I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Udang dan kepiting merupakan komoditas andal dan bernilai ekonomis
sebagai salah satu hasil utama perikanan Indonesia. Menurut Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 menyatakan volume ekspor udang dan kepiting mencapai 90.000 dan 4.000 ton. Sekitar 8090% ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit sehingga menghasilkan limbah yang bobotnya mencapai 25-30% dari bobot udang utuh (Fadli, 2015). Limbah udang yang berpotensial ini mudah sekali rusak karena degradasi enzimatik mikroorganisme sehingga menimbulkan masalah seperti pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan. Disisi lain limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan mentah penghasil kitin, kitosan dan turunan keduanya yang berdaya guna dan bernilai tinggi. Kemudian, terdapat permasalahan lain dari pengawetan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional yaitu dengan menggunakan bahan berbahaya seperti formalin. Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan dilarang penggunaannya pada Peraturan Menteri Kesehatan No 722/Menkes/Per/IX/1988. Oleh karena itu, perlu adanya cara lain yang lebih aman untuk menjaga mutu dan kesegaran ikan.
Kitosan adalah modifikasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting (Bodnar et al., 2005). Kitosan memiliki kegunaan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari misalnya pada bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya (Illum, 1998). Kitosan merupakan biopolimer alami yang memiliki kelebihan diantaranya biokompatibel, biodegradable, tidak beracun, dan antibacterial (Mardliyati et al., 2012). Kitosan dapat aktif dan berinteraksi dengan sel, enzim atau matrik polimer yang bermuatan negatif (Liu, 2004). Studi kitosan sebagai pengawet makanan yaitu mengawetkan bakso telah dilakukan oleh Ratna et al. (2006). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kitosan mampu mengawetkan bakso hingga tiga hari pada suhu kamar. Prabasiwi (2015) membuktikan bahwa nanokitosan mampu menjaga mutu dan kesegaran ikan selama 12 jam. Modifikasi fisik dengan mengubah bentuk ukuran dari kitosan menjadi nanopartikel kitosan dilakukan untuk menambah keefektifan sifat-sifat yang baik dari kitosan sebagai anti mikrobia. Aplikasi nanoteknologi membuat revolusi baru dalam dunia industri, nanoteknologi meliputi usaha dan konsep untuk menghasilkan material atau bahan berskala nanometer, mengeksplorasi dan merekayasa karakteristik material atau bahan tersebut, serta mendesain ulang ke dalam bentuk, ukuran,dan fungsi yang diinginkan (Komariah, 2013). Preparasi nanopartikel kitosan dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya dengan metode gelasi ionik (Calvo et al.,1997 ; Qi et al., 2004),
metode spray drying (Desai et al., 2005), metode penggabungan droplet emulsi (Agnihotri et al., 2004), dan metode polimerisasi (Hu et al., 2002). Diantara berbagai metode pembuatan nano-kitosan, gelasi ionik merupakan metode yang banyak menarik perhatian peneliti karena prosesnya sederhana, tidak menggunakan pelarut organik, dan dapat dikontrol dengan mudah (Mardliyati et al., 2012). Prinsip pembentukan partikel pada metode ini adalah terjadinya interaksi ionik antara gugus amino pada kitosan yang bermuatan positif dengan polianion yang bermuatan negatif membentuk struktur network inter- dan/atau intramolekul tiga dimensi. Crosslinker polianion yang paling banyak digunakan adalah sodium Trypolyphosphate (TPP), karena bersifat tidak toksik dan memiliki multivalen (Fan et al., 2012). Namun, nano-kitosan yang dipreparasi dengan metode gelasi ionik ini pada umumnya memiliki distribusi partikel yang sangat lebar (indeks polidipersitas yang tinggi) dan tingkat stabilitas rendah (Mardliyati et al., 2012). Kedua hal ini yang tidak diinginkan dalam aplikasi nano-kitosan, sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan stabilitas nano-kitosan selama proses penyimpanan. Penelitian yang telah dilakukan Suptijah et al. (2014) menambahkan tween 80 sebagai surfaktan ke dalam larutan nano-kitosan. Tween 80 berfungsi untuk menstabilkan emulsi partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antar partikel. Prabasiwi (2015) yang melakukan pengawetan ikan dengan nano-kitosan pada suhu kamar meyarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan suhu dingin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Fan et al. (2012) mengenai pengaruh
suhu terhadap ukuran nano-kitosan memberikan hasil bahwa untuk suhu yang rendah yaitu 10-25oC ukuran partikel masih kecil. Namun belum dilengkapi dengan
pengamatan
pertumbuhan
partikel
nano-kitosan
selama
proses
penyimpanan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari tentang perubahan ukuran partikel selama proses penyimpanan, pengaruh suhu dingin terhadap stabilitas larutan selama proses penyimpanan, dan penyusunan model untuk mengestimasi laju pertumbuhan partikel. 1.2
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang stabilitas nano-kitosan telah banyak dilakukan
dan menjadi acuan bagi penelitian ini. Mardliyati et al. (2012) telah melakukan optimasi preparasi nano-kitosan/Tripolyphosphate (TPP) pada ukuran dibawah 100 nm dengan tingkat keseragaman dan stabilitas yang tinggi, dengan melihat pengaruh konsentrasi dan rasio volume kitosan dan TPP terhadap ukuran, indeks polidispersitas dan potential zeta. Studi mengenai stabilitas nano-kitosan selama proses penyimpanan juga dilakukan oleh Tsai et al. (2011) dengan penambah buffer fosfat (pH 7,5) pada larutan nano-kitosan. Hasil penelitian menunjukkan ukuran awal nanopartikel tergantung dari berat molekul awal dan konsentrasi kitosan. Penelitian lain mengenai nano-kitosan sebagai pengawet ikan dilakukan oleh Prabasiwi (2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nano-kitosan sebagai pengawet ikan terbukti dapat menekan laju pertumbuhan bakteri secara signifikan, sehingga mutu dan kesegaran ikan dapat terjaga lebih lama pada konsentrasi kitosan sekitar 0,4-0,8%.
Studi stabilitas umumnya dilakukan dengan evaluasi ukuran partikel pada nanokitosan dengan konsentrasi kitosan yang rendah yaitu 0,1-0,2% (Mardliyati et al., 2012). Perkembangan penelitian mengenai stabilitas nano-kitosan hingga saat ini belum dilengkapi dengan metode analisis data yang menggunakan permodelan matematis untuk pertumbuhan nanopartikel kitosan. Wen et al. (2014) telah menyusun permodelan matematis untuk pertumbuhan nanopartikel secara umum. Pada penelitian ini yang menjadi aspek orisinalitas, dan membedakan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya adalah adanya kajian kuantitatif menggunakan permodelan matematika. Permodelan yang disusun dalam penelitian ini mengacu pada Wen et al. (2014) yaitu pertumbuhan nanopartikel secara umum. Selanjutnya dari permodelan yang disusun tersebut dapat dipelajari kesesuaian dengan mekanisme proses pertumbuhan nanopartikel pada kitosan selama proses penyimpanan dengan mempelajari pengaruh variasi konsentrasi kitosan (0,2%, 0,4% dan 0,6%) dan variasi suhu yaitu pada suhu dingin (15 0C) dan suhu kamar (sekitar 30 0C). 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :
1.
Mempelajari mekanisme pertumbuhan partikel nano-kitosan.
2.
Mempelajari pengaruh suhu dan konsentrasi kitosan terhadap pertumbuhan partikel nano-kitosan selama proses penyimpanan.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
berbagai hal, yaitu : 1.
Mendapatkan model laju pembesaran partikel nano-kitosan yang dibuat dengan metode gelasi ionik selama proses penyimpanan.
2.
Mendorong pertumbuhan industri lokal untuk memanfaatkan limbah cangkang udang dan kepiting sebagai sumber kitosan untuk produksi bahan antimikrobia.
3.
Memberikan pedoman untuk menyimpanan nano-kitosan sesuai dengan keperluan.