil
analisis
diskriminan
memaparkan
bahwa
deskriptor
akustik
morfometrik berpengaruh terhadap pemisahan kelompok sedang deskriptor akustik energetik dan batimetrik tidak berpengaruh terhadap pemisahan kelompok. Energi akustik tidak berpengaruh terhadap pemisahan kawanan menunjukkan bahwa energi akustik tidak dapat dijadikan patokan untuk menentukan suatu spesies. Hal ini terkait dengan ukuran kawanan ikan pelagis kecil yang relatif sama, sedangkan mean depth tidak berpengaruh dibandingkan relative altitude terhadap pemisahan kawanan menunjukkan bahwa keberadaan kawanan ikan pada kolom perairan (lapisan atas, tengah atau dasar perairan) dapat dijadikan kedalaman.
patokan daripada
keberadaan ikan berdasarkan
selang
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil pengamatan Coetzee (2000) yang menyatakan bahwa variabel-variabel morfologi adalah deskriptor akustik yang paling berperan dalam menentukan karakteristik kawanan ikan sardine. Begitupun Lu & Lee (1995) menyatakan bahwa variabel-variabel struktur eksternal (morfologi) adalah deskriptor akustik yang berperan dalam menentukan kawanan ikan skipjack, round scad, horse mackerel, anchovy dan larva ikan. Namun Lawson (2001) menyatakan bahwa deskriptor akustik morfometrik tidak dapat membedakan kawanan ikan anchovy, sardine dan round herring, justru deskriptor akustik energetik dan batimetrik yang paling berperan. Fenomena ini mungkin dapat dijelaskan dari hasil pengamatan Baussant et al. (1993) yang menunjukkan bahwa analisis mutivariate bisa menyebabkan terjadi korelasi negatif antara deskriptor akustik morfometrik dan energetik pada patches plankton. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa 96.55% kawanan ikan pelagis dapat diidentifikasi dengan benar di perairan Selat Bali berdasarkan spesies menggunakan deskriptor akustik. Berdasarkan nilai deskriptor akustik yang diperoleh, maka karakteristik kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat dijabarkan sebagai berikut: kawanan ikan lemuru berbentuk oval pipih dengan luasan kecil (small school). Energi akustik yang dipantulkannya sebesar (-57 dB).
Berada di dekat dasar
perairan dengan kedalaman optimum 60 m dari permukaan laut. Kawanan bukan ikan lemuru berbentuk oval lebih pipih dengan area yang luas (large school). Energi akustik yang dipantulkannya sebesar (-60 dB). Posisinya berada di pertengahan kolom perairan dengan kedalaman optimum 80 m dari permukaan laut. Karakteristik kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali ini dapat digunakan untuk melengkapi identifikasi kawanan ikan pelagis tidak hanya secara sampling melalui alat tangkap (langsung) tetapi juga secara hidroakustik (tidak langsung). Adanya identifikasi yang dapat mengarah pada satu spesies (dalam hal ini adalah lemuru) merupakan langkah awal dalam meningkatkan akurasi estimasi pendugaan stok ikan di lingkungan tropis. 7.3 Klasifikasi kawanan ikan lemuru Sesudah kawanan ikan pelagis di suatu perairan dapat diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah membuat klasifikasi kawanan berdasarkan musim dan ukuran ikan.
Klasifikasi ini berguna untuk mendapatkan pengelompokan ikan
pada kolom perairan dan kepadatan kawanan ikan secara sistematis, sehingga
akan lebih mudah menangkap ikan secara langsung pada spesies target. Fokus utama klasifikasi kawanan tidak hanya secara internal (bentuk, ukuran, energi dan posisi kawanan ikan dalam kolom perairan) tetapi juga secara eskternal (suhu dan salinitas kawanan ikan).
Tujuannya adalah untuk melengkapi karakteristik
kawanan ikan lemuru. Hasil analisis gerombol, kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan berdasarkan musim menjadi 3(tiga) kategori yaitu musim peralihan I didominasi oleh kawanan protolan, musim timur didominasi oleh kawanan lemuru (57.7%) dan campuran (38.5%) sedang musim peralihan II didominasi kawanan sempenit (67%) dan protolan (33%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil pengamatan Wudianto (2001) yang mengemukakan bahwa pada peralihan I, ikan lemuru memiliki ukuran yang lebih besar antara 12-20 cm dan pada peralihan II, ikan lemuru memiliki ukuran yang masih kecil (sempenit).
Hasil pengamatan ini
memperkuat pernyataan Dwiponggo (1982). Hasil analisis diskriminan memaparkan bahwa seluruh deskriptor akustik dan data tambahan berpengaruh terhadap pembentukan kelas kawanan ikan lemuru kecuali variabel tinggi. Wudianto (2001) menyatakan bahwa tinggi gerombolan ikan lemuru tidak berbeda nyata bagi kedua pengamatan (September, 1998 dan Mei, 1999). Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa 98% kawanan ikan lemuru
dapat
diklasifikasikan
dengan
benar
berdasarkan
ukuran
ikan
menggunakan deskriptor akustik dan data tambahan. Karakteristik kawanan ikan lemuru musim peralihan I adalah sebagai berikut: kawanan lemuru berukuran 11-15 cm (kawanan protolan), berbentuk oval tebal dengan area yang sedang. Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 80m. Kepadatannya rendah dan membentuk kawanan pada siang hari dengan suhu 27oC dan salinitas 33.1o/oo. Kawanan ikan berada di perairan dalam (perairan Jawa/Selat Bali bagian barat) dan perairan dangkal (perairan Bali//Selat Bali bagian timur) diduga untuk melakukan pemijahan. Karakteristik kawanan ikan lemuru musim timur adalah sebagai berikut: kawanan ikan lemuru didominasi oleh kawanan lemuru dan campuran. Kawanan lemuru berukuran lebih dari 15 cm berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 50 m. Kepadatannya sedang dan membentuk kawanan pada pagi sampai siang hari dengan suhu 29oC dan salinitas 34.2o/oo. Kawanan ikan dapat ditemui di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal (perairan Tabanan-Bali). Adapun karakteristik kawanan campuran adalah sebagai berikut: kawanan ikan
bercampur antara lemuru dan sempenit. Kawanan berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Umumnya berada pada pertengahan kolom perairan dengan kedalaman sekitar 20 m. Kepadatannya tinggi dan membentuk kawanan yang kompak pada siang hari dengan suhu 29oC dan salinitas 34.1o/oo. Kawanan ini terkonsentrasi di perairan dangkal (perairan Badung menuju Tabanan-Bali). Kawanan ikan yang mendominasi musim peralihan II adalah kawanan sempenit dan protolan. Karakteristik kawanan sempenit adalah sebagai berikut: kawanan ikan berukuran kurang dari 11 cm, berbentuk oval pipih dengan area yang paling luas.
Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan
kedalaman sekitar 100 m. Kepadatannya rendah dan membentuk kawanan secara kompak sepanjang hari dengan suhu 21oC dan salinitas 33.9o/oo. Kawanan ini berada di perairan Jawa dan perairan Pengambengan-Bali.
Adapun kawanan
protolan berbentuk oval tebal dengan area yang sedang. Umumnya berada di tengah kolom perairan dengan kedalaman sekitar 40m. Kepadatannya sedang dan membentuk kawanan pada sore sampai malam hari pada suhu 27oC dan salinitas 33.6o/oo. Pergerakan kawanan ini dimulai dari perairan Badung menuju perairan Tabanan untuk menuju perairan terlindung. Kejadian yang menarik adalah nelayan selama ini beranggapan bahwa musim peralihan I merupakan musin paceklik karena kawanan ikan lemuru tidak dijumpai di perairan pantai. Hasil data akustik memperlihatkan bahwa kawanan ikan lemuru tetap ada hanya berpindah lokasi yaitu di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal yang agak menjorok ke perairan dalam (perairan Bali). Ada 2 alternatif yang mungkin, pertama nelayan memang tidak mengetahui keberadaan kawanan ikan lemuru. Kedua, nelayan mengetahui keberadaan kawanan ikan lemuru tetapi karena musim ini cuacanya tidak menentu maka nelayan tidak mau mengambil resiko mencari kawanan ikan lemuru karena posisinya dikolom perairan belum diketahui. Keberadaan kawanan ikan lemuru di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal yang agak menjorok ke perairan dalam (perairan Bali) pada musim peralihan I tidak terlepas dari tingkah laku kawanan dan fenomena lingkungan.
Pada musim ini, kawanan ikan lemuru menuju perairan dalam
diperkirakan untuk melakukan pemijahan. Penelitian ini memperkuat hasil penelitian Merta (1992) yang menduga pada bulan Mei-Juli ikan lemuru melakukan pemijahan dan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang sesuai, ikan lemuru beruaya ke perairan yang agak dalam. Panjang ikan lemuru pada kematangan gonadnya yang pertama rata-rata 18.04 cm. Hal ini dicirikan dari
ukuran kawanan yang mulai matang gonad. Ciri lainnya adalah bentuk kawanan yang oval tebal cenderung untuk berubah bentuk ke oval lonjong (bentuk kawanan lemuru).
Area kawanan ikan cenderung sedang dengan kepadatan jarang
mengindikasikan adanya interaksi antar lemuru jantan dan betina untuk mendapatkan pasangan. Disamping itu, terjadi penaikan massa air yang dimulai di dalam Selat Bali dan suhu permukaan relatif homogen namun cukup tinggi yaitu berkisar 30oC sehingga kawanan lemuru mencari toleransi suhu yang sesuai dengan menuju perairan dalam. o
Suhu dan salinitas optimum kawanan ikan
o
adalah 27 C dan 33.1 /oo. Kawanan ikan lemuru pada musim timur berada di perairan dalam (perairan Jawa) diperkirakan untuk melakukan pemijahan dan perairan dangkal (perairan Bali) diperkirakan untuk mencari makan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Merta (1992) yang menyatakan bahwa ikan lemuru di Selat Bali mempunyai musim pemijahan yang panjang, diperkirakan mulai bulan Mei dan puncaknya bulan Juli, dan memanjang sampai bulan Agustus atau September. Sesudah memijah sebagian besar kawanan ikan lemuru menuju perairan dangkal untuk mencari makan yang ditandai dengan kelimpahan plankton cukup tinggi pada musim timur.
Wudianto (2001) menyatakan bahwa pada musim timur
kelimpahan plankton cukup tinggi dibandingkan musim lainnya. Arah pergerakan kawanan ikan lemuru di perairan Bali dan perairan Jawa, nampaknya terjadi perbedaan waktu pertumbuhan. Hal ini terlihat dari ukuran tubuh ikan lemuru. Di perairan Jawa/Selat Bali bagian barat pada peralihan I (akhir bulan April), kawanan ikan yang mendominasi adalah protolan.
Pada
musim timur (bulan Agustus), kawanan ikan yang mendominasi adalah lemuru. Pada peralihan II (bulan September), kawanan ikan yang mendominasi adalah sempenit. Di perairan Bali/Selat Bali bagian timur pada peralihan I, kawanan ikan yang mendominasi adalah protolan.
Pada musim timur, kawanan ikan yang
mendominasi adalah campuran (lemuru dan sempenit). Pada peralihan II, kawanan ikan yang mendominasi adalah sempenit dan protolan.
Bila
dibandingkan kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali maka kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali bagian timur lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali bagian barat. 7.4 Analisis struktur kawanan ikan lemuru Hasil klasifikasi kawanan melengkapi karakateristik kawanan lemuru pada identifikasi.
Faktor eksternal seperti suhu dan salinitas membantu dalam
menjelaskan kawanan lemuru lebih lanjut. Langkah terakhir adalah menentukan apakah kawanan lemuru memiliki struktur atau tidak. Hasil klasifikasi pada analisis struktur menggunakan teknik variogram menunjukkan bahwa sebesar 60% kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali memiliki struktur (terstruktur dan struktur lemah) pada seluruh survei. Deskriptor akustik tinggi dan panjang (morfometrik), minimum altitude dan minimum depth (batimetrik) berperan dalam membentuk struktur kawanan ikan lemuru pada seluruh survei kecuali energetik. Hal ini menunjukkan bahwa deskriptor akustik tersebut memiliki pola yang stabil untuk membentuk struktur spasial kawanan ikan lemuru di setiap musim (peralihan I, II dan timur).
Deskriptor akustik tinggi
berperan kuat dalam membentuk struktur kawanan ikan lemuru di seluruh musim. Bahri & Freon (2000) menyatakan bahwa deskriptor tinggi maksimum kawanan ikan sardine, sprat dan anchovy terstruktur pada seluruh survei di Laut Adriatik dan Catalan.
Energi akustik kawanan ikan lemuru kurang berperan dalam
menentukan struktur kawanan ikan tetapi berguna untuk melihat orientasi ikan dalam membentuk kawanan. Pada musim peralihan I, terjadi dinamika pembentukan struktur kawanan ikan lemuru. Hal ini mengingat, ukuran ikan lemuru masih kecil sehingga belum terbentuk struktur kawanan yang stabil.
Musim timur, kawanan ikan lemuru
berukuran besar (matang gonad) sehingga sudah memiliki kestabilan dalam menentukan struktur kawanan dan sebagian lagi tidak membentuk struktur yang jelas karena ukuran ikan bervariasi dan tujuan ikan berkumpul adalah mencari makan. Pada musim ini, kelimpahan plankton cukup tinggi. Musim Peralihan I merupakan masa transisi bagi pembentukan struktur kawanan ikan lemuru karena ukuran ikan lemuru baru memulai tahap reproduksi. Berdasarkan uraian diatas maka perubahan struktur kawanan ikan lemuru tergantung pada perubahan spasial dan temporal berdasarkan musim dan ukuran tubuh ikan (body length). Di bidang hidroakustik, dimensi fraktal ternyata dapat diaplikasikan untuk menunjang analisis struktur kawanan ikan lemuru di perairan Selat Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi antara besaran dimensi fraktal (suatu fenomena proses alam) yang bekerja pada pola pembentukan kawanan ikan. Lemuru yang merupakan ikan diurnal (aktif pada siang hari) tersebar membentuk kawanan pada pagi dan siang hari di seluruh survei (peralihan I, musim timur dan peralihan II) dan akan menyebar ke permukaan dalam bentuk
terpencar (scatter) pada malam hari sehingga tidak ditemukan lemuru berbentuk kawanan kompak pada malam hari kecuali pada peralihan II (lihat Gambar 6.3). Lemuru tergolong kelompok cluipeid yang membentuk kawanan padat pada waktu siang hari dan menyebar saat malam hari. Barange & Hampton (1997) menyatakan bahwa jenis ikan anchovy dan pilchard yang tergolong kelompok clupeid membentuk kawanan padat pada waktu siang hari.
Hal ini diperkuat
Coetzee (2000) yang menyatakan bahwa kawanan sardine dapat dibedakan bentuk kawanannya pada siang hari dan cenderung menyebar di lapisan-lapisan permukaan pada malam hari sehingga sulit untuk dideteksi bentuk kawanannya. Informasi mengenai keberadaan dan densitas kawanan ikan lemuru sangat penting bagi keberhasilan penangkapan ikan karena pengoperasian alat tangkap akan efektif jika dilakukan pada kawanan ikan atau gerombolan ikan dengan densitas yang padat. Dwiponggo (1982) menyatakan bahwa penangkapan ikan lemuru dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan alat bantu lampu petromak untuk pemusatan gerombolan lemuru.
Merta (1992)
menyatakan
bahwa waktu operasi kapal-kapal pukat cincin terutama pada malam hari dan gelap bulan. Kawanan ikan lemuru pada musim timur umumnya berada di perairan dangkal dengan kedalaman dasar perairan sekitar 65 m.
Kawanan ikan ini
umumnya menempati lapisan permukaan (surface layer) meskipun pada siang hari sehingga Merta (1992) menyatakan bahwa pada musim timur, operasinya adalah dengan cara tidak memakai lampu (gadangan) yaitu perahu bergerak terus untuk mencari gerombolan ikan (searching).
Gerombolan ikan dilihat dengan
mata telanjang tanpa bantuan suatu alat, seperti binoculer. Kawanan ikan lemuru pada peralihan I (masa transisi antara musim barat dengan musim timur) umumnya berada di perairan dalam dan perairan dangkal yang menjorok ke perairan dalam dengan kedalaman dasar perairan sekitar 200 m. Kawanan ikan ini umumnya menempati lapisan dasar (bottom layer) pada siang hari dan menyebar ke permukaan pada malam hari sehingga Merta (1992) menyatakan bahwa pada musim barat, operasi dilakukan dengan cara memakai lampu (ngoncor) untuk menarik ikan-ikan lemuru berkumpul di sekitar lampu. Waktu operasi mengikuti peredaran bulan. Operasi hanya dilakukan pada waktu bulan gelap dan pada waktu bulan purnama, kegiatan penangkapan terhenti. 7.5
Identifikasi kawanan ikan pelagis secara menyeluruh
Bahasan ini merupakan tambahan dalam mengidentifikasi kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali secara menyeluruh (tidak hanya faktor internal tetapi juga faktor eksternal dari kawanan ikan pelagis kecil). Hal ini dimaksudkan untuk menawarkan suatu perspektif baru dalam menganalisis suatu fenomena alam yang saling berhubungan satu sama lain.
Deskriptor akustik yang digunakan
dalam analisis adalah deskriptor akustik pada bab identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan. Hasil dendogram analisis gerombol menunjukkan bahwa sebesar 93.1% kawanan ikan adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya bukan kawanan ikan lemuru (diprediksi kawanan tongkol dan layang). Kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan berdasarkan musim menjadi 3(tiga) kategori yaitu musim peralihan I didominasi oleh kawanan protolan, musim timur didominasi oleh kawanan lemuru (50%) dan campuran (42.3%) dan sisanya kawanan sempenit. Adapun musim peralihan II didominasi kawanan sempenit (87.5%) dan protolan (12.5%). Secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis ini meningkat dari 86.2% menjadi 93.1%. Hal ini disebabkan variabel yang dianalisis lebih banyak sehingga saling melengkapi satu sama lain. Klasifikasi kawanan ikan lemuru berdasarkan musim dan ukuran ikan relatif sama dengan yang diulas pada bab klasifikasi kawanan ikan lemuru.
Hal yang menarik justru pada kawanan sempenit dan bukan
kawanan ikan lemuru pada peralihan II.
Berdasarkan dendogram analisis
gerombol (Lampiran 9), dapat dilihat bahwa jika ditarik jarak sebesar 24.02 maka kawanan sempenit dan bukan kawanan ikan lemuru dapat dimasukkan ke dalam satu gerombol.
Hal ini mengindikasikan bahwa kawanan ikan yang masih
berukuran kecil sukar untuk dideteksi spesies kawanan ikannya. Hasil analisis diskriminan memaparkan bahwa deskriptor akustik batimetrik dan data tambahan berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan pelagis.
Adapun deskriptor akustik morfometrik yang berpengaruh terhadap
pemisahan kelompok adalah variabel panjang, perimeter dan elongasi, sedangkan deskriptor akustik energetik hanya variabel densitas dan skewness saja yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok.
Hal ini mengindikasikan bahwa
posisi kawanan ikan dalam kolom perairan, suhu, salinitas, bentuk kawanan (elongasi), ukuran kawanan (panjang, perimeter) dan densitas kawanan berperan dalam menentukan spesies kawanan ikan pelagis. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa 93.1% [(13+15+14+9+3/58)*100] kawanan ikan pelagis dapat diidentifikasi dengan benar di perairan Selat Bali
berdasarkan spesies dan ukuran ikan menggunakan deskriptor akustik dan data tambahan (suhu dan salinitas). Berdasarkan hasil analisis identifikasi secara menyeluruh didapatkan suatu kesimpulan bahwa kawanan ikan yang berukuran kecil lebih sukar dideteksi spesiesnya dan variabel yang berupa fenomena alam akan saling terkait satu sama lain sehingga analisis secara komprehensif diperlukan untuk menunjang keakuratan hasil identifikasi. Metodologi yang digambarkan dalam penelitian ini menawarkan perspektif baru dalam memanfaatkan data akustik untuk memecahkan masalah akurasi pendugaan stok ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data akustik
mengandung informasi yang lebih akurat yang tidak diperoleh dengan metode semi-kuantitatif atau yang tidak dapat diidentifikasi dari echogram. Studi ini menunjukkan bahwa deskriptor akustik sebagai algoritma pola pengenalan dengan mempergunakan setiap nilai Sv dapat (1) mengidentifikasi kawanan ikan pelagis berdasarkan spesies; (2) Klasifikasi kawanan ikan lemuru berdasarkan ukuran ikan dan musim; (3) Menganalisis struktur kawanan ikan lemuru berdasarkan pola pembentukan kawanan dan (4) karakteristik kawanan ikan pelagis. Bagaimanapun, teknik ini harus dipandang sebagai usaha paralel untuk memanfaatkan kualitas informasi yang ada pada data akustik menjadi lebih baik. Disamping itu, pendekatan analisis dengan mempertimbangkan agregasi atau kumpulan atau kawanan daripada individu target diharapkan akan menambah pemahaman yang lebih baik pada proses akurasi pendugaan stok ikan.
8
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Program ADA-versi 2004 dirancang sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kelemahan teknik hidroakustik dalam membedakan echo spesies dan untuk menentukan spesies kawanan ikan di suatu perairan. Dari hasil uji coba program ADA-versi 2004 dapat disimpulkan bahwa program ini telah berfungsi sesuai dengan tujuan perancangan yaitu dapat mengolah echogram dan mengekstraksi deskriptor akustik. Deskriptor akustik dapat dijadikan dasar dalam identifikasi, klasifikasi dan analisis struktur spesies kawanan ikan pelagis.
Hal ini ditunjukkan dari hasil
analisis gerombol yakni (1) Kawanan ikan yang terdeteksi di perairan Selat Bali sebesar 86.2% adalah kawanan ikan lemuru dan sisanya kawanan bukan ikan lemuru (diprediksi sebagai kawanan tongkol dan layang); (2) Kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran ikan dan musim yakni: pada musim peralihan I didominasi kawanan protolan, musim timur didominasi kawanan lemuru dan campuran dan musim peralihan II didominasi kawanan sempenit dan protolan dan; (3) Teknik variogram memaparkan bahwa 60% deskriptor akustik berperan dalam penentuan bentuk struktur kawanan ikan lemuru. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa (1) deskriptor akustik yang berpengaruh terhadap pemisahan kelompok kawanan ikan pelagis adalah morfometrik; (2) seluruh deskriptor akustik merupakan faktor penentu dalam pemisahan kelompok kawanan ikan lemuru, kecuali variabel tinggi. Analisis ini juga menunjukkan bahwa data tambahan (suhu dan salinitas) berpengaruh terhadap klasifikasi kawanan ikan lemuru. Hasil identifikasi kawanan ikan pelagis menunjukkan bahwa 96.5% kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali dapat diidentifikasi dengan benar berdasarkan spesies dan hasil klasifikasi menunjukkan bahwa 98% kawanan ikan lemuru dapat diklasifikasikan dengan benar berdasarkan ukuran ikan dan musim. Energi akustik kawanan ikan lemuru kurang berperan dalam menentukan struktur kawanan ikan lemuru, tetapi energi akustik berperan dalam melihat orientasi ikan dalam membentuk kawanan. Perubahan struktur kawanan ikan lemuru tergantung pada perubahan spasial dan temporal berdasarkan musim dan
ukuran ikan (body length). Kawanan ikan lemuru dapat digolongkan ke dalam geometri fraktal yang berarti kawanan ikan lemuru memiliki kecenderungan untuk bertahan pada bentuk semula. Karakteristik kawanan ikan lemuru musim peralihan I adalah sebagai berikut: kawanan lemuru berukuran 11-15 cm (kawanan protolan), berbentuk oval tebal dengan area yang sedang. Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 80m. Kepadatannya rendah dan membentuk kawanan pada siang hari dengan suhu 27oC dan salinitas 33.1o/oo. Kawanan ikan berada di perairan dalam (perairan Jawa/Selat Bali bagian barat) dan perairan dangkal (perairan Bali) diduga untuk melakukan pemijahan. Karakteristik kawanan ikan lemuru musim timur adalah sebagai berikut: kawanan ikan lemuru didominasi oleh kawanan lemuru dan campuran. Kawanan lemuru berukuran lebih dari 15 cm berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan kedalaman sekitar 50 m. Kepadatannya sedang dan membentuk kawanan pada pagi sampai siang hari dengan suhu 29oC dan salinitas 34.2o/oo. Kawanan ikan dapat ditemui di perairan dalam (perairan Jawa) dan perairan dangkal (perairan Tabanan-Bali). Adapun karakteristik kawanan campuran adalah sebagai berikut: kawanan ikan bercampur antara lemuru dan sempenit. Kawanan berbentuk oval lonjong dengan area yang sempit. Umumnya berada pada pertengahan kolom perairan dengan kedalaman sekitar 20 m. Kepadatannya tinggi dan membentuk kawanan yang kompak pada siang hari dengan suhu 29oC dan salinitas 34.1o/oo. Kawanan ini terkonsentrasi di perairan dangkal (perairan Badung menuju Tabanan-Bali). Kawanan ikan yang mendominasi musim peralihan II adalah kawanan sempenit dan protolan. Karakteristik kawanan sempenit adalah sebagai berikut: kawanan ikan berukuran kurang dari 11 cm, berbentuk oval pipih dengan area yang paling luas.
Umumnya berada pada lapisan dasar perairan dengan
kedalaman sekitar 100 m. Kepadatannya rendah dan membentuk kawanan secara kompak sepanjang hari dengan suhu 21oC dan salinitas 33.9o/oo. Kawanan ini berada di perairan Jawa dan perairan Pengambengan-Bali.
Adapun kawanan
protolan berbentuk oval tebal dengan area yang sedang. Umumnya berada di tengah kolom perairan dengan kedalaman sekitar 40m. Kepadatannya sedang dan membentuk kawanan pada sore sampai malam hari pada suhu 27oC dan salinitas 33.6o/oo. Pergerakan kawanan ini dimulai dari perairan Badung menuju perairan Tabanan untuk menuju perairan terlindung.
8.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis statistika maka disarankan untuk analisis gerombol menggunakan tambahan metode lainnya seperti metode gerombol berbasis model ataupun Neural Network Analysis (NNA) untuk validasi silang. Jika data yang akan digunakan berukuran besar dapat menggunakan CHAID analysis untuk klasifikasi kawanan ikan
Lampiran 1 Contoh Echogram EP 500
Lampiran 2 Contoh data analysis pelagic layer E:\PR\08180632.DT0 Date : 18/08/00 Survey area :S BALI From : 06:29:20 Transect :K 5 to : 06:35:49 Trs file name:ES120 Split( 7.1 Pings: 486 Sv threshold :-80 dB Size : 387300 Ts threshold :-50 dB From ping:0 to 491 GPS positions seg 1
7.1)
E114ø51.908
S08ø30.301
E114ø52.000
S08ø30.440
# of traces Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
251
Area density (f/nm2) Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
4128358912
Area density trace (f/nm2) Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
179743
sa (total) Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
1873974.25
sa (trace) Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
81.59
Sv (total) dB Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
-33.6
Sv (trace) dB Layers
seg 1
1:0.00 to 100.00
-77.2
TS distribution Seg:1 Layers
-50
-47
-44
-41
-38
-35
1:0.00 to 100.00
100
77
59
9
5
1
-50
-47
-44
-41
-38
-35
1644764544
1266468736
970411072
148028816
82238232
16447646
32
29
32
29
Area density distribution Seg:1 Layers 1:0.00 to 100.00
Lampiran 3 Contoh data backScattering Volume dari analysis expended integral E:\DT\00\08180632.DT0 From ping:0 to 491 In: 491 segments depth: from 0.00m to 76.00m sv (dB)(cells of 1pings/1meters) Pelagic layers
4m
5m
6m
7m
8m
-56.8
-54.7
-56.2
-54.7
-55.2
-54.8
-57
-56.5
-49.6
-55
-55.4
-56.7
-52.7
-57.2
-53.2
-56.4
-58.3
-51.1
-56.5
-57.2
-58.9
-56.2
-59.1
-54.3
-55.4
-56.6
Seg4
-51
-55.1
-53.6
-54.9
-53.3
-53.8
-54.8
-56.7
-53.5
Seg5
-52.1
-55.2
-54.5
-56.4
-53.5
-57.7
-56.1
-56.4
-54.7
Seg6
-53.4
-60
-55.2
-58.1
-55.2
-57.3
-53.6
-56.2
-58.7
Seg7
-51.6
-52.9
-54.3
-58.6
-52.8
-55.4
-54.8
-56.8
-56.7
Seg8
-51.5
-58.4
-52.9
-53.6
-54.9
-55
-53
-58.7
-56.5
Seg1
-50.7
Seg2 Seg3
……….
76 m
Lampiran 4 Contoh data Target Strength dari analysis trace tracking pelagic E:\DT\00\08180632.DT0 Date : 18/08/00
Survey area :S BALI
From : 06:29:20
Transect
to : 06:35:49
Trs file name:ES120 Angles=(7.1, 7.1)
Pings:
486
Size : 387300 From ping:0 to 491
:K 5
Sv threshold :-80 dB Ts threshold :-50 dB
trs
fish
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
1
1
time 1
9
10
velocity
6:29:25
6:29:23
0
46.2
-1.08
6:29:43
0
6:29:57
0
6:29:58
6:29:51
depth
0
1.201
6:30:08
0
6:30:14
0
6:30:15
0
6:30:17
0
6:30:21
0
57
58.2
62.7
64.7
68.3
65.2
58.5
60.2
51.2
64.7
TS
Ping
depth
TS
AL
AT
-49.8 8
46.23
-49.846
0.514
0.642
-46.9 6
56.58
-45.601
-0.771
-0.642
10
57.45
-48.706
2.44
-2.055
32
58.2
-48.8
-0.128
0.385
49
62.7
-46.813
-0.642
0
51
64.68
-47.553
0.385
1.413
41
68.73
-49.964
2.312
-2.697
49
68.28
-45.801
-1.798
1.156
52
67.83
-45.566
0.385
3.467
63
65.25
-48.13
-0.899
-1.798
71
58.5
-47.389
-0.514
0.257
72
60.18
-45.484
0
0.771
75
51.24
-45.707
1.926
-1.284
-45.496
0.257
0.771
-48.8
-46.8
-47.6
-46.7
-48.1
-47.4
-45.5
-45.7
1
14
80
64.68
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
1
125
6:35:36
-0.354
474
67.92
-47.142
-0.514
-0.771
478
68.07
-48.976
-0.514
-1.798
68
-45.5
-48
Lampiran 5 Tampilan Acoustic Descriptor Analyzer Version 2004 (ADA-2004)
Lampiran 6 Nilai deskriptor akustik untuk identifikasi, klasifikasi dan struktur
Lanjutan Lampiran 7 2. Analisis Gerombol
Cluster Analysis of Observations: BMD; BRA; ESV; ESD; ESK; EKU; MPJ; MTG; ... Euclidean Distance, Ward Linkage, Amalgamation Steps Number of Similarity Distance Clusters New Step clusters level level joined cluster 1 57 99,960 29 10 16 10 2 56 99,944 40 12 15 12
Number of obs. in new cluster 2 2
3 55 99,934 4 54 99,917 5 53 99,916 6 52 99,910 7 51 99,886 8 50 99,866 9 49 99,843 10 48 99,832 11 47 99,815 12 46 99,811 13 45 99,807 14 44 99,797 15 43 99,794 16 42 99,783 17 41 99,748 18 40 99,735 19 39 99,733 20 38 99,710 21 37 99,684 22 36 99,665 23 35 99,579 24 34 99,539 25 33 99,528 26 32 99,461 27 31 99,448 28 30 99,432 29 29 99,421 30 28 99,420 31 27 99,369 32 26 99,298 33 25 99,198 34 24 99,144 35 23 99,039 36 22 99,006 37 21 98,882 38 20 98,768 39 19 98,637 40 18 98,142 41 17 98,007 42 16 97,785 43 15 97,763 44 14 97,634 45 13 97,563 46 12 97,445 47 11 96,244 48 10 95,881 49 9 94,782 50 8 93,631 51 7 92,969 52 6 87,158 53 5 78,470 54 4 65,002 55 3 36,854 56 2 -32,537 57 1 -134,966 Final Partition Number of clusters: 2
Cluster1 Cluster2
Number of observations 50 8
47 60 60 65 82 96 113 121 133 136 139 146 148 156 181 191 192 209 227 241 303 332 340 388 397 409 417 417 454 505 577 615 691 715 804 886 981 1336 1433 1593 1609 1702 1753 1838 2702 2962 3753 4581 5057 9236 15485 25172 45417 95326 168998
Within cluster sum of squares 271927643 2873702257
21 10 1 36 13 1 37 10 18 32 8 1 36 10 3 9 4 20 57 13 4 20 9 33 7 41 1 45 20 3 24 7 5 9 24 35 48 6 3 6 5 1 7 33 6 5 33 5 1 7 5 6 1 5 1
22 17 11 40 26 2 38 28 27 34 23 12 39 21 8 25 18 32 58 36 14 30 10 43 29 47 37 57 31 4 45 44 55 13 42 46 52 51 20 56 50 9 24 35 53 48 41 54 3 33 19 7 6 49 5
Average distance from centroid 1722,7 12827,2
21 10 1 36 13 1 37 10 18 32 8 1 36 10 3 9 4 20 57 13 4 20 9 33 7 41 1 45 20 3 24 7 5 9 24 35 48 6 3 6 5 1 7 33 6 5 33 5 1 7 5 6 1 5 1
Maximum distance from centroid 7552,1 49290,8
2 3 2 2 2 3 2 4 2 2 2 5 3 6 3 2 3 3 2 5 4 4 8 2 2 2 7 3 5 7 4 3 2 13 5 2 2 2 12 3 3 20 8 4 4 5 6 6 32 14 7 18 50 8 58
DENDOGR AM KAWANAN I KAN L EMUR U VS BUKAN L EMUR U
Dis t ance
168997,98
112665,32
56332,66
0,00 111 21215 3738 9251016172821221326364039 3 823 41827142032343031 6515653 729442445575842334335464147 555504852541949
Obser vat ions
3. Analisis Diskriminan Analysis Case Processing Summary Unweighted Cases Valid Excluded
N 58
Missing or out-ofrange group codes At least one missing discriminating variable Both missing or out-of-range group codes and at least one missing discriminating variable Total
Total
Tests of Equality of Group Means %
Wilks' Lambda ,947
F 3,118
df1 1
df2 56
Sig. ,083
ESV
,921 ,983
4,823 ,949
1 1
56 56
,032 ,334
ESD
,820
12,252
1
56
,001
ESK
,818
12,474
1
56
,001
EKU MPJ
,994 ,522
,336 51,280
1 1
56 56
,565 ,000
MTG
,853
9,614
1
56
,003
MAR
,512
53,434
1
56
,000
MPR
,446
69,650
1
56
,000
100,0
0
,0
0
,0
0
,0
0
,0
58
100,0
BMD BRA
Lanjutan lampiran 7 Analysis 1 Stepwise Statistics Step
Entered
Wilks' Lambda Statistic
1
Variables Entered/Removed(a,b,c,d)
MPR
,446
df1 1
df2 1
df3 56,000
Exact F Statistic 69,650
df1 1
df2 56,000
Sig. ,000
2 MAR ,403 2 1 56,000 40,710 2 At each step, the variable that minimizes the overall Wilks' Lambda is entered. a Maximum number of steps is 20. b Minimum partial F to enter is 3.84. c Maximum partial F to remove is 2.71. d F level, tolerance, or VIN insufficient for further computation.
55,000
,000
Variables in the Analysis Step 1 2
Tolerance 1,000 ,752 ,752
MPR MPR MAR
F to Remove 69,650 14,810 5,801
Wilks' Lambda ,512 ,446
Wilks' Lambda Step
Num of Variables
Lambda
df1
df2
1
1
,446
1
1
2
2
,403
2
1
df3
Exact F
56
Statistic 69,650
df1 1
df2 56,000
Sig. ,000
56
40,710
2
55,000
,000
Summary of Canonical Discriminant Functions Eigenvalues
Canonical Eigenvalue % of Variance Cumulative % Correlation 1,480(a) 100,0 100,0 ,773 a First 1 canonical discriminant functions were used in the analysis. Function 1
Wilks' Lambda Wilks' Lambda ,403
Test of Function(s) 1
Chi-square 49,963
df
Sig. ,000
2
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1 MAR
,461
MPR
,687 Structure Matrix Function Functions at Group Centroids
1 MPR
,917
MAR
,803
MPJ(a)
,720
ESK(a)
,308
ESD(a)
-,259
MTG(a)
,233
Function GEROMBOL 1
1 -,478
2 2,989 Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means
BRA(a)
,192
EKU(a)
-,047 -,046
ESV(a) BMD(a)
,021 Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions Variables ordered by absolute size of correlation within function. a This variable not used in the analysis.
Classification Statistics
Classification Processing Summary
Processed
58
Excluded
Missing or out-of-range group codes
0
At least one missing discriminating variable
0
Used in Output
58
Prior Probabilities for Groups GEROMBOL
Prior
Cases Used in Analysis Unweighted
1 2
,500
Total
50
Weighted 50,000
,500
8
8,000
1,000
58
58,000
Classification Results(b,c) Predicted Group Membership Original
Count %
Crossvalidated(a)
Count %
GEROMBOL 1
1
Total
2 49
1
50
2
1
7
8
1
98,0
2,0
100,0
2
12,5
87,5
100,0
1
49
1
50
2
3
5
8
1
98,0
2,0
100,0
2
37,5 62,5 100,0 a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b 96,6% of original grouped cases correctly classified. c 93,1% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Lampiran 8 Analisis statistika untuk klasifikasi kawanan ikan pelagis 1. Analisis Gerombol
DENDOGRAM ANALISIS GEROMBOL KLASIFIKASI Similarity -235,83
-123,88
-11,94
8 15 17 4 9 16 13 10 11 12 1 2 14 7 20 21 23 18 24 6 22 3 19 26 25 27 32 28 29 30 35 36 31 33 34 38 37 43 50 44 49 5 47 39 45 40 46 41 42 48
100,00
Observations
Tally for Discrete Variables: Gerombol Gerombol 1 2 3 4 N=
Count 15 10 9 16 50
Percent 30,00 20,00 18,00 32,00
(Sempenit) (Campur) (Lemuru) (Protolan)
2. Analisis Diskriminan Analysis Case Processing Summary Unweighted Cases Valid Excluded
N Missing or out-ofrange group codes At least one missing discriminating variable Both missing or out-of-range group codes and at least one missing discriminating variable Total
Total
50
Percent 100,0
0
,0
0
,0
0
,0
0
,0
50
100,0
Tests of Equality of Group Means
Wilks' Lambda ,371
F 26,002
Relative alt ENERGI
,507 ,427
PANJANG
,324
TINGGI AREA Perimeter
Mean depth
df1
df2
Sig.
3
46
,000
14,899 20,571
3 3
46 46
,000 ,000
31,999
3
46
,000
,979
,322
3
46
,809
,386
24,372
3
46
,000
,722
5,892
3
46
,002
ELONGASI
,453
18,491
3
46
,000
SUHU
,392
23,800
3
46
,000
salinitas Densitas
,170 ,359
74,867 27,348
3 3
46 46
,000 ,000
Variables Entered/Removed(a,b,c,d) Step
Entered
Removed
Min. D Squared Between Groups
Statistic
Exact F Statistic
1 2 3
Mean depth
df1
df2
Sig.
,467
1 and 4
3,618
1
46,000
,063
Panjang
2,418
1 and 4
9,157
2
45,000
,000
REL_ALT
2,934
1 and 4
7,242
3
44,000
,000
4
Salinitas
8,143
1 and 2
11,418
4
43,000
2,108E-06
5
Densitas
15,061
1 and 2
16,501
5
42,000
5,412E-09
6
TINGGI
17,838
1 and 2
15,899
6
41,000
2,449E-09
7
SUHU
18,279
1 and 2
13,624
7
40,000
7,477E-09
16,009
1 and 2
14,269
6
41,000
1,057E-08
8
TINGGI
At each step, the variable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest groups is entered. a Maximum number of steps is 22. b Maximum significance of F to enter is .05. c Minimum significance of F to remove is .10. d F level, tolerance, or VIN insufficient for further computation. Eigenvalues
Function 1 2
17,787(a)
75,7
75,7
Canonical Correlation ,973
3,682(a)
15,7
91,4
,887
Eigenvalue
% of Variance
Cumulative %
3
2,030(a) 8,6 100,0 a First 3 canonical discriminant functions were used in the analysis.
Wilks' Lambda
,819
Test of Function(s) 1 through 3
Wilks' Lambda ,004
Chi-square 245,755
,070 ,330
116,697 48,776
2 through 3 3
df 18
Sig. ,000
10 4
,000 ,000
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1
2
3
Rata_rata RELT_ALT
,830
,300
,725
,326
,827
PANJANG
,805
,390
-,261
SUHU
-,990
-,338
-,263
salinitas
-,824
,713
-,397
Desit_Vol
-,196
,255
,607
,109
Structure Matrix Function PANJANG ELONGASI(a)
1 ,318(*)
2 ,273
3 -,089
,316(*)
,064
-,088
salinitas AREA(a)
-,326 ,118
,879(*) ,376(*)
-,267 -,028
SUHU
-,253
-,324(*)
,114
Perimeter(a)
-,026
,270(*)
-,053
Desit_Vol
-,167
,236
,730(*)
RELT_ALT
-,050
,222
,606(*)
Rata_rata
,275
,082
-,399(*)
-,044
,022
,373(*)
ENERGI(a) TINGGI(a)
,012 ,068 ,273(*) Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions Variables ordered by absolute size of correlation within function. * Largest absolute correlation between each variable and any discriminant function a This variable not used in the analysis. Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1 Rata_rata RELT_ALT PANJANG SUHU salinitas Desit_Vol (Constant)
2
3
,037
,013
,005
,057
,025
,065 -,001
,002
,001
-,478
-,163
-,127
-4,216
3,650
-2,033
,000
,001
,001
150,592 -121,332 69,912 Unstandardized coefficients Functions at Group Centroids
Function GEROMBOL 1
1 -3,794
2 ,212
3 -1,640
2 3
-3,826 6,386
1,208 2,598
2,235 -,362
4 2,356 -2,415 ,345 Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means Classification Function Coefficients GEROMBOL 1 -3,501
2 -3,470
3 -3,083
4 -3,297
-9,242
-8,968
-8,521
-8,831
-,173
-,175
-,146
-,162
73,629
72,991
68,212
70,866
1251,996
1247,888
1215,189
1212,442
,037
,043
,036
,035
-22257,015 -22113,791 Fisher's linear discriminant functions
-20939,405
-20870,528
Rata_rata RELT_ALT PANJANG SUHU salinitas Desit_Vol (Constant)
Classification Results(b,c) GEROMBOL
Predicted Group Membership 1
Original
Count
%
Crossvalidated(a)
Count
%
2
3
Total 4
1
15
0
0
0
15
2
1
9
0
0
10
3
0
0
9
0
9
4
0
0
0
16
16
1
100,0
,0
,0
,0
100,0
2
10,0
90,0
,0
,0
100,0
3
,0
,0
100,0
,0
100,0
4
,0
,0
,0
100,0
100,0
1
15
0
0
0
15
2
1
9
0
0
10
3
1
0
8
0
9
4
0
0
0
16
16
1
100,0
,0
,0
,0
100,0
2
10,0
90,0
,0
,0
100,0
3
11,1
,0
88,9
,0
100,0
4
,0
,0
,0
100,0
100,0
a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b 98,0% of original grouped cases correctly classified. c 96,0% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Lampiran 9 Analisis statistika untuk identifikasi kawanan ikan pelagis secara menyeluruh
1. Analisis Gerombol Cluster Analysis of Observations:
Standardized Variables, Euclidean Distance, Ward Linkage, Amalgamation Steps
Step 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
Number of clusters 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Similarity level 94.180 93.651 93.213 91.812 91.246 91.169 91.061 90.481 90.308 89.956 89.856 89.808 88.796 88.100 87.862 86.738 86.516 86.465 85.862 85.435 84.517 84.168 83.723 83.371 83.118 83.021 82.608 82.584 81.551 81.514 80.393 79.353 78.537 78.389 76.534 75.716 74.172 73.846 71.981 70.360 68.430 65.677 61.984 61.845 56.962 48.660 47.168 37.559 37.164 22.878 16.082 2.279 -16.600 -24.206 -25.939 -117.089 -174.899
Final Partition Number of clusters: 5
Distance level 0.7628 0.8321 0.8895 1.0731 1.1473 1.1574 1.1716 1.2476 1.2702 1.3164 1.3295 1.3358 1.4684 1.5596 1.5909 1.7382 1.7673 1.7739 1.8530 1.9089 2.0293 2.0750 2.1333 2.1795 2.2126 2.2254 2.2795 2.2826 2.4180 2.4229 2.5698 2.7061 2.8130 2.8325 3.0755 3.1827 3.3851 3.4278 3.6723 3.8847 4.1376 4.4985 4.9824 5.0007 5.6407 6.7287 6.9242 8.1837 8.2354 10.1077 10.9985 12.8076 15.2818 16.2787 16.5058 28.4522 36.0289
Clusters joined 1 2 5 6 21 28 32 33 8 22 10 14 55 56 12 13 23 25 57 58 43 44 36 40 30 31 29 35 51 52 37 38 41 42 48 50 3 46 29 39 23 24 12 17 8 26 11 16 10 15 47 48 45 57 7 20 34 37 3 45 47 53 19 54 9 12 21 23 29 36 30 34 9 10 4 9 47 51 7 27 43 55 7 21 32 41 11 18 7 8 4 11 30 32 29 30 5 19 3 47 1 7 5 49 3 5 3 43 1 29 1 4 1 3
New cluster 1 5 21 32 8 10 55 12 23 57 43 36 30 29 51 37 41 48 3 29 23 12 8 11 10 47 45 7 34 3 47 19 9 21 29 30 9 4 47 7 43 7 32 11 7 4 30 29 5 3 1 5 3 3 1 1 1
Number of obs. in new cluster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 5 4 2 4 5 5 5 7 8 6 3 4 8 4 3 11 11 9 14 4 11 13 5 16 20 27 38 58
Cluster1 Cluster2 Cluster3 Cluster4 Cluster5
Number of observations 13 16 11 14 4
STANDARISASI WARD _EUCLID 1 2 3 4 5 N=
Count 13 16 11 14 4 58
Within cluster sum of squares 70.649 200.480 52.036 66.984 8.150
CumCnt 13 29 40 54 58
Average distance from centroid 2.17359 3.15356 2.01952 2.08215 1.41050
Percent 22.41 27.59 18.97 24.14 6.90
Maximum distance from centroid 3.87556 8.54330 3.79282 3.66201 1.63430
CumPct 22.41 50.00 68.97 93.10 100.00
Lemuru Sempenit Campur Protolan Non lemuru
ANAL I S I S CL US T ER S T DR MET ODE W AR D DENGAN JAR AK EUCL I D
Dis t ance
36.03
24.02
Sempenit Lemuru
12.01
Protolan Campur
Non lemuru
0.00 1 2 7 20 27 2128232524 8222629 35 39 36 40 30 31 34 373832334142 4 9 12 13 17 10 14 15 11 1618 34645575847 48 50 53 51 52 5 6 19 544943445556
Obser vat ions
Lanjutan lampiran 9
2. Analisis diskriminan Analisis Stepwise Discriminant
Tests of Equality of Group Means
MPJ
Wilks' Lambda ,399
F 19,923
MTG MAR
,808 ,493
MPR MEL ESV
4
53
Sig. ,000
3,151 13,605
4 4
53 53
,021 ,000
,418
18,433
4
53
,000
,459
15,645
4
53
,000
,682
6,173
4
53
,000
ESD ESK
,752 ,688
4,376 6,001
4 4
53 53
,004 ,000
EKU EDV BMD
,863 ,433 ,604
2,096 17,359 8,676
4 4 4
53 53 53
,094 ,000 ,000
BRA
,542
11,209
4
53
,000
TSU
,421
18,191
4
53
,000
TSL
,189
56,904
4
53
,000
Stepwise Statistics
Step
df1
df2
Variables Entered/Removed(a,b,c,d)
Entered
Min. D Squared Statistic
Between Groups
Exact F Statistic
1 2 3 4 5 6 7 8 9
df1
df2
Sig.
BMD
,268
Lemuru and Protolan
2,073
1
53,000
,156
BRA
,944
Lemuru and Protolan
3,586
2
52,000
,035
TSL
1,401
Sempenit and Non Lemuru
1,798
3
51,000
,159
MPR
6,162
Lemuru and Campur
9,223
4
50,000
1,161E-05
MEL
8,158
Lemuru and Campur
9,573
5
49,000
2,032E-06
TSU
9,154
Lemuru and Campur
8,769
6
48,000
1,846E-06
MPJ
10,067
Lemuru and Campur
8,093
7
47,000
1,963E-06
EDV
15,575
Sempenit and Non Lemuru
6,759
8
46,000
7,872E-06
ESK
15,579
Sempenit and Non Lemuru
5,879
9
45,000
2,163E-05
At each step, the variable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest groups is entered. a Maximum number of steps is 28. b Maximum significance of F to enter is .05. c Minimum significance of F to remove is .10. d F level, tolerance, or VIN insufficient for further computation.
Wilks' Lambda
Step
Number of Variables
Lambda
df 1
df 2
df 3 Statistic
Exact F df 1 df2
Sig.
Approximate F df Statistic 1 df2
Sig.
1
1
,604
1
4
53
8,676
4
53,000
,000
2
2
,247
2
4
53
13,167
8
104,000
,000
3
3
,047
3
4
53
24,599
12
135,225
,000
4
4
,026
4
4
53
22,262
16
153,390
,000
5
5
,013
5
4
53
22,372
20
163,464
,000
6
6
,006
6
4
53
23,938
24
168,662
,000
7
7
,004
7
4
53
22,027
28
170,883
,000
8
8
,003
8
4
53
20,770
32
171,235
,000
9
9
,002
9
4
53
19,077
36
170,373
,000
Summary of Canonical Discriminant Functions Eigenvalues
Function 1
Eigenvalue
% of Variance
Canonical Correlation
Cumulative %
9,874(a)
53,4
53,4
,953
2
5,747(a)
31,1
84,5
,923
3
1,808(a)
9,8
94,2
,802
4
1,068(a)
5,8
100,0
,719
a First 4 canonical discriminant functions were used in the analysis. Wilks' Lambda
Test of Function(s) 1 through 4 2 through 4
Wilks' Lambda ,002
Chi-square 302,719
df 36
Sig. ,000
,026
183,399
24
,000
3 through 4
,172
87,943
14
,000
4
,484
36,324
6
,000
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1 -,763
2 -,200
3 -,128
4 1,507
MEL
,665 ,983
,458 ,676
,064 -,451
,129 -1,259
ESK
,217
-,538
,103
,087
EDV
-,039
,179
,646
-,124
BMD BRA
,429
,416
,418
-,093
,456
,689
,968
-,256
TSU
-,973
-,486
-,063
,314
TSL
-,808
,828
-,339
,007
MPJ MPR
Structure Matrix Function
1 ,294(*)
,222
3 -,150
-,281(*)
,006
-,094
-,106
TSL
-,425
,653(*)
-,181
-,074
EDV
-,186
,140
,670(*)
-,203
BRA
-,002 -,239
,210 ,034
,557(*) ,276(*)
,172 -,081 -,044
MEL ESD(a)
ESV(a) BMD
2
4 ,051
,229
,053
-,258(*)
EKU(a)
-,009
,086
-,150(*)
-,074
MPR MAR(a)
,215 ,168
,228 ,205
,017 -,020
,771(*) ,723(*)
MPJ
,281
,255
-,039
,572(*)
MTG(a)
,006
,074
,355
,412(*)
-,303
-,227
,189
,313(*)
TSU ESK
,181 ,086 ,126 ,232(*) Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions Variables ordered by absolute size of correlation within function. * Largest absolute correlation between each variable and any discriminant function a This variable not used in the analysis. Canonical Discriminant Function Coefficients Function MPJ MPR
1 -,001
2
3
4
,000
,000
,001
,001
,000
,000
MEL
,017
,011
-,008
-,021
ESK EDV
,572 -,086
-1,415 ,394
,270 1,427
,230 -,274
BMD
,015
,014
,014
-,003
BRA
,032
,049
,069
-,018
TSU
-,426
-,213
-,028
,138
TSL
-4,132
(Constant)
148,703 Unstandardized coefficients
,002
4,236
-1,734
,038
-142,237
56,656
-4,185
Functions at Group Centroids Function KELOMPOK Lemuru Protolan Sempenit Campur
1 -3,503
2 ,093
3 -1,572
4
4,105
2,373
-,756
1,683
-3,440
,305
,041
-2,826
1,312
2,188
-,398
,096 -1,701
Non Lemuru 2,984 2,529 ,086 1,986 Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means
Classification Statistics Prior Probabilities for Groups
KELOMPOK
Prior
Cases Used in Analysis
Lemuru Protolan
,200
Unweighted 13
Weighted 13,000
,200
14
14,000
Sempenit Campur
,200 ,200
16 11
16,000 11,000
Non Lemuru Total
,200
4
4,000
1,000
58
58,000
Classification Function Coefficients KELOMPOK Lemuru ,130
Protolan ,118
Sempenit ,125
Campur ,127
Non Lemuru ,126
-,081
-,071
-,077
-,079
-,071
ESK
-,425 -246,622
-,239 -245,693
-,392 -238,166
-,417 -247,060
-,341 -245,478
EDV
-11,348
-9,446
-10,495
-5,426
-9,097
BMD
-,179
-,018
-,126
-,097
-,032
BRA TSU
-1,944
-1,498
-1,819
-1,596
-1,536
46,124
42,123
44,605
45,403
43,052
TSL
1355,283
1332,026
1315,634
1351,115
1335,998
-23927,353 -23072,251 Fisher's linear discriminant functions
-22547,104
-23785,020
-23225,523
MPJ MPR MEL
(Constant)
Classification Results(b,c) KELOMPOK
Predicted Group Membership Lemuru
Original
Count
%
Lemuru
Sempenit
Protolan
13
0
Sempenit
0
Protolan
0
Campur Non Lemuru Lemuru
Total
Campur
Non Lemuru
0
0
0
13
15
0
0
1
16
0
14
0
0
14
2
0
0
9
0
11
0
1
0
0
3
4
100,0
,0
,0
,0
,0
100,0
Sempenit
,0
93,8
,0
,0
6,2
100,0
Protolan
,0
,0
100,0
,0
,0
100,0
Campur
18,2
,0
,0
81,8
,0
100,0
,0
25,0
,0
,0
75,0
100,0
Non Lemuru
a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b 93,1% of original grouped cases correctly classified. c 89,7% of cross-validated grouped cases correctly classified.
Lampiran 10 Bahasa pemrograman Acoustics Descriptor Analyzer version 2004 function var ar gout = analyze2(var ar gin)
% ANALYZ E2 Application For Echo data Analyze % F I G = ANALYZ E2 launch analyze2 GUI . % Wr itten by Fauziyah (s iti_ fauziyah@ yahoo.com) & S yafi i (s _ s yafii@ yahoo.com) % dis eles aikan tanggal : 2004/6/27 % S pecial T hanks to imui for your les s on about image pr oces s ing and GUI % Pr ogr am ini dibuat untuk memudahkan dalam per hitungan des kr iptor akus tik % Des kr iptor akus tik yang digunakan adalah mor fometr ik (panj ang, tinggi, ar ea, per imeter , % elongas i dan dimens i fr ak tal), bati metr ik (r elative altitude, mean depth, min alt dan min % depth) dan ener getik ( ener gi intens itas akus tik, S D, s k ewnes s dan kur tos is ). Des kr iptor ini % digunakan s ebagai das ar dalam identifikas i, klas ifikas i dan s tr uk tur kawanan ikan pelagis . % Pr ogr am ini s engaj a dikemas s ecar a s eder hana s ehingga mudah digunakan. % j ika ada r evis i dar i pr ogr am ini s ilakan hubungi kami. % ter ima kas ih if nar gin = = 0 % L AUNCH GUI fig = openfig(mfilename,'r eus e'); % Us e s ys tem color s cheme for figur e: % s et(fig,'Color ',get(0,'defaultUicontr olB ackgr oundColor ')); s et(fig, ... 'Color ', [1 1 1] ... ); % Gener ate a s tr uctur e of handles to pas s to callbacks , and s tor e it. handles = guihandles (fig); guidata( fig, handles ); s et(handles .mainAx es , ... 'Units ', 'nor malized', .. . 'vis ible', 'off' .. . ); s et(handles .text10, ... 'vis ible', 'off'); s et(handles .text11, ... 'vis ible', 'off'); s et(handles .fr ame2, ... 'vis ible', 'off'); s et(handles .pus hbutton3,'enable', 'off'); s et(handles .pus hbutton4,'enable', 'off'); s et(handles .pus hbutton5,'enable', 'off'); s et(handles .pus hbutton7,'enable', 'off'); s et(handles .togglebutton1,'enable', 'off'); s et(handles .togglebutton2,'enable', 'off'); movegui(fig,'center ') ; if nar gout > 0 var ar gout{ 1} = fig; end els eif is char (var ar gin{ 1} ) % I NVOKE NAMED S UB FUNCT I ON OR CALL B ACK tr y if (nar gout) [ var ar gout{ 1: nar gout} ] = feval(var ar gin{ : } ); % FE VAL s witchyar d els e feval(var ar gin{ : } ); % FE VAL s witchyar d end catch dis p(las ter r ); end end % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = file_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % Action on menu Open - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function open_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); s et(handles .mainAxes , 'vis ible','off'); cla; [file1, pathname] = uigetfile('S v - * .cs v','L oad Data'); [x file1,x file] = s tr r ead(file1,'% 3c % 4c',1) file2 = ['T- ',xfile,'.cs v']; file3 = ['P - ',xfile,'.cs v']; file4 = ['S a - ',x file,'.cs v'];
s et(handles .tex t11, ... 'vis ible', 'off', ... 'FontS ize', 10. 0, . .. 'S tr ing', ['File r eady for Analyze on ', pathname] ... ); s et(handles .tex t10, ... 'vis ible', 'off', ... 'S tr ing', [file1,' ',file2,' ',file3,' ',file4] ... ); s et(s s s , ... 'Name', [ x file] ... ); nama = get(handles .tex t10,'S tr ing ' ); [nama1,nama2,nama3,nama4] = s tr r ead(nama,'% 12c % 10c % 10c % 11c',1); as s ignin('bas e','data1',[ pathname,nama1]); as s ignin('bas e','data2',[ pathname,nama2]); as s ignin('bas e','data3',[ pathname,nama3]); as s ignin('bas e','data4',[ pathname,nama4]); s et(handles .pus hbutton7,'enable', 'on'); s et(handles .togglebutton1,'enable', 'on'); s et(handles .togglebutton2,'enable', 'on'); Mor phological_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin); % pix el_ value(handles .mainAx es ,'on' ... ); % Action for s tandar d Acous tic Des criptor Analyzer Ver s ion 2004 Gr aph - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function Mor phological_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) data = evalin('bas e','data1'); s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); s et(handles .pus hbutton2,'Enable','on'); s et(handles .text11, . .. 'S tr ing', ['Acous tic Des cr iptor Analyzer Ver s ion 2004 (ADA - ver s i 2004): '] ... s et(s s s , ... 'MenuBar ', 'none', ... 'Name', [ 'Acous tic Des cr iptor Analyzer Ver s ion 2004 (ADA - ver s i 2004) ', data] ... ); M = tex tr ead( data,'%s ','delimiter ',',','whites pace',' '); s et(handles .tex t1, ... 'S tr ing', [M(1),M(2),M( 3)] ... ); s et(handles .tex t2, ... 'S tr ing', [M(4),M(5),M( 6)] ... ); pr ompt = { 'Mas ukkan nilai s egment: ','Mas ukkan nilai ping/meter '} ; title = 'Nilai pings '; lines = 1; def = { '100','1'} ; pings = inputdlg(pr ompt,title,lines ,def) ping = char (pings (1)) ping_ r atio = char (pings (2)) ping_ r atio = s tr 2num(ping_ r atio); as s ignin('bas e','ping_ r atio',ping_ r atio); [fr om,depth] = s tr r ead(char (M(4)),'% 21c % 5c',);1 ping = s tr 2num( ping); as s ignin('bas e','ping', ping); depth = s tr 2num(depth); as s ignin('bas e','depth',depth); S S X= []; S S X = - (dlmr ead(data,',',[ 6 1 ping+ 5 depth - 1])); S S X = flipud(S S X); S S X = r ot90(S S X); S S X = fliplr (S S X); S S X = flipud(S S X); clims = [ 1 80]; Z Z Z = images c(S S X,clims ); cmenu = uicontex tmenu; item1 = uimenu(cmenu, 'L abel', item2 = uimenu(cmenu, 'L abel', item3 = uimenu(cmenu, 'L abel', item4 = uimenu(cmenu, 'L abel', item5 = uimenu(cmenu, 'L abel', item6 = uimenu(cmenu, 'L abel', item7 = uimenu(cmenu, 'L abel',
'Filter ', 'Callback', '' ); '20 - 30', 'Callback', 'x filter (20, 30,2)'); '30 - 40', 'Callback', 'x filter (30, 40,3)'); '40 - 50', 'Callback', 'x filter (40, 50,4)'); '50 - 60', 'Callback', 'xrfilte (50,60, 5)'); '60 - 70', 'Callback', 'x filter (60, 70,6)'); '70 - 80', 'Callback', 'x filter (70, 80,7)');
);
r ectangle('pos ition',[0 0 600 500], ... 'HitT es t', 'on', ... 'FaceColor ', 'white', ... 'E r as eMode', 'x or ', ... 'UI Contex tMenu', cmenu, .. . 'E dgeColor ', 'r ed' ... ); s et(handles .mainAx es , ... 'Units ', 'nor malized', .. . 'vis ible', 'on', ... 'XAxis Location', 'top', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'pix els ', ... 'Dr awMode', 'fas t', ... 'XGr id', 'on', ... 'YGr id', 'on', ... 'YLim', [0 depth] , ... 'XLim', [ 0 ping], ... 'YMinor T ick', 'on', ... 'XMinor T ick', 'on', .. . 'YAx is Location', 'le ft', ... 'Us er Data', Z Z Z ... ); ylabel('depth'); x label('pings '); color map (color cube(16)); hcb = color bar ; s et(hcb, ... 'XAx is Location', 'top', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Pos ition', [. 83 .48 .02 .4] ... ); a = findobj (gcf, 'type', 'ax es '); s et(get(a(2), 'x label'), . .. 's tr ing',- dB ' ', ... 'Hor izontalAlignment', 'center ' .. . ); as s ignin('bas e','CData',get(Z Z Z ,'CData')); s et(handles .tex t1, ... 'S tr ing', [M(1),M(2),M( 3),M(4) ] ... s et(handles .tex t2, ... 'S tr ing', [M(8),M(5),M( 6)] ...
);
);
s et(handles .mainAx es , 'vis ible','on'); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'value',1); s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); % Action on menu Pr int - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function pr int_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); pr intdlg(s s s ) % Action on menu Clos e - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = clos e_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) delete(gcf) % Action on menu S ave - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function S ave_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); dd = get(s s s ,'Name') ddd = s tr r ep(dd,': ','_ '); ddd = s tr r ep(ddd,' ','_ '); ddd = s tr r ep(ddd,'\','_ '); ddd = s tr r ep(ddd,'.','_ '); s aveas (s s s ,ddd,'j pg') % --------------------------------------------------------------------
function var ar gout = edit1_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = zoom_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % Action on clear - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function pus hbutton2_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s et(handles .edit2,'s tr ing', ''); s et(handles .edit3,'s tr ing', ''); s et(handles .edit4,'s tr ing', ''); s et(handles .edit5,'s tr ing', ''); S v1 = get(handles .edit8,'S tr ing'); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); S v1 = s tr 2num( S v1); S v2 = s tr 2num( S v2); s tate = get(handles .popupmenu3,'value'); x filter (S v1,S v2,s tate) function mainAxes _ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) x 1 = get(handles .mainAxes ,'XT ick'); x 2 = max (x 1); x 3 = num2s tr (x 2 - x1(1)); y1 = get(handles .mainAxes ,'YT ick'); y2 = max (y1); y3 = num2s tr (y2 - y1(1)); s et(handles .edit2,'s tr ing', x1(1)); s et(handles .edit3,'s tr ing', x2); s et(handles .edit4,'s tr ing', y1(1)); s et(handles .edit5,'s tr ing', y2); get(handles .mainAx es ,'Pos ition'); % Action on Z oom pus h button - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = togglebutton1_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'reus e'); s tate = get(handles .togglebutton1,'value'); s witch s tate cas e 0 zoom(s s s ,'on'); s et(handles .togglebutton1,'s tr ing','Z oom on'); cas e 1 zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); end % Action on Filter pus h button - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = togglebutton2_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); s tate = get(handles .togglebutton2,'value'); s witch s tate cas e 1 S v1 = get( handles .edit8,'S tr ing'); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = s tr 2num(S v1); S v2 = s tr 2num(S v2); filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s tate = 0 cas e 0 end % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit2_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit3_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % --------------------------------------------------------------------
function var ar gout = edit4_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit5_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit7_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit8_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = lis tbox 1_ Callback(h, eventdata, handl es , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = lis tbox 2_ Callback(h, eventdata, handl es , var ar gin) % action for dr opdown r ange filter - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = popupmenu3_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) val = get(handles .popupmenu3,'v alue') s witch val cas e 2 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 20; S v2 = 30; filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); cas e 3 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 30; S v2 = 40; filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); cas e 4 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 40; S v2 = 50; filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); cas e 5 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 50; S v2 = 60; filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); cas e 6 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 60; S v2 = 70; filter _ r ender (handles ,CData,S v1, S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); cas e 7 CData = evalin('bas e','CData'); S v1 = 70; S v2 = 80; filter _ r ender (handles ,CData,S v1,S v2) s et(handles .edit8,'S tr ing',S v1); s et(handles .edit7,'S tr ing',S v2); end % r ender ing the filter r ange - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function filter _ r ender (handles ,CData,S v1,S v2) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); if S v1 = = '' er r or dlg('S v is not define','S v er r or '); els eif S v2 = = '' er r or dlg('S v is not define','S v er r or ') ;
end clims = [ S v1 S v2] ; ff = s ize(CData); for t = 1: ff(1) for u = 1: ff(2) if CData(t,u)< S v1 CData(t,u) = 100; end if CData(t,u)> S v2 CData(t,u) = 100; end end end Z Z Z = images c(CData,clims ); s et(handles .mainAxes , ... 'XAxis Location', 'top', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'nor malized', .. . 'Dr awMode', 'fas t', ... 'XLimMode', 'manual', ... 'YLimMode', 'manual', ... 'XMinor Gr id', 'off', . .. 'YMinor Gr id', 'off', ... 'XGr id', 'off', ... 'YGr id', 'off', . .. 'YMinor Tick', 'off', . .. 'Us er data', Z Z Z , ... 'XMinor T ick', 'off' ... ); ylabel('depth'); x label('pings '); color map (color cube(S v2- S v1)); hcb = color bar ; s et(hcb, ... 'XAxis Location', 'top', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Pos ition',[.81 . 395 .02 .4] ... ); a = findobj (gcf, 'type', 'ax es '); s et(get(a(2), 'x label'), . .. 's tr ing',- dB ' ', ... 'HorzontalAlignment', i 'center ' .. . ); s et(handles .togglebutton2,'value',0); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'value',1); s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); % Action on Bathymetr ik - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = pus hbutton5_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); data = evalin('bas e','data1'); x 1 = evalin('bas e', 'x 1'); x 2 = evalin('bas e','x 2'); y1 = evalin('bas e','y1'); y2 = evalin('bas e','y2'); depth = evalin('bas e','depth'); cr op = []; x CData = [ ]; S S X = - (dl mr ead(data,',',[ x1+ 5 2 x 2+ 5 depth - 2] )); S S X = flipud(S S X); S S X = r ot90(S S X); S S X = fliplr (S S X); S S X = flipud(S S X); CData = S S X; gg = s ize(CData); x CData = CData(y1: y2- 1,1: gg(2)); ff = s ize(xCData) ;
S v1 = get(handles .edit8,'S tr ing'); S v1 = s tr 2num(S v1); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); S v2 = s tr 2num(S v2); clims = [S v1 S v2]; items = find(( S v1)< x CData & x CData< (S v2)); cr op = x CData(items ); pings = evalin('bas e','ping'); depth = evalin('bas e','depth'); pr ompt = { 'Mas ukkan nilai Das ar per air an: '} ; title = 'Nilai Das ar per air an'; lines = 1; def = { ''} ; das ar = inputdlg(pr ompt,title,lines ,def); das ar = char (das ar (1)); das ar = s tr 2num(das ar ); as s ignin('bas e','xCData',x CData); Vawal = y1 ; min_ depth = num2s tr ( Vawal); j umlah_ items = numel(items ); j umlah_ items = num2s tr (j umlah_ items ); Vakhir = das ar - y2; min_ alt = num2s tr (Vak hir ); x T inggi = y2 - y1 - 0. 7; T inggi = num2s tr (x T inggi); Dm = y1+ ((y2- y1)/2); xDm = num2s tr (Dm); Ra = (( das ar - Dm) / das ar )* 100; Ra = s pr intf('% .1f',Ra); x Ra = num2s tr (Ra); x ping = x 2 - x1; r ata_ r ata = mean(cr op); r ata_ r ata = num2s tr (r ata_ r ata); x x1 = num2s tr (x 1); x x2 = num2s tr (x 2); yy1 = num2s tr (y1); yy2 = num2s tr (y2); j udul = [ 'B athymetr ik view for ping: (',x x1,' - ',x x 2,') and depth: (',yy1,' - ',yy2,')']; S vFig = figur e(... 'MenuB Ar ', 'none', ... 'Res ize', 'off', . .. 'Color ', [1 1 1] , ... 'Number T itle', 'off' , ... 'Name', j udul, ... 'Pos ition', [0 0 600 400] ... ); movegui( S vFig,'center '); cr op= s or t(cr op); T ex t1 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'tex t', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'BackgroundColor ', [ .99 .99 . 99], ... 'Units ', 'pix el' ... ); s et(T ex t1, .. .. 'S tr ing', { [' RES ULT : '], [' Minimum K edalaman : ',min_ depth,' m'], - r ata [' Rata '],[' Kedalaman kawanan: ',x Dm,' m'] ,[' Minimum Altitude: ', min_ lt,' am'] ,[' Relative Altitude: ',xRa,' % '] } , ... 'Pos ition',[0 0 170 400] ... ); Lis t1 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'lis tbox', ... 'Backgr oundColor ', [ 1 1 1], ... 'Units ', 'pix el', ... 's trng',cr i op); s et(Lis t1, .... 'Pos ition',[0 0 60 200] ... ); S vAxes = ax es (.. . 'XAxis Location', 'top', ... 'Units ', 'pix el', .. . 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'pix els ', ... 'Dr awMode', 'fas t', ... 'Pos ition',[ 180 40 400 350] ... mCData = S v1> = xCData; nCData = S v2< = x CData; z CData = abs (nCData - mCData); ddd = uint8(zCData) ;
);
ddd = ind2r gb(ddd,color map(gr ay))* 100; ccc = im2bw(ddd,1) ; ccm = images c(ccc,[0 1] ); s et(S vAx es , . ... 'Xlim', [ 0 ff(2)], ... 'Ylim', [ 0 ff(1)], .. . 'us er data', ccm ... ); ax is image x label({ [ 'ping: ( ',x x1,' - ',x x 2,'] )' } ); ylabel({ [ 'depth: ( ',yy1,' - ',yy2,' )'] } ); f= uimenu('Label','File'); uimenu(f,'Label','S ave','Callback','s impan'); uimenu(f,'Label','Quit','Callback','keluar ',... 'S epar ator ','on','Acceler ator ','Q'); % action on Mor fometr ik pus h button - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = pus hbutton3_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % s s s = openfig(.. . % mfilename,'r eus e'); % zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); h = waitfig('s ebentar ya ... s abar ... s abar ......'); data = evalin('bas e','data1'); x 1 = evalin('bas e','x 1'); x 2 = evalin('bas e','x 2'); y1 = evalin('bas e','y1'); y2 = evalin('bas e','y2'); depth = evalin('bas e','depth'); x x1 = num2s tr (x 1); x x2 = num2s tr (x 2); yy1 = num2s tr (y1); yy2 = num2s tr (y2); cr op = []; x CData = [ ]; S S X = - (dl mr ead(data,',',[ (x 1+ 5) 1 (x 2+ 5) (depth - 1)])); S S X = flipud(S S X); S S X = r ot90(S S X); S S X = fliplr (S S X); S S X = flipud(S S X); CData = S S X; gg = s ize(CData); x CData = CData(y1+ 1: y2,1: gg(2)); ff = s ize(xCData) ; S v1 = get(handles .edit8,'S tr ing'); S v1 = s tr 2num(S v1); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); S v2 = s tr 2num(S v2); clims = [S v1 S v2]; items = find(( S v1)< x CData & x CData< (S v2)); cr op = x CData(items ); as s ignin('bas e','xCData',x CData) ; x j umlah_ items = numel(items ); j umlah_ items = num2s tr (x j umlah_ items ); j udul = [ 'Mor fometr ik view for ping: (',x x 1,' - ',x x 2,') and depth: (',yy1,' - ',yy2,')']; S vFig = figur e(... 'MenuB Ar ', 'none', ... 'Res ize', 'off', . .. 'Color ', [1 1] 1 , .. . 'Number T itle', 'off', ... 'Paper Units ', 'points ', ... 'Paper T ype', '< cus tom> ', ... 'Paper Pos itionMode','manual', ... 'Paper Or ientation', 'lands cape', ... 'Paper S ize',[600 400], ... 'Na me', j udul, .. . 'Pos ition', [0 0 600 400] ... ); movegui( S vFig,'center '); cr op= s or t(cr op); T ex t1 = uicontr ol( ...
'S tyle', 'tex t', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'Backgr oundColor', [ .99 .99 .99], ... 'Units ', 'pix el' ...
);
Lis t1 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'lis tbox', ... 'Backgr oundColor ', [ 1 1 1], ... 'Units ', 'pix el', ... 's tr ing', cr op); S vAxes = ax es (.. . 'XAx is Location', 'top', ... 'Units ', 'pix el', .. . 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'pix els ', ... 'Dr awMode', 'fas t', ... 'Pos ition',[ 180 40 400 350] ...
);
mCData = S v1> = xCData; nCData = S v2< = x CData; z CData = abs (nCData - mCData); ddd = uint8(zCData); ddd = ind2r gb(ddd,color map(gr ay))* 100; ccc = im2bw(ddd,1) ; cccx = s ize(ccc); r = 0; for qy = 1: cccx (1) for qx = 1: cccx (2) if ccc(qy,qx ) = = 0 r = r + 1; yyy1( r ) = qy; x x x 1( r ) = qx ; end end end max _ yyy1 = max (yyy1); % kor eks i untuk y2 min_ yyy1 = min(yyy1); % kor eks i untuk y1 max _ x x x 1 = max (x xx 1); % kor eks i untuk x 2 min_ x x x 1 = min(x xx 1); % kor eks i untuk x 1 % mor fometr ik awal T Data = evalin('bas e','data2') ; T M = textr ead(T Data,'% s ','delimiter ',',','whites pace',' '); T M = s tr r ep(T M,' ',''); x T inggi = max _ yyy1 - min_ yyy1 - (depth- 0.7)/depth; T inggi = num2s tr (x T inggi); T inggi = s pr intf('% .2f', x T inggi); as s ignin('bas e','xT inggi',x T inggi); % ----------------------------------------------------------------------menit_ awal = s tr r ead(char (T M(3)),'Fr om: % 8c ' ,1); % awal s cr ipt ambil waktu menit_ awal = char (menit_ awal); menit_ akhir = s tr r ead(char (T M(4)),'to: % 8c',1); menit_ akhir = char (menit_ ak hir ); akhir = datenum(menit_ akhir ); awal = datenum(menit_ awal); s elis ih = dates tr ((ak hir - awal),13); waktu = datevec(s elis ih); j am = wak tu(4)* 3600; menit = waktu(5)* 60; detik = j am + menit + waktu(6); s elis ih_ waktu = detik/60; % -----------------------------------------------------------------------s plit= s tr r ead(char (T M(5)),'% 3c',1); s plit = s tr 2num(s plit); pings = evalin('bas e','ping'); ping_ r atio = evalin('bas e','ping_ r atio'); laj u_ ping = (pings * ping_ r atio)/s elis ih_ waktu; % nilai laj u ping
x ping = max _ xx x 1 - min_ x xx 1; % nilai ping dalam kawanan panj ang_ ter lihat(1) = x ping* (306/laj u_ ping); Dm = y1+ ((y2- y1)/2); % kedalaman r ata- r ata kawanan qw = Dm* 2* tan(s plit/2); x panj ang = (panj ang_ ter lihat - qw)* (4/3.14); x Ar ea = x j umlah_ items * ((depth- 0.7)/depth)* (306/laj u_ ping); Ar ea = s pr intf('% .0f', x Ar ea); panj ang = s pr intf('% .2f',x panj ang); r ata_ r ata = mean(cr op); r ata_ r ata = num2s tr (r ata_ r ata); x elongas i = xpanj ang/x T inggi; elongas i = num2s tr (x elongas i); elongas i = s pr intf('% .2f',x elongas i); % mor fometr ik akhir per im_ bw = bwper im(ccc, 8); x ar ea_ per im = bwar ea( per im_ bw); ar ea_ per im= num2s tr (x ar ea_ per im); ccm = images c(per im_ bw, [0 1]); % ccx = images c(zCData,[ 0 1] ); s et( S vAx es , .... 'Xlim', [0 ff(2)] , ... 'Ylim', [ 0 ff(1)], .. . 'us er data', ccm ... ); x Dim_ fr actal = (log(x ar ea_ per im/4)* 2) /log(x Ar ea); Dim_ fr actal = num2s tr (x Dim_ fr actal); Dim_ fr actal = s pr intf('% .2f',x Dim_ fr actal); axis image ylabel({ [ 'depth: ( ',yy1,' - ',yy2,' )'] } ); x label({ [ 'ping: ( ',x x1,' - ',x x 2,' )'] } ); nilai = 0; s et(T ex t1, .. .. 'S tr ing', { [' RES ULT : '], [' Panj ang : ',panj ang,' m'],[' T inggi : ',T inggi,' m'] ,[' Ar ea : ',Ar ea,' m2'] ,[' Jumlah I tems : ',j umlah_ items ] ,[' Per imeter : ',ar ea_ per im],[ ' Elongas i : ',elongas i] ,[ ' Dimens i Fr aktal : ',Dim_ fr actal]} , .. . 'Pos ition',[0 0 160 400] ... ); f= uimenu('Label','File'); uimenu(f,'Label','S ave','Callback','s impan'); uimenu(f,'Label','Quit','Callback','keluar ',... 'S epar ator ','on','Acceler ator ','Q'); delete(h) s et(handles .pus hbutton4,'enable', 'on'); x nilai = ['a = findobj (gcf,''s tyle'',''t ext''); cnilai = get(a(1),''s tr ing''); cnilai = char (cnilai); b = findobj (gcf,''s tyle'',''lis tbox ''); vnilai = get(b(1) ,''value''); mni lai = { cnilai; ''hallo''} ; s et(a(1),''s tr i ng'', mnilai)']; s et(Lis t1, .... 'Callback', xnilai, ... 'Po s ition',[0 0 60 200] ... ); % Action on Ener getik button- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = pus hbutton4_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); h = waitfig('s ebentar ya ... s abar ... s abar ......'); ping = evalin('bas e','ping'); depth = evalin('bas e','depth'); data = evalin('bas e','data1'); data2 = evalin('bas e','data2'); x1 x2 y1 y2
= = = =
x x1 x x2 yy1 yy2
evalin('bas e','x 1'); evalin('bas e','x 2'); evalin('bas e','y1'); evalin('bas e','y2');
= = = =
num2s tr (x 1); num2s tr (x 2); num2s tr (y1); num2s tr (y2);
S S X = - (dl mr ead(data,',',[ x1+ 5 1 x 2+ 5 depth - 1] )); S S X = flipud(S S X); S S X = r ot90(S S X); S S X = fliplr (S S X); S S X = flipud(S S X); CData = S S X; gg = s ize(CData); x CData = CData(y1+ 1: y2,1: gg(2)); ff = s ize(x CData); S v1 = get(handles .edit8,'S tr ing'); S v1 = s tr 2num(S v1); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); S v2 = s tr 2num(S v2); items = find((S v1)< x CData & x CData< (S v2) ); cr op = x CData(items ); CData = evalin('bas e','CData'); T S X2= []; T S 1 = get(handles .edit9,'s tr ing'); T S 2 = get(handles .edit10,'s tr i ng'); if T S 1 = = '' er r or dlg('T S 1 is not define','T S er r or '); end if T S 2 = = '' er r or dlg('TS 2 is not define','T S er r or '); end ambil_ T S (data2,x 1,x 2); ndepth = evalin('bas e','ndepth'); nping = evalin('bas e','nping') ; nT S = evalin('bas e','nT S '); kkk = s ize(nping); for ixx = 1: kkk(2) ndept(ix x ) = cells tr (char (ndepth{ ix x } )); npin(ix x) = cells tr (s pr intf('% s ',char (nping{ ixx } ))); nT (ix x ) = cells tr (s pr intf('% s ',char (nT S { ix x } ))); end for xix = 3: kkk(2) x ndept(x ix ) = s tr 2num(ndept{ x ix} ) ; x npin(x ix ) = s tr 2num(npin{ xix } ) ; x nT (x ix ) = s tr 2num(nT { x ix } ); end T S 1= s tr 2num(T S 1); T S 2= s tr 2num(T S 2); % begin 13- 7- 2004 - - - er r or tr apping bila T S 1 melebihi nilai T S yang ada - - - - - - - - - - - - - if T S 1 > max(- x nT ) er r or dlg([ 'T S 1 tidak bis a lebih dar i ',num2s tr (max - x(nT ))] ,'T S er r or '); delete(h),br eak end % end 13- 7- 2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - for t= y1: y2 for u= x 1: x2 x x CData(t,u)= CData(t,u); end end clims = [S v1 S v2] ; ff = s ize(x x CData); for t = 1: ff(1) for u = 1: ff(2) if x x CData(t,u)< S v1 x x CData(t,u) = 100; end if x x CData(t,u)> S v2 x x CData(t,u) = 100; end end end % awal pr os es panj ang yang melelahkan memfilter data T S yang diinginkan nT S _ items = find(T S 1< - x nT & - x nT < T S 2); % ambil T S yang di inginkan
is i_ T S = x nT (nT S _ items ); is i_ depth = x ndept(nT S _ items ); is i_ ping = x npin(nT S _ items ); nping_ items = find(x 1< is i_ ping & is i_ ping< x 2); % ambil ping pada T S yang diinginkan is i_ T S _ X = is i_ T S (nping_ items ); is i_ depth_ X = is i_ depth(nping_ items ); is i_ ping_ X = is i_ ping(nping_ items ); ndepth_ items = find( y1< is i_ depth_ X & is i_ depth_ X< y2); is i_ T S _ Y = is i_ T S _ X(ndepth_ items ); is i_ depth_ Y = is i_ depth_ X(ndepth_ items ); is i_ ping_ Y = is i_ ping_ X(ndepth_ items ); % akhir pr os es panj ang yang melelahkan memfilter data T S yang diinginkan Jumlah_ T S = numel(nT S _ i tems ); E nx T S = x nT (nT S _ items ) /10; % T S /10 EnT S = 10.^ EnxT S ; % 10^ (T S /10) Rata_ r ata_ ET S = mean(EnT S ); % r ata- r ata dar i 10^ (T S /10) E nT = 10* log10(Rata_ r ata_ ET S ); % 10 log T S r ata- r ata Ener giT S = num2s tr (EnT ); E ner giT S = s pr intf('% .2f', EnT ); s ize_ npin = s ize(xnpin); s ize_ ndept = s ize(x ndept); ts ts = mes hgr id(1: s ize_ npin(2),1: s ize_ ndept(2)); nx CData = x x CData(y1: y2,x 1: x2); items = find((S v1)< nx CData & nx CData< (S v2)); Jumlah_ S v = numel(items ); E nx = - nx CData(items )/10; % S v/10 En= 10.^ Enx ; % 10^ (S v/10) Rata_ r ata_ ES v = mean(En); % r ata- r ata dar i 10^ (S v/10) E nS v = 10* log10(Rata_ r ata_ ES v); % 10 log S V r ata- r ata E ner gi = num2s tr (EnS v); E ner gi = s pr intf('% .2f',EnS v); s d1 = (- nx CData(items )- EnS v).^ 2; s d2 = s d1/(Jumlah_ S v- 1); s d2a = s um(s d2); s d3 = s d2a^ (1/2); S tdev = num2s tr (s d3); S tdev = s pr intf('% .2f',s d3); s k 1 = (- nx CData(items )- EnS v).^ 3; s k 2 = s k 1.* Jumlah_ S v; s k 2a = s k 2./((Jumlah_ S v- 1)* ( Jumlah_ S v- 2)); s k 3 = s um(s k 2a); s k 4 = s k 3/s d3^ 3; % s kewnes s s k 4 = s pr intf('% . 2f',s k4); s kew = num2s tr (s k4); kur 1 = (- nx CData(items )- EnS v)./s d3; kur 1ab = kur 1.^ 4; kur 1a = s um(kur 1ab); kur 2 = ( Jumlah_ S v* (Jumlah_ S v+ 1))/((Jumlah_ S v- 1)* (Jumlah_ S v- 2)* (Jumlah_ S v- 3)); kur 2a = kur 1a* kur 2; kur 3 = ( Jumlah_ S v- 1)^ 2; kur 3a = (3* kur 3)/((Jumlah_ S v- 2)* (Jumlah_ S v- 3)); kur 4 = kur 2a- k ur 3a; % kur tos is kur 4 = s pr intf('% .2f',kur 4); kur = num2s tr ( kur 4); x T inggi = evalin('bas e','x T inggi'); aden = ((Rata_ r ata_ E S v/Rata_ r ata_ ET S )* 4* (1852^ 2) * x T inggi)/10; % dens itas ar ea dens itas _ ar ea = num2s tr ( aden); dens itas _ ar ea = s pr intf('% .2f',aden); vden = (aden* x T inggi)/1000000; vden = s pr intf('% .3f',vden); dens itas _ volume = num2s tr (vden); S vFig = figur e(... 'MenuB Ar ', 'none', ... 'Res ize', 'off', . .. 'Color ', [1 1 1] , ... 'Number T itle', 'off', ... 'Name', 'Ener getik view', ...
'Pos ition', [0 0 700 500] ... ); movegui( S vFig,'center '); T ext1 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'tex t', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'Backgr oundColor ', [ .99 .99 . 99], .. . 'Units ', 'pix el' ...
);
% begin 13- 7- 2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Lis t1 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'lis tbox', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'Backgr oundColor ', [ 1 1 1], ... 'Units ', 'pix el', ... 's tr ing', ''); Lis t2 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'lis tbox', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'Backgr oundColo r ', [ 1 1 1], ... 'Units ', 'pix el', ... 's tr ing', ''); Lis t3 = uicontr ol( ... 'S tyle', 'lis tbox', ... 'Hor izontalAlignment', 'left', . .. 'Backgr oundColor ', [ 1 1 1], ... 'Units ', 'pix el', ... 's tring', ''); % end 13- 7- 2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - T S Axes = ax es (.. . 'XAxis Location', 'bottom', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'nor malized', . .. 'Dr awMode', 'fas t', ... 'Pos ition',[ .38 .1 .59 .8] ... ); ggg = images c(nx CData,clims ); s et(T S Ax es , .... 'XAx is Location', 'top', ... 'Xlim', [ 0 ff(2)], ... 'Ylim', [ 0 ff(1)], ... 'us er data', ggg ... ); ax is image; ylabel({ [ 'depth: ( ',yy1,' - ',yy2,' )'] } ); x label({ [ 'ping: ( ',x x1,' - ',x x 2,' )'] } ); color map(color cube(10)); % color map(j et) hcb = color bar ; s et(hcb, ... 'XAx is Location', 'top', ... 'XGr id', 'on', ... 'YGr id', 'on', . .. 'FontS ize', 8.0, ... 'Pos ition',[.95 . 395 .02 .4] ... ); a = findobj (gcf, 'type', 'ax es '); s et(get(a(2), 'x label'), . .. 's tr ing',- dB ' ', ... 'Hor izontalAlignment', 'center ' .. . ); T S _ s or t = s or t (- is i_ T S _ Y); T S _ s or t = - T S _ s or t; % begin 13- 7- 2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - % awal populas i & modus j umlah T S r entang_ T S = r ange(T S _ s or t)/10; T S 1_ X1 = T S 1; for ty = 1: 10 T S 1_ X2 = T S 1_ X1 + r entang_ T S ; T S 1_ X2 = s pr intf('% .0f', T S 1_ X2); T S 1_ X2 = s tr 2num(T S 1_ X2); is i_ r entangT S = find(- T S 1_ X1> T S _ s or t & T S _ s or t> - T S 1_ X2); is inya(ty) = numel(is i_ r entangT S );
is i_ T S _ nya{ ty} = T S _ s or t(is i_ r entangT S ); T S 1_ X1 = T S 1_ X2; end s or t_ is inya = s or t(- is inya); ke_ s atu = - s or t_ is inya(1); ke_ dua = - s or t_ is inya(2); is inya_ ada_ di_ s atu = find(ke_ s atu= = is inya); nilai_ ts _ modus _ s atu = is i_ T S _ nya(is inya_ ada_ di_ s atu(1)); is inya_ ada_ di_ dua = find(k e_ dua= = is inya); nilai_ ts _ modus _ dua = is i_ T S _ nya(is inya_ ada_ di_ dua(1)); is inya_ s atu = s pr intf('% .0f',nilai_ ts _ modus _ s atu{ 1} (1)); is inya_ dua = s pr intf('% .0f', nilai_ ts _ modus _ dua{ 1} (1)); banyaknya_ s atu = num2s tr (length(nilai_ ts _ modus _ s atu{ 1} )); banyaknya_ dua = num2s tr (length(nilai_ ts _ modus _ dua{ 1} )); % akhir populas i & modus j umlah T S T S _ minz = min(T S _ s or t); T S _ minz = num2s tr (T S _ minz); T S _ max z = max(T S _ s or t) ; T S _ max z = num2s tr (T S _ max z); s et(Lis t1, .... 's tr ing', { 'LENGK AP',T S _ s or t} , ... 'Pos ition',[0 78 0 300] ... ); s et(Lis t2, .... 's tr ing', { 'K ES AT U',num2s tr (r ot90( nilai_ ts _ modus _ s atu{ 1} ))} , ... 'Pos ition',[78 0 70 300] ... ); s et(Lis t3, .... 's tr ing', { 'K EDUA',num2s tr (r ot90(nilai_ ts _ modus _ dua{ }1}, )) ... 'Pos ition',[148 0 70 300] ... ); s et(T ex t1, .. .. 'S tr ing', { ['RES ULT : '] ,['Ener gi : ',Ener gi,' dB'],['S tandar Devias i : ', S tdev],[ 'S kewnes s : ',s kew],['Kur tos is : ', kur ],['T S -rrata ata : ',Ener giT S ,' dB'], ['Dens itas Ar ea : ', dens itas _ ar ea,' ikan/nm2'] ,['Dens itas Volume : ',dens itas _ volume,' ikan/1000m3'],['T S Range = (',T S _ max z ,') - (',T S _ minz,') dB'],['modus -TdB)= S ( '] ,[ 'Ke s atu = ',is inya_ s atu,' j umlah = ',banyaknya_ s atu,' data'] ,['K e dua = is', inya_ dua,' j umlah = ', banyaknya_ dua, ' data'] } , ... 'Pos ition',[0 0 220 500] ... ); % end 13- 7- 2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - f= ui menu('Label','File'); uimenu(f,'Label','S ave ','Callback','s impan'); uimenu(f,'Label','Quit','Callback','keluar ',... 'S epar ator ','on','Acceler ator ','Q'); delete(h) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit9_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % -------------------------------------------------------------------function var ar gout = edit10_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) % action on s elect button - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = pus hbutton7_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'value',1); s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); [r ect] = getr ect(handles .mainAxes ); s et(handles .edit2,'s tr ing', s pr intf('% .0f',r ect(1))); s et(handles .edit3,'s tr ing', s pr intf('% .0f',r ect(1)+ r ect(3))) ; s et(handles .edit4,'s tr ing', s pr intf('% .0f',r ect(2))); s et(handles .edit5,'s tr ing', s pr intf('% .0f',r ect(2)+ r ect(4))) ; x 1 = get(handles .edit2,'s tr ing'); x 1 = s tr 2num(x 1); as s ignin('bas e','x 1',x 1); x 2 = get(handles .edit3,'s tr ing'); x2 = s tr 2num(x 2); as s ignin('bas e','x 2',x 2); y1 = get(handles .edit4,'s tr ing'); y1 = s tr 2num(y1); as s ignin('bas e','y1',y1); y2 = get(handles .edit5,'s tr ing'); y2 = s tr 2num(y2 ); as s ignin('bas e','y2',y2); % Define the contex t menu cmenu = uicontex tmenu; % Define the line and as s ociate it with the contex t menu % Define callbacks for contex t menu items cb1 = ['analyze2(''pus hbutton3_ Callback'',gcbo, [], guidata(gcbo))'] ; cb2 = ['ana l yze2(''pus hbutton5_ Callback'',gcbo,[ ],guidata(gcbo))'] ; cb3 = ['analyze2(''pus hbutton4_ Callback'',gcbo, [], guidata(gcbo))'] ; % Define the contex t menu items
item1 = uimenu(cmenu, 'Label', 'Mor fometr ik', 'Callback', cb1 ); item2 = uimenu(cmenu, 'Label', athymetr 'B ik', 'Callback', cb2); r ectangle('pos ition',[ r ect(1) r ect(2) r ect(3) r ect( 4)] , ... 'HitT es t', 'on', ... 'FaceColor ', 'white', ... 'E r as eMode', 'x or ', ... 'UI Contex tMenu', cmenu, .. . 'E dgeColor ', 'r d'e . .. ); s et(handles .pus hbutton3,'enable', 'on'); s et(handles .pus hbutton4,'enable', 'off'); s et(handles .pus hbutton5,'enable', 'on'); % action on Var iogr am button - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - function var ar gout = pus hbutton8_ Callback(h, eventdata, handles , var ar gin) s s s = openfig(... mfilename,'r eus e'); zoom(s s s ,'off') s et(handles .togglebutton1,'S tr ing','Z oom off'); h = waitfig('s ebentar ya ... s abar ... s abar ......'); ping = evalin('bas e','ping'); depth = evalin('bas e','depth') ; data = evalin('bas e','data1'); data2 = evalin('bas e','data2'); x1 x2 y1 y2
= = = =
x x1 x x2 yy1 yy2
evalin('bas e','x 1'); evalin('bas e','x 2'); evalin('bas e','y1'); evalin('bas e','y2');
= = = =
num2s tr (x 1); num2s tr (x 2); num2s tr (y1); num2s tr (y2);
S S X = - (dl mr ead(data,',',[ x1+ 5 1 x 2+ 5 depth - 1] )); S S X = flipud(S S X); S S X = r ot90(S S X); S S X = fliplr (S S X); S S X = flipud(S S X); CData = S S X; gg = s ize(CData); x CData = CData(y1+ 1: y2,1: gg(2)); ff = s ize(x CData); S v1 = get(handles .edit8,'S tr ing'); S v1 = s tr 2num(S v1); S v2 = get(handles .edit7,'S tr ing'); S v2 = s tr 2num(S v2); items = find(( S v1)< x CData & x CData< (S v2)); cr op = x CData(items ); CData = evalin('bas e','CData'); T S X2= []; T S 1 = get(handles .edit9,'s tr ing'); T S 2 = get(handles .edit10,'srti ng'); if T S 1 = = '' er r or dlg('T S 1 is not define','T S er r or '); end if T S 2 = = '' er r or dlg('T S 2 is not define','T S er r or '); end ambil_ T S (data2,x 1,x 2); ndepth = evalin('bas e','ndepth'); nping = evalin('bas e','nping') ; nT S = evalin('bas e','nT S '); kk k = s ize(nping); for ixx = 1: kkk(2) ndept(ix x ) = cells tr (char (ndepth{ ix x } )); npin(ix x ) = cells tr (s pr intf('% s ',char (nping{ ix x} ))); nT (ix x ) = cells tr (s pr intf('% s ',char (nT S { ix x } )));
end for xix = 3: kkk(2) x ndept(x ix ) = s tr 2num(ndept{ x ix} ) ; x npin(x ix ) = s tr 2num(npin{ xix } ) ; x nT (x ix ) = s tr 2num(nT { x ix } ); end x npin(k kk (2)) Var ioFig = figur e(.. . 'MenuB Ar ', 'none', ... 'Res ize', 'off', . .. 'C olor ', [1 1 1] , ... 'Number T itle', 'off', ... 'Name', 'Var iogr am view', ... 'Pos ition', [0 0 800 600] ... ); Var ioAx es = ax es (.. . 'XAxis Location', 'bottom', ... 'FontS ize', 8.0, ... 'Units ', 'pix els ', ... 'Dr awMode', 'fas t', ... 'Pos ition',[ 180 40 400 350] ...
);
movegui( Var ioFig,'center '); T S 1= s tr 2num(T S 1); T S 2= s tr 2num(T S 2); for t= y1: y2 for u= x 1: x2 x x CData(t,u)= CData(t,u); end end clims = [S v1 S v2] ; ff = s ize(x x CData); for t = 1: ff(1) for u = 1: ff(2) if x x CData(t,u)< S v1 x x CData(t,u) = 100; end if x x CData(t,u)> S v2 x x CData(t,u) = 100; end end end nx CData = x x CData(y1: y2,x 1: x 2); s ubplot(2,2,1); var iogr am( xnpin,x ndept,x nT ,1); s ubplot(2,2,2); var iogr am2(x npin, xndept,x CData, 1); s ubplot(2,2,3); var iogr am3(x npin, x ndept,x CData, 1); s ubplot(2, 2,4); images c(nx CData,clims ); color map(color cube(10)); f= uimenu('Label','File'); uimenu(f,'Label','S ave','Callback','s impan'); uimenu(f,'Label','Quit ','Callback','keluar ',... 'S epar ator ','on','Acceler ator ','Q'); delete(h)