Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran Dahlan* Abstrak Lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah telah mampu memberikan kontribusi cukup besar bagi pendidikan anak bangsa dalam memantapkan iman, mengembangkan ilmu, amal dan moral yang luhur, sebagai cerminan masyarakat yang damai sejahtera, mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluasan pengetahuan, keluhuran akhlak dan kematangan profesional, memberikan pelayanan yang optimal terhadap pencinta dan penggali ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman, memberikan ketauladanan dalam kehidupan berdasarkan nilai-nilai Islami dan budaya luhur bangsa Indonesia, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengkajian dan kajian ilmiah dengan berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman. Kesadaran beribadah melalui pendidikan merupakan potensi dan kekuatan pesantren, dalam arti rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) masyarakat yang sangat tinggi terhadap pesantren. Kata kunci: proses, pembelajaran, ibadah, motif A. Pendahuluan Pendidikan merupakan suatu kegiatan pembelajaran sepanjang hayat untuk mengembangkan potensi/fitrah peserta didik ke tingkat yang optimal sampai hasilnya terefleksikan dalam perilaku mereka, baik perilaku kognitif, afektif, maupun psikomotor, sehingga terjadi perubahan cara dan tingkat berpikir, dapat mengetahui, mengingat, memahami sampai kepada kemampuan mengevaluasi dan kreasi. Artinya, pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan ketiga ranah tersebut sehingga berkembang menjadi satu kesatuan yang integratif seperti terwujud dalam kepribadian peserta didik. Fungsi pendidikan adalah untuk membuka rahasia potensi-potensi yang tersembunyi pada setiap peserta didik untuk dioptimalkan pengembangannya. Sebab, setiap peserta didik mempunyai kesiapan dan kemampuan pisik, psikis dan intelektual yang berbeda satu sama lainnya. Ide ini ditemukan dalam firman Allah s.w.t. (Q.S. Al-Ruum: 30) dan hadis yang menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang perlu pembiasaan dan keteladanan di lingkungan rumah tangga, di *
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kerinci.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
770
sekolah dan masyarakat. Hasan Langgulung merekomendasikan perlunya fitrah itu dioptimalkan pengembangannya, baik melalui pembiasaan, pembelajaran maupun keteladanan agar dapat mendekati sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 buah dengan nama-nama yang indah (al-Asma alHusna). Upaya optimalisasi potensi itu melalui pendidikan yang mengembangkan fitrah manusia disebut ibadah. Selain itu, Tuhan memiliki kekuasaan, yang mengamanatkan agar manusia memanfaatkan potensi itu agar mampu berperan sebagai khalifah di atas bumi.1 Pada awalnya, masyarakat meyakini keadaan di atas, yaitu pendidikan di sekolah sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk membentuk generasi muda berwawasan nasional yang kuat, agar terlahir pelaku-pelaku pembangunan yang diinginkan. Tetapi pada akhir-akhir ini, kesan tersebut mulai bergeser, karena ada indikasi bahwa pendidikan kurang fokus pada pengembangan fitrah peserta didik sehingga tidak berhasil meningkatkan kualitas kehidupan manusia, tetapi lebih fokus pada pengajaran aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara terpisah-pisah dalam pengembangan dan pengintegrasian tersebut melalui proses pembelajaran. Pendidikan masih tertuju pada tingkat keterampilan dan kemampuan intelektual saja, sedangkan aspek afektif seperti moralitas, kejujuran, kebersihan hati kurang mendapat perhatian yang serius. Padahal krisis yang dialami Indonesia sekarang merupakan bagian dari krisis moral sumber daya manusia yang apabila dibiarkan terus berlanjut bangsa ini akan menjadi lebih terpuruk lagi dan akan menjadi bangsa yang terbelakang. Pendidikan, dengan proses pembelajaran sebagai intinya perlu dijadikan sebagai suatu sistem yang teratur dan mengemban misi yang cukup luas, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan atau keimanan. Untuk mencapai hal itu, upaya sistem yang kolaboratif dan sistematis melalui tiga jalur pendidikan, yaitu informal, formal, dan nonformal perlu diusahakan terus menerus. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap orang karena seorang anak akan menerima pengaruh terbesar dan terlebih dahulu dalam keluarganya. Sekolah merupakan tempat pendidikan kedua karena pendidikan di sekolah dirancang secara sistematik dan sistemik agar efektif. Tempat pendidikan ketiga yaitu masyarakat, pengaruh masyarakat terjadi karena banyak waktu digunakan anak bergaul di lingkungannya. Kenyataannya, ketiga tempat tersebut tidak 1Hasan
Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1991), p. 361. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
771
dapat dipisahkan, karena anak mendapat pengaruh sekaligus dari ketiga lingkungan ini. Tetapi, peran sekolah melebihi peran keluarga dan masyarakat, sebab, perencanaan yang sistematis, ataupun karena nilai yang ada pada keluarga dan masyarakat telah diadopsi ke kurikulum sekolah. Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), Pemerintah bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan yang dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dengan demikian, pendidikan harus diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi-makna (UU-SPN pasal 4 ayat 1 dan 2). Selanjutnya, pasal 30 dijelaskan: ”pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama”. Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi pula dinamika perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dengan diakuinya secara resmi pendidikan Islam itu dalam sistem pendidikan nasional, baik sebagai lembaga, sebagai mata pelajaran dan nilai-nilai (values). Berdasarkan itu, lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah telah mampu memberikan kontribusi cukup besar bagi pendidikan anak bangsa dalam memantapkan iman, mengembangkan ilmu, amal dan moral yang luhur, sebagai cerminan masyarakat yang damai sejahtera, mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemantapan akidah, kedalaman spiritual, keluasan pengetahuan, keluhuran akhlak dan kematangan profesional, memberikan pelayanan yang optimal terhadap pencinta dan penggali ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu keislaman, memberikan ketauladanan dalam kehidupan berdasarkan nilai-nilai Islami dan budaya luhur bangsa Indonesia, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengkajian dan kajian ilmiah dengan berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman. Kesadaran beribadah melalui pendidikan ini, di satu sisi merupakan potensi dan kekuatan pesantren, dalam arti rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggungjawab (sense of responsibility) masyarakat yang sangat tinggi terhadap pesantren karena merekalah yang berswasembada mendirikan pesantren itu. Hal inilah yang menjadi faktor penting atas kelangsungan hidup pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan yang populis, dan mandiri yang didorong oleh motif untuk beribadah. Namun, di pihak lain ia dapat menjadi kendala, karena merasa sebagai pemilik dan sebagai pendiri dan pembina madrasah, sebagian masyarakat mungkin tidak begitu mudah menerima ide-ide inovasi yang diluncurkan dari atas, kecuali dalam keadaan terdesak, seperti masyarakat dan atau yayasan yang merasa tidak SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
772
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
mampu lagi membina pesantren dengan baik karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajemen. Akibatnya, setiap usaha inovasi cenderung ditolak atau berjalan sangat lamban. Inti pendidikan adalah proses pembelajaran adalah perbuatan yang sangat mulia; sebagai ibadah yang sangat tinggi nilainya dan menjadi amal jariah tersendiri yang membuahkan pahala di akhirat nanti apabila seseorang (pendidik) berhasil membelajarkan seseorang yang kemudian diamalkannya untuk kebaikan. Demikianlah, betapa mulianya kegiatan pembelajaran sebagai ibadah. Untuk mencapai hal itu, upaya sistem yang kolaboratif dan sistematis melalui tiga jalur pendidikan, yaitu informal, formal, dan nonformal perlu diusahakan terus menerus. Namun, apa yang tertuang pada pasal 50 ayat 5 UU-SPN ”Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal” tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan, sehingga keberadaan pesantren dan madrasah yang berada di dalamnya semakin memprihatinkan. Apalagi setelah otonomi daerah diterapkan, keberadaan sekolah jenis ini semakin tidak jelas. Para pemimpin daerah melihat pesantren ”sebelah mata” karena dianggap sekolah ini masih tanggung jawab pemerintah pusat. Karena pesantren ini cenderung tidak ada yang memperhatikan, akibatnya semakin sedikit siswa yang masuk setiap tahun dan semakin susah untuk membangun fasilitas fisik, sehingga semakin tertinggal dalam banyak aspek dan kurang mampu bersaing dengan sekolah negeri. Semua persoalan di atas dapat diatasi jika para personil menyadari bahwa pesantren sebagai sekolah swasta relatif memiliki kebebasan untuk merancang program dan kegiatan pembelajaran yang berkualitas. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejumlah sekolah swasta melebihi sekolah negeri. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dan partisipasi seluruh personil yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di daerah, baik faktor finansial, prestise, dan sebagainya. Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah niat baik berdasarkan perintah Allah s.w.t. untuk beramal saleh, sehingga pekerjaan tersebut dikerjakan berdasarkan motif ibadah. Oleh karena itu, kajian ini diarahkan untuk mengungkapkan motif yang melatarbelakangi kegiatan personil Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Sebukar (PPTIS) Kerinci, khususnya terkait dengan proses pembelajaran yang berlangsung di dalamnya. Maju mundurnya suatu pesantren dan madrasah sangat banyak ditentukan oleh motif, lebih-lebih motif ibadah. Hanya dengan motif seperti ini kehidupan pesantren akan dapat dipertahankan dan dikembangkan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
773
Dalam kajian ini, penulis beranggapan bahwa penyelenggaraan proses pembelajaran merupakan perbuatan ibadah, dan melalui proses pembelajaran seseorang melakukan suatu ibadah. Objek kajian ini adalah untuk mengidentifikasi keadaan muatan motif ibadah yang ada pada diri para personil pendidikan, seperti pendidik, peserta didik, kepala madrasah dan pimpinan pesantren, tenaga administrasi serta masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan proses pembelajaran di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Sebukar (PPTIS)dengan masalah kajian yang mempertanyakan bagaimana muatan motif, termasuk di dalamnya motif ibadah yang terkandung pada perilaku masing-masing komponen PPTIS dalam pengembangan proses pembelajaran. Motif-motif ini dipertanyakan berkenaan dengan betapa besarnya nilai ibadah kegiatan pengajaran itu; apakah kegiatan yang bernilai ibadah tinggi itu benar-benar dilatarbelakangi motif yang tepat, termasuk di dalamnya motif ibadah. B. Terminologi Ibadah Ibadah diartikan sebagai ”perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah s.w.t., yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”.2 Mahmud Hijazy mengaitkan ibadah dengan kemauan seseorang untuk menunjukkan kepatuhan dan ketaatan yang dimotivasi pancaran hati untuk mengagungkan Allah s.w.t.3 Al-Jurjany menyimpulkan bahwa ibadat adalah semua perbuatan baik yang diridai Allah s.w.t., amar bi al-ma’ruf dan nahi ’an al-munkar. 4 Makna ibadah disimpulkan menurut Hery Noer Aly mencakup banyak aktivitas, tidak terbatas pada aktivitas ritual saja. Sebab, itu terkait dengan kegiatan seorang muslim dalam berbagai lapangan hidup, bukan terbatas pada ritusritus seperti shalat, puasa, dan menunaikan ibadah haji. Ini berarti bahwa menuntut ilmu, berdagang dan mencari nafkah, bahkan seluruh aktivitas seseorang yang motifnya semata-mata mencari ridha Allah s.w.t..5 Dengan demikian, ibadah mengandung makna ketundukan dan kerendahan secara optimal dan komitmen tinggi yang muncul dari kecintaan, yang membuat seorang manusia menghambakan diri kepada yang dicintainya itu.6 Ibadah meliputi seluruh dimensi agama dan semua aspek kehidupan, serta eksistensi manusia lahir dan batin. 2Depdikbud, 3Muhammad
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), p. 364. Mahmud Hijazy, Al-Tafsir Al-Wadih, (Mesir: Al-Istiqlal Al-Kubro,
1964), p. 10. 4Al-Jurjany, Hikmat al-Tasyri’ al Islamy wa Falsafatuhu, (Qahirah: Darul Fikri, t.t.), p. 79. 5Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), p. 61. 6Depdiknas, Pendidikan adalah Ibadah, (Jakarta: t.p., 2004), p. 36. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
774
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
Lebih tegas lagi, Muhammad Quthb menyebutkan bahwa ibadah tercakup dalam dua prinsip berikut: 1) tertanamnya makna al-`ubudiyyah lillah (menundukkan dan merendahkan diri kepada Allah) di dalam jiwa yang berdasarkan prinsip bahwa di dalam wujud ini hanya ada ’abid dan ma’bud, yaitu satu Tuhan yang kepadaNya hamba beribadah dan selainNya adalah hamba yang beribadah kepada Tuhan; 2) berorientasi kepada Allah dalam segala aktivitas kehidupan.7 Hasan Langgulung lebih memperdalam makna ibadah dari sekedar untuk mengembangkan potensi atau fitrah kemampuan yang dianugerahkan Allah supaya mendekati sifat-sifat Tuhan, menjadikan manusia yang dapat mencapai derajat yang paling tinggi sebagai waliy.8 Tingkat ini tercapai jika mereka mampu mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya melalui proses pendidikan yang fokus pada aktualisasi diri setiap insan. Hal ini sesuai dengan firman Allah s.w.t. Surat al-Dzaariyat: 56. Oleh karena itu, ibadah memiliki ciri-ciri antara lain: 1) kepatuhan dan ketaatan untuk mengagungkan Allah, 2) perbuatan baik yang diridai Allah, 3) fokus saat melakukan kewajiban, 4) diniati untuk beribadah, 5) dilakukan dengan al-Ihsan, yaitu berhati-hati ketika melakukan kewajiban, 6) dilakukan dengan keikhlasan.9 Keikhlasan seringkali dihubungkan dengan niat yang dipasang pada setiap amal perbuatan, sehingga keikhlasan menempati posisi yang penting dalam keagamaan. Bahreisy menyatakan bahwa amal perbuatan hanya merupakan kerangkanya, sementara ruhnya terlebih pada keikhlasan.10 Barangkali, alasan itulah yang menyebabkan Nurcholis Madjid memandang keikhlasan sebagai suatu nilai yang amat tinggi dan rahasia dalam diri seseorang yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan saja selain Allah Yang Maha Tahu.11 Keikhlasan bermakna ketulusan dan kepatuhan diri yang paling mendalam, yang harus terefleksi dalam kepribadian seseorang berupa akhlak mulia dan perbuatan baik kepada sesama. Keikhlasan sebagai ruh dari semua amal perbuatan dan suatu nilai yang amat rahasia dalam diri seseorang, mensyaratkan agar dalam setiap aktivitas yang dilakukan sangat bergantung kepada niat, sehingga apa saja yang dilakukan manusia sangat bergantung kepada niat. Niat itu identik 7Muhammad Qutb, Mufahim Yanbaghi An Tusahhah, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1992), p. 196. 8Hasan Langgulung, Kreativitas..., pp. 361-362. 9al-Nawawi, al-Arba’in al-Nabawiyah, (Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2001), p. 57. 10Salim Bahreisy, Terjemah Al-Hikam, Pendekatan Abdi Kepada Khaliknya, (Surabaya: Balai Pustaka, 1984), p. 22. 11Nurkholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1994), p. 106.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
775
dengan motif ibadah berupa nilai rohani yang menentukan ikhlas atau tidaknya perbuatan seseorang. Syarat yang menentukan bagi diterimanya suatu amal kebaikan ialah ikhlas karena mengharapkan pahala-Nya, bukan karena riya’ atau pamer atau tujuan-tujuan lainnya. Itulah sebabnya mengapa Allah s.w.t. tidak akan menerima amal seseorang kalau tidak berdasarkan keikhlasan. Ibadah adalah perbuatan yang didasarkan pada kekuatan batin yang muncul dalam diri seseorang berupa niat untuk melakukan sesuatu kebaikan bagi kemaslahatan umat dan penuh tanggungjawab untuk mendapatkan keridaan dari Allah s.w.t. (ikhlas) semata. Sehubungan dengan itu, tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah memelihara, melatih, mengajar, menuntun dan memimpin potensi (fitrah) peserta didik mencapai tujuan hidupnya sesuai dengan petunjuk Allah s.w.t. yang telah memberikan potensi itu kepada manusia. Pengembangan fitrah melalui pendidikan menurut Hasan Langgulung disebut ibadah.12 Dalam posisinya sebagai ibadah, semua kegiatan pendidikan seharusnya mengandung makna ketundukan dan kerendahan secara optimal dan komitmen tinggi yang muncul dari kecintaan, yang membuat seorang manusia menghambakan diri kepada Allah. Jadi, kegiatan pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk proses pembelajaran itu penuh dengan nilai ibadah, karena pendidik dan peserta didik sedang melaksanakan suatu kewajiban belajar dan mengajar untuk memperoleh ilmu yang sangat dianjurkan oleh Allah s.w.t.dan Rasul-Nya. C. Motif-motif dalam Ibadah Selama ini, kita hanya mengenal dua jenis motif dan motivasi, yaitu intrinsik dan ekstrinsik seperti telah disebutkan di atas, tetapi Prayitno menemukan motif lain (baca motif ibadah) yang dapat dikembangkan di balik tingkah laku seseorang.13 Artinya, selain motif intrinsik dan ekstrinsik terdapat motif lainnya. Untuk lebih menjelaskan keberadaan motif lain tersebut, Prayitno mencontohkan dengan perilaku seorang ibu yang memberi makan seorang pengemis yang kelaparan. Motif intrinsiknya ialah agar pengemis itu terbebas dari rasa laparnya, sedangkan motif ekstrinsik mungkin si pemberi makan ingin agar dirinya dianggap sebagai dermawan yang pemurah dan baik hati. Pada perbuatan seperti ini dapat dikempbangkan motif ibadah, yaitu menolong sesama manusia yang menderita sebagaimana diperintahkan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya 12Hasan
Langgulung, Kreativitas..., p. 361. & Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999). 13Prayitno
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
776
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
(dalam QS. Al-Maidah:2). Artinya, seseorang yang memberi makan seorang pengemis yang kelaparan dan diniati untuk beribadah serta dilaksanakan dengan keikhlasan disebut perbuatannya bermotif ibadah. Motif ibadah sebagaimana digambarkan di atas bisa terjadi pada orang-orang yang iman dan ketakwaannya tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga pada dirinya berkembang kesadaran bahwa semua yang dilakukannya selalu diniati untuk beribadah kepada Allah s.w.t. Artinya, setiap perbuatan sekecil apapun perbuatan itu dilandasi motif beribadah, yaitu sebesar-besarnya melaksanakan perintah dan menghindari larangan Tuhan yang didasari kepatuhan dan ketaatan untuk mengagungkanNya serta mengharapkan ridhaNya, fokus saat melakukan kewajiban, dilakukan dengan al-Ihsan, yaitu berhati-hati ketika melakukan kewajiban serta dilakukan dengan penuh keikhlasan. Motif ibadah ada di dalam suatu tingkah laku apabila didasarkan atau setidak-tidaknya diwarnai oleh karakteristik berikut: a) mengagungkan Allah s.w.t.; b) melaksanakan perintah Allah s.w.t.; c) menghindari larangan Allah s.w.t.; d) mengharapkan ridha Allah s.w.t.; e) ikhlas melaksanakan kegiatan karena Allah s.w.t.; f) fokus terhadap sasaran kegiatan; dan g) berhati-hati dalam melaksanakan kegiatan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, nilai ibadah akan lebih kelihatan apabila seorang pendidik mengaplikasikan kewibawaan sebagai alat pendidikan, terutama tentang keteladanan. Kewibawaan merupakan suatu karisma yang dimiliki oleh seorang pendidik agar dalam proses pembelajaran ia diterima oleh peserta didik dengan senang hati. Esensi kewibawaan adalah kualitas pengakuan pendidik yang dihayati oleh peserta didik, yang disertai oleh kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan, dan tindakan tegas yang mendidik dari pendidik. Artinya, semua perilaku pembelajaran yang bernilai ibadah dapat diteladani oleh peserta didik, sehingga mereka dapat menerapkannya dalam kehidupannya kelak. Tentu saja, perilaku pendidik, pengelola dan dukungan masyarakat tersebut adalah yang sesuai dengan tuntunan agama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana Allah s.w.t. memberitahukan bahwa pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik (Q.S. al Ahzab:21). Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan dengan semua kegiatan yang dilakukan pada dasarnya merupakan ibadah yang mempersiapkan manusia menjalani kehidupannya, membukakan jalan untuk memperkembangkan kehidupannya mencapai tujuan kehidupannya, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Selain itu, dari fungsinya, manusia ditugaskan sebagai pemimpin di muka bumi yang mengabdi kepada Allah s.w.t. semata. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
777
pengembangan semua potensi manusia seoptimal mungkin agar mampu memikul tanggungjawab sebagai khalifah berdasarkan jiwa pengabdian kepada Allah s.w.t. Ini berarti, manusia dalam mengemban misi dan amanat untuk menjadi pemimpin di dunia, mereka harus selalu setia pada hak dan kewajiban kepada Allah s.w.t. Dalam kedudukannya sebagai ibadah, pendidikan yang dilakukan hendaklah bermotif ibadah pula, yaitu kekuatan batin yang muncul dalam diri seseorang berupa niat untuk berbuat sesuatu kebaikan dan penuh tanggung jawab untuk mendapatkan keridaan dari Allah s.w.t. (ikhlas) semata. Para pelaku pendidikan berperilaku menerapkan kewibawaan dan kewiyataan sesuai dengan tuntunan Allah. D. Motif Pendidik dalam Bertugas Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh seorang pendidik, antara lain: pertama, hubungan pendidik-peserta didik. Dalam mengembangkan hubungan dengan peserta didik, para pendidik telah mengaplikasikan kewibawaan. Artinya, pendidik memfasilitasi pengembangan peserta didik yang diwarnai oleh suasana kehangatan dan penerimaan, keterbukaan dan ketulusan, penghargaan, kepercayaan, pemahaman empatik, kecintaan dan penuh perhatian, bekerja dengan sukarela tanpa pamrih (ikhlas), hubungan keduanya sangat dekat, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan hidup, peserta didik menjadi aktif menjalani proses pembelajaran dengan sepenuh hati tanpa rasa keterpaksaan. Kedua, penguasaan materi pelajaran; dalam menguasai materi pelajaran, para pendidik di PPTIS membeli buku bahan pelajaran, menciptakan tujuan, kurikulum, materi, media pembelajaran, dan bentukbentuk evaluasi terhadap mata pelajaran yang diasuhnya atas inisiatif sendiri, keinginan agar ilmunya lebih berkembang, mengisi waktu luang, melaksanakan program belajar sepanjang hayat dan mengabdikan diri serta mengharapkan ridhaNya. Ketiga, penyusunan rencana pembelajaran; pada umumnya, guru MI di PPTIS mengganggap tidak perlu lagi membuat prosedur kompetensi dasar (tujuan instruksional) mata pelajaran karena sudah termuat lengkap dalam buku kurikulum. Mereka mengenal dan melaksanakan kompetensi dasar dalam proses pembelajaran sesuai petunjuk kurikulum, merencanakan dan melaksanakan remedial dan pengayaan. Begitu juga yang terjadi pada pendidik tingkat MTs, namun mereka lebih menerap-kan pengalaman sebelumnya dan mengisi waktu yang terluang, berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan peserta didik.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
778
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
Keempat, pengelolaan kelas; pada dasarnya, para pendidik mampu dan mau melakukan penataan ruang kelas yang memadai untuk pengajaran dan menciptakan iklim ruang belajar yang serasi. Tetapi mereka tidak melaksanakannya, sebab pada saat kajian dilakukan gedung PPTIS sedang mengalami rehabilitasi berat, sehingga proses pembelajaran dilaksanakan di gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) untuk tingkat MI dan di rumah masyarakat bagi siswa tingkat MTs. Kelima, penggunaan media dan sumber belajar; sebagian besar pendidik mengenal media atau alat bantu pembelajaran, tetapi mereka tidak bisa melaksanakannya karena media tersebut tidak cukup tersedia dan belum dapat mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif. Keenam, pengelolaan interaksi pembelajaran; para pendidik di PPTIS telah mengelola interaksi pembelajaran. Bagi guru MI motif mereka melaksanakannya karena mereka mempunyai kemampuan yang memadai serta didukung latar belakang pendidikannya. Guru-guru MTs lebih menerapkan pengalamannya sebagai guru/dosen. Ketujuh, penilaian prestasi peserta didik; sebagian besar guru di PPTIS memiliki kemampuan menyusun dan memilih alat penilaian, tetapi dalam menggunakannya, mengolah dan menafsirkan hasil penilaian dilakukan oleh sebagian kecil saja. Keadaan ini terjadi disebabkan antara lain mereka ada yang menganggap tugas itu adalah tanggung jawab kepala madrasah dan ada pula yang menganggap menilai, mengolah dan menafsirkan hasil penilaian tidak penting. Kedelapan, penyelenggaraan administrasi pembelajaran; tingkat usia dan kesibukan seorang pendidik sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan administrasi pembelajaran. Pendidik yang sudah senior lebih mengutamakan tugas mengajar, sedangkan sebagian pendidik yang masih yunior melaksanakan administrasi pembelajaran tersebut, tetapi belum maksimal. Dilihat dari motif pelaksanaan tanggungjawab, ternyata semua pendidik di PPTIS adalah keluarga besar PPTIS sendiri yang bertanggung jawab memajukan pesantren ini. Perbedaannya terletak pada status keguruannya; pendidik tingkat MTs merupakan tenaga sukarela dan tidak menuntut gaji, sedangkan pendidik tingkat MI adalah tenaga honorer yang honornya dibayar oleh pemerintah. E. Motif Peserta didik dalam Kegiatan Proses Pembelajaran Dalam kaitannya dengan kegiatan, proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh peserta didik antara lain: pertama, memiliki sopan santun; motif pelaksanaan tanggung jawab di bidang etika dan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
779
sopan santun ini diyakini bersumber dari latar belakang mereka memasuki madrasah ini, yaitu ingin memperdalam ilmu agama. Mereka beretika dan sopan santun terhadap guru maupun terhadap sesama teman secara langsung sebagai aplikasi dari ilmu agama yang mereka pelajari. Kedua, mengikuti pelajaran di dalam kelas; dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas peserta didik penuh semangat dan antusias mendengarkan pendidik menerangkan pelajaran, mendengarkan nasehat dan keterangan dari pendidik, mencatat materi, memperhatikan demonstrasi dari pendidik dan teman, serta menjawab pertanyaan dalam belajar dan berdiskusi. Hal ini dilakukan sebagai wujud dari keinginan untuk mengetahui dan mendalami ilmu keislaman, ingin belajar agama lebih banyak lagi serta memantapkan dan mempertinggi akhlak. Ketiga, mengikuti pelajaran di luar kelas; di antara tanggung jawab peserta didik adalah melakukan praktek sesuai materi pelajaran, membaca buku paket dan buku lain yang ditugaskan oleh pendidik, membuat tugas berkelompok, latihan membaca, tugas menulis dan menjelaskan dengan kata-kata sendiri, melaporkan hasil, membuat ringkasan pelajaran, dan bermain. Semua aspek tersebut dilakukan oleh peserta didik dengan baik, yang didorong oleh keinginan yang timbul dari diri sendiri untuk lebih menguasai, memahami dan mendalami materi pelajaran, sehingga pada gilirannya dapat berguna dalam kehidupan di kemudian hari, sedangkaan sebagian yanga lain didorong oleh anjuran dari guru dan orang tua. F. Arah Motif Pendidik, Peserta Didik dan Pimpinan dalam Mewujudkan Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor yaitu: Pertama, perilaku pendidik, dalam melakukan tugas pengajaran, memberdayakan dan menilai peserta didik dapat dikatakan bagus; merumuskan tujuan pengajaran dengan jelas. Materi pelajaran ditata secara berurutan, memberi tahu apa yang harus dipelajari, mengajukan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman siswa, memberikan latihan, mengontrol kehadiran, memperhatikan perilaku, memiliki interaksi yang intensif, memberikan kepuasan; memonitor perkembangan prestasi, peka terhadap permasalahan, adanya pengakuan terhadap perbedaan anak, tidak pilih kasih, tidak otoriter, menyelenggarakan manajemen kelas dengan baik. Di pihak lain, perilaku pendidik dalam mewujudkan proses pembelajaran pada umumnya telah dilaksanakan dengan baik. Hanya sebagian kecil saja dari butir-butir yang diteliti belum terlaksana secara positif. Berdasarkan hasil pengkajian, memang masih ada guru-guru MI kurang memperhatikan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
780
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
hal-hal yang berhubungan dengan perumusan tujuan pengajaran, penataan materi pelajaran dan manajemen kelas. Di sisi lain, guru-guru MTs ada yang masih kurang memberikan latihan kepada siswa, mengontrol kehadiran siswa, dan manajemen kelas. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata guru-guru MTs beranggapan kalau terlalu banyak memberikan tugas kepada siswa akan membuat mereka jemu dan menambah beban belajar; bagi mereka pengontrolan kehadiran siswa tidak begitu penting, karena siswa MTs ini kadang-kadang memiliki tugas yang berat di sekolahnya, sehingga mereka tidak dapat hadir di madrasah tepat waktu. Kedua, perilaku peserta didik, pada umumnya peserta didik MI dan MTs pada PPTIS bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diberikan pendidik, mengerjakan tugas secara berkelompok dan menyerahkannya tepat waktu, adanya umpan balik kalau mengalami kesukaran dalam belajar, mereka memiliki semangat, motivasi belajar yang tinggi, para peserta didik terlibat belajar secara aktif, tidak terjadi konflik dalam berkompetisi, saling menghargai antar sesama serta menghormati guru. Ketiga, perilaku pimpinan; untuk mewujudkan efektifitas pembelajaran di jenjang MTs ternyata kepala MTs kurang memperhatikan lingkungan belajar yang kondusif, mempersiapkan tempat belajar yang memadai, dan kurang berdisiplin. Sedangkan bagi kepala MI, selain yang tersebut di atas masih ditambah lagi dengan kurang bisanya mewadahi pengembangan bakat peserta didik. Kurangnya dukungan lingkungan belajar yang kondusif dalam mewujudkan efektifitas pembelajaran disebabkan antara lain ruangan belajar terlalu sempit, satu lokal dihuni oleh dua kelas yang dibatasi dengan sekat setinggi dua meter terbuat dari tripleks, sehingga terkesan tempat belajar tidak memadai bagi terciptanya efektifitas pembelajaran. Keadaan ini dialami oleh kedua jenjang pendidikan di PPTIS. Pimpinan yang belum dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif misalnya; secara teori, proses pembelajaran yang berlangsung di lingkungan yang tidak kondusif akan berjalan tidak efektif, tetapi ditinjau dari sisi ibadah, proses pembelajaran di PPTIS sudah mengarah ke jalan yang baik. Hal ini bisa terjadi, mengingat gedung pesantren ini terletak persis di pinggir jalan protokol, namun pendidik dan peserta didik tidak lagi terpengaruh dengan kebisingan kenderaan yang berlalu lintas di depannya. Pendidik melakukan tugas pengajaran secara maksimal oleh sebagian besar pendidik. Profesionalisme guru dan pimpinan sangat dituntut untuk terus berusaha meningkatkan upaya agar madrasah, kelas dan proses pembelajaran dapat mendorong pencapaian hasil yang diinginkan oleh peserta didik dan masyarakat. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
781
G. Penutup Sebagian besar pendidik di PPTIS telah melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, terutama dalam hal hubungan pendidik-peserta didik, penguasaan bahan pelajaran, perencanaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, interaksi pembelajaran dan penilaian prestasi peserta didik. Sementara itu, masih ditemukan sebagian mereka yang kurang memadai dalam penggunaan media atau sumber. Hal ini terutama disebabkan terbatasnya media yang dimiliki. Pengetahuan mereka tentang pentingnya tertib administrasi pembelajaran juga kurang, terutama bagi guru-guru senior yang lebih mengutamakan mengajar kepada peserta didik. Kesibukan sebagian guru yunior di tempat kerjanya membuat mereka tidak berkesempatan meningkatkan perbaikan pembelajaran. Dalam penyelenggaraan proses pembelajaran banyak pendidik tingkat MI dimotivasi oleh keinginan untuk menarik simpati kepala madrasah agar tetap mempekerjakan mereka sebagai pendidik, serta mendapat SK honor dari pihak terkait sebagai bukti fisik pengalaman kerja untuk melamar sebagai PNS, dan untuk lulus masuk dalam data base calon pegawai negeri sipil. Ini berarti bahwa guru yunior pelaksanaan tugasnya belum didasarkan pada motif ibadah. Guru-guru MTs ternyata lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka tidak mengejar tugas-tugas tambahan, dan mereka menjadi guru MTs PPTIS atas keinginan sendiri untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kemajuan pesantren. Dalam hal ini motif ibadah lebih mendasari unjuk kerja mereka dalam proses pembelajaran. Sewaktu proses pembelajaran berlangsung, peserta didik telah memperlihatkan perilaku positif. Mereka rajin datang ke sekolah, bersikap sopan santun kepada pendidik dan sesama mereka, mengikuti pelajaran di dalam kelas, dan mengerjakan tugas pelajaran di luar kelas. Terlaksananya tanggungjawab tersebut berkaitan dengan motif mereka masuk ke pesantren. Meskipun pada awalnya sebagian peserta didik tingkat MI didorong oleh orang tua, tetapi setelah itu, mereka mulai tertarik dan betah belajar serta ikhlas melaksanakan semua aturan yang ada di PPTIS. Peserta didik tingkat MTs dari awal masuk ke pesantren atas keinginan sendiri untuk meningkatkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama, bukan mengharapkan ijazah. Kepala madrasah dan pimpinan pesantren memegang peranan penting dalam membuat keputusan, merencanakan, mengorganisasikan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan semua kebijakan, mengawasi, menilai, memberi dorongan, melaksanakan hubungan interpersonal dan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
782
Dahlan: Ibadah dan Motif-motif dalam Proses Pembelajaran…
kelompok, khususnya dalam mengembangkan proses pembelajaran di PPTIS. Tanggungjawab ini telah dilaksanakan oleh para pimpinan yang dilandasi oleh rasa keperihatinan terhadap pendidikan agama bagi generasi muda di lingkungannya dan ingin mengisi hari-hari tuanya dengan mengabdi kepada pesantren ini. Ketiganya menjalankan tugas dengan ikhlas dan tanggungjawab.
Daftar Pustaka Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Bahreisy, Salim, Terjemah Al-Hikam, Pendekatan Abdi Kepada Khaliknya, Surabaya: Balai Pustaka, 1984. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Depdiknas, Pendidikan adalah Ibadah, Jakarta: t.p., 2004. Hijazy, Muhammad Mahmud, al-Tafsir al-Wadih, Mesir: al-Istiqlal alKubro, 1964. al-Jurjany, Hikmat al-Tasyri’ al Islamy wa Falsafatuhu, Qahirah: Darul Fikri, t.t. Langgulung, Hasan, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1991. Madjid, Nurkholis, 1994.
Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina,
al-Nawawi, al-Arba’in al-Nabawiyah, Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2001. Peraturan Pemerintah No. 19 Th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Prayitno & Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999. Qutb, Muhammad, Mufahim Yanbaghi An Tusahhah, Kairo: Dar alSyuruq, 1992.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010