1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lahan kritis atau sering disebut juga lahan marginal merupakan lahan bermasalah yang dalam pemanfaatanya memerlukan teknologi khusus. Lahan kritis atau marginal menurut istilahnya adalah berhubungan dengan tepi (batas), tidak terlalu menguntungkan, dan berada di pinggir (Yuwono, 2009). Produktivitas lahan kritis sangat ditentukan oleh karakteristik fisik, iklim, tanah, hidrologi dan topografi. Kemiringan lereng yang tinggi akan mengakibatkan permasalahan semakin kompleks, karena curah hujan yang tinggi akan meningkatkan laju erosi (Paiman dan Armando, 2010). Sebagian besar daerah pertanian di Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah karst. Kira–kira luas daerah karst 53,40% dari luas kabupaten. Budidaya pertanian di daerah karst Gunungkidul hampir semuanya dilakukan di lahan kering, yaitu tegalan 68.734 ha dan pekarangan 42.633 ha (Koesnaryo, 2006). Produktivitas pertanian masih rendah. Ketersediaan air yang rendah menjadi faktor utama penghambat perkembangan sektor pertanian. Kesulitan akses air di Kabupaten Gunungkidul karena akuifer yang sangat dalam dan karakter fisik ekosistem karst (Brontowiyono dkk., 2013). Karakteristik fisik formasi karst memberikan sistem drainase yang unik dan didominasi oleh aliran bawah permukaan. Pada musim penghujan, air hujan yang jatuh ke daerah karst tidak dapat tertahan di permukaan tanah tetapi akan masuk
2
langsung ke jaringan sungai bawah tanah melalui ponor/ luweng (Suryatmojo, 2006). Sumber air permukaan di kawasan karst diperoleh hanya melalui telaga dan sumber air dari sungai bawah tanah yang keluar di lokasi tertentu. Akibatnya pada musim kemarau sering terjadi kekeringan yang parah dan kekurangan pasokan air untuk memenuhi
kebutuhan
masyarakat
(Tjakrawidjaja
dkk.,
1993).
Kekeringan
menyebabkan tanah kurang subur, sehingga pada musim kemarau para petani tidak bisa bercocok tanam (dibero-kan), padahal sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang mencari sumber mata pencaharian lain, misalnya dengan menambang batu gamping di lahan karst. Daerah karst yang merupakan daerah resapan air menjadi rusak akibat aktivitas penambangan, padahal upah yang diterima oleh penambang tidak seberapa. Di
Kabupaten
menggantungkan
Gunungkidul, dari
para
pengusaha
penambang rakyat penambangan
atau
ini kuasa
sebagian
besar
pertambangan.
Seperti diakui Ratnoko (50), penambang rakyat penduduk Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, sudah lebih 3 tahun bekerja sebagai penambang. Hampir setiap hari mereka menggali batu yang terdapat di bukit dengan menggunakan peralatan sederhana, dan dijual kepada pengusaha dengan harga Rp 6.000,00 per meter kubik. Rata-rata sehari mereka bias menjual 3 meter kubik, sehingga penghasilan kotor bagi penambang rakyat hanya Rp 18.000,00.
3
Gambar 1.1. Aktivitas penambangan batu gamping merusak lingkungan Kondisi fisik dan sosial ekonomi di Kabupaten Gunungkidul, mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dan ketidakberdayaan. Namun, dibalik semua itu, masyarakat berusaha keras untuk lepas dari kondisi ketidakberdayaan tersebut dengan memanfaatkan air hujan. Sejatinya, daerah ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Perhitungan curah hujan di stasiun Wonosari menunjukkan bahwa curah hujan rerata tahunan (dari tahun 1978 – 2008) di Kabupaten Gunungkidul adalah sebesar 1940 mm/tahun. Hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 340 mm, dan hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 17,5 mm (Sudarmadji dkk, 2012). Berdasarkan penelitian Brontowiyono dkk. (2013), mengenai pemanfaatan air hujan berbasis teknologi irigasi di lahan marginal Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, maka strategi utama untuk memperkuat pengembangan produktivitas pertanian di lahan kritis Gunungkidul adalah dengan mengoptimalisasi air hujan untuk irigasi. Selain itu, berdasarkan penelitian Soegiharto (2012), pemanfaatan air hujan sangat efektif digunakan untuk pengembangan budidaya perikanan di Kabupaten Gunungkidul.
4
Dari
18
Kecamatan
di
Kabupaten
Gunungkidul,
12
diantaranya
dikembangkan menjadi unit–unit usaha budidaya ikan (Soegiharto, 2012). Pada tahun 2011 berdasarkan SK Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No: 70/DJ-PB/2010 tentang Penetapan 24 Lokasi Sentra Produksi Perikanan Budidaya sebagai percontohan Tahun 2011, Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul ditetapkan sebagai
kawasan
Percontohan
Minapolitan.
Selain
itu,
Kawasan
Sentra
Pengembangan Perikanan (KSPP) dilaksanakan di Kecamatan Playen, Gedangsari, Karangmojo dan Ponjong, adapun jenis ikan yang diusahakan lele, gurami dan nila, sedangkan kawasan lainnya merupakan daerah hinterland atau daerah pendukung. Adapun perikanan yang menjadi unggulan di Kabupaten Gunungkidul adalah Lele Lahan Kering (LELAKI). Sebagai salah satu kawasan minapolitan di Indonesia
dengan
komoditas
ikan
lele,
Kabupaten
Gunungkidul
telah
mengembangkan teknik budidaya dengan sistem terpal, selain kolam permanen, semi permanen dan kolam tanah. Sistem terpal sangat efektif untuk pengembangan lele karena jenis ikan ini hanya membutuhkan sedikit penggantian air dan bisa hidup dengan baik di air tergenang. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir apabila kemarau tiba. Luas lahan yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya lele ada 146.700 hektar dari luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar 1.485,36 km2. Persentase lahan yang bisa digunakan untuk budidaya lele adalah 2,3% dari keseluruhan wilayah yang ada, sedangkan saat ini lahan yang dimanfaatkan baru sebesar 23.019 m2 atau 0,16% dari luasan wilayah dengan produksi sebesar 1.412.544 kg (Soegiharto, 2012).
5
Penelitian Soegiharto (2012) mengenai teknologi pemanfaatan air hujan untuk budidaya lele, menggunakan lima kecamatan sebagai sampel yaitu Paliyan, Playen, Nglipar, Semin, dan Ponjong. Luas lahan budidaya 25.679 m2 dengan produksi lele 764.954 kilogram, produktivitasnya hanya sebesar 1,93 kg/m 2/tahun. Nilai produktivitas yang relatif rendah dibandingkan rerata luas kolam yang tersedia sebesar 146.700 hektar. Untuk itu masih sangat dimungkinkan dilakukan pengembangan budidaya di daerah tersebut. Perikanan lele lahan kering pun bisa menjadi alternatif sumber mata pencaharian pengganti tambang batu gamping, karena hanya dengan lahan (5X10) m2, padat tebar 240 ekor/m2 atau 12.000 ekor/ kolam, ukuran tebar benih 5-7 cm harga Rp 200/ekor, pakan 1 ton Rp 8.500.000,00 (dilakukan secara intensif), maka akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.100.000,00/ 2 bulan – Rp 6.100.000,00/ 2 bulan atau Rp 3.500/ hari – 117.000/ hari, sehingga usaha ini layak dikembangkan (Asmara, 2014). Dorongan untuk terus mengembangkan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul, selain dari potensi lingkungan dan kelayakan usaha juga karena angka konsumsi ikan di Kabupaten Gunungkidul terus naik. Dalam lima tahun (2007–2011), angka konsumsi ikan dari 7,29 kg/kapital/orang/tahun pada tahun 2007, menjadi 18,24 kg/kapital/orang/tahun pada tahun 2011. Gambar 1.2 menunjukkan angka kenaikan konsumsi ikan dari tahun 2007 – 2011. Gambar 1.3 menunjukkan lele merupakan produksi budidaya perikanan terbesar di Kabupaten Gunungkidul
6
Gambar 1.2. Peningkatan angka konsumsi ikan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011)
7
Gambar 1.3. Lele merupakan produksi budidaya perikanan terbesar di Kabupaten Gunungkidul (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012) Kebutuhan konsumsi ikan yang tinggi perlu diimbangi dengan ketersediaan produksi ikan. Di Kecamatan Ponjong pertumbuhan rumah makan ikan sangat pesat, namun belum diimbangi dengan angka ketersediaan stok ikan. Sekitar 5 ton kebutuhan ikan tiap bulan masih banyak disuplai dari daerah lain karena produksi lokal belum bisa memenuhi. Hampir di semua pasar di Kabupaten Gunungkidul kekurangan lele, seperti di Pasar Ponjong, kebutuhan lele per minggu mencapai 1,5
8
ton. Sementara pembudidaya lele baru bisa memasok sekitar 25%. Masyarakat bersama pemerintah harus terus mengembangkan perikanan di daerah ini. Selain kebutuhan ikan untuk rumah makan, juga yang tidak kalah penting adalah kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga. Menurut Badan Ketahanan Pangan, Deptan (2007), Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah rawan pangan. Oleh karena itu, PP No 68 Tahun 2002, mengamanatkan bahwa untuk mengembangkan usaha perikanan yang mendukung ketahanan pangan harus berdasarkan sumberdaya perikanan di daerah rawan pangan (Hikmayani, 2010). Bertolak dari hal tersebut, maka upaya untuk memenuhi tantangan ketahanan pangan harus memperhatikan daya dukung lingkungan yang meliputi aspek Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik. Penataan wilayah atau penataan ruang pengembangan budidaya yang tidak memperhatikan daya dukung mengakibatkan pengelolaan yang tidak tepat, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan dengan berbagai aspek komplikasinya dalam jangka waktu yang lama. Kegagalan panen atau berhentinya usaha karena diabaikannya daya dukung lingkungan atau kemampuan lahan untuk budidaya. Beberapa fenomena yang sering terjadi di Kabupaten Gunungkidul, adalah masyarakat diberi bantuan bibit dari pemerintah, setelah berapa lama usaha tersebut berhenti karena masalah teknis, sumberdaya, manajemen atau sosial budaya. Gambar 1.4 menunjukan kolam terpal lele yang tidak bisa berlanjut di Kecamatan Ngawen.
9
Gambar 1.4. Kolam lele yang tidak bisa berlanjut (Sumber: dokumen pribadi)
Beberapa fenomena budidaya lele yang tidak bisa berlanjut di beberapa wilayah Kabupaten Gunungkidul menyebabkan perlunya pemetaan daya dukung lingkungan. Pemetaan daya dukung lingkungan meliputi aspek fisik, biotik dan sosial ekonomi. Pemetaan daya dukung lingkungan memberikan gambaran daerah mana yang memiliki daya dukung tinggi, sedang dan rendah dalam pengembangan budidaya lele, sehingga dapat dirumuskan upaya pengembangan sesuai potensi di daerahnya masing– masing. 1.2. Perumusan Masalah Wilayah Gunungkidul ditetapkan sebagai salah satu kawasan minapolitan di Indonesia, karena potensi lingkungannya yang mendukung untuk pengembangan perikanan. Perikanan yang menjadi komoditas unggulan adalah Lele Lahan Kering Sistem Terpal (Lelaki Sital). Sementara itu, angka konsumsi ikan dari tahun 2007 – 2011 terus mengalami kenaikan. Namun saat ini, realitanya produksi perikanan di
10
Kabupaten Gunungkidul masih belum dapat memenuhi kebutuhan dan jauh lebih rendah daripada potensi yang tersedia untuk pengembangan budidaya perikanan. Meskipun banyak lahan yang belum dioptimalkan untuk pengembangan budidaya lele, namun dalam pengembangannya perlu memperhatikan daya dukung lingkungan dan managemen holistik (meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan) agar tercipta pembangunan berkelanjutan. Studi daya dukung lingkungan dan partisipasi masyarakat perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi dan kemampuan lahan dalam mendukung budidaya ikan lele sesuai dengan hasil yang diharapkan petani. Setiap wilayah yang memiliki karakteristik yang berbeda akan menunjukkan daya dukung lingkungan yang berbeda pula. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berkaitan dengan masalah penelitian ini, maka dirumuskan tiga pertanyaan penelitian (Research Question), yaitu ; 1. Bagaimana tingkat daya dukung lingkungan pengembangan budidaya lele dari aspek biofisik dan sosial ekonomi di Kabupaten Gunungkidul dengan metode pembobotan 2. Bagaimana pemetaan daya dukung lingkungan dalam pengembangan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul dengan metode overlay 3. Bagaimana teknologi yang tepat guna untuk pengembangan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul
11
I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini untuk memecahkan dan menjawab pertanyaan pada masalah dalam penelitian, yaitu ; 1.
Mengkaji daya dukung lingkungan dalam pengembangan budidaya lele secara spasial di Kabupaten Gunungkidul
2.
Membuat pemetaan daya dukung lingkungan dalam pengembangan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul.
3.
Menentukan teknologi yang tepat dalam pengembangan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul
I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain : Bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya perikanan dan lingkungan, dapat dijadikan tinjauan dalam pengembangan riset dan teknologi berbasis pengembangan budidaya ikan lele, sehingga produktivitas terus meningkat. Bagi Pemerintah Daerah dan instansi terkait sebagai masukan dalam melakukan arahan penyuluhan kepada masyarakat untuk melakukan pengembangan budidaya lele lahan kering yang berkelanjutan.
I.6. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai budidaya lele lahan kering di Kabupaten Gunungkidul pada Tabel 1.1 merupakan penelitian-penelitian yang mengkaji/berkaitan dengan budidaya lele lahan kering di Kabupaten Gunungkidul
12
Tabel 1.1 Penelitian yang berkaitan dengan budidaya lele lahan kering No
Nama peneliti
Judul
1
Titik Soegiharto (2012)
Teknologi pemanfaatan air hujan untuk budidaya lele lahan kering di Kabupaten Gunungkidul
2
Tjakrawidjaja, dkk (1993)
Studi Potensi Air Tawar untuk Budidaya Ikan di Lahan Kering Kawasan Gunungkidul
Tujuan penelitian 1.Menganalisis kesesuaian kondisi wilayah, fisik dan hidrologis untuk budidaya lele menggunakan air hujan 2.Mengetahui teknologi budidaya lele menggunakan air hujan 3.Mengkaji kondisi sosial ekonomi pembudidaya lele dumbo yang menggunakan air hujan 4.Menentukan teknologi budidaya lele dumbo menggunakan air hujan yang sesuai. Menginventaris sumber air, kualitas air dan sosial ekonomi pendukung budidaya ikan air tawar
Hasil yang dicapai Teknologi budidaya lele dumbo yang paling produktif diterapkan di Kabupaten Gunungkidul adalah dengan memakai kolam terpal. Teknologi pemanfaatan air hujan dengan paket teknologi kolam terpal sangat direkomendasikan di wilayah ini untuk meningkatkan produktifitas lahan, keuntungan dan kelanjutan pembudidayaan lele.
Pada umumnya ketersediaan air di kawasan ini terbatas berkisar 4 – 6 bulan, kecuali di beberapa tempat yang bisa bertahan 10 – 12 bulan, yaitu telaga Bakalan dan Tileng. Kualitas air pada badan – badan air layak untuk pemeliharaan ikan. Pemeliharaan jenis ikan yang tepat untuk kolam air diam yaitu ; nila, lele, gurameh, tambakan dan sepat. Di telaga layak dibudidayakan ikan dalam
13
keramba apung/langsung. Lanjutan Tabel 1.1 No Nama peneliti
Judul
Tujuan penelitian Mengetahui daya dukung lingkungan pertambakan di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Kabupaten Berau, agar produktivitas tambak dapat lebih tinggi dan berkelanjutan.
Hasil yang dicapai
3
Ratnawati dan Asaad (2012)
Daya Dukung Lingkungan Tambak di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur
Daya dukung lingkungan di kawasan pertambakan di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung, Kabupaten Berau adalah sama yaitu masing-masing 62,52%, sehingga luas tambak yang dapat didukung berturutturut: 2.915,62 dan 304,90 ha. Faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya daya dukung lingkungan pertambakan di Kecamatan Pulau Derawan dan Sambaliung adalah potensi kemasaman tanah dan kandungan unsur beracun yang tinggi, kandungan unsur hara yang rendah, curah hujan tinggi.
4.
Rustam (2010)
Analisis Parameter Fisik, Kimia, Biologi, dan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir untuk Pengembangan Usaha Budidaya Udang Windu di Kabupaten Barru
Analisis parameter perairan sebagai salah satu acuan penentuan tingkat teknologi tambak yang layak dioperasikan dalam pengembangan usaha budidaya udang windu.
Kemampuan (daya dukung) perairan pesisir untuk Menampung limbah organik berdasarkan ketersediaan oksigen yaitu 506,437 kg. Luas areal tambak yang layak dioperasionalkan yaitu 219 ha tambak intensif atau 481 tambak semi-intensif.
5
Suparjo (2008)
Daya Dukung Lingkungan Perairan Tambak Desa Mororejo, Kabupaten Kendal
Mengkaji daya dukung lingkungan dan mengetahui kualitas air dan tanah tambak Desa Mororejo
Tambak udang dan bandeng Desa Mororejo memiliki daya dukung lingkungan sedang – tinggi dengan kandungan amoniak dan salinitas sebagai faktor pembatas.
14
Lanjutan Tabel 1.1 No Nama peneliti
Judul
6
Purnama, dkk. (2003)
Evaluasi Ekofisik Daya Dukung Lahan Tambak di Wilayah Pesisir Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah
7
Nur Indah Septriani (2014)
Daya Dukung Lingkungan Lahan Kritis dalam Pengembangan Budidaya Lele di Kabupaten Gunungkidul
Tujuan penelitian Mengetahui dan mengevaluasi daya dukung lahan tambak di Kabupaten Pemalang dan menganalisis teknologi budidaya yang berkaitan dengan daya dukung lahannya, serta menganalisis proporsi luasan dan sebaran lokasi dari tiap teknologi tersebut yang akan diterapkan di areal pertambakan di Kabupaten Pemalang
Hasil yang dicapai
Mengkaji daya dukung lingkungan dalam pengembangan budidaya lele secara spasial. Membuat pemetaan tingkat daya dukung
Overlay peta digunakan untuk menganalisis kebijakan dan luas lahan potensial yang dapat didukung untuk budidaya lele
1.Evaluasi ekofisik yang telah dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Pemalang menunjukkan bahwasanya lahan pesisir di kabupaten ini masih layak guna dimanfaatkan sebagai tambak 2. Desa Lawangrejo dan Asemdoyong memiliki tambak existing yang menempati lokasi lahan yang sebagian besar berdaya dukung sedang sehingga dianjurkan menerapkan teknologi sederhana 3. Desa Nyamplungsari dan Desa Kendalrejo berkecenderungan mempunyai lahan tambak yang berdayadukung tinggi sehingga dianjurkan menerapkan teknologi sederhana dengan prosentase tidak kurang dari 50 % dari areal pertambakannya dan 50 % areal lebihnya adalah pembagian secara bebas antara teknologi madya dan teknologi maju
15
lingkungan dalam Lanjutan Tabel 1.1 No Nama peneliti
Judul
Tujuan penelitian pengembangan budidaya lele . Menentukan teknologi yang tepat dalam pengembangan budidaya lele di Kabupaten Gunungkidul
Hasil yang dicapai
Penelitian ini menginventaris dan memetakan daya dukung lingkungan untuk budidaya lele secara spasial di lahan kritis. Secara spasial memperhatikan struktur geomorfologi yaitu zona Baturagung, Ledok Wonosari dan Perbukitan Karst. Penelitian kualitas air hujan untuk budidaya lele sudah pernah dilakukan, namun tidak semua masyarakat menggunakan air hujan sebagai sumber air untuk budidaya lele. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kualitas air dari berbagai sumber sesuai potensi daerahnya masing-masing. Penelitian ini tidak hanya air sebagai objek utama, namun daya dukung lingkungan biofisik dan sosial-ekonomi terhadap pengembangan budidaya lele perlu dilakukan. Hasil dari penelitian ini berupa luas lahan yang dapat mendukung budidaya lele, peta lahan prioritas pengembangan budidaya lele Kabupaten Gunungkidul, arahan teknologi yang tepat dan kebijakan berdasarkan pemetaan daya dukung lingkungan.