I. TINJAUAN PUSTAKA
A. SENYAWA ANTMIKROBA DARI BAHAN TANAMAN
Suatu jenis tamanan, ada yang mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai antimikroba. Senyawa tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman yang dapat
mengharnbat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Nychas, 1995). Senyawa ini dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan
bakteri), fungisidal (membunuh kapang dan khamir)
dan hngistatik (menghambat
pert umbuhan kapang dan khamir) (Atlas, 1984). . Senyawa antimikroba dapat diperoleh dari berbagai bagian tanaman: dari bagian
umbi, batang, kulit, daun, rimpang dan biji. Bagian tanaman tersebut mer~gandung
senyawa antimikroba yang beheda-beda dan aktivitas p e n m b a t a n n y a berbeda pula
terhadap tiap jenis rnikroba. Senyawa tersebut dapat merupakan golongan fenolik dan
terpenoid (Nychas, 1995). 1. Golongan Fenolik
Senyawa fenolik merupakan substansi yang rnempunyai cincin aromatik dengan
satu atau lebih substitusi *gus
hidroksil dan alkil. Senyawa ini diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok: golongan fenol sederhana (vanilin, gingerol, shogaol, guai kol dan eugenol);
asam fenol (y-kresol, 3-etilfenol, hidrokuinon, asam galat dan siringit)
dan turunan asam hidroksinamat (p-kumarin, kafein dan ferulin): dan flavonoid
(antosianin, flavonon, flavanon, flavanonol, flavanol, dan tanin) (Nychas, 1995; Shaidi
dan Naczk, 1 995). Beberapa senyawa fenolik yang bersifat antimikroba, seperti senyawa fen01
sederhana ginger01 dan tuninannya dapat menghambat pertumbuhan Mycobncrerilmt r n ~ i r mdan M.
trrherctrlosis (Hiserodt el a/.,1998). Eugenol yang juga mempakan fend
sederhana dapat menghambat pertumbuhan Bcrcillzcs subtilis. Golongan fenolik dari
turunan hidrosinamat seperti kafein diketahui dapat menghambat pertumbuhan Lisreria moitocyioget1e.r (Corner, 1993). Golongan fenolik dari flavanol seperti katekin dapat
rnenghambat pertumbuhan I : cholera dan aktivitas toksin yang dihasilkan (Toda el a/., 1991).
2. Golongan Terpenoid
Golongan terpenoid dikenal sebagai senyawa utama pada tanaman yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiti.
Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5&),, atau
dengan satu unit isoprene-2 meti!-2,3 butadiena.
Jurnlah n menunjukkan kiasifikasi
terpenoid yang di kenal dengan monoterpen, seskuiterpen, diterpen, tetraterpen clan
politerpen (Teisser, 1994). Golongan terpenoid yang mempunyai aktivitas antimikroba antara lain adalah bornwl, sineol, pinene, kamfene dan kamfor (Conner, 1993),
nerelidol, linalool, indol dan kadinen (Kubo ef a/.,1993) dan zingiberen (Mishra dan Dhrendra, 1990) dengan rumus bangun (Gambar 1) (Guenther, 1952).
senyawa ini efektif untuk menghambat periumbuhan B.
dan E. coli.
Golongan
str btilis, Stciphylococctcs airrerts
Gambar 1 Rumus bangun zingiberen (Guenther, 1952) .
B. MEKANISME PENGHAMBATAN MIKROBA Mekanisme penghambatan rnikroba oleh senyawa antimikroba yang berasai dari tanaman dibagi menjadi dua bagian yaitu tinjauan berdasarkan komponen bioaktif dari
senyawa antimikroba dan mekanisme kerjanya. 1. Komponen Bioaktif Sengawa Antimikroba
Aktivitas senyawa antimikroba
dipengaruhi oleh adanya komponen bioaktif
yang terkandung dalarn senyawa tersebut, sehingga setiap senyawa mempunyai
perbedaan aktivitas. Komponen bioaktif tersebut antara lain adalah cincin aromatik, gugus alkil dan senyawa tiosulfinat. a. Cincin aromatik
Pada urnumnya komponen antimikroba rempah-rempah ada dalttrn oleoresinnya. Komponen bioaktif ini rnerupakan cincin aromatik dalam bentuk senyawa fenolik,
yang mampu menginaktifkan enzim yang berperan &lam metabolisrne sel mikroba. Selain itu senyawa fenolik berperan menurunkan tegangan permukaan sel,
rnerusak
membran dan menembus dinding sel serta mendenaturasi protein sitopiasma (Prindle, 1983)
b. Gugus alkil St rukt ur molekul dari
suatu senyawa antimikroba mempenganrhi interaksi
senyawa tersebut dengan rnikroba, sehingga berpengaruh juga terhadap
aktivitasnya.
Penambahan gugus alkil pada struktur molekul cincin benzena dari fen01 dapat
menambah ahivitas antimikrobanya. Aktivitas antimikroba lebih efektif dengan adanya penambahan satu rantai alkil yans mempunyai panjang rantai khan 4 sarnpai 9
daripada dua rantai alkjl, dan gugus alkil yang tidak bercabang juga bersifat lebih efektif daripada yang bercabang. Pembahan gugus alkil juga mernpengaruhi aktivitas senyawa aldehida dan karboksilat. Sebagai contoh
malonaldehida (propanedial)
mempunyai aktiviras antimikroba Iebi h rendah daripada glutaraldehida (pentanedial) terhadap B. mbrilis (Prindle, 1983); asam 6-rnetil-salisilat mempunyai aktivitas ant imikroba lebih rendah daripada 6-pentil-salisilat terhadap S. atrreus. Gugus alkil merupakan rantai hidrofobik yang berperan membentuk interaksi hidrofobik dengan
lipid membran bakteri, sehingga keberadaan struktur tersebut diperlukan oleh suatu senyawa fenoli k untuk rneningkatkan aktivitas sebagai antimikroba (Kubo el a/.,1993).
E.
Seayawa tiosulfinai
Senyawa tiosulfinat &pat bereaksi secara spesifik pa& gugus S-M protein dari sel bakteri. Senyawa tiosulfinat yang merupakan komponen utama dari bawang putih
adalah alisin (allil-2 propenil I-tiosulfinat). Komponen ini tidak terdapat pada bawang
puti h utuh, tetapi digenerasi dari prekursor aliin (S-allil-L-sistin-sulfoksida)melalui
hidrolisis oleh enzim alinase (Ross e/ al., 2001). Senyawa metil dan alilil sulfinat adalah
turunan alisin yang diperoleh dari
proses distilasi uap bawans putih, juga dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan S. airrelis. Penghambatan bakteri oleh komponen tersebut kemungbnan karena bakteri ini mengandung banyak senyawa lipoprotein S-H.
2. Mekanisme Kerja Senyawa Antimikroba
Penghambatan mikroba oleh kornponen bioaktif secara umum &pat disebabkan
oleh 5 faktor yaitu: (a) ganggum pada komponen penyusun sel; terutama komponen penyusun dinding sel, (b) reaksi dengan membran sel yang dapat mengakibatkan perubahan permeabilitas dan kehilangan kornponen penyusun sel, (c) penghambatan
terhadap enzim esensial yang berperan dalarn rnetabolisrne sel, (d) gangguan fungsi
material genetik dan (e) pengkelat terhadap ion MgTbdan Ca-' (Davidson dan Branen,
1993). Menurut Kanasawa
el
a/.(1 995) terjadinya proses tersebut diatas dikarenakan
pelekatan senyawa antimikroba pada pennukaan sel mikroba atau senyawa tersebut
berdifusi kedalam sel.
a. Gangguan pembentukan dinding sel
Unit dasar penyusun dinding sel bakteri adalah peptidoglikan yang terdiri atas Nasetilglukosamin, N-asetilmuramat dan asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat dan
lisin
(Fardiaz, 1992). Sintesis dinding sel ini melibatkan sejumlah enzim untuk
menggabungkan fosfoenolpiruvat dengan N-asetiglukosamin. Antimikroba yang telah
diketahui dapat rnenghambar pembentukan dinding sel adalah fosfomisin. Senyawa ini dapat bergabung dengan senyawa penyusun dinding sel yang lain karena mempunyai analog struktur densan fosfoenolpiruvat.
Fosfomisin
berikatan secara enzimatik
dengan fosfoenolpiruvat, yang mengakibatkan penghambatan sintesis asam muramat (Volk dan Wheeler, 1988).
Nyc has ( 1 995)
menghipotesakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat
enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural,
sehingga pembentukam dinding sel bakteri terganggu.
Misin diketahui dapat
menghambat enrim yang mempunyai peranan utama dalam metabolisme; baik enzim yang mempunyai g u y s S-H maupun beberapa yang tidak mempunyai gugus S-H (Conner, 1993) Enzim sulfidril yang dapat dihambat oleh aiisin adalah protein yang
mempunyai kornponen -SO-S, tetapi bukan dari kelompok yang mempunyai komponen -SO-, S-S atau -S-. Penghambatan terhadap enzim tersebut disebabkan oleh oksidasi gugus ti01 menjadi disulfidril pada sisi alosterik enzim,yaitu pada gugus sistein. Selain itu diketahui bahwa a h i n mengganggu aliran elektron dalam sistem
reduktase
disulfidril dan menshambat hngsi reduktase dengan menpoksidasi gugus sulfidril
dalam dinding sel, sehingga dapat rnengakibatkan pembentukan dinding sel yang tidak sempurna pada proses pembelahan sel (Nychas 1995).
b. Reaksi dengan membran sel Kompo~enbioaktif dapat menyerang membran sitoplasma dan mempengaruhi
integritasnya Kenisaka11 pada mernbran ini mengakibatkan peningkatan penniabilitas dan terjadi kebocoran sel, yang dii kuti dengan keluamya materi intraseluler .
Mekanisme antimi kroba adalah mengganggu
minvak atsiri {karvakrol, sitral dan geraniol) dm fenolik
lapisan
fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan
peningkatan perrneabilitas dan kehilangan unsur pokok yang menyusun sel (Kim 1995). Reaksi antara komponen rnembran fosfolipid dengan minyak
el
al.,
atsiri atau senyawa
fenolik mengakibatkan perubahan kornposisi asam lemak dan fosfolipid membran, yang diikuti dengan pernbengkakan sel. sitoplasma
Selanjutnya tejadi kerusakan membran
dan mengakibatkan keluarnya kandungan intraseluler yaitu sebanyak 50
persen Na-&tamat-3, 4I4cdan 12 persen N & ~ P o ~ . dari E. c d i . Adanya perembesan
bahan yang terkanduns dalam sel menunjukkan pertahanan .permeabilitas lernah atau rusak, yang selanjutnya menurunkan kandungan ATP sel. c. Penghambatan sintesis protein
Sintesis protein adalah pembentukan rantai poiipeptida oleh asam-asrun amino melalui ikatan peptida (Prindle. 1983). Proses sintesis tersebut terdiri atas beberapa
tahap y aitu inisiasi. penggabungan komplek asam amino, pembentukan ikatan peptida, translokasi dan t erminasi
Beberapa senyawa antimikroba mempunyai komponen
bioakt if vans dapat menghambat sintesis protein bakteri. Komponen bioaktif tersebut
bereaksi dengan komponen sel ribosom 50s yang membentuk komplek pada tahap inisiasi
( t a hap
awal sintesis protein), sehingga menstirnulasi pernbacaan yang salah,
selanjutnva terjadi penyimpangan dalam ribosom, yang mengakibat sintesis protein dilanjut kan d e ~ g a npasangan yang tidak tepat dan akhirnya menggangu pembentukan protein P ada umurnnya prinsip yans teQadi pada pembahan geminasi endospora
meliputi suatu tahap inisiasi RNk sintesis protein dan membran. Adanya senyawa
fenolik dari minyak zaitun seperti klorokresol dapat mendenaturasi enzim dan men~hambatpensguman L-alanin dan asam amino lain oleh enzirn subtilopeptidase.
Penshambatan terhadap penggunaan asam amino tersebut mengakibatkan sintesis protein yang diperlukan pada proses jerminasi juga terharnbat (Nychas 1995).
d. Gangguan fungsi material geneiik
Komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan asam nukleat (DNA dan RNA) dan bei-ahbat mengganggu transfer informasi genetik.- Hal ini disebabkan oleh
komponen bioaktif yang berinteraksi dengan: 11) benang helik ganda D N h sehingga mencesah rep]ilasi dan transknpsi, (2) polimerase yang mengakibatkan aktivitas enzirn yang berperan pada biosintesis DNA dan RNA juga terhambat, sehingga menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel (Volk dan Wheeler 1 988).
Komponen bioaktif dapat berfungsi sebagai pengkelat logam. Komponen ini banyak ditemukan pada senyawa antirnikroba dari antibiotik seperti tetrasiklin dan EDT A. Kemampuan senyawa pensekelat logam antara lain dapat mengikat Mg" dan Ca*'. yang rnensakibatkan fungsi membran terluar sel bakteri bermuatan negatif
tergaygu (Yikaido, 1996)
C. ANALISIS PENGHAMBATAN MLKROBA Penshambatan mikroba oleh suatu senyawa antimikroba dinyatakan dengan nilai
MIC (Miriinrrmt It~hibitnr?, Cot~cetttratiot~)yaitu konsentrasi terkecil yang dapat menghambar pertunlbuhan bakteri lebih dari 90 persen, sedangkan minimal konsentrasi yang dapat membunuh bakteri 99,9 persen atau lebih dari inokulum asal selarna
inkubasi 24 jam dinyatakan dengan niiai MBC (Mittimrmr Bactericidal Coi~ce~ttraliotl) (Baron er 01.. 1995; Carson dan Riley, 1995).
Nilai MIC dan MBC senyawa
antimikroba dari ekstrak rempat-rempah rnaupun tanarnan lainnya berbeda-beda
bergantuns pada jenis mikroba dan senyawa antimikroba Senyatva antimikroba yang diisolasi dari buah j ambu monyet
(Anaccrrdirm~
occide~r~nle)~ a i t uneroli do 1 dapat menghambat p ertumbuhan St~-eptoc~crrs mutan
pada konsentrasi 25 yg/ml, sedangkan linalool pada konsentrasi 1.600 Clglml. Jika penggunaannya dicampur yaitu satu persen nerolidol dan 64 persen linalool, maka nilai
MIC menjadi 1 2,5 pgrnl. Peningkatan aktlvitas penghambatan dari campuran kedua
komponen tersebut memperlihatkan adanya sifat sinergis dari kedua antimi kroba tersebut terhadap S~rc~~tococcirs jKubo el ul., 1993). Komponen fenoli k dalam ekstrak teh yaitu a-terpineol dan linalool, dapat
membunuh L.coli masing-masing pada MlC dan MBC 0,06 mgml (Carson dan &ley, 1995). Antimikroba sejenis antibiotik siprofloksasin dan tobramisin masing-masing
menghambat pertumbuhan P.~edonrot?as cepacia pada MlC 6,25 pgml dan 50 pgml
(McKenney rf a/., 1994).
Nilai MIC senyawa antimikroba
yang lebih rendah
menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut.
Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada kerentanan bakteri terhadap senyawa antirnikroba. Menurut
Thompson dan Hictom (1996) bakteri pada fase
stasioner lebih rentan terhadap antimikroba aszm lemak rantai pendek daripada bakteri fase pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena penarnbahan asam rantai pendek seperti propionat pada fase pertumbuhan E. coli dapat dimanfaatkan sebagai pernbentuk asam
lemak yang berinkorporasi
dengan atom kartson yang lain kedalam
membran
sitoplasma
D. TANAMAN JAHE DAN MANFAATNYA
Tanaman
jahe
(Zjr~Hber ofpcit~ofe) temasuk
farnili
t emu-temuan
(Zittg~beracae),yaitu suatu tanaman rumput-rumputan berbatang semu dan tumbuhnya
tegak dengan tinggi 30-100 cm, bahkan ada yang mencapai 120 cm (Sastrapraja, 1977).
Tanaman jahe mempunyai batang semu yang diselubungi pelepah daun, daun benvarna
hijau, bunga berwarna kekuningan dengan bibir b u n g berwarna ungu. Rimpang jahe yang merupakan batany, tumbuh didalam tanah dan bercabang tidak t eratur.
1. Narna dan Asal Tanaman
Jahe
Secara botani tanaman jahe dapa; diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi .Sj>el-ntuiophytaaklas At~gio.s~~et-tttae. Subklas Mot~ocoryledutle,famili Ziqiber, species
Zu~giher-cflficirmlc. Atas dasar ukuran bentuk dan wama kulit rimpang, tanaman jahe
diklasifikasikan menjadi tiga varietas yaitu: ( 1 ) Zitlgjber uf3cir1ale Roscoe, yang dikenal
dengan jahe
yajah, mempunyai rimpang yang besar dan mas yang
mengselembung, (2) Zirrgiher ofjficirlale var Amarum, yang dikena1 dengan jahe emprit putih kecil atau kuning
dengan ruas yang kecil dan agak menggelembung, dan (3)
Zit~giberuficiilale Linn var Rubrum, jahe d e n g n kulit rimpang berwarna rnerah Cjahe sunti) (Anonim, 1991).
Tanaman jahe berasal dari daerah tropis Cina Selatan yang sekarang banyak dibudidayakan di Australia, Sri Lanka, Cina, Mesir, Yunani, India, Indonesia, Jarnaika,
Jepang, Meksiko, Nigeria dan Pakistan. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 30-600 m diatas pemukaan laut
dan juga dapat tumbuh diatas ketinggian 1500 m (Anonim,
1992) dan tumbuh subur pada tanah yang gembur, mempunyai persediaan humus yang cukup serta sistem pengairan yang baik.
2. Manfaat Tanaman Jahe
Bagian jahe yang banyak digunakan
adalah rimpaw. Rimpang jahe dipanen
pada saat daun jahe berubah menjadi kuning dan kering, biasanya ini tejadi setelah
bunga tumbuh. Waktu panen yang terbaik adalah berumur 8- 10 bulan. Pemanenan yang terlambat akan mengakibatkan jahe semakin berserat dan menurunkan kandungan
minyak atsiri dan oleoresin (Oti ei nl., 1990). Waktu pemanenan juga tergantung dari tujuan penggunaannva, untuk pembuatan kembang @la digunakan jahe yang krumur 7 bulan. Rimpang yang akan digunakan untuk bumbu rnaupun untuk ekstraksi minyak
at siri dan oleoresin dipanen pada umur 8- 10 bulan (Purseglove et a/., 198 1 ).
Dalam perdasangan jahe dijual dalam bentuk jahe segar, jahe bubuk, jahe kering dan jahe awetan. Disamping itu terdapat olahan jahe lebih lanjut, diantaranya minyak
atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri diperoleh dari penyulingan, dm oleoresin diperoleh
dari ekstraksi jahe dengan pelarut organik. Olahan jahe tersebut secara komersial digunakan dalam industri makanan, obat-obatan dan minyak wangi (Koswara, 1995).
E,KOMPOSISI KIMIA JAHE Komposisi kimia rimpang jahe (Iihat Tabel 1 . ) antara lain adalah air, pati, lemak,
oleoresin, serat kasar dan abu (Amirrudin, 1985). Menurut Heath dan Pharus (1978) jenis asam amino yang
terkandung dalam protein rimpang jahe antara lain asam
aspartat, treonin, serin, glisin, sistein, valin, isoleusin, leusin, dan arginin. Lemak jahe terdiri atas trigliserida, fosfotida, lesitin. asam lemak bebas dan lilin. Kandungan asam
lemak dalam minyak jahe terutama adalah linoleat, oleat, kaprilat, kaprat, laurat
miristat, pentadekanoat, heptadekanoat, stearat dan arakidonat. Tabel 1. Komposisi kimia dari 100 g jahe segar
Ju r n l a h i
Kompososi Air (g) Protein (g) kmak (gj Karbohidn t (g) Kalsiunl (n~g) Forfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Nhsin (mg) Vitamin C (mg) Scrat kasar (g)
Tom1 abu ( g )
1
Natrium (mg) Kal iu~n(mg) Oleoresin (YO.) M i y a k atsiri ( K ) *Amiru&n (1985)
!
2.m
1
Sifat khas jahe disebabkan oleh adanya minyak atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri
menyebabkan jahe berbau harum dan oleoresin rnenyebabkan jahe mempunyai rasa pedas. Sampai saat ini tingkat kehamman dm kepsdasan digunakan untuk menentukan mutu jahe
Kandungan senyawa tersebut dipengamhi oleh kondisi tanah dan varietas
(Tabel 2). Berdasarkan kandungan minyak atsiri, jahe merah yang berasal dari BengLulu dan Kalimantan mempunyai mutu yang lebih baik daripada jahe yang lain
Tabel 2. Mutu jahe kering dari berbagai daerah di Indonesia* Jenis jahc
Putih kecil Puti h kecil Putih kecil
Sukaburni Cipanas
Putih kecil Putih bcsar Ja he b a r Jahe Kunrng Jahe kuning Jahe nlerah Jahe n~erah
1. Minyak Atsiri Jahe
Menurut Heath dan Pharus (1978) komponen minyak atsiri jahe terdiri atas
monoterpen hidrokarbon: a-pinen, kampen, p-pinen, sabineq A-3-karen, rnirwn, pfelandren, y-terpinen, trisiklen, dan lirnonen; seskuiterpen hidrokarbon: a-zingiberen, p-seskuifelandreq
zingiberen
dan
p-seskuitujen;
dan
senyawa
monoterpen
teroksigenasi: 1,8-seniol, borneol dan linaioot Sifat fisikokimia minyak atsiri disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat fisikokimia minyak atsiri jahe*
Grafitasi spesifik pada 55°C Putaran optik
1 lndek refrakzi
1
1,4876-11,4917
Bilangan asam
I
1,I-3,7
Bilangan penyabunan
1 1
0,9-11,2 I
"Koswara ( i 995)
2. Oleoresin
Oleoresin jahe mempunyai nama kornersial gingerin.
Oleoresin merupakan
komponen jahe non volatil, yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada komponen volatil yang menyusun minyak atsiri. Oleoresin mernberi rasa pedas dan mempunyai
rasa seperti rempah-rempah aslinya (Furia, 1978).
Oleoresin jahe merupakan cairan
kental berwarna kuning yang dengan sifat-sifat sebagai berikut: lamt dalam alkohol, petrolium eter dan sedikit larut dalam air densan berat jenis 1,026-1,045, indek refraksi
I , 5 15-1,525, titik didih 235-240 'C, pH 3-5. Komposisi kuantitatif oleoresin bergantung pada jenis pelarut yang digunakan,
dan secara umum tersusun dari beberapa komponen yaitu: (1) resin yang terlanrt dalam pelarut organik (gingerol, zingeron dan shogaol), yang merupakan senyawa tumnan
fenol dan keto fenol, (2) minyak atsiri dan (3) senyawa lain seperti asam lemak non volatil.
Oleoresin hasil ekstraksi alkohol mengandung rninyak atsiri yang bersifat polar (Tabel 4). Minyak atsiri yang mempunyai ikatan rangkap, seperti zingiberen sebagian
akan
terekstraksi dengan pelarut alkohol, karena senyawa ini mempunyai ikatan
rangkap yang mudah terpolarisasi sehingga menimbulkan efek sedikit polar. Komponen minyak atsiri seperti kamfen dan p-felandren merupakan komponen yang sangat mudah
menguap, sehinzga mudah hilang bersama proses penguapan pelarut (Khirzuddin, 1991).
Tabel 4. Komposisi komponen minyak atsiri dari rimpang jahe dan oleoresin* I
1
1
Komposisi
hmpang jahe
Oleoresin
I
Minyak atsiri (%v/b) Indek bias minyak 20°C Komponen citarasa** Kamfena P-Felandren Limonen Linalool Borneo1
1,8900 1,4893
* * Analisis dengan kromatografi gas
Rasa pedas dari senyawa gingerol akan hlang atau rusak bila dipanaskan dengan larutan KOH 2 persen. Zingeron terdapat didalam rimpang jahe akan bertambah j i b terjadi dekomposisi gingerol oleh pemanasan diatas 200°C melalui reaksi "retro-aldol"
(Purseglove el a/., 198 1). Kornponen ini juga mempunyai rasa p&s,
kepedasan zat ini
akan hilang bila bereaksi dengan KOH 5 persen dan menurun selama penyimpanan.
Shovgaol dan zingeron merupakan has11 dehidrasi dan degradasi gingerol, seperti yang terlihat pada struktur kimia komponen tersebut (Cambar 2). Reaksi dehidrasi dan
degradasi berlangsuns lambat pada suhu kamar dan lebih lambat pada suasana asam. Dan jika reaksi berlanjut akan terbentuk polirner yang tidak mempunyai rasa pedas
(Spiro dan Kandiah, 1990).
dehidrasi dan degradasi ginger01 menjadi zingeron dan shogaol (Purseglove el a]., 198 1)
Gambar 2. Reaksi
3. Ekstraksi Oleoresin
Ekstraksi adalah tahapan pemisahan suatu senyawa dengan matriknya menjadi senyawa terlamt untuk tujuan identifikasi komponen maupun komersial (Houghton dan
Raman, 1998). Pentingnya mendapatkan ekstrak senyawa tertentu disebabkan; (1 )
keragaman komponen yang terkandung dalam bahan segar yang dipengmhi oleh
genetik dan lingkungan tempat tumbuh tanaman, (2) adanya perubahan-perubahan komponen selama penyimpanan dalam bentuk segar, dan (3) memenuhi konsentrasi
tertentu terhadap senyawa yang diinsinkan.
Metode ekstraksi rneliputi ekstraksi
cairan-cairan dan cairan padatan dengan menggunakan teknik rendam, coltttrer-cfirret~f
sinambung dan semi sinambung (Pomeranz dan Meloan, 197 1 ). Untuk mendapatkan senyawa yang lebih spesifik dapat dilakukan
fraksinasi
terhadap ekstrak, yaitu
pemisahan senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak dengan salah satu met& kromatografi (Houghton dm Raman, I 998).
Pemilihan
pelarut yang
akan
dipakai
dalam
ekstraksi, harus
proses
rnemperhatikan sifat kandungan senyawa yang akan diisolasi. Sifat yang penting adalah
polaritas dan gugus polar dari suatu senyawa. Dengan mengetahui sifat senyawa yang
akan diekstraksi dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan polaritas. Senyawa po!ar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non-polar lebih mudah larut dalam pelarut non-polar. h j a t polaritas bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik d
n polar p e l m t tersehut (Houghton dan Raman, 1998).
Secara umum tahapan ekstraksi terdiri atas persiapan b
h mentah, kontak
bahan dengan pelarut, pemisahan ampas dengan rnateri terekstraksi dan pemisahan
pelarut . b. Cara ekstraksi
Houghton dm Raman (1998) mengemukakan bahwa secara umum proses ekstraksi terdiri atas tiga macam yaitu maserasi, refluks dan perkolasi.
Ekstraksi dapat
dilakukan secara berturut-turut mulai dengan menggunakan pelarut non polar
(n-
heksan, sikloheksan, toluen dan kloroform) lalu menggunakan pelarut yang semi polar
(diklorometan, dietil eter dan etil asetat), kernudian dengan pelarut polar (metanol,
etanol dan air).
Ekstraksi secara bertahap seperti ini akan diperoleh ekstrak awat
(ekstrak kasar) yang rnengandung bertumt-turut senyawa non polar, semi polar dan
polar. Cara ekstraksi diatas dapat dilakukan secara dingin untuk senyawa yang tidak tahan panas atau menggunakan pernanasan untuk senyawa y ang tahan panas.
Penggunaan suhu panas dapat mempercepat ekstraksi senyawa yang dinginkan, karena
pemanasan memperbesar kelamian.
Ekstraksi dengan pelamt non polar biasanya
diperlukan untuk menghilangkan senyawa yans bersifat lemak atau rninyak sebelum
diekstraksi dengan pelarut yang s~suai. Oleoresin jahe dapat diperoleh dengan cara ekstraksi terhadap tepung jahe kering
dengan pelarut organik. Menurut Spiro ef a/. ( 1 990)
ekstraksi oleoresin dari rimpang
jahe menggunakan diklorometan Iebih cepat daripada menggunakan etanol maupun dengan isopropanol. Penggunaan peiarut aseton menghasilkan oleoresin yang pekat (Rusli, 1986),
tetapi secara tidak spesifik
juga akan terekstrak bahan lilin selain
oleoresin (Chen el a/., 1986). Sebagai contoh adalah ekstraksi jahe jamaika dengan
maserasi selama 6 jam pada suhu 30°C menggunakan pelarut organik aseton, diklorometan dan etanol diperoleh oleoresin 4-5 persen (bh)dari jahe kering.
Dari
oleoresin tersebut diperoleh kandungan gingerol berturut-turut 0,96, 0,93 dan 0,83 persen ( b h ) dari jahe kering (Spiro dan Kandiah, 1990)
c. Fraksinasi
Hasil ekstraksi bahan nabati dengan pelarut organik masih rnerupakan senyawa berbagai komponen. Senyawa tersebut dapat difiaksinasi menjadi kelompok senyawa
yang mempunyai karskteristik berdasarkan fisiko-kimia yang hampir sama. Setiap
kelompok senyawa hasil fraksinasi dapat terdiri atas satu atau lebih komponen utama. Fraksinasi dapat juga berdasarkan perbedaan kelarutan atau ukuran molekul. Pada umumnya fraksinasi dapat dilakukan dengan pengendapan, ekstraksi cairan-cairan,
kromatografi, destilasi dan elektroforesis (Harbone, 1 984). Fraksinasi dengan teknik kromatografi diantaranya adalah kromatografi kolom (KK), kromatografi lapis tipis
(KLT), dan kromatografi cair kinej a tinggi (KCKT).
Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh
sifat
kelarutan
dari
komponen
yang
bersangkut an
didalam larutan
pengembangnya, interaksi komponen dengan bahan fase diam dan pelarut dengan
fase gerak (Houghton dan Raman, 1998). Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan yang cepat dengan peralatan sederhana dm banyak parameter perwbaan yang dapat divariasi untuk
mendapatkan pemisahan yans bai k .
Kromatografi lapis tipis merupakan sistem
pemisahan adsorpsi dan partisi. Lapisan yang memisahkan terdiri
atas
fase diam
ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logarn atau lapisan yang cocok.
Campuran yang akan dipisahkan bempa larutan yang dispotkan pada plat, sehingga
menghasilkan bercak atau pita awal, kemudian plat tersebut di kembangkan dengan larutan pengembang yang cocok. Pemisahan terjadi selama peresapan secara kapiler,
kemudian terbentuk spot-spot yang terpisah. Jika spot tidak tampak dapat dilihat dengan bantuan sinar ultraviolet atau dengan menggunakan uap iodium
(Houzhton
dan Rarnan. 1998). Analisis komponen bioaktif yang mempunyai rasa pedas pada jahe yang
dilakukan dengan metode KLT silika Gm
F245rnenunjukkan bahwa komponen ini
adalah gingerol, zingeron dan shogaol, yang masing-masing mempunyai nilai Rf (Rerardatiotl fucfor) 0,15-0,22, ,
0,24-0,27 dan 0,40-0,45 (Chen el a!., 1986),
sedangkan nilai Rr 0,45-0,72 merupakan fraksi minyak atsiri. Nilai Rf dari komponen
gingerol, zingeron dan shogaol tersebut sama seperti yang diperoleh oleh Wikandari (1994).
G. MIKROBA PATOGEN PADA BAHAN PANGAN Apek mikrobiologis dalam bahan' pangan mempunyai peranan yang sangat penting karena bahan pangan dapat merupakan d a h satu perantara timbulnya penyakit . Gangguan kesehatan, khususnya gangguan pada saluran pencernaan yang
berkaitan dengan konsurnsi bahan pangan diklasifikasikw
sebagai
penyalot
berperantara makanan (foodbor~~r diseuses). Frazier dan Westhoff (1987) menggolongkan penyakit tersebut menjadi: (1)
Gangguan ahbat mengkonsumsi toksin bakteri yang terbentuk dalarn bahan pangan (intoksikasi pangan) dan (2) Gangguan karena masuhya bakteri kedalam tubuh melalui rnakanan (infeksi pangan). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang masuk kedalam tubuh melalui makanan diklasifi kasikan kedalam dua kelompok: (a) infeksi dimana makanan tidak
menunjang perturnbuhan patogen, tetapi sekedar rnembawa patogen, misalnya
penyebab tuberkulosis (M. fliherkttlosis), bmse1osjs ( ~ n r u e / / auhoflrrs), diptei i (~,Toryttebac~eri~inr diptheriae), di sentri (C bn~p~~lobaorer), kolera ( V. cholerae) dan hepatitis. (b) infeksi
dimana makanan berfungsi sebagai media kultur untuk
pertumbuhan bakteri patosen hingga mencayai jurnlah yang memadai untuk menimbulkan infeksi bag1 pengkonsumsi makanan tersebut, misalnya infeksi Salnto)~ella spp, Lisier~a ntottoc-vtogenes, I - . yarahclen~olirinrs dan
A. coli
enteropatogenik (Frazier dan Westhoff, 1987). Beberapa contoh baberi yang berhubungan dengan ganguan kesehatan berperantara makanan yans mengakibatkan diare diantaranya adalah 1: cholerae, S.
yphi dan E coli 0157:H7. 1. Salmonella typhi
Salmot?ella whi termasuk farnili Enterobuc~eriaceae,merupakan Gram negatif yang berbentuk batang. tidak membentuk spora, bersifat aerobik atau anerobik fahit atif, dan motil densan flagela peri trikat. Salmottella w h i tumbuh baik pada
suhu 3543"C, pH 7-7,5 dan a, 0,99, serta mampu memfermentasi glukosa dan karbohidrat laimya sehlngga menghasilkan asam dan gas (Roberts, 1996). Salmorlellu pphi dapat menyebabkan dernam tipoid pada dos'is infeksi kurang
lebih
lo4 cfu (Naughton er a/.,1996). Gejala yang ditimbulkannya berupa pusing,
muntah dan diare yang diikuti dengan suhu tubuh yang tinggi, sedangkan Septisernia yaitu ditemukannya bakteri S. wtlhi dalam darah, tejadi setelah 10 hari terinfeksi.
Sebagai sumber penularan bakteri rnelalui bahan pangan yang berasal dari unggas, air, debu dan lingkungan lainnya (Robert rr ul., 1 996)
2. Escherichia cedi 0157:H7
Escherichia coli 015 7:H7 termasuk famil; Et~terobactel-iucemerupakan
Gram negat if yang berbentuk batang fakultatif anaerobik, tidak berspora. flagela peritrikat dan tidak motil Bakt eri ini dapat tumbuh cepat dengan w k t u generasi rata.
rata 29 menit pada kisaran suhu 30-40°C,p H 7,O-7,5 dan
a, 0.96, tumbuh lambat
pada suhu 44-45°C dan tidak turnbuh jika berada pada suhu 10°C dan 45,S°C selama 48 jam (Doyle, 1989). E.sch~richiacoli 0157:H7 dapat bertahan pada pH normal
lambung dan tetap hidup pada pH 2,5 selama 5 jam (Donnenberg dan Nataro, .2000). Dalam media pertumbuhan, bakteri ini dapat memfermentasi glukosa dan karbohidrat lain kecuali sorbitol, dan tidak dapat menghdrolisis 4-metilumbiliferon glukoronida
sehingga tidak menghasilkan senyawa fluorogenik (Doyle, 1989). Eschtricltra. coli 01 57:H7 menghasilkan verotoksin yang bersifat sitolitik sehingga menyebabkan kolitis hernorrargik dan sindrom hemolitik uremik. Koliiis
hemorargik menyebabkan h a m perut yang diikuti dengan diare berdarah setelah
waktu inkubasi
3-8 hari. sedangkan hemolitik uremik rnenyebabkan gaga1 ginjal,
anemia dan trombositopenia atau penurunan platelet darah (Ongurenola et a/., 1 996; Venkateswaran er a/., 1997). Sumber penularan bakteri ini adalah feses ternak, sehingga penularan bakeri dapat melalui produk peternakan antara lain dagng rusa,
sapi, unggas dan susu. (Fischer er a/.,2000).
Vihrio
cl~uleruc t ermasuk famili Vi,brionaceae, merupakan bakt eri Gram
negatif yang berbentuk batang pendek kadang berbentuk koma, fakultatif anaerobik
dan motil dengan flagela polar. Tumbuh optimum pada suhu 37°C dan juga dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-43"C, pH 7,6, NaCl 0,5 persen dan a,, 0,98 (Roberts el a/.,1996).
Bakteri 1 : cholerae menghasilkan enterotoksin yang dapat menyebabkan diare berair. Bakteri tersebut banyak ditemukan didalam bahan pangan mentah, susu dan produk susu, serta bahan pangan hasil laut, menyebabkan produk ini dapat menjadi
sumber penularan bakteri (Doyle, 1989). Adanya kontaminasi V. chderae didalam makanan dan minuman, menunjukkan keadaan sanitasi yang kurang baik (Fardiaz,
1993)
H. FAKTOR VIKULENSI BAKTERl Kemampuan bak-teri menimbulkan penyakit atau daya patogen, berhubungan dengan virulensinya yaitu jangkauan daya patogen (Volk dan Wheeler, 1988). Adanya beberapa faktor virulensi dapat mengakibatkan patogenisitas bakteri meningkat,
bakteri dapat masuk kedalam jaringan tubuh dan
memsak fungsi normal tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi bakteri diantaranya adalah: (1) plasmid, (2) struktur: bakteri kapsul, adesin, (3) toksin (Volk dan Wheeler, 1988; Cox dan
Woolcock, 1 9941, dan (4) lingkungan (suhu, pH dan antirnikroba) (Doyle, 1989).
Plasmid adalah molekul DNA selain kromosom dan tidak senlua bakteri mengandung plasmid. Plasmid seringkali menyandi faktor virulensi penting dari
bakteri patogen seperti protein membran luar dan toksin (Volk dan Wheeler, 1988). Patogenesis S. hyjhi bersifat invasif kedalam jaringan epitel dan pada
salmonelosis yang kronis ditemukan bakteri herada di kantung empedu dan hati, selanjutnya
bakteri ini akan dikeluarkan dari tempat tersebut secara periodik. Sifat
invasif pada Salnrut~elln bergantung pada keberadaan
plasmid dengan BM 40-60
MDalton, yang menyandi pembentukan protein sitoskeleton seperti aktin, vinkulin,
vimentin dan enzrin. Pembentukan protein ini tejadi dalam waktu 30-60 menit pada sisi apikal bakteri >ang berhubungan dengan sisi masuknya bakteri pada epitel
(Partillo, 2000). Sifat invasif juga dimiliki oleh E. coli enteroinvasif yang bergantung pada
plasmid BM 120- 140 MDalton. Adanya plasmid ini mengakibatkan bakteri dapat
masuk kedalam jaringan
epitel, berkembang biak
didaiam sel kolon dan
menimbullian diare disentri yang diikuti respon inflamasi serta luka pada mukosa.
Escherichia coli 0157:H7 tidak pernah ditemukan berada didaiam sel epitel atau lamina propia, tetapi bakteri ini hanya menempel pada permukaan sel epitel. Oleh
karena itu patogenesis dari bakteri tersebut sangat memerlukan adanya fimbrie sebagai faktor adesin yang disandi oleh plasmid dengan BM 60 MDalton. Selain itu E. coli
01 57:H7 mempunyai plasmid pHly I5 7 yang menyandi produksi hemoliain, yang meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Ludwig dan Goebel, 199 1 ).
Sifat virulensi dari K cholera 01 berhubungan dengan keberadaan plasmid dengan BM 44 MDalton, yang
menyandi produksi protein membran luar
kDalton (Pedersen el a/., 1997). Plasmid dengan
BM 86
BM 44 MDalton pada
r/'. anp~illartcm01 menyandi protein BM 70-75 kDalton, yang diduga merupakan
proteinase dan hemolisin. Penyuntikan K a n g ~ i l i m m0 1 secara intraperitonel pada ikan salmon membuktikan bahwa adanya
plasmid tersebut meningkatkan virulensi
C: utt~iil/antm 0 1 dengan rnenurunkan nilai LDjo yaitu dari 1o7 sel menjadi 10' sel
(Pedersen et a!.,1997).
2. Struktur Bakteri
Bakteri rnempunyai beberapa struktur yang mendukung virulensinva antara lain adalah kapsul, lapisan lendir dan adesin. Struktur bakteri tersebut menyebabkan
bakteri dapat berinteraksi dan melekat pada inang dengan membentuk sum matrik atau ikatan hidrofobik, sehingga dapat mendistribusikan faktor virulensi yang lain
seperti toksin. a. Kapsul dan lapisan lendir
Beberapa bakteri mempunyai komponen yang merupakan polisakarida, polipeptida atau komplek polisakarida-polipeptida pada bagian luar dinding sel.
Komponen ini disebut kapsul jika terdapat dalam bentuk yang kompak dan jika dalam bentuk yang lebih lunak serta mudah lepas disebut lendir (Fardiaz, 1992).
.-
non fimbrie (Finlay dan Falkow, 1997).
Fimbrie memiliki berbagai mekanisme penempelan pada sel inang.
Seperti
Salnro~~elln dan E. ccoli mempunyai fimbrie tipe-1 yang memfasilitasi bakteri tersebut
dapat berikatan dengan fibronektin (glikoprotein) dan bakteri rnenempel pada vili usus, kemudian toksin yang dihasil kan dapat berinteraks~dengan sel epiiel.
I,'ihrro
choft.roc. mempunyai fimbrie tipe-I V yang dapat berikatan dengan glikokalik dari
mukosa
Selanjutnya bakteri ini menghasilkan musinase dan
mendegradasi
glikoprotein yang menyusun glikokalik tersebut, yang mengakibatkan Lakteri dapat nlasuk kedalam lapisan mukosa
sel epitel
dan toksin yang dihasilkan dapat berinteraksi dengan
Finlay dan Falkow (1997), walaupun toksin kolera sendiri dapat
rnenyebabkan penyakit, namun keberadaan fimbrie tipe-1V sangat diperlukan untuk
penyebaran toksin kedalam sel epitel. Fimbrie tipe 1V dari I : cholerae selain sebagai
faktor adesin untuk fungsi virulensi, juga berfunssi sebasai alat biogenesis alternatif ( Finlay dan Falkow, 1 997)
Lapisan protein dengan BM 38 kDalton pada membran terluar bakteri
cholerae berfungsi sebagai faktor adesin non fimbrie. Komponen ini dapat berikatan dengan fibronektin dan sebagai antigen, protein ini dapat berikatan dengan antibodi, yang mencegah interaksi bakteri dengan epitel (Peterson, 2000). Adesin non fimbrie yang lain adalah M F W (manosa-fukosa-resisten hemagglutinin) yang &hasilkan
oleh I: cholerae, merupakan protein BM 26,9 kDalton dan berfungsi sebagai sisi penernpelan pada usus. Peranan kornponen ini pada virulensi bakteri selanjutnya
belum dimengerti (Atlas, 1984) Adanya
beberapa
faktor adesin
bakteri
memungkinkan meningkatkan
patogeneisitas bakteri tersebut, karena menyebabkan bakteri dapat rnenempel pada
sel inany
3. Toksin
Toksin adalah suatu senyawa bio kimia yang di hasilkan oleh bakteri yang dapat mengakibatkan gangguatl pada fungsi normal sel dan kerusakan pada jarinsan.
Berdasarkan pada lokasi keberadaannya, toksin dibedakan menjadi eksotoksin dan endotoksirl dan berdasarkan pada reaksi biologis terhadap sel inang dibedakan menjadi
sitotoksin dan enterotoksin. Eksotoksin tnerupakan toksin protein yany disekresikan oleh bakteri kedalam tnedia pertumbuhannya. sedangkan endotoksin adalah toksill
yans djekspresikan oleh komponen dinding sel lipopolisakarida. Enterotoksin adalah toksin yang langsung disekresikan didalam saluran pencemaan dan menyerang sel
target y an2 mengakibatkan respon sekresi pada sel. sehingga terjadi diare berair tanpa inflamasi. Sitotoksin adalah toksin yang mensakibatkan diare vans diikutl kerusakan jaringan dan respon infl amasi (Doyle, 1989). Beberapa toksin yang berkaitan densan virulensi bakteri penyebab pen yakit pada saluran pencemaan antara lain: a. Enterotoksin
Telah diketahui bahwa diare dapat disebabkan oleh I:
chnlerae 01, S. Vphi
dan L. culi enterotoksigenik dan yang berperan menimbulkan penyakit ini adalah
enterotoksin yang dihasilkan Dua toksin S. nyhi yang menyebabkan diare adalah enterotoksin sitotoksin
Enterotoksin dari Scrlnrnrwlln ini mempakan eksotoksin dengan
dan
BM 90-
110 malton yang terdiri atas dua subunit A dan B Enterotoksin ini merupakan toksin
Kapsul merupakan sisi virulensi spesifik dari bakteri (K-antigen). yang
mempunyai fungsi antifasositosis terhadap sel pertahanan inang, dirnana kapsul mencegah tejadinya kontak antara bakteri dengan sel fagosit, ha1 ini disebabkan oleh
sifat ionik dan hidrofilik dari polisakarida penyusun kapsul (ack dan Silver, 1996). Selain itu kapsul juga melindungi bakteri dari aktivasi kornplemen - (utr/ibrw''i~rdeptrdrr~t) vang dapat melisis sel bakteri dan opsonofagositosis. Lapisan lendir
sebagai antigen M pada bakteri berfungsi melindungi sel dari kekeringan. Polisakarida penyusun kapsul memberikan kontribusi 0,2 persen dari berat kering E- coli. Polisakarida ini merupakan polisakarida asam yang mengandung N-
asetil-D-glukosamin,
asam
N-asetil-D-manosaminuronik, dan asetamido-4,6-
dideoksi-D-galaktosa, yang berikatan secara kovalen dengan fosfolipid dari rnembran
terluar sel. Kornponen ini bersusun seperti matrik yang memberi perlindungan pada
sel (Rick dan Silver, 1996). b. Adesin
Adesin mempakan faktor penempelan bakteri pad& reseptor spesifik dan
berkolonisasi bakteri dengan sel inang. Senyawa ini menentukan virulensi bakteri, namun tidak semua senyawa adesin dapat rnerupakan faktor virulensi yang penting.
Secara garis besar faktor adesin dibedakan menjadi dua golongan yaitu fimbrie dan non fimbrie (Finlay dan Falkow, 1997).
Fimbrie rnemiliki berbagai mekanisme penempelan pada sel inang.
Salntotlellfl dan b5. coli
Seperti
mempunyai fimbrie tipe-1 yang memfasilitasi bakteri tersebut
yang labil twhadap panas (LT:
heat lahilt. loxirr) dan sensitif terhadap pronase
maupun tripsin (Doyle, 1989). Sedangkan dua toksin I;. coli enterotoksigenik yang menyebabkan diare adalah toksin yang labil terhdap panas (LT) clan tahan panas
(ST: heat stable l o x i t ~ )Toksin . LT yang terdiri atas dua subunit A (BM 25-28 kDalton)
dan B (BM 1 1- I3 kDalton), menjadi tidak aktif jika dipanaskan pada suhu 65°C selama 30 menit. Toksin ST terdiri atas subunit A (BM 28 kDalton) dan subunit B (1 1 D a l t o n ) dan tidak akt if jika dipanaskan pada 160°C selama 30 menit (Doyle. 1989). Enterotoksin LT dari Sulntotlella dan E. coli dapat dinetralisir oleh antitoksin
kolera, dimungkinkan ketiga toksin tersebut mempunyai sisi akti f yang sama dan
mekanisme toksisitas yang sama pula yaitu mengaktivasi adenilat siklase. walaupur! produksi LT &Irno~lella dan toksin kolera (CT: cholera ioxitr) disandi oleh gen kromosom (Partillo, 2000), ssdangakan LT E. coli enterotoksigenik disandi oleh plasrnid (Donnenberg dan Nataro, 2000). Toksin kolera merupakan oligomer protein yang terdiri atas subunit Al dengan
BM 23.5 Dalton, yang dihubungkan dengan lima molekul subunit B yang masingmasing mempunyai BM 11 Dalton. Kedua subunit protein ini dihubungkan oleh protein subunit A2 BM 5,5 kDalton, sehingga membentuk agregasi pentamer. Toksin kolera subunit
B tersebut dapat menempel pada resep tor monosialosil gangliosida
IGMI) yang terdapat pada membran sel epitel. Ikatan tersebut mengaktifkan subunit A
masuk kedalam sel dan rnengkatalisis ADP-ribosiiase dengan berikatan
residu areinin dari a-subunit Gas (protein guanilnukleotida).
pada
Modifikasi Gms ini
menzakt ifkan adenilat siklase dan meningkatan siklik adenosil 3'- 4'
rnonofosfat
(CAMP) didalam sel, yang bertanggungjawab terhadap transpor ion didalam sel vili dan crypt dah-i mukosa usus, sehingga terjadi sekresi Cl- kedalam lumen usus
dan
pengharnbatan penyerapan Na' (Holmgren, 1978; Kobert et a/., 1996).
Mekanisme toksisitas enterotoksin ST dari
E. coli mengaktifkan guanilat
siklase yang dapat mengakibatkan akumulasi siklik suanosil 3', 4' monofosfat (cGMP) didalam sel epitel, tetapi tidak pada jaringan lain, sehingga tejadi sekresi cairan elektrolit non CI' dan mungkin bikarbonat. Sel epitel memberi respon reaksi
adenilat siklase terhadap enterotoksin ST setelah 6 jam kontak, sedangkan respon
terhadap LT terjadi setelah I8 jam kontak
sehingga gejala yang ditimbulkan oleh
ST akan lebih cepat daripada LT (Doyle, 1989).
b. Sitotoksin
Sitotoksin dari S. tyyhi dilaporkan oleh banyak peneliti merupakan toksin yang terikat pada dinding sel bakteri. Toksin ini
merupakan toksin
ST dan dapat
dinetralisir oleh anti serum terhadap toksin shlgella (Doyle, 19891, oleh karena itu disebut juga dengan toksin shiga. Toksin ini &pat rnelisis kultur sel Vero dan CHO (chitlese
hantster ovary), dan rnenghambat sintesis protein sel Vero. Pada kelinci
percobaan diketahui toksin dapat menguransi pengambilan leusin-H~oleh sel epitel
.
Diduga bahwa sitotoksin lebih berperan rnenghambat sintesis protein di vili daripada di L ~ I ' J ~dari T sel epitel usus.
Patogenesis
coli 0 157:H7 diketahui bahwa ekstrak bakteri
dan isolat
supernatan kultur dapat melisis sel Vero, tetapi tidak berpengamh terhadap sei CHO dan adrenal
(Y-1)Toksin tersebur dapat dinetralisir
oleh antiserum dari kelinci yang
diimunisasi dengan toksin shiga, sehingga diduga isolat dan kultur supernatan tersebut merupakan Shi*
like tox~tlatau verotoksin- I (VT- I 1. Verotoksin- 1 ini mempunyai
struktur molekul yang terdiri atas subunit A (BM 29-3 1 kDalton) dan subunit B ( BM 5-6 Dalton) (Doyle, 1989: Donnenberg dan Nataro, 2000).
Pada filtrat dari kultur E. coli 0157:H7 ditemukan protein yang terdiri atas subunit A (BM 32 kDalton) dan subunit B (BM 6-7 kDalton). Protein ini disebut verotoksin-2 (VT-2) karena mempunyai pengaruh yang berbeda dengan VT-1
terhadap hewan percobaan. Verotoksin- 1 dan VT-2 dapat mengakibatkan paralisis pada kaki mencit, selain itu VT-2
juga mengakibatkan penekanan pada saluran
pernafasan setelah 24 jam diinjeksi secara intravena rnaupun intraperitoneal, tidak berselera setelah 36 jam dan rnati setelah 48 jam (Doyle, 19891..
Pada supernatan kultur E;. coli 0157:H7 juga diternukan toksin protein dengan BM 64 malton, foksin ini tidak dapat dinetraiisir dengan antitoksin shiga, sehingga dikatagorikan sebagai VT-3. Analisis histologis menunjukkan bahwa ketiga toksin VT- 1, W-2 dan W-3 mengalubatkan membran kolon hancur, akumulasi darah di dinding lumen kolon dan epitel hilang, narnun gejala yang ditimbulkan oleh VT-1
dan VT-2 lebih ringan daripada VT-3. Oleh karena itu diduga bahwa VT-3 bertanggungjawab terhadap gejala kolitis hemorrargik dan sindrorn hemolitik uremik
(Doyle, 1989). c. Endotoksin
Dinding sel bakteri Gram negatif terdiri atas peptidoglika~yang dilapisi oleh protein, lipid dan lipopolisakarida (LPS j. Komponen LPS dapat bersifat toksik, tetapi
tidak semua LPS bersifat toksik. Sebagai contoh adalah LPS dari bakteri E. colr yang secara normal ada didalam kolon t idak bersifat toksi k, karena komponen pbda bagian core polisakarida penyusun LPS tersebut tidak sempurna. Perubahan stmktur LPS
pada bakteri dapat dilihat dari perubahan pelisisan bakteri o!eh bakteriofage. Mutasi bakteri fage-4 menjadi fage-7 dapat mengakibatkan bakteri virulen menjadi tidak
virulen (Cox dan Waalcook, 1994).
Lipopolisakarida pada bakteri terdiri atas tiga bagian yaitu: bagian proksimal adalah lipid A vang bersifat hidrofobik, bagian distal adalah polisakarida (antigen-0). yang
bersinggungan dengan media; bagian
core adalah polisakarida yang
menghubungkan bagian distal dan proksirnal. Li$id A merupakan lipid polar yang terdiri atas glukosarninil P (1-6) glukosamin dan disubtitusi 6-7 residu asam lemak jenuh.
Bagian proksimal dari core dan lipid A rnenyebabkam bakteri mempunyai
muatan ionik. Sifat mutan bakteri yang disebabkan kehilangan antigen-0
dapat
mengakibatkan
LPS tidak sernpurna, seperti
bakteri
kehilangan virulensinya.
Selanjutnya diduga bahwa keberadaan antigen-0 ini merupakan sistem untuk rnenghindar dari sistem pertahanan inan3 vaitu fagositosis oleh makrofag (Nikaido, 1996).
Adanya lipid A pada LPS, Saln~ar~e//a dapat hidup didalam sel makrofag dan
bertahan dari serangan superoksida dismutase dengan menghasilkan enzim katalase. d. Hernolisin
Toksin bakteri yang lain adalah toksin yang dapat menyisip pada membran plasma sel inang, dengan mernbentuk pori atau saluran setilngga mengakibatkan sel
inang lisis. Toksin ini disebut hemolisin yang merupakan protein ekstraseluler. Hemohsin dihasilkan antara lain oleh I : chokerne 01 (Toda rr crl, 1991). S.f l t i r e ~ ~ t
(Tomita dan Kamia. 1997), H.
uerc.~r.s (Coolbaugh
e/ a/. 1972), Microc0ccri.s
radiophiitis (Welch dan Maxcy. 1979). L. coli (Nikaido, 1996) dll. Ludwis dan Goebel ( 199 1) mengkarakterisasi hemolisin I.:
cholerae dan b;. ccnli sebagai
polipeptida berturut-turut dengan BM 65,3 kDalton dan 110 kDalton. sedangkan,
hemolisin S,
a#~-eits
rnerupakan polipeptida dengan BM 56 kDalton (Tornita dan
Kamia, 1997) Pengaruh 200-500 pg hemolisin pada RILT (rabbi1 ileal loop test) memberikan
respon positif yaitu menyebabkan akumulasi cairan usus mengandung darah, sehingga hemolisin juga disebut enteropatogenik toxin. Hemolisin yang diperoleh dari fikrat kultur E. coli dapat menyebabkan perubahan pada CHO (Wadstrom, 1978). Hemolisin mampu membuat pori berdiameter 3 - 3 3 nm pada membran sel
darah merah maupun Iimfosit dan leukosit. Aktivitas hemolisin pada media agar darah digolongkan menjadi dua yaitu: p-hemolisis,
menghasiikan areal bening yang
sempurna disekeliling koloni, sedangkan a-hemolisis menghasilkan areal bening
parsial (Atlas, 1984). Kerentanan eritrosit terhadap hemolisin diduga karena eritrosit
memiliki reseptor, namun sampai mat ini sisi eritrosit
yang mempunyai afinitas
terhadap hemolisin belum diketahui tetapi diduga reseptor hemolisin adalah fosfatidilkolin dan spingomielin (Tomita dan Kamia, 1997)
sulit untuk mengekspresikan virulensinya didalam saluran pencemaan mamalia, tetapi tidak pada inang yang bersifat poikilotermik (Doyle, 1989). Suhu juga mendukung produksi dan reaksi faktor virulensi, seperti halnya
faktor virulensi hemolisin. Hemolisis tejadi karena suhu yang mendukung terjadinya
ikatan antara monomer hemolisin dengan membran eritrosit yang mensakibatkan lisis dari eritrosit. Hemolisis terjadi pada suhu 37"C, tetapi tidak pada suhu 4"C, ha1 ini menandakan pada suhu rendah tidak terjadi ikatan hemolisin pada eritrosit (Baida dan Kuzmin, I 996).
I* RESEPTOR MEMBRAK Secara umum reseptor mempakan makromolekul yang terdapat pada membran sel inang, yang M n g s i mengenali dan mengikat molekul diluar sel yang disebut
ligan {Cau dan Seite 1999). Reseptor dikatagorikan menjadi dua berdasarkan lokasi
reseptor yaitu reseptor intraseluler (berlokasi didalam sel) dan reseptor ekstraseluler (berlokasi pada plasma membran).
Reseptor int raseluler pada sel inang befingsi
mengikat ligan yang bersifat hidrofobik (hormon dan steroid) dan reseptor pada plasma mernbran berfungsi rnengikat ligan yang bersifat hdrofilik.
Berdasarkan rnekanisme terhadap efek yang dihasilkan oleh adanva sinyal yang diberikan, reseptor membran plasma dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: ( 1 ) Reseptor tipe 1, mempunyai aktivitas enzimatik yans mensaktiflcan tirosin kinase
dan mengakibatkan terjadinya reaksi fosforilasi berantai didalam sel. Contoh reseptor ini adalah reseptor insulin dan honnon perturnbuhan. (2) Reseptor tipe tl memberikan
sinyal terhadap membuka dan menutupnya saluran spesifik terhadap ion tertentu vaitu
Na', K T dan CI-, sehingga memberikan perubahan ionik didalam set. Sebagai contoh asetil koiin yang merupakan reseptor dari nikotin. Interaksi antara reseptor dengan
nikotin dapat mengakibatkan saluran Na- dan K' membuka. (3) reseptor tipe 111.
merupakan reseptor yang bekej a sama dengan protein G, yang dapat mengaktifkan enzim plasma dan saluran ionik (Cau dan Seite, 1 999).
1. Interaksi Toksin dengan Reseptor
Enterotoksin merupakan ligan yang secara spesifik dapat berikatan dengan GMI yaitu sisi reseptor pada rnembran sd inang dengan struktur molekul sepeiti
terlihat pada Gambar 3. Gugus karbonil pada reseptor merupakan sisi y a y membentuk interaksi hidrofobik antara GM
dengan ligan (Karlsson ef a/., 199 1 )
Enterotoksin CT dan LT maupun VT mernpunyai reseptor yang sama yaitu GM
,.
namun epitop pada reseptor dari masing-masing toksin berbeda. Ikatan tersebut dapat
diharnbat oleh senyawa seperti oligosakarida dan polilisin (Schengrund dan Ringler. 1 989). serta larutan elektrolit pH 5,5 (Luckham dan Smith, 1998).
Gambar 3. Struktur GMI pada membran sel inang terdiri atas ( 1 ) Galaktosa: ( 2 ) N-asetilgalaktosamin, ( 3 Glukosa; (4) Asam N-aset ilnuraminik; ( 5 ) seramida (N-asilspingosin) (Gill, 1 978)
Interaksi ligan-reseptor mernpunyai lima karakteristik yaitu: afinitas tinggi, jumlah reseptor yang terbatas, spesifik, interaksi reversi be1 dan transkonformasi dari
reseptor. Sebagai contoh CT mempunyai afinitas tinggi terhadap GM, , untuk
membentuk ikatan ligan-reseptor memerlukan waktu 2 4 detik dan transmernbran dari
toksin subunit A memerlukan waktu 30 detik. Tabel 5 menilnjukkan hubungan jaringan dengan jumlah reseptor toksin kolera, Gill ( 1978) menjelaskan bahwa rnukosa
usus kecil mempunyai reseptor yang lebih banyak daripada jaringan yang lain
Tabel 5 . Jumlah toksin kolera yang terikat pada sel dari berbagai hasil pengarnatan. Data mempakan ekspresi inkubasi 1 pg sel dengan I ng toxin Jaringan
Jurnlah molekul toksin kolera yang terikat per sel
Mukosa usus kccil (manusia)
1S.WO
Mukosa usus kecil rusa
2.600.000
Otak marmut
1.WO,MW
Adiposa t h s
20.000
Limfosit tikus
40.otH)
Eritrosit tikus
50 .OIMl
Eritrosit rnanusia
60
(Gill, 1978) 2. Mekanisme Transduksi Sinyal pada Reseptor
Interaksi enterotoksin dengan reseptor memberikan sinyal terhadap kompanen sel denyan mekanisme seperti pada reseptor tipe 111, yang secara skematis dapat
dilihat pada Gambar 4. Sebagai contoh adalah toksin kolera dimana subunit B sebagai sisi yang terikat pada reseptor, sedangkan subunit A masuk kedalam membran plasma
secara penetrasi langsung, karena mempunvai aktivitas ADP-ribosiltranferase NADdependen dan berpasangan dengan protein G didalam sitosol (Holmes el a!., 1990). Protein G merupakan protein polimer yang terdiri atas subunit
intermediat dari protein G rnenginduksi
a.fi
dan
y.
Sinyal
Ga rnernisah dari Goy, selanjutnya
mengakibatkan perubahan ADP menjadi GTP. Protein subunit Ga merupakan sisi
Toksin
GDP
Efek 1
2
+ GTP
3
1. Salunn ionik mcmbuka 1 Adcnilat siklase aktif j . CAMPmeningkat ) fosforilasi meningka~
Gambar 4. Kemungkinan model mekanisme ikatan dan translokasi toksin kolera pada membran sel eukariot; menggambarkan toksin subunit B berikatan dengan GMI dari membran sel eukariot dan rnemfasilitasi reaksi enzimatik yang mengakibatkan toksin subunit A dapat mencapai bagian hidrofobik membran (Cau dan Seite, 1999)
yany dapat berikatan dengan guainilnukleotida dan mengaktifkan ATPase,
karena
adanya t oksin kolera yang berikatan dengan Ga mengakitatkan enzim ATPase terhambat sehingga tidak
teqadi hidrolisis GTP menjadi GDP dan adenilat siklase
tetap aktif Akibatnya CAMP rneningkat. selanjutnya Na' dm cairan meningkat dalam
epitel sel. Sekresi cairan kedalarn lumen usus meningkaL, sedangkan penyerapan air dan Na' didalam kolon terhambat sehingga terjadi diare berair (Montecum el a/.,
199 1 ; Cau dan Seite. 1999).
J. DAFTAR PUSTAKA Amirnrdin, M. 1985. hlempelajari Yengaruh Jenis Pelarut Serta Perbandingan Jumlah Pelarut Terhadap Rendemen dan Sifat Fisikokimia Oleoresin Jahe (Zii~giheruffic~~~alt! Roscoe). Skripsi FP W A S . Ujung pandanz.
Anonim. 1991. Pedoman Pengadaan Rimpang Jahe Bebas Penyakit Untuk Bibit. BPTRO PPPTI. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Anonim. 1992. Teknik Budidaya Jahe Gajah. BPTRO. PPPTI. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Atlas, S.R.M. 1984. X.licrobiology Fundamentals and Application. Cullier Macmillan Publishers. London.
Baida,G.E. and 5 . P . Kuzmin. 1996. Mechanism of action of hemolysin I11 from Racillrrs cereus. J. Biochimica et Biophysica Acta. 1 284: 122- 2 24. Baron, E.J., L.R. Peterson and S.M. Finegold. 1995. Diagnostic Microbiology. 9 eds.
Bailey and Scott"s Publisher. London.
Carson, C. F. and T.1'.Riley. 1995. Antimicrobial activity of the major components of the essential oil of Melalet~ccrallen~rfoiia.J. Appl. Bacterial. 78: 264269 Cau,
P. and R.Seite. 1999. Coursde Biologie Cellulaire 2ndeds. Revue et Mise a Jour. 32 Rue Barque. 7574000 Paris Cedex 15.
Chen, C . C . , M.C. Wuand and C.T. Uo. 1986. Pungent compounds of ginger ( Z I Irgiher r ~ ~ f i o i t t c rZloe.vct~) /~~ extracted by liquid carbon dioxide. J . Agic Food Chem -34 ( 3 ) 477-480 Conner, D.E. 1993. Naturally occuring compounds. in Davidson, P.M. and A. L Branen. Antimicrobials in Foods. 2"deds. Marcel Dekker, Inc. New Yorl;.
Coolbaugh, J .C., R.D. Wende a ~ dR.P. Williams. 1972. Microtitration of Boci//tt.s or,uti.s hemolysin. J . Appl. Microbiol. 24 ( 6 ) :997-998. Cox, J .M. and. I.B. Woolcock. 1 994. Lipopolisaccharide expression and virulence in mice of Australian isolates of Snlniot~uffrrlrferilrdis. J . Letters In Appl. Microbiol. 19. 95-98,
Davidson, P.51,and X.L Branen 1993. Antimicrobials in Foods. Dekker. Inc. New York.
2'ld
eds. Marcel
Donnenberg, M.S . and J .P.Nataro. 2000. The molecular pathogenesis of Esclrericl~in colt infections. In Cary, J.W., J.F. Linz and D.Bhatnagar Eds. Microbial
Foodborne Disease: Mechanism of pathogenesis and roxin synthesis. Technomic Co. Inc. Lencaster. Doyle, M.P.1989. Foodborne Bacterial Pathogen. Marcel Dekker Inc. New York Duncan-Hewitt, U1.C.1990. Natural of the hydrophobic effect. In Doyle, R.J and. M. Rosenbers Eds. Microbial Cell Surface Hydrophobicity. American Society for hlicrobiology.Washington. D.C.
Fardiaz, S. 1992. hfikrobioiogi Pangan I. Gramedia. Jakarta. -?
S. 1993. .Analisis Mikrobiologi Perkasa. Jakarta.
Pangan
dm Gizi, IBP, PT Raja Gafindo
Finlay, B.B. and S. Falkow. 1997. Common themes in microbial pathogenicity revisited, hlicrobiology and Molecular Biology Reviews. P: 136- 169. Fischer, J.R T. Zhao. h1.P Doyle, M.R. Galdberg, C.A. Brown, L.T. Sewell, D.M. Kawanaugh and C . D . Bauman. 2000. Experimental and field studies of L. coli 0 157 H7 in white tailed deer. J. Appl. And Env. Microbiol. 67 (3): 1218-1223
Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1987. Food Microbiology. Tata McGraw-Yill Publishing Company Limited. New Delhi.
Furia. T.E 1978. Haid Book of Food Additives. The Chemical Rubber Co Ohio
Gill, D.M. 1978. Seven toxic peptides that cross cell membranes. In Jeljaszewicz, J. and T. Wadstrom Eds. Bacterial Toxins and Membranes, Academic Press. London. Guenther, E . 1952. The Essential Oil Vol. I . D. van Nostrands C o . Inc. New York Gordon, C.A, N.A. Hodges and C. Marriott. !988. Antibiotic interaction and diffusion
through alginat and exopolysaccharide of cystic fikosisderived I'.srrrhntot~asarrogi~tosa.J. Antimicrobial Chelnotherapy. 22: 667-674.
Harborne, 3.13. 1 984. Phytochemical Methods. 2"deds. Chapman and Hall. London
B. Pharus. 1978. Flavor Technology: Profils and Applications. Publisher Co. lnc. West Port, Connecticut.
Heath, H.B. and
Hiserodt, R.D., S.G. Franzblau and R.T. Rosen. 1998. Isolation of 6-, 8- and 10ginger01 from ginser rhizome by HPLC and preliminary evaluation of inhibition of Mycobucieritrm mdlrnl and Mycobacleritrtn t~iberctrlosts.J . Agric. Food Chem. 46:2504-250s
-
Holmes, R.K., E.M.Twiddy, C.L Pickett, H. Marcus, M.G. Jobling and F.M.J. Petitjean 1 990. The Escherichin coiil l ?brio cho!erae family of enterotoxins. In Pohland. A.E, V.R Dowell. Jr. and J.L. Richard. Eds. Microbial Toxin in Foods and Feeds, Cellular and molecular modes of action. Plenum Press. New York
Holmgren, J. 1978. Cholera toxin and cell membrane. In Jeljaszewics, J. and T. Wadstrom. Eds. Bacterial Toxins and Cell Membranes. Academic Press. New York. Houghton, P.J. and A. Raman. 1998. Laboratory Handbook.For The Fractionation of Natural Extracts. Chapmal and Hall. Tokyo. Kanazawa, A,, T. Ikeda and T. Endo. 1995. A Novel approach to mode of action of cationic biocides: morphological effect on antibacterial activity. J. Appl. Bacterial. 78: 55-60. Karlsson, K.A., 1. Angstrom and S. Teneberg. 1991. On the characteristics of carbohydrate receptors for bacterial toxins: aspects of the analysis binding epitope. In Alouf, J .E. and J .H. Freer. Eds. Sourcebooks of Bacterial Protein Toxins. Academic Press. London. Khirzuddin, M . 199 1. Karakteristik Ekstraksi Oleoresin Jahe. Skripsi. FTP. IPB. Bogor.
Kim, J.M, M. Marshall, R. Coenell, J.F. Boston and C.1. Wi. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral and geraniol against Snlnrottclllr typhinrrrri~~m in culture medium and on fish cubes. J . Food Sci. ( 6 ) : 1365- 1368 Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kubo, 1., H. Muroi and. H. Himejima. 1993. Structure-antibacterial activity relationships of ntmcnrd~cacid. J. A~ric.Food Chem. 4 1 : 1 0 1 6- I 0 19 Luckham, P.F. and K Smith. 1 998. Direct measurement of recognition force between protein and membrane receptors. J. Farady Discuss (1 l I ) : 30 1-343.
Ludwig, A. and W. Goebel 1991. Genetic determination of cytolitic toxins from gram negative bacteria. In Alouf, JE. and JH. Freer. Eds. Sourcebook of Bacterial Protein Toxins. Academic Press. London. McKenney, D..L. Wilicock, P.A. Tmeman and D.G. Allison. 1994. Effect of sub-Mic antibiotic on the cell surface and extracellular virulence determinants of I ' s e t ~ d o n o cclyuclcr. . J. A ~ p lBacteriol. . 76: 190-195.
Montecucco, C.. E. Papini and G. Chiavo. 1991 . Molecular model of toxin membrane translocation. In .4louf, J.E. and J.H. Freer. Eds. Sourcebook of Bacterial Protein Toxins. Academic Press. London Muhammad, E.H. and. P. Wahid. 1993. Potensi Pen2embangan Perkebunan Jahe dan Tanarnan Temu-temuan lain Dalam PJPT 11. BPPT BPPTL. BALITRO. Bo_eor Naughton ,P. J.. G. Grant, R.J. Spencer, S. Bardocz and A. Pusztai. 1996. A rat mode! of infection by Salniortelln Qyhimtrriitm or S, enrerifidt.~. J. Appl. Bacteriol. 81- 651-656
Neidhardt, F.C. Ed. 1996. The enteric bacterial cell and the age of bacteria. In Neidhardt FC. Escherichia colt and Salnlairellcr. Cellular and Molecullar B i o l o ~ASM . Press. Washington D.C. Nikaido, H. 1996. Outer membrane. In Neidhardt F.C. Ed. Escherichia coli and Salntor~rllcr.ASM Press. Washington D. C. Nychas, G.J.E. 1995. Natural antimicrobials from plants. In Gould, G . W . Eds. New Methods of Food Preservation. Blackie Academic and Profesional. London.
Ogunrenola, 0 . A D.Y.C. Fung and 1.J. Jeon. 1996. I~scherrchiauoli 0157:H7 srowth in laboratory media as affected by phenolic antioxidants. J . Food Sci. 61 ( 5 ) : 1017-1020. Oti, E.. P.A. Okwuowulu, S . 0 . Alozie and V.U. Ohiri. 1990. Effect of age at harvesting on the chemical qualities of ginger rhizomes (angiber officitlale Roscoe). J . Beitrage-zur-Tropischen-Landwirtschafi-und-Vete~namedizin, 3-275-282. Partillo. F.G. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis. In Cay JW,J.F. Linz and D. Bhatnagar. Eds. Microbial Foodborne Disease:
Mechanism of Pathogenesis and Toxin synthesis. Technomic Company lnc. Lencaster. Pedersen, K . , L Gram, D.A. Austin and B . Austin. 1997. Pathogenicity of k7ibrto nt~prrillanrmserogroup 01 strains compared to plasrnids, outer membrane protein profiles and siderophore J. Appl Microbiol. 82: 365371.
Peterson, K.M. 2000. Molecular pathogenesis of Vibrio infections. In Cary JW, J.F. Linz and D. Bhatnagar. Eds. Microbial Foodborne Disease: Mechanism of Pathogenesis and Toxin synthesis. Technomic Company Inc. Lencaster. Pomeranz, Y . and E. Meloan, 1971. Food Analysis: Theory and Practice. AVI Publishing Company, INC. Westport Conecticut. Prindle, R.F. 1983. Phenolic compounds..In Block SS. Ed Disinfection Sterilization and Preservation. Lea and Febiger. Philadelphia.
Purseglove, J.W. E.G. Brown, C.L Green and S.R.J. Robbins. 198 1 . Spices. Vol. 1. and \:ol. I1 Lon_aman Group Ltd. London.
Rick, P.D. and R. Silver 1996. Enterobacterial common antigen and capsular pol ysaccharides. In Neidhardt, F C . Ed. Escherichia coli and Salmotteila, Cellular and Molecular Biology. ASM Press. Washington, D.C. .
Roberts, T.A._ A.C. Baird-Parker and R.B. Tomkin. 1996. Mcroorganism in Foods. Chapman and Hall. London. Ross, Z.hl., € . A . O'gara, D.J. Hill, H.V. Sleightholme and D.J. Maslin. 2001.
Antimicrobial properties of garlic oil against human enteric bacteria: Evaluation of methodologies and comparisons with garlic oil sulfides and garlic powder. J. Appl. And Env. Microbiol. 67 ( I ) . 475-480.
L
Rusli, S. 1986. Mutu dan Pengdahan Jahe. Direktorat Jenderal Perkebunan. BPPT. Bogor. Sastrapraja, S. 1 977. Urnbi-umbian. Lembaga Biologi Nasional . LIPI. Bogor Schengrund, C.t and N.J. hngler. 1989. Binding of b'ibrio cholera toxin and the heat labile enterotoxin of E. cofi to GM1, derivative of GMI. and non lipid oligosacharide pol~valenligands. J. Biol. Chem. 264 (22): 3 323;- 13237.
Shahidi, F. and M.Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Co., Inc. Lancaster Spiro, hl, and M. Kandiah. 1990. Extraction of ginger rhizoma partition constants and other equilibrium properties in organic solvents and in supercritical carbon dioxide. J. Food Sci. And Technol. 25: 566-575.
Spiro. M.,M . Kandiah and W. Price. 1990. Extraction of ginger rhizome: kinetic studies with dichloromethane, ethanol, 2-propanol and and aceton-water mix--ure.J. Food Sci. And Technol, 25: 157-167.
Teisser, P..J. 1994. Chemistry of Fragrant Substance. VHC. Publisher, lnc. New York
Thompson, J.L. and. M. *nton ,1996. Effect of shorr-chain fatty acids on the size of bacteric. J. Letters In Appl. Bacteriol. 22: 408-4 12. Toda, M.,S.Okubo, H. Ikagi, T. Suzuki, Y. Sumki and T. Shimamura. 1991. The protective of tea against infection by I'ibriu cholerae 01. J. Letters In Appl. Bacteriol. 70: 109- 1 12. Tomita, T. and Y. Kamia. 1997. Molecular biology of pore-forming cytolysins from Sraph~.lococc~cs artreus, a- and y-hemolysins and leucocidin. J. Biosci. ~iotech.Biochem 6 1 (4): 565-5 72.
Y. Kamijoh and E .Ohash. 1997. A. Simple filtration technique to detect enterohernorrhagic Escherichia coli 0157:H7 and its toxin in beef by multiplex PCR J. Appl. And Env. Microbiol. 6 3 ( 1 ): 4127-41 3 1.
Venkateswaran, K.,
Volk .W.A. and M.F. Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.
Wadstrom, T. 1978. Advances in the purification of some bacterial protein toxins. In Alouf, JE. and H.Freer. Eds. Sourcebook of Bacterial Protein Toxins. .Academic Press. London.
Welch, A.B. and R.B.Maxcy. 1979. Significance of hemolytic activity of some radiation resistant Micrococci. J . Appl. And Env. Microbial. 38 ( 5 ) : 902-
905,
Wikandari, P.R. 1994. Pengembangan Metode Ekstraksi Dalam Analisis Gingerol Dari Jahe Dan Beberapa Produk Jahe Olahan (Zirrg'her qficittale Roscoe) (Thesis). IPB