I. PENDAWLUAN A.
Latar Belakang Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan
satu dari empat sub spesies Macropus agilis yang penyebarannya terdapat di wilayah selatan kepulauan New Guinea. Penyebaran spesies ini di Provinsi Papua terdapat di wilayah Kabupaten Merauke, termaksud di dalam kawasan Konservasi Taman Nasional Wasur. Wallaby lincah men~pakan mamalia berkantung dari genus macropus, merupakan satwa endemik dan spesies flagship yang hanya dij~unpaidi Taman Nasional Wasur (BTNW, 1999). Sebagai bagian dari komponen ekosistem di Taman Nasional
Wasur, wallaby
lincah merupakan herbivora pengendali
keseimbangan alami komposisi vegetasi padang rumput dan menlpakan spesies indikator dalam penetapan zona perlindungan intensif. Perkembangbiakan satwa ini sangat unik karena dalam satu tahun dapat menghasilkan dua individu dengan stadium yang berbeda yaitu anak dan embrio. Satwa ini memiliki kemampuan untuk menunda kelahiran embrio selama anak di dalam kant~lngpembesaran belum lepas sapih, walaupun embrio telah
terbentuk
sebagai hasil
dari proses
pembuahan
(Griffiths et al. 2005). Kematian terhadap seekor betina reproduktif sama artinya dengan kematian terhadap tiga individu potensial sekaligus. Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat adat, satwa ini merupakan simbol marga dimana perlakuan terhadap satwa ini hams mengikuti aturan adat (BTNW, 1999). Populasi wallaby lincah di Tan= Nasiona! Wasw mengalami pentrunan. Penyebab utama penurunan populasi bukan akibat pemangsaan oleh satwa predator, melainkan oleh berbagai aktifitas perburuan yang dilakukan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan protein. Kegiatan perburuan tradisional yang direkomendasikan bagi masyarakat adat dalam kesepakatan lokakarya pengelolaan Taman Nasional Wasur tahun 1999, bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan protein, melainkan untuk meningkatkan kebutuhan ekononli melalui sistem perdagangan pasar lokal. Pemanenan yang dilakukan bukan atas pertimbangan kelestarian hasil, melainkan keuntungan ekonomi sehingga dilakukan tanpa membedakan kelas umur, jenis kelamin serta musim perburuan termaksud masa berkembangbiak. Nilai ekonomi
2
satwa ini selain daging, juga kulit yang digunakan sebagai pelapis bagian dalam produk kerajinan kulit buaya di Kota Merauke. Primack et al, (1998) mengatakan bahwa penggunaan sumber daya alam yang berlebihan seringkali terjadi dengan cepat sewaktu pasar komersil berkembang untuk spesies yang mulanya tidak digunakan atau digunakan secara lokal. Poten (1991), (Hemley 1994, diacu dalam Primack et a1 1998) mengatakan bahwa perdagangan spesies satwa liar dalam sistem pasar baik legal maupun ilegal bertanggung jawab terhadap penurunan jumlah individu atau populasi dari banyak spesies. Selain perbuman, penurunan populasi wallaby lincah juga dipengabi oleh kualitas dan kuantitas daya dukung habitat. Terjadi pengurangan luasan ekosistem savana akibat invasi dan suksesi jenis vegetasi galam (Melaleuca
spp) terutama di savana Kankania, serta invasi jenis eksotik semak ekor tikus (Stachytarpheta urticaefolia) seluas 403 ha di savana Ukra (BTNW, 1999). Pengelolaan wallaby lincah di Taman Nasional Wasur terhadap berbagai pennasalahan tersebut diatas, akan menimbulkan pertanyaan tentang prioritas tahapan kegiatan yang h a s dikerjakan. Menjawab pertanyaan tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan data dan infom~asimenyangkut satwa maupun habitatnya. Inventarisasi merupakan tahap awal dari serangkaian kegiatan dalam pengelolaan satwa yang dapat menjawab kebutuhan data dan informasi. King
(1941) diacu dalam Bailey (1984) mengembangkan suatu proses bertahap dalam pengelolaan satwa yaitu (1) invenarisasi dan sensus, ( 2 ) analisis produktifitas, (3) diagnosis, serta (4) tindakan atau kontrol. Mengingat data dan informasi sangat penting untuk mengetahui keadaan dan perkembangan populasi serta kondisi habitat dalaii inel&&ati
prioritas pengelolaan, ~iiakapenelitian himiitlak untak ciilakukan.
B.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui :
1.
Karakteristik dan daya dukung habitat wallaby lincah.
2.
Pendugaan parameter demografi dan penyusunan model pertumbuhan populasi wallaby lincah.
C.
Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data dan informasi tentang
daya dukung habitat dan parameter demografi wallaby lincah sehingga bermanfaat bagi perkembangan dunia konservasi, terutama kepada pihak Taman Nasional Wasur dalam menentukan kebijakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.
D.
Perurnusan Masalah Perkembangan populasi wallaby lincah pada tingkat pertumbuhan optimum di
Taman Nasional Wasur sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu struktur parameter demograti dan daya dukung habitat. Parameter demografi meliputi angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur serta struktur kelamin. Sedangkan daya dukung habitat meliputi kualitas dan kuantitas pakan, air maupun tempat perlindungan. Pertanyaan dasar dalam pengelolaan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur adalah gambaran tentang struktur parameter demografi apakah berkembang, tetap atau menwun; kualitas dan kuantitas daya dukung habitatnya baik atau buruk. Untuk mengetahui jawaban diatas, maka serangkaian metode perhitungan kuantitatif perlu dilakukan terhadap parameter demografi dan daya dukung habitat. Beberapa informasi berkaitan dengan habitat clan populasi wallaby liicah di Taman Nasional metode perhitungan kuantitatif antara lain: Wasur yang memb~~tuhkan
1.
2.
Karakteristik dan daya dukung habitat, meliputi : Struktur vegetasi t~unbuhanbawah pada ekosistem padang rumput.
a) b)
Produktifitas jenis pakan kesukaan.
c)
Tingkat konsumsi pakan harian.
d)
Daya dukung habitat.
Parameter demografi dan model pertumbuhan populasi wallaby lincah meliputi a)
Jumlah populasi wallaby lincah.
b)
Struktur parameter demografi wallaby lincah.
c)
Bentuk sebaran spasial wallaby lincah.
d)
Model pertumbuhan populasi wallaby lincah.
e)
Jumlah panenan tahunan yang memberikan kelestarian ekologis dan ekonomis.
f)
E.
Bentuk pemanfaatan wallaby lincah oleh masyarakat.
Kerangka Pemikiran Pengelolaan satwa liar pada kawasan konse~asiditentukan oleh status kawasan
konservasi tersebut. Tujuan pengelolaan pada kawasan suaka alam seperti suaka margasatwa merupakan fungsi perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah daya dukung ekologis. Pada konsep ini populasi berkembang secara alami dimana faktor pembatas pertumbuhan adalah daya dukung habitat seperti kualitas dan kuantitas makanan, minum serta cover perlindwgan. Sedangkan tujum pengelolaan pada kawzsa? pelestarian a l m seperti taman nasional dimana terdapat fungsi pemanfaatan, maka pendekatan yang dilakukan adalah daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Pada konsep ini faktor pembatas pertumbuhan populasi adalah fungsi pemanenan secara lestari. Pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan ekonomi berdampak pada jumlah maksimum hasil buruan yang diperoleh sehingga berpenga-ci;i pzda populasi satwa. Apabila peamenw,
lebih besar dari laju
pertumbuhan, maka akan terjadi penurunan jumlah populasi satwa. Untuk
5
mengembalikan populasi satwa pada ukuran ideal yaitu ukuran populasi berada pada pertumbuhan optimum maka perlu dilakukan pengelolaan terhadap populasi maupun daya dukung habitat. Pada kasus dimana suatu kawasan terdapat fungsi pemanfaatan termaksud satwa, maka penetapan jumlah panenan lestari merupakan pembatas dari laju kematian. Sinlcair (1994), mengatakan bahwa pertumbuhan populasi tertinggi akan terjadi pada saat populasi berukuran setengah dari daya dukung habitat. Pertanyaannya adalah berapa jumlah maksimum satwa yang dapat dipanen dalam konteks kelestarian hasil. Untuk mengetahui jawaban tersebut diperlukan data dan informasi mengenai parameter demografi satwa, daya dukung habitat serta bentuk pemanfataan oleh masyarakat. Apabila parameter demografl satwa menunjukkan gambaran pertumbuhan yang berkembang diatas batas tingkat kepadatan dampak minimum dan kualitas serta kuantitas daya dukung habitat menunjang maka penetapan pemanenan lestari melalui penetapan kuota dapat di laksanakan. Sebaliknya bila ukuran dan parameter populasi tidak menunjukkan perkembangan atau tetap bahkan kecendrungan menurun mendekati batas tingkat kepadatan dampak minimum, maka penetapan jurnlah panenan lestari belum dapat dilakukan. Pada kondisi ini maka langkah pengelolaan perlu dilakukan baik terhadap populasi satwa maupun habitat. Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan populasi pada tingkat kepadatan dampak minimum antara lain : pengaturan perbandingan kelas umur dan jenis kelamin, pengaturan persaingan, konbol terhadap pemangsaan, pengkayaan jenis pakan kesukaan, penyediaan sumber air, pengelolaan tempat perlindungan dan berkembangbiak serta pengendaiian jenis eksotik.
Gambar
1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian