KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF Friday, 08 May 2009 04:33
“Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia ” ( Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr) I
Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-Sulawesi
Selatan dalam sharing ini. Saya kira tujuan utama sharing ini ialah kita ingin saling memperkaya satu dengan yang lain dari perspektif yang berbeda-beda untuk mewujudkan masyarakat Sulawesi Selatan menja di masyarakat komunikatif dan dialogis yang menghargai perbedaan aspirasi dan kepentingan di antara kita sebagai sesama warga masyarakat di Sulawesi Selatan. Saya kira itulah yang dimaksudkan oleh topik panel yang diberi judul: “ Reaktualisasi Nilai-nilai Agama dan Budaya dalam Proses Transformasi Masyarakat: Membincang Masalah Aktual Keberagamaan dan Akar Konflik ” (lihat jadwal kegiatan, Rabu, 25 Agustus 2004). Dalam sharing ini saya akan memberi fokus pada aspek agama, sekalipun tidak dapat dipisahkannya dari aspek budaya. Panelis lain lebih pantas membagikan perspektifnya tentang aspek budaya. Kalau saya menafsirkan topik panel ini, maka saya melihat ada asumsi tertentu di belakang topik ini. Asumsi itu ialah bahwa berbagai konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat kita beberapa tahun terakhir ini mempunyai kaitan (kalau bukan mempunyai korelasi-kausal-simetris? ) dengan keberagamaan umat beragama di Indonesia. Diduga tidak sejalannya nilai-nilai agama dengan hidup keagamaan para penganutnya. Di satu pihak saya mengaminkan asumsi itu, namun di pihak lain saya mempunyai pendapat yang berbeda. Karena itu, dalam sharing ini, saya ingin mengajukan pokok-pokok pikiran berikut ini.
II
Apabila ditelaah secara kritis berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan dalam masyarakat manapun( termasuk di Indonesia), baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama maupun konflik umat beragama dengan golongan
1/5
KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF Friday, 08 May 2009 04:33
masyarakat sekuler, maka hal itu tidak semata-mata karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat. Seolah-olah nilai-nilai agama, seperti keadilan, kebenaran, perdamaian dan persaudaraan, adalah nilai-nilai yang tidak dapat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan tertentu. Dan karena itu apabila nilai-nilai itu diterapkan oleh para penganut agama maka dengan sendirinya tidak akan ada masalah sosial dalam kehidupan bersama. Saya kira pandangan seperti ini hanya dapat dibenarkan dalam masyarakat homogen, baik dari segi identitas kultural dan religius maupun aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik. Akan tetapi, dalam masyarakat heterogen seperti di Indonesia, pandangan seperti itu hanya akan mendorong proses homogenisasi penghayatan nilai yang bersifat dipaksakan. Dalam hal ini ada bahaya--- apa yang oleh Pierre Bourdieu---sebut: kekerasan simbolik atau oleh Don Cupitt disebut: rejim kebenaran!!
Memang benar bahwa nilai-nilai agama itu dalam dirinya sendiri adalah pesan-pesan moral dan etis yang bersifat netral. Akan tetapi, setiap nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umatnya tidak lagi bersifat netral. Nilai itu sudah sangat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan penganutnya. Sebab nilai-nilai itu dalam penghayatan hidup keberagamaan umat telah menjadi nilai-nilai yang bersifat interpretatif. Penghayatan nilai keadilan dan kebenaran, misalnya, tidak akan lagi netral ketika nilai itu dihubungkan dengan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik dua golongan yang berbeda dalam masyarakat. Di sini biasanya pintu masuk bagi para demagog politik dan rohani --- yang dengan agak malu-malu--- sebenarnya menerapkan logika pertentangan kelas a la marxisme ideologis (beda dari marxis-ilmiah) untuk mencapai kepentingan mereka.
Saya melihat bahwa baik demagog politik maupun demagog rohani mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana dapat merebut “jiwa rakyat” untuk menjadi anggota kelompoknya demi keuntungan sang demagog itu sendiri. Mereka juga mempunyai watak yang sama, yaitu cara berpikir ideologis dan tidak tahan melihat perbedaan dalam masyarakat. Dan karena itu mereka sebenarnya anti-kemanusiaan dan pembunuh jiwa-jiwa kreatif dan dialogis dalam masyarakat. Saya kira---dalam situasi seperti ini--- sulitlah kita mengikuti anjuran beberapa kalangan agar kita perlu memisahkan antara “habitat agama” dari “habitat politik”. Karena bukan saja kekuasaan politik yang dapat mengkorup martabat manusia, melainkan kekuasaan agama pun tidak kalah dasyatnya daya korupnya!! Kita tidak perlu memisahkan “agama” dan “politik” sebagai “dua habitat yang saling bertolak belakang”. Karena baik “habitat agama” maupun “habitat politik” sama-sama diperlukan oleh manusia untuk bertumbuh ke arah kehidupannya yang lebih manusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai imago Dei dalam praktik hidupnya, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial (bdk. Kej. 1: 26-27). Dalam kaitan ini, kita tidak lagi melihat “wilayah kekuasaan agama” dan “kekuasaan politik” secara antisesis dan bermusuhan, tetapi juga bukan membangun “koalisi yang murahan” yang mengabaikan harkat dan martabat manusia, yang dalam idiom masyarakat Bugis-Makassar disebut
2/5
KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF Friday, 08 May 2009 04:33
Siri ’ itu!! Saya berpendapat baik kekuasaan agama maupun kekuasaan politik haruslah menjadi kekuasaan yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai imago Dei tadi. Dalam pengertian seperti inilah kedua habitat yang berbeda itu----- “habitat agama” dan “habitat politik” ----- harus dilihat sebagai karunia Allah bagi manusia untuk memekarkan dirinya menjadi manusia berkeadaban secara sosial ekonomi, budaya dan politik.
III
Di sini saya lihat bahwa tidak adanya peranan transformatif agama-agama dalam masyarakat seperti sering dikeluhkan oleh banyak kalangan bukan karena tidak berfungsinya nilai-nilai agama , melainkan lebih pada cara bagaimana nilai-nilai agama itu berfungsi dalam masyarakat. Nilai keadilan dan kebenarannya, misalnya, dapat berfungsi secara ideologis yang membuat para penganut nilai itu hidup dalam kesadaran palsu. Pada tataran ini kedua nilai yang dalam dirinya mengandung pesan moral dan etis yang dapat memotivasi seseorang hidup sebagai pribadi yang berkeadaban dan membangun masyarakat yang berkeadaban kehilangan fungsi transformatif. Yang terjadi ialah fungsi-ideologis, yaitu berfungsi sebagai “kaca mata hitam” yang membuat individu-individu dalam masyarakat melihat realitas sosial secara samar-samar! Dan lebih celaka lagi nilai itu kemudian menjadi “gumpalan-gumpalan hidrogen” yang membahayakan “mata sosial” individu-individu dalam masyarakat. Jadi, nilai tadi justru membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi buta dan tidak sanggup lagi melihat realitas sosial yang sesungguhnya. Di sini agama tidak lagi memainkan peranannya sebagai kekuatan sosial yang bersifat transformatif. Sebaliknya, agama berberan sebagai penghambat dinamika sosial dan pembunuh kreativitas masyarakat! Peranan agama seperti inilah yang sangat dikritik oleh Yesus. Dalam kritik Yesus yang pedas sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius (lihat Matius 23) kita membaca bahwa agama dan hukum-hukum agama haruslah melayani kemanusiaan, dan tidak boleh mengorbankan manusia atas nama agama dan hukum-hukum agama (baca: nilai-nilai agama yang baku dan kaku).
IV
3/5
KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF Friday, 08 May 2009 04:33
Karena itu, ketika kita menghendaki kehidupan keberagaman kita menjadi kehidupan keberagamaan transformatif dalam masyarakat maka kita perlu memiliki keberaniaan untuk terus menerus mempersoalkan model penghayatan hidup keberagamaan kita. Kita tidak boleh puas dengan model penghayatan hidup keberagamaan yang telah ada. Sebab boleh jadi apa yang kita anggap sebagai model penghayatan hidup keberagamaan transformatif itu untuk konteks sosial ekonomi dan politik tertentu, dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang lain tidak lagi transformatif. Malahan model penghayatan hidup keberagamaan itu telah menjadi sangat represif. Saya ingin memberi contoh di sini. Saya kira kita semua masih memiliki ingatan yang segar tentang bagaimana peranan agama-agama di Indonesia selama Orde Baru. Seperti kita tahu bahwa harapan untuk mengikutsertakan agama-agama dalam rencana-rencana pembangunan nasional waktu itu ialah agar agama-agama dapat mendorong proses transformasi sosial, baik secara ekonomi maupun politik, agar Indonesia pasca Orde Lama boleh menjadi Negara yang demokratis, adil secara politik dan berkecukupan secara ekonomi. Tetapi apa yang kita lihat ialah agama-agama justru kehilangan fungsi transformatif itu dan menjadi legitimator kepentingan kelompok kecil yang mendominasi kekuasaan ekonomi dan politik! Saya kira, baiklah kita belajar dari sejarah itu, sehingga kita tidak saling mempersalahkan pada kemudiaan hari seperti sekarang ini!
Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang memelihara tradisi kritis atau dalam idiom Biblikal disebut tradisi profetik!! Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, seperti telah disinggung di atas, bahwa nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan status quo nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku dan ideologis, sifatnya. Model keberagamaan transformatif adalah model keberagamaan yang jauh dari model keberagamaan “retorika-profetik” atau “verbalisme-profetik”. Ia merupakan kesadaran religius atau kesadaran hidup meng-agama yang lahir dari pelayanan liturgis berdimensi ganda, yaitu : mengabdi kepada Allah dan kemanusiaan !! Jadi, keberagamaan transformatif dalam semangat tardisi profetik adalah model keberagamaan yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan!! Itu berarti bahwa nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif dalam penghayatan umat beragama selalu harus diuji oleh sejauh mana penghayatan itu mendorong seseorang menjadi pribadi yang berkeadaban ( civilized-person ) dan mendorong berkembangnya masyarakat yang berkeadaban ( civilized-society ). Singkat kata, model keberagamaan transformatif dalam semangat tradisi profetik adalah model keberagamaan yang memuliakan Allah dengan mengabdi kepada kemanusiaan yang konkret, bukan
4/5
KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF Friday, 08 May 2009 04:33
kemanusiaan yang abstrak secara ideologis.
V
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya sumbangkan dalam panel ini. Kiranya hal itu akan merangsang kita bersama melakukan otokritik terhadap model penghayatan hidup keberagamaan kita selama ini dan memikir kan model penghayatan keberagamaan yang lebih memampukan kita saling menghargai satu dengan yang lain sehingga kita mampu mewujudkan harkat dan martabat kemanusiaan kita --yang dalam idiom Kristiani disebut---menjadi manusia gambar Allah ( imago Dei ; bdk. Kej. 1: 26-27).Akhirnya, izinkalah saya menutup sumbangan pemikiran ini dengan penghayatan iman Kristiani sebagaimana dirumuskan dalam motto STT INTIM Makassar: In Christo Lux Mundi Crescit !! Semoga!! Sekian dan terima kasih!! Makassar, 25 Agustsus 2004. (Pdt. Dr. Julianus Mojau/Dosen STT INTIM Makassar).
Source: www.oaseonline.org
5/5