1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi telur. Telur merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang memiliki gizi yang lengkap, mudah dicerna, harganya murah, serta dapat dikonsumsi oleh semua masyarakat.
Komposisi kimia telur ayam terdiri dari air sekitar 73,6%, protein 12,8%, lemak 11,8%, karbohidrat 1,0%, dan komponen lainnya 0,8% (Kusnadi, 2007). Menurut Yuwanta (2010), telur merupakan salah satu produk unggas yang kaya akan asam amino esensial seperti lisin, triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial terbatas. Telur mudah mengalami kerusakan dan penurunan kualitas akibat masuknya bakteri ke dalam telur ketika telur berada di dalam maupun sudah di luar tubuh induknya. Umumnya telur akan mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan setelah disimpan selama 10--14 hari (Syarief dan Halid, 1990).
2
Telur yang beredar di Lampung pada umumnya berasal dari ayam petelur dengan strain lohman brown dan isa brown. Kualitas telur strain lohman brown secara umum ukuran telurnya lebih kecil, jumlah telur dalam setahun hanya mencapai 305 butir/ ekor, berat telur rata-rata mencapai 58--60 g, dan jika dibandingkan dengan strain isa brown jumlah telur dalam setahun hanya mencapai 300 butir/ekor dengan berat telur rata-rata mencapai 60--62 g ( Rasyaf,1995).
Minimnya pengetahuan tentang strain ayam petelur menyebabkan masyarakat belum mengerti tentang kelebihan strain yang akan diteliti. Hal ini diduga karena masyarakat belum mengetahui jenis strain ayam yang dibudidayakan. Kualitas telur yang terbaik berada pada saat ditelurkan, semakin lama penyimpanan mengakibatkan penurunan kualitas telur. Menurut Sudaryani (2003), telur akan mengalami perubahan seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan dan gas dalam telur. Indikasi rusaknya telur selama penyimpanan adalah penurunan kualitas telur meliputi penurunan kekentalan putih telur, besarnya kantung udara, ada tidaknya noda, dan aroma isi telur. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik meneliti tentang perbandingan penurunan berat telur, nilai haugh unit, dan tebal kerabang telur ayam ras umur simpan sepuluh hari dari strain ayam yang berbeda lohman brown dan isa brown dengan fase produksi umur 58 minggu.
3
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tebal kerabang, penurunan berat telur, dan nilai haugh unit telur ayam ras umur simpan sepuluh hari dari strain ayam yang berbeda.
C. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak ayam ras dan masyarakat mengenai kualitas penyimpanan telur berdasarkan strain ayam yang dibudidayakan.
D. Kerangka Pemikiran Telur ayam ras merupakan sumber protein hewani yang mudah didapatkan, murah harganya, dan disukai oleh masyarakat. Akan tetapi, telur merupakan bahan pangan yang memiliki masa simpan terbatas (semi perishable food) karena banyak mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kualitas telur yang terbaik berada pada saat ditelurkan dan akan mengalami penurunan kualitas selama penyimpanan. Strain merupakan salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas ayam. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan pendahuluan terhadap kualitas telur ayam dalam keadaan segar diperoleh berat telur rata-rata berkisar antara 58--60 g, rata-rata nilai haugh unit (HU) 87,50 dengan kualitas AA, dan rata-rata tebal kerabang 0,35 mm pada strain lohman brown. Kualitas telur ayam strain isa brown berat
4
telur rata-rata berkisar antara 60--62 g, rata-rata nilai HU 85,90 dengan kualitas AA, dan rata-rata tebal kerabang 0,35 mm. Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa strain yang berbeda dapat menghasilkan kualitas internal telur yang berbeda pula, apalagi jika telur telah disimpan selama 10 hari diduga akan terjadi perbedaan pada kualitas internal telurnya. Menurut Hintono (1997), penurunan kualitas telur terjadi selama penyimpanan, ditandai dengan adanya penurunan berat, pengenceran putih telur, dan penurunan nilai HU. Telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 2 minggu pada ruang terbuka. Berkaitan dengan kualitas telur, tingginya suhu udara di wilayah tropis seperti Indonesia sangat memengaruhi lama penyimpanan telur. Ketahanan telur yang disimpan tanpa pengawetan hanya mampu bertahan sekitar 8 hari (Kusnadi, 2007). Lama penyimpanan telur selama 14 hari memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan persentase penurunan berat telur, penurunan nilai HU, dan tebal kerabang (Priadi, 2002).
Penyimpanan telur pada suhu ruang hanya tahan 10--14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan seperti terjadinya penguapan H2O melalui pori kulit telur yang berakibat berkurangnya berat telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya pengenceran isi telur (Syarief dan Halid, 1990). Hasil penelitian Hiroko (2014) menunjukkan bahwa penurunan berat telur pada penyimpanan telur selama 10 hari ( 1,79 %) berbeda nyata lebih rendah daripada
5
penyimpanan selama 15 hari ( 3,09 % ). Demikian juga nilai HUnya berbeda nyata pada telur yang disimpan selama 10 hari (57,47 ) dan 15 hari ( 47,69 ). Selain hal di atas, kualitas internal telur dipengaruhi oleh umur ayam ras. Dalam hal ini ayam ras yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pada fase produksi kedua. Scott dkk. (1982) menyatakan bahwa periode produksi ayam petelur terdiri dari dua periode yaitu fase I dari umur 22--42 minggu dengan ratarata produksi telur 78% dan berat telur 56 g, fase II umur 42--72 minggu dengan rata-rata produksi telur 72% dan bobot telur 60 g . Kondisi telur pada fase dua ini akan menghasilkan telur dengan kerabang lebih tipis dan luas permukaan yang besar, sehingga menyebabkan penguapan CO2 dan H2O melalui pori-pori selama penyimpanan lebih cepat. Akibatnya laju penurunan kualitas internal telur semakin cepat. Perbedaan ukuran telur ini, diduga akan berpengaruh pada kualitas internal telur pada lama penyimpanan selama 10 hari.
E. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan tebal kerabang, penurunan berat telur, dan nilai haugh unit telur ayam ras umur simpan sepuluh hari dari strain ayam yang berbeda.