I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini
cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen pada tahun 2005 (BPS, 2006). Sistem intensifikasi tanaman padi yang selama ini diterapkan tidak mampu lagi meningkatkan produksi dan produktivitas. Untuk mempertahankan produktivitas tanaman padi diperlukan input produksi yang semakin tinggi dengan resiko biaya produksi yang semakin mahal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh cara pengelolaan lahan yang kurang terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan sawah secara intensif dan terus menerus telah berlangsung bertahun-tahun yang mengakibatkan penurunan kesuburan dan sifat fisik tanah. Adiningsih (2000) menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi selama ini lebih banyak dilakukan pada lahan subur beririgasi
melalui
peningkatan
mutu
intensifikasi,
diantaranya
dengan
meningkatkan penggunaan pupuk anorganik. Hal ini diduga dapat memberikan indikasi kecenderungan menurunnya kesuburan lahan sawah karena kurangnya bahan organik. Salah satu cara untuk mengembalikan kesuburan lahan adalah melalui perbaikan struktur tanah dan pemenuhan mikroba tanah dengan menggunakan pupuk organik. Lebih lanjut dilaporkan bahwa kebutuhan ideal bahan organik di dalam tanah adalah sekitar 2 persen, sedangkan bahan organik saat ini yang tersedia kurang dari 1 persen. Guna menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi sebagian besar lahan sawah, Departemen Pertanian telah melaksanakan program
2
peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T). Kegiatan ini diimplementasikan salah satunya dalam bentuk Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) yang dikenal dengan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT). Program P3T merupakan kegiatan pengelolaan tanaman padi secara terpadu yang dilakukan pada hamparan seluas 100 Ha. Kegiatan SITT merupakan bagian dari program P3T dilaksanakan di lokasi yang merupakan lahan sawah irigasi, dimana petani juga memelihara ternak sapi. Program ini merupakan kegiatan bersama antara Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Ditjen Bina Produksi Peternakan dan Badan Litbang Pertanian di tingkat pusat dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Dinas Peternakan di tingkat provinsi. Secara keseluruhan, program ini berada dibawah koordinasi Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. Tujuan pelaksanaan program adalah tercapainya sasaran peningkatan produktivitas terpadu tanaman padi dan usaha sapi yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Introduksi ternak sapi pada kawasan lahan sawah ditujukan untuk efisiensi usahatani dan produktivitas tenaga kerja keluarga petani, serta mendorong penggunaan kompos sebagai bahan organik di lahan sawah. Program ini juga diharapkan dapat mengembangkan kesempatan kerja bagi masyarakat di perdesaan, sehingga dapat tercipta usaha agribisnis yang berkelanjutan. Pengembangan diversifikasi usaha dalam sistem integrasi tanaman-ternak dapat membantu kinerja ekonomi rumahtangga petani dalam menghadapi resiko usaha pertanian. Hal ini tercipta karena produk yang dihasilkan tidak monokultur, tetapi terdapat produk lain seperti usaha sapi, usaha kompos, usaha pakan berbasis jerami, serta produk-produk ikutan lainnya.
3
Pada tahun anggaran 2002, program ini dikembangkan di sebelas provinsi yang meliputi 20 kabupaten. Setiap kabupaten dialokasikan dana dalam bentuk proyek Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp.648,75 juta yang diperuntukkan bagi (1) pengadaan ternak sapi, (2) bantuan perkandangan, (3) bantuan konsentrat, (4) bantuan bangunan untuk proses jerami, (5) bantuan bangunan untuk proses kompos, serta (6) bantuan vaksin dan obat-obatan. Tatacara penyaluran dana bantuan langsung kepada kelompok tani mengikuti Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor: SE-138/A/21/1098 tanggal 2 Oktober 1998 (Sudardjat, 2003). Setiap petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani memperoleh kredit untuk pengadaan 2-3 ekor sapi dengan periode pengembalian selama 30 bulan. Sistem integrasi ini merupakan penerapan usaha terpadu melalui pendekatan low external input antara komoditas padi dan sapi, dimana jerami padi digunakan sebagai pakan ternak sapi penghasil sapi bakalan, dan kotoran ternak sebagai bahan utama pembuatan kompos dimanfaatkan untuk pupuk organik yang dapat meningkatkan kesuburan lahan. Pendekatan low external input adalah suatu cara dalam menerapkan konsep pertanian terpadu dengan mengupayakan penggunaan input yang berasal dari sistem pertanian sendiri, dan sangat minimal penggunaan input produksi dari luar sistem pertanian tersebut (Suharto, 2000). Diwyanto et al., (2002) menyatakan bahwa pelaksanaan program SIPT dapat menyebabkan: (1) petani termotivasi untuk tetap mempertahankan kesuburan lahan pertanian dengan cara memperbaiki pola budidaya dan mempertahankan kandungan bahan organik, (2) penggunaan pupuk kimia dilakukan secara benar dan diimbangi dengan penambahan pupuk organik, (3)
4
penggunaan kompos membuka peluang pasar baru dan mendorong masyarakat perdesaan untuk mengembangkan industri kompos dengan memelihara ternak (sapi), (4) teknologi pakan dalam memanfaatkan jerami padi dan limbah pertanian lainnya telah mampu mengurangi biaya pemeliharaan sapi melalui usaha kompos, (5) anak sapi (pedet) merupakan produk utama dari budidaya sapi, namun sebagian biaya pakan dapat diatasi dengan penjualan kompos, dan (6) peternakan dapat dipandang sebagai usaha investasi (tabungan) yang tidak terkena inflasi, mampu menciptakan lapangan kerja yang memang tidak tersedia di perdesaan, dan menjadi bagian integral dari sistem usahatani dan kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya, pelaksanaan program tersebut ada yang mampu secara baik mencapai sasaran, namun ada pula yang masih jauh dari pencapaian sasaran, kemajuan yang diperoleh masih sangat variatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis yang lebih menyeluruh tentang faktor-faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi keputusan petani dalam tingkat adopsi untuk menerapkan sistem integrasi tanaman-ternak dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi dan pendapatan petani dalam pengembangan program sistem integrasi ini.
1.2.
Perumusan Masalah Keragaan penerapan program sistem integrasi tanaman-ternak setelah
berjalan selama satu tahun menunjukkan hasil yang cukup beragam. Pengolahan dan pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan dasar pembuatan kompos baru mencapai sekitar 60 persen dan pengolahan serta pemanfaatan jerami fermentasi sebagai pakan ternak baru mencapai 55 persen (Zaini, et al., 2003). Permasalahan yang bersifat teknis maupun non teknis muncul dalam pelaksanaan program
5
integrasi tersebut. Permasalahan non teknis lebih didominasi oleh keterlambatan administrasi pencairan anggaran, sehingga tidak terjadi sinkronisasi antara musim tanam dan sistem keproyekan. Penyediaan probiotik sebagai fermentor untuk membantu proses pembuatan jerami fermentasi dan pupuk organik yang terbatas menjadi permasalahan teknis yang utama. Di beberapa lokasi juga tidak tersedia serbuk gergaji sebagai alas kandang ternak sapi yang pada akhirnya digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan kompos. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang belum memanfaatkan limbah pertanian dan peternakan tersebut secara optimal. Upaya mengintegrasikan usaha peternakan (sapi) dengan tanaman pangan (padi) dapat memberikan dampak budidaya, sosial dan ekonomis yang positif. Potensi yang cukup besar dari ketersediaan pakan sepanjang tahun dari limbah tanaman pangan dapat mengurangi ketergantungan sarana produksi dari luar, sehingga keberlanjutan usahaternak lebih terjamin. Alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga dapat lebih didayagunakan untuk dapat terlaksananya program integrasi tersebut dengan baik. Penentu kebijakan dalam sistem pengelolaan sumberdaya pertanian dimulai dari tingkat yang paling rendah, yakni tingkat pengambilan keputusan dari rumahtangga petani. Hal ini juga diduga terkait dengan karakteristik rumahtangga yang spesifik dari sistem integrasi tanamanternak terhadap perilaku ekonomi rumahtangga yang dilakukan. Perilaku ekonomi rumahtangga petani pada dasarnya merupakan perilaku rasional dalam mengalokasikan sumberdaya rumahtangga yang dimiliki untuk menghasilkan barang dan jasa, serta dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Perilaku rasional rumahtangga dalam
6
mengalokasikan sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi keputusan produksi, sedangkan perilaku rasional dalam menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga merupakan keputusan konsumsi. Pemahaman terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani sangat penting untuk mengantisipasi dampak suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya, apakah kebijakan pengaturan harga output gabah, sapi hidup dan kompos yang merupakan output dalam program sistem integrasi tanaman-ternak tidak mampu memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi? Apakah kebijakan pengaturan harga input produksi padi, sapi dan kompos memberikan dampak ekonomi terhadap pendapatan rumahtangga petani? Bagaimanakah sinergisme yang terjadi pada sistem usahatani tanaman dan ternak? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani, karena keputusan produksi sistem integrasi tanaman-ternak berada pada rumahtangga petani. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Sejauh mana perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat menggambarkan usaha sistem integrasi tanaman-ternak. 2. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan program sistem integrasi tanaman-ternak. 3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga petani dan bagaimana keterkaitan antar keputusan tersebut pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak.
7
4. Apakah kebijakan pengaturan harga output mampu memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi? Sejauh mana pengaturan harga input produksi menyebabkan disinsentif bagi petani? Bagaimana pula halnya dengan kebijakan pengaturan kredit usahatani terhadap keputusan rumahtangga petani pada aspek-aspek produksi, kontribusi pendapatan dan alokasi pengeluaran.
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan, maka
tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji kondisi ekonomi rumahtangga petani pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak, khususnya dalam produksi, alokasi penggunaan tenaga kerja, kontribusi pendapatan dan alokasi pengeluaran. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam pelaksanaan program sistem integrasi tanaman-ternak. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku (keputusan) ekonomi rumahtangga petani dan mempelajari keterkaitan antar keputusan pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak. 4. Menganalisis dampak perubahan faktor-faktor eksternal dan internal terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak. Penelitian ini bermanfaat kepada masyarakat petani dalam penerapan model usaha sistem integrasi tanaman-ternak, dimana petani tidak hanya berperan
8
sebagai produsen, tetapi juga sebagai konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa petani dapat berlaku ganda dengan tujuan efisiensi usaha, yakni sebagai produsen akan menghasilkan output optimal dengan pemberian input yang minimal. Bagi para penentu kebijakan dalam membentuk suatu program pemerintah, pengaruh daripada tolok ukur variabel yang bersifat sementara dan mutlak keberadaannya harus menjadi bahan pertimbangan yang serius. Respon terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat menjadi bahan masukan maupun rekomendasi bagi para penentu kebijakan dalam merencanakan suatu program pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak. Dengan menyadari bahwa (1) ke depan petani harus lebih mandiri, (2) lapangan kerja di perdesaan sangat terbatas, (3) kepemilikan lahan sempit, dan (4) pendapatan petani (padi) tidak mencukupi untuk menopang kebutuhan keluarga, maka pengembangan usaha sistem integrasi tanaman-ternak merupakan alternatif yang cukup menjanjikan.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan kasus di tiga propinsi (DIY, Jawa Tengah dan
Jawa Timur) pada lima kabupaten, yakni Sleman dan Bantul (DIY), Sragen dan Grobogan (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur). Responden merupakan petani yang tergabung dalam penerapan program sistem integrasi tanaman (padi) ternak (sapi). Responden juga dilakukan pada petani yang tidak mengikuti program inetgrasi untuk mengetahui perbedaan yang terjadi di antara kedua kelompok petani tersebut. Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis deskriptif, analisis regresi non linier, dan analisis ekonometrika melalui model persamaan simultan. Analisis
9
secara deskriptif dilakukan yang dikelompokkan berdasarkan kabupaten bagi petani peserta dan bukan peserta program sistem integrasi tanaman-ternak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi ekonomi rumahtangga petani pada usaha sistem integrasi tanaman-ternak, khususnya dalam produksi, alokasi penggunaan tenaga kerja, struktur pendapatan dan distribusi pengeluaran. Analisis regresi non linier ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melaksanakan program integrasi, sedangkan model persamaan simultan dilakukan untuk menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani. Data yang digunakan adalah data primer hasil wawancara dengan petani contoh dengan daftar pertanyaan yang disusun guna menjawab penelitian ini. Model ekonomi rumahtangga yang dibangun pada penelitian ini menggunakan data agregat dari seluruh kabupaten. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak mendalamnya informasi yang dikumpulkan pada usahatani non integrasi (selain padi dan sapi), padahal dalam kenyataannya alokasi sumberdaya yang dimiliki petani tidak hanya pada usaha padi dan sapi. Penelitian ini dapat mengkuantifikasi produksi usahatani jagung, kacang tanah dan kedelai yang dilakukan petani pada musim tanam ketiga, namun biaya sarana produksi tidak dilakukan, sehingga pendapatan dari usahatani ini atas biaya tenaga kerja luar keluarga yang disewa. Hal ini disebabkan karena peneliti pada awalnya hanya ingin fokus pada usahatani integrasi, sehingga tidak mengakomodir pertanyaan-pertanyaan yang tidak terkait dalam usahatani non integrasi. Dalam perjalanannya, peubah-peubah yang terbentuk dalam model memerlukan informasi tersebut.
10
Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk usaha kompos tidak dapat dikuantifikasikan dengan baik, sehingga peubah ini tidak diakomodir dalam model. Hal ini disebabkan karena penggunaan tenaga kerja keluarga tidak dibedakan secara spesifik antara usaha sapi dan usaha kompos, sehingga penggunaan tenaga kerja untuk kompos sudah termasuk didalam penggunaan tenaga kerja dalam keluarga untuk usaha sapi. Penelitian ini tidak mengkaji aspek kelembagaan petani pada sistem integrasi tanaman-ternak, dimana hal ini diduga turut mempengaruhi terhadap perilaku ekonomi (keputusan) petani dalam menerapkan program tersebut.