IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)
HUDI WIDYARTA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN HUDI WIDYARTA. Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pada Kota Pulau Di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate). Di bawah Bimbingan ALINDA F.M. ZAIN. Menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang perencanaan tata ruang, pasal 29 menyatakan bahwa proporsi ruang terbuka hijau di daerah perkotaan sekurang-kurangnya 30% dari wilayah kota. Meskipun memiliki kualitas visual yang tinggi nilai, tetapi kota pulau juga rentan terhadap ancaman gempa bumi, tsunami, dan degradasi lingkungan karena kebutuhan pembangunan besar ruang di lahan terbatas. Karena karakter tidak stabil, maka diperlukan pengetahuan tentang karakter lanskap pada kota pulau. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing kota dengan analisis spasial, menganalisis distribusi, pola dan luasan RTH pada kota pulau serta mengidentifikasi distribusi ruang terbuka hijau ideal pada kota pulau. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi empat tahapan yaitu persiapan, pengambilan data sekunder, analisis dan penyajian hasil. Tempat yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah Kota Batam (Provinsi Kepulauan Riau), Kota Tarakan (Provinsi Kalimantan Timur) dan Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara). Masing –masing kota dipilih berdasarkan pembagian wilayah, yaitu Kota Batam untuk wilayah Indonesia barat, Kota Tarakan untuk wilayah Indonesia tengah, dan Kota Ternate untuk wilayah Indonesia timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik pengolahan data spasial menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data yang digunakan dalam menganalisis penutupan lahan masing-masing wilayah studi adalah Landsat 7 ETM+ tahun 2009, peta administrasi masing-masing wilayah dan peta rencana tata ruang wilayah masing-masing kota. Keseluruhan data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak pengolah data citra satelit digital dan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Hasil akhir yang diperoleh dari penelitian ini adalah informasi spasial dan atributnya dalam bentuk peta penggunaan dan penutupan lahan serta peta sebaran ruang terbuka hijau. Bentuk penyajian hasil akhir dari proses penelitian ini tidak hanya dalam bentuk informasi spasial tetapi juga dalam bentuk deskripsi mengenai distribusi, pola penyebaran dan luasan ruang terbuka hijau serta tabulasi. Kota Batam berkedudukan sebagai National Single Window dalam perannya sebagai kota industri dan dagang internasional dan menjadi simpul penting di kawasan segitiga emas internasional Batam-Singapura-Johor. Kota Batam sendiri yang semula merupakan kota kecamatan, kini setelah ada pemekaran Propinsi Riau menjadi dua Propinsi dengan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau di tahun 1999, telah berstatus penuh sebagai sebuah Kotamadya dan akan dikembangkan terpadu menjadi kawasan Metropolitan Batam-RempangGalang (Barelang) sesuai RTRW Barelang 2004-2014 yang disusun oleh Pemerintah Kota.
Kota Batam terletak pada path/row: 125/059 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Batam, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 25.312,9 ha (48,7%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 22.870,4 ha (44%) dan 3.774,6 ha (7,3%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 - 2014, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan hutan lindung, kawasan taman wisata alam, kawasan pertanian, kawasan ekowisata, kawasan cagar budaya dan kawasan perlindungan mangrove. Sedangkan kawasan terbangun antara lain kawasan pusat pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan bandara, lingkungan kerja pelabuhan, dan lingkungan pelayanan industri kelautan. Sedangkan badan air mencakup sungai dan waduk. Hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Batam, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 33.766 ha (65%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masingmasing luas 17.054,7 ha (32,8%) dan 1.137,2 ha (2,2%). Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan Kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1981. Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan UndangUndang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Tarakan. Kota Tarakan terletak pada path/row: 117/058 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 12.358 ha (49%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luas 11.079,9 ha (43,8%) dan badan air memiliki luasan terkecil 1.821,06 ha (7,2%). Badan air pada Pulau Tarakan terletak di pantai, yang kemungkinan besar adalah rawa. Kemungkinan ini didapatkan setelah mengamati komposisi warna pada citra landsat yang berwarna biru kehijau-hijauan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan tahun 2006-2013, yang termasuk kawasan RTH adalah lapangan tembak, kawasan hutan lindung, konservasi mangrove, hutan kota. Sedangkan untuk kawasan terbangun antara lain pemukiman, dermaga, terminal, industri kecil, kawasan komersial, industri besar, industri terpadu, kawasan pendidikan, pertambangan dan kawasan perdagangan dan jasa. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 14.046,4 ha (55,6%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan luas 11.212,4 ha (44,4%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen. Kota Ternate diubah statusnya mejadi sebuah Kota Otonom (Kotamadya) tanggal 27 April 1999 berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1999 membawahi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate yang kemudian di tahun 2000 dimekarkan menjadi 4 kecamatan yakni ditambah dengan Kecamatan Moti.
Kota Ternate terletak pada path/row: 110/059 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Ternate, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 9.181,4 ha (83%). Kemudian untuk kawasan terbangun dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hijau dengan masing-masing luas 1.703,8 ha (15,3%) dan 184,6 ha (1,7%). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate tahun 2006-2016, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan lindung, kawasan pertanian, kawasan peternakan. Sedangkan yang termasuk kawasan terbangun antara lain kawasan industri, kawasan bandara, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan pendidikan. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 6.452 ha (58,3%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hiaju yakni sebesar 4.617,9 ha (41,7%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate, badan air tidak diikutsertakan dalam dokumen. Hasil analisis spasial citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009 dari Pulau Batam, Tarakan dan Ternate diperoleh karakteristik yang berbeda dari pola, distribusi dan luas ruang terbuka hijau di tiap kota. Pulau Batam didominasi oleh wilayah terbangun dengan penyebaran yang luas 48,7% dengan ruang terbuka hijau tersebar. Pulau Tarakan memiliki ruang terbuka hijau seluas 49%, namun luasan ini tidak berbeda jauh dengan luasan ruang terbuka hijau. Pada Pulau Tarakan juga ditemukan hutan di tengah pulau yang merupakan kawasan lindung sehingga dapat mempertahankan ekosistem pulau ini. Sementara pulau Ternate memiliki luas ruang terbuka hijau yang terbesar kedua pulau sebelumnya adalah 83%. Hal ini karena Kota Ternate adalah daerah pengembangan baru sehingga pembangunan masih berlangsung.
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate)
HUDI WIDYARTA A44051696
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi : Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) Nama
: Hudi Widyarta
NIM
: A44051696
Mayor
: Arsitektur Lanskap
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, Msi NIP: 19660126 199103 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP: 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 16 Oktober 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Drs. Nurhadi dan Ibu Endang Sri Atuti Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Ronggomulyo 1 Tuban, kemudian dilanjutkan di SLTPN 1 Tuban selesai pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Tuban. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Pada semester ketiga, penulis diterima pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiwa, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya Anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) Divisi
Keprofesian (2006-2008), Anggota Komisi Literatur Unit Kegiatan
Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, serta turut aktif dalam berbagai kepanitiaan. Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar, yaitu: “Stability of Tropical Rainforest Margins”,tahun 2007 dan “Remote Sensing and Geographical Information System Based for Landscape Resources Management” tahun 2008 di Departemen Arsitektur Lanskap. Selain seminar, penulis berkesempatan melakukan Job Training di Klub Golf Bogor Raya, Bogor Lakeside bagian Maintenance Golf Course tahun 2007. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Komputer Grafik untuk Arsitektur Lanskap dan Mata Kuliah Analisis Tapak.
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, segala puji dan hormat bagi Allah Bapa atas kasih, berkat, dan karunia yang di berikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian yang berjudul “Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Pulau di Indonesia (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan dan Kota Ternate)” merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Skripsi yang penulis hasilkan ini tidak terlepas dari bantuan, kritikan, masukan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Papa & ibuku, Mas Awin dan Ipung atas segala doa, dorongan dan kasih sayang yang tulus. 2. Ibu Dr.Ir. Alinda F.M. Zain, Msi selaku dosen pembimbing untuk perhatian, waktu dan kesabaran. 3. Mas Miki dan Mas Agus atas ilmunya tentang RS-GIS, Mas Yudi untuk ilmu yang diberikan, segala bantuan dan bimbingan dan waktu luang yang diberikan. 4. Dr.Ir Setia Hadi, MS selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan arahan selama penulis menjadi mahasiswa di departemen arsitektur lanskap. 5. Dr.Ir. Nizar Nazrullah,MAgr dan Dr. Syartinilia, SP,MSi selaku dosen penguji atas segala masukan dan saran. 6. Dhofir, Ian dan Une (“The 4 Team”), untuk kebersamaan selama menjadi anak bimbing ibu. 7. Eympul dan Bapao atas bantuan yang diberikan. 8. Teman-teman seperjuangan di Lanskap 42 atas segala persahabatan dan kebersamaan yang diberikan selama kuliah serta dukungan dalam penyelesaian tugas akhir. 9. Teman Lanskap lainnya dari angkatan 39, 40, 41, 43, 44 10. Keluarga besar Wisma Galih dan eks penghuni Wisma Sony atas kebersamaan dan kekeluargaannya.
11. Terima kasih juga kepada anggota UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, khususnya kepada Komisi Literatur, atas dukungan moral, semangat, dan motivasi yang diberikan. 12.Teman-teman seperatauan OMDA IPMRT (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Ronggolawe Tuban) atas segala kebersamaan dan bantuan selama kuliah di IPB.
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan .............................................................................................. 3 1.3. Manfaat ............................................................................................ 3 1.4 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2.1. Kota Pulau dan Ekosistemnya.......................................................... 2.1.1. Kota ........................................................................................ 2.1.2. Tata Ruang Kota .................................................................... 2.1.3. Pulau....................................................................................... 2.1.4. Pulau Kecil ............................................................................. 2.1.5. Ekosistem Kota Pulau ............................................................ 2.2. Ruang Terbuka Hijau ....................................................................... 2.2.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau ............................................ 2.2.2. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau .............................
4 4 4 4 5 5 6 8 8 9
2.3. Penggunaan dan Penutupan Lahan................................................... 11 2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) ..................................................... 12 2.4.1. Pengertian SIG ........................................................................ 12 2.4.2. Komponen SIG ....................................................................... 13 2.5. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)............................................... 14 2.4.1. Definisi Penginderaan Jauh ..................................................... 14 2.5.2. Elemen Dasar .......................................................................... 14 2.5.3. Citra Landsat ........................................................................... 15 2.6 Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh............ 15 III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI .................................................... 3.1. Kota Batam ...................................................................................... 3.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota ..................................................... 3.1.2. Letak Geografis dan Administratif.......................................... 3.1.3. Iklim ........................................................................................ 3.1.4. Topografi dan Kemiringan Lereng.......................................... 3.1.5. Geologi .................................................................................... 3.1.6. Penduduk ................................................................................. 3.1.7. RTRW ..................................................................................... 3.2. Kota Tarakan .................................................................................... 3.2.1. Sejarah Terbentuknya Kota ..................................................... 3.2.2. Letak Geografis dan Administratif..........................................
17 17 17 18 19 19 20 20 21 22 22 22
3.2.3. Iklim ........................................................................................ 3.2.4. Topografi dan Kemiringan Lereng.......................................... 3.2.5. Geologi .................................................................................... 3.2.6. Penduduk ................................................................................. 3.2.7. RTRW ..................................................................................... 3.3. Kota Ternate ..................................................................................... 3.3.1. Sejarah Terbentuknya Kota ..................................................... 3.3.2. Letak Geografis dan Administratif.......................................... 3.3.3. Iklim ........................................................................................ 3.3.4. Topografi dan Ketinggian Wilayah......................................... 3.3.5. Geologi .................................................................................... 3.3.6. Penduduk ................................................................................. 3.3.7. RTRW ..................................................................................... IV. METODOLOGI......................................................................................... 4.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................ 4.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 4.3. Metode dan Tahapan Penelitian ....................................................... 4.3.1 Pengumpulan Data Sekunder ................................................... 4.3.2 Pengolahan dan Analisis Awal ................................................ 4.3.2.1 Penambalan Citra Stripping ......................................... 4.3.2.2 Koreksi Geometris ....................................................... 4.3.2.3 Delineasi Area dan Pemotongan Citra ......................... 4.3.2.4 Interpretasi Visual ........................................................ 4.3.3 Analisis Lanjutan ..................................................................... 4.3.3.1. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) ... 4.3.3.2. Analisis Spasial danTabular ........................................ 4.3.3.3. Desk Study ................................................................... 4.3.4 Penyajian Hasil.........................................................................
23 24 24 24 25 26 26 27 27 27 28 29 30 31 31 32 32 33 33 34 35 35 35 36 37 37 38 38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 5.1 Kota Batam (Pulau Batam) ............................................................... 5.1.1. Hasil Klasifiksi Citra ............................................................... 5.1.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ................................................................................... 5.1.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau .............................. 5.2 Kota Tarakan (Pulau Tarakan) .......................................................... 5.2.1. Hasil Klasifiksi Citra ............................................................... 5.2.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ................................................................................... 5.2.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau .............................. 5.3 Kota Ternate (Pulau Ternate) ............................................................ 5.3.1. Hasil Klasifiksi Citra ............................................................... 5.3.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah ................................................................................... 5.3.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau .............................. 5.4 Karakteristik RTH Kota Pulau .......................................................... 5.4.1. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pulau Kecil .................... 5.4.2. Prinsip Penataan Ruang pada Pulau Kecil ..............................
40 40 40 42 43 43 44 46 47 48 48 52 52 53 54 59
5.4.3. Distribusi Ruang Terbuka Hijau Ideal pada Kota Pulau ......... 60 5.4.4. Upaya Perbaikan Penataan Ruang pada Kota Pulau ............... 62
VI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 6.1 Simpulan ..................................................................................... 6.2 Saran............................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
64 64 65 66
DAFTAR TABEL 1.
Halaman Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 32
2.
Karakteristik Band Landsat ......................................................................... 36
DAFTAR GAMBAR 1.
Halaman Kerangka pikir penelitian ............................................................................ 3
2.
Konsep Teoritis untuk Pemecahan Masalah Iklim Kota ............................. 10
3.
RTRW Kota Batam 2004-2014 ................................................................... 21
4.
RTRW Kota Tarakan 2006-2013 ................................................................ 25
5.
Daya Dukung Profil Pulau Ternate ............................................................. 28
6.
RTRW Kota Ternate 2006-2016 ................................................................. 30
7.
Obyek Penelitian.......................................................................................... 31
8.
Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+) .................... 33
9.
Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Peta RTRW) ..................................... 34
10. Diagram Alur Kerja Penelitian .................................................................... 39 11. Penutupan Lahan Pulau Batam Tahun 2009................................................ 40 12. Peta RTRW Pulau Batam Tahun 2004-2014 ............................................... 41 13. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Batam ..................... 42 14. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Batam Tahun 2009 .................................. 43 15. Penutupan Lahan Pulau Tarakan Tahun 2009 ............................................. 44 16. Peta RTRW Pulau Tarakan Tahun 2006-2013 ............................................ 45 17. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW ................................ 46 18. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Tarakan Tahun 2009 ............................... 47 19. Penutupan Lahan Pulau Ternate Tahun 2009 .............................................. 48 20. Peta RTRW Pulau Ternate Tahun 2006-2016 ............................................. 49 21. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Ternate ................... 52 22. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Ternate Tahun 2009 ................................ 53 23. Pola Zonasi Bakau Klasik............................................................................ 55 24. Pemanfaatan Ruang Pulau Kecil Berdasarkan Pembagian Zona ................ 61 25. Ilustrasi Model Penyebaran RTH Ideal Bagi Kota Pulau Secara Horizontal .................................................................................................... 62
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan memiliki pulau yang berjumlah lebih dari 17.000 dengan 7.000 diantaranya telah memiliki nama (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2004). Selain negara kepulauan,
Indonesia juga dilintasi deretan pegunungan. Hal ini mengakibatkan Indonesia memiliki berbagai ruang kehidupan masyarakat yang mencakup daerah pantai sampai pegunungan. Karena keberagaman lanskap ini, maka perencanaan terhadap suatu daerah ataupun wilayah memerlukan perlakuan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah atau wilayah. Salah satu fungsi ruang terbuka hijau adalah untuk mempertahankan kondisi ekologis lingkungan kota. Menurut Simonds (1983) ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota. Penanaman tanaman di perkotaan dalam bentuk ruang terbuka hijau merupakan usaha bermanfaat untuk penanggulangan berbagai masalah lingkungan. Peran ruang terbuka hijau dalam memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota adalah penyumbang ruang bernafas yang segar, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, menciptakan iklim serta sebagai unsur pendidikan. Menurut
Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007
tentang penataan ruang, pasal 29 menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dengan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka privat. Hal ini sejalan dengan kesepakatan Hari Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Melalui pengaturan ini, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau
secara tegas dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). RTRWK merupakan kebijakan yang diharapkan sejak lama melihat kodisi lingkungan pada kota-kota besar yang memang sangat mengkhawatirkan. Ini merupakan salah satu solusi untuk menangani berbagai masalah lingkungan yang semakin hari dampaknya semakin
2
meluas. Namun kriteria ruang terbuka hijau yang seperti apa yang seharusnya diusahakan oleh pemerintah, baik provinsi ataupun kota masih diseragamkan padahal setiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pentingnya acuan standar luas dan persebaran ruang terbuka hijau, yang harus proporsional dengan luas dan karakteristik wilayah tersebut hendaknya dapat dijadikan patokan agar dalam pelaksanaan penetapan kawasan ruang terbuka hijau tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Sebagai contoh perubahan fungsi ruang terbuka hijau menjadi kawasan industri, pemukiman, tempat tinggal tunawisma, perubahan semacam ini harus dihindarkan dengan perencanaan wilayah yang tepat. Otonomi daerah mempengaruhi kebijakan perencanaan ruang terbuka hijau yang membatasi aspek ruang secara spasial. Pengambil kebijakan daerah administratif
hulu sampai hilir tidak
memiliki keterpaduan dalam penetapan kebijakan perencanaan. Perlunya penentuan karakter pada ruang yang berguna untuk membuat formula kebijakan perencanaan ruang terbuka hijau secara administratif berdasarkan karakter dari kota. Pulau di Indonesia yang berjumlah ribuan, memiliki karakter yang berbeda-beda dengan luas area yang beragam. Pulau dengan luasan yang besar, di dalamnya terdapat banyak kota. Selain itu, juga terdapat pulau yang hanya terdiri dari satu kota. Pulau-pulau kecil yang terdapat di Indonesia, umumnya digunakan kegiatan wisata maupun pusat kegiatan industri dan perdagangan. Untuk mengetahui seberapa besar luas, distribusi dan pola ruang terbuka hijau akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi pada kawasan kota pulau, maka perlu dilakukan pengidentifikasian dengan menganalisa dari data yang telah tersedia (data sekunder). Salah satu bentuk data yang telah tersedia adalah citra penginderaan jauh yang merupakan data mengenai suatu wilayah dalam bentuk spasial. Meskipun secara kualitas memiliki nilai visual yang tinggi, akan tetapi kota pulau juga rentan terhadap ancaman berupa gempa bumi, tsunami, dan degradasi lingkungan akibat kebutuhan ruang yang besar pada lahan terbatas. Karena karakter yang labil ini, maka diperlukan pengetahuan terhadap karakter dan kepekaan lanskap pada kota pulau. Kota yang terletak pada pulau-pulau kecil ini misalnya Batam, Tarakan, dan Ternate.
3
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi penggunaan dan penutupan lahan pada masing-masing kota dengan analisis spasial. 2. Menganalisis distribusi, pola dan luasan RTH pada kota pulau. 3. Mengidentifikasi distribusi ruang terbuka hijau ideal pada kota pulau.
1.3. Manfaat Penelitian
ini
memberi
manfaat
terhadap
mahasiswa
dalam
mengaplikasikan ilmunya dan pihak-pihak pengambil kebijakan evaluasi dan perencanaan pemanfaatan ruang.
1.4. Kerangka Pikir Penelitian Perencanaan Kota Pulau RTH Kota minimal 30% Kendala
Faktor Biofisik
Faktor Sosial
Faktor Ekonomi
Sistem Informasi Geografi (SIG) dan Remote Sensing
Karateristik RTH kota pulau
Distribusi RTH
Pola RTH
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Luas RTH
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota Pulau dan Ekosistemnya 2.1.1. Kota Kota diartikan sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan (Branch, 1995). Sedangkan menurut Simonds (1983), kawasan perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Biasanya, ruang dalam kota dihubungkan melalui koridor yang dapat berupa pedestrian, jalan, jalur sungai (blueways) ataupun jalur hijau (greenbelt). Kota merupakan lingkungan fisik yang keberadaanya dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat-istiadat, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perkembangan dan perubahan faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan perkembangan dan perubahan lanskap perkotaan.
2.1.2. Tata Ruang Kota Menurut Howard dalam Haris (2006) tata ruang dalam lanskap kota merupakan suatu pembagian wilayah ke dalam suatu kawasan-kawasan tertentu yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu pula seperti kawasan pemukiman, industri, perdagangan termasuk juga ruang terbuka hijau. Tata ruang kota umumnya terdiri dari ruang terbangun dan terbuka. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk memanjang atau jalur yang pada dasarnya tanpa bangunan. Menurut Rahmanto dalam Haris, 2006, peran ruang terbuka dalam suatu perkotaan yaitu: (1) merupakan unsur keindahan disebabkan menciptakan harmoni tata lingkungan perkotaan, (2) menyediakan ruang terbuka hijau dan (3) memberikan ruang gerak bagi segenap masyarakat yang membutuhkannya. Dengan demikian bahwa ruang terbuka hijau tidak hanya merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota tetapi juga merupakan penjaga keseimbangan ekosistem kota.
5
2.1.3. Pulau Pulau adalah sebidang tanah yang lebih kecil dari benua dan lebih besar dari karang, yang dikelilingi air. Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS ’82) pasal 121 mendefinisikan pulau sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yaitu: 1. Memiliki lahan daratan 2. Terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi 3. Dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar 4. Selalu berada di atas garis pasang tinggi. Dengan demikian, gosong pasir, lumpur ataupun karang, yang terendam air pasang tinggi, menurut definisi di atas tidak dapat disebut sebagai pulau. Begitu juga dengan gosong lumpur atau paparan lumpur yang ditumbuhi mangrove, yang terendam oleh air pasang tinggi, meskipun pohon-pohon bakaunya selalu muncul di atas muka air. (Anonim, 2009)
2.1.4. Pulau Kecil Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil, baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun demikian, terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain sehingga mempunyai sifat insular. Berdasarkan hasil rumusan yang diperoleh dari Semiloka Penentuan Definisi dan Pendataan Pulau di Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003, didapat suatu kesepakatan bahwa definisi pulau kecil yang operasional di Indonesia mengacu kepada UNESCO (1991) yaitu pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km2. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dari habitat lain sehingga keterisolasian ini akan organisme yang hidup di pulau tersebut membentuk kehidupan yang unik. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan khusus
6
dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil, maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini juga relatif kecil, sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Sedangkan karakteristik pulau-pulau kecil terbagi atas tiga aspek, (Dahuri et al, 1996) yaitu : 1. Secara fisik : a. Terpisah dari pulau besar. b. Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri. c. Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidroklimat laut. d. Rentan terhadap perubahan alam atau karena ulah manusia. e. Substrat pulau kecil bergantung pada jenis biota yang ada disekitar pulau. 2. Secara ekologis: a. Memiliki spesies endemik. b. Memilki resiko perubahan lingkungan yang tinggi. c. Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (air tanah dan hutan). d. Melimpahnya biodiversitas ekosistem laut . 3. Secara sosial-budaya dan ekonomi: a. Pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni. b. Memiliki budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas. c. Kepadatan penduduk terbatas atau rendah. d. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau. e. Keterbatasan kualitas SDM. f. Aksesibitas rendah.
2.1.5. Ekosistem Kota Pulau Ekosistem kota pulau tidak jauh berbeda dengan ekosistem wilayah pesisir. Ini dikarenakan pesisir merupakan bagian dari ekosistem kota pulau yang memiliki luasan yang kecil sehingga masih dipengaruhi keadaan laut. Wilayah pesisir juga saling berinteraksi di darat maupun di laut karena diklasifikasikan
7
sebagai daerah ekoton (areal pertemuan antara ekosistem daratan dan lautan). Hal ini mengakibatkan wilayah pesisir sangat rentan terhadap gangguan dan perubahan fisik yang bersifat dinamis sehingga secara arsitektural wilayah pesisir dikenal sebagai suatu bentukan lanskap lanskap pesisir (coastal landscape) yang tinggi kualitasnya. Berbagai potensi sumberdaya pesisir dan lautan yaitu (Dahuri et al, 1996): 1. Sumberdaya yang dapat diperbaharui (perikanan, hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan, dan pulau-pulau kecil). 2. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, gas alam, harta karun, bahan tambang, dan mineral lainnya). 3. Energi kelautan [pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion)]. 4. Jasa-jasa lingkungan (pariwisata,
rekreasi,
perhubungan
dan
kepelabuhan,
penampung/penetralisir limbah). Dengan jumlah penduduk yang meningkat secara cepat dari waktu ke waktu disertai dengan intensitas pembangunan yang terus meningkat dimana sumberdaya alam di daratan dan pulau induk sudah mulai menipis dan dengan kenyataan bahwa 60% dari penduduk Indonesia (kira-kira 185 juta jiwa) dapat dianggap tinggal di daerah pesisir, tidaklah mengherankan bahwa lingkungan pesisir dan laut menjadi pusat pemanfaatan sekaligus pengrusakan yang tingkatnya sudah cukup parah untuk beberapa daerah tertentu. Pulau-pulau kecil juga semakin mendapat tantangan, dengan semakin padatnya penduduk pulaupulau induk. Selain masalah tekanan penduduk, masalah-masalah yang ada pada pulaupulau kecil sebagai akibat dari kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem alam laut tersebut. Beberapa permasalahan tersebut antara lain adalah ((Dahuri, et al, 1996):
8
a. Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir yang disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah terjadi penurunan jumlah makhluk hidup, baik flora dan fauna maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut. b. Pulau-pulau kecil diketahui memilki sejumlah besar spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tipikal dan bernilai tinggi. Apabila terjadi perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi. c. Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, biasanya pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan sumberdaya manusia. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya yang besar untuk pengembangannya. d. Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan tangkapan air yang terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air misalnya, akan sangat terbatas. e. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk mengembangkan pulaupulau sekitar. f. Sampai saat ini, belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.
2.2. Ruang Terbuka Hijau 2.2.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau Sebagai salah satu unsur kota yang penting khususnya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit atau kecilnya ukuran ruang terbuka hijau kota (Urban Green Open Space) yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi, seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami tumbuhan.
9
Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian, sebagai: (1)Suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2)Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi ruang terbuka hijau yang bersangkutan. (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005)
2.2.2. Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Dalam masalah perkotaan, ruang terbuka hijau merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara keseluruhan. Ruang terbuka hijau sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005): 1. Fungsi bio-ekologis (fisik): memberi jaminan pengadaan ruang terbuka hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. (Gambar 2) 2. Fungsi
sosial:
ekonomi
(produktif)
dan
budaya
yang
mampu
menggambarkan ekspresi budaya lokal, ruang terbuka hijau merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian. 3. Ekosistem perkotaan: produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain.
10
4. Fungsi estetis: meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.
Gambar 2. Konsep Teoritis untuk Pemecahan Masalah Iklim Kota Manfaat ruang terbuka hijau berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), kenyamanan fisik (teduh, segar), dan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005).
11
2.3. Penggunaan dan Penutupan Lahan Pada awalnya istilah penggunaan lahan (land use) menjadi perhatian oleh para ilmuwan-ilmuwan sosial. Istilah tersebut menunjukan hasil pekerjaan manusia pada lahan tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan lahan (land use) adalah pemukiman, pembibitan, penggembalaan, rekreasi, dan lain-lain. Sedangkan istilah penutupan lahan (land cover) pada prinsipnya menjadi perhatian ilmu-ilmu alam, menunjukan pada penampakan lahan secara fisik. Hal ini mencakup, sebagai contoh kuantitas dan tipe permukaan vegetasi, air, dan material-material tanah. Suatu penggunaan lahan mungkin sangat sesuai dengan satu kelas penutupan lahan. Satu kelas penutupan lahan mungkin mendukung berbagai jenis penggunaan lahan. Satu sistem penggunaan lahan dapat meliputi pengelolaan beberapa penutupan lahan yang berbeda-beda. Batasan penggunaan dan penutupan lahan adalah terhubung. Perubahan penutupan lahan dibagi menjadi dua tipe ideal, yaitu konservasi dan modifikasi (Mayer dan Turner, 1994). Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia dipermukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk (Yunus dalam Hakim 2006). Dalam Meyer dan Turner (1994) dijelaskan, perubahan penutupan dan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagai macam pola penggunaan dan penutupan lahan serta terhadap perubahanperubahan sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi. Dilihat dari sistem keruangan kota penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan komunikasi dari dan ke daerah-daerah di sekitar kota utama, kondisi topografi, kondisi hidrologi merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota. Dalam menganalisis pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang perlu pemahaman bentukbentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun (built up area), daerah peralihan kota-desa serta perdesaan. (Yunus dalam Hakim 2006)
12
2.4. Sistem Informasi Geografi (SIG) 2.4.1. Pengertian SIG Prahasta (2002) mendifinisikan Sistem Informasi Geografi sebagai alat bantu yang sangat penting dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Sistem Informasi Geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: 1) masukan, 2) manajemen, 3) analisis dan manipulasi data serta 4) keluaran (Aronof, 1989 dalam Prahasta, 2002). Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKORSUTANAL) dalam Prahasta (2002) menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan data yang teroganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang didesain
untuk
memperoleh,
menyimpan,
memperbaiki,
memanipulasi,
menganalisis serta menampikan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Basis analisis SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain yang telah dilakukan digitasi. Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer dan perangkat lunak pendukung. Menurut Prahasta (2002), sistem informasi geografi dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut: 1. Data
input:
Subsistem
ini
bertugas
untuk
mengumpulkan
dan
mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini
pula
yang
bertanggung
jawab
dalam
mengkonversi
atau
mentransformasikan format-format data alinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentk softcopy maupun dalam bentu hardcopy, seperti tabel, grafik atau peta.
13
3. Data management: subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipanggil, di-update, dan di-edit. 4. Data manipulation dan analisys: subsistem ini menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
2.4.2. Komponen SIG SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer yang lain di tingat fungsional dan jaringan. SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Prahasta, 2002): 1. Perangkat keras: pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari Personal Computer(PC) desktop, workstations, hingga multi user host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar dan mempunyai kapasistas memori yang besar. Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. 2. Perangkat lunak: SIG merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga terdiri dari ratusan modul program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. 3. Data dan informasi geografis: SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari perangkat lunak SIG yang lain ataupun secara langsung dengan mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
14
4. Manajemen: satu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.
2.5. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) 2.5.1. Definisi Penginderaan Jauh Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek , daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh secara umum adalah suatu cara mengamati suatu obyek di muka bumi tanpa mengadakan kontak langsung secara fisik dengan obyek yang diamati tersebut. Prinsip dari penginderaan jauh dalam pengamatan obyek di muka bumi dilakukan dengan cara mengukur radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh obyek yang dimaksud. Fenomena alam memperlihatkan bahwa obyek di muka bumi memancarkan gelombang elektromagnetik yang khas pada spektrum radiasi gelombang tampak (visible), infrared, thermal, maupun gelombang mikro. Citra penginderaan jauh merekam interaksi energi elektromagnetik dengan permukaan bumi. Wahana untuk merekam atau menangkap gelombang elektromagnetik dapat berupa pesawat udara, satelit atau pesawat ruang angkasa (Lillesand dan Kiefer, 1990).
2.5.2. Elemen Dasar Secara umum elemen yang terkait di dalam penginderan jauh dengan gelombang elektromagnetik untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek dan lingkungannya meliputi : (a) sumber energi, (b) perjalanan energi melalui atmosfer, (c) interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, (d) sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit dan (e) hasil pembentukan data dalam bentuk piktoral dan/atau numerik (Lillesand and Kiefer,1990) Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang selanjutnya butuh di interpretasikan untuk memperoleh informasi atau data yang bermanfaat. Aspek interpretasi penginderaan jauh dapat meliputi analisis piktoral (citra) dan/atau
15
analisis data numerik. Interpretasi secara visual telah lama digunakan dalam penginderaan jauh. Teknik ini menggunakan kemampuan pikir manusia untuk melakukan evaluasi kualitatif pada spasial yang dikaji, untuk itu diperlukan latihan
ekstensif.
Penggunaan
teknologi
komputer
dalam
interpretasi
penginderaan jauh membantu mengeliminasi kekurangan teknik secara visual.
2.5.3. Citra Landsat Citra Landsat adalah jenis citra yang diperoleh dari hasil rekaman semua objek di permukaan bumi oleh satelit sumberdaya. Jenis sensor yang digunakan adalah Multi Spectral Scaner (MSS). MSS ini berfungsi sebagai perekam semua spektral yang dipantulkan oleh objek dari permukaan bumi yang berupa gelombang elektromagnetik (Lanya,1985 dalam Haris, 2006). Dalam klasifikasi citra, khususnya citra landsat Thematic Mapper (TM) koreksi geometrik adalah pross penting yang harus dilakukan. Terdapat beberapa teknik koreksi geometrik yang dapat dilakukan, termasuk dua diantaranya adalah: (1) mengidentifikasi Ground Control Points (GCPs), pada citra asli dan pada peta referensi (peta topografi digital), dan (2) dengan menggunakan ArcView extension Image Analysis dan beberapa peta referensi seperti sungai dan jalan (Carison dan Sanchez-Azofeifa dalam Haris 2006).
2.6. Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Penginderaan jauh memberikan kemampuan pada kita untuk melihat sesuatu yang tidak tampak mata. Penggunaan yang tepat akan membantu kita dalam memperoleh gambaran lingkungan sekitar kita yang lebih baik dibanding dengan metode pengamatan yang lain. Dari titik pandang penginderaan jauh, baik udara maupun antariksa, kita dapat memperoleh gambaran utuh bumi kita dan mulai dapat melihat unsur lingkungan serta mengumpulkan data sumber daya yang ada (Lillesand dan Kiefer,1990). Kombinasi penggunaan sistem informasi geografi dan penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan pada berbagai ilmu pengetahuan seperti pertanian, kehutanan, geologi, geofisika, penutupan dan penggunaan lahan, lanskap, bahkan dalam bidang bisnis. Pada prinsipnya, tujuan utama dari penggunaan Sistem
16
Informasi Geografi dan penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Data penutupan dan penggunaan lahan serta perubahannya sangat penting bagi seorang perencana dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Data ini pada
dipresentasikan dalam bentuk
spasial, berupa peta dan disertai dengan data statistik setiap kelas penutupan dan penggunaan lahan. Penggunaan sistem informasi geografi dan penginderaan jauh sangat sesuai dalam memproduksi data tersebut. Teknologi pengindraan jauh dan sistem informasi geografis mampu memberikan kombinasi metode dalam menganalisa dan pengambilan keputusan suatu kasus yang berkaitan dengan keruangan serta sumberdaya di dalamnya. Pengindraan jauh mampu memberikan data spasial dalam bentuk citra digital yang berisi informasi nilai digital piksel (digital pixel number) yang disimpan dalam sifat pantulan maupun pancaran suatu objek. Data ini kemudian diolah dan dianalisis menggunakan sistem informasi geografis dengan bantuan teknologi komputer dan perangkat lunak analisis spasial. Pada akhirnya akan ditampilkan suatu informasi spasial beserta atribut-atribut pelengkapnya (Hakim, 2006).
17
III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI
3.1. Kota Batam 3.1.1. Sejarah Terbentuknya Kota Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode. Periode pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode Persiapan yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo. Periode kedua adalah Periode Konsolidasi (19761978) dipimpin oleh Prof.Dr. JB. Sumarlin. Setelah itu adalah Periode Pembangunan Sarana Prasarana dan Penanaman Modal yang berlangsung selama 20 tahun, yaitu tahun 1978-1998, yang diketuai Prof.Dr. BJ. Habibie. Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh Prof.Dr. BJ. Habibie yaitu bulan Maret s/d juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan. Kemudian sejak tahun (1998-2005), dibawah kepemimpinan
Ismeth
Abdullah
dinamakan
Periode
Pengembangan
Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan dengan perhatian lebih besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi. Kemudian tahun (2005-2006) dipegang oleh Mustofa Wijaya sebagai pejabat sementara kemudian dikukuhkan menjadi pejabat permanen. Pulau Batam yang berstatus sebagai Kawasan Strategis Nasional karena merupakan kawasan di perbatasan, dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah secara khas sejak 1973, (Kep.Pres. No.41) sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Warehouse) di bawah Badan Pengembangan Kawasan Industri Batam (Otorita Batam) dengan Kota Batam yang sekarang telah berkembang menjadi sebuah kota industri, kota dagang dan kota pariwisata dengan penduduk melebihi 500.000 jiwa. Sejak tahun 2002 (melalui Kep.Pres No.54) dan dipertegas di tahun 2005 (dengan Kep.Pres. No.24) Kota Batam berkedudukan sebagai National Single Window dalam perannya sebagai kota industri dan dagang internasional dan menjadi simpul penting di kawasan segitiga emas internasional Batam-Singapura Johor. Kota Batam sendiri yang semula merupakan kota kecamatan, kini setelah ada pemekaran Propinsi Riau menjadi dua Propinsi dengan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau di tahun 1999, telah berstatus penuh sebagai sebuah Kotamadya
18
dan akan dikembangkan terpadu menjadi kawasan Metropolitan Batam-RempangGalang (Barelang) sesuai RTRW Barelang 2004-2014 yang disusun oleh Pemerintah Kota. Dengan demikian untuk menjaga citra kota dan kawasan industrinya yang sangat khas dan yang masing-masing diemban oleh Pemerintah Kota dan Badan Otorita, maka di tahun 2000, di antara keduanya telah dilakukan kesepakatan pengaturan hubungan kerja yang dituangkan dalam surat keputusan bersama No.5/SKB/HK/VI/2000. Kota Batam merupakan sebuah pulau yang terletak sangat strategis di sebelah utara Indonesia dan terletak di jalur pelayaran internasional. Kota Batam dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini telah menjadi kota metropolis. Harapan masyarakat batam pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada umumnya untuk menjadikan Batam sebagai lokomotif pembangunan Indonesia, telah menggerakkan kita untuk ikut serta dalam pembangunan, yang pada akhirnya Kota Batam dapat mewujudkan misinya menuju Bandar Dunia yang Madani. Dengan digunakannya Kota Batam sebagai pusat kawasan pembangunan industri, tidak akan terjadi keberlanjutan jika aspek ekologi yang menopang seluruh kegiatan ekonomi diabaikan. Untuk itu perlu kebijakan untuk menahan dan mengurangi laju kerusakan lingkungan.
3.1.2. Letak Geografis dan Administratif Berdasarkan Kepres No.28 Tahun 1992, Pulau Batam bersama dengan Pulau Rumpang, Galang, dan beberapa pulau kecil lainnya (wilayah Barelang) berstastus sebagai Bonded Zone, yang dikelola oleh Otorita Batam. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, Kota Batam berstatus sebagai kota administratif yang dibentuk melalui PP No. 34 Tahun 1983 yang terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Batam Barat dan Kecamatan Batam Timur. Pulau Batam terdiri dari 32 desa/kelurahan. Secara geografis Kota Batam terletak pada 0°25'29'' - 1°15'00'' Lintang Utara dan 103°34'35'' - 104°26'04'' Bujur Timur. Batas-batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara
: Selat Singapura
b. Sebelah Timur : Kabupaten Kepulauan Riau
19
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Kepulauan Riau d. Sebelah Barat
: Kabupaten Karimun
3.1.3. Iklim Kota Batam mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum pada tahun 2006 berkisar antara 21,2oC – 24,0oC dan suhu maksimum berkisar antara 29,6oC34,1 oC, sedangkan suhu rata rata sepanjang tahun 2006 adalah 25,6oC - 27,8oC. Keadaan tekanan udara rata rata untuk tahun 2006, minimum 1.006,14 MBS dan maksimum 1.014,1 MBS. Sementara kelembaban udara di Kota Batam rata rata berkisar antara 79– 86 % dan kecepatan angin maksimum 15-28 knot. Banyaknya hari hujan selama setahun di Kota Batam pada tahun 2006 adalah 208 hari dan banyaknya curah hujan setahun 2.964,7 mm.
3.1.4. Topografi dan Kemiringan Lereng Wilayah Kota Batam relatif datar dengan variasi berbukit di tengah pulau, ketinggian antara 7 hingga 160 m di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah yang memiliki elevasi 0 hingga 7 mdpl terdapat di pantai utara dan selatan Pulau Batam dan sebelah timur Pulau Rempang serta sebelah utara, timur dan selatan Pulau Galang. Sedangkan pulau-pulau kecil lainnya sebagian besar merupakan kawasan hutan mangrove. Wilayah yang memiliki ketinggian sampai 100 mdpl dengan topografi berbukit-bukit yang sangat sesuai untuk kawasan resapan air untuk cadangan air baku, umumnya berada di bagian tengah Pulau Batam, Rempang dan Galang serta Galang Baru. Wilayah Kota Batam yang memiliki kemiringan lereng 0 – 3 % tersebar di pesisir pantai di Teluk Senimba, Teluk Jodoh, Teluk Tering dan Teluk Duriangkang. Wilayah yang memiliki kemiringan lereng 3 – 10 % tersebar hampir di seluruh Pulau Batam mulai dari Perbukitan Dangas Pancurdi Sekupang dan Tanjung Uncang ke sebelah timur, dari Teluk Jodoh sampai Duriangkang dan terus ke pesisir timur, sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan perkotaan. Lereng antara 10 – 20 % sebagian besar berada di daerah kaki bukit dengan relief relatif rendah tersebar dibagian tengah Pulau Batam dan pulau-pulau
20
besar lainnya. Lereng 20 – 40 % sebaran luasnya membentuk jalur sempit di punggung bukit sepanjang Bukit Dangas Pancur dan Bukit Senyum. Sedangkan wilayah dengan kelerengan diatas 40 % berada di sepanjang Bukit Dangas Pancur. Beberapa puncak bukit di Pulau Batam antara lain Bukit Dangas Pancur 169 m, Bukit Temiyang 179 m, Bukit Senimba 140 m dan Bukit Tiban 110 m.
3.1.5. Geologi Wilayah Kota Batam seperti halnya kecamatan-kecamatan di daerah Kabupaten di Kepulauan Riau, juga merupakan bagian dari paparan kontinental. Pulau-pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia ataupun pulau Singapura di bagian utara sampai dengan pulau-pulau Moro dan Kundur serta karimun di bagian selatan. Wilayah Pulau Batam dibentuk oleh dominasi formasi goungon, aluvium, granit dan formasi duriangkang. Berdasarkan struktur geologinya tersebut, wilayah Pulau Batam dapat dikatakan tidak memiliki potensi untuk mengkonservasi air tanah, sehingga penyediaan air baku sangat tergantung pada sumberdaya air permukaan.
3.1.6. Penduduk Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia manjadi daerah Industri, Perdagangan, Alih kapal dan Pariwisata serta dengan terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember 1983, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan dimana dari hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama periode 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk Batam rata-rata sebesar 12,87 persen. Penduduk Kota Batam sampai dengan Agustus 2007 berjumlah 727.878 jiwa terdiri atas 354.609 jiwa laki-laki dan 373.269 jiwa perempuan.
21
3.1.7. RTRW Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Batam ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014.
Gambar 3. RTRW Kota Batam 2004-2014
22
3.2. Kota Tarakan 3.2.1. Sejarah Terbentuknya Kota Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung “tarak” (bertemu) dan “ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan sebagai tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain. Tarakan merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau. Ketenangan masyarakat setempat agak terganggu ketika pada tahun 1896, sebuah perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan adanya sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja didatangkan terutama dari Pulau Jawa seiring dengan meningkatnya kegiatan pengeboran. Mengingat fungsi dan perkembangan wilayah ini, pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk menempatkan seorang Asisten Residen di pulau ini yang membawahi 5 (lima) wilayah yakni; Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan Berau. Namun pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk merubah status Kawedanan Tarakan menjadi Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppress RI No.22 Tahun 1963. Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan Kecamatan Tarakan sebagai salah satu sentra industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1981. Status Kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya berdasarkan UndangUndang RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus menandai tanggal tersebut sebagai hari jadi Kota Tarakan.
3.2.2. Letak Geografis dan Administratif Wilayah Administrasi Kota Tarakan berdasarkan UU No.29 Tahun 1997 dan Peraturan Daerah No.23 Tahun 1999 meliputi 4 Kecamatan dan 18 Kelurahan. Selain itu guna menunjang kelancaran administrasi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, juga telah dibentuk beberapa Badan, Lembaga dan
23
Kantor berdasarkan Peraturan-peraturan Daerah yang dibuat dalam kurun waktu tahun 1998-1999. Kota Tarakan, yang secara geografis terletak pada 3º14'23"-3º26'37" Lintang Utara dan 117º30'50"-117º40'12" Bujur Timur, terdiri dari 2 (dua) pulau, yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau. Adapun batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Pesisir Pantai Kecamatan Bunyu
b. Sebelah Timur
: Kecamatan Bunyu dan Laut Sulawesi
c. Sebelah Selatan : Pesisir Pantai Kecamatan Tanjung Palas d. Sebelah Barat
: Pesisir Pantai Kecamatan Sesayap
3.2.3. Iklim Secara umum iklim wilayah Kota Tarakan mempunyai musim yang hampir sama dengan wilayah Indonesia pada umumnya, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan April dan musim kemarau yang terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Oktober. Kondisi ini terus berlangsung setiap tahun yang diselingi dengan musim peralihan pada bulan-bulan tertentu. Namun dalam tahun–tahun terakhir ini, keadaan musim di Kalimantan Timur termasuk Kota Tarakan kadang tidak menentu. Pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan dalam kenyataannya tidak turun hujan sama sekali, begitu juga sebaliknya. Hal ini telah memberikan julukan tersendiri bagi pulau ini sebagai daerah yang tak kenal musim. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Secara umum Kota Tarakan beriklim panas dengan suhu udara sepanjang tahun 2005 berkisar 24,2oC hingga 31,1oC. Selain itu, sebagai daerah beriklim tropis, Kota Tarakan mempunyai kelembaban udara relatif tinggi, berkisar antara 62,3 - 97,7 % sepanjang tahun 2005. Kelembaban udara paling rendah terjadi pada bulan Januari yang hanya mencapai 50 %, sedangkan rata – rata kelembaban udara sepanjang tahun 2005 tercatat sebesar 84,1 %. Curah hujan antara 2001 – 2006 rata-rata sekitar 308,2 mm/bulan dan penyinaran rata-rata 49,82%.
24
3.2.4. Topografi dan Kemiringan Lereng Wilayah Kota Tarakan terdiri atas daerah daratan berupa rawa pantai dan tegalan serta perbukitan landai. Memiliki struktur tanah aluvial butiran halus dan kasar serta tanah lempung. Ketinggian wilayah Kota Tarakan berkisar antara 0 sampai 110 meter di atas permukaan air laut. Wilayah paling luas terletak pada ketinggian 0 sampai dengan 7 meter di atas permukaan laut (mdpl), yaitu seluas 15.697,5 ha atau sekitar 65% dari luas total Kota Tarakan. Sedangkan pada kelas ketinggian 7 sampai 25 mdpl, pada wilayah Kota Tarakan sebesar 4.830,0 ha atau sebesar 20%. Paling kecil adalah wilayah yang berada pada ketinggian 100-110 mdpl, yaitu 0,5% atau seluas 120,75 ha. Sedangkan sisanya sebesar 14,5% atau seluas 3.501,75 ha berada pada ketinggian 25-100 meter di atas permukaan laut.
3.2.5. Geologi Wilayah Kota Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan (dari utara ke selatan : Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito), yang dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunnya yang dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat. Secara fisiografi geologi Kota Tarakan di Bagian Barat dibatasi oleh lapisan praTesier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan timur-barat Tinggian Mangkalihat.
3.2.6. Penduduk Berdasarkan data yang ada pada Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kota Tarakan pada Bulan September 2008, jumlah penduduk Kota Tarakan mencapai 178.111 jiwa. Sedangkan nilai dari pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu Tahun 1999 -2005 sebesar 7,17% per tahun. Untuk nilai pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2006 (dengan Migas) adalah sebesar Rp 15.783.741,00 dan nilai pertumbuhan ekonomi tahun 2006 (dengan Migas) adalah sebsar 7,51%. Kota Tarakan, yang didiami oleh suku asli Tidung, dalam perkembangannya sebagaimana daerah lain dihuni pula oleh sukusuku lain seperti; Suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain.
25
3.2.7. RTRW Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Tarakan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 03 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan.
Gambar 4. RTRW Kota Tarakan 2006-2013
26
3.3. Kota Ternate 3.3.1. Sejarah Terbentuknya Kota Ternate merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang tercatat dalam sejarah, sebelum Majapahit berkuasa di Nusantara. Nama Ternate tercatat dalam Kitab Negarakertagama yang di tulis Mpu Tantular. Sampai saat ini Ternate masih menyimpan cerita sejarah dan budaya yang menjadi bukti kejayaan masa lalu. Kota Ternate dalam perkembanganya kemudian ditingkatkan statusnya mejadi sebuah Kota Otonom (Kotamadya) tanggal 27 April 1999 berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1999 membawahi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kota Ternate utara, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Pulau Ternate yang kemudian di tahun 2000 dimekarkan menjadi 4 kecamatan yakni ditambah dengan Kecamatan Moti. Ternate adalah salah satu pulau yang terletak di sebelah barat pantai Halmahera dan merupakan salah satu dari deretan pulau-pulau vulkanis yang masih aktif. Kedudukan Kota Ternate adalah sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan yang sangat strategis dan penting sekali di kawasan ini. Pada kota ini terdapat Pelabuhan Samudera Ahmad Yani dan Bandar Udara Babullah. Kota Ternate itu sendiri berlokasi di pesisir timur Pulau Ternate dan menghadap Pulau Halmahera. Kedudukan yang demikian ini menyebabkan Kota Ternate memiliki peranan yang sangat penting dalam ekonomi perdagangan lintas Halmahera. Selain itu, letak Pulau Ternate adalah dekat dengan Kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara. Mengamati perkembangan global, karakter kota, kultur masyarakat dan lingkungan serta permasalahan pokok dan menyikapi multi potensi yang dimiliki Kota Ternate, maka pemerintah kota menetapkan visi Kota Ternate adalah menjadikan Ternate sebagai Kota Budaya menuju masyarakat madani, sedangkan misi Kota Ternate adalah membangun Ternate sebagai: Kota Budaya, Kota Perdagangan & Wisata serta Kota Pulau/Pantai.
27
3.3.2. Letak Geografis dan Administratif Wilayah Kota Ternate terletak antara 0o – 2o Lintang Utara sampai dengan 126o - 128o - Bujur Timur dan dibatasi oleh : a. Sebelah Utara
: Laut Maluku
b. Sebelah Timur : Selat Halmahera c. Sebelah Selatan : Laut Maluku d. Sebelah Barat
: Laut Maluku
Pulau Ternate merupakan wilayah kepulauan yang terletak di pesisir barat Pulau Halmahera dan merupakan bagian dari wilayah Provinsi Maluku Utara.
3.3.3. Iklim Pulau Ternate adalah daerah kepulauan dengan ciri iklim tropis. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu 263,4 mm dan terendah pada bulan Agustus 77,8 mm. Nilai rata-rata curah hujan bulanan adalah 184,68 mm dan rata-rata curah hujan tahunan sekitar 2.322,70 mm. Jumlah hari hujan ratarata 202 hari dan nilai rata-rata hujan tertinggi pada bulan Januari dan November yaitu 20 hari hujan dan terendah bulan Agustus sebanyak 12 hari hujan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan angin di wilayah Pulau Ternate berkisar antara 2,9-5,2 knot dengan kecepatan terbesar bulanan berkisar antara 1628 knot. Arah angin terbanyak dari barat laut yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April. Sedangkan pada bulan Mei dan Juni angin terbanyak bertiup dari Barat Daya serta pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober angin terbanyak bertiup dari arah Tenggara (pancaroba), pada bulan November dan Desember angin kembali bertiup dari arah Barat Laut. Nilai rataan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan–bulan yang curah hujannya tinggi, meskipun variasi tiap bulannya tidak tinggi. Kelembaban tertinggi pada Januari dan April yaitu sebesar 86 % dan terendah pada bulan Agustus yaitu 78 % (Badan Meterorologi dan Geofisika Kota Ternate, 2004).
3.3.4. Topografi dan Ketinggian Wilayah Kota Ternate dengan memiliki berbagai komponen alam yaitu Laut, Pulau, Danau, Gunung, menggambarkan ciri topografis yang bervariasi yang
28
didominasi oleh dataran kemiringan diatas 40 derajat seluas 127,37 km2 atau 51 % dari luas wilayah dan terdapat di Pulau Ternate, Pulau Hiri dan Pulau Moti, sedangkan Pulau Mayau dan Tifure merupakan wilayah dataran rendah yang dikelilingi oleh Laut bebas antar Pulau Ternate dengan Bitung, Sulawesi Utara. Ciri topografi atau kemiringan rendah terletak linear memanjang mengikuti beberapa pesisir pantai pada posisi 0 – 2 derajat seluas 54,96 km2 atau 22 %. Di Pulau Ternate terdapat gunung vulkanis yaitu Gunung Gamalama tinggi 1.715 m. Tingkat ketinggian lahan dari permukaan laut di wilayah Pulau Ternate cukup bervariasi yang dapat diklasifikasikan menjasi 3 kategori. Kategori rendah (0-500 m) yang diperuntukkan untuk pemukiman, pertanian, perikanan, perdagangan,
dan
pusat
pemerintahan;
kategori
sedang
(500-700
m)
diperuntukkan untuk hutan konservasi, dan usaha kehutanan; kategori tinggi (> 700 m) diperuntukkan untuk hutan lindung. Daya dukung pengembangan ruang-ruang budidaya di Pulau ternate hanya terbatas pada bagian pesisir dengan kemiringan sampai sekitar 25% dukungan lahan untuk fungsi pemukiman hanya tersebar di bagian pesisir dengan kelandaian yang sesuai syarat untuk dijadikan perumahan.
Gambar 5. Daya Dukung Profil Pulau Ternate 3.3.5. Geologi Pulau Ternate berbentuk bulat kerucut/strato volcano. Pulau Ternate sebagian besar daerahnya bergunung dan berbukit terdiri dari pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah regosol dan rensina. Jenis tanah regosol yaitu tanah yang khas berada daerah vulkanis.
29
Kendala yang ada terdiri dari aspek geologi, dimana terdapat gunung berapi aktif yang sering mengakibatkan terjadinya letusan dan aliran lahar. Selain itu secara geomorfologi, terdapat lahan berkelerengan tinggi dengan volume luasan yang cukup besar, sehingga sulit dikembangkan untuk kegiatan permukiman dan industri dalam skala yang besar. Dilihat dari aspek geologi dan jenis tanah, Kota Ternate dan sekitarnya terdiri dari tanah regosol yang memiliki bahan induk utama batu pasir yang potensial untuk dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan material bangunan. Sedangkan tanah podsolik merupakan tanah batuan beku yang memiliki daya dukung terhadap beban bangunan yang sangat baik. Sebagai kota kepulauan yang didominasi lahan bergunung, pengembangan lahan untuk perkotaan terbatas di wilayah pesisir meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pengembangan reklamasi kawasan pantai. Dari sejumlah lahan pesisir yang ada, masih banyak lahan yang belum dimanfaatkan sebagai lahan budidaya, dan dari 5 pulau yang ada di Kota Ternate, Pulau Ternate merupakan pulau yang paling pesat pertumbuhannya. Keterbatasan daya dukung ruang fisik Kota Ternate, diikuti pula dengan keberadaan gunung berapi Gamalama di tengah tengah pulau Ternate yang masih aktif dan sulit diprediksi keaktifannya. Keberadaan gunung ini menjadi pembatas dalam pengembangan lahan perkotaan. Pembangunan pusat pusat permukiman masih terkonsentrasi di kawasan pantai dengan konsentrasi kepadatan tinggi di bagian selatan dan tidak teratur merupakan masalah utama kawasan permukiman kepulauan. 3.3.6. Penduduk Perkembangan penduduk Kotamadya Ternate selama lima tahun terakhir mengalami kecenderungan peningkatan khususnya di wilayah Kecamatan Kota Ternate Selatan dan Kecamatan Kota Ternate Utara. Peningkatan ini disebabkan faktor urbanisasi, migrasi maupun dari kawasan Pulau Halmahera akibat konflik etnis beberapa waktu yang lalu, dan migrasi dari regional lain dari Sulawesi, Ambon, Papua bahkan dari Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Meningkatnya arus urbanisasi dan migrasi juga disebabkan oleh semakin terbukanya arus transportasi laut yang menghubungkan Kota Ternate dengan kawasan sekitarnya dan beberapa kota lainnya.
30
Jumlah Penduduk Kota Ternate berdasarkan hasil pengolahan survei sosial ekonomi nasional tahun 2003 sebanyak 148.946 jiwa atau sekitar 17,39 % dari jumlah penduduk propinsi Maluku Utara. Jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki sehingga rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan 98,98 atau dengan kata lain bahwa jika disuatu wilayah Pulau Ternate terdapat sejumlah 100 orang perempuan maka jumlah laki- laki diwilayah tersebut hanya 99 orang. Jumlah rumah tangga di Pulau Ternate mencapai 30.800 KK, sehingga rata-rata besaran keluarga per KK di Kota Ternate berkisar sekitar 4-5 orang. Lebih dari 85 % dari total jumlah penduduk Kota Ternate mendiami Pulau Ternate yang terkonsentrasi di Kecamatan Kota Ternate Utara dan Kota Ternate Selatan. Sebagian besar lahan perkotaan berkembang di bagian timur pulau. Dengan demikian distribusi penduduk tidak merata, terutama di wilayah pulau lain yang sangat jarang penduduknya meskipun potensi dan kondisi alam ke lima pulau hampir sama. 3.3.7. RTRW Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Ternate ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor : 04 Tahun 2006 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Gambar 6. RTRW Kota Ternate 2006-2016
31
IV. METODOLOGI
4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi empat tahapan yaitu persiapan, pengambilan data sekunder, analisis dan penyajian hasil. Tempat yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah Kota Batam (Provinsi Kepulauan Riau), Kota Tarakan (Provinsi Kalimantan Timur) dan Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara). Masing–masing kota dipilih berdasarkan pembagian wilayah, yaitu Kota Batam untuk wilayah Indonesia barat, Kota Tarakan untuk wilayah Indonesia tengah, dan Kota Ternate untuk wilayah Indonesia timur.
Pulau Batam
Pulau Tarakan Gambar 7. Obyek Penelitian
Pulau Ternate
32
4.2. Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan alat dan bahan untuk pengolahan dan analisis data spasial dan untuk penyajian hasil penelitian, yaitu: Citra Landsat 7 ETM+ , Peta RTRW, Peta Administrasi, komponen SIG berupa perangkat keras (komputer, scanner, printer) serta perangkat lunak : ArcView 3.2, Erdas Imagine 9.1, ER Mapper 7, Microsoft Excel 2007 dan Microsoft Word 2007. Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang diperoleh dari instansiinstansi terkait serta studi pustaka. Tabel 1 . Jenis dan Sumber Data Data
Jenis
Sumber
Citra Landsat 7 ETM + Path/Row
Raster
Biotrop
Raster
Biotrop
Raster
Biotrop
Vektor
Biotrop
Raster
Bappeda, Literatur
Sejarah perkembangan kota
Data Sekunder
Literatur
Demografi
Data Sekunder
BPS
125/059 (Batam) Tahun 2008 dan 2009 Citra Landsat 7 ETM + Path/Row 117/058 (Tarakan) Tahun 2008 dan 2009 Citra Landsat 7 ETM + Path/Row 110/059 (Ternate) Tahun 2008 dan 2009 Peta batas administrasi masing-masing kota Rencana Tata Ruang Wilayah masingmasing kota
4.3. Metode dan Tahapan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif menggunakan teknik pengolahan dan analisis data spasial. Teknik pengolahan dan analisis data spasial yang digunakan adalah penginderaan jauh dan sistem informasi geografi yang secara umum dibagi menjadi:
33
4.3.1. Pengumpulan Data Sekunder Tahapan pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data citra landsat dari BTIC-BIOTROP. Data tentang kondisi umum masing-masing kota, tata ruang beserta kebijakankebijakan yang terkait diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) serta dinas-dinas terkait di lingkup kota masing-masing, data mengenai sejarah diperoleh dari pustaka.
4.3.2. Pengolahan dan Analisis Awal Tahapan ini dilakukan untuk pengelolaan dan pegoreksian data sekunder yang telah diperoleh dari instansi-instansi terkait serta untuk mendapatkan informasi awal mengenai kondisi wilayah penelitian. Dalam pengolahan dan analisis awal dilakukan beberapa proses pengolahan dan interpretasi awal, yaitu penambalan citra stripping, koreksi geometris Citra Landsat 7 ETM+ (Gambar 8) dan Peta RTRW (Gambar 9) masing-masing kota, dan interpretasi visual. Uraian pengolahan dan analisis awal, diuraikan seperti di bawah ini:
Citra landsat masing-masing kota
Penambalan Citra Stripping
Koreksi Geometrik
Citra terkoreksi
Pemotongan Citra (Batas Wilayah)
Interpretasi visual (kombinasi band 5,4,2)
Gambar 8 . Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+)
34
Peta RTRW masing-masing kota
Koreksi Geometrik Peta terkoreksi Pembatasan dan Klasifikasi Area Identifikasi Penggunaan Lahan
Gambar 9. Tahapan Analisis Awal (Pengolahan Peta RTRW)
4.3.2.1 Penambalan Citra Stripping Citra yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra yang diperoleh pada tahun 2009. Kekurangan pada Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009 adalah adanya stripping pada masing-masing citra. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dapat dilakukan alternatif untuk memperbaiki tampilan citra dengan melakukan penambalan terhadap gambar yang terkena stripping yaitu dengan mencari titik tahun pengambilan citra terdekat. Perbaikan tampilan citra ini untuk mencegah terjadinya blank spot pada citra yang pada akhirnya tidak dapat dilakukan analisis. Dalam penelitian ini, titik tahun yang digunakan untuk menambal citra adalah tahun 2008. Tahun 2008 dipilih karena selisih antara tahun 2008 dan 2009 tidak terlalu jauh, sehingga penutupan lahan juga tidak berubah secara signifikan. Setelah dua citra didapatkan, lalu citra diolah dengan menggunakan software ER MAPPER. Untuk penambalan dengan bantuan software ini, diperlukan citra tahun terdekat yang bebas dari stripping pada lokasi yang sama. Pengolahan dengan software ER MAPPER dengan rumus algoritma: IF (INREGION(r1)) THEN NULL else i1. Setelah proses ini, maka interpretasi citra sudah dapat dilakukan pada software ERDAS.
35
4.3.2.2 Koreksi Geometris Koreksi geometris merupakan tahap awal pengolahan data digital yaitu data citra Landsat TM (raster) masing-masing kota serta peta digital administrasi (vektor) masing-masing kota. Untuk peta RTRW, dilakukan juga koreksi geometris yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi titik-titik koordinat pada gambar RTRW masing-masing kota. Tujuan koreksi geometris adalah (1) melakukan retifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi, (2) registrasi (mencocokan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal, dan (3) registrasi citra ke peta, atau transformasi koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu (Hadiyanti, 2001 dalam Hakim, 2006).
4.3.2.3 Delineasi Area dan Pemotongan Citra Delineasi atau pembatasan kawasan dilakukan untuk memfokuskan pada wilayah yang akan diteliti. Delineasi ini dilakukan dengan cara memotong (cropping) citra landsat dengan bantuan peta digital administrasi wilayah yang diteliti. Delineasi ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine 9.1 dengan melakukan overlay antara citra terkoreksi dengan peta digital batas administrasi dan kemudian dilakukan pemotongan citra sehingga didapatkan peta citra wilayah penelitian. Selain dengan cara di atas, pemotongan area studi dapat dilakukan dengan cara digitasi on-screen. Hal ini dapat dilakukan karena area yang dilakukan studi memiliki karakteristik berupa pulau sehingga batas administrasi wilayah, juga merupakan batas pulau. Pemotongan dilakukan dengan mengikuti garis batas antara laut dan darat.
4.3.2.4 Interpretasi Visual Interpretasi visual dilakukan untuk mengetahui kondisi awal wilayah penelitian, mengidentifikasi secara visual penyebaran kelas-kelas penggunaan dan penutupan lahan. Pada tahapan ini dilakukan perubahan tampilan citra Landsat 7 ETM+ dengan melakukan bebrapa kombinasi band (saluran) dalam format RGB
36
(Red Green Blue). Kombinasi band yang dipilih adalah 542 yaitu kombinasi band 5, band 4, band 2, dengan mempertimbangkan kegunaan dan kemudahan dalam pembagian kelas, dimana sebelum diperoleh kombinasi band yang dipakai dilakukan kombinasi-kombinasi lainnya yang dapat dijadikan atau dipakai dalam proses klasifikasi data citra (Maulana, 2005). Karakteristik saluran-saluran pada citra Landsat TM dapat dilihat pada Tabel 2. Pada peta RTRW masing-masing kota, dilakukan pengelompokan terhadap penggunaan lahan menjadi 3 jenis, yaitu ruang terbuka hijau, kawasan terbangun dan badan air. Pengelompokan menjadi 3 jenis ini mengikuti dokumen dan legenda yang disertakan dalam pembuatan RTRW masing-masing kota. Tabel 2 . Karakteristik Band Landsat Daerah panjang λ (µm) gelombang Sinar tampak 1 : 0,45-0,52 -biru -hijau
2 : 0,52-0,60
-merah
3 : 0,63-0,69
Infra merah dekat
4 : 0,76-0,90
Infra sedang
merah 5 : 1,55-1,75 7 : 2,08-2,35
Infra termal
merah 6 : 10,4-12,5
Kegunaan Diskriminasi vegetasi berdaun lebar terhadap berdaun jarum. Band ini dapat melakukan penetrasi air. Biomassa dan kandungan klorofil (kondisi kehijauan vegetasi) Diskriminasi vegetasi. Band pada daerah yang menyerap klorofil, dapat tumbuhan/tanaman Identifikasi akumulasi biomassa dan batasbatas daratan dan perairan, sensitif terhadap kadar air permukaan tanah. Pendeteksian kandungan air (kelembaban permukaan). Sensitif terhadap kadar air tanaman, tanah, dan kerapatan tegakan. Pendekatan sebaran suhu permukaan daratan dan lautan (pemetaan termal)
Sumber : Lo,1995 dalam Hakim, 2006)
4.3.3. Analisis Lanjutan Analisis lanjutan merupakan tahapan pengolahan keseluruhan data yang telah diperoleh. Hasil dari tahapan analisis lanjutan ini diharapkan mampu menghasilkan hasil akhir penlitian berupa peta penggunaan dan penutupan lahan, peta sebaran ruang terbuka hijau beserta data atributnya. Analisis lanjutan terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
37
4.3.3.1. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginan dan memilih training area untuk kategori penutup lahan dengan on screen classification yang mewakili sebagai kunci interpretasi. Hal ini dilakukan karena tidak dilakukan survei lapang terhadap masing-masing kota. Dalam proses ini dilakukan dengan mengidentifikasi area contoh yang mewakili dari setiap contoh penutupan lahan yang diinginkan dan membangun suatu deskripsi numerik dari spektral tiap penutupan lahan tersebut (Lillesand et al, 1990). Area contoh yang ditentukan berdasarkan titik contoh penutupan lahan dan beberapa data pendukung lainnya seperti peta penggunaan lahan dan rencana tata ruang wilayah masing-masing kota. Setelah dilakukan penentuan area contoh maka selanjutnya dilakukan pengelompokan kelas-kelas penutupan lahan berdasarkan piksel area contoh selanjutnya dilakukan penamaan (labeling) masing-masing kelas. Hasil dari tahapan ini adalah peta penutupan lahan masingmasing kota.
4.3.3.2. Analisis Spasial dan Tabular Analisis spasial dilakukan untuk melihat hubungan klasifikasi ruang pada peta penutupan lahan pada waktu tertentu pada masing-masing kota serta distribusi kawasan ruang terbuka hijau. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan melakukan overlay (tumpang susun) data spasial berupa peta penutupan lahan titik tahun pada masing-masing kota dan peta administrasi. Analisis SIG diperlukan karena kemampuannya dalam mengidentifikasi hubungan spasial antar
feature peta,
mampu membangun hubungan baru serta atributnya dan menyimpannya dalam feature yang baru (Maulana, 2005). Setelah diketahui masing-masing luas jenis penutupan lahan pada Citra Landsat 7 ETM+ 2009 dan peta RTRW yang berlaku, maka dilakukan perbandingan dengan membuat data tabular pada masing-masing kota. Perbandingan dilakukan dengan memperhatikan selisih luasan antara penutupan lahan pada tahun 2009 dengan peta RTRW yang berlaku.
38
4.3.3.3. Desk Study Desk study merupakan kegiatan menganalisi dari sumber pustaka yang berkaitan dengan topik pada penelitian ini, yaitu karakteristik ruang terbuka hijau pada kota pulau. Analisis yang akan dilakukan lebih mendalam terhadap sumber pustaka, yang dapat diperoleh dari buku, internet maupun jurnal yang telah dipublikasikan. Dari hasil desk study ini akan diperoleh konsep tentang karakteristik ruang terbuak hijau, spesifik tentang pulau maupun kota pulau.
4.3.4. Penyajian Hasil Proses penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan informasi spasial dan atributnya dalam bentuk peta penggunaan dan penutupan lahan, peta sebaran ruang terbuka hijau. Bentuk penyajian hasil akhir dari proses penelitian ini tidak hanya dalam bentuk informasi spasial tetapi juga dalam bentuk deskripsi mengenai distribusi, pola penyebaran dan tabulasi.
luasan
ruang terbuka hijau serta
39
Persiapan studi
Perizinan
Data Spasial (Citra Landsat, RTRW, Peta Administrasi)
Pengumpulan data
Data tabular (Kependudukan, Iklim ) Pustaka Input
Pengolahan dan analisis awal
Analisis Data Spasial
Pengolahan Citra
Pembangunan database SIG (RTH, Terbangun, Badan Air) dari Citra Landsat & RTRW
Desk Study Analisis
Distribusi, Pola dan Luas RTH Eksisting
Gambar 10. Diagram Alur Kerja Penelitian
Output
40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan
tentang
karakteristik
wilayah
studi
bersumber
dari
data/informasi yang diperoleh maupun yang telah diolah dalam studi ini, yang berkaitan dengan aspek fisik, ekologis, sosial dan ekonomi. Identifikasi pola penggunaaan lahan dilakukan dengan melakukan proses klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009 masing-masing pulau. Klasifikasi yang dipakai dalam proses identifikasi yaitu kawasan ruang terbuka hijau, kawasan terbangun dan badan air. Selanjutnya dibahas pula kebijakan tata ruang kota yang berkaitan dengan ketersediaan ruang terbuka hijau dan kawasan terbangun. 5.1. Kota Batam (Pulau Batam) Kota Batam merupakan ekosistem gugusan pulau, dengan luas lautan 291.240 ha, sekitar 3 kali luas daratannya yang sebesar 99.600 ha. Pulau Batam sendiri luasnya 51.958 ha. Untuk keperluan studi ini, pembahasan tentang karakteristik wilayah Kota Batam dibatasi hanya pada Pulau Batam, mengingat Pulau Batam adalah pulau terbesar dan kegiatan pengembangan kota terkonsentrasi pada pulau ini. 5.1.1. Hasil Klasifiksi Citra
Gambar 11. Penutupan Lahan Pulau Batam tahun 2009
41
Kota Batam terletak pada path/row: 125/059 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Batam, menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 25.312,9 ha (48,7%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 22.870,4 ha (44%) dan 3.774,6 ha (7,3%).
Gambar 12. Peta RTRW Pulau Batam Tahun 2004-2014
Menurut Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014 pada Bab V disebutkan tentang rencana alokasi pemanfaatan ruang wilayah, yaitu: (1) Rencana alokasi pemanfaatan ruang wilayah darat dan wilayah laut terdiri dari : a. Rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, mencakup kawasan lindung wilayah darat dan kawasan lindung wilayah laut; dan b. Rencana alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya, mencakup kawasan budidaya wilayah darat dan kawasan budidaya di wilayah laut. (2) Rencana alokasi pemanfaatan ruang wilayah dirumuskan dalam bentuk uraian dan peta yang
42
menggambarkan sebaran kawasan-kawasan lindung dan kawasan-kawasan budidaya di wilayah darat dan wilayah laut Kota Batam. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Batam tahun 2004 - 2014, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan hutan lindung, kawasan taman wisata alam, kawasan pertanian, kawasan ekowisata, kawasan cagar budaya dan kawasan perlindungan mangrove. Sedangkan kawasan terbangun antara lain kawasan pusat pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan bandara, lingkungan kerja pelabuhan, dan lingkungan pelayanan industri kelautan. Sedangkan badan air mencakup sungai dan waduk. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Batam, menunjukkan bahwa kelas penggunaan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 33.766 ha (65%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan masing-masing luas 17.054,7 ha (32,8%) dan 1.137,2 ha (2,2%).
5.1.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Gambar 13. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Batam Persentase kelas penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau pada tahun 2009 didominasi oleh kawasan terbangun (48,7%) yang memiliki luas 25.312,91
43
ha, sedangkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, kawasan terbangun direncanakan memiliki luas 33.766 ha (65%). Hal ini berarti untuk tahun-tahun mendatang akan terjadi konversi terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini memiliki luas 22.870,4 ha menjadi 17.054,7 ha atau menurun sebesar 5.815,7 ha.
5.1.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau Pada penggunaan lahan tahun 2009 di Pulau Batam, dapat dijelaskan bahwa distribusi RTH pada Pulau Batam tidak memiliki pola yang jelas. Tampak dari citra landsat RTH menyebar pada semua kawasan, selain terkonsentrasi di bagian tengah pulau, RTH juga terkonsentrasi pada titik tertentu. Hal ini disebabkan pembangunan besar-besaran Pulau Batam sebagai daerah kawasan industri terpadu yang mengkonversi RTH sehingga luasan yang tersisa tersebar pada beberapa titik.
Gambar 14. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Batam Tahun 2009 Sebagai ilustrasi penyebaran, dapat dilihat pada gambar di atas. Warna biru menunjukkan laut, merah sebagai kawasan terbangun dan warna hijau merupakan ruang terbuka hijau. Lokasi kawasan RTH ini ada yang memanjang di tengah pulau, ada juga yang terletak di kasawan pesisir dengan luasan yang bervariasi.
5.2. Kota Tarakan (Pulau Tarakan) Kota Tarakan merupakan kota kepulauan yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur. Kota ini terdiri dari dua buah pulau yaitu Pulau Tarakan dan Pulau Sadau. Untuk keperluan studi ini, pembahasan tentang karakteristik wilayah
44
Kota Tarakan dibatasi pada Pulau Tarakan saja, mengingat Pulau Tarakan adalah pulau terbesar dan kegiatan pengembangan kota terkonsentrasi pada pulau ini. Pulau Tarakan memiliki luas 25.258 ha.
5.2.1. Hasil Klasifiksi Citra Kota Tarakan terletak pada path/row: 117/058 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 12.358 ha (49%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luas 11.079,9 ha (43,8%) dan badan air memiliki luasan terkecil 1.821,06 ha (7,2%). Badan air pada Pulau Tarakan terletak di pantai, yang kemungkinan besar adalah rawa. Kemungkinan ini didapatkan setelah mengamati komposisi warna pada citra landsat yang berwarna biru kehijau-hijauan.
Gambar 15. Penutupan Lahan Pulau Tarakan tahun 2009
45
Gambar 16. Peta RTRW Pulau Tarakan tahun 2006-2013 Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan tahun 2006-2013 tentang rencana pemanfaatan ruang kota, pasal 27 menyebutkan: (1) Rencana pemanfaatan ruang kota meliputi rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung dan rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya; (2) Kawasan lindung meliputi kawasan hutan lindung dan hutan kota, kawasan hutan mangrove, kawasan bersejarah dan kawasan perlindungan setempat; (3) Kawasan budidaya meliputi kawasan industri, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pariwisata, kawasan permukiman, kawasan pertambangan, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan perikanan dan kawasan khusus (kawasan pertahanan dan keamanan, kawasan pendidikan, kawasan olahraga, kawasan pemerintahan, kawasan kota baru). Rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung meliputi penetapan lokasi, luasan dan arahan pengembangan bagi kawasan hutan lindung, kawasan hutan kota, kawasan hutan mangrove, kawasan bersejarah, dan kawasan perlindungan setempat. Rencana pemanfaatan ruang untuk hutan lindung dan
46
hutan kota meliputi : a. Kawasan hutan lindung termasuk rencana penambahan kawasan hutan lindung yang diperbaharui batasnya berdasarkan bentuk kontur, ketinggian, jenis tanah, tegakan, vegetasi dan kawasan bahaya geomorfologi dan potensi hutan lindung; b. Kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan kota dan kawasan atau ruang terbuka hijau yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman. Hutan lindung dan hutan kota di seluruh wilayah kota harus dijaga keutuhan dan keberadaannya untuk dikembangkan sebagai : a. Kawasan daerah tangkapan air hujan sebagai sumber penyediaan air bersih Kota Tarakan; b. Pengikat material tanah di Kota Tarakan yang mudah lepas terutama pada lahan-lahan kritis. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan, meunjukkan bahwa kelas penggunaan lahan didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 14.046,4 ha (55,6%). Kemudian untuk ruang terbuka hijau memiliki luasan lebih kecil dari kawasan terbangun dengan luas 11.212,4 ha (44,4%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan, badan air tidak disertakan dalam dokumen.
5.2.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Gambar 17. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Tarakan
47
Persentase kelas penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau Pulau Tarakan pada tahun 2009 yang diperoleh dari analisis citra landsat, didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau (49%) yang memiliki luas 12.358 ha, sedangkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, kawasan terbangun direncanakan memiliki luas 14.046,4ha (55,6%). Hal ini berarti untuk tahun-tahun mendatang akan terjadi konversi terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini memiliki luas 12.358 ha menjadi 11.212,4 ha atau menurun sebesar 1.145,6 ha. Sedangkan untuk badan air tidak diikutsretakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Tarakan.
5.2.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau Pada penggunaan lahan tahun 2009 di Pulau Tarakan yang diperoleh dari analisis citra landsat, dapat dijelaskan bahwa distribusi RTH pada Pulau Tarakan, memiliki pola yang bersifat radial. Tampak dari citra landsat, RTH terkonsentrasi pada bagian tengah pulau, dan sebagian kecil terdapat di kawasan pantai yang kemungkinan besar merupakan hutan mangrove. Hal ini menunjukkan perhatian pemerintah daerah yang membuat kebijakan untuk tetap melindungi hutan, meskipun desakan sebagai akibat aktivitas ekonomi pada pulau ini sangat besar.
Gambar 18. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Tarakan Tahun 2009 Sebagai ilustrasi penyebaran, dapat dilihat pada gambar di atas. Warna biru menunjukkan laut, merah sebagai kawasan terbangun dan warna hijau merupakan ruag terbuka hijau. Luasan antara ruang terbuka hijau dan kawasan terbangun
48
pada Pulau tidak memiliki selisih yang mencolok. Lokasi kawasan RTH ini terkonsentrasi pada bagian tengah pulau. Terdapat juga RTH di sepanjang pesisir pulau.
5.3. Kota Ternate (Pulau Ternate) Kota Ternate merupakan Ibukota Provinsi Maluku Utara, yang merupakan salah satu provinsi baru di Indonesia sebagai hasil dari pemekaran Provinsi Maluku. Kota Ternate terdiri dari empat pulau, yaitu: Pulau Ternate, Pulau Mayau, Pulau Tifore, Pulau Moti dan Pulau Hiri. Untuk pembahasan karakteristik wilayah Kota Ternate, dibatasi hanya Pulau Ternate saja, mengingat pulau ini merupakan pulau utama dan aktivitas sosial ekonomi terpusat di tempat ini. Pulau Ternate memiliki luas 11.070 ha.
5.3.1. Hasil Klasifiksi Citra
Gambar 19. Penutupan Lahan Pulau Ternate tahun 2009
49
Kota Ternate terletak pada path/row: 110/059 Landsat 7 ETM+. Dari hasil pengolahan citra landsat tahun 2009 Pulau Ternate, meunjukkan bahwa kelas penutupan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 9.181,4 ha (83%). Kemudian untuk kawasan terbangun dan badan air memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hijau dengan masing-masing luas 1.703,8 ha (15,3%) dan 184,6 ha (1,7%).
Gambar 20. Peta RTRW Pulau Tarakan tahun 2006-2016 Secara umum pemanfaatan ruang di Kota Ternate tebagi atas ruang-ruang untuk fungsi – fungsi kegiatan sebagaimana halnya tipologi kota menengah pada umumnya, yakni : permukiman, jasa dan perdagangan, perkebunan/pertanian dan hutan lindung. Secara lebih rinci di kawasan fungsi jasa dan perdagangan dan permukiman terdapat sub-sub fungsi penggunaan ruang lain misalnya untuk kegiatan pelabuhan, pariwisata, perkantoran pemerintah, kawasan militer, dll. Dari segi pemanfaatan ruang yang ada saat ini, konsentrasi ruang-ruang permukiman berada lebih banyak di lahan dengan kelandaian sampai sekitar 15%,
50
khususnya di wilayah Kecamatan Ternate Selatan dan Ternate Utara. Di kawasan pesisir di Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Utara praktis lahannya telah dipadati dengan fungsi permukiman, jasa/perdagangan dan kawasan pelabuhan. Namun begitu, di wilayah Kecamatan Pulau Ternate, khususnya di Pulau Ternate, di salah satu titik pesisir, terdapat penggunaan lahan untuk hutan konservasi. Fungsi pertanian/perkebunan terdapat di bagian pedalaman dengan kelerengan sekitar 10% s/d sekitar 25% hingga pada beberapa titik lokasi pada kelerengan 40%. Sedangkan pada lahan dengan kelerengan sekitar 25% keatas, dan khususnya diatas 40% didominasi oleh fungsi hutan lindung dan hutan konservasi. Fungsi kawasan zona bahaya gunung berapi hanya terdapat di Pulau Ternate, sebagai bentuk antisipasi penyediaan ruang untuk aliran lava dan lahar dingin campur batuan akibat letusan Gunung Gamalama. Zona bahaya gunung berapi ini paling banyak menempati areal di Kecamatan Ternate Utara dan Kecamatan Pulau Ternate, serta di lingkaran Gunung Gamalama sampai pada radius sekitar 4 kilometer dari pusat puncak gunung. Kecilnya tingkat okupasi ruang permukiman pada skala luasan pulau, dan adanya kecenderungan mengokupasi daerah pesisir secara dominan, disebabkan oleh beberapa hal yakni : faktor topografi/kelerengan, faktor adanya zona bahaya gunung berapi di Pulau Ternate dan faktor historis yakni kecenderungan daya tarik pemusatan kegiatan di kawasan yang sudah tumbuh sebelumnya hanya di daerah pesisir. Faktor-faktor tersebut menyebabkan adanya densitas atau tingkat pemadatan pemanfaatan ruang permukiman hanya pada beberapa kawasan yang sebelumnya sudah tumbuh. Apabila penduduk sudah mulai merasa terlalu padat, maka mereka mulai mengokupasi daerah belakangnya yang merupakan daerah perbukitan. Pola pertumbuhan okupasi ruang untuk kegiatan jasa dan perdagangan, cenderung di daerah yang sudah tumbuh permukiman, memanfaatkan peluang reklamasi dan di kantong-kantong permukiman. Karena itu, untuk memprediksi pertumbuhan ruang kegiatan jasa dan perdagangan saat ini adalah berdasarkan sebaran okupasi ruang-ruang permukiman.
51
Pola pertumbuhan ruang-ruang permukiman adalah bersifat konsentrik kedalam, dengan awal pertumbuhan di bagian lingkaran luar, yakni dari pesisir ke areal perbukitan. Dengan demikian pola pertumbuhan ruang kegiatan jasa dan perdagangan akan cenderung mengikuti pola pertumbuhan ruang permukiman. Apabila di kawasan pesisir sudah mengalami kejenuhan tingkat kepadatan, maka arah okupasi ruang permukiman akan menuju ke bagian perbukitan. Kecepatan pertumbuhan okupasi ruang permukiman akan semakin besar di daerah yang terpengaruh oleh sentra-sentra pertumbuhan. Ruang-ruang yang saat ini terpakai untuk fungsi pertanian dan alang-alang dalam kecenderungannya akan berubah menjadi ruang-ruang permukiman, terutama di areal dengan kelandaian sampai sekitar 15%. Kecenderungan tersebut akan terjadi karena ruang kegiatan pertanian dan fungsi alang-alang, berada tepat di bagian belakang dari area permukiman. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate tahun 2006- 2016, yang termasuk kawasan RTH adalah kawasan lindung, kawasan pertanian, kawasan peternakan. Sedangkan yang termasuk kawasan terbangun antara lain kawasan industri, kawasan bandara, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan pendidikan. Dari hasil pengolahan rencana tata ruang wilayah Kota Ternate, menunjukkan bahwa kelas penggunaan lahan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 6.452 ha (58,3%). Kemudian untuk kawasan terbangun memiliki luasan lebih kecil dari kawasan ruang terbuka hijau yakni sebesar 4.617,9 ha (41,7%). Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate, badan air tidak disertakan dalam dokumen.
52
5.3.2. Perbandingan Citra Landsat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Gambar 21. Diagram Perbandingan Citra Landsat dengan RTRW Ternate Persentase kelas penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau Pulau Ternate pada tahun 2009 yang diperoleh dari analisis citra landsat, didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau (83%) yang memiliki luas 9.181,4 ha, sedangkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, kawasan terbangun direncanakan memiliki luas 4.617,9 ha (41,7 %). Hal ini berarti untuk tahun-tahun mendatang akan terjadi konversi terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini memiliki luas 9.181,4 ha menjadi 6.452 ha atau menurun sebesar 2.729,4 ha. Sedangkan untuk badan air tidak disertakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Ternate.
5.3.3. Pola dan Distribusi Ruang Terbuka Hijau Distribusi RTH pada Pulau Ternate terpusat pada daerah tengah pulau. Hal ini disebabkan oleh adanya gunung berapi aktif, yaitu Gunung Gamalama. Daerah ini dijadikan kawasan lindung karena mempunyai kemiringan lahan yang sangat curam, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pembangunan. Akibatnya pembangunan Kota Ternate dilakukan di kawasan pantai yang mempunyai kemiringan relatif datar.
53
Gambar 22. Ilustrasi Penyebaran RTH Pulau Ternate Tahun 2009 Sebagai ilustrasi penyebaran, dapat dilihat pada gambar di atas. Warna biru menunjukkan laut, merah sebagai kawasan terbangun dan warna hijau merupakan ruang terbuka hijau. Tampak gambar diatas didominasi oleh ruang terbuka hijau. Hal ini terkait karena kawasan ini termasuk daerah pengembangan kawasan baru, sehingga pembangunan masih belum banyak dilakukan.
5.4. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Kota Pulau Hubungan antara daya dukung lingkungan dengan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat menjadi faktor penentu dalam merumuskan pola penataan dan pengelolaan ruangnya. Dalam upaya pemanfaatan potensi pulau kecil kiranya perlu dilakuakan dengan pendekatan secara menyeluruh dari sisi pembangunan lingkungan (konservasi dan pembangunan ekonomi). Pembangunan lingkungan meliputi aspek perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta nilai kekhasan dan keaslianya (Kay and Alder, 1999 dalam Djais, 2004). Sedangkan dari sisi pembangunan ekonomi, diharapkan dapat terjadi multiplier effects terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Dahuri, 2002 dalam Djais, 2004). Dengan adanya upaya pembangunan di pulau kiranya perlu lebih diperkaya oleh berbagai pertimbangan teknis analisis sehingga dapat dihasilkan kebijakan pembangunan yang lebih optimal.
54
5.4.1. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Pulau Kecil Pada hakekatnya yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti. Disamping itu, pulau kecil mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi dibandingkan dengan pulau kontinen. Ditinjau dari skalanya, pulau kecil mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen akan hilang ke dalam air. Secara teoritis, ada beberapa kriteria yang dapat dimanfaatkan dalam menentukan batasan suatu pulau kecil, yakni: (1)Batasan fisik (luas pulau), (2)Batasan ekologis, (3)Keunikan budaya, dsb. (Djais, 2004) Di wilayah pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reef ), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman.
55
Gambar 23. Pola zonasi bakau klasik (Davis, 1940 dalam Lewis, 2009) Menurut Davis, 1940 terdapat 4 formasi bakau klasik yaitu Indian River Lagoon. North River Estuary, Rookery Bay dan Tampa Bay. Masing–masing formasi memiliki penyusun yang sama yaitu rawa atas dan rawa bawah. Hal yang membedakan dari keempat zonasi tersebut adalah bentukan vertikalnya yang dibentuk oleh formasi bakau dan lumpur. Hal yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau – pulau kecil adalah sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika
56
La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan tersebut mestinya secara seimbang diikuti dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Selain terdapatnya ekosistem pada wilayah pesisir, pulau kecil juga memiliki ekosistem lain yaitu berupa hutan. Karakteristik hutan pada pulau kecil memiliki ciri yang khas, berbeda dengan hutan yang terletak pada pulau besar. Ekosistem hutan pada pulau-pulau kecil (small islands) memiliki tingkat sensitivitas ekosistem yang sangat rapuh, jika dibandingkan dengan ekosistem hutan pada pulau-pulau besar (continental islands). Hutan pada pulau kecil memiliki kondisi pertumbuhan yang khusus, misalnya vegetasi hutan didominasi oleh pohon-pohon yang tumbuh lambat, diameter batang pohon umumnya tidak terlalu besar dan daun tumbuhan umumnya sempit. Kondisi fisik hutan seperti ini disebabkan oleh beberapa hal pokok (Matinahoru, 2008), yaitu : (a) Hutan pada pulau kecil terlalu sering mendapat banyak pengaruh intrusi air laut yang masuk ke daratan terutama pada hutan di wilayah-wilayah pesisir. Hal ini menyebabkan air tanah yang diabsorbsi akar vegetasi mengandung cukup tinggi konsentrasi ion natrium, karbonat dan klorida. Sebagai akibat kelebihan ion-ion ini maka terjadi keracunan bagi sel-sel tumbuhan yang mengakibatkan vegetasi tumbuh dan berkembang tidak normal, (b) Hutan pada pulau kecil hampir setiap saat mendapat hembusan angin laut yang membawa banyak uap air laut yang mengandung cukup tinggi kadar garam. Uap air yang mengandung garam tersebut, kemudian diabsorbsi oleh daun tumbuhan yang akibatnya terjadi keracunan oleh adanya kelebihan konsentrasi natrium, (c) Hutan pada pulau kecil secara umum juga memiliki transpirasi tinggi sebagai akibat frekuensi terpaan angin laut yang berlangsung hampir secara terus menerus sehingga mekanisme pembukaan dan penutupan stomata menjadi terganggu, dan proses fotosintesis berlangsung tidak
57
normal karena konsentrasi CO2 menjadi menurun disekitar atmosfer daun karena dipindahkan oleh angin ke tempat lain, (d) Hutan pada pulau kecil umumnya tumbuh pada wilayah DAS yang pendek dan sempit sehingga hujan yang jatuh dalam wilayah DAS lebih cepat mengalami run off menuju badan sungai dari pada terinfiltrasi ke dalam tanah untuk menambah volume air tanah aktual bagi pertumbuhan vegetasi hutan, (e) Hutan pada pulau kecil cendrung memiliki daerah tangkapan air (water catchment area) yang sempit sehingga jumlah air hujan yang jatuh dan tertampung pada suatu daerah tangkapan air selalu tidak seimbang terhadap laju kehilangan air tanah yang harus mengalir keluar melalui sungai dan evapotranspirasi, (f) Hutan pada pulau kecil secara umum tumbuh diatas kondisi tanah dengan solum tanah dangkal terutama bagi pulau-pulau coral dan atol. Akibat volume tanah yang rendah seperti ini, maka kondisi pertumbuhan hutan disini cendrung didominasi oleh jenis-jenis yang perkembangan tinggi pohon dan diameter batang sangat lambat. Berdasarkan
karakteristik-karakteristik
yang
dikemukakan
diatas
menunjukan bahwa pertumbuhan hutan pada pulau kecil sebenarnya memiliki hutan yang secara alami sulit untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini karena banyak sekali faktor pembatas pertumbuhan yang harus dapat diadaptasi dengan baik oleh sel-sel tumbuhan dari pohon-pohon yang ada pada wilayah tersebut. Walaupun demikian secara alami pengaruh ini masih dapat diimbangi dengan kondisi musim, dimana pada saat musim hujan hampir semua pengaruh buruk dari laut terhadap tumbuhan yang ada di daratan pulau-pulau tersebut dapat teratasi melalui pencucian. Selanjutnya jika hutan yang sudah sangat sulit berkembang tersebut, kemudian diganggu lagi dengan aktivitas penebangan maupun pemusnahan oleh manusia maka hancurlah ekosistem tersebut (Matinahoru, 2008). Secara umum kerusakan ekosistem pulau kecil disebabkan oleh alam (natural disasters) dan manusia (human destructions). Gangguan faktor alam bagi pulau kecil contohnya: disebabkan oleh letusan gunung api, naiknya permukaan
58
air laut dan kebakaran. Namun demikian kerusakan hutan akibat gangguan alam tidak signifikan jika dibandingkan dengan kerusakan oleh aktivitas manusia. Beberapa hasil penelitian (Matinahoru dan Hitipeuw, 2005; Van Ersnt, 2007 dan Watilei, 2008 dalam Matinahoru, 2008) menunjukan bahwa kerusakan ekosistem hutan pada pulau kecil lebih disebabkan 3 hal utama, yaitu : (a). Aktivitas perladangan berpindah oleh masyarakat, (b). Aktivitas penebangan pohon secara legal maupun ilegal untuk berbagai kebutuhan seperti energi kayu bakar, konstruksi bangunan, meubel dan lain-lain, (c). Aktivitas perluasan pemanfaatan lahan oleh masyarakat maupun pemerintah untuk berbagai kepentingan seperti pemukiman masyarakat, perkantoran, lapangan udara, pelabuhan kapal, infrastruktur jalan, perkebunan monokultur dan lain-lain. Sejak jaman dulu, hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan mereka. Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan sebagai berikut: 1. Manfaat langsung 1.1. Sumber bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api, tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll). 1.2. Sumber bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, sendok, mangkok dll). 1.3. Sumber bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll). 1.4. Sumber protein (madu, daging, sarang burung, dll). 1.5. Sumber pendukung fasilitas pendidikan (pensil dan kertas). 1.6. Sumber bahan bakar (kayu api, arang dll). 1.7. Sumber oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan) 1.8. Sumber pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu) 1.9. Sumber obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji) 1.10. Habitat satwa (makan, minum, main, tidur)
59
2. Manfaat tidak langsung 2.1. Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan) 2.2. Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan) 2.3. Kontrol pemanasan bumi 2.4. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll) 2.5. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll) 2.6. Pusat pendidikan dan penelitian 2.7. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll). Dari uraian manfaat hutan seperti di atas, maka selayaknya hutan harus dijaga kelestariannya karena akan memberikan juga nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar (Matinahoru, 2008).
5.4.2. Prinsip Penataan Ruang pada Pulau Kecil Berpegang pada uraian di atas, kiranya dapat dikemukakan bahwa ada dua hal pokok yang perlu di pertimbangkan, yakni: pertama, adalah berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan kedua, adalah berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu diakomodasi sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan (Djais, 2004) Setiap usaha yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan ekonomi maupun sosial, umumnya akan selalu membutuhkan sejumlah sumberdaya alam tertentu yang di peroleh dari suatu lingkungan geografis. Sesuai dengan sifat alamnya, suatu lingkungan geografis akan di hadapkan pada faktor pembatas. Apabila ditinjau dari sisi pengembangan kegiatan ekonomi, peranan dari lingkungan geografis ini dapat di pandang sebagai penyuplai sumberdaya alam dan tidak selalu dapat menunjang kebutuhan pengembangan kegiatan sosialekonomi yang berada di atasnya. Khusus untuk pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau besar. Sehubungan dengan hal tersebut,
60
maka dibutuhkan pendekatan pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil (Djais, 2004). Hubungan
antara
pengembangan
kegiatan
sosial–ekonomi
dengan
lingkungan geografis tidak selamanya harmonis. Hal ini disebabkan karena pada umumnya
kegiatan
sosial-ekonomi
permintaan
atas
sumberdaya
untuk
pembangunan berkembang jauh lebih pesat dibanding dengan ketersediaan sumberdaya pendukungnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tingkat daya dukung tertentu, seyogyanya perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perlu di batasi agar dapat dicegah atau dikurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, seperti misalnya: meningkatnya polusi, erosi, pengerusakan lanskap, hilangnya biodata penting, dsb. Pada hakekatnya, fenomena dari dampak negatif lingkungan disebabkan karena setiap perkembangan kegiatan sosialekonomi akan menimbulkan efek samping dan hal ini merupakan respon dari adanya kepekaan sumberdaya yang ada. (Djais, 2004) 5.4.3. Distribusi Ruang Terbuka Hijau Ideal pada Kota Pulau Penataan ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya pemanfaatan potensi suatu wilayah atau kawasan bagi pembangunan secara berkelanjutan dengan mengurangi konflik pemanfaatan ruang oleh berbagai kegiatan, sehingga dapat dicapai suatu keharmonisan antara kegiatan dengan lingkungannya. Dalam hal ini penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam penataan ruang pulau kecil, secara fisik batas wilayah perencanaanya akan lebih fleksibel karena akan sangat dipengaruhi oleh batasan fungsi ekosistem. Sesuai dengan sifat alamnya, pengelolaan pulau kecil perlu lebih ditekankan pada aspek preservasi dan konservasi dibanding dengan pembangunan yang bersifat intensif. Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pulau kecil, menurut Djais , 2004, ada dua hal pokok yang perlu untuk diperhatikan, yakni : pertama, adalah menentukan batas ambang kegiatan di pulau tersebut. Kedua adalah mengintergrasikan perlindungan habitat ke dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat terjadinya sinergi antara pengembangan kegiatan usaha dengan upaya melindungi dan melestarikan habitat dan sumberdaya alam yang ada. Ada lima
61
prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pembangunan pulau kecil, yakni : keharmonisan hubungan antar ruang, pengoptimalan penggunaan sumberdaya, memperhatikan lingkungan laut, kontrol terhadap polusi dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Gambar 24. Pemanfaatan Ruang Pulau Kecil Berdasarkan Pembagian Zona Gambar di atas merupakan ilustrasi pembagian ruang pada pulau kecil serta penggunaannya secara vertikal berdasarkan pembagian zona. Terdapat 4 zona dalam pembagian ruang pada pulau kecil, yaitu: Zona Lepas Pantai, Zona Pantai, Zona Dataran Rendah dan Zona Daratan Pedalaman. Masing-masing zona memiliki penggunaan lahan yang berbeda-beda serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
62
Gambar 25. Ilustrasi Model Penyebaran RTH Ideal Bagi Kota Pulau Secara Horizontal Gambar di atas merupakan ilustrasi untuk pengembangan kawasan kota pulau yang ideal jika dilihat dari segi ekosistem. Ruang terbuka hijau yang diwakili oleh warna hijau, sebaiknya direncanakan untuk ditempatkan pada kawasan tengah dan pinggir pulau. Kawasan tengah merupakan hutan sedangkan kawasan pinggir pulau merupakan daerah pesisir. Manfaat dari setiap ekosistem telah dijelaskan di atas. Untuk kawasan terbangun yang diwakili dengan warna merah, sebaiknya direncanakan terletak diantara kawasan pesisir dan kawasan hutan pulau. Bebedarapa kawasan terbangun dapat diterapkan pada pesisir pantai dengan penggunaan seperti pelabuhan kapal, bongkar muat ikan, kawasan wisata, asalkan tetap mengikuti aturan dalam perencanaan kota dengan memperhatikan ekosistem sekitar.
5.4.4. Upaya Perbaikan Penataan Ruang pada Kota Pulau Setelah dilakukan analisis terhadap penutupan lahan
tahun 2009,
persebaran ruang terbuka hijau pada Pulau Batam berpencar dan tidak memiliki pola yang jelas. Selain itu juga diperoleh bahwa ruang terbuka hijau pada kawasan pesisir, memiliki luasan yang sangat kecil. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang mensyaratkan adanya ruang terbuka hijau pada kawasan pesisir agar ekosistem pulau dapat terjaga. Untuk itu penambahan ruang terbuka hijau pada kawasan pesisir sangat diperlukan.
63
Analisis penutupan lahan pada Pulau Tarakan, menunjukkan adanya hutan lindung yang masif, yang berada di tengah pulau. Selain hutan lindung, terdapat juga kawasan ruang terbuka hijau pada pesisir namun luasnya tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan penutupan ruang terbuka hijau pada Pulau Tarakan sudah mendekati kesesuaian secara teori yaitu terdapat ruang terbuka hijau pada kawasan tengah dan pesisir pulau. Akan tetapi penambahan luasan ruang terbuka hijau pada kawasan pesisir diperlukan, untuk memeperkuat kestabilan ekosistem pada pulau ini. Pulau Ternate merupakan daerah yang baru dikembangkan sehingga pada saat dilakukan analisis terhadap penutupan lahan tahun 2009, kawasan ruang terbuka hijau masih sangat luas. Pada bagian tengah pulau masih terdapat hutan lindung yang masih sangat luas, mendominasi penutupan pada pulau ini. Pada kawasan pesisir juga masih banyak ruang terbuka hijau. Secara teori, penutupan lahan pada Pulau Ternate sudah sesuai, karena adanya hutan lindung pada bagian tengah dan pesisir pulau. Untuk pengembangan kawasan perkotaan pada tahuntahun selajutnya, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap pemilihan lahan terbangun agar kestabilan ekosistem tetap terjaga.
64
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Dari hasil analisis spasial citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009, Pulau Batam didominasi oleh kawasan terbangun dengan luas 25.312,9 ha (48,7%), ruang terbuka hijau 22.870,4 ha (44%) dan badan air 3.774,6 ha (7.3%). Sedangkan Pulau Tarakan didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 12.358 ha (49%), kawasan terbangun 11.079,9 ha (43,8%) dan badan air 1.821,06 ha (7,2%). Pulau Ternate didominasi oleh kawasan ruang terbuka hijau dengan luas 9.181,4 ha (83%), kawasan terbangun 1.703,8 ha (15,3%) dan badan air 184,6 ha (1,7%). Hasil analisis spasial citra landsat tahun 2009 terhadap Pulau Batam, Tarakan dan Ternate didapat karakteristik berbeda-beda terhadap pola, penyebaran serta persentase ruang terbuka hijau pada masing-masing kota. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menetapkan rencana tata ruang nasional. Pulau Batam direncanakan sebagai kota industri, pelayanan dan jasa sehingga kawasan terbangun memiliki nilai yang paling besar dan penyebaran ruang terbuka hijau yang terpencar. Pulau Tarakan penggunaan lahan banyak digunakan sebagai kawasan tambang, namun masih memiliki hutan lindung pada bagian tengah pulau sehingga dapat menjaga ekosistem pulau ini. Selain itu juga masih terdapat hutan mangrove pada beberapa titik pantai. Pulau Ternate masih banyak terdapat ruang terbuka hijau karena merupakan daerah pengembangan baru. Pada tengah pulau terdapat Gunung Gamalama yang masih aktif, sehingga lereng yang curam perlu untuk di preservasi. Luas ruang terbuka hijau ideal pada suatu kota menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang adalah paling sedikit memiliki 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Namun untuk kota pulau, tidak hanya luasan RTH saja yang diperhatikan, namun distribusi dan polanya juga penting untuk dikaji dan diterapkan. Ruang terbuka hijau pada kawasan pesisir dan tengah pulau perlu dipertahankan untuk menjaga kestabilan lingkungan kota pulau. Fungsi ekosistem pesisir adalah sebagai sumber plasma nutfah, siklus hidrologi, penyerap limbah dan sistem penunjang kehidupan lainnya
65
di daratan. Hutan pada pulau kecil dapat memperbanyak peluang meresapnya air hujan daerah tangkapan air (water catchment area) yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk. 6.2. Saran •
Dalam menetapkan kawasan dan zona terbangun (industri, pemukiman serta jasa dan pelayanan) lebih memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau pada kota pulau karena fungsinya yang sangat besar untuk menjaga ekosistem wilayah pesisir dan mengkonservasi tata air.
•
Perlu tindakan agar konservasi dan preservasi agar ruang terbuka hijau pada kota pulau sehingga keberlanjutan kehidupan dapat tercapai.
•
Koordinasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penetapan rencana tata ruang wilayah baik pemerintah provinsi, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat sehingga ketersediaan sumberdaya yang terbatas pada kota pulau dapat dimanfaatkan secara optimal.
66
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2009. Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil [Anonim]. 2009. Pulau. http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau (4 Mei 2009) Branch, M.C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar & Penjelasan. Wibisono BH, penerjemah; Djunaedi A, editor. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: Comprehensive City Planning: Introduction & Explanation. Dahuri, R., Rais, J., dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Pramita. Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Pengembangan Sistem Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor Djais, F.H. 2004. Pendekatan Penataan Ruang Bagi Pulau Kecil; Penerapan Metode “Ultimate Environmental Threshold” Sebagai Salah Satu Masukan dalam Upaya Perencanaan dan Pengembangan Pulau Kecil. Makalah Falsafah Sains. Seklah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Hakim,D.R. 2006. Analisis Temporal dan Spasial Perubahan Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Purwakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Haris,V.I. 2006. Analisis Distribusi dan Kecukupan RTH dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh: Kasus Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Lewis, R. R.. 2009. Mangrove Action Project - Indonesia Program. Lewis Environmental Services, Inc.
67
Lillesand, Thomas, M.Kiefer, Ralf W.1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Matinahoru, J.M. 2009. Dampak Kerusakan Pada Ekosistem Hutan Pulau Kecil (Kasus Ekosistem Hutan Desa Haruku). http://www.kewang-haruku.org (7 November 2009) Maulana,A.S. 2005 . Aplikasi Sistem informasi geografis dan pengindraan jauh untuk mengidentifikasi perkembangan kawasan perkotaan (studi kasus di Kawasan puncak-cianjur). [skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Meyer, W.B., and Turner, B.L. 1994. Change in Land-use and Land-cover: a Global Perspective. Camridge Press. Cambridge.537p. Pemda Kota Batam. 2009. http://www.batamkota.go.id ( 6 Agustus 2009) Pemda Kota Tarakan. 2009. http://www.tarakankota.go.id ( 6 Agustus 2009) Pemda Kota Ternate. 2009. http://www.ternatekota.go.id ( 1 Oktober 2009) Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.Informatika. Bandung. Sekretariat Negara. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sekretariat Negara. Jakarta. Simonds, O.J. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Pub. Co. New York
.