BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Kota-kota di Asia telah mengalami jumlah kejadian banjir terbesar di seluruh dunia akibat perubahan iklim. International Energy Agency (IEA) mencatat telah terjadi peningkatan emisi karbon sebesar 5% sejak tahun 2008 hingga tahun 2010 yang sebagian besar dihasilkan oleh aktifitas manusia. Menurut laporan International Energy Agency (IEA) emisi karbon dunia pada tahun 2010 telah mencapai 30.600 megaton, sehingga telah mendekati ambang batas yang tidak boleh dilalui hingga tahun 2020 sebesar 32.000 megaton untuk menunda terjadinya peningkatan temperatur global sebesar 2 derajat, dimana pada saat itu bagian kutub yang mencair tidak dapat dikembalikan lagi keadaannya/point of no return (Shiva, 2011). Respon Indonesia sebagai bentuk partisipasi dan kewajiban dalam rangka penanganan perubahan iklim adalah komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari tingkat emisi Bussines As Usual (BAU/Tanpa Rencana Aksi) dengan upaya sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional hingga 2020. Komitmen disampaikan pada pertemuan negara-negara G20 di Pittsburg, 2009, yang kemudian disahkan melalui Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Selanjutnya Perpres tersebut mewajibkan setiap daerah menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), sesuai Pasal 6 ayat 1
1
dan 2, dimana "Pemerintah Provinsi harus menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RANGRK, sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat. "RAD-GRK adalah dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi Pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020. RAD-GRK berisi upaya-upaya penurunan emisi GRK yang bersifat multi sektor dengan mempertimbangkan karakteristik, potensi, dan kewenangan daerah, serta terintregasi dengan rencana pembangunan daerah. Pedoman RAD-GRK telah disosialisasikan oleh BAPPENAS, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memberikan panduan Pemerintah Provinsi dalam menyusun RAD-GRK agar konsistensi dan kualitas kebijakannya terjamin secara nasional. Berdasarkan pedoman penyusunan RAD-GRK, substansi RAD-GRK terdiri dari lima elemen, yaitu: 1. Sumber dan Potensi Penurunan Emisi GRK; 2. Baseline BAU emisi GRK; 3. Usulan Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK (mitigasi), baik berupa kegiatan inti maupun kegiatan pendukung; 4. Usulan prioritas/skala prioritas dari usulan-usulan aksi mitigasi terpilih; 5. Lembaga Pelaksanaan dan pendanaan kegiatan yang sudah diidentifikasi, pengukuran dan pemantauan program/ kegiatan RAD-GRK di daerah.
2
Proses dan prosedur penyusunan RAD-GRK dilakukan oleh Kelompok Kerja RAD-GRK Provinsi berdasarkan pedoman penyusunan RAD-GRK, dan memiliki substansi kebijakan yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/KabupatenKota (RTRWP/K). Rancangan ini selanjutnya harus ditetapkan dalam kurun waktu tidak lebih dari 12 bulan sejak diterbitkannya Perpres 61/2011, yang selanjutnya menjadi masukan dan dasar penyusunan dokumen-dokumen rencana strategis daerah seperti Renstra SKPD, RPJMD, RKPD dan APBD. Rancangan RAD-GRK juga
wajib
dikumpulkan
kepada
Menteri
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri untuk dapat diintegrasikan ke dalam upaya-upaya pencapaian target penurunan emisi GRK nasional. Namun, berdasarkan rapat yang diadakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim pada hari Kamis, 11 Juli 2013 yang dihadiri oleh beberapa perwakilan kementerian teknis untuk membahas program-program pembangunan ekonomi, masih terdapat polemik pada tahap penyusunan kebijakan penurunan GRK baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa polemik yang menyebabkan sulitnya pencapaian target komitmen RAN GRK, diantaranya seperti: 1. Isu bahwa tingkat emisi terbesar di Indonesia berasal dari tata guna lahan, konversi lahan dan kehutanan. Terjadinya persaingan pemanfaatan lahan antara kehutanan, pertanian, permukiman dan pembangunan infrastruktur lainnya memiliki implikasi terhadap berkurangnya potensi penambahan luas lahan pertanian dan perkebunan yang bertentangan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional.
3
2. Isu di sektor energi yang memiliki tingkat emisi kedua terbesar di Indonesia, mendorong pemerintah untuk melakukan substitusi penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan, dimana Indonesia memiliki potensi bio-fuel yang tinggi. Namun peningkatan luas tanam kelapa sawit, dan berbagai jenis bahan baku bio-fuel tanpa disertai konversi lahan, menyebabkan terjadinya pergantian komoditi tanam pada lahan-lahan yang sebelumnya digunakan untuk tanaman pangan menjadi tanaman bahan baku bio-fuel, dan kembali menganggu kebijakan ketahanan pangan nasional. 3. Isu di sektor energi, khususnya yang digunakan pada sektor industri juga dapat diturunkan melalui penerapan teknologi industri hijau yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Namun industri Indonesia berkembang sejak lahirnya Undang Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968, menyebabkan umur teknologi industri utama Indonesia berkisar 45 tahun. Oleh karena gap teknologi industri tersebut, penerapan teknologi modern untuk mendukung industri hijau di Indonesia membutuhkan investasi tinggi yang menyebabkan perubahan manajemen internal perusahaan, dimana hal tersebut dihindari oleh pemilik perusahaan. Berdasarkan hal diatas, Provinsi yang memiliki area hutan lindung disertai area pertanian yang cukup luas, dan Provinsi yang memiliki arus pendapatan daerah yang kuat dari sektor industri akan memiliki tantangan yang lebih tinggi dibandingkan Provinsi lainnya dalam menyusun rencana aksi penurunan emisi GRK yang sejalan dengan RPJPD dan RTRW daerahnya.
4
Menurut Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Bappenas merangkap sebagai Kepala Tim Kerja Konektivitas, Koridor Ekonomi yang memiliki basis sektor industri yang kuat terletak di pulau Jawa. Hal tersebut ditunjukkan melalui realisasi groundbreaking Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), bahwa investasi sektor industri manufaktur di Koridor Ekonomi Jawa memiliki kontribusi sebesar 45,5% dari seluruh koridor yang ada.
Gambar 1.1. Realisasi Groundbreaking Proyek MP3EI 2011-2013 Sumber: Lukita, 2014. Lebih detail dijelaskan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011, melalui gambar 1.2 diperlihatkan lokasi pengembangan kluster industri di enam Koridor Ekonomi. Berdasarkan dokumen Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tersebut, kluster industri Koridor Ekonomi Jawa sebagian besar berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Disertai dengan pengembangan infrastruktur mendukung sektor industri, Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi
5
yang memiliki kluster industri terbesar di Indonesia saat ini. Beberapa kawasan industri di Jawa Barat antara lain seperti kawasan Karawang International Industry City, Kawasan Jababeka Cikarang, Kawasan East Jakarta Industrial Park Cikarang, MM2100 Cibitung, dan lain sebagainya.
Gambar 1.2. Koridor Ekonomi Jawa Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011 Di sektor kehutanan, sejak tahun 2001 luas hutan di Jawa Barat belum mencapai syarat luas hutan dalam suatu wilayah, yaitu kurang lebih sebesar 10% dari luas wilayah. Berdasarkan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disyaratkan luasan hutan harus lebih besar dari 30% luas wilayah. Untuk itu Provinsi Jawa Barat menetapkan target proporsi 45% kawasan lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Disamping itu berdasarkan analisis Bappeda, menggunakan peta kawasan lindung dan peta sebaran lahan kritis tahun, menyebutkan bahwa masih terdapat kawasan lindung yang berada dalam
6
kondisi kritis. Kondisi lahan kritis terjadi cukup parah di Kawasan Priangan Timur, Bopunjur, dan Bandung Utara. Lahan kritis di Kawasan Priangan Timur disebabkan konversi lahan menjadi perumahan, penebangan liar di kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung menjadi kawasan pertanian, dan lemahnya penegakan hukum. Sedangkan lahan kritis di kawasan Bandung Utara (KBU) dan Bopunjur disebabkan proses pembukaan lahan yang terus berlangsung. Hal tersebut disinyalir terjadi karena masih lemahnya pengawasan dan pengendalian terutama dalam pemberian ijin lokasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan rencana tata ruang. Potensi sektor industri manufaktur yang cukup tinggi, keadaan sektor kehutanan yang belum sesuai dengan persyaratan dan tingginya potensi alih guna lahan yang menyertainya menjadikan Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu Daerah yang memiliki tantangan yang tinggi dalam menyusun Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 56 Tahun 2012 tentang RAD-GRK. Dalam kebijakan tersebur, pada akhirnya Provinsi Jawa Barat telah berhasil menyusun kegiatan yang memiliki potensi secara langsung menurunkan GRK di empat bidang, yaitu bidang pertanian, bidang kehutanan, bidang energi dan transportasi, serta bidang limbah dan sampah.
I.2. Rumusan Masalah Provinsi Jawa Barat telah berhasil menetapkan Peraturan Gubernur no. 56 Tahun 2012 tentang RAD-GRK tepat pada waktu yang disyaratkan oleh Bappenas. Namun demikian, berbeda dengan Provinsi-Provinsi lain yang juga telah menyusun RAD-GRK, Provinsi Jawa Barat tidak memiliki kegiatan penurunan GRK di bidang
7
Industri. Fenomena tersebut menjadikan proses penjabaran RAN-GRK menjadi RAD-GRK Provinsi Jawa Barat menarik untuk diteliti guna menjawab pertanyaan berikut: 1. Bagaimana Provinsi Jawa Barat menjabarkan kebijakan nasional RAN-GRK ke dalam RAD-GRK di sektor industri? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penjabaran kebijakan nasional RANGRK ke dalam RAD-GRK di sektor industri Provinsi Jawa Barat?
I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Provinsi Jawa Barat menjabarkan kebijakan nasional RAN-GRK ke dalam RAD-GRK, khususnya di sektor Industri. Disamping itu tujuang penelitian ini juga untuk mengetahui faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penjabaran kebijakan nasional RAN-GRK ke dalam RAD-GRK di sektor industri Provinsi Jawa Barat
I.4. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai Evaluasi Penjabaran Kebijakan Nasional Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Menjadi Kebijakan Provinsi, Studi Kasus: Provinsi Jawa Barat ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Kontribusi terhadap Teori, berupa review kritikal apakah teori kebijakan yang disampaikan masih relevan atau memerlukan penyesuaian lebih lanjut.
8
2. Praktek pengambilan kebijakan di wilayah lain yang memiliki karakteristik keadaan serta permasalahan serupa, agar dapat dijadikan acuan yang sesuai.
I.5. Lingkup Penelitian Ruang lingkup pembahasan penelitian ini adalah proses penjabaran RANGRK menjadi RAD-GRK secara umum. Lebih khusus sesuai dengan latar belakang penelitian, proses penjabaran akan fokus pada bidang/sektor industri manufaktur yang pada kenyataannya sektor tersebut merupakan penyumbang emisi tertinggi kedua setelah tata guna dan konversi lahan serta kehutanan, namun memiliki kontribusi yang tinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah tertentu. Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah Provinsi Jawa Barat, sebagai Provinsi yang memiliki area industri terluas di Indonesia. Disamping itu, Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah punduduk tertinggi di Indonesia mengindikasikan tingginya potensi alih guna/konversi lahan di Jawa Barat.
I.6. Keaslian Penelitian Meskipun Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK telah berumur 3 tahun, namun belum terdapat penelitian kebijakan yang secara khusus mengkaji Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca Tersebut, ataupun Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca. Meskipun demikian telah terdapat berbagai penilitian mengenai kebijakan publik di Program Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada, yang antara lain dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini.
9
Tabel 1.1. Penelitian Kebijakan Publik PENULIS Erwen Jamaris, Leksono Probo Subanu, Dwita Hadi Rahmi. (2010)
Akhmad Amarullah, Bondan Hermanislamet, Pangestu Subagyo. (2007)
JUDUL & TAHUN Kajian Kebijakan Pemerintah Terhadap Bantaran Sungai Pada Lokasi Strategis di Pusat Kota
Kajian Kebijakan Pengembangan Kawasan Industri di Kecamatan Bati Bati Kabupaten Tanah Laut
METODE
KESIMPULAN
Kualitatif, Deskriptif, Induktif.
Adanya distorsi kebijakan pemerintah terhadap sungai Batanghari dengan realita dilapangan disebabkan karena kebijakan pemerintah telah terkooptasi oleh kekuatan pasar. Hal tersebut ditunjukkan dengan: 1. Kurangnya konsistensi & kejelasan rencana 2. Lemahnya penegakan hukum & sanksi 3. Alokasi pelaksana yang tidak tepat 4. Kurangnya kesepakatan antar pelaksanan 5. Terjadinya implementation gab 6. Tidak adanya sistem & prosedur standar 7. Keterbatasan sumber dana 8. Pergantian kepemimpinan 9. Tidak adanya interaksi antara perumus dengan pelaksana kebijakan
Kualitatif, Deskriptif
1. 2.
Respon Stakeholder Aspek Preferensi Stakeholder Kawasan industri yang dibangun pemerintah 4.072,17Ha menurut stakeholder 95,24% cukup & sangat strategis
3.
Identifikasi Kebijakan Kebijakan tahun 1989 fokus pada pola dasar pembangunan, 1994 diarahkan pada pengembangan industri kecil untuk perluasan kesempatan kerja.
4.
Perkembangan Industri Perkembangan industri (SDM & nilai investasi) 1990-2004 = 21,79% pertahun. Perkembangan jumlah industri 21% pertahun.
5.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Industri Faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan: ketak-konsistenan kebijakan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan: tempat berusaha, aksesibilitas, foot loose, energi, SDM, SDA (air), perijinan.
6.
Efektifitas Implementasi Kebijakan Dilihat dari perkembangan jumlah industri dan dampaknya, kebijakan = efektif.
(bersambung)
10
Tabel 1.1. Lanjutan. PENULIS Sonni Fitri, Yeremias T. Keban, Retnowidodo Dwi Pramono. (2007)
JUDUL & TAHUN Hambatan Implementasi Kebijakan Perluasan Kota Bukittinggi
METODE
KESIMPULAN
Kualitatif, rasionalistik, deduktif
Proses implementasi kebijakan perluasan kota Bukittinggi tidak dapat berjalan dengan baik karena sejak keluarnya PP/1999 tersebut hingga sekarang masih mengalami pro & kontra. Peneliti mengidentifikasi ragam penolakan ke dalam 3 aspek sebagai berikut: 1. Aspek Hukum PP 84 Th 1999 merupakan kebijakan pemerintah cacat hukum karena bertentangan dengan UU & Peraturan yang berlaku. 2.
Aspek Ekonomi Berupa penurunan PAD Pemerintah Daerah Kabupaten Agam
3.
Aspek Sosial Budaya Kecemasan lunturnya nilai budaya & pemerintahan Nagari bila masuk ke kota Bukittinggi.
Dari analisis terhadap substansi pro & kontra yang terjadi & menghubungkan dengan variabel-variabel yang didapat dari teori implementasi serta indikator dalam pengukurannya, dapat dijelaskan bahwa halhal yang menghambat implementasi kebijakan perluasan Kota Bukittinggi adalah: 1. Kurangnya komunikasi yang mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap isi & kandungan kebijakan. 2. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap proses implementasi.
(bersambung)
11
Tabel 1.1. Lanjutan. PENULIS Haikal Ali, Sumiarto, Suryano. (1996)
JUDUL & TAHUN Kajian Kebijakan Pemerintah Kota Administratif Klaten Dalam Penentuan Lokasi Perumahan
METODE Kualitatif
KESIMPULAN Ke-7 kriteria dari Pemerintah Daerah mengenai syarat-syarat pemilihan lokasi perumahan dapat dikembangkan menjadi 16 kriteria. Penggunaan ke-16 kriteria tersebut dalam penentuan lokasi perumahan di Kota Administratif Klaten telah menghasilkan pilihan lokasi yang lebih teliti. Ketelitian tersebut terungkap dalam bentuk nilai daya tarik & deliniasi yang lebih teliti dari lokasilokasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Administratif Klaten. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, diperlukan penilaian yang mampu mewadahi kehendak aktor-aktor yang terlibat, disamping persyaratan-persyaratan lokasi yang sudah merupakan ketentuan umum.
Sumber: Penulis
12