NILAI KONSERVASI KEANEKARAGAMAN DAN ROSOT KARBON POHON PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA: STUDI KASUS PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh:
AGUS SETIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung ini merupakan gagasan saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2007
Agus Setiawan P14600009
ABSTRACT AGUS SETIAWAN. The Conservation Value and Carbon Sink of Tree Species Diversity in Green Open Space: A Case Study in Bandar Lampung Green Open Space. Under supervisory of: HADI SUKADI ALIKODRA, ANDI GUNAWAN, AND DEDY DARNAEDI Indonesian effort in in-situ conservation should be complemented by exsitu conservation. Green open space (GOS) is a potential area for ex-situ conservation, especially for the conservation of tree diversity. Considering the fact that the GOS are declining, it uses as tree species diversity conservation area has to be effective and efficient. Therefore, a valuation system that can be used to determine the value of tree species or community is required. Additionally, the function of GOS may also be improved as as a carbon sink. The objectives of the study were 1) to determine the conservation value of tree species diversity of GOS, 2) to analyze the value of GOS as carbon sink, and 3) to analyze the correlation between the tree species diversity and carbon sink. To determine the conservation value of community, a formula of conservation index (Ci) was constructed which is based on the conservation value (endemism, status, typical, and wilderness) of the species composing the community. The value ranged between 0 and 1, and was grouped into four categories, that is, low if 0 ≤ Ci ≤ 0,25, medium if 0,26 < Ci ≤ 0,50, high if 0,51 < Ci ≤ 0,75, and very high if 0,76 ≤ Ci. The measurements of the diversity used were species richness, diversity index, and index of evenness. Allometric formula (Brown 1997) was used to calculate the carbon sink in the tree The results showed that the contribution of GOS in Kota Bandar Lampung on tree conservation was low, the Ci ranged from 0,02 to 0,04. Therefore, the species found in GOS of Kota Bandar Lampung were of low priority to be protected. The contribution on carbon sink was also low. There is no correlation between carbon sink and tree diversity parameter of community. The conservation value of species or community did not correspond to the amount of carbon sink, because most of the species that store high quantity of carbon were species of low conservation value. ______________________ Key word: green open space, conservation value, Conservation Index, carbon sink
ABSTRAK AGUS SETIAWAN. Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung. Di bawah bimbingan: HADI SUKADI ALIKODRA, ANDI GUNAWAN, DAN DEDY DARNAEDI. Konservasi in-situ yang telah dilakukan Indonesia perlu dilengkapi dengan upaya konservasi ex-situ. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan lahan yang potensial untuk areal konservasi ex-situ, terutama konservasi keanekaragaman jenis pohon. Mengingat ketersediaan RTH makin terbatas, maka penggunaannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon harus dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan suatu sistem penilaian yang dapat menentukan tinggi rendahnya nilai konservasi suatu spesies atau komunitas. Selain itu, RTH juga dapat ditingkatkan fungsinya sebagai penyimpan karbon (Carbon sink). Tujuan penelitian ini adalah 1) Menetapkan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon pada ruang terbuka hijau, 2) Menganalisis nilai penyimpanan karbon (carbon sink) ruang terbuka hijau, dan 3) Mengembangkan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpan karbon bagi RTH. Untuk menentukan nilai konservasi komunitas dibuat suatu rumus indek konservasi (IK) komunitas yang didasarkan pada nilai konservasi (keendemisan, status, sifat dan keliaran) spesies penyusunnya. Nilai tersebut berkisar antara 0 s.d. 1 dan dibagi menjadi empat kategori yaitu 0 ≤ Ik ≤ 0,25 rendah, 0,26 < Ik ≤ 0,50 sedang, 0,51 < Ik ≤ 0,75 tinggi, dan 0,76 ≤ Ik sangat tinggi. Ukuran keanekaragaman yang digunakan adalah kekayaan jenis (Species Richness), indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Penentuan karbon tersimpan dilakukan dengan menggunakan rumus allometrik (Brown 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi RTH Kota Bandar Lampung dalam konservasi spesies pohon adalah rendah (Nilai IK berkisar antara 0,02 s.d. 0,04). Oleh karena itu, spesies pohon yang ditemui di areal RTH memiliki prioritas rendah untuk dilindungi. Kontribusi sebagai rosot karbon juga rendah. Antara jumlah karbon tersimpan dengan parameter keragaman pohon dalam komunitas tidak terdapat korelasi. Nilai konservasi komunitas tidak bersesuaian dengan jumlah karbon tersimpan, karena spesies yang berperan besar sebagai rosot carbon memiliki nilai konservasi rendah.
_____________________ Kata kunci: ruang terbuka hijau, nilai konservasi, Indeks Konservasi, rosot karbon
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
NILAI KONSERVASI KEANEKARAGAMAN DAN ROSOT KARBON POHON PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA: STUDI KASUS PADA RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh:
AGUS SETIAWAN
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Disertasi :
Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung
Nama
:
Agus Setiawan
NRP
:
P14600009
Derpartemen
:
Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK)
Disetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S. Ketua
Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc. Anggota
Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc. Anggota
Diketahui, 2. Ketua Departemen Ilmu Pengetahuan Kehutanan
3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Rinekso Soekmadi, M.Scf.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 14 November 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ruang terbuka hijau dengan judul Nilai Konservasi Keanekaragaman dan Rosot Karbon Pohon pada Ruang Terbuka Hijau Kota: Studi Kasus pada Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung. Untuk mendukung penulisan disertasi ini, penulis telah melakukan serangkaian penelitian yang pelaksanaannya dibantu oleh rekan penulis serta mahasiswa di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Sebagian dari hasil penelitian tersebut telah dikirim ke beberapa jurnal atau dispresentasikan dalam seminar, yaitu: 1) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung pada Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 2) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Hutan Tropika. 3) Jumlah Karbon Tersimpan dalam Tumbuhan Bawah pada Tingkat Penutupan Vegetasi Berbeda di Hutan Kota Bandar Lampung dipresentasikan dan disajikan dalam Prosiding Seminar dalam rangka Dies Natalis Universitas Lampung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S., Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc., dan Dr. Dedy Darnaedi, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran dalam penulisan disertasi ini. Selain itu, terima kasih juga sampaikan kepada Dr. Ir. M. Kamal, M.Sc., Hari Kaskoyo, S.Hut., M.Si., Ir. Setyo Widago, M.Si., Dedi Idwin, S.Hut., Mega Rita Utami, S.Hut., Nivia Adriani, S.Hut., Juita Siringoringo, S.Hut., Bambang Irawan, S.Hut., Wisnu Bayu Aji, S.Hut., Wiwit Rahmawati, S.Hut., dan Rohani, S.Hut. atas bantuannya dalam pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Supriamana (Alm), Ibunda Kartimi, istri dan anak-anak atas doa dan kasih sayangnya, serta semua pihak yang mendukung penulis hingga selesainya penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.
Bogor, Januari 2007
Agus Setiawan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus 1959 dari ayah Supriamana (Almarhum) dan ibu Kartimi. Penulis merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara se ayah, sedangkan dari ibu merupakan anak ke empat dari enam bersaudara. Pendidikan
sarjana
diselesaikan
penulis
di
Jurusan
Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1985.
Pada tahun 1997, setelah melalui program Prapascasarjana, penulis
diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan dukungan beasiswa BPPS dan menamatkannya pada tahun 2000. Pada tahun 2000 juga penulis diterima untuk melanjutkan program doktor dengan dukungan beasiswa BPPS pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dan memulai pendidikan pada Semester Genap 2000/2001. Setelah lulus dari program sarjana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 1985, mulai tahun 1986 penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Pertanian Unila. Bersama dengan dua orang rekannya, penulis merintis pendirian Program Studi Manajemen Hutan pada Fakultas Pertanian Unila yang terealisir mulai tahun 1996. Saat ini program studi tersebut telah berkembang menjadi Jurusan Manajemen Hutan. Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilan karya tulis Tinjauan terhadap Pembangunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia yang dimuat dalam Media Konservasi Volume VII/Nomor 2, Juni 2001 dan Kewenangan Pengelolaan Kawasan Konservasi: Tinjauan terhadap Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dimuat dalam Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan Vol. 2 No. 2 Mei 2003. Karya ilmiah lain yang telah selesai disusun dan telah diterbitkan adalah: 4) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung pada Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung telah diterbitkan Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.XII No. 1: 1-13. 5) Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung telah diterbitkan pada Jurnal Hutan Tropika Vol 1 No.1. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis dan sebagian ditulis bersama pembimbing, rekan sejawat, dan mahasiswanya.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv
I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2 Tujuan ........................................................................................
3
1.3 Manfaat ......................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
4
2.1 Ruang Terbuka Hijau .................................................................
4
2.1.1 Batasan dan pengertian ..................................................
4
2.1.2 Fungsi Ruang Terbuka Hijau ...........................................
5
2.1.3 Penggolongan Ruang Terbuka Hijau ...............................
7
2.1.4 Manajemen Ruang Terbuka Hijau ...................................
9
2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati ................................
11
2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati ....
11
2.2.2 Konservasi Ex-situ ..........................................................
12
2.3 Penyimpanan Karbon dalam Pohon ..........................................
15
2.4 Metoda Pendugaan Rosot Karbon .............................................
18
III. METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................
20
3.1 Lokasi Penelitian .............................................................
20
3.2 Kerangka Penelitian .........................................................
21
3.3 Lingkup dan Batasan Penelitian .......................................
22
3.3.1 Lingkup Penelitian ..........................................................
22
3.3.2 Batasan Penelitian .....................................................
22
3.4
Penentuan Nilai Konservasi Komunitas .....................................
25
3.5
Data yang Dikumpulkan dan Metoda Pengumpulan dan Pengolahannya .........................................................................
31
3.5.1
Populasi dan Contoh Penelitian .....................................
32
3.5.2
Teknik Inventarisasi Pohon ...........................................
33
Pengolahan dan Analisis Data .................................................
34
3.6.1
Penghitungan Parameter Keanekaragaman .................
34
3.6.2
Penghitungan Rosot Karbon ..........................................
35
3.6
IV. ANALISIS SITUASI KOTA BANDAR LAMPUNG .....................
37
4.1
Kondisi Fisik ..............................................................................
37
4.2
Kondisi Sosial Ekonomi ............................................................
37
4.3
Kondisi Umum RTH ..................................................................
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
43
5.1
5.2
5.3
5.4
Keragaman Jenis Pohon ..........................................................
43
5.1.1 Hutan Kota ......................................................................
43
5.1.2 Jalur Hijau .......................................................................
52
Nilai Konservasi Komunitas RTH Kota Bandar Lampung .........
65
5.2.1 Hutan Kota .......................................................................
65
5.2.2 Jalur Hijau .......................................................................
69
Peran RTH kota Bandar Lampung sebagai Rosot Karbon.........
78
5.3.1 Hutan Kota ......................................................................
78
5.4.2 Jalur Hijau .......................................................................
84
Hubungan Keragaman Jenis Pohon dengan Jumlah Rosot Karbon ......................................................................................
5.5
91
Optimalisasi RTH sebagai Sarana Konservasi Jenis Pohon dan Rosot Karbon ............................................................................
93
5.5.1 Penentuan dan Penetapan RTH .....................................
93
5.5.2 Nilai Konservasi RTH .......................................................
94
5.5.3 Hubungan Nilai Konservasi dengan Rosot Karbon ........
96
5.5.4 Perluasan Manfaat RTH ..................................................
100
5.5.5 Pemilihan Jenis Pohon ....................................................
102
VI. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
110
6.1
Simpulan ...................................................................................
110
6.2
Saran ........................................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
112
LAMPIRAN .........................................................................................
117
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Uraian
Halaman
Hubungan allometrik untuk menentukan biomasa berdasarkan diameter pohon (untuk diameter >5 cm) ...........
19
2.
Jenis-jenis pohon dilindungi di Indonesia ..............................
28
3.
Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung ....................................................................
45
Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya .........................................................................
46
Keliaran, manfaat, dan indeks nilai penting (INP) masingmasing spesies yang ditemukan di hutan kota berbentuk area Kota Bandar Lampung.............................................................
48
Pengelompokan jenis pohon RTH hutan kota Kota Bandar Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya ...........
50
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung..................................................................................
50
Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung .................................................................................
53
Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya
54
Pengelompokan jenis pohon RTH jalur hijau jalan kota Kota Bandar Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya
55
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau jalan Bandar Lampung ..........................
56
Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung .................................................................................
57
Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya ..........................................................................
58
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung .......................
59
Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung .................................................................................
60
4.
5.
6. 7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
14. 15.
16.
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung.........................
60
Jenis-jenis pohon yang ditemui di berbagai jalur hijau Kota Bandar Lampung .....................................................................
62
18.
Indeks similaritas antar komunitas jalur hijau ..........................
63
19.
Indeks struktur komunitas pohon masing-masing vegetasi jalur hijau ................................................................................
63
Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada ruang terbuka hijau berbentuk area di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi...............................................................
66
Nilai konservasi masing-masing komunitas RTH berbentuk area di Kota Bandar Lampung .................................................
68
Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi
69
Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung ........................................................
71
17.
20.
21. 22. 23.
24.
25. 26.
27. 28. 29.
30. 31. 32. 33.
Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi .............................................................................. Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung .......................................................
74
Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi ..............................................................................
75
Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung .......................................................
76
Jumlah rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah di beberapa hutan kota pada penutupan tajuk yang berbeda
80
Jumlah total (pohon + tumbuhan bawah) rosot karbon pada vegetasi hutan kota di Kota bandar Lampung pada penutupan tajuk yang berbeda ................................................................
80
Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung ........................................................
85
Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung ..................
86
Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung .......................................................
87
Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung ...............
88
73
34. 35. 36. 37. 38. 39.
40.
Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung ...........................................................
89
Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung ...............
89
Karbon total dan rata-rata tersimpan di jalur hijau Kota Bandar Lampung ................................................................................
90
Jumlah karbon tersimpan dan nilai konservasi masing-masing spesies pohon pada vegetasi rapat .......................................
98
Spesies endemis Sumatera yang secara individu berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak ..............................
104
Dimensi spesies pohon bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak berdasarkan hasil pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor ..............
106
Kesesuaian berbagai spesies bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak dengan berbagai RTH Kota Bandar Lampung ...................................
108
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Uraian
Halaman
1
Peta lokasi penelitian ...........................................................
20
2
Kerangka penelitian nilai konservasi keanekaragaman dan rosot karbon pohon pohon pada ruang terbuka hijau ..........
23
3.
Peta lokasi pengambilan sampel RTH..................................
24
4.
Jalur berpetak untuk inventarisasi jenis-jenis pohon RTH berbentuk area ....................................................................
33
Grafik pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung dalam 3 dekade terakhir ......................................................
38
Distribusi jumlah penduduk Kota Bandar Lampung berdasarkan mata pencaharian ..........................................
38
Distribusi luas RTH dan Non RTH (% dari luas kota) pada masing-masing kecamatan di Kota Bandar Lampung (Sumber : BPN Kota Bandar Lampung 2003/2004 dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung 2003/2004, data diolah) ......................................................
40
Gambaran kondisi vegetasi RTH yang dijadikan sampel penelitian ............................................................................
44
Perubahan kandungan rosot karbon dalam vegetasi dengan berubahnya penutupan tajuk .............................................
81
Grafik hubungan antara kelas umur (diameter batang) dengan jumlah pohon di hutan kota Bandar Lampung dan vegetasi pembanding di areal HPH ....................................
84
Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks keragaman (H) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar Lampung ...............................................................................
91
Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks kekayaan (R) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar Lampung . ...........................................................................
92
Penggolongan manfaat potensial ruang terbuka hijau (Dimodifikasi dari Munasinghe 1994) ..................................
101
Diagram perbandingan pohon besar dan phon kecil. Diagram menunjukkan pohon kecil kurang sesuai untuk digunakan di jalur hijau jalan karena menghalangi pandangan (Sumber: Arnold 1980) .....................................
105
Sketsa bentuk arsitektur pohon bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak berdasarkan hasil pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor . ........................................................................
107
5. 6. 7.
8. 9. 10.
11.
12.
13. 14.
15.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Uraian
Halaman
Data Kondisi Umum Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung ..................................................................
112
2.
Daftar Jenis Pohon Endemik Sumatera ..............................
116
3.
Penentuan Nilai Bobot Kepentingan Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran Spesies sebagai Penentu Nilai Konservasi ...........................................................................
120
Penghitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau ......................................................................
123
Nilai Konservasi Masing-masing Spesies Pohon yang Terinventarisir dari Berbagai Areal RTH Kota Bandar Lampung ...............................................................................
141
Perhitungan Nilai Konservasi Masing-masing Komunitas RTH .....................................................................................
144
Indeks Bilai Penting dan Jumlah Rosot Karbon pada Masingmasing Spesies Pohon .........................................................
159
4. 5.
6. 7.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk tumbuhan berhabitus pohon. Berkaitan dengan distribusi pusat keanekaragaman tumbuhan, dari 12 pusat keanekaragaman tumbuhan (Pusat Vavilov), salah satunya adalah Pusat Indo-Melayu dengan Indonesia sebagai unsur terbesar (KLH dan KONPHALINDO 1994). Walaupun wilayah Indonesia hanya mencakup 1,3% dari wilayah daratan dunia, tetapi memiliki 17% dari jumlah spesies tumbuhan yang terdapat di seluruh dunia.
Indonesia memiliki lebih dari 400 spesies
Dipterocarpaceae (jenis kayu yang bernilai paling tinggi di Asia Tenggara), dan diperkirakan terdapat sekitar 25.000 spesies tumbuhan berbunga (BAPPENAS 1993). Akan tetapi, tekanan antropogenik yang meliputi pertumbuhan penduduk, pencemaran udara, perubahan iklim, modifikasi habitat, dan fragmentasi ekosistem akibat pembukaan lahan terus menekan kehidupan dan keberadaan spesies sehingga keanekaragaman hayati semakin menurun. Untuk mencegah atau mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati, berbagai upaya konservasi telah dilakukan, antara lain melalui perlindungan spesies dan ekosistem. Secara kuantitatif, upaya Indonesia dalam melakukan konservasi sumberdaya hayati telah nyata, khususnya konservasi in-situ. Sampai dengan tahun 2000 Indonesia telah menetapkan 385 unit kawasan dilindungi (protected area) yang mencakup 22.560.545 ha (Setiawan dan Alikodra 2001).
Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan Suhirman (1999),
perlindungan in-situ saja tidak cukup, diperlukan upaya-upaya konservasi ex-situ yang mengarah pada pemahaman dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati tersebut bagi kesejahteraan umat manusia secara langsung. Salah satu lahan yang potensial untuk areal konservasi ex-situ adalah ruang terbuka hijau (RTH). Apabila lahan RTH ini dapat digunakan sebagai sarana konservasi ex-situ, maka diharapkan bahwa RTH kota tersebut tidak hanya hijau tetapi juga bernilai konservasi. Mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau makin terbatas, maka penggunaannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon harus dilakukan secara efektif dan efisien, yaitu dengan memelihara dan mengembangkan spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Untuk itu diperlukan
1
suatu cara penilaian yang dapat menentukan tinggi rendahnya nilai konservasi suatu spesies atau komunitas. Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah ruang-ruang dalam kota, baik dalam bentuk area (pitch) atau kawasan maupun dalam bentuk memanjang atau jalur (corridor) yang pada dasarnya tanpa bangunan, serta bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan, baik secara alamiah maupun budidaya/binaan (Depdagri 1988). Ruang terbuka hijau sebagai komunitas tumbuhan merupakan salah satu bentuk penyimpan sumberdaya hayati yang potensial sebagai areal konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pelestarian keanekaragaman spesies pohon. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, konversi lahan untuk berbagai kepentingan, industri, dan penggunaan energi juga semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan emisi gas CO2 ke udara semakin meningkat. Aktivitas manusia yang menyebabkan emisi gas CO2 ke udara meliputi pambakaran bahan bakar fosil dan material karbon lainnya, fermentasi senyawa organik seperti gula dan pernapasan manusia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (MoE 1999) dalam tahun 1994 emisi gas CO2 ke udara akibat kegiatan industri mencapai 19.120 Gg (19.120.000 ton), penggunaan energi 373.608 Gg (373.608.000 ton), dan alih guna lahan 559.471 Gg (559.471.000 ton). Data tersebut menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memberikan kontribusi terbesar dalam memberikan emisi CO2 ke udara. Menjadikan dan mempertahankan RTH dalam bentuk vegetasi hutan akan memberikan kontribusi terhadap pengurangan kandungan CO2 di udara dengan menyerap CO2 dari udara dan menyimpannya sebagai karbon dalam jaringan tumbuhan. Dengan demikian diharapkan RTH kota tidak hanya hijau, tetapi memiliki keanekaragaman jenis pohon tinggi, bernilai konservasi dan berfungsi sebagai rosot karbon. Menurut Odum (1993), eksistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produktif, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna, dan ruang sistem industri perkotaan.
Untuk mengimplementasikan konsep ruang tersebut diperlukan
prosedur zonasi lansekap dan pembatasan penggunaan sebagai lahan. Dalam konsep tersebut, ruang terbuka hijau merupakan ruang sistem perlindungan. Sampai dengan tahun 2004 Kota Bandar Lampung mengalokasikan ruang terbuka hijau yang relatif luas, yaitu 12.615 ha atau 64,91% dari luas wilayah Kota Bandar Lampung (Pemerintah Kotamadya Dati II Bandar Lampung 1997).
2
Akan tetapi, Aji (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan Kota Bandar Lampung telah menyebabkan terjadinya konversi RTH yang mengancam kelestariannya. Selain itu, dari 12.615 ha lahan yang dialokasikan sebagai RTH, 79,21%
di
antaranya berupa pekarangan, sawah, kebun, ladang, dan lahan milik lain yang sewaktu-waktu dapat dikonversi oleh pemiliknya untuk penggunaan lain. Akibatnya keanekaragaman jenis pohon dan jumlah rosot karbon di perkotaan akan semakin menurun. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan perkotaan menyebabkan emisi gas CO2 ke udara semakin meningkat sehingga peran ruang terbuka hijau sebagai rosot karbon semakin diperlukan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1) Memformulasikan nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon pada ruang terbuka hijau. 2) Menganalisis rosot karbon (carbon sink) ruang terbuka hijau kota, 3) Menganalisis hubungan antara nilai konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan rosot karbon. 1.3 Manfaat 1) Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengelolaan sumberdaya, khususnya pengintegrasian kegiatan konservasi sumberdaya hayati ke dalam pembangunan RTH serta penggunaan indeks konservasi (Ik) dalam penentuan nilai konservasi spesies dan komunitas. 2) Bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam pembangunan dan pengelolaan RTH yang memenuhi prinsip-prinsip keserbagunaan fungsi, khususnya peran RTH bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon. 3) Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan RTH yang memenuhi prinsipprinsip keserbagunaan fungsi RTH.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau 2.1.1 Batasan dan Pengertian Berbagai negara atau kota menggunakan istilah ruang terbuka hijau (RTH) secara berbeda-beda.
Dalam berbagai literatur, pengertian RTH tidak
dibedakan dari ruang terbuka (open space), sehingga cakupannya luas, tetapi mencakup juga RTH yang dicirikan oleh adanya vegetasi. Dalam tulisannya, Cervera (1999) mendefinisikan ruang terbuka sebagai suatu ruang terbuka (di luar ruangan) di daerah metropolitan–mencakup padang rumput dan taman, juga tanah kosong yang tidak berpagar dan daerah yang berbatasan dengan perairan—yang bebas dipilih dan digunakan untuk kegiatan spontan, pergerakan, atau explorasi visual oleh banyak penduduk kota. Definisi tersebut mencakup RTH, yaitu padang rumput. Definisi ruang terbuka yang dikemukakan Tri-County Regional Planning Commission (1972) lahan pertanian, lahan hutan, dan kuburan. Menurut van Dijk (2005) RTH (areal hijau) adalah semua ruang yang terlihat hijau, mencakup lahan yang digunakan untuk pertanian dan habitat yang bersifat alami. Menurut Depdagri (1988), RTH wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Definisi tersebut sama persis dengan definisi dalam
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan (RTRWP).
Penciri utama RTH adalah adanya
tumbuhan atau vegetasi. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), RTH kota adalah bagian dari ruangruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi
4
menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah. 2.1.2
Fungsi Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau merupakan bagian yang sangat penting bagi
lingkungan perkotaan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), RTH kota memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. Menurut Kane (1997), secara ekologis
RTH dapat berfungsi sebagai
habitat yang menyediakan makanan, tempat berlindung, dan ruang bagi berbagai spesies untuk bereproduksi. Selain itu, juga berperan sebagai penyaring polusi, pencegah erosi, peresap air ke dalam tanah, dan pengendali banjir (TPL 2002; COA 2000; Kane 1997).
Ruang terbuka hijau juga dapat berfungsi sebagai
habitat bagi vegetasi dan satwa liar setempat dan sebagai tempat pengungsian satwa dari tekanan penduduk kota (COA 2000). Ruang terbuka hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota, secara fisik harus merupakan satu bentuk RTH yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat hidupan liar (Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB 2005). Ruang terbuka dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan (White 1988). dengan
baik
dapat
Menurut TPL (2002) ruang terbuka yang dikelola
meningkatkan
kualitas
hidup
dengan
menyediakan
pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan. 5
Babcock at al. (1999) menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari elemenelemen RTH (garis, bentuk, warna, dan tekstur) mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa ruang terbuka akan memberikan nilai estetik. Rubinstein (1997) menjelaskan bahwa ruang terbuka sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas ruang terbuka yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seseorang dapat memancing, berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan rohaninya.
Lebih lanjut
Rubeinstein (1997) mengemukakan bahwa secara physiologis ruang terbuka bermanfaat karena dapat mengurangi stress, kegugupan (arousal), dan kegelisahan.
Sementara secara psykologis, ruang tebuka merupakan tempat
yang dapat digunakan sebagai “psychological escape”
atau memberikan
peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok.
Ruang terbuka juga dapat digunakan sebagai sarana
untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga. Ruang terbuka hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan. Babcock et al. (1999) menyatakan bahwa menghitung nilai ekonomi RTH merupakan hal yang tidak mudah karena RTH memiliki nilai manfaat yang lebih banyak dibanding dengan barang lainnya. Ruang terbuka hijau menyediakan kesempatan untuk menikmati keadaan alam sambil berekreasi dalam keadaan alami yang jarang ditemui di kota besar (Kane 1997; White 1988). Kane (1997) mengemukakan bahwa manfaat ekologis RTH tidak dapat dipisahkan dengan manfaat sosial ekonomi. Rantai makanan pada perairan yang sehat berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti rekreasi, memancing, atau industri pariwisata. Miller (1997) mengemukakan, RTH menyediakan berbagai fungsi yang penting bagi kegiatan ekonomi. bersifat alami.
Manfaat ekonomi tersebut merupakan modal yang
Kebanyakan dari manfaat tersebut, seperti air tanah, atau
pemandangan bersifat milik publik.
Semua anggota komunitas memiliki
kesempatan untuk memanfaatkannya secara merata. Ruang terbuka hijau dapat meningkatkan estetika dan kondisi fisik lingkungan perkotaan (White 1988). dengan
baik
dapat
meningkatkan
Menurut TPL (2002) RTH yang dikelola kualitas
hidup
dengan
menyediakan
6
pemandangan yang bagus dan kesempatan rekreasi yang menyenangkan. Babcock at al. (1999) menyatakan bahwa kontribusi nilai estetik dari elemenelemen RTH (garis, bentuk, warna, dan tekstur) mempengaruhi kualitas emosi dan pertimbangan estetik seseorang. Dari uraian tersebut, jelas bahwa RTH akan memberikan nilai estetik.
Rubinstein (1997) menjelaskan bahwa RTH
sangat bermanfaat karena dapat memenuhi kebutuhan emosional atau rekreasi setiap individu. Perbedaannya terletak pada berapa luas RTH yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Seseorang dapat memancing,
berburu, mendaki gunung, atau berarung jeram karena rekreasi tersebut dapat memenuhi
kebutuhan
rohaninya.
Lebih
lanjut
Rubeinstein
(1997)
mengemukakan bahwa secara physiologis RTH bermanfaat karena dapat mengurangi stress, kegugupan (arousal), dan kegelisahan. Sementara secara psykologis, ruang tebuka merupakan tempat yang dapat digunakan sebagai “psychological escape” atau memberikan peluang untuk berfikir dalam kondisi tanpa tekanan, baik secara individual maupun berkelompok.
Ruang terbuka
hijau dapat dijadikan tempat untuk bertafakur, menyepi atau menyendiri. Kesunyian tersebut dapat digunakan untuk menemukan atau mengeksplorasi identitas sosial atau pribadi yang bersangkutan. Ruang terbuka hijau juga dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi sosial, baik antar anggota keluarga, teman sejawat, atau tetangga. 2.1.3 Penggolongan Ruang Terbuka Hijau White (1988) membagi RTH kedalam tiga kelompok, yaitu: a) Areal yang ditetapkan dan dirancang bangun untuk digunakan oleh publik. Areal tersebut meliputi taman, termasuk kuburan dan lapangan golf. b) Areal yang ditetapkan untuk dibiarkan
alami: areal tersebut dicirikan oleh
kondisi yang relatif liar (wilderness) tetapi di dalamnya dibangun fasilitas untuk pengunjung, fasilitas rekreasi, areal piknik, dan jalan setapak (trail). c) Areal yang kondisinya masih alami dan peruntukannya belum ditetapkan. Bagian Perencanaan Kota Tucson (Tucson Planning Department 1993) mengelompokan RTH menjadi RTH yang mengelompok (cluster green open space); RTH umum (common green open space), dapat berupa RTH fungsional (functional open space) atau RTH alami (natural green open space); RTH berbentuk sistem atau jaringan (green open space system), dan RTH publik (public green open space). 7
1) Cluster Green Open Space: RTH, baik alami maupun fungsional, disediakan untuk mengkompensasi pengurangan RTH sehingga dapat memenuhi kebutuhan minimum RTH atau untuk mengimbangi peningkatan kepadatan penduduk. 2) Common Green Open Space: lahan dalam suatu areal permukiman yang tidak dimiliki seseorang atau didedikasikan untuk penggunaan publik, dirancang dan diperuntukkan untuk penggunaan oleh umum atau untuk kesenangan penduduk di sekitar permukiman. Common green open space dapat berupa natural green open space atau functional green open space. 3) Green Open Space System: suatu jaringan komprehensif yang mencakup taman atau daerah perlindungan yang telah ada dan direncanakan, meliputi taman di pinggir sungai, habitat dataran banjir dan satwa liar yang dilindungi. 4) Public Green Open Space: RTH yang dimiliki oleh lembaga publik, misalnya City of Tucson Department of Parks and Recreation atau Dinas Pertamanan, dan dikelola oleh lembaga tersebut untuk digunakan bagi kesenangan publik. Di Kota Carson (America Serikat) RTH terutama diperuntukkan bagi perlindungan lansekap alami dan mengakomodasi berbagai macam rekreasi pasif seperti hiking, berlari, bersepeda atau berkuda.
Lahan tersebut tidak
diperuntukkan bagi rekreasi aktif yang diperlengkapi dengan taman, peralatan permainan, baseball, lapangan bola, atau kolam renang.
Akan tetapi, dalam
kondisi tertentu, areal tersebut dapat dilengkapi dengan fasilitas seperlunya, misalnya jalan setapak dan areal fasilitas piknik, fasilitas interpretasi, tempat istirahat, dan tempat parkir (CCN 2003). Karakter dan kenyamanan kota banyak dipengaruhi oleh keadaan dan susunan RTH. Menurut Simonds (1983), RTH dapat berupa: a) Waterfront (pantai, tepi danau atau tepi sungai), b) Blueways (sungai, selokan, dan dataran banjir), c) Greenways (jalan umum, jalan taman, koridor jalan, jalur pejalan kaki, jalur lari, dan jalur sepeda), d) Taman kota dan areal rekreasi, e) Ruang terbuka hijau lainnya: hutan kota, kebun, dan persemaian di tengah kota.
Idealnya, RTH satu sama lain saling berhubungan sehingga membentuk bingkai hijau di dalam dan di sekitar kota.
8
Sesuai
dengan
RTRW
DKI
Jakarta
2000-2010,
Kota
Jakarta
mengelompokkan RTH menjadi kawasan hijau binaan dan kawasan hijau lindung. Dalam perencanaanya, kawasan hijau lindung tidak dikembangkan dan tetap dipertahankan keberadaannya yang terdiri dari Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Hutan Wisata. Ruang terbuka hijau binaan, dimanfaatkan untuk fasilitas umum rekreasi dan atau olahraga, taman, kebun hortikultur, hutan kota, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, termasuk bangunan pelengkap dan atau kelengkapannya (NKLD Jakarta 2002). 2.1.4 Manajemen Ruang Terbuka Hijau Komite
Menteri-menteri
Eropa
(Council
of
Europe
1986)
dalam
rekomendasinya tentang RTH perkotaan menyatakan bahwa manajemen RTH perkotaan
menyangkut
penentuan
lokasi,
perancangan
dan
organisasi
pengelolaan RTH; pengendalian dan pemeliharaan; dan pengembangan. Proses-proses tersebut terpisah tetapi satu sama lain saling terkait, memerlukan berbagai keahlian dan disiplin ilmu. Lebih lanjut Komite Menteri-menteri Eropa menyatakan bahwa mengelola RTH pada dasarnya pekerjaan mengelola berbagai konflik.
Konflik-konflik tersebut sebaiknya diselesaikan pada tahap
perancangan dan pengorganisasian, usaha-usaha harus difokuskan untuk menghindari munculnya konflik kepentingan.
Disain yang baik adalah disain
yang memungkinkan berbagai aktivitas berlangsung secara simultan dengan rintangan sekecil mungkin dan memungkinkan terbukanya kesempatan bagi kegiatan atau ekspresi baru. Perencanaan RTH harus dikonsep sedemikian rupa untuk
mengantisipasi
kebutuhan
masa
depan
dari
berbagai
kelompok
kepentingan agar dapat saling berbagi ruang dengan baik. Oleh karena itu, nilai RTH hendaknya tidak ditentukan semata-mata berdasarkan model dan fungsi saat ini, tetapi harus mencakup kapasitas keseluruhan dalam kerangka kegiatan yang dapat berubah menurut waktu dan penggunaan. Perencanaan RTH harus berwawasan jauh ke masa depan. Selanjutnya, Komite Menteri-Menteri Eropa menyarankan agar pemerintah anggota komite tersebut mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar penetapan, penyediaan, dan manajemen RTH menjadi bagian yang integral dari pembangunan kota dan terutama untuk: a) Menjamin bahwa RTH cukup aman dan terlindungi; 9
b) Memacu penyediaan RTH dan menjamin bahwa penyediaan tersebut mencerminkan kebutuhan nyata penduduk, memperhatikan karakter kota saat ini, menggunakan seluruh potensi sumberdaya yang tersedia, meningkatkan kohesi sosial, dan dihasilkan dari dialog dan koordinasi dengan seluruh ahli, pemerintah, dan lembaga yang relevan; dan c) Mengelola dan mengembangkan RTH melalui identifikasi dan resolusi konflik, pencapaian dan kreasi aksessibilitas dan daya tarik serta memacu tingkat penggunaan yang layak. Lebih lanjut ditekankan bahwa manajemen RTH harus didasarkan pada beberapa pendekatan, terutama: 1) koordinasi dengan kebijakan nasional, 2) memperhatikan perananan pemerintah setempat (kota), 3) sejauh mungkin memacu keterlibatan komunitas dan lingkungan setempat, 4) memacu inisiatif sektor-sektor swasta dan lembaga terkait; 5) menekankan pada kepentingan pendidikan dan informasi jangka panjang. Di Indonesia, pengelolaan RTH diatur berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan ayng menginstruksikan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia untuk antara lain: 1) merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan penataan RTH di wilayah perkotaan dan 2) Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian dalam rangka meningkatkan fungsi dan peranan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan melarang atau membatasi perubahan penggunaannya untuk kepentingan lain.
Manajemen RTH, yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, dan pengendalian merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Walapun demikian, ketersediaan pengembangan RTH masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Menurut Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian–IPB (2005), empat masalah utama ketersediaan dan kelestarian RTH adalah 1) Ketersediaan RTH kota tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selan-jutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan). 2) Lemahnya lembaga pengelola RTH yang dicirikan oleh belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat, belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH, belum jelasnya bentuk kelembagaan
10
pengelola RTH, dan belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas 3) Lemahnya peran stake holders, lemahnya persepsi masyarakat, dan lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah 4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH akibat belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional. 2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati 2.2.1 Pengertian Konservasi Keanekaragaman Hayati Pengertian umum konservasi, menurut World Conservation Strategy (IUCN 1980), adalah manajemen penggunaan biospher oleh manusia yang menjamin pemanfaatan maksimum secara lestari bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensi pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang.
Dalam The Encyclopedia Americana (American
Corporation 1980) konservasi didefinisikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Tujuan utama kegiatan konservasi adalah keberlangsungan manusia, yang kebutuhan makan dan bahan baku lainnya sangat tergantung pada sumberdaya alam.
Konservasi merupakan kegiatan
positif yang meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan sumberdaya lingkungan (IUCN 1980).
Mengacu
pada pengertian umum di atas maka konservasi sumberdaya hayati adalah pengelolaan (meliputi pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan secara lestari, pemulihan, dan peningkatan kualitas) tumbuhan yang menjamin pemanfaatan secara maksimum bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Sumberdaya genetik dan habitat yang mendukungnya merupakan aset ekonomi dan politik yang paling penting.
Sumberdaya ini tergantung pada
keragaman genetik yang sangat besar yang terkandung, baik di dalam maupun di antara populasi organisme hidup. pendukungnya,
kehidupan
manusia
Tanpa mereka dan habitat penting tidak
akan
berlangsung
lama
dan
masyarakat modern seperti yang ada sekarang tidak akan ada. Sumberdaya genetik merupakan sumberdaya terbarui. Sumberdaya genetik tidak akan punah jika landasan fisik, geokimia, atau biologis yang mendukung keberlangsungannya tidak hancur. Sebaliknya, sumberdaya tak terbarui menyediakan produk dalam
11
jumlah yang tetap atau terbatas, oleh karena itu dalam jangka panjang akan punah (Olfield 1989). Menurut Olfield (1989) konservasi tidak berarti bahwa segala sesuatu harus dalam keadaan asli (murni) atau setiap spesies atau setiap bentuk sumberdaya genetik harus diawetkan selamanya. Lebih lanjut Olfield (1989) menyatakan bahwa, pada prinsipnya konservasi sumberdaya hayati dapat dilakukan dengan dua strategi, yaitu: konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Konservasi in-situ adalah metode konservasi yang mengusahakan untuk melindungi
integritas
genetik
dari
suatu
sumberdaya
genetik
dengan
mengkonservasinya di dalam evolusi ekosistem yang bersifat dinamis dari habitat asli atau lingkungan alaminya. Menurut Possiel, Saunier and Meganck (1995) metode in-situ dikenal sebagai metode yang lebih menjamin dan efisien. Akan tetapi, konservasi in-situ yang dilaksanakan secara alami bukan tanpa risiko.
Shaffer (1981) telah
mengemukakan empat risiko alami yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Ketidakpastian demografis sebagai akibat kejadian acak dalam hal kemampuan hidup (survival) dan reproduksi individu; (2) Ketidakpastian lingkungan sebagai akibat ketidakpastian perubahan cuaca, pasokan makanan,
persaingan,
predator, dan parasit; (3) Bencana alam, seperti banjir, kebakaran, atau kekeringan yang dapat muncul secara acak; dan (4) Ketidakpastian genetik atau perubahan genetik yang dapat disebabkan oleh penyimpangan genetik atau inbreeding yang dapat mengubah kemampuan hidup dan probabilitas reproduksi individu. Ketidakpastian
yang
paling
besar
justru
bersifat
anthropogenic.
Pengurangan dan perusakan habitat akibat pembangunan permukiman dan kegiatan pembangunan lainnya merupakan faktor penting penyebab menurunnya keanekaragaman hayati. Ketidakpastian ini hanya dapat diatasi dengan program konservasi yang komprehensif, termasuk konservasi ex-situ (Possiel
et. al.
1995). 2.2.2 Konservasi Ex-situ Konservasi ex-situ (off site conservation) adalah metode konservasi yang memerlukan pengambilan sumberdaya genetik (biji, benangsari, sperma, atau individu) dari habitat aslinya atau lingkungan alami. Memelihara komponenkomponen kenekaragaman hayati hidup di luar habitat aslinya atau lingkungan 12
alaminya. Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, pengawetan jenis tumbuhan secara exsitu dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan untuk menghindari
bahaya
kepunahan.
Metoda
konservasi
ex-situ
meliputi
pembangunan kebun raya, arboretum, sumber gen, sumber benih, anakan/bibit dengan pertumbuhan lambat dan sumber gen invitro (Chin 1993; ITTO 2000: Subiakto 2005).
Ketika ancaman dihadapi tumbuhan hidup begitu banyak,
konservasi ex-situ menjadi lebih penting sebagai pendukung dan kadang-kadang sebagai pengganti alam liar (reintroduction). Biji beberapa jenis tanaman tropika seperti Dipterocarpaceae tidak dapat disimpan lama, sehingga sumber gen seperti kebun raya dan arboretum merupakan metoda yang tepat (Subiakto 2005). Bagi Indonesia, konservasi ex-situ merupakan hal yang sangat penting mengingat Indonesia mengalami kondisi paradoks negara megabiodiversity yaitu: (1) Indonesia sangat kaya flora dan termasuk salah satu pusat keanekaragaman hayati, tetapi masyarakatnya masih miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya flora, Indonesia masih mengimpor dari negara lain, (2) pembabatan hutan berlangsung terus dan sangat ekstensif, tidak sebanding dengan upaya konsrvasi ex-situ, sehingga kehilangan genetik flora berlangsung cepat, dan (3) Indonesia memiliki/menetapkan 348 kawasan dilindungi (protected area), sementara perhatian terhadap upaya konservasi ex-situ masih sangat rendah (Suhirman 1999).
Upaya konservasi ex-situ di Indonesia telah dilaksanakan
dengan membangun kebun raya (Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali), arboretum (Bogor, Jasinga, Carita), plot permanen, sumber benih, dan penyimpanan biji (Subiakto 2005).
Lebih lanjut Subiakto (2005) menjelaskan
bahwa arboretum akan sangat bermanfaat dalam menyediakan material genetik untuk program seleksi dan seleksi pembiakan. Akan tetapi peran arboretum yang ada tersebut masih belum berfungsi dengan baik karena tidak dirancang untuk menyimpan keragaman genetik yang tinggi. Di sisi lain, Kebun raya dan arboretum dapat digunakan untuk kepentingan lain, seperti sebagai sumber bibit, kegiatan penelitian, pendidikan, dan rekreasi. Dalam pembangunan kebun raya atau arboretum Botanical Garden Conservation Secretariat (BGCS 1989) menyarankan agar konservasi tumbuhan diprioritaskan pada: a) Spesies liar yang, meliputi:
13
1) Spesies langka dan terancam punah, baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun gobal, 2) Spesies yang secara ekonomis penting, 3) Spesies yang diperlukan bagi pemulihan atau rehabilitasi ekosistem, 4) Spesies kunci, yaitu spesies yang diketahui sangat penting sebagai pemelihara dan stabilisasi ekosistem, 5) Spesies yang secara taksonomis terisolasi sehingga ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, kehilangannya akan berdampak serius. b) Spesies budidaya, meliputi: 1) Kultivar primitif, dan 2) Tumbuhan yang semi-domestik. Secara teori, semakin kecil suatu marga atau family, semakin besar kesenjangan antar suku tersebut dengan suku terdekatnya, sehingga makin berbeda pula kelompok spesies tersebut dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satu-satunya wakil dalam family tersebut (monotipyc) harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang merupakan bukan satu-satunya atau spesies politipyc (MacKinnon et al, 1993). Menurut Subiakto (2005) spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi adalah spesies yang bernilai komersial tinggi, telah digunakan dalam program penanaman, terancam punah, dan atau memiliki peran ekologis penting. Selain itu, beberapa spesies lokal (asli Indonesia) juga perlu mendapat prioritas penting. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994) di Indonesia terdapat lebih dari 4000 spesies tumbuhan berkayu, tapi hanya 260 spesies yang bernilai komersial dan dari 260 spesies tersebut hanya 10 spesies yang telah ditanam dalam skala luas.
Menurut Subiakto (2005) spesies asli Indonesia sebagai
berikut perlu mendapat prioritas dalam upaya konservasi ex-situ, yaitu Pinus mercusii, Gonystilius sp, Dyera sp, kelompok dipterocarpaceae,
Aquilaria
moluccana, Laphopetalum multinervium, kelompok mangrove, dan Santalum album. Konservasi ex-situ spesies tumbuhan secara utuh dihadapkan pada beberapa kesulitan.
Beberapa kesulitan dalam konservasi ex-situ antara lain
adalah (1) untuk menjamin variasi genetik diperlukan jumlah individu yang banyak, (2)
spesies tertentu memerlukan perlakuan khusus untuk menjamin
terjadinya penyerbukan, dan (3) spesies tertentu hidup bersimbiosis dengan tumbuhan atau organisme lain sehingga tidak dapat berdiri sendiri (Given 1994).
14
Masalahnya akan lebih kompleks jika tumbuhan yang akan dikonservasi secara ex-situ mengandung parasit atau memiliki hubungan biologis yang kompleks (Thomson 1975).
Seringkali upaya kebun raya atau arboretum mengalami
hambatan karena kondisi tertentu yang sangat mendasar tidak diketahuhi (BGCS 1989). Sebagai komunitas buatan, RTH dapat diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kepentingan. Mengingat luasan RTH bersifat terbatas, untuk meningkatkan nilai konservasinya, maka komunitas RTH tersebut dapat disusun dengan tumbuhan-tumbuhan bernilai konservasi tinggi. Hasil review terhadap seratus empat puluh satu paper di Australia dan dari luar Australia, Doherty (1998) menyimpulkan bahwa studi tentang pengukuran nilai konservasi masih sangat sedikit sehingga terdapat kesenjangan pengetahuan yang sangat lebar. 2.3 Penyimpanan Karbon dalam Pohon Karbon dioksida (carbon dioxcide) adalah senyawa yang terdiri atas dua unsur, karbon dan oksigen, dengan rasio satu berbanding dua; rumus molekulnya adalah CO2. Senyawa tersebut di atmosfer terdapat dalam jumlah yang sedikit (370 ppm) dan memainkan peran penting dalam lingkungan bumi, sebagai bahan yang penting dalam siklus kehidupan tumbuhan dan hewan. Dalam proses fotosintesis tumbuhan mengasimilasi CO2 dan melepaskan oksigen. Aktivitas antropogenik yang mengemisikan CO2 meliputi pembakaran bahan bakar fosil dan material lain yang mengandung karbon, fermentasi senyawa organik seperti gula dan pernapasan.
Source alami CO2, seperti
aktivitas volkanik, mendominasi siklus karbon bumi. Gas CO2 memiliki bau yang sedikit menyengat, tidak berwarna dan lebih padat dibandingkan dengan udara. Karbon dioksida (CO2) diemisikan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil, baik pembakaran berskala besar seperti pembangkit listrik maupun yang lebih kecil, sumber bergerak seperti kendaraan bermotor, dan penggunaan perabotan rumah tangga dan untuk kepentingan komersil.
Emisi CO2 juga
dihasilkan oleh proses industri dan ekstraksi sumberdaya, serta pembakaran hutan pada waktu pembersihan lahan (IPCC 2005). Efek rumah kaca disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca (GRK) yang meliputi uap air, karbondioksida, methane, nitrogen oksida, dan ozon di atmosfer. Walaupun dalam keadaan normal merupakan komponen atmosfer yang penting,
15
dalam konsentrasi yang tinggi CO2 dapat membahayakan (IPCC 2005). Saat ini, konsentrasi CO2 di atmosfer 30% lebih tinggi dibanding 350 tahun yang lalu, ketika dimulainya revolusi industri (Boer, Masripatin, June dan Dahlan 2001). Meningkatnya kandungan GRK di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca meningkat sehingga terjadi perubahan iklim (MoE 2001). Selama periode 19902001, temperatur permukaan bumi meningkat antara 1,4oC dan 5,8oC (IPCC 2005). Menurut MoE (2001) negara berkembang, temasuk Indonesia akan sangat rentan terhadap efek rumah kaca karena hal-hal sebagai berikut: a.
Negara berkembang umumnya terletak di negara tropika yang merupakan daerah paling panas di bumi.
Peningkatan suhu atmosfer akan
menimbulkan dampak negatif. b.
Sebagian besar negara kepulauan berlokasi di dalam atau dekat dengan wilayah tropis. Peningkatan permukaan air laut akan menimbulkan dampak yang cukup nyata.
c.
Ketahanan dan perkembangan ekonomi negara berkembang sangat tergantung pada sumberdaya alam, terutama pertanian dan perikanan. Ketahanan pangan negara berkembang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
d.
Negara berkembang memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menghadapi kerusakan dan dampak negtaif yang sangat mahal akibat perubahan iklim. Fiksasi CO2 adalah imobilisasi CO2 melalui reaksi kimia dengan material lain
sehingga membentuk senyawa stabil. Carbon sink (penyimpanan karbon) adalah penimbunan (uptake) secara alami CO2 dari atmosfer, khususnya dalam tanah, hutan, dan lautan.
Pengikatan CO2 secara alami terjadi melalui proses
fotosintesis yang berlangsung dalam chlorofil. CO2 + H2O
C6H12O6 + O2
Rosot karbon sangat berperan dalam mereduksi gas rumah kaca di atmosfer.
Walaupun demikian, penggunaan Rosot karbon dalam kebijakan-
kebijakan yang bertujuan mereduksi emisi gas rumah kaca tersebut masih diperdebatkan.
Oleh
karena
itu,
karakterisasi
lokasi
dan
mekanisme
penyimpanan karbon secara ilmiah dan politis merupakan hal yang penting 16
(Myneni et al. 2001). Rosot karbon pada lahan dalam berbagai bentuk, seperti vegetasi, detritus, tanah, residu karbon sisa kebakaran, hasil yang dapat dipanen dan lain-lain (Myneni et al. 2001). Biomasa berkayu terdiri atas batang, kulit, cabang, ranting, tunggak, dan akar pohon hidup, belukar dan semak.
Vegetasi sebagai penyimpan karbon
mendapat karbon dari produktivitas yang tersimpan dalam komponen-komponen tersebut.
Vegetasi hutan alam tropika basah selalu hijau (ever green) dapat
menyimpan biomasa (berat kering) rata-rata 450 ton per ha (dengan kisaran 300 – 800 ton per ha) dengan produktivitas rata-rata 25-30 ton per ha per tahun, hutan Dipterocarpaceae campuran rata-rata 550 ton per ha dengan kisaran (400 – 1500 ton per ha) dengan produktivitas rata-rata 30-35 ton per ha per tahun (Bruenig 1996).
Vegetasi mengalami kehilangan karbon akibat penuaan,
kematian, pemanenan, kebakaran, penyakit, serangan serangga, dan roboh oleh angin dan lain-lain (Myneni et al. 2001). Akhir-akhir ini, sebagian besar pembicaraan tentang ilmu pengetahuan, teknologi, dan politik tentang penyimpanan CO2 terpokus pada penyimpanan CO2 di daratan melalui penyimpanan secara biologis (IPCC 2005), antara lain dengan membangun tegakan pohon atau hutan (Bruenig 1996).
Selanjutnya
Bruenig (1996) mengemukakan bahwa pembangunan carbon sink melalui reforestation
dengan pohon cepat tumbuh dapat mengakumulasikan Rosot
karbon dalam jangka waktu 10 – 20 tahun. Penanaman pohon di daerah tropika baru dapat mengkompensasi sebesar 0,3% dari karbon yang dilepaskan ke atmosfer akibat penebangan dan kerusakan hutan di daerah tropika. Menurut IPCC (2005) keuntungan penyimpanan secara biologis di daratan adalah: a) perubahan jumlah yang tersimpan dapat dimonitor setiap waktu, b) penyimpanan dapat dilakukan di suatu tempat tertentu dengan pemilikan yang dapat diidentifikasi, dan c) lamanya penyimpanan dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Di bawah Protokol Kyoto, reduksi GRK dapat dicapai, baik melalui reduksi sumber emisi atau dengan meningkatkan penyimpanan karbon melalui penyerapan pada ekosistem terestrial melalui penatagunaan lahan, perubahan tataguna lahan, dan kehutanan (Murray 2001). Menurut Boer et al. (2001) salah satu teknologi untuk mengurangi GRK adalah meningkatkan penyimpanan
karbon
(sink
enhancement),
yaitu
upaya-upaya
untuk
17
meningkatkan carbon stock melalui penanaman pohon, antara lain melalui pembangunan hutan kota. 2.4 Metoda Pendugaan Rosot karbon Pendugaan nilai Rosot karbon pada vegetasi umumnya didasarkan pada pendugaan biomassa.
Menurut Murray (2001) tidak semua Rosot karbon
tersebut mudah diukur, terutama pertukaran karbon dari tanah dan produkproduk panenan lebih sulit lagi diukur dan diverifikasi. Beberapa ahli seperti Ogawa, Ogino, Shidei, Ratanawongse, and Apasuti (1965) Klinge, Rodrigues, Fittkau, and Bruenig (1974), Klinge and Herrera (1978), dan Kato, Tadaki, and Ogawa (1978), telah berusaha untuk menduga jumlah biomasa tersimpan dalam pohon dengan membuat persamaan regresi sehingga, untuk menduga jumlah Rosot karbon tersebut, tidak perlu menggunakan metoda destruktif. Pendugaan
jumlah
biomasa
pohon
dapat
dilakukan
dengan
dua
pendekatan yaitu pendekatan langsung menggunakan persamaan allometrik dan pendekatan tidak langsung
dengan menggunakan faktor ekspansi biomasa
(BEF). Melalui persamaan allometrik, pendugaan jumlah Rosot karbon dalam pohon per satuan luas dilakukan dengan membuat petak contoh dengan luasan tertentu. Semua pohon yang terdapat dalam petak diukur dimeternya setinggi dada (dbh). Diameter minimum pohon yang diukur bervariasi.
Untuk daerah
kering, daerah dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 cm dan untuk daerah beriklim basah biasa digunakan diameter minimum 10 cm, tetapi secara umum biasa digunakan 5 cm. Hubungan allometrik antara diameter dengan kandungan karbon disajikan pada Tabel 1 (Brown 1997).
18
Tabel 1 Hubungan allometrik untuk menentukan biomasa berdasarkan diameter pohon (untuk diameter >5 cm) Zona Iklim (curah hujan, mm/tahun) Kering (< 1500 mm)
Persamaan (Y= biomasa pohon, kg/pohon; D =dbh, cm; H= tinggi, m Y=0,139D2,32
Rentang (cm)
Jumlah Pohon
5-40
28
R2
0,89
Lembab (1500-
Y=42,69 – 12,8D + 1,242D2
5-148
170
0,84
4000 mm)
Y=0,118D2,53
5-148
170
0,97
Y=0,092D2,60
5-148
170
-
Y=21,3 – 6,95D + 0,74D2
4-112
169
0,92
4-112
169
0,90
Basah (>4000mm)
1,89
Y=0,037D
H
Sumber: Brown S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest, a primer. Rome: FAO Forestry Paper 134, FAO yang dikutip oleh Hairiah K, van Noordwijk M, and Palm C. 1999. Methods for Sampling Above and BelowGround Organic Pools. In: Modelling Global Change Impacts on The Soil Environment. IC-SEA Report No.6. Bogor: SEAMEOBIOTROP-GCTE IMPACTS CENTRE FOR SOUTHEAST ASIA GCTE Working Document No. 28.
19
III. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Bandar Lampung yang merupakan tempat kedudukan Ibukota Provinsi Lampung. Secara Geografis, posisi Provinsi Lampung memiliki kedudukan yang strategis karena merupakan pintu gerbang dari Jawa menuju provinsi-provinsi di Sumatera dan sebaliknya merupakan pintu gerbang dari provinsi di Sumatera menuju propinsi-propinsi di Jawa melalui jalur darat. Kedekatannya dengan Jakarta yang didukung sarana dan prasarana transportasi yang memadai memungkinkan tingginya mobilitas penduduk Kota Bandar Lampung.
KOTA BANDAR LAMPUNG
Bandar Lampung
Sumber: Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
20
3.2 Kerangka Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu unsur lansekap kota yang secara ekologis memiliki peran penting memelihara keseimbangan dan daya dukung lingkungan perkotaan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota, Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi hijau tanaman atau tumbuhtumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Ruang terbuka hijau meliputi ruang-ruang di dalam kota yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah perkotaan (RTRWP). Perkembangan yang terjadi pada berbagai bidang pembangunan telah menyebabkan kebutuhan lahan semakin meningkat, termasuk kebutuhan RTH. Akan tetapi, ketersediaan RTH justru semakin berkurang.
Areal-areal yang
diperuntukkan bagi RTH banyak beralih fungsi menjadi jalan, permukiman, pasar dan bangunan lainnya. sementara
Mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat,
ketersediaan
pemanfaatan lahan secara
lahan
semakin
berkurang,
maka
diperlukan
lebih efisien, yaitu meningkatkan fungsi lahan
tersebut tanpa menghilangkan fungsi utamanya. Peningkatan fungsi RTH tanpa mengurangi fungsi utamanya adalah dengan memanfaatkannya untuk konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon. Salah satu upaya konservasi keanekaragaman hayati, khususnya pohon, adalah melindungi sebanyak-banyaknya spesies pohon, terutama yang terancam punah agar tidak punah. Kegiatan tersebut bersifat strategis karena ancaman terhadap kepunahan berbagai spesies pohon semakin meningkat.
Ruang
terbuka hijau dapat ditingkatkan perannya bagi konservasi keanekaragaman jenis pohon dengan menggunakannya sebagai arboretum atau kebun koleksi yang juga dapat berfungsi sebagai bank biji (benih) spesies bernilai konservasi tinggi. Untuk itu diperlukan suatu metoda atau rumusan yang dapat digunakan untuk menentukan nilai konservasi suatu komunitas RTH. Pengetahuan tentang nilai tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan upaya-upaya yang perlu dilakukan bagi peningkatan peran RTH dalam konservasi keanekaragaman jenis pohon. Peran RTH sebagai penyimpan karbon (carbon sink) juga bersifat strategis mengingat pada umumnya kawasan perkotaan merupakan tempat yang emisi 21
CO2-nya paling tinggi.
Selain dari respirasi manusia, CO2 bersumber dari
berbagai kegiatan yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi, misalnya kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, dan aktivitas rumah tangga.
Pohon merupakan penyimpan karbon yang efektif
karena dapat bertahan lama, puluhan bahkan ratusan tahun.
Selama pohon
masih berdiri hidup maka karbon akan tersimpan dalam jaringan kayu. Karbon tersebut dapat tersimpan dalam bentuk jaringan pada pohon yang bernilai konservasi tinggi. Untuk mengetahui jumlah karbon yang tersimpan dalam pohon atau komunitas di suatu RTH diperlukan metode pengukuran yang bersifat nondestruktif, sehingga jumlah karbon yang tersimpan dapat dimonitor dari waktu ke waktu tanpa harus menebang pohon tersebut. Metoda pendugaan jumlah Rosot karbon pada pohon yang telah digunakan secara luas adalah metoda allometrik (Brown 1997).
Secara ringkas, kerangka penelitian nilai konservasi
keanekaragaman dan rosot karbon pohon pada ruang terbuka hijau disajikan pada Gambar 2. 3.3 Lingkup dan Batasan Penelitian 3.3.1 Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini mencakup wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dengan luas wilayah 19.215 ha. Objek penelitian ini adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di seluruh wilayah kota.
Ruang terbuka hijau tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yaitu berbentuk area (pith/district) yang terdiri atas taman kota, hutan kota, dan perbukitan dan berbentuk jalur (corridor) yang terdiri atas jalur hijau jalan, sempadan sungai, sempadan pantai (Gambar 3).
Data
lengkap RTH di Kota Bandar Lampung disajikan pada Lampiran 1. 3.3.2 Batasan Penelitian 1) Pengertian konservasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang sempit, yaitu perlindungan spesies pohon di luar habitat aslinya (eksitu), dalam hal ini di areal RTH, untuk menjaga kelestarian spesies tersebut. 2) Keanekaragaman jenis pohon yang terdapat dalam RTH diukur dengan menggunakan nilai indeks keanekaragaman yang meliputi Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness), Indeks Keanekaragaman (Diversity Indices = Heterogenity Indices), dan Indeks Kemerataan Jenis (Species Evennes). 22
Ruang Terbuka Hijau
Area
Jalur
Penentuan Metoda Penilaian Konservasi Komunitas
Analisis Vegetasi RTH Analisis Jumlah Rosot karbon
Analisis Keanekaragaman
Analisis Indeks Konservasi (IK)
Jumlah Rosot karbon
Parameter Keanekaragaman
Nilai Konservasi
Analisis Nilai Konservasi Keanekaragaman Jenis dan Rosot Karbon Pohon Ruang Terbuka Hijau Kota Gambar 2 Kerangka penelitian konservasi keanekaragaman jenis pohon dan penyimpanan karbon pada ruang terbuka hijau kota.
3) Nilai RTH dalam penyimpanan karbon diukur dengan menggunakan jumlah Rosot karbon dalam pohon penyusun RTH. Untuk menentukan nilai peran RTH dalam penyimpanan karbon jumlah Rosot karbon dibandingkan dengan jumlah potensial karbon yang dapat disimpan. 4) Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan adalah ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka, berisi vegetasi tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang tumbuh secara alami atau tanaman budidaya. Dalam penelitian ini RTH mencakup areal yang oleh Perda Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai RTH, areal yang ditetapkan sebagai hutan kota, sempadan jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
23
Peta Penyebaran RTH Hutan Kota, Bukit dan Lereng di Kota Bandar Lampung
HK. Way Halim
Jl.Sultan Agung
G. Kucing
Bkt. Langgar
G. Sukajawa
Bkt. Kelutum Jl. Soekarno-Hatta Jl. Radin Intan Jl. Gatot Subroto
Jl. M. Noer
Taman Dipangga Jl. Laks. Malahayati
Jl. Teuku Cikditiro Pantai Panjang Pantai Lempasing
Sumber: Peta Rencana Kawasan Lindung, Pemda Kota Bandar Lampung 2003
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel RTH.
5) Hutan Kota adalah areal RTH di wilayah kota Bandar Lampung yang vegetasinya
didominasi
oleh
pohon
dan
atau
arealnya
ditetapkan
peruntukannya untuk hutan kota oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk peraturan daerah. 6) Konservasi keanekaragaman jenis pohon adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah punahnya suatu jenis pohon atau mengusahakan agar suatu jenis pohon
tidak
punah
sehingga
keanekaragaman
jenis
pohon
dapat
dipertahankan. 7) Jumlah Rosot karbon dibatasi pada tumbuhan yang hidup dan berada di permukaan tanah (above ground), tidak mencakup bahan organik mati (serasah) maupun karbon yang terdapat dalam organisme dan bahan organik di dalam tanah. 8) Marga tunggal adalah marga yang di wilayah penelitian dalam satu familinya hanya ditemui satu marga, sedangkan spesies tunggal adalah spesies di 24
wilayah penelitian yang dalam satu marganya hanya ditemui satu spesies; marga jamak adalah marga yang dalam satu familinya ditemukan lebih dari satu marga, sedagkan spesies jamak adalah spesies yang dalam satu marganya ditemukan lebih dari satu spesies. 9) Spesies pohon budidaya adalah spesies yang sudah biasa dibudidayakan dan atau teknik pembiakannya sudah dikuasai, sedangkan spesies nonbudidaya adalah spesies yang belum biasa dibudidayakan (liar). 10) Spesies pohon endemik adalah spesies endemik Sumatera sebagaimana terdaftar dalam Tree Flora of Indonesia Check List for Sumatera (Whitmore dan Tantra 1986), sedangkan spesies non endemik adalah spesies yang tidak termasuk dalam dalam daftar sebagai spesies endemik Sumatera. 11) Spesies pohon dilindungi adalah spesies pohon yang dilindungi berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
54/Kpts/Um/1972,
Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 261/Kpts-IV/1990, dan atau Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. 3.4 Penentuan Nilai Konservasi Komunitas Seperti telah dijelaskan, pengertian konservasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang sempit, yaitu perlindungan suatu spesies pohon dari kepunahan.
Meffe and Carroll (1994) menyatakan bahwa secara
konseptual spesies merupakan salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam
konservasi.
Perlindungan
tersebut
dilakukan
dengan
melakukan
pengembangbiakan di luar habitat aslinya, dalam hal ini di areal RTH kota. Perlindungan difokuskan pada spesies pohon endemis dan kelestariannya terancam. Spesies tersebut dianggap bernilai konservasi tinggi sehingga perlu mendapatkan prioritas untuk ditanam dan dikembangbiakan. Kumpulan spesies yang ditanam di areal RTH kota akan membentuk dan menentukan nilai konservasi komunitas tumbuhan (vegetasi) RTH kota tersebut. Dalam penelitian ini, nilai konservasi komunitas RTH kota diukur dengan pendekatan nilai indeks yang menunjukkan tingkat kepentingan relatif suatu komunitas ditinjau dari aspek konservasi. Nilai indeks tersebut didasarkan pada endemisme (endemis atau non-endemis), dan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap laju kepunahan spesies, yaitu status (dilindungi atau tidak dilindungi), sifat (tunggal atau jamak), dan keliaran (budidaya atau non-budidaya) spesies penyusun vegetasi tersebut.
Nilai tersebut selanjutnya disebut indeks konservasi (Ik). 25
Makin tinggi nilai indeks konservasi suatu komunitas menunjukkan makin banyaknya spesies penyusun komunitas tersebut yang merupakan spesies prioritas untuk dilindungi atau dalam komunitas tersebut terdapat spesies yang bernilai konservasi tinggi.
Indeks konservasi ini akan relevan jika digunakan
untuk menilai vegetasi buatan, dalam hal ini RTH kota, karena komunitas alami umumnya terdiri atas spesies endemis dan non-budidaya. Endemisme spesies Spesies endemis adalah spesies yang ditemukan di suatu wilayah dan tidak ditemukan di wilayah yang lain (Meffe and Carroll 1994).
Walaupun
demikian, lebih lanjut Meffe and Carroll (1994) menyatakan bahwa batasan wilayah tersebut belum terdefinisi dengan baik. Sebagai contoh, semua spesies mahluk hidup endemis di bumi. Shukla and Chandel (1982) menyakatan bahwa berdasarkan distribusinya, suatu spesies mungkin bersifat endemis benua, negara, propinsi, regional atau lokal (terbatas pada lembah, bukit, pulau dll.) Menurut Krcmar-Nozic et al. (2000) tekanan antropogenik yang meliputi pertumbuhan penduduk, pencermaran udara, perubahan iklim, modifikasi habitat, dan fragmentasi ekosistem akibat pembukaan lahan terus menekan keberadaan spesies endemis.
Selain itu, tekanan terhadap spesies endemis yang juga
sangat penting berasal dari invasi spesies eksotik (Van Houten et al., 2000). Manusia telah banyak membantu invasi spesies eksotik dengan mengatasi berbagai hambatan fisik yang secara alami sulit ditembus (Krcmar-Nozic et al., 2000) terutama oleh tumbuhan. Oleh karena itu, dalam penentuan spesies yang akan dikonservasi, spesies asli (endemis) harus lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan spesies non endemis (MacKinnon et al. 1993) dan menurut UNEP (1993) salah satu cara perlindungan spesies flora adalah dengan mengendalikan spesies eksotik. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan spesies endemis adalah spesies endemis pulau Sumatera (Whitmore and Tantra, 1986) (Lampiran 2). Ditinjau dari aspek endemisme nilai spesies dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu spesies endemis (nilai 2) dan spesies non endemis (nilai 1). Indeks konservasi komunitas berdasarkan endemise merupakan total Log Natural (LN) nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2). Dalam
26
rumus matematika sederhana indeks nilai komunitas berdasarkan endemisme spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
N End =
∑ LNEnd
i
i =1
NLN2
dalam hal ini: NEnd = Nilai relatif komuitas berdasarkan endemisme spesies Endi = nilai endemisme spesies ke i N
= jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas
LN = log natural Status Spesies Akibat berbagai aktivitas manusia, populasi beberapa jenis pohon telah mengalami kelangkaan, bahkan beberapa jenis pohon sudah terancam punah. Di Indonesia, upaya menjaga keberadaan atau kelestarian suatu jenis pohon antara lain adalah dengan sistem perlindungan. Sampai saat ini di Indonesia terdapat setidaknya 47 spesies (23 Family) pohon dilindungi.
Sistim
perlindungan yang dilakukan adalah dengan membatasi diameter minimum yang boleh ditebang. Pembatasan ini dimaksudkan agar pohon yang ditebang dapat dijamin telah beregenerasi atau menghasilkan keturunan.
Daftar jenis-jenis
pohon yang dilindungi di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan statusnya, nilai konservasi spesies pohon dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu dilindungi (nilai 2) dan tidak dilindungi (nilai 1). Indeks konservasi komunitas berdasarkan status merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus
matematika sederhana indeks nilai komunitas berdasarkan status spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
N Sts =
∑ LNSts
i
i =1
NLN2
dalam hal ini: NSts = Nilai relatif komunitas berdasarkan status spesies Stsi = nilai status spesies ke i N
= jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas
LN = log natural
27
Tabel 2. Jenis-jenis pohon dilindungi di Indonesia Spesies 1)
Afzalia bijuga 1) Agathis labilladieri 1) Aleurites triloba 1) Arenga pinnata 1) Azadirachta indica 1) Caesalpinia sappan 1) Cinnamomum burmanii 1) Cinnamomum culilawan 1) Cordia subcordata 1) Cudrania conchinchinensis 1) Dalbergia latifolia 1) Diospyros celebica 1) Dipterocarpus spp 1) Dryobalanops aromatica 1) Duabanga moluccana 1) Durio zibethinus 1) Dyera costulata 1) Eucalyptus alba 1) Eucalyptus deglupta 1) Eusideroxylon zwageri 1) Exoecaria agalocha 1) Fragarea fragrans 1) Ganua motleyana 1) Manilcara cauki 1) Myristica argentea 1) Palaquium burckii 1) Palaquium gutta 1) Palaquium leicarpum 1) Palaquium walsuraefolium 1) Protium javanicum 1) Pterospermum celebicum 1) Santalum album 1) Scorodocarpus bornnensis 2),3) Shorea beccariana 2),3) Shorea lepidota 2),3) Shorea macrantha 2),3) Shorea macrophylla 2),3) Shorea mexistopteryx 2),3) Shorea Palembanica 2),3) Shorea pinanga 2),3) Shorea seminis 2),3) Shorea singkawang ,3) Shorea splendida 2),3) Shorea stenoptera 1) Styrax bemzoin 1) Timonius sericeus
Family
Dilarang menebang pohon
PAPILIONACEAE ARAUCARIACEAE EUPHORBIACEAE ARACACEAE MELIACEAE CAESALPINIACEAE LAURACEAE LAURACEAE BORRAGINACEAE EUPHORBIACEAE PAPILIONACEAE EBENACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE SONERATIACEAE BOMBACACEAE APOCYNACEAE MYRTACEAE MYRTACEAE LAURACEAE EUPHORBIACEAE LOGANIACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE MYRISTICACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE SAPOTACEAE BURCERACEAE STERCULIACEAE SANTALACEAE OLACACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE DIPTEROCARPACEAE STYRACACEAE RUABIACEAE
Diameter < 60 cm Diameter < 50 cm Diameter < 50 cm Diameter < 40 cm Diameter < 50 cm Diameter < 10 cm Diameter < 25 cm Diameter < 25 cm Diameter < 50 cm Diameter < 10 cm Diameter < 50 cm Diameter < 60 cm Diameter < 50 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 60 cm Diameter < 40 cm Diameter < 40 cm Diameter < 60 cm Diameter < 25 cm Diameter < 50 cm Diameter < 30 cm Diameter < 45 cm Diameter < 30 cm Diameter < 30 cm Diameter < 50 cm Diameter < 30 cm Diameter < 40 cm Diameter < 60 cm Diameter < 30 cm Diameter < 50 cm Diameter < 50 cm
Diameter < 30 cm Diameter < 40 cm
Keterangan: 1)
Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972 2) Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 261/Kpts-IV/1990 3) Dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Sumber: Noerdjito M dan Maryanto I. (Eds.). 2001
28
Sifat Spesies (Tunggal atau Jamak) Secara teori, semakin kecil suatu marga atau family, semakin besar kesenjangan antar suku tersebut dengan suku terdekatnya, sehingga makin berbeda pula kelompok spesies tersebut dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satu-satunya wakil dalam family tersebut (monotipyc) harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang merupakan bukan satu-satunya atau spesies politipyc (MacKinnon et al, 1993). Dalam Ensiklopedia Wikipedia ("http://en.wikipedia.org/wiki/Monotypic" tanggal kunjungan 20 September 2006) dinyatakan bahwa Monotipyc adalah suatu sifat yang mengacu pada kelompok taksonomi yang hanya memiliki satu tipe. Dalam bidang Botani monotipyc berarti taksa yang hanya memiliki satu spesies; Ginkgo adalah
genus monotypic, sementara Ginkgoaceae adalah famili monotypic.
Oleh karena itu, famili Ginkgoceae dan genus Ginkgo ini memiliki nilai konservasi yang tinggi. Mengacu pada pengertian tersebut, dalam penelitian ini digunakan istilah spesies atau genus tunggal dan spesies atau genus jamak. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan marga dan atau spesies tunggal adalah marga atau spesies yang ditemui di wilayah penelitian yang merupakan anggota satu-satunya dari suatu famili, sedangkan marga dan atau spesies jamak adalah marga dan atau spesies yang bukan merupakan anggota satu-satunya dari suatu famili.
Marga dan spesies tunggal memiliki nilai
konservasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan marga dan spesies jamak. Berdasarkan sifat ini, nilai suatu spesies dikategorikan kedalam spesies tunggal jika famili yang ditemui hanya memiliki satu marga dan dalam satu marga tersebut hanya ditemui satu spesies; spesies ini diberi nilai dua (2). Spesies jamak dibagi menjadi dua kategori, yaitu 1) jika famili yang ditemui beranggotakan lebih dari satu marga dan marga yang bersangkutan memiliki satu spesies, spesies tersebut diberi nilai 1,5; dan 2) jika famili yang ditemui memiliki lebih dari satu marga dan marga yang bersangkutan memiliki lebih dari satu spesies, spesies tersebut diberi nilai. Indeks konservasi komunitas berdasarkan sifat merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus matematika sederhana indeks nilai
komunitas berdasarkan sifat spesies dapat dinyatakan sebagai berikut:
29
N
NSft =
dalam hal ini: NSft Sfti N LN
= = = =
∑ LNSft
i
i =1
NLN2
Nilai relatif komunitas berdasarkan sifat spesies nilai sifat spesies ke i jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas log natural
Keliaran (Wilderness) Spesies Pada umumnya, spesies yang telah dibudidayakan kelestariannya lebih dapat
dijamin
dibanding
dengan
spesies
yang
masih
liar.
Manusia
membudidayakan suatu spesies pohon umumnya karena telah mengetahui dan atau merasakan manfaatnya atau mengharapkan suatu manfaat yang dapat diperoleh dari spesies tersebut, misalnya manfaat ekonomi, lingkungan (ekologis), atau keindahan (psikologis).
Oleh karena itu, spesies yang telah
dibudidayakan umumnya mudah ditemukan dimana-mana. Sedangkan spesies liar pada umumnya manfaatnya atau teknik budidayanya belum diketahui, karenanya
masyarakat
umum
belum
membudidayakannya
dan
jarang
ditemukan. Olfield (1989) menyatakan bahwa upaya konservasi ex-situ perlu diprioritaskan pada spesies yang dalam beberapa generasi tidak dapat survive tanpa bantuan dari manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, nilai konservasi spesies berdasarkan keliarannya dikategorikan kedalam spesies nonbudidaya (nilai 2) dan spesies budidaya (nilai 1).
Penentuan spesies
berdasarkan keliarannya didasarkan pada Nailola (1986) dan pengetahuan penulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Indeks konservasi komunitas berdasarkan status merupakan total LN nilai masing-masing spesies tersebut dibagi dengan total terbesar LN nilai yang mungkin terjadi, yaitu jumlah spesies (N) kali LN2 (NLN2).
Dalam rumus matematika sederhana indeks nilai
komunitas berdasarkan keliaran spesies dapat dinyatakan sebagai berikut: N
NKlr =
dalam hal ini: NKlr Klri N LN
= = = =
∑ LNKl
i
i =1
NLN2
Nilai relatif komunitas berdasarkan keliaran spesies nilai keliaran spesies ke i jumlah spesies yang menjadi anggota komunitas log natural 30
Masing-masing faktor penentu nilai tersebut (Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran) tentu memiliki bobot yang berbeda terhadap indeks konservasi (Ik). Oleh karena itu diperlukan penentuan bobot yang proporsional, tergantung pada nilai pentingnya. Penentuan bobot didasarkan pada prinsip bahwa, makin langka atau makin jarang ditemui spesies tersebut makin penting untuk dilindungi untuk menjaga kelestariannya dengan cara menanam atau mengembangkannya di kawasan RTH. Di dalam komunitas, hal ini ditunjukkan oleh jumlah nilai faktor penentu nilai konservasi (Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran), makin kecil jumlah nilai menunjukan jumlah spesies yang bernilai 2 semakin sedikit sehingga dalam memilih jenis yang akan dikonservasi perlu mendapatkan prioritas. Secara rinci, cara penentuan bobot bagi masing-masing faktor penentu nilai konservasi disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan cara penentuan seperti yang disajikan pada Lampiran 3, diperoleh bobot masing-masing faktor adalah sebagai berikut: Endemisme (0,3), Status (0,3), Sifat (0,2), dan Keliaran (0,2). Selanjutnya indek N
∑ LNEnd
0,3
konservasi komunitas adalah
ii
N
∑ LNSts
+ 0,3
i =1
ii
N
∑ LNSft
+ 0,2
i =1
ii
N
∑ LNKl
+ 0,2
i =1
ii
i =1
4
dengan kisaran antara 0 (nol) s.d. 1 (satu). Nilai indeks tersebut selanjutnya dibagi menjadi empat kategori yaitu 0 ≤ Ik ≤ 0,25 rendah, 0,26 < Ik ≤ 0,50 sedang, 0,51 < Ik ≤ 0,75 tinggi, dan 0,76 ≤ Ik sangat tinggi. 3.5 Data yang Dikumpulkan dan Metoda Pengumpulan dan Pengolahannya Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dibangkitkan karena belum tersedia. Pembangkitan data dilakukan melalui observasi, inventarisasi, pengukuran dan penghitungan, dan wawancara. Data sekunder adalah data yang telah tersedia pada berbagai sumber, antara lain Data Statistik Pemerintah Daerah atau instansi terkait, literatur (tulisan ilmiah) atau Laporan Penelitian, peta atau rujukan lainnya. Data sekunder diperoleh dengan cara mengutip langsung dan menyebutkan sumbernya. Data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi pada berbagai RTH (hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, dan jalur hijau pantai). Inventarisasi pada vegetasi sampel meliputi pencatatan spesies, penghitungan kerapatan (jumlah individu) masing-masing spesies, dan pengukuran diameter batang setinggi dada. Data primer lainnya adalah kondisi umum di sekitar areal 31
pengamatan serta yang berkaitan dengan pendapat atau persepsi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar RTH yang diamati. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kondisi umum kota Bandar Lampung (kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi) serta data kondisi umum RTH di kota Bandar Lampung. Kondisi umum RTH mencakup luas, distribusi menurut wilayah administratif, penggunaan lahan RTH saat ini, serta gambaran mengenai kondisi umum jalur hijau jalan, sungai dan pantai. Data yang diperoleh diolah dengan metoda tabulasi dengan bantuan komputer. 3.5.1 Populasi dan Contoh Penelitian Populasi penelitian adalah ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di Kota Bandar Lampung sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas unit-unit areal RTH. Berdasarkan bentuknya, unit areal RTH tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu berbentuk area (pitch) dan berbentuk jalur. Areal RTH berbentuk area terdiri atas perbukitan, hutan kota, dan taman kota.
Ruang terbuka hijau
berbentuk jalur terdiri atas jalur hijau (sempadan) jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai. Penentuan contoh dilakukan secara terarah (purposive) didasarkan pada prinsip keterwakilan bentuk dan letak geografi. Untuk contoh RTH berbentuk area diambil 6 unit contoh, meliputi empat perbukitan, satu hutan kota dan satu taman kota. Penyebaran unit contoh di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk sampel RTH berbentuk jalur diambil tujuh (7) jalur sempadan jalan, yaitu Jalan Soekarno Hatta, Jalan M. Noer, Jalan Gatot Subroto, Jalan Sultan Agung, Jalan Radin Intan, Jalan Laksamana Malahayati, dan Jalan Teuku Cik Ditiro; empat (4) jalur sempadan sungai (way), yaitu Way Halim, Way Kuripan, Way Sukoharjo, dan Way Simpur;
serta dua (2) jalur sempadan pantai yaitu Pantai
Panjang dan Pantai Lempasing. Sebagai vegetasi pembanding kondisi keanekaragaman jenis pohon digunakan vegetasi yang relatif alami dan terdekat dengan Kota Bandar Lampung. Untuk vegetasi contoh digunakan suatu bagian dari vegetasi di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman yang kondisinya mendekati hutan primer.
32
3.5.2
Teknik Inventarisasi Pohon Inventarisasi jenis pohon di areal RTH berbentuk area dilakukan dengan
menggunakan metoda jalur berpetak. Pada masing-masing areal pengamatan dibuat satu jalur selebar 20 m yang memotong bagian tengah areal.
Jalur
tersebut dibagi menjadi bagian-bagian masing-masing sepanjang 20 m sehingga masing-masing bagian jalur tersebut membentuk petak segi empat berukuran 20 m x 20 m. Secara keseluruhan jalur memanjang tersebut menjadi jalur berpetak seperti dapat dilihat pada Gambar 4.
Arah jalur 1
2
3
4
5
20 m
Gambar 4 Jalur berpetak untuk inventarisasi jenis-jenis pohon RTH berbentuk area. Untuk inventarisasi pohon di sepanjang sempadan jalan dan sungai petakpetak tunggal berukuran 20 m x 20 m ditempatkan secara sistematis dengan jarak antar petak 60 m.
Sampel sempadan pantai berupa jalur memanjang
(seperti pada Gambar 3) dari garis pantai ke arah darat dengan lebar 20 meter sampai pohon terjauh. Jarak maksimal dari pantai adalah 100 m. Untuk masingmasing sampel pantai dibuat lima (5) jalur. Setiap individu pohon yang masuk dalam petak dan berukuran diameter batang ≥ 5 cm dicatat nama dan diukur diameter batangnya.
Pengukuran
diameter batang dilakukan pada ketinggian 140 cm dari permukaan tanah. Petak petak yang tidak berpohon dengan diameter ≥ 5 cm dinyatakan sebagai petak kosong. Pengukuran diameter batang pohon yang kurang dari 10 cm dilakukan dengan menggunakan kaliper dan yang lebih dari 10 cm dengan menggunakan phi-band.
33
Untuk mengetahui perbedaan jumlah Rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah berdasarkan intensitas penutupan tajuk, dari masing-masing lokasi (kecuali Taman Dipangga) diambil 3 petak sampel berukuran 20 m x 20 m. Kriteria penutupan tajuk yang digunakan adalah tipe vegetasi rapat (penutupan tajuk >70%), tipe vegetasi sedang (penutupan tajuk < 40%), dan tipe vegetasi jarang (penutupan tajuk < 40%).
Dari Taman Dipangga tidak dilakukan
pengambilan contoh berdasarkan penutupan tajuk karena arealnya sempit dan tidak terdapat perbedaan penutupan tajuk berdasarkan kriteria tersebut. Pada petak berukuran 20 m x 20 m dibuat tiga buah petak contoh tumbuhan bawah berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan contoh tumbuhan bawah dilakukan secara destruktif, seluruh tumbuhan bawah yang terdapat dalam petak berukuran 1 m x 1 m diambil dan ditimbang bobot basahnya. Ketiga contoh tumbuhan bawah dari petak berukuran 20 m x 20 m dicampur (dikompositkan) dan dihitung rata-rata bobot basahnya. Dari contoh tumbuhan bawah yang telah dikompositkan diambil contoh (sub-contoh) sebanyak 300 gram. 3.6 Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1
Penghitungan Parameter Keanekaragaman Keanekaragaman jenis pohon ditentukan berdasarkan jumlah jenis yang
ditemui. Untuk melihat indeks nilai penting masing-masing jenis pohon dilakukan analisis vegetasi yang meliputi kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Indeks nilai penting (INP) = KR + FR. Ukuran keanekaragaman yang digunakan adalah kekayaan jenis (Species Richness), indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan (Species Eveness) (Ludwig and Reynold, 1988). Kekayaan jenis dihitung dengan menggunakan Indeks Margalef sebagai berikut (S-1) R = --------LN.N dalam hal ini: R = indeks kekayaan jenis Margalef S = jumlah jenis yang teramati N = jumlah individu (seluruh jenis) yang teramati LN= logaritma natural Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shanon (H) sebagai berikut: 34
s H’ = - ∑ pi LN pi i=1 Dalam hal ini: S = jumlah spesies yang teramati pi = proporsi jumlah individu spesies ke-i LN = log natural Kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan Rasio Hill yang dimodifikasi (Modified Hill’s Ratio) sebagai berikut: (1/ λ -1) E = -----------eH’ - 1 dalam hal ini: E = indeks kemerataan ratio Hill yang dimodifikasi λ = indeks kelimpahan Simpson s λ=Σ i=1
ni (ni -1) -----------N(N-1)
S = jumlah spesies yang teramati ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah individu seluruh spesies
H’ = Indek keanekaragaman Shannon s H’ = - ∑ pi LN pi i=1 dalam hal ini: S = jumlah spesies yang teramati pi = proporsi jumlah individu spesies ke-i LN = log natural
3.6.2
Penghitungan Rosot Karbon Besarnya karbon yang tersimpan dalam vegetasi sebanding dengan
volume biomasa tersebut.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penentuan
besarnya karbon yang tersimpan dalam vegetasi didasarkan pada besarnya biomasa yang dikandung oleh vegetasi tersebut. Kandungan biomassa suatu
35
vegetasi, dalam penelitian ini, merupakan hasil penjumlahan biomasa pohon hidup (tegakan) dan biomassa tumbuhan bawah. Penentuan kandungan biomassa pohon hidup dilakukan secara nondestruktif dengan menggunakan model allometrik (Brown 1997) sebagai berikut: Y = 0,118 D2,53 (R2 = 0,9) dalam hal ini: Y = biomassa pohon (kg/pohon) D = diameter setinggi dada (DBH) pohon (cm) R2 = koefisien determinasi persamaan Penghitungan C-organik tumbuhan bawah dilakukan dengan menggunakan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1992). Rumus yang digunakan dalam penentuan total berat kering dan total karbon adalah menurut Hairiah, Van Noordwijk, dan Palm (1999).
Sedangkan rumus yang digunakan untuk
menentukan besarnya persen C-organik berdasarkan rumus Walkey and Black (1958, dalam Thom dan Utomo, 1992). Rumus-rumus tersebut adalah sebagai berikut :
TotalBeratKering(kg / m2 ) =
TotalBeratBasah(kg) xBeratKeringSubsampel ( g ) ......(1) BeratBasahSubsampel( g ) xLuasArealSampel(m2 )
BiomasaBeratKering (ton / ha ) = 10 xTotalBeratKering (kg / m 2 ) ……………….(2) Total Karbon (tonC/ha) = BiomasaBerat Kering(ton/ha) x C − oragnik (%) …..(3)
T 0,3886(1 − ) xmlK 2Cr2O7 S …………………………………………………..(4) %C = Berat sampel ( g) Penentuan jumlah karbon pada pohon didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : 1) Berat jenis (BJ) rata-rata kayu tropis adalah 0,56 (ITTO and FRIM 1994; digunakan World Bank 1995 dan Kim 2001). 2) Kandungan karbon dalam 1m3 biomassa = 0,28 ton (Kim 2001).
36
IV. ANALISIS SITUASI KOTA BANDAR LAMPUNG 4.1 Kondisi Fisik Secara Geografis, Kota Bandar Lampung terletak di antara 50o 20’ LS s.d. 50o 30’ LS dan 105o28’ BT s.d. 105o37BT dengan luas 19.218,55 ha. Elemen utama lansekap Kota Bandar Lampung terdiri atas pegunungan dan perbukitan, lembah sungai, dataran rendah, dan pantai. Areal pegunungan dan perbukitan mengapit Kota Bandar Lampung di sebelah barat dan timur wilayah kota, membujur dari utara ke selatan. Selain itu terdapat beberapa bukit yang terletak di bagian tengah wilayah kota. Secara keseluruhan, dalam wilayah Kota Bandar Lampung terdapat 33 buah areal perbukitan (gunung/bukit). Selain perbukitan juga terdapat 8 buah lereng yang berfungsi sebagai kawasan lindung mata air. Di wilayah Kota Bandar Lampung mengalir sungai-sungai, yaitu Way Halim, Way Balau, Way Awi, Way Simpur atau Way Kupang (di wilayah Tanjung Karang), Way Kuripan, Way Balau, Way Kupang, Way Garuntang, dan Way Kuwala (di wilayah Teluk Betung).
Sungai-sungai tersebut berhulu di bagian
Barat (Gunung Betung) dan bermuara di bagian selatan (Teluk Lampung) (BPS 2005). 4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Posisi Kota Bandar Lampung yang strategis telah menarik para pendatang, baik dari daerah lain di Lampung maupun kota-kota lain di luar Lampung untuk bertempat tinggal di Kota Bandar Lampung.
Hal ini
menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bandar Lampung relatif tinggi. Tingginya pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung diperlihatkan pada Gambar 5. Dalam tahun 2004 penduduk Kota Bandar Lampung berjumlah 757.336 orang, terdiri atas 379.299 laki-laki dan 378.037 perempuan (Bandar Lampung Dalam Angka 2004). Jumlah penduduk tersebut tersebar pada 13 kecamatan secara tidak merata. Sebanyak 53,43% terdapat di 5 kecamatan, yaitu Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Barat, Kedaton, Tanjung Karang Pusat, dan Tanjung Karang Timur yang umumnya merupakan pusat-pusat perdagangan.
37
800000 700000
Jumlah Penduduk (orang)
600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1971
1980
1990
2000
2001
Tahun
Gambar 5 Grafik pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung dalam tiga dekade terakhir (BPS 2003). Sebagian besar (64%) penduduk Kota Bandar Lampung bermata pencaharian dalam bidang perdagangan dan jasa. Hanya sebagian kecil (7%) yang bermata pencaharian dalam bidang pertanian, sedangkan sisanya (29%) bermata pencaharian dalam bidang transportasi, konstruksi, industri, dan keuangan (BPS 2004) (Gambar 6). Jasa 24% Perdagangan 40%
Transportasi dan Komunikasi 10% Konstruksi 8%
Listrik dan Gas 0% Industri 8%
Keuangan 3% Pertanian 7%
Gambar 6 Distribusi jumlah penduduk Kota Bandar Lampung berdasarkan mata pencaharian (BPS 2003).
38
4.3 Kondisi Umum RTH Menurut (2003/2004),
Rencana sebagian
Tata besar
Ruang (63,47%)
Wilayah wilayah
Kota
Bandar
Lampung
Kota
Bandar
Lampung
diperuntukkan sebagai RTH. Sementara berdasarkan hasil analisis (Pemerintah Kota Bandar Lampung, 2003), sampai dengan tahun 2005, kebutuhan RTH Kota Bandar Lampung adalah 5.953,28 ha (30,98%). Kebutuhan tersebut didasarkan pada kebutuhan oksigen dengan asumsi-asumsi sebagai berikut: a) satu ha lahan ditumbuhi oleh 200 batang pohon, b) 1 pohon dapat menghasilkan 1,2 kg O2 per hari, c) satu orang memerlukan 0,5 s.d. 2 kg O2 per hari. Luas tersebut setara dengan jumlah pohon sebanyak 1.160.661 batang. Kebutuhan RTH tersebut dapat dipenuhi dari lahan konservasi 3.340,98 ha dan sisanya 2.612,3 ha perlu diusahakan dalam bentuk taman kota, hutan kota, lapangan olah raga, sempadan sungai, sempadan jalan, dan memanfaatkan bukit-bukit yang ada. Areal RTH di Kota Bandar Lampung menyebar secara tidak merata. Di beberapa kecamatan (Panjang, Kemiling, Tanjung Karang Timur, Teluk Betung Barat, Tanjung Karang Barat, Rajabasa, dan Tanjung Seneng) areal RTH lebih besar dari Non-RTH, di Kecamatan Tanjung Karang Pusat, Teluk Betung Selatan, dan Kedaton lebih kecil, sedangkan di Kecamatan Teluk Betung Utara, Sukabumi, dan Sukarame relatif sama (Gambar 7). Proporsi luas RTH tersebut berkorelasi positif dengan luas wilayah dengan koefisien korelasi 0,96 dan berkorelasi negatif dengan jumlah penduduk dengan koefisien korelasi -0,41. Kelompok penggunaan lahan yang berfungsi sebagai RTH
terdiri atas
lahan konservasi (27%) dan pertanian lahan kering (73%). Besarnya proporsi luas RTH sebagai pertanian lahan kering mengindikasikan bahwa penggunaan lahan sebagai RTH tidak mantap (permanen). Pertanian lahan kering umumnya berstatus lahan milik yang setiap saat dapat dikonversi menjadi peruntukkan lain, yang sebagian menjadi lahan terbangun. Oleh karena itu, areal pertanian lahan kering ini tidak dapat ditetapkan sebagai RTH yang dapat dipertahankan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung, areal yang potensial untuk dapat dipertahankan sebagai RTH adalah: a. Sempadan Sungai, b. Sempadan Jalan, c. Sempadan Pantai, d. Kawasan Resapan Air, e. Hutan/Taman Kota, 39
f.
Gunung dan bukit-bukit, dan
g. Perkantoran. 120000
100000
80000
60000
40000
20000
et
Te b
Te b
et
Ba r
at Se la ta n Pa nj an Ta g nk ar Ti m ur Te be tU ta Ta ra nk ar Pu sa Ta t nk ar Ba ra t Ki m ilin g Ke da to n Ra ja Ta ba nj sa un g Se ne ng Su ka ra m e Su ka bu m i
0
Gambar 7
Distribusi luas RTH dan Non RTH (% dari luas kota) pada masingmasing kecamatan di Kota Bandar Lampung (Sumber : BPN Kota Bandar Lampung 2003/2004 dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung 2003/2004, data diolah).
Areal-areal tersebut merupakan sarana publik yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung. Sedangkan areal permukiman dan lahan pertanian, baik sawah maupun ladang/kebun dapat dianggap dan diarahkan sebagai ”pendukung” RTH. Berdasarkan hasil evaluasi (Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung 2003) di lapangan terdapat penyimpangan ruang terbuka hijau, diantaranya: 1) Sangat kurangnya taman-taman dan ruang terbuka hijau, di beberapa lingkungan permukiman belum terdapat taman lingkungan. 2) Bukit-bukit yang dapat dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau telah dieksploitasi untuk kegiatan penambangan dan kegiatan pembangunan lainnya. 3) Hutan kota di wilayah Sukarame belum berfungsi optimal sebagai RTH karena kondisi tanaman tidak terpelihara dengan baik.
40
4) Masih sangat kurangnya pohon-pohon peneduh dan pohon untuk mengurangi polusi di sepanjang jalan-jalan utama kota dan di sekitar wilayah industri. Di seluruh wilayah Kota Bandar Lampung terdapat 51 buah jalan. Jalanjalan tersebut terbagi kedalam jalan utama (arteri) dan jalan cabang (kolektor). Menurut Pemerintah Kota Bandar Lampung (2003) panjang seluruh jalan Kota Bandar Lampung adalah 900,320 km dengan lebar sempadan berkisar antara 6 m s.d. 45 m (rata-rata 14,35 m). Berdasarkan rencana pemanfaatan lahan dalam RTRW Kota Bandar Lampung hingga tahun 2004, alokasi RTH berupa taman kota, lapangan olahraga, dan jalur hijau sebesar 173,01 Ha. Menurut BAPPEDA Lampung (2003), kebutuhan taman kota sebesar 4,8 ha dan lapangan olahraga sebesar 9 ha. Sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk jalur hijau jalan sebesar 159,21 ha. Sampai saat ini, di Kota Bandar Lampung belum terdapat ketetapan dan data tentang jalur hijau sungai.
Mengacu pada Keputusan Presiden No. 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kriteria sempadan sungai adalah: a). Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman dan b). Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tersebut tidak memberikan batasan tentang sungai besar dan anak sungai. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa seluruh sungai di Kota Bandar Lampung dikategorikan kedalam anak sungai (sungai kecil dengan lebar badan sungai kurang dari 20 m). Menurut Pemerintah Kota Bandar Lampung (2003) beberapa bagian sempadan sungai
telah menjadi permukiman, yaitu
Way Kuala (sepanjang 3,2 km); Way Lunik (1,7 km); Way Kunyit (0,6 km); Way Awi (3,4 km); Way simpur (1,1 km); dan Way Halim (1,5 km). Dengan asumsiasumsi tersebut di atas luas sempadan sungai di Kota Bandar Lampung adalah 1215.7 ha. Seperti halnya sempadan sungai, di Kota Bandar Lampung belum ada Peraturan Daerah tentang luas sempadan pantai yang pasti.
Damai (2003)
dengan mengacu pada Keputusan Presiden Tahun 1990 yang dimodifikasi memproyeksikan kebutuhan jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung adalah 50
41
ha. Lebih lanjut Damai (2003) menyatakan bahwa kebutuhan ruang tersebut dapat dipenuhi oleh lahan tersedia yang merupakan ruang belum terbangun.
42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keragaman Jenis Pohon 5.1.1 Hutan Kota Ruang terbuka hijau berbentuk hutan kota yang diamati terdiri atas Hutan Kota Way Halim, Bukit Kelutum, Bukit Langgar, Bukit Sukajawa, Gunung Kucing, dan Taman Kota Dipangga. Areal-areal tersebut tersebut ditetapkan sebagai RTH berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung Tahun 2005-2015 Lampiran V Rencana Pengelolaan Perbukitan Kota Bandar Lampung. Areal RTH (Hutan Kota) Way Halim terletak di pinggir kiri dan kanan jalan, Taman Kota Dipangga dikelilingi oleh jalan dan terletak di pusat kota, sedangkan RTH berupa bukit umumnya relatif jauh dari jalan raya tetapi dikelilingi oleh permukiman. Bukit Kucing dikelilingi oleh permukiman.
Di bagian kaki bukit
terdapat aktivitas pembuatan bata, dan perladangan, sedangkan di bagian yang lebih tinggi terdapat kegiatan penambangan/penggalian batu untuk pembuatan cobek. Bukit Sukajawa terletak tidak jauh (± 500 m) dari pasar dan dikelilingi oleh permukiman. Di bagian kaki bukit terdapat kegiatan perladangan, sedangkan bagian atasnya berupa belukar yang merupakan bekas kebun yang tidak terawat. Bukit Kelutum terletak di kawasan permukiman, dilihat dari ukuran yang besar dan model rumahnya, perumahan yang mengelilingi bukit ini dapat digolongkan kedalam
perumah
mewah,
akan
tetapi
mendekati
perumahan yang sederhana dan terkesan kumuh. agak terpencil.
puncaknya
terdapat
Gunung Langgar terletak
Di sisi baratnya berkembang kompleks-kompleks perumahan
yang mulai merambat naik ke lereng bukit, tetapi di sisi selatan, utara dan timur masih merupakan lahan kosong, sebagian berupa semak dan alang-alang sedangkan sebagian lain berupa vegetasi kebun campuran dan hutan sekunder. Masyarakat sekitar areal RTH, sebagian besar (95%) tidak mengetahui bahwa areal tersebut merupakan hutan kota (RTH).
Selain belum pernah
mendapatkan penjelasan dari pihak aparat, di lapangan tidak terdapat tandatanda (batas areal atau papan identitas) yang menunjukkan bahwa areal tersebut merupakan hutan kota atau ruang tebuka hijau.
Anggota masyarakat yang
mengetahui bahwa areal tersebut merupakan RTH atau hutan kota mendapatkan 43
informasi dari surat kabar dan atau dari orang lain. Gambaran umum keadaan RTH yang menjadi objek penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Gambaran kondisi vegetasi RTH yang dijadikan sampel penelitian. Berdasarkan hasil inventarisasi jenis pohon di enam lokasi RTH berbentuk hutan kota ditemukan 44 spesies pohon yang tercakup dalam 24 famili.
Ditinjau dari keliarannya (budidaya atau non-budidaya) 10 spesies
(22,73,67%) tergolong pohon non-budidaya (pohon yang tumbuh secara alami) dan 34 spesies (77,27%) tergolong pohon budidaya, yaitu pohon yang sudah biasa dibudidayakan. Data ringkas hasil inventarisasi jenis pohon di hutan kota Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 3.
44
Tabel 3 Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung Family
Species Way Halim
Anacardiaceae Anacardium occidentale Anacardiaceae Mangifera indica Anacardiaceae Spondias pinnata Annonaceae Annona squamosa Apocynaceae Alstonia scholaris Bigoniaceae Spathodea campanulata Bombacaceae Durio zibethinus Casuarinaceae Casuarina equisetifolia Combretaceae Terminalia cattapa Euphorbiaceae Aleurites moluccana Euphorbiaceae Ricinus communis Fabaceae Casia siamea Fabaceae Delonix regia Fabaceae Acacia mangium Fabaceae Acacia auriculiformis Fabaceae Leucaena leucocephala Fabaceae Leucanena sp Fabaceae Parkia speciosa Fabaceae Pithecellobium lobatum Fabaceae Dalbergia latifolia Fabaceae Erythrina variegata Fabaceae Sesbania grandiflora Gnetaceae Gnetum gnemon Lauraceae Cinnamomum burmanii Lauraceae Persea americana Lythraceae Lagerstroemia speciosa Malvaceae Ceiba pentandra Meliaceae Lansium domesticum Meliaceae Swietenia macrophylla Mimosaceae Albizia procera Mimosaceae Paraserianthes falcataria Moraceae Ficus septica Moraceae Artocarpus communis Moraceae Artocarpus integra Moraceae Caryophyllus aromaticus Myrtaceae Eugenia aromatica Myrtaceae Eugenia aquea Myrtaceae Psidium guajava Rutaceae Aegle marmelos Sapindaceae Nephelium lapaceum Sterculiaceae Pterospermum javanicum Sterculiaceae Theobroma cacao Verbenaceae Peronema canescens Verbenaceae Tectona grandis Jumlah individu per ha Jumlah spesies
11,11 1,39 4,17 11,11 11,11 1,39 29,17 6,94 1,39 34,72 8,33 2,78 123,61 12
Areal Hutan kota Bukit Gunung Bukit Kelutum Langgar Suka Jawa 2,38 1,19 4,76 2,38 3,57 3,57 4,76 8,33 3,57 1,19 1,19 10,71 1,19 16,67 19,05 1,19 85,71 171,43 17
1,04 1,04 1,04 4,20 1,04 5,20 65,60 1,04 5,20 1,04 8,30 1,04 2,10 1,04 4,20 3,10 25,00 19,80 8,30 1,04 1,04 1,04 2,10 1,04 12,50 178,08 25
5,00 3,75 2,50 1,25 85,00 2,50 8,75 17,50 1,25 1,25 1,25 25,00 47,50 202,50 13
Gunung Kucing 5,21 5,21 14,58 1,04 1,04 1,04 2,08 2,08 53,13 33,33 1,04 11,46 1,04 10,42 1,04 4,17 1,04 1,04 1,04 4,17 155,21 20
45
Data Tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan penyusun hutan kota, baik jumlah maupun spesiesnya. Secara kuantitatif, perbedaan tersebut dinyatakan dalam indeks diversitas sebagai berikut (Tabel 4). Data Tabel 4 menunjukkan bahwa spesies penyusun komunitas hutan kota Way Halim berbeda sangat nyata dengan areal-areal hutan kota yang lain. Hutan kota Way Halim merupakan hutan kota buatan yang terletak di tengah kota Bandar Lampung dan dirancang sebagai hutan kota. Spesies pohon yang ditanam umumnya spesies yang biasa digunakan sebagai tanaman penghijauan dan peneduh jalan. Spesies tersebut juga ditemukan di hutan kota yang lain, yaitu Acacia auriculiformis, Casia siamea, Paracerianthes falcataria, dan Leucaena leucocephala. Tabel 4 Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya Lokasi Hutan Kota
Way Halim
Bukit Kelutum
-
2/27 (0,07)
3/33 (0,09)
2/23 (0,09)
6/26 (0,23)
Bukit Kelutum
0,93
-
12/30 (0,40)
10/20 (0,50)
9/28 (0,32)
Gunung Langgar
0,91
0,60
-
9/29 (0,31)
12/33 (0,36)
Bukit Sukajawa
0,91
0,50
0,69
-
7/26 (0,27)
Gunung Kucing
0,77
0,68
0,64
0,73
-
Way Halim
Gunung Bukit Langgar Sukajawa
Gunung Kucing
Keterangan: Jumlah spesies yang terdapat di kedua komunitas
2/27 (0,07) 0,93
Jumlah total spesies dari dua komunitas Nilai indeks similaritas Nilai indeks diversitas
Indeks similaritas terbesar (50%) terdapat antara Bukit Sukajawa dengan Bukit Kelutum.
Dari 20 spesies yang ditemui di Bukit Sukajawa atau Bukit
Kelutum, 10 spesies di antaranya ditemui di kedua komunitas tersebut. Spesies yang terdapat di kedua komunitas tersebut adalah Mangifera indica, Gnetum gnemon, Persea americana, Parkia speciosa, Arthocarpus integra, Eugenia aromatica, dan Psidium guajava merupakan spesies yang biasa dibudidayakan 46
masyarakat sebagai tanaman penghasil buah di kebun (ladang) dan pekarangan. Selain pohon penghasil buah, juga ditemui Acacia auriciliformis, Paracerianthes falcataria, dan Tectona grandis yang merupakan spesies pohon yang banyak ditanam dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan sebagai penghasil kayu. Bukit Kelutum dan Bukit Sukajawa merupakan hutan kota bervegetasi kebun campuran dan semak belukar yang dikelilingi oleh permukiman penduduk. Banyaknya
spesies
penghasil
buah
yang
sudah
biasa
dibudidayakan
menunjukkan tingginya intervensi manusia dalam pembentukan vegetasi tersebut. Informasi mengenai keliaran, manfaat, dan indeks nilai penting (INP) masing-masing spesies disajikan pada Tabel 5. Ditinjau dari kerapatan relatif (KR) spesies Tectona grandis, Casia siamea, dan Gnetum gnemon memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding spesies lainnya. Hal ini disebabkan spesies tersebut memiliki jumlah individu yang relatif banyak dibandingkan dengan jumlah individu spesies lainnya.
Hal ini
menunjukkan bahwa spesies tersebut disukai oleh masyarakat. Selain memiliki nilai KR yang tinggi, spesies ini juga memiliki nilai frekuensi relatif (FR) yang relatif tinggi. Artinya, spesies tersebut tersebar secara relatif merata. Dari lima lokasi pengamatan, spesies tersebut ditemukan pada empat lokasi. Spesies lain yang tersebar relatif merata adalah Eugenia aromatica, Mangifera indica, Paraserianthes falcataria, Acacia auriculiformis, Parkia speciosa, dan Psidium guajava. Ditinjau dari indeks nilai penting (INP), data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa Tectona grandis, Casia siamea, dan Gnetum gnemon merupakan tiga jenis pohon yang paling dominan. Disamping memiliki nilai KR yang tinggi, spesies tersebut memiliki nilai FR yang relatif tinggi. Tectona grandis dan Gnetum gnemon ditemui di areal hutan kota Bukit Kelutum, Bukit Langgar, Bukit Sukajawa, dan Gunung Kucing. Tectona grandis ditanam masyarakat dengan tujuan sebagai persediaan kayu sedangkan Gnetum gnemon ditanam sebagai penghasil buah untuk bahan baku pembuatan emping atau diambil pucuk dan buahnya sebagai sayuran. Tingginya INP kedua spesies pohon tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesukaan masyarakat terhadap kedua spesies tersebut relatif tinggi sehingga ditanam sebagai tanaman utama.
47
Tabel 5
Keliaran, manfaat, dan indeks nilai penting (INP) masing-masing spesies yang ditemukan di hutan kota berbentuk area Kota Bandar Lampung
Family
Species
Keliaran
Manfaat
Verbenaceae Caesalpiniaceae Gnetaceae Moraceae Mimosaceae Moraceae Fabaceae Myrtaceae Lythraceae Fabaceae Anacardiaceae Mimosaceae Mimosaceae Mimosaceae Myrtaceae Lauraceae Sterculiaceae Fabaceae Fabaceae Bombacaceae Malvaceae Euphorbiaceae Combretaceae Fabaceae Myrtaceae Bigoneaceae Fabaceae Meliaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Apocynaceae Meliaceae Lauraceae Rutaceae Moraceae Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Casuarinaceae Moraceae Sapindaceae Sterculiaceae Verbenaceae Σ 24 family
Tectona grandis Casia siamea Gnetum gnemon Ficus septica Albizia procera Arthocarpus integra Sesbania grandiflora Eugenia aromatica Lagerstroemia speciosa Leucaena leucocephala Mangifera indica Paracerianthes falcataria Acacia auriculiformis Parkia speciosa Psidium guajava Persea americana Theobroma cacao Pithecellobium lobatum Acacia mangium Durio zibenthinus Ceiba pentandra Aleurites moluccana Terminalia cattapa Erythrina variegata Eugenia aquaea Spathoadea campanulata Delonix regia Swietenia macrophylla Ricinus communis Leucanena sp Dalbergia latifolia Alstonia scholaris Lansium domesticum Cinnamomum burmanii Aegle marmelos Caryophyllus aromaticus Anacardium occidentale Spondias pinnata Annona squamosa Casuarina equisetifolia Arthocarpus communis Nephelium lapaceum Pterospermum javanicum Peronema canescens Σ 44 spesies
Budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya Budidaya Non-budidaya Budidaya
Kayu Peneduh Buah ? Kayu Buah ? Buah Hias Kayu Buah Kayu Kayu Buah Buah Buah Buah Buah Kayu Buah Buah Buah Hias Naungan Buah ? Hias Kayu Peneduh Buah Kayu Kayu Buah Rempah ? ? Buah Buah Buah Hias Buah Buah Kayu Kayu
KR
FR
INP
16.45 4.35 20.80 15.40 4.35 19.75 13.71 4.35 18.06 4.96 3.26 8.22 4.70 3.26 7.96 4.70 3.26 7.96 6.66 1.09 7.75 2.87 4.35 7.22 3.92 3.26 7.18 3.00 3.26 6.26 1.57 4.35 5.92 1.44 4.35 5.79 1.04 4.35 5.39 0.78 4.35 5.13 0.52 4.35 4.87 1.31 3.26 4.57 2.61 1.09 3.70 1.31 2.17 3.48 1.17 2.17 3.34 0.91 2.17 3.08 0.91 2.17 3.08 0.78 2.17 2.95 0.39 2.17 2.56 0.39 2.17 2.56 0.26 2.17 2.43 1.04 1.09 2.13 1.82 2.18 4.00 0.78 1.09 1.87 0.65 1.09 1.74 0.65 1.09 1.74 0.65 1.09 1.74 0.52 1.09 1.61 0.39 1.09 1.48 0.26 1.09 1.35 0.26 1.09 1.35 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 0.13 1.09 1.22 100.00 100.00 200.00
Keterangan: ? = Belum teridentifikasi 48
Pohon penghasil buah, walaupun dari segi jumlah spesies paling besar, akan tetapi jumlah individu masing-masing spesiesnya relatif kecil (0,13% s.d 13.71%), kecuali Gnetum gnemon. Pohon buah umumnya tumbuh secara alami atau ditanam hanya sebagai tanaman sela untuk memenuhi kebutuhan subsisten atau untuk penghasilan tambahan. Pohon Casia siamea, selain mendominasi seluruh areal Taman Dipangga juga ditemui di Hutan Kota Way Halim. Pohon ini ditanam sebagai tanaman peneduh.
Taman Dipangga dan Hutan Kota Way
Halim merupakan areal hutan kota yang terletak di tengah perkotaan dengan fungsi utama sebagai taman. Vegetasi yang ada merupakan vegetasi buatan, seluruh pohon yang ada merupakan pohon budidaya hasil penanaman. Dikelompokkan berdasarkan keliarannya, sebagian besar (72,27%) spesies pohon penyusun komunitas hutan kota berbentuk area RTH Kota Bandar Lampung merupakan pohon budidaya.
Berdasarkan kegunaannya (manfaat
utamanya), sebagian besar (70,45%) merupakan pohon penghasil buah dan atau kayu.
Dominannya spesies pohon budidaya menunjukkan besarnya peran
manusia terhadap pembentukan vegetasi RTH. Kecuali Hutan Kota Way Halim dan Taman Dipangga, hutan kota lainnya yaitu Bukit Kelutum, Bukit Langgar, Bukit Sukajawa, dan Gunung Kucing merupakan areal perbukitan yang berstatus lahan milik dengan kondisi vegetasi relatif alami, tetapi di dalamnya terdapat areal perladangan.
Perbukitan tersebut, terutama areal perladangannya
ditumbuhi dengan berbagai tanaman budidaya, terutama penghasil buah dan kayu. Hutan Kota Way Halim dan Taman Kota Dipangga merupakan lahan negara yang ditanami pohon budidaya yang fungsi utamanya sebagai peneduh dan atau penghias. Pengelompokan spesies pohon yang ditemui di RTH Kota Bandar Lampung berbentuk area berdasarkan keliaran dan kegunaan utamanya disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai indeks kekayaan jenis (Indeks Margalef), indeks keragaman jenis Shanon (H), dan indeks kemerataan jenis (E) masing-masing komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung dan komunitas hutan pembanding di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman seperti disajikan pada Tabel 7.
Data pada Tabel 7 menunjukkan
bahwa vegetasi hutan kota perbukitan yang relatif alami, meskipun telah digunakan sebagai areal perladangan, memiliki keragaman jenis pohon yang lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi buatan, yaitu Hutan Kota Way Halim dan Taman Kota Dipangga yang terletak di tengah kota. 49
Tabel 6 Pengelompokan jenis pohon RTH hutan kota Kota Bandar Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya Kegunan atau fungsi utama Penghasil Buah Hias Penghasil Kayu Naungan Peneduh Penghasil Rempah Belum jelas Jumlah
Tabel 7
Budidaya 19 2 8 1 2 1 1
Keliaran Non-Budidaya Jumlah 1 20 2 4 3 11 0 1 0 2 0 1 4 5
34
10
44
% 45,45 9,09 25,00 2,27 4,56 2,27 11,36 100,00
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas hutan kota berbentuk area di Kota Bandar Lampung
RTH
Jumlah Individu per ha
Indeks Kekayaan (R)
Indeks Keragaman (H)
Ideks Kemerataan (E)
Hutan Kota Way Halim
123,61
2,28
2,04
0,55
Bukit Kelutum
171,43
3,11
1,87
0,32
Bukit Langgar
178,08
4,63
2,28
0,41
Sukajawa
202,50
2,26
1,71
0,41
Gunung Kucing
155,21
3,77
2,13
0,44
Hutan Kota Bandar Lampung1)
166,17
8,78
2,82
0,53
Tahura WAR2)
217,65
7,34
3,51
0,83
Keterangan: 1) : Didasarkan pada jumlah spesies dan jumlah individu di enam lokasi hutan kota 2) : Didasarkan pada areal sampel di lokasi yang relatif masih alami di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachaman Perbedaan keragaman jenis terutama disebabkan oleh tujuan penanaman dan tindakan pengelolaan. Hutan Kota Way Halim yang merupakan vegetasi buatan yang dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan bentuk vegetasi hutan. Untuk kepraktisan pengelolaan, areal ini ditanami hanya dengan beberapa jenis pohon yang cepat tumbuh, yaitu Acacia mangium, Delonix regia, Dalbergia latifolia, Lagerstroemia speciosa, dan Leucaena leucocephala. Spesies tersebut,
50
kecuali Delonix regia dan Lagerstroemia speciosa, merupakan spesies yang digunakan untuk program reboisasi di Propinsi Lampung sehingga bibitnya banyak tersedia.
Delonix regia dan Lagerstroemia speciosa banyak digunakan
sebagai tanaman peneduh jalan sedangkan spesies lainnya telah ada sebelum areal tersebut ditanami sebagai hutan kota. Taman Dipangga merupakan taman yang luasannya relatif kecil, telah tua dan tidak mengalami pengayaan jenis. Tajuk pohon yang ada telah menutupi hampir seluruh areal taman sehingga pengayaan jenis tidak dapat dilakukan, kecuali dengan tanaman berhabitus semak. Apabila spesies penyusun vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung dibandingkan dengan spesies penyusun Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR), vegetasi hutan alami terdekat, jumlah spesies yang terinventarisir relatif sama, yaitu masing-masing 44 dan 45 spesies (Tabel 5). Akan tetapi, vegetasi Tahura WAR memiliki indeks kekayaan (R), indeks kemerataan (E), dan indeks keragaman (H) yang lebih besar dibanding dengan vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah individu yang terdapat dalam vegetasi Tahura WAR tersebar secara lebih merata pada masing-masing spesies. Sebaliknya, pada vegetasi hutan kota terdapat dominasi spesies tertentu, terutama Tectona grandis, Gnetum gnemon, Casia siamea, dan Sesbania grandiflora sehingga indeks kekayaan, indeks keragaman, dan indeks kemerataannya lebih kecil. Irawan (2000) menginventarisasi jenis pohon pada hutan primer di Areal HPH PT Ratah Timber Co. Kalimantan Timur mendapatkan 79 spesies dengan indeks keragaman (H) sebesar 3.42. Nilai indeks tersebut lebih kecil dari nilai indeks keragaman (H) di Tahura WAR (3,51) padahal jumlah spesiesnya lebih sedikit (45 spesies).
Hal ini menunjukkan bahwa penggambaran suatu
komunitas hanya dengan nilai indeks keragaman (H) kurang informatif. Selain indeks keragaman, hutan kota Kota Bandar Lampung memiliki komposisi spesies penyusun vegetasi yang berbeda dengan vegetasi Tahura WAR.
Vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung didominasi tumbuhan
budidaya, sementara Tahura WAR lebih didominasi tumbuhan non-budidaya (86,67%) yang tidak terdapat di hutan kota Kota Bandar Lampung.
Dari 84
spesies yang terinventarisir di hutan kota dan Tahura WAR, hanya 6 spesies yang terdapat di kedua vegetasi. Apabila dinyatakan dalam indeks similaritas
51
dengan kisaran antara 0 s.d. 1, nilai indeks kesamaan vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung dengan Tahura WAR adalah 0,13 atau indeks perbedaan 0,87. Artinya, ditinjau dari spesies penyusunnya, kesamaan vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung dengan vegetasi Tahura WAR adalah 13%. Spesies yang terdapat di kedua vegetasi tersebut semuanya adalah tanaman budidaya, yaitu Aleurites moluccana, Eugenia aromatica, Leucaena leucocephala, Mangifera indica, Parkia speciosa, dan Psidium guajava. Hal ini disebabkan kawasan Tahura WAR telah mengalami perambahan untuk kepentingan areal perladangan.
Disamping menanam tanaman Coffea spp
sebagai tanaman pokok, peladang umumnya menanam tanaman penghasil buah. Pada vegetasi hutan kota Kota Bandar Lampung tidak ditemukan lagi spesies dari family Dipterocarpaceae yang merupakan ciri khas hutan hujan tropika Indonesia. Sementara pada vegetasi Tahura WAR, spesies dari family Dipterocarpaceae masih ditemukan, yaitu Dipterocarpus sp. 5.1.2
Jalur Hijau
5.1.2.1 Jalur Hijau Jalan Dari hasil inventarisasi jalur hijau 7 (tujuh) ruas jalan di Kota Bandar Lampung ditemukan 44 spesies pohon yang termasuk dalam 23 famili. Data rata-rata jumlah individu masing-masing spesies di masing-masing jalur hijau disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa masing-masing jalur hijau memiliki komposisi spesies dan jumlah individu yang berbeda.
Jalan yang
memiliki spesies terbanyak adalah Jalan Gatot Subroto, yaitu 21 spesies dengan kerapatan 143,33 pohon per ha, sedangkan yang paling sedikit memiliki spesies adalah Jalan Radin Intan, yaitu dua spesies dengan kerapatan 100,00 pohon per ha. Kerapatan masing-masing spesies juga berbeda-beda spesies Pterocarpus indicus, Swietenia macrophylla, Leucaena leucocephala, Dalbergia latifolia, Acacia auriculiformis, dan Roystone regia ditemukan dengan kerapatan yang relatif jauh lebih tinggi (rata-rata > 10 pohon per ha) dibanding yang lain. Lima spesies pertama, dikembangkan secara ekstensif oleh Dinas Kehutanan dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan, sedangkan Roystone regia merupakan spesies eksotik yang disenangi masyarakat dan ditanam oleh banyak pengembang sebagai tanaman hias di kompleks perumahan.
52
Tabel 8 Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung Famili
Spesies Pohon
Anacardiaceae
Spondias pinnata
Anacardiaceae
Mangifera indica
Aracaceae
Roystone regia
Arecaceae
Areca catechu
Bombacaceae
Durio zibethinus
Casuarinaceae
Casuarina sumtrana
Combretaceae
Terminalia cattapa
Euphorbiaceae
Jatropha gossyfolia
Euphorbiaceae Fabaceae
Teuku Cik Ditiro
Laks. Ma- Radin Intan lahayati 15,63 -
Sultan Agung
Gatot Subroto
-
33,33
10,00
-
1,67
-
-
1,04
6,25
-
4,17
-
15,63
58,33
22,92
-
-
-
3,33
-
-
-
8,33
-
-
-
-
-
-
-
3,33
-
-
-
-
6,25
14,58
-
-
-
M. Noer Sukarno -Hatta
-
-
-
-
2,08
-
-
3,33
9,38
-
-
-
13,33
2,08
Hevea brasiliensis
-
-
-
-
-
5,00
-
Delonix regia
-
-
-
-
29,17
-
-
Fabaceae
Casia siamea
3,33
-
-
-
-
18,33
-
Fabaceae
Tamarindus indica
-
-
-
-
4,17
-
-
Fabaceae
Acacia mangium
6,67
-
-
3,13
4,17
1,67
-
Fabaceae
Intsia bijuga
-
-
-
22,92
-
-
-
Fabaceae
Acacia auriculiformis
6,67
3,13
-
16,67
22,92
-
27,08
Fabaceae
Leucaena leucocephala
3,33
-
-
4,17
4,17
5,00
91,67
Fabaceae
Parkia speciosa
1,67
-
-
2,08
2,08
-
-
Fabaceae
Leucaena glauca
-
-
-
-
-
-
6,25
Fabaceae
Dalbergia latifolia
50,00
-
-
13,54
-
13,33
-
Gnetaceae
Gnetum gnemon
-
-
-
-
-
-
6,25
Lauraceae
Persea americana
1,67
-
-
-
-
-
-
Leguminosae
Bauhinia purpurea
3,33
-
-
-
-
25,00
-
Leguminosae
Enterolobium cylocarpum
Leguminosae
Pterocarpus indicus
Lythraceae
Lagerstroemia speciosa
-
Malvaceae
Ceiba pentandra
-
Malvaceae
Swietenia macrophylla
13,33
Meliaceae
Toona sureni
Mimosaceae
Paracerianthes falcataria
Moraceae
Ficus benjamina
Moraceae
Arthocarpus integra
Moraceae Myrtaceae Myrtaceae
Eugenia aquea
Myrtaceae
Psidium guajava
Palmae
Cocos nucifera
Palmae
Palm
-
-
Rutaceae
Morinda citrifolia
-
-
Sapindaceae
Nephelium lapaceum
-
-
Sapotaceae
Mimusop elengi
-
-
Sterculiaceae
Pterospermum javanicum
-
-
Sterculiaceae
Theobroma cacao
-
-
-
2,08
-
8,33
-
33,33
37,50
41,67
50,00
22,92
41,67
33,33
-
-
3,13
2,08
1,67
18,75
-
-
-
-
-
8,33
6,25
-
13,54
4,17
36,67
37,50
-
-
-
-
-
13,33
-
-
-
-
-
2,08
21,67
-
3,33
-
-
1,04
-
-
-
-
-
-
-
8,33
-
18,75
Arthocapus communis
-
-
-
-
-
-
8,33
Eugenia aromatica
-
-
-
-
2,08
-
-
5,00
-
-
-
6,25
-
-
Verbenaceae
Tectona grandis
Verbenaceae
Gmelina arborea
Jumlah individu per ha Jumlah spesies
-
-
-
3,13
-
-
8,33
1,67
-
-
-
-
-
20,83
-
-
10,42
5,00
-
-
-
-
-
6,25
-
-
2,08
-
-
-
6,25
-
-
-
-
35,42
-
3,33
8,33
-
-
-
3,13
-
-
2,08
1,67
-
-
10,42
29,17
15,00
6,25
-
-
-
2,08
-
-
87,50 100,00 220,83
222,92
241,67
314,58
21
17
18
143,33 17
6
2
19
53
Secara kuantitatif perbedaan komposisi spesies antar komunitas jalur hijau dinyatakan dengan nilai indeks diversitas seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa indeks diversitas komunitas jalur hijau di Kota Bandar Lampung seluruhnya lebih besar dari 60%, artinya spesies penyusun komunitas tersebut memiliki perbedaan ≥60% atau kesamaan ≤ 40%. Indeks kesamaan tertinggi terdapat antara jalur hijau jalan Teuku Cikditiro dan jalur hijau jalan Laksamana Malahayati. Dari 10 spesies yang terdapat pada kedua jalur hijau tersebut, empat spesies terdapat di kedua jalur hijau tersebut. Pada Tabel 9 dapat dilihat, spesies yang terdapat di kedua jalur hijau jalan tersebut adalah Jatropha
gossyfolia,
Swietenia
macrophylla,
Acacia
auriculiformis,
dan
Pterocarpus indicus. Kecuali Jatropha gossyfolia, spesies tersebut relatif umum ditemui, selain di kedua jalur hijau tersebut juga ditemui di jalur hijau lainnya. Pterocarpus indicus ditemukan pada semua (tujuh) jalur hijau, Swietenia macrophilla ditemukan pada enam jalur hijau, dan Acacia auriculiformis ditemukan pada lima jalur hijau.
Ketiga spesies tersebut banyak digunakan
sebagai tanaman peneduh jalan karena cepat tumbuh dan bibitnya mudah diperoleh. Spesies tersebut sering digunakan oleh Dinas Kehutanan sebagai tanaman reboisasi dan penghijauan. Tabel 9 Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya Teuku Cikditiro Teuku Cikditiro Laks. Malahayati Radin Intan Sultan Agung Gatot Subroto M. Noer SukarnoHatta
Laks. Malahayati 4/10 (0,40)
0,60
Radin Intan 1/18 (0,05) 2/26 (0,23)
Sultan Agung 10/26 (0,38) 4/21 (0,19) 2/19 (0,10)
Gatot Subroto 10/26 (0,38) 4/24 (0,17) 1/22 (0,04) 10/31 (0,32)
0,95
0,77
0,62
0,81
0,90
0,62
0,83
0,96
0,68
0,65
0,80
0,95
0,68
0,71
0,70
0,80
0,95
0,63
0,75
M. Noer 9/26 (0,35) 4/20 (0,20) 1/18 (0,05) 9/28 (0,32) 9/31 (0,29)
SukarnoHatta 8/27 (0,30) 4/20 (0,20) 1/19 (0,05) 10/27 (0,37) 8/32 (0,25 7/29 (0,24)
0,75
Keterangan: Jumlah spesies yang terdapat di kedua komunitas
4/10 (0,40) 0,60
Jumlah total spesies dari dua komunitas Nilai indeks similaritas Nilai indeks diversitas
54
Dilihat dari keliarannya, sebagian besar (95,45%) tergolong spesies pohon budidaya. Dari 44 spesies yang ditemui, hanya 2 spesies yang tergolong spesies liar, yaitu Terminalia cattapa dan Ficus benjamina.
Pohon tersebut tumbuh
secara alami dan dibiarkan berkembang, tidak ditebang. Berdasarkan kegunaan utamanya, sebagian besar (75,00%) merupakan pohon penghasil buah atau kayu. Seluruh spesies pohon tersebut, baik penghasil buah maupun kayu, merupakan spesies yang sudah biasa dibudidayakan oleh masyarakat atau Departemen Kehutanan.
Pengelompokan spesies pohon yang ditemui di jalur
hijau jalan berdasarkan kegunaan utama dan keliarannya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengelompokan jenis pohon RTH jalur hijau jalan kota Kota Bandar Lampung berdasarkan sifat dan kegunaan utamanya Kegunan atau fungsi utama
Keliaran Budidaya
Non-Budidaya
Jumlah
20
0
20
45,45
5
2
7
15,91
13
0
13
29,55
Getah
1
0
1
2,27
Peneduh
3
0
3
6,82
42
2
44
100,00
Penghasil Buah Hias Penghasil Kayu
Jumlah
%
Spesies pohon penghasil buah umumnya terdapat di jalur hijau yang berlokasi di sekitar permukiman. Pohon tersebut sengaja ditanam atau tumbuh dengan sendirinya dan dibiarkan berkembang. Di jalur hijau yang berdekatan dengan areal pertokoan dan perkantoran lebih banyak ditemui spesies pohon penghasil kayu atau peneduh.
Walaupun demikian, spesies ini banyak juga
ditemui di jalur hijau yang berdekatan dengan permukiman. Pohon penghasil kayu atau hias, selain ditanam oleh Pemda Kota Bandar Lampung juga oleh masyarakat tetapi dengan fungsi utama sebagai peneduh atau pelindung dari terik sinar matahari. Ditinjau dari aspek keragaman, berdasarkan indeks keragaman Shanon (H), jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung umumnya memiliki nilai H lebih besar dari 2,00, hanya jalan Laksamana Malahayati dan Radin Intan yang memiliki nilai H < 2,00. Di jalur hijau Jalan Radin Intan hanya ditemukan dua spesies. Jalan Laksamana Malahayati, walaupun memiliki nilai indeks kekayaan 55
spesies paling besar (4,25) tetapi memiliki nilai H sebesar 1,52. Di jalur hijau jalan ini hanya ditemui 6 spesies dengan jumlah individu per ha paling kecil (87,5).
Jalan Radin Intan dan Laksamana Malahayati merupakan areal
pertokoan yang relatif padat, areal jalur hijau lebih banyak digunakan untuk areal parkir. Parameter keragaman spesies masing-masing jalur hijau di Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 11. Hasil perhitungan keanekaragaman setiap RTH selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Tabel 11
Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau jalan Bandar Lampung
Jalur Hijau Jalan
Teuku Cikditiro
Jumlah Individ u per ha
Indeks Kekayaa n (R)
Indeks Keragaman (H)
Indeks Kemerataa n (E)
143,33
3,83
2,11
0,43
87,50
4,25
1,52
0,46
Radin Intan
100,00
0,22
0,68
0,21
Sultan Agung
220,83
3,33
2,44
0,60
Gatot Subroto
222,92
3,88
2,65
0,66
M Noer
241,67
3,10
2,56
0,68
Soekarno-Hatta
314,58
2,96
2,40
0,52
Laksamana Malahayati
5.1.2.2 Jalur Hijau Sungai Hasil inventarisasi di 4 (empat) jalur hijau sungai mendapatkan bahwa di jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung terdapat 39 spesies pohon yang termasuk dalam 23 famili. Data rata-rata jumlah individu masing-masing spesies di masing-masing jalur hijau sungai disajikan pada Tabel 12. Berbeda dengan jalur hijau jalan, rata-rata jumlah spesies yang terdapat di jalur hijau sungai lebih besar.
Rata-rata jumlah spesies pada jalur hijau jalan adalah 20,75 dengan
kisaran 2 s.d. 21 (standar deviasi 7,25), sedangkan rata-rata jumlah spesies pada jalur hijau sungai 14,29 dengan kisaran 15 s.d. 26 (standar deviasi 2,79). Ini menunjukkan bahwa, perbedaan jumlah spesies pada jalur hijau jalan sungai lebih kecil dibandingkan dengan jalur hijau jalan.
56
Tabel 12 Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung Famili
Spesies Pohon
Anacardiaceae Spondias pinnata Anacardiaceae Mangifera indica Annonaceae Annona muricata Annonaceae Annona squamosa Arecaceae Arenga pinnata Arecaceae Areca catechu Arecaceae Roystone regia Bombacaceae Durio zibethinus Caesalpiniaceae Casia siamea Combretaceae Terminalia cattapa Euphorbiaceae Jatropha gossyfolia Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Fabaceae Tamarindus indica Fabaceae Acacia auriculiformis Fabaceae Leucaena leucocephala Fabaceae Parkia speciosa Gnetaceae Gnetum gnemon Lauraceae Persea americana Leguminosae Bauhinia purpurea Leguminosae Pterocarpus indicus Lythraceae Lagerstroemia speciosa Malvaceae Ceiba pentandra Malvaceae Hibiscus tiliaceus Meliaceae Melia azedarach Mimosaceae Paracerianthes falcataria Moraceae Ficus benjamina Moraceae Arthocarpus integra Moraceae Arthocarpus communis Myrtaceae Eugenia aromatica Myrtaceae Eugenia aquea Oxalidaceae Averhoa bilimbi Palmae Cocos nucifera Palmae Palm Rutaceae Aegle marmelos Rutaceae Morinda citrifolia Sapindaceae Nephelium lapaceum Sterculiaceae Pterospermum javanicum Verbenaceae Tectona grandis Verbenaceae Gmelina arborea Jumlah individu per ha Jumlah spesies
Way Halim 2,50 10,00 1,25 6,25 10,00 6,25 10,00 1,25 5,00 5,00 18,75 13,75 10,00 1,25 13,75 2,50 1,25 3,75 5,00 1,25 1,25 56,25 1,25 1,25 3,75 3,75 196,25 26
Way Kuripan 28,13 20,31 4,69 1,56 3,13 1,56 4,69 4,69 12,50 17,19 17,19 9,38 4,69 60,94 1,56 192,19 15
Way Sukoharjo 15,28 8,33 1,39 5,56 5,56 6,94 2,78 5,56 1,39 2,78 1,39 36,11 2,78 1,39 4,17 16,67 2,78 1,39 2,78 1,39 86,11 1,39 2,78 216,67 23
Way Simpur 5,00 10,00 5,00 5,00 5,00 2,50 5,00 10,00 2,50 15,00 7,50 20,00 2,50 10,00 2,50 37,50 22,50 2,50 2,50 172,50 19
Dilihat dari spesies penyusunnya, secara kuantitatif perbedaan penyusun spesies ditunjukkan oleh nilai indeks diversitas seperti disajikan pada Tabel 13. Dibandingkan dengan rata-rata nilai indeks diversitas jalur hijau jalan sebesar 0,76 (standar deviasi 0,12) rata-rata nilai indeks diversitas jalur hijau sungai lebih
57
kecil, yaitu 0,61 (standar deviasi 0,10).
Hal ini menunjukkan bahwa spesies
penyusun jalur hijau sungai lebih banyak persamaannya dibanding dengan jalur hijau jalan.
Beberapa spesies, seperti Mangifera indica, Terminalia cattapa,
Hibiscus tiliaceus, Arthocarpus integra, Arthocarpus communis, dan Cocos nucifera bahkan ditemui di keempat jalur hijau sungai.
Sementara Spondias
pinnata, Hevea brasiliensis, Gnetum gnemon, Acacia auriculiformis, Leucaena leucocephala, Eugenia aquea, Morinda citrifolia, dan Pterocarpus indicus ditemukan di tiga jalur hijau. Tabel 13
Indeks diversitas dan indeks similaritas komunitas jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung dilihat dari spesies penyusunnya Way Halim
Way Kuripan
Way Halim
Way Sukoharjo
12/29 (0,41)
15/34 (0,44) 13/25 (0,52)
Way Kuripan 0,59 Way Sukoharjo 0,56
0,48
0,77
0,69
Way Simpur 8/37 (0,23) 8/26 (0,31) 12/30 (0,40)
Way Simpur 0,60
Keterangan: Jumlah spesies yang terdapat di kedua komunitas
12/29 (0,41) 0,59
Jumlah total spesies dari dua komunitas Nilai indeks similaritas Nilai indeks diversitas
Tingginya kesamaan komunitas jalur hijau sungai antara lain menunjukkan persamaan kondisi lingkungan dan
kesukaan masyarakat terhadap spesies
tumbuhan. Spesies yang banyak ditemui di jalur hijau sungai adalah tanaman budidaya penghasil buah dan kayu. Areal jalur hijau sungai adalah lahan milik yang penggunaannya sebagai kebun, pekarangan, atau permukiman. Oleh karena itu di lahan ini banyak ditemui tanaman budidaya, terutama tanaman buah dan kayu. Ditinjau dari aspek keragaman hayati, berdasarkan indeks keragaman Shanon (H), seluruh jalur hijau sungai memiliki nilai H > 2,00 (Tabel 14). Jalur
58
hijau sungai Way Halim, di samping memiliki indeks kekayaan spesies paling tinggi (4,74) juga memiliki keragaman jenis paling tinggi (2,66). Akan tetapi jalur hijau sungai ini memiliki nilai indeks kemerataan yang relatif rendah (0,49), artinya terdapat dominasi beberapa spesies, yaitu Cocos nucifera dan Gnetum gnemon. Di Way Sukoharjo, dilihat dari jumlah individu per ha, dominasi spesies tersebut lebih besar. Spesies lain yang relatif dominan adalah Spondias pinnata dan Hibiscus tiliaceus. Akibatnya indeks kemerataan komunitas jalur hijau Way Sukoharjo jauh lebih kecil. Tabel 14 Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung Jalur Hijau Sungai
Jumlah Individu per ha
Indeks Kekayaan (R)
Indeks Keragaman (H)
Ideks Kemerataan (E)
Way Halim
196
4,74
2,66
0,49
Way Kuripan
192
2,66
2,19
0,52
Way Sukoharjo
217
2,09
2,20
0,37
Way Simpur
172
3,49
2,57
0,62
5.1.2.3 Jalur Hijau Pantai Dibandingkan dengan jalur hijau jalan dan jalur hijau sungai, jumlah spesies dan jumlah individu per ha di jalur hijau pantai lebih kecil. Data jumlah individu masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau disajikan pada Tabel 15. Selain Cocos nucifera yang ditemukan di jalur hijau pantai panjang, di jalur hijau pantai tidak ditemukan tanaman penghasil buah. Sebagian besar spesies yang ditemui
merupakan
pohon
penghasil
kayu
dan
sebagian
kecil
pohon
peneduh/hias. Dilihat dari spesies penyusunnya, jalur hijau pantai Panjang dan jalur hijau pantai Lempasing memiliki indeks diversitas yang tinggi (0,67) atau indeks kesamaan rendah (0,33). Dari 12 spesies yang ditemui, hanya 4 (empat) spesies yang ditemui di kedua jalur hijau. Spesies tersebut adalah Terminalia cattapa, Hibiscus tiliaceus, Acacia auriculiformis, dan Leucaena leucocephala.
Kedua
spesies pertama merupakan spesies yang biasa tumbuh alami di pantai, sedangkan kedua spesies terakhir merupakan spesies eksotik yang biasa digunakan untuk kegiatan reboisasi dan penghijauan.
59
Tabel 15 Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung Famili Arecaceae Casuarinaceae Combretaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Malvaceae Meliaceae Mimosaceae Moraceae Palmae Jumlah individu per ha Jumlah spesies
Nama Ilmiah Roystone regia Casuarina equisetifolia Terminalia cattapa Casia siamea Acacia mangium Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala Hibiscus tiliaceus Toona sureni Paracerianthes falcataria Ficus benjamina Cocos nucifera
Lempasing 2,63 26,32 42,11 42,11 3,95 17,11 17,11 11,84 11,84 2,63 178,63 10
Panjang 8,33 13,33 18,33 15,00 18,33 16,67 90,00 6
Dilihat dari penggunaan lahannya, jalur hijau pantai Panjang merupakan bagian dari pelataran pabrik dan perkantoran swasta, sedangkan jalur hijau pantai Lempasing merupakan areal kompleks perumahan. Di jalur hijau pantai Panjang, sebagain besar pohon tumbuh secara alami (tidak ditanam), kecuali Acacia auriculiformis dan Leucaena leucocephala yang banyak ditanam di areal perkantoran sebagai tanaman peneduh.
Sementara di jalur hijau pantai
Lempasing, sebagian besar pohon tumbuh karena ditanam, kecuali Terminalia cattapa dan Hibiscus tiliaceus yang tumbuh secara alami di pinggir laut. Tabel 16 Parameter keragaman spesies pohon masing-masing komunitas jalur hijau sungai Bandar Lampung Jalur Hijau Pantai
Lempasing Panjang
Jumlah Individu per ha
Indeks Kekayaan (R)
Indeks Keragaman (H)
Indeks Kemerataan (E)
178
1,74
1,99
0,59
90
1,11
1,76
0,92
Secara umum, dari hasil pengamatan di tujuh jalur hijau yang terdiri dari jalur hijau jalan, sungai, dan pantai ditemukan 54 spesies pohon (Tabel 17).
60
Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa lima jenis pohon yang paling banyak ditemui di jalur hijau jalan adalah Pterocarpus indicus, Swietenia macrophylla, Leucaena leucocephala, Dalbergia latifolia, dan Acacia auriculiformis; di jalur hijau sungai adalah Cocos nucifera, Gnetum gnemon, Hibiscus tiliaceus, Spondias pinnata, dan Mangifera indica; sedangkan di jalur hijau pantai adalah Casia siamea, Acacia auriculiformis, Terminalia cattapa, Hibiscus tiliaceus, dan Leucaena leucocephala. Akan tetapi, jika dilihat dari indeks nilai penting (INP), jenis pohon yang dominan di keseluruhan jalur hijau adalah Cocos nucifera, Pterocarpus indicus, Leucaena leucocephala, Swietenia macrophylla, dan Acacia auriculiformis. Semuanya merupakan pohon yang sudah biasa dibudidayakan. Kecuali Cocos nucifera, jenis pohon tersebut diketahui merupakan tanaman eksotik bagi Lampung yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dalam kegiatan reboisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa pada ekosistem buatan,
manajemen dan intervensi manusia sangat berperan terhadap keragaman jenis pohon di suatu daerah, khususnya di Kota Bandar Lampung. Secara kuantitatif perbedaan spesies penyusun komunitas jalur hijau jalan, sungai, dan pantai ditunjukkan oleh nilai indeks similaritas (IS) atau indeks diversitas seperti disajikan pada Tabel 18. Data pada Tabel 18 menunjukkan bahwa indeks similaritas antara jalur hijau jalan dan sungai adalah 0,60, berarti 60% spesies terdapat dikedua komunitas, baik di jalur hijau jalan maupun jalur hijau sungai. Antara jalur hijau jalan dengan jalur hijau pantai dan antara jalur hijau sungai dengan jalur hijau pantai memiliki nilai indeks similaritas yang rendah, masing-masing 0,24 dan 0,22.
Hal ini disebabkan, selain karena
kurangnya pengayaan pada komunitas jalur hijau pantai, juga karena kondisi edafis dan atmosfer pantai bersifat spesifik (salin) sehingga spesies yang cocok dengan lingkungan jalur hijau jalan dan sungai belum tentu cocok dengan lingkungan pantai. Selain itu, pantai-pantai di Kota Bandar Lampung, merupakan areal yang padat dengan bangunan.
Pantai Panjang,
merupakan tempat
kedudukan Pelabuhan Panjang yang disekitarnya berkembang berbagai bangunan, baik pergudangan, perkantoran, maupun permukiman.
Sebagian
Pantai Lempasing merupakan areal timbunan yang di atasnya berkembang permukiman penduduk, baik permukiman yang dikembangkan oleh pengembang maupun yang dibangun oleh masyarakat secara sendiri-sendiri. Oleh karena itu, ruang tumbuh bagi pohon di kedua pantai ini semakin berkurang.
61
Tabel 17 Jenis-jenis pohon yang ditemui di berbagai jalur hijau Kota Bandar Lampung Famili
Nama Ilmiah
Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Annonaceae Aracaceae Aracaceae Arecaceae Bombacaceae Casuarinaceae Combretaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Gnetaceae Lauraceae Leguminosae Leguminosae Lythraceae Malvaceae Malvaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Mimosaceae Moraceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Oxalidaceae Palmae Palmae Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Verbenaceae Verbenaceae
Spondias pinnata Mangifera indica Annona muricata Annona squamosa Areca catechu Arenga pinnata Roystone regia Durio zibethinus Casuarina sumtrana Terminalia cattapa Hevea brasiliensis Jatropha gossyfolia Casia siamea Delonix regia Tamarindus indica Acacia mangium Intsia bijuga Leucaena leucocephala Acacia auriculiformis Parkia speciosa Leucaena glauca Dalbergia latifolia Gnetum gnemon Persea americana Bauhinia purpurea Enterolobium cylocarpum Lagerstroemia speciosa Ceiba pentandra Hibiscus tiliaceus Swietenia macrophylla Toona sureni Melia azedarach Paracerianthes falcataria Arthocarpus integra Arthocarpus communis Ficus benjamina Eugenia aquea Eugenia aromatica Psidium guajava Averhoa bilimbi Cocos nucifera Palm Morinda citrifolia Nephelium lapaceum Mimusop elengi Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Theobroma cacao Tectona grandis Gmelina arborea
Jumlah spesies
Jumlah individu pada jalur hijau Jalan Sungai Pantai 8,42 11,48 1,88 10,91 1,49 0,35 1,67 3,89 2,95 13,64 2,50 1,31 0,48 1,25 2,98 4,16 0,30 4,94 19,82 0,71 4,67 4,02 1,32 3,09 1,25 21,05 4,17 0,60 2 2,23 - 21,05 3,27 15,48 2,77 16,05 10,92 2,34 11,14 0,83 1,25 0,89 10,98 0,89 16,22 0,24 1,60 4,05 3,44 1,49 3,66 0,66 1,19 2,92 15,73 17,72 15,92 1,90 5,92 0,63 3,39 0,63 5,92 3,87 8,43 1,19 6,52 0,62 0,31 1,31 1,61 1,83 0,30 3,04 1,64 0,31 3,21 60,20 8,33 2,20 5,63 0,89 1,05 0,30 0,63 0,89 37,20 6,95 6,73 0,94 0,74 8,93 1,56 0,30 0,70 44
39
KR
FR
3,14 3,41 0,47 0,07 1,00 0,33 2,87 0,47 0,67 2,87 1,14 1,14 3,21 0,73 0,40 2,74 0,40 5,68 3,41 0,27 0,27 3,87 3,27 0,53 1,87 0,27 1,07 0,53 4,21 4,28 1,14 0,07 2,54 2,20 1,40 0,13 0,60 0,40 0,20 0,07 12,16 1,14 0,94 0,20 0,87 10,55 2,81 0,33 2,40 0,27
3,09 1,03 1,03 1,03 2,06 2,06 3,09 1,03 2,06 2,06 2,06 2,06 2,06 2,06 1,03 2,06 3,09 3,09 3,09 2,06 1,03 2,06 2,06 1,03 2,06 2,06 2,06 2,06 2,06 3,09 2,06 1,03 3,09 2,06 2,06 2,06 2,06 2,06 2,06 1,03 3,09 2,06 1,03 1,03 1,03 2,06 2,06 1,03 2,06 1,03
INP 6.23 4.44 1,50 1,10 3,06 2,40 5.97 1,50 2,73 4.93 3.20 3.20 5.27 2,80 1,43 4.80 3.49 8.77 6.50 2,33 1,30 5.94 5.34 1,57 3.93 2,33 3,13 2,60 6.27 7.37 3.20 1,10 5,63 4.27 3.46 2,20 2,66 2,46 2,26 1,10 15.25 3.20 1,97 1,23 1,90 12.62 4.87 1,36 4.47 1,30
12 100,00 100,00 200,00
62
Tabel 18 Indeks similaritas antar komunitas jalur hijau
Jalur Hijau
Jalan
Jalan
Sungai
Pantai
30/50 (0,60)
Sungai
0,40
Pantai
0,76
11/45 (0,24) 9/41 (0,22)
0,78
Keterangan: Jumlah spesies yang terdapat di kedua komunitas
30/50 (0,60) 0,40
Jumlah total spesies dari dua komunitas Nilai indeks similaritas Nilai indeks diversitas
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai indeks kekayaan jenis (Indeks Margalef), indeks keragaman jenis Shanon (H), dan indeks kemerataan jenis masing-masing jalur hijau di Kota Bandar Lampung seperti disajikan pada Tabel 19. Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa jalur hijau jalan memiliki indeks kekayaan jenis (R) dan indeks keragaman jenis (H) yang lebih tinggi dibanding jalur hijau sungai dan pantai.
Tingginya indeks kekayaan dan
keragaman jenis pohon di jalur hijau jalan terutama disebabkan oleh dua hal, yaitu 1) Perhatian pemerintah terhadap jalur hijau jalan lebih besar dibanding terhadap jalur hijau sungai dan pantai dan 2) peran penduduk yang bertempat tinggal di pinggir jalan. Tabel 19 Indeks struktur komunitas pohon masing-masing vegetasi jalur hijau Jalur Hijau Jalan Sungai Pantai Total
Jumlah Spesies 43 39 12 54
Indeks Kekayaan (R) 6,34 7,20 2,00 7,25
Indeks Keragaman (H) 3,10 2,77 2,24 3,41
Ideks Kemerataan (E) 0,56 0,40 0,68 0,66
Perhatian Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap RTH setidaknya dapat dilihat dari biaya pengelolaan yang dikeluarkan. Akan tetapi pengelolaan terhadap RTH tersebut terbatas hanya pada taman kota dan jalur hijau jalan 63
yang diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota. Menurut Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota Bandar Lampung (2004), biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan taman kota tahun 2003 sebesar Rp 65.252.000 dan tahun 2004 Rp 74.055.000. Dana tersebut dialokasikan hanya untuk pemeliharaan jalur hijau jalan dan taman kota, sementara untuk jalur hijau sungai dan pantai tidak ada biaya pemeliharaan. Penanaman yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung umumnya bersifat homogen, suatu segmen jalan tertentu ditanami dengan satu jenis pohon.
Akibatnya pada komunitas jalur hijau jalan tersebut terdapat
dominasi beberapa spesies tertentu sehingga memiliki indeks kemerataan jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan jalur hijau pantai.
Di samping aspek
kepraktisan, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis pohon pada jalur hijau jalan adalah kemudahan pemeliharaan, kemudahan mendapatkan bibit, dan kecepatan tumbuh. Faktor keamanan dan keindahan belum begitu diperhatikan. Kecuali mahoni (Swietenia macrophilla), jenis-jenis yang mendominasi jalur hijau jalan merupakan pohon cepat tumbuh (fast growing species), yaitu Pterocarpus indicus, Leucaena leucocephala, Dalbergia latifolia, dan Acacia auriculiformis Peran penduduk yang bertempat tinggal di pinggir jalan terhadap kekayaan dan keragaman jenis pohon jalur hijau jalan ada yang bersifat positif ada yang bersifat negatif.
Pada areal yang penggunaan lahannya untuk permukiman
(tempat tinggal) umumnya penduduk menanami lahan kosong di sekitarnya dengan pepohonan. Sementara di areal yang penggunaan lahannya untuk niaga (pertokoan) penduduk umumnya membiarkan areal tetap terbuka atau bahkan sengaja membukanya untuk kepentingan parkir kendaraan. Pemilihan pohon oleh penduduk yang bertempat tinggal di pinggir jalan umumnya didasarkan pada satu atau kombinasi manfaat, yaitu peneduh, ekonomi, pengendali pencemaran, dan atau keindahan. Penduduk yang memilih pohon peneduh umumnya tidak memperhatikan manfaat-manfaat lainnya. Hal yang paling penting bagi mereka adalah adanya pohon yang melindunginya dari paparan terhadap sinar matahari dan bibitnya tersedia dengan mudah tanpa harus membeli. Penduduk yang mengutamakan manfaat ekonomi mensyaratkan pohon yang ditanamnya dapat menghasilkan (terutama buah) yang dapat dikonsumsi sendiri atau dijual, misalnya Cocos nucifera, Arthocarpus integra, Mangifera 64
indica, Annona muricata, dan Arthocarpus communis. Untuk spesies pohon ini, penduduk kadang-kadang memilih varitas pohon yang memiliki keunggulan tertentu dan bersedia membayar dengan harga yang relatif tinggi. Penanaman biasanya dilakukan di bahu jalan atau di perbatasan antara bahu jalan dengan pekarangan rumah. 5.2 Nilai Konservasi Komunitas RTH Kota Bandar Lampung Dalam konteks penelitian ini, konservasi jenis pohon adalah upaya perlindungan pohon dari kepunahan,
maka pohon yang bernilai konservasi
adalah spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dijaga dari kepunahan. Meffe and Carroll (1994) menyatakan bahwa secara konseptual, spesies merupakan salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam konservasi. Spesies yang hidup bersama di suatu tempat akan membentuk komunitas. Makin tinggi nilai konservasi suatu komunitas menunjukkan makin banyaknya spesies penyusun komunitas tersebut yang merupakan spesies prioritas untuk dilindungi atau dalam komunitas tersebut terdapat spesies yang bernilai konservasi tinggi. Sistem penilaian komunitas dirancang atas dasar nilai konservasi masing-masing spesies penyusunnya. Nilai tersebut selanjutnya disebut indeks konservasi (Ik). Nilai kepentingan/konservasi suatu spesies ditentukan oleh karakteristik masingmasing spesies yang meliputi endemisme (endemis atau non-endemis), status (dilindungi atau tidak dilindungi), sifat (tunggal atau jamak) dan keliaran spesies (budidaya atau non-budidaya). Indeks konservasi akan relevan jika digunakan untuk menilai vegetasi buatan karena komunitas alami diduga akan terdiri atas spesies endemis dan liar. Indeks ini juga sekaligus akan menunjukkan kinerja pengelola dalam menentukan pilihan spesies bagi komunitas yang dibuat dan dikelolanya. 5.2.1 Hutan Kota Sebagaimana telah diuraikan, di RTH Kota Bandar Lampung berbentuk area (hutan kota) ditemukan 45 spesies pohon dari 24 family. Ditinjau dari aspek keendemisan, dari 44 spesies yang ditemukan, tidak ada yang termasuk dalam kategori
endemis
Sumatera
(Whitmore
and
Tantra,1986).
Berdasarkan
statusnya, terdapat dua spesies yang dilindungi, yaitu Durio zibethinus dan Dalbergia latifolia. Menurut sifatnya, enam spesies termasuk spesies tunggal (dalam satu famili hanya ditemukan satu marga dan dalam satu marga 65
ditemukan hanya satu spesies) dan 39 spesies termasuk spesies jamak. Berdasarkan keliarannya, 38 spesies termasuk spesies budidaya dan tujuh spesies termasuk spesies non-budidaya. Secara rinci, karakteristik masingmasing spesies pohon tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada ruang terbuka hijau berbentuk area di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi Family
Species
Endemisme1)
Status2)
Sifat
Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Apocynaceae Bigoneaceae Bombacaceae Casuarinaceae Combretaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Gnetaceae Lauraceae Lauraceae Lythraceae Malvaceae Meliaceae Meliaceae Mimosaceae Mimosaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Rutaceae Sapindaceae
Anacardium occidentale Spondias pinnata Mangifera indica Annona squamosa Alstonia scholaris Spathodea campanulata Durio zibethinus Casuarina equisetifolia Terminalia cattapa Ricinus communis Aleurites moluccana Delonix regia Casia siamea Acacia mangium Acacia auriculiformis Pithecellobium lobatum Leucaena leucocephala Parkia speciosa Leucanna sp Erythrina variegata Dalbergia latifolia Sesbania grandiflora Gnetum gnemon Persea americana Cinnamomum burmanii Lagerstroemia speciosa Ceiba pentandra Lansium domesticum Swietenia macrophylla Paraserianthes falcataria Albizia procera Arhocarpus elastica Ficus septica Arthocarpus integra Arthocarpus communis Eugenia aromatica Eugenia aquea Psidium guajava Aegle marmelos Nephelium lapaceum
Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End
Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Dl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Dl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl
Jamak Jamak Jamak Jamak Tunggal Tunggal Tunggal Jamak Tunggal Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Tunggal Jamak Jamak Tunggal Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak
Keliaran3) Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Nbdy Bdy Nbdy Nbdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Bdy Nbdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Bdy
66
Tabel 20 (Lanjutan) Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Verbenaceae Verbenaceae
Keterangan:
Theobroma cacao Pterospermum javanicum Theobroma cacao Tectona grandis Peronema canescens 1) 2) 3)
4)
Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End
Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl
Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak
Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy
End = Endemis, berarti spesies endemis Sumatera; Non-End = Nonendemis berarti Non-endemis Sumatera Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972; Dl = dilindungi, dan Tdl = Tidak dilindungi. Jamak = dalam satu family terdapat lebih dari satu genus atau dalam satu genus terdapat lebih dari satu spesies, Tunggal = dalam satu family hanya terdapat satu genus atau dalam satu genus terdapat satu spesies. Bdy = budidaya, Nbdy = Non-budidaya
Setelah dilakukan analisis terhadap seluruh spesies yang ditemukan pada masing areal hutan kota (Tabel 3) dan dilakukan perhitungan, diperoleh nilai End, Sts, Sft, Klr dan IK masing-masing lokasi RTH berbentuk area (hutan kota) seperti disajikan pada Tabel 21. Hasil perhitungan nilai konservasi masingmasing spesies dan masing-masing komunitas disajikan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa semua komunitas hutan kota yang diamati memiliki nilai NEnd nol. Ini berarti di seluruh hutan kota yang diamati tidak terdapat spesies pohon endemis Sumatera. Spesies yang ditemui merupakan spesies yang umum ditemui di berbagai tempat, bahkan beberapa diantaranya merupakan spesies eksotik yang sudah tersebar secara luas. Spesies eksotik tersebut antara lain adalah Swietenia macrophilla, Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Anacardium occidentale, dan Theobroma cacao. Tiga spesies pertama digunakan secara luas, khususnya di Propinsi Lampung dan umumnya di seluruh Indonesia, sebagai tanaman reboisasi/penghijauan. Dua
spesies
terakhir
merupakan
tanaman
penghasil
buah
yang
juga
dikembangkan oleh pemerintah (Dinas Pertanian/Perkebunan), PT Perkebunan Nusantara, perusahaan swasta, dan masyarakat. Saat ini, Theobroma cacao merupakan spesies yang dikembangkan secara luas oleh masyarakat di Propinsi Lampung karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Tabel 21 menunjukkan bahwa spesies dilindungi terdapat di hutan kota Way Halim, Gunung Langgar, dan Bukit Sukajawa.
Walaupun demikian
kontribusinya terhadap nilai IK masih kecil, dengan kisaran antara 0 s.d. 0,060 (< 0,25). Spesies tersebut adalah Durio zibethinus dan Dalbergia latifolia (Tabel 20). Spesies tunggal terdapat di seluruh hutan kota, walaupun kontribusinya 67
terhadap IK juga masih kecil dengan kisaran antara 0,077 s.d. 0,176 (< 0,25). Berdasarkan keliaran spesiesnya, Nilai Indeks berkisar antara 0 s.d. 0,235. Nilai indeks nol terdapat pada Bukit Sukajawa yang berarti di areal tersebut seluruh spesies yang ada merupakan spesies budidaya, sedangkan nilai indeks terbesar terdapat di Bukit Kelutum. Tabel 21 Nilai konservasi masing-masing komunitas RTH berbentuk area di Kota Bandar Lampung Lokasi Hutan Kota Way Halim
End N
Sts
Sft
Klr
NLn2
IK
0,00
0,69
4,22
0,69
8,32
0,04
0,00 0,00
0,02 0,00
0,10 5,73
0,02 2,08
11,78
0,03
0,00 0,00
0,00 1,39
0,10 8,16
0,04 2,08
17,33
0,04
0,00 0,00
0,02 0,69
0,09 4,63
0,02 0,00
9,01
0,03
0,00 0,00
0,02 0,00
0,10 6,66
0,00 0,69
13,86
0,03
0,00 0,00
0,00 2,77
0,10 14,41
0,01 3,47
30,50
0,04
0,00
0,03
0,09
0,02
∑ LNni 1
Nilai indeks
Bukit Kelutum
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Gunung Langgar
N
∑ LNni 1
Nilai indeks N
∑ LNni Bukit Sukajawa Gunung Kucing
1
Nilai indeks N
∑
LNni
1
Nilai indeks
Total Hutan Kota
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Keterangan: End
= Endemisme (endemis/non-endemis)
Sts
= Status (dilindungi/tidak dilindungi)
Sft
= Sifat (Tunggal/Jamak)
Klr
= Keliaran (budidaya/non-budidaya)
Ik
=
NilaiIndeks(0,3End + 0,3Sts + 0,2Sft + 0,2Klr) 4
Berdasarkan data Tabel 21 dapat diketahui bahwa nilai konservasi komunitas ruang terbuka hijau berbentuk area di Kota Bandar Lampung seluruhnya tergolong rendah, dengan IK berkisar antara 0,02 s.d. 0,10 (pada selang nilai 0 s.d. 1).
Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan
tumbuh di areal RTH Kota Bandar Lampung tidak termasuk spesies yang perlu 68
mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Nilai konservasi masing-masing spesies berkisar antara 0 s.d. 0,35. Dua puluh sembilan spesies (65,91%) bernilai 0 (nol), 10 spesies (22,73%) bernilai 0,17, dan hanya 5 (lima) spesies (11,36%) yang bernilai sedang (0,35).
Berdasarkan penilaian tersebut, spesies yang
bernilai konservasi sedang adalah Casuarina equisetifolia, Terminalia cattapa, Alstonia scholaris, dan Spathodea campanulata. 5.2.2
Jalur Hijau
5.2.2.1 Jalur Hijau Jalan Dari seluruh jalur hijau jalan yang diamati ditemukan 44 spesies pohon yang termasuk dalam 23 famili. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 8. Karakteristik masing-masing spesies ditinjau dari aspek konservasi disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi Famili
Nama Ilmiah
Endemisme1)
Status2)
Sifat
Anacardiaceae Anacardiaceae Arecaceae Bombacaceae Malvaceae Fabaceae Fabaceae Casuarinaceae Combretaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Gnetaceae Lauraceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Leguminosae
Spondias pinata Mangifera indica Areca catechu Durio zibethinus Ceiba pentandra Delonix regia Casia siamea Casuarina sumtrana Terminalia cattapa Jatropha gossyfolia Hevea brasiliensis Tamarindus indica Gnetum gnemon Persea americana Acacia mangium Bauhinia purpurea Intsia bijuga Enterolobium cylocarpum Lagerstroemia speciosa Swietenia macrophylla Toona sureni
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Non-End
Dl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Nbdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Nbdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Lythraceae Meliaceae Meliaceae
Keliaran3)
Nbdy
69
Tabel 22 (Lanjutan) Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Mimosaceae
Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala Parkia speciosa Leucaena glauca Paracerianthes falcataria Ficus benjamina Arthocarpus integra Arthocarpus communis Eugenia aromatica Eugenia aquea Psidium guajava Cocos nucifera Palm Roystone regia Dalbergia latifolia Morinda citrifolia Nephelium lapaceum Mimusop elengi Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Theobroma cacao Tectona grandis Gmelina arborea
Moraceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Palmae Palmae Arecaceae Fabaceae Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Verbenaceae Verbenaceae Keterangan:
1) 2) 3)
4)
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Nbdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Dl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
End = Endemis, berarti spesies endemis Sumatera; Non-End = Nonendemis berarti Non-endemis Sumatera Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972; Dl = dilindungi, dan Tdl = Tidak dilindungi. Jamak = dalam satu family terdapat lebih dari satu genus atau dalam satu genus terdapat lebih dari satu spesies, Tunggal = dalam satu family hanya terdapat satu genus atau dalam satu genus terdapat satu spesies. Bdy = budidaya, Nbdy = Non-budidaya
Tabel 22 menunjukkan bahwa, dari 44 spesies yang ditemui, tidak ada spesies endemis Sumatera, dua spesies dilindungi, yaitu Durio zibethinus dan Dalbergia latifolia. Sebagian besar (75%) dari spesies tersebut tergolong spesies polytipic dan 90,91% tergolong spesies budidaya.
Setelah dilakukan analisis
terhadap seluruh spesies yang ditemukan pada masing jalur hijau jalan (Tabel 8) dan dilakukan perhitungan, diperoleh nilai End, Sts, Sft, Klr dan IK
masing-
masing lokasi jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung seperti disajikan pada Tabel 23. Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa semua komunitas pohon pada jalur hijau jalan yang diamati memiliki nilai End = nol. Ini berarti di seluruh
70
jalur hijau jalan yang diamati tidak terdapat spesies pohon endemis Sumatera. Spesies yang di jalur hijau jalan tersebut merupakan spesies yang umum ditemui di berbagai tempat. Nilai-nilai Sts, Sft, dan Klr juga relatif kecil, dengan kisaran 0,00 s.d. 0,14. Hal ini menunjukkan bahwa dipandang dari setiap aspek, spesies yang tumbuh di jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung memiliki nilai konservasi yang sangat kecil, bahkan pada beberapa komunitas tidak bernilai konservasi. Tabel 23 Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung JH Jalan Teuku Cik Ditiro
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Laks. Malahayati
N
∑ LNni
End
Sts
Sft
Klr
NLN2
IK
0,00
0,69
4,05
0,00
11,78
0,02
0,00 0,00
0,02 0,00
0,07 2,03
0,00 0,00
4,16
0,02
0,00 0,00
0,00 0,00
0,10 0,81
0,00 0,00
1,39
0,03
0,00 0,00
0,00 1,69
0,12 5,96
0,00 0,69
13,17
0,03
0,00 0,00
0,02 0,00
0,10 6,25
0,01 1,39
15,25
0,03
0,00 0,00
0,00 1,39
0,08 7,06
0,02 0,00
12,48
0,04
0,00 0,00
0,11 0,00
0,06 5,85
0,06 0,00
12,48
0,02
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
1,39
14,53
1,39
12,48
0,03
0,00
0,01
0,10
0,01
1
Nilai indeks
Radin Intan
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Sultan Agung
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Gatot Subroto
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Moh. Noer
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
SukarnoHatta
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Total Jalur Hijau Jalan
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Keterangan: End Sts Sft Klr Ik
= = = =
Endemisme (endemis/non-endemis) Status (dilindungi/tidak dilindungi) Sifat (Tunggal/Jamak) Keliaran (budidaya/non-budidaya) NilaiIndeks(0,3End + 0,3Sts + 0,2Sft + 0,2Klr) = 4
71
Berdasarkan data Tabel 23 dapat diketahui bahwa nilai konservasi komunitas ruang terbuka hijau berbentuk jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung seluruhnya tergolong rendah, dengan IK berkisar antara 0,00 s.d. 0,06 (pada selang nilai 0 s.d. 1). Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan tumbuh di jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung tidak termasuk spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Nilai konservasi masing-masing spesies berkisar antara 0,00 s.d. 0,50. Sebagian besar (70,45%) bernilai 0 (nol), 20,45% spesies bernilai 0,25, dan hanya 9,10% spesies yang bernilai 0,50. Komunitas jalur hijau jalan Laksamana Malahayati dan Radin Intan memiliki nilai IK = 0.
Ini berarti bahwa seluruh spesies yang tumbuh pada kedua
komunitas tersebut tidak termasuk spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi.
Di Jalam Radin Intan ditemukan hanya dua spesies, yaitu
Roystone regia dan Pterocarpus indicus, sedangkan di jalan Laksanama Malahayati, selain kedua spesies tersebut juga ditemukan empat spesies lain, yaitu Spondias pinnata, Jatropha gossyfolia, Swietenia macrophylla, dan Acacia auriculiformis. Jalan Radin Intan terletak di pusat kota (Tanjung Karang) yang padat dengan pertokoan, bank, dan hotel.
Pohon tumbuh di atas bahu jalan
(trotoar) pada lahan yang sangat terbatas. Hampir sama dengan jalan Radin Intan, jalan Laksamana Malahayati juga terletak di pusat kota (Teluk Betung) yang padat dengan pertokoan, tetapi di ruas jalan ini masih terdapat perumahan. Adanya perumahan penduduk ini menyebabkan spesies pohon di ruas jalan ini lebih beragam dibanding dengan jalan Radin Intan karena pohon-pohon tersebut umumnya tumbuh di tanah pekarangan.
5.2.2.2 Jalur Hijau Sungai Dari seluruh jalur hijau sungai yang diamati ditemukan 39 spesies pohon yang termasuk dalam 22 famili. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 12, sedangkan karakteristik masing-masing spesies ditinjau dari aspek konservasi disajikan pada Tabel 24.
Setelah dilakukan analisis
terhadap seluruh spesies yang ditemukan pada masing areal hutan kota (Tabel 12) dan dilakukan perhitungan, diperoleh nilai End, Sts, Sft, Klr dan IK masingmasing lokasi jalur hijau sungai seperti disajikan pada Tabel 25.
72
Tabel 24 Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi Famili
Nama Ilmiah
Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Annonaceae Aracaceae Arecaceae Arecaceae Bombacaceae Combretaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Gnetaceae Lauraceae Lythraceae Malvaceae Malvaceae Meliaceae Mimosaceae Moraceae Moraceae Moraceae Myrtaceae Myrtaceae Oxalidaceae Palmae Palmae Rutaceae Rutaceae Sapindaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Verbenaceae Verbenaceae
Spondias pinnata Mangifera indica Annona muricata Annona squamosa Roystone regia Arenga pinnata Areca catechu Durio zibethinus Terminalia cattapa Jatropha gossyfolia Hevea brasiliensis Casia siamea Tamarindus indica Bauhinia purpurea Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala Parkia speciosa Gnetum gnemon Persea americana Lagerstroemia speciosa Ceiba pentandra Hibiscus tiliaceus Melia azedarach Paracerianthes falcataria Ficus benjamina Arthocarpus integra Arthocarpus communis Eugenia aromatica Eugenia aquea Averhoa bilimbi Cocos nucifera Palm Aegle marmelos Morinda citrifolia Nephelium lapaceum Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Tectona grandis Gmelina arborea
Keterangan:
1) 2) 3)
4)
Endemisme1) Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End Non-End
Status2)
Sifat
Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Dl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl Tdl
Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Tunggal Jamak Jamak Jamak Tunggal Jamak Jamak Jamak Jamak Tunggal Tunggal Tunggal Jamak Tunggal Tunggal Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Tunggal Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak Jamak
Keliaran3) Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Nbdy Bdy Nbdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Nbdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy Bdy
End = Endemis, berarti spesies endemis Sumatera; Non-End = Nonendemis berarti Non-endemis Sumatera Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972; Dl = dilindungi, dan Tdl = Tidak dilindungi. Jamak = dalam satu family terdapat lebih dari satu genus atau dalam satu genus terdapat lebih dari satu spesies, Tunggal = dalam satu family hanya terdapat satu genus atau dalam satu genus terdapat satu spesies. Bdy = budidaya, Nbdy = Non-budidaya
73
Tabel 25 Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung JH Sungai Way Sukoharjo
N
∑
End
Sts
Sft
Klr
NLN2
IK
0,00
0,69
6,54
2,08
15,94
0,03
0,00 0,00
0,01 1,39
0,08 6,95
0,03 2,08
13,17
0,04
0,00 0,00
0,03 0,00
0,11 8,85
0,03 2,08
17,33
0,03
0,00 0,00
0,00 0,00
0,10 3,53
0,02 1,39
10,40
0,02
0,00
0,00
0,07
0,03
0,00
1,39
13,08
3,47
27,03
0,03
0,00
0,02
0,10
0,03
LNni
1
Nilai indeks
Way Simpur
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Way Halim
N
∑
LNni
1
Nilai indeks
Way Kuripan
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Total Jalur Hijau Sungai
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Keterangan: End Sts Sft Klr Ik
= = = =
Endemisme (endemis/non-endemis) Status (dilindungi/tidak dilindungi) Sifat (Tunggal/Jamak) Keliaran (budidaya/non-budidaya) NilaiIndeks(0,3End + 0,3Sts + 0,2Sft + 0,2Klr) = 4
Data pada Tabel 24 dan Tabel 25 menunjukkan bahwa di seluruh jalur hijau sungai kota Bandar Lampung tidak ditemukan spesies endemis Sumatera. Di seluruh jalur hijau sungai ditemukan satu spesies dilindungi, yaitu Durio zibethinus. Secara keseluruhan, nilai konservasi komunitas jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung termasuk kategori rendah, dengan kisaran nilai IK 0,07 s.d. 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan tumbuh di jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung tidak termasuk spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. Nilai konservasi masingmasing spesies berkisar antara 0,00 s.d. 0,50.
Sebagian besar (58,97%)
bernilai 0 (nol), 38,46% spesies bernilai 0,25, dan hanya 2,56% spesies yang bernilai 0,50.
74
5.2.2.3 Jalur Hijau Pantai Dari seluruh jalur hijau pantai yang diamati ditemukan 12 spesies pohon yang termasuk dalam 9 famili. Rata-rata jumlah individu per ha masing-masing spesies yang ditemui di masing-masing jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 15, sedangkan karakteristik masing-masing spesies ditinjau dari aspek konservasi disajikan pada Tabel 26.
Setelah dilakukan analisis
terhadap seluruh spesies yang ditemukan pada masing areal hutan kota (Tabel 15) dan dilakukan perhitungan, diperoleh nilai End, Sts, Sft, Klr dan IK masingmasing lokasi RTH berbentuk jalur hijau pantai seperti disajikan pada Tabel 27. Tabel 26 Karakteristik spesies pohon yang ditemukan pada jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek konservasi Famili
Nama Ilmiah
Endemisme1) Status2)
Sifat
Keliaran3)
Fabaceae
Casia siamea
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Casuarinaceae Casuarina equisetifolia
Non-End
Tdl
Tunggal
Bdy
Combretaceae
Terminalia cattapa
Non-End
Tdl
Tunggal
Nbdy
Fabaceae
Acacia mangium
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Malvaceae
Hibiscus tiliaceus
Non-End
Tdl
Jamak
Nbdy
Meliaceae
Toona sureni
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Fabaceae
Acacia auriculiformis
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Mimosaceae
Paracerianthes falcataria
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Fabaceae
Leucaena leucocephalla
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Moraceae
Ficus benjamina
Non-End
Tdl
Jamak
Nbdy
Aracaceae
Roystone regia
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Palmae
Cocos nucifera
Non-End
Tdl
Jamak
Bdy
Keterangan:
1) 2) 3)
4)
End = Endemis, berarti spesies endemis Sumatera; Non-End = Nonendemis berarti Non-endemis Sumatera Dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 54/Kpts/Um/1972; Dl = dilindungi, dan Tdl = Tidak dilindungi. Jamak = dalam satu family terdapat lebih dari satu genus atau dalam satu genus terdapat lebih dari satu spesies, Tunggal = dalam satu family hanya terdapat satu genus atau dalam satu genus terdapat satu spesies. Bdy = budidaya, Nbdy = Non-budidaya
75
Tabel 27 Nilai konservasi masing-masing komunitas jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung JH Pantai Lempasing
N
∑ LNni
LN End
LNSts
LNSft
LNKlr
NLN2
0,00
0,00
3,01
2,08
6,93
0,04
0,00 0,00
0,00 0,00
0,09 1,50
0,06 2,08
4,16
0,04
0,00 0,00
0,00 0,00
0,07 3,41
0,10 2,77
4,16
0,04
0,00
0,00
0,08
0,07
IK
1
Nilai indeks
Panjang
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Total Jalur Hijau Pantai
N
∑ LNni 1
Nilai indeks
Keterangan: End Sts Sft Klr Ik
= = = =
Endemisme (endemis/non-endemis) Status (dilindungi/tidak dilindungi) Sifat (Tunggal/Jamak) Keliaran (budidaya/non-budidaya) NilaiIndeks(0,3End + 0,3Sts + 0,2Sft + 0,2Klr) = 4
Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai konservasi komunitas pantai di kota Bandar Lampung tergolong rendah, dengan nilai IK masing-masing 0,10 (Pantai Lempasing) dan 0,17 (Pantai Panjang). Di kedua pantai tersebut tidak ditemukan spesies endemis Sumatera dan dilindungi. Nlai IK terbentuk oleh Sft dan Klr. Artinya di kedua pantai tersebut ditemukan spesies tunggal dan spesies nonbudidaya. Beberapa spesies, seperti Hibiscus tilliaceus (Malvaceae), dan Toona sureni (Meliaceae) seolah-olah merupakan spesies tunggal karena di lokasi ini spesies tersebut merupakan spesies tunggal dalam familinya. Akan tetapi di lokasi lain famili tersebut memiliki spesies yang berbeda sehingga tidak digolongkan sebagai spesies tunggal. Tumbuhan termasuk dalam sumberdaya genetik yang dapat diperbarui. Tetapi Olfield (1989) mengingatkan bahwa sifat terbarui dari sumberdaya genetik bersifat potensial.
Tumbuhan dapat dipandang sebagai sumberdaya terbarui
selama populasinya (cadangan perkembangbiakan masing-masing individu) dan material genetik yang dikandungnya dikelola dan dikonservasi secara layak untuk penggunaan jangka panjang.
Potensi terbarui sumberdaya genetik dapat
dengan mudah berubah menjadi tidak terbarui akibat kelangkaan dan reduksi populasi secara besar-besaran. United Nation Environmental Programme (UNEP 1993) menyatakan bahwa keragaman hayati telah mengalami penurunan yang
76
cepat selama satu abad terakhir dibandingkan dengan ketika dinosaurus punah 65 juta tahun yang lalu. Kehilangan spesies telah menyebabkan menurunnya keragaman genetik, sebagi contoh sebanyak 492 spesies pohon kini mengalami risiko kepunahan.
Salah satu faktor penyebab kelangkaan atau kepunahan
spesies adalah introduksi spesies eksotik (non-native species). Oleh karena itu, introduksi spesies eksotik perlu dikendalikan. Dilihat dari status spesiesnya, terdapat empat spesies pohon yang dilindungi, yaitu Arenga pinnata, Durio zibethinus, Dalbergia latifolia, dan Cinnamomum burmanii.
Kecuali Arenga pinnata, spesies tersebut termasuk
pohon budidaya yang mudah dikembangbiakan sehingga statusnya di Propinsi Lampung, khususnya Kota Bandar Lampung mungkin perlu ditinjau ulang. Dilihat dari sifatnya, terdapat 8 spesies yang termasuk tumbuhan tunggal dan tiga di antaranya termasuk spesies liar, yaitu
Spathodea campanulata,
Alstonia scholaris, dan Teminalia catappa. Spesies tersebut kegunaannya belum dikenal luas, kecuali A. scholaris yang diketahui sebagai tumbuhan obat. Keliaran spesies yang terdapat di areal RTH Kota Bandar Lampung nampaknya behubungan dengan endemisme.
Dilihat dari keliarannya, 37
spesies (84%) merupakan spesies budidaya dan dari 37 spesies budidaya tersebut, 23 spesies (62%) merupakan spesies eksotik. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih tanaman untuk dibudidayakan, masyarakat seolah-olah lebih menyukai pohon eksotik, karena spesies pohon yang ditanamnya merupakan spesies eksotik.
Akan tetapi semua (100%) anggota masyarakat
yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak tahu asal wilayah biogeografi spesies pohon yang ditanamnya. Beberapa spesies yang berasal dari luar rumpun biogerografi, seperti Tectona grandis, Paracerianthes falcataria, Aleurites
moluccana,
dan
Dalbergia
latifolia
merupakan
pohon
yang
dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan. Dilihat dari indeks nilai penting (INP), terutama Tectona grandis merupakan spesies paling dominan (INP = 20%) dari seluruh spesies yang ditemui (Setiawan et.al. 2006). Demikian juga spesies eksotik lainnya, umumnya memiliki INP yang lebih besar dari spesies lokal. Secara keseluruhan spesies eksotik memiliki INP sebesar 109,68%, sementara spesies lokal memiliki INP 90,32%. Di samping karena awalnya bersifat unik, indah, dan langka, biasanya pemilihan spesies pohon eksotik didasarkan pada keunggulan salah satu sifat pohon tersebut, misalnya kecepatan tumbuh atau nilai ekonomi yang tinggi. 77
Masyarakat maupun pemerintah (Departemen dan Dinas Kehutanan) tidak mempersoalkan apakah tumbuhan tersebut endemis atau eksotik. Intervensi manusia berperan dalam meningkatkan keragaman jenis pohon melalui penanaman pohon.
Akan tetapi, pohon yang ditanam masyarakat
merupakan spesies bernilai konservasi rendah karena merupakan pohon eksotik yang sudah biasa dibudidayakan, tidak dilindungi dan atau umumnya bersifat jamak. Bahwa spesies pilihan masyarakat tersebut merupakan spesies yang bernilai konservasi rendah sama sekali tidak disadari masyarakat maupun pemerintah, Departemen dan Dinas Kehutanan. 5.3 Peran RTH Kota Bandar Lampung sebagai Rosot Karbon 5.3.1 Hutan Kota Model pendugaan yang menggunakan lebih dari satu peubah adalah yang paling baik untuk dipergunakan dalam inventarisasi hutan. Semakin banyak peubah bebas maka koefisien determinasinya akan semakin besar, semakin banyak dapat menerangkan peubah tak bebas. Akan tetapi, pengukuran pohon untuk keperluan tersebut akan memerlukan lebih banyak waktu, biaya dan tenaga serta mempunyai banyak kesalahan sehingga kurang praktis di lapangan. Oleh karena itu, pendugaan biomassa dilakukan berdasarkan satu atau dua peubah bebas. Model pendugaan biomassa pohon dengan pendekatan non-destruktif dalam penelitian ini menggunakan model persamaan pendugaan biomasa yang dikembangkan oleh Brown (1997).
Persamaan allometrik ini dikembangkan
dengan menggunakan parameter atau dimensi pohon yaitu diameter setinggi dada (DBH) dengan koefisien determinasi R2 sebesar 0,97. Metoda ini juga telah digunakan oleh Giardina et al. (2003) dan disarankan oleh IPCC (2001) dalam menentukan rosot karbon pada vegetasi hutan.
Hasil penelitian Heriansyah
(2005) dalam penentuan kabon tersimpan dalam pohon dengan pendekatan destruktif menghasilkan persamaan allometrik antara diameter dengan biomasa total dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9922 untuk pohon pinus dan 0,9919 untuk tanaman akasia, sehingga penggunaan metoda allometrik ini dalam pendugaan kandungan biomasa pohon dapat dipercaya. Data hasil perhitungan jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies pohon disajikan pada Lampiran 7.
78
Hasil perhitungan dengan menggunakan metoda allometrik, diperoleh jumlah rosot karbon pada vegetasi hutan kota di Kota Bandar Lampung seperti disajikan pada Tabel 28. Data pada Tabel 28 menunjukkan bahwa rosot karbon (carbon sink) pada vegetasi hutan kota dengan penutupan tajuk rapat adalah 172,51 ton per ha.
Dibandingkan dengan hutan alam tropika jumlah rosot
karbon di hutan kota Bandar Lampung relatif kecil, karena
hutan alam
Dipterocarpaceae campuran di daerah tropika dapat menyimpan biomasa antara 400 – 1500 ton berat kering per ha (Bruenig 1996). Jumlah ini setara dengan 714 – 2679 m3 biomasa per ha (rata-rata BJ kayu tropika = 0,56) atau setara dengan 199 -750 ton C per ha (1 m3 biomasa ~ 0,28 ton karbon). Rendahnya jumlah rosot karbon di hutan kota Bandar Lampung tersebut disebabkan rendahnya tingkat kerapatan dan kecilnya ukuran diameter.
Vegetasi jarang
memiliki kerapatan 64 pohon per ha (jarak antar pohon 12,5 m), vegetasi cukup 250 pohon per ha (jarak antar pohon 6 m), dan vegetasi rapat 420 pohon per ha (jarak antar pohon 4,8 m), masing-masing terdiri atas beragam kelas diameter (diameter maksimum 50 cm).
Sementara di suatu hutan alam tropika
Dipterocarpaceae campuran di Sabah (Sarawak) ditemukan 694 pohon per ha (jarak antar pohon 3,7 m) dengan diameter maksimum mencapai 80 cm. Artinya, jumlah rosot karbon pada areal hutan Kota Bandar Lampung dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kerapatan dan memberi kesempatan kepada pohon yang ada dalam komunitas tersebut dapat tumbuh hingga mencapai diameter maksimum atau komposisi pohon yang berdiameter besar lebih banyak. Peningkatan kerapatan dapat dilakukan melalui penanaman pengayaan dan kesempatan pohon mencapai diameter maksimum antara lain dapat dilakukan melalui upaya mencegah terjadinya penebangan. Secara teoritis, spesies lokal seperti
Pterospermum
javanicum,
Lagerstroemia
speciosa,
Casuarina
equisetifolia, Casia siamea, Peronema canescens, dan Spathodea campanulata dapat mencapai diameter 80 cm. Seperti terlihat pada Tabel 28, jumlah rosot karbon di hutan kota Bandar Lampung menurun dengan menurunnya persen penutupan tajuk. Menurunnya penutupan tajuk merepresentasikan jumlah atau kerapatan pohon yang semakin berkurang sehingga bukaan tajuknya semakin meningkat. Makin besar bukaan tajuk, kesempatan tumbuh bagi tumbuhan bawah semakin besar, sehingga semakin besar bukaan tajuk, jumlah rosot karbon pada tumbuhan bawah semakin meningkat. Walaupun demikian, proporsi rosot karbon dalam tumbuhan
79
bawah relatif sangat kecil, baik pada vegetasi dengan penutupan tajuk rapat, cukup maupun jarang. Tabel 28
Jumlah rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah di beberapa hutan kota pada penutupan tajuk yang berbeda
No
Hutan Kota
1 2 3 4 5
Rosot karbon (Ton C/Ha) Vegetasi Rapat Vegetasi Cukup Vegetasi Jarang Pohon TB Pohon TB Pohon TB 135,49 0,78 61,84 0,90 5,29 1,84 252,71 1,17 116,19 2,13 38,23 3,57 256,82 0,54 164,15 0,96 3,91 2,59 161,24 0,61 66,30 0,96 6,29 1,76 56,27 0,28 65,80 0,90 9,43 1,90 172,51 0,68 94,86 1,17 12,63 2,33
Bukit Sukajawa Way Halim Bukit Langgar Gunung Kucing Bukit Kelutum Rata-rata
Keterangan: TB = Tumbuhan Bawah Pada vegetasi dengan penutupan tajuk rapat rosot karbon pada tumbuhan bawah adalah 0,68 ton C per ha dengan kontribusi 0,39%, vegetasi cukup 1,17 ton C per ha dengan kontribusi 1,22%, dan vegetasi jarang 2,33 ton C per ha dengan kontribusi 15,57% dari jumlah keseluruhan rosot karbon pada tipe vegetasi yang bersangkutan.
Jumlah total rosot karbon pada berbagai
penutupan tajuk dapat dilihat pada Tabel 29, sedangkan perubahan jumlah rosot karbon pada pohon dan tumbuhan bawah dengan berubahnya penutupan tajuk dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 29 Jumlah total (pohon + tumbuhan bawah) rosot karbon pada vegetasi hutan kota Bandar Lampung pada penutupan tajuk yang berbeda No 1 2 3 4 5
Hutan Kota Bukit Sukajawa Way Halim Bukit Langgar Gunung Kucing Bukit Kelutum
Rata-rata
Vegetasi Rapat 136,272 253,880 257,365 161,848 56,550
Rosot karbon (Ton C/ha) Vegetasi Cukup Vegetasi Jarang 62,744 7,133 118,318 41,802 165,107 5,710 67,263 8,053 66,697 11,332
173,183
96,026
14,806
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa berkurangnya penutupan tajuk dapat meningkatkan kontribusi tumbuhan bawah terhadap penambahan jumlah total Rosot karbon, akan tetapi besarnya kontribusi tersebut tidak sebanding dengan pengurangan jumlah total rosot karbon.
Grafik (a) dan (b) memperlihatkan
bahwa menurunnya penutupan tajuk menyebabkan peningkatan proporsi rosot karbon dalam tumbuhan bawah meningkat dari 0,39% pada vegetasi rapat
80
menjadi 18,45% pada vegetasi terbuka. Akan tetapi, jumlah total rosot karbon pada vegetasi menurun secara drastis, dari 173,18 ton C per ha pada vegetasi rapat menjadi 14,81 ton C per ha pada vegetasi jarang atau penurunan sebesar 91,45%.
120.00
(a)
100.00
80.00
(c)
60.00
40.00
20.00
(b) 0.00 Rapat
Cukup Pohon
Tumbuhan Bawah
Jarang Total
Gambar 9 Perubahan kandungan rosot karbon dalam vegetasi dengan berubahnya penutupan tajuk. Keterangan :
(a) Penurunan jumlah rosot karbon pada pohon (%) dihitung berdasarkan kontribusinya pada masing-masing tipe penutupan tajuk. (b) Kenaikan jumlah rosot karbon pada tumbuhan bawah (%) dihitung berdasarkan kontribusinya pada masing-masing tipe penutupan tajuk. (c) Penurunan jumlah rosot karbon pada vegetasi (pohon + tumbuhan bawah) dengan pembanding rosot karbon pada vegetasi rapat.
Hasil penelitian Retnowati (1998), hutan tanaman Eucalyptus grandis berumur empat tahun dengan jarak tanam 2 m x 3 m (≈ kerapatan 1660 pohon per ha) di Sumatera Utara dapat menyimpan karbon 258,117 ton CO2 per ha yang setara dengan 70 ton C per ha. Pada kerapatan pohon yang sama, dalam umur satu tahun, jumlah tumbuhan bawah tersimpan sebesar 0,02 ton CO2 per ha (setara dengan 0,005 ton C per ha) dan pada umur empat tahun meningkat menjadi 0,04 ton ton CO2 per ha (setara dengan 0,01 ton C per ha). Rendahnya kandungan
karbon
pada
tumbuhan
bawah,
menurut
Retnowati
disebabkan oleh adanya penyiangan yang dilakukan dua kali setahun.
(1998) Hasil
penelitian Shearer and Kempf (1999), total biomasa tumbuhan bawah tegakan
81
hutan yang telah tua rata-rata 5,044 ton per ha yang berarti jumlah rosot karbon 2,5 ton C per ha. Pertumbuhan tumbuhan bawah tersebut cepat pada 2-4 tahun pertama kemudian menurun hingga mendekati kondisi yang terdapat pada hutan tua. Dengan demikian, meningkatnya jumlah rosot karbon pada areal penelitian Retnowati (1998) karena pengamatan dilakukan hanya sampai tegakan yang berumur 4 tahun, sehingga tumbuhan bawah tersebut masih dalam tahap pertumbuhan. Sementara di RTH Kota Bandar Lampung, tumbuhan bawah tersebut tumbuh secara alami, tidak dilakukan penyiangan.
Berkurangnya tumbuhan
bawah dengan meningkatnya penutupan tajuk, disebabkan oleh sifat tumbuhan bawah pada umumnya yang memerlukan cahaya (intoleran terhadap cahaya). Jenis tumbuhan bawah yang banyak ditemui di bawah tegakan rapat adalah jenis paku-pakuan, yaitu Dryopteris sp, Nephrolepis exaltata, dan Centella asiatica yang termasuk ke dalam famili Polypodiaceae dan Umbelliferacae.
Secara
fisiologis jenis-jenis tumbuhan bawah ini cenderung membentuk daun yang lebih luas untuk dapat mengintersepsi cahaya matahari lebih banyak. Hal ini diduga yang menyebabkan jenis-jenis ini memiliki luas daun spesifik (LDS) yang sangat rendah.
Luas daun spesifik tanaman akan bernilai tinggi dengan adanya
peningkatan berat kering total tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Karena tumbuhan bawah di bawah vegetasi rapat jarang ditemui tumbuhan semak berkayu, maka berat kering totalnya rendah. Dengan demikian, jumlah rosot karbon pada tumbuhan bawah pada tipe vegetasi rapat sangat rendah. Tumbuhan bawah yang mendominasi vegetasi jarang umumnya dari golongan rumput,
semak, dan herba.
Golongan rumput yang umumnya
termasuk ke dalam famili Gramineae terdiri dari Imperata cylindrica, Paspalum conjugatum,
dan
Eleusine
Melastoma malabathricum
indica.,
sedangkan
dan Lantana camara
Verbenaceae dan Melastomataceae.
golongan
semak
seperti
termasuk ke dalam famili
Jenis-jenis tumbuhan bawah tersebut
dapat tumbuh di tempat terbuka dan agak terlindung serta umumnya memiliki kemampuan berkompetisi yang tinggi. Jenis tumbuhan bawah yang termasuk ke dalam famili Gramineae tersebut umumnya memiliki bentuk daun lanset atau garis memanjang dan berkedudukan tegak membentuk rumpun. Menurut Jumin (1989), total intersepsi cahaya akan lebih besar pada tanaman berdaun tegak daripada yang berdaun horizontal karena cahaya matahari yang diterima lapisan daun bagian bawah menjadi lebih banyak.
82
Golongan semak umumnya memiliki struktur daun yang sempit dan tebal serta banyak diantaranya yang memiliki bentuk daun bulat telur yang menggulung.
Hal ini diduga sebagai bentuk adaptasi dalam mengintersepsi
cahaya matahari yang diterima oleh setiap helaian daunnya untuk mengurangi penguapan. Morfologi daun seperti ini memungkinkan tingginya total berat kering yang dihasilkan tanaman tersebut.
Dengan demikian, produksi biomassa
tumbuhan bawah pada tipe vegetasi terbuka sangat tinggi sehingga jumlah rosot karbon dalam tumbuhan bawah pada vegetasi jarang relatif besar dibandingkan vegetasi tertutup. Pada umumnya jumlah rosot karbon pada pohon akan menurun dengan menurunnya penutupan tajuk, karena penutupan tajuk berkorelasi positif dengan kerapatan pohon. Pada contoh tersebut terdapat kekecualian di Bukit Kelutum, yaitu pada perubahan dari vegetasi dengan penutupan tajuk rapat ke cukup. Hal ini disebabkan vegetasi rapat di Bukit Kelutum memiliki kerapatan pohon 1300 per ha tetapi pohon-pohonnya berdiameter kecil, rata-rata 12,44 cm (dengan kisaran 5,41 cm s.d. 24 cm) dan pada vegetasi cukup kerapatan pohonnya 933 pohon per ha tetapi diameter batangnya relatif besar, rata-rata 14,09 cm (dengan kisaran 5,23 cm s.d. 39 cm). Salah satu kendala dalam penelitian ini adalah tidak adanya informasi mengenai umur tegakan sehingga tidak dapat mengetahui pertumbuhan dan riap tegakan dari tahun ke tahun. Selain itu, struktur tegakan berdasarkan kelas umur tidak dapat diketahui.
Akan tetapi, sesuatu yang tumbuh seperti pohon dapat
dipastikan bahwa diameter batangnya akan berkorelasi positif dengan umur. Hasil penelitian Clark et al. (2003) di Stasiun Penelitian La Selva, Costarica yang melakukan pengamatan secara periodik dari tahun 1984-2000 menunjukkan bahwa diameter batang mengalami pertumbuhan rata-rata 148% dari diameter awal.
Oleh karena itu, struktur tegakan berdasarkan umur pohon dapat didekati
dengan struktur umur menurut kelas diameter. Grafik hubungan antara kelas diameter dengan jumlah pohon pada masing-masing tipe penutupan lahan di hutan kota Bandar Lampung disajikan pada Gambar 10. Grafik pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pola penyebaran jumlah pohon dengan kelas diameter batang (ukuran pohon) di hutan Kota Bandar Lampung memiliki pola yang relatif sama dengan hutan di areal HPH yang merupakan hutan alam (Indrawan 2000). Ditinjau dari aspek ekologis, hal ini menunjukkan bahwa secara agregat, di dalam areal RTH kota Bandar Lampung memunginkan terjadinya proses suksesi. 83
Untuk menggantikan pohon-pohon dewasa (apabila pohon tersebut ditebang) telah tersedia tumbuhan dalam tingat pancang dan tiang yang akan menggantikannya.
Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Diameter Batang pada Vegetasi Sedang 90
140
80
120
70 50
80
40
15
60
30
10
40
20
0
s. d
d
d
14
cm
cm 44
49 s.
45
10
cm 39
d
s.
s. 35
40
cm
34
d
s. 30
s. 25
s.
d
29
cm
d.
24
19
cm 10
s.
s.
d
d
14
cm 49
s. d
15
cm
cm 44 45
cm
39
34
s. d
s. d 40
s. d
35
cm
cm
s. d
29 30
s. d. 24
25
cm
cm 19
s. d
20
10
s. d
14
-5
cm
20
0
0
cm
10
20
5
y = 2,0227x 2 - 36,068x + 162,5 R2 = 0,9336
100
cm
20
y = 1,5152x 2 - 25,164x + 105,07 R2 = 0,9612
60
19 cm s. d. 24 25 cm s. d 29 30 cm s. d 34 35 cm s. d 39 40 cm s. d 44 45 cm s. d 49 cm
y = 0,8636x 2 - 12,179x + 40,133 R2 = 0,8052
s. d
25
20
30
Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Diameter Batang pada Vegetasi Rapat
15
35
15
Jumlah Individu (batang)
Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Diameter Batang pada Vegetasi Jarang
Tingkatan Pertumbuhan Pohon Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Umur Lima Tahun Setelah Penebangan di Areal PT Indexim Utama Co. Kaltim
Jumlah Individu (batang)
Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Umur Sebulan Setelah Penebangan di Areal PT Indexim Utama Co. Kaltim
Hubungan Jumlah Pohon dengan Kelas Umur Lima Tahun Setelah Penebangan di Areal PT Indexim Utama Co. Kaltim
10000
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
y = 556,67x 2 - 3730,3x + 6342 R2 = 0,8863
10000
8000
y = 1552,5x 2 - 10201x + 16530 R2 = 0,9322
6000
0
pancang
tiang
pohon
4000
2000
2000
-2000
y = 1552,5x 2 - 10201x + 16530 R2 = 0,9322
6000
4000
0
semai
8000
0
semai
pancang
tiang
pohon
-2000
semai
pancang
tiang
pohon
Tingkatan Pertumbuhan Pohon
Gambar 10 Grafik hubungan antara kelas umur (diameter batang) dengan jumlah pohon di hutan kota Bandar Lampung dan vegetasi pembanding di areal HPH (Indrawan 2000). 5.3.2 Jalur Hijau Hasil perhitungan rata-rata rosot karbon di masing-masing jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung dengan menggunakan model Allometrik (Brown, 1997) disajikan pada Tabel 30. Dari hasil pengambilan sampel di 7 (tujuh) ruas jalan di Kota Bandar Lampung ditemukan 44 spesies pohon dengan jumlah mencapai 757 batang berbagai ukuran diameter. Rata-rata jumlah rosot karbon sebesar 103,3 ton C per ha.
Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan rosot
karbon pada vegetasi dengan penutupan tajuk cukup (96,026 ton C per ha), walaupun masih lebih kecil dibandingkan dengan vegetasi dengan penutupan tajuk rapat (173,183 ton C per ha).
Hal ini menunjukkan bahwa jalur hijau
memiliki peran cukup besar sebagai rosot karbon.
Data pada Tabel 30
menunjukkan bawa jumlah rosot karbon pada jalur jalan bervariasi sangat besar, yang terkecil di Jalan Teuku Cik Ditiro (30,396 ton C per ha) dan terbesar di Jalan Gatot Subroto (238,671 ton per ha). Selain ukuran pohon, faktor yang 84
sangat berpengaruh terhadap jumlah rosot karbon adalah kerapatan. Dalam hal ini, jumlah pohon yang ditemui per satuan panjang ruas jalan. Tabel 30 Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau jalan di Kota Bandar Lampung Nama Jalan
Jumlah pohon 86
Jumlah Spesies 17
109
23
238,671
28
6
53,107
146
19
60,909
24
2
232,920
Soekarno Hatta
152
68,836
Sultan Agung
212
19 19
39,997
108,14
44
103,300
Teuku Cikditiro Gatot Subroto Laksamana Malahayati M Noer Raden Intan
Rata-rata
Jumlah rosot karbon (Ton C/ha) 30,396
Apabila dilihat dari spesies penyusunnya, Tabel 31 menunjukkan bahwa 5 (lima) spesies pertama yang paling banyak menyimpan karbon di jalur hijau jalan adalah Pterocarpus indicus, Roystone regia, Delonix regia, Acacia auriculiformis, dan Leucaena leucocephala.
Pterocarpus indicus banyak ditanam sebagai
tanaman peneduh karena disamping pertumbuhannya cepat penanamannya pun mudah dilakukan. Angsana dapat ditanam dengan menggunakan stek batang. Selain itu, dari segi lingkungan juga cukup baik karena efektif sebagai penyerap timbal dari udara. Selain kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) jenis pohon ini juga memiliki nilai doiminansi relatif yang paling tinggi. Artinya, jenis ini jumlahnya paling banyak, penyebarannya paling luas, dan diameternya besar. Sebaliknya, Roystone regia banyak ditanam pada median jalan dan di areal tepi jalan (trotoar).
Selain pertumbuhannya cepat, perakarannya tidak merusak
trotoar atau badan jalan dan serasahnya tidak mengotori jalan. Delonix regia banyak ditanam karena tajuk dan bunganya menghasilkan nilai estetika yang tinggi,
sedangkan Acacia auriculiformis dan Leucaena leucocephala banyak
digunakan sebagai tanaman reboisasi melalui pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sehingga bibitnya cukup tersedia dengan mudah.
85
Tabel 31 Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau jalan Kota Bandar Lampung Famili
Nama Ilmiah
Sterculiaceae Arecaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Meliaceae Anacardiaceae Fabaceae Verbenaceae Euphorbiaceae Mimosaceae Palmae Palmae Fabaceae Leguminosae Bombacaceae Moraceae Moraceae Anacardiaceae Malvaceae Lythraceae Sterculiaceae Leguminosae Myrtaceae Moraceae Myrtaceae Mimosaceae Sapindaceae Euphorbiaceae Combretaceae Casuarinaceae Fabaceae Sapotaceae Fabaceae Gnetaceae Verbenacea Sterculiaceae Fabaceae Meliaceae Lauraceae Fabaceae Rutaceae Arecaceae Myrtaceae
Pterocarpus indicus Roystone regia Delonix regia Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala Swietenia macrophylla Spondias pinnata Dalbergia latifolia Tectona grandis Jatropha gossyfolia Paraserianthes falcataria Palm Cocos nucifera Acacia mangium Enterolobium cylocarpum Durio zibethinus Arthocarpus integra Ficus benjamina Mangifera indica Ceiba pentandra Lagerstroemia speciosa Pterospermum javanicum Bauhinia purpurea Eugenia aquea Arthocarpus communis Psidium guajava Perkia speciosa Nephelium lapaceum Hevea brasiliensis Terminalia cattapa Casuarina equisetifolia Intsia bijuga Mimusop elengi Tamarindus indica Gnetum gnemon Gmelina arborea Theobroma cacao Casia siamea Toona sureni Persea americana Leucaena glauca Morinda citrifolia Areca catechu Eugenia aromatica
KR
FR
DR
INP
Potensi Rata-rata (ton/ha)
18,96 5,47 1,87 6,01 7,34 8,68 3,60 6,81 4,94 1,87 1,87 1,07 1,34 1,34 0,93 0,27 1,74 0,40 0,93 0,53 1,87 5,34 2,27 0,40 0,53 0,93 0,53 0,13 0,40 0,13 1,74 2,94 0,80 0,27 0,40 0,13 0,53 1,74 1,07 0,13 0,40 0,40 0,80 0,13 100,00
7,00 3,00 1,00 5,00 5,00 6,00 2,00 3,00 5,00 4,00 2,00 2,00 2,00 4,00 2,00 1,00 1,00 2,00 4,00 1,00 4,00 3,00 2,00 2,00 1,00 2,00 3,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 100,00
24,04 22,42 20,37 4,94 4,79 3,52 3,13 2,68 2,53 1,58 1,41 1,11 0,78 0,75 0,72 0,72 0,68 0,53 0,48 0,43 0,35 0,32 0,30 0,21 0,17 0,16 0,12 0,12 0,11 0,10 0,08 0,06 0,06 0,05 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,00 100,00
49,99 30,89 23,24 15,95 17,13 18,20 8,73 12,49 12,47 7,45 5,28 4,18 4,12 6,08 3,66 1,98 3,42 2,93 5,41 1,97 6,22 8,66 4,57 2,61 1,70 3,09 3,65 1,25 1,51 1,23 3,81 4,00 1,86 1,32 1,44 1,16 2,55 3,76 2,09 1,15 1,41 1,41 2,81 1,14 300,00
24,829 23,155 21,046 5,108 4,945 3,637 3,230 2,772 2,610 1,634 1,458 1,147 0,811 0,774 0,747 0,741 0,706 0,548 0,496 0,446 0,363 0,331 0,315 0,221 0,175 0,164 0,122 0,120 0,113 0,101 0,078 0,065 0,060 0,055 0,036 0,027 0,022 0,020 0,018 0,018 0,013 0,012 0,010 0,004 103,300
Keterangan: KR : Kerapatan Relatif FR : Frekuensi Relatif DR : Dominansi Relatif INP : Indeks Nilai Penting
86
Data hasil inventarisasi dan perhitungan jumlah rosot karbon pada masingmasing jalur hijau sungai dan masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau sungai secara berturut-turut disajikan pada Tabel 32 dan Tabel 33. Tabel 32 Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau sungai di Kota Bandar Lampung Sungai
Jumlah Pohon
Jumlah Spesies
Jumlah karbon (ton/ha)
Way Halim
155
24
35,601
Way Kuripan
125
17
50,521
Way Simpur
71
21
30,651
156
23
527,112
126,75
38
160,971
Way Sukoharjo Jumlah
Data pada Tabel 32 menunjukkan bahwa jumlah rosot karbon di jalur hijau Way Sukoharjo menunjukkan perbedaan yang mencolok, dibandingkan dengan sungai lainnya.
Way Sukoharjo melintasi areal yang permukimannya relatif
masih jarang, sedangkan ketiga sungai lainnya melintasi permukiman yang relatif padat. Dilihat dari jumlah pohon dan jumlah spesies, antara Way Halim dan Way Sukoharjo relatif sama. Akan tetapi, pepohonan yang terdapat di jalur hijau Way Halim umumnya berdiameter relait kecil. Di jalur hijau Way Sukoharjo terdapat Ceiba pentandra dan Gnetum gnemon dengan INP besar yang di jalur hijau Way Halim dan sungai lainnya tidak ditemui. Apabila dilihat dari spesies penyusunnya, Tabel 33 menunjukkan bahwa limaspesies pertama yang paling banyak menyimpan karbon di jalur hijau sungai adalah Cocos nucifera, Gnetum gnemon, Ceiba pentandra, dan Mangifera indica. Semua spesies tersebut merupakan penghasil buah yang telah biasa dibudidayakan dan tiga di antaranya, Cocos nucifera, Gnetum gnemon, dan Ceiba pentandra bernilai ekonomi relatif tinggi dibanding dengan jenis pohon lainnya.
87
Tabel 33 Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau sungai Kota Bandar Lampung Nama Daerah
Frekuensi
KR
Palmae Gnetaceae Malvaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Malvaceae Moraceae Sterculiaceae Moraceae Euphorbiaceae Combretaceae Arecaceae Euphorbiaceae Arecaceae Arecaceae Mimosaceae Mimosaceae Lythraceae Myrtaceae Myrtaceae Rutaceae Leguminosae Lauraceae Annonaceae Verbenaceae Fabaceae Verbenaceae Fabaceae Bombacaceae Sterculiaceae Mimosaceae Fabaceae Sapindaceae Moraceae Rutaceae Meliaceae Annonaceae Oxalidaceae
Cocos nucifera Gnetum gnemon Ceiba pentandra Spondias pinnata Mangifera indica Hibiscus tiliaceus Arthocarpus integra Pterocarpus indicus Arthocarpus communis Jatropha gossyfolia Terminalia cattapa Arenga pinnata Hevea brasiliensis Roystone regia Areca catechu Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala Lagerstroemia speciosa Eugenia aquea Eugenia aromatica Morinda citrifolia Bauhinia purpurea Persea americana Annona muricata Tectona grandis Tamarindus indica Gmelina arborea Parkia speciosa Durio zibethinus Pterospermum javanicum Paraserinthes falcataria Casia siamea Nephelium lapaceum Ficus benjamina Aegle marmelos Melia azedarach Annona squamosa Averhoa bilimbi Jumlah
31,76 8,88 1,18 6,11 5,72 7,69 3,94 3,16 3,35 0,59 2,56 1,58 2,76 3,35 1,78 0,99 1,58 0,79 0,99 1,58 0,59 2,17 0,79 0,79 0,79 0,39 0,39 0,79 0,39 0,59 0,39 0,39 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 100.00
FR 4,76 3,57 2,38 3,57 4,76 4,76 4,76 3,57 4,76 2,38 3,57 3,57 3,57 2,38 2,38 3,57 3,57 3,57 3,57 2,38 3,57 1,19 2,38 2,38 2,38 2,38 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 1,19 100,00
DR
INP
41,28 11,70 15,23 5,68 4,02 1,10 1,57 1,85 0,39 5,51 1,11 2,08 0,63 0,85 1,79 0,84 0,13 0,68 0,41 0,80 0,22 0,17 0,22 0,13 0,13 0,07 0,60 0,11 0,28 0,04 0,05 0,05 0,11 0,09 0,05 0,02 0,01 0,01 100,00
77,80 24,15 18,79 15,37 14,50 13,56 10,27 8,58 8,51 8,48 7,25 7,23 6,96 6,58 5,95 5,40 5,28 5,04 4,97 4,76 4,38 3,53 3,39 3,30 3,30 2,84 2,18 2,09 1,86 1,82 1,64 1,63 1,50 1,48 1,44 1,40 1,40 1,40 300,00
Rata-rata rosot karbon (ton/ha) 66.455 18.837 24.512 9.146 6.466 1.773 2.521 2.982 0.629 8.865 1.790 3.343 1.014 1.360 2.885 1.351 0.214 1.099 0.656 1.291 0.349 0.279 0.355 0.204 0.204 0.111 0.963 0.172 0.446 0.065 0.087 0.078 0.184 0.142 0.087 0.028 0.015 0.012 160,971
Keterangan: KR FR DR INP
: Kerapatan Relatif : Frekuensi Relatif : Dominansi Relatif : Indeks Nilai Penting
Data hasil inventarisasi dan perhitungan jumlah rosot karbon pada masingmasing jalur hijau sungai dan masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau pantai secara berturut-turut disajikan pada Tabel 34 dan Tabel 35.
88
Tabel 34 Jumlah rosot karbon pada masing-masing jalur hijau pantai di Kota Bandar Lampung Lokasi
Jumlah pohon
Pantai Lempasing
Jumlah Spesies
135
10
54
6
Pantai Panjang
Jumlah rosot karbon (ton/ha) 11,171 104,685
94,5
Rata-rata
57,928
Data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa Pantai Lempasing memiliki jumlah spesies dan jumlah individu pohon yang lebih besar, tetapi jumlah rosot karbon justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pantai Panjang. Pantai Lempasing merupakan areal yang relatif baru berkembang dibandingkan dengan Pantai Panjang.
Pantai Lempasing
merupakan areal timbunan (areal baru yang
menjorok ke laut) yang berkembang menjadi areal permukiman. Tumbuhan yang ditemui di daerah ini relatif masih muda.
Hal ini dapat dilihat dari diameter
batangnya yang masih kecil (tingkat sapling).
Selain itu, jenis pohon yang
tumbuh di Pantai Lempasing, dari 10 spesies yang ditemui, delapan spesies di antaranya bukan merupakan tumbuhan pantai. Tabel 35 Jumlah rosot karbon pada masing-masing spesies yang ditemui di jalur hijau pantai Kota Bandar Lampung Nama Daerah
Nama Ilmiah
KR
FR
DR
INP
Rata-rata jumlah rosot karbon (ton/ha) 27.932
Palmae
Cocos nucifera
5,29
6,25
48,22
59,76
Fabaceae
Acacia auriculiformis
7,41
12,50
16,05
35,95
9.295
Combretaceae
Terminalia cattapa
14,81
12,50
13,25
40,56
7.673
Malvaceae
Hibiscus tiliaceus
12,70
12,50
9,34
34,54
5.413
Fabaceae
Leucaena leucocephalla
11,64
12,50
6,15
30,29
3.564
Fabaceae
Acacia mangium
16,93
6,25
2,59
25,78
1.503
Fabaceae
Casia siamea
16,93
6,25
1,32
24,50
0.763
Meliaceae
Toona sureni
4,76
6,25
1,27
12,28
0.734
Casuarinaceae
Casuarina equisetifolia
2,65
6,25
1,25
10,14
0.722
Mimosaceae
Paracerianthes falcataria
4,76
6,25
0,24
11,25
0.139
Moraceae
Ficus benjamina
1,06
6,25
0,21
7,52
0.121
Arecaceae
Roystone regia Jumlah
1,06
6,25
0,12
7,43
0.068
100.00
100,00
100,00
300,00
57,928
Keterangan: KR FR DR INP
: Kerapatan Relatif : Frekuensi Relatif : Dominansi Relatif : Indeks Nilai Penting
89
Dilihat dari spesies penyusunnya, Tabel 35 menunjukkan bahwa lima spesies dominan yang ditemui di jalur hijau pantai adalah Cocos nucifera, Acacia cattapa,
Hibiscus
Terminalia
leucocephalla.
Ketapang dan Waru laut merupakan spesies yang memliki
kerapatan dan penyebaran relatif tinggi.
tiliaceus,
dan
auriculiformis,
Leucaena
Hal ini disebabkan kedua spesies
tersebut merupakan tumbuhan yang adaptif terhadap kondisi maritim dan menyebar secara alami melalui media arus atau gelombang laut laut.
Tiga
spesies lainnya, yaitu Cocos nucifera, Acacia auriculiformis, dan Leucaena leucocephala tumbuh dan dominan di daerah tersebut karena ditanam atau dipelihara. Acacia auriculiformis dan Leucaena leucocephala ditanam sebagai tanaman penghijauan dengan fungsi utama sebagai peneduh, sedangkan kelapa dipelihara sebagai tanaman penghasil buah yang bernilai ekonomi.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa manusia sangat berperan dalam menentukan komposisi spesies dalam suatu komunitas. Tabel 36 Karbon total dan rata-rata tersimpan di jalur hijau Kota Bandar Lampung No.
1. 2. 3.
Jalur Hijau
Jalan Sungai Pantai Jumlah
Luas (ha) 159,211) 1.215,702) 50,003) 1.424,91
Total Potensi karbon (Ton C) (ton C/ha) 4) Kisaran Ratarata 30,396 – 238,671 103,300 16.446,393 30,651 – 527,112 160,971 195.692,445 11,171 – 104,685 57,928 2.896,400 322,199 215.035,238
Keterangan: 1) Pemerintah Kota Bandar Lampung (2003) (Hasil analisis) 2) Potensi dugaan, mengacu pada Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 3) Proyeksi kebutuhan sempadan pantai sampai tahun 2027 (Damai, 2003) 4) Asumsi 1 ton biomasa = 0,45 ton Karbon (IPCC, 1995) Data pada Tabel 36 menunjukkan bahwa jumlah rosot karbon paling banyak pada jalur hijau sungai.
Selain karena pembobot luas yang besar,
besarnya rosot karbon pada jalur hijau sungai juga dikarenakan kerapatannya lebih tinggi dibanding dengan pada jalur hijau jalan dan pantai. Rata-rata jumlah pohon pada jalur hijau sungai adalah 127 pohon/ha,
jalur hijau jalan 108
pohon/ha, dan jalur hijau pantai 95 pohon/ha. Ekosistem RTH (hutan kota) berfungsi sebagai Carbon Sink dengan mentransformasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer menjadi komponen (pohon,
90
akar, potongan-potongan kayu, vegetasi lainnya, serasah, dan tanah) yang tersimpan. Akan tetapi Karbon yang tersimpan dalam hutan dapat dilepaskan melalui kerusakan, baik yang bersifat alami atau karena aktivitas manusia. Pelepasan karbon tersebut dapat terjadi secara cepat karena konversi lahan. Gas-gas lain seperti CH4 dan N2O dapat dipengaruhi oleh pembukaan hutan. Akan tetapi, pengaruhnya sangat kompleks, sulit dimonitor dan kurang penting dibanding pertukaran CO2. 5.4
Hubungan Keragaman Jenis Pohon dengan Jumlah Rosot Karbon Suatu kondisi yang ideal adalah jika suatu komunitas dapat menyimpan
keragaman jenis pohon tinggi sekaligus juga menyimpan karbon dalam jumlah banyak.
Untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman jenis pohon
dengan jumlah rosot karbon dilakukan analisis korelasi sederhana antara indeks struktur komunitas (H dan R) dengan jumlah rosot karbon. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara jumlah rosot karbon dalam suatu komunitas dengan keanekaragaman jenis pohon komunitas tersebut (Gambar 11). Demikian juga tidak terdapat korelasi antara jumlah rosot karbon dalam suatu komunitas dengan indeks kekayaan jenis pohon komunitas tersebut (Gambar 12). 3
r = 0,39 R2 2 = 0,0317 R = 0,15
Indeks Keragaman jenis (H)
2,5
2
1,5
1
0,5
0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Log Carbon tersimpan (ton per ha)
Gambar 11 Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks keragaman (H) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar Lampung.
91
Gambar 11 menunjukkan bahwa titik-titik yang menunjukkan hubungan antara hasil Log jumlah rosot karbon dengan IK tersebar secara acak (bebas). Sebaran tersebut menunjukkan tidak adanya kecenderungan yang membentuk suatu pola hubungan, baik linier, kuadratik, maupun ekponensial antara nilai H dengan Log nilai jumlah rosot karbon.
Keragaman jenis (H) merupakan fungsi
dari jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Semakin besar nilai H, berarti proporsi atau berbandingan antara jumlah spesies dan jumlah individu semakin berimbang. Ini berarti, dalam komunitas tersebut terdapat banyak spesies dengan kerapatan individu masing-masing spesies yang tinggi dan distribusi jumlah relatif merata.
Sedangkan jumlah rosot karbon merupakan
fungsi dari luas bidang dasar yang merupakan fungsi dari diameter batang.
6
r = 0,18 2
R = 0,03 Indeks Kekayaan Jenis (R)
5
4
3
2
1
0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Log Carbon tersimpan (ton per ha)
Gambar 12 Sebaran titik-titik yang menunjukkan hubungan antara jumlah rosot karbon dalam komunitas dengan indeks kekayaan (R) jenis pohon komunitas RTH Kota Bandar Lampung. Gambar 12 menunjukkan, seperti halnya hubungan dengan H,
titik-titik
yang menunjukkan hubungan antara hasil Log jumlah rosot karbon dengan R tersebar secara acak (bebas).
Sebaran tersebut menunjukkan tidak adanya
kecenderungan yang membentuk suatu pola hubungan, baik linier, kuadratik, maupun ekponensial antara nilai R dengan nilai Log jumlah rosot karbon. Indeks kekayaan jenis (R) merupakan hasil bagi antara jumlah spesies dikurangi 1 (satu) dengan Lon (log natural) jumlah individu. Artinya, untuk jumlah individu yang sama, nilai R akan meningkat dengan bertambahnya jumlah spesies.
92
Tidak adanya hubungan antara nilai parameter keanekaragaman, baik H maupun R, dengan jumlah rosot karbon bersarti nilai parameter keanekaragaman tidak dapat digunakan untuk memprediksi jumlah rosot karbon dalam suatu komunitas.
Seperti terlihat pada Gambar 11 dan Gambar 12, suatu komunitas
yang memiliki nilai H dan R tertentu dapat memiliki jumlah karbon yang berbedabeda (besar atau kecil).
Hal ini disebabkan jumlah rosot karbon merupakan
fungsi dari diameter batang, sedangkan suatu komunitas dengan nilai H dan R tertentu berpeluang memiliki diameter pohon yang semuanya besar atau semuanya kecil. 5.5
Optimalisasi RTH Kota Bandar Lampung sebagai Sarana Konservasi Jenis Pohon dan Rosot Karbon
5.5.1 Penentuan dan Penetapan RTH Sampai dengan tahun 2004 Kota Bandar Lampung mengalokasikan ruang terbuka yang relatif luas, yaitu 12.615 ha atau 64,91% dari luas wilayah Kota Bandar Lampung (Pemerintah Kotamadya Dati II Bandar Lampung 1997). Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung (2003/2004), sebagian besar (63,47% = 8006,7 ha) wilayah Kota Bandar Lampung diperuntukkan sebagai RTH
terjadi penurunan 1,44%.
Walaupun demikian,
luasan tersebut masih melebihi luas minimal menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 14 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa setiap kota harus mengalokasikan RTH seluas 40% dari luas kota. Kelompok penggunaan lahan yang berfungsi sebagai RTH terdiri atas lahan konservasi 27% (2.161,8 ha = 17,14% dari luas kota) dan pertanian lahan kering 73% (5844,9 ha 82,86% dari luas kota).
Besarnya proporsi luas RTH sebagai pertanian lahan kering
mengindikasikan bahwa penggunaan lahan sebagai RTH tidak mantap (permanen). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung, areal yang potensial untuk dapat dipertahankan sebagai RTH adalah 3.595,7 ha (28,50% dari luas Kota Bandar Lampung) dengan rincian sebagai berikut: h. Sempadan Sungai sekitar 1215,7 ha, i.
Sempadan Jalan sekitar 159,2 ha,
j.
Sempadan Pantai sekitar 50,0 ha,
k. Gunung dan bukit-bukit serta kawasan resapan air 2.161,8 ha, l.
Hutan Kota 9 ha. 93
Untuk
melengkapi
kekurangan,
agar
dapat
memenuhi
ketentuan
Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 (40% dari luas kota) diperlukan 11,50% lagi atau seluas 1.450,7 ha. Areal ini dapat dipenuhi dengan menetapkan areal-areal yang saat ini belum terbangun, seperti areal pertanian dan taman-taman atau RTH yang terdapat di areal permukiman dan telah ditetapkan sebagai lahan untuk kepentingan umum (fasilitas umum). Setelah ditentukan areal-areal yang dapat difungsikan sebagai RTH secara permanen,
areal tersebut perlu
ditetapkan sebagai RTH dengan Peraturan Daerah sehingga penggunaannya tidak dapat dengan mudah dikonversi untuk penggunaan lain.
Selanjutnya
dilakukan penataan dan pemancangan batas di lapangan serta diberi tanda pengenal (Papan Nama) sehingga dapat diketahui oleh masyarakat luas. 5.5.2
Nilai Konservasi RTH Seperti telah diuraikan, peran RTH Kota Bandar Lampung dalam
konservasi jenis pohon masih rendahl (Ik < 0,25). Rendahnya nilai Ik tersebut disebabkan kondisi spesies yang tumbuh di areal RTH Kota Bandar Lampung: a) seluruh (100%) merupakan spesies non-endemis Sumatera; b) sebagian besar (91%) merupakan spesies yang tidak dilindungi undangundang dan semua spesies yang dilindungi undang-undang tersebut merupakan spesies non-endemis; c) sebagian besar (77%) merupakan spesies Jamak; dan d) sebagian besar (84%) merupakan spesies budidaya dan semuanya merupakan sepesies non-endemis. Sebagaimana telah diuraikan, masuknya tumbuhan eksotik merupakan salah satu penyebab terdesaknya tumbuhan endemis (Van Houten et al. 2000). Menurut UNEP (1993), salah satu cara perlindungan spesies flora adalah dengan mengendalikan spesies eksotik. Oleh karena itu, dalam penentuan spesies yang akan dikonservasi, spesies asli (endemis) harus lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan spesies eksotik (McKinnon et al. 1993).
Penurunan
proporsi spesies eksotik dapat dilakukan melalui pendekatan, yaitu 1) pengayaan jenis endemis melalui reintroduksi spesies endemis Sumatera dari berbagai tempat, khususnya di Propinsi Lampung, 2) Pengurangan spesies eksotik dengan cara mengambil atau memusnahkan tanaman eksotik yang ada, dan 3) Reintroduksi
dilakukan
dengan
sekaligus
mengganti
spesies
eksotik.
Reintroduksi antara lain dapat dilakukan dari daerah Gunung Betung (Tahura 94
WAR), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), atau dari hutan lindung dan lahan masyarakat yang ada di Propinsi Lampung. Reintroduksi juga akan lebih meningkatkan nilai Ik jika selain endemis, spesies yang digunakan juga dilindungi. Salah satu kriteria atau pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan suatu spesies pohon dilindungi adalah kelangkaan.
Berarti, suatu spesies dilindungi menandakan bahwa secara
nasional spesies tersebut telah langka atau terancam punah. Oleh karena itu, penggunaan spesies dilindungi untuk memperkaya jenis pohon di dalam RTH berarti juga melindungi tumbuhan langka atau terancam punah dari kepunahan. Lebih lanjut pohon tersebut dapat digunakan sebagai sumber bibit bagi pengembangan jenis tersebut.
Spesies endemis Sumatera yang dilindungi
memang baru ada dua, yaitu Dipterocarpus cinereus dan Dipterocarpus conformis. Oleh karena itu, untuk meningkatkan IK RTH Kota Bandar Lampung, spesies ini perlu diprioritaskan untuk di tanam di areal RTH. Seperti dikemukakan oleh MacKinnon et al. (1993), semakin kecil suatu marga atau famili, semakin besar kesenjangan antar marga tersebut dengan marga terdekatnya, sehingga kelompok spesies tersebut makin berbeda dengan kelompok spesies lainnya. Oleh karena itu, spesies yang merupakan satusatunya wakil dalam family di wilayah penelitian tersebut (tunggal) harus mendapat prioritas untuk dilindungi dibanding spesies yang merupakan bukan satu-satunya atau spesies jamak.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan nilai Ik dari aspek ini adalah dengan menambah jumlah koleksi pohon-pohon tunggal yang terdapat di luar areal RTH Kota Bandar Lampung. Spesies tunggal tersebut akan lebih meningkatkan nilai Ik jika dilindungi, misalnya Dyera costulata, Arenga pinnata, dan Styrax benzoin. Ditinjau dari aspek keliarannya, sebagian besar (84%) pohon yang terdapat di areal RTH Kota Bandar Lampung merupakan spesies yang sudah biasa dibudidayakan.
Teknik budidaya, terutama pembiakan, spesies ini umumnya
mudah dilakukan dan telah dikuasai masyarakat atau mudah berbiak secara alami sehingga masyarakat hanya perlu memindahkan dan memeliharanya. Selain itu, preferensi masyarakat terhadap kelompok spesies ini umumnya telah cukup tinggi karena dengan menanam atau memelihara spesies pohon tersebut masyarakat dapat memperoleh satu atau beberapa insentif.
Insentif tersebut
dapat berupa kemudahan memelihara, manfaat ekonomis, keindahan/kepuasan,
95
keteduhan/kenyamanan dan sebagainya. Sebaliknya, preferensi masyarakat terhadap pohon non-budidaya pada umumnya masih rendah.
Rendahnya
preferensi masyarakat umumnya disebabkan masyarakat belum mendapatkan insentif,
baik
langsung
maupun
tidak
langsung.
Rendahnya
preferensi
masyarakat dapat menyababkan spesies tersebut semakin terkucil atau terabaikan, sehingga akan mendekati kepunahan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai Ik areal RTH Kota Bandar Lampung, spesies yang perlu mendapatkan prioritas adalah spesies non-budidaya. Contoh spesies yang termasuk kelompok ini adalah Littola firmex (Medang),
Querqus lincata
(Pasang), dan Intsia palembanica (Merbau) yang merupakan pohon penghasil kayu komersil bernilai tinggi tapi sulit dibudidayakan dan tidak ditemukan di areal RTH Kota Bandar Lampung. Areal RTH berbentuk bukit, Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung, termasuk Ruang Terbuka Hijau dengan peruntukan Hutan Kota.
Akan tetapi, areal
tersebut umumnya sudah milik perorangan dan beberapa bagian digarap oleh para penggarap dengan status numpang. mengetahui pemilik yang sebenarnya.
Penggarap sendiri umumnya tidak
Penggarap umumnya memanfaatkan
areal yang relatif datar untuk bercocok tanam palawija. Pepohonan yang ada umumnya tumbuh secara alami, kecuali tanaman kelapa yang sengaja ditanam pemiliknya. Areal lereng perbukitan di Kota Bandar Lampung pada awalnya merupakan perkebunan cengkeh (Eugenia aromatica).
Sejak harga cengkeh jatuh dan
tanaman cengkeh banyak yang mati, perbukitan tersebut dibiarkan bera oleh para pemiliknya atau dijual kepada pihak lain.
Walaupun demikian, menurut
salah seorang Kepala Kelurahan, untuk mengetahui pemilik yang sesungguhnya agak sulit karena para pembeli biasanya menggunakan nama orang lain. Para pemilik umumnya tidak berkepentingan dengan hasil tumbuhan atau tanaman yang ada di atasnya.
Lahan tersebut umumnya digunakan atau dibangun
sebagai kompleks permukiman.
Sebagai contoh, Bukit Kelutum dan Gunung
Langgar saat ini sedang dibangun kompleks permukiman. 5.5.3
Hubungan Nilai Konservasi dengan Rosot Karbon Hasil analisis menunjukkan bahwa di areal RTH, khususnya hutan kota,
Kota Bandar Lampung ditemukan 44 spesies pohon dengan nilai R = 6,62, nilai 96
H = 2,92, dan nilai E = 0,6. Nilai-nilai tersebut lebih rendah dari vegetasi di areal Tahura WAR (vegetasi relatif alami terdekat) yang dengan 45 spesies pohon menghasilkan nilai R = 7,3, nilai H = 3,51, dan nilai E = 0,83. Data tersebut menunjukkan bahwa distribusi jumlah individu spesies pohon di hutan kota Bandar Lampung tidak merata,
terdapat dominasi spesies-spesies tertentu.
Dengan kata lain, ditinjau dari parameter keanekaragaman hayati, keberadaan komunitas hutan kota Bandar Lampung belum optimal. Analisis vegetasi hanya dengan parameter keragaman, terutama H dan R, tidak menggambarkan nilai konservasi komunitas atau upaya konservasi yang dilakukan terhadap suatu komunitas. Dapat saja suatu komunitas memiliki nilai H dan R yang tinggi, tetapi spesies penyusun komunitas tersebut tidak termasuk spesies yang perlu mendapat prioritas untuk dikonservasi (bernilai konservasi rendah). Sebaliknya, suatu komunitas dapat saja memiliki nilai H dan R yang rendah tetapi seluruh spesies penyusunnya bernilai konservasi tinggi. Ditinjau dari aspek penyimpanan karbon, vegetasi rapat hutan kota Bandar Lampung rata-rata dapat menyimpan karbon 173,183 ton C per ha, jalur hijau jalan 103,300 ton C per ha, jalur hijau sungai 160,971 ton C per ha, dan jalur hijau pantai 52,928 ton C per ha. Dibandingkan dengan jumlah rosot karbon di hutan alam tropika yang dapat menyimpan karbon 199 -750 ton C per ha jumlah rosot karbon di hutan kota Bandar Lampung tersebut masih kecil. Jumlah rosot karbon tersebut dapat ditingkatkan, karena pada vegetasi buatan, manusia dapat melakukan penataan ruang tumbuh secara lebih optimal. Melihat hubungan antara jumlah rosot karbon dengan nilai konservasi spesies penyusun vegetasi hutan rapat Kota Bandar Lampung, Tabel 37 menunjukkan bahwa spesies yang menyimpan jumlah karbon paling banyak justru spesies yang bernilai konservasi rendah, nilai Ik komunitas tersebut adalah 0,05. Sebagian besar (94,12%) spesies penyusun komunitas tersebut bernilai konservasi rendah (0,00 s.d 0,25). Dari 10 spesies pertama yang menyimpan karbon terbanyak, semuanya
bernilai konservasi rendah.
Spesies yang
menyimpan karbon tinggi dan bernilai konservasi rendah pada umumnya memiliki nilai INP yang tinggi. Tingginya nilai INP tersebut terutama dipengaruhi oleh KR dan DR, artinya disamping jumlahnya banyak diameternya pun relatif besar.
Dari nilai konservasi 0 (nol) dapat dipastikan bahwa spesies tersebut
adalah spesies non-endemis. Spesies tersebut umumnya eksotik.
Padahal
spesies tersebut rata-rata memiliki nilai INP yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa
97
spesies eksotik tersebut bersifat adaptif sehingga dapat berkembang dengan baik. Kondisi ini dapat menyebabkan spesies endemis tertekan. UNEP (1993) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kelangkaan atau kepunahan spesies adalah introduksi spesies eksotik (non-native species). Oleh karena itu, introduksi spesies eksotik perlu dikendalikan atau upaya konservasi spesies endemis perlu ditingkatkan. Tabel 37 Jumlah rosot karbon dan nilai konservasi masing-masing spesies pohon pada vegetasi rapat Jenis
Fabaceae Verbenaceae Gnetaceae Mimosaceae Fabaceae Mimosaceae Moraceae Fabaceae Mimosaceae Malvaceae Anacardiaceae Bombacaceae Meliaceae Bignoniaceae Moraceae Meliaceae Lythraceae Verbenaceae Fabaceae Myrtaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lauraceae Sterculiaceae Myrtaceae Myrtaceae Anacardiaceae Fabaceae Annonaceae Rutaceae Mimosaceae Jumlah
Spesies
KR
FR
DR
INP
Delonix regia Tectona grandis Gnetum gnemon Albizia procera Sesbania grandiflora Leucaena leucocephala Arthocarpus integra Casia siamea Acacia auriculiformis Ceiba pentandra Mangifera indica Durio zibenthinus Lansium domesticum Spathodea campanulata Ficus septica Swietenia macrophylla Lagerstroemia speciosa Peronema canescens Parkia speciosa Eugenia aromatica Erythrina variegata Acacia mangium Leucaena glauca Aleurites moluccana Jatropha gossyfolia Persea americana Pterospermum javanicum Psidium guajava Eugenia aquea Anacardium occidentale Dalbergia latifolia Annona squamosa Aegle marmelos Paraseriantes falcataria
1,65 18,56 14,64 2,89 5,15 2,47 5,15 8,66 3,30 1,03 1,44 1,44 0,62 0,82 5,77 1,03 2,68 0,21 0,82 2,06 4,74 0,82 0,21 3,92 0,62 1,03 5,77 1,24 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 100,00
1,54 6,15 6,15 3,08 1,54 3,08 4,62 4,62 3,08 3,08 4,62 3,08 1,54 1,54 4,62 1,54 1,54 1,54 6,15 6,15 3,08 3,08 1,54 3,08 1,54 4,62 1,54 3,08 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 100,00
14,92 12,83 9,29 8,53 7,77 6,95 6,60 5,56 2,78 2,77 2,56 2,53 2,32 2,07 1,70 1,56 1,42 1,26 1,25 1,18 1,07 0,82 0,67 0,61 0,39 0,35 0,07 0,05 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 100,00
18,11 37,54 30,08 14,50 14,47 12,50 16,37 18,84 9,15 6,88 8,61 7,05 4,48 4,43 12,09 4,13 5,64 3,01 8,23 9,40 8,88 4,72 2,41 7,61 2,54 6,00 7,38 4,37 1,78 1,77 1,76 1,76 1,76 1,75 300,00
Jumlah karbon per pohon (ton/ha) 25,089 21,572 15,613 14,346 13,069 11,685 11,094 9,353 4,672 4,656 4,297 4,260 3,904 3,477 2,856 2,619 2,387 2,124 2,104 1,988 1,791 1,372 1,125 1,031 0,650 0,597 0,123 0,086 0,054 0,038 0,033 0,024 0,021 0,014 168,125
IK
0 0 0,25 0,02 0,25 0 0 0,25 0 0 0,25 0,25 0,25 0,75 0,03 0 0,03 0,25 0,25 0 0,25 0 0 0,25 0,25 0 0,25 0 0,25 0,25 0,25 0,25 0,50 0
Keterangan: KR : Kerapatan Relatif FR : Frekuensi Relatif DR : Dominansi Relatif
INP : Indeks Nilai Penting IK : Indeks Konservasi Spesies
98
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa peran RTH kota Bandar Lampung sebagai rosot karbon (menyimpan karbon sebanyakbanyaknya) belum sejalan dengan peran konservasi jenis pohon (melindungi spesies bernilai konservasi tinggi dari kepunahan). Agar tujuan tersebut sejalan maka spesies penyusun komunitas tersebut perlu diganti dengan spesies bernilai konservasi tinggi. Konservasi, yang dalam hal ini didefinisikan sebagai upaya untuk mencegah punahnya suatu spesies pohon, merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Upaya konservasi dapat dilakukan antara lain melalui konservasi ek-situ, yaitu dengan menanam dan atau memelihara pepohonan sehingga dapat tumbuh dan berkembang biak. selanjutnya
dapat
digunakan
Hasil perkembangbiakan pohon tersebut sebagai
sumber
benih
atau
bibit
untuk
pengembangan yang lebih luas. Masyarakat umumnya akan menanam spesies pohon yang sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Untuk kepentingan budidaya pohon komersil,
pertimbangan utama yang dijadikan sebagai dasar dalam pemilihan jenis pohon adalah permintaan pasar tinggi dengan harga yang juga tinggi. Spesies yang dipilih untuk peneduh adalah spesies yang dapat memberikan naungan dari paparan sinar matahari. Untuk penghias, masyarakat umumnya akan memilih spesies yang unik, langka (dalam pengertian tidak atau jarang ditemui di daerah sekitarnya), dan biasanya akan bangga jika spesies tersebut berasal dari luar negeri (exotic).
Dalam pemilihan spesies yang akan ditanam,
masyarakat
umumnya tidak mempertimbangkan nilai atau kepentingan konservasi. Bahkan bertentangan dengan prinsip konservasi dengan mengeliminasi spesies (yang dalam
pandangannya)
tidak
memberikan
kepuasan/keuntungan
secara
langsung. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam konservasi, dalam hal ini upaya pencegahan spesies pohon dari kepunahan masih sangat diperlukan dan harus ditingkatkan. Sampai saat ini, peran pemerintah dalam konservasi ek-situ masih sangat terbatas, yaitu dengan membangun kebun raya (Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali), arboretum (Bogor, Jasinga, Carita), plot permanen, sumber benih, dan penyimpanan biji (Subiakto 2005). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tingkat kepentingan peran RTH Kota Bandar Lampung dalam studi ini direpresentasikan dengan indeks konservasi (Ik) komunitas vegetasi penyusun. Berdasarkan hasil perhitungan, Ik RTH Kota Bandar Lampung adalah 0,09.
Nilai tersebut tergolong rendah.
99
Semua komponen yang digunakan dalam penilaian bernilai rendah (≤ 0,25 dalam selang nilai 0-1). Endemisme bernilai 0,00. Untuk meningkatkan nilai endemisme hingga mencapai nilai tinggi (0,50,75) perlu dilakukan penambahan 2-13 spesies endemis atau mengganti 2-12 spesies eksotik yang ada sekarang dengan spesies endemis. Peningkatan Ik juga dapat dilakukan secara simultan dengan mengganti spesies dan atau menambahkan
spesies
berdasarkan
status,
sifat,
dan
atau
keliaran.
Penambahan atau penggantian secara simultan maksudnya penambahan spesies ke dalam atau penggantian spesies-spesies yang ada di dalam komunitas vegetasi dengan spesies yang bernilai konservasi tinggi, yaitu spesies endemik-dilindungi-Tunggal dan liar. Penambahan atau penggantian spesies akan lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan spesies lokal, yaitu spesies asli Lampung atau spesies dilindungi. Akan tetapi, karena jenis pohon yang dilindungi relatif masih sedikit, pemilihan jenis pohon dapat diutamakan pada spesies yang tumbuh alami dan belum dibudidayakan. Di sekitar Kota Bandar Lampung sendiri (di Tahura WAR) setidaknya ditemukan 40 jenis pohon yang tumbuh secara alami (Tabel 1 pada Lampiran). Dari 40 spesies pohon tersebut, baru 6 (enam) spesies yang terdapat di RTH Kota Bandar Lampung.
Hal ini menunjukkan bahwa spesies lokal
Propinsi Lampung sendiri masih banyak yang belum terwakili dalam RTH Kota Bandar Lampung. Salah satu contoh spesies yang menjadi kebanggan Propinsi Lampung adalah damar mata kucing (Shorea javanica). Melalui spesies yang dikembangkan oleh masyarakat Krui, Indonesia terkenal di antara para peneliti di dunia. Akan tetapi, spesies ini belum ditemukan dan perlu ditanam dalam RTH Kota Bandar Lampung. Areal peruntukan RTH
Kota Bandar Lampung terdiri atas hutan kota,
kawasan konservasi, bukit-bukit, dan jalur hijau (Pemda Kota Bandar Lampung 2003).
Apabila areal tersebut dapat dibangun dan dikembangkan menjadi
komunitas hutan yang baik, maka hutan tersebut dapat berfungsi sebagai koridor bagi spesies-spesies satwa tertentu, terutama burung. Selain itu, hutan tersebut akan memberikan jasa-jasa lingkungan lainnya, misalnya sebagai penghasil oksigen, rosot karbon, memelihara tata air dan memberikan fungsi sosial kepada masyarakat di sekitarnya.
100
5.5.4 Perluasan Manfaat RTH Walaupun
fokus
utamanya
pada
perlindungan,
pembangunan
dan
pengembangan RTH Kota Bandar Lampung memerlukan sistem konservasi RTH yang komprehensif, mencakup pelestarian dan pemanfaatan secara lestari. Dari segi perlindungan, RTH diharapkan mampu melindungi kehidupan berbagai spesies pohon dari ancaman kepunahan akibat berbagai tekanan, baik tekanan yang bersifat
antropogenik maupun invasi dari spesies eksotik.
Untuk itu
diperlukan peraturan daerah atau peraturan kota tentang penebangan pohon dan pemasukan spesies pohon-pohon eksotik ke dalam kawasan RTH khususnya dan Kota Bandar Lampung pada umumnya. Dalam aspek kelestarian perlu adanya upaya-upaya pengaturan yang memungkinkan spesies tersebut tidak hanya bebas dari gangguan (penebangan) tetapi juga mampu berkembangbiak dan memelihara kemurniannya.
Oleh
karena itu penanaman pohon dalam RTH perlu diatur sehingga memungkinkan terjadinya proses regenerasi dan pelestarian genetik. Dalam aspek pemanfaatan, RTH perlu dibangun dan dikembangkan agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Manfaat bagi masyarakat dapat berupa manfaat langsung maupun tidak langsung.
Secara
umum manfaat yang dapat dihasilkan dari RTH adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 13. Manfaat RTH
Manfaat Penggunaan
Manfaat Penggunaan Langsung
• Makanan • Biomasa • Sumber
bibit/benih
• Rekreasi • Kesehatan
Manfaat Penggunaan Tidak Langsung Fungsi ekologis (carbon sink) • Pengendali banjir • Pengendali erosi • Pengendali badai
•
Manfaat Non Penggunaan
Manfaat Pilihan
Manfaat Keberadaan
Pilihan di Masa Depan
Pengetahuan dari keadaan yang berkelanjutan
• Keragaman hayati • (koleksi jenis) • • Konservasi habitat
Manfaat Lain-lain
Habitat satwa Spesies langka (koleksi)
Gambar 13 Penggolongan manfaat potensial ruang terbuka hijau (Dimodifikasi dari Munasinghe 1994).
101
Gambar 13 memperlihatkan bahwa RTH Kota Bandar Lampung secara potensial memiliki banyak manfaat.
Berbagai manfaat tersebut dapat
mengakomodir batasan ruang terbuka hijau seperti dikemukakan oleh Turner (1991).
Eksplorasi manfaat tersebut lebih leluasa karena diagram manfaat
tersebut diadaptasi dari manfaat kawasan konservasi yang pengelolaannya memiliki keterbatasan karena adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai kawasan konservasi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, perlindungan dan pelestarian
menjadi
syarat
utama,
tetapi
dalam
pembangunan
dan
pengembangan RTH aspek pemanfaatan dapat menjadi prioritas utama dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan dan pelestarian. Dalam pelaksanaannya, konservasi ex-situ spesies tumbuhan secara utuh perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Untuk menjamin variasi genetik diperlukan jumlah individu yang memadai; dalam hal ini peran ahli genetika tumbuhan sangat diperlukan. 2) Spesies tertentu memerlukan perlakuan khusus untuk menjamin terjadinya penyerbukan; untuk ini maka studi outecology terhadap jenis yang akan ditanam perlu dilakukan secara mendalam, 3) Spesies yang hidup bersimbiosis dengan tumbuhan atau organisme lain perlu memperhatikan kehadiran keduanya. Selain itu perlu diperhatikan agar tumbuhan yang akan dikonservasi secara exsitu tidak mengandung parasit atau memiliki hubungan biologis yang kompleks (Thomson 1975).
Salah satu model yang diajukan untuk pembangunan dan
pengelolaan RTH di Kota Bandar Lampung adalah dengan menerapkan pola kebun koleksi yang sekaligus sebagai sumber benih/bibit. 5.5.5
Pemilihan Jenis Pohon Dalam konteks penelitian ini, pemilihan jenis pohon yang akan ditanam di
areal
RTH
bertujuan
untuk
meningkatkan
meningkatkan IK dan jumlah rosot karbon.
keragaman
jenis
sekaligus
Pada prinsipnya, untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan: a) Untuk
meningkatkan
indeks
keragaman:
penanaman
sebanyak
mungkin spesies dengan jumlah individu sebanyak mungkin dan penyebaran jumlah individu antar spesies merata. b) Untuk meningkatkan IK: penanaman spesies bernilai konservasi tinggi, yaitu endemis, dilindungi, tunggal, dan non-budidaya. 102
c) Untuk meningkatkan jumlah rosot karbon: penanaman spesies yang secara potensial dapat mencapai diameter batang yang besar (pohon besar). Masalah peningkatan keragaman jenis adalah masalah jumlah spesies dan jumlah individu masing-masing spesies. Makin banyak jumlah spesies, makin banyak jumlah individu masing-masing spesies, dan makin merata perbandingan jumlah individu antar spesies maka makin tinggi indeks keragamannya. Sementara masalah rosot karbon, selain menyangkut jumlah individu dan spesies (diameter maksimum yang dapat dicapai), juga menyangkut dimensi waktu. Selain itu, setiap spesies pohon dapat dipastikan berfungsi sebagai rosot karbon (Carbon sink), tetapi tidak setiap spesies pohon bernilai konservasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka nilai konservasi merupakan faktor utama yang menjadi dasar dalam pemilihan spesies pohon yang akan ditanam. Dengan demikian dalam pemilihan spesies pohon yang akan ditanam dapat diformulasikan prinsip menanam sebanyak mungkin spesies pohon besar yang bernilai konservasi tinggi. Spesies pohon yang bernilai konservasi tinggi antara lain adalah spesies endemis. Dari 161 spesies endemis Sumatera (Whitmore and Tantra 1986), beberapa spesies sudah teridentifikasi sebagai pohon besar dengan diameter berkisar antara 30 – 145 cm. Spesies pohon lainnya dinyatakan sebagai pohon besar, pohon sedang, pohon kecil, atau baru memiliki informasi tentang tinggi. Spesies endemis Sumatera yang sudah teridentifikasi sebagai pohon besar disajikan pada Tabel 38. Di samping yang endemis, spesies bernilai konservasi yang disarankan untuk ditanam di areal RTH Kota Bandar Lampung adalah spesies dilindungi. Beberapa spesies dilindungi yang dapat digolongkan sebagai pohon besar sehingga secara individu dapat menyimpan Karbon dalam jumlah besar adalah Arenga pinnata, Calophyllum sp, Dipterocarpus grandiflorus, Dryobalanops aromatica, Dyera costulata, Exoecaria agalocha, dan Shorea palembanica. Selain itu, terdapat dua spesies endemis Sumatera yang bernilai konservasi tinggi karena termasuk spesies dlindungi, yaitu Dipterocarpus cinereus dan Dipterocarpus conformis.
103
Tabel 38 Spesies endemis Sumatera yang secara menyimpan Karbon dalam jumlah besar No.
Famili
Spesies
1
Ebenaceae
Diospyros koeboneensis
2
Dipterocarpaceae
Hopea bancana
3
Moraceae
Knema kunstleri
4
Dipterocarpaceae
Hopea nigra
5
Burceraceae
6 7
T
Ø
35
145
40*
120*
individu
berpotensi
Habitat -
27
100
35*
90*
Hutan rawa dataran rendah
Canarium intermedium
35
85
Lauraceae
Dehaasia sumatrana
24
70
Tiliaceae
Pentace sumatrana
38
70
sampai 800 m
8
Bignonaceae
Fernandoa macroloba
40
70
Hutan dataran rendah 350 m
9
Anacardiaceae
Gluta rostrata
20
65
Hutan dataran rendah
10
Magnoliaceae
Magnolia beccariana
23
60
Pegunungan 1000-2600 m
11
Styracaceae
Styrax oliganthea
23
60
Hutan primer
12
Guttiferae
Calophyllum sp.
25
60
200-600m
13
Dipterocarpaceae
Vatica teysmanniana
40*
60*
14
Euphorbiaceae
Baccaurea dadulcis
20*
60*
15
Lauraceae
Dehaasia subcaesia
26
50
Hutan rawa dataran rendah
16
Magnoliaceae
Michelia scortechinii
37
50
Hutan primer, 650-1300 m
17
Ebenaceae
Dispyros brevicalyx
25
40
-
18
Ebenaceae
Diospyros baloen-idjoek
27
40
-
19
Ebenaceae
Diospyros minutiflora
30
40
20
Magnoliaceae
Manglietia lanuginosa
40
40
21
Malvaceae
Memecilon substrinervium
35*
40*
22
Meliaceae
Lancium membranaceum
30
39
800-1000 m
23
Compositae
Vernonia patentissima
33
39
Hutan pegunungan
24
Sapotaceae
Payena pseudoterminalia
23
35
1900 m
25
Euphorbiaceae
Baccaurea minutiflora
20*
35*
26
Fagaceae
Lithocarpus oreophilus
20
30
Hutan pegunungan 2400-3500 m
27
Magnoliaceae
Michelia salicifolia
25
30
Hutan hujan pegunungan 1500-2600 m
Dataran rendah -
-
Hutan Primer 100-15000 m
-
Keterangan: Ø : diameter setinggi data (cm) T : tinggi (m) * : Hasil pengukuran di Kebun Raya Bogor Sumber: Whitmore and Tantra 1986 Dalam pelaksanaannya penentuan spesies tersebut harus disesuaikan dengan lokasi RTH yang akan ditanami. Areal RTH di Kota Bandar Lampung meliputi perbukitan, jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, dan jalur hijau pantai. Untuk RTH perbukitan dan jalur hijau sungai tidak memerlukan persyaratan yang spesifik, sebagai tempat koleksi spesies yang bernilai konservasi, semua spesies sesuai untuk ditanam. Akan tetapi, untuk Hutan Kota Way Halim, jalur hijau jalan dan jalur hijau pantai, karena berlokasi di perkotaan maka diperlukan syarat
104
khusus untuk pohon perkotaan (urban trees). Menurut Arnold (1980), kriteria penting dalam memilih pohon perkotaan adalah kriteria estetika. Kriteria estetika untuk satu spesies pohon tersebut meliputi dimensi, struktur, kerapatan tajuk, dan laju pertumbuhan. Dimensi pohon meliputi tinggi dan penutupan tajuk. Pohon besar adalah pohon yang dalam kondisi optimum dapat mencapai tinggi 12 m dalam waktu 15 tahun setelah penanaman, sedangkan pohon kecil hanya dapat mencapai tinggi 5,5 m s.d. 10 m (Arnold 1980). Menurut Arnold (1980) pohon besar memiliki sifat arsitektural yang lebih kaya dibandingkan pohon kecil, penggunaannya sebagai pengisi ruang lebih fleksibel.
Hal yang juga penting dalam dimensi pohon
adalah tinggi bebas cabang dan ratio antara tinggi bebas cabang dengan tinggi total. Untuk pohon di jalur hijau jalan diperlukan pohon dengan tinggi bebas cabang minimum 4,6 m sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Pohon kecil dengan tinggi bebas cabang yang rendah kurang sesuai untuk digunakan di jalur hijau jalan karena menghalangi pandangan (Gambar 14). Tinggi pohon tua
Tinggi minimum efektif
20 m
12 m 9m
Tinggi bebas cabang
6m 4,6 m 1,8 m
Tinggi pohon tua Tinggi rata-rata Tinggi saat penanaman
Pohon Pohon Hias Gambar 14 Diagram perbandingan pohon besar dan phon kecil. Diagram menunjukkan pohon kecil kurang sesuai untuk digunakan di jalur hijau jalan karena menghalangi pandangan (Sumber: Arnold 1980). Struktur pohon menunjukkan susunan percabangan pohon.
Dipandang
dari segi estetika, bentuk strukstur pohon merupakan faktor yang penting. Untuk membentuk gerombol, susunan atap, atau garis pohon harus ditanam secara rapat (berdekatan) sehingga tidak menghasilkan bayangan (silhoutte) yang kosong. Oleh karena itu, struktur percabangan pohon harus rapat. Jumlah cahaya yang masuk ke bawah tajuk merupakan fungsi dari ketinggian cabang, jarak tanam, dan yang terpenting adalah kerapatan tajuk
105
pohon (Arnold 1980).
Kerapatan tajuk pohon ditentukan oleh susunan daun
pada percabangan dan ukuran daun.
Susunan daun dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu susunan selapis (daun terkonsentrasi pada sisi luar tajuk) dan susunan berlapis (daun tersebar merata pada seluruh bagian tajuk).
Pohon
dengan susunan daun selapis cenderung memiliki naungan tajuk rapat. Pertumbuhan pohon merupakan faktor penting dalam estetika karena akan menentukan waktu pencapaian hasil penanaman.
Sebagai contoh untuk
menghasilkan naungan pada jalur hijau jalan, pohon cepat tumbuh akan lebih cepat terlihat hasilnya dibanding yang lambat pertumbuhannya.
Kriteria ini
penting karena kota cepat mengalami perubahan, bahkan menurut Arnold (1980) sulit untuk memprediksi keadaan 10 tahun yang akan datang. Padahal pemilihan pohon dalam perancangan kota didasarkan pada kondisi saat ini. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran terhadap koleksi pohon yang terdapat di Kebun Raya Bogor, beberapa spesies bernilai konservasi yang berpotensi menyimpan Karbon dalam jumlah besar dapat ditentukan dimensi dan arsiterturnya (Tabel 39).
Berdasarkan dimensi tersebut dibuat sketsa bentuk
arsitektur masing-masing pohon seperti disajikan pada Gambar 15. Tabel 39 Dimensi spesies pohon bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak berdasarkan hasil pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor Nama Ilmiah
T (m)
Calophyllum sp Dipterocarpus grandiflorus Dryobalanops aromatica Dyera costulata Memecilon substrinervium Shorea palembanica Gluta rostrata Hopea bancana Hopea nigra Vatica teysmanniana Baccaurea dadulcis Baccaurea multiflora
25 45 40 46 35 40 25 45 55 45 20 20
TBC (m) 2 25 15 25 8 15 10 15 10 40 4 5
Lebar Tajuk (m) 7 10 5 15 10 10 2 12 10 5 10 7
DBH (cm) 30 80 50 130 40 50 80 120 90 60 60 18
Bentuk Tajuk Semi globular Globular Globular Semi globular Semi globular Globular Weeping Semi globular Globular Semi globular Semi globular Semi Globular
Keterangan: T
: Tinggi Total (m)
T
: Tinggi Bebas Cabang (m)
DBH : Diameter Setinggi Dada (cm)
106
Gambar 15 Sketsa bentuk arsitektur pohon bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak berdasarkan hasil pengukuran terhadap koleksi di Kebun Raya Bogor. Berdasarkan data pada Tabel 39 dan Gambar 15, Baccaurea dadulcis dan Baccaurea multiflora sesuai untuk digunakan sebagai peneduh pada jalur hijau jalan di pusat keramaian yang banyak digunakan pejalan kaki, yaitu Jalan Radin Intan, Jalan Laksamana Malahayati, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Sultan Agung.
Calophyllum sp dapat juga digunakan sebagai peneduh pada jalan
tersebut, tetapi memerlukan pemangkasan cabang bawah untuk mempertinggi batang bebas cabang sehingga tidak menghalangi pandangan. Dryobalanops aromatica,
Memecilon substrinervium, Shorea palembanica, Hopea bancana,
dan Hopea nigra dapat ditanam dengan fungsi utama sebagai penciri pada jalur hijau jalan lingkar luar (by pass) yang tidak banyak digunakan pejalan kaki (Jalan Soekarno-Hatta) atau pada jalur hijau jalan bebas hambatan yang akan dibangun
107
di Lampung.
Semua spesies tersebut dapat ditanam sebagai koleksi pada
huatan kota Way Halim dan perbukitan. Kombinasi berbagai spesies tersebut akan menghasilkan struktur yang menyarupai hutan alam. Kesesuaian spesies bernilai konservasi dan berpotensi sebagai rosot karbon disajikan pada Tabel 40. Tabel 40
Kesesuaian berbagai spesies bernilai konservasi dan berpotensi menyimpan karbon dalam jumlah banyak dengan berbagai RTH Kota Bandar Lampung Ruang Terbuka Hijau
Spesies
Baccaurea dadulcis Baccaurea minutiflora Baccaurea multiflora Calophyllum sp. Canarium intermedium Dehaasia subcaesia Dehaasia sumatrana Diospyros koeboneensis Diospyros baloen-idjoek Diospyros minutiflora Dipterocarpus garndiflorus Diospyros brevicalyx Dryobalanops aromatica Dyera costulata Fernandoa macroloba Gluta rostrata Hopea bancana Hopea nigra Knema kunstleri Lancium membranaceum Lithocarpus oreophilus Magnolia beccariana Manglietia lanuginosa Memecilon substrinervium Michelia salicifolia Michelia scortechinii Payena pseudoterminalia Pentace sumatrana Shorea palembanica Styrax oliganthea Vatica teysmanniana Vernonia patentissima Exoecaria agalocha Dipterocarpus cinereus Dipterocarpus conformis
JHJDK
JHJLL
JHJBH
? √ √ √ x x x x x x ? x x x ? x x ? ? x x x x x x x x ? x ? x ? x x x
? ? ? ? x x x x x x ? x √ x ? x √ √ ? x x x x √ x x x ? √ ? x ? x x x
√ √ √ √ √ x x x x x ? x √ x √ x √ √ x x x x x √ x x x √ √ √ x √ x x x
JH Sungai √ √ √ x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x x x x √ x x x √ √ √ √ x √ √ √
JH Pantai x x x x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x x x x √ x x x √ √ √ √ x √ √ √
Hutan Kota √ √ √ √ √ x x x x x √ x √ x √ x √ √ x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x √ x x x
Perbukitan √ √ √ √ x x x x x x √ x √ x √ x √ √ x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ x √ x x x
Keterangan: JHJDK : Jalur hijau jalan dalam kota JHJLL : Jalur hijau jalan lingkar luar JHJBH : Jalur hijau jalan bebas hambatan
√ : Sesuai x : Tidak sesuai ? : Informasi tidak lengkap
108
Penilaian kesesuaian spesies sebagaimana disajikan pada Tabel 40 selain didasarkan pada kesesuaian bentuk arsitektur pohon juga didasarkan pada habitat spesies tersebut. Spesies yang biasa tumbuh di daerah pegunungan dianggap tidak sesuai untuk jalur hijau pantai dan jalur hijau sungai. Akan tetapi, spesies tersebut dianggap sesuai untuk jalur hijau jalan, hutan kota, dan perbukitan. Sebaliknya, spesies yang biasa tumbuh di dataran rendah dianggap tidak sesuai untuk jalur hijau jalan, hutan kota, dan perbukitan tetapi dianggap sesuai untuk jalur hijau sungai.
109
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1. Secara umum, ditinjau dari aspek keanekaragaman dan kemerataan spesies pohon, RTH kota Bandar Lampung berbentuk area (hutan kota) memiliki indeks keanekaragaman dan kemerataan (H = 2,82 dan E = 0,53), lebih rendah dari RTH jalur hijau secara keseluruhan (H = 3,41 dan E = 0,66); akan tetapi RTH berbentuk area memiliki indeks kekayaan spesies (R= 8,78), lebih tinggi dari RTH berbentuk jalur hijau (R= 7,25). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah individu masing-masing spesies pada RTH berbentuk area tersebar secara kurang merata dibandingkan pada RTH jalur hijau. 2. Khusus pada jalur hijau (JH), keanekaragaman spesies pohon pada JH jalan (H = 3,1) lebih besar dibandingkan dengan JH sungai (H = 2,77) dan JH pantai (H = 2,24). Ditinjau dari aspek kekayaan spesies, JH sungai memiliki indeks kekayaan spesies (R = 7,20), lebih tinggi dibandingkan dengan JH jalan (R = 0,63) dan JH pantai (R = 2,00); akan tetapi ditinjau dari aspek kemerataan, JH pantai memiliki indeks kemerataan (E = 0,68), lebih tinggi dibandingkan dengan JH jalan (E = 0,56) dan JH sungai (E = 0,40). 3. Peran RTH Kota Bandar Lampung dalam konservasi keanekaragaman jenis pohon dinilai rendah. Nilai Ik untuk RTH berbentuk area berkisar antara 0,03 s.d. 0,04; jalur hijau jalan 0,02 s.d. 0,04; jalur hijau sungai 0,02 s.d. 0,04; dan jalur hijau pantai 0,04.
Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies yang
terdapat di areal RTH kota Bandar Lampung bukan merupakan spesies yang perlu mendapatkan prioritas untuk dilindungi. 4. Peran RTH Kota Bandar Lampung sebagai rosot karbon (carbon sink) masih rendah. Untuk RTH berbentuk area (hutan kota) jumlah rosot karbon pada vegetasi dengan penutupan tajuk rapat = 173,183 tonC per ha, vegetasi dengan penutupan tajuk sedang = 96,026 tonC per ha, dan vegetasi dengan penutupan tajuk jarang = 14,806 tonC per ha. Jumlah rosot karbon pada jalur hijau jalan 103,300 tonC per ha, pada jalur hijau sungai 160,971 tonC/ha, dan pada jalur hijau pantai 57,928 tonC per ha. 5. Antara jumlah rosot karbon dengan parameter keanekaragaman komunitas tidak terdapat korelasi.
Dengan demikian parameter keanekaragaman
komunitas tidak dapat digunakan untuk memprediksi jumlah rosot karbon dalam komunitas tersebut. 110
6. Nilai konservasi komunitas masih belum sejalan dengan jumlah rosot karbon karena spesies yang menyimpan karbon dalam jumlah besar justru spesies yang bernilai konservasi rendah. Hal ini disebabkan, dalam pemilihan jenis pohon yang akan ditanam di areal RTH kota, baik masyarakat maupun Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung belum mempertimbangkan aspek konservasi. 7. Secara kuantitas, luas RTH Kota Bandar Lampung masih melebihi luas minimum, yaitu mencakup 63,47%.
Akan tetapi kelestariannya diragukan
karena 73% dari areal yang saat ini berfungsi sebagai RTH kota merupakan areal pertanian lahan kering yang sewaktu-waktu dapat dikonversi untuk kepentingan lain. 6.2 Saran 1. Untuk meningkatkan nilai konservasi keanekaragaman dan rosot karbon pohon ruang terbuka hijau kota, Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu melakukan pengayaan vegetasi RTH kota dengan didasarkan pada prinsip menanam sebanyak mungkin spesies pohon besar yang bernilai konservasi tinggi.
Spesies tersebut antara lain Diospyros
koeboneensis, Hopea
bancana, Knema kunstleri, Hopea nigra, Canarium intermedium, Dehaasia sumatrana, Pentace sumatrana, Fernandoa macroloba, Gluta rostrata, Magnolia
beccariana,
Styrax
oliganthea,
teysmanniana, dan Baccaurea dadulcis.
Calophyllum
sp.,
Vatica
Penanaman tersebut dapat
dilakukan secara bertahap, misalnya dengan melakukan penyulaman atau menanam di sela-sela tanaman yang sudah ada. 2. Mengingat masih jarangnya spesies pohon dilindungi, pengayaan spesies RTH kota Bandar Lampung dapat juga dilakukan dengan menambah koleksi spesies
pohon
dilindungi,
misalnya
Calophyllum
sp.,
Dipterocarpus
grandiflorus, Dryobalanops aromatica, Dyera costulata, Shorea palembanica, Exoecaria agalocha, Dipterocarpus cinereus, dan Dipterocarpus conformis. 3. Untuk lebih meningkatkan peran RTH kota, pengelolaan RTH Kota Bandar Lampung, selain ditujukan untuk meningkatkan peran konservasi jenis pohon dan penyimpan karbon juga perlu diperkaya dengan tujuan lain, yang tidak bertentangan, misalnya fungsi rekreasi, fungsi pendidikan, dan fungsi ekonomi.
111
DAFTAR PUSTAKA Aji A. 2000. Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Secara Berkelanjutan: Studi Kasus di Kotamaya Bandar Lampung. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. American Corporation. 1980. Conservation. The Encyclopedia Americana. International Edition. Vol. 7. Donbury International Headquaters. Arnold HF. 1980. Trees in Urban Design. New York, Cincinnati, Toronto, London, Melbourne: Van Nostrand Reinhold Company. Babcock M, Poscher E, Torrence, and Velasquez-Contreras L. 1999. The Social, Aesthetic, And Economic Values of Open Space. Open Space Issues in Expanding Urban Environments: An Integrated Assessment for the Municipalities of Tucson and Vail, Pima County, Arizona. Arid Lands Resource Sciences Graduate Program, University of Arizona. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Lampung. 2003. Evaluasi dan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung. Bappeda Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung. Bandar Lampung. BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BGCS] Botanical Gardens Conservation Secretariat. 1989. The Botanic Garden Conservation Strategy. New England: Botanical Gardens Conservation Secretariat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Kota Bandar Lampung Dalam Angka Tahun 2001/2002. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Bandar Lampung. ________________________. 2004. Kota Bandar Lampung Dalam Angka Tahun 2002/2003. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Bandar Lampung. ________________________. 2005. Kota Bandar Lampung Dalam Angka Tahun 2003/2004. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Bandar Lampung. Boer R, Masripatin N, June T, Dahlan EN. 2001. Greenhouse Gases Mitigation Technologies in Forestry: Status, Prosfects and barriers of Their Implementation in Indonesia. Ministry of Environment. Jakarta
Brown S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest, a primer. Rome: FAO Forestry Paper 134, FAO. Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rainforest: An Integrated Approach to Sustainability. Wallingford, UK: CAB International. Burhan M. 1999. Kondisi Lingkungan Bermain Anak di Kota-Kota Besar Sebagai Dampak Proses Urbanisasi. Seminar on Air - PPI Tokyo Institute of Technology 1999-2000 No.1 hal. 138-142 [CCN] Carson City Nevada. 2003. Carson City Open Space Plan. Carson City Nevada on Line. www.carson-city.nv.us. 2003 Carson City, Nevada Copyright and Privacy Policy. | Website designed by DanzDesigns Site Updated March 5, 2003. Tanggal kunjungan 6 Maret 2003. Cervera L. 1999. Multiple Definitions of Open Space. Open Space Issues in Expanding Urban Environments: An Integrated Assessment for the Municipalities of Tucson and Vail, Pima County, Arizona. Arid Lands Resource Sciences Graduate Program, University of Arizona. Chapter 2. 112
Chin HF. 1993. Ex-situ conservation of tropical tree species. In: International Symposium on Genetic Conservation and Prduction of Tropical Tree Seed. (Drysdale RM, John SET and Yapa AC. Eds). ASEAN-Canada Forest Tree Seed Center. Saraburi, Thailand. 122-127. [COA] City of Albuquerque. 2000. Environmental Protection & Enhancement. Desired Community Condition: River, bosque, and open space are sustainably managed, conserved and protected. Albuquerque 2000 Progress Report. www.cabq.gov. Tanggal kunjungan 6 April 2003. Council of Europe. 1986. Recommendation on urban open space (86/11). (Adopted by the Committee of Ministers on 12 September 1986 at the 399th meeting of the Ministers' Deputies). Council of Europe Depdagri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Damai, AA. 2003. Pendekatan Sistem Untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung. Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Doherty M. 1998. The Conservation Value of Regrowth Native Plant Communities: A Review. Canberra: CSIRO Division of Wildlife and Ecology,. pp. 116 Giardina CP, Ryan MG, Binkley D, and Fownes JH. 2003. Primary production and carbon allocation in relation to nutrient supply in a tropical experimental forest. Global Change Biology (2003) 9, 1438-1450. Given DR. 1994. Principles and Practice of Plant Conservation. London: Chapman & Hall. Hairiah K, Van Noordwijk, Palm C. 1999. Methods for Sampling Above and Below-Ground Organic Pools. In: Murdiyarso D, Van Noordwijk M, and Suyamto DA. Editor. IC-SEA Report No. 6. Modeling Global Change Impacts on The Soil Environment. Bogor, Indonesia: BIOTROPGCTE/Impacts Centre for Southeast Asia (IC-SEA). Heriansyah I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester Karbon: Studi kasus di hutan tanaman akasia dan pinus. INOVASI Vol.3/XVII/Maret 2005 [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2005. Climate Change 2001: The Scientific Basis. JT Houghton, LG Meira Filho. BA Callander, N Harris, A Kattenberg, and Maskeli (eds). Cambridge University Press, Cambridge. UK. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan) [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2000. State of The Art Review on Conservation of Forest Tree Species in Tropical Asia and Facific. ITTO Regional Center for Forest Management. ________________________________________ and FRIM. 1994. Economic Caser for Natural Forest Management. Main Report. [IUCN] International Union for the Conservation and Nature and Natural Resources. 1980. World Concervation Strategy. Gland, Switzerland: World Conservation Union. Jumin, HB. 1989. Ekologi Tanaman : Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: Rajawali Pers.
113
Kane RP. 1997. The Ecological and Biological Benefits of Open Space. In Hamilton LW (Editor). The Benefit Of Open Space. Great Swamp Watershed Association [KLH] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan KONPHALINDO. 1994. Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Laporan Studi Nasional yang disiapkan untuk Laporan Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP). Jakarta: KLH dan KONPHALINDO. Kato R, Tadaki Y, Ogawa H. 1978. Plant biomass and growth incrementstudies in Pasoh Forest. Malayan Natural Journal 30, 211-224. Kim YC. 2001. Pola Pengelolaan Hutan Tropika Berdasarkan pada Konsep Ekonomi Total. Disertasi Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan. Klinge H, Rodrigues WE, Fittkau EJ, Bruenig EF. 1974. Biomass and structure in Central Amazonian Forest. In: Medina E and Golley F (eds) Ecological studies, vol II Tropical Ecological Systems. Springer, New York, pp. 115122. ________, and Herrera R. 1978. Biomass studies in Amazon Caatinga forest in Southern Venezuela. I. Standing crop of composite root mass in selected stand. Tropical Ecology 19, 93-110. Krcmar-Nozik, E, Van Houten GC, Wilson B. 2000. Threat to Biodiversity: The Invasion of Exotic Species. (In) Van Houten GC, Bulte EH, and Sinclair ARE (Eds). Conserving Nature’s Diversity: Insight from biologi, ethics, and economics. Aldershot, Burlington USA, Singapore, Sydney: Ashgate. Laboratorium Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian-IPB. 2005. Ruang Terbuka Hijau (Rth) Wilayah Perkotaan. Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Tanggal 30 November 2005. Ludwig, JA, Reynolds, J.F. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods on Computing. John Willey and Sons. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G dan Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Jogyakarta: Gajah Mada University Press. Meffe GK, Carroll CR. 1994. Principles of Conservation Biology. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates, Inc. Publisher. Miller S. 1997. The Economic Benefit of Open Space. In Hamilton LW (Editor). The Benefit of Open Space. Great Swamp Watershed Association. [MoE] Ministry of Environment. 2001. Natonal Strategy Study on Clean Development Mechanism in Indonesia. Ministry Of Environment Republic of Indonesia. Jakarta. Munasinghe, M. 1994. Economic and Policy Issues in Natural Habitats and Protected Area. Protected Area Economic and Policy: Lingking Conservation and Sustainable Development. Edited by Mohan Munasinghe and Jeffrey McNeely. The World Bank. Washington DC. Murray S. 2001. Managing forest influences in urban and peri-urban areas. www.fao.org/docrep/w0312E/w0312e08.htm. Tanggal kunjungan 10 April 2003. Myneni RB, Dong J, Tucker CJ, Kaufman RK, Kauppi PE, Liski J, Zhou L, Alexeyev V, Hughes MK. 2001. A large carbon sink in the woody biomass of Northern forests. Nailola P. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia: Nama serta Manfaatnya. Jakarta: CV. Yasaguna. 114
[NKLD] Neraca Kependudukan dan Lingkungan Daerah Jakarta. 2002. Neraca Kependudukan dan Lingkungan Daerah (NKLD) Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta: Pemerintah Daerah Propinsi Jakarta. Noerdjito M, Maryanto I (Eds.). 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cibinong: Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Puslit Bilogi-LIPI and The Nature Conservancy. USAID. Ogawa H, Ogino K, Shidei T, Ratanawongse D, Apasuti L. 1965. Comparative ecological study on the three main types of forest vegetation in Thailand. II. Plant biomass. In: Kira T and Iwata K (eds) Nature and Life in Southeastasia 4, 13-80.
Oldfield ML. 1989. The Value of Conserving Genetic Resources. Sunderland, Massachusets: Sinauer Associates, Inc.Publisher. pp379. Pemerintah Kotamadya Bandar Lampung. 1997. Peraturan Daerah Nomor 06 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung Tahun 1995-2004. Bandar Lampung. Possiel WJ, Saunier RE, Meganck RA. 1995. In-situ conservation of biodiversity. In: Saunier RE and Meganck RA (eds). Conservation of Biodiversity and The New Regional Planning. Organization of American States and the IUCN-The Worl Conservation Union. Retnowati E. 1998. Kontribusi Hutan Tanaman Eucalyptus grandis Maiden Sebagai Rosot Karbon di Tapanuli Utara. Bul. Pen. Hutan (For. Res. Bull) 611:1-9, 1998. Rubinstein NJ. 1997. The Psychological Value of Open Space. In Hamilton LW (Editor). The Benefit Of Open Space. Great Swamp Watershed Association Suhirman. 1999. Ex-situ Concervation Management. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara di Kebun raya Bogor tanggal 2-3 Juli 1997. Bogor: UPT Balai Pengembangan Kebun Raya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pp. 12-14. Setiawan A, Alikodra HS. 2001. Tinjauan terhadap Pembangunan Sistem Kawasan Konservasi di Indonesia. Media Konservasi Vol. VII, No. 2, Juni 2001: 39-46. _________, Alikodra HS, Gunawan A, Darnaedi D. 2006. Keanekaragaman Jenis Pohon dan Burung di Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.XII No. 1: 1-13 Soerianegara I, Lemmens RHMJ (Editors). 1994. Plant Resources of SouthEast Asia No 5(1) Timber Trees: Major commercial timbers. Bogor: PROSEA. Shaffer ML. 1981. Minimum population sizes for species conservation. BioScience, vol 31, no. 30. pp. 131-134. Shearer K. 1999. Coram Experimental Forest: 50 Years of Research in a Western Larch Forest. United States Department of Agriculture. Shukla RS, Chandel PS. 1982. Plant Ecology and Soil Science. Ram Nagar, New Delhi: S.Chand and Company Ltd. Simonds JO. 1983. Landscape Architecture: A manual of site planning and design. New York: McGraw-Hill, Inc. Sitompul, SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian UNIBRAW. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Subiakto. 2005. Ex-situ conservation forest genetic resources in Indonesia. 115
The Forest and Nature Conservation Research and Development Center. National Training Course on Conservation of Plant Genetic ResourcesIndonesia 19-23 September, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Kampus IPB. Darmaga Bogor. Thomson P. 1975. Should Botanic Garden Save Rare Plants? New Scientist 11 (December): 636-638. Thom, WO, M. Utomo. 1992. Manajemen Laboratorium dan Metode Analisis Tanah dan Tanaman. Penerbit Universitas Lampung. Hal 39-42. TPL [The Trust for Public Land]. 2002. Benefits of Urban Open Space. © 2002 The Trust for Public Land. Tanggal kunjungan 7 Maret 2003. Tri-County Regional Planning Commission. 1972. Open Space and Recreation. Peoria, Illinois. Peoria, Illinois: Tri-County Regional Planning Commission (1972) Open Space and Recreation. Tucson Planning Department. 1993. Tucson, the People and the Place: Highlights from the 1990 Land Use Survey. Tucson, AZ: City of Tucson, Planning Dept. Turner T. 1991. Towards A Green Strategy for London Strategic Open Space and Green Chain. Summary of a report by Tom Turner to the London Planning Advisory Committee, May 1991. UNEP. 1992. Global Biodiversity. Nairobi Kenya: United Nations Environmental Programme. Van Kooten GC, Bulte EH, Sinclair ARE. 2000. Introduction: Conserving Biological Diversity. (In) Van Houten GC, Bulte EH, and Sinclair ARE (Eds). Conserving Nature’s Diversity: Insight from biologi, ethics, and Economics. Aldrshot, Burlington USA, Singapore, Sydney: Ashgate. Whitmore TC, Tantra IGM (Eds). 1986. Tree Flora of Indonesia Check List for Sumatera. Bogor: Ministry of Forestry Agency for Forestry Research and Development Forest Research and Development Center. White JL. 1988. The impact of Urban Open Space on Residential Property Values in Tucson, Arizona. MS Thesis, University of Arizona. World Bank. 1995. The Economics of Long Term Management of Indonesia’s Natural Forest. Summary and Main Report.
116
Lampiran 1-117 Data Kondisi Umum Ruang Terbuka Hijau Kota Bandar Lampung No
Bukit/Lereng
Kecamatan
Kelurahan
Peruntukan
Rekomendasi pengelolaan*)
1
Bukit Serampok, Jaha, dan Lereng (sampai perbatasan dengan Bukit Pidada)
Panjang
Srengsem, Panjang Selatan, Pidada
• Kawasan Penyangga, • Hutan lindung, dan Hutan Reg. 17. • Areal Tangkapan Hujan (hidroorologis). Daerah resapan air
2
Bukit Asam
Panjang
Way Lunik
Areal Pergudangan
3
Bukit Pidada (Bukit Pidada sampai perbatasan Bukit Balau/Pemancar
Panjang
Way Lunik
Daerah tangkapan hujan (hidroorologis)
4
Bukit Balau/Pemancar Terusan Sutami sampai km 8
Panjang dan Tanjung Karang Timur
Gugusan Bukit Balau pada Way Gubak dan Campang Raya
Konservasi Alam
5
Gunung Sulah
Sukarame
Gunung Sulah
Hutan Kota
• Penambangan liar dihentikan, • Penambangan yang sudah dijinkan, ijinnya sampai habis dan tidak diperpanjang. • Perumahan penduduk dapat ditolerir sampai kemiringan 2%. • Di atas kemiringan 2% agar dikembangkan tanaman tahunan. • Bukit-bukit kecil yang kemiringan lerengnya kurang dari 2% di Kelurahan Pidada dapat ditambang. • Dapat ditambang dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. • Bukit yang masih hijau dipertahankan/dikembangkan dengan tanaman tahunan. • Penambangan liar dihentikan • Penambangan yang sudah mempunyai ijin diperkenankan sampai masa berlakunya ijin dengan ketentuan melakukan reklamasi lahan bekas penambangan/pasca ijin tambang. Dipertahankan sebagai daerah Konservasi Alam dengan ketentuan: • Kampung Kelurahan Way Gubak tidak boleh dikembangkan yang dapat merusak fungsi konservasi. • Warga Kelurahan Way Gubak diminta untuk menanam tanaman tahunan. • Puncak bukit diarahkan untuk pembangunan reservoir PDAM dan Wisata Alam. • Pemancar Microwave tetap dipertahankan dengan tidak meru sak lingkungan. • Penambangan bahan galian tidak diijinkan. • Dipertahankan sebagai hutan kota. • Untuk reservoir PDAM Way Rilau.
Lampiran 1-118 No
Bukit/Lereng
Kecamatan
Kelurahan
Peruntukan
Rekomendasi pengelolaan*)
6
Gunung Kunyit
Tebet Selatan
Sidodadi
Hutan Kota
7
Gugusan Bukit Hatta
Tebet Barat
Sukamaju
Kawasan Konservasi
8
Gunung Mastur
Tebet Barat
Perwata
Kawasan Konservasi
• Dipertahankan sebagai hutan kota • Penambangan dapat dilakukan dalam rangka wisata dan jasa. • Ketinggian 70 m dipertahankan sebagai kawasan konservasi. • Ijin tidak diperpanjang dan diwajibkan menata kembali bekas penambangan. • Penambangan baru tidak diijinkan.
9
Gunung Burung
Tebet Barat
Bakung
Kawasan Konservasi
10
Gunung Celegi
Tebet Barat
Sukarame
Kawasan Konservasi
11
Gunung Ceparoh
Tebet Barat
Olok Gading
Kawasan Konservasi
Dapat ditambang dengan mereklamasi bagian atas. Lereng Gunung diijinkan untuk TPA Bakung. Tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi. Pada kemiringan di atas 20% (70 m) penambangan tidak diijinkan (tetap hijau). • Kemiringan di bawah 20% dapat dibangun dengan kapling besar (1000 m2) dengan KDB 20% • Dipertahankan sebagai kawasan konservasi.
12
Gunung Cerepung
Tebet Barat
Olok Gading
Kawasan Konservasi
• Dipertahankan sebagai kawasan konservasi
13
Gunung Cecepoh
Tebet Barat
Olok Gading
Kawasan Konservasi
• Dipertahankan sebagai kawasan konservasi
14
Gunung Palu
Tebet Barat
Olok Gading
Kawasan Konservasi
• Dipertahankan sebagai kawasan konservasi
15
Gunung Depok
Tebet Barat
Keteguhan
Kawasan Konservasi
• Bagian puncak tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi (di atas 15%).
16
Guung Sari
Tanjung Karang Pusat
Gunung Sari
Hutan Kota
• Permukiman tidak dikembangkan lagi dan perlu ditata agar memenuhi lingkungan sehat.
17
Bukit Kaliawi
Tanjung Karang Pusat
Kaliawi (Taman Budaya)
Hutan Kota
18
Bukit Palapa I
Tanjung Karang Pusat
Durian Payung
Hutan Kota
• Dipertahankan sebagai hutan kota. • Pengmbangan permukiman diijinkan 8% > 8% tetap hijau. • Permukiman dikendalikan dengan ketentuan luas kapling minimal 1000 m dengan KDB 20%.
19
Bukit Palapa II (Belakang Pompa Bensin Durian Payung)
Tanjung Karang Pusat
Durian Payung
Hutan Kota
• • • •
• Permukiman dikendalikan dengan ketentuan luas kapling minimal 1000 m dengan KDB 20%.
Lampiran 1-119 No
Bukit/Lereng
Kecamatan
Kelurahan
Peruntukan
Rekomendasi pengelolaan*)
20
Bukit Pasir Gintung
Pasir Gintung, Penengahan, dan Sukajawa
Hutan Kota
• Permukiman tidak dikembangkan lagi. • Perlu dihijaukan.
21
Gunung Kucing
Tanjung Karang Pusat dan Tanjung Karang Barat Tanjung Karang Barat
Segala Mider
Hutan Kota
22
Gunung Sukajawa Barat dan Timur
Tanjung Karang Barat
Sukajawa
Hutan Kota
• • • • •
23
Bukit Kaki Gunung Betung
Tanjung Karang Barat
Beringin Raya
Kawasan konservasi Air dan penyangga Tahura WAR.
•
Kawasan konservasi Air dan penyangga.
•
24
25
Bukit Sukadana Ham
Tanjung Karang Barat
Sukadana Ham
Sukadana Ham Timur dan Batu Putu Barat
• Jalur hijau • Resapan air • Daerah tangkapan air Hutan Kota
Lereng DAS Way Pampangan (anak Way Belau)
Tanjung Karang Barat
26
Bukit Susunan Baru
Tanjung Karang Barat
Susunan Baru
27
Gunung Banten
Kedaton
Sidodadi
Hutan Kota untuk reservoir PDAM
28
Gunung Perahu
Kedaton
Sidodadi
Hutan Kota
29
Bukit Sukamenanti
Kedaton
Sukamenanti
Hutan Kota
•
Permukiman dibatasi dengan KDB rendah (10 -20%). Penghijauan kuburan cina. Penetapan sebagai ruang terbuka hijau/hutan kota. Penghijauan Kaki bukit dengan kemiringan hiingga 15% dapat untuk permukiman berkapling besar (min. 1000m2). Penetapan sebagai kawasan konservasi dan penyangga. Penghijauan. Kaki bukit dengan kemiringan hiingga 15% dapat untuk permukiman berkapling besar (min. 1000m2). Dipertahankan sebagai kawasan konservasi dan penyangga. Pelarangan penambangan. Pembatasan permukiman/KDB rendah. Dipertahankan sebagai wilayah konservasi/penyangga. Penghijauan tanaman buah.
• • • • • • • • • • •
Pelarangan kegiatan penambangan. Pembatasan kegiatan permukiman. Penghijauan. Pembatasan kegiatan permukiman. Penghijauan. Pelarangan penambangan. Reklamasi bekas penambangan. Pembatasan permukiman. Penghijauan. Pelarangan penambangan. Reklamasi bekas penambangan.
• •
• • •
Lampiran 1-120 No
Bukit/Lereng
Kecamatan
Kelurahan
Peruntukan
Rekomendasi pengelolaan*) • Penghijauan.
30
Bukit Kelutum
Tanjung Karang Timur
Kota Baru
Hutan Kota
31
Bukit Langgar
Tanjung Karang Timur
Campang Raya
32
Bukit Randu
Tanjung Karang Timur
Kebon Jeruk
• Sebagai kawasan konservasi. • Jalur Listrik Tegangan Tinggi • Hutan Kota • Sarana Penunjang Pariwisata
33
Bukit Camang Timur
Tanjung Karang Timur
Tanjung Gading
• Hutan Kota
34
Bukit Camang Barat
Tanjung Karang Timur
Tanjung Gading
• Hutan Kota • Reservoir PDAM
• • • • •
Pelarangan penambangan. Pembatasan permukiman/permukiman KDB rendah. Penghijauan. Mempertahankan sebagai kawasan konservasi. Peruntukan bagi pemakaman umum.
• Penghentian penambangan. • Pembatasan permukiman. • Pembangunan sarana wisata dengan dengan KDB 20%. • Pembangunan hutan kota • Penghentian penambangan. • Penghijauan. • Permukiman skala besar, KDB rendah (20%). • Pengendalian dampak kawasan. • Penghentian penambangan. • Penghijauan. • Permukiman skala besar KDB rendah (20%). • Reservoir PDAM. • Pengendalian dampak kawasan.
*) Lampiran V: Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2004, Tanggal 12 Agustus 2004 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung 2005-2015
Lampiran 2-121
Jenis Pohon Endemik Sumatera (Whitmore and Tantra, 1986) No
Nama Ilmiah
FAMILI
1
Adinandra dasyantha Korth.
THEACEAE
2
Adinandra polyneura Kobuski
THEACEAE
3
Aglaia kabaensis E. G. Baker fil.
MELIACEAE
4
Aglaia leptantha Miq.
MELIACEAE
5
Aglaia ochneocarpa Merrill
MELIACEAE
6
Aglaia pachyphylla Mic
MELIACEAE
7
Aglaia pycnocarpa Miq
MELIACEAE
8
Alseodaphne elongata (Bl.) Kostrm.
LAURACEAE
9
Anisophyllea sp.
RHIZOPHORACEAE
Habitat
1100 m dpl.
Dataran rendah sampai 40 m dpl.
10
Antidesma plagiorrhynchum Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
11
Aporusa quadrilucularis Miq
EUPHORBIACEAE
12
Arthrophillum engganoense Philpson
ARALIACEAE
Enggano.
13
Artocarpus sumatranus Jarrett
MORACEAE
Dataran rendah.
14
Baccaurea dadulcis Jack
EUPHORBIACEAE
15
Baccaurea dasystachya Miq
EUPHORBIACEAE
16
Baccaurea minutiflora Muel. Arg.
EUPHORBIACEAE
17
Baccaurea multiflora
EUPHORBIACEAE
18
Calophyllum sp. 9
GUTTIFERAE
200-600 m dpl.
19
Canarium intermadium Lam
BURCERACEAE
Dataran rendah.
20
Canarium karoense Lam
BURCERACEAE
sampai 500 m dpl.
21
Casearia gigantifolia Sloot
FLACOURTIACEAE
Simalur
22
Chionanthus beccarii (Stapt) Kiew (ined.)
OLEACEAE
23
Chionanthus ellipticum Bl.
OLEACEAE
24
Chionanthus oliganthus (Merr.) Kiew
OLEACEAE
25
Chionanthus sumatranus Bl.
OLEACEAE
26
OLEACEAE
27
Chionanthus terriflorus (Wall.) Kiew (ined.) Chisocheton aenimagticus Mabb.
28
Chisocheton cindictae Mabb.
MELIACEAE
29
Chisocheton diversifolius Miq.
MELIACEAE
30
Chisocheton lasiogynus Boerl. & Koord.
MELIACEAE
31
Clethra sumatrana J. J. Sm.
CLETHRACEAE
32
Crudia acuta de Wit
LEGUMINOSAE
33
Daphniphyllum woodsonianum Huang
DAPHNIPHILLACEAE
Dataran rendah sampai 400 m dpl. Pada hutan rawa atau lebih kering. Pegunungan, 2000-3000 m dpl.
34
Dehaasia subcaesia (Miq.) Kosterm.
LAURACEAE
Hutan rawa dataran rendah.
35
Dehaasia sumatrana Kosterm.
LAURACEAE
36
Diospyros koeboeensis Bakh
EBENACEAE
37
Diospyros baloen-idjoek Bakh
EBENACEAE
38
Diospyros caudisepala Bakh
EBENACEAE
39
Diospyros minutiflora Bakh
EBENACEAE
40
Diospyros scabiosa
EBENACEAE
200-1000 m.
MELIACEAE
1200 m dpl.
Dataran rendah.
Dataran rendah to 100 m dpl.
Lampiran 2-122 No
Nama Ilmiah
FAMILI
41
Diospyros simaloerensis Bakh
EBENACEAE
42
Diospyros subtruncata Scheff.
EBENACEAE
43
Dipterocarpus cinereus Sloot*
DIPTEROCARPACEAE
Dataran rendah.
44
Dipterocarpus conformis Sloot*
DIPTEROCARPACEAE
Dataran rendah.
45
Dispyros brevicalyx Boerl.
EBENACEAE
46
Drypetes calyptosepala Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
47
Drypetes dewildey Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
Dataran rendah.
48
Drypetes forbesii Fax & Hoffm
EUPHORBIACEAE
Dataran rendah.
49
Drypetes latifolia J. J. Sm.
EUPHORBIACEAE
Hutan rawa dataran rendah.
50
Drypetes microphilloides S. Moore
EUPHORBIACEAE
120 m dpl.
51
EUPHORBIACEAE
52
Drypetes sibuyanensis (Elm.) Pax & Hoffm Drypetes simalurensis J. J. Sm.
53
Drypetes subsymmetrica J. J. Sm.
EUPHORBIACEAE
54
Drypetes talamauensis J. J. Sm.
EUPHORBIACEAE
55
Dysoxylum dempoense Bak. f.) Harms
MELIACEAE
56
Elaeocarpus dewildel Weibel
ELAEOCARPACEAE
Pegunungan 1800-2800 m dpl.
57
Elaeocarpus manasii Weibel
ELAEOCARPACEAE
Pegunungan 2500-2850 m dpl.
58
Elaocarpus subpuberus Miq
ELAEOCARPACEAE
59
Endospermum banghamil Merr
EUPHORBIACEAE
Hutan sekunder muda pada 1100 m dpl.
60
EUPHORBIACEAE
Hutan pada ketinggian 180-600 m dpl.
61
Endospermum quadriloculare Pax & Hoffm Euonymus recrvans Miq.
CELASTRACEAE
62
Fernandoa macroloba (Miq.)Steen.
BIGNONACEAE
63
Ficus demorpha King
MORACEAE
64
Ficus gilapong Miq.
MORACEAE
65
Ficus juglandiformis King
MORACEAE
66
Ficus lasiocarpa Miq.
MORACEAE
67
Ficus oleaefolia King
MORACEAE
68
Ficus schefferiana King
MORACEAE
69
Ficus singalana
MORACEAE
70
Ficus stipata King
MORACEAE
71
Glochidion dispaliraterum S. Moore
EUPHORBIACEAE
72
Glochidion glaucops Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
73
Glochidion leucocarpum Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
74
Glochidion loerzingii Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
75
Glochidion varians Miq.
EUPHORBIACEAE
76
Gluta rostrata Ding Hou
ANACARDIACEAE
77
Gophandra dolichocarpa Merr.
ICACINACEAE
78
Gophandra farviflora (Bl.)Valet.)
ICACINACEAE
79
Gophandra fusiformis Sleum.
ICACINACEAE
80
Gophandra pseudojavanica Sleum
ICACINACEAE
81
Gophandra simalurensis Sleum
ICACINACEAE
Hutan primary dataran rendah.
82
Gophandra subrostrata Merr.
ICACINACEAE
Hutan primer 350-850 m dpl.
EUPHORBIACEAE
Habitat
300-900 m dpl.
Hutan pada 25 m dpl.
1500-1900 m dpl.
Hutan berdaun lebar dataran rendah sampai 350 m dpl.
Dataran rendah, kadang-kadang gambut.
900-1200 m dpl.
Lampiran 2-123 No
Nama Ilmiah
FAMILI
Habitat
83
Gordonia oblongifolia (Miq.)Steen.
THEACEAE
50-1300 m dpl.
84
Gordonia ovalis (Korth.) ex Walp.
THEACEAE
20-500 m dpl.
85
Gordonia vulcanila (Korth.) Keng
THEACEAE
Upper Hutan pegunungan 2000-3400 m dpl.
86
Grewia atrobrunnea Burret
TILIACEAE
87
Hidnocarpus merilliana Sleum.
FLACOURTIACEAE
88
Hidnocarpus yatesii Merr.
FLACOURTIACEAE
Dataran rendah sampai 450 m dpl.
89
Hopea bancana (Boerl.) Sloot
DIPTEROCARPACEAE
Bukit rendah.
90
Hopea nigra Burck
DIPTEROCARPACEAE
91
Hopea paucinervis Parijs
DIPTEROCARPACEAE
92
Horsfeldia athehensis de Wilde
MORACEAE
1300 m dpl.
93
Horsfeldia hirtiflora de Wilde
MORACEAE
Dataran rendah.
94
Horsfeldia macrothyrsa (miq.) Warb.
MORACEAE
400-1600 m dpl.
95
Horsfeldia triandra de Wilde
MORACEAE
1000 m dpl.
96
Horsfeldia valida (Miq.) Warb.
MORACEAE
97
Hydnocarpus glaucescens Bl.
FLACOURTIACEAE
98
Kenema losirensis de Wilde
MORACEAE
Tepi hutan.
99
Knema kunstleri
MORACEAE
Hutan rawa dataran rendah.
Lancium membranaceum (Kosterm.) Mabb. Lithocarpus oreophilus Soepadmo
MELIACEAE
800-1000 m dpl.
FAGACEAE
Hutan pegunungan 2400-3500 m dpl.
FAGACEAE
600-1200 m dpl.
100 101 102
600 m dpl.
103
Lithocarpus reinwardtii (Korth.) A. Camus) Loerzingia thyrsiflora Airy Shaw
EUPHORBIACEAE
104
Macaranga broksii
EUPHORBIACEAE
105
Macaranga cuneifolia (Zoll.) Muell.Arg.
EUPHORBIACEAE
106
Macaranga sumarana Muell. Arg.
EUPHORBIACEAE
107
Macaranga tenuifolia Muell. Arg.
EUPHORBIACEAE
108
Macaranga teysmannii (Zoll.) Muell. Arg.
EUPHORBIACEAE
109
EUPHORBIACEAE
110
Macaranga velutina (Reichb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Madhuca aspera H.J. Lam
111
Madhuca ligulata H.J. Lam
SAPOTACEAE
112
Madhuca magnifolia (King) Moore)
SAPOTACEAE
113
Madhuca vulcanica Ridley van Royen
SAPOTACEAE
114
Magnolia beccariana (Agostini)
MAGNOLIACEAE
115
EUPHORBIACEAE
116
Mallotus sphaerocarpus (Miq.) Muell. Arg. Manglietia calophylla Dandy
MAGNOLIACEAE
Hutan primer pegunungan 2000-2200 m dpl.
117
Manglietia lanuginosa Bl.
MAGNOLIACEAE
Hutan primer 100-15000 m dpl.
118
Meliosma hirsuta Bl.
SABIACEAE
119
Memecilon subtrinervium Miq.
MALVACEAE
120
Mesua ctherinae (Merr.) Kost.
GUTTIFERAE
121
Michelia salicifolia Agostini
MAGNOLIACEAE
Hutan hujan pegunungan 1500-2600 m dpl.
122
Michelia scortechinii (King) Dandy
MAGNOLIACEAE
Hutan primer, 650-1300 m dpl.
123
Microcos florida (Baker f.) Burret
TILIACEAE
124
Microcos loerzingi Burret
TILIACEAE
SAPOTACEAE 1000 m dpl.
Pegunungan 1000-2600 m dpl.
400 m dpl.
Lampiran 2-124 No
Nama Ilmiah
FAMILI
Habitat
125
Microcos riparia (Boerl. & Koord.) Burret
TILIACEAE
Dataran rendah.
126
Parashorea aptera Sloot
DIPTEROCARPACEAE
Dataran rendah.
127
Parkia microcarpa
LEGUMINOSAE
128
Payena dantung H.J. Lam
SAPOTACEAE
129
Payena pseudoterminalia H.J Lam
SAPOTACEAE
1900 m dpl.
130
Pentace sumatrana Kost.
TILIACEAE
sampai 800 m dpl.
131
Quercus steenisii Soepadmo
FAGACEAE
Hutan bergambut, 200-3350 m dpl.
132
Reinwardtiodendron sp. Mabb.
MELIACEAE
133
Ryparosa micromera Sloot.
FLACOURTIACEAE
Dataran rendah.
134
Ryparosa multinervosa Sloot.
FLACOURTIACEAE
Dataran rendah.
135
Sarcotheca ferruginea Merr.
OXALIDACEAE
Dataran rendah.
136
Shorea conica Sloot
DIPTEROCARPACEAE
Pantai.
137
Shorea furfuracea Miq.
DIPTEROCARPACEAE
sampai 400 m dpl.
138
Shorea retinodes Sloot
DIPTEROCARPACEAE
sampai 1000 m dpl.
139
Sindora sumatrana Miq.
LEGUMINOSAE
Tanah berpasir.
140
Styrax oliganthea Steen
STYRACACEAE
Hutan primer.
141
Symplocos atjehensis Noot.
SYMPLOCACEAE
Hutan pegunungan 1700-2860 m dpl.
142
Symplocos bantakensis Noot
SYMPLOCACEAE
Hutan pegunungan 1200-1700 m dpl.
143
Symplocos barisanica Noot.
SYMPLOCACEAE
Hutan pegunungan 2000-2600 m dpl.
144
Symplocos robinsonii Ridley
SYMPLOCACEAE
Hutan pegunungan 1900 m dpl.
145
Symplocos sumatrana Brand
SYMPLOCACEAE
Pegunungan 2700-3000 m dpl.
146
Terminalia adenopoda Miq.
COMBRETACEAE
147
Terminalia molil Exel.
COMBRETACEAE
148
Terminalia oxyphylla Miq.
COMBRETACEAE
149
Tetradium sumatranum Hartley
RUTACEAE
150
Vatica obovata
DIPTEROCARPACEAE
151
Vatica soepadmol
DIPTEROCARPACEAE
Bukit rendah.
152
Vatica teysmanniana Burck
DIPTEROCARPACEAE
Bangka.
153
Vatica venulosa
DIPTEROCARPACEAE
Rawa air tawar.
154
Vernonia durifolia Koster
COMPOSITAE
Hutan pegunungan 2000-2600 m dpl.
155
Vernonia patentissima Koster
COMPOSITAE
Hutan pegunungan.
156
Vitex medusaecalyx H.J. Lam
VERBENACEAE
157
Vitex neglecta H.J. Lam
VERBENACEAE
158
Vitex padangensis Hall. f.
VERBENACEAE
159
Vitex venosa H.J. Lam
VERBENACEAE
160
Xantophyllum erythrostachium Gagnep
POLIGALACEAE
161
Zanthoxylum forbesii Hartley
RUTACEAE
Hutan hujan 400 m dpl.
Keterangan: * Dilindungi Sumber: Whitmore TC and Tantra IGM (Eds). 1986. Tree Flora of Indonesia Check List for Sumatera. Bogor: Ministry of Forestry Agency for Forestry Research and Development Forest Research and Development Center.
Lampiran 3-125 Penentuan Nilai Bobot Kepentingan Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran Spesies sebagai Penentu Nilai Konservasi Penentuan bobot didasarkan pada prinsip bahwa, makin langka atau makin jarang ditemui spesies tersebut makin penting untuk dilindungi untuk menjaga kelestariannya dengan cara menanam atau mengembangkannya di kawasan RTH.
Di dalam
komunitas, hal ini ditunjukkan oleh jumlah nilai faktor penentu nilai konservasi (Endemisme, Status, Sifat, dan Keliaran), makin kecil jumlah nilai menunjukan jumlah spesies yang bernilai 2 semakin sedikit sehingga dalam memilih jenis yang akan dikonservasi perlu mendapatkan prioritas . Tabel 1 Data nilai konservasi masing-masing spesies yang ditemui di seluruh RTH Kota Bandar Lampung yang dijadikan wilayah penelitian Species
Family
Acacia auriculiformis Acacia mangium Aegle marmelos Albizia procera Aleurites moluccana Alstonia scholaris Anacardium occidentale Annona muricata Annona squamosa Areca catechu Arenga pinnata Artocapus communis Artocarpus integra Averhoa bilimbi Bauhinia purpurea Caryophyllus aromaticus Casia siamea Casuarina equisetifolia Casuarina sumatrana Ceiba pentandra Cinnamomum burmanii Cocos nucifera Dalbergia latifolia Delonix regia Durio zibethinus Enterolobium cylocarpum Erythrina variegata Eugenia aquaea Eugenia aromatica Ficus benjamina
FABACEAE FABACEAE RUTACEAE MIMOSACEAE EUPHORBIACEAE APOCYNACEAE ANACARDIACEAE ANNONACEAE ANNONACEAE ARECACEAE ARECACEAE MORACEAE MORACEAE OXALIDACEAE LEGUMINOSAE MORACEAE FABACEAE CASUARINACEAE CASUARINACEAE MALVACEAE LAURACEAE PALMAE FABACEAE FABACEAE BOMBACACEAE LEGUMINOSAE FABACEAE MYRTACEAE MYRTACEAE MORACEAE
Endemisme Status 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1
Sifat 1 1 1,5 1,5 1,5 2 1,5 1 1 1 1 1 1 2 1,5 1,5 1,5 1 1 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,5 1,5 1 1 1
Keliaran 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 3-126 Tabel 1 (Lanjutan) Ficus septica Gmelina arborea Gnetum gnemon Hevea brasiliensis Hibiscus tiliaceus Intsia bijuga Jatropha gossyfolia Lagerstroemia speciosa Lansium domesticum Leucaena leucocephala Leucaena sp Mangifera indica Melia azedarach Mimusop elengi Morinda citrifolia Nephelium lapaceum Palm Paracerianthes falcataria Parkia speciosa Peronema canescens Persea americana Pithecellobium lobatum Psidium guajava Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Ricinus communis Roystone regia Sesbania grandiflora Spathodea campanulata Spondias pinnata Swietenia macrophylla Tamarindus indica Tectona grandis Terminalia catappa Theobroma cacao Toona sureni
MORACEAE VERBENACEAE GNETACEAE EUPHORBIACEAE MALVACEAE FABACEAE EUPHORBIACEAE LYTHRACEAE MELIACEAE FABACEAE FABACEAE ANACARDIACEAE MELIACEAE SAPOTACEAE RUTACEAE SAPINDACEAE PALMAE MIMOSACEAE FABACEAE VERBENACEAE LAURACEAE FABACEAE MYRTACEAE LEGUMINOSAE STERCULIACEAE EUPHORBIACEAE ARECACEAE FABACEAE BIGONEACEAE ANACARDIACEAE MELIACEAE FABACEAE VERBENACEAE COMBRETACEAE STERCULIACEAE MELIACEAE
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 66 0,22 4,6 0,3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 70 0,23 4,4 0,3
1 1,5 2 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,5 1 1 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,5 1,5 94,5 0,31 3,2 0,2
2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 74 0,25 4,1 0,2
Dalam tabel di atas ditunjukkan bahwa secara nominal jumlah nilai Endemisme (66) < Status (70) < Keliaran (75) < Sifat (94,5). Dalam skala perbandingan (proporsional) nilai tersbut adalah Endemisme (0,22) < Status (0,23) < Keliaran (0,25) < Sifat (0,31), dengan jumlah keseluruhan 1,00. Hal ini berarti, dalam menentukan nilai konservasi bobot berlaku sebaliknya, Endemisme > Status > Keliaran > Sifat, dengan kata lain
Lampiran 3-127 Endemisme lebih penting dari Status lebih penting dari Keliaran lebih penting dari Sifat. Penentuan besarnya bobot kepentingan tersebut dilakukan dengan melakukan perhitungan sederhana sebagai berikut: 1 -----PEnd Bobot nilai Endemisme = --------------------------------------------1 1 1 1 ------- + ------ + ------ + -----PSts PKlr PSft PEnd 1 -----PSts ---------------------------------------------1 1 1 1 ------- + ------ + ------ + -----PEnd PSts PKlr PSft
Bobot nilai Status =
Bobot nilai Keliaran =
1 -----PKlr -----------------------------------------------1 1 1 1 ------- + ------ + ------ + -----PEnd PSts PKlr PSft
1 -----PSft Bobot nilai Endemisme = ---------------------------------------------1 1 1 1 ------- + ------ + ------ + -----PEnd PSts PKlr PSft Dalam hal ini: Pend = Proporsi jumlah nilai Endemisme PSts
= Proporsi jumlah nilai Status
PKlr
= Proprsi jumlah nilai Keliaran
PSft
= Proporsi jumlaj nilai Sifat
Dari hasil perhitungan diperoleh: Bobot nilai Endemisme = 0,3 Bobot nilai Status = 0,3 Bobot nilai Keliaran = 0,2 Bobot nilai Sifat = 0,2
Lampiran 4-128
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota) Way Halim Species
Nama Lokal
Family
Spathodea campanulata
Tulip
BIGNONIACEAE
Casia siamea
Johar
Delonix regia
Flamboyan
Aleurites moluccana
Kemiri
EUPHORBIACEAE
Acacia mangium
Mangium
Lagerstroemia speciosa
Bungur
Swietenia macrophylla
Mahoni
Acacia auriculiformis
Akasia
Leucaena leucocephala Paraseriantes falcataria Dalbergia latifolia Erythrina variegata
Jml Pohon per ha 11,111
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1) 0,007
0,090
-2,409
-0,217
112,346
15155,822
FABACEAE
4,167
0,034
-3,390
-0,114
13,194
15155,822
0,001
FABACEAE
11,111
0,090
-2,409
-0,217
112,346
15155,822
0,007
1,389
0,011
-4,489
-0,050
0,540
15155,822
0,000
LEGUMINOSAE
11,111
0,090
-2,409
-0,217
112,346
15155,822
0,007
LYTHRACEAE
34,722
0,281
-1,270
-0,357 1170,910
15155,822
0,077
MELIACEAE
8,333
0,067
-2,697
-0,182
61,111
15155,822
0,004
FABACEAE
1,389
0,011
-4,489
-0,050
0,540
15155,822
0,000
Lamtorogung
FABACEAE
29,167
0,236
-1,444
-0,341
821,528
15155,822
0,054
Sengon
MIMOSACEAE
2,778
0,022
-3,795
-0,085
4,938
15155,822
0,000
Sonokeling
FABACEAE
6,944
0,056
-2,879
-0,162
41,281
15155,822
0,003
Dadap
FABACEAE
1,389
0,011
-4,489
-0,050
0,540
15155,822
123,611
1,000
0,000
-2,042
Jumlah
0,000 0,162
4,817
LN Jumlah Individu
12,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
2,284
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,042
λ
0,162
1/λ - 1
5,182
H
e -1
9,421
Indeks Kemerataan (E)
0,550
Bukit Kelutum Species
Nama Lokal
Family
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Albizia procera
Weru
MIMOSACEAE
1,190
Alstonia scholaris
Pule
APOCYNACEAE
Arthocarpus communis
Sukun
Arthocarpus integra
Nangka
Ceiba pentandra
Kapuk randu
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
19,048
0,111
-2,197
-0,244
343,764
29216,815
0,012
Ficus septica
Kiciat
MORACEAE
10,714
0,062
-2,773
-0,173
104,082
29216,815
0,004
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
4,762
0,028
-3,584
-0,100
17,914
29216,815
0,001
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
2,381
0,014
-4,277
-0,059
3,288
29216,815
0,000
Paraseriantes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
1,190
0,007
-4,970
-0,035
0,227
29216,815
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
3,571
0,021
-3,871
-0,081
9,184
29216,815
0,000
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
8,333
0,049
-3,024
-0,147
61,111
29216,815
0,002
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
1,190
0,007
-4,970
-0,035
0,227
29216,815
0,000
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
1,190
0,007
-4,970
-0,035
0,227
29216,815
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
85,714
0,500
-0,693
-0,347
7261,224
29216,815
0,249
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
2,381
0,014
-4,277
-0,059
3,288
29216,815
0,000
171,429
1,000
0,000
-1,870
Jumlah
Jml Pohon per ha 3,571
pi
LNpi
piLNpi
0,021
-3,871
-0,081
0,007
-4,970
-0,035
4,762
0,028
-3,584
-0,100
MORACEAE
1,190
0,007
-4,970
MORACEAE
16,667
0,097
-2,331
MALVACEAE
3,571
0,021
-3,871
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
9,184
29216,815
0,000
0,227
29216,815
0,000
17,914
29216,815
0,001
-0,035
0,227
29216,815
0,000
-0,227
261,111
29216,815
0,009
-0,081
9,184
29216,815
0,000
0,277
Lampiran 4-129
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota) 5,144
LN Jumlah Individu
17,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
3,110 1,870
λ
0,277
1/λ - 1
2,606
H
e -1
8,206
Indeks Kemerataan (E)
0,318
Gunung Langgar Species
Nama Lokal
Family
RUTACEAE
Jml Pohon per ha 2,083
Aegle marmelos
Maja
Albizia procera
Weru
0,012
-4,448
-0,052
2,257
31548,614
0,000
MIMOSACEAE
25,000
0,140
-1,964
-0,276
600,000
31548,614
0,019
Aleurites moluccana
Kemiri
EUPHORBIACEAE
5,208
0,029
Anacardium occidentale
Jambu mete
ANACARDIACEAE
1,042
0,006
-3,532
-0,103
21,918
31548,614
0,001
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Annona squamosa
Srikaya
ANNONACEAE
1,042
0,006
-5,142
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
8,333
0,047
-3,062
-0,030
0,043
31548,614
0,000
-0,143
61,111
31548,614
Casia siamea
Johar
FABACEAE
65,625
0,368
-0,999
0,002
-0,368
4241,016
31548,614
0,134
Ceiba pentandra
Kapuk randu
MALVACEAE
4,167
0,023
Cinnamomum burmanii
Kayu manis
LAURACEAE
2,083
0,012
-3,755
-0,088
13,194
31548,614
0,000
-4,448
-0,052
2,257
31548,614
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
4,167
0,023
0,000
-3,755
-0,088
13,194
31548,614
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
1,042
0,006
0,000
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Ficus septica
Kiciat
MORACEAE
19,790
0,111
-2,197
-0,244
371,854
31548,614
0,012
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Lansium domesticum
Duku
MELIACEAE
3,125
0,018
-4,043
-0,071
6,641
31548,614
0,000
Leucaena glauca
Petai cina
FABACEAE
5,208
0,029
-3,532
-0,103
21,918
31548,614
0,001
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Peronema canescens
Sungkai
VERBENACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Pithecellobium lobatum
Jengkol
FABACEAE
8,333
0,047
-3,062
-0,143
61,111
31548,614
0,002
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
12,500
0,070
-2,657
-0,186
143,750
31548,614
0,005
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
1,042
0,006
-5,142
-0,030
0,043
31548,614
0,000
178,123
1,000
0,000
-2,279
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
5,182 25,000 4,631
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,279
λ
0,176
1/λ - 1 H
e -1 Indeks Kemerataan (E)
4,673 11,482 0,407
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,176
Lampiran 4-130
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Bukit Sukajawa Species
Nama Lokal
Family
LNpi
piLNpi
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
-4,394
-0,054
3,750
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
17,50
0,086
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
3,75
0,019
-2,449
-0,212
288,750
40803,750
0,007
-3,989
-0,074
10,313
40803,750
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
1,25
0,006
-5,088
-0,031
0,313
40803,750
0,000
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
85,00
0,420
-0,868
-0,364
7140,000
40803,750
0,175
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
5,00
0,025
-3,701
-0,091
20,000
40803,750
0,000
1,25
0,006
-5,088
-0,031
0,313
40803,750
0,000
Paraseriantes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
8,75
0,043
-3,142
-0,136
67,813
40803,750
0,002
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
1,25
0,006
-5,088
-0,031
0,313
40803,750
0,000
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
2,50
0,012
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
1,25
0,006
-4,394
-0,054
3,750
40803,750
0,000
-5,088
-0,031
0,313
40803,750
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
47,50
0,235
-1,450
-0,340
2208,750
40803,750
0,054
Theobroma cacao
Coklat
STERCULIACEAE
25,00
0,123
-2,092
-0,258
600,000
40803,750
0,015
202,50
1,000
0,000
-1,710
Jumlah
Jml Pohon per ha 2,50
pi
0,012
ni(ni-1)
N(N-1)
40803,750
ni(ni-1)/ N(N-1) 0,000
0,254
5,31074
LN Jumlah Indiveidu
13,00
Jumlah Spesies
2,26
Indeks Kekayaan Spesies
1,7095
Indeks Keanekaragaman Jenis (H) l
0,253515
1/l - 1
2,944535
H
e -1
7,2445
Gunung Kucing Species
Nama Lokal
Family
LEGUMINOSAE
Jml Pohon per ha 1,042
MIMOSACEAE
11,458
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
Acacia mangium
Mangium
Albizia procera
Weru
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
0,074
-2,606
-0,192
119,835
23934,934
0,005
Caryophyllus aromaticus
Benda
MORACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Casia siamea
Johar
FABACEAE
14,583
0,094
-2,365
-0,222
198,090
23934,934
0,008
Erythrina variegata
Dadap
FABACEAE
2,083
0,013
-4,311
-0,058
2,257
23934,934
0,000
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
4,167
0,027
-3,618
-0,097
13,194
23934,934
0,001
Ficus septica
Kiciat
MORACEAE
10,417
0,067
-2,701
-0,181
98,090
23934,934
0,004
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
33,333
0,215
-1,538
-0,330
1077,778
23934,934
0,045
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
5,208
0,034
-3,395
-0,114
21,918
23934,934
0,001
Paraseriantes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Pithecellobium lobatum
Jengkol
FABACEAE
2,083
0,013
-4,311
-0,058
2,257
23934,934
0,000
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
1,042
0,007
-5,004
-0,034
0,043
23934,934
0,000
Ricinus communis
Jarak
EUPHORBIACEAE
5,208
0,034
-3,395
-0,114
21,918
23934,934
0,001
Lampiran 4-131
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota) Species
Nama Lokal
Family
Sesbania grandiflora
Turi
FABACEAE
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
Jumlah
Jml Pohon per ha 53,125
Lanjutan Gunung Kucing pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,342
-1,072
-0,367
2769,141
23934,934
0,116
4,167
0,027
-3,618
-0,097
13,194
23934,934
0,001
155,208
1,000
-2,133
0,181
5,045
LN Jumlah Individu
20,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
3,766
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,133
λ
0,181
1/λ - 1
4,517
H
e -1
10,160
Indeks Kemerataan (E)
0,445
Keanekaragaman Spesies RTH Hutan Kota (Total) Species
Nama Lokal
Family
Jml Pohon per ha 1,492
pi
LNpi
piLNpi
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Acacia mangium
Mangium
Aegle marmelos Albizia procera
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,011
4,499
0,050
0,734
17851,382
0,000
LEGUMINOSAE
2,431
0,018
4,011
0,073
3,477
17851,382
0,000
Maja
RUTACEAE
0,042
0,000
8,077
0,003
0,040
17851,382
0,000
Weru
MIMOSACEAE
3,030
0,023
3,790
0,086
6,150
17851,382
0,000
Aleurites moluccana
Kemiri
EUPHORBIACEAE
0,382
0,003
5,861
0,017
0,236
17851,382
0,000
Alstonia scholaris
Pule
APOCYNACEAE
0,952
0,007
4,947
0,035
0,045
17851,382
0,000
Anacardium occidentale
Jambu mete
ANACARDIACEAE
0,021
0,000
8,770
0,001
0,020
17851,382
0,000
Annona squamosa
Srikaya
ANNONACEAE
0,021
0,000
8,770
0,001
0,020
17851,382
0,000
Arthocarpus communis
Sukun
MORACEAE
0,238
0,002
6,334
0,011
0,181
17851,382
0,000
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
7,000
0,052
2,953
0,154
42,000
17851,382
0,002
Caryophyllus aromaticus
Benda
MORACEAE
0,208
0,002
6,467
0,010
0,165
17851,382
0,000
Casia siamea
Johar
FABACEAE
5,063
0,038
3,277
0,124
20,566
17851,382
0,001
Ceiba pentandra
Kapuk randu
MALVACEAE
0,798
0,006
5,125
0,030
0,161
17851,382
0,000
Cinnamomum burmanii
Kayu manis
LAURACEAE
0,042
0,000
8,077
0,003
0,040
17851,382
0,000
Dalbergia latifolia
Sonokeling
FABACEAE
1,389
0,010
4,570
0,047
0,540
17851,382
0,000
Delonix regia
Flamboyan
FABACEAE
2,222
0,017
4,100
0,068
2,716
17851,382
0,000
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
0,833
0,006
5,081
0,032
0,139
17851,382
0,000
Erythrina variegata
Dadap
FABACEAE
0,694
0,005
5,263
0,027
0,212
17851,382
0,000
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
0,229
0,002
6,372
0,011
0,177
17851,382
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
4,914
0,037
3,307
0,121
19,231
17851,382
0,001
Ficus septica
Kiciat
MORACEAE
4,622
0,034
3,368
0,116
16,741
17851,382
0,001
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
24,640
0,184
1,694
0,311
582,484
17851,382
0,033
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
7,153
0,053
2,931
0,156
44,009
17851,382
0,002
Lansium domesticum
Duku
MELIACEAE
0,063
0,000
7,671
0,004
0,059
17851,382
0,000
Leucaena glauca
Petai cina
FABACEAE
0,104
0,001
7,160
0,006
0,093
17851,382
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
6,063
0,045
3,097
0,140
30,691
17851,382
0,002
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
2,539
0,019
3,967
0,075
3,906
17851,382
0,000
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
0,250
0,002
6,285
0,012
0,188
17851,382
0,000
Paraseriantes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
2,752
0,021
3,886
0,080
4,821
17851,382
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
1,193
0,009
4,722
0,042
0,231
17851,382
0,000
Lampiran 4-132
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Lanjutan Keanekaragaman Spesies RTH Hutan Kota (Total) Family
Jml Pohon per ha 0,021
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,000
8,770
0,001
0,020
17851,382
0,000
2,188
0,016
4,116
0,067
2,598
17851,382
0,000
Species
Nama Lokal
Peronema canescens
Sungkai
VERBENACEAE
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
Pithecellobium lobatum
Jengkol
FABACEAE
0,583
0,004
5,438
0,024
0,243
17851,382
0,000
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
0,717
0,005
5,231
0,028
0,203
17851,382
0,000
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
0,208
0,002
6,467
0,010
0,165
17851,382
0,000
Ricinus communis
Jarak
EUPHORBIACEAE
1,042
0,008
4,858
0,038
0,043
17851,382
0,000
Sesbania grandiflora
Turi
FABACEAE
10,625
0,079
2,535
0,201
102,266
17851,382
0,006
Spathodea campanulata
Tulip
BIGNONIACEAE
2,222
0,017
4,100
0,068
2,716
17851,382
0,000
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
0,238
0,002
6,334
0,011
0,181
17851,382
0,000
Swietenia macrophylla
Mahoni
MELIACEAE
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
Theobroma cacao
Coklat
STERCULIACEAE
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ 1 H e 1 Indeks Kemerataan (E)
1,667
0,012
4,388
0,055
1,111
17851,382
0,000
27,726
0,207
1,576
0,326
741,015
17851,382
0,042
0,497
0,004
5,598
0,021
0,250
17851,382
0,000
5,000
0,037
3,289
0,123
20,000
17851,382
0,001
134,112
1,000
0,000
2,817
17851,944
17851,382
0,092
4,899 44,000 8,778 2,817 0,092 9,851 18,442 0,534
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau Jalan Jalan Teuku Cik Ditiro Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis Acacia mangium Areca catechu Bauhinia purpurea Casia siamea Cocos nucifera Dalbergia latifolia Eugenia aquea Ficus benjamina Jatropha curcas Leucaena leucocephala Mangifera indica Parkia speciosa Persea americana Pterocarpus indicus Swietenia macrophylla Tectona grandis
Akasia Mangium Pinang Kupu-kupu Johar Kelapa Sonokeling Jambu air Beringin Jarak Lamtorogung Mangga Petai Alpokat Angsana Mahoni Jati Jumlah
FABACEAE LEGUMINOSAE ARECACEAE LEGUMINOSAE CAESALPINIACEAE PALMAE FABACEAE MYRTACEAE MORACEAE EUPHORBIACEAE FABACEAE ANACARDIACEAE FABACEAE LAURACEAE STERCULIACEAE MELIACEAE VERBENACEAE
Jml Pohon per ha 6,667 6,667 3,333 3,333 3,333 1,667 50,000 5,000 3,333 3,333 3,333 1,667 1,667 1,667 33,333 13,333 1,667 143,333
pi
0,047 0,047 0,023 0,023 0,023 0,012 0,349 0,035 0,023 0,023 0,023 0,012 0,012 0,012 0,233 0,093 0,012 1,000
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
-3,068 -3,068 -3,761 -3,761 -3,761 -4,454 -1,053 -3,356 -3,761 -3,761 -3,761 -4,454 -4,454 -4,454 -1,459 -2,375 -4,454
-0,143 -0,143 -0,087 -0,087 -0,087 -0,052 -0,367 -0,117 -0,087 -0,087 -0,087 -0,052 -0,052 -0,052 -0,339 -0,221 -0,052 -2,114
37,778 37,778 7,778 7,778 7,778 1,111 2450,000 20,000 7,778 7,778 7,778 1,111 1,111 1,111 1077,778 164,444 1,111
20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159 20400,159
0,002 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000 0,120 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,053 0,008 0,000 0,188
Lampiran 4-133
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota) 4,965 20,000 3,827 2,114 0,188 4,313 9,998 0,431
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
Jalan Laksamana Malahayati Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Jml Pohon per ha 3,125
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Jatropha curcas
Jarak
EUPHORBIACEAE
9,375
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
Roystone regia
Palm raja
Spondias pinnata
Kedondong
Swietenia macrophylla
Mahoni
LNpi
piLNpi
0,036
-3,332
-0,119
0,107
-2,234
-0,239
37,500
0,429
-0,847
-0,363
ARECACEAE
15,625
0,179
-1,723
ANACARDIACEAE
15,625
0,179
-1,723
MELIACEAE
6,250
0,071
-2,639
87,500
1,000
Jumlah LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
pi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
6,641
7568,750
0,001
78,516
7568,750
0,010
1368,750
7568,750
0,181
-0,308
228,516
7568,750
0,030
-0,308
228,516
7568,750
0,030
-0,189
32,813
7568,750
0,004
-1,525
0,257
4,472 6,000 1,118 1,525 0,257 2,894 6,314 0,458
Jalan Radin Intan Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
Roystone regia
Palem Raja
ARECACEAE
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
4,605 2,000 0,217 0,679 0,562 0,780 3,691 0,211
Jml Pohon per ha 41,667
pi
0,417
58,333
0,583
100,000
1,000
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
-0,875
-0,365
1694,444
7568,750
0,224
-0,539
-0,314
3344,444
9900,000
0,338
-0,679
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,562
Lampiran 4-134
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Jalan Sultan Agung Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Jml Pohon per ha 16,667
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Acacia mangium
Mangium
Casuarina sumtrana
LEGUMINOSAE
3,125
Cemara
CASUARINACEAE
Dalbergia latifolia
Sonokeling
FABACEAE
Enterolobium cylocarpum
Sengon buto
LEGUMINOSAE
2,083
0,009
-4,663
-0,044
2,257
48545,059
0,000
Ficus benjamina
Beringin
MORACEAE
1,042
0,005
-5,357
-0,025
0,043
48545,059
0,000
Intsia bijuga
Merbau
LEGUMINOSAE
22,917
0,104
-2,266
-0,235
502,257
48545,059
0,010
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
3,125
0,014
-4,258
-0,060
6,641
48545,059
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
4,167
0,019
-3,970
-0,075
13,194
48545,059
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
1,042
0,005
-5,357
-0,025
0,043
48545,059
0,000
Mimusop elengi
Tanjung
SAPOTACEAE
6,250
0,028
-3,565
-0,101
32,813
48545,059
0,001
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
2,083
0,009
-4,663
-0,044
2,257
48545,059
0,000
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
3,125
0,014
-4,258
-0,060
6,641
48545,059
0,000
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
50,000
0,226
-1,485
-0,336 2450,000
48545,059
0,050
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
35,417
0,160
-1,830
-0,294 1218,924
48545,059
0,025
Roystone regia
Palem raja
ARECACEAE
22,917
0,104
-2,266
-0,235
502,257
48545,059
0,010
Swietenia macrophylla
Mahoni
MELIACEAE
13,542
0,061
-2,792
-0,171
169,835
48545,059
0,003
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
10,417
0,047
-3,054
-0,144
98,090
48545,059
0,002
Theobroma cacao
Kakao
STERCULIACEAE
3,125
0,014
-4,258
-0,060
6,641
48545,059
Jumlah
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
0,075
-2,584
-0,195
261,111
48545,059
0,005
0,014
-4,258
-0,060
6,641
48545,059
0,000
6,250
0,028
-3,565
-0,101
32,813
48545,059
0,001
13,542
0,061
-2,792
-0,171
169,835
48545,059
0,003
220,833
-2,438
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,000 0,113
5,397
LN Jumlah Individu
19,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
3,335
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,438
λ
0,113
1/λ - 1
7,855
H
e -1
13,166
Indeks Kemerataan (E)
0,597
Jalan Gatot Subroto Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Jml Pohon per ha 22,917
pi
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Acacia mangium
Mangium
LEGUMINOSAE
4,167
0,019
-3,980
-0,074
13,194 49470,406
0,000
Areca catechu
Pinang
ARECACEAE
8,333
0,037
-3,287
-0,123
61,111 49470,406
0,001
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
8,333
0,037
-3,287
-0,123
61,111 49470,406
0,001
Casuarina sumtrana
Cemara
CASUARINACEAE
14,583
0,065
-2,727
-0,178
198,090 49470,406
0,004
Delonix regia
Flamboyan
CAESALPINIACEAE
29,167
0,131
-2,034
-0,266
821,528 49470,406
0,017
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
6,250
0,028
-3,574
-0,100
32,813 49470,406
0,001
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
Gmelina arborea
Wareng
VERBENACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
4,167
0,019
-3,980
-0,074
13,194 49470,406
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
6,250
0,028
-3,574
-0,100
32,813 49470,406
0,001
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
Palm
Palem
PALMAE
0,103
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
-2,275
-0,234
502,257 49470,406
ni(ni-1)/ N(N-1) 0,010
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
10,417
0,047
-3,063
-0,143
98,090 49470,406
0,002
Lampiran 4-135
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Lanjutan Jalan gatot Subroto Paracerianthes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
22,917
0,103
-2,275
-0,234
502,257 49470,406
0,010
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
33,333
0,150
-1,900
-0,284 1077,778 49470,406
0,022
Swietenia macrophylla
Mahoni
MALVACEAE
4,167
0,019
-3,980
-0,074
13,194 49470,406
0,000
Tamarindus indica
Asam
FABACEAE
4,167
0,019
-3,980
-0,074
13,194 49470,406
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
29,167
0,131
-2,034
-0,266
821,528 49470,406
0,017
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
2,083
0,009
-4,673
-0,044
2,257 49470,406
0,000
Jumlah
222,917
-2,655
0,000
0,086
5,407
LN Jumlah Indiveidu
22,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
3,884
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,655
λ
0,086
1/λ - 1
10,564
H
e -1
15,943
Indeks Kemerataan (E)
0,663
Jalan M. Noer Nama Ilmiah
Nama lokal
Famili
Acacia mangium
Mangium
Bauhinia purpurea
Kupu-kupu
Casia siamea
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
LEGUMINOSAE
Jml Pohon per ha 1,667
0,007
-4,977
-0,034
1,111 58162,719
0,000
LEGUMINOSAE
25,000
0,103
-2,269
-0,235
600,000 58162,719
0,010
Johar
CAESALPINIACEAE
18,333
0,076
-2,579
-0,196
317,778 58162,719
0,005
Dalbergia latifolia
Sonokeling
FABACEAE
13,333
0,055
-2,897
-0,160
164,444 58162,719
0,003
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
3,333
0,014
-4,284
-0,059
7,778 58162,719
0,000
Enterolobium cylocarpum
Sengon buto
LEGUMINOSAE
8,333
0,034
-3,367
-0,116
61,111 58162,719
0,001
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
5,000
0,021
-3,878
-0,080
20,000 58162,719
0,000
Jatropha curcas
Jarak
EUPHORBIACEAE
13,333
0,055
-2,897
-0,160
164,444 58162,719
0,003
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
1,667
0,007
-4,977
-0,034
1,111 58162,719
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
5,000
0,021
-3,878
-0,080
20,000 58162,719
0,000
Palm
Palem
PALMAE
5,000
0,021
-3,878
-0,080
20,000 58162,719
0,000
Paracerianthes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
21,667
0,090
-2,412
-0,216
447,778 58162,719
0,008
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
41,667
0,172
-1,758
-0,303 1694,444 58162,719
0,029
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
3,333
0,014
-4,284
-0,059
7,778 58162,719
0,000
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
10,000
0,041
-3,185
-0,132
90,000 58162,719
0,002
Swietenia macrophylla
Mahoni
MELIACEAE
36,667
0,152
-1,886
-0,286 1307,778 58162,719
0,022
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
15,000
0,062
-2,780
-0,173
210,000 58162,719
0,004
Toona sureni
Suren
MELIACEAE
13,333
0,055
-2,897
-0,160
164,444 58162,719
0,003
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
241,667
5,488 18,000 3,098 2,563 0,091 9,974 14,696 0,679
-2,563
0,091
Lampiran 4-136
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Jalan Soekarno-Hatta Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Arthocapus communis
Keluwih
MORACEAE
8,333
706,424
98645,996
0,007
61,111
98645,996
0,001
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
18,750
0,060
Ceiba pentandra
Randu
MALVACEAE
8,333
0,026
332,813
98645,996
0,003
61,111
98645,996
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
20,833
0,066
0,001
-0,180
413,194
98645,996
0,004
Gnetum gnemon
Tangikil
GNETACEAE
6,250
Jatropha curcas
Jarak
EUPHORBIACEAE
2,083
-3,919
-0,078
32,813
98645,996
0,000
-5,017
-0,033
2,257
98645,996
0,000
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
18,750
0,060
Leucaena glauca
Petai cina
FABACEAE
6,250
0,020
-2,820
-0,168
332,813
98645,996
0,003
-3,919
-0,078
32,813
98645,996
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
91,667
0,291
0,000
-1,233
-0,359
8311,111
98645,996
0,084
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
4,167
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
6,250
0,013
-4,324
-0,057
13,194
98645,996
0,000
0,020
-3,919
-0,078
32,813
98645,996
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
0,000
8,333
0,026
-3,631
-0,096
61,111
98645,996
0,001
Pterocarpus indicus
Angsana
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
33,333
0,106
-2,245
-0,238
1077,778
98645,996
0,011
STERCULIACEAE
8,333
0,026
-3,631
-0,096
61,111
98645,996
0,001
Swietenia macrophylla
Mahoni
MALVACEAE
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
37,500
0,119
-2,127
-0,254
1368,750
98645,996
0,014
6,250
0,020
-3,919
-0,078
32,813
98645,996
Theobroma cacao
Kakao
STERCULIACEAE
0,000
2,083
0,007
-5,017
-0,033
2,257
98645,996
0,000
Jumlah
Jml Pohon per ha 27,083
pi
LNpi
piLNpi
0,086
-2,452
-0,211
0,026
-3,631
-0,096
-2,820
-0,168
-3,631
-0,096
-2,715
0,020 0,007
314,583
ni(ni-1)
-2,398
0,131
5,751
LN Jumlah Indiveidu
18,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,956 2,398
λ
0,131
1/λ - 1
6,626
H
e -1
12,716
Indeks Kemerataan (E)
0,521
Jalur Hijau Jalan secara Keseluruhan
Acacia auriculiformis
Akasia
LEGUMINOSAE
Jml pi Pohon per ha 45,000 0,060
Acacia mangium
Akasia
LEGUMINOSAE
10,000 0,013
-4,321
-0,057
90,000 566256,000
0,000
Areca catechu
Pinang
ARACACEAE
6,000 0,008
-4,832
-0,039
30,000 566256,000
0,000
Arthocapus communis
Sukun
MORACEAE
4,000 0,005
-5,238
-0,028
12,000 566256,000
0,000
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
13,000 0,017
-4,059
-0,070
156,000 566256,000
0,000
Bauhinia purpurea
Kupu-kupu
LEGUMINOSAE
17,000 0,023
-3,791
-0,086
272,000 566256,000
0,000
Casia siamea
Johar
CAESALPINIACEAE
13,000 0,017
-4,059
-0,070
156,000 566256,000
0,000
Casuarina sumtrana
Cemara
CASUARINACEAE
13,000 0,017
-4,059
-0,070
156,000 566256,000
0,000
Ceiba pentandra
Randu
MALVACEAE
4,000 0,005
-5,238
-0,028
12,000 566256,000
0,000
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
11,000 0,015
-4,226
-0,062
110,000 566256,000
0,000
Dalbergia latifolia
Sonokeling
FABACEAE
51,000 0,068
-2,692
-0,182
2550,000 566256,000
0,005
Delonix regia
Flamboyan
CAESALPINIACEAE
14,000 0,019
-3,985
-0,074
182,000 566256,000
0,000
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
lon pi pi lon pi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
-2,817
-0,168
1980,000 566256,000
0,003
Lampiran 4-137
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Lanjutan Jalur Hijau Jalan Secara Keseluruhan Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
pi Jml Pohon per ha 2,000 0,003
lon pi pi lon pi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
-5,931
-0,016
2,000 566256,000
0,000
Enterolobium cylocarpum
Sengon Buto
LEGUMINOSAE
7,000 0,009
-4,678
-0,043
42,000 566256,000
0,000
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
6,000 0,008
-4,832
-0,039
30,000 566256,000
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
1,000 0,001
-6,624
-0,009
0,000 566256,000
0,000
Ficus benjamina
Beringin
MORACEAE
3,000 0,004
-5,525
-0,022
6,000 566256,000
0,000
Gmelina arborea
Wareng
VERBENACEAE
1,000 0,001
-6,624
-0,009
0,000 566256,000
0,000
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
3,000 0,004
-5,525
-0,022
6,000 566256,000
0,000
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
3,000 0,004
-5,525
-0,022
6,000 566256,000
0,000
Intsia bijuga
Merbai
LEGUMINOSAE
22,000 0,029
-3,533
-0,103
462,000 566256,000
0,001
Jatropha gossyfolia
Jarak cina
EUPHORBIACEAE
14,000 0,019
-3,985
-0,074
182,000 566256,000
0,000
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LITHRACEAE
14,000 0,019
-3,985
-0,074
182,000 566256,000
0,000
Leucaena glauca
Petai cina
FABACEAE
3,000 0,004
-5,525
-0,022
6,000 566256,000
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
55,000 0,073
-2,617
-0,191
2970,000 566256,000
0,005
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
7,000 0,009
-4,678
-0,043
42,000 566256,000
0,000
Mimusop elengi
Tanjung
SAPINDACEAE
6,000 0,008
-4,832
-0,039
30,000 566256,000
0,000
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
3,000 0,004
-5,525
-0,022
6,000 566256,000
0,000
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
1,000 0,001
-6,624
-0,009
0,000 566256,000
0,000
Palm
Palm
PALMAE
8,000 0,011
-4,545
-0,048
56,000 566256,000
0,000
Paracerianthes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
14,000 0,019
-3,985
-0,074
182,000 566256,000
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
4,000 0,005
-5,238
-0,028
12,000 566256,000
0,000
Persea americana
Alpukat
LAURACEAE
1,000 0,001
-6,624
-0,009
0,000 566256,000
0,000
Psidium guajava
Jambu biji
MYRTACEAE
7,000 0,009
-4,678
-0,043
42,000 566256,000
0,000
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
142,000 0,189
-1,668
-0,315
20022,000 566256,000
0,035
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
40,000 0,053
-2,935
-0,156
1560,000 566256,000
0,003
Roystone regia
Palm raja
PALMAE
41,000 0,054
-2,910
-0,158
1640,000 566256,000
0,003
Spondias rarak
Kedondong
ANACARDIACEAE
27,000 0,036
-3,328
-0,119
702,000 566256,000
0,001
Swietenia macrophylla
Mahoni besar MELIACEAE
65,000 0,086
-2,450
-0,211
4160,000 566256,000
0,007
Tamarindus indica
Asam
FABACEAE
2,000 0,003
-5,931
-0,016
2,000 566256,000
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
37,000 0,049
-3,013
-0,148
1332,000 566256,000
0,002
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
1,000 0,001
-6,624
-0,009
0,000 566256,000
0,000
Theobroma cacao
Kakao
STERCULIACEAE
4,000 0,005
-5,238
-0,028
12,000 566256,000
0,000
Toona sureni
Suren
MELIACEAE
8,000 0,011
-4,545
-0,048
56,000 566256,000
0,000
Jumlah
LN Jmlah Individu Jumlah jenis
753,000 1,000
6,624 43,000
Indeks Kekayaan jenis (R)
6,341
Indeks Keanekaragaman Shanon (H)
3,104
λ
0,070
1/λ - 1 H
e -1 Indeks Kemerataan (E)
13,352 23,997 0,556
-3,104
0,070
Lampiran 4-138
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau Sungai Way Halim Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Jml Pohon per ha 1,250
Aegle marmelos
Ki maja
RUTACEAE
Annona muricata
Sirsak
Areca catechu
LNpi
piLNpi
ANNONACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,006
-5,056
-0,032
Aren
ARACACEAE
6,250
0,032
-3,447
Arthocarpus communis
Keluwih
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
5,000
0,025
MORACEAE
3,750
0,019
Averhoa bilimbi
Belimbing
OXALIDACEAE
1,250
0,006
Bauhinia purpurea
Kupu-kupu
LEGUMINOSAE
13,750
0,070
-2,658
-0,186
175,313
38317,813
0,005
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
56,250
0,287
-1,250
-0,358
3107,813
38317,813
0,081
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
Ficus benjamina
Beringin
MORACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
18,750
0,096
-2,348
-0,224
332,813
38317,813
0,009
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
10,000
0,051
-2,977
-0,152
90,000
38317,813
0,002
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
13,750
0,070
-2,658
-0,186
175,313
38317,813
0,005
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
Paracerianthes falcataria
Sengon
MIMOSACEAE
2,500
0,013
-4,363
-0,056
3,750
38317,813
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
Pterospermum javanicum
Bayur
STERCULIACEAE
Roystone regia
Palem raja
ARECACEAE
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
Tamarindus indica
Asam
FABACEAE
1,250
0,006
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
3,750
0,019
-3,958
-0,076
10,313
38317,813
0,000
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
6,250
0,032
-3,447
-0,110
32,813
38317,813
0,001
Jumlah
LN Jumlah Indiveidu Jumlah Spesies
5,279
Indeks Kekayaan Spesies
4,735
Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ
2,657
1/λ - 1 H
e -1 Indeks Kemerataan (E)
0,113 7,874 15,979 0,493
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,313
38317,813
0,000
0,313
38317,813
0,000
-0,110
32,813
38317,813
0,001
-3,670
-0,094
20,000
38317,813
0,001
-3,958
-0,076
10,313
38317,813
0,000
-5,056
-0,032
0,313
38317,813
0,000
5,000
0,025
-3,670
-0,094
20,000
38317,813
0,001
10,000
0,051
-2,977
-0,152
90,000
38317,813
0,002
5,000
0,025
-3,670
-0,094
20,000
38317,813
0,001
10,000
0,051
-2,977
-0,152
90,000
38317,813
0,002 0,000
3,750
0,019
-3,958
-0,076
10,313
38317,813
10,000
0,051
-2,977
-0,152
90,000
38317,813
0,002
2,500
0,013
-4,363
-0,056
3,750
38317,813
0,000
196,250
26,000
pi
-2,657
0,113
Lampiran 4-139
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Way Kuripan Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Annona muricata
Sirsak
ANNONACEAE
Arthocarpus communis
Keluwih
MORACEAE
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
17,188
0,089
-2,414
-0,216
278,223
36744,806
0,008
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
60,938
0,317
-1,149
-0,364
3652,441
36744,806
0,099
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
4,688
0,024
-3,714
-0,091
17,285
36744,806
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
9,375
0,049
-3,020
-0,147
78,516
36744,806
0,002
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
3,125
0,016
-4,119
-0,067
6,641
36744,806
0,000
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
12,500
0,065
-2,733
-0,178
143,750
36744,806
0,004
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
1,563
0,008
-4,812
-0,039
0,879
36744,806
0,000
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
4,688
0,024
-3,714
-0,091
17,285
36744,806
0,000
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
28,125
0,146
-1,922
-0,281
762,891
36744,806
0,021
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
1,563
0,008
-4,812
-0,039
0,879
36744,806
0,000
192,188
1,000
0,000
-2,186
Jumlah
Jml Pohon per ha 1,563 4,688 17,188
pi
LNpi
piLNpi
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,008
-4,812
-0,039
0,024
-3,714
-0,091
0,879
36744,806
0,000
17,285
36744,806
0,089
-2,414
-0,216
278,223
0,000
36744,806
0,008
4,688
0,024
-3,714
-0,091
17,285
36744,806
0,000
20,313
0,106
-2,247
-0,238
392,285
36744,806
0,011
0,154
5,258
LN Jumlah Individu
15,000
Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies
2,662
Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ
2,186
1/λ - 1
0,154 5,487
H
e -1
10,622
Indeks Kemerataan (E)
0,517
Way Sukoharjo Jml Pohon per ha 2,778
pi
LNpi
piLNpi
0,013
-4,357
-0,056
ANNONACEAE
1,389
0,006
-5,050
-0,032
ARECACEAE
5,556
0,026
-3,664
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
4,938
46729,219
0,000
0,540
46729,219
0,000
-0,094
25,309
46729,219
0,001
-3,664
-0,094
25,309
46729,219
0,001
-5,050
-0,032
0,540
46729,219
0,000
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Annona squamosa
Sirsak
Areca catechu
Pinang
Arenga pinnata
Aren
ARECACEAE
5,556
0,026
Arthocarpus communis
Keluwih
MORACEAE
1,389
0,006
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
2,778
0,013
-4,357
-0,056
4,938
46729,219
0,000
Ceiba pentandra
Randu
BOMBACACEAE
4,167
0,019
-3,951
-0,076
13,194
46729,219
0,000
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
86,111
0,397
-0,923
-0,367
7329,012
46729,219
0,157
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
1,389
0,006
-5,050
-0,032
0,540
46729,219
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
2,778
0,013
-4,357
-0,056
4,938
46729,219
0,000
Gmelina arborea
Wareng
VERBENACEAE
2,778
0,013
-4,357
-0,056
4,938
46729,219
0,000
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
36,111
0,167
-1,792
-0,299
1267,901
46729,219
0,027
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
5,556
0,026
-3,664
-0,094
25,309
46729,219
0,001
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
16,667
0,077
-2,565
-0,197
261,111
46729,219
0,006
Jatropha gossyfolia
Jarak
EUPHORBIACEAE
2,778
0,013
-4,357
-0,056
4,938
46729,219
0,000
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
1,389
0,006
-5,050
-0,032
0,540
46729,219
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
1,389
0,006
-5,050
-0,032
0,540
46729,219
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
8,333
0,038
-3,258
-0,125
61,111
46729,219
0,001
Lampiran 4-140
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Lanjutan Way Sukoharjo
Jml Pohon per ha 1,389
pi
LNpi
piLNpi
0,006
-5,050
-0,032
STERCULIACEAE
2,778
0,013
-4,357
-0,056
Kedondong
ANACARDIACEAE
15,278
0,071
-2,652
-0,187
Tamarindus indica
Asam
FABACEAE
1,389
0,006
-5,050
-0,032
0,540
46729,219
0,000
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
6,944
0,032
-3,440
-0,110
41,281
46729,219
0,001
216,667
1,000
0,000
-2,205
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
Pterocarpus indicus
Angsana
Spondias pinnata
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,540
46729,219
0,000
4,938
46729,219
0,000
218,133
46729,219
0,005
0,199
5,378 23,000 4,090 2,205 0,199 4,024 10,786 0,373
Way Simpur Jml Pohon per ha 5,000
pi
LNpi
piLNpi
0,029
-3,541
-0,103
ARECACEAE
10,000
0,058
-2,848
-0,165
Keluwih
MORACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
10,000
0,058
-2,848
-0,165
90,000
29583,750
0,003
Casia siamea
Johar
FABACEAE
5,000
0,029
-3,541
-0,103
20,000
29583,750
0,001
Ceiba pentandra
Randu
BOMBACACEAE
7,500
0,043
-3,135
-0,136
48,750
29583,750
0,002
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
37,500
0,217
-1,526
-0,332
1368,750
29583,750
0,046
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
5,000
0,029
-3,541
-0,103
20,000
29583,750
0,001
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
10,000
0,058
-2,848
-0,165
90,000
29583,750
0,003
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
20,000
0,116
-2,155
-0,250
380,000
29583,750
0,013
Jatropha gossyfolia
Jarak
EUPHORBIACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
3,750
29583,750
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
5,000
0,029
-3,541
-0,103
20,000
29583,750
0,001
Melia azedarach
Mengkudu
MELIACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
3,750
29583,750
0,000
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
3,750
29583,750
0,000
Palm
Palem
PALMAE
22,500
0,130
-2,037
-0,266
483,750
29583,750
0,016
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
3,750
29583,750
0,000
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
15,000
0,087
-2,442
-0,212
210,000
29583,750
0,007
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
2,500
0,014
-4,234
-0,061
3,750
29583,750
0,000
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
5,000
0,029
-3,541
-0,103
20,000
29583,750
0,001
172,500
1,000
-62,948
-2,573
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Arenga pinnata
Aren
Arthocarpus communis
Jumlah
LN Jumlah Indiveidu Jumlah Spesies
5,150 19,000
Indeks Kekayaan Spesies
3,495
Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ
2,573
1/λ - 1 H
e -1 Indeks Kemerataan (E)
0,097 9,259 14,818 0,625
ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
20,000
29583,750
0,001
90,000
29583,750
0,003
3,750
29583,750
0,000
0,097
Lampiran 4-141
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Jalur Hijau Sungai Secara Keseluruhan Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
ni
ln pi
FABACEAE
Jml Pohon per ha 9,340
Acacia auriculiformis
Akasia
Aegle marmelos
Kimaja
Annona muricata
0,012
-4,422
-0,053
77,901
603051,396
0,000
RUTACEAE
1,250
0,002
-6,433
-0,010
0,313
603051,396
0,000
Sirsak
ANNONACEAE
5,938
0,008
-4,875
-0,037
29,316
603051,396
0,000
Annona squamosa
Srikaya
ANNONACEAE
1,389
0,002
-6,328
-0,011
0,540
603051,396
0,000
Areca catechu
Pinang
ARECACEAE
11,806
0,015
-4,188
-0,064
127,566
603051,396
0,000
Arenga pinnata
Aren
ARECACEAE
15,556
0,020
-3,912
-0,078
226,420
603051,396
0,000
Arthocarpus communis
Keluwih
MORACEAE
26,076
0,034
-3,395
-0,114
653,902
603051,396
0,001
Arthocarpus integra
Nangka
MORACEAE
33,715
0,043
-3,138
-0,136
1103,005
603051,396
0,002
Averhoa bilimbi
Belimbing
OXALIDACEAE
1,250
0,002
-6,433
-0,010
0,313
603051,396
0,000
Bauhinia purpurea
Kupu-kupu
LEGUMINOSAE
13,750
0,018
-4,035
-0,071
175,313
603051,396
0,000
Casia siamea
Johar
FABACEAE
5,000
0,006
-5,047
-0,032
20,000
603051,396
0,000
Ceiba pentandra
Randu
BOMBACACEAE
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
Durio zibethinus
Durian
BOMBACACEAE
5,000
0,006
-5,047
-0,032
20,000
603051,396
0,000
Eugenia aquea
Jambu air
MYRTACEAE
7,326
0,009
-4,665
-0,044
46,350
603051,396
0,000
Eugenia aromatica
Cengkeh
MYRTACEAE
12,153
0,016
-4,159
-0,065
135,537
603051,396
0,000
Ficus benjamina
Beringin
MORACEAE
1,250
0,002
-6,433
-0,010
0,313
603051,396
0,000
Gmelina arborea
Wareng
VERBENACEAE
2,778
0,004
-5,635
-0,020
4,938
603051,396
0,000
Gnetum gnemon
Tangkil
GNETACEAE
64,861
0,083
-2,484
-0,207
4142,103
603051,396
0,007
Hevea brasiliensis
Karet
EUPHORBIACEAE
18,681
0,024
-3,729
-0,090
330,283
603051,396
0,001
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
62,917
0,081
-2,514
-0,203
3895,590
603051,396
0,006
Jatropha gossyfolia
Jarak
EUPHORBIACEAE
5,278
0,007
-4,993
-0,034
22,577
603051,396
0,000
Lagerstroemia speciosa
Bungur
LYTHRACEAE
2,639
0,003
-5,686
-0,019
4,325
603051,396
0,000
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
FABACEAE
11,076
0,014
-4,251
-0,061
111,610
603051,396
0,000
Mangifera indica
Mangga
ANACARDIACEAE
43,646
0,056
-2,880
-0,162
1861,313
603051,396
0,003
Melia azedarach
Mindi
MELIACEAE
2,500
0,003
-5,740
-0,018
3,750
603051,396
0,000
Morinda citrifolia
Mengkudu
RUTACEAE
4,201
0,005
-5,221
-0,028
13,450
603051,396
0,000
Nephelium lapaceum
Rambutan
SAPINDACEAE
0,000
Palm
Palem
PALMAE
Paracerianthes falcataria Sengon
MIMOSACEAE
ni lon p ni(ni-1)
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
11,667
0,015
-4,199
-0,063
124,444
603051,396
0,000
240,799
0,310
-1,172
-0,363
57743,173
603051,396
0,096
2,500
0,003
-5,740
-0,018
3,750
603051,396
22,500
0,029
-3,543
-0,103
483,750
603051,396
0,001
2,500
0,003
-5,740
-0,018
3,750
603051,396
0,000
Parkia speciosa
Petai
FABACEAE
5,000
0,006
-5,047
-0,032
20,000
603051,396
0,000
Persea americana
Alpokat
LAURACEAE
7,188
0,009
-4,684
-0,043
44,473
603051,396
0,000
Pterocarpus indicus
Angsana
STERCULIACEAE
27,778
0,036
-3,332
-0,119
743,827
603051,396
0,001
STERCULIACEAE
3,750
0,005
-5,334
-0,026
10,313
603051,396
0,000
ARECACEAE
10,000
0,013
-4,354
-0,056
90,000
603051,396
0,000 0,003
Pterospermum javanicum Bayur Roystone regia
Palem raja
Spondias pinnata
Kedondong
ANACARDIACEAE
45,903
0,059
-2,830
-0,167
2061,162
603051,396
Tamarindus indica
Asam
FABACEAE
2,639
0,003
-5,686
-0,019
4,325
603051,396
0,000
Tectona grandis
Jati
VERBENACEAE
6,250
0,008
-4,824
-0,039
32,813
603051,396
0,000
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
19,757
0,025
-3,673
-0,093
370,580
603051,396
0,001
Jumlah
LN Jumlah Indiveidu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H e -1 Indeks Kemerataan (E)
777,604
5,279 39,000 7,198 2,772 0,124 7,068 17,714 0,399
-2,772
0,124
Lampiran 4-142
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Jalur Hijau Pantai Pantai Panjang ln pi
ni lon pi ni(ni-1)
N(N-1)
-0,324
8010,000
ni(ni-1)/ N(N-1)
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis
Akasia
FABACEAE
Casuarina equisetifolia
Cemara
CASUARINACEAE
8,333
0,093
-2,380
-0,220
61,111
8010,000
0,008
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
16,667
0,185
-1,686
-0,312
261,111
8010,000
0,033
Hibiscus hiliaceus
Waru
MALVACEAE
18,333
0,204
-1,591
-0,324
317,778
8010,000
0,040
Leucaena leucocephalla
Lamtorogung
FABACEAE
15,000
0,167
-1,792
-0,299
210,000
8010,000
0,026
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
13,333
0,148
-1,910
-0,283
164,444
8010,000
0,021
Jumlah
LN Jumlah Indiveidu
Jml Pohon per ha 18,333
ni
Nama Ilmiah
0,204
-1,591
90,000
317,778
-1,762
0,040
0,166
4,500
Jumlah Spesies
6
Indeks Kekayaan Spesies
1,111
Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ
1,762
1/λ - 1
5,013
H
0,166
e -1
7,544
Indeks Kemerataan (E)
0,664
Pantai Lempasing ni
ln pi
ni lon pi ni(ni-1)
FABACEAE
Jml Pohon per ha 3,95
0,237
-1,440
-0,341 1730,748 31374,787
0,055
FABACEAE
42,11
0,067
-2,708
-0,181
128,393 31374,787
0,004
Sengon
MIMOSACEAE
11,84
0,067
-2,708
-0,181
128,393 31374,787
0,004
Beringin
MORACEAE
2,63
0,015
-4,212
-0,062
4,294 31374,787
0,000
CAESALPINIACEAE
42,11
0,237
-1,440
-0,341 1730,748 31374,787
0,055
COMBRETACEAE
26,32
0,148
-1,910
-0,283
666,205 31374,787
0,021
-2,340
-0,225
275,485 31374,787
0,009
-4,212
-0,062
4,294 31374,787
0,000
-0,181
128,393 31374,787
0,004
-0,225
275,485 31374,787
0,009
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
Acacia auriculiformis
Akasia
Acacia mangium
Mangium
Paracerianthes falcataria Ficus benjamina Casia siamea
Johar
Terminalia cattapa
Ketapang
Leucaena leucocephalla
Lamtorogung
FABACEA
17,11
0,096
Roystone regia
Palem raja
ARECACEAE
2,63
0,015
Toona sureni
Suren
MELIACEAE
11,84
0,067
-2,708
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
17,11
0,096
-2,340
Jumlah LN Jumlah Indiveidu Jumlah Spesies
177,63 5,180 11
Indeks Kekayaan Spesies
1,931
Indeks Keanekaragaman Jenis (H)
2,082
λ
0,162
1/λ - 1 H
5,185
e -1
9,743
Indeks Kemerataan (E)
0,532
-2,082
N(N-1)
ni(ni-1)/ N(N-1)
0,162
Lampiran 4-143
Perhitungan Keanekaragaman Spesies Komunitas Ruang Terbuka Hijau Berbentuk Area (Hutan Hota)
Pantai Secara Keseluruhan Nama Ilmiah
Nama Lokal
Famili
ni
ln pi
FABACEAE
Jml Pohon per ha 22,28
Acacia auriculiformis
Akasia
Acacia mangium
Mangium
Casia siamea Casuarina equisetifolia
0,083
-2,486
-0,207
474,149 71358,187
0,007
FABACEAE
42,11
0,157
-1,849
-0,291
1730,748 71358,187
0,024
Johar
CAESALPINIACEAE
42,11
0,157
-1,849
-0,291
1730,748 71358,187
0,024
Cemara
CASUARINACEAE
8,33
0,031
-3,469
-0,108
61,111 71358,187
0,001
Cocos nucifera
Kelapa
PALMAE
16,67
0,062
-2,776
-0,173
261,111 71358,187
0,004
Ficus benjamina
Beringin
MORACEAE
2,63
0,010
-4,622
-0,045
4,294 71358,187
0,000
Hibiscus tiliaceus
Waru
MALVACEAE
35,44
0,132
-2,022
-0,268
1220,456 71358,187
0,017
Leucaena leucocephalla
Lamtorogung
Paracerianthes falcataria Sengon
ni lon pi ni(ni-1)
N(N-1)
FABACEAE
32,11
0,120
-2,121
-0,254
998,643 71358,187
0,014
MIMOSACEAE
11,84
0,044
-3,118
-0,138
128,393 71358,187
0,002
2,63
0,010
-4,622
-0,045
4,294 71358,187
0,000 0,021
Roystone regia
Palem raja
ARECACEAE
Terminalia cattapa
Ketapang
COMBRETACEAE
39,65
0,148
-1,910
-0,283
1532,404 71358,187
Toona sureni
Suren
MELIACEAE
11,84
0,044
-3,118
-0,138
128,393 71358,187
Jumlah
LN Jumlah Individu Jumlah Spesies Indeks Kekayaan Spesies Indeks Keanekaragaman Jenis (H) λ 1/λ - 1 H
e -1 Indeks Kemerataan (E)
ni(ni-1)/ N(N-1)
267,63
4,905 12,000 2,00 2,242 0,116 7,624 11,127 0,685
-2,242
0,002 0,116
Lampiran 5-144
Indeks Konservasi Masing-masing Spesies Pohon yang Terinventarisir dari Berbagai Areal RTH Kota Bandar Lampung
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Species
Family
Acacia auriculiformis Acacia mangium Aegle marmelos Albizia procera Aleurites moluccana Alstonia scholaris Anacardium occidentale Annona muricata Annona squamosa Areca catechu Arenga pinnata Artocapus communis Artocarpus integra Averhoa bilimbi Bauhinia purpurea Caryophyllus aromaticus Casia siamea Casuarina equisetifolia Casuarina sumatrana Ceiba pentandra Cinnamomum burmanii Cocos nucifera Dalbergia latifolia Delonix regia Durio zibethinus Enterolobium cylocarpum
FABACEAE FABACEAE RUTACEAE MIMOSACEAE EUPHORBIACEAE APOCYNACEAE ANACARDIACEAE ANNONACEAE ANNONACEAE ARECACEAE ARECACEAE MORACEAE MORACEAE OXALIDACEAE LEGUMINOSAE MORACEAE FABACEAE CASUARINACEAE CASUARINACEAE MALVACEAE LAURACEAE PALMAE FABACEAE FABACEAE BOMBACACEAE LEGUMINOSAE
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1
1,0 1,0 1,5 1,5 1,5 2,0 1,5 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 2,0 1,5 1,5 2,0 1,0 1,0 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2,0 1,5
1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,69 0,00 0,69 0,00
0,00 0,00 0,41 0,41 0,41 0,69 0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,41 0,41 0,69 0,00 0,00 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,69 0,41
0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,69 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Indeks Konservasi Tanpa Dengan Pembobotan Pembobotan 0,00 0,000 0,00 0,000 0,27 0,055 0,10 0,020 0,10 0,020 0,35 0,069 0,10 0,020 0,00 0,000 0,00 0,000 0,00 0,000 0,35 0,087 0,00 0,000 0,00 0,000 0,17 0,035 0,10 0,020 0,10 0,020 0,35 0,069 0,17 0,035 0,17 0,035 0,10 0,020 0,27 0,072 0,10 0,020 0,27 0,072 0,10 0,020 0,35 0,087 0,10 0,020
Nilai Konservasi Masing-masing Spesies Pohon yang Terinventarisir dari Berbagai Areal RTH Kota Bandar Lampung 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
Erythrina variegata Eugenia aquaea Eugenia aromatica Ficus benjamina Ficus septica Gmelina arborea Gnetum gnemon Hevea brasiliensis Hibiscus tiliaceus Intsia bijuga Jatropha gossyfolia Lagerstroemia speciosa Lansium domesticum Leucaena glauca Leucaena leucocephala Mangifera indica Melia azedarach Mimusop elengi Morinda citrifolia Nephelium lapaceum Palm Paracerianthes falcataria Parkia speciosa Peronema canescens Persea americana Pithecellobium lobatum Psidium guajava Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum
FABACEAE MYRTACEAE MYRTACEAE MORACEAE MORACEAE VERBENACEAE GNETACEAE EUPHORBIACEAE MALVACEAE FABACEAE EUPHORBIACEAE LYTHRACEAE MELIACEAE FABACEAE FABACEAE ANACARDIACEAE MELIACEAE SAPOTACEAE RUTACEAE SAPINDACEAE PALMAE MIMOSACEAE FABACEAE VERBENACEAE LAURACEAE FABACEAE MYRTACEAE LEGUMINOSAE STERCULIACEAE
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1,5 1,0 1,0 1,0 1,0 1,5 2,0 1,5 1,5 1,5 1,5 2,0 1,5 1,0 1,0 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,69 0,41 0,41 0,41 0,41 0,69 0,41 0,00 0,00 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41
0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Lampiran 5-145 0,10 0,00 0,00 0,00 0,17 0,10 0,17 0,10 0,27 0,10 0,10 0,17 0,10 0,00 0,00 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10
0,020 0,000 0,000 0,000 0,035 0,020 0,035 0,020 0,055 0,020 0,020 0,035 0,020 0,000 0,000 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020 0,020
Nilai Konservasi Masing-masing Spesies Pohon yang Terinventarisir dari Berbagai Areal RTH Kota Bandar Lampung 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Ricinus communis Roystone regia Sesbania grandiflora Spathodea campanulata Spondias pinnata Swietenia macrophylla Tamarindus indica Tectona grandis Terminalia catappa Theobroma cacao Toona sureni
EUPHORBIACEAE ARECACEAE FABACEAE BIGONEACEAE ANACARDIACEAE MELIACEAE FABACEAE VERBENACEAE COMBRETACEAE STERCULIACEAE MELIACEAE
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1,5 1,5 1,5 2,0 1,5 1,5 1,5 1,5 2,0 1,5 1,5
1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,41 0,41 0,41 0,69 0,41 0,41 0,41 0,41 0,69 0,41 0,41
0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00
Lampiran 5-146 0,10 0,10 0,10 0,35 0,10 0,10 0,10 0,10 0,35 0,10 0,10
0,020 0,020 0,020 0,069 0,020 0,020 0,020 0,020 0,069 0,020 0,020
Lampiran 6-147
Perhitungan Nilai Konserasi Masing-masing Komunitas RTH RTH Berbentuk Area (Bukit/Gunung/Hutan Kota) Hutan Kota Way Halim Species
Family
End
Sts
Sft
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
Klr 1
LNEnd 0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Aleurites moluccana
EUPHORBIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Delonix regia
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Erythrina variegata
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Paraserianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spathodea campanulata
BIGONIACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Swietenia macrophylla
MELIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,69
4,22
0,69
8,32
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
LNSts
LNSft
LNKlr
NLN2
8,32
8,32
8,32
8,32
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,08
0,51
0,08
Bobot NR x Bobot
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,02
0,10
0,02
IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LN2
0,04
Bukit Kelutum Species
Family
End
Sts
Sft
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Albizia procera
MIMOSACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Alstonia scholaris
APOCYNACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Artocarpus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Artocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus septica
MORACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paraserianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
0,00
0,00
5,73
2,08
11,78
11,78
11,78
11,78
11,78
0,00
0,00
0,00
0,49
0,18
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,10
0,04
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Klr
LNEnd
LNSts
0,03
LN2
Lampiran 6-148
Gunung Langgar Species Family End Sts RUTACEAE 1 1 Aegle marmelos MIMOSACEAE 1 1 Albizia procera EUPHORBIACEAE 1 1 Aleurites moluccana ANACARDIACEAE 1 1 Anacardium occidentale ANNONACEAE 1 1 Annona squamosa MORACEAE 1 1 Arthocarpus integra FABACEAE 1 1 Casia siamea MALVACEAE 1 1 Ceiba pentandra LAURACEAE 1 2 Cinnamomum burmanii BOMBACACEAE 1 2 Durio zibethinus MYRTACEAE 1 1 Eugenia aquea MYRTACEAE 1 1 Eugenia aromatica MORACEAE 1 1 Ficus septica GNETACEAE 1 1 Gnetum gnemon MELIACEAE 1 1 Lansium domesticum FABACEAE 1 1 Leucaena leucocephala FABACEAE 1 1 Leucanena sp ANACARDIACEAE 1 1 Mangifera indica FABACEAE 1 1 Parkia speciosa VERBENACEAE 1 1 Peronema canescens LAURACEAE 1 1 Persea americana FABACEAE 1 1 Pithecellobium lobatum MYRTACEAE 1 1 Psidium guajava COMBRETACEAE 1 1 Terminalia cattapa VERBENACEAE 1 1 Tectona grandis Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Sft 1,5 1,5 1,5 1,5 1 1 1,5 1,5 1,5 2 1 1 1 2 1,5 1 1 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2 1,5
Klr 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1
LNEnd 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 17,33 0,00 0,3 0
LNSts LNSft 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,41 0,69 0,41 0,69 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,69 0,00 0,41 1,39 8,16 17,33 17,33 0,08 0,47 0,3 0,2 0,024 0,094 0,04
LNKlr 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 2,08 17,33 0,12 0,2 0,024
LN2 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 17,33 0,00
Bukit Sukajawa Spesies
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
LN2
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Nephelium lapaceum
SAPINDACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paraserianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Theobroma cacao
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,69
4,63
0,00
9,01
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2
9,01
9,01
9,01
9,01
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,08
0,51
0,00
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,02
0,10
0
0,03
Lampiran 6-149
Gunung Kucing Spesies
Famili
End
Sts
Sft
Acacia mangium Albizia procera
FABACEAE
1
1
1
MIMOSACEAE
1
1
2
Caryophyllus aromaticus
MORACEAE
1
1
Casia siamea
FABACEAE
1
Erythrina variegata
FABACEAE
Eugenia aquea
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus septica
MORACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paraserianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pithecellobium lobatum
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Ricinus communis
EUPHORBIACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Sesbania grandiflora
FABACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
2
1
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot
LN2
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,00
6,66
0,69
13,86
13,86
13,86
13,86
13,86
0,00
0,00
0,48
0,05
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,10
0,01
NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,03
Total (RTH Kota Berbentuk Area) Spesies
Family
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
LN2 0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Aegle marmelos
RUTACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Albizia procera
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Aleurites moluccana
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Alstonia scholaris
APOCYNACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Anacardium occidentale
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Annona squamosa
ANNONACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Artocarpus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Artocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Caryophyllus aromaticus
MORACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casuarina sumatrana
CASUARINACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cinnamomum burmanii
LAURACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Delonix regia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Lampiran 6-150
Total (RTH Kota Berbentuk Area)(Lanjutan) Erythrina variegata
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus septica
MORACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Lansium domesticum
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Leucanena sp
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Nephelium lapaceum
SAPINDACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paraserianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Peronema canescens
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pithecellobium lobatum
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Ricinus communis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Sesbania grandiflora
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spathodea campanulata
BIGONIACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Theobroma cacao
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
2,77
14,41
3,47
30,50
30,50
30,50
30,50
30,50
0,00
0,09
0,47
0,11
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,03
0,09
0,02
0,04
Lampiran 6-151
Jalur Hijau Jalan Teuku Cikditiro Spesies
Famili
End
Sts
Sft
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
Klr 1
0,00
0,00
0,00
0,00
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Areca catechu
ARECACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Bauhinia purpurea
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,69
4,05
0,00
11,78
11,78
11,78
11,78
11,78
0,00
0,06
0,34
0,00
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,0176
0,069
0
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot
LNEnd
IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LNSts
LN2 0,69
0,02
Laksamana Malahayati Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
LN2
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARACACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
0,00
0,00
2,03
0,00
4,16
NLN2
4,16
4,16
4,16
4,16
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,00
0,49
0,00
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,097
0
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Klr
0,02
Lampiran 6-152
Radin Intan Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
LNEnd
LNSts
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
Klr 1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARACACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
0,00
0,00
0,81
0,00
1,39
NLN2
1,39
1,39
1,39
1,39
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,00
0,58
0,00
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,12
0
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LNSft
LNKlr
LN2
0,03
Sultan Agung Spesies Pohon
Famili
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
End 1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Casuarina sumtrana
CASUARINACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Enterolobium cylocarpum
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Intsia bijuga
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Mimusop elengi
SAPOTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARACACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Theobroma cacao
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,69
5,96
0,69
13,17
13,17
13,17
13,17
13,17
0,00
0,05
0,45
0,05
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LNSts
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,0158
0,091
0,011
0,03
LN2
Lampiran 6-153 Gatot Subroto Spesies Pohon Famili End Sts FABACEAE 1 1 Acacia auriculiformis FABACEAE 1 1 Acacia mangium ARECACEAE 1 1 Areca catechu MORACEAE 1 1 Arthocarpus integra CASUARINACEAE 1 1 Casuarina sumtrana FABACEAE 1 1 Delonix regia MYRTACEAE 1 1 Eugenia aquea MYRTACEAE 1 1 Eugenia aromatica VERBENACEAE 1 1 Gmelina arborea LYTHRACEAE 1 1 Lagerstroemia speciosa FABACEAE 1 1 Leucaena leucocephala ANACARDIACEAE 1 1 Mangifera indica SAPINDACEAE 1 1 Nephelium lapaceum PALMAE 1 1 Palm MIMOSACEAE 1 1 Paracerianthes falcataria FABACEAE 1 1 Parkia speciosa LEGUMINOSAE 1 1 Pterocarpus indicus ANACARDIACEAE 1 1 Spondias pinnata MALVACEAE 1 1 Swietenia macrophylla FABACEAE 1 1 Tamarindus indica VERBENACEAE 1 1 Tectona grandis COMBRETACEAE 1 1 Terminalia cattapa Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Sft 1 1 1 1 1 1,5 1 1 1,5 2 1 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2
Klr 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
LNEnd 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 15,25 0,00 0,3 0
LNSts LNSft 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,69 0,00 6,25 15,25 15,25 0,00 0,41 0,3 0,2 0 0,082 0,03
LNKlr 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 1,39 15,25 0,09 0,2 0,018
LN2 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 15,25
LN2
M. Noer Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Bauhinia purpurea
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Enterolobium cylocarpum
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Hevea brasiliensis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Palm
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Toona sureni
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
1,39
7,06
0,00
12,48
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
12,48
12,48
12,48
12,48
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,11
0,57
0,00
Bobot
0,30
0,30
0,20
0,20
NR x Bobot
0,00
0,03
0,11
0,00
NLN2
IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,04
Lampiran 6-154
Soekarno-Hatta Spesies
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocapus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena glauca
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Morinda citrifolia
RUTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Theobroma cacao
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,00
5,85
0,00
12,48
12,48
12,48
12,48
12,48
0,00
0,00
0,47
0,00
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,094
0
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LN2
0,02
Total (RTH Jalur Hijau Jalan) Spesies Pohon
Famili
End
Sts
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
LN2
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
Sft 1
Klr 1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Areca catechu
ARECACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocapus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Bauhinia purpurea
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casuarina sumtrana
CASUARINACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Dalbergia latifolia
FABACEAE
1
2
1,5
1
0,00
0,69
0,41
0,00
0,69
Delonix regia
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Enterolobium cylocarpum
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Lampiran 6-155 Total (RTH Jalur Hijau Jalan) (Lanjutan) Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Gmelina arborea
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Hevea brasiliensis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Intsia bijuga
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena glauca
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Mimusop elengi
SAPOTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Morinda citrifolia
RUTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Nephelium lapaceum
SAPINDACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Palm
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Psidium guajava
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARACACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Swietenia macrophylla
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tamarindus indica
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Theobroma cacao
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Toona sureni
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
1,39
14,53
1,39
30,50
30,50
30,50
30,50
30,50
0,00
0,05
0,48
0,05
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,0136
0,095
0,009
0,03
Lampiran 6-156
Jalur Hijau Sungai Way Halim Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Aegle marmelos
RUTACEAE
Annona muricata
ANNONACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Areca catechu
ARECACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Averhoa bilimbi
OXALIDACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Bauhinia purpurea
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Hevea brasiliensis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Morinda citrifolia
RUTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARECACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tamarindus indica
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
0,00
0,00
8,85
2,08
18,02
18,02
18,02
18,02
18,02
0,00
0,00
0,49
0,12
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,10
0,02
1
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
1
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,03
LN2 0,69
Lampiran 6-157
Way Kuripan Spesies Pohon
Famili
End
Sts
FABACEAE 1 1 Acacia auriculiformis ANNONACEAE 1 1 Annona muricata MORACEAE 1 1 Arthocarpus communis MORACEAE 1 1 Arthocarpus integra PALMAE 1 1 Cocos nucifera MYRTACEAE 1 1 Eugenia aquea MYRTACEAE 1 1 Eugenia aromatica EUPHORBIACEAE 1 1 Hevea brasiliensis MALVACEAE 1 1 Hibiscus tiliaceus FABACEAE 1 1 Leucaena leucocephala ANACARDIACEAE 1 1 Mangifera indica RUTACEAE 1 1 Morinda citrifolia LAURACEAE 1 1 Persea americana ANACARDIACEAE 1 1 Spondias pinnata COMBRETACEAE 1 1 Terminalia cattapa Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Sft
Klr
1 1 1 1 1,5 1 1 1,5 1,5 1 1,5 1,5 1,5 1,5 2
1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2
LNEnd 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,40 0,00 0,3 0
LNSts
LNSft
LNKlr
LN2
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,00 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,41 0,00 0,69 0,00 3,53 10,40 10,40 0,00 0,34 0,3 0,2 0 0,07 0,02
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,69 1,39 10,40 0,13 0,2 0,03
0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 0,69 10,40
Way Sukoharjo Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
Acacia auriculiformis Annona squamosa
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
FABACEAE
1
1
1
ANNONACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Areca catechu
ARECACEAE
1
1
Arenga pinnata
ARECACEAE
1
2
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
1
2
0,00
0,69
0,00
0,69
Arthocarpus communis
MORACEAE
1
0,69
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
Arthocarpus integra
MORACEAE
0,69
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
Ceiba pentandra
MALVACEAE
0,69
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
Gmelina arborea
VERBENACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
0,69
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Hevea brasiliensis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Morinda citrifolia
RUTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tamarindus indica
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
0,00
0,69
6,54
2,08
15,94
15,94
15,94
15,94
15,94
0,00
0,04
0,41
0,13
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,013
0,082
0,026
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
Klr
0,03
LN2
Lampiran 6-158
Way Simpur Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arenga pinnata
ARECACEAE
1
Arthocarpus communis
MORACEAE
1
2
1
2
0,00
0,69
0,00
0,69
0,69
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Casia siamea
CAESALPINIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Melia azedarach
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Nephelium lapaceum
SAPINDACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Palm
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69 13,17
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i NLN2 Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2 Bobot
LNSft
LNKlr
LN2
0,00
1,39
6,95
2,08
13,17
13,17
13,17
13,17
0,00
0,11
0,53
0,16
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,03
0,11
0,03
NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,04
Total (RTH Jalur Hijau Sungai) Spesies Pohon
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
Acacia auriculiformis Aegle marmelos Annona muricata
FABACEAE
1
RUTACEAE ANNONACEAE
1 1
Annona squamosa
ANNONACEAE
Areca catechu Arenga pinnata
LNKlr
LN2
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
1 1
1,5 1
2 1
0,00 0,00
0,00 0,00
0,41 0,00
0,69 0,00
0,69 0,69
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
ARECACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
ARECACEAE
1
2
1
2
0,00
0,69
0,00
0,69
0,69
Arthocarpus communis
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Arthocarpus integra
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Averhoa bilimbi
OXALIDACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Bauhinia purpurea
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Casia siamea
CAESALPINIACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Ceiba pentandra
MALVACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Durio zibethinus
BOMBACACEAE
1
2
2
1
0,00
0,69
0,69
0,00
0,69
Eugenia aquea
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Eugenia aromatica
MYRTACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Lampiran 6-159 Gmelina arborea
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Gnetum gnemon
GNETACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Hevea brasiliensis
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Jatropha gossyfolia
EUPHORBIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Lagerstroemia speciosa
LYTHRACEAE
1
1
2
1
0,00
0,00
0,69
0,00
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Mangifera indica
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Melia azedarach
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Morinda citrifolia
RUTACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Nephelium lapaceum
SAPINDACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Palm
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Parkia speciosa
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Persea americana
LAURACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterocarpus indicus
LEGUMINOSAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Pterospermum javanicum
STERCULIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARECACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Spondias pinnata
ANACARDIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tamarindus indica
FABACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Tectona grandis
VERBENACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69 27,03
NR Bobot
0,00
1,39
13,08
3,47
27,03
27,03
27,03
27,03
0,00
0,05
0,48
0,13
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0,02
0,10
0,03
NRxBobot IK
0,03
Jalur Hijau Pantai Lempasing Nama Ilmiah
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARECACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Toona sureni
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
0,00
0,00
3,01
2,08
6,93
NLN2
6,93
6,93
6,93
6,93
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,00
0,43
0,30
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,087
0,06
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,04
LN2
Lampiran 6-160
Panjang Nama Ilmiah
Famili
End
Sts
Sft
Klr
Acacia auriculiformis Casuarina equisetifolia
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
CASUARINACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
0,00
0,41
0,69
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
0,00
0,00
1,50
2,08
4,16
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
NLN2
4,16
4,16
4,16
4,16
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,00
0,36
0,50
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,072
0,1
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
LN2
0,04
Total (Jalur Hijau Pantai) Nama Ilmiah
Famili
End
Sts
Sft
Klr
LNEnd
LNSts
LNSft
LNKlr
LN2
Acacia auriculiformis
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Acacia mangium
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Casia siamea
FABACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Casuarina equisetifolia
CASUARINACEAE
1
1
1
2
0,00
0,00
0,00
0,69
0,69
Cocos nucifera
PALMAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Ficus benjamina
MORACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Hibiscus tiliaceus
MALVACEAE
1
1
1,5
2
0,00
0,00
0,41
0,69
0,69
Leucaena leucocephala
FABACEAE
1
1
1
1
0,00
0,00
0,00
0,00
0,69
Paracerianthes falcataria
MIMOSACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Roystone regia
ARECACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Terminalia cattapa
COMBRETACEAE
1
1
2
2
0,00
0,00
0,69
0,69
0,69
Toona sureni
MELIACEAE
1
1
1,5
1
0,00
0,00
0,41
0,00
0,69
Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)i
0,00
0,00
3,41
2,77
8,32
NLN2
8,32
8,32
8,32
8,32
Nilai Relatif (NR) = Jumlah LN (End, Sts, Sft, dan Klr)I / NLN2
0,00
0,00
0,41
0,33
0,3
0,3
0,2
0,2
0
0
0,082
0,067
Bobot NR x Bobot IK = (NREnd + NRSts + NRSft + NR Klr)/4
0,04
Lampiran 7-161 Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies Pohon di Hutan Kota Spesies
Nama Lokal
KR
FR
DR
INP
Delonix regia Tectona grandis Gnetum gnemon Albizia procera Sesbania grandiflora Leucaena leucocephala Arthocarpus integra Casia siamea Acacia auriculiformis Ceiba pentandra Mangifera indica Durio zibethinus Lansium domesticum Spathodea campanulata Ficus septica Swietenia macrophylla Lagerstroemia speciosa Peronema canescens Parkia speciosa Eugenia aromatica Erythrina variegata Acacia mangium Leucaena glauca Aleurites moluccana Jatropha gossyfolia Persea americana Pterospermum javanicum Psidium guajava Eugenia aquaea Anacardium occidentale Dalbergia latifolia Annona squamosa Aegle marmelos Paraseriantes falcataria
Flamboyan Jati Tangkil Weru Turi Lamtorogung Nangka Johar Akasia Kapuk Randu Mangga Durian Duku Tulip Kiciat Mahoni Bungur Sungkai Petai Cengkeh Dadap Mangium Petai Cina Kemiri Jarak Alpukat Bayur Jambu Biji Jambu Air Jambu Mete Sonokeling Srikaya Maja Sengon
1,65 18,56 14,64 2,89 5,15 2,47 5,15 8,66 3,30 1,03 1,44 1,44 0,62 0,82 5,77 1,03 2,68 0,21 0,82 2,06 4,74 0,82 0,21 3,92 0,62 1,03 5,77 1,24 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 100,00
1,54 6,15 6,15 3,08 1,54 3,08 4,62 4,62 3,08 3,08 4,62 3,08 1,54 1,54 4,62 1,54 1,54 1,54 6,15 6,15 3,08 3,08 1,54 3,08 1,54 4,62 1,54 3,08 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 100,00
14,92 12,83 9,29 8,53 7,77 6,95 6,60 5,56 2,78 2,77 2,56 2,53 2,32 2,07 1,70 1,56 1,42 1,26 1,25 1,18 1,07 0,82 0,67 0,61 0,39 0,35 0,07 0,05 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 100,00
18,11 37,54 30,08 14,50 14,47 12,50 16,37 18,84 9,15 6,88 8,61 7,05 4,48 4,43 12,09 4,13 5,64 3,01 8,23 9,40 8,88 4,72 2,41 7,61 2,54 6,00 7,38 4,37 1,78 1,77 1,76 1,76 1,76 1,75 300,00
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha) Seluruh RataPohon rata per pohon 125,444 15,681 107,858 1,198 78,064 1,099 71,730 5,124 65,344 2,614 58,425 4,869 55,468 2,219 46,767 1,113 23,360 1,460 23,282 4,656 21,486 3,069 21,300 3,043 19,522 6,507 17,383 4,346 14,279 0,510 13,094 2,619 11,937 0,918 10,623 10,623 10,521 2,630 9,939 0,994 8,955 0,389 6,859 1,715 5,625 5,625 5,155 0,271 3,248 1,083 2,984 0,597 0,614 0,022 0,429 0,071 0,272 0,272 0,195 0,195 0,167 0,167 0,120 0,120 0,106 0,106 0,068 0,068 840,625 85,995
Lampiran 7-162 Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies Pohon di Jalur Hijau Jalan Nama Ilmiah
Nama Daerah
KR
FR
DR
INP
Pterocarpus indicus Roystone regia Delonix regia Acacia auriculiformis Leucaena leucocphala Swietenia macrophylla Spondias pinnata Dalbergia latifolia Tectona grandis Jatropha gossyfolia Paraserianthes falcataria Palm Cocos nucifera Acacia mangium Enterolobium cylocarpum Durio zibethinus Arthocarpus integra Ficus benjamina Mangifera spp Ceiba pentandra Lagerstroemia speciosa Pterospermum javanicum Bauhinia purpurea Eugenia aquea Arthocarpus heterophillus Psidium guajava Perkia speciosa Nephelium lapaceum Hevea brasiliensis Terminalia cattapa Casuarina sumatrana Intsia bijuga Mimusop elengi Tamarindus indica Gnetum gnemon Gmelina arborea Theobroma cacao Casia siamea Toona sureni Persea americana Leucaena glauca Morinda citrifolia Areca catechu Eugenia aromatica
Angsana Palm raja Flamboyan Akasia Lamtorogung Mahoni besar Kedondong Sonokeling Jati Jarak cina Sengon putih Palm Kelapa Akasia mangium Sengon buto Durian Nangka Beringin Mangga Kapuk randu Bungur Bayur Kupu-kupu Jambu air Sukun Jambu biji Petai Rambutan Karet Ketapang Cemara Merbau Tanjung Asam Tangkil Wareng Cokelat Johar Suren Alpukat Petai cina Mengkudu Pinang Cengkeh
18,96 5,47 1,87 6,01 7,34 8,68 3,60 6,81 4,94 1,87 1,87 1,07 1,34 1,34 0,93 0,27 1,74 0,40 0,93 0,53 1,87 5,34 2,27 0,40 0,53 0,93 0,53 0,13 0,40 0,13 1,74 2,94 0,80 0,27 0,40 0,13 0,53 1,74 1,07 0,13 0,40 0,40 0,80 0,13 100,00
7,00 3,00 1,00 5,00 5,00 6,00 2,00 3,00 5,00 4,00 2,00 2,00 2,00 4,00 2,00 1,00 1,00 2,00 4,00 1,00 4,00 3,00 2,00 2,00 1,00 2,00 3,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 100,00
24,04 22,42 20,37 4,94 4,79 3,52 3,13 2,68 2,53 1,58 1,41 1,11 0,78 0,75 0,72 0,72 0,68 0,53 0,48 0,43 0,35 0,32 0,30 0,21 0,17 0,16 0,12 0,12 0,11 0,10 0,08 0,06 0,06 0,05 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,00 100,00
49,99 30,89 23,24 15,95 17,13 18,20 8,73 12,49 12,47 7,45 5,28 4,18 4,12 6,08 3,66 1,98 3,42 2,93 5,41 1,97 6,22 8,66 4,57 2,61 1,70 3,09 3,65 1,25 1,51 1,23 3,81 4,00 1,86 1,32 1,44 1,16 2,55 3,76 2,09 1,15 1,41 1,41 2,81 1,14 300,00
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha) Seluruh RataPohon rata per pohon 173,803 24,829 162,084 23,155 147,323 21,046 35,754 5,108 34,612 4,945 25,462 3,637 22,611 3,230 19,405 2,772 18,267 2,610 11,437 1,634 10,206 1,458 8,032 1,147 5,674 0,811 5,415 0,774 5,231 0,747 5,184 0,741 4,943 0,706 3,837 0,548 3,470 0,496 3,123 0,446 2,541 0,363 2,316 0,331 2,202 0,315 1,549 0,221 1,223 0,175 1,149 0,164 0,851 0,122 0,841 0,120 0,789 0,113 0,704 0,101 0,546 0,078 0,452 0,065 0,418 0,060 0,384 0,055 0,252 0,036 0,188 0,027 0,151 0,022 0,143 0,020 0,125 0,018 0,125 0,018 0,088 0,013 0,082 0,012 0,073 0,010 0,031 0,004 723,097 103,300
Lampiran 7-163 Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies Pohon di Jalur Hijau Sungai Nama Ilmiah
Nama Daerah
Cocos nucifera Ceiba pentandra Gnetum gnemon Spondias pinnata Jatropha gossyfolia Mangifera indica Arenga pinnata Pterocarpus indicus Areca catuchu Arthocarpus integra Terminalia cattapa Hibiscus tiliaceus Roystone regia Acacia auriculiformis Eugenia aromatica Lagerstroemia speciosa Hevea brasiliensis Gmelina arborea Eugenia aquea Arthocarpus heterophillus Durio zibethinus Persea americana Morinda citrifolia Bauhinia purpurea Leucaena leucocephala Annona muricata Tectona grandis Nephelium lapaceum Perkia speciosa Ficus benjamina Tamarindus indica Aegle marmelos Paracerianthes falcataria Casia siamea Melia azedarach Annona squamosa Averhoa bilimbi
Kelapa Randu Tangkil Kedondong Jarak cina Mangga Enau Angsana Pinang Nangka Ketapang Waru laut Palm botol Akasia Cengkeh Bungur Karet Wareng Jambu air Sukun Durian Alpukat Mengkudu Kupu-kupu Lamtorogung Sirsak Jati Rambutan Petai Beringin Asam Maja Sengon Johar Mindi Srikaya Belimbing
KR
31,94 0,60 8,93 6,15 0,60 5,75 1,59 3,17 1,79 3,97 2,58 7,74 3,37 0,99 1,59 1,39 2,78 0,40 0,99 3,37 0,40 0,79 0,60 2,18 1,59 0,79 0,79 0,20 0,79 0,20 0,40 0,20 0,40 0,40 0,20 0,20 0,20 100,00
FR
DR
INP
4,71 2,35 3,53 3,53 2,35 4,71 3,53 3,53 2,35 4,71 4,71 4,71 2,35 3,53 2,35 4,71 3,53 1,18 3,53 4,71 1,18 2,35 3,53 1,18 3,53 2,35 2,35 1,18 1,18 1,18 2,35 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 1,18 100,00
41,28 15,23 11,70 5,68 5,51 4,02 2,08 1,85 1,79 1,57 1,11 1,10 0,85 0,84 0,80 0,72 0,63 0,60 0,41 0,39 0,28 0,22 0,22 0,17 0,13 0,13 0,13 0,11 0,11 0,09 0,07 0,05 0,05 0,05 0,02 0,01 0,01 100,00
77,93 18,18 24,16 15,36 8,46 14,48 7,19 8,56 5,93 10,24 8,40 13,55 6,57 5,36 4,74 6,82 6,94 2,17 4,93 8,47 1,85 3,37 4,34 3,53 5,25 3,27 3,27 1,49 2,08 1,46 2,82 1,43 1,63 1,62 1,39 1,38 1,38 300,00
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha) Seluruh Rata-rata Pohon per pohon 265,819 1,651 98,047 32,682 75,348 1,674 36,585 1,180 35,462 11,821 25,865 0,892 13,371 1,671 11,927 0,745 11,540 1,282 10,083 0,504 7,158 0,551 7,091 0,182 5,441 0,320 5,405 1,081 5,166 0,646 4,658 0,665 4,056 0,290 3,853 1,926 2,623 0,525 2,516 0,148 1,786 0,893 1,420 0,355 1,397 0,466 1,114 0,101 0,855 0,107 0,818 0,204 0,816 0,204 0,738 0,738 0,687 0,172 0,569 0,569 0,444 0,222 0,349 0,349 0,348 0,174 0,310 0,155 0,111 0,111 0,061 0,061 0,047 0,047 643,885 65,365
Lampiran 7-164 Indeks Nilai Penting dan Jumlah Karbon Tersimpan pada Masing-masing Spesies Pohon di Jalur Hijau Pantai Nama Ilmiah
Nama Daerah
KR
FR
DR
INP
Jumlah Karbon Tersimpan (ton/ha) Seluruh Rata-rata Pohon per pohon 55,864 27,932
Cocos nucifera
Kelapa
5,29
6,25
48,22
59,76
Acacia auriculiformis
Akasia
7,41
12,50
16,05
35,95
18,591
9,295
Terminalia cattapa
Ketapang
14,81
12,50
13,25
40,56
15,346
7,673
Hibiscus tiliaceus
Waru laut
12,70
12,50
9,34
34,54
10,826
5,413
Leucaena leucocephalla
Lamtorogung
11,64
12,50
6,15
30,29
7,128
3,564
Acacia mangium
Akasia mangium
16,93
6,25
2,59
25,78
3,006
1,503
Casia siamea
Johar
16,93
6,25
1,32
24,50
1,526
0,763
Toona sureni
Suren
4,76
6,25
1,27
12,28
1,469
0,734
Casuarina equisetifolia
Cemara laut
2,65
6,25
1,25
10,14
1,444
0,722
Paracerianthes falcataria
Sengon
4,76
6,25
0,24
11,25
0,278
0,139
Ficus benjamina
Beringin
1,06
6,25
0,21
7,52
0,243
0,121
Roystone regia
Palm botol
1,06
6,25
0,12
7,43
0,137
0,068
100,00
100,00
100,00
300,00
115,856
57,928