I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di berbagai negara
umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). Pilihan ini didasarkan atas fakta bahwa pertanian merupakan lapangan usaha tertua yang pertama dikenal dalam peradaban perekonomian tradisional dan menjadi sumber penghidupan utama pada hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya alam dengan keragaman hayati paling tinggi di dunia. Pertanian menjadi lapangan usaha utama yang menghidupi sebagian besar penduduk pada saat negara ini memulai proses pembangunan secara terencana pada akhir tahun 1960-an. Pangsa sektor pertanian terhadap PDB mencapai lebih dari 40 persen pada tahun 1970, sementara serapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai lebih dari 60 persen pada tahun yang sama. Fakta ini, kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. Sepanjang perjalanannya, implementasi kebijakan pembangunan pertanian ternyata tidak dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi antara aktivitas budi daya untuk mendorong peningkatan produksi dan pengembangan sektor industri dan sektor-sektor pendukungnya. Pada saat menghadapi lonjakan harga minyak bumi (oil-boom) pada tahun 1974, strategi industrialisasi justeru diarahkan pada pengembangan industri substitusi impor berbasis sumber daya alam tidak terbarukan (unrenewable). Strategi ini dimungkin oleh melimpahnya penerimaan
2 devisa dari kenaikan harga minyak. Pilihan strategi substitusi impor dalam proses industrialisasi ditandai oleh pengembangan industri dasar besi dan baja; industri logam dasar bukan besi; industri barang dari logam; industri pengilangan minyak bumi dan industri semen. Pengembangan industri berat dibagian hulu disertai oleh pengembangan industri barang konsumsi berteknologi tinggi di bagian hilir pada periode berikutnya seperti industri peralatan rumah tangga dan assembling kendaraan bermotor yang tidak efisien sehingga harus didukung oleh penerapaan kebijakan perdagangan luar negeri restriktif utuk memproteksi infant industry. Pada saat harga minyak bumi anjlok pada tahun 1982 dan jatuh pada tingkat yang sangat rendah pada tahun 1986, pemerintah Orde Baru melakukan reorientasi pengembangan industri dari substitusi impor ke promosi ekspor. Meski demikian kebijakan ini ternyata belum berpihak pada pengembangan sektor pertanian dan industri pengolahannya secara lebih serius. Pemerintah masih cenderung mengadopsi kombinasi broad based industry dan hi-tech industry seperti pengembangan industri rekayasa berat, pabrikasi baja, industri kimia dan farmasi dan industri alat pengangkutan. Selain kebijakan tarif dan non-tarif, pengembangan industri ini didukung oleh kebijakan nilai tukar artificial overvalued exchange rate. Sebagai alternatif mengatasi maslah penurunan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi, sumberdaya hutan diekploitir secara besar-besaran. Pemerintah bahkan melakukan mobilisasi hutang luar negeri untuk menutupi kekurangan sumber dana bagi pembiayaan pembangunan melalui strategi industrialisasi berteknologi tinggi. Kebijakan protektif yang diterapkan bagi infant industry tidak mendorong terwujudnya industri yang kokoh, kuat dan efisien. Beberapa industri strategis yang dikuasai pemerintah seperti industri pesawat terbang, industri maritim, industri
pembuatan
kapal,
industri
telekomunikasi
dan
sektor
energi
3 membutuhkan subsidi. Memasuki akhir dekade 1990-an, perkembangan perekonomian dunia ditandai oleh menguatnya leberalisasi arus perdagangan antar negara. Industri yang telah dikembangan dengan dukungan kebijakan proteksi ternyata tidak mampu menyesuaikan diri dan bersaing ketika memasuki pasar global sehingga tidak dapat berperan sebagai penggenjot penerimaan devisa, bahkan justeru menjadi sumber pemborosan devisa untuk mengimpor berbagai peralatan barang modal modern. Langkah-langkah penyesuaian dalam kebijakan industri domestik dan perdagangan internasional tidak dilakukan secara cepat mengikuti gerak langkah dinamika perekonomian dunia. Kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui pengembangan industri nonpertanian, masih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai di atas 7 persen per tahun hingga tahun 1996. Berpedoman pada prestasi yang cukup menakjubkan, Bank Dunia bahkan sempat mengelompokkan Indonesia sebagai calon negara industri baru (newly industrial countries) yang akan menyusul beberapa negara kawasan Asia Timur lainnya. Akan tetapi memasuki pertengahan tahun 1997, perekonomian Indonesia justeru terjerumus pada krisis ekonomi yang cukup dalam. Krisis ekonomi yang terjadi pada saat perekonomian mengalami bomming, telah memicu berkembangnya wacana dan perdebatan yang luas mengenai karakteristik dan kondisi perekonomian Indonesia yang sesungguhnya, bahkan telah melahirkan gagasan perlunya melakukan pemikiran ulang secara menyeluruh terhadap langkah-langkah, strategi dan kebijakan pembangunan yang telah ditempuh selama lebih dari tiga puluh tahun. Proses pembangunan dan industrialisasi yang dibiayai melalui eksploitasi sumber daya migas dan sumber daya hutan beserta mobilisasi hutang luar negeri ternyata tidak disertai oleh terbentuknya fondasi ekonomi yang lebih kokoh seperti dibayangkan semula. Prestasi pertumbuhan yang dicapai ternyata bersifat
4 semu dan strategi industrialisasi yang dilakukan tidak mengakar sehingga krisis berdampak sangat dalam terhadap kerusakan sendi-sendi dan fundamental ekonomi, yang akhirnya bermuara pada berbagai persoalan lebih kompleks dan bersifat multi dimensi. Krisis ekonomi membawa Indonesia kembali ke berbagai permasalahan klasik seperti meningkatnya pengangguran dan meluasnya kemiskinan beserta dampak sosial ekonominya yang sangat luas. Permasalahan ini semestinya telah terlewati dan hijrah ke tahap pembangunan lebih tinggi menuju masyarakat yang lebih sejahtera, andai saja proses pembangunan berpijak pada landasan yang lebih tepat, mengakar dan kokoh. Strategi industrialisasi yang ditempuh sebelum datangnya krisis, tidak didasarkan pada realitas potensi sumberdaya pertanian yang besar dan bersifat renewable. Kebijakan nilai tukar overvalue secara artifisial yang diterapkan pemerintah bahkan cenderung merugikan sektor pertanian dan menghambat berkembangnya industri berbasis pertanian (Saragih, 1998). Potensi sumberdaya alam yang masih melimpah pada saat memulai proses pembangunan tidak dimanfaatkan sebagai modal dasar untuk mengawali proses transformasi struktur ekonomi atau industrialisasi dengan fondasi yang kuat dan mengakar karena keunggulan komparativ yang dimilikinya dan keterlibatan sebagian besar penduduk yang mencari nafkah disektor pertanian. Industrialisasi pertanian khususnya melalui skala usaha menengah dan kecil berbasis tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang berorientasi ekspor semestinya dapat berperan sebagai sumber pendanaan pengembangan industri nonpertanian berteknologi tinggi di tahap idustrialisasi berikutnya dan menjadi pasar domestik yang lebih kuat. Sebaliknya, pengembangan industri berbasis sumber daya alam tidak terbarukan dan pengembangan industri pengolahan hasil hutan justeru berdampak sangat luas terhadap masalah kerusakan lingkungan
5 hidup, merusak sumber daya air dan sektor pertanian serta menjadi beban dalam proses pembangunan karena besarnya dana yang diperlukan untuk mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Fundamental ekonomi yang rapuh setelah dilanda krisis, menyebabkan perekonomian Indonesia menurut Tambunan (2002) sangat sulit untuk kembali ke posisi keseimbangan awal pada jalur pertumbuhan tinggi. Berdasarkan data BPS (2007a) diketahui, laju pertumbuhan ekonomi selama periode tahun 1999-2006 baru mencapai 5.10 persen per tahun, lebih rendah dari pertumbuhan yang pernah dicapai sebelum krisis ekonomi. Bila dilihat dari dimensi spasial, kinerja perekonomian antar daerah juga belum kembali pada posisi keseimbangan awalnya. Publikasi BPS (1997a) memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi daerah pada periode 1993-1996 berkisar sekitar 6.59 persen (Sulawesi Utara) sampai dengan 14.35 persen (Papua) per tahun. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan ekonomi daerah hanya berkisar sekitar 2.84 persen (Nangroe Aceh Darussalam) sampai dengan 7.00 persen (Kepualauan Riau) per tahun sebagaimana yang dilaporkan BPS (2007b). Penurunan laju pertumbuhan ekonomi pada seluruh wilayah, sekaligus diiringi oleh perubahan pemerataan aktivitas ekonomi antar wilayah. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi provinsiprovinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) cenderung lebih besar dibanding provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang mengindikasikan meluasnya ketimpangan antar wilayah pasca krisis. Selain lajunya yang relatif rendah, proses pertumbuhan setelah krisis belum berpijak pada landasan yang kokoh karena pembetukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) atau investasi tumbuh pada tingkat yang relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi setelah krisis lebih banyak didorong oleh peningkatan pengeluaran konsumsi pemerintah yang tumbuh 7.82 persen, sementara
6 komponen pengeluaran investasi hanya meningkat sebesar 4.46 persen per tahun selama periode 1999-2006. Pelambatan investasi setelah krisis ekonomi ternyata lebih banyak berimbas pada sektor pertanian dan industri. Selama periode 2000-2006 sektor pertanian hanya tumbuh sebesar 3.16 persen, sementara sektor industri tumbuh sebesar 4.92 persen per tahun. Laju pertumbuhan yang dicapai oleh kedua sektor ini lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini mengindikasikan menurunnya produktivitas pada kedua sektor tersebut. Pertumbuhan sektor pertanian melambat sejak tahun 2004 menjadi 2.82 persen dari 3.79 persen pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 dan 2006 pertumbuhan sektor ini masingmasing adalah 2.66 persen dan 2.98 persen. Laju pertumbuhan yang rendah dan melambat pada sektor pertanian telah mempercepat penurunan pangsanya terhadap PDB hingga mencapai di bawah 15 persen pada tahun 2006. Penurunan ini tidak terjadi secara beriringan dengan serapan tenaga kerja yang perannya masih mencapai 45 persen dari total penyerapan tenaga kerja pada tahun yang sama. Ketimpangan tersebut merefleksikan
menurunnya
produktivitas
tenaga
kerja
dan
tingginya
pengangguran tersembunyi (disquised unemployment) pada sektor pertanian sehingga
tingkat
kesejahteraan
rumah
tangga
yang
menggantungkan
kehidupannya pada sektor ini menjadi relatif lebih rendah. Kedaan yang sama terjadi pada sektor industri yang pertumbuhannya melambat dari 6.38 persen pada tahun 2004 menjadi 4.57 persen dan 4.63 persen pada dua tahun berikutnya. Industri pengilangan minyak dan gas bumi, industri perkayuan dan industri besi dan baja yang berperan sebagai pioner industrialisasi dan sumber utama penerimaan devisa pada periode sebelum krisis, mengalami kontraksi sejak beberapa tahun terakhir. Memburuknya kinerja industri tersebut
7 dan beberapa jenis industri lainnya bahkan telah memunculkan kekhawatiran terjadinya deindustrialisasi dalam proses transformasi struktural di Indonesia. Pelambatan pertumbuhan sektor industri pada tingkat nasional terjadi beriringan dengan melambatnya pertumbuhan sektor industri di wilayah KTI. Pangsa sektor industri manufaktur non migas terhadap PDRB provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera pada tahun 1993 masing-masing adalah 25.53 persen dan 19.49 persen, kemudian naik menjadi 29.38 persen dan 23.00 persen pada tahun 2005. Pada waktu yang sama, pangsa sektor industri manufaktur di Pulau Kalimantan dan kepulauan Maluku dan Papua justeru menurun dari 19.02 persen dan 9.63 persen, menjadi 13,51 persen dan 4.32 persen. Pada provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi, pangsanya meningkat relatif kecil dari 9.91 persen menjadi 10.65 persen. Kondisi ini erat kaitannya dengan menurunnya kinerja industri berbasis pertambangan migas dan non migas dan industri pengolahan hasil hutan yang sebagian besar berlokasi di luar Pulau Jawa khusunya di wilayah KTI. Tersendat-sendatnya
upaya
peningkatan
investasi
dan
percepatan
pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah serta pendiversifikasian aktivitas ekonomi, diantaranya bersumber dari kurangnya perhatian terhadap penguatan pondasi ekonomi di sisi suplai. Penurunan kemampuan infrastruktur dasar yang meliputi jaringan transportasi, pengairan, tenaga listrik, dan komunikasi untuk mendorong dan mendukung perkembangan berbagai aktivitas ekonomi baik kegiatan produksi maupun kegiatan perdagangan merupakan satu sisi yang diperkirakan telah menyumbang cukup besar terhadap permasalahan tersebut. Sejak diterpa krisis ekonomi, aktivitas pemerintah lebih terfokus pada penciptaan stabilitas ekonomi makro melalui instrumen moneter dan fiskal dan penanganan masalah jangka pendek yang berkaitan dengan upaya pengendalian meluasnya kemiskinan. Alokasi dana pembangunan yang bersifat produktif
8 khususnya untuk pemiliharaan dan penyediaan infrastruktur dasar praktis terabaikan. Hal ini menurut Easterly et al. (2008) memang lazim terjadi pada negara yang sedang menghadapi masalah defisit fiskal yang mengorbankan pengeluaran produktif untuk membiayai pengeluaran konsumtif. Pada saat pemerintah menghadapi kesulitan membiayai berbagai aktivitas pembangunan, investasi pihak swasta dalam bidang infrastruktur juga melambat. Padahal ketersediaan infrastruktur secara lebih memadai seperti transportasi, energi listrik, komunikasi dan pengairan berperan sebagai input esensial bagi proses produksi dan media penghubung dalam aktivitas distribusi. Ketersediaan infrastruktur juga memberikan kemudahan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengaplikasikan teknologi produksi modern. Oleh sebab itu, tanpa penyediaan infrastruktur secara tepat akan terjadi hambatan yang serius dalam aktivitas produksi dan distribusi (WorldBank,
1992).
Keterbatasan
penyediaan
infrastruktur
menyebabkan
perusahaan-perusahaan yang ada tidak terdorong untuk melakukan ekspansi dan investor baru tidak akan tertarik untuk melakukan investasi dalam berbagai bidang usaha yang selanjutnya akan membatasi laju pertumbuhan ekonomi. Alokasi dana yang terbatas untuk meningkatkan penyediaan infrastruktur bersamaan dengan depresiasi yang terus berlangsung pada berbagai jenis infrastruktur yang ada, menurut World Bank (2005) telah menyebabkan Indonesia terperangkap pada masalah krisis penyediaan infrastruktur. Hasil studi lembaga tersebut terhadap 12 negara Asia, menunjukkan bahwa pada tahun 2000 Indonesia menempati peringkat 11 dalam penyediaan tenaga listrik dengan tingkat elektrifikasi 53 persen, berada di atas India yang tingkat elektrifikasinya sebesar 43 persen. Pada sektor telekomunikasi, Indonesia bahkan menempati peringkat terakhir dengan 4 sambungan telepon per 100 penduduk bersama India dan Philipina. Pada sektor jalan raya, peringkat Indonesia sedikit lebih baik yaitu
9 berada pada urutan kedelapan dengan panjang jalan 1.7 km per 1000 penduduk. Walaupun masih terdapat perdebatan pandangan dan perbedaan temuan empiris mengenai besarnya peran ketersediaan stok kapital infrastruktur terhadap aktivitas perekonomian bila dibandingkan dengan stok kapital privat, krisis infrastruktur yang dihadapi Indonesia diperkirakan telah berdampak luas terhadap keberlangsungan aktivitas perekonomian. Studi yang mendalam dan komprehensif terhadap penyediaan infrastruktur sangat menarik dan perlu dilakukan. Sayangnya hingga saat ini studi yang secara spesifik menganalisis ketersediaan infrastruktur belum banyak dijamah oleh kalangan peneliti di Indonesia. Hartoyo (1995) telah melakukan studi pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan di Pulau Jawa, dengan fokus perhatian pada infrastruktur jalan dan irigasi. Studi lainnya mempresentasikan infrastruktur melalui pengeluaran pemerintah untuk penyediaan infrastruktur secara agregat. Hal ini misalnya dilakukan oleh Yudoyono (2004) dalam studinya mengenai analisis ekonomi politik kebijakan fiskal. Studi Hambali (2007) telah mengakomodasi infrastruktur jalan raya, listrik dan telekomunikasi untuk melihat dampaknya terhadap iklim investasi, namun analisisnya masih terbatas pada kinerja perekonomian tingkat makro. Beranjak dari kegagalan strategi dan kebijakan industrialisasi yang ditempuh sebelum krisis ekonomi, diperlukan reorientasi pada pengembangan kembali industri berbasis sumberdaya domestik yang terbarukan khususnya industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Studi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi perkembangan
dan
menganalisis
industri
dan
peran
infrastruktur
perekonomian
wilayah
dalam
mendorong
berbasis
pertanian.
Infrastruktur ekonomi memiliki peran sentral yang berdampak luas terhadap berbagai aktivitas ekonomi baik sektoral, kesejahteraan rumah tangga, ekonomi
10 makro, maupun perekonomian wilayah. Untuk mengakomodir keseluruhan aspek tersebut secara simultan, studi ini dilakukan dengan mengetengahkan analisis menggunakan pendekatan model ekonomi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium=CGE). 1..2.
Perumusan Masalah Penyediaan infrastruktur di Indonesia terutama infrastruktur ekonomi
dasar transportasi, energi, komunikasi dan pengairan bersifat sangat dilematis. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki tingkat keragaman karakteristik tertinggi di dunia bila dilihat dari aspek fisiografi, tofografi dan demografi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus menyediakan infrastruktur sesuai dengan karakteristik ekonomi dan sosial masing-masing daerah. Pada bidang trasportasi, penyediaan angkutan darat, udara dan air sama-sama penting untuk menghubungkan berbagai pulau yang jumlahnya mencapai ribuan. Karakteristik demikian, menyebabkan penyediaan infrastruktur ekonomi secara menyeluruh di berbagai daerah yang lokasinya sangat menyebar menjadi sangat berat dan membutuhkan dana yang sangat besar. Menurut World Bank (2004), penyediaan infrastruktur secara sangat merata terutama di daerah perdesaan terpencil seperti tingkat elektrifikasi 100 persen di luar Pulau Jawa sangat sulit diwujudkan. Dilihat dari sisi penyediaan infrastruktur, beban biaya yang harus dipikul Indonesia bahkan mungkin lebih besar apabila dibandingkan dengan beberapa negara besar yang berlokasi pada satu daratan saja seperti China, India, Amerika Serikat dan Rusia. Meskipun demikian, sebagai prasarana dasar yang berperan penting bagi upaya
percepatan
pertumbuhan
dan
keberkelanjutan
aktivitas
ekonomi,
penyediaan infrastruktur secara lebih memadai hampir tidak mungkin untuk dihindari. Ketersediaan jasa infrastruktur tidak hanya penting bagi perusahaan-
11 perusahaan, namun perbaikan dalam lingkup cakupan dan kualitasnya juga memberikan manfaat di tingkat rumah tangga (World Bank, 2005). Bebagai hasil studi empiris seperti yang dilakukan Chandra dan Thompson (2000), Kim (2000), Hulten et al. (2003), Mamatzakist (2003), Fan dan Zang (2004), Dings dan Haynes (2004), dan Ghosh dan De (2005), menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu yang cukup penting bagi perkembangan dan kelangsungan aktivitas ekonomi. Akan tetapi, sebagian studi lainnya seperti yang dilakukan Morrizon dan Schwartz (1996), Baffes dan Shah (1998) dan Wangs (2002) menunjukkan bahwa peran yang dimiliki stok kapital infrastruktur tidak begitu besar bila dibandingkan dengan peran stok kapital hasil akumulasi investasi pihak privat pada berbagai aktivitas ekonomi. Peran penting stok kapital infrastruktur yang ditemukan dalam beberapa studi empiris didasarkan atas karakteritiknya yang memiliki eksternalitas positif. Keberadaan eksternalitas pada hampir seluruh jenis infrastruktur mengakibatkan manfaat ekternalnya dapat diningmati oleh pihak ketiga yang tidak terlibat secara langsung dalam pembiayaan dan penyediaanya. Oleh sebab itu, penyediaan infrastruktur lebih banyak dilakukan oleh pemerintah namun dikapitalisasi oleh pihak privat dalam proses produksi dan distribusi produknya dan rumah tangga dalam aktivitas konsumsi. Peran pemerintah dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia masih cukup penting terutama infrastruktur dasar yang meliputi jaringan jalan dan jembatan, pengairan, tenaga listrik dan pembangunan jaringan komunikasi di berbagai daerah hingga menjangkau wilayah perdesaan terpencil. Keterlibatan pihak privat masih sangat terbatas pada infrastruktur yang secara ekonomis dapat menghasilkan pengembalian kapital cukup tinggi seperti penyediaan tenaga listrik oleh perusahaan-perusahaan, pembangunan jalan tol dan komunikasi di daerahdaerah perkotaan.
12 Permasalahannya adalah sejak dilanda krisis ekonomi, kemampuan keuangan pemerintah masih sangat terbatas. Alokasi dana pembangunan untuk infrastruktur dasar khususnya pengairan, pengangkutan dan listrik tidak menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Berdasarkan publikasi Depkeu (2005) diketahui bahwa sejak tahun 1999 alokasi dana pembangunan APBN untuk penyediaan energi listrik dan telekomunikasi mengalami pertumbuhan negatif, sementara alokasi dana pembangunan infrastruktur untuk penyediaan prasarana pengangkutan dan pengairan masih relatif rendah. Sumber utama penerimaan pemerintah untuk membiayai berbagai bentuk pengeluarannya adalah pajak. Nilai nominal penerimaan pajak selama periode 2000-2007
telah
meningkat
18.24
persen
per
tahun,
tetapi
dengan
memperhitungkan laju inflasi sebesar 9.68 persen per tahun nilai rillnya hanya meningkat sekitar 7.83 persen per tahun. Tingkat tax ratio Indonesia sebesar 13.6 persen (2006) dan 13.1 persen (2007) masih tergolong relatif rendah, namun mobilisasi peningkatan penerimaan pajak pada tingkat yang lebih tinggi terutama melalui peningkatan tarif pajak masih cukup sulit untuk dilakukan. Perkembangan basis pajak yang direpresentasikan oleh tingkat pendapatan per kapita, pengeluaran konsumsi dan aktivitas sektor korporasi masih relatif lambat. Peningkatan pendapatan per kapita sebesar 2.35 per tahun (2000-2006) yang disertai laju inflasi yang cukup tinggi telah menekan daya beli, sehingga pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya meningkat 3.89 persen per tahun (1999-2006). Laju inflasi yang mencapai 17.11 persen pada tahun 2005 bahkan telah menekan laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada tingkat 3.17 persen pada tahun 2006. Kedaannya tidak jauh berbeda dengan perkembangan sektor korporasi seperti terindikasi dari rendahnya tingkat penanaman modal langsung dan lambannya penyaluran kredit investasi.
13 Konsekuensinya peningkatan penerimaan pemerintah secara signifikan untuk membiayai penyediaan infrastruktur dari sektor perpajakan belum dapat diharapkan. Mobilisasi hutang luar negeri merupakan salah satu alternatif yang telah dilakukan pemerintah untuk membiayai penyediaan infrastruktur sejak dekade 1970-an. Akan tetapi akumulasi beban hutang luar negeri yang terus meningkat akan memperberat beban anggaran negara dan dapat mengganggu keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) dalam jangka menengah dan panjang. Rasio pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang pemerintah terhadap PDB pada tahun 2006 dan 2007 mencapai 1.7 persen dan 1.6 persen yang menunjukkan masih cukup tingginya orientasi pengeluran keuangan negara ke luar negeri. Pengeluaran pemerintah yang bersifat lebih produktif untuk menciptakan akumulasi kapital di sektor publik belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Pangsa pengeluaran untuk pembentukan kapital tetap bruto terhadap PDB, termasuk di dalamnya penyediaan infrastruktur turun dari 4.4 persen tahun 2006 menjadi 4.2 pada tahun 2007 (Depkeu, 2007 dan 2008). Upaya meningkatkan investasi asing sebagai alternatif dalam pembiayaan infrastruktur seperti yang telah dicanangkan pemerintah sejak awal 2005 realisasinya masih jauh dari yang diharapkan. Keengganan pihak swasta terutama swasta asing untuk berinvestasi dalam bidang infrastruktur di NSB, umumnya terkait dengan resiko investasi yang cukup tinggi. Padahal investasi infrastruktur bersifat jangka panjang yang lokasinya tidak mudah dipindah-pindahkan setelah direalisasikan dalam bentuk stok kapital infrastruktur seperti jalan tol, jaringan listrik dan prasarana air bersih. Tidak satupun jenis infrastruktur yang dapat dipandang kurang penting dari jenis infrastruktur lainnya. Keberadaan dilema antara meningkatnya
14 kebutuhan terhadap penyediaan infrastruktur di satu sisi dan keterbatasan sumber keuangan pemerintah dan masih rendahnya investasi privat dalam bidang infrastruktur di sisi lainnya, berimplikasi pada perlunya melakukan penyusunan skala prioritas untuk menemukan pilihan yang tepat dalam penyediaan berbagai jenis infrastruktur. Bersamaan dengan kelangkaan sumber dana pembangunan, kegagalan proses transformasi struktur ekonomi melalui prioritas pengembangan industri nonpertanian sebelum krisis, merupakan sinyal perlunya reorientasi strategi dan kebijakan pembangunan dengan lebih berorientasi pada pengembangan sektorsektor berbasis luas yang melibatkan bagian terbesar penduduk yaitu sektor pertanian dan industri berbasis pertanian. Akan tetapi, kedua kelompok sektor ini dicirikan oleh ketergantungannya yang sangat tinggi terhadap lahan dan sumberdaya alam lainnya. Eksploitasi berlebihan (overused) yang dilakukan sebelum krisis ekonomi telah mengakibatkan degradasi sumber daya alam secara luas. Selain itu, ekspansi yang dilakukan secara terus menerus dalam industri pengolahan pertanian bahan makanan, perkebunan, perikanan dan kehutanan, menurut Alaudin and Tisdell (1988) dapat menyebabkan terjadinya decreasing return sebagai akibat berlakunya diminishing return, sehingga akan menimbulkan kesulitan bagi perekonomian bila menggantung diri pada sektor pertanian dan industri pengolahan berbasis pertanian dalam jangka panjang. Keberadaan dilema antara kebutuhan penyediaan infrastruktur dengan keterbatasan dana untuk pembiayaannya dan keterbatasan yang dimiliki sektor pertanian dan industri pengolahannya menimbulkan pertanyaan diseputar jenisjenis infrastruktur apa sesungguhnya yang harus diprioritaskan dan kombinasi bagaimana yang diperlukan agar penyediaannya dapat menghasilkan dampak
15 ekonomi yang lebih besar dan bagaimana kemampuannya untuk berperan sebagai pendorong dinamika ekonomi sektoral dan regional khususnya yang berbasis pertanian. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menemukan pilihan yang tepat dalam penyediaan infrastruktur ekonomi melalui evaluasi dampak yang dihasilkannya dengan menggunakan pendekatan model ekonomi keseimbangan umum. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1.
Menganalisis respon berbagai sektor ekonomi terhadap ketersediaan input infrastruktur
dan
kontribusinya
terhadap
peningkatan
output
atau
produktivitas. 2.
Menganalisis daya pendorong ketersediaan infrastruktur terhadap dinamika perekonomian sektoral dengan penekanan pada industri berbasis pertanian yang meliputi output, harga, kesempatan kerja, upah, ekspor, impor, sewa lahan, dan kapital.
3.
Menganalisis dan membandingkan daya pendorong ketersediaan stok kapital infrastruktur terhadap kinerja perekonomian regional berbasis pertanian dan non pertanian yang meliputi pertumbuhan ekonomi wilayah, kesempatan kerja, dan tingkat upah rill.
4.
Merumuskan kebijakan penyediaan infrastruktur ekonomi agar mampu menghasilkan dampak ekonomi dan mendorong dinamika sektor industri pengolahan dan ekonomi wilayah berbasis pertanian.
16 1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berharga
bagi para akademisi dan pengambil kebijakan. Secara akademis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan salah satu bahan rujukan bagi peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi mengenai dampak infrastruktur terhadap kinerja perekonomian. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan untuk: (1) menganalisis dampak kebijakan penyediaan infrastruktur terhadap kinerja perekonomian pada tingkat sektoral dan regional khususnya yang berbasis pertanan; (2) melakukan proyeksi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan dan perluasan kesempatan kerja dan percepatan pembangunan wilayah; dan (3) merumuskan kebijakan alternatif dalam pembiayaan berbagai jenis infrastruktur dasar dilihat dari dampak ekonomi dan implementasinya pada berbagai proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini adalah infrastruktur ekonomi yang terdiri atas
pengairan, jalan raya, energi listrik, dan telekomunikasi. Aspek yang dikaji dari keempat jenis infrastruktur tersebut adalah dampak ketersediaannya terhadap penguatan sektor industri dan ekonomi wilayah berbasis pertanian. Evaluasi dampaknya dititikberatkan pada sisi suplai dengan melihat peran infrastruktur sebagai input dalam proses produksi dan penghubung antara produsen dengan input dan pasar. Pendekatan yang digunakan adalah estimasi fungsi produksi sektoral yang variabel-variabelnya telah diperluas dengan input infrastruktur yang dikombinasikan dengan model ekonomi keseimbangan umum untuk menganalisis dampaknya terhadap dinamika ekonomi sektoral dan regional berbasis pertanian.