IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)
YUNI PUJIRAHAYU
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN YUNI PUJIRAHAYU. Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pada Kota Dataran Rendah Di Indonesia (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan). Dibimbing oleh ALINDA F.M ZAIN. Kota-kota di Indonesia berkembang dengan cepat dari waktu ke waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif bagi perkembangan suatu wilayah. Dinamika dan tuntutan pembangunan sosial ekonomi perkotaan umumnya berdampak buruk terhadap pemanfaatan ruang wilayah kota secara fisik, sehingga kondisi ini akan mengurangi keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mempertahankan keberadaan Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Namun, setiap kota di Indonesia memiliki ciri, karakteristik, dan kondisi yang berbeda-beda. Oleh karena itulah kebutuhan RTH di setiap kota tidaklah sama, tetapi perlu disesuaikan dengan ciri, karakteristik, dan kondisinya lanskapnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi penutupan lahan di Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan, mengidentifikasi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau (RTH) di kota dataran rendah, selanjutnya adalah mengidentifikasi karakeristik RTH kota dataran rendah. Penelitian ini difokuskan terhadap tiga kota dataran rendah di Indonesia, yaitu Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. Metode penelitian dilakukan dalam dua tahap. Pertama, yaitu tahap desk study untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik lanskap dan RTH di kota-kota dataran rendah dan yang kedua adalah metode analisis spasial dengan menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) yang didukung dengan data-data sekunder. Data yang digunakan dalam menganalisis penutupan lahan Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan antara lain Citra Landsat Kota Banjarmasin tahun 2009, Citra Landsat Kota Yogyakarta tahun 2009, dan Citra Landsat Kota Medan tahun 2008. Citra Landsat ketiga kota tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1, Er Mapper 7.1, Arc View 3.3 beserta ekstensi, dan Microsoft Excel. Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan merupakan kota-kota dataran rendah di Indonesia yang sudah sangat maju pembangunannya. Kota Banjarmasin dan Kota Medan merupakan kota yang potensial di bidang perdagangan dan industri, sedangkan kota Yogyakarta memiliki keunggulan di bidang pariwisata. Ketiga kota ini sangat maju pesat di bidangnya sehingga memicu terjadinya konversi lahan menjadi ruang-ruang terbangun, seperti permukiman penduduk untuk menampung penduduk baru dan bangunanbangunan industri baru. Hal ini menyebabkan ruang terbuka hijau (RTH) di pada ketiga kota tersebut jumlahnya berkurang dan pada akhirnya timbulah masalah-
masalah lingkungan pada ketiga kota tersebut, seperti banjir, longsor, dan tingginya kadar polutan akibat dari asap kendaraan dan industri. Hasil olahan Citra Landsat pada ketiga kota dengan tiga kelas penutupan lahan, yaitu ruang terbangun, ruang terbuka hijau (RTH), dan badan air (tidak dibahas) dapat diketahui bahwa Kota Banjarmasin memiliki RTH sebesar 48,85% dan ruang terbangun sebesar 45,53%, Kota Yogyakarta memiliki RTH sebesar 16% dan ruang terbangun sebesar 80%, serta Kota Medan memiliki RTH sebesar 29,17% dan ruang terbangun sebesar 51,86%. Dari hasil tersebut dapat dianalisis bahwa RTH masih mendominasi pentupan lahan di Kota Banjarmasin dan masih berada dalam standar yang ditetapkan pemerintah untuk RTH yaitu sebesar 30% dari luas wilayah kota, sedangkan untuk Kota Yogyakarta dan Medan persentase ruang terbangun lebih besar dibandingkan dengan ruang terbuka hijau dan tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah karena persentase RTH kedua kota ini kurang dari 30% dari luas wilayah. Pola distribusi RTH pada kota Banjarmasin dan Medan tersebut hampir sama yaitu RTH umumnya memusat di kawasan pinggiran kota dan semakin menuju pusat kota, jumlah RTH terlihat semakin minim, sedangkan untuk Kota Yogyakarta pola distribusi RTH menyebar ke seluruh wilayah kota meskipun dalam proporsi yang kecil, sehingga manfaat RTH dapat terdistribusi dengan baik pula. Namun, ada kecenderungan terjadinya konversi lahan RTH yang berada di pinggir kota tersebut dikarenakan adanya pembangunan permukiman-permukiman dan bangunan-bangunan industri baru. Hal ini akan menyebabkan RTH di kawasan perkotaan, khususnya pada ketiga kota tersebut akan semakin berkurang dan permasalahan lingkungan akan semakin bertambah. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas RTH pada kota-kota tersebut sesuai dengan karakteristik kota. Selain untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah, juga demi mencapai manfaat ekologis yang optimal bagi kota dataran rendah untuk memperbaiki masalah-masalah lingkungan kota dan terwujud kota yang nyaman dan sehat.
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)
YUNI PUJIRAHAYU
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pada Kota Dataran Rendah di Indonesia (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)
Nama
: Yuni Pujirahayu
NRP
: A44051878
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F. M. Zain, M.Si NIP. 19660126 199103 2 002
Mengetahui, Kepala Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Yuni Pujirahayu dilahirkan di Kebumen pada tanggal 17 Juni 1987. Penulis merupakan anak sulung dari dua bersaudara, putri pasangan Bapak Mochammad Khasman dan Ibu Siti Mahmudatun. Penulis memulai pendidikan formal di SD Sunan Bonang Tangerang tahun 1993 dan lulus tahun 1999, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Islamic Village Tangerang pada tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Tangerang. Penulis melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Mayor Arsitektur Lanskap, Departemen Arsitektur lanskap, Fakultas Pertanian melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada masa kuliah, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) sebagai staf Divisi Keprofesian dan turut aktif dalam
kepanitiaan
kegiatan-kegiatan
yang
diadakan
oleh
kelembagaan
mahasiswa, baik internal maupun eksternal kampus. Penulis juga pernah menjadi panitia pada kegiatan Green City International Symposium yang diselenggarakan oleh Departemen Arsitektur Lanskap. Selain itu, penulis pernah melakukan kegiatan magang selama dua bulan di Gading Raya Golf, Gading Serpong Tangerang pada tahun 2007, serta pernah melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Wangunjaya, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor dengan mengasuh program desain taman sekolah pada tahun ajaran 2008/2009. Penulis pun berkesempatan menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Analisis Tapak pada tahun ajaran 2009/2010.
KATA PENGANTAR Puji syukur setinggi-tingginya dipanjatkan ke hadirat Allah atas rahmat, karunia, dan kasih sayang yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Di Indonesia Pada Kota Dataran Rendah (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)” dengan baik. Skripsi yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian ini tak lepas dari bantuan, kritik, dan saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Mama tercinta, adik (Risafani Widyaningsih) atas do’a, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan terbaik. 2. Ibu Dr. Ir. Alinda F.M. Zain M.Si, selaku dosen pembimbing atas waktu, bimbingan, ilmu, pengalaman, dan kasih sayang yang diberikan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. 3. Bapak Dr. Setia Hadi, MS. dan Ibu Fitriyah Nurul Hidayati Utami, ST, MT. selaku dosen penguji atas segala masukan, kritik, dan saran yang sangat berguna untuk penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Armaiki Yusmur, S.Si (BIOTROP), Mas Agus, dan P4W atas bantuan data citra dan ilmu RS-GIS ny, serta Mas Yudi untuk ilmu yang sudah diberikan 5. Teman-teman satu bimbingan Bu Alinda, Ian, Dhofir, dan Hudi (The Four Team), terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama mengerjakan skripsi ini. 6. Puput, Bapo, Sammy, Indah, Azi, Rindha, Rizka atas pertemanan yang baik dan hangatnya canda tawa yang diberikan. 7. Seluruh mahasiswa angkatan 42, 41, 43, 44, serta staf Departemen Arsitektur Lanskap atas kebersamaan dalam suka dan duka selama masa studi penulis di IPB. 8. Saudari-saudariku di Wisma Melati (Deean, Ncha’, Leng2, Mba Shelly, Netty, Rizka, Irma, Isni, Maul, Tino, Rias, Reni, Titis, Noe), atas hangatnya
ii
kekeluargaan yang diberikan kepada penulis selama berdomisili di Dramaga, Bogor. 9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran dan kritik membangun yang tak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih yang setulus-tulusnya.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...............................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .....................................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
I.1. Latar belakang .............................................................................
1
I.2. Tujuan..........................................................................................
4
I.3. Manfaat........................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
5
2.1. Kota ............................................................................................
5
2.2. Kota Dataran Rendah..................................................................
7
2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) ......................................................
8
2.3.1 Pengertian dan Tujuan RTH ..............................................
8
2.3.2 Fungsi dan Manfaat RTH .................................................
10
2.3.3 Bentuk dan Pola RTH .......................................................
12
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ..............................................
16
2.5. Penginderaan Jauh dan Analisis Citra ........................................
17
2.6. Penggunaan dan Penutupan Lahan .............................................
18
III. METODOLOGI .................................................................................
20
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................
20
3.2. Alat dan Bahan ...........................................................................
21
3.3. Metode Penelitian ......................................................................
22
3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder.............................................
22
3.3.2 Pengolahan dan Analisis Awal ..........................................
23
3.3.3 Analisis Lanjutan ...............................................................
25
3.3.4 Penyajian Hasil ..................................................................
26
IV. KONDISI UMUM...............................................................................
27
4.1. Kota Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan) ......................
27
4.1.1 Sejarah Pekembangan Kota Banjarmasin ..........................
27
iv
4.1.2 Letak Geografis dan Batas Adminsitratif ...........................
28
4.1.3 Topografi ..........................................................................
29
4.1.4 Hidrologi ..........................................................................
30
4.1.5 Geologi dan Tanah ...........................................................
31
4.1.6 Iklim .................................................................................
31
4.1.7 Kependudukan .................................................................
32
4.1.8 Sosial Ekonomi ................................................................
33
4.2. Kota Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta) .............................
34
4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta .................
34
4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif ........................
35
4.2.3 Topografi .........................................................................
37
4.2.4 Hidrologi .........................................................................
37
4.2.5 Geologi dan Tanah ..........................................................
38
4.2.6 Iklim ................................................................................
38
4.2.7 Kependudukan .................................................................
38
4.2.8 Sosial Ekonomi ................................................................
39
4.3. Kota Medan (Propinsi Sumatera Utara) .....................................
38
4.3.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Medan ........................
39
4.3.2 Letak Geografis dan Batas Administratif ........................
40
4.3.3 Topografi .........................................................................
41
4.3.4 Iklim ................................................................................
41
4.3.5 Sosial Kependudukan ......................................................
42
4.3.6 Sosial Ekonomi ...............................................................
42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
43
5.1. Hasil Identifikasi Penutupan Lahan ...........................................
44
5.1.1 Penutupan Lahan Kota Banjarmasin ...............................
44
5.1.2 Penutupan Lahan Kota Yogyakarta ................................
50
5.1.3.Penutupan Lahan Kota Medan ........................................
56
5.2. Karakteristik Umum Lanskap Kota Dataran Rendah .................
63
5.2.1 Karakteristik Aspek Fisik Kota Dataran Rendah ............
63
5.2.2 Karakteristik Sosial-Ekonomi dan Demografi ................
65
5.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Kota Dataran Rendah ........
66
v
5.3.1 Ketersediaan RTH Di Kota Dataran Rendah ..................
66
5.3.2 Distribusi dan Struktur RTH di Kota Dataran Rendah ...
69
5.3.3 Vegetasi Ruang Terbuka Hijau .......................................
73
5.4. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan UndangUndang No.26 Tahun 2007 ........................................................
75
5.5. Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Ruang Terbuka Hijau ...........................................................................................
76
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
80
6.1. Kesimpulan .................................................................................
80
6.2. Saran ...........................................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
82
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1. Pembagian Ruang Kota ......................................................................
9
2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian .....................................................
20
3. Diagram Alir Proses Pengolahan Data...............................................
26
4. Peta Administratif Kota Banjarmasin ................................................
29
5. Lanskap Sungai Kota Banjarmasin ....................................................
33
6. Ruang Terbangun Kota Banjarmasin .................................................
33
7. Peta Administrasi Kota Yogyakarta ...................................................
36
8. RTH Kota Yogyakarta .......................................................................
39
9. Peta Administratif Kota Medan .........................................................
41
10. RTH Kota Medan ..............................................................................
43
11. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Tahun 2009 ........................................................................................
45
12. Peta Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Tahun 2009 ......................
45
13. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Per Kecamatan Tahun 2009 ...............................................................
46
14. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kota Banjarmasin Tahun 2009 ........................................................................................
47
15. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau Kota Banjarmasin Tahun 2009 ........................................................................................
48
16. Kawasan Ruang Terbuka Hijau Sempadan Sungai Banjarmasin ......
50
17. Peta Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 .......................
51
18. Grafik Persentase Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 ........................................................................................
52
19. Grafik Persentase Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 .......................................................................................
52
20. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kota Yogyakarta per Kecamatan Tahun 2009......................................................................
53
21. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta Tahun 2009 ........................................................................................
54
22. Ruang Terbangun di Kota Yogyakarta ..............................................
56
vii
23. Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta .............................
56
24. Penutupan Lahan Kota Medan Tahun 2008 .......................................
58
25. Grafik Persentase Penutupan Lahan Kota Medan Tahun 2008 .........
58
26. Grafik Persentase penutupan Lahan Per Kecamatan Kota Medan Tahun 2008....................................................................
59
27. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau Kota Medan Tahun 2008 ........................................................................................
60
28. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Per Kecamatan Kota Medan Tahun 2008....................................................................
60
29. Ruang Terbangun Di Kota Medan .....................................................
62
30. Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan ................................................
62
31. RTH untuk tujuan fungsi kenyamanan kota.......................................
68
32. RTH meredam peningkatan pencemaran udara .................................
69
33. Bentuk RTH Kota Banjarmasin .........................................................
71
34. Bentuk RTH Kota Yogyakarta ...........................................................
72
35. Bentuk RTH Kota Medan ..................................................................
73
viii
DAFTAR TABEL Nomor 1
Teks
Halaman
Bentuk dan Kriteria Komponen Ruang Terbuka Hijau......................
13
2. Jenis dan Sumber Data ......................................................................
21
3. Luas, Nama Ibukota Kecamatan di Kota Banjarmasin Tahun 2008 ..
28
4. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin Tahun 2000-2007....................
32
5. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2002 - 2007 ...................
37
6. Jumlah Penduduk Kota Medan Tahun 2000-2008 .............................
42
7. Persentase Penutupan Lahan Kota Banjarmasin ................................
45
8. Persentase Penutupan Lahan Kota Yogyakarta..................................
51
9. Persentase Penutupan Lahan Kota Medan .........................................
57
10. Kriteria Satuan Kemampuan Lahan (Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah) .............................................................................
63
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat aktifitas manusia dalam mengelola lingkungan untuk memenuhi keperluan hidupnya dan keberadaanya tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan,
adat-istiadat,
politik,
ilmu
pengetahuan,
dan
teknologi.
Perkembangan dan perubahan faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan perkembangan dan perubahan lanskap perkotaan (Simonds, 1983) Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Kota yang pada awalnya merupakan kota kecil akan terus berkembang menjadi kota sedang hingga menjadi kota besar sesuai dengan kehidupan masyarakatnya yang selalu dinamis. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif bagi perkembangan suatu wilayah. Dampak positif antara lain kelancaran dan efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan berbagai fasilitas sosial, seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi adalah menurunnya kualitas sumber daya alam dan kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkan kemampuan lingkungan perkotaan dalam dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun. Dinamika dan tuntutan pembangunan sosial ekonomi perkotaan umumnya juga berdampak terhadap pemanfaatan ruang wilayah kota secara fisik, sehingga kondisi ini akan mengurangi keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Tingginya perkembangan sebuah kota yang diiringi oleh peningkatan jumlah penduduk dari waktu ke waktu ini menyebabkan semakin meluasnya penggunaan lahan untuk kawasan hunian perkotaan ke arah kawasan-kawasan pinggiran kota termasuk ruang terbuka, kawasan lindung, dan lahan produktif pertanian. Peningkatan permintaan lahan untuk kepentingan ekonomi dan perumahan ini berdampak pada semakin berkurangnya ruang-ruang terbuka hijau di kota-kota
2
besar. Luas RTH kota mengalami penurunan karena tidak adanya pertimbanganpertimbangan secara ekologis dalam penggunaan lahan. Implikasi dari berkurangnya jumlah RTH terhadap lingkungan adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan tercermin dari semakin bermunculan fenomena masalah lingkungan di perkotaan seperti suhu udara yang meningkat, tingkat polusi udara yang semakin tinggi, rusak atau hilangnya habitat berbagai flora dan fauna yang diikuti oleh semakin menurunnya keanekaragaman flora dan fauna tersebut. Hal ini terjadi karena lahan-lahan untuk kawasan lindung perkotaan, daerah bantaran sungai, kawasan terbuka, kawasan resapan air, dan lahan produktif pertanian yang berfungsi sebagai daerah penyangga kota dan habitat flora-fauna sedikit demi sedikit hilang dan digantikan dengan kawasan hunian atau permukiman. Selain itu juga dapat mengurangi keindahan kota dan mengurangi kenyamanan seperti suhu udara, kelembaban, dan penyinaran. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian dan perlu dikaji dengan serius mengenai implikasi-implikasi ini dalam pengaruhnya terhadap lingkungan. Masyarakat kota berhak mendapat lingkungan yang nyaman, sehat, dan estetis. Pemanfaatan ruang terbuka adalah salah satu cara untuk mempertahankan kondisi ekologis lingkungan kota dan dapat diarahkan supaya dapat mendukung kegiatan perkotaan. Menurut Simond (1983), ruang terbuka hijau merupakan bagian yang penting dari suatu kota. Penanaman tanaman di perkotaan dalam bentuk ruang terbuka hijau merupakan usaha yang bermanfaat dalam penanggulangan berbagai masalah lingkungan. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), produktifitas kerja dapat ditingkatkan dalam keadaan lingkungan fisik yang lebih baik dan asri. Peran ruang terbuka hijau dalam memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota adalah penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru bagi kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan kota, tempat kehidupan satwa, ameliorasi iklim, serta sebagai unsur pendidikan. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah agar mereka mendapatkan perlindungan dari berbagai permasalahan lingkungan, seperti tetap berupaya mempertahankan keberadaan Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan melalui berbagai
3
peraturan dan Undang-Undang. Salah satu peraturan tersebut adalah UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Namun setiap kota di Indonesia memiliki ciri, karakteristik, dan kondisi yang berbeda-beda. Oleh karena itulah kebutuhan RTH di setiap kota tidaklah sama, tetapi perlu disesuaikan dengan ciri, karakteristik, dan kondisinya lanskapnya. Sebagai contoh, kebutuhan RTH di kota-kota daratan berbeda dengan kebutuhan kota-kota pegunungan, kota pulau, maupun kota pantai (tipologi alamiah kota). Hal tersebut dapat dilihat melalui pola RTH masing-masing kota yang
ditentukan
oleh
hubungan
fungsional
antar
komponen-komponen
pembentuknya, yaitu ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural. Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Kota Medan merupakan contoh tipologi kota daratan yang mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi pusat kegiatan masyarakatnya. Perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan semakin menurunya kualitas maupun kuantitas RTH. Dalam perkembangan wilayah Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan perlu diidentifikasi bagaimana karakteristik RTH kota-kota dataran rendah secara umum dan RTH ketiga kota tersebut secara khusus, agar tercipta RTH yang sesuai dengan karakteristik kota sehingga dapat menciptakan lingkungan yang nyaman bagi masyarakat kota-kota tersebut serta mengetahui seberapa besar perubahan ruang terbuka hijau akibat pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan fisik lainnya agar jumlah ruang terbuka hijau dalam kota tetap terjaga pada proporsi yang sesuai. Teknologi informasi terus berkembang, data mengenai suatu wilayah dalam bentuk spasial dapat diketahui dari citra penginderaan jauh, kemudian dianalisis dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). SIG memberikan kemudahan dalam menganalisis data geografik suatu wilayah baik secara spasial maupun non spasial. Teknologi informasi ini sangat berguna untuk pemetaan, inventarisasi, pemantauan, evaluasi, dan pembuatan model pengelolaan secara cepat, akurat, dan efektif.
4
Citra Landsat menggambarkan wilayah perkotaan secara menyeluruh, sehingga sangat tepat untuk digunakan dalam pemantauan morfologi fisik kota guna melihat arah atau trend kecenderungan perkembangan kota. Dengan kemampuan teknik penginderaan jauh tersebut berarti sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu analisis penyebaran spasial ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Dengan kata lain teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) akan sangat efektif dan efisien untuk digunakan dalam membantu menyusun rencana pengembangan ruang terbuka hijau, serta kebijakan-kebijakan pemerintah agar kawasan ruang terbuka hijau yang terawat dengan baik ada di setiap kawasan, terutama kawasan perkotaan.
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeteksi penutupan dan penggunaan lahan di Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan 2. Mengidentifikasi proporsi dan distribusi penutupan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota dataran rendah di Indonesia 3. Mengidentifikasi karakteristik RTH kota dataran rendah
1.3. Manfaat Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Memberikan informasi mengenai jumlah ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan bagi pihak-pihak terkait baik pemerintah kota maupun pihak swasta dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan ruang terbuka hijau. 2. Sebagai tambahan informasi bagi para pembaca dan khususnya pemerhati lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Kota adalah suatu wilayah yang akan terus tumbuh seiring dengan waktu baik dari segi pembangunan fisik maupun non fisik. Menurut Simond (1983), kota merupakan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat aktifitas manusia dalam mengelola lingkungan untuk memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hal ini, kota diartikan sebagai suatu tempat yang memiliki penduduk lebih banyak daripada di desa dengan sarana dan prasarana yang juga lengkap untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Lanskap kota atau lanskap buatan tersebut didominasi oleh bangunan yang juga berfungsi sebagai pusatnya (Eckbo, 1964). Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lanskap kota terjadi karena adanya pengorganisasian ruang yang merupakan cerminan dari kegiatan masyarakat setiap hari. Kota memiliki berbagai unsur dan komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada saat unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995). Sementara Rapoport (1985), menggunakan beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu kota, yaitu berukuran dan berpenduduk besar, bersifat permanen, memiliki kepadatan minimum, memiliki struktur dan pola dasar, tempat orang melakukan aktivitasnya, mempunyai sarana dan prasarana kota, masyarakat heterogen, sebagai pusat kegiatan ekonomi, pelayanan dan difusi sesuai dengan zaman dan daerahnya.
6
Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan dimana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala dimana pengembangan kawasan terbangun dapat dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit dimana peruntukkannya hanya untuk menjaga kualitas alam, sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam. Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan berbagai fasilitas sosial, seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkan kemampuan lingkungan perkotaan dalam dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998). Ambarwati (2005) dalam Haris (2006) menyatakan penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah perubahan cuaca dan iklim, terutama dalam hal peningkatan suhu, pencemaran udara, menurunnya permukaaan air tanah, banjir, intrusi air laut, serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi dan sebagainya. Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar
7
membutuhkan ruang, sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap. Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang panjang dan kompleks. Semua kota umumnya dibangun dengan suatu perencanaan menurut kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan perubahan dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek keragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak, dan rancang bangunnya. (Anwar, 1994; Tim IPB, 1993 dalam Nurisjah, 2002). Kota memiliki spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dapat dimiliki atau diusahakan, terutama aspek ekonomi, telah mengubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota. Kota-kota ini selanjutnya dirancang dalam usaha mencapai tujuannya, seperti untuk
kepentingan
industri,
wisata,
perdagangan,
pengembangan
iptek,
pendidikan, dan berbagai bentuk kota lainnya. (Lynch, 1995 dalam Nurisjah, 2002) Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi namun menurun secara ekologis, padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan kebutuhan kota terkait.
2.2. Kota Dataran rendah Kota Dataran rendah adalah salah satu bentuk tipologi kota yang terletak di antara kota pantai dan kota pegunungan yang umumnya berada di dataran tinggi. Dataran rendah adalah tanah yang keadaannya relatif datar dan luas sampai ketinggian 400 m dpl. Dataran rendah di Indonesia umumnya merupakan hasil sedimentasi sungai (alluvial). Tanah alluvial biasanya berhadapan dengan pantai landai dan tanahnya subur dan sangat baik untuk pertanian, perkebunan, dan industri, sehingga kota-kota dataran rendah umumnya berpenduduk padat (Anwas,
8
2006). Suhu udaranya berkisar antara 22 °C – 27 °C, sehingga termasuk daerah bersuhu panas. Dataran rendah memiliki tanah relatif luas, relatif subur, dan mempunyai cadangan air yang cukup. Semua itu mendukung pertumbuhan daerah dataran rendah menjadi sebuah kota dan menjadi pusat aktivitas dari kota tersebut. Oleh karena itu, kota dataran rendah secara umum penduduknya lebih cepat maju. Mata pencaharian penduduk lebih bervariasi, ada yang bertani, nelayan, berdagang, industri, maupun bergerak dalam bidang jasa. (Anwas, 2006).
2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.3.1 Pengertian dan Tujuan RTH Simonds (1983), di dalam bukunya menyatakan bahwa ruang terbuka memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidup kota tersebut. Tanpa keberadaan ruang terbuka dalam wilayah perkotaan, maka dapat menimbulkan ketegangan mental bagi masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, keberadaan ruang terbuka menjadi salah satu elemen penting dalam wilayah perkotaan. Sulistyantara (2002) dalam Putri (2006), memberikan pengertian bahwa ruang terbuka kota pada dasarnya merupakan ruang yang tidak terbangun, dan memiliki
fungsi
utamanya
untuk
menunjang
tuntutan
akan
kebutuhan
kenyamanan, kesejahteraan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam. Ruang terbuka hijau merupakan ruang terbuka, yang memiliki kekhususan sifat yang dimilikinya, yaitu bahwa pengisian ruang terbuka ini lebih didominasi oleh unsur hijau (tumbuhan), sedangkan unsur lainnya yaitu struktur bangunan merupakan pengisi dalam presentase penutupan yang kecil, yaitu hanya sebesar 20%. RTH kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka di suatu wilayah perkotaan yang memiliki manfaat dan fungsi yang terkait erat dengan kelestarian dan keindahan lingkungan dan juga terkait erat dengan kelestarian dan keindahan lingkungan dan juga terkait erat dengan tingkat kesehatan, kenyaman, dan kesejahteraan manusia (Nurisjah, 2002). Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
9
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH adalah sesuatu yang difungsikan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Kawasan terbuka hijau dapat berupa taman, hutan kota, trotoar jalan yang ditanami pohon, areal sawah atau perkebunan. Kota umumnya terdiri atas ruang terbangun dan ruang terbuka. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14, 1988). RTH merupakan salah satu bentuk ruang terbuka. Keberadaan RTH sangat dibutuhkan dalam kawasan perkotaan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan, sehingga tingkat ketersediaan RTH sebagai salah satu komponen ruang kota harus selalu diperhitungkan dalam proses perencanaan kota, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Ruang Terbangun
Wilayah Kota Ruang Sirkulasi
Ruang Tak Terbangun Ruang Terbuka
Gambar 1. Pembagian Ruang Kota RTH adalah semua ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, baik yang bersifat alami, seperti padang rumput, stepa, sabana, hutan raya, maupun yang bersifat buatan seperti taman lingkungan, taman bermain, taman rekreasi, dan jalur hijau tepi jalan, serta halaman rumah (Nurisjah, 1991) dalam Idawaty, Rachman Z, Pramukanto (1998). RTH pun sangat penting nilainya tidak hanya dari segi fisik dan sosial, tetapi juga dari penilaian ekonomi dan ekologis serta penting bagi masyarakat
10
sekitarnya. Dalam Perda No.6/1999 juga disebutkan bahwa RTH mempunyai peran yang penting dalam suatu kawasan perkotaan, terutama karena fungsi serta manfaatnya yang tinggi dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan alami perkotaan. Sedangkan dalam Permendagri No. 1 Tahun 2007 Pasal 2 dijelaskan pula tujuan pembentukan RTH di wilayah perkotaan, yaitu: 1. Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan 2. Mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan; dan 3. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih, dan nyaman.
2.3.2 Fungsi dan Manfaat RTH RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan
(ekstrinsik)
yaitu
fungsi
arsitektural,
sosial
dan
ekonomi.
Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi (Purnomohadi, 2006 dalam Hartini, Harintaka, Istarno, 2007) RTH, dengan seleksi dan struktur tanaman-tanaman pengisinya serta lokasi yang tepat, dapat mengendalikan kondisi lingkungan kota sehingga penurunan kualitas lingkungan yang lebih lanjut dapat dicegah atau diminimumkan. Seleksi tanaman pengisi RTH juga dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan kualitas keindahan kawasan perkotaan (misalnya bentuk arsitektur pohon, warna daun dan bunganya, tata letak, dan waktu keindahan pohon atau jenis-jenis tanaman), serta untuk meningkatkan kesejahteraan sosial manusia (misalnya, untuk menarik wisatawan, kebanggaan warga kota, ketersediaan bahan yang dapat dijual, suplai oksigen atau paru-paru kota, penyangga ketersediaan air tanah, dan penambahan pengetahuan hayati). Simond (1983) menyatakan bahwa fungsi RTH di perkotaan, antara lain: (1) Sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernapas yang segar dan keindahan visual, (3) sebagai paru-paru kota, (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) mencegah erosi, dan (6) unsur dan sarana
11
pendidikan. Sedangkan menurut Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto (1998), RTH dalam lanskap perkotaan berfungsi untuk membentuk suasana visual yang estetis, penyatu ruang serta melunakkan wajah kota, juga berfungsi sebagai paru-paru kota untuk meminimalkan pencemaran udara, dan penghasil O2, juga berfungsi sebagai daerah resapan air sehingga dapat mengurangi intrusi air laut, mereduksi dan menyaring polutan di udara, ameliorasi iklim mikro, mengurangi erosi, tempat rekreasi, dan sebagai habitat satwa liar. Nurisjah dan Pramukanto (1995) mengemukakan RTH dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi, olahraga, bersosialisasi, dan untuk melepaskan kejenuhan serta kemonotonan kerja. Secara ekologis, RTH dapat berfungsi untuk menciptakan iklim mikro (suplai oksigen, memperbaiki kualitas udara, dan suplai air bersih), konservasi tanah dan air, serta pelestarian habitat satwa. Berdasarkan INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 fungsi RTH adalah sebagai berikut: 1. Sebagai
areal
perlindungan
berlangsungnya
fungsi
ekosistem
dan
penyangga kehidupan. 2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kehidupan lingkungan. 3. Sebagai sarana rekreasi. 4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran. 5. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan, serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. 6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. 7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 8. Sebagai pengatur tata air. Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), dan kenyaman fisik (teduh, segar), sedangkan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005)
12
2.3.3 Bentuk dan Pola RTH Ditinjau dari tujuan pemanfaatan suatu RTH, menurut Inmendagri No. 14 tahun 1988 tentang ruang terbuka hijau, ada tujuh bentuk RTH di kawasan perkotaan, yaitu: 1. RTH yang berlokasi pasti karena adanya tujuan konservasi 2. RTH untuk keindahan kota 3. RTH karena adanya tuntutan dari fungsi tertentu, misalnya untuk lingkungan sekitar pusat olahraga 4. RTH untuk peraturan lalu lintas 5. RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan 6. RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pembentuknya. Pola RTH terdiri dari (a) RTH struktural, dan (b) RTH non struktural. RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsifungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarkhi. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan. Struktur RTH ini dapat dilihat melalui taman lingkungan, taman perumahan, taman kota, taman regional, dan sebagainya. RTH non-struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir. Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota
13
pegunungan, kota pantai, kota pulau, dan lain - lain) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural. Menurut Grey and Denneke (1986) dan Fakultas Kehutan IPB (1987) berdasarkan kriteria sasaran, fungsi penting, jenis vegetasi, intensitas manajemen, status
pemilik,
serta
pengelolanya;
komponen
penyusun
RTH
dapat
dikelompokkan ke dalam empat bentuk yaitu hutan kota, taman kota, jalur hijau kota, serta kebun dan pekarangan. Selanjutnya, menurut Nazaruddin (1994) dan Irwan (2005) sempadan sungai, sempadan pantai, dan lereng/bukit/gunung yang tersebar di dalam kota juga merupakan komponen penyusun RTH yang penting keberadaannya (Tabel 1). Hutan Kota, menurut Grey and Denneke (1986) diartikan sebagai tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan berasosiasi dengan vegetasi atau bentuk-bentuk lahan lainnya sehingga dapat memberikan sumbangan lingkungan hidup yang baik kepada manusia. Selain itu, menurut Departemen Kehutanan (1991), hutan kota didefinisikan sebagai suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di tanah Negara, ataupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan air, udara, habitat, flora, dan fauna yang memiliki estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan peraturan perundangan (Perda) sebagai hutan kota.
Tabel 1. Bentuk dan Kriteria Komponen Ruang Terbuka Hijau No
Kriteria
Hutan Kota
1
Sasaran
Kawasan Konservasi
2
Fungsi yang penting
Hidrologis dan ameliorasi iklim
Sempadan Sungai dan pantai Kawasan Konservasi
Lereng/ Bukit/ Gunung Kawasan konservasi dan pertanian tanaman keras
Perlindungan setempat dan hidrologi
Hidrologi, ameliorasi iklim, dan komersial
Taman Kota Kawasan industri dan pusat kegiatan
Estetika dan Produksi Oksigen
Jalur Hijau Kota Jalan dan Kawasan Komersial
Halaman dan Pekarangan Permukiman
Ameliorasi Iklim
Produksi oksigen dan tujuan komersial
14
3
Vegetasi
Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif
Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif
Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif
Tanaman Hias
Tumbuhan Semua Strata
Buahbuahan, tanaman hias, atau lainnya
4
Intensitas Manajemen
Rendah
Sedang
Rendah
Tinggi
Sedang
Tinggi
5
Status Milik
Umum
Umum
Umum dan Pribadi
Umum dan Pribadi
Umum
Pribadi
6
Pengelola
Dinas Kehutanan atau perorangan
Dinas Pekerjaan Umum dan atau Pertamanan
Dinas Pertamanan atau Pribadi
Dinas Pertamanan atau Pribadi
Dinas Pertamanan
Pribadi
Sumber: Grey and Danneke, 1986; Fakultas Kehutanan IPB, 1987; Nazaruddin, 1984; dan Irwan, 2005
Sempadan sungai dan sempadan pantai menurut Keppres No. 32 tahun 1990, tentang pengelolaan Kawasan Lindung dikatergorikan sebagai kawasan lindung yang memberikan perlindungan setempat. Bentuk perlindungan sempadan sungai maupun sempadan pantai adalah menjadikan kawasan sempadan tersebut sebagai ruang bervegetasi (RTH). Perlindungan lereng, bukit, dan gunung pada dasarnya merupakan perlindungan setempat, mengingat pemanfaatan lahan yang memiliki kelerengan terjal dikhawatirkan akan mengganngu fungsi tata air dan mengakibatkan erosi maupun tanah longsor. Bentuk perlindungan adalah dengan menjadikan kawasan lereng, bukit, dan gunung tersebut sebagai ruang bervegetasi (RTH). Taman kota yang dimaksud adalah taman yang mempunyai vegetasi yang berfungsi utama menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk mendukung kehidupan di perkotaan. Jenis tanaman yang akan ditanam sebaiknya dipilih jenis tanaman yang dapat memproduksi oksigen yang tinggi, sehingga taman yang bersangkutan tidak semata-mata dibangun hanya untuk keindahan saja. Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun RTH dapat berupa jalur beberapa meter saja sampai dengan puluhan kilometer. Jalur hijau biasanya diintegrasikan dengan ruas jalan, dengan penanaman vegetasi pada median jalan atau bahu jalan. Jenis tanaman yang ditanam tergantung pada tujuan atau fungsi tertentu, misalnya peredam kebisingan, penangkal angin, dan penghasil oksigen.
15
Kebun, halaman, dan pekarangan mempunyai peran penting sebagai komponen RTH, bahkan dengan sifatnya yang merupakan milik pribadi, maka upaya pemanfaatan kebun, halaman, dan pekarangan diarahkan pada penanaman vegetasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi (buah-buahan atau hasil lainnya) dan sekaligus mampu memproduksi oksigen untuk keperluan penduduk kota. Dikaitkan dengan kecenderungan perubahan ke arah serba beton, Irwan (2005) mengatakan bahwa kecenderungan tersebut harus diimbangi dengan pengembangan lingkungan atau lanskap yang bertumpu pada alam. Gejala yang terlihat sekarang adalah lahan-lahan hijau selalu menjadi korban dan berubah menjadi beton, taman-taman banyak yang berubah fungsi. Untuk itu, orientasi perencanaan tata ruang perlu pula diimbangi dengan perencanaan keberadaan RTH. Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu: 1. Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu: a) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah b) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pelayanan lainnya c) Arah dan tujuan pembangunan kota 2. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH 3. Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi) 4. Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan luas minimum RTH melalui Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 9 yang menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. Selain itu, dapat juga dilakukan perhitungan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk dan berdasarkan isu penting yang dihadapi suatu kota, seperti kebutuhan oksigen dan air untuk warga kota.
16
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Definisi lain diberikan oleh Prahasta (2001) yang mendefinisikan bahwa SIG merupakan alat bantu yang sangat penting dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis objekobjek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Terdapat empat komponen penting yang saling berkaitan bila bekerja dengan Sistem Informasi Geografi, yaitu sebagai berikut: 1. Hardware (perangkat keras), merupakan wadah komputer yang berfungsi untuk mengoperasikan Sistem Informasi Geografi 2. Software, merupakan perangkat lunak yang berfungsi untuk menganalisis informasi geografi 3. Data dan metadata, yang berupa data tabular dan spasial. SIG akan mengintegrasikan data spasial dengan sumber data lainnya dan kemudian dapat mengatur dan menyimpan data dalam bentuk data spasial maupun non spasial 4. Manusia, merupakan komponen penting yang mengatur sistem dan membangun rencana untuk mengaplikasikannya. SIG mampu mendekripsikan objek permukaan bumi dalam hal: 1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian) 2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis 3. Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu Salah satu aktivitas penting dalam kegiatan Sistem Informasi Geografi adalah pengisian basis data berupa digitasi dan memasukkan angka, kemudian analisa dapat dilakukan setelah basis data tersedia. Pemasukan data ke dalam
17
sistem adalah data input diubah menjadi format data digital agar dapat disimpan dan dimanipulasi.
2.5. Penginderaan Jauh dan Analisis Citra Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Komponen dasar suatu sistem pengindearaan jauh lokal ditunjukkan dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atsmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data (Lillesand dan Kiefer, 1979). Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya. Satelit pengindraan jauh yang sering digunakan adalah untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat. Citra landsat komposit warna cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannnya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper), yang memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter dengan karakteristik tertentu. Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1979), dibagi ke dalam dua klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak
terbimbing
(unsupervised
classification).
Proses
pengklasifikasian
klasifikasi terbimbing dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada klasifikasi tidak terbimbing,
18
pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokkan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelaskelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut. Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan ke dalam SIG dengan beberapa cara. Cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh dengan foto udara discan, digitasi peta rupa bumi, menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversi ke dalam format SIG, atau langsung menggunakan perangkat lunak SIG seteah citra di digeoreferensi. Hasilnya dapat berupa data vektor maupun data raster. Saat ini semakin banyak sistem satelit penginderaan jarak jauh yang telah membuat kemajuan yang sangat spektakuler di bidang penginderaan jauh, sehingga menghasilkan data input untuk SIG. Data input SIG dapat beragam jenis formatnya. Salah satu contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh baik berupa hasil interpretasi foto udara maupun dari penerapan metode citra digital yang dikonversikan ke dalam teknologi SIG. Dengan berbasis kepada georeference dalam SIG, dimungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik data spasial maupun deskriptif. http://jentonmelawon.blogspot.com/2007/05/aplikasi-citra-landsat-pada-gis.html
2.6. Penggunaan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan menunjukkan hasil pekerjaan manusia pada suatu lahan. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penggunaan lahan diartikan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, kebun, sawah, hutan, dan sebagainya) dan penggunaan bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya). Sedangkan istilah penutupan lahan menunjukkan pada perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut, misalnya badan
19
air, hutan (vegetasi), batuan, tanah, struktur buatan manusia, dan sebagainya. (Sherbinin dalam Putri, 2006) Dalam Turner dan Meyer, 1994 dijelaskan bahwa perubahan penutupan dan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagai macam pola penggunaan dan penutupan lahan serta terhadap perubahanperubahannya sebagai akibat dari aktivitas manusia di atas permukaan bumi. Di perkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi permukiman, industri, infrastruktur kota. Perubahan demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya. (Grigg, 1984 dalam Sitorus, 2004). Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982), dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia, seperti dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri-ciri permukiman, penduduk, pola lapangan kerja, dan pola pemanfaatan sumber daya yang ada. Dilihat dari sistem keruangan kota, penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Yunus (2004) menjelaskan bahwa pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan komunikasi dari dan ke daerahdaerah di sekitar kota utama, kondisi topografi, kondisi hidrografis merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota.
III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan. Adapun alasan pemilihan ketiga kota tersebut antara lain: 1. Ketiga kota tersebut merupakan kota-kota yang usianya sudah tua sehingga dapat dilihat bagaimana perkembangannya dari tahun ke tahun, dan pada saat ini kota-kota tersebut adalah kota-kota yang mengalami perkembangan sangat pesat 2. Ketiga kota tersebut mewakili kota-kota dengan tipologi dataran rendah di setiap pulau di Indonesia Pengolahan dan analisis data dilakukan di Kampus Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.
Kota Medan
Kota Yogyakarta
Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian
Kota Banjarmasin
21
3.2. Alat dan Bahan Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perlengkapannya yang berguna untuk proses pengolahan dan analisis data, perangkat lunak Erdas Imagine 9.1, ErMapper 7.1, ArcView 3.3 beserta extension, Microsoft Excel untuk tabulasi data. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data spasial dan atribut (Tabel 2). Untuk pengolahan citra digunakan data citra terbaru, tetapi karena adanya kerusakan sensor satelit milik NASA, maka pada citra tersebut terdapat stripping, yaitu kerusakan pixel pada citra dan membentuk pola garis lurus yang sejajar. Oleh karena itu, diperlukan data citra lain dengan path/row yang sama dengan kondisi yang baik untuk di-overlay dengan peta stripping tersebut.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Data Peta Landsat 7 ETM+
Jenis Data sekunder
Sumber BTIC Biotrop
Kegunaan Untuk melihat penutupan
Path/Row: 118/062
lahan di Kota Banjarmasin
Acq: 25 Juli 2009
tahun 2009
Peta Landsat 7 ETM+
sekunder
BTIC Biotrop
untuk mengetahui
Path/Row: 120/065
penutupan lahan di Kota
Acq: 21 Juni 2009
Yogyakarta tahun 2009
Peta Landsat 5 TM
sekunder
BTIC Biotrop
untuk mengetahui
Path/Row: 129/057
penutupan lahan di Kota
Acq: 8 Mei 2008
Medan tahun 2008
Peta Landsat 7 ETM+
sekunder
BTIC Biotrop
untuk overlay pada citra
Path/Row: 118/062
stripping Path/Row:
Acq: 5 Agustus 2007
118/062 Kota Banjarmasin
Peta Penutupan Lahan
sekunder
P4W
untuk overlay pada citra
Kota Yogyakarta
stripping Path/Row:
tahun 2005
120/065 Kota Yogyakarta
Peta Penutupan Lahan
Sekunder
P4W
untuk overlay pada citra
Kota Medan tahun
stripping Path/Row:
2005
129/057 Kota Yogyakarta
22
Data
Jenis Data
Peta Aministrasi Kota
sekunder
Sumber
Kegunaan
website
untuk mengetahui batas
Banjarmasin,
Pemerintah Kota
administrasi kota, overlay
Yogyakarta, dan Medan
BAPPEDA, P4W dengan citra terklasifikasi
Kondisi umum Kota
sekunder
website
Untuk mengetahui sejarah,
Banjarmasin,
pemerintah kota,
kondisi biofisik,
Yogyakarta, dan
website BPS,
pertumbuhan ekonomi,
Medan (kondisi
literatur lainnya
pertumbuhan penduduk
website
untuk mengetahui karakter
biofisik dan kondisi sosial ekonomi) Karakter umum kota
sekunder
dataran rendah
lanskap kota pantai
3.3. Metode Penelitian Metode yang digunakan terbagi dalam dua tahap, yaitu: 1. Pengumpulan data dengan metode desk study (studi kepustakaan) untuk mengumpulkan informasi awal terkait dengan ruang terbuka hijau (RTH) 2. metode analisis spasial dengan menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi yang didukung dengan data-data sekunder yang difokuskan pada penutupan lahan Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang meliputi: pengumpulan data, analisis awal, analisis lanjutan, dan penyajian hasil.
3.3.1 Pengumpulan Data Sekunder Tahapan pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian dari berbagai pihak/instansi terkait. Data yang diperoleh berupa data spasial dan data tabular. Data spasial merupakan data yang bersifat keruangan, berupa citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009 untuk Kota Banjarmasin dan Kota Yogyakarta, serta tahun 2008 untuk kota Medan yang diperoleh dari BTIC-BIOTROP dan peta administrasi Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan. Data tersebut digunakan untuk pengindentifikasian penutupan lahan pada Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan. Data tabular merupakan data yang berbentuk tulisan atau angka-angka yang terdiri dari data
23
kondisi biofisik dan sosial ekonomi kota yang diteliti, tata guna lahan, sejarah perkembangan kota, serta aspek legal yang berkaitan dengan RTH Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan.
3.3.2 Pengolahan dan Analisis Awal Sebelum melakukan analisis citra, perlu dilakukan beberapa tahap persiapan yang mencakup koreksi geometris, perbaikan citra (overlay peta stripping), pembatasan wilayah penelitian, interpretasi citra, dan delineasi citra. 1. Koreksi Geometri Koreksi geometri merupakan tahap awal pengolahan citra yang tujuannya untuk melakukan rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra sehingga koordinat citra sesuai dengan koordinat bumi, juga untuk registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu (Purwadhi 2001 dalam Meiliyani 2008). Proses koreksi geometris dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1 dengan menentukan titik kontol GCP (Ground Control Point) pada masing-masing data acuan dan data yang dikoreksi. Penentuan GCP akan menimbulkan nilai RMSE (Root Means Square Error), yaitu suatu nilai yang menunjukkan besarnya simpangan antara posisi sebenarnya dengan posisi GCP. Besarnya nilai RMSE ini disarankan agar lebih kecil dari 0,5 piksel atau sebesar 0.10 (10%) (Jaya, 2002 dalam Hakim, 2006). Pada proses ini koordinat raster maupun vektor diubah ke dalam sistem koordinat UTM (Universal Tranverse Mecator) dengan sistem proyeksi WGS 84. Setelah dilakukan koreksi geometris terhadap citra satelit, selanjutnya tahap mengkompositkan citra (color composit). Komposit citra digunakan untuk mengkombinasikan band-band dari citra satelit TM sehingga menghasilkan citra komposit yang dapat menggambarkan keadaan penutupan lahan secara lebih mudah. Kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi band 5,4,2.
24
2. Perbaikan Citra (overlay peta stripping) Perbaikan citra merupakan suatu proses untuk mengurangi kesalahan yang terdapat pada citra pada saat perekaman, sehingga kualitas citra pada saat penyadapan data dapat dipertanggungjawabkan dan mempermudah dalam proses analisis selanjutnya. Proses perbaikan citra dalam penelitian ini adalah memperbaiki citra dari kerusakan (stripping). Pada tahap ini data pixel yang hilang pada suatu citra diisi oleh citra lain yang kondisinya baik sebagai penambal. Proses ini menggunakan perangkat lunak Er Mapper 7.1. Kedua citra (band yang sama) yang akan disatukan berada dalam satu layer pseudocolor dengan posisi citra penambal berada di bawah citra stripping. Untuk menambalnya menggunakan rumus algoritma: if i1>1 then i1 else null. Hal tersebut dilakukan untuk dua band lainnya. Setelah ketiga band citra stripping tersebut telah diperbaiki, kemudian dilakukan penyatuan band (union).
3. Pembatasan daerah penelitian Pembatasan wilayah dilakukan untuk memotong wilayah yang menjadi objek penelitian. Dalam tahap ini diperlukan data vektor batas administrasi Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan serta data raster terkoreksi. Peta administrasi kota-kota tersebut di-overlay dengan citra digital kota yang telah ada. Peta administrasi tersebut digunakan sebagai batas wilayah penelitian yang dibuat dengan menggunakan Area of Interest (AOI). Setelah diketahui batas wilayah penelitian pada citra, selanjutnya dilakukan pemotongan citra dengan bantuan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1.
4. Interpretasi citra Merupakan tahap mengartikan kenampakan obyek yang terdapat pada citra. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses identifikasi pola sebaran penutupan lahan yang akan dilakukan dalam tahap klsifikasi citra. Tahap ini dilakukan dengan perangkat lunak Er Mapper 7.1 menggunakan kombinasi band 5, 4, 2. Selanjutnya dilakukan dengan pembagian kelas penutupan lahan bedasarkan interpretasi yang dilakukan. Kelas penutupan lahan hasil
25
interpretasi ini adalah RTH, ruang terbangun, badan air, serta tidak terklasifikasi (awan dan bayangan)
5. Klasifikasi Citra Klasifikasi citra merupakan tahap awal yang dilakukan untuk menghitung persentase sebaran ruang terbuka hijau di suatu wilayah. Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan secara visual. Proses klasifikasi ini merupakan serangkaian tugas yang mengelompokkan sekumpulan data digital (nilai pixel) yang sama ke dalam kelas tertentu yang khas dan dapat memberikan informasi. Hasil klasifikasi ini akan diuji, apabila akurasi hasil klasifikasi rendah, maka proses klasifikasi ini harus diulang dengan memperbaiki training set yang lama. Dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa kelas lahan, seperti RTH, ruang terbangun, badan air, dan tidak terklasifikasi (awan dan bayangan). Proses klasifikasi citra ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imangine 9.1.
6. Delineasi citra Tahap delineasi adalah tahap atau proses mengubah data raster citra hasil klasifikasi menjadi data vektor. Data vektor inilah yang selanjutnya digunakan dalam proses analisis selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.3.
3.3.3 Analisis Lanjutan Tahap ini meliputi analisis spasial dan analisis deskriptif dari citra hasil delineasi. 1. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan dengan meng-overlay citra hasil delineasi dengan peta administasi sehingga dapat diketahui jumlah, persebaran RTH dan ruang terbangun, serta luas persebarannya. Analisis spasial ini menggunakan perangkat lunak Arc View 3.3.
26
2. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan setelah analisis spasial untuk melihat karakter umum penutupan lahan di kota dataran rendah serta melihat pula karakteristik persebarannya.
3.3.4 Penyajian Hasil Hasil analisis tersebut berupa informasi spasial dan atribut berupa penutupan dan penggunaan lahan Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan, serta pola persebarannya sehingga karakteristik RTH kota dataran rendah dapat dideskripsikan. Bentuk penyajian hasil akhir tidak hanya disajikan dalam bentuk informasi spasial, tetapi juga dalam bentuk deskripsi mengenai distribusi, pola penyebaran, dan luasan ruang terbuka hijau yang dilengkapi dengan grafik dan tabel. Diagram alir pengolahan data penginderaan jauh untuk produksi spasial liputan lahan disajikan pada Gambar 3. Perbaikan Citra
Koreksi Geometrik
Peta Digital Adminsitrasi
Overlay citra stripping
Pembatasan Daerah Digitation on Screen Interpretasi citra
Citra Landsat TM tahun 2009 (Kota Banjarmasin dan Yogyakarta) dan Tahun 2008 (Kota
Medan) Peta RTRW Kota
Klasifikasi Citra Terbimbing
Sumber: BTICBIOTROP
Analisis Spasial
Pola Penutupan Lahan dan distribusinya
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pengolahan Data
IV. KONDISI UMUM 4.1. Kota Banjarmasin (Propinsi Kalimantan Selatan) 4.1.1 Sejarah Perkembangan Kota Banjarmasin Sejak dahulu Kota Banjarmasin memegang peran strategis dalam lalu lintas perdagangan antar pulau, karena terletak di pertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura yang luas dan dalam sehingga dapat dilayari kapal-kapal besar dan dapat merapat hingga kota Banjarmasin. Pada zaman Belanda, Banjarmasin menjadi pelabuhan masuk dan keluar bagi seluruh daerah aliran Sungai Barito dan merupakan pelabuhan transit untuk kapal-kapal yang datang dari Pulau Jawa dan Singapura ke pantai timur Kalimantan. Sedangkan industri yang berkembang milik warga Eropa yang berdiri di Banjarmasin pada waktu itu terdiri dari pabrik es, galangan kapal kecil milik Borneo Industri Mij dan perdagangan yang dikelola oleh Borneo Soematra Handel Mij, Heinneman & Co, dan Kantor cabang dari Javasche Bank en Factorij. Pada masa itu, Banjarmasin mempunyai pelayaran yang teratur dan langsung dengan Sampit, Kotabaru, Samarinda, Martapura, Marabahan, Negara, Amuntai, Buntok, Muara Teweh dan Kuala Kapuas serta di luar Kalimantan dengan Surabaya dan Singapura. Asal mula nama Kota Banjarmasin berasal dari sejarah panjang Kerajaan Banjar. Pada saat Kerajaan Banjar masih berdiri, Kota Banjarmasin ini bernama Banjarmasih. Nama ini diambil dari dari nama patih yang sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Banjar, yaitu Patih Masih yang berasal dari Desa Oloh Masih. Nama Desa Oloh Masih ini dalam bahasa Ngaju berarti orang melayu atau kampung orang melayu. Patih Masih dan beberapa patih lainnya kemudian sepakat mengangkat Pangeran Samudera, yang merupakan putra Kerajaan Daha yang mengasingkan diri di Desa Oloh Masih. Dibawah kekuasaan Pangeran Samudera, Kerajaan Banjar mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan menguasai jalur-jalur sungai sebagai pusat perdagangan pada waktu itu. Kini Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan mulai berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Banjarmasin terus berkembang sebagai pusat perdagangan dan hal tersebut mendorong pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga menadikan kota Banjarmasin
28
memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tergolong ke dalam kategori kota besar dengan jumlah penduduk diatas 500.000 jiwa. Perkembangan kota yang terjadi akhir-akhir ini telah menjauhkan Banjarmasin dari substansinya sebagai kota sungai dengan memusatkan pembangunan pada infrastruktur darat dan membiarkan pembangunan permukiman pada bantaran dan di dalam badan sungai, terutama di pusat kota, sehingga fungsi ekologis bantaran sungai menjadi menjadi hilang dan menyebabkan banjir.
4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Banjarmasin secara geografis terletak pada koordinat 3'16’32” 3'22’43” Lintang Selatan dan 114°32’02” - 114°38’24” Bujur Timur. Kota ini terhampar di dataran rendah dan berawa-rawa dengan ketinggian 0,16 meter di bawah permukaan laut. Kota Banjarmasin kini berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan yang meliputi 5 wilayah kecamatan dan 50 kelurahan seluas 7200 Ha (72 km2) atau 0,22 % dari luas wilayah provinsi, dengan batas administrasi sebagai berikut : • Sebelah Barat
: Kabupaten Barito Kuala (Sungai Barito)
• Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar • Sebelah Timur : Kabupaten Banjar • Sebelah Utara
: Kabupaten Barito Kuala (Sungai Alalak)
Wilayah Kota Banjarmasin dibagi dalam 5 wilayah kecamatan dan 60 kelurahan, dengan pembagian wilayah adminstratif Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas, Nama Ibukota Kecamatan, dan Jumlah desa / Kelurahan di Kota Banjarmasin Tahun 2008 Luas Presentase Nama Ibukota (Km2) (%) Banjarmsin Selatan 20,18 28,03 KelayanSelatan Banjarmasin Timur 11,54 16,03 Kuripan Banjarmasin barat 11,66 18,57 Pelambuan BanjarmasinTengah 13,37 16,19 Teluk Dalam Banjarmasin Utara 15,25 21,18 Alalak Utara 72,00 100
No. Kecamatan 1 2 3 4 5
Sumber : Banjarmasin Dalam Angka Tahun 2008
29
Dari gambaran kondisi geografis dan batas administrasi Kota Banjarmasin berada di tepi Sungai Barito dan dikenal sebagai kota seribu sungai karena dilalui berbagai sungai besar dan kecil. Disamping itu Banjarmasin merupakan pintu masuk untuk 2 propinsi yang ada di Pulau Kalimantan yaitu Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah, sehingga sangat potensial oleh pusat perdagangan baik untuk lingkup lokal maupun lingkup regional. Secara spasial batas wilayah administrasi Kota Banjarmasin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta Administratif Kota Banjarmasin (Sumber: Pemerintah Kota Banjarmasin)
4.1.3 Topografi Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berawa-rawa dengan kemiringan tanah 0% - 2% serta berada pada ketinggian 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat menunjang bagi perkembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Kota Banjarmasin merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi kondisi pasang surut air laut.
30
4.1.4 Hidrologi Kota Banjarmasin, ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, terletak di tepi Sungai Barito dan terbagi dua oleh Sungai Martapura sebagai sungai utama yang secara dominan keduanya mempengaruhi kondisi hidrologi Kota Banjarmasin. Dengan jarak dari laut ± 23 km, maka muka air sungai sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai Martapura mengalir dari Timur Laut ke arah Barat Daya yang membelah Kota Banjarmasin menjadi 5 (lima) wilayah kecamatan yang bermuara di Sungai Barito. Anak-anak Sungai Martapura diantaranya adalah Sungai Kuin (Sungai Pangeran), Sungai Awang yang menyatu dengan Sungai Alalak yang merupakan anak Sungai Barito di sebelah utara, sedangkan anak sungai yang mengalir di selatan adalah Sungai Basirih, Sungai Bagau, Sungai Kelayan, Sungai Pekapuran dan Sungai Gardu. Semua sungai dan anak sungai merupakan urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat Kota Banjarmasin karena berfungsi sebagai pembuangan air (outlet) drainase secara keseluruhan dan prasarana transportasi air disamping prasarana transportasi darat yang berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Variasi tinggi permukaan air pasang surut, berkisar antara 2,0 meter pada pasang pumama sampai 0,6 meter pasang surut biasa (P3KT Kalimantan, 1990), sedangkan permukaan air Sungai Barito pada saat pasang maksimum mempunyai level + 0,82 dpal, dan pada saat surut - 0,100 dpal (Laporan Hasil Pengukuran Muka Air dan Analisa Kualitas Air di Banjarmasin, DHV/MLD, 1997). Pada daerah permukiman ketinggian muka air pasang surut tergantung dari jarak ke sungai terdekat. Kecuali daerah pasar Kota Banjarmasin dan tanggul sungai, seluruh daratan dan di sekitar kota berada di bawah permukaan air ratarata dan dipengaruhi oleh adanya genangan hujan maupun genangan pasang surut. Dilihat dari kondisi tersebut dapat digambarkan bahwa budaya sungai sangat mendominasi kehidupan Kota Banjarmasin. Tapi kondisi riil di lapangan, pemerintah dan masyarakat sudah mulai kurang menaruh perhatian pada kualitas dan kelestarian sungai-sungai tersebut, sehingga banyak sungai yang tidak berfungsi bahkan hilang.
31
4.1.5 Geologi dan Tanah Keadaan geologi menggambarkan kondisi jenis batuan utama pembentuk lahan. Secara umum, Kota Banjarmasin dibentuk oleh formasi batuan antara lain: formasi berai (tomb) dibentuk oleh batu gamping putih berlapis dengan ketebalan 20 – 200 cm, formasi Dahor (tqd) dibentuk oleh batu pasir kwarsa (tidak padu), konglomerat dan batu lempung lunak, formasi keramaian (kak) dibentuk oleh perselingan batu lanau dan batu lempung, formasi pudak (Kap) yang dibentuk oleh lava ditambah perselingan antara breksi/konglomerat dan batu pasir dengan olistolit (massa batuan asing) berupa batu gamping, basal, batuan malihan, dan ultramafik, formasi tanjung (Tet) dibentuk oleh batu pasir kwarsa berlapis dengan sisipan batu lempung kelabu yang memiliki ketebalan 30 – 150 cm, alluvium (Qa) yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung, dan lumpur. Disamping itu banyak juga dijumpai sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu, formasi Pitanak (Kvpc) yang disusun dan dibentuk oleh lava yang terdiri atas struktur bantal, berasosiasi dengan breksi-konglomerat, dan Kelompok batuan ultramafik (Mub) disusun oleh harzborgit, piroksenit, dan serpentinit. Jenis tanah di Kota Banjarmasin didominasi oleh jenis tanah alluvial yang berasal dari endapan sungai dengan struktur lempung dan sebagian berupa jenis tanah orgonosol glei humus. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat kesuburan yang baik sehingga berpotensi untuk pengembangan budidaya tanaman pangan (padi sawah dan hortikultura), akan tetapi pada beberapa kawasan kebanyakan dilapisi oleh gambut dengan ketebalan yang kalau dikembangkan untuk budidaya akan memerlukan teknologi khusus dan biaya cukup mahal.
4.1.6 Iklim Ditinjau dari letak geografisnya Kota Banjarmasin merupakan daerah beriklim tropis dengan 2 musim yang mempengaruhi yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tipe iklim Kota Banjarmasin, yaitu tipe iklim A dengan nilai Q=14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Kondisi tersebut mempengaruhi suhu udara di Kota Banjarmasin rata-rata antara 25 ºC – 38 ºC, dengan suhu udara maksimum 33 °C dan suhu udara minimum 22 °C. Kota Banjarmasin dipengaruhi oleh musin hujan yang terjadi pada bulan November
32
sampai bulan April dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai bulan Oktober. Berdasarkan data pengukuran curah hujan dari stasiun pengamat Bandara Syamsudin Noor, curah hujan rata-rata mencapai 2400 mm/tahun dan bervariasi antara 1600 - 3500 mm/tahun. Penyinaran matahari tahunan rata-rata pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari dengan kelembaban udara 40% - 100%.
4.1.7 Kependudukan Jumlah penduduk Kota Banjarmasin sekitar 615.570 jiwa (BPS tahun 2007) dengan pertumbuhan rata-rata 1,02%-2,03% yang menyebar di lima kecamatan. Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin Tahun 2000-2007 Tahun
Jumlah Penduduk (jiwa) 2000 532.556 2001 535.949 2002 539.060 2003 566.008 2004 572.300 2005 574.325 2006 602.725 2007 615.570 Sumber : BPS Kota Banjarmasin
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 7.396 7.443 7.487 7.861 7.949 7.976 8.371 8.549
Tingkat kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Banjarmasin Barat dengan 12.735 jiwa/Km2 dan yang terendah di Kecamatan Banjarmasin Utara dengan 6.075 jiwa/Km2. 4.1.8 Sosial Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi. Perkembangan sektor ekonomi yang terbentuk dari laju pertumbuhan akan memberikan gambaran tentang tingkat perubahan ekonomi yang terjadi, dimana pergerakan laju pertumbuhan ini merupakan indikator penting untuk mengetahui hasil pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan yang telah dicapai dan berguna untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan di masa yang akan datang.
33
Kondisi perekonomian kota Banjarmasin dapat dilihat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2006, PDRB Kota Banjarmasin mencapai 2,6 triliun rupiah. Kontribusi terbesar PDRB selama tahun 2006 disumbangkan dari sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 26,10%, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi kedua terbesar yaitu 22,32%, sedangkan sektor pertanian adalah sektor terkecil dalam pembentukan PDRB kota Banjarmasin dan cenderung menurun setiap tahunnya.
Gambar 5. Lanskap Sungai Kota Banjarmasin: Kawasan Tepian Sungai Martapura (kiri), Permukiman di sepanjang S. Barito (kanan) (sumber: google image)
Gambar 6. Ruang Terbangun: Kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin (kiri); Kawasan Komersial Kota Banjarmasin (kanan) (sumber: google image)
34
4.2. Kota Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta) 4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti. Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro, dan hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi pada tahun 1946-1949 Negara Indonesia masih berjuang mengusir para tentara sekutu. Pada saat itu, Yogyakarta memegang peranan penting dalam kemerdekaan dan dikenal sebagai Kota Revolusi. Selama tahun 1946-1949, Kota Yogyakarta menjadi ibukota Negara Republik Indonesia dan istana Sultan Hamengkubuwono IX menjadi markas besar tentara Republik Indonesia. Setelah masa kemerdekaan hingga sekarang, Kota Yogyakarta tumbuh besar dan bertambah luas karena terjadi aglomerasi wilayah. Dengan karakter masyarakatnya yang ramah, serta terdapat salah satu pusat pemerintahan tradisional Jawa dengan keunikan budayanya, menjadikan kota ini menjadi kota yang didominasi kegiatan pendidikan dan pariwisata. Setiap tahun aktivitas
pendidikan
pembangunan
dan
pariwisata
fasilitas-fasilitas
terus
pendukung
meningkat
dan
mendorong
pendidikan
dan
pariwisata.
35
Berkembangnya pendidikan dan pariwisata di Kota Yogyakarta menyebabkan pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Hal ini berdampak pada semakin tingginya jumlah permukiman dan ruang terbuka pun semakin menyusut. Hingga sekarang, Kota Yogyakarta mengalami perubahan demografis, sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan demografis dan sosial-ekonomi telah menjadi faktor penting dalam membawa dinamika perubahan tata ruang Kota Yogyakarta dari masa ke masa.
4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Kota Yogyakarta terletak pada 7° 49’ 26” - 7° 15’ 24” Lintang Selatan dan 110° 24’ 19” - 110° 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu: • Utara : Kabupaten Dati II Sleman • Timur : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman • Selatan : Kabupaten Dati II Bantul • Barat : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman Secara spasial, wilayah administrasi Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 7.
36
Gambar 7. Peta Admistrasi Kota Yogyakarta (sumber: P4W, Bogor)
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusuman dan Kota Gede. Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan pembagian sebagai berikut: 1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 117 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan. 2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan. 3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 130 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan
37
Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo. 4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kota Gede. 5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Kecamatan Mergangsan.
4.2.3 Topografi Secara umum, kota yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m.
4.2.4 Hidrologi Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama Kota Yogyakarta Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan oleh praktek-praktek sanitasi yang buruk baik pada lingkungan permukiman maupun non permukiman. Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan dan air tanah.
38
4.2.5 Geologi dan Tanah Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
4.2.6 Iklim Tipe iklim “AM dan AW”, curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 °C dan kelembaban rata-rata 74,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.
4.2.7 Kependudukan Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi. Menurut BPS Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2007 tercatat bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 dengan tingkat kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2. Untuk data pertumbuhan penduduk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2000-2007 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005*) 2006*) 2007*)
Jumlah Penduduk (jiwa) 497.699 503.954 510.404 516.937 523.554 530.256 537.043 543.917
Sumber: Yogyakarta Population Survey
Dalam
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 15.313 15.506 15.704 15.905 16.109 16.315 16.524 16.735 Angka
2006-2007,
*)
SUPAS
International
39
4.2.8 Sosial Ekonomi Bagi masyarakat Kota Yogyakarta, sektor pariwisata merupakan sebuah industri. Oleh karena itu, perkembangan sektor pariwisata di Kota Yogyakarta telah melibatkan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor-sektor jasa lainnya. Kontribusi sektor-sektor itu dalam PDRB mencapai 78,6% dari seluruh kegiatan perekonomian Kota Yogyakarta. Dalam transformasi struktural, Kota Yogyakarta menunjukkan mekanisme transformasi dari agrikultural ke sektor jasa, dimana jasa menjadi leading sector yang dominan.
Gambar 8. RTH Kota Yogyakarta: RTH di sekitar Gedung Agung Yogyakarta (kiri); (b) Lahan Pertanian di Kota Yogyakarta (kanan)
4.3. Kota Medan (Propinsi Sumatera Utara) 4.3.1 Sejarah Kota Medan Kota Medan berawal dari sebuah kampung kecil bernama Medan Putri yang dibangun pada tahun 1590 oleh Guru Patimpus, keturunan Raja Singa Mahraja yang memerintah Negeri Bakerah di Dataran Tinggi Karo. Lokasi Medan Putri yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan di bagian barat Hindia mendorong kampung tersebut berkembang menjadi sebuah kota. Perkembangan kota Medan semakin melesat setelah dunia mengenal tembakau Deli. Jacobus Nienhuys, saudagar tembakau dari Belanda, yang pada tahun 1863 mendapat konsesi lahan lebih dari 3.000 hektar dari Sultan Deli. Lembar-lembar daun tembakau yang dihasilkan pada panen pertamanya langsung diakui oleh para pengusaha cerutu di Rotterdam sebagai pembungkus cerutu terbaik di antara jenis tembakau lainnya di seluruh dunia.
40
Sejak saat itu, Nienhuys melakukan ekspansi lahan perkebunan secara besar-besaran dengan membuka lahan di daerah Martubung, Sunggal, Sungai Beras, dan Klumpang. Kantor perusahaan pun dipindahkan ke Kampung Medan Putri, kampung yang awalnya hanya dihuni ratusan orang. Usaha perkebunan itu menyerap banyak kuli kontrak dari Jawa, buruh-buruh Cina, sampai ke pengusaha perkebunan asing dari Inggris dan Belanda. Letak Medan memang strategis. Kota ini dilalui Sungai Deli dan Sungai Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Keberadaan Pelabuhan Belawan di jalur Selat Malaka yang ramai menjadikan Medan pintu gerbang Indonesia bagian barat. Kota Medan berkembang menjadi kota besar, kota metropolitan. Sebagai sebuah kota, ia mewadahi berbagai fungsi, yaitu, sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat industri, pusat jasa pelayanan keuangan, pusat komunikasi, pusat akomodasi kepariwisataan, serta berbagai pusat perdagangan regional dan internasional.
4.3.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (265,10 km2) atau 3,6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Kota Medan merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara yang terletak pada 3°30’ - 3°43’ Lintang Utara dan 98°35’98°44’ Bujur Timur. Kota Medan berada 2,5 – 37,5 m dpl. Secara administratif terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Secara administratif, wilayah Kota Medan berbatasan dengan: • Utara : Selat Malaka • Timur : Kabupaten Deli Serdang • Selatan : Kabupaten Deli Serdang • Barat : Kabupaten Deli Serdang Karena di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang perdagangan barang dan jasa, baik domestik maupun international (ekspor-impor) dan menjadi salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan
41
kehutanan. Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai, dan lain-lain. Oleh karena itu, Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya. Posisi geografis Kota Medan telah mendorong perkembangan kota ini dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. Secara spasial, wilayah Kota Medan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta Admistratif Kota Medan (Sumber: P4W, Bogor) 4.3.3 Topografi Kota Medan memiliki geografi yang unik, yaitu ramping di tengah dan membesar di sisi utara dan selatan. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2,5 – 37,5 m dpl dan topografinya cenderung miring ke utara serta menjadi tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli.
4.3.4 Iklim Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Klimatologi Polonia pada tahun 2006 berkisar antara 23,0 °C – 24,1 °C
42
dan memiliki suhu maksimum yang berkisar antara 30,6 C – 33,1 °C. Kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata 78% – 82% dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,42 m/detik, sedangkan total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm. Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2006 rata-rata 19 hari/bulan dengan curah hujan 211,67 mm/bulan.
4.3.5 Sosial Kependudukan Populasi Kota Medan didominasi oleh beberapa suku, antara lain Melayu, Jawa, Batak, dan Tionghoa. Pada tahun 2008, penduduknya berjumlah 2.102.105 jiwa. Pada siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Dibandingkan pada sensus penduduk tahun 2000, maka pada tahun 2006 terjadi pertambahan penduduk sebesar 163.015 jiwa (0,92%). Pada tahun 2007, penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.083.156 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,77% dan meningkat kembali pada tahun 2008 dengan jumlah 2.102.105 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Jumlah penduduk Kota Medan dari tahun 1996 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Kota Medan 2000 - 2008 Jumlah Kepadatan Penduduk Tahun Penduduk (jiwa) (Jiwa/Km2) 2000 1.904.273 7435 2001 1.926.520 7522 2002 1.963.882 7668 2003 1.993.602 7784 2004 2.006.142 7833 2005 2.038.185 7958 2006 2.067.288 8072 2007 2.083.156 8134 2008 2.102.105 8208 Sumber: Medan Dalam Angka (BPS Kota Medan)
4.3.6 Sosial Ekonomi Perekonomian Kota Medan didominasi oleh kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran dengan porsi sebesar 35,02% yang disusul oleh sektor industri pengolahan sebesar 19,07%. Dari besaran nilai kedua sektor tersebut maka
43
dikatakan bahwa potensi unggulan yang paling berkembang di Kota Medan adalah sektor perdagangan dan industri.
Gambar 10. RTH Kota Medan: Taman Universitas Sumatera Utara (USU, Medan) (kiri); Ruang Terbangun: Kawasan Komersial Jalan A. Yani, Medan (kanan)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Identifikasi Penutupan Lahan Pada bab ini akan diulas mengenai hasil dan pembahasan mengenai karakteristik RTH kota penelitian yang bersumber dari data dan informasi yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, informasi yang dihasilkan berupa jenis-jenis penutupan lahan dan distribusi (land cover) di tiga kota, yaitu Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. Dalam penelitian ini, digunakan citra Landsat-TM tahun 2009 untuk kota Banjarmasin (path 118 row 062) dan Kota Yogyakarta (path 120 row 065), serta tahun 2008 untuk kota Medan (path 129 row 057). Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan berbasis pada informasi objek. Klasifikasi penutupan lahan terbatas oleh jenis kenampakan umum yang terlihat di permukaan wilayah. Untuk memperoleh informasi mengenai jenis-jenis penutupan lahan eksisiting yang terdapat di ketiga kota tersebut diperlukan kemampuan interpretasi foto udara yang baik. Selanjutnya, dari hasil klasifikasi citra-citra tersebut dilakukan analisis spasial untuk melihat luasan penutupan lahan oleh ruang terbuka hijau yang ada. Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini antara lain ruang terbangun (RTB), ruang terbuka hijau (RTH), dan badan air. Ruang terbangun meliputi bangunan (rumah, kantor, gedung), serta infrastruktur kota (jalan, jembatan, pelabuhan); ruang terbuka hijau meliputi areal hutan, sawah, kebun, tegalan, sawah, semak belukar, dan mangrove; dan badan air meliputi sungai dan danau.
5.1.1 Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Dari hasil klasifikasi citra tahun 2009, ruang terbuka hijau di kota Banjarmasin masih mendominasi seluruh wilayah kota karena jumlah ruang terbuka hijau yang ada masih lebih besar jika dibandingkan dengan ruang terbangun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
45
Tabel 7. Persentase P Penutupan n Lahan Ko ota Banjarm masin Tahu un 2009 Luasan
Jenis Pen nutupan Lah han
Ha
%
Ruang Teerbangun
3278,1 16
45,53
Ruang Teerbuka Hijauu
3517,2 20
48.85
Badan airr
402,48
5.59
Tidak Terrklasifikasi
2,16
0.03
Total
7200 0
100
Sumber: Haasil Klasifikasii Citra Landsaat TM Kota Baanjarmasin Taahun 2009
Luass Badan Air, 5.59%
tidaak terklasiifikasi 0.03 3%
Luas % RTB, 45.53%
Luas RTH, 48.85%
Gambar 11. Grafik Presentase Penutupan Lahan L Kotaa Banjarmassin Tahun 2009 2 B n Tahun 200 09) (Sumbeer: Hasil Klaasifikasi Cittra Landsat TM Kota Banjarmasin
G Gambar 12. Peta P Penutuupan Lahan Kota Banjaarmasin Tahhun 2009 (Sumbeer: Hasil Klaasifikasi Cittra Landsat TM Kota Banjarmasin B n Tahun 200 09)
46
30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00%
Luas RTB
5.00%
Luas RTH
0.00%
Luas Badan Air
Gambar 13. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Per Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, persentase ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan adalah 30% dari total luas wilayah kota. Dari hasil pengolahan citra Kota Banjarmasin tahun 2009 diketahui bahwa persentase ruang terbuka hijau Kota Banjarmasin pada tahun 2009 adalah sebesar 48,85%, sedangkan persentase ruang terbangun Kota Banjarmasin pada tahun 2009 adalah sebesar 45,53%. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan lahan berupa ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin masih mendominasi wilayah kota dan masih berada dalam standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh, RTH di Kota Banjarmasin terdiri atas areal persawahan, lahan kosong (semak belukar), hutan, kebun, lapangan olahraga, pekarangan rumah, taman-taman kota, jalur hijau jalan, pemakaman umum, DAS sungai-sungai yang melalui Kota Banjarmasin, baik sungai besar maupun sungai kecil, serta lahan pasang surut. Lapangan olahraga merupakan RTH yang tengah dikembangkan oleh pemerintah Kota Banjarmasin sebagai taman interaktif sosial, artinya masyarakat dapat menggunakan lapangan tersebut sebagai sarana olahraga sekaligus sebagai tempat bersantai dan berkumpul dengan sesama anggota masyarakat. Daerah sempadan sungai pun dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau sekaligus sebagai tempat resapan air, tetapi daerah sempadan sungai ini semakin lama semakin habis karena adanya kecenderungan dari
47
masyarakat sekitar yang membangun permukiman di daerah sempadan sungai, bahkan terdapat beberapa rumah panggung yang dibangun tepat di badan sungai. Penutupan lahan oleh ruang terbangun di Kota Banjarmasin masih tinggi di Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan persentase 10,48%. Ruang terbangun di Kecamatan Banjarmasin Tengah ini umumnya adalah permukiman, pergudangan, dan industri. Ruang terbangun dengan porsi paling tinggi bagi kecamatannya berada di Kecamatan Banjarmasin Tengah (94,87%) dan Kecamatan Banjarmasin Barat (76,24%). Kedua kecamatan ini merupakan pusat Kota Banjarmasin sehingga di dominasi oleh ruang terbangun, yang terdiri atas pusat pemerintahan, kawasan permukiman. kawasan pendidikan, kawasan industri, dan kawasan komersial. Berikut adalah peta penyebaran penutupan ruang terbangun Kota Banjarmasin tahun 2009 (Gambar 14).
Gambar 14. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kota Banjarmasin Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Tingginya aktivitas di pusat kota menjadikan lahan-lahan menjadi semakin sempit dan bahkan berkurangnya ruang-ruang terbuka yang berfungsi sebagai penyeimbang ekologis kawasan menjadi kawasan pusat kota menjadi penuh dan
48
sesak. Pada awalnya, kawasan perukiman tumbuh secara alami karena adanya pengaruh dari sungai yang merupakan jalur transportasi yang sangat penting di Banjarmasin. Namun, seiring
perkembangan kota yang cukup pesat,
berkembanglah jaringan jalan untuk transportasi darat yang mendorong pembentukkan kawasan-kawasan permukiman baru di luar sungai dan melebar ke daerah-daerah sekitarnya.
Gambar 15. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Dari peta di atas (Gambar 14) dapat diketahui bahwa kecamatan yang memiliki persentase luas ruang terbuka hijau paling tinggi bagi Kota Banjarmasin adalah Kecamatan Banjarmasin Selatan dengan persentase luas ruang terbuka hijau 26,53% dan kecamatan yang memiliki persentase luas ruang terbuka hijau paling rendah adalah Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan persentase luas ruang terbuka hijau sebesar 0,2% dari luas wilayah kota. Di Kecamatan Banjarmasin Selatan memang masih banyak terdapat penutupan lahan berupa vegetasi, seperti Kecamatan Banjarmasin Selatan sebelah barat yang masih banyak terdapat lahan pertanian karena masih dipengaruhi oleh S. Barito dan S. Martapura. Pemerintah kota setempat pun hingga saat ini masih
49
mempertahankan lahan-lahan pertanian masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau kota. Di Kecamatan Banjarmasin Selatan pun terdapat daerah rawa (karena adanya pengaruh pasang surut air laut dari Laut Jawa) yang dipenuhi oleh vegetasi rawa, seperti mangrove, selain itu masih banyak terdapat lahan-lahan kosong di kecamatan ini. Begitu pula di Kecamatan Banjarmasin Timur masih banyak dijumpai areal persawahan dan lahan-lahan kosong bervegetasi yang saat ini diarahkan sebagai kawasan resapan air, wisata, dan olahraga. Kecamatan Banjarmasin Tengah merupakan pusat kota sebagai pusat pemerintahan, perkantoran, perdagangan, dan permukiman penduduk yang mendorong tumbuhnya ruang-ruang terbangun. Untuk skala kecamatan, kecamatan-kecamatan yang memiliki porsi besar pada penutupan lahan RTH bagi kecamatannya adalah Kecamatan Banjarmasin Selatan, yaitu 94,66% dan Banjarmasin Timur, yaitu 89,78%. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Banjarmasin Barat (29,93%), Kecamatan Banjarmasin Barat (8,58%), dan Kecamatan Banjarmasin Tengah (1,08%). Kecamatan Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Timur, dan Banjarmasin Barat masih memiliki luas RTH sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu lebih besar dari 30% dari luas kecamatan, sedangkan untuk Kecamatan Barat dan Tengah luasan RTH belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kuantitas dan kualitas RTH di Kecamatan Banjarmasin Tengah dan Kecamatan Banjarmasin Barat. Karena kondisi kedua kecamatan tersebut sudah sangat padat dengan ruang terbangun maka disarankan untuk meningkatkan kualitas RTH pada taman-taman umum, taman-taman kantor, dan jalur hijau jalan dengan menanam lebih banyak pohon. Distribusi RTH Kota Banjarmasin memiliki pola memusat (radial) pada tepi kota (Gambar 15), namun semakin menuju pusat kota luasan RTH terlihat semakin berkurang. Hal ini dikarenakan penutupan lahan oleh ruang terbangun di pusat kota sangat tinggi dan saat ini pembangunan wilayah Kota Banjarmasin pun masih terkonsentrasi di pusat kota. Hal tersebut sangat tidak mendukung bagi keadaan ekologis di Kota Banjarmasin, terutama di pusat kota. Terlebih lagi Kota Banjarmasin dilalui oleh banyak sungai, terutama dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura yang memberikan pengaruh besar terhadap iklim
50
kota. Sinar matahari yang jatuh ke permukaan air akan dipantulkan kembali ke kota. Permukaan air yang luas juga menyebabkan proses penguapan air tinggi sehingga kelembapan udara kota akan meningkat Panas dan lembab menyebabkan suasana kota sangat tidak nyaman. Oleh karena itu, pembangunan RTH diharapkan dapat menciptakan rasa nyaman.
Gambar 16. Kawasan Ruang Terbuka Hijau sempadan sungai di Banjarmasin (kiri); Kawasan Permukiman Pinggir Sungai
5.1.2 Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami pembangunan dan perkembangan kota yang sangat pesat. Dengan segala potensi sumber daya alam dan buatan yang dimilikinya, Kota Yogyakarta menjadi sebuah kota dengan beberapa fungsi sekaligus, yaitu Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan, pariwisata/budaya, perdagangan, dan pendidikan. Perkembangan kota yang semakin pesat itulah yang telah menyebabkan dilaksanakannya pembangunan fisik secara besar-besara, sehingga di wilayah ini sangat sulit dijumpai ruang terbuka, bahkan di tepi kota, lahan-lahan pertanian banyak yang sudah berubah fungsi menjadi kawasan permukiman. Dari hasil analisis citra Kota Yogyakarta tahun 2009, terlihat bahwa Kota Yogyakarta didominasi oleh ruang terbangun, yaitu sebanyak 80% dari total penutupan lahan Kota Yogyakarta dengan Kecamatan Umbulharjo (18,85%) dan Gondokusuman (13.17%) yang memiliki jumlah luas ruang terbangun yang tertinggi diantara kecamatan-kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut adalah kecamatan yang sangat dekat dengan pusat kota. Kedua kecamatan ini merupakan pusat perdagangan di Kota Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
51
Tabel 8. Persentase Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Luasan Jenis Penutupan Lahan
Ha
%
Ruang Terbangun
2598,68
79,46
Ruang Terbuka Hijau
519,97
16
Badan air
48,65
1,5
Tidak Terklasifikasi
82,55
2,54
Total
3250
100
Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009
Gambar 17. Peta Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Berdasarkan hasil pengolahan citra, presentase penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009 didominasi oleh keberadaan ruang terbangun, yaitu sebesar 80%, sementara RTH kota hanya sebesar 16% dari keseluruhan luas wilayah Kota Yogyakarta. Hal ini berarti persentase RTH kota tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota. Persentase kelas penutupan lahan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 19.
52
1% 3%
80%
16% RTH R R RTB B Badan Air u unclassified
Gambarr 18. Grafik Persentase Penutupan Lahan Kotaa Yogyakarrta Tahun 20 009 (Sumbeer: Hasil Kllasifikasi Ciitra Landsatt TM Kota Yogyakarta Y a Tahun 200 09)
Di bawah b ini merupakan m p presentase penutupan p laahan per keecamatan di Kota Medan berrdasarkan hasil h olahan citra Landssat-TM Kotta Yogyakarrta tahun 20 009.
20.00% 18.00% 16.00% 14.00% 12.00% 10.00% 8.00% 6.00% 4.00% 2.00% 0.00%
Luas RTB Luas RTH Luas Badan Air
009 Gambarr 19. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kotaa Yogyakarrta Tahun 20 (Sumbber: Hasil Klasifikasi K C Citra Landsaat TM Kotaa Yogyakartta Tahun 20 009)
53
Gambar 20. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kecamatan, 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Dari peta diatas dapat diketahui bahwa kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar terhadap penutupan lahan oleh ruang terbangun bagi Kota Yogyakarta adalah Kecamatan Umbulharjo (18,85%) dan Kecamatan Gondokusuman (13,17%). Sedangkan pada skala kecamatan, secara umum, hampir seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta memiliki persentase diatas 75%, yaitu Kecamatan Mergangsan (93,32%), Pakualaman (94,29%), Kraton (78,68%), dan Ngampilan (86,58%). Hal ini dikarenakan kecamatan-kecamatan tersebut merupakan pusat perekonomian dan perdagangan di Kota Ygyakarta sehingga didominasi oleh ruang terbangun. Bangunan-bangunan fisik yang terdapat di kawasan Kota Yogyakarta adalah kompleks pertokoan, sekolah-sekolah, rumah sakit, kawasan perumahan, hotel, rumah makan, perkantoran, kawasan perdagangan, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Hasil penelitian Subaryono, et al. (2004) menyebutkan bahwa ruang terbangun di Kota Yogyakarta didominasi oleh kawasan permukiman dengan jumlah hampir 50% dari luas wilayah kota. Semakin berkembangnya Kota Yogyakarta memicu terjadinya pemekaran kota ke wilayah pinggiran kota (urban sprawl) berupa permukiman-permukiman baru. Hal ini dikarenakan adanya
54
keterbatasan lahan di pusat Kota Yogyakarta sehingga tidak dapat memenuhi tempat tinggal bagi penduduk baru dan adanya peningkatan pada pelayanan transportasi Kota Yogyakarta. Kondisi ruang terbangun di Kota Yogyakarta sangat padat. Kepadatan bangunan ini terutama bangunan perumahan menyebabkan ketidakteraturan tata letak bangunan, seperti tidak teraturnya pola hadap rumah serta tidak memiliki halaman yang baik sehingga cenderung terlihat berdesak-desakkan. Pola permukiman juga ada yang mengelompok di sepanjang tepi Sungai Gajah Wong, Code, dan Winongo. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman yang relatif padat, terutama di sepanjang tepi Sungai Code.
Gambar 21. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau per Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Dari peta di atas dapat diketahui bahwa kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar terhadap penutupan lahan oleh ruang terbuka adalah Kecamatan Umbulharjo (3,57%), Gondokusuman (2,90%), Tegalrejo (2,40%), dan Kota Gede (1,64%). Kecamatan-kecamatan lainnya hanya memiliki terbuka hijau dibawah 1% dari total luas penutupan lahan, sedangkan kecamatan-
55
kecamatan yang memberikan porsi ruang terbuka yang cukup besar bagi kecamatannya adalah Kecamatan Tegalrejo (26,80%), Gondokusuman (23,63%), Jetis (19,78), Kota Gede (19,73 %), dan Gondomanan (17,15%). Sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya hanya memberikan porsi di bawah 15%. Dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa luasan RTH di Kota Yogyakarta tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan yaitu 30% dari luas kota, baik dalam skala kota maupun skala kecamatannya. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas RTH untuk dapat menjaga keberlangsungan fungsi ekologis kota. Untuk Kota Yogyakarta disarankan untuk menambah jumlah RTH pada halaman/pekarangan rumah, mengingat kawasan Kota Yogyakarta ini didominasi oleh kawasan permukiman. Perkembangan lahan terbangun sangat mempengaruhi keberadaan tata guna lahan di sekitarnya, terutama RTH kota. Berdasarkan hasil analisis pada hasil klasifikasi citra landsat dapat terlihat adanya pola sebaran RTH di Kota Yogyakarta. Pada pusat kota dengan kepadatan bangunan yang tinggi, jenis RTH yang mendominasi adalah RTH dengan bentuk jalur hijau jalan, alun-alun kota, taman lingkungan, taman pulau jalan, pekarangan rumah, kebun binatang, Taman Makam Pahlawan, serta pemakaman umum. Beberapa taman kota yang berada di Kota Yogyakarta antara lain Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo. Namun, saat ini keberadaan dan kondisinya sangat memprihatinkan. Beberapa taman masih dirawat secara serius, tetapi sebagian besar tampak terbengkalai, bahkan beberapa telah beralih fungsi sebagai shelter bus atau kawasan bagi pedagang kaki lima (PKL). Saat ini alun-alun kota merupakan RTH yang masih dipertahankan dan masih berfungsi sebagai tempat masyarakat berinteraksi sosial. Di luar pusat kota Yogyakarta, masih terdapat RTH pertanian meskipun jumlahnya tidak banyak, karena sebagian kecil masyarakat masih hidup dengan cara bertani.
56
Gambar 22. Ruang Terbangun di Kota Yogyakarta: Kawasan Perdagangan (kiri); (b) Kawasan Perkantoran (kanan)
Gambar 23. Kawasan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta: Taman Sudut Kota (kiri); Jalur Hijau Jalan (kanan)
5.1.3 Penutupan Lahan Kota Medan Kota Medan merupakan salah satu kota yang telah mengalami perkembangan sangat pesat, bahkan telah menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Secara geografis, letak Kota Medan memang sangat strategis, karena kota ini dilalui oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Keberadaan Pelabuhan Belawan di Selat Malaka yang sangat ramai menjadikan Kota Medan sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat. Kondisi Kota Medan yang sangat ramai dan strategis inilah yang menjadikan Kota Medan sebagai kota metropolitan. Hal ini memicu peningkatan laju urbanisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan menjadi ruang terbangun untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan sarana dan prasarana dalam menunjang aktivitas penduduk yang sangat beragam.
57
Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 2008 diketahui bahwa penutupan lahan Kota Medan lebih dari separuh didominasi oleh ruang terbangun, yaitu sebesar 51,86% dan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 29,17%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Persentase Penutupan Lahan Kota Medan Jenis Penutupan Lahan
Luasan Ha
%
Ruang Terbangun
13748,08
51,86
Ruang Terbuka Hijau
7732,97
29,17
Badan air
4464,25
16,84
Tidak Terklasifikasi
564,7
2,13
Total
25610
100
Sumber: Pengolahan data Citra Landsat Kota Medan Tahun 2008
Permasalahan yang terjadi pada perkembangan Kota Medan yang merupakan pusat perdagangan nasional dan internasional adalah pertumbuhan bangunan-bangunan baru untuk mengembangkan kegiatan perdagangan dan tekanan perkembangan penduduk yang sangat tinggi karena meningkatnya laju urbanisasi. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan fisik di Kota Medan memberikan konsekuensi logis berupa tingginya kebutuhan akan penyediaan kawasan permukiman beserta seluruh fasilitas umum dan sosial pendukungnya. Dari keseluruhan luas lahan terbangun di Kota Medan (53,69%), sebagian besar berada di Kecamatan Medan Deli, yaitu 6,52% Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Proporsi RTH pada wilayah kota minimum 30% dari total luas wilayah kota. Proporsi RTH Kota Medan pada tahun 2008 hampir mendekati luas minimum menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007, yaitu hanya 29,17% dari total luas wilayah Kota Medan. Dari keseluruhan luas RTH di Kota Medan, berada di Kecamatan Medan Labuhan yaitu 7,87%
58
Gambarr 24. Penutuupan Lahan Kota Medaan Tahun 20008 (Sum mber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kotta Medan Tahun 2008)
1,5 58% RTH 16,84%
29,72 2%
RTB Badan Air Tidak Terklasifik kasi
51,86%
Gaambar 25. Grafik G Perseentase Penuttupan Lahann Kota Meddan, 2008 (Sum mber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kotta Medan Tahun 2008)
Beriikut ini merrupakan preesentase peenutupan lahhan per keccamatan di Kota Medan berrdasarkan hasil h olahan citra Landssat-TM Kotta Medan tahun 2008.
59
9.00% 8.00% 7.00% 6.00% 5.00% 4.00% 3.00% 2.00% 1.00% 0.00%
RTH RTB Badan Air
Gambar 26. Grafik Persentase Penutupan Lahan per Kecamatan Kota Medan, 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
Kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi ruang terbuka hijau terbesar bagi Kota Medan adalah Kecamatan Medan Labuhan (7,87%), Kecamatan Medan Marelan (4,8%), dan Kecamatan Medan Kota Belawan (3,46%). Di Kecamatan Medan Labuhan terdapat usaha bidang pertanian di bidang perkebunan kelapa genjah dan kelapa sawit. Selain sebagai usaha pertanian, perkebunan-perkebunan ini memberikan kontribusi sebagai ruang terbuka hijau bagi Kota Medan. Sedangkan di pusat kota, Kota Medan hanya memiliki beberapa taman, seperti Taman Beringin, Taman Ahmad Yani, Lapangan Merdeka, dan Taman Teladan, sedangkan sisanya merupakan taman-taman kecil yang dikelola oleh pihak swasta.
60
Gambar 27. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau per Kecamatan Tahun 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
Gambar 28. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun per Kecamatan Tahun 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
61
Ruang Terbangun terlihat mendominasi penutupan lahan di Kota Medan. Ruang terbangun tersebut dapat berupa permukiman penduduk, perusahan industri, serta perdagangan dan jasa yang cukup banyak di Kota Medan. Kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar ruang terbangun pada bagi Kota Medan adalah Kecamatan Medan Deli (6,52%) dan Kecamatan Medan Amplas (4,84%). Sedangkan kecamatan-kecamatan yang memiliki porsi ruang terbangun yang sangat besar dalam penutupan lahan kecamatannya adalah Kecamatan Medan Kota (92,16%), Medan Perjuangan (88,56%), Medan Petisah (88,03%), Medan Timur (86,40%), dan Medan Baru (85,97%). Kecamatan Medan Deli yang terletak di bagian utara Kota Medan memiliki ruang terbangun yang cukup besar, yaitu sebesar 6,52%. Hal ini dikarenakan kecamatan tersebut merupakan pusat kawasan industri Kota Medan (Kawasan Industri Medan), sehingga banyak bangunan-bangunan industri besar yang berdiri disana. Selain, industri-industri besar, terdapat pula industri-industri rumah tangga yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar. Berpusatnya kawasan industri di daerah ini, baik industri besar maupun industri kecil telah memicu berdirinya gudang-gudang untuk menyimpan bahan baku industri dan hasil produksi di sekitar kawasan tersebut. Kecamatan lainnya adalah Medan Amplas. Meskipun bukan merupakan pusat industri, Kecamatan Medan Amplas memiliki beberapa pabrik-pabrik besar, seperti pabrik moulding dan komponen bahan bangunan, minuman keras, makanan ternak, makanan ringan, dan sebagainya. Oleh karena itulah, Kecamatan Medan Amplas memiliki porsi ruang terbangun yang cukup besar, yaitu 4,84%. Kota Medan merupakan kota yang berkembang pesat karena kegiatan perdagangannya,
karena
itulah
Kota
Medan
didominasi
oleh
kegiatan
perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri pengolahan. Kota Medan memiliki banyak sekali pusat-pusat perdagangan dan industri. Kedua sektor ini merupakan sektor yang banyak menarik tenaga kerja. Salah satu pusat perdagangan di Kota Medan adalah Pelabuhan Laut Belawan yang berjarak 26 Km dari pusat kota. Pelabuhan ini tidak hanya berperan penting bagi perekonomian Kota Medan, namun juga bagi Provinsi Sumatera Utara. Kegiatan ekspor dan impor Kabupaten/Kota lain dilakukan di pelabuhan ini yang dapat
62
dilihat dari aktivitas bongkar.muat barang setiap harinya. Karena itulah, masyarakat banyak yang mendekati kawasan ini, sehingga dampaknya adalah berkembangnya
permukiman-permukiman
di
sekitar
kawasan
Pelabuhan
Belawan. Permukiman penduduk umumnya tumbuh di sekitar pusat aktivitasaktivitas penting di suatu kota. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kemudahan dalam pencapaian pusat aktivitas tersebut. Kini, permukimanpemukiman tersebut, baik permukiman resmi maupun tidak resmi, mulai dibangun di tepian Sungai Belawan, begitu pun di tepian Sungai Deli dan Sungai Babura. Hal ini menyebabkan rusaknya daerah aliran sungai (DAS) yang tidak lagi mampu berfungsi dengan baik sebagai daerah serapan air, sehingga terjadilah banjir yang sering melanda Kota Medan.
Gambar 29. Ruang Terbangun di Kota Medan: Pusat Perdagangan Jalan MT. Haryono (kiri); (b) Ruas Jalan Kota Medan (Kanan)
Gambar 30. Ruang terbuka hijau di Kota Medan: Lapangan berumput Markas Batalyon Kota Medan (kiri); (b) Hutan Kota Taman Beringin (kanan)
63
5.2. Karakteristik Umum Lanskap Kota Dataran Rendah 5.2.1 Karakteristik Aspek Fisik Kota Dataran Rendah Bentukan lahan atau landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996 dalam Sugiyanta, 2002). Keadaan morfologi kota-kota di dataran rendah umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan bervariasi antara 0 – 15 % dengan ketinggian hingga 400 meter diatas permukaan laut (dpl). Kota Banjarmasin memiliki kemiringan lahan 0 – 2%, Kota Yogyakarta memiliki kemiringan lahan 0,5 – 3% (kecuali di daerah pinggiran sungai), dan Kota Medan memiliki kemiringan 0 – 2% ke arah utara. Berdasarkan Tabel 10, ketiga kota tersebut memiliki kemiringan lahan yang sangat datar sehingga memiliki kestabilan lereng yang cukup baik. Selanjutnya dilihat dari aliran drainase sedang, tingkat pengikisan tanah rendah dan ketersediaan air melimpah. Berdasarkan kemampuan lahannya maka ketiga kota tersebut sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan terbangun. Tabel 10. Kriteria Satuan Kemampuan Lahan (Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah) Kemiringan dan Morfologi Daratan 0-10% (Landai) 10-25% (Bergelombang) 25-45% (berbukit)
Kestabilan Lereng
Drainase
Erosivitas
Bencana Alam
Ketersediaan Air Tanah
Stabil
Sedang
Rendah
Aman
Banyak
Agak Stabil
Sedang
Rendah
Aman
Cukup
Tidak Stabil
Baik
Sedang
Waspada
Sedikit
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
Dilihat dari aspek geologi, Kota Banjarmasin dan Kota Medan terbentuk dari endapan tanah alluvial, yaitu endapan tanah yang terbawa oleh air sungai. Pengikisan di daerah dataran rendah ini masih relatif kecil dan tata airnya cukup baik, karena merupakan endapan alluvial hasil erosi yang diangkut sungai yang berhulu di daerah vulkanis (gunung api). Oleh karena itu, kawasan ini memiliki kesuburan yang cukup tinggi sehingga sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, perkebunan, permukiman, dan industri. Sedangkan Kota Yogyakarta mengandung tanah regosol atau tanah vulkanik muda, yang
64
disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi. Namun, tanah ini pun termasuk tanah yang memiliki kesuburan yang baik sehingga memungkinkan bila ditanami oleh tanaman pertanian dan perdagangan. Kota Banjarmasin juga memiliki tanah rawa. Daerah rawa memiliki tanah yang tidak subur karena terlalu lama tergenang air, sehingga unsur haranya telah habis tercuci. Kota dataran rendah umumnya dialiri oleh sungai, contohnya Kota Banjarmasin yang dialiri oleh Sungai Barito dan Martapura, Kota Yogyakarta yang dialiri oleh Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gajah Wong, serta Kota Medan yang dialiri oleh Sungai Babura dan Sungai Deli. Keberadaan sungai-sungai tersebut di dalam kota menyebabkan terpenuhinya kebutuhan air tawar untuk pertanian, perumahan, dan industri. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dekat dengan aliran sungai memiliki penduduk yang relatif padat. Kota Banjarmasin merupakan memiliki tanah rawa. Daerah rawa memiliki tanah yang tidak subur karena terlalu lama tergenang air, sehingga unsur haranya telah habis tercuci. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam pembangunan Kota Banjarmasin, baik pembangunan ruang terbangun maupun pembangunan RTH. Untuk mendirikan bangunan harus menggunakan bahan yang tidak mudah lapuk karena air sehingga diperlukan biaya yang cukup tinggi, sedangkan untuk pembangunan RTH diperlukan vegetasi-vegetasi yang tahan terhadap genangan air dan memiliki daya evapotranspirasi yang tinggi. Jika dilihat dari aspek iklim, iklim di kota dataran rendah di Indonesia tergolong ke dalam iklim tropis basah yang memiliki curah hujan tinggi, suhu udara umumnya berada diatas toleransi kenyamanan, radiasi matahari yang menyengat, kelembapan tinggi, serta aliran udara yang relatif lambat. Suhu udara di pada ketiga kota tersebut rata-rata mencapai lebih dari 27 °C, bahkan untuk Kota Medan bisa mencapai 36 °C pada siang hari. Kondisi seperti ini akan mengganggu kenyaman manusia dan dapat berimbas pada menurunnya kondisi kesehatan manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu RTH kota yang dapat memperbaiki kestabilan iklim mikro dengan menanam vegetasi yang bertajuk masif dan lebar sehingga dapat memberikan keteduhan dan mengurangi radiasi matahari.
65
Kota-kota di Indonesia memiliki tingkat curah hujan yang cukup tinggi, yaitu dapat 300 mm/bulan. Kondisi curah hujan yang tinggi sering tidak diimbangi oleh kondisi saluran drainase kota, baik primer maupun sekunder, ditambah lagi sedikitnya keberadaan ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air di kawasan perkotaan, khususnya di kota dataran rendah. Di Kota Banjarmasin, Sungai Barito dan Sungai Martapura merupakan dua sungai besar yang berfungsi juga sebagai drainase utama kota. Namun, tumbuhnya permukiman-permukiman penduduk di sepanjang pinggiran sungai menyebabkan berkurangnya lahan untuk resapan air, apalagi ditambah dengan kondisi Kota Banjarmasin sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena itu, seringkali banjir terjadi di Kota Banjarmasin. Tidak jauh berbeda dengan kondisi sungai di Kota Yogyakarta dan Medan, daerah sempadan sungainya dipenuhi oleh permukiman penduduk yang menyebabkan semakin kecilnya daerah resapan air hujan sehingga terjadi aliran permukaan yang cukup besar dan mengakibatkan luapan air sungai ke daerah permukiman penduduk tersebut.
5.2.2 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Kota-kota di dataran rendah umumnya adalah kota yang sudah berkembang dan maju. Oleh karena itu, penduduk kota di dataran rendah adalah penduduk dengan berbagai macam suku, agama, dan ras, atau disebut juga multi etnis. Mayoritas penduduk kota yang berada di dataran rendah umumnya adalah pendatang/migran dari daerah lain yang ingin bekerja dan menetap di kota tersebut. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, maka sektor yang banyak menyerap tenaga kerja adalah industri, jasa, perdagangan, hotel dan restoran, serta sebagian kecil yang bekerja di bidang pertanian. Penduduk di daerah dataran rendah cenderung memiliki mata pencaharian yang beragam. Adanya keanekaragaman mata pencaharian ini disebabkan oleh kondisi alam daerah datar cocok digunakan untuk berbagai keperluan. Tanah di daerah dataran rendah sangat subur dan stabil. Tanah di daerah rendah sangat subur dan stabil. Oleh karena itu, pusat pertumbuhan kota terjadi di daerah dataran rendah. Hal ini mendorong jumlah penduduk perkotaan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Urbanisasi merupakan fenomena yang terjadi seiring dengan perubahan struktur ekonomi
66
masyarakat. Perubahan yang terjadi dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis industri dan selanjutnya ke ekonomi berbasis jasa berimplikasi terhadap perubahan yang terjadi pada struktur ruang yang mewadahi kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat. Konsentrasi penduduk cenderung pada terjadi pada daerah-daerah yang topografinya relatif datar, tanahnya subur, dan dekat dengan sumber air. Sebagai contoh, Kota Banjarmasin yang dilalui oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Martapura, pola permukiman masyarakatnya mendekati sungai. Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tumbuh permukiman-permukiman masyarakat, bahkan ada yang membangun rumahnya di atas sungai. Kota Yogyakarta pun demikian, daerah aliran Sungai Code dipenuhi oleh permukiman-permukiman kumuh, bahkan sepertinya hampir tidak ada lahan yang tersisa untuk membangun RTH sempadan sungai. Namun, pertambahan penduduk di suatu kota tidak bisa dihentikan begitu saja. Pertambahan penduduk akan terus-menerus berlangsung, tetapi keterbatasan lahan di pusat kota serta adanya konsep pengembangan kota baru mengakibatkan kota-kota besar mengalami perluasan dan melebar serta mendesak kawasan pedesaan di pinggiran kota. Hal ini tentu saja akan memicu perubahan penggunaan lahan di daerah penggiran dan memunculkan kantong-kantong aktivitas baru. . 5.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Dataran Rendah 5.3.1 Ketersediaan RTH di Kota Dataran Rendah Pada tahun 1970-an ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan masih relatif banyak. Taman-taman berfungsi semestinya dan jalur hijau masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Jumlah kendaraan bermotor dan industri pun belum sebanyak sekarang. Namun semua itu kini sudah berubah sejalan dengan tuntutan kehidupan di kota besar. Jumalah penduduk di ketiga kota tersebut semakin berlimpah yang mengakibatkan kebutuhan lahan untuk perumahan penduduk jadi meningkat, belum lagi kebutuhan lahan untuk kegiatan ekonomi. Penambahan jumlah kendaraan bermotor akibat bertambah padatnya penduduk pun menuntut penambahan kuantitas jalan. Semua itu akan mengubah
67
fungsi sebagai lahan yang tadinya terbuka dan hijau menjadi bangunan gedung, perumahan, dan jalan. Pembangunan tersebut sering tidak diikuti dengan kesiapan dan dukungan infrastruktur yang memadai sehingga dapat menurunkan daya dukung dan kualitas lingkungan perkotaan, oleh karena itu lahan terbuka yang ditumbuhi berbagai tanaman, besar dan kecil, semakin berkurang. Padahal, ruangan terbuka dengan tetumbuhan menghijau sangat diperlukan bagi kehidupan itu sendiri. Jika dilihat berdasarkan hasil interpretasi serta analisis dari proporsi ruang terbuka hijau yang berada di wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan yang masing-masing mempunyai luasan 48,85%, 16%, dan 29,17% dari total luas wilayah kota, maka luasan ruang terbuka hijau yang ada di Kota Banjarmasin sudah memenuhi standar pemerintah sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang yang menyatakan bahwa alokasi RTH sebanyak 30 % dari luas kota, tetapi dua kota lainnya yaitu Kota Yogyakarta dan Medan belum memenuhi standar tersebut. Persentase diatas menunjukan adanya ruang terbuka hijau yang saat ini sangat jarang ditemukan di wilayah perkotaan dataran rendah, khususnya di pusat kota. Lahan yang ada habis untuk gedung parkir atau areal parkir yang diaspal. Halaman kantor dan bahkan rumah pun umumnya sangat sempit dan amat jarang yang dibiarkan terbuka dengan tumbuhan. Kebanyakan halaman yang ada justru disemen tanpa memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah atau tanaman tumbuh menghijau. Padahal sesuai aturan setiap mendirikan bangunan ada syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan tata ruang terbuka ini. Kecenderungan pertumbuhan kota, kondisi dan sifat morfologi kota, sifat iklim dan pencemaran kota, penduduk dan penyebarannya, pada hakekatnya merupakan kondisi yang dinilai strategis dan pentingnya untuk mewujudkan pembangunan dan pengembangan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan seperti halnya kota-kota besar lainnya, dalam pertumbuhannya menghadapi dua fenomena yaitu: (a) menurunnya lingkungan fisik kritis perkotaan, dan (b) masalah sosial seperti urbanisasi, tumbuh berkembangnya permukiman kumuh, lunturnya budaya asli serta gejala sosial lainnya.
68
Mencermati atas kenyataan-kenyataan pembangunan fisik pada ketiga kota dataran rendah tersebut, sudah saatnya untuk lebih ketat mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya untuk mencapai efisiensi penggunaan ruang sebaik-baiknya. Terdesaknya kawasan ruang terbuka hijau, baik untuk kepentingan pemukiman maupun pembangunan pusat-pusat fasilitas kota sehingga menyebabkan terganggunya habitat dan sanctuary satwa liar. Demikian halnya dengan tidak terkontrolnya laju pemanfaatan air tanah dangkal dan penerapan
teknologi
pancang
bangunan
tinggi
sehingga
menyebabkan
terganggunya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis).
Gambar 31. RTH untuk Tujuan Fungsi Kenyamanan Kota
Ketidaksiapan kota dalam menampung arus perpindahan penduduk akan menimbulkan masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas meningkat dan selanjutnya dapat menimbulkan ketidakstabilan politik. Secara keseluruhan masalah tersebut dapat menimbulkan gangguan kejiwaan bagi penduduk perkotaan karena mengalami tekanan yang terus menerus. Maka, wajar kalau masyarakat kota akan kehilangan fungsi ekologis, biologis, dan psikologis dari ruang terbuka hijau. Ciri iklim di Kota memerlukan jasa ruang terbuka hijau (RTH) untuk menjadikan lingkungan kehidupan lebih nyaman dalam hal suhu, akibat tekanan udara, dan kelembabannya. Semakin meningkatnya pencemaran udara, kondisi iklim yang kurang nyaman menjadi meningkat sehingga memerlukan jasa tangkal dan peredamnya dalam bentuk RTH kota.
69
Gambar 32. RTH Meeredam Peniingkatan Peencemaran U Udara Mennurunnya daaya dukung lingkungan n hidup sebaagai akibat dari pencem maran udara yanng bersumber dari kenndaraan berrmotor dan industri, nampaknya dapat diatasi seccara alamiahh dengan haadirnya pem mbangunan ruang terbuuka hijau (R RTH). Hal ini mengingat m b bahwa jasa dan poten nsi biologiss tumbuhann dinilai mampu mengendaalikan dan menangkal m polusi lim mbah padat dan udara yang bersu umber dari kendaaraan bermootor serta melindungi m pusat-pusat p kegiatan koota dan kaw wasankawasan pemukiman p disekitarnyya. Menncermati
u uraian
diaatas,
keceenderungan
semakin
meningk katnya
lingkungaan fisik kritis di wilaayah kota, khususnya kota datarran rendah akan menjadi malapetaka m d degradasi liingkungan kota, k apabilla keberadaan tersebut tidak segera diaatasi. Menddasari atas berbagai pengalaman p yang pernnah dialami oleh negara-neggara indusstri besar Eropa dan n sekitarnyya, nampaaknya kehaadiran pembanguunan ruang terbuka hijau kini men njadi strategis untuk ddikembangk kan di kota datarran rendah, seperti Koota Banjarm masin, Yogyyakarta, dann Medan karena k peranan daan fungsinyya.
5.3.2 Disttribusi, Stru uktur RTH H, dan Fung gsi RTH dii Kota Dataaran Renda ah Disttribusi suatuu RTH jugaa turut mem mpengaruhi fungsi ekologis suatu kota, misalnya dalam d hal kenyamanan k n. Di Kota Banjarmasin B n, RTH terddistribusi deengan pola mem musat pada tepi kota saja s dengan n vegetasi berupa sem mak belukarr dan tanaman rawa, r sedangkan di bagian b pusaat kota jum mlahnya ceenderung seedikit (Gambar 14). Begituu pula denggan kondissi RTH di Kota Medaan dimana RTH
70
terdistribusi dengan pola memusat pada daerah tepi kota, terutama di bagian utara kota dengan jenis RTH berupa lahan peranian, sedangkan di pusat kota jumlah RTH jumlah RTH sangat sedikit (Gambar 26). Lain halnya dengan Kota Yogyakarta yang hanya memiliki RTH sedikit (kurang dari 30%), namun RTH terdistribusi menyebar merata ke seluruh kota (Gambar 20). Hal ini akan mempengaruhi fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh RTH tersebut. Menurut Sujarto (1993), semakin merata dan menyebar suatu RTH maka manfaat yang dapat diberikan ke seluruh kota akan semakin besar. Sehingga dapat dikatan bahwa, RTH pada Kota Yogyakarta dengan pola menyebar dan merata ke seluruh kota lebih baik jika dibandingkan dengan pola distribusi RTH Kota Banjarmasin dan Kota Medan yang hanya terpusat di tepi kota meskipun persentase lebih luas jika dibandingkan dengan Kota Yogyakarta. Jika dilihat dari bentuknya, RTH pada ketiga kota secara umum terdiri atas RTH linear dan RTH kawasan. Yang termasuk RTH linear adalah RTH jalur hijau jalan dan jalur sempadan sungai, sedangkan yang termasuk RTH kawasan adalah taman rumah/pekarangan, halaman perkantoran, taman lingkungan, taman kota, pemakaman umum, kebun binatang, dan RTH kawasan industri. Di pusat Kota Banjarmasin terdapat beberapa RTH kawasan berupa taman kota seperti Taman Siring, Pelataran Masjid Sahbilal Muhtadin, Taman Agrowisata Banjar Bungas Banjarmasin, Taman Agrowisata Mantuil, beberapa lapangan olahraga berumput, dan beberapa RTH privat yang berupa pakarangan rumah dan perkantoran. Di tepi kota RTH kawasan berupa kawasan pertanian dan RTH lahan kosong yang ditumbuhi oleh semak belukar. Walaupun masih cukup luasannya dalam skala wilayah kota, namun kurang mampu memberikan manfaat optimal untuk menjaga kualitas lingkungan kota. Hal ini dikarenakan vegetasi RTH tersebut hanya berupa semak belukar (strata rendah) dan beberapa tanaman rawa. Irwan (2005) menyebutkan bahwa RTH yang mampu mengurangi kebisingan dan menyerap CO2 dengan baik adalah RTH dengan vegetasi berstrata banyak. Beberapa ruas jalan di Kota Banjarmasin sudah memiliki jalur hijau jalan, seperti Jalan Pierre Tendean, Jalan Sudirman, Jalan Jenderal Ahmad Yani, dan sebagainya. Jalur hijau jalan raya ini merupakan RTH pembentuk ruang kegiatan
71
transportasi
yang
ditata
dengan
mengakomodasikan
fungsi
arsitektural
(penyangga, keteduhan, keteraturan, keindahan, pengarah, identitas, pembentuk karakter kota), dan fungsi biofisik (biofilter yang mereduksi bahan pencemar udara dan kebisingan dan kenyamanan). Kota Banjarmasin dilalui banyak sungai, baik sungai besar (Sungai Barito dan Sungai Martapura), maupun sungai-sungai kecil. Diketahui bahwa lahan bervegetasi atau RTH di tepian sungai dapat berfungsi untuk mengurangi bahaya erosi, mencegah longsor tebing, menjaga kestabilan saluran dan kualitas air serta memiliki nilai-nilai lain yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Jalur hijau tepi sungai merupakan area yang sangat potensial untuk menyumbang peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, tetapi tidak semua tepi atau bantaran sungai di Kota Banjarmasin yang tetutup oleh vegetasi. Ada beberapa bagian sungai yang tidak tertutupi oleh vegetasi tetapi justru digunakan segai area permukiman dan industri. Posisi sungai-sungai dan anak-anak sungainya yang membelah kota merupakan lahan potensial untuk memperbaiki kualitas lingkungan dalam kota. Karena itu, penghijauan jalur tepi atau bantaran sungai, melalui kegiatan konservasi, revegetasi, dan penambahan areal RTH sangat disarankan di Kota Banjarmasin.
Gambar 33. Bentuk RTH Kota Banjarmasin; Kawasan: Lapangan Masjid Sahbilal Muhtadin (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: Daerah Sempadan sungai (kanan)
72
RTH di Kota Yogyakarta pun merupakan kombinasi antara RTH linear dan RTH kawasan. Saat ini, alun-alun Kota Yogyakarta merupakan RTH yang masih sering digunakan oleh masyarakat sebagai tempat bersosialisasi, selain itu terdapat Kebun Binatang Gembira Loka yang memiliki vegetasi yang cukup rapat sehingga dapat berfungsi sebagai pengatur iklim mikro bagi lingkungan sekitarnya. Alun-alun kota merupakan jenis RTH kawasan yang masih dipertahankan dan menjadi kebanggaan masyarakat hingga saat ini. Permukiman merupakan jenis ruang terbangun yang banyak dijumpai di Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, lahan-lahan yang tersisa di kawasan permukiman berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH dan diharapkan akan terwujud iklim mikro yang nyaman di kawasan tersebut. Di beberapa ruas jalan pun terdapat jalur hijau, seperti Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo. Umumnya taman-taman jalur hijau di Kota Yogyakarta ditata dengan desain yang menarik sehingga dapat memperindah bagian kota. Hal ini sejalan dengan arah pembangunan Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan budaya. Selain jalur hijau jalan, di Kota Yogyakarta terdapat RTH jalur sempadan sungai, seperti salah satu ruas sempadan Sungai Code yang masih terdapat vegetasi untuk menjaga ekosistem sungai, meskipun di beberapa bagian lainnya tidak memiliki vegetasi dikarenakan dibangun permukiman penduduk.
Gambar 34. Bentuk RTH Kota Yogyakarta; Kawasan: Alun-alun Kota (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: sempadan Sungai Code (kanan)
73
Kota Medan juga memiliki RTH linear dan kawasan. Beberapa RTH kawasan yang terdapat di Kota Medan adalah Hutan Kota Beringin, Taman Ahmad Yani, Lapangan Merdeka, dan Taman Teladan. Taman-taman ini berada di pusat kota dan untuk RTH kawasan yang berada di tepi kota umumnya merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Untuk RTH berbentuk jalur, terdapat di sepanjang Sungai Deli dan Sungai Babura, Jalan H. Adam Malik, dan Jalan Putri Hijau.
Gambar 35. Bentuk RTH Kota Medan; Kawasan Lapangan Benteng (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: sempadan Sungai Deli (kanan)
5.3.3 Vegetasi Ruang Terbuka Hijau Tanaman merupakan elemen utama pembentuk suatu ruang terbuka hijau (RTH) kota. Umumnya kualitas tanaman yang digunakan di kawasan ini akan dan diharapkan dapat mengikuti dan menunjang kualitas bagian/ ruang kota tersebut. Kualitas yang dimaksud adalah kualitas lingkungan fisik yang baik dan menjamin kenyaman bagi setiap warga kota serta dapat meningkatkan nilai estetika dari ruang-ruang kotanya. Jenis tanaman yang ditanam di kawasan perkotaan tergantung pada fungsi tanaman dan lokasi dimana tanaman tersebut dapat ditanam. Tanaman yang dipergunakan adalah dari kelompok pohon, perdu, semak, dan penutup tanah. Kota Banjarmasin dengan kondisi tanah di bebeapa bagian kota merupakan tanah berawa-rawa maka tanaman yang umumnya digunakan merupakan tanaman-tanaman yang tahan terhadap genangan air serta memiliki daya
74
evapotranspirasi yang tinggi. Contoh tanaman-tanaman tersebut antara lain Rengas (Gluta wallichi), jeruju (Acanthus Ilicifolius), kayu galam (Malaleuca cajuputi), Meranti (Dipterocorpus spesi), Kayu Ulin (Eusidetoxilon zwageri), dan bakau (Rhizopora sp.). Tanaman-tanaman di atas merupakan vegetasi endemik Propinsi Kalimantan Selatan yang merupakan tanaman pengisi RTH daerah sempadan sungai. Menurut RDTRK Kota Banjarmasin, penutupan RTH terbesar di Kota Banjarmasin merupakan lahan kosong berupa semak belukar dan tanaman-tanaman rawa yang tersebar di tepi kota. Tetapi menuju pusat kota, vegetasi yang ditanam merupakan vegetasi peneduh dan penyerap polutan yang banyak terdapat di kawasan permukiman dan jalur hijau jalan. Kota Yogyakarta memiliki kekhasan dalam komposisi vegetasi karena masih sangat dipengaruhi oleh kebudayaan daerah. Penanaman vegetasi pada kawasan permukiman lebih cenderung kepada pertimbangan mistis dan kultur filosofis. Misalnya, masyarakat Yogyakarta percaya yang menanam pohon sawo kecik di lingkungan tempat tinggalnya percaya bahwa dengan menanam pohon tersebut maka diliputi dengan keberuntungan dan kebaikan. Begitu juga pada pemilihan vegetasi untuk RTH, selain mempertimbangkan faktor fungsi ekologis dan estetika, juga dipertimbangkan filosofi/makna yang terkandung pada vegetasi teresbut. Berikut adalah beberapa vegetasi yang sering digunakan pada RTH Kota Yogyakarta asam jawa (Tamarindus indica), angsana (Pterocarpus indicus), beringin (ficus benjamina), beringin putih (Ficus elastica), glodokan tiang (Polyalthea longifolia), kacapiring (Gardenia augusta), sawo kecik (Manilkara kauki), tanjung (Mimusops elengi). Pohon beringin mendominasi kawasan Jalan HOS Cokroaminoto, Selanjutnya Jalan Margotomo dan Margomulyo sepanjang jalannya ditanami pohon asem. Beberapa taman juga ditanami dengan kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis), cengkir gading (Cocos nucifera), dan nusa indah (Mussaenda sp.). Tanaman-tanaman merupakan tanaman-tanaman yang mampu menyerap polusi udara. Bagian utara Kota Medan sangat rentan terhadap intrusi air laut karena posisi Kota Medan yang bersinggungan langsung dengan air laut. Oleh karena itu, vegetasi yang mendukung untuk kondisi seperti itu adalah vegetasi yang memiliki daya evaporasi yang rendah dan tahan terhadap kandungan garam yang relatif
75
tinggi, yaitu tanaman formasi mangrove seperti Avicenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Lumnitzera spp, Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp, dan Nypa sp. Lalu menuju pusat Kota Medan, vegetasi diutamakan vegetasi yang dapat tumbuh dengan cepat dan mampu mengurangi pencemaran udara kota, seperti glodokan tiang (Polyalthia longifolia), asam kranji (Pithecolobium dulce), mahoni (Switenia mahogani), tanjung (Mimusops elengi), dan kiara payung (Felicium decipiens). Secara umum, vegetasi yang banyak digunakan pada kota dataran rendah adalah vegetasi yang memiliki kemampuan mereduksi polutan yang ditimbulkan dari industri dan kendaraan bermotor dengan baik. Vegetasi tersebut memiliki bulu dan permukaan kasar, memiliki trikoma dan stomata yang rapat, dan berlekuk, bersifat evergreen, bertajuk masif dan tinggi pohon lebih dari 10 meter.
5.4. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 Ruang Terbuka Hijau merupakan bagian dari penataan ruang. Hal ini terlihat adanya aturan undang-undang penataan ruang yang mengatur tentang RTH ini. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tersebut, rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan bagian dari perencanaan tata ruang wilayah kota. Proporsi RTH pada wilayah kota diatur pada pasal 29 ayat 1, proporsi RTH paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Didasari oleh standar perhitungan menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tersebut maka untuk luasan RTH minimum untuk kota Banjarmasin adalah 2.160 Ha, tetapi pada saat ini Kota Banjarmasin masih memiliki luasan RTH sebesar 48,85%, yaitu sebesar 3517,2 Ha. Untuk Kota Yogyakarta, luasan RTH minimumnya adalah 975 Ha dan saat ini Kota Yogyakarta hanya memiliki luasan RTH sebesar 16% dari luas wilayah kota, yaitu hanya sebesar 519,97 Ha. Oleh karena itu, bagi Kota Yogyakarta diperlukan penambahan RTH sebesar 455,03 Ha. Selanjutnya untuk Kota Medan, luasan RTH minimumnya adalah 7683 Ha, sedangkan luasan RTH yang ada pada saat ini hanya sebesar 29,17%, yaitu 7732,96 maka diperlukan penambahan RTH di Kota Medan sebesar 220.04 Ha.
76
Kota Banjarmasin masih memenuhi persyaratan luas RTH menurut UndangUndang No. 26 Tahun 2007, sebesar 48,85%. Meskipun demikian, keberadaan RTH ini harus dapat tetap dipertahankan. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta dengan RTH sebesar 16% saat ini berada dalam kondisi kritis karena proporsi RTH saat ini masih jauh dari standar yang telah ditetapkan dan untuk Medan dengan RTH sebesar 29,72% hampir memenuhi standar yang telah ditetapkan, namun harus tetap ada upaya penambahan RTH.
5.5. Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau memiliki banyak manfaat diantaranya adalah meningkatka
kondisi
air
tanah,
meningkatkan
sistem
hidrologi
kota,
meningkatkan jumlah dan kualitas air satwa liar, mengurangi keadaan iklim mikro yang ekstrim, serta mengurangi polusi udara perkotaan (Sulistyantara, 2002). Kota Banjarmasin memiliki luasan RTH yang berada dalam standar luas RTH kota yang ditetapkan pemerintah, yaitu 30% dari luas wilayah kota. Namun, tidak demikian dengan Kota Yogyakarta dan Kota Medan. Luasan RTH kedua kota tersebut masih berada di bawah standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH, terutama peningkatan jumlah RTH di bagian pusat kota. Kota Banjarmasin memang memiliki persentase RTH terluas diantara ketiga kota. Namun, jika dilihat dari pola distribusi RTH yang hanya terpusat di tepi kota dan jenis vegetasi yang dominan pada RTH tersebut berupa semak belukar (berstrata rendah), maka Kota Banjarmasin pun harus meningkatkan kualitas RTH nya agar ekosistem kota tetap terjaga. RTH kota yang sudah ada harus ditingkatkan keberadaannya dengan cara pemilihan tanaman yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan Kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin merupakan kota yang memiliki banyak sungai , kondisi tanah berawa-rawa, serta berada lebih rendah dari permukaan laut, sangat berpotensi menyebabkan penggenangan saat air pasang dan banjir, maka tanaman yang ditanam merupakan tanaman-tanaman yang tahan terhadap genangan air dan memiliki daya evapotranspirasi tinggi. Jenis tanaman yang mempunyai jumlah daun banyak sehingga memiliki stomata yang banyak pula, seperti nangka (Artocarpus heterophylla), akasia (Acacia
77
auliculiformis), jati (Tectona grandis), Ki Hujan (Samanea saman), dan mahoni (Swietenia macrophylla). Banjarmasin merupakan kota seribu sungai, namun kondisi sungai di kota ini sangat memprihatinkan, terutama daerah sempadan sungai. Di Kota Banjarmasin daerah sempadan sungai, termasuk bantaran sungai mulai ditutupi oleh area terbangun, baik permukiman, industri, pelabuhan, dan sebagainya. RTH yang seharusnya berada di daerah sempadan sungai tersebut sangat sedikit sekali sehingga mulailah terjadi bencana banjir di kawasan tersebut. Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa daerah bantaran sungai (flood plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, RTH di daerah sempadan sungai sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi ekologis dan hidrologis sempadan sungai tersebut. Adapun kriteria tanaman yang dipergunakan pada RTH daerah sempadan sungai adalah memiliki system perakaran yang kuat, tumbuh baik pada tanah padat, tahan terhadap genangan, system perakaran masuk ke dalam tanah, kecepatan tumbuh bervariasi, tahan terhadap hama dan penyakit, rindang dan kompak, serta dapat mengundang burung. Contoh tanaman yang dapat digunakan antara lain bungur (lagerstromia speciosa), tanjung (mimusops elengi), Ki hujan (Samanea saman), lamtoro (Leucaena glauca), beringin (Ficus benjamina), johar (Cassia siamea), sawo kecik (Manilkara kauki), asam (Tamarindus indica), dan sebagainya. Diharapkan dengan mengoptimalkan kondisi sempadan sungai Kota Banjarmasin, baik sungai besar maupun sungai kecil maka kualitas RTH kota akan meningkat. Perkembangan Kota Banjarmasin saat ini yang sedang fokus pada pembangunan infrastruktur jalan sebagai penghubung antara pusat kota dengan
78
daerah suburban nya, maka pembangunan RTH Kota Banjarmasin dapat dilakukan dengan mengembangkan jalur hijau jalan sebagai RTH Kota dengan menanam tanaman-tanaman peneduh dan mampu mereduksi polutan, sehingga iklim mikro yang sehat dapat tercipta dan pencemaran udara karena polutan kendaraan dapat diminimalisasi. Peningkatan kuantitas RTH bagi kota yang memiliki luasan RTH di bawah 30%, yaitu Kota Yogyakarta dan Medan diupayakan agar mampu meningkatkan luasan RTH di kecamatan masing-masing dengan menyediakan taman kota atau taman lingkungan sehingga selain dapat digunakan untuk keindahan kota juga dapat mengakomodir keinginan masyarakat untuk mendapatkan udara segar terutama yang tinggal di kawasan kumuh. Bagian pusat kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi baik di Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan umumnya telah didominasi oleh lahan terbangun yang digunakan untuk kawasan permukiman, perdagangan, maupun industri. Oleh karena itu, upaya peningkatan kuantitas dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan terbangun yang sudah ada. Cara ini dianggap cukup sesuai dengan kondisi kota-kota tersebut yang sudah cukup padat, terutama di pusat kota, dengan kawasan terbangun dan sangat tidak memungkinkannya untuk diadakan konversi lahan dari lahan terbangun menjadi RTH. Contoh RTH yang dapat dibangun dalam lingkungan-lingkungan yang sudah cukup padat adalah pengadaan taman kota dengan memanfaatkan lapangan olahraga yang sudah ada di pusat kota. Upaya ini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin untuk memenuhi kebutuhan RTH di pusat kota, sekaligus dapat dijadikan area bersosialisasi bagi masyarakat sekitar. Contoh lain yaitu Pemanfaatan kebun dan halaman permukiman sebagai wilayah hijau dan produktif. Sepertinya, upaya ini cocok untuk diterapkan di Kota Yogyakarta mengingat lahan di Kota Yogyakarta semakin berkurang dan tergantikan oleh bangunan, terutama permukiman maka keberadaan tanaman di kebun maupun halaman rumah merupakan sarana yang cukup efektif untuk menghijaukan Kota Yogyakarta. Selain itu, dapat juga mengoptimalkan ruang terbangun yang ada dengan membangun roof garden ataupun vertical garden.
79
Peningkatan jalur hijau jalan pun nampaknya sesuai untuk diterapkan di ketiga kota tersebut terutama bagian pusat kota, karena di kawasan pusat kota, aktivitas
masyarakakat
cenderung
tinggi
(industri,
permukiman,
pusat
pemerintahan, perdagangan, dan sebagainya) dan arus transportasi cukup padat. Bentuk RTH jalur hijau jalan ini diharapkan mampu mereduksi masalah polusi perkotaan, baik itu polusi industri maupun polusi kendaraan, sehingga dapat meningkatkan kenyamanan bagi makhluk hidup yang berada di lingkungan tersebut. Setelah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas RTH suatu kota dilaksanakan, maka harus diiringi dengan pengelolaan RTH yang baik dari semua stakeholder, baik pemerintah maupun masyarakat agar RTH yang sudah ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Dari hasil pengolahan citra Landsat-TM tahun 2009, Penutupan lahan Banjarmasin masih didominasi oleh RTH (48,85% dari seluruh total wilayah). Hal ini menunjukkan bahwa RTH Kota Banjarmasin masih sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, yaitu luas RTH minimum 30% dari luas wilayah kota. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta tahun 2009, keberadaan RTH sangat minim, yaitu hanya 16% dari total luas wilayah kota (kurang dari 30%), sehingga dapat dikatakan kondisi RTH Kota Yogyakarta dalam kondisi kritis. Untuk Kota Medan tahun 2008, luas RTH sebesar 29,17%. 2. Persentase RTH Kota Banjarmasin yang terbesar berada di wilayah Kecamatan Banjarmasin Selatan, yaitu 26,53% dan pola distribusi RTH terlihat memusat di tepi kota dan semakin ke arah pusat kota cenderung semakin kecil. Untuk Kota Yogyakarta, persentase RTH tertinggi berada di Kecamatan Umbulharjo dan pola distribusi RTH menyebar merata ke seluruh bagian kota meskipun dalam proporsi yang kecil. Untuk Kota Medan, persentase RTH terbesar berada di kecamatan Medan Labuhan dan pola distribusi RTH juga memusat di daerah pinggir kota dan semakin mendekati pusat kota RTH cenderung berkurang jumlahnya. Namun, pola distribusi RTH yang baik dimiliki oleh Kota Yogyakarta karena dengan pola menyebar , manfaat RTH akan terdistribusi dengan baik juga ke seluruh kota. 3. RTH pada ketiga kota dataran rendah umumnya dibangun untuk memenuhi fungsi ekologis sebagai fungsi utama, sedangkan fungsi sosial, arsitektural, dan ekonomi sebagai fungsi tambahan. Fungsi utama RTH di Kota Dataran Rendah adalah untuk mengurangi pencemaran udara, ameliorasi iklim, serta pengatur tata air dan tanah. Sedangkan fungsi lain RTH di Kota Dataran Rendah, meliputi identitas kota, pelestarian plasma nutfah, tempat bersosialisasi antar masyarakat, serta dapat meningkatkan industri
81
pariwisata.
Struktur RTH yang berupa gabungan dari RTH struktural,
seperti sempadan sungai, sempadan pantai dan RTH non struktural, seperti taman kota, taman lingkungan dengan pengembangan bentuk RTH berupa RTH kawasan dan RTH linear. Kemudian dilengkapi dengan vegetasivegetasi yang ditanam sesuai dengan fungsinya, seperti untuk mengurangi polutan akibat tingginya arus kendaraan dan industri. RTH pada kota dataran rendah yang memiliki iklim tropis lembab memiliki vegetasi yang konstan sepanjang masa dan dapat tumbuh dimana-mana.
6.2
Saran Kota dataran rendah merupakan kota yang akan selalu berkembang dari
waktu ke waktu, sehingga akan semakin berpeluang terjadinya konversi lahan RTH menjadi ruang terbangun dan permasalahan lingkungannya pun akan semakin bertambah. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali perencanaan RTH kota dataran rendah yang sesuai dengan fungsi, daya dukung, dan karakteristik lanskapnya. Hal ini dikarenakan RTH memiliki fungsi yang sangat besar dalam menjaga ekosistem kota dataran rendah. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas RTH di kota dataran rendah.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press Barus, Baba dan U.I Wiradisastra.2000. Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Branch, M.C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar & Penjelasan. Wibisono BH, penerjemah; Djunaedi A, editor. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: Comprehensive City Planning: Introduction & Explanation. [Departemen Arsitektur Lanskap IPB]. 2005. Ruang Terbuka Hijau Di Dalam: Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan. Rangkaian Acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke-60 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum; 30 Nov 2005. Bogor: Laboratorium Perencanaan Departemen Arsitektur Lanskap. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Pedoman Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Departemen Dalam Negeri. Jakarta [Depdagri] Depatemen Dalam Negeri. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Departemen Dalam Negeri. Jakarta [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Jakarta: Depdagri. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. New York: McGraw-Hill Book Co.
83
Grey, G.W dan F.J. Denneke. 1978. Urban Forestry. New York: John Willey and Sons. Haris, I.V. 2006. Analisis Distribusi dan Kecukupan RTH dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh: Kasus Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institur Pertanian Bogor. Hartini, Harintaka, Istarno.____. Analisis Konversi Ruang Terbuka Hijau Menjadi Penggunaan Perumahan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Idawaty, Rachman Z, Pramukanto Q. 1998. Perencanaan hipotetik Ruang Terbuka Hijau di Pemukiman Real Estat: Kasus Metro Sunter Real Estat, Jakarta. Buletin Taman & Lanskap Indonesia. Volume 1 Nomor 1. Irwan, Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lanskap Hutan Kota. Jakarta: PT Bina Aksara. Lillesand, T.M. dan Ralph W. Kiefer.1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Lynch, K.1982. Good City Form. The MITT Press: Cambridge. Meyer, W.B and Turner, B.L. 1994. Change in Land-Use and Land-Cover: A Global Perspective. Cambridge Press: Cambridge. Nurisjah, S. 2002. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kota. Prosiding Pelatihan Ruang Terbuka Hijau. Studio Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurisyah S, Roslita, Pramukanto, Q. 1998. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat. Buletin Taman & Lanskap Indonesia. Volume 1 Nomor 1: Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Jakarta Prahasta, Eddy. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arcview. Bandung: Informatika
84
Purnomohadi, Ning. 2002. RTH Sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan. Jakarta Putri, P. 2006. Identifikasi Perubahan Luas Ruang Terbuka Hijau di Kotamadya Bandung dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Program Studi Arsitektur lanskap Fakultas Pertanian: Institut Pertanian Bogor. Rahmi, H. 2002. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Lingkungan Perumahan Yogyakarta Jurusan Teknik Arsitektur Dalam Manusia dan Lingkungan Volume IX No.3, November 2002. Pusat Studi Lingkungan Hidup. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Rapoport, A. 1985. Tentang Asal Usul Kebudayaan Pemukiman, Hal : 21-44. dalam A. J. Catanese, A. Rapaport, A. B. Gallion, S. Eisner dan P. D. Spreiregen (Ed.) Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung : Intermedia. Samsoedin, Ismayadi dan Endro Subiandono. 2006. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang Simonds, J. O. 1983. Landscape Architecture. New York : McGraw-Hill Book Co., Inc. Sitorus, J. 2004. Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di Kawasan Jabotabek Periode 1992-2000. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Sulistyantara, B. 2002. Sistem dan Bentuk Ruang Terbuka Hijau Kota. Prosiding Pelatihan Ruang Terbuka Hijau. Studio Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sujarto, D. 1991. Urban Land Use and Activity System. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suratmo, F.G. 1982. Analisis Dampak Pada Aspek Fisik, Kimia, Biologi, Sosial, dan Ekonomi Dari Suatu Pembangunan. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
85
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota Perspektif Parsial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/07/jogja/1034592.htm tanggal 15 Januari 2009) http://www.wikipedia.com/kotamedan (diakses tanggal 15 Januari 2009) http://www.yogyakarta.go.id (diakses tanggal 15 Januari 2009)
(diakses
LAMPIRAN
Lampiran 1. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Tahun 2009 (Dalam Skala Kota) Kecamatan Banjarmasin Utara Banjarmasin Timur Banjarmasin Selatan Banjarmasin Barat Banjarmasin Tengah TOTAL
Luas Kecamatan (Ha) 1525 1154 2018 1166 1337 7200
Luas RTH (Ha) 456.48 1036.08 1910.16 100.08 14.40 3517.20
% RTH (Skala Kota) 6.34% 14.39% 26.53% 1.39% 0.20% 48.85%
Luas Ruang Terbangun (Ha) 708.48 630.72 470.88 712.8 755.28 3278.16
% Ruang Terbangun (SkalaKota)
Luas Badan Air (Ha)
9.84% 8.76% 6.54% 9.90% 10.49% 45.53%
101.52 15.12 190.80 89.28 5.76 402.48
% Badan Air (Skala Kota) 1.41% 0.21% 2.65% 1.24% 0.08% 5.59%
Keterangan: Luas Penutupan lahan berupa awan dan bayangan (tidak terklasifikasi) di Kota Banjarmasin sebesar 2.15 Ha (0.03%)
Lampiran 2. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Tahun 2009 (Dalam Skala Kecamatan) Kecamatan Banjarmasin Utara Banjarmasin Timur Banjarmasin Selatan Banjarmasin Barat Banjarmasin Tengah TOTAL
Luas Kecamatan (Ha) 1525 1154 2018 1166 1337 7200
Luas RTH (Ha)
% RTH (Skala Kota)
456.48 1036.08 1910.16 100.08 14.40
29.93% 89.78% 94.66% 8.58% 1.08%
3517.20
Luas Ruang Terbangun (Ha) 708.48 630.72 470.88 712.8 755.28 3278.16
% Ruang Terbangun (SkalaKota)
Luas Badan Air (Ha)
46.46% 54.66% 23.33% 61.13% 56.49%
101.52 15.12 190.80 89.28 5.76 402.48
% Badan Air (Skala Kota) 6.66% 1.31% 9.45% 7.66% 0.43%
Lampiran 3. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 (Dalam Skala Kota) Kecamatan Danurejan Gedong Tengen Gondokusuman Gondomanan Jetis Kota Gede Kraton Mantrijeron Mergangsan Ngampilan Pakualaman Tegalrejo Umbulharjo Wirobrajan TOTAL
Luas Kecamatan (Ha) 110 96 399 112 170 307 140 261 231 82 63 291 812 176 3250
Luas RTH (Ha)
% RTH (Skala Kota)
14.86 13.70 94.30 17.44 33.54 53.30 13.06 24.93 18.34 10.90 6.87 77.99 116.08 24.63 519.97
0.46 0.42 2.90 0.54 1.03 1.64 0.40 0.77 0.56 0.34 0.21 2.40 3.57 0.76 16.00
Luas Ruang Terbangun (Ha) 78.59 67.72 427.96 84.08 133.05 219.57 110.15 100.50 215.58 70.99 59.40 297.36 612.56 121.17 2598.68
% Ruang Terbangun (SkalaKota) 2.42 2.08 13.17 2.59 4.09 6.76 3.39 3.09 6.63 2.18 1.83 9.15 18.85 3.73 79.96
Luas Badan Air (Ha) 1.26 1.44 9.78 2.34 4.84 1.68 0.36 1.89 4.13 0.57 0.90 6.90 10.21 2.34 48.65
% Badan Air (Skala Kota) 0.04 0.04 0.30 0.07 0.15 0.05 0.01 0.06 0.13 0.02 0.03 0.21 0.31 0.07 1.50
Keterangan: Luas Penutupan lahan berupa awan dan bayangan (tidak terklasifikasi) di Kota Banjarmasin sebesar 102.88 Ha (2.54%)
Lampiran 4. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 (Dalam Skala Kecamatan) Kecamatan Danurejan Gedong Tengen Gondokusuman Gondomanan Jetis Kota Gede Kraton Mantrijeron Mergangsan Ngampilan Pakualaman Tegalrejo Umbulharjo Wirobrajan TOTAL
Luas Kecamatan (Ha) 110 96 399 112 170 307 140 261 231 82 63 291 812 176 3250
Luas RTH (Ha) 14.86 13.70 94.30 17.44 33.54 53.30 13.06 24.93 18.34 10.90 6.87 77.99 116.08 24.63 519.97
% RTH (Skala Kecamatan) 13.51 14.27 23.63 15.58 19.73 17.36 9.33 9.55 7.94 13.30 10.91 26.80 14.30 14.00
Luas Ruang Terbangun (Ha) 78.59 67.72 427.96 84.08 133.05 219.57 110.15 100.50 215.58 70.99 59.40 297.36 612.56 121.17 2598.68
% Ruang Terbangun (SkalaKecamatan) 71.45 70.54 107.26 75.07 78.26 71.52 78.68 38.50 93.32 86.58 94.29 102.18 75.44 68.85
Luas Badan Air (Ha) 1.26 1.44 9.78 2.34 4.84 1.68 0.36 1.89 4.13 0.57 0.90 6.90 10.21 2.34 48.65
% Badan Air (Skala Kecamatan) 1.14 1.50 2.45 2.09 2.85 0.55 0.26 0.73 1.79 0.69 1.43 2.37 1.26 1.33
Lampiran 5. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Medan Tahun 2008 (Dalam Skala Kota) Kecamatan
Luas Kecamatan (Ha)
Luas RTH (Ha)
% RTH (Skala Kota)
Luas Ruang Terbangun (Ha)
% Ruang Terbangun (SkalaKota)
Medan Amplas Medan Area Medan Barat Medan Baru Medan Deli Medan Denai Medan Helvetia Medan Johor Medan Kota Medan Kota Belawan Medan Labuhan Medan Maimun Medan Marelan Medan Perjuangan Medan Petisah Medan Polonia Medan Selayang Medan Sunggal Medan Tembung Medan Timur Medan Tuntungan TOTAL
1458 905 682 584 2084 1119 1544 1281 799 2625 3667 527 2382 776 1316 552 901 298 409 533 2068 26510
453.321 15.906 257.147 13.255 612.381 108.691 615.032 121.946 2.651 917.246 2086.337 23.859 1272.48 58.322 18.557 7.953 63.624 111.342 275.704 50.369 646.844 7732.967
1.71% 0.06% 0.97% 0.05% 2.31% 0.41% 2.32% 0.46% 0.01% 3.46% 7.87% 0.09% 4.80% 0.22% 0.07% 0.03% 0.24% 0.42% 1.04% 0.19% 2.44% 29.17%
1283.084 617.683 681.307 485.133 1728.452 763.488 630.938 641.542 591.173 288.959 880.132 294.261 23.859 763.488 270.402 432.113 628.287 697.213 524.898 874.83 646.844 13748.086
4.84% 2.33% 2.57% 1.83% 6.52% 2.88% 2.38% 2.42% 2.23% 1.09% 3.32% 1.11% 0.09% 2.88% 1.02% 1.63% 2.37% 2.63% 1.98% 3.30% 2.44% 51.86%
Luas Badan Air (Ha) 135.201 55.671 55.671 63.624 132.55 37.114 15.906 74.228 45.067 898.689 1412.983 79.53 909.293 37.114 15.906 74.228 100.738 63.624 21.208 84.832 151.107 4464.284
% Badan Air (Skala Kota) 0.51% 0.21% 0.21% 0.24% 0.50% 0.14% 0.06% 0.28% 0.17% 3.39% 5.33% 0.30% 3.43% 0.14% 0.06% 0.28% 0.38% 0.24% 0.08% 0.32% 0.57% 16.84%
Keterangan: Luas Penutupan lahan berupa awan dan bayangan (tidak terklasifikasi) di Kota Medan sebesar 564.663 Ha (2.13%)
Lampiran 6. Persentase Luas Penutupan Lahan Kota Medan Tahun 2008 (Dalam Skala Kecamatan) Kecamatan Medan Amplas Medan Area Medan Barat Medan Baru Medan Deli Medan Denai Medan Helvetia Medan Johor Medan Kota Medan Kota Belawan Medan Labuhan Medan Maimun Medan Marelan Medan Perjuangan Medan Petisah Medan Polonia Medan Selayang Medan Sunggal Medan Tembung Medan Timur Medan Tuntungan TOTAL
Luas Kecamatan (Ha) 1458 905 682 584 2084 1119 1544 1281 799 2625 3667 527 2382 776 1316 552 901 298 409 533 2068 26510
Luas RTH (Ha) 453.321 15.906 257.147 13.255 612.381 108.691 615.032 121.946 2.651 917.246 2086.337 23.859 1272.48 58.322 18.557 7.953 63.624 111.342 275.704 50.369 646.844 7732.967
% RTH (Skala Kecamatan) 31.09% 1.76% 37.70% 2.27% 29.38% 9.71% 39.83% 9.52% 0.33% 34.94% 56.89% 4.53% 53.42% 7.52% 1.41% 1.44% 7.06% 37.36% 67.41% 9.45% 31.28%
Luas Ruang Terbangun (Ha) 1283.084 617.683 681.307 485.133 1728.452 763.488 630.938 641.542 591.173 288.959 880.132 294.261 23.859 763.488 270.402 432.113 628.287 697.213 524.898 874.83 646.844 13748.086
% Ruang Terbangun (SkalaKecamatan) 68.41% 89.20% 68.27% 85.97% 69.70% 83.69% 49.95% 76.31% 92.16% 13.69% 19.88% 73.76% 10.18% 88.56% 88.03% 83.05% 79.13% 79.48% 63.66% 86.40% 38.44%
Luas Badan Air (Ha) 135.201 55.671 55.671 63.624 132.55 37.114 15.906 74.228 45.067 898.689 1412.983 79.53 909.293 37.114 15.906 74.228 100.738 63.624 21.208 84.832 151.107 4464.284
% Badan Air (Skala Kecamatan) 9.27% 6.15% 8.16% 10.89% 6.36% 3.32% 1.03% 5.79% 5.64% 34.24% 38.53% 15.09% 38.17% 4.78% 1.21% 13.45% 11.18% 21.35% 5.19% 15.92% 7.31%