I. PENDAHULUAN Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menyadari
adanya
kesenjangan
gender
dalam
pengelolaan dan penggunaan anggaran publik. Hal ini
terlihat
dari
munculnya
Instruksi
Presiden
(Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 dan Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, dirumuskannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM)
menetapkan
tahun
tiga
2010-2014
strategi
yang
pengarusutamaan
pembangunan nasional yaitu Pemerintahan yang Baik,
Pembangunan
Pengarusutamaan
yang
Gender.
Berkelanjutan Upaya
konkrit
dan dari
Inpres dan RPJMN inilah yang disebut anggaran responsif gender (ARG). PUG di daerah merupakan sebuah strategi untuk mengintegrasikan integral
dari
pelaksanaan,
gender
menjadi
perencanaan,
pemantauan,
dan
satu
dimensi
penyusunan, evaluasi
atas
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah.
ARG
mengakomodasi
kepentingan
perempuan dan laki-laki untuk memperoleh akses, manfaat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan
mengontrol
sumber
daya
secara
merata
(Perempuan Bergerak, 2011).
1
Pemerintah
Daerah(Pemda)
berperan
sebagai
fasilitator dalam mewujudkan hal tersebut. Teristimewa pada era otonomi saat ini yang memberikan ruang bagi Pemda
untuk
mengelola
dan
meningkatkan
kesejahteraan serta keadilan bagi rakyatnya. Telah ada berbagai
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur jalannya ARG, seperti Inpres Nomor 9 Tahun 2000,
Permendagri
Nomor
15
Tahun
2008
dan
Permendagri Nomor 67 Tahun 2011, namun belum dapat mewujudkan kesetaraan gender di masyarakat dan alokasi APBD masih netral gender. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nordiana (2009), Edralin (2011), dan Kestari (2011). Pada penelitian-penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan output yakni dengan cara menganalisis dokumen anggaran beberapa dinas dan dokumen pendukung lainnya kemudian menarik kesimpulan. Sayangnya,
pendekatan
ini
belum
memberikan
jawaban yang pasti karena hanya melihat pada output dari serangkaian proses penyusunan anggaran dan menyimpulkan apakah anggaran telah responsif gender atau belum. Peneliti menganalisis APBD dan kebijakankebijakan
pemerintah,
mewawancarai
pihak-pihak
kunci kemudian mendeskripsikan dan menyimpulkan bahwa
anggaran
Penelitian
Pemda
Edralin
belum
(2011)
responsif
telah
gender.
menggunakan
Community Based Monitoing System (CBMS) yang 2
merupakan salah satu fasilitas pendukung dalam implementasi penganggaran responsif gender namun ternyata
hasil
penelitian
menyatakan
bahwa
anggaran pemerintah belum responsif gender. Selain dari pendekatan output seperti pada tiga penelitian di atas, Rubin dan Bartle (2005) juga pernah mengkaji ARG dari pendekatan input yakni terkait kebutuhan-kebutuhan yang harus tersedia dalam proses penganggaran responsif gender. Kajian ini kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam praktik penganggaran pemerintahan. Berdasarkan pendekatan input dan output di atas tampak bahwa pemerintah dalam negeri maupun luar negeri telah menyelenggarakan penganggaran responsif gender (Rubin
dan
Bartle,
penyelenggaraan
2005). tersebut
Namun
sayangnya
belum
dapat
menghasilkan anggaran yang responsif gender. Untuk itu, pada penelitian kali ini peneliti melakukan pemotretan terhadap proses penyusunan ARG
untuk
mengkaji
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja penyusunan ARG. Dengan pemotretan terhadap proses ini, sekiranya dapat terlihat alasan mengapa suatu anggaran belum mencapai kinerja yang responsif gender. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk melihat bagaimana peran para penyusun anggaran dalam upaya mencapai kinerja ARG yang baik. Peran 3
penyusun anggaran ini sangat menentukan kualitas anggaran yang dihasilkan. Peran yang benar dan sesuai aturan dapat menghasilkan anggaran yang benar juga, demikian
sebaliknya
menghasilkan
peran
anggaran
yang
yang
salah
keliru
dan
dapat tidak
mencapai tujuan akhir seperti kesetaraan gender. Benar dan tidaknya peran ini dapat bergantung pada kuatnya komitmen para penyusun anggaran. Komitmen diartikan sebagai kuatnya keinginan dan peran seseorang untuk bekerja keras demi kesuksesan organisasi (Luthans, 2005). Dalam konsep ARG ini, komitmen juga dapat diartikan sebagai seberapa besar pemerintah
memahami
menerapkannya
demi
pentingnya kesetaraan
ARG
dan
gender
dan
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Seperti halnya yang dikemukakan Budlender (2006) bahwa salah satu nilai tambah dari analisis ARG adalah
dapat
pemerintah
menggabungkan
dengan
unsur
pemberdayaan
komitmen perempuan.
Komitmen ini dapat terlihat selama proses penyusunan anggaran karena di sinilah pemerintah terlibat dalam aktivitas pengambilan keputusan dan pengalokasian anggaran. Selain komitmen, tentu terdapat faktorfaktor lainnya yang mempengaruhi kinerja penyusunan ARG dan pendekatan proses dapat mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
4
Beberapa literatur (Klasen, 1999; Hewitt and Mukhopadhyay,
2002;
Edralin,
2011)
mengemukakan bahwa kesenjangan gender dalam anggaran publik berpengaruh pada pembangunan berkelanjutan
dan
Untuk
negara
itu,
kesejahtaraan perlu
masyarakat.
mengalokasikan
anggarannya secara responsif gender karena salah satu alasan ketidakefisienan dalam anggaran publik adalah
karena
adanya
diskriminasi
gender
(Rakauskiene dan Chlivickas, 2007). Peneliti
memilih
pemerintah
kota
(Pemkot)
Salatiga sebagai objek penelitian karena seluruh SKPD
di
penyusunan
pemkot
Salatiga
ARG.Hal
ini
telah
menerapkan
tampak
melalui
pelaksanaan pelatihan penyusunan ARG terhadap 14 SKPD di tahun 2012. Pelatihan ini menghasilkan 28
Gender
Analysis
Pathway
(GAP),
Gender
Budgeting Statement (GBS)dan Kerangka Acuan Kerja (KAK). GAP, GBS dan KAK ini dimasukkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) tahun 2013. Selanjutnya tahun 2013, dilakukan pula pelatihan penyusunan ARG terhadap 12 SKPD. Sama seperti pada awalnya, pelatihan ini dilakukan melalui penyusunan GAP, GBS dan KAK terlebih dahulu. Pelatihan
sekaligus
proses
penyusunan
ini
menghasilkan berbagai GAP, GBS dan KAK dari
5
setiap SKPD/unit, dan dimasukkan dalam RKA tahun berikutnya. GAP adalah salah satu alat analisis gender yang digunakan untuk mereview kebijakan, program dan kegiatan. Analisis gender dilakukan secara sekuensial mulai dari tahap identifikasi tujuan, analisis situasi, penentuan rincian kegiatan, hingga monitoring dan evaluasi. Sementara GBS adalah dokumen yang berisi pernyataan bahwa sebuah program dan kegiatan telah responsif gender. GBS juga memberikan informasi jumlah biaya yang telah dialokasikan pada kegiatan tersebut untuk menangani permasalahan kesenjangan gender. Dokumen analisis gender yang terakhir adalah KAK atau Term of Reference (TOR) merupakan dokumen yang
menginformasikan
gambaran
umum
dan
penjelasan mengenai keluaran kegiatan yang akan dicapai sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD/unit (PPRG Bappeda Kota Salatiga, 2013). Penelitian ini bertujuan mengkaji bukti empiris yang mempengaruhi kinerja penyusunan ARG. Persoalan penelitian yang diangkat adalah: Pertama, apakah komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja penyusunan ARG? Kedua, apakah tekanan eksternal dan ketidakpastian lingkungan memoderasi hubungan antara
komitmen
organisasi
dengan
kinerja
penyusunan ARG. Peneliti menggunakan perspektif teori kelembagaan (institutional theory) sebagai dasar 6
untuk menginterpretasikan hasil penelitian empiris. Dengan kata lain, untuk mengetahui sejauh mana kinerja penyusunan ARG didorong oleh adanya fenomena normatif)
isomorfisme hingga
responsif
(koersif,
menghasilkan
gender.
Teori
mimetik,
dan
anggaran
yang
kelembagaan
yang
digunakan merupakan teori kelembagaan dalam sosiologi. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan teori terutama di bidang akuntansi sektor publik dan memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyusunan ARG yang dikaji dari sudut pandang teori kelembagaan. Selain itu, memberikan
masukan
dan
gambaran
bagi
pemerintah kota Salatiga guna memperbaiki dan meningkatkan kinerja penyusunan anggarannya.
7