BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan desa seringkali diartikan dengan pembangunan berskala besar di wilayah pedesaan (Muhi, 2011). Padahal pembangunan desa yang sesungguhnya tidaklah terbatas pada pembangunan berskala besar saja, akan tetapi pembangunan dalam lingkup atau cakupan yang lebih luas. Pembangunan yang berlangsung di desa dapat saja berupa berbagai proses pembangunan yang dilakukan di wilayah desa dengan menggunakan sebagian atau seluruh sumber daya (biaya, material, dan sumber daya manusia) bersumber dari pemerintah (pusat atau daerah), selain itu dapat pula berupa sebagian atau seluruh sumber daya pembangunan bersumber dari desa. Ada dan atau tidak adanya bantuan pemerintah terhadap desa, denyut nadi kehidupan dan proses pembangunan di desa tetap berjalan. Masyarakat desa memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, mengembangkan potensi diri dan keluarganya, serta membangun sarana dan prasarana di desa. Namun demikian, tanpa perhatian dan bantuan serta stimulan dari pihak-pihak luar desa dan pemerintah proses pembangunan di desa
1
berjalan dalam kecepatan yang relatif rendah. Kondisi ini yang menyebabkan pembangunan di desa terkesan lamban dan cenderung terbelakang. Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) dan Pembangunan Desa (Bangdes).
Kemudian
di
era
reformasi
peristilahan
terkait
pembangunan desa lebih menonjol yaitu “Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)”. Dibalik semua itu, persoalan peristilahan tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa. Melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, terutama di era orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan pembangunan yang diprogramkan negara secara sentralistik. Di mana pembangunan desa dilakukan oleh pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) maupun dengan dukungan
negara-negara
maju
dan
organisasi-organisasi
internasional. Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program pembangunan desa lebih bersifat top down. Pada era reformasi, pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan pemerintah dan 2
pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan pengawasan. Program pembangunan desa lebih bersifat bottom up atau kombinasi dari keduanya. Top-down Planning adalah perencanaan pembangunan yang lebih
merupakan
inisiatif
pemerintah
(pusat
atau
daerah).
Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah atau dapat melibatkan masyarakat desa di dalamnya. Namun demikian, orientasi pembangunan tersebut tetap untuk masyarakat desa. Sedangkan Bottom up Planning adalah perencanaan pembangunan dengan menggali potensi riil keinginan atau kebutuhan masyarakat desa. Masyarakat desa diberi kesempatan dan keleluasan untuk membuat perencanaan pembangunan atau merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Masyarakat desa dianggap lebih tahu apa yang mereka butuhkan. Pemerintah memfasilitasi dan mendorong agar masyarakat desa dapat memberikan partisipasi aktifnya dalam pembangunan desa. Sementara itu kombinasi antara Bottom-up dan Top-dowm Planning adalah perencanaan oleh pemerintah (pusat atau daerah) bersama-sama dengan masyarakat desa membuat perencanaan pembangunan desa. Ini dilakukan karena masyarakat masih memiliki berbagai keterbatasan dalam menyusun suatu perencanaan dan 3
melaksanakan
pembangunan
yang
baik
dan
komprehensif.
Pelaksanaan pembangunan melibatkan dan menuntut peran serta aktif masyarakat desa dan pemerintah. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa yang harus diperhatikan adalah harus bertolak dari kondisi existing desa tersebut. Esensi dari pembangunan desa adalah
“bagaimana
desa
dapat
membangun/
memanfaatkan/
mengeksploitasi dengan tepat (optimal, efektif dan efisien) segala potensi dan sumber daya yang dimiliki desa untuk memberikan rasa aman, nyaman, tertib serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa berkaitan erat dengan permasalahan sosial, ekonomi, politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan dalam negeri. Masyarakat dinilai masih perlu diberdayakan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan. Oleh karena itu, perlu perhatian dan bantuan negara (dalam hal ini pemerintah) dan masyarakat umumnya untuk menstimulans percepatan pembangunan desa di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bantuan masyarakat dapat berasal
dari
masyarakat
dalam
negeri
maupun
masyarakat
internasional. Meskipun demikian, bantuan internasional melalui organisasi- organisasi internasional bukanlah yang utama, tetapi lebih bersifat bantuan pelengkap. Semua bentuk bantuan, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta (dalam bentuk Corporate Social 4
Responsibility, hibah dan sebagainya), maupun organisasi-organisasi non-pemerintah (Lembaga Sosial Masyarakat) dalam negeri maupun internasional adalah merupakan stimulus pembangunan di daerah pedesaan. Semestinya yang dikedepankan adalah kemampuan swadaya masyarakat desa itu sendiri. Euforia reformasi masih hangat dibicarakan sampai dengan saat ini, padahal itu sudah terjadi sekian tahun lamanya walaupun hasilnya masih jauh dari sempurna. Di awal reformasi digulirkan, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan publik di antaranya UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang didalamnya sudah tampak jelas adanya sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk menata dan mengatur proses pembangunan di segala bidang didaerahnya masing-masing. Akan tetapi, hal itu masih belum tepat pada sasaran yang tujuannya adalah untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, telah dikeluarkan aturan yang lebih spesifik, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005. Guna memperbaiki pelaksanaan Otonomi Daerah pada tahun 2014 dikeluarkan UU No 6 Tahun 2014 yang penyelenggaraannya di keluarkan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 berhubungan dengan
pembangunan desa
secara
yang
menyeluruh. 5
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur sistem pemerintahan sampai dengan pembangunan, dengan berbagai macam dana pembangunan yang dikucurkan oleh pemerintah, di antarannya adalah ADD, PNPM Mandiri, KUR/KUK serta topangan dana lainnya yang semuanya digunakan untuk pembangunan masyarakat secara luas baik secara fisik maupun nun fisik (perekonomian). Secara keseluruhan, tampak bahwa situasi sosial yang terjadi di negeri masih memiliki kekurangan. Saat ini masih ditemukannya banyak ketimpangan antara desa/kelurahan sesuai dengan data Kementrian Dalam Negeri Tahun 2013, tercatat jumlah administrasi desa mencapai 72.944 dan administrasi kelurahan sebanyak 8.309, sehingga total desa/kelurahan saat ini sejumlah 81.253 desa/kelurahan. Sebanyak kurang lebih 32 ribu desa dan di dalamnya termasuk desa
maritim, masuk dalam
arsiran daerah yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Oleh karena itu, Undang-Undang Desa ini memiliki dua tujuan besar yaitu, perluasan kesejahteraan dan mereduksi disparitas wilayah. Undang-Undang Desa ini, diharapkan menjadi salah satu lompatan sejarah dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Dijelaskan juga bahwa komitmen program pro rakyat yang dijadikan basis pembangunan dalam kurun waktu 10 tahun dalam kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono merupakan 6
wujud keberpihakan kepada kelompok masyarakat akar rumput yang dalam piramida kependudukan berada paling di bawah. Komitmen ini juga sudah banyak dirasakan sepanjang periode 2004-2013, seperti misalnya adanya program PNPM, KUR, Bantuan Siswa Miskin, BOS, Raskin, BPJS, dan lain sebagainya. Program-program ini didesain dengan memberi rasa keadilan serta memberi ruang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini, utamanya dalam memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara itu, era Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo lebih menekankan pada Pembangunan Kemaritiman. Pembangunan kemaritiman ini tidak terlepas dari Pembangunan Desa Maritim. Dahuri et al., (2001) menyatakan bahwa, wilayah pesisir merupakan kawasan sumber daya potensial di Indonesia. Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia yang mencapai
sekitar 81.000 km. Garis pantai yang
panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber daya alam yang besar. Potensi itu merupakan sumber daya hayati dan non hayati. Potensi hayati dapat berupa: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non hayati dapat berbentuk: mineral dan
7
bahan tambang serta pariwisata. Di daerah pesisir juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera. Pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat
dalam bentuk pengelolaan secara bersama di
mana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada
pelaksanaan
menyatakan kebijakan pengelolaan
dan
bahwa
kebijakan
pemerintah laut
pengawasannya. Kelautan
Republik
yurisdiksi
Pusjianmar Nasional
Indonesia
nasional
yang
secara
(2013)
merupakan menyangkut
terpadu
dan
komprehensif. Hal tersebut akan bertumpu pada tiga bidang pokok, yaitu Politik, Ekonomi, dan Pertahanan Keamanan. Oleh karena itu langkah awal yang harus dilakukan adalah penciptaan ocean governance guna mewujudkan ketahanan nasional. Sedangkan empat unsur penting dari faktor keberhasilan dalam pembangunan maritim, antara lain adalah kompetisi, lokasi, jaringan, dan pemerintah. Kebijakan pembangunan maritim diukur melalui kebijakan yang dilengkapi dengan “New Vision” yang lebih kompetitif
dalam
pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan
kemaritiman idealnya mencakup berbagai macam komponen pembangunan diantaranya adalah pembangunan perekonomian, peningkatan pendidikan, serta pelayanan kesehatan yang memadai. 8
Karena bilamana ketiga hal itu terpenuhi semua sudah pasti kesejahteraan masyarakat akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Sementara itu, pembangunan desa maritim merupakan suatu ide baru yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pengembangan dan kemajuan desa-desa di Indonesia di wilayah pesisir/daerah pantai. Dan bila kita inginkan agar Indonesia menjadi pusat kemaritiman di Asia Tenggara, maka pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah bukan hanya berfokus pada area Pesisir /Pantai tapi juga harus berorintasi kepada Pesisir, laut serta daratan karena saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Pembangunan Pesisir, Laut dan daratan tanpa memperhitungkan sistem hubungan ketiga area ini maka pembangunan kemaritiman tidak
akan
mendatangkan
kesejahteraan
bagi
rakyat.
(desamerdeka.co.id – 3/3/2015). Sedangkan secara geografis, Jawa Timur memiliki wilayah pesisir dan pantai yang sangat luas. Wilayah pesisir dan pantai Jawa Timur mempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup beragam, diantaranya potensi perikanan tangkap, budidaya tambak, industri pengolahan ikan, pertanian, perkebunan, peternakan dan wisata pantai. Namun dibalik kekayaan potensi sumberdaya alam tersebut wilayah pesisir dan pantai mempunyai beragam permasalahan yang mendasar 9
yaitu sumberdaya manusianya masih marginal terutama dibidang pendidikan berdasarkan hasil penelitian di salah satu wilayah di Jawa Timur bahwa tingkat pendidikan masyarakat pesisir mayoritas masih tamat SD (sekitar 45 %), yang tidak tamat SD bisa mencapai 15 %, Bekerja di sektor nelayan dan pertanian 35 %, dan pengangguran mencapai 15 %. Bagi yang berpendidikan setingkat SMP mereka banyak yang memilih menjadi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri (TKI) sebagai pilihan hidupnya untuk berjuang keluar dari kemiskinannya. Sementara pekerjaan di sektor perikanan dan pertanian merupakan pekerjaan musiman, dan mereka sebagian berperan sebagai buruh nelayan dan buruh tani yang pendapatannya cukup minim. Sebagai salah satu upaya untuk memberikan kontribusi pada penanggulangan dan pengentasan kemiskinan di Jawa Timur, maka Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Provinsi Jawa Timur mulai Tahun 2010 telah melaksanakan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai (P2MPP), yang dialokasikan pada 8 Kabupaten, 8 desa pesisir di Jawa Timur. Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai (P2MPP) ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi di wilayah pesisir dan pantai berlandaskan budaya dan kearifan lokal. Disamping itu, melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai diharapkan mampu 10
mewujudkan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan secara dapat
profesional
dan
berkelanjutan
sehingga
mengembangkan pola-pola baru yang inovatif untuk
penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai dikelola secara terpadu dengan membuka ruang partisipasi antar stakeholders dalam rangka memfasilitasi pemberdayaan RTM maupun pengembangan perekonomian diwilayah pesisir dan pantai. Dalam implementasinya, peran serta Perguruan Tinggi (PT) yang memiliki pengalaman dibidang pemberdayaan masyarakat dan pengembangan potensi sumberdaya,
diperlukan
sebagai fasilitator dan mediator bagi
pengembangan akses dan kerjasama dalam mengembangkan potensi pesisir dan pantai untuk kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai mempunyai prioritas program yang berkaitan dengan pembangunan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs 2015, khususnya dibidang perekonomian masyarakat perdesaan, dengan mengacu pada potensi dan permasalahan yang ada diwilayah pesisir dan pantai dengan mengusung prinsip pada pembangunan manusia, keberpihakan terhadap orang miskin, transparansi, partisipasi, kompetisi sehat, desentralisasi, akuntabilitas dan mengoptimalkan
11
pengelolaan sumberdaya alam yang lestari & berkelanjutan. (sumber: Bappenas Provinsi Jawa Timur). Sedangkan kebijakan Pembangunan Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2025 diarahkan pada masing-masing misi sebagai berikut: 1. Misi Pertama, mengembangkan perekonomian modern berbasis agrobisnis diarahkan pada transformasi sistem agrobisnis; pengembangan sistem informasi agrobisnis; pengembangan sumberdaya
agrobisnis;
pembinaan
sumberdaya
manusia; pembangunan fasilitas penelitian dan pengembangan pertanian; penguatan struktur perekonomian; penguatan struktur industri; optimalisasi perdagangan; pemberdayaan koperasi dan UMKM; optimalisasi peran lembaga keuangan dan perbankan, percepatan investasi, serta pengembangan pariwisata; 2. Misi Kedua, mewujudkan SDM yang handal, berakhlak mulia dan berbudaya
diarahkan
pada
pembangunan
pendidikan;
pembangunan kehidupan beragama; pengembangan kebudayaan; pembangunan pemuda dan olah raga; pemberdayaan perempuan; sertapembangunan dan pemantapan jatidiri bangsa; 3. Misi Ketiga, mewujudkan kemudahan memperoleh akses untuk meningkatkan kualitas hidup diarahkan pada pembangunan kesehatan;
pembangunan
kependudukan;
pembangunan 12
ketenagakerjaan; pembangunan kesejahteraan sosial, serta penanggulangan kemiskinan; 4. Misi Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan diarahkan pada pengembangan keanekaragaman pemanfaatan sumber daya alam dan buatan; pengembangan energi; pendayagunaan sumber daya alam,pendayagunaan sumber daya alam tak-terbarukan; pengembangan potensi sumber daya kelautan; serta penanganan kebencanaan; 5. Misi Kelima, mengembangkan infrastruktur bernilai tambah tinggi diarahkan pada pembangunan transportasi; pengelolan sumber daya air; perumahan dan permukiman; pengembangan wilayah; serta penyelenggaraan penataan ruang; 6. Misi Keenam, mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik diarahkan pada pembangunan hukum; penyelenggaraan pemerintahan; pembangunan politik; pembangunan komunikasi dan informasi; pembangunan keamanan dan ketertiban ; serta pembangunan keuangan daerah. Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki wilayah pesisir cukup luas, selain sebagai penopang kota Surabaya dikarenakan kedua daerah tersebut saling mendukung dan saling menopang termasuk rencana pembangunan jangka menengah maupun jangka panjang kedua daerah ini biasanya 13
saling berkesinambungan. Secara berkesinambungan kabupaten ini melakukan pembangunan di bidang kemaritiman diantaranya adalah pemberdayaan masyarakat pesisir dalam berbagai bidang guna menuju swasembada dan peningkatan ekonomi kerakyatan. Dalam perencanaan pembangunan desa termasuk desa yang berada di pesisir pantai atau desa maritim, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sudah melakukan
sosialisasi
kepada
semua
komponen.
Komponen
masyarakat ini meliputi masyarakat secara individu, kelompok serta organisai yang ada di masing-masing desa seperti Karang Taruna, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Organisasi Keagamaan (Pengurus Masjid/Majelis Ta’lim) agar selalu diikut sertakan dalam setiap proses pembangunan desa. Untuk mengetahui secara jelas tentang pembangunan desa maritim, maka desa yang akan dijadikan tempat penelitian adalah Dusun Kepetingan Desa Sawoan Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo. Dusun Kepetingan Desa Sawohan merupakan desa terisolir dan tertinggal di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Hidup dengan akses yang terbatas sudah menjadi “makanan” sehari-hari warga Dusun Kepetingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran. Jalur darat hanya bisa dilewati kala siang dan musim kemarau. Sedangkan akses sungai memakan waktu sekaligus mengeluarkan biaya yang relatif mahal. 14
Bagi sebagian kalangan, nama dusun berpenduduk 150 kepala keluarga tersebut relatif akrab. Sebab, di sana ada makam Nyai Sekardadu, yang menurut sejarah merupakan ibu Sunan Giri dan biasanya menjadi salah satu tujuan wisata religi pada setiap perayaan nyadran menjelang bulan Ramadan tiba. Letak dusun itu cukup tertutup dari kawasan lain. Selain jarak yang lumayan jauh, akses menuju dusun yang terdiri atas dua RT tersebut sangat terbatas. Jalur darat memang tersedia. Namun, penduduk setempat hanya menggunakannya sebagai alternatif, sebab jalur darat hanya bisa ditempuh saat musim kemarau. Jalur yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter itu tidak layak disebut sebagai jalan. Sebagian jalan tersebut memang sudah di paving, akan tetapi sudah banyak yang rusak dikarenakan gemburnya tanggul dipematang tambak. Selebihnya jalur tersebut memanfaatkan pematang tambak yang berupa tanah dan rerumputan dan tidak bisa dilewati ketika musim hujan. Apalagi kalau malam jalan tersebut gelap gulita. Tidak ada satu penerangan pun di sana. Meski demikian, di jalan itu jarang, bahkan tidak pernah, ada tindak kriminal. Lebih banyak warga dusun yang menggunakan jalur air untuk bepergian ke daerah lain. Beberapa warga setempat menyediakan perahu tradisional yang digerakkan oleh tenaga diesel. Warga membangun sedikitnya lima dermaga sederhana di pinggir sungai. Perahu baru bisa menepi ketika air sungai pasang. 15
Sebab, bagian pinggir sungai cenderung dangkal dan berlumpur. Karena itu, perahu berisiko tersangkut. Dipilihnya desa ini karena desa ini dipandang memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan desa pesisir lainnya. Selain itu hampir sebagian masyarakat desa ini menggantungkan kehidupanya dari laut dan pesisir pantai. Mayoritas perekonomian masyarakat desa ini adalah dari hasil laut dibuktikan dengan banyaknya masyarakat desa yang berprofesi sebagai nelayan dan petambak serta profesi lainnya yang bersumber dari hasil tambak dan biota laut. Selain itu desa ini memiliki adat istiadat, keagamaan, kondisi
geografis,
situsi
sosial
masyarakat
yang
selalu
mengedepankan rasa gotong royong dalam segala hal. Pembangunan pedesaan termasuk desa maritim tidak terlepas dari pembangunan insan manusia yang mencakup seluruh dimensi kemanusiaan seutuhnya, rohaniyah,
aqliyah dan jasmaniyah.
Rohaniyahnya dibangun dengan iman dan takwa menerusi orientasi ketekunan
beribadah,
pupukan
sifat-sifat
keutamaan
dan
pegasimilasian sifat-sifat ketuhanan. Aqliyahnya dibangunkan dengan membebaskan dari belengggu tahyul, khurafat dan fahaman sesat lantas mengarahkannya memerhati dan meneliti semesta raya dengan segala fenomena dan panoramanya secara rasional dan saintifik.
16
Di samping itu manusia diinsafkan bahwa akal adalah anugerah istimewa yang mencirikan kemanusiaannya dan sekaligus amanah Tuhan yang harus dipelihara kewarasannya. Pembangunan insan tidak hanya terbatas pada tahap individu tetapi mencakup juga pembangunan insan pada tahap kolektif. Dengan ungkapan lain, pembangunan insan fardiah dan jamaiyyah. Diaturnya kehidupan berkeluarga dengan segala hukum hakamnya sehingga kehormatan keluarga terjamin dan terkawal. Seterusnya diatur pula kehidupan bermasyarakat dengan dasar-dasar persaudaraan dan keadilan, permuafakatan, dan ketaatan. Dengan prinsip-prinsip ini terbangunlah masyarakat unggul dengan rakyat yang sahih dan imam yang adil. Dalam Surat Al-Qasas ayat 77 Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan nasibmu (keperluan dan bekalanmu) dari dunia dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba Allah) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian nikmat-Nya
yang
melimpah-limpah)
dan
janganlah
engkau
melakukan kerusakan di muka bumi; sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan”. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa sesungguhnya pembangunan itu sulit terjadi tanpa adanya rasa kebersamaan. Partisipasi masyarakat secara luas 17
diharapkan dapat menjadikan proses pembangunan berjalan dengan baik dan tujuan dari pembangunan desapun berhasil sesuai dengan perencanaan. Selain itu masyarakat bisa menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan tersebut. Seperti yang terdapat di dalam Al Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 telah diperintahkan kepada manusia "Bertolong menolonglah kamu di dalam berbuat kebajikan dan takwa dan janganlah bergolong royong dalam berbuat dosa dan perusuhan ". Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengungkap beberapa fenomena tersebut secara mendalam. Susilo (2014) menjelaskan bahwa manifesto kehidupan berdemokrasi yang ideal mensyaratkan adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pengambilan kebijakan publik dalam negara baik itu di bidang ekonomi, sosial, terlebih dalam hal artikulasi kepentingan politik. Artinya penyelenggaraan pemerintah harus melibatkan warga masyarakat. Pemerintah harus melihat rakyat sebagai warga negara (bukan pelanggan), sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali serta percaya
terhadap
keefektifan
kolaborasi.
Pemerintah
harus
membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi melainkan lebih mengutamakan keterlibatan warga masyarakat yang harus dilihat sebagai “investasi” yang signifikan. 18
Dalam hal partisipasi masyarakat, Ibori (2011) menuliskan bahwa
partisipasi
publik dalam
kebijakan pembangunan di
negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktik pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60-an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD 1945 pasal 28 tentang “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu dikuatkan pada pasal 28E ayat (3) dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sejak tahun 1966 Presiden Soeharto menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde baru yang sentralistik, seluruh kebijakan bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki 19
pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana. Mengacu pada kedua penelitian diatas, Ibori (2011) dan Susilo (2014) hasil yang didapatkan adalah saling melengkapi, akan tetapi belum ada yang mengungkap tentang hal yang sudah dicapai dalam partisipasi tersebut dalam peningkatan perekonomian, pendidikan serta pelayanan kesehatan secara spesifik. Penelitian di atas hanya menekankan pada tingkat partisipasi masyarakat. Kondisi inilah menjadi peluang untuk dikaji sehingga diketahui upaya apa yang harus dikedepankan agar partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa dapat mewujudkan hal tersebut. Partisipasi masyarakat merupakan faktor penentu serta sekaligus menjadi indikator keberhasilan sebuah pembangunan. Sebaik dan sehebat apapun pemerintah membangun, jika tidak melibatkan serta menumbuhkan partisipasi masyarakat, maka tingkat keberhasilan pembangunan dan keberlanjutan program pembangunan akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan adanya partisipasi masyarakat. Melihat fenomena yang ada serta proses pembangunan desa maritim yang didukung oleh adanya partisipasi masyarakat yang terjadi, penelitian ini akan mengungkap fenomena tersebut dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. 20
B. Perumusan Masalah Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
diatas
tentang
pembangunan desa maritim, pemerintah menyadari masih banyak desa pesisir belum mendapat perhatian maksimal dan belum diberdayakan. Warganya yang mayoritas nelayan juga menghadapi berbagai masalah yang tidak mungkin diatasi tanpa uluran tangan pemerintah. Karena itu meskipun banyak upaya telah dilakukan, umumnya dapat dikatakan belum membawa hasil yang maksimal terlebih mendapat nilai yang memuaskan. Melihat fenomena yang terjadi dalam latar belakang masalah diatas, menghantarkan peneliti untuk melakukan pengkajian secara mendalam dan penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana Pandangan Masyarakat Pesisir tentang Membangun Desa Maritim?
2.
Bagaimana Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Pembangunan Desa Maritim?
3.
Bagaimana
Model
Pembangunan
Desa
Maritim
yang
diinginkan oleh masyarakat pesisir serta harapan dan azas kemanfaatan dalam peningkatan perekonomian, peningkatan pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi Masyarakat Pesisir?
21
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mendeskripsikan pemahaman masyarakat memahami akan arti Membangun Desa Maritim.
2.
Mendeskripsikan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa maritim.
3.
Mendeskripsikan proses pelaksanaan Pembangunan Desa Maritim dan model pelaksanaannya serta hasil yang telah dicapai dan azas kemanfaatan bagi masyarakat pesisir.
D. Manfaat Penelitian Seperti apa yang dipaparkan Sugihastuti (2000) bahwa “tulisan ilmiah merupakan wujud buah pikiran penulis yang akan dikomunikasikan kepada pembaca. Penyusunan karya ilmiah memberikan manfaat yang besar sekali, baik bagi penulis maupun bagi masyarakat pada umumnya. Sekurang-kurangnya ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penulisan tersebut diantaranya : 1. Secara Akademis penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kajian tentang Pemahaman
dan
Partisipasi
Masyarakat
Pesisir
dalam
Pembangunan Desa Maritim sebagai salah satu program utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. 22
2. Dalam wilayah praktis, penelitian ini memberi manfaat bagi publik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya kita membangun desa maritim, serta bagaimana masyarakat pesisir membangun desa maritim dan hasil apa yang telah dicapainya, bagaimana dukungan
pemerintah
diatasnya,
bagaimanakah
partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Sedangkan bagi penentu kebijakan mencoba melihat fenomena masyarakat pesisir bahwa dalam menentukan kebijakan publik tidak melulu Top Down akan tetapi sesekali Botton Up dengan melihat kondisi yang diinginkan masyarakat agar proses pembangunan ini benar-benar tepat sasaran. 3. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, rekomendasi serta solusi-solusi konkrit yang diberikan agar menjadi pertimbangan dalam
melaksanakan
pembangunan
desa
maritim
agar
pembangunan ini dapat berjalan sebenar-benarnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pemerintah. Bagi para peneliti lainnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk bahan pertimbangan atau tindak lanjut penelitian berikutnya.
23