Program Penelitian Veteriner
I. PROGRAM PENELITIAN VETERINER Sesuai dengan tujuan pertama kali sebagai Veeartsenijkundig Laboratorium (VL) untuk mengatasi wabah penyakit pes, maka saat itu program penelitian belum direncanakan secara spesifik, teratur dan terprogram tetapi tergantung kepada wabah penyakit yang sedang berjangkit. Kondisi yang sama juga dijumpai setelah kemerdekaan RI mengingat perhatian masyarakat Indonesia dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Program penelitian mulai direncanakan dan diarahkan secara baik pada era 1980an, khususnya sejak berlangsungnya kerjasama bantuan teknis dari pemerintah Australia ATA 219 maupun Inggris ATA 244. Selanjutnya program penelitian lebih diarahkan lagi secara spesifik pada tahun 1990an yang mana program penelitian ditentukan berdasarkan permasalahan yang dihadapi, prioritasisasi, maupun perubahan-perubahan lingkungan strategis. Pada saat ini Bbalitvet telah memiliki Visi dan Misi untuk masa 5 – 10 tahun. Program penelitian Veteriner akan dibahas sesuai dengan sejarah Balai yang dikelompokkan menjadi: 1. Program peneliti pada masa awal balai (1908 – 1968) 2. Program penelitian pada masa awal pembangunan nasional (1969 – 1979) 3. Program penelitian pada masa kerjasama (1980 – 1990) 4. Program penelitian 1991 – 2000 5. Program penelitian 2001 – sekarang
113
Seratus Tahun Bbalitvet
I. Program penelitian pada masa awal (1908 – 1968) Salah satu kendala dalam pengembangan peternakan adalah belum terkendalinya berbagai jenis penyakit, sehingga sering kali terjadi wabah penyakit yang bersifat endemik yang sewaktu-waktu dapat menyerang ternak. Selain itu, penyakit eksotik dapat pula menjadi kendala di dalam pembangunan peternakan sehingga perlu mendapatkan perhatian. Dari sekitar 300 jenis penyakit hewan di seluruh dunia, hampir sepertiganya dijumpai atau telah dikenal dan menyerang ternak rakyat di Indonesia. Selain menimbulkan kematian ternak, serangan penyakit menular akut dapat pula menimbulkan ganguan produksi dan produktivitas ternak, gangguan pertumbuhan dan turunnya daya tahan. Sementara itu, serangan penyakit kronis akibat cendawan, parasit, racun, virus dan mikroba mengakibatkan ganguan reproduksi, defisiensi dan keracunan. Sebagai lembaga penelitian, Balitvet senantiasa menyediakan pelayanan penelitian dan diagnostik dibidang Veteriner secara luas. Hasil penelitian terutama penelitian terapan dan yang berdampak positip disebarluaskan kepada masyarakat melalui jalur-jalur yang relevan seperti publikasi ilmiah, seminar ilmiah maupun penerbitan brosur. Demikian pula pelayanan diagnostik selalu dikembangkan dan ditingkatkan efisiensi dan akurasinya melalui alih teknologi yang lebih mutakhir. Produksi bahan biologi dan vaksin Hampir setiap tahun pembangunan peternakan di Indonesia dihadapi oleh berbagai masalah kesehatan ternak seperti penyakit endemik yang akut dan ganas. Berbagai jenis penyakit hewan tercatat telah mewabah di beberapa kawasan di Indonesia pada masa awal sejarah Balai ini, antara lain
114
Program Penelitian Veteriner
penyakit pes sapi (plaque), penyakit ngorok (haemorrhagic septicaemia), penyakit radang limpa (anthrax), penyakit radang paha (Black leg, botulismus), dan sebagainya. Melalui inovasi-inovasi baru di bidang imunologi yang dihasilkan oleh Dr. de Blieck, maka keganasan penyakitpenyakit tersebut dapat dikurangi. Pada masa tersebut, hasilhasil penelitian mampu memberantas penyakit haemorrhagic septicaemia di Banten, penyakit radang di paha di daerah istimewa Yogyakarta serta radang limpa di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Tapanuli dan pulau Lombok. Balai juga berhasil memproduksi berbagai jenis bahan suntikan (vaksin dan antisera), diantaranya untuk pengendalian radang limpa, septicaemia kerbau, radang paha, kolera unggas, penyakit pada babi, cacar dan dipteri ayam. Pada tahun 1920an Balai telah mengeluarkan sebanyak 3,473 liter antisera atau serum kebal dan 867 liter Vaksin, akan tetapi antisera yang dimanfaatkan tersebut dianggap lebih mahal dan sulit dalam proses produksinya. Oleh karena itu, pada tahun berikutnya tindakan pencegahan dilakukan menggunakan vaksin yang lebih murah dan efisien. Disamping produksi vaksin dan atisera tersebut, Balitvet berusaha mengembangkan berbagai jenis vaksin dan antisera lain serta memperbaiki mutu produksinya. Sebagai perluasan kegiatan produksi ini, maka dirintis pembuatan vaksin tetelo (Newcastle Disease ) untuk unggas, vaksin rabies, vaksin keluron menular (brucellosis atau Bang’s disease) pada sapi dan babi, dan vaksin penyakit mulut dan kuku (aphtae epizootica) pada ternak besar. Kecuali untuk penyakitpenyakit yang dikenal dengan “penyakit anak” (opfokzickten), seperti kolibasilosis, salmonellosis dan stafilotreptokokosis, di usahakan pula pembuatan vaksinnya untuk babi, sapi, ayam dan anjing.
115
Seratus Tahun Bbalitvet
Penelitian penyakit eksotik Selain penyakit hewan asli Indonesia, Balai pada awal berdirinya sudah harus berhadapan dengan penyakit eksotik yang terbawa ke dalam kawasan Indonesia seperti penyakit paru menular (lung plaque) yang sangat ditakuti peternak, dimana pada tahun 1910 (Pasuruan lewat Surabaya) dan 1927 – 1929 (Jakarta) terbawa masuk bersama sapi perah impor asal Australia. Berkat penelitian yang mendalam diikuti oleh penerapan peraturan-peraturan yang ketat penyakit tersebut dapat diatasi. Masalah penting lainnya dalah penyakit ingus ganas (malleus), suatu penyakit menular pada kuda serta dapat menular kepada manusia yang pada tahun 1930 menelan korban sebanyak 1.357 ekor kuda. Melalui penelitian yang mendalam, maka telah dihasilkan reagen diagnostik mallein yang efektif untuk Screening hewan reaktor. Pada saat itu telah diproduksi mallein dalam jumlah yang cukup untuk pemeriksaan 29.000 ekor kuda di lapangan dan 6.500 sera darah yang diterima Balai. Sementara itu dirintis pula program imunisasi dan sekarang penyakit malleus tidak pernah dilaporkan lagi berjangkit di Indonesia. Penelitian penyakit endemik Berbagai jenis penyakit hewan lain yang etiologinya masih belum diketahui telah dipelajari secara tekun dan mendalam oleh Balai sehingga dapat diungkapkan secara baik. Contohnya, peradangan sumsum tulang basiler (anaerobik) pada kerbau, Spirochaetosis avium (ND), paratuberculosis pada sapi, peristomatitis pada domba/kambing dan cascado (stephanofilariasis) pada sapi. Dua jenis penyakit hewan khas Indonesia sempat menarik perhatian peneliti pada saat itu yaitu: (1) Penyakit lepra
116
Program Penelitian Veteriner
bubalorum diteliti secara mendalam antara tahun 1925 – 1934 serta dijadikan bahan promosi doktoral oleh Dokter Hewan I.W.N.Lobel. Karyanya ini dinilai sangat tinggi sehingga penelitinya diangkat menjadi Wakil Direktur Lembaga Kusta di Jakarta pada tahun 1937; (2) Penyakit Osteomyelitis bacillosa bubalorum (sakit pincang) merupakan penyakit sumsum tulang yang untuk pertamakalinya ditemukan oleh Dr. de Does pada kerbau di Cirebon pada tahun 1893. Kemudian penyakit ini mewabah ke wilayah timur menyusuri pantai sampai ke Pekalongan. Selanjutnya penyakit tersebut dijumpai pula di tempat-tempat lain seperti di Jawa Barat, Sumatra dan Kalimantan. Menjelang tahun 1930 penyakit pincang ini dijadikan objek penelitian oleh F.C. Kraneveld, seorang Peneliti Balai pada saat itu. Hasil penelitiannya kemudian ditulis sebagai disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu veteriner pada bulan April 1930. Kedua penyakit ini sampai sekarang dilaporkan hanya terdapat pada kerbau di Indonesia. Penelitian penyakit surra Surra merupakan penyakit parasit darah pada kuda, anjing dan ternak ruminansia besar yang dalam tahun 1930 telah menelan korban sebanyak 657 ekor kuda. Penyakit ini mendapat perhatian untuk diteliti oleh Balai dengan melakukan uji transmisi yang luas melibatkan berbagai spesies lalat Tabanus, Stomoxys, Haematopota lyperosia, Musca dan Stegomia serta terapi yang sistematik menggunakan Bayer 205. Penyakit endemik ini kemudian dapat dikontrol dengan baik setelah melampaui serangkaian penelitian selama 10 tahun. Beberapa tahun sebelumnya, surra dianggap tidak dapat disembuhkan terutama pada kuda bersifat fatal (100%), tetapi keberhasilan penelitian ini mampu
117
Seratus Tahun Bbalitvet
menyembuhkan hewan terserang sebesar 60%. Disamping itu, Tindakan profilaksis yang efektif dapat pula diwujudkan. Hasil lain yang telah dicapai ialah modifikasi pengobatan penyakit surra, yang sejak tahun 1925, banyak menggunakan suntikan neganol dan arsokol di lapangan untuk memperoleh cara aplikasi naganol yang lebih mudah dan sederhana. Gagasan ini menarik perhatian Drh. R. Tanjung Adiwinata, peneliti parasitologi, sehingga melakukan penelitian dan percobaan mengenai efek penambahan bahan hialuronidase. Hasil karyanya dijadikan pokok disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor dalam ilmu kedokteran hewan pada tahun 1957 dengan bimbingan Prof. Dr. J. Holz seorang parasitolog asal Jerman Barat yang diperbantukan pada FKH Bogor. Penelitian penyakit tetelo atau newcastle disease (ND) Penyakit ND merupakan penyakit demam akut yang menular dan ganas pada unggas. Agak mirip dengan pes unggas, tetapi disebabkan oleh virus yang berbeda yaitu paramyxoviridae. Kontak langsung antara hewan sehat dan sakit selalu mengakibatkan infeksi pada ayam. Pengobatan tidak dapat menyembuhkan hewan sakit atau kelompok unggas yang tertular secara alami. Angka kematian dapat mencapai 100% dan penyakit dapat menular kepada manusia yang menimbulkan peradangan pada selaput mata. Di Indonesia, penyakit ND pertama kali ditemukan pada permulaan tahun 1926 yang sangat mungkin masuknya lewat kapal dari luar negeri. Penyakit ini menyebar dengan cepat, sehingga dalam kurun waktu yang singkat seluruh kepulauan Indonesia telah tertular. Satu-satunya jalan yang ditempuh untuk pemberantasan penyakit ini adalah melalui vaksinasi secara besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Usaha untuk membuat vaksin telah dirintis sejak tahun 1927. Awalnya dicoba untuk
118
Program Penelitian Veteriner
menyiapkan vaksin jaringan (organ) yaitu dengan menggunakan bahan otak yang virusnya dilemahkan dengan kapur, karbol, gliserin, air garam dan khloroform. Kemudian dicoba vaksin otak ayam penderita yang dicampur dengan Yatren lalu dengan campuran jod-kali dan chinosol. Akan tetapi, hasilnya selalu tidak memuaskan. Akhirnya pada tahun 1950, Kuryana dan Martini (Pakar Italia yang bekerjasama dengan Balai selama tahun 1949 – 1950) berhasil memperoleh galur virus ND yang dilemahkan dengan pasase pada burung perkutut (Geopelia striata). Virus yang telah lemah ini bersifat baik dan mudah dibiakkan dalam telur ayam bertunas. Sejak itu, Usaha pemberantasan penyakit ND dilakukan secara besar-besaran menggunakan vaksin ini diseluruh wilayah Indonesia. Penelitian penyakit tuberkulosis Tuberkulosis bovin (TB) adalah penyakit menular akibat infeksi baksil tuberkulosis (Mycobacterium bovis) yang sebelumnya tersebar luas pada sapi perah. Dihasilkannya reagen diagnostik oleh Balai mampu menghalangi penyebaran penyakit ini. Menjelang tahun 1942, sebagian besar perusahaan susu dan peternakan sapi perah dapat dikatakan bebas dari tuberkulosis. Kemudian kegiatan penelitian dititik beratkan untuk memperluas penelitian tuberkulosis untuk menggunakan beberapa jenis tuberkulin sebagai bahan diagnostik. Awalnya digunakan tuberkulin A dengan suntikan di bawah kulit, kemudian diganti dengan tuberkulin B yang diteteskan kedalam kantong kelopak mata (conjunctival). Tetapi penerapan diagnostik TB kini dilakukan dengan suntikan intradermal tuberkulin glover SM yang kemudian diganti dengan tuberkulin PPD bovin.
119
Seratus Tahun Bbalitvet
II. Program penelitian pada awal pembangunan nasional (1969 – 1979) Dalam kurun waktu 1942 – 1943 (PD II) hasil karya ataupun data penelitian yang dilakukan Balai tidak dapat ditelisuri. Memasuki zaman kemerdekaan, perhatian terbesar diarahkan untuk penanggulangan penyakit hewan yang mewabah sepanjang tahun atau dalam kurun waktu berkala selalu mengancam ternak rakyat. Menjelang tahun 1969 saat dimulainya Pelita I, sehubungan dengan kecilnya anggaran penelitian, kegiatan Balai dititikberatkan pada peningkatan produksi bahan-bahan biologik, seperti vaksin dan reagen diagnostik. Kegiatan produksi ini, pada tahun 1974 dialihkan ke Pusat Veterinaria Farma, Surabaya. Meskipun demikian, terdapat beberapa hasil penelitian yang dapat dibanggakan antara lain modikasi perbuatan vaksin penyakit ngorok. Berkat adanya bimbingan Prof R.V.S Bain dari Sydney UniversityAustralia bertepatan dengan dimulainya kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Australia (ATA 36), vaksin HS ditingkatkan daya proteksinya dan kemudian aplikasinya serta kemasannya dalam minyak adjuvan. Vaksin tersebut kemudian dikenal dengan vaksin HS metode bain. Disamping itu, beberapa waktu sebelumnya dipelajari sifat-sifat hayati kuman Pasteurella untuk memperoleh bahan vaksin yang lebih baik mutunya. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini oleh Drh. R.P. Oetojo, seorang peneliti dari bakteriologi, dijadikan pokok disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu kedokteran hewan pada tahun 1958. Penelitian penyakit mulut dan kuku (PMK) Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau foot and mouth disease (FMD) adalah suatu penyakit febril pada sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi. Penyakit ini dianggap penting
120
Program Penelitian Veteriner
secara ekonomi bagi peternakan rakyat. Penyakit PMK mewabah pada permulaan tahun 1970an kemudian meluas dan pada tahun 1974 dan dilaporkan menyerang 7.264 ekor ternak di Jawa serta 6.268 ekor di Bali. Kampanye vaksinasi massal kemudian dilakukan segera pada tahun 1974 dimana dalam kurun waktu 3 tahun berturut-turut ternak diberi suntikan vaksin PMK yang mengandung virus serotipe O. Kampanye vaksinasi tersebut tampaknya berhasil baik dengan menurunnya kasus PMK serta kemudian berhenti pada tahun 1980. Penelitian penyakit brucellosis dan leptospirosis Dua jenis penyakit yang menyebabkan keluron menular pada sapi dan babi, juga memperoleh prioritas yang cukup tinggi dari peneliti disiplin Bakteriologi Balitvet. Dengan ditempatkannya seorang pakar asing (Australia) pada proyek kerjasama ATA 36, selama ±3 tahun sejak Desember 1977, maka penelitian terhadap kedua penyakit reproduksi tersebut mengalami banyak kemajuan dan membuahkan hasil yang nyata. Antara lain dengan diperolehnya modifikasi dan inovasi metoda serodiagnostik. Untuk Brucellosis telah diadakan modifikasi uji aglutinasi serum (SAT) konvensional dengan teknik mikro aglutinasi (Rose Bengal) yang lebih praktis. Dimana diantara kedua metode tersebut diperoleh kecocokan uji lebih dari 98%. Sementara itu, teknik pembuatan antigen Brucella yang lebih baik dan efisien juga diperoleh. Sedangkan untuk leptospirosis telah pula dikembangkan uji mikroaglutinasi (MAT) dan metode isolasi leptospira dari ginjal. Lima isolat Leptospira dari berbagai serovar dari sapi dan empat dari babi telah diperoleh. Pengujian ± 700 sera terhadap 15 serovar Leptospira dengan MAT menghasilkan 12,9% reaktor pada sapi dan 19,5% pada kerbau.
121
Seratus Tahun Bbalitvet
Selain itu, dikembangkan pula metode diagnostik terhadap kedua penyakit tersebut yaitu metode fluorescent antibody test (FAT) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Untuk pemeriksaan leptospirosis, disimpulkan bahwa dari hasil percobaan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode FAT kurang memuaskan dibandingkan dengan MAT dalam mendeteksi dan isolasi leptospsira dari sampel lapang. Lain halnya dengan brucellosis babi, dimana ELISA jelas lebih sensitif (84,8%) dari RBPT (62,1%), CFT (37,9%) dan SAT (40,9%). Disamping itu, telah diselesaikan beberapa penelitian monospesifik antiserum Brucella abortus dengan memakai galur referens (S.19 dan S.544), dan antiserum B. Meliensis (S.626) pada kelinci putih blaster Selandia Baru. Penelitian mastitis Mastitis atau radang kelenjar susu adalah penyakit peradangan kelenjar mamae pada sapi perah. Mastitis dikenal dengan dua bentuk manifestasi penyakit yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Analisa data menujukkan bahwa kerugian produksi susu akibat serangan mastitis subklinis melebihi 14% dan jika ganguan mastitis klinis turut diperhitungkan maka kerugiannya mendekati 20%. Hasil survei penyakit di Jawa menujukkan adanya prevalensi mastitis yang tinggi, yaitu mastitis klinis 5% dan mastitis subklinis sebesar sebesar 66,4%. Patogen-patogen potensial yang ditemukan di beberapa peternakan mastitis subklinis 66,4%. Patogen-patogen potensial yang ditemukan dibeberapa peternakan sapi perah, meliputi Staphylococcus aureus, streptococcus dari grup B dan C Streptococcus ubiris, Corynebacterium dan C. Bovis, Streptococcus agalactiae dan Staphyllococcus aureus merupakan organisme yang predominan dalam kasus mastitis.
122
Program Penelitian Veteriner
Pengobatan mastitis diberikan dengan kombinasi antibiotik ampisilin dan kloksasilin. Lactoclox dipakai untuk kasus-kasus klinis yang disuntikan kedalam kelenjar susu begitu dikenali gejalanya. Sementara itu, Bovalox (antibiotik berjangka panjang) dipakai sebagai pengobatan sapi kering kandang dan diberikan kepada semua sapi pada saat berhenti berproduksi. Pada umumnya, pengobatan dengan Lactoclox kurang memuaskan, karena pihak peternak kurang mengikuti petunjuk yang dicantumkan oleh perusahaan. Sedangkan Bovaclox nampak efektif dalam mengurangi infeksi kelenjar susu karena adanya infeksi ulang terutama yang terjadi pada bulan pertama setelah melahirkan, maka keuntungan penuh dengan pemakaian Bovaclox dapat diperoleh jika diikuti dengan kebersihan yang ketat. Penelitian fasciolosis dan paramphistomiasis Fasciolosis dan paramphistomiasis hati merupakan penyakit parasiter pada ternak yang menyerang jaringan hati yang secara ekonomik sangat penting bagi peternakan rakyat. Kedua penyakit ini menjadi perhatian bagi kegiatan penelitian Balai. Survei abatoar di Bogor yang bertujuan untuk memperoleh data prevalensi yang lebih akurat mengenai infeksi kedua parasit tersebut pada ruminansia besar dan kecil telah dilakukan. Hasil survei menujukkan distribusi infeksi Fasciola gigantica sebesar 10% untuk kerbau, 22% untuk domba dan 21% untuk kambing. Sebagai pelengkap pengetahuan tentang epidemologi trematodiaosis pada ternak, telah dipelajari juga biologi dari masing-masing trematoda tersebut. Hasil studi ini menujukkan bahwa Lymneia rubigenosa, siput air di sawah merupakan hospes antara yang yang utama bagi F. gigantica. Sementara siput planorbid, Gyraulus convexiusculus, siput air lain di sawah-sawah bertindak sebagai induk semang antara utama
123
Seratus Tahun Bbalitvet
bagi Paraphistomum, Explanatum, Orfbocoelium dan Fischoderius. Siput sawah lain lagi memiliki operculum, Digoniostoma truncatum, serta banyak ditemukan di sawah yang digenangi air yang terinfeksi oleh trematoda yang menyerupai paramphistorma tetapi jenisnya masih sedang dipelajari. Percobaan pengobatan secara fisiologis telah banyak dilakukan dengan berbagai fasciolisida, seperti Bilavon (menichiolholan). Devenix (nitroxynil), Ancynol (disphenol), Coriban (diampenethide) dan sebagainya, tetapi obat-obatan ini umumnya hanya efektif terhadap cacing dewasa. Lewat kerjasama dengan Ciba Geigy telah dicoba sediaan baru Fasinex (triclabendazole) yang berdasarkan percobaan di negeri lain diketahui efektif juga terhadap infeksi fasciola muda pada sapi. Dosis tunggal triclabendazole diberikan kepada masing-masing kelompok anak sapi FH 2,6 dan 10 minggu seluruhnya ditulari, dengan hasil adanya reduksi Fasciola muda sebesar 86, 98 dan 99% lebih pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok anak sapi yang tidak diobati (kontrol). Hasil nyata juga diperoleh pada percobaan pengobatan sapi di lapangan, di satu tempat yang endemik fasciolosis di daerah Sukabumi. Dalam percobaan ini sapi-sapi kelompok perlakuan diberi triclabendazole 8 minggu sekali. Hampir semua sapi kelompok perlakuan menunjukan tidak adanya telur fasciola dalam contoh tinja, sementara uji plasma untuk enzim hati menghasilkan kerusakan hati yang kecil pada kelompok ini. Lain halnya pada kerbau, percobaan serupa di laboratorium menunjukan bahwa triclabendazole dengan dosis yang sama, tidak efektif sama sekali bagi anak kerbau yang diinfeksi fasciola.
124
Program Penelitian Veteriner
Penelitian penyakit cascado Cascado adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh cacing nematoda dari genus Stephanofilaria, banyak ditemukan pada sapi dan kerbau di daerah-daerah tertentu di Indonesia yang akhir-akhir ini makin luas penyebarannya. Infeksi stephanofilaria mengakibatkan dermatitis yang ekstensif. Luka kulit bisa berkembang sangat luas, sehingga hewan penderita tidak dapat dipakai sebagai hewan tarik. Disamping itu, kerugian ekonomi lainnya berupa harga kulit yang menyolok dari hewan sakit. Hasil penelitian tranmisi cascado menunjukkan bahwa penyakit ini dipindahkan dari hewan ke hewan oleh beberapa jenis lalat, terutama Musca conducens. Pengobatan cascado sulit dilakukan karena belum ditemukan antihelmintik yang efektif untuk membunuh cacing yang hidup di dalam kulit. Dalam hubungan berbagai regim pengobatan telah dicoba, antara lain pengujian efisiensi sediaan anti parasitik Ivermectin (Ivomec, MSD agvet, UK) yang banyak dipakai di negeri lain untuk pemberantasan nematoda kulit. Dosis tunggal Ivomec 200 mcg/kg berat badan yang disuntikkan di bawah kulit pada sapi-sapi penderita cascado di daerah endemik Manado (Sulawesi Utara) dapat menyembuhkan sebagian besar sapi tersebut dan mematikan banyak cacingnya, sampai observasi satu bulan sesudah pengobatan. Akan tetapi apabila diperiksa ulang 7 bulan sesudah pengobatan luka-luka cascado, dan cacing Stephanofilaria ditemukan kembali dalam kerokan kulit dari sebagian besar hewan percobaan tersebut. Maka diperlukan pengobatan ulang untuk mencegah re-infeksi atau pemunculan kembali luka-luka cascado pada sapi di daerah endemik. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menerapkan interval optimum bagi pengobatan cascado dengan ivermectin di daerah endemik tinggi, seperti Sulawesi Utara.
125
Seratus Tahun Bbalitvet
Penelitian kolera unggas Kolera unggas termasuk penyakit menular yang disebabkan oleh kuman bipoler Pasteurella multocida dan bisa menyerang ayam, kalkun, itik, itik manila dan angsa. Di Indonesia kolera unggas pada ayam pertama kali ditemukan pada tahun 1912. Wabah kolera unggas sering ditimbulkan oleh P. Multocida tipe 2 dan 4 Robert, dan untuk produksi vaksin hendaknya digunakan komponen galur P.multocida hasil isolasi dari daerah wabah. Wabah kolera unggas dilaporkan meletup di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di daerah Bogor pada tahun 1979 dimana 23% atau 3.451 ekor itik mati selama 3 bulan; pada tahun 1979 juga lebih dari 58% mati selama 18 hari di sebuah peternakan itik di Ciputat Tanggerang; dan pada awal tahun 1980 di beberapa Kabupaten di Bali terjadi wabah pada itik dengan menelan korban 1.000 ekor mati. Untuk usaha pencegahan penyakit, telah dirintis pembuatan vaksin dan antisera kolera unggas sejak tahun 1951. Kemudian berkenaan dengan wabah kolera pada itik di Ciputat (1979) tersebut, dibuat vaksin kolera unggas otogenus dengan memakai bibit kuman P. multocida 57/79, hasil isolasi dari itik mati yang berasal dari peternakan itik setempat. Vaksinasi subkutan di daerah leher diberikan dua kali dengan selang waktu satu bulan pada dosis 0,5 ml untuk unggas dewasa dan 0,25 ml untuk unggas anak/muda di Peternakan itik tertular. Hasil vaksinasi menunjukan bahwa setelah vaksinasi pertama saja sudah diperoleh daya proteksi sebesar ± 92,5%. Penelitian penyakit pullorum dan mikoplasmosis Penyakit pullorum atau berak kapur, merupakan penyakit menular akut dengan mortalitas tinggi, yang menyebabkan kerugian besar pada ayam sampai umur 2 minggu, dan
126
Program Penelitian Veteriner
disebabkan oleh Salmonella pullorum. Pullorum adalah penyakit perantaraan telur jadi (egg borne disease) di Bogor. Kemudian para peneliti berhasil membuat antigen yang telah dibandingkan dengan antigen CSL (Australia), Burroughs Wellcome (Inggris) dan NIAH (Jepang). Sejak tahun 1973, antigen pullorum telah disebarluaskan ke sebagain besar kepulauan Indonesia untuk uji skrining di lapangan. Sementara itu, mikoplasmosis atau penyakit pernapasan kronis adalah penyakit unggas yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum. Antigen mikoplasma berwarna juga telah berhasil dibuat dan data survei tahun 1974 pada ayam pedaging menghasilkan reaktivitas 70 – 80% pada uji serologik. lll. Program penelitian pada masa kerjasama (1980 – 1990) Tahun 1980 merupakan awal diterapkan kerjasama Balitvet dengan pihak luar negeri, khususnya dengan pemerintah Australia dan Inggris. Pada tahun ini Balitvet menjalin kerjasama penelitian maupun teknis melalui proyek bantuan Teknis ATA 219 (Australia) dan ATA 244 (Inggris). Sejak diterapkan kedua proyek bantuan teknis ini maka program penelitian veteriner di Balitvet mulai ditata dan direncanakan secara baik berdasarkan disiplin ilmu dan permasalahan kesehatan hewan yang sedang dihadapi. Sebanyak 59 kegiatan penelitian telah dilakukan selama tahun 1980 s/d 1990, yang antara lain terdiri dari: 1. Status kesehatan dan produksi ayam kampung (viral, bakterial, parasiter dan konjungtivitis). 2. Trypanosomiasis 3. Penyakit-penyakit pada hewan potong ruminansia besar 4. Penyakit-penyakit pada hewan potong ruminansia kecil
127
Seratus Tahun Bbalitvet
5. Penyakit marek (Lymphoid leucosis) 6. Penyakit yang disebabkan oleh klostridium 7. Penelitian pengembangan teknik diagnosa dan pengendalian penyakit Septicaemia epizootica 8. Pola penggembalaan sentinel 9. Penyakit ORF di Indonesia 10. Kolera pada ayam dan itik 11. Pengendalian penyakit mastitis pada sapi perah rakyat 12. Malignant Catarrhal Fever (MCF) 13. Penyakit cacing hati 14. Infeksi kutu pada kambing 15. Serotyping Salmonella sp. dan epidemiologi penyakitnya pada ternak 16. Studi pembuatan dan pengujian vaksin leptospira pada babi 17. Aspergillosis pada ayam di Indonesia 18. Aflatoksikosis pada ayam pedaging 19. Mikotoksin 20. Penelitian keracunan logam berat dan mineral: a. Pengaruh laktasi terhadap kandungan mineral esensial dalam serum sapi peranakan Ongole di Surade Jawa Barat b. Keracunan logam berat 21. Keracunan sianida 22. Keracunan tanaman dan tanaman beracun a. Racun tanaman dan tanaman beracun c. Tanaman obat untuk pengobatan veteriner tradisional 23. Lecocytozoonosis pada ayam 24. Stephanofilariasis 25. Avian infectious bronchitis (IB) 26. Haemophilus paragallinarum pada unggas di Indonesia 27. Residu pestisida dalam susu dan limbah pertanian
128
Program Penelitian Veteriner
28. Logam berat dalam organisme air (aquatic) 29. Defisiensi vitamin A dan keracunan DDT 30. Infectious bovine rhinotracheitis(IBR) 31. Penyakit mulut dan kuku 32. Keracunan brachiaria 33. Penyakit tetelo/Newcastle disease 34. Anaplasmosis 35. Brucellosis a. Brucellosis pada babi b. Diagnosis serologis brucellosis pada sapi 36. Rabies 37. Kontaminasi pada semen 38. Kolibasilosis 39. Penyakit-penyakit pada ruminnansia besar 40. Penyakit pada kelinci 41. Infeksi arbovirus 42. Status penyakit pada kerbau 43. Clostridium novyi 44. Studi epidemiologi dan patogenitas coccidia pada kelinci 45. Penelitian khlamidiasis pada ruminansia di Provinsi Jawa Barat 46. Studi pengembangan teknik uji lapang PPD-tuberkulin 47. Bovine leucosis 48. Studi teknik diagnosa dan pengendalian penyakit anthrax 49. Studi serologi aspergilosis unggas 50. Perubahan patologi genitalia kerbau potong jantan 51. Ektoparsit pada ternak 52. Penelitian penyakit pernafasan menahun (PPM) pada unggas 53. Babesiosis, anaplasmosis dan theileriosis 54. Glanders pada kuda 55. Pascapanen produk pertanian
129
Seratus Tahun Bbalitvet
56. Kerbau yang dipelihara pada Kalimantan Selatan 57. Penetasan itik Alabio 58. Penyakit Gumboro 59. Ascariasis pada sapi dan kerbau
lahan
sawah
di
IV. Program penelitian periode 1990 – 2000 Orientasi pembangunan pertanian menjelang abad XXI mengalami berbagai pergeseran dan penyesuain sesuai dengan perkembangan kemajuan dan hasil-hasil pembangunan, kemajuan ilmu pengetahuan dan lingkungan strategis baik di dalam maupun di luar negeri. Menjelang millenium ini pembangunan pertanian Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan, antara lain pemenuhan kecukupan pangan, persaingan pasar global, alternatif sumber pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan, lapangan kerja, peningkatan produktivitas dan optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian tidak cukup hanya untuk mengejar ketinggalan dari kemajuan IPTEK yang semakin pesat, tetapi harus mampu menghasilkan teknologi dan terobosan-terobosan baru yang mampu mendukung dan menjawab tantangan-tantangan tersebut. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan pertanian harus berdasarkan kepada visi dan misi yang lebih futuristik dan antisipatif sesuai dengan tantangan dan perubahan-perubahan lingkungan strategis yang sedang atau akan dihadapi oleh pembangaunan yang bersangkutan. Mengacu kepada tantangan dan lingkungan strategis tersebut, secara umum kendala di dalam pengembangan peternakan masih tetap berkisar pada rendahnya tingkat produktivitas ternak. Meskipun komoditas ayam ras telah
130
Program Penelitian Veteriner
mencapai skala industri, tetapi komoditas lain seperti ayam buras, sapi potong, sapi perah, domba dan kambing masih merupakan peternakan rakyat. Disamping itu, babi, ayam buras, domba dan kambing yang memiliki peluang sebagai komoditas ekspor belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kendala dalam pengembangan peternakan adalah belum terkendalinya berbagai jenis penyakit ternak. Penyakit-penyakit endemik seringkali muncul dengan wabah pada waktu yang sulit ditentukan. Di lain pihak, meningkatnya arus ekspor impor ternak menimbulkan permasalahan baru terhadap munculnya penyakit-penyakit eksotik yang tidak pernah dijumpai di Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menyongsong millenium 3 yang penuh tantangan, peluang dan perubahan lingkungan strategis diperlukan kegiatan penelitian yang terencana dengan baik berdasarkan visi dan misi yang akan di capai. Pada awal tahun 1996, Balitvet telah menerapkan visi dan misinya serta menerapkan rencana strategis penelitian untuk masa 10 tahun mendatang. Rencana strategis tersebut disusun untuk memberikan arah bagi organisasi Balitvet dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi pada millenium 3 tersebut. Program penelitian veteriner disusun berdasarkan prioritas dan permasalahan yang sedang/akan dihadapi untuk menunjang pembangunan peternakan pada era globalisasi terutama dalam peningkatan efisiensi proses produksi. Peningkatan mutu produk peternakan dan upaya peningkatan keamanan bahan pangan. Oleh karena itu, program penelitian veteriner disusun sebagai berikut: 1. Penelitian pengembangan vaksin terhadap beberapa penyakit ternak dengan memanfaatkan kekayaan plasma nutfah mikroba lokal khususnya untuk beberapa penyakit ternak seperti infectious bronchitis (IB), leptospirosis, kolibasillosis, enterotoksemia, erysipelas,
131
Seratus Tahun Bbalitvet
fasciolosis, mikoplasmosis, avian infectious coryza, kolera unggas, surra, anaplasmosis, babesiosis, infectious bursal disease (IBD), bluetongue dan avian influenza (AI). 2. Penelitian pengembangan teknologi pembuatan vaksin untuk inkonvensional (vaksin rekombinan DNA dan vaksin anti idiotipe) untuk penanggulangan penyakit tertentu seperti malignant catarrhal fever (MCF), Jembrana disease, fasciolosis, haemonchiasis dan skabies memerlukan terobosan baru melalui pendekatan bioteknologi. Vaksin yang dikembangkan adalah vaksin inkonvensional dengan menggunakan teknik rekombinan-DNA. 3. Penelitian pengembangan dan peningkatan mutu diognostik penyakit ternak. Keberhasilan penanggulangan penyakit ditentukan oleh mutu dari metode diagnosis, terutama tingkat akurasinya yang dapat diukur berdasarkan sensitivitas dan spesifitasnya serta tingkat kecepatannya dalam memberikan hasil. Diagnosa beberapa penyakit ternak seperti IBR, IB, IBD, anaplasmosis, babesiosis, bovine viral diarrhoea-mucosa disease (BVD), trypanosomiasis, mikoplasmosis dan snot perlu ditingkatkan mutunya agar kejadian penyakit dapat ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Beberapa penyakit yang tergolong baru masuk ke Indonesia seperti hog cholera, PRRSS- CAA- SHS, dan sindroma kekerdilan diagnosisnya dilakukan dengan menggunakan perangkat diognostik (kit) yang diimpor dari luar negeri. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan bahan impor. 4. Penelitian pengembangan perangkat diagnostik (diagnostic kit) untuk penyakit eksotik. Indonesia harus mempertahankan status bebas penyakit-penyakit eksotik penting dalam suasana perdagangan global. Untuk itu, diperlakukan perangkat diagnosis dini yang mampu
132
Program Penelitian Veteriner
mendetiksi adanya agen penyakit yang terbawa ternak atau produk ternak asal impor. 5. Penelitian untuk meningkatkan efektivitas metode pengendalian penyakit. Beberapa penyakit ternak endemik di Indonesia seperti brucellosis, anthrax, septicaemia epizootica (SE), trypanosomiasis, mikoplasmosis, ND, IB, ILT, gumboro, EDS, dan snot sering mewabah meskipun tindakan pengendalian penyakit telah diimplementasikan. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan baru dengan mengembangkan beberapa jenis vaksin yang lebih efektif dan efisien. 6. Penelitian pengembangan teknologi untuk pemanfaatan plasma nutfah hayati sebagai obat alternatif dalam pengendalian penyakit ternak. Salah satu sebab rendahnya tingkat efisiensi industri peternakan rakyat adalah tingginya biaya infestasi pengendalian penyakit karena mahalnya harga obat-obatan yang boleh dikatakan tidak terjangkau oleh peternak. Sementara itu, Indonesia memiliki plasma nutfah hayati yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai obat tradisional dalam pengendalian penyakit ternak tertentu seperti penyakit parasiter cacing dan kudis. 7. Penelitian pengembangan teknologi pengamanan bahan pangan hasil ternak dari residu obat-obatan, mikroba patogen dan bahan beracun lainnya. Dalam era perdagangan global, mutu produk akan menjadi kriteria penting dalam pemasaran. Oleh sebab itu, produsen tidak hanya dituntut untuk menghasilkan produk yang murah, namun juga harus memberikan jaminan mutu dan keamanan terhadap konsumen. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan teknologi untuk pendeteksian dini terhadap adanya residu obat-obatan, mikroba patogen maupun bahan toksin lainnya dari produk asal ternak baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. 8. Penelitian resistensi genetik ternak terhadap beberapa penyakit. Salah satu kekayaan alam Indonesia 133
Seratus Tahun Bbalitvet
berupa bangsa ternak lokal, baik untuk ternak sapi, domba/kambing maupun ayam buras. Potensi genetik ternakternak tersebut perlu dikaji dan dipelajari untuk menghasilkan fenotipe ternak yang resisten terhadap penyakit tertentu melalui suatu proses pemuliabiakan maupun melalui pendekatan bioteknologi. 9. Penelitian penanggulangan penyakit zoonosis. Beberapa penyakit zoonosis memiliki dampak yang besar bagi kesehatan masyarakat seperti rabies, Japanese-Bencephalitis (JE) dan anthrax. Oleh sebab itu. perlu dikembangkan teknologi yang efektif dalam penanggulangan penyakit zoonosis dan perlu dikembangkan teknologi deteksi dini untuk menolak kehadiran penyakit zoonosis di daerahdaerah bebas, terutama di daerah wisata. Selanjutnya prioritas penelitian veteriner ditentukan berdasarkan nilai skor dan bobot dari permasalahan penyakit ternak di Indonesia. Berdasarkan hasil penentuan prioritas penelitian Balitvet sampai tahun 2005 mendatang adalah sebagai berikut: 1. Penelitian untuk meningkatkan efektivitas metode pengendalian penyakit brucellosis dengan mengembangkan vaksin per-oral dan penyakit HS dengan mengembangkan vaksin HS secara semprotan (spray/aerosol). 2. Penelitian resistensi genetik ternak sapi dan domba/ kambing terhadap penyakit cacing hati (Fasciolosis). 3. Penelitian pengembangan vaksin untuk penyakitpenyakit unggas: IB, ILT, IBD, mikoplasmosis dan avian coryza dengan memanfaatkan kekayaan plasma nutfah mikroba lokal. 4. Penelitian pengembangan teknologi pengamanan bahan pangan asal ternak dari residu obat-obatan, pestisida dan toksin serta bebas dari cemaran mikroba patogen, logam berat dan bahan beracun lainnya.
134
Program Penelitian Veteriner
5. Penelitian pengembangan teknologi untuk pemanfaatan plasma nutfah hayati sebagai obat alternatif (tradisional), khususnya untuk parasit cacing dan kudis, dan sebagai bahan baku obat hewan. 6. Penelitian pengembangan teknologi pembuatan vaksin ternak inkonvensional (DNA-rekombinan atau vaksin antiidiotipe) untuk penyakit MCF, Jembrana, Anthrax, Fasciolosis dan Haemonchosis. 7. Penelitian penanggulangan penyakit zoonosis rabies dan Japanese-B-encephalitis (JE). 8. Penelitian pengembangan perangkat diagnosis untuk penyakit eksotik rinderpest, FMD dan Sheep/Goat Pox. 9. Penelitian pengembangan dan peningkatan mutu diagnosis penyakit ternak: IBR, Hog Cholera, Porcine Respiratory and Reproductive Syndrom (PRRS), parasit darah, SHS, Infectious Runting and Stunting Syndrom (IRRS) dan CAA. V. Program penelitian tahun 2001 – sekarang Sejak tahun 2001 program penelitian Balai mengalami beberapa perubahan yang mendasar disesuaikan dengan program di lingkup Badan Litbang Pertanian. Pada masa ini penelitian harus berorientasi pada nilai agribisnis dan nilai tambah ilmiah. Setiap program penelitian di lingkup Badan Litbang Pertanian diarahkan pada kebutuhan stakeholder/pengguna teknologi, komersialisasi hasil penelitian, cost effective, dan memiliki hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Oleh karena itu, program penelitian Balai diarahkan untuk dapat menjawab tantangan tersebut. Program penelitian yang dicanangkan oleh Balai selama periode waktu tersebut antara lain: 1. Konservasi plasma nutfah mikroba veteriner
135
Seratus Tahun Bbalitvet
2. Seleksi virus IBR isolat lapangan sebagai bibit vaksin inaktif 3. Penelitian vaksin kombinasi terhadap infeksi Pasteurella multocida dan Clostridium sp. pada kerbau 4. Penelitian vaksin ILT dan Coryza (snot) isolat lokal 5. Penelitian potensi probiotik dan obat alternatif untuk kesehatan ternak 6. Strategi pengendalian sindroma kekerdilan dan penyakit saluran pencernaan pada ayam 7. Penelitian deteksi dieldrin dan mikotoksin secara imunokimia dan kimia fisika 8. Penelitian penanggulangan efek cemaran aflatoksin pada pakan 9. Pengembangan uji serologi untuk deteksi toksoplasmosis 10. Pengaruh dosis dan komponen dalam vaksin anthrax terhadap tanggap kebal dan gejala shock pascavaksinasi pada kambing 11. Mekanisme kekebalan dan identifikasi antigen protektif pada caprine skabies 12. Teknologi diagnosis penyakit unggas 13. Teknologi diagnosis penyakit hewan peliharaan 14. Kontrol penyakit ternak unggas dengan vaksin lokal 15. Kontrol penyakit ternak ruminansia dengan vaksin lokal 16. Kontrol penyakit hewan peliharaan dengan vaksin lokal 17. Penelitian pengembangan kesehatan masyarakat veteriner 18. Studi biologi molekuler dan biologi seluler terhadap sistem kekebalan hewan 19. Penelitian penyebab kematian anak sapi dan anak kerbau
136
Program Penelitian Veteriner
20. Pengendalian penyakit pada domba/kambing menggunakan agen biologi 21. Penelitian teknis cemaran dan residu dalam pakan ternak 22. Pengembangan teknik deteksi dan vaksin penyakit zoonosis 23. Antisipasi letupan penyakit hewan 24. Penelitian berbasis kemitraan 25. Penelitian dinamika penyakit hewan 26. Penelitian pengembangan teknik diagnosis, produk biologik veteriner dan obat hewan 27. Penelitian keamanan pangan dan penyakit zoonosis 28. Kegiatan surveilen penyakit hewan menular 29. Unit pelaksana benih sumber (UPBS) 30. Penelitian dan pengembangan berbasis kemitraan 31. Penelitian patogenitas dan karakterisasi genetik virus AI pada interspesies unggas 32. Surveilen penyakit zoonosis penting pada hewan Beberapa penelitian penting yang telah dilakukan Bbalitvet pada dekade terakhir: 1. Analisis gen β tubulin isotipe-1 cacing Haemonchus contortus resisten terhadap benzimidazole pada domba Haemonchus contortus merupakan spesies cacing nematoda yang paling penting sebagai penyebab penurunan berat badan dan peningkatan angka kematian pada domba dan kambing terutama pada ternak muda. Kontrol terhadap nematoda ini dilakukan dengan pemberian obat cacing (antelmintik) terutama golongan benzimidazole. Di Indonesia telah dilaporkan adanya resistensi terhadap antelmintik golongan benzimidazole pada beberapa peternakan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta yang diperiksa dengan menggunakan Larval Development Assay. Uji secara molekuler telah dikembangkan diberbagai negara di dunia 137
Seratus Tahun Bbalitvet
tetapi belum di Indonesia. Studi tingkat DNA pada gen βtubulin isotipe-1 H. contortus yang terkait resistensi terhadap benzimidazole perlu dilaksanakan mengingat pada beberapa daerah di Indonesia telah diketahui terjadi resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas genetik dan mendeteksi adanya mutasi pada fragment gen βtubulin isotipe-1 pada cacing H. contortus yang resisten terhadap benzimidazole. Cacing H. contortus akan diisolasi dari 5 domba yaitu 4 domba dari 2 farm milik pemerintah (SPTD Trijaya Kuningan, Jawa Barat dan UPTD Pelayanan Kesehatan Hewan Bantul dan 1 ekor domba milik peternak yang berasal dari Cicurug, Bogor, Jawa Barat. Sebelum domba dipotong untuk diisolasi cacingnya status resistensinya terhadap benzimidazole dicek terlebih dahulu menggunakan Larval Development Assay dan Fecal Egg Count Reduction Test (FECRT).
Gambar 17. Cacing H. contortus betina
Selanjutnya dilakukan isolasi cacing H. contortus betina, dilanjutkan dengan isolasi DNA genom dan amplifikasi fragment gen β-tubulin isotipe-1 dengan PCR sepanjang 520 bp. Hasil amplifikasi dianalisis dengan SSCP, disekuensing dan dianalisis dengan Gen Mac version 8. Hasil peneltian menunjukkan bahwa dengan metode SSCP tidak
138
Program Penelitian Veteriner
diketemukan pola yang spefifik antara cacing yang peka dan resisten dari lokasi yang berbeda. Analisis hasil sekuensing dari fragmen gen β-tubulin isotipe-1 untuk mengetahui variabilitas genetik dan pola mutasi pada cacing H. contortus isolat lokal Indonesia sedang dilakukan.
Gambar 18. H. contortus pada post mortum mukosa abomasum yang terinfeksi
2. Pengembangan Teknologi Vaksin Lokal ILT Pengendalian penyakit ILT hanya dilakukan melalui vaksin yang didukung dengan monitoring keberadaan penyakit di lapangan. Sementara itu, vaksin ILT yang beredar dipasaran umumnya berasal dari import dengan harga relatif mahal. Sedangkan produk dalam negeri hingga kini belum tersedia. Untuk menghindari ketergantungan terhadap produk vaksin luar negeri, maka perlu dikembangkan vaksin ILT yang berasal dari isolat lokal. Penelitian ini telah berhasil mengembangkan vaksin inaktif isolate lokal ILT. Vaksin tersebut bersifat aman setelah dilintaskan pada ayam SPF sebanyak 6 kali dan menimbulkan respon antibodi terhadap virus ILT pada ayam pullet petelur. 3. Pengembangan vaksin ND – IB – IBD inaktif isolat lokal Penyakit Newcastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB) dan Infectious Bursal Disease (IBD) atau Gumboro
139
Seratus Tahun Bbalitvet
merupakan penyakit unggas yang sangat merugikan peternak terutama peternak komersial, pedaging maupun petelur. Ketiga penyakit ini dikendalikan dengan program vaksinasi yang sudah dikenal masyarakat peternak. Berbagai vaksin dan kombinasi kandungan virusnya yang beredar diimpor dari luar negeri, sebagian kecil diproduksi di Indonesia. Pada penelitian ini direncanakan mengadakan vaksin kombinasi 3 macam virus dalam bentuk inaktif, dengan menggunakan isolat-lokal diharapkan dapat menghasilkan produk vaksin yang dapat mengendalikan masalah infeksi/wabah oleh virus strain lokal disamping merupakan produk dalam negeri yang diharapkan dapat bersaing dengan harga yang relatif murah bagi peternak dibandingkan dengan membeli vaksin impor.
Gambar 19. Ayam sakit
Gambar 20. Bursa Fabricius terkena IBD
140
Program Penelitian Veteriner
4. Karakterisasi dan pengembangan vaksin subunit anthrak isolat lokal Vaksin spora hidup yang sekarang digunakan mempunyai sejumlah keterbatasan yang harus dapat diatasi. Meskipun bibit B. anthracis 34F2 telah dilemahkan, tetapi galur ini tetap menyisakan virulensi dan berakibat pada kematian beberapa hewan yang divaksin. Kepekaan dan respon kekebalan sangat dipengaruhi oleh hewan yang divaksinasi. Protective antigen (PA) dari toksin anthrax adalah komponen utama vaksin anthrax. Untuk perlindungan terhadap anthrax diperlukan imunitas humoral terhadap PA yang disertai juga dengan respon kekebalan seluler. Vaksin sub-unit adalah vaksin mati yang mengandung PA disertai adjuvant yang efektif. Dalam penelitian ini telah dihasilkan PA murni. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan keamanan vaksin subunit anthraks dibandingkan dengan vaksin spora hidup yang sudah beredar dan dipakai di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 2 hari setelah mencit divaksin dengan vaksin protektif antigen (PA) hanya mengalami pembengkakan yang sangat ringan ditempat penyuntikan, sedangkan mencit yang divaksin dengan vaksin yang beredar di Indonesia, mengalami edema hebat, bahkan terjadi kematian mencit setelah 3 – 11 hari pascavaksinasi. 5. Teknik deteksi residu antibiotika dalam produk ternak Pemakaian obat-obatan dalam bidang peternakan hampir tidak dapat dihindarkan, karena ternak diharapkan dapat berproduksi secara optimal. Namun pemakaian obat hewan tidak sesuai anjuran dan tidak mematuhi waktu henti telah mengakibatkan adanya residu dalam produk ternak yang dihasilkan. Disamping itu, adanya penyalahgunaan formalin sebagai pengawet pada daging ayam yang siap dipasarkan juga akan membahayakan kesehatan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi atau penyebaran residu enrofloksasin dan metabolitnya siprofloksasin pada ayam
141
Seratus Tahun Bbalitvet
pedaging yang diberi enrofloksasin serta untuk mengetahui pengembangan metoda deteksi formalin serta mengetahui ada tidaknya penyalahgunaan penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pada ayam pedaging di pasaran di tiga Kabupaten di Jawa Barat (Tangerang, Sukabumi dan Cianjur). Hasil penelitian distribusi enrofloksasin menunjukkan bahwa residu enrofloksasin bertahan lebih lama di dada dan paha hingga sekitar 3 – 7 hari, namun di hati lebih cepat menghilang dan konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dada dan paha. Residu enrofloksasin yang terdeteksi konsentrasinya lebih rendah dibandingkan residu siprofloksasin. Formalin dalam sampel dapat dideteksi dengan cara sistem destilasi uap dan dianalisis menggunakan spektrofotometer didapatkan bahwa limit deteksi formalin adalah 0,124 ng/g, nilai rata-rata uji perolehan kembali metode analisis yang didapat sebesar 102,38%. Sedangkan pada pendeteksian menggunakan khromatografi gas juga telah berhasil didapatkan waktu retensi (Rt) untuk formalin sekitar 5 menit. Hasil analisis terhadap sampel lapang terhadap formalin yang dideteksi secara spektrofotometri menunjukkan tidak terdeteksi adanya formalin (negatif). 6. Produksi dan karakterisasi antibodi monoklonal Spesifik terhadap FB1-Ova/FB1-CT sebagai reagen ELISA untuk deteksi fumonisin pada pakan Teknik deteksi cepat seperti Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) sangat diperlukan untuk mengetahui adanya kontaminasi mikotoksin pada bahan pakan dan pakan ternak. Teknik ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal dewasa ini banyak dikembangkan karena lebih spesifik dan sensitif. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah mengoptimalkan konsentrasi antigen, antibodi dan konjugat, serta menentukan format ELISA untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin dan menentukan sensitivitas dan
142
Program Penelitian Veteriner
spesifisitas teknik ELISA yang digunakan untuk deteksi fumonisin pada pakan dan bahan pakan. Dalam kegiatan ini telah diperoleh sel hibridoma (Gambar 21a), yaitu sel fusi antara sel limfa mencit yang diimunisasi dengan fumonisin B1 ovalbumin (FB1-Ova) dengan sel myeloma (Sp2/0) untuk memproduksi antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1-Ova. Sel hibridoma yang dihasilkan cukup baik, namun sekresi antibodi masih rendah karena pada saat pengujian pertumbuhan sel belum optimum. Uji dot blot immunoassay pada serum mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova menunjukkan adanya respon antibodi yang kuat, namun pada supernatan dan sel hibridoma menunjukkan reaksi yang lemah. Dengan indirect ELISA, optical density (OD) serum mencit berkisar antara 1,2 – 1,8, sedangkan pada supernatan 0,6 – 0,8 (Gambar 21b; c). K K+ F A-1 A-2 B-1 B-2
s u p e r p e r n a t a n
Blank K (-)
K (+)
serum
Gambar 21. Pengembangan teknik ELISA Fumonisin berbasis antibodi monoklonal: (a) Kultur sel hibridoma dari sel tunggal (monoklon); (b) Uji respon antibodi dengan dot blot immunoassay; (c) Uji respon antibodi dengan Indirect ELISA
7. Pengembangan vaksin inaktif Salmonella enteritidis phage type 4 pada unggas Salmonellosis merupakan salah satu penyakit bakterial penting pada unggas. Salmonella enteritidis phage tipe 4 dikenal sebagai anggota genus Salmonella yang bersifat
143
Seratus Tahun Bbalitvet
patogenik baik pada ayam maupun manusia. Di Indonesia infeksi S. enteritidis pada ayam terus meningkat sejak tahun 1991. Penggunaan antibiotika untuk pengendalian infeksi S. enteritidis pada ayam disamping mahal juga dapat menimbulkan residu pada daging dan telur. Vaksinasi merupakan alternatif pengendalian penyakit yang paling ideal. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan vaksin inaktif S. enteritidis. Vaksin dibuat dari S. enteritidis phage tipe 4 isolat lokal yang diperoleh dari Jakarta. Vaksin dibuat dalam bentuk inaktif dengan formalin. Setelah mati dicampur dengan adjuvant Al (OH)3 dengan konsentrasi akhir 1,5% dan konsentrasi sel setara dengan kekeruhan tabung McFarland Standar No. 10. Respon antibodi dan daya proteksi diuji pada ayam petelur masih dalam penyelesaian.
Gambar 22. Sekum ayam terinfeksi Salmonella (bengkak, penuh gas)
144
Program Penelitian Veteriner
Gambar 23. Perangkat diagnostik ELISA
Gambar 24. Bentuk koloni Salmonella pada media XLD
Gambar 25. Elektron mikroskopik Salmonella
145
Seratus Tahun Bbalitvet
8. Dinamika virus Avian Influenza setelah dua tahun bersirkulasi di Indonesia Hasil analisis genetik pada penelitian terdahulu menunjukkan adanya kedekatan genetik antara virus wabah yang terjadi di akhir tahun 2003 – 2004. Namun demikian, virus mulai menunjukkan adanya mutasi, khususnya pada isolat yang dikoleksi pada wabah gelombang kedua. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi virus AI yang bersirkulasi di lapangan dan melakukan analisis genetik molekuler untuk mendeteksi dini adanya mutasi yang terjadi, serta untuk melihat adanya kecenderungan perubahan keganasan penyakit AI pada aras molekuler serta penyebarannya lokasi-lokasi yang pernah terkena wabah (DKI Jakarta, Sukabumi, Madiun, Kediri dan Blitar). Metode yang digunakan adalah uji HA dan HI untuk mengetahui titer Ab, imunohistokimia (IHK) untuk mengetahui sebaran antigen pada embrio ayam, RT-PCR dan sekuensing untuk mengetahui mutasi virus. Isolasi virus dilakukan pada telur berembrio SPF umur 911 hari, cairan alantois dipanen dan virus diuji dengan metode RT-PCR menggunakan primer Matrix dan subtipe H5. Tiga belas (13) dari sampel positif menunjukkan aktivitas HA pada pasase pertama, dimana terlihat adanya pertumbuhan virus AI pada telur berembrio SPF. Uji serologi dari serum darah menunjukkan titer antibodi yang rendah pada unggas yang divaksinasi, sedangkan pada unggas yang belum divaksinasi tidak menunjukkan titer antibodi terhadap AI. Namun, beberapa ekor burung menunjukkan respon antibodi yang cukup baik 4 minggu pascavaksinasi di Pusat Penyelamatan Satwa Cikenangka. Deteksi virus AI subtipe H5 pada embrio yang telah diinfeksi sampel lapang dilakukan dengan teknik IHK. Sampel yang digunakan adalah isolat yang telah diidentifikasi dan dikarakterisasi, yaitu virus avian influenza subtipe H5N1 (Mak
146
Program Penelitian Veteriner
1, Mak, 2, Mak 6, BD18 dan C Ang), serta beberapa sampel lapang yang dipilih secara acak dan ditanam pada telur berembrio SPF umur 9 – 11 hari. Dari 31 sampel yang diperiksa, 9 sampel (BD18, R1, R10, R11, R15, R4, K20, M15) tidak menunjukkan positif AI dengan teknik imunohistokimia, walaupun terdeteksi positif AI subtipe H5 dengan RT-PCR. Dari 183 sampel yang diuji, 48 sampel (26,2%) positif virus AI subtipe H5 dengan RT-PCR. Selanjutnya dilakukan identifikasi molekuler virus AI pada 13 isolat dengan cara sekuensing untuk mengetahui urutan nukleotida, dan analisis genetik untuk menentukan homologi antar isolat serta mutasi pada gen HA terutama pada daerah cleavage site. Gambaran homologi antar isolat yang diuji berkisar antara 91 – 96%. Analisis pohon filogeni isolat Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tiga kluster virus AI isolat Indonesia. Isolat A/chicken/Jakarta/DKI-III/3/2005 mempunyai hubungan kekerabatan yang paling jauh diantara isolat-isolat Indonesia lainnya. Sedangkan isolat virus AI yang berasal dari TM Ragunan (A/Bird/Jakarta/Rag 27/2005) mempunyai kekerabatan dekat dengan isolat virus AI yang berasal dari burung di Tangerang. Analisis sekuen asam amino di daerah cleavage site gen HA menunjukkan bahwa semua isolat memperlihatkan motif asam amino (highly pathogenic avian influenza) P Q R E R R R K K R //G, kecuali isolat A/Chicken/West Java/SmiHay/brs2/2005 yang mempunyai motif P Q R E S R R K K R //G yang mengakibatkan fatal pada manusia. 9. Surveilan penyakit Avian Influenza pada unggas dengan teknik DIVA Avian Influenza (AI) merupakan penyakit yang paling banyak menyita perhatian di seluruh dunia beberapa tahun terakhir ini. Penyakit ini bukan saja sangat patogen pada ayam dan unggas lainya tetapi juga dapat menginfeksi dan
147
Seratus Tahun Bbalitvet
menimbulkan kematian pada manusia. Ketakutan terbesar adalah terjadinya mutasi pada virus sehingga memungkinkan terjadinya penularan antar manusia. Karena penyakit sudah menular dengan intensif di hampir seluruh wilayah Indonesia, cara penanggulangan penyakit yang paling rasional adalah dengan vaksinasi dan penerapan biosekuriti. Salah satu kesulitan yang dihadapi dengan sebagai akibat dari penerapan vaksinasi itu adalah kesulitan dalam pelaksanaan surveilans serologik. Beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia telah membuat suatu kebijakan untuk menggunakan vaksin H5N2 diseluruh Indonesia. Atas dasar kebijakan tersebut teknik DIVA yang paling cocok untuk dikembangkan adalah heterologous neuraminidase DIVA. Akan tetapi sampai saat ini belum tersedia perangkat uji untuk pelaksanaan heterologous neuraminidase DIVA tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu metoda untuk mengisolasi dan memurnikan neuraminidase dari virus H5N1 yang dapat dipakai dalam pengembangan teknik heterologous neuraminidase DIVA. Glikoprotein permukaan virus mula mula dipisahkan dari partikel virus dengan deterjen oktil piranosida atau enzim pronase. Selanjutnya neuraminidase dipisahkan dari protein lain menggunakan serangkaian khromatografi kolom (pertukaran ion, afiniti dan filtrasi gel). Teknik yang dipilih diatas dapat mengisolasi neuraminidase dengan kemurnian yang tinggi namun hasil yang didapatkan sangat rendah. Penyebab utama dari rendahnya hasil diatas adalah: (i) virus influenza mengandung neuraminidase dalam jumlah yang sangat rendah, dan (ii) virus H5N1 sangat patogen sehingga telah membunuh media (telur tertunas) sebelum titer atau jumlah partikel virus memadai.
148
Program Penelitian Veteriner
10. Purifikasi protein neuraminidase (N1) Virus infleunza H5N1 untuk pengembangan uji serologi sistem DIVA Perlindungan terhadap Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada unggas sangat tergantung kepada antibodi spesifik untuk HA tertentu sehingga virus untuk vaksin harus berasal dari subtipe H yang sama dengan virus liar yang ada di suatu wilayah. Salah satu masalah yang timbul dengan program vaksinasi adalah sulitnya pelaksanaan surveilans serologis karena sulit membedakan ayam yang positif secara serologis disebabkan oleh vaksinasi atau infeksi alami. Hal ini menyulitkan pendeklarasian apakah suatu negara atau wilayah sudah bebas dari influenza atau belum. Kegagalan pendeklarasian tersebut berdampak kerugian ekonomi yang sangat besar akibat larangan perdagangan dengan negara lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dikembangkanlah program vaksinasi DIVA (Differentiating Infected from Vaccinated Animal). Tujuan dari program ini adalah untuk memudahkan pelaksanaan surveilans secara serologis. Pengendalikan penyakit AI yang saat ini di Indonesia hanya disebabkan oleh virus sub-tipe H5N1 menggunakan vaksin inaktif H5N2. Salah satu persyaratan mutlak untuk dapat menerapkan program tersebut adalah tersedianya teknik diagnosis serologis yang dapat mendeteksi antibodi terhadap neuraminidase N1 atau non structural protein NSP-1. Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi protein neuraminidase virus influenza H5N1 untuk digunakan sebagai antigen dalam uji serologi guna mengembangkan surveilans sistem DIVA. Isolasi protein neuraminidase virus influenza H5N1 melalui fraksinasi secara khromatografi. Pada fraksinasi dengan weak anion exchange chromatography (ANX sepharose), octyl glycopyroniside ekstrak (1ml) yang diperoleh dari 1000 ml cairan alantoik diinjeksikan ke dalam kolom ANX Sepharose (CV=1 ml) dengan kecepatan 1 ml/menit. Kolom dicuci
149
Seratus Tahun Bbalitvet
dengan buffer A yang mengandung 0,1% octyl dalam 50 mM Tris-HCl, pH 7.5 (fraksi N), dilanjutkan dengan buffer B yang mengandung 1 M NaCl, 0,1% Triton x-100 dalam 50mM TrisHCl, pH 7.5 (fraksi H). Masing-masing eluen dianalisis dengan SDS-PAGE dan ditransfer ke nitrocellulose membrane dan diprobe dengan serum ayam H5N1 dan H5N2. Hasil analisis terlihat pada Gambar 26.
Gambar 26. SDS-PAGE (A) dan imunoblot (B); octyl ekstrak (lajur 1); concentrated eluen 1 (lane 2) dan concentrated eluen-2 (lane 3). Neuraminidase N1 terlihat dalam band yang tipis (Panah)
Pada fraksinasi dengan weak cation exchange chromatography (CM sepharose), hasil ekstraksi virus H5N1 dari ± 1000 ml cairan alantoik dengan larutan Octyl glycopyranoside menghasilkan 2 ml octyl extract dengan konsentrasi protein 1.65 mg/ml dan aktivitas neuraminidase 4408 µmol NANA/ml. Fraksinasi octyl ekstrak dengan kolom CM sepharose (CV=1 ml) dan elusi dengan gradien linier (0 – 100% 1M NaCl) memisahkan protein menjadi 2 fraksi, yakni fraksi-1 yang tidak diabsorbsi kolom dan fraksi-2 yang dielusi dari kolom dengan ≥ 0,3 M NaCl. Karena didalam octyl ekstrak hanya terdapat 2 protein yang dominan (hemaglutinin
150
Program Penelitian Veteriner
dan neuraminidase), maka khromatografi ini dapat memisahkan kedua protein tersebut. Untuk efisiensi fraksinasi, elusi dilakukan dengan stepwise gradient. Fraksi yang tidak diabsorbsi kolom mengandung aktivitas neuraminidase dan hemaglutinasi, sedangkan fraksi 40% mengandung aktivitas neuraminidase dan hemaglutinasi. Fraksinasi selanjutnya dilakukan dengan elusi: 0 – 10% bufer B, 30 – 50% bufer B, dan 70 – 100% bufer B. Analisis SDSPAGE dari fraksi-fraksi di atas menunjukkan bahwa fraksi 0 – 10% mengandung hemaglutinin murni (Gambar 27). Aktivitas hemaglutininfraksi 0 – 10% terdeteksi sampai pengenceran 1 : 1280.
Gambar 27. SDS PAGE dan imunoblot E-lactone-inactivated H5N1 virion (lajur 1); Octyl-extracted H5N1 virion (lajur 2); fraksi 0 – 10% (lajur 3); fraksi 30 – 50% (lajur 4). Perhatikan bahwa fraksi 0 – 10% mengandung haemaglutinin murni
151
Seratus Tahun Bbalitvet
Berbagai gambar yang terkait dengan AI
Gambar 28. Perdarahan pada dada
Gambar 29. Perdarahan pada dada, perut dan kaki
Gambar 30. Pial jengger kebiruan
152
Program Penelitian Veteriner
Gambar 31. Bintik perdarahan subkutan/bawah kulit
11. Penelitian AI pada unggas yang ada di sekitar kasus kejadian AI pada manusia Infeksi Avian Influenza sering terjadi pada unggas peliharaan di lapangan. Telah diketahui bahwa virus influenza pada manusia berasal dari strain virus influenza dari unggas setelah berevolusi pada induk semang mamalia perantara. Selanjutnya telah diketahui pula virus influenza seperti HK H5N1 dapat menginfeksi manusia tanpa terlebih dahulu menginfeksi mamalia. Virus influenza termasuk dalam famili Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan sebagai influenza A, B dan C berdasarkan pada perbedaan antigenik pada nucleoprotein (NP) dan protein matrix (M). Semua influenza pada unggas disebut avian influenza yang termasuk dalam tipe A. Subtipe selanjutnya berdasarkan pada antigenisitas pada dua buah glikoprotein permukaan yaitu, hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Penelitian ini didasarkan pada adanya kasus Avian Influenza di lapang baik yang bersamaan dengan suspek influenza pada manusia maupun tidak. Kunjungan lapang dilakukan di kabupaten Tasikmalaya, Malang, Blitar, Tulung Agung dan Tangerang. Diperoleh tiga isolat virus Avian Influenza subtipe H5 dari kabupaten Tulung Agung dan
153
Seratus Tahun Bbalitvet
Malang yang diuji dengan RT-PCR. Selanjutnya dilakukan DNA sekuensing untuk mengetahui karakter genetik serta dibandingkan dengan virus AI asal manusia. Hasil sekuensing memperlihatkan tidak ada kemiripan karakter genetik dengan ketiga isolat yang diperoleh. Phylogenetic tree menunjukkan ketiga isolat yang diperoleh pada penelitian ini berasal dalam satu kelompok, dan berbeda kelompok dengan isolat yang berasal dari manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isolat yang diperoleh pada penelitian ini tidak berhubungan dengan kasus AI pada manusia, namun merupakan isolat AI yang murni menginfeksi unggas.
154
Kerjasama
J. KERJASAMA I. Australia Australian technical assistence (ATA)-36 Kerjasama dengan pihak luar negeri pertama kali dimulai pada tahun 1968 yang dirintis oleh Drh. Jan Nari selaku Direktur LPPH melalui pendekatan kepada Prof. R.V.S. Bain, seorang mantan Dekan School of Veterinary Medicine, the University of Sidney. Atas rekomendasi Prof. Dr.R.V.S. Bain ini menghasilkan kerjasama luar negeri yang berkelanjutan dengan pihak Australia. Hasil pendekatan tersebut diresmikan menjadi hubungan tingkat Menteri dengan Kedutaan Australia yang menghasilkan bantuan pertama bagi LPPH sebesar US$ 23.500. Kemudian pada tahun berikutnya jumlah hibah ditingkatkan menjadi lebih dari US$ 499.500 sampai tahun 1979 dalam bentuk peralatan laboratorium, bahan kimia dan pendidikan. Melalui kerjasama yang diperluas meliputi Ditjen Peternakan yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS, bantuan teknik Australia diresmikan dengan nomor kode proyek ATA-36 dan dipimpin langsung oleh Prof. Dr.R.V.S. Bain untuk melakukan penanggulangan penyakit SE pada ternak ruminansia besar dikawasan Asia Selatan. Kemudian cakupan wilayah bantuan teknis ini diperluas ke beberapa pulau di kawasan Timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Selama berlangsungnya kerjasama ATA-36 ini Balitvet mendapatkan bantuan asistensi dari pakar dalam berbagai bidang keahlian Peternakan (Tabel 12). Disamping itu, proyek ATA-36 juga menyediakan anggaran pendidikan dan latihan bagi pegawai selama 10 tahun antar 1969 s/d 1980 dan beberapa peneliti telah mengikuti pendidikan di Australia.
155
Seratus Tahun Bbalitvet
Melalui bantuan Colombo Plan-Australia. LPPH menerima beberapa beasiswa untuk pendidikan pascasarjana di beberapa Universitas di Australia antara lain: Drs. Sp.J. Simanjuntak di James Cook University, Townsville (1976); Drs, Supar di James Cook University, Townsville (1987). Australian technical assistance (ATA) – 219 Penjajakan kerjasama dengan pemerintah Inggris dan Australia dilakukan dengan pendekatan melalui kedutaan besarnya masing-masing di Jakarta. Pemerintah Australia menanggapi permohonan tersebut menjelang berakhirnya Pelita ll yaitu pada tahun 1978/1979, kemudian balai mengajukan perpanjangn bantuan teknis kepada pemerintah Australia. Melalui Australian Development Assistance Bureau (ADAB) dikirim tim penilai (reviewer team) pada tahun 1979 yang menghasilkan persetujuan untuk melanjutkan bantuan teknis kepada balai dan James Cook University ditunjuk sebagai pelaksana proyek ATA-219 yang disepakati dan ditanda tangani bersama pada tanggal 22 Juli 1980 oleh sekretaris Jendral Departemen Pertanian RI, Bapak Panoejoe dan Charge d” Affair kedutaan Australia, Mr. D.G. Wilson dengan masa proyek selama 5 tahun. Dalam MOU ditegaskan bahwa pengelolaan organisasi proyek kerjasama ini dikuasakan kepada komisi Koordinasi Proyek (Project Coordinating Committee) yang jabatan ketuanya ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia seorang pejabat Dewan sebagai Manajer Proyek Indonesia yaitu seorang pejabat teras yang berkecipung di bidang veteriner. Keanggotaan Dewan terdiri dari seorang manajer proyek Indonesia, seorang manajer proyek pendamping Australia, dan perwkilan-perwakilan yang dicalonkan oleh pemerintah Indonesia, melalui Badan Litbang Pertanian dan Pemerintah
158
Kerjasama
Australia, melalui Kedutaan Australia di Jakarta. Dewan bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pengarahan proyek, serta melaksanakan pertemuan tidak langsung sebanyak 2 kali dalam setahun. Tujuan proyek kerjasama ATA-219 adalah untuk membantu balai dalam meningkatkan kemampuannya sebagai pusat riset dan referensi veteriner melalui program pendidikan lanjutan bagi pegawai baik peneliti maupun teknisi. Pengelola proyek/manajer proyek pada awal kerjasama ini dijabat oleh Prof. R.S.F. Campbell dari James Cook University (JCU)-Australia, kemudian digantikan oleh manajer tetap Dr. A.J. Wilson, seorang pakar di bidang patologi. Bantuan teknik ATA 219 ini meliputi anggaran sebanyak US$ $.600.000 untuk jangka waktu 5 tahun. Anggaran proyek tersebut oleh AIDAB diserahkan pengelolaannya kepada JCU selaku pelaksana proyek di Indonesia. Selanjutnya, JCU merekrut 5 orang ekspatriat dan 5 orang teknisi ekspatriat yang menetap sedikitnya selama 2 tahun di Bogor. Disamping itu, terdapat pula seorang guru bahasa Inggris dan seorang administrator berkebangsaan Australia serta beberapa petugas administrasi lokal yang digaji oleh proyek ATA-219. Selama 5 tahun pertama berlangsungnya proyek, telah didatangkan pula sejumlah pakar dari bidang keahlian yang berbeda sebagai konsultan jangka pendek (Tabel 14 dan 15). Para ekspatriat ditempatkan pada masing-masing disiplin untuk mendampingi setiap koordinator.
159
Seratus Tahun Bbalitvet
Tabel 14. Daftar ekspatriat yang menetap di Balitvet selama proyek ATA 219 berlangsung Jabatan disiplin Manajer proyek Tata usaha proyek
Bakteriologi
Virologi
Patologi dan toksikologi
Nama ekspatriat
Periode
Dr. A.J. Wilson
1981 – 1983
Mr. P.C. Chopman
1981 – 1984
Mr. IP. Daroesman
1984 – 1986
Dr. R.G.Hirst
1982 – 1986
Mr. J.J. Emins
1981 – 1984
Mr. F.A. Cockram
1984 – 1987
Mr. B.L. Clark, B.Vc.
1984 – 1987
Mr. E. Lawler
1987 – 1990
Dr. P.G.N. Stevenson
1981 – 1986
Dr. P.W. Daniels
1984 – 1992
Mr. N.T. Hunt
1981 – 1990
Dr. D.R. Stollz
1983 – 1991
Mr. Graydon, M.V.Sc.
1987 – 1990
Mr. R.B. Marshall
1982 – 1987
Mr. A. Kent
1982 – 1986
Mr. R.K. Turnbull
1986 – 1988
Epidemiologi
Mr. R.W. Burton, M.V.Sc.
1986 – 1988
Laboratorium bahasa Inggris
Mr. I.P. Davies
1982 – 1988
Mr. J.P.B. Smith
1987 – 1989
Bengkel dan alat
Mr. Rolfman
1985 – 1987
Mr. P.M. Rekdale
1987 – 1988
160
Seratus Tahun Bbalitvet
Sebelum berakhirnya proyek ATA-219 pada tahun 1985, dilakukan evaluasi keuangan dan implementasi proyek kerjasama oleh suatu tim review dari ADAB. Pada saat evaluasi ini, Kepala Balai melakukan pendekatan berupa saran dan usulan agar bantuan ATA-219 diperpanjang dan ditingkatkan agar dampak bantuan proyek lebih nyata terlihat. Tim review berkesimpulan bahwa proyek kerjasama ini telah memberikan hasil yang memuaskan untuk dua belah pihak. Oleh karena itu, diusulkan kepada pemerintah Australia untuk memperpanjangnya selama 5 tahun lagi. Perpanjangan proyek ATA-219 kemudian disetujui sebagai fase II dan ditandatangani pada tanggal 2 Oktober 1986 oleh Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Dr. Ir. Syarifudin Baharsyah sebagai wakil pemerintah Indonesia dan Duta Besar Australia di Jakarta Mr. Bill Morrison sebagai wakil Pemerintah Australia. Kerjasama kedua ini mencakup dana sebesar Aus $ 12.860.000 dan berlaku selama lima tahun sampai dengan tanggal 22 Juli 1990. Meskipun peresmian kerjasama Fase II ini mengalami keterlambatan, kegiatan penelitian dan penugasan para ekspatriat Australia tetap berlangsung. Kerjasama fase II ini memberikan masukan untuk penambahan tenaga ekspatriat yaitu untuk Patologi, Epidemiologi, dan Bengkel. Selain itu, diusulkan pula untuk menambah peralatan laboratorium, komunikasi, pelatihan dan lain-lain. Selama proyek ATA-219 berlangsung telah diberikan kesempatan kepada beberapa peneliti, teknisi dan beberapa tenaga lainnya untuk mengikuti program pendidikan pascasarjana/pelatihan jangka pendek dan konferensi/seminar internasional seperti tertera pada Tabel 16.
166
Kerjasama
Tabel 16. Daftar peneliti yang mendapatkan kesempatan mengiktui pendidikan jangka panjang antara tahun 1979/1980 s/d 1988/1989 Disiplin Bakteriologi
Parasitologi
Nama
Negara
Universitas
Suprodjo Hardjoutomo
Indonesia
IPB
Sukardi Hastiono
Indonesia
IPB
Agus Nurhadi
Indonesia
IPB
Endhi D. Setiawan
Indonesia
IPB
Supar
Australia
JCU
Masniari Poeloengan
Indonesia
IPB
Lily Natalia
Indonesia
IPB
Istiana
Indonesia
UGM
Aida R. Tenden
Australia
JCU
Gozali moekti
Australia
JCU
Adin Priadi
Australia
JCU
Ramdani
Australia
Monash University
Soeripto
Australia
Melbourne University
Djaenudin Gholib
Australia
JCU
Drh. Anni Kusuma-ningsih
Inggris
Reading University
Sutijono Partoutomo
Australia
JCU
Beriajaya
Australia
JCU
Tarmudji
Indonesia
IPB
Suhardono
Inggris
University of Liverpool
I.P. Sukanto
Australia
JCU
Sri Widjayanti
Australia
JCU
Sukarsih
Australia
JCU
Amir Husein
Australia
JCU
167
Seratus Tahun Bbalitvet
Disiplin
Virologi
Patologi
Toksikologi
168
Nama
Negara
Universitas
Drh. Sukarsih
USA
University of Sounth Corolina
Purnomo Ronohardjo
Indonesia
IPB
Haryadi Mangunwiryo
Inggris
Sudarisman
Indonesia
IPB
Sarosa
Indonesia
UGM
Lies Parede
Australia
JCU
Idrawati Sendow
Australia
JCU
Darminto
Australia
JCU
R.M.A.Adjid
Australia
JCU
Agus wiyono
Australia
JCU
Ng. Ginting
Indonesia
Universitas Pajajaran
Helmy Hamid
Australia
JCU
Ening Wiedosari
Australia
JCU
Simson Tarigan
Australia
Melbourne University
Rini Damayanti
Australia
JCU
Tolibin Iskandar
Indonesia
IPB
Sjamsul Bahri
Indonesia
IPB
T.B.Murdiati
Australia
JCU
Darmono
Australia
JCU
Paderi Zahari
Australia
JCU
Raphaella Widiastuti
Australia
New Southwales University
Indraningsih
Australia
JCU
Yulvian Sani
Australia
Queensland University
Kerjasama
Disiplin
Epidemiologi Informasi
Nama
Negara
Universitas
Asri Handayani Dewi
Inggris
Reading University
Eny Martindah
Inggris
Reading University
Sp. J. Simandjuntak
Indonesia
IPB
Zakiah Muhajan
Indonesia
IPB
Yusuf Halim
Indonesia
IPB
Tetty Sartika
Australia
Pada tahun 1987 bantuan ATA-219 ini kembali dievaluasi oleh tim review dari Australia. Kepala Balai sekali lagi mengadakan pendekatan untuk mengajukan perpanjangan kembali karena beberapa bidang ilmu masih perlu diperkuat. Permohonan Balai tersebut kemudian diterima untuk diperpanjang kembali sebagai Fase III selama tiga tahun. Dana proyek dialokasikan sebesar Aus $ 2.500.000 dan berakhir sampai dengan tahun anggaran 1993/1994. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), adalah badan bantuan finansial dari Australia untuk pengembangan penelitian pertanian Internasional yang dikelola oleh pemerintah Australia. Balitvet pertama kali menjalin kerjasama dengan ACIAR pada tahun 1984 sewaktu diperluasnya kerjasama dengan Australia di bidang pertanian antara Badan Litbang Pertanian dengan ACIAR. Berbeda dengan proyek kerjasama ATA-219 yang lebih diarahkan kepada pengembangan kelembagaan dan bantuan teknis, kerjasama ACIAR lebih diarahkan kepada kegiatan penelitian untuk bidang-bidang tertentu pada
169
Seratus Tahun Bbalitvet
kelompok peneliti tertentu pula. Umumnya kerja sama ini berlangsung pada periode tertentu minimal 2-3 tahun. Pada kerja sama ACIAR ini dimungkinkan pula untuk mendapatkan bantuan pendidikan jangka panjang, pelatihan, serta kunjungan kerja oleh peneliti dan teknisi yang terlibat di dalam kerjasama penelitian tersebut. Keberhasilan di dalam menjalin hubungan kerjasama penelitian dengan pihak ACIAR ini. kemudian diikuti dengan persetujuan beberapa kerjasama penelitian yang diperluas untuk bidang dan kelompok penelitian lainnya pada tahun berikutnya. a. ACIAR NO. 8333 Melalui kerja sama penelitian ACIAR No.8333 ini Balitvet memperoleh bantuan seorang pakar untuk terlibat di dalam kegiatan penelitian penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) pada sapi dan kerbau. Kerjasama penelitian berlangsung antara tahun 1984 s/d 1986 dan dipimpin oleh Dr. P. Daniels. b. ACIAR NO. 8382 Pada tahun 1987, kerjasama penelitian dengan ACIAR diperluas dengan disetujuinya proyek penelitian NO.8382. Penelitian ini mengembangkan metode diagnosis penyakit hewan di Asia Tenggara dengan menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay ( ELISA ). Kerjasama penelitian tersebut merupakan penelitian gabungan antara Balitvet dengan Regional Veterinary Laboratory, BenallaVictoria, Australia dan Faculty of Veterinary and Animal Science dari Universitas Pertanian Malaysia yang didanai oleh ACIAR No. 8382. Bagi Indonesia, penelitian ini meliputi beberapa penyakit yaitu brucellosis, leptospirosis, anthrax dan haemorhagic septicaemia, sedangkan Malaysia meneliti penyakit Newcastle Disease (ND). Disamping itu, teknologi ELISA dan keahlian yang dikembangkan diharapkan dapat
170
Kerjasama
disebarluaskan ke berbagai laboratorium di seluruh Indonesia. Pada bulan Juli 1987, kerjasama penelitian ini dimulai dengan mendatangkan seorang pakar yaitu Dr. Barry Patten yang bekerja untuk penelitian ini selama 2 tahun. c. ACIAR PN 9049 Pada tahun 1990 telah disepakati oleh ACIAR untuk memberikan dana penelitian bagi penyakit fasciolosis dengan judul “Evaluasi antigen untuk membuat vaksin cacing hati pada sapi dan kerbau di Indonesia“ penelitian ini dilakukan oleh Kelti Parasitologi selama 3 tahun berturutturut. d. ACIAR PN 9123 Pada tahun 1991 disepakati pula untuk memperpanjang proyek kerjasama penelitian dengan ACIAR mengenai penyakit Fasiolosis. Penelitian kerjasam ACIAR PN 9123 ini lebih dititik beratkan kepada epidemiologi penyakit fasciolosis dan mempelajari kemungkinan terdapatnya resistensi genetika pada beberapa ternak di Indonesia. e. ACIAR PN 9202 Kelompok peneliti Bakteriologi melakukan pendekatan kepada ACIAR untuk menjalin kerjasama penelitian mengenai penyakit haemorhagic septicaemia. Pada tahun 1992, disetujui suatu kerjasama penelitian dengan Kelti Bioteknologi yang berjudul “Diagnosis dan pengendalian penyakit haemorhagic septicaemia di Indonesia“. Peneliti ini dilaksanakan pada bulan Agustus 1993 yang berlangsung selama 3 tahun. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari epidemologi penyakit Pasteurella pada ruminansia di kawasan Timur Indonesia, mengembangkan teknik diognosa pasteurellosis melalui kloning DNA dan amplifikasi sistem diagnosa untuk P. multocida; dan karakterisasi isolat P. multocida dengan menggunakan teknik analisis DNA. Penelitian ini
171
Seratus Tahun Bbalitvet
dilaksanakan oleh tiga institusi yang berbeda yaitu Regional Veterinary Laboratory , Benalla-Australia, Balai Penelitian Veteriner, Bogor-Indonesia, dan Balai Penyidikan Penyakit Hewan, Denpasar – Indonesia. f. ACIAR PN 9203 Salah satu kendala di dalam pengembangan ternak adalah penyakit myasis yang sering dijumpai menyerang ternak ruminansia besar. Obat untuk menghadapi penyakit ini belum banyak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, Balitvet berupaya mendapat bantuan dana penelitian dan alih teknologi dari berbagai lembaga penelitian melalui kerjasama penelitian. Pada tahun 1992 disetujui proyek kerjasama untuk mengembangkan vaksin myasis yang didanai oleh ACIAR PN 9203 dengan judul “Identifikasi dan produksi antigen rekombinan untuk pembuatan vaksin screwworm fly (Chrysomya bezziana). Penelitian ini berlangsung selama 5 tahun yang diselenggarakan bersama antara Balitvet, Institut Teknologi Bandung, dan CSIROIndoroopily, Brisbane-Australia. g. ACIAR PN 9615 Balai Penelitian Veteriner juga terlibat di dalam suatu kegiatan penelitian bersama secara internasional antara Papua New Guinea, Indonesia, dan Australia yang telah disepakati untuk diselenggarakan bersama ketiga negara tersebut. Penelitian ini mendapatkan dana dari ACIAR. Penelitian yang berusaha menggalang kerjasama untuk pengendalaian trypanosomiasis ini walaupun dananya kecil, tetapi telah berhasil menjalin kerjasama di dalam pengembangan teknik diagnostik yang diawali dengan penyelenggaraan workshop on diagnosis and epidemology of T. evansi di Balitvet pada tanggal 1 – 5 September 1997. Peserta Workshop antara lain adalah dari Papua New Guinea, Australia dan Indonesia.
172
Kerjasama
h. ACIAR AS1/2000/83 Penelitian kerjasama ini tentang pengembangan vaksin Gumboro isolat lokal untuk ayam kampung dan peternakan rakyat di Indonesia. Kerjasama dilaksanakan tahun 2001 – 2003, kemudian diperpanjang hingga tahun 2005 dilakukan antara Bbalitvet dengan AAHL Australia. Berdasarkan Permentan no. 53/Permentan/OT.140/10/2006, isolat lokal kandidat vaksin yang diperoleh telah dialihteknologikan kepada perusahaan vaksin dengan didasari pada Nota Kesepahaman Nomor 38/KL.420/J/1/07 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Litbang Pertanian pada akhir Januari 2007. i. ACIAR Vaksin Jembrana Kerjasama ini mengenai produksi vaksin untuk penyakit jembrana. Kerjasama ini melibatkan tiga institusi yaitu Bbalitvet, BPPV Bali dan Bioteknologi LIPI. Kerjasama dilaksanakan tahun 2001 – 2003. Kegiatan kerjasama ini, yang utama dilaksanakan di BPPV Bali. j. ACIAR NO. AH/040/2004 Penelitian kerjasama ini mengenai epidemiologi, patogenesis dan kontrol Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada bebek di Indonesia dan Vietnam. Kerjasama berlangsung selama tiga tahun dari Maret 2006 sampai Februari 2009. Dalam proyek kerjasama ini, dua staf Virologi berhasil mendapatkan beasiswa dari John Allright Fellowship untuk mengambil program Master yaitu Drh. Risza Hartawan dan Drh. Harimurti Nuraji. k. ACIAR NO. AH/050/2006 Kerjasama ini tentang kontrol dan karakterisasi strain virus HPAI pada unggas di Indonesia. Proyek kerjasama berlangsung tiga tahun mulai Maret 2007 sampai Februari 2010. Dalam kerjasama ini, satu staf Patologi yang berhasil mendapatkan beasiswa John Allright Fellowship untuk
173
Seratus Tahun Bbalitvet
mengambil program Master yaitu Drh. Sumarningsih. Selain itu, ada kesempatan beberapa staf Bbalitvet untuk melakukan training di Bidang Bioinformatika dan Bidang Biosafety Laboratorium. Tabel 17. Peneliti yang mengikuti pendidikan pascasarjana di Australia tahun 1988 – 1998 Nama
Tahun
Sponsor
Drh. Agus Wiyono
1994
ACIAR
James Cook University
Drh. Suhardono
1995
ACIAR
James Cook University
Drh. Sri Muharsini
1996
ACIAR
University of Queensland
Dra. Romsyah Maryam
1997
AusAID
University of Queensland
Drh. Djaenudin Gholib
1989
ATA 219
James Cook University
Drs. Simson Tarigan
1989
ATA 219
Melboume University
Drh. Agus Wiyono
1989
ATA 219
James Cook University
Dra. Eha Soleha
1989
ATA 219
NorthernTerritory University
174
Perguruan tinggi
Kerjasama
Tabel 18. Peneliti yang mengikuti pelatihan jangka pendek antara tahun 1988 – 1998 Nama
Tahun Sponsor
Bidang
Negara
Dr. Sjamsul Bahri, MS
1994
ACIAR
Research Management
Australia
Drh. S.E. Estuningsih, MSc
1994
ACIAR
Fasciolosis
Australia
Dr. Sutijono Partoutomo,MSc
1995
ACIAR
Screwworm fly
Australia
Drh. Lily Natalia, MS
1995
ACIAR
Pasteurellosis
Australia
Drh. Sri Muharsini
1996
ACIAR
Screwwormfy
Australia
Drh. Sri Widjayanti
1995
ACIAR
Fasciolosis
Australia
Drh. Sukarsih, MSc
1997
AQIS
Cullicoides
China
Drh. Indrawati Sendow, MSc
1995
AQIS
Blue tongue
China
Australia Quarantine Inspection Services (AQIS) Australia Quarantine Inspection Services (AQIS) adalah Dinas Karantina Australia yang bertugas untuk melakukan pemerikasaan karantina terhadap lalulintas produk pertanian ke/dari Australia termasuk di dalamnya produk peternakan. Pada tahun 1993, AQIS menjalani kerjasama dengan Departemen Pertanian RI melalui Biro Kerja Luar Negeri untuk pengawasan berbagai jenis penyakit pada sektor pertanian. Balitvet dalam hal ini terlibat di dalam penyakitpenyakit hewan khususnya didalam surveilen penyakit hewan di kawasan timur Indonesia. Beberapa penelitian penyakit hewan telah dilaksanakan, antara lain Trypanosimiasis pada anjing lokal, culicoides pada sentinel
175
Seratus Tahun Bbalitvet
sapi, screwworm lure, patogenitas blue tongue, dan penyakit pada babi. II. Inggris Australian Technical Assistence (ATA) – 244 Penjajakan bantuan dari pemerintah Inggris dilakukan pada tahun 1979. Pemerintah Inggris kemudian mengirim Mr. Thorn DVM dari Overseas Development Administration (ODA) untuk meninjau Balitvet yang kemudian diikuti oleh kunjungan Atase Pertanian Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Mr. Pittman. Penjajakan ini membuahkan hasil kerjasama pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1981 dengan diterimanya Aid Memoir pada tanggal 29 Juni 1981 dan kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Dalam memoir tersebut pemerintah Inggris melalui ODA menyanggupi untuk membantu Balitvet dengan dikirimnya seorang pakar penyidikan veteriner dan seorang teknisi laboratorium serta beberapa konsultan untuk bekerja dalam jangka waktu yang singkat terutama untuk meningkatkan kemampuan Perpustakaan Balitvet. Sejumlah peralatan, buku dan majalah ilmiah, serta beberapa biakan kuman untuk laboratorium referensi disediakan dengan lokasi anggaran sebanyak $ 50.000. Bantuan kerjasama ini tercatat di Bappenas dengan nomor kode proyek ATA-244. Bantuan kerjasama ini tidak menggunakan prosedur Memorandum of Understanding (MoU) karena menurut penjabat kedutaan besar Inggris di Jakarta bantuan tersebut berjumlah kecil sehingga tidak memerlukan MoU. Meskipun demikian secara berangsur-angsur laboratorium Referensi Diagnostik dan Balitvet Culture Colection (BCC) dapat di selenggarakan dengan baik. Untuk kedua laboratorium ini disediakan seorang pakar Dr. Philip yang dibantu seorang
176
Kerjasama
teknisi Mr. C. King. Kedua ekspatriat tersebut bekerja selama 2 tahun. Sejak saat itu BCC diakui sebagai anggota dan World Data Centre. Sementara itu, Perpustakaan Balitvet mampu berkembang secara baik dengan didatangkannya seorang ahli perpustakaan dari Inggris yaitu Mr. Benita Horder yang bekerja pada perpustakaan selama satu bulan (April 1981). Selama Tahap I bantuan teknis ini, beberapa pegawai Balitvet telah lulus ujian Bahasa Inggris dari British Council di Jakarta dan memperoleh beasiswa untuk pelatihan jangka pendek di Inggris sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing, pegawai yang mendapat pelatihan tersebut adalah: 1. Ny. Zakiah Muhajan untuk mendalami ilmu perpustakaan pada tahun 1983. 2. Darsyah A. Lubis untuk bidang bakteriologi determinatif pada tahun 1983. 3. Udin Sjamsudin Bc. Ek. untuk mempelajari peralatan laboratorium pada tahun 1983. Kedua pakar yang bekerja pada proyek ini, mampu menjalin kerjasama yang baik dengan staf ahli proyek Balitvet-JCU yang pada waktu bersamaan sedang berlangsung. Pada tahun 1984, proyek ATA-244 ini seharusnya telah berakhir akan tetapi atas laporan Dr. J.M. Scott seorang penasehat veteriner dari kantor ODA yang berkunjung ke Balitvet pada bulan November 1984 dan atas usul Kepala Balai, pemerintah Inggris bersedia melanjutkan bantuan teknis ini. Perpanjangan proyek ini bernilai sekitar $ 540.000 untuk tahap II. Tujuan proyek kemudian dialihkan untuk mengembangkan Departemen Epidemiologi di Balitvet dan mengupayakan kerjasama yang lebih terkait antara Balitvet dan Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) yang tersebar di tujuh wilayah Indonesia. Tahap II proyek ini mengirimkan dua orang pakar baru yaitu Mr. Eric Worral dan Dr. Simon Kenyon, yang menggantikan pakar terdahulu
177
Seratus Tahun Bbalitvet
Dr. R. Philip. Bantuan teknis tahap II ini berakhir pada tahun 1989. Pada bantuan teknis ini bergabung pula sebuah kerjasama penelitian dengan Centre for Tropical Veterinary Medicine (CTVM) Endinburgh. Kerjasama penelitian ini bertujuan untuk melakukan epizootiologi penyakit Trypanosomiasis yang mewabah di Indonesia, khususnya untuk Trypanosoma evansi yang menyebabkan penyakit surra. Seorang pakar dari Inggris dikirim sebagai ekspatriat untuk penelitian ini yaitu Mr. R.C. Payne. Selanjutnya, setelah proyek ATA-244 berakhir pada tahun 1989 proyek ini diperpanjang kembali selama 2 tahun dan diarahkan untuk bidang lain sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bioteknologi, dan dampak ekonomi penyakit hewan terhadap petani kecil. Anggaran proyek baru ini senilai US $ 500.000 dengan susunan organisasi keproyekan sebagai berikut: Manajer proyek : 1. Dr. Richard Philip (1981-1985) 2. Dr. Simon Kenyon (1986-1989) Teknisi laboratorium : 1. Mr. Collin King (1981 – 1983) 2. Mr. Eric Worrall (1984 - 1986) 3. Mr. R.C. Payne (1985 – 1989) Selama proyek ini berlangsung telah dilakukan berbagai kunjungan dari Inggris dalam rangka tinjauan proyek kerjasama ATA-244 seperti pada Tabel 19. Selain itu, telah diberikan pula beasiswa kepada pegawai Balitvet untuk mengikuti pascasarjana dan pelatihan jangka pendek seperti tertera pada Tabel 20. ODA Post Project ODA-Post Project merupakan proyek bantuan luar negeri yang dibiayai oleh pemerintah Inggris untuk jangka waktu 30 bulan yang terdiri atas 2 bagian yaitu: The Collaborative
178
Kerjasama
Research rencana proposal penelitian kerjasama serta membantu memperoleh hak cipta yang lebih besar terhadap agenda penelitian dan proyek CRPR yang menyediakan dana yang terbatas untuk proyek kerjasama yang telah diidentifikasi oleh balai. Proyek ODA-Pos Project ini dikelola oleh ODA di bawah Program Renewable Natural Resources Research Strategy (RNRRS) yang mana semua proposal penelitian akan dinilai oleh suatu kelompok peer reviewer terhadap nilai ilmiah dan pengembangannya, serta menjamin bahwa proposal tersebut sesuai dengan ketentuan Indonesia sehingga memenuhi syarat untuk dibiayai. Collaborative Research Planning Resource (CRPR) adalah proyek pembangunan institusional yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan perencana Balitvet. Proyek ini membantu Balitvet menciptakan proses prioritasisasi dan perencanaan untuk proposal-proposal penelitian kerjasama dan jaminan hak yang besar terhadap hasil penelitian. Selain daripada itu, CRPR juga membantu Balitvet di dalam menentukan prioritas penelitian kerjasama, mencari patner penelitian internasional, mencari sumber pendanaan internasional, mengembangkan kemampuan balai di dalam persiapan pembuatan proposal yang berkualitas baik untuk penelitian kerja sama, menyediakan bantuan teknis dan saran-saran di dalam pengembangan proposal penelitian, dan mengatur pelatihan yang dibutuhkan oleh Balitvet. Department for International Development (DfID) Melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balitvet menjalin kerjasama penelitian dengan Department for International Development (DfID) Inggris untuk Animal Health Post-Project Support Programme. Kerjasama ini berlangsung selama tiga tahun (2001 – 2004) dengan 4 judul
179
Seratus Tahun Bbalitvet
kegiatan penelitian yaitu: 1. Identification of protective antigens from Sarcoptes scabiei; 2. Development and application of ELISA kit for Fasciola gigantica infection in cattle by detecting cathepsin L. antigen; 3. Improvement of pesticide use in farmer level to minimize residue in animal products; 4. Development of ELISA technique to detect aflatoxin B1 in animal feeds. Masing-masing judul penelitian tersebut juga menjalin kerjasama dengan lembaga penelitian internasional yang terkait dengan DfID, yaitu Moredun Research Institute (Edinburgh); Monash University (Australia), Sydney University (Australia), dan University College Chester (Inggris). III. Lain-Lain Food and Agricultural Organization (FAO) United Nation Development Programme (UNDP) Sementara proyek kerjasama ATA-36 sedang berlangsung di Balitvet, Balai mendapatkan pula bantuan dari FAO/UNDP melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Bantuan tersebut meliputi peralatan laboratorium dan buku ilmiah senilai US $ 10.900 dan diselenggarakan melalui bimbingan seorang pakar dalam bidang penyakit unggas yaitu Dr. W.L.M. Gordon dari Inggris. Kerjasama ini berlangsung antara tahun 1973 – 1975. Selama kerjasama ini berlangsung telah disetujui pula untuk mengirim Dr. Purnomo Ronohardjo, mengikuti pelatihan di bidang penyakit unggas di negeri Belanda pada tahun 1975. Atas rekomendasi Dr. Gordon diberikan pula kesempatan bagi Dr. Ng. Ginting untuk mengikuti pelatihan patologi veteriner di Swedia atas biaya Swedish International Development Authority (SIDA).
182
Kerjasama
Pada tahun 2007, Bbalitvet juga mendapatkan kerjasama penelitian dengan FAO yaitu penelitian penyakit Avian Influenza pada kucing. Japan Internasional Cooperation Agency (JICA/Jepang) Selain daripada itu, Balitvet juga menerima bantuan peralatan laboratorium khususnya untuk penyakit unggas senilai $ 8.000.000 dari pemerintah Jepang melalui Colombo Plan dan OCTA/JICA, dan mendatangkan tenaga ahli antara lain Dr. Nabun Ogawa dari National Vaterinary Assay Laboratory, Tokyo dan Mr. Hydeyuki Shirmada, Chief clerck dari Shirrakawa station. Pada tahun 1975 datang pula beberapa orang pakar dari Jepang pada bulan Februari Yaitu Dr. Kazuo Akiba; Dr. Kazuo Iwatsuki; Dr. Yoshihito Furuya; Dr. Yoshihide Sasaki; Mr. Yoshiji Ando. Kelima pakar ini merupakan Tim penyakit unggas yang merupakan dari kerjasama dengan Direktorat Kesehatan Hewan yang ditempatkan di Balitvet sebagai realisasi bantuan Colombo Plan-Jepang melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Pada usianya yang seabad ini, Bbalitvet telah mendapatkan bantuan hibah dari JICA pada tahun 2007 berupa alat sequencer untuk melakukan sekuensing DNA pada penyakit Avian Influenza dan penyakit-penyakit penting lainnya. Regional Centre for Tropical Biology (BIOTROP – SEAMEO) Disamping kerjasama dengan badan/organisasi international, kerjasama juga diselenggarakan dengan badan/organisasi luar negeri yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Balitvet telah menjalin kerjasama dengan BIOTROP-SEAMEO didalam pelatihan-pelatihan bidang ectoparasite biology pada tahun 1977 dengan menugaskan Drh. Beriajaya untuk berpartisipasi pada kursus tersebut.
183
Seratus Tahun Bbalitvet
International Atomic Energy Agency (IAEA) Kerjasama dengan IAEA telah dilakukan oleh Bbalitvet di bidang Toksikologi dan Parasitologi dimulai pada 1998 dan tahun 2002 sampai sekarang. Kegiatan penelitian kerjasama di bidang Toksikologi meliputi pengembangan metode analisis mikotoksin pada pakan ternak dan pengembangan strategi monitoring yang efektif pada residu obat hewan pada ternak dan produk asal ternak. Dalam kerjasama yang terakhir, beberapa staf di Kelti Toksikologi (Dr. Tri Budhi Murdiati, Dr. Raphaella Widiastuti, Sri Rachmawati, BSc., MSc.) memperoleh training untuk skrining dan konfirmasi metodologi untuk residu obat-obat veteriner. Sedangkan di bidang Parasitologi, kegiatan penelitian yang dikerjasamakan yaitu penetapan genetika dan dinamika populasi lalat penyebab Myiasis di Indonesia. (PJ: Dr. Sri Muharsini) Seorang staf Peneliti dari Kelti Parasitologi yaitu April Hari Wardhana, SKH, SSi, mendapatkan sebagian biaya penelitian untuk S3 di Inggris dari kerjasama ini. Lembaga-lembaga Penelitian Nasional dan Lain-lain Kerjasama dengan berbagai Instansi dan Badan Penelitian milik pemerintah maupun swasta di dalam negeri juga dikembangkan oleh Bbalitvet seperti: a. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta b. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Jakarta c. Badan Penelitian Perikanan Darat, Bogor d. Pusat Penelitian Tanaman Pangan, Bogor e. Perguruan Tinggi f. Badan Pendidikan dan Latihan Penyuluhan Pertanian (BPLPP) g. Balai Karantina Pertanian h. Balai Penelitian Tanaman Sayuran i. PT Biofarma 184
Kerjasama
j. Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPV) regional I – VII k. BPMSOH l. Badan Karantina dan Balai Karantina Hewan di Propinsi Selain mengadakan kerjasama di bidang ilmu veteriner, Bbalitvet secara teratur mengelola hubungan kerja dengan lembaga dan organisasi lain di bidang sosial dan informasi maupun perusahaan swasta untuk menjalin kerjasama yang terpadu dengan lembaga/badan di Indonesia tersebut. Bbalitvet juga berperan aktif dalam menyelenggarakan kontes/pameran ternak nasional, kontak tani nasional, pameran pembangunan nasional dan lain sebagainya. Agricultural Research Management Project (ARMP) Agricultural Research Management Project (ARMP) adalah suatu badan bantuan keuangan Proyek Bantuan Bank Dunia yang bekerjasama dengan Departemen Pertanian. ARMP bertujuan untuk memberikan bantuan moneter di dalam pengembangan dan penelitian pertanian di Indonesia. Dana bantuan disalurkan melalui Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian dimana peneliti mengajukan usulan penelitian berjangka satu tahun melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Dana penelitian yang di salurkan dikelola langsung oleh masing-masing balai penelitian. Selama tahun 1993/1996, Balitvet telah memperoleh bantuan untuk beberapa kegiatan penelitian kerjasama dengan topik penelitian seperti pada Tabel 21. Riset Unggulan Terpadu (RUT) Program Riset Unggulan (RUT) di maksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan penelitian dalam penelitian unggulan yang mengacu kepada Program Utama Nasional (PUNAS) RISTEK. Program RUT ini dipersiapkan dengan
185
Kerjasama
melibatkan potensi riset di Indonesia di bawah kerjasama Kantor Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional dan BAPPENAS. Program RUT dilaksanakan untuk mengembangkan kegiatan penelitian secara terpadu karena masih terdapat berbagai masalah, seperti duplikasi mekanisme penilaian proposal sumberdaya manusia (SDM) dan hasil penelitian yang belum di manfaatkan secara optimal. Disamping itu, RUT merupakan kegiatan penelitian jangka panjang (dua sampai empat tahun), multidisiplin dan/atau melibatkan lebih dari lembaga penelitian untuk memecahkan berbagai masalah pembangunan sesuai dengan PUNAS RISTEK. Hasil penelitian diharapkan berupa produk yang memiliki prospek komersial dan dapat dipatenkan, atau produk yang tidak termasuk ke dalam katagori tersebut tetapi merupakan produk yang bersifat strategis ataupun kebijakan yang dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah nasional. Pada RUT II, tahun 1993 Balitvet berhasil meraih satu judul penelitian melalui penelitiannya yaitu Drh. Ramdani, PhD, untuk bidang penyakit hewan dengan judul “Analisis sifat antigenik lipopolisakarida (LPS) dan protein dari kuman Pasteurella Multocida untuk pengembangan diagnosa yang akurat dan vaksin yang lebih efektif”. Penelitian ini berlangsung selama 3 tahun dari tahun 1994 – 1996. Meskipun proyek bantuan teknis utama seperti ATA-219 dan ATA-244 telah berakhir pada awal tahun 1990, Bbalitvet masih memperoleh bantuan pendanaan dari berbagai sumber untuk pelatihan jangka pendek di berbagai negara, seperti terlihat pada Tabel 22.
187
Seratus Tahun Bbalitvet
Kerjasama di bidang biosafety dan biosecurity Terminologi biosafety dan biosecurity menjadi terbiasa di kalangan ilmu peternakan dan veteriner semenjak merebaknya penyakit Avian Influenza pada ayam pada tahun 2005. Pada kurun waktu sebelumnya terminologi yang digunakan adalah sederhana yaitu keselamatan untuk biosafety dan keamanan untuk biosecurity. Semenjak tahun 2005 tersebut, peranan Balai Besar Penelitian Veteriner dalam menunjang pemerintah RI untuk menanggulangi penyakit AI ditingkatkan, termasuk meningkatnya bantuan dari luar negeri baik berupa peningkatan infrastruktur untuk penelitian maupun peningkatan kompetensi SDM. Beberapa kerjasama telah dilakukan oleh Bbalitvet untuk meningkatkan kompetensi SDM diantaranya kerjasama dengan Biosecurity Engagement Program (BEP), US Department of State, Australian Animal Health Laboratories (AAHL)-Geelong (Australia), South East Poultry Research Laboratory (SEPRL) di Georgia (USA), FAO, dan lain-lain di bidang Biosafety dan Biosecurity. Beberapa training, simposium, workshop maupun kunjungan ke luar negeri lainnya telah dilakukan dengan biaya dari organisasi tersebut (Tabel 23). Masih dalam rangka peningkatan SDM di bidang biosafety dan biosecurity, maka pada tahun 2008 telah dilaksanakan tiga kali workshop bernama “Laboratory Biosafety Principles and Practices” di Bbalitvet. Workshop diadakan secara bertahap, tahap I untuk seluruh staf peneliti (Gambar 31), tahap II untuk seluruh teknisi, laboran dan beberapa staf administrasi (Gambar 32) dan tahap III untuk mitra Bbalitvet seperti BPPV seluruh Indonesia dan perusahaan swasta nasional (Gambar 33). Workshop ini dilatih oleh instruktur atau narasumber dari Bbalitvet yang telah mengikuti Training of Trainer (TOT) pada beberapa
190
Kerjasama
workshop di USA, Singapura, Australia dan Thailand, ditambah beberapa staf dari Badan Litbang Kesehatan, Jakarta. Materi workshop mencakup prinsip-prinsip biosafety, klasifikasi mikroba berdasarkan risk group, desain dan fasilitas laboratorium, aerosol dan cara antisipasinya, penanganan hewan percobaan, transportasi bahan infeksius, dekontaminasi dan sterilisasi, prosedur emergensi dan pembuangan limbah. Workshop ini diharapkan akan selalu dilaksanakan setiap tahun untuk penyegaran.
191
Kerjasama
Gambar 32. Peserta workshop tahap I bersama Keynote Speaker (Dr. Robert Heckert), Ka-Bbalitvet dan para instruktur
Gambar 33. Peserta Workshop Tahap II dengan para instruktur
197
Seratus Tahun Balitvet
Gambar 34. Peserta workshop tahap III beserta Kapuslitbangnak (Dr. Abdullah Bamualim), Ka Bbalitvet (Dr. Darminto), BEP (Jennifer Bae, Wahyuni Kamah) dan para instruktur (Dr. Abdul Adjid, Dr. Sri Muharsini, Drh. Indrawati Sendow, MSc dan Drh. Susan M. Noor, MSc)
198
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
K. HASIL-HASIL PENELITIAN VETERINER Balai Besar Penelitian Veteriner telah berhasil memberikan kontribusinya di dalam pembangunan nasional, informasi teknis veteriner, dan keterlibatan di dalam pemberantasan dan pengendalian penyakit. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan Bbalitvet selama kurun waktu 28 tahun berakhir ini (1983 – 2011 ), antara lain: Pemberantasan wabah penyakit mulut dan kuku di Indonesia pada tahun 1983 Kampanye vaksinasi yang dilakukan sejak tahun 1974 untuk memberantas penyakit mulut dan kuku (PMK) telah menurunkan kasus penyakit ini dalam beberapa tahun sama sekali tidak pernah muncul kembali, hingga pada bulan Juli 1980 penyakit ini muncul kembali.di Bogor dan menyerang sekitar 13.984 ternak dimana 1% di antaranya mati. Oleh karena itu, segera dilaksanakan suatu proyek penelitian bersama antara Balitvet dan Pusvetma, Surabaya yang dititik beratkan pada isolasi dan penetapan tipe virus penyebab wabah, menentukan vaksin dan sistem vaksinasi yang terbaik serta pembuatan vaksin PMK memakai virus penyebab wabah, dan memonitor status imunitas lebih lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virus PMK penyebab wabah ketika itu, adalah virus lokal O Java 83. Berdasarkan rangkaian percobaan imunisasi dengan membandingkan berbagai macam vaksin impor yang dipakai dalam kampanye vaksinasi, maka isolat O Java 83 adalah yang terbaik untuk dipakai sebagai virus biang vaksin PMK. Lebih-lebih jika virus O Java 83 tersebut juga dipakai untuk vaksinasi kedua (booster), proteksinya akan mencapai hampir 100%. Pada saat ini Indonesia diakui dunia sebagai salah satu negara yang bebas dari PMK.
199
Seratus Tahun Bbalitvet
Penyakit mulut dan kuku masih merupakan penyakit ternak yang sangat ditakuti oleh kebanyakan negara, termasuk Indonesia, karena memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian ekonomi yang diakibatkannya meliputi penurunan produksi susu, penurunan pertumbuhan, kematian ternak, tingginya biaya pemberantasan penyakit, serta terhentinya ekspor ternak dan produk peternakan ke negara lain. Meskipun Indonesia telah dinyatakan bebas dari kasus PMK sejak tahun 1986, ancaman terhadap masuknya penyakit tersebut dari negara lain dimana PMK masih berjangkit. Pasar bebas serta tingginya impor ternak dan produk peternakan perlu dilakukan secara hati-hati melalui tindakan karantina yang ketat dan cermat. Penyakit mulut dan kuku bersifat sangat menular, menyerang ternak yang memiliki kuku membelah seperti sapi, kerbau, babi, domba dan kambing. Penyebabnya adalah virus PMK berukuran 25 mikron. Secara klinis PMK ditandai dengan pembentukan vesikel pada selaput lendir mulut dan lapisan sel epitel telapak kaki. Namun gejala ini dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang juga menimbulkan pembentukan vesikel, seperti penyakit Swine Vesicular Disease (SVD), Vesicular Stomatitis (VS), dan Vesicular Exanthema of Swine (VES). Oleh karena itu, diagnosis laboratorium sangat penting dilakukan pada setiap gejala penyakit yang mengarah kepada PMK. Virus PMK memiliki 7 serotipe yakni serotipa Oise (O), Allemagne (A), German strain (C), South African Territories 1 (SAT 1), (SAT 2, SAT 3, dan ASIA. Virus PMK termasuk genus Aphthoviruses dari famili Picornaviridiae. Kekebalan yang dihasilkan oleh satu serotipe tidak bersifat protektif terhadap serotipe yang berbeda. Selanjutnya, serotipe O dan A paling sering mengalami antigen drift yang memungkinkan terciptanya subtipe baru dalam serotipe dan memberikan sedikit kekebalan terhadap subtipe yang berbeda. Sifat virus PMK tahan terhadap kekeringan terutama bila berada dalam fragmen sel epitel, tahan hidup dalam jeroan,
200
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
limphnode, sumsum tulang, dan saluran pembuluh darah dari karkas yang dibekukan. Sebaliknya virus PMK sensitif terhadap pH asam, dan cepat menjadi inaktif dalam otot pada saat perlayuan. Desinfektan yang efektif adalah kaostik soda, formaldehyde, iodophores dan asam. Sebaliknya virus PMK tahan terhadap fenolik, desinfektan amonium, alkohol, serta pelarut lemak. Sumber penularan air susu, daging, jeroan, tulang, vaksinasi yang tidak sempurna proses inaktivasi, hewan liar, burung straring, aerosol, terbawa angin, terbawa oleh kulit/anggota badan petugas, peralatan yang tercemar, atau kondisi lingkungan yang tercemar. Pada kondisi yang kompleks tersebut dimana banyak serotipe yang terlibat, pembentukan subtipe baru, keterlibatan hewan liar, lalu lintas ternak dan produk peternakan yang tinggi, maka pengendalian PMK akan semakin sulit sehingga memerlukan biaya yang sangat tinggi pula. Dengan demikian diperlukan strategi pengendalian penyakit yang tepat yang didasarkan pada situasi dan kondisi yang ada. Di Indonesia, PMK pada ternak dilaporkan pertama kali oleh Bosma ketika penyakit itu terjadi di Malang pada tahun 1887. Dalam waktu yang relatif singkat PMK terus meluas ke timur sampai pantai Banyuwangi. Setelah itu, PMK dilaporkan terjadi berkelanjutan di Jakarta pada tahun 1889, Aceh pada tahun 1892, Medan dan Kalimantan tahun 1906, Sulawesi dan Medan pada tahun 1907. Pada tahun-tahun selanjutnya tidak diperoleh informasi yang jelas mengenai kejadian PMK, namun pada tahun 1974 PMK mencapai puncaknya di mana 13.532 ekor ternak terjangkit. Wabah penyakit terutama terjadi di pulau Jawa yang padat dengan populasi ternak, namun kejadian tersebut dilaporkan hanya sebagai kejadian yang sporadis. Kegiatan pemberantasan PMK dimulai pada tahun 1974 di daerah sumber ternak yang selalu terserang PMK, yaitu Bali, Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa. Kegiatan pemberantasan penyakit berhasil dilaksanakan pada tahun 1980 di mana kasus
201
Seratus Tahun Bbalitvet
penyakit sama sekali terhenti. Bali dan Sulawesi Selatan berhasil dibebaskan dari PMK dan pada tahun 1984 pulau Jawa telah dicanangkan bebas PMK. Rencana pembebasan Pulau Jawa dari PMK pada tahun 1984 tidak terlaksana, karena PMK tiba-tiba meletup pada pertengahan Juli 1983 di Kabupaten Blora. Penyakit ini kemudian menyebar dengan cepat ke arah Barat, sampai ke Banten. Kejadian penyakit di Jawa Timur terbatas pada daerah-daerah perbatasan dengan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu yang relatif singkat PMK telah menyerang 13.987 ekor sapi dan kerbau dengan tingkat kematian sekitar 1%. Diberitakan pula bahwa beberapa ekor domba dan babi telah terserang PMK. Sebelum terjadi wabah PMK pada tahun 1983, telah diketahui bahwa virus PMK yang ada di Indonesia hanya satu tipe, yakni tipe O. Berdasarkan kronologis kejadian PMK di Indonesia terlihat bahwa sebelum terjadi wabah pada tahun 1983, PMK sudah terjadi selama 93 tahun (1887 – 1980). Pemberantasan PMK yang dilakukan secara intensif sejak tahun 1974 berhasil dilaksanakan di beberapa wilayah, yaitu pulau Bali dan Sulawesi, tetapi tidak efektif untuk Pulau Jawa. Beberapa faktor mungkin tidak tercakup dalam pemberantasan penyakit, sehingga terjadi wabah PMK di Pulau Jawa pada tahun 1963. Terjadinya wabah PMK pada pertengahan Juli 1983 di Pulau Jawa merupakan suatu keprihatinan. Keprihatinan yang kemudian mengundang pertanyaan-pertanyaan sekitar penyebab PMK pada tahun 1980 kasusnya telah terhenti sama sekali, kemudian meletup kembali secara mendadak pada pertengahan Juli 1983. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan penjelasan secara ilmiah, antara lain 1) apakah virus PMK penyebab wabah masuk dari luar, 2) apakah pemilihan vaksin 01 BFS yang dipakai dalam pemberantasan penyakit yang dimulai tahun 1974 masih tepat, 3) jenis vaksin yang paling tepat untuk menanggulangi wabah yang sedang berkecamuk. Terdorong keinginan untuk segera mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut serta suksesnya
202
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
program pemberantasan penyakit PMK, maka Tim peneliti Balitvet yang dipimpin oleh Dr. Purnomo Ronohardjo melakukan kegiatan penelitian. Penelitian PMK yang meliputi uji potensi vaksin dan seroepidemologi dilakukan di laboratorium Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma), sedangkan analisis data dilakukan di Balitvet. Hasil-hasil penelitian tersebut disarikan sebgai berikut: 1. Hasil penelitian AVRI Pirbright atas isolat yang dikirim dari Indonesia menunjukkan bahwa serotipe virus penyebab wabah tahun 1983 adalah serotipe O, yang berarti sama dengan serotipe virus penyebab PMK di Indonesia. Disimpulkan bahwa introduksi virus PMK dari luar tidak terbukti. 2. Nilai “I“ PMK penyebab wabah tahun 1983 terhadap vaksin yang selama ini digunakan O1 BFS adalah 0,40 yang berarti terdapat perbedaan antigenik antara virus vaksin dengan virus lapangan penyebab wabah penyakit meskipun subtipenya masih sama. Perbedan antigenik ini diakibatkan oleh proses “antigenic drift“ virus pada kondisi lapangan. Perbedaan nilai “I“ ini memberikan dugaan kuat bahwa terdapat ketidaksesuian penggunaan virus vaksin untuk mencegah virus di lapangan, terlihat dengan adanya tingkat proteksi yang rendah. 3. Uji potensi vaksin membuktikan bahwa vaksin O1 BFS yang telah digunakan pada tahun-tahun sebelumnya tidak memberikan proteksi atau tidak efektif untuk digunakan lagi dalam pemberantasan virus penyebab wabah PMK tahun 1983. 4. Uji potensi vaksin memberikan alternatif penggunaan vaksin di mana vaksin O1 Malaysia 3807 (produksi I. Meriex, O Java 83 3810 produksi Meriex, dan O java 83 008) (produksi Pusvetma) sama-sama memberikan proteksi yang setara dan efektif untuk digunakan di dalam pemberantasan penyakit PMK di Indonesia.
203
Seratus Tahun Bbalitvet
5. Hasil penelitian seroepidemiologi menduga kuat bahwa PMK terjadi lebih awal dari pertengahan bulan Juli 1983, namun kejadian klinis penyakit tidak terdeteksi. 6. Hasil pemeriksaan serologi memperlihatkan bahwa sapi perah memberikan respon vaksinasi yang lebih baik dari sapi pekerja, sementara kerbau lebih kurang baik dari sapi pekerja. 7. Hasil serologi memperlihatkan bahwa ulangan vaksinasi setiap tahun sampai tahun ketiga kampanye vaksinasi lebih memperbaiki hasil vaksinasi sebelumnya. 8. Pelaksanaan kampanye vaksinasi sampai tahun ketiga perlu dilakukan sehingga pemberantasan PMK berhasil/tuntas. 9. Studi serologi memperlihatkan bahwa pada sapi yang mendapat vaksinasi penuh, zat kebal protektif masih tetap ada pada sebagian hewan selama tiga tahun pascavaksinasi akhir. 10. Secara keseluruhan hasil vaksinasi dalam kampanye pemberantasan PMK telah tercapai pada vaksinasi ketiga. Vaksinasi keempat sudah tidak banyak mempengaruhi zat kebal pada tubuh ternak. Penelitian PMK yang dilakukan oleh Tim peneliti Balitvet memberikan andil yang sangat berarti dalam pemberantasan wabah PMK tahun 1983 sehingga pemberantasan penyakit mencapai sukses, Indonesia bebas dari penyakit Mulut dan Kuku hingga saat ini. Keberhasilan penelitian tersebut tidak terlepas dari kerjasama yang erat antara instansi terkait, yakni Balitvet, Pusvetma, dan Direktorat Jenderal Peternakan. Kerjasama yang erat yang didasarkan pada kesamaan persepsi dan misi untuk mengurangi kendala-kendala dalam penelitian yang meliputi keterbatasan fasilitas laboratorium, sumber daya manusia, dan anggaran yang dimiliki oleh masing-masing instansi terkait dan kerjasama yang erat ini perlu dipertahankan.
204
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Produksi vaksin newcastle disease inaktif isolat lokal Newcastle disease (ND) adalah penyakit viral penting pada unggas. Meskipun banyak jenis unggas yang dilaporkan datang terserang, ayam merupakan jenis unggas yang paling rentan terhadap ND. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam kelompok Avian Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae. Berdasarkan patogenisitasnya, virus ND dikelompokkan ke dalam 4 galur, yaitu: velogenik (keganasannya paling tinggi), mesogenik (sedang), lentogenik (paling rendah), dan asimptomatik enterik (sama sekali tidak ganas). Sifat keganasan tersebut ternyata memiliki hubungan dengan struktur antigen virus ND. Virus ND memiliki 6 jenis protein yang dapat berperan sebagai antigen, yakni protein NP, P, M, F, HN dan L. Dari 6 jenis protein tersebut, hanya dua jenis protein yang mempunyai peranan dalam proses kekebalan, yakni protein F dan HN, karena kedua protein tersebut merangsang antibodi protektif. Di Indonesia, vaksin ND aktif telah beredar secara komersial. Vaksin tersebut secara efektif telah menunjukkan kemampuannya di dalam melindungi ayam dari serangan ND. Akan tetapi untuk melindugi ayam petelur yang sedang berproduksi terhadap serangan ND subklinis diperlukan titer antibodi yang tinggi. Untuk mencapai titer yang tinggi diperlukan vaksin ND inaktif. Sementara itu, vaksin ND inaktif yang tersedia secara komersial di Indonesia terdiri dari galur lentogenik yang umumnya produk impor. Indonesia, di lain pihak merupakan daerah endemik ND dengan galur velogenik. Oleh kaena itu, vaksin ND inaktif isolat lokal dari galur velogenik perlu dikembangkan untuk pengendalian penyakit ND di Indonesia. Persiapan untuk produksi vaksin ND inaktif dilakukan dengan menggunakan virus ND velogenik galur ITA untuk vaksinasi dan uji tantang. Virus ND lentogenik galur RIVS2 digunakan sebagai vaksin aktif untuk vaksinasi awal. Untuk perbandingannya
205
Seratus Tahun Bbalitvet
digunakan vaksin ND inaktif asal impor. Zat imunopotensial digunakan dua macam adjuvant, yaitu (1) adjuvant minyak yang berkomposisi lanolin dan parafin cair, dan (2) larutan 2% alumunium hidroksida dalam aquades steril. Satu ampul virus ND galur ITA (2 ml) di ambil dari tempat penyimpanannya di dalam freezer (-70 0C), kemudian dibiarkan pada suhu ruang sampai mencair. Setelah mencair, virus dititrasi pada telur ayam berembrio umur 9 hari. Titer virus dinyatakan dalam 50% embrio lethal dose (ELD50). Setelah titer virus diketahui, virus ND persediaan tadi kemudian diencerkan dengan PBS steril yang mengandung antibiotika 1.000 IU penisilin dan 1.000µg streptomisin per ml sehingga titernya mencapai 10-3 ELD50/0,1 ml. Selanjutnya, virus tersebut diinokulasikan kedalam 50 butir telur ayam berembrio SPF umur 9 hari dengan dosis 0,1 ml yang mengandung 10-3 ELD50, setelah itu telur diinkubasikan pada suhu 370 C dan kehidupannya diamati setiap hari. Telur yang mati dalam waktu kurang dari 24 jam dibuang dan disimpan dalam refrigerator selama satu malam, kemudian cairan alantoisnya dipanen dan virus pada telur ayam berembrio ditritasi seperti diatas. Selanjutnya antigen virus tersebut diinaktifkan dengan formalin sedemikian rupa sehingga dapat diperhitungkan bahwa satu dosis vaksin inaktif akan mengandung 10-7 ELD50. Ringkasnya, proses inaktivasi berlangsung sebagai berikut: Cairan alantois diputar dengan batang pengocok magnet pada suhu 4qC. Bersamaan dengan itu ditambahkan formalin sedikit demi sedikit sampai konsentrasi akhir mencapai 1 : 1.000. Pemutaran dilanjutkan sampai 16 Jam. Antigen inaktif yang telah diuji viabilitasnya dan virulensinya, kemudian diemulsikan dengan adjuvant yang telah tersedia dan selanjutnya disimpan dalam suhu refrigerator sampai saat digunakan. Hasil pemantauan respon antibodi pada kelompok ayam petelur yang mendapatkan vaksinasi aktif galur RIVS2 pada umur 4 dan 14 hari, dan kemudian divaksinasi dengan vaksin ND inaktif
206
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
galur velogenik menunjukan titer antibodi yang cukup tinggi yang dapat bertahan cukup lama. Pada saat anak ayam berumur sehari, titer antibodi maternalnya cukup tinggi yaitu sekitar 6 (log2). Vaksinasi pertama pada umur 4 hari berpengaruh terhadap penurunan titer antibodi maternal. Setelah vaksinasi ke-2, titer antibodi mulai meningkat dan bertahan sampai 12 minggu. Pada umumnya 14 minggu titer antibodi mulai memperlihatkan penurunan. Pada saat inilah vaksinasi inaktif dalam adjuvant diberikan dan terlihat memacu perkembangan antibodi dengan titer HI rata-rata di atas 7 (log2) yang bertahan cukup lama. Analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) dalam hal perkembangan titer antibodi yang dihasilkan oleh ketiga sediaan vaksin inaktif yang diamati. Sementara itu, pemantauan terhadap produksi telur dilakukan terhadap ayam berumur 17 – 18 minggu pada saat mulai bertelur. Persentase produksi telur berangsur-angsur meningkat dengan tingkat yang hampir sama untuk semua kelompok sampai umur 22 minggu. Pada umur 24 minggu tingkat produksi telur agak bervariasi, namun pada akhir percobaan pada saat ayam mencapai umur 26 minggu produksi berada pada tingkat yang hanpir sama, yakni sekitar 60%. Uji tantang yang dilakukan pada ayam yang sedang berproduksi tidak mempengaruhi produksi telur pada semua kelompok yang mendapatkan vaksinasi. Vaksin ND inaktif sangat diperlukan untuk kegiatan peternakan unggas khususnya pembibitan dan ayam petelur. Vaksin jenis ini digunakan sebagai vaksin booster untuk menghasilkan titer antibodi yang tinggi yang bertahan cukup lama, sehingga ayam dapat terlindungi dari serangan ND subklinis yang mempengaruhi produksi dan mutu telur. Hasil penelitian terdahulu menunjunkan bahwa virus ND velogenik galur ITA yang dinaktifkan secara konfensional dengan formalin dengan konsentrasi akhir 1 : 1.000 dalam suhu 4qC selama 16 jam dan diemulsikan dengan adjuvant minyak atau gel aluminium hidroksida mampu menggertak pembentukan antibodi
207
Seratus Tahun Bbalitvet
terhadap ND dengan titer tinggi yang sebanding dengan titier antibodi yang dihasilkan oleh vaksin ND inaktif komersial asal impor. Vaksin ND inaktif galur ITA diemulsikan baik dengan adjuvant minyak maupun gel aluminium hiroksida dan diaplikasikan sebagai vaksinasi booster setelah didahului oleh vaksin aktif galur RIVS2, ternyata mampu memacu perkembangan antibodi dengan titer tinggi (rata-rata geometrik diatas 7 Log2) dan bertahan dalam waktu cukup lama. Perkembangan titer antibodi tersebut tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan perkembangan titer antibodi yang dihasilkan oleh vaksin ND inaktif komersial asal impor yang digunakan sebagai pembanding. Selain percobaan lapangan, dilakukan juga uji tantang pada ayam umur 16, 18, 20 dan 26 minggu, dan ternyata tingkat potensi semua sediaan vaksin yang dipelajari tidak berbeda yakni 100%. Tanpa adanya infeksi oleh virus ND velogenik dari lapangan, semua kelompok ayam berproduksi telur secara wajar dengan tingkat produksi di atas 60% pada ayam umur 26 minggu. Sementara itu, ayam kontrol yang tidak divaksinasi mati tetapi kelompok ayam yang mendapat vaksinasi tetap sehat dan tetap memproduksi telur dengan tingkat produksi di atas 60% sebagaimana yang dicapai kelompok ayam berproduksi yang tidak ditantang. Dari data ini terlihat bahwa tingkat proteksi yang diukur berdasarkan produksi telur tidak berbeda nyata antara sediaan vaksin yang dievaluasi. Hasil pengembangan vaksin ini menyimpulkan bahwa vaksin ND inaktif galur velogenik (galur ITA) yang diemulsikan dengan aduvant baik alumunium hidroksida maupun adjuvant minyak (lanolin parafin) secara efektif dapat melindungi ayam dari serangan virus ND baik sejak munculnya gejala klinis sakit/kematian maupun dari penurunan produksi telur oleh ND.
208
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Produksi vaksin newcastle disease (ND) aktif galur RIVS2 Penyakit tetelo (Newcastle disease, ND) merupakan penyakit endemik di Indonesia dan mengancam peternakan unggas, terutama ayam, karena hampir setiap waktu dapat menimbulkan wabah yang merugikan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit ini diperkirakan sekitar Rp. 142 milyar/tahun akibat tingginya angka kematian, berkurangnya produksi daging dan telur, serta tingginya biaya pengendalian penyakit. ND hanya dapat dicegah melalui program vaksinasi. Berbagai vaksin untuk penyakit ini telah banyak dimasyarakatkan, umumnya menggunakan virus ND galur lentogenik seperti galur F, B1 dan La Sota dengan aplikasi secara individu seperti tetes mata/hidung dan suntikan, atau aplikasi masal seperti semprotan dan melalui air minum. Virus ND galur mesogenik seperti galur Kumarov juga masih sering dipakai di berbagai negara termasuk di Indonesia yang diaplikasikan dengan cara suntikan. Sistem vaksinasi ND yang telah berjalan selama ini menghendaki target vaksinasi 100% dari seluruh populasi ayam yang terdapat pada suatu peternakan. Berdasarkan patogenisitasnya, virus ND dikelompokkan menjadi 3 galur, yakni (1) galur velogenik, menimbulkan gejala klinis parah dan mortalitas tinggi; (2) galur mesogenik dengan tingkat keganasan sedang dan mortalitas rendah; (3) galur lentogenik menimbulkan penyakit ringan tidak menimbulkan kematian yang sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan Ulster 2C. Dari ketiga galur tersebut yang banyak dibuat sebagai bahan vaksin adalah galur lentogenik seperti galur F,B1, dan La Sota, sedangkan vaksin galur mesogenik hanya digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia, yakni galur Kumarov. Galur asimptomatik banyak dipelajari imunegonisitasnya dan ternyata sangat potensial untuk digunakan sebagai vaksin. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengembangkan jenis vaksin yang sesuai
209
Seratus Tahun Bbalitvet
dengan kondisi agroekologi Indonesia seperti pengembangan vaksin aktif dari galur asimptomatik. Vaksin ND aktif dikembangkan dari virus asimptomatik galur V4. Galur V4 berasal dari Australia yang memiliki sifat-sifat biologi yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai vaksin. Virus ND V4 ini pertama kali dimasukkan ke Indonesia pada Tahun 1975 oleh Balitvet, untuk diteliti sebagai bahan vaksin oleh pusvetma Surabaya, tetapi gagal. Pada tahun 1982 dimasukkan kembali dari Division of Animal Health Laboratory (CSIRO), Melbourne, Australia dan disimpan di bagian Virologi, Balitvet. Galur V4 ini ternyata terdiri dari banyak populasi dan diantaranya terdapat populasi virus tahan panas. Virus ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai vaksin di daerah tropis, termasuk Indonesia. Selanjutnya Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) berhasil mengisolasi varian virus ND galur V4 yang tahan panas ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai vaksin ND baik sebagai vaksin peroral, melalui pakan, Lateral maupun vaksin untuk ayam buras. Virus ND yang dipakai sebagai vaksin dalam penelitian ini adalah RIVS2 dengan dosis vaksinasi 19-7 ELD50 per ekor, sedangkan untuk keperluan uji tantangan digunakan virus ND ganas (velogenik) galur Ita. Dalam uji tantang, kelompok ayam yang diinfeksi secara buatan dan diinokulasi dengan dosis 105 ELD50 per ekor ayam. a. Vaksin ND per – oral Meskipun berbagai jenis vaksin telah tersedia, namun pelaksanaan vaksinasi ND pada ayam buras yang dipelihara secara ekstensif masih mendapat kesulitan teknis di lapangan. Ayam tersebut tidak dikurung, bahkan kebanyakan tidur di atas pohon pada waktu malam, sehingga sulit ditangkap untuk divaksinasi secara individu dengan tetes mata atau suntikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru dalam pengendalian ND pada ayam buras yang dipelihara secara ekstensif tersebut. Pengamatan lapang, sering dijumpai petani memberi pakan ayam
210
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
buras dengan sisa dapur atau kadang-kadang jagung pada pagi hari. Fenomena ini memberikan ilustrasi untuk mengembangkan vaksin ND melalui makanan (per-oral). Untuk itu diperlukan virus ND tahan panas dan memiliki fotogenitas rendah serta imunogenitas tinggi. Virus ND galur V4 memiliki sifat-sifat tersebut di atas karena itu virus terdiri dari banyak subpopulasi dan diantara sub-populasi tersebut ada yang tahan terhadap suhu tinggi. Balitvet telah berhasil memilih varian tahan panas dari galur tersebut dan diberi kode RIVS2 yang digunakan sebagai vaksin ND per-oral. Konservan vaksin terbaik telah dapat dipilih begitu juga pakan lokal terbaik sebagai kariernya dapat ditentukan. Lebih dari itu, usaha untuk memurnikan virus ND biang vaksin melalui cloning juga dilakukan dengan maksud meningkatkan efektivitas vaksinasi. Dengan studi yang semakin intensif tersebut akhirnya diperoleh galur RIVS 3 yang juga potensial untuk vaksin ND peroral. Selanjutnya dalam uji coba di laboratorium dan di lapangan, disimpulkan bahwa vaksin ND per-oral galur RIVS 2 dan RIVS3 yang diberikan bersama gabah (terutama butir kecil) dan nasi aron sebanyak 2 kali vaksinasi dengan interval 3 minggu akan memberikan perlindungan pada ayam buras dengan daya proteksi rata-rata 60%. Pemberian vaksin ulangan pada 4 minggu setelah vaksinasi kedua dapat memperbaiki tingkat proteksi. Oleh sebab itu, vaksinasi ND per-oral ini dapat dianjurkan sebagai suatu cara alternatif pada ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, jika cara vaksinasi lain tidak mungkin dapat dilakukan. b. Vaksin ND secara lateral Dengan penelitian vaksin ND per-oral terlihat mengamati adanya daya sebar lateral yang cukup kuat dari virus vaksin galur RIVS2, sehingga memungkinkan untuk mengembangkan vaksinasi ND secara lateral guna meningkatkan efisiensi pengendalian virus ND. Virus ND galur RIVS 2 yang digunakan untuk melakukan vaksinasi pada ayam secara tetes mata akan diekresikan melalui nasofaring dan kloaka sehingga dapat
211
Seratus Tahun Bbalitvet
menulari ayam lain yang tidak divaksinasi. Suatu percobaan vaksinasi ND secara lateral yang dilakukan pada ayam broiler menujukan bahwa dengan melakukan vaksinasi ND secara tetes mata pada 33% populasi sudah cukup efektif untuk menimbulkan kekebalan ayam terhadap ND asalkan ayam dipelihara dengan tingkat kepadatan 10 ekor/M2 dan vaksinasi dilakukan dua kali yakni pada 4 dan 14 hari. Dalam telur, titer antibodi ND harus selalu tinggi (sekurang-kurangnya 7 log2). Untuk itulah memerlukan program vaksinasi yang melibatkan vaksin ND inaktif dalam zat imunoptensiasi (adjuvan), karena vaksin ND aktif saja tidak cukup mampu merangsang pertumbuhan titer antibodi tinggi yang menetap dalam jangka waktu yang lebih lama. Hasil pengembangan vaksin yang menyimpulkan bahwa virus ND galur V4 yang tahan panas memiliki daya sebar lateral yang kuat dan dapat diekploitasi untuk efisiensi vaksinasi ND pada ayam broiler. Kelompok ayam yang memperoleh vaksinasi secara kontak mampu memperlihatkan respon antibodi dan daya proteksi yang sama dengan kelompok ayam yang mendapat vaksinasi secara langsung baik dengan tetes mata, hidung maupun mulut. Daya sebar lateral tampaknya tidak dipengaruhi oleh cara aplikasi vaksin. Begitu pula dengan vaksinasi ND secra kontak pada ayam buras yang dipelihara secara tertutup (intensif) seperti yang dilakukan pada percobaan laboratorium. Dalam kondisi lapangan yang ayam burasnya dipelihara bebas terbuka, cara vaksinasi ini ternyata belum mampu memberikan perlindungan kepada ayam buras terhadap serangan virus ND ganas. Pengembangan vaksin infeksius bronkhitis isolat lokal Vaksin yang dikembangkan dari penelitian ini adalah vaksin IB inaktif galur isolat lokal untuk pengendalian penyakit infeksius bronkhitis pada ayam. Vaksin IB inaktif mengandung tig jenis isolat lokal (antigen protektif) yaitu I-37; I-269 dan PTS-III yang
212
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
diinaktifkan dengan larutan formalin pada konsentrasi akhir 1 : 1000. Ketiga isolat lokal tersebut merupakan kandungan utama di dalam vaksin ini agar pengendalian penyakit IB pada ayam dapat dilakukan secara efektif dan baik karena memiliki serotipe yang sama dengan virus penyebab wabah IB di lapangan khususnya di Indonesia. Sehingga penggunaan vaksin isolat lokal ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan vaksin impor yang tidak mengandung virus yang memiliki serotipe yang sama dengan virus penyebab wabah di lapangan. Hasil penelitian di lapang ternyata banyak varian virus penyebab wabah IB dan vaksin impor yang beredar tidak memiliki varian virus yang sama dengan di lapang. Virus IB ditumbuhkan pada telur ayam SPF berembrio umur 9 hari dan diuji viabilitasnya. Kemudian ketiga antigen protektif diperbanyak pada telur berembrio SPF, hingga diperoleh cairan alantois yang mengandung virus IB dalam jumlah yang cukup untuk diproses lebih lanjut dalam pembuatan vaksin isolat lokal. Virus diinaktifkan dengan larutan formalin pada konsentrasi 1 : 1000 pada suhu 4qC. Vaksin inaktif tersebut selanjutnya diproduksi dalam bentuk campuran dari ketiga antigen protektif tersebut dalam jumlah yang sama banyak dan diemulsikan dalam adjuvant minyak (parafin cair) sebanyak 69% dan emulgator Sorbitan mono-oleat sebanyak 10% serta larutan pengawet theomersal. Vaksin IB inaktif tersebut ternyata efektif untuk pengendalian penyakit IB dengan tingkat proteksi mencapai 73% dan mampu menahan penurunan produksi telur akibat infeksi IB di lapang. Pengembangan vaksin snot trivalen isolat lokal pada unggas Vaksin snot trivalen isolat lokal pada unggas mengandung Haemophillus paragallinarum serotipe A, serotipe B dan serotipe C yang diisolasi dari ayam yang menderita snot. Masing-masing isolat H. Paragallinarum dibiakkan pada media cair (kaldu ayam),
213
Seratus Tahun Bbalitvet
diinkubasi semalam pada suhu 37qC, kemudian dibunuh dengan formalin 0,25% (V/V) dan dicampur dengan adjuvant 25% dengan konsentrasi bakteri masing-masing 109 CFU/ml. Vaksin tersebut diuji sterilitas, uji keamanan dan uji potensi dengan disuntikkan secara intra muskuler dengan dosis 0,5 ml pada ayam umur 7 minggu dan 11 minggu. Kemudian ayam diuji tantang pada 3 minggu setelah vaksinasi ke-2. Vaksin ini dapat memberikan proteksi antara 78 – 90% terhadap virus snot. Antigen berwarna pullorum polivalen untuk unggas Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat diagnostikum antigen berwarna pullorum polivalen untuk melakukan diagnostik cepat dan sederhana di lapang. Pullorum (berak kapur) dapat menimbulkan kerugian ekonomi akibat penurunan produksi dan daya tetas telur serta kematian pada embrio ayam. Penyakit ini menyerang unggas khususnya ayam yang disebabkan oleh bakteri Salmonella pullorum. Ayam yang terserang umumnya berumur di bawah satu bulan dan unggas lain seperti itik dan burung juga dapat terserang. Balai Besar Penelitian Veteriner mengembangkan perangkat bahan diagnostikum yang diberi nama Antigen Berwarna Pullorum Polivalen, yang terbuat dari suspensi bakteri S. pullorum yang diinaktifkan dengan larutan formalin dan diwarnai dengan Gentian Violet. Antigen ini dapat digunakan untuk diagnosa cepat berak kapur yang disebabkan oleh S. pullorum dan S. gallinarum. Antigen ini dapat pula digunakan untuk uji aglutinasi cepat darah dan serum pada ayam karier dan bermanfaat untuk mendeteksi infeksi salmonellosis pada peternakan pembibitan ayam. Pengembangan vaksin ETEC multivalen untuk babi Kolibasilosis merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak babi umur 2 minggu pertama dan menyebabkan
214
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
kerugian ekonomi akibat dari kematian ternak, diare berkepanjangan, menaikkan biaya perawatan dan pengobatan, serta penurunan bobot badan. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Eschericia coli enterotoksigenik (ETEC) yang mempunyai antigen perlekatan atau antigen vili K88 (F4), K99 (F5), 987P (F6) dan F41. Kuman ETEC K88 bersifat hemolitik dan mampu memproduksi enterotoksin yang tidak tahan panas. Sedangkan ETEC K99, F41 atau 987P bersifat non hemolitik dan memproduksi enterotoksin tahan panas. Anak babi dapat terinfeksi oleh ETEC pada masa segera setelah hewan dilahirkan. Toksin LT dan ST menstimulasi sekresi cairan tubuh dan garam elektrolit secara berlebihan pada bagian usus halus dan menghambat absorpi air pada permukaan usus tadi dibagian vilus, sehingga terjadi diare profus atau terusmenerus dan dehidrasi. Babi banyak di ternakkan di berbagai daerah di Indonesia, baik secara subsistem maupun komersial. Produk peternakan ini sebagian besar digunakan untuk mencukupi kebutuhan protein bagi penduduk Indonesia non muslim, dan sebagian kecil diekspor. Babi sangat rentan terhadap berbagai infeksi bakteri, virus dan parasit. Sehingga penyakit merupakan salah satu kendala penting dalam pengembangan dan produksi ternak tersebut. ETEC adalah penyebab diare utama pada usia neonatal sampai pascasapih, dengan angka kematian berkisar 20 – 40% anak. Infeksi ETEC (Kolibasilosis) dapat menimbulkan kerugian ekonomi. Hal ini dapat terjadi pada semua peternakan babi besar atau kecil. Obat-obatan berupa antibiotika banyak dipakai di lapangan untuk pengobatan kasus diare pada anak babi, tetapi hasilnya tidak efektif, kasus diare dan mortalitas sangat tinggi. Uji sensitivitas terhadap 500 isolat E coli K88, K99, F41 dan 987P dari Jakarta dan Bogor diketahui terdapat isolat-isolat yang resisten terhadap ampisilin (8%), streptomisin (62%), neomisin (54%), oksitetrasiklin (96%), eritromisin (23%), kanamisin (45%),
215
Seratus Tahun Bbalitvet
trimetoprim/sulfonamida (22%), khloramfenikol (16%) dan sulfonamida (66,6%). Pengendalian diare akibat kolibasilosis dengan vaksin ETEC menjadi penting artinya dengan semakin meluasnya resistensi ETEC terhadap sediaan antibiotika. Disamping itu, penggunaan derivat produk ternak tersebut. Dewasa ini aplikasi vaksin ETEC untuk kontrol kolibasilosis makin meningkat dengan diketahuinya berbagai macam antigen E. coli yang berkaitan dengan sifat patogenisitas dan imunogenisitasnya. Pencegahan dan kontrol kolibasilosis atau E. coli diare pada anak babi dapat dilakukan dengan meningkatkan kekebalan pada induk yang bunting. Pada mulanya digunakan vaksin E. coli hidup dengan aplikasi per-oral, kemudian kombinasi oral dan injeksi intramuskuler. Vaksin ini diberikan pada induk babi bunting 6 minggu dan di booster 2 minggu sebelum partus. Akan tetapi cara vaksinasi ini kurang baik, karena akan terjadi pencemaran agen penyakit di lingkungan peternakan. Pada perkembangan selanjutnya vaksin ETEC dibuat dalam bentuk inaktif dan aplikasi intra muskuler pada induk babi bunting yang dibuat dari sel bakteri yang mengandung antigen fimbriae K88, K99, 987 P. Vaksin ETEC polivalen yang dibuat untuk studi pencegahan neonatal kolibasilosis berdasarkan pada serotipe bakteri yang ada di lapangan. Komposisi vaksin terdiri atas E. coli K88 (0108, 138, 149, 157, E. coli K99 (068,101) E. coli F41 (0101), E. coli K99, F41 (0101), E. coli 987 P (09,20). Bakteri tersebut diisolasi dari anak babi penderita diare di peternakan babi komersial di daerah Bogor dan Jakarta. Namun demikian dapat juga serotipe dari mana saja asalkan memenuhi kriteria susunan antigen pili dan antigen somatik. Isolat tersebut bersosiasi dengan antigen somatik atau antigen O, antara lain O-group 9,20, 64, 108, 138, 149 dan 157. Vaksin dibuat dalam bentuk tidak aktif, larutan suspensi sel bakteri dimatikan di dalam larutan formalin pada
216
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
konsentrasi akhir 0,02% dan diemulsikan dalam gel alumunium hidroksida pada konsentrasi akhir 10%. Pada tahap pertama, tiap induk babi bunting divaksin pada umur kebuntingan 70 – 75 hari dengan dosis 2 – 2,5 ml per ekor. Pada umur kebuntingan 100 – 105 hari divaksinasi lagi (dibooster) dengan dosis seperti pada vaksinasi pertama. Vaksin diinjeksikan di daerah leher pada bagian belakang telinga. Dua minggu sesudah booster induk babi akan beranak (partus). Semua anak babi yang dilahirkan diusahakan agar mendapatkan kolostrum secara optimal. Evaluasi Penggunaan Vaksin ETEC – Multivalen Kolostrum induk babi yang diimunasi dengan vaksin ETEC multivalen mengandung antibodi atau zat kebal terhadap antigen K88, K99, F41, dan 987P. Oleh karena anak babi yang menyusu pada induk yang diimunisasi dengan vaksin tadi akan mendapatkan antibodi matemal dari kolostrum. Imunisasi pasif serupa ini telah terbukti mampu melindungi anak babi dari infeksi ETEC yang mencemari lingkungan. Daya proteksi antibodi maternal tersebut dapat bertahan sekitar 3 – 4 minggu pascapartus. Penggunaan 2 dosis vaksin pada kelinci tidak menimbulkan tanda-tanda efek toksisitas. Selanjutnya pada induk babi bunting tidak menimbulkan abortus atau reaksi sampingan. Babi bunting yang divaksin dua kali pada akhir kebuntingan/sebelum partus ternyata tidak menimbulkan abortus. Disamping itu, adjuvan tidak menimbulkan nekrosis pada jaringan tempat suntikan sehingga tidak menurunkan kualitas daging babi bila hewan tersebut dijual sebagai babi potong karena tidak produktif lagi. Dampaknya aplikasi vaksin ETEC pada induk babi terhadap tingkat akhir kebuntingan yaitu penurunan prevalensi kejadian diare dan kematian anak babi yang dilahirkan. Tingkat penurunan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penggunaan vaksin komesial dari rata-rata penurunan kematian 13,8% (tidak divaksin) menjadi 7% (divaksin).
217
Seratus Tahun Bbalitvet
Penggunaan vaksin ETEC polivalen pada kelompok induk babi bunting dapat menurunkan kejadian diare pada anak babi yang lahir. Kematian anak babi pada kelompok yang divaksin ETEC pada induk babi pada tingkat akhir kebuntingan dapat menurunkan tingkat penyakit diare dan kematian anak. Uji efektivitas penggunaan vaksin ETEC polivalen pada induk babi bunting untuk menurunkan kasus diare dan kematian anak memberikan hasil yang serupa. Berdasarkan analisis varian, pengaruh vaksin ETEC polivalen pada kelompok induk babi bunting dan kelompok induk tidak di vaksin terhadap penurunan kasus diare tidak berbeda nyata. Akan tetapi kematian anak babi pada lokasi tersebut berbeda nyata, disebabkan oleh perbedaan manajemen peternakan seperti tatalaksana pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan anak babi serta perbedaan jumlah induk babi yang ada pada kedua peternakan babi tersebut. Keuntungan vaksin ETEC polivalen dalam pengendalian kolibasilosis adalah penurunan kejadian diare dan kematian akibat diare. Pengaruh langsung dan aplikasi vaksin dapat meningkatkan jumlah anak babi yang disapih. Secara ekonomis, menunjukkan keuntungan yang diperoleh dengan perkiraan harga anak babi beberapa hari lepas sapih sebesar Rp. 20.000. Biaya vaksin tiap induk sebanyak 2 dosis adalah 2 x Rp. 20.000 adalah penggunaan vaksin ETEC yang dapat memberikan nilai tambah setidak-tidaknya pada masing-masing induk babi untuk satu kali beranak antara Rp. 19.232 dan Rp. 29.346,80. Apabila peternak memiliki 100 ekor induk babi yang divaksin diperkirakan melahirkan 911 ekor anak babi. Maka keuntungannya sebesar Rp. 2.248.900 sedangkan setelah dewasa dapat diselamatkan sebanyak 146 ekor babi dewasa. Disamping itu, penggunaan vaksin ETEC akan menghemat penggunaan antibiotika yang dipakai untuk pengobatan kasus diare yang terjadi pada anak babi. Kerugian penggunaan obat belum diteliti dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
218
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Vaksin kolibasillosis (VTEC) untuk sapi Eschericia coli biasanya dikategorikan sebagai oportunis patogen baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini menghuni saluran pencernaan, mengkolonisasi, selanjutnya menginfeksi organ ektra intestinal sehingga menimbulkan seticaemia, peretonitis, abses, meningitis, infeksi saluran urinaria pada hewan dan manusia. Sumber penularan E. coli adalah feses atau saluran pencernaan hewan dan manusia. Sejak lama diketahui bahwa E. coli yang bersifat hemolitik dapat menyebabkan lisis darah merah. Kemudian dikelompokan secara serologik menjadi antigen somatik (O), antigen kapsul (K), dan antigen flagella (H) akan tetapi belum dapat dibedakan dan ditentukan sifat virulensi bakteri E. coli dan tidak semua laboratorium veteriner dapat melakukan uji serologik. Dewasa ini telah diketahui faktor-faktor virulensi seperti antigen perlekatan dan enterotoksin dari bakteri tersebut yang merupakan faktor predisposisi dan terjadi penyakit, maka faktor predisposisi dan terjadinya penyakit merupakan faktor pengendalian penyakit di lapangan dan dirumuskan. Beberapa galur E. coli terbukti mempunyai efek toksik pada sel vero secara in vitro. Secara serologis diketahui ada dua macam toksin yang berefek pada sel vero yaitu verotoxin 1 (VT 1) dan verotoxin 2 (VT2) yang disebut juga Shiga-like toxin 1 (SLT1) dan Shiga-like toxin II (SLT II). Toksin tersebut mempunyai sifat seperti toksin yang dihasilkan oleh Shigella dysenteriae coli enteropathogenic (EPEC) merupakan galur penyebab diare dengan mekanisme yang berbeda dengan E. coli enterotoksigenik (ETEC). ETEC melekat pada mukosa usus halus melalui pili dan selanjutnya memproduksi entrotoksin yang tahan panas (heat stable/ST) dan yang tidak tahan panas (heat labile/LT). EPEC tidak menghasilkan enterotoksin tetapi memproduksi toksin yang mirip dengan toksin Shigella dysenteriae dan disebut Shiga-like toxin/SLT dan penyakit yang ditimbulkannya dinamakan shiga-like dysentery. E. coli serotipe tertentu memproduksi sitotoksin yang
219
Seratus Tahun Bbalitvet
dapat menyebab kerusakan jaringan sel monolayer vero, bakteri tersebut mampu memproduksi ekstra selular toksin yang bersifat verotoksigenik, maka bakteri tersebut dinamakan verotoksigenik E. coli (VTEC). E. coli yang memproduksi verotoksin (VTEC) sudah lama diketahui dan dapat diisolasi dari anak sapi diare, daging dan susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Kebanyakan isolat VTEC dari sapi bersifat eterohemoragik, sama dengan sifat E. coli yang diisolasikan dari manusia penderita kolitis hemoragik. Isolat ini tergolong dalam sero-tipe O -157:H7. Toksin verotoksik tersebut sifat-sifatnya serupa dengan toksin dari bakteri Shigella dysenteriae, sehingga disebut juga shiga- like-toxin (SLT). Pengobatan dengan antibiotika kurang efektif karena meningkatnya resistensi E. coli terhadap antibiotika yang dipakai di lapangan. Karena itu pengendalian dengan cara vaksinasi akan lebih efektif. Penelitian pengendalian kolibasilosis pada sapi perah dengan aplikasi vaksin multivalen EPEC dan ETEC belum dilakukan, padahal kasus diare pada anak sapi banyak terjadi pada peternakan sapi di daerah pengembangan sapi perah. Banyak isolat VTEC diisolasi dari anak sapi diare yang fesesnya bercampur darah, dari daerah Bandung, Sukabumi dan Bogor. Tiga isolat bakteri E. coli dari anak sapi diare berdarah (B34c, B909, B910) bersifat alfahemolitik dan supernatan dari kultur cair bersifat verotoksigenik dipilih dan dipelajari untuk pembuatan vaksin. Masing-masing isolat disubkultur pada media agar darah domba untuk melihat sifat hemolitiknya, kemudian disubkultur pada media tryptic soy broth (TSB) untuk uji patogenisitasnya pada mencit. Jumlah kandungan sel tiap mililiter dihitung dengan metode pengenceran pourplate, sehingga diketahui kandungan kuman (8 x 10) sel per mililiter, kemudian diencerkan 101 – 104. Tiap isolat di uji patogenisitasnya pada mencit. Tiap kelompok mencit diinjeksi dengan kuman yang disiapkan tersebut. Tiap mencit dari kelompok diinjeksi 0,1 ml secara intra peritoneal mulai dari yang tidak diencerkan sampai dengan enceran 104. Tiap
220
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
kelompok ditempatkan dalam satu kurungan, diberi minum dan pakan secukupnya. Tiap isolat E. coli (B34c, B909, B910) disubkultur pada media agar darah (5% darah domba) yang disiapkan dalam cawan petri. Setelah inokulasi diinkubasi pada suhu 37qC selama satu malam. Kultur diperiksa kemurniannya, bila ternyata murni, sel dibilas secara aseptis dengan larutan NaCl fisiologis (0,85%) steril. Suspensi sel ini dipakai sebagai inokulum untuk menginokulasi media agar darah yang disiapkan dalam botol Roux. Sel yang tumbuh pada permukaan agar darah dalam botol Roux, suspensi sel diencerkan hingga kekeruhan setara dengan kekeruhan tabung standard MacFarland no. 2, kemudian diinkubasikan seperti sebelumnya tiap isolat diperlukan lima media botol Roux. Sel yang tumbuh pada permukaan agar darah dalam botol Roux di bilas dengan NaCl fisiologis steril 25 ml per botol, beberapa butir bola-bola gelas steril dimasukan kedalam tiap botol untuk mempermudah pelepasan sel. Sel dari lima botol roux disatukan kemudian ditambah formalin sampai konsentrasi akhir 0,2%, disimpan dalam lemari es satu malam. Esok harinya suspensi sel disentrifugasi untuk menghilangkan formalin, endapan sel dicuci dengan NaCl fisiologis steril sebagai suspensi kuman stok dan dapat disimpan di dalam lemari es 4qC sebagai stok sel sampai proses selanjutnya dibuat imunogen monovalen atau vaksin. Masing-masing B34c, B909 dan B910 antigen diemulsikan dengan alhidrogel pada konsentrasi akhir 1,5% dengan kepekaan sel setara dengan kekeruhan tabung MacFarland No. 10. Vaksin ini digunakan untuk mempelajari respon tanggap kebal masingmasing isolat pada mencit. Disamping itu, vaksin polivalen yang terdiri dari 3 isolat VTEC tersebut ditambah isolat ETEC K99, F41 untuk mempelajari respon tanggap kebal pada sapi bunting di dalam serum dan kolostrum. Respon tanggap kebal terhadap antigen atau vaksin whole cell atau antigen supernatan masing-masing isolat diuji pada hewan percobaan mencit, kelinci, dan hewan target sapi perah bunting.
221
Seratus Tahun Bbalitvet
Pengamatan dari proteksi vaksin mati monovalen pada mencit yang disiapkan dari tiap isolat E. coli B 34c, B909, B910 dalam bentuk whole cell menunjukkan bahwa dari ketiga jenis imunogen tersebut yang paling tinggi memberikan proteksi ialah imunogen dari endapan supernatan. Mencit kontrol yang tidak diinjeksi vaksin mati dengan dosis yang sama, mati dalam waktu 24 jam. Pengamatan daya proteksi vaksin pada anak sapi perah dilakukan dengan vaksin E. coli verotoksigenik atau campuran isolat verotoksigenik (VTEC) dan enterotoksigenik (ETEC K99, F41) yang ditantang secara per oral terlihat bahwa anak sapi yang lahir dari induk yang tidak divaksin, setelah ditantang dengan kuman hidup mengalami diare berdarah. Sementara itu, pada kelompok yang divaksin tidak mengalami diare walaupun ditantang dengan campuran VTEC dan ETEC. Hasil pengamatan respon tanggap kebal pada hewan percobaan mencit yang dipantau dengan ELISA. Dari masingmasing vaksin monovalen menunjukkan ketiga isolat mempunyai sifat verotoksik terhadap jaringan sel monolayer vero. Dari pengamatan respon tanggap kebal bahwa mencit yang diinjeksi imunogen whole cell dan endapan supernatan isolat E. coli B34c mempunyai respon tanggap kebal rendah terhadap antigen ELISA endapan supermatan isolat E. coli B909 dan B910. Sebaliknya respon tanggap kebal supermatan B909 dan B910 terhadap antibodi capture antigen supermatan B34c rendah. Dari hasil ini isolat B909 sama dengan B910 namun berbeda dengan B34c. Hasil pengamatan respon tanggap kebal pada kelinci mendapatkan hasil yang serupa bahwa isolat B34c sebagian sifatsifat imunogenesitasnya berbeda dengan isolat B909,B910 terutama respon tanggap kebal yang ditimbulkan pada mencit yang diinjeksi imunogen sel. Respon tanggap kebal untuk sapi bunting yang yang diinjeksi vaksin VTEC trivalen dan yang dicampur dengan ETEC dapat dikatakan sangat homogen dilihat berdasarkan atas nilai optical density (OD) pada pembacaan ELISA. Sulit dibedakan respon
222
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
tanggap kebal hewan yang divaksin terhadap masing-masing antigen yang dipakai untuk menangkap antibodi. Dua dosis vaksin VTEC trivalen atau VTEC plus ETEC polivalen yang diberikan dalam jangka waktu tiga minggu menimbulkan terbentuknya antibodi sangat baik dan tetap tinggi sampai tujuh minggu pascainjeksi vaksin booster, pada periode tersebut titer antibodi cukup tinggi. Anti K99 atau anti F41, antibodi yang terbentuk pada kelompok induk sapi yang divaksin dengan campuran VTEC plus ETEC cukup tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa aplikasi bakterial yang mengandung berbagai jenis antigen dalam waktu yang bersamaan tidak menimbulkan efek saling menghambat. Dalam hal ini aplikasi vaksin E. coli polivalen dalam upaya untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi yang ditunjukkan adanya titer antibodi yang tinggi di dalam serum belum dikatakan dapat memberikan proteksi kepada pedet yang dilahirkan. Pada sapi, pemindahan maternal antibodi dari induk ke anak atau fetus tidak melalui darah plasenta akan tetapi melalui kolostrum atau susu. Dapat disimpulkan bahwa galur lokal E. coli hemolitik (B34c, B909, B910) memproduksi extra seluler toksin bersifat verotoksigenik, antigenik, imunogenik dan imunoprotektif. Vaksin sel utuh yang dibuat dari isolat tersebut dapat menimbulkan respon antiverotoksik antibodi dalam hewan percobaan mencit, kelinci dan sapi perah bunting, yang dapat dideteksi dengan ELISA dengan verotoksin sebagai capture antibodi. Aplikasi vaksin mati campuran VTEC trivalen dan ETEC polivalen dalam waktu yang bersamaan tidak menimbulkan efek saling menghambat terbentuknya masing-masing respon antibodi protektif (anti verotoksik antibodi, anti K 99 dan F 41 antibodi). Anak sapi perah yang diberi kolostrum induknya yang diinjeksi vaksin campuran VTEC dan ETEC terlindungi terhadap uji tantang.
223
Seratus Tahun Bbalitvet
Vaksin clostridium perfringens Tipe A Enterotoksemia pada sapi dan kerbau disebabkan oleh Clostridium perfringens tipe A. Diagnosis penyakit belum dapat dilakukan di laboratorium daerah, karena penyakit bersifat akut dengan gejala klinis tidak jelas dan kelainan patologik anatomi tidak tampak nyata atau tidak menciri. Diagnosis enterotoksemia harus berdasarkan isolasi toksin penyebab penyakit yang disertai isolasi agen penyakit dari hewan yang mati. Selain itu, diperlukan juga sampel segar dari hewan yang mati (kurang dari 18 jam setelah kematian hewan) atau sampel tersebut harus diawetkan dengan gliserin atau disimpan dalam suhu dingin. Penggunaan vaksin untuk pencegahan enteroksemia pada hewan yang berisiko tinggi atau hewan yang mengalami stres diharapkan dapat mencegah kematian. Vaksin telah diproduksi dan dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit di luar negeri, namun vaksin yang diproduksi tersebut sering tidak dimasukan CI. perfringens tipe A untuk pencegahan enterotoksemia, karena CI. perfringens tipe A tidak banyak menimbulkan masalah sehingga vaksin ini tidak dapat digunakan di Indonesia. Sementara itu, di Indonesia telah dibuat vaksin untuk mencegah enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. pertingens tipe A. Vaksinasi terutama ditunjukkan pada hewan-hewan yang berisiko tinggi, misalnya hewan yang mengalami stres akibat perubahan makanan yang mendadak oleh perubahan musim, hewan yang disapih terlalu cepat dan hewan yang akan ditransportasikan. Galur Cl. perfringens tipe A isolat lokal digunakan sebagai bahan pembuatan vaksin. Antigen adalah fitrat dari biakan Cl. perfringens yang dinaktifkan dengan formalin dengan tidak mengurangi aktivitas imunogeniknya. Prosedur pembuatan vaksin dibagi atas produksi antigen untuk pembuatan alum precipitated (APT) dan penyiapan. Cl. perfringens tipe A yang menghasilkan toksin alfa (galur 107) ditumbuhkan pada Robertson’s meat medium yang sudah
224
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
dimodifikasi, dan diinkubasi selama 4 jam pada suhu 37qC. Biakan ini digunakan sebagai starter untuk produksi toksin dalam jumlah yang cukup besar (satu liter). Produksi toksin dilakukan dalam medium yang berisi pepton 2,0%, laktalbumin 1,0%, yeast extract 0,5% dan natrium khlorida (NaCl) 0,4%. Selama toksin diproduksi, pH biakan diusahakan selalu berada di sekitar 7,0. Toksin selesai dihasilkan dalam waktu 5 jam. Setelah itu, ditambah 0,01% mertiolat untuk menghentikan pertumbuhan. Toksin yang masih bercampur dengan medium ini kemudian disentrifugasi pada 7.000 x g selama 20 menit pada suhu 4qC. Supernatan yang mengandung toksin ini kemudian diuji kekuatannya dengan menggunakan mencit. Toksin yang baik untuk digunakan adalah toksin dengan kekuatan 100 minimum lethal doses (MLD) per ml atau lebih. Toksin mula-mula dimurnikan dengan mengendapkannya, yaitu dengan menggunakan 40% amonium sulafat, kemudian endapan ini didialisis dengan phosphate bufferred saline (PBS) ph 7,2 diumumkan lebih lanjut dengan poly ethylene glycol (PEG) 6000 dan dialisis kembali dengan PBS pH 7,2. Pemumian toksin terakhir dilakukan melalui kolom khromatografi, yaitu dengan menggunakan DEAD Sephacel. Toksin ini akhirnya dikeringbekukan dan tiap ampul berisi 1 mg toksin yang telah kering beku dan siap digunakan sebagai coating antigen atau antigen pelapis. Vaksin yang digunakan dalam alum precipitated toxoid (APT) adalah toksin alfa yang dihasilkan oleh Cl, perfringens tipe A. Toksin diubah menjadi toksoid dengan menambahkan 0,6% formalin dan dibiarkan satu malam dalam suhu 37qC. APT dibuat dengan cara mencampurkan satu bagian toksoid, setengah bagian nartrium hidrokarbonat 1 M dan satu bagian alumunium kalium sulfat 0,2 M. Pencampuran dilakukan selama 30 menit dan endapan dicuci sebanyak 3 kali dengan PBS pH 7,2. Keamanan vaksin diuji (safety test) pada mencit untuk 1,0 ml vaksin yang telah dibuat disuntikan secara subkutan dengan 4 kali ulangan.
225
Seratus Tahun Bbalitvet
Jika mencit tetap hidup, maka vaksin dianggap telah aman digunakan untuk ternak. Sapi dan kerbau mendapat suntikan vaksin pertama dan suntikan ulangan dengan selang waktu satu bulan. Dosis vaksin yang diberikan 2,5 ml per ekor sapi secara subkutan. Vaksinasi ketiga dilakukan bulan keenam setelah vaksinasi pertama. Evaluasi vaksinasi dilakukan dengan cara mengambil sampel darah sapi dan kerbau sebelum dan sesudah vaksinasi. Pengujian tingkat kekebalan hewan kemudian dilakukan dengan uji ELISA. Sebelum dilakukan uji, dilakukan titrasi antigen terhadap serum kontrol positif dengan serum kontrol negatif dengan sistem checkerbord untuk menentukan enceran antigen yang optimal, ternyata enceran antigen yang optimal adalah dalam konsentrasi 2µg/100µl (perlubang). Pengujian keamanan vaksin pada mencit menunjukkan bahwa vaksin tersebut dapat digunakan, karena mencit yang disuntik vaksin dengan 4 kali ulangan tetap hidup. Setelah keamanannya terjamin, vaksin ini kemudian dipergunakan untuk mengebalkan sapi. Tanggap kebal vaksin toksoid Cl. perfringens tipe A pada sapi percobaan terlihat bahwa pada saat vaksinasi tingkat kekebalan sapi percobaan cukup baik, karena kelompok hewan ini juga telah menerima vaksinasi enterotoksemia secara teratur setiap tahun. Vaksinasi tersebut dilakukan karena pada kandang yang berdekatan pernah terdapat 8 ekor kerbau yang mati mendadak akibat enterotossemia. Kasus enterotoksemia yang menyerang sejumlah besar kerbau di daerah Kalimantan Selatan diketahui bahwa dengan tingkat kekebalan di atas 1,0 IU/ml, hewan dapat bertahan terhadap serangan enterotoksemia. Tingkat kekebalan yang lebih tinggi akan memberi daya tahan hewan yang makin tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk mendapatkan kekebalan yang efektif biasanya diperlukan suntikan vaksinasi dua kali atau lebih dengan selang waktu tertentu. Vaksinasi ulangan ditujukan untuk mendapatkan kekebalan yang baik dan cukup lama. Hasil uji
226
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
pendahuluan pada sapi-sapi di Balitvet dapat dinilai bahwa vaksin yang digunakan dapat menimbulkan tanggap kebal yang cukup baik. ELISA yang dikembangkan ternyata dapat digunakan untuk memantau respon imunulogik hewan terhadap vaksinasi enterotoksemia. Pada pemantauwan hasil vaksinasi, kelompok hewan yang divaksinasi ini 3 bulan sebelumnya pernah tertular enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe A. ekor hewan telah menujukkan titer antitoksin yang cukup tinggi sebelum dilakukan vaksinasi. Sebanyak 8 ekor kerbau dan kelompok hewan ini mati mendadak telah didiagnosis toksin Cl. perfringens tipe A sebagai penyebab kematiannya. Oleh karena itu, beberapa ekor hewan telah menujukan titer antitoksin yang cukup tinggi sebelum dilakukan vaksinasi. Setelah vaksinasi, terlihat bahwa semua hewan memberikan respon yang sangat baik. Setelah satu bulan pascavaksinasi pertama, terlihat bahwa semua hewan menujukan kenaikan titer antotoksin yang cukup tinggi dan semua hewan dapat dinyatakan telah mempunyai tingkat kekebalan yang baik. Vaksinasi ulangan (kedua) dilakukan satu bulan setelah vaksinasi pertama. Tingkat kekebalan yang cukup baik dapat bertahan sampai 6 bulan setelah vaksinasi pertama atau sampai saat dilakukannya vaksinasi ketiga. Setelah vaksinasi ketiga, ternyata tingkat kekebalan meningkat kembali dan bertahan selama 6 bulan berikutnya. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa vaksinasi pertama dan kedua dengan selang waktu satu bulan akan memberi kenaikan tingkat kekebalan yang cukup baik. Vaksinasi dengan cara ini sebaiknya juga dapat dilaksanakan di lapangan guna mendapatkan hasil vaksinasi yang baik. Sementara itu, penelitian lapangan menunjukkan bahwa vaksinasi dapat menimbulkan respon imunologik yang baik, dan dapat menurunkan tingkat kematian pada sapi yang ditransportasikan antar pulau. Vaksin ini perlu dimasyarakatkan
227
Seratus Tahun Bbalitvet
untuk mencegah enterotoksemia oleh CI.perfringens tipe A pada sapi. Vaksin Septicaemia Epizootica (SE) Penyakit ngorok atau Septicaemia Epizootica (SE) Haemorrhagic Septicaemia (HS) adalah penyakit bakterial yang menyerang sapi dan kerbau atau banteng yang disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida. Pengklasifikasian serotipe kuman penyebab penyakit ini sangat tergantung pada metode dan jenis antigen yang digunakan misalnya P.multocida penyebab penyakit ngorok ini adalah tipe B termasuk tipe 2, tipe 6, tetapi antara sistem klasifikasi yang satu dengan yang lainnya tidak saling berkaitan, sifat antigen dari P. Multocida sangat kompleks. Di Indonesia, SE tersebar hampir di seluruh kepulauan. Pada tahun 1990 ditemukan kasus SE pada sapi dan kerbau di beberapa daerah Nusa Tenggara Timur, di Jawa Tengah dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Sedang pada tahun 1991 juga dilaporkan kasus SE di Sulawesi Selatan pada sapi dan kerbau meskipun tidak dilaporkan adanya kematian hewan. Tahun 1993 terjadi ledakan penyakit di Provinsi Sumatera Barat pada kerbau, karena hewan terdapat di daerah yang sulit terjangkau oleh para petugas maka terlambat penanganannya, termasuk mendapatkan sampel untuk isolasi kuman penyebabnya, sehingga terjadi penutupan lalu lintas hewan dari dan ke daerah tersebut. Sedang pada awal tahun 1995 dilaporkan adanya ledakan penyakit di Provinsi Jambi pada sapi dan kerbau. Kerugian yang ditimbulkan penyakit SE adalah lebih bersifat ekonomis. Kerugian ekonomi terbesar dilaporkan terjadi di negara-negara Asia, di sebabkan karena SE menyerang ternak sapi dan kerbau yang digunakan untuk mengolah sawah, sehingga di samping para petani menderita kerugian karena hewannya sakit, juga kehilangan sumber tenaga kerja untuk mengolah sawah. Kebanyakan kasus SE ditemukan pada hewan
228
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
yang dipelihara dengan kondisi lingkungan kurang menguntungkan seperti sanitasi dan keadaan nutrisi yang kurang baik. Di Indonesia pada tahun 1973 dilaporkan bahwa kerugian yang disebabkan oleh penyakit SE adalah 5,4 miliar rupiah. Kemudian pada tahun 1987 kerugian mencampai 16,2 milyar rupiah. Mengingat kerugian yang cukup besar ini dan terlebih lagi yang menderita adalah peternak kecil, maka perlu dicari dan dikaji penyebab terjadinya penyakit ini serta pengendaliannya. Pencegahan penyakit umumnya dilakukan dengan vaksinasi pada hewan rentan. Vaksin SE secara umum dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu vaksin mati dan vaksin hidup. Vaksin mati umumnya mengandung P. Muttocida tipe B:2 dari isolat lokal. Di Indonesia strain Katha yang berasal dari Birma dipakai sebagai biang vaksin SE. Vaksin mati yang paling sederhana dibuat dari biakan cair. Vaksin bakteri ini hanya memberikan kekebalan kurang dari 6 minggu dan dapat menimbulkan shock karena endoktoksin. Vaksin alum yang berupa bakterin ditambah dengan aluminium hidroksida banyak dipakai karena mudah diaplikasikan. Suntikan subkutan vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama 5 bulan. Vaksinasi biasanya dilakukan 2 kali setahun. Sejak tahun 1970, vaksin oil-adjuvant sudah dikembangkan di Indonesia dengan menggunakan P. multocida B2 strain Katha yang berasal dari Birma. Sedangkan oil-adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif dalam melindungi hewan terhadap penyakit. Vaksin ini memberikan kekebalan selama 6 – 9 bulan setelah divaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindungi sampai 12 bulan setelah revaksinasi. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruangan, mempunyai waktu simpan yang sangat singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal. Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin biasanya mengakibatkan pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan
229
Seratus Tahun Bbalitvet
oleh oil-adjuvant vaccine yang konvensional. Dua vaksin adjuvan minyak telah dikembangkan dengan kekentalan yang rendah dan menimbulkan titer antibodi yang tinggi sampai 230 hari. Sifat utama vaksin hidup adalah adanya pertumbuhan in vivo dalam tubuh hewan. Pertumbuhan in vivo ini memungkinkan biang vaksin untuk mengekspresikan antigen penting yang tidak ditemukan pada kuman yang dibiakkan secara in vitro. P multocida yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai cross protection factors yang tidak dijumpai pada kuman lain yang ditumbuhkan secara in vitro. Biang vaksin hidup aerosol untuk SE adalah P. multocida B.3,4. Biang vaksin ini berasal dari rusa dan hanya menimbulkan kondisi haemorrhagic septicaemia pada ruminansia liar tetapi tidak pada sapi dan kerbau. Kuman ini pernah diisolasi dari luka sapi dan sapi sehat. Hal ini kemungkinan karena tidak adanya bovine transferin receptor (reseptor penting untuk mengingkat unsur Fe pada sapi sehingga timbul haemorrhagic seticaemia) pada P. multocida B.3,4. Walaupun strain P. multocida B:3,4 ini jarang terisolasi dari hewan dan tidak menimbulkan penyakit SE, strain ini mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya. Antibodi terhadap kapsul B strain ini dapat melindungi tikus dari semua serogroup P. multocida apapun serotipe somatik dari kuman tantang. Antisera terhadap P. multocida B.3,4 mampu memberikan proteksi silang terhadap tantangan kuman P. multocida A:3:B; B:2, B:3,4 dan B:4. Karena sifat-sifat di atas kuman P. multocida B.3,4 ini digunakan sebagai vaksin hidup aerosol untuk penyakit SE pada sapi dan kerbau. Dalam aplikasi vaksin ini pembentukan aerosol halus sangat penting agar partikel yang terbentuk dapat mencapai bagian dalam dari rongga hidung dan vaksin dapat berefek baik. Karena pemberian dengan tuberculine syringe dengan jarum 28 G gagal memberi efek. Di lapangan vaksin intra nasal ini dapat memberikan perlindungan terhadap SE selama lebih dari 1 tahun.
230
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Vaksin adjuvan minyak memberikan kekebalan yang tinggi dan cukup lama pada hewan yang divaksin (1 tahun). Indonesia melakukan vaksinasi SE setiap tahun sekali dengan menggunakan vaksin adjuvan minyak yang terdiri dari P. multocida galur Katha. Balitvet telah berupaya untuk mengisolasi kuman penyebab SE di Indonesia baik itu melalui survei lapangan ataupun pengisolasian dari sampel yang didiagnosis terhadap SE. Koleksi kuman P. multocida disimpan dibagian bank jasad Renik Balitvet (BCC). Beberapa kuman P. multocida tersebut baru diusahakan kembali pengembangannya, termasuk identifikasi secara mendetail dengan menggunakan teknik seperti imunoblotting dan antibodi monoklonal digunakan dalam diferensiasi dengan galur vaksin saat ini. Pengembangan vaksin ini terutama disebabkan karena vaksinasi SE yang dilakukan setiap tahun masih ditemukan kasus penyakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi antara lain adalah kandungan galur kuman dalam vaksin, cara penanganannya vaksin di lapangan, juga teknik vaksinasi yang benar. Vaksinasi pada kerbau yang tidak memberikan respon antibodi yang baik kemungkinan disebabkan karena vaksin tersebut adalah vaksin yang mengandung P.multocida galur Katha berasal dari sapi, maka perbedaan jenis/species dapat menimbulkan perbedaan dalam mekanisme kekebalan. Meskipun begitu perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, Balitvet mengembangkan vaksin isolat lokal baik itu dari sapi maupun dari kerbau, vaksin ini nanti diharapkan akan memberikan respon antibodi dan kekebalan yang lebih baik dari vaksin yang sudah ada saat ini. Balitvet mempelajari kuman penyebab SE dengan menggunakan mencit dan telah berhasil diisolasi komponen kuman P. multocida seperti lipopolysaccharides (LPS) dan protein baik protein membrane, sitoplasma dan periplasma untuk dipelajari peranannya dalam kekebalan. Hasil studi ini
231
Seratus Tahun Bbalitvet
memperlihatkan bahwa LPS memberikan kekebalan 20% dibuktikan dengan vaksinasi dengan LPS pada mencit dan antibodi monoklonal yang bereaksi dengan LPS. Sedang protein membran memberikan kekebalan 40% yang juga dibuktikan dengan vaksinasi dengan protein tersebut dan antibodi monoklonal yang bereaksi dengan protein. Vaksin Verotoksigenik Eschericia coli (VTEC – Plus) pada sapi Penelitian produksi vaksin ini bertujuan untuk mengembangkan vaksin VTEC - Plus dari isolat lokal untuk pengendalian penyakit kolibasilosis pada anak sapi. Vaksin VTEC - Plus mengandung kuman E. coli verotoksigenik isolat lokal yang sesuai dengan serotipe bakteri yang terdapat di lapangan yaitu isolat B34c, B909 dan B910, plus E. coli K99; E. coli F41 dan E. coli K99F41. Kuman diperoleh dari anak sapi penderita diare berdarah dan diare neonatal di peternakan sapi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bentuk vaksin adalah vaksn in aktif dan dapat diaplikasikan pada induk sapi pada tingkat akhir kebuntingan dapat melindungi anak sapi dari serangan kolibasilosis. Vaksin ini telah dipatenkan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner dengan nomor permohonan paten P-00200100755 pada tahun 2001. Paten tersebut telah disetujui dan dikeluarkan pada September 2007 dengan nomor Paten ID 0019838 oleh Direktorat Paten, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Closvak Multi untuk Pengendalian Penyakit Enterotoksemia Kejadian enterotoksemia yang akut dan fatal pada sapi dan kerbau telah sering dilaporkan di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium perfringens tipe A. Pengobatan untuk infeksi dan intoksikasi seperti pemberian antibiotika atau kemoterapetika kurang memberikan hasil yang berarti atau tidak efektif. Dalam banyak kasus, periode berlangsungnya penyakit
232
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
dapat demikian cepat, sehingga pengobatan tidak sempat untuk dilakukan. Pengobatan yang efektif tentunya dengan pemberian antitoksin spesifik sesuai dengan tipe Cl. Perfringens penyebab penyakit. Tetapi pemberian antitoksin dalam jumlah besar tentunya sangat mahal dan tidak efisien untuk dilakukan. Karena kerugian ekonomi yang besar akibat kematian sapi yang disebabkan oleh enterotoksemia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan penyakit yang selalu menyerang hewan atau sapi yang dalam kondisi terbaiknya. Untuk itu penggunaan vaksin untuk pencegahan enterotoksemia pada hewan yang berisiko tinggi menjadi solusi terbaik. Di Australia, Selandia Baru, Amerika dan Inggris, vaksinasi untuk mencegah penyakit ini sudah rutin dilakukan untuk menghindari kerugian ekonomi yang tinggi. Balai Besar Penelitian Veteriner telah melakukan kegiatan penelitian dan menghasilkan suatu produk vaksin yang diberi nama Closvak Multi. Merupakan vaksin inaktif untuk Pengendalian penyakit enterotoksemia, pada sapi, kerbau, kambing, domba dan babi. Komposisi vaksin terdiri dari Formol toksoid dari Clostridium perfringens tipe A, C dan D. Diabsorbsi dengan Aluminium Potasium Sulfat (KAI SO4)2.
Gambar 35. Vaksin Closvak Multi
233
Seratus Tahun Bbalitvet
Obat Herbal Skabies dari Ekstrak Daun Gamal Skabies merupakan penyakit parasit menular akut yang disebabkan oleh tungau. Dua spesies tungau yang sering menyebabkan skabies pada kambing adalah Sarcoptes scabiei dan Psoroptes ovis. Skabies masih merupakan masalah penting pada kambing di Indonesia. Penyakit ini sangat cepat menular pada hewan dalam satu kandang dan jika tidak diatasi dapat menyebabkan kematian hingga 67%. Penyakit banyak dijumpai di lapang, untuk itu perlu dilakukan solusi pengobatan yang mudah dan murah dilakukan oleh peternak. Daun gamal ternyata berpotensi untuk dapat digunakan sebagai obat tradisional dalam mengatasi skabies tersebut. Hasil penelitian Bbalitvet menunjukkan bahwa ekstrak minyak daun gamal 50% dapat menyembuhkan skabies hingga 100% dengan 2 kali pengobatan dengan jarak 1 minggu. Daun gamal yang digunakan pada pembuatan ekstrak ini adalah dipilih daun tua tetapi masih lunak dari pohon gamal berumur lebih dari 6 bulan. Semakin tinggi kadar kumarin dalam daun semakin baik efeknya sebagi obat scabies.
Sebelum diobati dengan minyak daun gamal
Setelah diobati dengan minyak daun gamal
Gambar 36. Kambing yang terkena stabies sebelum dan setelah diobati
234
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Vaksin IBR In Aktif Isolat Lokal “RHINOVET “ Di Indonesia penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) telah tersebar secara luas bukan saja di Jawa Barat akan tetapi di propinsi lainnya seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama kurun waktu tahun 2006 – 2008 telah berhasil diisolasi sebanyak 21 isolat virus penyebab penyakit IBR yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 2009 telah berhasil dikarakterisasi dari 21 isolat virus tersebut dan semua isolat virus yang diperoleh termasuk ke dalam kelompok Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) penyebab penyakit IBR. Berdasarkan informasi dan bukti yang ada, termasuk sifat penyakit dan perkembangan penyakit IBR di Indonesia, maka secara hipotetik strategi pengendalaian penyakit IBR di Indonesia disarankan untuk dilakukan secara bertahap dan dimulai dari hulu hingga hilir. Salah satu upaya pemerintah untuk pengendalian penyakit IBR yaitu dengan menyediakan vaksin IBR inaktif asal isolat lokal dalam jumlah yang cukup sebagai pencegah infeksi pada populasi yang dinamis dan sulit dikendalikan melalui tindakan biosekuriti. Mengingat semua vaksin IBR komersial berasal dari impor dan harganya sangat mahal, maka diperlukan pengembangan vaksin IBR dari isolat lokal. Untuk itu, Balai Besar Penelitian Veteriner telah berhasil mengembangkan vaksin IBR inaktif asal isolat lokal sebagai upaya mendukung program Badan Litbang Pertanian dalam swasembada daging sapi hingga tahun 2014. Pembuatan vaksin IBR inaktif diawali pada tahun 2009 dengan melakukan uji Laboratorium dan efikasi vaksin. Hasil uji keamanan (safety) dan potensi menunjukkan bahwa vaksin IBR inaktif isolat lokal aman digunakan untuk ternak sapi dengan tingkat proteksi pada sapi mencapai 100% (Gambar 37).
235
Seratus Tahun Bbalitvet
Gambar 37. Titer antibodi terhadap IBR pada percobaan vaksin IBR inaktif kondisi laboratorium
Selanjutnya, uji lapang terbatas terhadap vaksin IBR inaktif isolat lokal dilakukan tahun 2010 terhadap sapi Peranakan Onggole (PO) di daerah Cianjur (Kecamatan Cempaka dan Kecamatan Sukanegara). Selain itu, untuk mengetahui bahwa vaksin IBR inaktif isolat lokal aman bagi sapi bunting maka dilakukan pula uji coba vaksin terhadap sapi bunting di Bbalitvet. Vaksin IBR inaktif isolat lokal yang diaplikasikan pada sapi PO di kedua daerah tersebut di atas menghasilkan titer tertinggi yang dicapai setelah bulan ke-7 (kelompok I) atau 5 bulan (kelompok II) pascabooster berturut-turut yaitu mencapai rataan titer antibodi (GMT) 530 dan 431. Sedangkan untuk sapi kelompok kontrol (kelompok I) tetap tidak terdeteksi adanya antibodi terhadap penyakit IBR sampai akhir penelitian (Gambar 38).
236
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Gambar 38. Hasil uji serologik pascavaksinasi ke-1 dan booster pada percobaan lapang skala terbatas vaksin IBR inaktif isolat lokal
Pengkoleksian sampel terakhir untuk kelompok II berakhir sampai pada bulan ke-10, hal ini disebabkan semua sapi dijual oleh pemiliknya dan titer antibodi terakhir yang dapat dideteksi yaitu mencapai rataan titer (GMT) 95. Sedangkan untuk kelompok III berakhir pada bulan ke-11 dengan rataan titer antibodi (GMT) mencapai 58. Sementara itu untuk kelompok IV (sapi bunting) pengamatan dilakukan hingga bulan ke-12 dengan rataan titer antibodi (GMT) mencapai 38. Dengan rataan titer antibodi 38 (GMT) sudah cukup protektif sebagaimana hasil uji tantang pada sapi FH yang dilakukan tahun 2009. Vaksin IBR inaktif isolat lokal ini telah terbukti aman untuk sapi bunting. Hal tersebut dibuktikan dengan melakukan vaksinasi terhadap sapi PO pada saat umur kebuntingan 3 bulan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terjadi keguguran pada ke-4 ekor sapi bunting tersebut hingga melahirkan anak yang sehat (Gambar 39). Rataan titer antibodi pada keempat sapi PO bunting yang divaksinasi seperti yang ditampilkan pada Gambar 39. Demikian pula pada kelompok III telah dilakukan vaksinasi IBR pada sapi PO dengan umur kebuntingan 3 bulan dan tidak menyebabkan
237
Seratus Tahun Bbalitvet
keguguran. Selanjutnya untuk mengetahui bahwa fetus tidak terekspose oleh virus, maka terhadap anak sapi (umur 1 bulan) dilakukan pengujian serologik dan hasil uji menunjukkan bahwa anak sapi tersebut seronegatif.
Gambar 39. Vaksinasi dilakukan pada sapi PO dengan umur kebuntingan 3 bulan dan melahirkan anak yang sehat
Berdasarkan hasil uji lapang skala terbatas terhadap vaksin IBR inaktif isolat lokal (Gambar 40 dan 41) menunjukkan bahwa aplikasi vaksin IBR inaktif harus dilakukan 2 kali yaitu setelah satu bulan vaksinasi ke-1 dilanjutkan dengan booster dan masingmasing dosis sebanyak 5 ml. Vaksinasi selanjutnya disarankan setiap 1 tahun sekali, mengingat rataan titer antibodi pada bulan ke-12 mencapai 38 (GMT) dan titer ini akan mampu melindungi sapi dari infeksi virus lapang. Deteksi virus BHV-1 pada usap mukosa hidung sapi PO sebelum dan pascavaksinasi menunjukkan tidak terdeteksi adanya virus BHV-1 pada usap mukosa hidung sapi sebelum dilakukan vaksinasi untuk kelompok I, II dan IV (sapi bunting). Sedangkan pada kelompok III, sebelum dilakukan vaksinasi telah terdeteksi adanya virus BHV-1 yaitu 5 ekor dari 20 ekor sapi yang dijadikan objek penelitian. Akan tetapi setelah dilakukan vaksinasi, maka ke-5 ekor sapi tersebut tidak terdeteksi adanya virus BHV-1 pada usap mukosanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian vaksin inaktif dapat menghambat re-ekskresi virus pada saat terjadinya reaktivasi dari infeksi laten.
238
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Gambar 40. Vaksin IBR inaktif isolate local ”RhinoVet”
Gambar 41. Aplikasi vaksin IBR inaktif isolat lokal “RhinoVet”
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap dampak vaksinasi, tidak ditemukan adanya peradangan dan pembengkakan di lokasi penyuntikan. Demikian pula gejala klinis lainnya seperti leleran ingus pada hidung yang merupakan ciri khas penyakit IBR tidak ditemukan. Hasil tersebut sama dengan hasil pada saat dilakukan uji coba laboratorium tahun 2009 di Bbalitvet. Dengan diperoleh hasil yang konsisten, maka vaksin IBR inaktif isolat lokal yang dikembangkan oleh Bbalitvet sudah layak untuk diaplikasikan pada ternak sapi baik perah maupun potong di Indonesia.
239
Seratus Tahun Bbalitvet
Disimpulkan bahwa hasil uji lapang terbatas pada vaksin IBR inaktif yang dikembangkan dari isolat lokal (N60521T/Jabar/07) dapat memberikan respon tanggap kebal yang cukup tinggi dengan rataan titer berkisar antara 426 – 530 (GMT) pada bulan ke-7. Sedangkan rataan titer antibodi terendah pada bulan ke-12 mencapai titer 38 (GMT). Hasil uji PCR menunjukkan bahwa pada hewan yang divaksinasi tidak terdeteksi adanya virus yang disekresikan melalui hidung, sehingga vaksin ini sangat aman untuk lingkungan peternakan. Vaksin IBR inaktif isolat lokal harus diaplikasikan dengan 2 kali vaksinasi dimana vaksinasi kedua (booster) dilakukan setelah 1 bulan pascavaksinasi pertama dan dapat digunakan untuk sapi bunting serta aman bagi fetus. Vaksinasi ulang dapat dilakukan setiap 1 tahun sekali. Dengan demikian teknologi pembuatan vaksin IBR inaktif telah dikuasai oleh Bbalitvet, hanya tinggal menunggu produsen vaksin untuk tujuan komersialisasi dan diharapkan Badan Litbang Pertanian dapat memfasilitasinya. Pengembangan uji diagnostik cepat FELISA FELISA (field ELISA) (Gambar 42) merupakan modifikasi teknologis ELISA yang didesain untuk dapat diaplikasikan dilapangan maupun dilaboratorium. Konsep dasar FELISA sesungguhnya serupa dengan ELISA namun dimodifikasi dalam hal: (1) jenis solid matriks yang digunakan, (2) waktu reaksi dan (3) penampak warna yang digunakan sehingga dapat dilihat secara visual. Disamping itu, teknik FELISA diadaptasi untuk (4) dapat digunakan dilapangan tanpa ketergantungan secara khusus pada peralatan dan buffer tertentu serta (5) dapat diagunakan untuk berbagai jenis sampel mulai dari darah, serum, plasma dan cairan lain (susu dan bentuk cairan lain yang mengandung antibodi atau antigen). Saat ini format yang dikembangkan untuk FELISA diarahkan pada: (1) multi diseases yaitu mampu mendeteksi beberapa
240
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
penyakit secara serologis (4 – 8 jenis penyakit) dalam satu perangkat imunostik, (2) mempersingkat waktu reaksi menjadi 30 – 60 menit, sementara dengan ELISA yang harus dikerjakan di laboratorium membutuhkan waktu sekitar 3 – 4 jam. Secara komparatif dibandingkan dengan uji lain, FELISA memiliki beberapa keunggulan sebagaimana kami ringkaskan dalam Tabel 24.
Gambar 42. Contoh produk dan hasil Pengujian FELISA untuk Multi Disease dan Multi Spesies
(A). Pengujian menggunakan Serum Seropositif (B). Pengujian menggunakan Serum Seronegatif (1). Reaksi positif terhadap protein VSG (Trypanosoma evansi) (2). Reaksi positif terhadap protein SA (Toxoplasma gondii) (3). Reaksi positif terhadap protein “mouse IgA” (4). Reaksi negatif terhadap protein VSG (Trypanosoma evansi) (5). Reaksi negatif terhadap protein SA (Toxoplasma gondii)
241
Hasil-hasil Penelitian Veteriner
Teknologi Diagnosa Kit Elisa Aflatoksin B1 Invensi ini berupa pengembangan teknik deteksi cepat aflatoksin B1 (AFB1) secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan format ELISA kompetitif langsung (direct competitive ELISA), yang dicirikan dengan penggunaan antibodi poliklonal yang diproduksi dari kelinci yang telah diimunisasi dengan antigen aflatoksin protein konjugat, dimana antibodi yang diperoleh memberikan respon spesifik terhadap AFB1. Prinsip kerja dari pengujian ini adalah, antibodi dilapis pada mikro plat, enzym kojugat dan larutan sampel/standar aflatoksin ditambahkan, maka akan terjadi kompetisi antara AFB1 pada sampel atau standar dan konjugat untuk mengikat antibodi, setelah itu dilakukan pencucian dan pembentukan warna terjadi setelah penambahan substrat, dimana makin tinggi kadar AFB1 pada sampel/standar warna terbentuk makin pudar. Itensitas warna diukur dengan alat ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Perangkat uji telah dirakit berupa kit ELISA yang dapat disuplai lengkap dengan pereaksi pendukung lainnya untuk keperluan analisis aflatoksin tersebut. ELISA kit aflatoksin dapat digunakan untuk menganalisis AFB1 pada produk pertanian dan residu AFB1 pada produk ternak diantaranya, jagung, kacang tanah, pakan ternak, produk ternak (telur, hati, daging) Komposisi kit berupa: (perhatikan Gambar 43) 1. Plat pencampuran 2. Plat yang terlapis antibodi (Antibody coated plate) 3. Seri standar AFB1 (0,12 ppb s/d 30,0 ppb) 4. Enzym konjugat (AFB1-HRPO) dan pengencer konjugat 5. Substrat A dan Substrat B 6. Penghenti reaksi 7. Petunjuk penggunaan dan sofware pengolahan data
243
Seratus Tahun Balitvet
Keunggulan dan keuntungan penggunaan kit ELISA aflatoksin: - Persiapan sampel (ekstraksi sederhana) menggunakan methanol 60% untuk produk pertanian dan Metanol/PBS (1:1) untuk produk ternak - Analisis lebih cepat (15 menit) - Sensitif (limit deteksi 0,3 ng/g) - Spesifik dengan reaksi silang yang kecil, AFB1 100%, AFB2 0,9%, AFG1 3,1% dan AFG2 11,2% - Akurat (hasil konsisten dengan metoda HPLC) dan reprodusibel - Dapat menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus - Ekonomis
Gambar 43. Contoh Produk Kit ELISA Aflatoksin
244
Unit Pelayanan dan Unit Pendukung Penelitian
L. UNIT PELAYANAN DAN UNIT PENDUKUNG PENELITIAN Disamping struktur organisasi Bbalitvet yang ada, Bbalitvet telah pula mengembangkan beberapa unit pelayanan dan unit pendukung penelitian, antara lain: Unit pelayanan diagnostik Unit pelayanan diagnostik merupakan unit pelayanan untuk kesehatan ternak yang terbuka untuk umum, khususnya peternak, swasta dan instansi pemerintah terkait. Unit ini juga menyediakan pula pelayanan untuk kesehatan masyarakat seperti penyakit zoonosis dan keracunan. Dalam kegiatan hariannya unit pelayanan diagnostik melakukan pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi serta pemeriksaan laboratorium untuk peneguhan diagnosis seperti bakteriologi, virologi, mikologi dan toksikologi. Pengelolaan administrasif Unit Pelayanan Diagnostik ini semula ditangani oleh Yayasan INI ANSREDEF. Status akreditasi merupakan pengakuan formal yang diberikan oleh lembaga yang berkompetensi dalam hal standardisasi. Sejak tahun 2000 pelayanan diagnostik laboratorium Balai Penelitian Veteriner telah diakreditasi berdasarkan sistem mutu SNI 19– 17025:2000 oleh KAN/BSN, kemudian disesuaikan dengan sistem manajemen mutu yang merujuk pada ISO/IEC 17025:2005 pada tahun 2006. Pengelolaan administrasi pelayanan diagnostik dialihkan dari Yayasan INI-ANSREDEF ke Koperasi Usaha Sekerja Balitvet dari sejak 1999-2007. Mulai tahun 2008 dan seterusnya sistem administrasi pelayanan diagnostik disesuaikan dengan sistem keuangan negara, dimana setiap pemasukan harus disetorkan ke kas negara sesuai dengan peraturan PNBP. Hingga saat ini pengujian penyakit dan kesehatan hewan yang ditawarkan kepada masyarakat pengguna sebanyak 129 jenis antara lain:
245
Seratus Tahun Bbalitvet
Virologi: 1. HI (ND;EDS;PV) 2. Isolasi Virus 3. ELISA (Bluetongue,ND;ORF;IBD;IB) 4. AGP Test (EBL,BVD,EIA) 5. Uji SN Test (Screening): BEF,BVD,BT,IBR 6. Uji SN Test (Titer): (BEF,BVD,BT,IBR,Aujeszki) 7. Uji SN Test Pseudorabies 8. Uji FAT: Rabies Parasitologi 1. Telur cacing: (Trematoda, Cestoda, Nematoda) 2. Coccidia 3. Identifikasi Cacing: (Trematoda, Cestoda, Nematoda) 4. Parasit Darah 5. Identifikasi Ektoparasit 6. Trichomonas 7. ELISA Ab Trypanosoma Patologi 1. Post Mortem: (Ayam, Ruminansia kecil, Ruminansia besar) 2. Histopatologi slide 3. Pewarnaan: (HE, Gram, Giemsa, ZN, phloksin tetrazin) 4. Hematologi: (GLDH/GGT/AST; PCV; Hb; WBC, RBC, Diferensiasi WBC) Bakteriologi 1. Mikoplasma: (isolasi, identifikasi, uji serologi, antigen) 2. Salmonella: (Screening, MPN, coliform, fluff test, antigen, Staphillococcus aureus) 3. Zoonosis/khusus: (tuberkulin, identifikasi, diferensiasi, isolasi, ELISA) 4. Mycobacteria 5. Vibrio 6. Anthrax 7. CEM 246
Unit Pelayanan dan Unit Pendukung Penelitian
8. Malcus 9. Leptospirosis (serologi, isolasi, grouping) 10. Brucellosis (RBT, CFT, ELISA, isolasi, identifikasi, antigen, biokimia) 11. Pasteurella multoccida (isolasi, ELISA) 12. Bakteria umum umum (Pemeriksaan genus, Pemeriksaan. Species, Isolasi/Idetifikasi asititis AMP. Somatic Cell Count, Pemeriksaan bahan aktif terhadap pengaruh bakteri) 13. E. coli (Hewan Besar: (isolasi, serotyping) 14. Clostridia (kultur, FAT, MPT, PHT, APT, ELISA, FCA) Mikologi 1. Kultur (Aspergillus, Kandida, Selakarang, Ringworm ) 2. Mikotik lain 3. Indentifikasi Mikotik 4. B CC (Miko 07-1, Miko 07-3, Miko 07-4. Isolat Luar negeri, Isolat Dalam negeri) Toksikologi 1. Mikotoksin: aflatoksin, fumonisin, okhratoksin A, zearalenon, deoksinivalenol, T2-toksin (HPLC, TLC), ELISA 2. Pestisida: golongan organokhlorin, organofosfat, karbamat (GC, TLC) 3. Histamin (TLC) 4. Logam berat Cu, Pb, Cd, Zn, Ca, Mg (AAS) 5. Sianida (KIT) 6. Nitrat/Nitrit (Spektrofotometri, KIT) 7. Alkaloid (TLC) 8. CPFA Kwalitatif 9. Antibiotik: golongan sulfonamida, tetrasiklin, penisilin (HPLC) 10. Hormon 11. Formalin
247
Seratus Tahun Bbalitvet
12. 13. 14. 15.
Oksalat (Kualititatif) Mineral Cu, Pb, Cd, Zn, Ca, Mg (AAS) Urea (Spektrofotometer) pH: (BODS, Alkalinity/Acidimetry. Hardness CA/MG (Kesadahan), Sulfida (KIT), Chlorida (KIT),COD (KIT), Salinitas ( KIT), Amonia (KIT)
Unit koleksi kultur Bbalitvet (Bbalitvet Culture Collection/BCC) Unit BCC adalah unit yang bertanggung jawab dalam kegiatan koleksi, preservasi dan konservasi mikroba pertanian khususnya untuk bidang kesehatan hewan. Berbagai isolat telah dikoleksi, diidentifikasi dan disimpan secara baik untuk kegiatan penelitian, diagnostika dan rujukan di Indonesia. Pengelolaan BCC dilakukan langsung oleh Kepala Balai sebagai ketuanya dan pelaksana hariannya dilakukan oleh seorang kurator yang ditunjuk langsung oleh kepala Balai. Pada saat ini BCC telah terdaftar sebagai anggota World Federation of Culture Collection (WFCC) dengan BCC catalogue pada World Data Service. Sampai tahun 1998, BCC telah menyimpan sebanyak 2.364 strain mikroba pertanian yang terdiri dari 1985 Strain bakteria, 385 strain Jamur, 5 strain protozoa dan 26 strain virus. Rincian koleksi mikroba pertanian BCC ditampilkan pada Tabel 25. Seluruh koleksi tersebut diperiksa ulang sedikitnya sekali setahun terhadap kemurnian dan viabilitasnya. Data koleksi mikroba pertanian ini dicatat di dalam komputer sebelum diseleksi untuk BCC catalogue terbaru. Sejak akhir tahun 2005 semua koleksi mikroba didata dalam database yang telah dibakukan oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah, koleksinya dapat diakses melalui website http://www.indoplasma.or.id. Untuk mikroba yang tidak lengkap databasenya tidak dimasukkan ke dalam database tersebut, sehingga terlihat bahwa jumlah plasma nutfah tersebut menurun
248
Seratus Tahun Bbalitvet
(Tabel 26). Mengingat pentingnya koleksi mikroba veteriner tersebut dan Bbalitvet adalah satu-satunya institusi yang mempunyai koleksi mikroba terlengkap di Indonesia, maka koleksi tersebut selalu dikontrol mutu setiap tahun dan dipelihara dengan dana APBN. Koleksi mikrobanya tersebut dapat dimanfaatkan oleh institusi lain untuk penelitian ataupun sebagai bahan acuan bersertifikat (CRM). Table 26. Data koleksi mikroba yang telah dikonservasi dan dikontrol mutu di BCC yang didata di data base Jenis mikroba
Jumlah isolat Tahun 2005
Tahun 2006
Bakteri
558
595
Tahun 2007 669
Kapang/khamir
152
152
109
Virus
8
18
38
Protozoa
-
-
100
718
765
916
Jumlah
Bank serum Bank serum dibentuk atas dasar pengertian, bahwa koleksi sera dari berbagai jenis hewan dan berasal dari daerah Indonesia yang luas sangat membantu untuk mengenali epidemiologi dari penyakit hewan menular. Sera tersedia untuk uji serologik penyakit-penyakit viral, bakterial dan parasiter. Dengan diperolehnya pantikan darah yang teratur dan berkelanjutan dari hewan di wilayah Indonesia, maka informasi akan didapat mengenai distribusi penyakit hewan tertentu serta kapan dalam setahunnya infeksi berjangkit dan secepat mana penyakit tersebut menjalar. Contoh dari manfaat adanya Bank Serum ialah, ketika meletup wabah penyakit mulut dan kuku dalam bulan Juli 1983 di wilayah Jawa Tengah. Sera sapi dan kerbau yang tersimpan, siap untuk
250
Unit Pelayanan dan Unit Pendukung Penelitian
diperiksa dan mampu mendemonstrasikan bahwa infeksi virus PMK telah terjadi sebelum bulan Mei. Ketika kampanye vaksinasi PMK dimulai sera tersebut dipakai untuk memonitor efektifitas berbagai macam vaksin yang dipergunakan dalam kemampuan masing-masing memproduksi titer yang cukup untuk melindungi ternak dari PMK. Pada saat ini, Bank serum menyimpan 5.028 sera sapi, 5269 sera kerbau, 1.960 sera domba, 917 sera itik, 3.908 sera ayam, 1.069 sera kambing, 346 sera babi dan 1232 sera lainnya seperti kelinci, burung dan manusia. Bank serum tersebut dikelola oleh disiplin Virologi. Bank trypanosoma Bank trypanosoma dibentuk setelah kelti Parasitologi berhasil menyimpan trypanosoma sebagai stabilat dalam nitrogen cair suhu rendah (sampai -196qC). Stok galur Trypanosoma evansi dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia dari Sabang hingga Merauke, dan sekarang tersimpan sekitar 360 isolat. Isolat tersebut dapat digunakan untuk pengujian resistensi obat (drug resistance) dan penelitian lain untuk penyakit Surra. Sebanyak 100 isolat telah disimpan di BCC, sehingga dapat diakses oleh pihak/peneliti yang memerlukan. Perpustakaan Perpustakaan Balitvet merupakan salah satu perpustakaan terlengkap di Indonesia untuk bidang veteriner dan telah menjadi rujukan bagi para ilmuwan yang bergerak dalam bidang veteriner maupun instansi lainnya yang bergerak di subsektor peternakan. Berdasarkan SK Kepala Badan Litbang Pertanian No.KP.420.79.1995, perpustakaan berubah status sebagai instalasi yang dikoordinasikan secara langsung oleh Kepala Balai. Koleksi pustaka umumnya meliputi berbagai topik kesehatan hewan dan penyakit hewan seperti parasitologi, bakteriologi,
251
Seratus Tahun Bbalitvet
virologi, toksikologi, mikologi, patologi veteriner, epidemiologi, imunologi, bioteknologi, ilmu peternakan, farmakologi, obat hewan kimia dan pertanian. Sehubungan dengan meningkatnya jumlah pengunjung setiap tahunnya maka pelayanan perpustakaan ditingkatkan melalui pemasangan media elektronik seperti komputer untuk pengolahan data, dan CD-ROM untuk penelusuran pustaka agar lebih efektif dan efisien. Sementara itu, sistem katalog telah disempurnakan sehingga pelayanan perpustakaan dapat dilaksanakan secara cepat, efisien dan efektif. Sampai tahun 1998 Perpustakaan Balitvet telah memiliki sebanyak 11.630 koleksi buku. Mulai tahun 2008, perpustakaan Bbalitvet telah menjadi perpustakaan digital.
Gambar 44. Koleksi buku-buku di Perpustakaan
Gambar 45. Pintu utama perpustakaan Bbalitvet 2008 era digital
252
Unit Pelayanan dan Unit Pendukung Penelitian
Mulai tahun 2008 pengelolaan Perpustakaan Bbalitvet lebih banyak memanfaatkan teknologi informasi. Oleh karena itu, kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan dan pemberian jasa kepada pengguna lebih menitikberatkan pada penggunaan fasilitas internet yang ada di perpustakaan. Terkait dengan hal tersebut, pengukuran kinerja perpustakaan tahun 2008 adalah menggunakan indikator fungsi perpustakaan berbasis elektronik. Selain itu, indikator fungsi perpustakaan berbasis konvensional masih digunakan, karena Perpustakaan Bbalitvet masih tetap memberikan jasa kepada pengguna secara langsung di tempat dan juga masih menerima koleksi dalam bentuk cetak.
Gambar 46. Mentan berkunjung di Perpustakan Digital Bbalitvet dipandu Kepala Pustaka Zakiah Muhajan, SS, M.Hum
Gambar 47. Mentan sedang melihat dan mengagumi koleksi buku langka tentang veteriner milik Perpustakaan Bbalitvet
253
Publikasi, Penyebarluasan dan Pendayagunaan Hasil Penelitian
M. PUBLIKASI, PENYEBARLUASAN DAN PENDAYAGUNAAN HASIL PENELITIAN Diseminasi hasil penelitian adalah suatu kegiatan penyebarluasan hasil penelitian yang umumnya dilakukan melalui publikasi. Semua hasil penelitian yang di capai Balai secara berkala dan terus menerus di sebarluaskan melalui publikasi baik yang diterbitkan oleh balai maupun lembaga lainnya. Sejak berdirnya pada tahun 1908, Bbalitvet secara terus-menerus telah menerbitkan jurnal ilmiah yang beberapa kali telah diganti nama hingga pada akhirnya pada tahun 1996 digabung menjadi satu sebagai Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV) yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan karena Balai Penelitian Veteriner pada waktu itu sebagai institusi Eselon III sehingga tidak dapat menerbitkan jurnal ilmiah sesuai dengan peraturan Badan Litbang Pertanian (Tabel 30). Tabel 30. Jenis publikasi yang pernah di terbitkan oleh Bbalitvet sejak 1909 sampai 1998 Nama publikasi
Jenis publikasi
Periode
NIBL Voor
Ilmiah
Diergeneeskude
Ilmiah
Bogor Vet. Bulletin
Ilmiah
Tahunan
Bulletin LPPH
Ilmiah
2 x pertahun
Ilmiah
4 x pertahun
Laporan tahunan
Laporan
Tahunan
Annual Report
Laporan
Tahunan
Semi ilmiah
2 x pertahun
Penyakit hewan JITV
Balitvet Newsletter Petunjuk teknis kes. hewan
Petunjuk teknis
Petunjuk teknis pengiriman spesimen
petunjuk teknis
261
Seratus Tahun Bbalitvet
Selain melalui publikasi, penyebarluasan penelitian juga telah dilakukan dengan mengikuti pameran nasional maupun internasional diantaranya adalah Pameran Internasional Agro dan Food Expo, Indolivestock, Flora dan Fauna Exhibition, Pameran Agrinex dan pameran dalam rangka Ulang Tahun Badan Litbang Pertanian dan HUT Kemerdekaan RI pada bulan Agustus setiap tahunnya. Penyebarluasan hasil penelitian juga didesiminasikan melalui Radio Pertanian Ciawi (RPC) mulai tahun 2006 yang disampaikan secara rutin oleh Bbalitvet setiap bulan selama 1,5 jam sampai sekarang (Tabel 31). Tabel 31. Topik diseminasi Bbalitvet melalui Radio Pertanian Ciawi Bulan
Narasumber
Judul
Tahun 2006 Pebruari
Dr. Tri Budhi Murdiati
Apakah sebenarnya formalin?
Maret
Drh. Rahmat S. Adji, MSi.
Waspadai Antraks dan pencegahannya
April
Drh. Didik T. Subekti, MKes.
Mengenal Toksoplasmosis
Mei
Drh. Amir Husein
Trypanosomiasis (surra) pada sapi dan kerbau di Indonesia
Juni
Dr.Drh. Lies Parede
Masalah kekerdilan pada ayam
Juli
Dr. Drh. Beriajaya
Masalah penyakit cacing pada hewan ruminansia kecil
Agustus
Drh. Andriani, MSi.
Cemaran mikroorganisme patogen pada bahan pangan asal hewan
Oktober
Drh. Indraningsih, MSc.
Bahaya pestisida dan residunya pada produk peternakan
Nopember
Drh. Siti Chotiah
Manfaat dan pengolahan plasma nutfah mikroba di Bbalitvet
262
Publikasi, Penyebarluasan dan Pendayagunaan Hasil Penelitian
Bulan
Narasumber
Judul
Tahun 2007 Januari
Drh. Susan M. Noor, MSc
Penyakit kluron menular (Brucellosis pada sapi)
Pebruari
Drh. Sarwitri E. Estuningsih, MSc
Penyakit cacing hati (Fasciolosis) pada ternak
Maret
Drh. Kusmiati
Penyakit Leptospirosis bukan penyakit baru dan bukan penyakit pascabanjir
April
Drh. Riza Zainuddin Ahmad
Mengenal cendawan veteriner
Mei
Dr. Yulvian Sani
Keracunan tanaman beracun pada ternak
Juni
Drh. Darmono, MS, APU
Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia
Juli
Drh. Tatty Syafriati, MSc.
Penyakit rabies
September
Yuningsih, BSc
Keracunan nitrat pada ternak
Maret
Sri Rachmawati, BSc., MSc.
Senyawa toksik aflatoksin dan kerugian yang ditimbulkannya
April
Dr. Drh. Anni Kusumaningsih
Bahaya cemaran mikrobiologis pada pangan asal ternak
Mei
Drh. Djaenudin Gholib
Aspergillosis penyakit jamur penting pada unggas
Juni
Risa Indriani, SSi.
Penyakit Avian Influenza (Flu Burung) pada ternak unggas dan cara penanggulangannya
Juli
Drh. Tarmudji, MS, APU
Salmonellosis yang zoonosis
Agustus
Eny Kusumaningtyas, SSi.,MSc.
Cemaran kapang pada pakan ternak dan potensi bahayanya terhadap kesehatan ternak
Tahun 2008
263
Seratus Tahun Bbalitvet
Bulan
Narasumber
Judul
September
Dr. Raphaella Widiastuti
Mewaspadai kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak dan bahan pangan asal hewan
Oktober
Drh. Tatty Aryanti, MP
Diare pada ternak akibat infeksi bakteri dan pengendaliannya
Nopember
Yuningsih, BSc.
Kasus keracunan pada hewan di Indonesia dan permasalahannya
Desember
Drh. Didik T. Subekti, MKes.
Penyakit parasit secara umum Pencegahan dan penanganan penyakit ND dan AI di peternakan ayam
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Maret
Drh. Moh. Indro Cahyono
Logam ditinjau dari kesehatan hewan
Mei
Hasim Munawar, SSi.
Mastitis mikotik pada sapi
September
Drh. Djaenudin Gholib
Seputar perkembangan vaksin rekombinan untuk penyakit virus dan implementasinya di industri perunggasan, Indonesia
Desember
Drh. Risza Hartawan, M.Phil
Bahaya Bakteri E. coli O157HΒ
Mei
Drh. Faidah Rahmawati
Kasus Tympani/Bloat Pada Hewan Ternak
Juni
Drh. Prima Mei Widiyanti
Pemilihan dan Ciri-ciri daging ayam yang layak dikonsumsi masyarakat
November
Drh. Moh. Indro Cahyono
Tahun 2012
264
Publikasi, Penyebarluasan dan Pendayagunaan Hasil Penelitian
Dalam rangka pendayagunaan hasil penelitian dan alih teknologi veteriner, Bbalitvet telah memberikan training atau pelatihan/magang kepada institusi dan mitra yang memerlukan diantaranya Balai Karantina, Dinas Pertanian dan Peternakan, Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman, Balai Pengujian Mutu Barang Ekspor dan Impor, Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Kehewanan, Balai Besar Diklat Agribisnis Peternakan Kesehatan Hewan Cinagara dan Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Veteriner (BPPV) seluruh Indonesia. Disamping itu, Bbalitvet secara aktif pula berpartisipasi dalam kegiatan Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner yang diselenggarakan oleh Puslitbang Peternakan setiap tahun. Peneliti Bbalitvet dianjurkan pula secara aktif untuk mempublikasikan hasil penelitiannya melalui jurnal ilmiah nasional maupun internasional dan berperan aktif di dalam kegiatan seminar yang diselenggarakan oleh Bbalitvet maupun lembaga lainnya. Jumlah karya ilmiah Bbalitvet yang telah diterbitkan dari masa ke masa dapat dilihat di Tabel 32a dan b. Tabel 32a. Karya ilmiah Bbalitvet dari masa ke masa (1909 – 1988) Bentuk publikasi
Periode 1909 – 1941 1947 – 1963 1971 – 1988
Jumlah
Jurnal Ilmiah Seminar Lokal Internasional
234
141
334
709
-
-
121
121
-
-
75
75
Jumlah
234
141
530
905
Rataan/tahun
7,1
8,3
29,4
265
Seratus Tahun Bbalitvet
Tabel 32b. Karya ilmiah Bbalitvet periode 1988 – 2008 Bentuk publikasi
1988 – 1998
1999 – 2008
296
172
11
15
299
288
39
2
Jurnal ilmiah Terbitan dalam negeri Terbitan luar negeri Prosiding Terbitan dalam negeri Terbitan luar negeri
266
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
N. TANTANGAN DAN PELUANG BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER DI ABAD 21 Dalam era globalisasi yang semakin berkembang ini di abad 21, serta adanya perubahan lingkungan strategis seperti krisis ekonomi global, pemanasan global, perdagangan bebas, berkurangnya lahan pertanian, pengembangan biofuel, isu ketahanan dan keamanan pangan, serta isu kesehatan masyarakat dan lingkungan, maka akan ada konsekuensi yang berpengaruh pada arah dan kebijakan dalam pembangunan sektor pertanian di tanah air. Dalam konteks subsektor peternakan, khususnya dalam bidang veteriner, maka tentunya Bbalitvet sebagai UPT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian diharapkan untuk ikut berperan aktif dalam mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi melalui penciptaan inovasi teknologi dan informasi veteriner melalui program penelitian. Dalam pelaksanaannya program tersebut dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi, kebijakan pemerintah serta ketersedian sumber daya penelitian. Tantangan saat ini dan ke depan, serta peran aktif Bbalitvet Krisis ekonomi global Krisis ekonomi global yang terjadi di tahun 2008 ini diperkirakan akan berkepanjangan, tergantung pada upaya masing-masing negara di dunia ini dalam mengatasinya. Dampak utamanya akan terkait dengan perdagangan internasional yang juga akhirnya terkait dengan domestik yang kemudian berpengaruh pada penerimaan keuangan negara. Hal ini tentunya akan berdampak pada besaran anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk institusi di bawahnya, termasuk untuk anggaran penelitian. Dengan keterbatasan dana ini, maka akan tidak banyak kegiatan penelitian yang didanai untuk pelaksanaannya.
267
Seratus Tahun Bbalitvet
Dengan demikian maka Bbalitvet perlu melaksanakan prioritasisasi penelitian untuk tetap dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan pertanian/peternakan di Indonesia, yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan petani. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan harus mampu memecahkan permasalahan yang sedang berkembang, implementatif, dan bernilai komersial serta terjangkau oleh para pengguna. Hak atas kekayaan intelektual (HaKI) juga menjadi salah satu tujuan dari kegiatan penelitian Balai dan merupakan tolok ukur keberhasilan penelitian-penelitian yang dilakukan di Bbalitvet. Selanjutnya efisiensi penggunaan anggaran penelitian serta pemberdayaan sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan terkoordinasi menjadi faktor pendukung dalam pencapaian target dan sasaran penelitian. Untuk menggalang dana penelitian, kerjasama penelitian yang saling menguntungkan dengan fihak terkait baik internasional maupun nasional perlu dilaksanakan secara proaktif dan partisipatif. Dengan demikian maka program penelitian yang menjadi prioritas dapat dilaksanakan guna turut mendukung dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dunia peternakan nasional. Pemanasan global (global warming) Pemanasan global merupakan isu mutakhir yang menjadi perhatian dunia dewasa ini. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya efek rumah kaca karena adanya peningkatan aktivitas manusia di bidang industri, transportasi, pengrusakan hutan, dan pertanian yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca (GRK). Gas rumah kaca dihasilkan meliputi karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF6). Diantara GRK tersebut, CO2, CH4, dan N2O merupakan gas penyebab efek rumah kaca yang paling dominan dalam terjadinya pemanasan global.
268
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
Pemanasan global ditandai dengan peningkatan suhu ratarata permukaan bumi akibat meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Akibatnya adalah perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia yang menimbulkan banjir besar dan erosi. Sementara itu, negaranegara di belahan bumi lainnya mengalami musim kering yang berkepanjangan. Diperkirakan pada tahun 2100, temperatur atmosfer bumi akan meningkat sebesar 1,5 – 4,5qC, yang akan berdampak negatif dan dapat mengakibatkan: musnahnya berbagai jenis keanekaragaman hayati; meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir; mencairnya es dan gletser di kutub; meningkatnya jumlah lahan kering yang potensial menjadi gurun karena kekeringan yang berkepanjangan; terjadi kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas (diperkirakan pada tahun 2100 tinggi permukaan air laut naik hingga 15 – 95 cm); kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) dan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia; meningkatnya frekuensi kebakaran hutan; menyebarnya penyakit-penyakit tropis, seperti malaria, ke daerah-daerah baru karena bertambahnya populasi serangga (nyamuk); daerah-daerah tertentu menjadi padat dan sesak karena terjadi arus pengungsian; penipisan lapisan ozon mengakibatkan masuknya lebih banyak radiasi sinar ultraviolet (UV) yang berbahaya masuk ke permukaan bumi. Meningkatnya radiasi sinar UV akan menyebabkan kanker kulit, penyakit katarak, menurunnya kekebalan tubuh manusia, dan menurunnya hasil panen. Peningkatan suhu yang disebabkan oleh pemanasan global juga berpengaruh terhadap dunia peternakan. Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas ternak yang diindikasikan dengan terjadinya penurunan produksi susu, penurunan peningkatan berat badan dan reproduksi, serta rendahnya efisiensi konversi pakan. Dalam jangka waktu yang lama, suhu atmosfer bumi yang memanas juga akan mengganggu
269
Seratus Tahun Bbalitvet
kondisi fisiologis hewan mengakibatkan terjadinya penurunan sistem pertahanan/kekebalan tubuh. Selain itu, pemanasan global juga akan meningkatkan insiden terjangkitnya penyakit pada ternak dan berpeluang besar mengubah karakter agen penyakit sehingga terjadi mutasi. Mutasi ini bisa menyebabkan mikroorganisme yang semula memiliki karakter normal dan tidak berbahaya, dapat berubah menjadi ganas. Mutasi berupa perubahan letak dan sifat kromosom gen menyebabkan berubahnya sifat atau karakter individu dan mikroorganisme. Dengan adanya peningkatan suhu, vektor penyakit seperti larva dan lalat yang perkembangannya dipengaruhi oleh suhu, juga berpeluang menimbulkan penyakit vector borne diseases, serta penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing pada ternak domba, kambing, sapi dan kuda. Untuk menyikapi masalah tersebut, Bbalitvet melaksanakan penelitian bahan-bahan alami yang berfungsi sebagai imunomodulator atau imunostimulan untuk peningkatan kesehatan ternak. Selain itu, dalam upaya mengantisipasi kemungkinan adanya mutasi genetik pada agenagen penyakit, dilakukan pula penelitian dinamika penyakit, seperti avian influenza (AI) untuk mengetahui terjadinya perubahan sifat patogenisitas dari virus AI tersebut dan penanggulangannya melalui pengembangan vaksin AI. Guna mengatasi penyakit parasitik karena adanya pemanasan global maka Balai melakukan penelitian pengembangan teknik diagnosa penyakit surra dengan real-time PCR. Di sisi lain, pemanasan global secara tidak langsung juga berpengaruh pada industri pakan domestik maupun dunia. Ketersediaan bahan baku pakan akan terhambat karena adanya perubahan iklim, yakni dengan datangnya musim hujan dan musim kemarau yang tidak menentu menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam. Banjir dan kekeringan, serta serangan hama penyakit menjadi penghambat produktivitas pertanian. Dampak dari perubahan iklim ini terlihat pada ketersediaan jagung dan kedelai sebagai bahan baku pakan dewasa ini. Hal ini
270
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
tentunya akan menghambat produksi pakan ternak, sehingga harga pakan di pasaran menjadi mahal, yang pada akhirnya berpengaruh pada ketersediaan pakan, status gizi, dan kesehatan ternak. Peran Bbalitvet untuk ikut serta dalam menanggulangi permasalahan ini yaitu dengan mengadakan penelitian pengembangan pakan yang difermentasi dengan memanfaatkan mikroba-mikroba koleksi BCC dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kesehatan ternak. Industri peternakan ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Industri peternakan dinyatakan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya efek gas rumah kaca sehingga masyarakat dihimbau untuk mengurangi konsumsi produk peternakan. Industri peternakan menyumbang 1/5 gas CH4 ke atmosfir, diantaranya peternakan sapi yang melepas gas CH4 3 kali lebih banyak dari ruminansia dan peternakan lainnya. Sementara itu, nitrogen yang terikat dalam bentuk NH3, H2S yang dihasilkan oleh kotoran ternak akan menyebabkan gangguan metabolisme sel. Kenyataan ini tentu saja menjadi tantangan bagi dunia peternakan yang harus ditanggapi secara konstruktif dan proporsional. Dengan demikian sangat penting untuk mengendalikan emisi gas-gas berbahaya yang dihasilkan oleh industri peternakan. Jika pengelolaan industri pertanian dilakukan dengan manajemen yang baik, emisi CH4 dapat diminimalkan yaitu dengan pemberian pakan berkualitas dan bernutrisi tinggi. Emisi CH4 juga dapat dikurangi dengan memberi perlakuan pada kotoran ternak dan pengolahan limbah melalui pembakaran biomassa. Cara ini dapat menurunkan emisi gas CH4 sebesar 15 – 56%, sedangkan emisi N2O dapat dikurangi dengan perlakuan dan manajemen kotoran serta penggunaan pupuk nitrogen yang baik. Untuk mengurangi emisi gas CH4 yang dihasilkan oleh peternakan, Bbalitvet berperan dalam penyediaan mikroba pengurai koleksi BCC untuk mengolah kotoran ternak melalui proses biodegradasi.
271
Seratus Tahun Bbalitvet
Dengan demikian, Bbalitvet ikut berperan dalam mengatasi permasalahan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan yang mungkin timbul akibat pemanasan global melalui penelitian veteriner yang terpadu dengan kesehatan lingkungan dan aspek kesehatan masyarakat veteriner. Pengembangan biofuel Perubahan iklim adalah masalah global dan penyelesaiannya harus dilakukan secara internasional. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (Framework Convention on Climate Change) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang ditandatangani oleh 167 negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi karbondioksida. Langkah selanjutnya yaitu pembuatan komitmen yang mengikat secara hukum dan memperkuatnya dalam sebuah protokol (Kyoto Protocol) yang bertujuan agar negara-negara industri menurunkan emisinya secara kolektif sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990. Mengurangi emisi gas rumah kaca berarti harus membangun sistem industri dan transportasi yang tidak bergantung pada bahan bakar minyak bumi dan batu bara, atau tidak menggunakannya sama sekali. Untuk itu, negara-negara maju menginisiasi pembuatan bahan bakar biologi (biofuel) sebagai pengganti bahan bakar minyak dan batu bara. Indonesia sendiri telah mentargetkan penggunaan biofuel sebesar 15% pada tahun 2009. Biofuel dibuat dari produk-produk pertanian yang juga digunakan sebagai bahan pangan dan pakan. Dengan demikian, kebutuhan bahan baku pakan harus bersaing dengan bahan baku untuk pembuatan biofuel sehingga ketersediaan bahan pakan akan terancam. Upaya penyedian bahan pakan ternak alternatif perlu dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan bahan baku
272
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
pakan konvensional yang selama ini digunakan seperti jagung, kedelai dan tebu (molasis). Kurangnya ketersediaan pakan akan berdampak pada kesehatan ternak, sehingga ternak akan mudah terserang berbagai penyakit dan produktivitasnya akan menurun. Antisipasi perlu dilakukan terhadap adanya malnutrisi dan efek toksik dari bahan baku pakan alternatif yang dapat mengganggu kesehatan ternak melalui penelitian veteriner. Peran Bbalitvet dalam hal ini yaitu dengan mengembangkan teknik diagnosa penyakit dan penelitian bahan-bahan alami yang memiliki potensi sebagai imunomodulator atau imunostimulan, sehingga penyakit-penyakit dapat ditanggulangi dengan cepat dan sistem kekebalan ternak dapat ditingkatkan. Perdagangan bebas Dampak perdagangan bebas terhadap peternakan dapat bersifat positif dan negatif bagi suatu negara. Bagi Indonesia, dampak negatif dari kebijakan tingkat dunia ini lebih besar dibandingkan dampak positifnya. Pada perdagangan global, peternakan Indonesia belum mampu bersaing dengan negaranegara lain. Indonesia belum dapat mengekspor ternak secara besar-besaran meskipun Indonesia bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Pada saat ini Indonesia lebih banyak mengimpor ternak dari luar negeri, misalnya impor sapi dari Australia dan New Zealand. Mungkin saja ke depan impor dari India, Brazil dan negara-negara lain yang belum terbebas dari penyakit-penyakit berbahaya seperti penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bovinespongyform encephalopathy (BSE) akan dilakukan karena kebijakan politik dan alasan lainnya. Kegiatan importasi produk peternakan yang tidak terkendali dapat berakibat negatif, yaitu terbawanya agen penyakit, terutama penyakit eksotik, dan bahanbahan berbahaya lainnya ke Indonesia bersama dengan produk peternakan yang di impor.
273
Seratus Tahun Bbalitvet
Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari importasi tersebut, peran Bbalitvet dapat dimunculkan melalui penelitianpenelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi diagnostik, terutama penyakit eksotik yang berbahaya (PMK, BSE, dan lainlain), penguasaan teknologi diagnostik, risk analysis serta peningkatan sumberdaya penelitian dalam mengantisipasi dan mengatasi bila terjadi permasalahan. Ketahanan dan keamanan pangan asal ternak Ketergantungan pangan nasional akan produk impor dapat menyebabkan Indonesia dalam posisi terjerat pangan (food trap). Hal ini akan diperparah dengan adanya pengaruh pemanasan global pada industri peternakan yang dapat mengakibatkan terpuruknya industri peternakan. Para peternak semakin berat memikul biaya operasional peternakan mengakibatkan industri peternakan terpuruk. Akibatnya adalah menurunnya produktivitas peternakan, sehingga ketahanan pangan asal ternak akan terancam. Di sisi lain, masih munculnya berbagai penyakit hewan endemik, kontaminasi mikroba pada produk ternak, penggunaan tidak terkendali bahan berbahaya seperti antibiotika dan hormon, adanya kontaminasi mikotoksin, logam berat, pestisida, dan sebagainya pada industri peternakan akan menyebabkan residu dalam produk peternakan sehingga produk tersebut berbahaya atau tidak aman untuk dikonsumsi. Masalah lain yang juga dapat mengancam ketahanan dan keamanan pangan asal ternak adalah kampanye untuk mengurangi konsumsi produk peternakan, karena indusri peternakan dianggap sebagai salah satu sumber gas rumah kaca. Dampak dari kurangnya konsumsi daging, susu dan telur adalah kasus kekurangan gizi akut yang akhir-akhir ini semakin meningkat, terutama di negara-negara berkembang. Untuk itu Bbalitvet tetap perlu memperhatikan masalah kesehatan hewan domestik, penyakit endemik dan masalah residu bahan berbahaya, dalam upaya mengatasinya melalui
274
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
penelitian-penelitian yang menghasilkan inovasi teknologi untuk bahan biologik (vaksin, bahan diagnostik, dan lain-lain), perangkat diagnostik, strategi pengendalian dan minimalisasi cemaran residu bahan kimia/hormon dan mikroba berbahaya dalam produk pangan asal ternak. Peluang Kenyataan bahwa berbagai tantangan yang harus dihadapi di era globalisasi ini sangat besar disadari oleh Bbalitvet sebagai balai penelitian yang mengemban tugas-tugas nasional. Dalam menghadapi masa-masa krisis ini Balai tetap konsisten dan berusaha untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai visi dan misi yang telah dicanangkan. Untuk itu, Balai harus dapat menatap ke depan dan mencari peluang guna menstabilkan dan meningkatkan potensi peternakan di Indonesia. Dari berbagai tantangan yang telah dipaparkan sesungguhnya terdapat berbagai peluang yang dapat diraih oleh Bbalitvet untuk terus melaksanakan dan mengembangkan kualitas penelitian yang menjadi tugas pokoknya dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang dimiliki secara optimal. Sumber daya yang dimiliki Bbalitvet sangat besar; diantaranya sumber daya manusia, fasilitas laboratorium, BCC, unit diagnostik, perpustakaan, kandang, dan kebun percobaan dapat difungsikan secara optimal untuk mendukung pelaksanaan penelitian. Laboratorium zoonosis dengan fasilitas BSL-3 telah dimiliki Balai sejak tahun 2002 dan laboratorium moduler BSL-3 yang baru didatangkan dari Amerika dapat difungsikan untuk melakukan kegiatan penelitian yang berkaitan dengan penyakitpenyakit hewan berbahaya dan dapat menular pada manusia (zoonosis), seperti avian influenza (AI), rabies, brucella dan anthrax. Penyakit-penyakit ini merupakan penyakit strategis, politis, dan berdampak terhadap perekonomian Indonesia dan
275
Seratus Tahun Bbalitvet
negara lainnya di dunia. Terdapatnya penyakit-penyakit hewan berbahaya di Indonesia yang juga menjadi perhatian dunia seperti AI dan penyakit lainnya, akan membuka peluang kerjasama penelitian dengan negara-negara lain di dunia untuk menambah informasi dan pengembangan teknologi veteriner, serta diperolehnya metode pengendalian penyakit-penyakit berbahaya melalui penelitian dan pengembangan vaksin. Salah satu dampak dari pemanasan global yaitu musnahnya berbagai jenis keaneka ragaman hayati (plasma nutfah). Bbalitvet culture collection (BCC) merupakan salah satu aset Balai yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan. Berbagai koleksi plasma nutfah berupa bakteri, virus, dan kapang yang telah diidentifikasi dan dikarakterisasi dapat diperoleh masyarakat pengguna yang membutuhkannya. Beberapa koleksi bakteri dan virus yang terdapat di BCC dapat difungsikan sebagai isolat kandidat vaksin yang digunakan untuk pembuatan vaksin. Dengan terdaftarnya BCC sebagai anggota WFCC (World Federation of Culture Collection) dan WDC (World Data Culture), koleksi yang ada di BCC dapat diakses di seluruh dunia. Dengan demikian, koleksi BCC ini dapat juga dapat dimanfaatkan oleh dunia dan menjadi aset negara yang memiliki potensi besar. Dengan dimilikinya isolat-isolat virus, bakteri, kapang/khamir dan parasit, maka Bbalitvet memiliki peluang untuk menjalin kerjasama penelitian dengan pihak swasta dalam pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan alih teknologi. Isolat-isolat yang dijadikan master seed dan telah digunakan untuk produksi vaksin oleh beberapa perusahaan swasta dalam negeri melalui proyek kerjasama alih teknologi dengan Bbalitvet diantaranya adalah master seed virus AI, ND, IBD, dan IB. Perdagangan bebas merupakan pintu gerbang dimana berbagai penyakit atau produk-produk peternakan dapat masuk dan ke luar Indonesia. Meskipun telah diberlakukannya Sanitary and Phytosanitary (SPS), namun masih lemahnya penerapan hukum di Indonesia untuk mencegah masuknya ternak/produk
276
Tantangan dan Peluang Balai Besar Penelitian Veteriner di Abad 21
ternak dari luar negeri secara ilegal memungkinkan masuknya penyakit-penyakit berbahaya ke wilayah Indonesia. Hal ini dapat menjadi peluang bagi Bbalitvet untuk melakukan penelitian dan menjalin kerjasama dengan berbagai negara di bidang veteriner. Antisipasi terhadap masuknya berbagai penyakit ke Indonesia juga merupakan target penelitian yang dilakukan Balai, diantaranya penyakit BSE, PMK, dan nipah. Demikian pula kontaminasi bahan berbahaya yang terdapat pada produk peternakan berpeluang untuk memotivasi peneliti dalam mengembangkan teknik diagnosa penyakit hewan dan perangkat diagnostik yang dibutuhkan untuk analisis cemaran bahan berbahaya. Status bebas PMK yang merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat mengekspor produk peternakan dalam negeri ke berbagai negara dan dapat menjadi parameter persyaratan bagi masuknya hewan ternak atau produk peternakan negara-negara yang belum bebas penyakit tersebut. Peluang lainnya yang dimiliki Bbalitvet yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna baik dari dalam maupun luar negeri adalah Unit Diagnostik yang memberikan layanan pengujian yang berkaitan dengan penyakit hewan dan keamanan pangan. Status akreditasi beberapa pengujian yang ditawarkan oleh Unit Diagnostik yang mengacu pada sistem manajemen mutu ISO/IEC 17025-2005 merupakan jaminan mutu dari Laboratorium Bbalitvet. Sejak diperolehnya status akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tahun 2000, permintaan pengujian ke Unit Diagnostik semakin meningkat. Permintaan pengujian datang dari berbagai pihak, seperti institusi pemerintah, perusahaan swasta, jasa konsultan, pelaku ekspor/impor, dan masyarakat umum. Layanan diagnostik ini memberikan kontribusi yang besar terhadap PNBP dan merupakan insentif bagi Balai dalam mewujudkan peran layanan kepada masyarakat, selain tugas dan fungsinya melaksanakan penelitian di bidang veteriner.
277
Seratus Tahun Bbalitvet
O. PENUTUP Dalam usianya yang ke-100 tahun Bbalitvet telah berperan dalam bidang penelitian veteriner dan telah mengukir prestasi yang patut dibanggakan. Semua ini tidak terlepas dari jasa para pendiri, pemimpin, peneliti, serta karyawan/wati terdahulu. Balai patut berhutang jasa kepada mereka karena tanpa peran serta mereka, belum tentu Balai dapat berkembang pesat seperti sekarang ini. Sudah sepatutnya kita sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak terutama kepada pendahulu yang telah turut berkontribusi dalam membesarkan nama Balai Besar Penelitian Veteriner. Selain itu, peran dari lembaga-lembaga internasional yang telah menjalin kerjasama di bidang veteriner juga turut memperlancar Bbalitvet dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Di masa mendatang, Bbalitvet tetap mengharapkan kerjasama yang sinergis dengan para mitra, baik kerjasama penelitian ataupun kerjasama lainnya yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai. Bbalitvet akan terus membuka diri untuk bekerjasama dalam bebagai kesempatan. Oleh karena itu, kami dengan senang hati menerima sumbang saran maupun kritik yang membangun agar dapat bermanfaat bagi pembangunan peternakan, khususnya di bidang kesehatan hewan dan keamanan pangan di Indonesia.
278