BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki hasil laut yang berlimpah seperti udang, bekicot, dan kepiting. Sebagai salah satu pengekspor udang terbesar, Indonesia juga menghasilkan banyak limbah dari cangkang udang. Limbah udang biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan sebagian besar lagi belum dimanfaatkan sehingga menjadi masalah yang cukup berarti bagi pabrik pengolah udang. Namun, seiring dengan semakin majunya i1mu pengetahuan, limbah udang dapat dijadikan bahan untuk membuat kitin dan kitosan sehingga bernilai ekonomi lebih tinggi (Fahmi, 1997). Kitosan merupakan biopolimer alam berupa polisakarida linier yang tersusun atas monomer-monomer D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin yang terhubung oleh ikatan (1,4)-β-glikosidik (Fernandez-Kim, 2004). Kitosan didapatkan dari proses deasetilasi kitin. Cangkang bekicot mengandung senyawa kitin antara 70% - 80%, sedangkan cangkang udang mengandung senyawa kitin sebanyak 15% - 20% (Srijanto, 2003). Kitosan telah banyak digunakan diberbagai bidang, seperti pertanian, farmasi, kesehatan, dan nanoteknologi. Penggunaan kitosan sebagai polimer dalam formulasi nanopartikel telah banyak diteliti karena kitosan memiliki banyak kelebihan, antara lain mukoadesif, biokompatibel, biodegradable, non toksik, dan tingkat imunogenisitas yang rendah di dalam tubuh. Namun, kitosan memiliki
1
2
berat molekul yang besar, viskositas yang tinggi, dan kelarutan yang rendah sehingga membatasi dalam penggunaannya. Menurut Kouchak et al. tahun 2012, formulasi nanopartikel menggunakan kitosan viskositas sedang menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dan entrapment efficiency yang lebih besar dibandingkan menggunakan kitosan dengan viskositas kecil dan kitosan viskositas besar. Strategi untuk menurunkan berat molekul kitosan yaitu melalui radiasi sinar gamma. Kitosan sebagai polimer alam juga memiliki panjang polimer yang bervariasi sehingga dalam formulasi nanopartikel dapat menghasilkan ukuran partikel yang tidak seragam. Oleh karena itu, radiasi sinar gamma juga diharapkan dapat memotong polimer kitosan menjadi oligomer kitosan yang lebih seragam sehingga kitosan yang dihasilkan dari radiasi sinar gamma dapat terstandarisasi. Pada penelitian ini digunakan polimer kitosan BATAN yang telah diradiasi sinar gamma dengan dosis 75 KGy. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainol et al. pada tahun 2009, peningkatan dosis radiasi kitosan menghasilkan kitosan dengan berat molekul yang lebih kecil dan viskositas yang menurun. Dosis radiasi 75 kGy diharapkan dapat menghasilkan kitosan dengan berat molekul yang lebih kecil, viskositas sedang, dan derajat deasetilasi yang tinggi sehingga nanopartikel yang dihasilkan mempunyai bentuk partikel sferis, ukuran partikel yang lebih kecil dan seragam, potensial zeta yang lebih tinggi, serta entrapment efficiency yang lebih besar dibandingkan menggunakan kitosan yang tidak diradiasi (0 KGy).
3
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan kitosan teradiasi 75 kGy terhadap karakteristik nanopartikel GVT-0. Oleh karena itu, kitosan teradiasi 75 kGy diformulasi menjadi nanopartikel menggunakan senyawa aktif gamavuton-0 (GVT-0) dengan metode gelasi ionik. Nanopartikel diformulasi menggunakan mentode gelasi ionik dan senyawa aktif GVT-0 karena kitosan bermuatan positif pada pH asam sehingga dapat berinteraksi secara spontan membentuk nanopartikel dengan GVT-0 yang bermuatan parsial negatif. Karakteristik nanopartikel yang diuji pada penelitian ini, yaitu stabilitas fisik secara visual, morfologi nanopartikel menggunakan TEM (Transmission Electron Microscope), ukuran partikel, indeks polidispersitas dan potensial zeta menggunakan PSA (Particle Size Analyzer), serta entrapment efficiency menggunakan spektrofotometer UV.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh radiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy terhadap karakteristik kitosan, meliputi organoleptik, derajat deasetilasi, dan viskositas? 2. Apakah kitosan teradiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy dapat dipreparasi menjadi nanopartikel menggunakan senyawa aktif GVT-0 dan pengait silang tripolifosfat dengan metode gelasi ionik pada pH 4,00?
4
3. Apakah penggunaan polimer kitosan teradiasi 75 KGy dapat menghasilkan nanopartikel GVT-0 yang memiliki stabilitas fisik, morfologi partikel, ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta, dan entrapment efficiency yang lebih baik dibandingkan menggunakan kitosan yang tidak diradiasi (0 KGy)?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh radiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy terhadap karakteristik kitosan, meliputi organoleptik, derajat deasetilasi, dan viskositas. 2. Mengetahui apakah kitosan teradiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy dapat dipreparasi menjadi nanopartikel menggunakan senyawa aktif GVT-0 dan pengait silang tripolifosfat dengan metode gelasi ionik pada pH 4,00. 3. Mengetahui pengaruh penggunaan polimer kitosan teradiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy terhadap karakteristik nanopartikel GVT-0 yang terbentuk, meliputi stabilitas fisik, morfologi partikel, ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta, dan entrapment efficiency.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kitosan teradiasi sinar gamma sebagai polimer dalam formulasi nanopartikel untuk meningkatkan kelarutan senyawa aktif yang bersifat sukar/tidak larut di dalam air
5
sehingga bioavailibilitasnya meningkat pada penggunaan melalui rute administrasi per oral.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kitosan a. Tinjauan umum Kitosan merupakan biopolimer alam berupa polisakarida linier yang tersusun atas monomer-monomer D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin yang terhubung oleh ikatan (1,4)-β-glikosidik. Kitosan mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n
atau
disebut
sebagai
β(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa
(Fernandez-Kim, 2004). Kitosan telah banyak digunakan oleh industri kimia, pangan,
dan
farmasi
karena
memiliki
sifat-sifat
seperti
mukoadesif,
biokompatibel, biodegradabel, non toksik, dan tingkat imunogenisitas yang rendah (Chenx, 2006).
Gambar 1.
Struktur molekul senyawa kitosan. Kitosan tersusun atas sejumlah tertentu (n) monomer N-asetil-D-glukosamin dan sejumlah tertentu (m) monomer Dglukosamin. Pada kitosan, jumlah monomer D-glukosamin lebih banyak dibandingkan jumlah monomer N-asetil-D-glukosamin karena telah mengalami proses deasetilasi dari senyawa kitin.
6
Kitosan didapatkan dari proses deasetilasi kitin, yakni komponen utama pada cangkang binatang Crustaceae seperti rajungan dan udang (Mardiyati et al., 2012). Secara alami kitosan juga dapat ditemukan pada mikroorganisme berupa jamur (Illum, 1998). Deasetilasi kitin menggunakan NaOH pekat mengubah gugus asetil pada kitin menjadi gugus amina pada kitosan. Namun, proses asetilasi sulit untuk secara mutlak mengubah keseluruhan gugus asetil menjadi amina sehingga kitosan tidak dapat dinyatakan sebagai poliglukosamin (Fernandez-Kim, 2004). Sebelum dilakukan deasetilasi kitin menjadi kitosan, perlu dilakukan prosedur ekstraksi kitin dari cangkang serangga maupun hewan laut. Prosedur ekstraksi kitin dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dekolorisasi untuk memperoleh kitin, dan deasetilasi untuk memperoleh kitosan (Zhang et al., 2000). Persyaratan farmasi untuk kitosan, antara lain berupa bubuk atau serpihan berwarnah putih atau kuning, ukuran partikel <30 mm, kerapatan antara 1,35 1,40 g/cm3, pH 6,5-7,5, kadar air <10%, residu pada pengapian <0,2%, kadar protein <0,3%, derajat deasetilasi 70% - 100%, viskositas <5 cP, materi terlarut <1%, logam berat (As) <10 ppm, logam berat (Pb) <10 ppm, tidak berasa dan tidak berbau (Muzzarelli et al., 1988; Miyazaki et al., 1981). Penggunaan kitosan sebagai polimer dalam formulasi nanopartikel telah banyak diteliti karena nanopartikel kitosan merupakan sistem penghantaran obat yang menjanjikan untuk meningkatkan bioavailabilitas senyawa obat. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan difusi dan penetrasi nanopartikel kitosan ke dalam lapisan mukus (Takeuchi et al., 2001). Saat melekat pada permukaan
7
mukosa, kitosan dapat membuka sementara tight junction antar sel-sel epitel glikoprotein. Pembukaan sementara ini memberi waktu yang lebih panjang bagi interaksi dan transport obat ke dalam sel (Schipper et al., 1997). Aplikasi nanopartikel kitosan telah banyak diterapkan pada penghantaran obat dengan berbagai rute administrasi dan penghantaran gen. Pada penghantaran per oral, nanopartikel kitosan mampu mengatasi permasalahan solubilitas, melindungi
obat
dari
degradasi
enzimatik,
pelepasan
terkontrol,
serta
perpanjangan waktu aksi melalui mekanisme ionik dengan musin (Sailaja dkk, 2010). Formulasi nanopartikel kitosan biasanya menggunakan metode gelasi ionik karena kitosan merupakan polimer polikationik pada pH asam sehingga dapat berinteraksi secara spontan dengan senyawa obat yang bersifat polianionik membentuk sistem nanopartikel. Pada formulasi nanopartikel kitosan, pH larutan merupakan salah satu parameter kritis yang perlu dikontrol karena dapat mempengaruhi jumlah gugus
amina primer
kitosan
yang terprotonasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shu dan Zhu pada tahun 2002 tentang hubungan antara pH larutan kitosan dan derajat protonasi kitosan menggunakan kitosan dengan derajat deasetilasi 86% dan berat molekul 460.000 Da, peningkatan pH larutan kitosan dari 4,7 - 8 maka derajat deasetilasi kitosan dengan cepat menurun dari 100% - 0%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fan et al. pada tahun 2012 menggunakan LMW (low molecular weight) kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi dilaporkan bahwa konsentrasi LMW kitosan yang dibutuhkan untuk
8
menghindari terbentuknya mikropartikel yaitu <2 mg/mL karena pada konsentrasi ini gaya akibat adanya jembatan hidrogen intramolekular dan gaya tolak-menolak elektrostatik berada pada titik kesetimbangan. Ketidakstabilan nanopartikel yang terbentuk juga dapat disebabkan karena lemahnya gaya tolak-menolak elektrostatik antar partikel. Pada konsentrasi kitosan yang rendah dapat menghasilkan nanopartikel yang stabil walaupun pada perbandingan masa yang kecil dengan TPP, tetapi kitosan dengan konsentrasi tinggi hanya dapat membentuk nanopartikel yang stabil pada perbandingan masa yang besar dengan TPP. Hal ini dapat disebabkan karena pada konsentrasi kitosan yang rendah, jarak intermolekular kitosan lebih besar sehingga berkurangnya gaya akibat adanya jembatan hidrogen intermolekular kitosan (Fan et al., 2012). Dengan demikian, parameter konsentrasi kitosan sangat mempengaruhi stabilitas dan karakteristik nanopartikel yang terbentuk untuk mendapatkan formula nanopartikel kitosan yang optimum. b. Derajat deasetilasi Kitosan tersedia dalam berbagai panjang rantai/berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi kitosan ini menjadi faktor penentu utama ukuran partikel kompleks nanopartikel yang terbentuk, pembentukan partikel itu sendiri, hingga pada proses agregasinya (Tiyaboonchai, 2003). Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka jumlah gugus asetil kitosan
9
semakin sedikit dan jumlah gugus amina primer pada kitosan semakin banyak (Fouda, 2005). Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka derajat deasetilasi sampel yang diperoleh semakin besar, tetapi hal ini tidak selalu memberikan kenaikan derajat asetilasi yang signifikan karena pada konsentrasi NaOH yang tinggi, larutan menjadi kental dan mengakibatkan proses pengadukan menjadi kurang sempurna. Pengukuran derajat deasetilasi dapat dilakukan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red) dengan metode baseline dan persamaan Domszy dan Robert (Hargono et al., 2008). c. Kitosan teradiasi sinar gamma Kitosan
memiliki
kekurangan
sebagai
polimer
dalam
formulasi
nanopartikel, antara lain memiliki berat molekul yang besar dan viskositas yang tinggi sehingga membatasi kelarutannya. Oleh karena itu, upaya untuk menurunkan berat molekul kitosan merupakan hal yang penting untuk dilakukan (Wasikiewicz et al., 2005). Formulasi menggunakan kitosan viskositas sedang menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dan entrapment efficiency yang lebih besar dibandingkan menggunakan kitosan dengan viskositas kecil dan kitosan viskositas besar (Kouchak et al., 2012). Berbagai strategi untuk memperoleh kitosan dengan berat molekul yang lebih kecil dan viskositas sedang antara lain melalui radiasi, reaksi kimia, dan degradasi dengan enzim (Wasikiewicz et al., 2005). Penggunaan reaksi kimia untuk depolimerisasi kitosan merupakan proses yang mudah dan murah, tetapi menimbulkan masalah pada zat kimia hasil reaksi yang tidak digunakan dan reprodusibilitasnya yang rendah. Penggunaan enzim merupakan cara yang efektif untuk secara spesifik memotong
10
rantai kitosan sehingga menghasilkan oligomer kitosan yang dikehendaki, tetapi perlu adanya beberapa tahap seperti tahap penyiapan enzim dan pemurnian produk (Choi et al., 2002). Radiasi sinar gamma merupakan proses yang menjanjikan untuk memperoleh kitosan dengan berat molekul yang lebih kecil dan viskositas sedang karena sederhana, dapat dilakukan pada suhu ruangan, dan tidak membutuhkan tahap pemurnian. Metode ini banyak diterapkan untuk memodifikasi polisakarida. Radiasi sinar gamma pada kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat menghasilkan oligomer kitosan (Choi et al., 2002).
Gambar 2.
Mekanisme radiolisis kitosan. (A) Radikal bebas pada atom C1 menginisiasi pemutusan rantai dan pembukaan cincin piranosa kitosan; (B) radikal bebas pada atom C4 menginisiasi pemutusan rantai kitosan; (C) radikal bebas pada atom C5 menginisiasi pembukaan cincin piranosa; (D) radikal bebas pada atom C4 juga menginisiasi pembukaan cincin piranosa (Gryczka et al., 2009).
11
Berdasarkan hasil penelitian oleh Gryczka et al. pada tahun 2009, radiasi sinar gamma terhadap kitosan menginisiasi munculnya radikal bebas pada posisi C1, C4, dan C5 dalam cincin piranosa. Adanya radikal bebas pada posisi C1 dan C4 akan menginisiasi pemotongan pada ikatan (1,4)-β-glikosidik, sedangkan adanya radikal bebas pada posisi C5 akan menginisasi pembukaan cincin piranosa kitosan (gambar 2). Pemotongan pada ikatan (1,4)-β-glikosidik kitosan menghasilkan berat molekul polimer yang rendah (Gryczka et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rekso pada tahun 2011 menggunakan kitosan BATAN teradiasi sinar gamma dengan variasi dosis 5, 10, 20, 30, dan 50 kGy, peningkatan dosis radiasi menyebabkan derajat deasetalisasi meningkat, kelarutan kitosan dalam asam asetat 1% meningkat, bobot molekul kitosan menurun, dan viskositas larutan kitosan menurun. Radiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy diharapkan dapat menghasilkan kitosan dengan berat molekul lebih kecil, viskositas sedang, dan derajat deasetilasi yang tinggi sehingga nanopartikel yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang lebih baik, meliputi mempunyai bentuk partikel sferis, ukuran partikel yang lebih kecil dan seragam, potensial zeta yang lebih tinggi, serta entrapment efficiency yang lebih besar dibandingkan menggunakan kitosan yang tidak diradiasi (0 KGy). Namun, adanya reaksi fragmentasi akibat radiasi yang ternyata dapat memotong rantai polimer kitosan, membuka cincin, dan memungkinkan terjadinya cross-linking, diperkirakan dapat mempengaruhi juga karakteristik nanopartikel yang dihasilkan. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kitosan teradiasi 75 kGy terhadap karakteristik nanopartikel GVT-0.
12
2. Nanopartikel a. Tinjauan umum Nanopartikel adalah dispersi partikel padat yang memiliki ukuran 10 nm sampai dengan 1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2006). Terdapat dua tipe nanopartikel ditinjau dari proses preparasinya, yaitu nanosfer dan nanokapsul. Nanosfer merupakan nanopartikel yang mempunyai struktur berupa matriks, dimana senyawa aktif terdispersi atau teradsorpsi di permukaan partikel pembawanya. Nanokapsul merupakan nanopartikel yang mempunyai struktur berupa dinding membran, dimana senyawa aktif terjerap maupun teradsorpsi pada permukaan membran tersebut (Alleman et al., 1993). Istilah “nanopartikel” diambil karena ukuran partikelnya yang sangat kecil, sehingga sangat sulit membedakan apakah suatu kompleks nanopartikel termasuk dalam tipe nanosfer atau nanokapsul (Tiyaboonchai, 2003). Teknologi nanopartikel telah banyak digunakan diberbagai bidang. Pada bidang kesehatan, teknologi nanopartikel utamanya dimanfaatkan sebagai sistem penghantaran obat untuk terapi penyakit kanker dan terapi tertarget seperti terapi gen (Kumar, 2000; Martien et al, 2006). Tujuan utama formulasi nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat yaitu untuk mengontrol ukuran partikel, sifat permukaan partikel, dan pelepasan zat aktif agar mencapai tempat target pada kecepatan optimum dan dosis terapi (Mohanraj dan Chen, 2006). Sistem penghantaran nanopartikel harus memenuhi kriteria, antara lain stabil, tidak toksik, reprodusibel, mudah diformulasi, dan tidak mahal untuk pembuatan skala
13
besar, serta dapat diaplikasikan untuk berbagai obat, protein dan polinukleotida (Tiyaboonchai, 2003). Keuntungan
menggunakan
teknologi
nanopartikel
sebagai
sistem
penghantaran obat, antara lain: 1. Ukuran partikel dan sifat permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimodifikasi untuk pentargetan obat baik secara pasif maupun aktif setelah penggunaan obat melalui rute parenteral. 2. Nanopartikel dapat mengontrol pelepasan obat selama transportasi dan pada tempat target, serta dapat mempengaruhi distribusi dan clerance obat pada organ sehingga dapat meningkatkan efikasi efek terapetik obat dan mengurangi efek sampingnya. 3. Pelepasan terkontrol dan sifat degradasi partikel dapat dimodifikasi sesuai dengan pemilihan bahan matriks yang digunakan. 4. Pelepasan obat secara tertarget dapat dicapai dengan menempelkan ligan yang spesifik pada permukaan nanopartikel atau menggunakan penunjuk arah magnetik. 5. Sistem penghantaran obat ini dapat digunakan untuk berbagai rute administrasi, antara lain per oral, nasal, parenteral, intra-okular, dan lainnya. Disamping memiliki banyak keuntungan, nanopartikel juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain ukuran partikel yang kecil dan besarnya luas permukaan mengakibatkan dapat terjadinya agregasi partikel, drug loading yang terbatas, dan burst release (Mohanraj dan Chen, 2006).
14
b. Gelasi ionik Metode gelasi ionik untuk preparasi nanopartikel kitosan pertama kali dilakukan oleh Calvo et al. pada tahun 1997 dan secara luas telah diuji dan dikembangkan oleh Janes. Pembuatan nanopartikel menggunakan metode gelasi ionik merupakan preparasi yang sederhana dan mudah dilakukan di lingkungan berair (Sailaja et al., 2010). Metode ini melibatkan interaksi ionik antara dua muatan berbeda yang berasal dari polimer dan obatnya sehingga obat berukuran kurang dari 1000 nm dapat terjerap ke dalam polimer (Amritkar et al., 2011). Pada pembentukan nanopartikel kitosan, pertama kitosan dilarutkan ke dalam asam asetat dengan ada atau tidaknya agen penstabil seperti poloxamer, yang dapat ditambahkan ke dalam larutan kitosan sebelum atau sesudah penambahan polianion. Polianion kemudian ditambahkan dan nanopartikel terbentuk secara spontan di bawah pengadukan pada suhu ruang. Ukuran partikel dan muatan permukaan partikel dapat dimodifikasi dengan melakukan variasi terhadap perbandingan kitosan dan stabilisator/pengait silang (Sailaja et al., 2010). Pengait silang yang biasa digunakan dalam pembuatan nanopartikel kitosan yaitu tripolifosfat (Mohanraj dan Chen, 2006). Parameter-parameter yang dapat mempengaruhi karakteristik nanopartikel kitosan, antara lain suhu penyimpanan, pH pelarut, konsentrasi polimer kitosan, konsentrasi agen penstabil TPP, dan kecepatan pengadukan (Fan et al., 2012).
15
c. Karakteristik nanopartikel 1) Ukuran partikel dan indeks polidispersitas Ukuran partikel dan indeks polidispersitas adalah karakteristik utama dari nanopartikel. Ukuran partikel dan indeks polidispersitas dipengaruhi oleh komposisi matriks, proses pencampuran, dan proses penguapan pelarut organik. Kedua parameter ini menentukan distribusi in vivo, toksisitas, dan kemampuan penargetan dalam sistem penghantaran obat (Singh
dan
Lillard,
2009).
Pengukuran
ukuran
partikel
dapat
menggunakan Dynamic Scattering (DLS), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan Transmission Electron Microscopy (TEM) (Mohanraj dan Chen, 2006). 2) Potensial Zeta Potensial zeta biasanya digunakan untuk karakterisasi muatan permukaan nanopartikel. Potensial zeta mencerminkan potensial muatan dari partikel dan dipengaruhi oleh komposisi partikel serta medium tempat nanopartikel terdispersi. Nanopartikel dengan potensial zeta lebih besar dari +30 mV atau lebih kecil dari -30 mV merupakan suspensi yang stabil, dimana muatan permukaan partikel mencegah terjadinya agregasi partikel. Potensial zeta juga dapat digunakan untuk mengukur apakah zat aktif yang bermuatan terenkapsulasi di tengah nanokapsul atau teradsobsi di permukaan (Mohanraj dan Chen, 2006). Potensial zeta nanopartikel dapat ditentukan dengan alat dynamic laser scattering (DLS), Zetasizer,
16
Zeta Plus TM, Zeta Potential Analyzer (Singh dan Lillard, 2009; Sahoo dan Labhasetwar, 2006). 3) Entrapment efficiency Entrapment efficiency menggambarkan keberhasilan obat terjerap ke dalam sistem nanopartikel. Entrapment efficiency dipengaruhi oleh kelarutan obat di dalam bahan matriks atau polimer (disolusi padat atau dispersi), dimana berhubungan dengan komposisi polimer, berat molekul, interaksi obat dengan polimer, dan adanya gugus fungsi ester maupun karboksil (Mohanraj dan Chen, 2006). Entrapment efficiency dikontrol oleh dua mekanisme, yaitu interaksi antara muatan positif gugus amina terprotonasi dan muatan negatif obat, serta entrapment selama proses gelasi dengan gugus fosfat dari TPP (Luangtana-anan et al., 2005). 3. Gamavuton-0 (GVT-0)
Gambar 3. Struktur molekul senyawa kurkumin (a); struktur molekul senyawa GVT-0 (b)
17
Gamavuton-0 (GVT-0) dengan nama IUPAC 1,5-bis(4’-hidroksi-3’metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on,
merupakan
senyawa
analog
kurkumin.
Penemuan senyawa GVT-0 merupakan hasil kerja sama antara Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada dengan Department of Pharmacochemistry, Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda sejak awal tahun 1989. Modifikasi senyawa kurkumin menjadi senyawa GVT-0 dimaksudkan untuk memperbaiki stabilitas kurkumin yang dipengaruhi oleh pH dan cahaya. Modifikasi dilakukan dengan penghilangan gugus metil sehingga senyawa GVT-0 tidak mempunyai gugus metilen aktif. Gugus metilen aktif pada senyawa kurkumin mudah terhidrolisis pada pH basa dan mengakibatkan degradasi fotokimia oleh cahaya (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Senyawa GVT-0 lebih stabil pada pH di atas 6,5 dibandingkan dengan senyawa kurkumin (Sardjiman et al., 1997). GVT-0 adalah produk dari reaksi antara vanillin dan aseton menggunakan katalis asam melalui reaksi Claisen-Schmidt. GVT-0 mempunyai gugus diena simetris pada bagian tengah yang menghubungkan dua cincin aromatik sehingga mempunyai dua gugus α,β unsaturated. Atom O karbonil memiliki karakteristik parsial negatif sehingga dalam kondisi terionisasi dapat bertindak sebagai nukleofil dan menyerang senyawa kationik (Tonnesen dan Karlsen, 1985). GVT-0 merupakan senyawa yang aman digunakan karena sudah banyak penelitian yang menguji toksisitas GVT-0. Berdasarkan hasil uji toksisitas akut dan subakut senyawa GVT-0 dengan pemaparan selama 24 jam dan 30 hari, senyawa GVT-0 tidak menunjukkan efek toksik pada parameter hematologi dan kimia darah maupun urin pada tikus jantan dan tikus betina. Pengamatan
18
dilakukan pada organ–organ vital, seperti paru–paru, ginjal, hati, usus dan limpa secara makroskopis maupun mikroskopis tidak mengindikasikan adanya abnormalitas (Ikawati et al., 2008). GVT-0 dan kurkumin mempunyai kesamaan, yaitu memiliki gugus hidroksi dan metoksi pada gugus aromatiknya yang bertanggung jawab terhadap aktivitas biologisnya. Senyawa GVT-0 mempunyai aktivitas antioksidan dan antiinflamasi (Masuda et al., 1993; Sardjiman et al., 1997; Sardjiman, 2000; Nugroho et al., 2004). Pada senyawa kurkumin, gugus hidroksi bertanggung jawab terhadap aktivitas sebagai antioksidan yang berhubungan dengan penghambatan pelepasan histamin (Suzuki et al., 2005), sehingga mendukung penelitian sebelumnya. Senyawa GVT-0 juga dilaporkan memiliki aktivitas anti tumor (Youssef dan ElSherbeny, 2005).
Kemiripan struktur kimia dengan kurkumin menyebabkan
GVT-0 juga memiliki sifat sangat sukar larut di dalam air (Ravindranath dan Chandrasekhara, 1981). Dengan demikian, perlu strategi penggunaan sistem penghantaran obat tertentu yang dapat meningkatkan kelarutan GVT-0 dalam air sehingga bioavailabilitasnya dapat meningkat dan memberikan efek farmakologis yang diharapkan. 4. Natrium Tripolifosfat (Na-TPP)
Gambar 4. Struktur molekul natrium tripolifosfat (Shenvi et al., 2012)
19
Natrium tripolifosfat adalah garam tak berwarna yang terdapat baik dalam bentuk anhidrat maupun dalam bentuk heksahidrat. Kelarutan natrium tripolifosfat dalam 100 mL air pada suhu 25oC adalah 20 g dan pada suhu 100oC adalah 86,5 g. Larutan natrium tripolifosfat dengan konsentrasi 1% memiliki pH 9,7 - 9,8. Stabilitas senyawa ini lebih tinggi daripada metafosfat, tetapi lebih tidak stabil dibandingkan dengan tetrasodium pirofosfat. Senyawa ini banyak digunakan dalam proses pelunakan air, peptizing agent, agen pengemulsi, pendispersi, pengawet, sekuestran dan pemberi tekstur pada makanan (O’Neil et al., 2006). Tripolifosfat (TPP) adalah polianion yang bersifat non toksik. TPP banyak digunakan sebagai pengait silang dengan kitosan, dimana interaksinnya dimediasi dengan adanya gaya elektrostatik dan menghasilkan kompleks nanopartikel (Calvo et al., 1997). Pada pH 4-6 dalam pelarut asam, gugus amina primer terprotonasi sehingga bersifat elektrofilik (Aranaz et al., 2009). Pada pH tersebut, muatan positif dari gugus amina primer kitosan yang telah terprotonasi (-NH3+) berinteraksi dengan muatan negatif TPP (gambar 5) sehingga membentuk kompleks nanopartikel (Alonso dan Sánchez, 2003). Penambahan TPP biasanya dilakukan dalam proses ionik gelasi sebagai pengait silang yang berfungsi untuk menstabilkan partikel (Mohanraj dan Chen, 2006).
Gambar 5. Interaksi antara kitosan dengan TPP (Shenvi et al., 2012)
20
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fan et al. pada tahun 2012 menggunakan TPP (0,005 %b/v) dengan volume yang bervariasi ke dalam larutan kitosan (0,005 %b/v), pada penambahan TPP dengan konsentrasi <0,00125 %b/v menghasilkan larutan jernih yang mengindikasikan formasi kompleks TPPkitosan yang terbentuk kurang memadai. Pada penambahan TPP dengan konsentrasi antara 0,00125 %b/v – 0,00165 %b/v , ukuran partikel mengecil akibat terjadinya crosslinking antara kitosan dengan TPP. Pada penambahan TPP dengan konsentrasi antara 0,00165 %b/v – 0,00175 %b/v, ukuran partikel yang dihasilkan lebih besar akibat hampir semua gugus amina primer yang terprotonasi pada kitosan berikatan dengan TPP, dan kelebihan TPP menyebabkan agregasi antar partikel. Pada penambahan TPP dengan konsentrasi >0,0018 %b/v menghasilkan pengendapan partikel karena muatan permukaan partikel yang kecil sehingga tidak dapat menjaga kestabilan partikel besar yang terbentuk (Fan et al., 2012). Dengan demikian, parameter konsentrasi TPP dalam sistem nanopartikel sangat mempengaruhi stabilitas dan karakteristik nanopartikel yang terbentuk untuk mendapatkan formula nanopartikel yang optimum.
F. Landasan Teori Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kitosan teradiasi 75 kGy terhadap karakteristik nanopartikel GVT-0. Kitosan merupakan biopolimer alami yang tersusun atas monomer-monomer D-glukosamin dan Nasetil-D-glukosamin secara acak yang terhubung oleh ikatan (1,4)-β-glikosidik. Sebagai polimer alami, kitosan memiliki panjang rantai polimer yang berbeda-
21
beda sehingga berat molekul kitosan yang digunakan juga mempunyai kisaran berat molekul yang lebar. Hal ini menyebabkan penggunaan polimer kitosan dalam formulasi nanopartikel menghasilkan ukuran partikel yang beragam. Radiasi sinar gamma dapat menjadi solusi terhadap permasalahan tersebut. Radiasi sinar gamma memotong kitosan pada ikatan (1,4)-β-glikosidik menjadi oligomer kitosan sehingga dapat mempengaruhi berat molekul dan viskositas kitosan. Radiasi sinar gamma dapat menghasilkan kitosan yang terstandarisasi berdasarkan berat molekul maupun viskositasnya. Penggunaan kitosan teradiasi merupakan sesuatu yang menjanjikan dalam formulasi nanopartikel karena dapat mengatasi kelemahan kitosan meliputi berat molekul yang besar, viskositas yang tinggi, dan kelarutan yang rendah di dalam kebanyakan solven. Radiasi sinar gamma kitosan menghasilkan oligomer kitosan yang memiliki berat molekul yang lebih rendah sehingga pada formulasi nanopartikel dapat menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil. Radiasi sinar gamma juga mempengaruhi derajat deasetilasi kitosan sehingga dapat mempengaruhi stabilitas dan entrapment efficiency nanopartikel. Oleh karena itu, penelitian mengenai penggunaan kitosan teradiasi dalam formulasi nanopartikel penting untuk dilakukan. Kitosan yang diradiasi 75 kGy diformulasi menjadi nanopartikel menggunakan senyawa aktif GVT-0 dengan metode gelasi ionik. GVT-0 merupakan senyawa analog kurkumin yang bermuatan parsial negatif karena adanya atom O karbonil, sehingga dapat berinteraksi secara spontan dengan gugus amina primer terprotonasi pada kitosan yang bermuatan positif pada pH asam dan
22
membentuk kompleks nanopartikel. Penambahan tripolifosfat sebagai pengait silang dilakukan untuk menstabilkan kompleks nanopartikel yang telah terbentuk. Tripolifosfat yang merupakan polianionik akan berinteraksi dengan gugus amina primer terprotonasi pada kitosan sehingga pada konsentrasi optimum dapat membentuk sistem nanopartikel yang kompak dan dapat memperkecil ukuran partikel. Formula optimum perlu ditentukan sebelum dilakukan karakterisasi nanopartikel untuk mengetahui pengaruh penggunaan kitosan teradiasi terhadap karakteristik nanopartikel. Konsentrasi GVT-0, kitosan, dan TPP merupakan parameter kritis untuk mendapatkan formula optimum nanopartikel yang stabil pada penelitian ini. Parameter lain yang dapat mempengaruhi dalam formulasi nanopartikel, antara lain suhu formulasi dan penyimpanan formula, waktu pencampuran, kecepatan pencampuran dan lama penguapan pelarut, sehingga parameter-parameter tersebut dikontrol untuk mengetahui formula optimum nanopartikel GVT-0 berdasarkan variasi konsentrasi GVT-0, kitosan, dan TPP.
G. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori di atas, dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: 1. Radiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy akan mempengaruhi karakteristik kitosan yang dihasilkan, meliputi perubahan bentuk, ukuran dan warna padatan kitosan, derajat deasetilasi yang meningkat, serta viskositas yang
23
semakin kecil bila dibandingkan dengan kitosan yang tidak diradiasi sinar gamma (0 kGy). 2. Kitosan teradiasi sinar gamma dengan dosis 75 kGy dapat dipreparasi menjadi nanopartikel menggunakan bahan obat GVT-0 dan pengait silang tripolifosfat dengan metode gelasi ionik pada pH 4,00. 3. Radiasi sinar gamma pada kitosan dengan dosis 75 KGy dapat menghasilkan nanopartikel GVT-0 dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan menggunakan kitosan yang tidak diradiasi (0 KGy).