I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan iklim (climate change) di dunia ini tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming), baik langsung maupun tidak langsung dan akan berakibat pada berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim adalah unsur utama sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Las, 2007). Sektor pertanian terutama sektor tanaman pangan merupakan sektor yang paling berdampak dengan adanya perubahan iklim. Menurut Salinger, (2005) terdapat tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global yang berdampak pada sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan, (2) meningkatnya kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), dan (3) peningkatan suhu udara. Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal musim tanam dan periode masa tanam. Menurut Runtunuwu dan Syahbuddin (2007) penurunan curah hujan telah menurunkan potensi satu periode masa tanam padi. Dampak perubahan pola hujan diantaranya mempengaruhi waktu dan musim tanam, pola tanam, degradasi lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas areal tanam dan areal panen, serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman hayati.
Perubahan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan transpirasi yang pada akhirnya menurunkan produktivitas tanaman pangan, meningkatkan konsumsi air, mempercepat pematangan buah/biji, menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama penyakit tanaman (Las, 2007). Menurut Las, (2007) dampak paling nyata adalah penciutan lahan pertanian di pesisir pantai (Jawa, Bali, Sumatra Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan), kerusakan infrastruktur pertanian, dan peningkatan salinitas yang dapat merusak tanaman. Pengaruh iklim pada sektor pertanian antara lain terjadi melalui dampak kekeringan, kebasahan atau banjir, suhu tinggi, suhu rendah atau frost, angin kencang dan kelembaban tinggi.
Risiko pertanian akibat iklim tersebut selain
menyebabkan rendahnya hasil baik secara kuantitas maupun kualitas, juga berakibat ketidakstabilan pertanian secara nasional. Faktor penyebab risiko pertanian antara lain fluktuasi dan penyimpangan iklim, ketidaktepatan peramalan iklim dan perencanaan usahatani serta pemilihan komoditas/varietas yang kurang sesuai dengan kondisi iklim. Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena pangan adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan
2
pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan nasional. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan kendala tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan upaya strategis lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama yang berkaitan dengan fenomena alam dan perubahan iklim (Nurdin, 2012). Perubahan iklim di samping berdampak pada sektor pertanian khususnya sektor tanaman pangan, akan berdampak pula terhadap ketahanan pangan. Akibat menurunnya produksi pertanian karena perubahan iklim, maka akan berdampak pada menurunnya persediaan bahan makanan, serta menurunkan akses masyarakat terhadap pangan yang mengakibatkan menurunnya tingkat ketahanan pangan, karena kedua hal tersebut merupakan indikator ketahanan pangan. Laboratorium Iklim di Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa selama kurun waktu 1981-1990, setiap kabupaten di Indonesia setiap tahunnya mengalami penurunan produksi padi 100.000 ton dan pada kurun waktu 1992-2000, jumlah penurunan ini meningkat menjadi 300.000 ton (UNDP Indonesia, 2007). Perubahan iklim akan bertindak sebagai pengganda dari ancaman yang ada terhadap ketahanan pangan. Pada tahun 2050, risiko kelaparan diproyeksikan meningkat sebesar 10 - 20%, dan anak malnutrisi diantisipasi akan 20% lebih tinggi dibandingkan dengan tidak adanya skenario perubah iklim. Kunci mencapai
3
ketahanan pangan di bawah perubahan iklim memerlukan substansial peningkatan produksi pangan pada satu sisi, serta peningkatan akses untuk makanan yang cukup dan bergizi dan kapasitas untuk mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim di sisi lain (WFP, FAO, IFRC, dan OXFAI, 2009) Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi untuk antisipasi dan penyiapan adaptasi dalam rangka menghadapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim. Di samping itu perlu adanya persepsi yang sama tentang perubahan iklim diantara berbagai kalangan seperti ilmuwan/peneliti, dengan pemangku kebijakan, penyuluh, dan petani (Surmaini et al., 2011). Menurut Tanner dan Mitchell (2008) adaptasi adalah salah satu dari opsi kebijakan berkenaan dengan perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim berhubungan dengan pengaturan terhadap praktek, proses dan sistem untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim pada saat sekarang dan masa depan, serta mendayagunakan peluang dan kesempatan yang tersedia untuk memaksimalkan manfaat. Teori adaptasi mengemukakan bahwa pada dasarnya sistem sosial, ekonomi, ekologi, dan kelembagaan, maupun individu dapat dan berada dalam proses beradaptasi dengan lingkungan yang sedang berubah. Keberlanjutan dari suatu adaptasi tergantung pada kapasitas adaptif, pengetahuan, keterampilan, kemantapan
4
kehidupan, sumberdaya, dan kelembagaan yang dapat diakses dalam rangka mempraktikkan strategi adaptasi yang efektif (Adger et al., 2003; Pittock dan Jones, 2009). Kapasitas adaptif dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain; pengetahuan tentang perubahan iklim, aset, akses terhadap teknologi tepat guna, kelembagaan, kebijakan dan persepsi. Persepsi terhadap lingkungan merupakan salah satu elemen kunci yang mempengaruhi adopsi strategi adaptasi. Tindakan atau aksi yang mengikuti persepsi dihela oleh proses yang berbeda, misalnya persepsi risiko perubahan
iklim,
kepemilikan
sumberdaya,
nilai-nilai
budaya,
lingkungan
kelembagaan dan politis. Seseorang yang mempersepsikan bahwa perubahan iklim telah atau sedang terjadi, tidak selalu menjamin bahwa orang bersangkutan akan memberikan respon adaptasi yang efektif (Weber, 2010). Cara alternatif untuk mengetahui bagaimana iklim sedang berubah adalah dengan menanyakannya kepada petani (Adiyoga et al., 2012). Petani sebenarnya merupakan pemangku kepentingan utama dalam debat tentang perubahan iklim. Namun demikian, pengetahuan petani
mengenai perubahan iklim masih sangat
terbatas. Agar pengambilan keputusan berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibuat berdasarkan informasi yang lengkap, petani membutuhkan informasi tentang: (a) konsekuensi yang mungkin terjadi akibat perubahan iklim, (b) persepsi masyarakat tani tentang konsekuensi tersebut, (c) opsi adaptasi perubahan iklim yang tersedia, serta (d) manfaat memperlambat akselerasi perubahan iklim (Olorunfemi dalam Adiyoga et al., 2012). Kepedulian dan persepsi tentang suatu masalah, misalnya
5
perubahan iklim, akan membentuk aksi atau inaksi terhadap masalah tersebut (Nzeadibe and Ajaero, 2010). Dengan demikian, pemahaman terhadap persepsi petani tentang perubahan iklim sangat penting karena persepsi tersebut membentuk kesiapan petani untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian teknik budidayanya (Speranza, 2010). Dengan adanya persepsi yang baik terhadap perubahan iklim, maka petani akan lebih berhati-hati dalam hal berusahatani padi maupun mempertahankan ketahanan pangan rumah tangganya. Dalam rangka mengantisipasi dampak perubahan iklim, maka diperlukan adanya strategi antisipasi yaitu mitigasi dan adaptasi. Salah satu teknologi mitigasi dan adaptasi yang dilakukan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim adalah penerapan pertanian organik (FAO, 2010). Pertanian organik memancarkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang jauh lebih rendah dan cepat, terjangkau dan efektif mengaramkan karbon ke dalam tanah. Pertanian organik mengurangi gas rumah kaca terutama nitro oksida, karena tidak menggunakan pupuk nitrogen kimia dan kehilangan nutrisi dapat diminimalkan. Selain itu, pertanian organik membuat lahan dan manusia lebih tahan terhadap perubahan iklim, terutama karena airnya efisien, tahan terhadap cuaca ekstrim dan risiko kegagalan panen yang lebih rendah. (Purwati, 2010). Pertanian organik mendapat tempat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (KTT Iklim PBB) di Kopenhagen lalu dengan Perundingan Meja Bundar tentang “Pertanian Organik dan Perubahan Iklim”. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
6
peran pertanian organik dalam memperlambat perubahan iklim serta mendorong, mendukung, dan mempromosikan penelitian tentang pertanian organik dan perubahan iklim. Pertanian organik memiliki potensi besar untuk perubahan iklim, karena kemampuannya yang tinggi dalam penyerapan karbon. Di samping itu, menawarkan potensi besar dalam hal strategi adaptasi terhadap perubahan iklim (Rinda, 2012). Pertanian organik mencegah perubahan iklim, karena pertanian organik mengurangi gas rumah kaca, terutama nitro oksida. Pertanian organik juga menyimpan karbon didalam tanah biomassa tanaman dengan membangun bahan organik. Pertanian organik meminimalkan konsumsi energi hingga 30-70% per unit tanah (Purwati, 2010). Hasil penelitian Soil Associator yang dipulikasikan pada 26 November 2011 menemukan bahwa rata-rata pertanian organik memproduksi 26 persen lebih tinggi tingkat karbon tanah dibandingkan pertanian non-organik di Eropa Utara dan 20 persen lebih tinggi untuk semua studi di Negara-negara Eropa, Amerika Utara dan Australia. (Rinda, 2012). Di Indonesia munculnya pertanian organik didorong oleh kesadaran manusia untuk mengkonsumsi produk pertanian bebas residu pestisida dan untuk menjaga kelestarian lingkungan (Andoko, 2004). Pertanian organik semakin menemukan momentumnya seiring munculnya krisis ekonomi tahun 1997 yang melambungkan harga saprotan (sarana produksi pertanian) seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Harga saprotan yang mahal tentu saja menyebabkan tingkat keuntungan menurun.
7
Hal ini menyebabkan petani berpaling pada pertanian organik dengan hanya memanfaatkan bahan-bahan di sekitarnya. Petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia yang mahal, melainkan hanya menggunakan pupuk kandang atau kompos. Pupuk kandang hanya diambil dari limbah peternakan seperti peternakan sapi atau ayam, sedangkan kompos dapat dibuat sendiri dengan teknik yang sangat mudah dan sederhana. Sementara untuk memberantas hama, petani hanya menggunakan ramuan alami yang berasal dari bahan-bahan tanaman yang ada di sekitarnya dengan demikian dapat menurunkan biaya produksi. Menurut Andoko (2004) biaya operasional untuk membudidayakan padi organik hanya 72% dari biaya budidaya padi non-organik. Hasil penelitian di beberapa daerah mengungkapkan bahwa, usahatani padi organik memiliki kuntungan yang lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non-organik . Keunggulan utama padi organik dibanding padi non-organik adalah relatif aman untuk dikonsumsi, selain itu, rasa nasi dari beras organik lebih empuk dan pulen. Keunggulan padi organik lainnya adalah warna dan daya simpannya lebih baik dibanding padi non-organik, sesudah ditanak beras organik akan menjadi nasi yang warnanya lebih putih dibanding beras non-organik. Nasi dari padi organik pun dapat bertahan selama 24 jam, sementara dari beras non-organik mulai basi setelah 12 jam. Dari berbagai keunggulan, dapat dipastikan bahwa nilai ekonomis padi organik menjadi lebih tinggi dibanding padi non-organik (Andoko, 2004).
8
Menurut Sutanto (2002), pertanian organik belum dapat diterapkan secara murni mengingat cukup banyak kendala yang dihadapi. Pada tahap awal penerapan pertanian organik masih perlu dilengkapi pupuk kimia, terutama pada tanah yang miskin hara. Pupuk kimia masih sangat diperlukan agar takaran pupuk organik tidak terlalu banyak yang akan menyulitkan dalam pengelolaannya. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pupuk organik mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia: a.
Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan.
b.
Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai.
c.
Menambah daya ikat air pada tanah.
d.
Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah.
e.
Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara.
f.
Membantu proses pelapukan bahan mineral.
g.
Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikrobia. Provinsi Lampung sebagai salah satu provinsi yang mengandalkan
perekonomian masyarakatnya melalui sektor pertanian dengan luas lahan pertanian yang tidak sedikit, kondisi agroklimat dan agroekologi mendukung untuk mengembangkan komoditi pangan terutama padi, sehingga memiliki peluang yang cukup besar untuk budidaya padi organik. Provinsi Lampung juga tidak terlepas dari adanya pengaruh perubahan iklim global. Oleh karena itu dalam rangka antisipasi dan
9
adaptasi terhadap perubahan iklim, maka sejak tahun 2002 sudah dimulai adanya penanaman padi organik tetapi masih semi organik. Hal ini didukung juga oleh Gerakan Pertanian Organik yang dicanangkan Menteri Pertanian sejak tahun 2001 dengan moto ”Go Organik 2010” sebagai antisipasi dalam menghadapi perubahan iklim. Pengembangan padi organik di Provinsi Lampung terdapat di Kabupaten Tanggamus tepatnya di Kecamatan Pematang Sawa, Pekon Tampang Tua. Petani di Pekon Tampang Tua tersebut sudah sejak dulu mengusahakan padi secara organik, karena wilayahnya terisolir dan terletak di seberang lautan, sehingga menyulitkan untuk mengakses sarana produksi seperi pupuk kimia, karena transportasi satusatunya hanya menggunakan kapal laut. Oleh karena itu, petani di wilayah Pekon Tampang Tua telah terbiasa menggunakan bahan organik dari produksi lokal untuk pemupukan dan pemberantasan hama. Kondisi ini sangat cocok untuk dikembangkan pertanian padi organik, terlebih lagi memiliki sumber mata air dari pegunungan. Oleh karena itu sejak tahun 2009 wilayah ini dijadikan sebagai proyek pengembangan padi organik Provinsi Lampung. Pembinaan budidaya padi organik dilakukan dengan bekerjasama antara Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung dengan WWF Indonesia dan Lembaga Pertanian Alternatif Sumatra Utara (PANSUS), yang dimulai sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. Luas lahan untuk tanaman padi organik di Pekon Tampang Tua baru mencapai 48 ha, namun yang telah mendapatkan sertifikasi sebanyak 30 ha. Produktivitas padi
10
organik yang dicapai tidak berbeda dengan produktivitas padi non organik (konvensional) berkisar antara 6-7 ton/ha pada musim rendeng, sedangkan pada musim gado berkisar antara 4-5 ton/ha. Hasil pembinaan usahatani padi organik di Pekon Tampang Tua tersebut diperolehnya sertifikat beras organik tahun 2012 dari Indoneian Organic Farming Certification (INOFICE). Kabupaten Tanggamus mengalami perubahan iklim dari tipe iklim D1 berdasarkan data curah hujan tahun 1976-1990 menjadi tipe iklim D2 berdasarkan data curah hujan tahun 1991-2010, yang menunjukkan telah terjadi perubahan tipe iklim kearah tipe iklim yang lebih panas menurut tipe iklim Oldeman. 637
700
409
500
2011
62
100 137
2012
9
65 63
65 40
62 25
263
261
238 74
103
147 64
100
91 96
200
202
300
241
400
135
Curah Hujan (mm)
600
0 JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012 Gambar 1.1. Grafik curah hujan tahun 2011 dan 2012 di Kecamatan Pematang Sawa Kabupaten Tanggamus
11
Berdasarkan data curah hujan tahun 2011 dan 2012 yang tersaji pada Grafik 1, Tahun 2012 Kabupaten Tanggamus khususnya di Kecamatan Pematang Sawa terjadi kekeringan pada musim tanam kemarau (gadu), yang menyebabkan penurunan produksi sampai pada gagal panen. Hal ini ditunjukkan dengan adanya data rata-rata curah hujan antara bulan Juli sampai September yang sangat rendah dan jauh di bawah curah hujan normal (Grafik 1). Kondisi ini sesuai hasil survei bahwa seluruh masyarakat di Kecamatan Pematang Sawa mengemukan telah terjadi kekeringan pada musim gadu tahun 2012. Adanya kegagalan panen, akibat kekeringan yang melanda daerah tersebut akan menyebabkan menurunya produksi, ketersediaan pangan dan akses masyarakat terhadap pangan. Oleh karena itu penelitian mengenai strategi adaptasi perubahan iklim, dan keterkaitannya dengan produktivitas dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi penting untuk dikaji. 1.2. Rumusan Masalah Sektor pertanian khususnya sektor tanaman pangan merupakan sektor yang paling terkena dampak dengan adanya perubahan iklim. Sektor tanaman pangan khususnya padi memperoleh dampak yang paling serius akibat perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat berupa perubahan pola hujan, peningkatan kejadian iklim ekstrem (banjir/kekeringan), peningkatan suhu udara, dan peningkatan permukaan air laut, yang akhirnya berdampak pada periode waktu curah hujan yang pendek, waktu kemarau yang panjang, bergesernya musim tanam, berubahnya pola tanam, kekurangan air/kekeringan, adanya banjir, timbulnya hama dan penyakit 12
tanaman,
akhirnya akan menurunkan produktivitas dan mutu produksi yang
dihasilkan petani, serta dapat mengakibatkan gagal panen. Dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim, diperlukan adanya teknologi antisipasi yaitu mitigasi dan adaptasi. Salah satu teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam bidang pertanian adalah penerapan pertanian organik. Dibandingkan pertanian non organik, pertanian organik membuat lahan dan manusia lebih tahan terhadap perubahan iklim, terutama karena airnya efisien, dan tahan terhadap cuaca ekstrim. Di sampaing itu, pertanian organik juga menyimpan karbon di dalam tanah dengan membangun bahan organik dan rata-rata pertanian organik memproduksi 26 persen lebih tinggi tingkat karbon tanah dibandingkan pertanian non-organik di Eropa Utara (Rinda, 2012). Petani sebagai pelaku utama dalam berusahatani harus memiliki pengetahuan tentang perubahan iklim dalam artian bagaimana petani mempersepsikan perubahan iklim tersebut. Karena persepsi tentang perubahan iklim, akan membentuk aksi atau inaksi terhadap masalah perubahan iklim. Di samping itu pemahaman terhadap persepsi petani tentang perubahan iklim sangat penting karena persepsi tersebut membentuk kesiapan petani untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian teknik budidayanya (Speranza, 2010). Adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim dalam usahatani antara lain adalah adanya penyesuaian terhadap varietas yang ditanam, pola tanam yang diterapkan, waktu tanam yang tepat, menerapkan manajemen/ pengelolaan air, dan menggunakan pupuk organik/kompos.
13
Strategi yang dapat dilakukan dalam ketahanan pangan akibat perubahan iklim antara lain meliputi: menyediakan stock pangan, mengurangi frekuensi makan, melakukan diversifikasi tanaman, ternak dan ikan, melakukan diversifikasi pendapatan (on-farm dan off-farm), dan pemberdayaan anggota rumah tangga dalam memperoleh tambahan pendapatan. Apabila petani telah memiliki persepsi yang baik tentang perubahan iklim dan mampu melakukan strategi adaptasi perubahan iklim, maka petani akan mampu mempertahankan produksi padi dan ketahanan pangan rumah tangganya, sehingga tidak terjadi kekurangan pangan. Dalam rangka menghadapi perubahan iklim, petani dituntut tidak hanya mampu mengalokasikan faktor-faktor produksi yang digunakan, tetapi juga mampu menggunakan faktor-faktor produksi seperti varietas, pupuk, pestisida, yang sesuai dengan perubahan iklim yanga ada, sehingga tujuan usahatani yaitu peningkatan produktivitas dan pendapatan dapat tercapai. Oleh karena itu, alokasi penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dan efektif, serta mampu beradaptasi dengan perubahan iklim sangat menentukan tercapainya produksi yang optimal, dan peningkatan pendapatan,sehingga pada akhirnya ketahanan pangan dapat tercapai. Di sisi lain, setiap rumah tangga atau penduduk memiliki kerentanan yang berbeda dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian-penyesuaian atau adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, agar rumah tangga dapat bertahan menghadapi dampak perubahan iklim. Dengan
14
demikian, perlu adanya kajian tentang adaptasi dan antisipasi perubahan iklim dan dampaknya pada produktivitas dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah persepsi dan strategi adaptasi petani padi organik dan non organik terhadap perubahan iklim? 2. Bagaimanakah tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga petani padi organik dan non organik terhadap perubahan iklim? 3. Bagaimanakah pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap efisiensi teknis usahatani padi organik dan non organik? 4. Bagaimanakah pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengukur strategi adaptasi perubahan iklim dan keterkaitannya dengan produktivitas dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik di Kabupaten Tanggamus. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini sebagai berikut.
15
1. Mengetahui persepsi dan strategi adaptasi perubahan iklim petani padi organik dan non organik. 2. Mengukur tingkat kerentanan penghidupan rumah tangga petani padi organik dan non organik terhadap perubahan iklim. 3. Mengukur pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap efisiensi teknis usahatani padi organik dan non organik. 4. Mengukur pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik.
1.4. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan berguna: 1. Sebagai bahan informasi yang penting bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan usahatani padi sebagai antisispasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta pengambilan kebijakan dalam bidang ketahanan pangan yang berkaitan dengan perubahan iklim di Provinsi Lampung. 2. Bagi para peneliti lainnya dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
1.5. Hal Baru dalam Penelitian Penelitian tentang usahatani padi organik maupun non-organik sawah tadah hujan yang berkaitan dengan strategi adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan
16
kaitannya dengan produktivitas padi dan ketahanan pangan di Kabupaten Tanggamus dilakukan dengan menggunakan data primer. Penelitian tentang perubahan iklim khususnya yang berkaitan dengan sektor pertanian sudah banyak dilakukan diantaranya: Adiyoga et al. (2012) meneliti tentang persepsi petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim: studi kasus sayuran dataran tinggi dan rendah di Sulawesi Selatan. Menganalisis pengaruh faktor karakteristik petani terhadap keputusan petani menerapkan atau tidak menerapkan opsi-opsi strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi. Gbetibouo (2009) mengkaji pemahaman persepsi dan adaptasi petani tentang perubahan iklim dan variabilitasnya: kasus di Aliran Sungai Limpopo, Afrika Selatan. Menganalisis pengaruh variabel ukuran rumah tangga, pengalaman berusahatani, kekayaan, akses terhadap kredit, akses ke sumber air, status kepemilikan lahan, aktivitas di luar pertanian. dan frekuensi penyuluhan terhadap kapasistas adaptif petani terhadap perubahan iklim dengan menggunakan analisis model Probit Heckman dan Model Multinomial Logit (MNL). Maddison (2007) meneliti persepsi dan adaptasi penduduk terhadap perubahan dan variabilitas iklim di Afrika, dengan metode survei. Pada penelitian ini mengkaji strategi petani terhadap perubahan iklim dan kaitannya dengan produktivitas dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi organik dan non organik menggunakan data cross section atau data primer dengan aspek kajian yaitu: (1) Mengukur persepsi dan strategi adaptasi petani padi organik
17
dan non organik terhadap perubahan iklim secara deskriptif; (2) Mengukur produktivitas padi organik dan non organik secara deskriptif akibat perubahan iklim (kekeringan); (3) Mengkaji pengaruh strategi adaptasi perubahan iklim yang diterapkan petani dalam berusahatani padi terhadap efisiensi teknis usahatani padi organik dan non organik, dengan menggunakan fungsi produksi stokhastik frontier yang diestimasi dengan Maximum Likelihood Estimation (MLE); dan (4) Menganalisis antisipasi petani terhadap perubahan iklim dengan menganalisis error term dari hasil analisis frontier yaitu error yang dapat diantisipasi oleh petani (u) dan membandingkan nilai error u antar padi organik dan non organik dengan uji beda t tes yang masih jarang dikaji dalam penelitian ekonomi pertanian. Penelitian kerentanan penghidupan terhadap dampak perubahan iklim sudah banyak dilakukan, diantaranya Hahn et al. (2009) meneliti kerentanan rumah tangga di Mozambique dengan menggunakan Livelihood Vulnerability Index (LVI) berdasarkan indikator Natural disaster and climate variability, social demographic profile, livelihood strategies, social networks, health, food dan water di dua kabupaten yaitu Moma dan Mabote. Puhlin dan Tapia (2006), mengkaji kerentanan penduduk terhadap perubahan iklim di Pabtabangan-Carranglan Watershed Philippina, menggunkan indikator food, water, livelihood, health, dan namely dan menguji pengaruh variabel demografi, socioeconomic, geografi dan jumlah coping mechanism terhadap kerentanan rumah tangga terhadap perubahan iklim dan iklim ektrem dengan analisis korelasi Spearmen dan regresi.
18
Pada penelitian terdahulu, penelitian terkait dengan kerentanan pengidupan dikaji pada masyarakat umum, namun pada penelitian ini, kajian kerentanan dilakukan pada kondisi yang lebih spesifik yaitu pada rumah tangga petani padi organik dan non organik yang menurut penulis belum ditemukan. Pengukuran kerentanan pada penelitian ini menggunakan analisis livelihood vulnerability index (LVI) dengan indikator: bencana alam dan variabilitas iklim, pertanian, air, pangan, konsumsi, pendidikan, dan pendapatan.
Pada penelitian ini juga digunakan uji
statistik untuk menganalisis perbedaan nilai dari sub-indikator kerentanan yang digunakan antara petani padi organik dan non organik, yang pada penelitian Hahn et al. (2009) tidak dilakukan sehingga tidak dapat diambil kesimpulan secara statistik. Penelitian mengenai ketahanan pangan pada komoditas padi sudah banyak dilakukan diantaranya: Purwantini et al. (2000) dan Rachman et al. (2005) meneliti derajat ketahanan pangan dengan menggunakan indikator dari Jonnson and Toole (Maxweell, 2000), yaitu menggunakan klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi dengan menggunakan data dari Susenas. Sementara Suharjo et al. (1986); Pakpahan et al. (1993); dan Ilham dan Sinaga (2007) meneliti ketahanan pangan dengan menggunkan indikator pangsa pengeluaran pangan dengan data time series. Selanjutnya Musyafak (2012) meneliti ketahanan pangan dengan menggunakan
indikator
kecukupan
ketersediaan
pangan,
frekuensi
makan,
penguasaan lahan, cara memperoleh bahan makanan, akses terhadap pangan, stabilitas ketersediaan pangan, dan kualitas/keamanan pangan, yang memenuhi 4
19
komponen ketahanan pangan menurut FAO (1996) dan UU RI No 7 tahun 1996 tentang pangan, serta menganalisis pengaruh variabel harga pangan yang diproduksi sendiri, harga pangan yang dibeli, karakteristik petani, luas lahan, dan etnis dengan analisis ordinal logit. Penelitian ini mengukur derajat ketahanan pangan menggunakan dua indikator yaitu; (1) menggunakan indikator dari Jonnson and Toole (Maxweell, 2000), yaitu klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan konsumsi energi, dan (2) menggunakan indikator dari FAO (1996) dan UU RI No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dengan data primer ( cross section). Pada penelitian ini selain menggunakan variabel harga pangan yang diproduksi sendiri dan harga pangan yang dibeli, luas lahan dan karakteristik petani juga memasukkan variabel strategi adaptasi perubahan iklim dalam berusahatani padi dan variabel strategi adaptasi perubahan iklim dalam ketahanan pangan sebagai variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga, yang menurut pengetahuan penulis masih jarang
digunakan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kebaruan dari segi topik, variabel, analisis, dan lokasi yang digunakan.
20