I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara Gemah Ripah Loh Jinawi yang tidak hanya mengandalkan pada kekayaan sumber daya alam tetapi juga kekayaan sumber daya manusia dengan segala kreativitasnya, telah memberikan kekayaan intelektual yang tidak ternilai harganya. Salah satu contoh keanekaragaman yang ada di Indonesia adalah munculnya berbagai macam kreasi intelektual yang berada dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Seperti yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat: “keanekaragaman suku bangsa dimana terdapat lebih kurang 900 suku bangsa, yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dari keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang berbasis budaya dari masing-masing suku bangsa”.1 Berbagai produk tersebut memiliki ciri khas tertentu dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat, serta memiliki daya saing yang berpotensi ekonomi untuk dapat dikomersialkan.
Sebagai negara yang kaya akan berbagai produk seperti pengetahuan, tradisi, budaya, dan iklim tropis yang menghasilkan berbagai macam produksi yang memiliki potensi ekonomi yang tidak kecil. Sudah seharusnya Indonesia memiliki sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (untuk selanjutnya disebut HKI)
1
Koentjaraningrat dalam Sudarmanto. “Produk Kategori Indikasi Gopgrafis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat Indonesia”. (Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2005, hlm. 110
2
yang memadai.
Berbagai
produk unggulan daerah yang dihasilkan telah
mendapatkan tempat di pasar internasional, seperti Kopi Gayo, Ubi Cilembu, Kopi Kintamani, Kopi Toraja, Lada Hitam Lampung, Lada Hitam Muntok, Apel Batu, Kain Songket Palembang, Kain Batik Cirebon.
Produk-produk daerah
tersebut memiliki ciri khas yang mencerminkan kualitas, yang dapat dibedakan dengan produk sejenis lainnya.
Wujud nyata dari hasil pemikiran dan ide kreatif yang dituangkan dalam bentuk karya seni adalah keberadaan kain tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif ragam hiasnya sangat asli dan dikerjakan oleh pengerajin yang masih sangat sederhana. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadisgadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Selain itu, ada pula kain Maduaro yang merupakan ekspresi budaya dari masyarakat adat Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung dibuat dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Lampung secara turuntemurun. Kain Maduaro merupakan salah satu warisan adi luhung budaya bangsa sejak abad 18 yang patut dilestarikan. Kain Maduaro merupakan jenis kain sulam dari Lampung berupa selendang yang umumnya digunakan sebagai penutup kepala, serta sebagai aksesoris dalam upacara adat masyarakat Lampung Pepadun.
3
Di Kabupaten Tulang Bawang kerajinan kain Maduaro untuk sementara dipusatkan di Kecamatan Banjar Agung dalam proses produksi/pembuatannya. Pada dasarnya kain Maduaro adalah kain berbahan sutera atau serat nanas yang disulam dengan menggunakan benang kawat tipis. Berbeda dengan kain tapis pada umumnya kain Maduaro tidak menggunakan benang emas, serta cara menyulamnya masih sangat sederhana. Tetapi motif yang disulamkan untuk kain Maduaro sudah sangat modern. Keunikan dan ragam corak serta kombinasi warna kain dasar kain Maduaro banyak diminati masyarakat di Provinsi Lampung tetapi juga masyarakat yang berada di luar Provinsi Lampung.
Awalnya, kain Maduaro ini hanya dikenakan oleh kelompok masyarakat tertentu saja atau para istri, anak gadis dari keturunan raja atau bangsawan saja yang dalam adat Lampungnya disebut penyimbang, pada saat upacara adat Lampung Pepadun.
Kini, kain Maduaro ini berfungsi menjadi benda yang bersifat
ekonomis karena saat ini semua pihak dapat memilikinya. Kain Maduaro sudah digunakan sebagai motif pakaian, motif penutup meja, motif peci, motif sarung bantal kursi dan masih banyak lagi lainnya.
Berdasarkan informasi dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tulang Bawang di bawah binaan Ny. Erna Suud Hanan A. Razak yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Tulang Bawang, telah membawa kain Maduaro meraih penghargaan kategori kriya tekstil. Yang diserahkan oleh Ketua Umum Dekranas Ny Herawati Budiono di Jakarta. Dinas Koperindag Kabupaten Tulang
4
Bawang juga akan mengikutsertakan kain Maduaro dalam Asian Community Tahun 2015. 2
Karena peranan dan prinsip masyarakat adat Lampung adalah dalam rangka menjaga keaslian dan kelestarian kain Maduaro yang sangat erat kaitannya dengan upacara adat masyarakat Lampung antara lain untuk menjaga ragam hias yang melekat pada setiap produk kain Maduaro. Saat ini masyarakat Lampung lebih mengenal kain Maduaro sebagai kain Maduaro Tulang Bawang. Hal ini terlihat dari berbagai macam pemberitaan mencantumkan nama Kabupaten Tulang Bawang sebagai daerah sentra produksi kain Maduaro.
Masyarakat Lampung adalah masyarakat yang secara administratif mendiami Provinsi Daerah Tingkat I Lampung. administrasi tersebut.
Namun secara etnik, melampaui batas
Sebagai suatu masyarakat, masyarakat Lampung telah
mengembangkan berbagai tatanan bagi kehidupan bersama dalam berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang dapat dibedakan dengan masyarakat lainnya.3
Sebagaimana dipahami bahwa masyarakat adat Lampung terdiri dari dua kelompok besar yaitu: pertama, masyarakat beradat Pepadun yang terdiri dari Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Rarem Mega Pak, Bunga Mayang Sungkai, Way Kanan Lima Kebuwaiyan serta Melinting dan Jabung; kedua, masyarakat beradat Saibatin yang dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah
2
3
Wawancara Dengan Kepala Dinas Koprasi UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulang Bawang, Supriyati, Dilakukan pada Tanggal 28 Desember 2013 Rizani Puspawidjaja. Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran. (Lampung: Univesitas Lampung), 2006, hlm. 1
5
mukimnya, yaitu: Sebatin diwilayah Lampung Barat, Pesisir Barat, Semaka Tanggamus dan Kalianda.4 Dengan adanya keanekaragam yang ada di Provinsi Lampung maka perlu adanya perlindungan hukum yang jelas. Perlindungan hukum merupakan perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan atas kepentingan manusia.5
Jika dikaitkan dengan perlindungan hukum HKI, yang dimaksud dengan perlindungan hukum HKI adalah upaya untuk melindungi kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang dapat berupa berbagai karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Kain Maduaro yang ada di
Kabupaten Tulang Bawang adalah merupakan salah satu karya seni yang dirasa harus mendapatkan perlindungan hukum yang memadai bagi produk tersebuat.
Pada tanggal 2 November 1994, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994,6 Indonesia terikat komitmen untuk menyesuaikan hukum nasionalnya terhadap kesepakatan internasional tersebut. Oleh karenanya, pembentukan hukum nasional yang 4 5
6
Ibid, hlm. 24 Philipus M Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. (Surabaya: Bina Ilmu), 1987, hlm. 19 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Pedagangan Dunia). Lembaga Negara Tahun 1994 Nomor 57 TLN Nomor 3564
6
seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri serta dilakukan berdasarkan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945, harus juga mempertimbangkan sumber lain di luar itu berdasarkan komitmen tersebut. Salah satu hukum yang terkena dampak adalah hukum yang terkait di bidang HKI.7 Ada tujuh jenis perlindungan HKI sebagaimana terdapat dalam Persetujuan TRIPs, termasuk perlindungan Indikasi Geografis (untuk selanjutnya disebut IG).8
Dengan demikian,
keberadaan IG diakui secara internasional sebagai bidang HKI yang berdiri sendiri.
9
Di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang
HKI sesungguhnya tidak didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas penduduknya sendiri. Sejak itu peraturan perundang-undangan nasional dibidang HKI dilakukan perubahan secara menyeluruh untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam perjanjian TRIPs. Keberadaan perjanjian TRIPs dimaksudkan sebagai standar perlindungan HKI bersifat internasional yang harus dijadikan acuan oleh negaranegara anggota WTO (World Trade Organization) dalam menyusun perundangundangan nasionalnya. Perjanjian WTO sebagai induk dari perjanjian TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas tujuh jenis HKI sebagaimana terdapat dalam Persetujuan TRIPs. 7
8
9
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004, hlm. 1 Diatur dalam Part II, Section 1 sampai dengan Section 7 TRIPs Agreement. Ketujuh bidang HKI tersebut, yaitu: (1) Copyright and Related Rights; (2) Tredemarks; (3) Geographical Indocations; (4) Industrial Designs; (5) Patents; (6) Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits; (7) Undisclosed Information. Wahyu Sasongko. Ringkasan Desertasi Indikasi Geografis Setudi Tentang Kesiapan Indonesia Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Nasional (Jakarta: Universitas Indonesia), 2010, hlm. 1
7
Selain itu pelaksanaan peraturan perlindungan HKI tersebut harus dijalankan dengan benar, dimana dalam hal ini memerlukan penyempurnaan dan peningkatan peran aparatur pelaksana dan aparat penegak hukum. Sebagai salah satu langkah dalam rangka pelaksanaan komitmen tersebut, Indonesia telah melaksanakan amandemen terhadap sejumlah undang-undang di bidan HKI.
Indonesia mengintegrasikan perlindungan IG ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek10 (BAB VII Bagian I tentang IG, BAB VII Bagian II tentang Idikasi Asal). Pada perinsipnya Undang-Undang Merek menentukan bahwa IG mendapat perlindungan setelah terdaftar,11 sedangkan ketentuan mengenai tata cara pendaftaran IG diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.12
Pelaksanaan amanat Pasal 56 ayat (9) Undang-Undang Merek, pada tanggal 4 September 2007 tentang IG yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (selanjutnya disebut PPIG 51/2007).13 Walupun masih berupa PP, namun dilihat dari materi atau substansi yang diatur di dalamnya, memuat substansi yang lengkap seperti undang-undang, yang antara lain mengatur secara komperhensif tentang pendaftaran IG. Bahkan sebagai mana yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal HKI pada suatu kesempatan, mengidentifikasikan geografis produk unggulan di setiap wilayah di Indonesia sangat penting untuk dilakukan, karena banyak sekali potensi yang ada di Indonesia, dan sangat
10 11 12 13
Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 56 Ayat (1) Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek , Pasal 56 Ayat (2) Lihat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek , Pasal 56 Ayat (9) Lembaran Negara RI Tahun 2007 No. 115, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4763
8
disayangkan jika tidak mendapat pengaturan geografis karena memungkinkan pihak luar negeri untuk memainkan peranannya di Indonesia.
Namun sebagaimana yang dikemukakan di atas, tujuh tahun lebih setelah diterbitkannya PPIG 51/2007 jumlah sertifikat pendaftaran IG di Indonesia masih tergolong relatif sedikit apabila dibandingkan dengan potensi produk IG yang dimiliki Indonesia. Pada saat yang bersamaan, efektivitas perlindungan IG justru disuarakan dalam rangka perjanjian multilateral.
Salah satu contoh adalah
rekomendasi CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) antara Indonesia dan Uni Eropa, di mana secara khusus ditekankan tentang efektivitas dalam implementasi perlindungan hukum IG.14 Berdasakan hal-hal yang dikemukakan di atas nampak jelas bahwa pendaftaran IG merupakan aspek penting dan bahkan syarat utama dari pelaksana perlindungan hukum IG di Indonesia secara efektif. Indonesia menganut sistem pendaftaran yang bersifat konstitutif, yaitu menerapkan asas first to file (pihak yang mendaftarkan
terlebih
dulu
yang
memperoleh
hak).
Hal
ini
mengkomersialisasikan IG sehingga pemegang hak dapat menikmati keuntungan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut mempunyai implikasi lebih luas dalam konteks perlindungan IG secara internasional, mengingat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (9) TRIPs, tidak terdapat kewajiban untuk memberikan perlindungan IG terhadap IG yang tidak dilindungi di negara asal. 14
15
15
.......Delegationof the European Union, Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Pedagangan. Kelompok Visi untuk Meningkatkan Perdagangan dan Investasi Antara Indonesia dan Uni Eropa, Penguatan Kemitraan Indonesia-UE Menuju PerjanjianKemitraan Ekonomi Komperhensif (CEPA). (Jakarta : Delegation of the European Union, Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Perdagangan, 2010) Lihat Pasal 24 Ayat (9). Agreement of Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Part II Section 3. World Trede Organizatin.
9
Dengan kata lain perlindungan internasional terhadap suatu IG tidak dimungkinkan tanpa adanya perlindungan IG tersebut di negara asalnya, yaitu secara nasional.
Meskipun merupakan unsur penting pendaftaran IG bukan satu-satunya cara untuk menilai efektivitas pelaksanaan hukum IG di Indonesia. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi efektivitas perlindungan hukum terhadap IG di Indonesia perlu ditelusuri lebih lanjut, baik dari sudut pandang ketentuan maupun pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, kain Maduaro dari Kabupaten Tulang Bawang dapat dijadikan sebagai potensi IG. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 dan PPIG 51/2007 Oleh karena itu penulis akan memfokuskan penelitian dengan judul “PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAIN MADUARO YANG MEMILIKI POTENSI INDIKASI GEOGRAFIS ”.
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah diperlukan guna mempermudah pelaksanaan dan supaya sasaran penelitian menjadi jelas, tegas, terarah dan mencapai hasil yang dikehendaki. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka terdapat dua rumusan masalah yang akan dijadikan pokok permasalahan, yaitu :
10
1.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG di Kabupaten Tulang Bawang maupun Provinsi Lampung?
2.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat Tulang Bawang dalam melindungi kerajinan kain Maduaro sebagai potensi IG?
2.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Bisnis terutama tentang pelaksanaan atau pengaturan dalam perlindungan hukum, serta upaya masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Tulang Bawang terhadap potensi IG di bidang kerajinan kain Maduaro. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan PPIG 51/2007. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum HKI dalam potensi IG kain Maduaro di Kabupaten Tulang Bawang
b.
Untuk menganalisis pelaksanaan perlindungan hukum kain Maduaro sebagai potensi IG. Melakukan analisis terhadap upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam mendorong tumbuhnya perlindungan IG potensi IG.
kain Maduaro sebagai produk
11
2.
Kegunaan Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memberikan manfaat atas persoalan penelitian hukum terhadap potensi IG , khususnya di bidang kerajinan tradisional kain Maduaro yang masih belum mendapatkan perhatian. Di antara manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : a.
Kegunaan Teoritis : Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum HKI, khususnya tentang potensi IG yang ada di Kabupaten Tulang Bawang dan Provinsi Lampung umumnya, dan hasil penelitian ini memiliki aspek-aspek teoritis yang bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan informasi dan refrensi, khususnya berkenaan dengan peraturan IG, sehingga dapat dikembangkan secara partikular dalam pengaturan IG di Kabupaten Tulang Bawang dan Provinsi Lampung.
b.
Kegunaan Praktis : 1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan digunakan sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang dalam memberikan perlindungan hukum dalam bentuk perlindungan IG berupa Peraturan Daerah (Perda) dikaitkan dengan kondisi yang ada di Kabupaten Tulang Bawang terhadap produk potensi IG kain Maduaro yang saat ini sedang mulai di galakkan di Kabupaten Tulang Bawang. 2) Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
pengetahuan
dan
pemahaman pada masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang mengenai perlindungan IG terhadap kain Maduaro.
12
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1.
Kerangka Teori
Satjipto Raharjo, mengatakan bahwa hukum merupakan suatu institusi yang dipakai oleh masyarakat, maka itu berarti bahwa masyarakat juga menentukan sendiri bagaimana hukum itu mereka terima. Jadi menurutnya perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.16 Perlindungan hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh hukum dalam menanggulangi pelanggaran, yang terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:17 a. Perlindungan hukum yang bersifat preventif, yaitu perlindungan hukum yang dibuat dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. b.
Perlindungan hukum yang bersifat represif, yaitu perlindungan hukum yang dibuat untuk menyelesaikan sengketa.
Dikaitkan dengan perlindungan hukum HKI, yang dimaksud dengan perlindungan hukum HKI adalah upaya untuk melindungi kekayaan yang timbul dari intelektual manusia yang dapat berupa berbagai karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. IG merupakan ruang lingkup HKI, sehingga di perlukan juga perlindungan hukumnya.
Perlindungan IG merupakan perlindungan terhadap
suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari
16
17
Satjipto Raharjo. Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta PengalamanPengalaman di Indonesia. (Bandung : Alumni), 1979, hlm. 16 Philipus. M. Hadjon, Op.Cit, hlm 20
13
kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan, yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum. Istilah HKI merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. IPR sendiri pada prinsipnya merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang disebut “Intellectual Property Right”. Sangat jelas bahwa lahirnya IPR melalui TRIPs Agreement adalah tidak lain sebagai hasil dari perjuangan negara-negara maju untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam intellectual property yang dihasilkan. Sehingga sistem IPR yang dibangun oleh negara-negara maju tersebut sama sekali tidak melihat kepentingan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Prinsip utama dari HKI adalah bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektual maka individu yang menghasilkannya memperoleh hak kepemilikkan berupa Hak Alamiah (natural right), termasuk penggunaan daya intelektual sebagai pelaksanaan hak alamiah tersebut untuk diekspresikan. Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, ditambah lagi posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian tradisional. Hingga saat ini, telah tercatat beberapa kasus pemanfaatan kekayaan intelektual masyarakat adat tanpa ijin oleh pihak asing, khususnya dalam bidang kesenian tradisional asli Indonesia.
14
Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu "dicuri" pihak asing. Sudah beberapa kali produk asal negara kita dibajak negara lain. Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek hukum, aspek teknologi, aspek industri, aspek sosial, aspek budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan HKI tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan HKI. Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam lingkup kajian HKI adalah perlindungan hukum baik secara preventif maupun secara represif terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional berupa kesenian tradisional, kerajinan tradisional atau karya-karya tradisional. Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan antara peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat. Dalam hal perlindungan hukum HKI di Indonesia salah satunya adalah perlindungan terhadap IG. Perlindungan IG merupakan perlindungan terhadap suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
15
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan, yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum. Bentuk perlindungan hukum preventif bagi IG dalam peraturan perundangundangan di Indonesia tercantum dalam Pasal 56-60 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu IG dilindungi dengan cara didaftarkan terlebih dahulu. Tetapi karena pengaturannya masih tergabung dengan Undang-Undang Merek, sehingga ketentuan dalam pasal-pasalnya pun mengacu pada ketentuan tentang merek. Teori HKI sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.18 Pemikiran Locke lebih memusatkan pada kebebasan atau kemerdekaan individu (individual liberty). Namun, dalam penelitian ini teori tentang Hukum Alam milik Locke tidak digunakan, karena IG memiliki karakteristik spesifik berkenaan dengan hakhaknya yang bersifat kolektif.
18
Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi (Jakarta: UI Press), 2010, hlm. 7
16
Pengkajian terhadap sistem hukum IG juga dapat dilakukan dengan menggunakan teori perundang-undangan (Legislative theory) dari A. Hamia. S. Attamimi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi:19 a. b. c. d. e. f. g.
Asas tujuan yang jelas; Asas perlunya pengaturan; Asas organ/lembaga dan muatan materi yang tepat; Asas dapatnya dilaksanakan; Asas dapatnya dikenali; Asas perlakuan yang sama dalam hukum; Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu.
Dengan mengacu pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, dapat diharapkan terciptanya peraturan perundangundangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pemerintah juga seharusnya berdasar asas pembentukan peraturan perundang-undangan di atas untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, memiliki manfaat yang baik bagi masyarakat tentang IG. Uraian dari teori-teori tersebut diatas menjadi acuan pemikiran bahwa hukum adalah sebuah sistem, maka melihat fenomena hukum di masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga dapat dipahami sebagai situasi bagaimana hukum beroprasi sebagai suatu sistem dalam masyarakat. Kerangka teori ini sebenarnya ingin ditegaskan bahwa dalam membuat kebijakan yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap kain Maduaro asal Kabupaten Tulang Bawang sebagai potensi IG, baik yang berada dalam lingkup substansi
19
Maria Farida Indrati.S. Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan). (Yogyakarta: Kanisius), 2007, hlm. 256
17
hukum, struktur maupun penciptaan budaya hukum dalam masyarakat, harus tetap diarahkan untuk dapat mengakomodasi nilai-nilai budaya dan kepentingan masyarakat lokal dengan mendasarkan pada teori yang dijadikan landasan adanya perlindungan hukum terhadap kain Maduaro sebagai potensi IG. 2.
Konseptual
Perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsep IG menurut Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.20 Konsep kepemilikian pada rezim HKI, lazimnya didasarkan pada hak individual yang diakui sejak dulu, sehingga dapat dikatakan sebagai konsepsi yang bersifat konvensional.
Berbeda dengan IG, yang mendasarkan pada kolektivitas atau
komunalitas sehingga merupakan konsepsi non konvensional. IG tidak diberikan kepada individu atau perusahaan pribadi melainkan kepada kelompok, sehingga disebut hak koleltif (collective right).21 Adapun pengertian-pengertian dasar dari istilah yang penulis gunakan dalam tesis ini sebagai berikut : a.
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan
20
21
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Indikasi Geografis, http://www.dgip.go.id diakses Juni 2013 Wahyu Sasongko, Op. Cit., 2010, hlm. 13
18
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.22 b.
Perlindungan
IG
adalah
perlindungan
terhadap
suatu
tanda
yang
menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan yang pelaksanaannya diatur dan dilindungi oleh hukum. c.
Produk IG adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian atau pun hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan.
d.
Kekhususan menunjukkan ciri dan kualitas pada produk potensi IG, yang tidak terdapat pada produk lain.
e.
Kain Maduaro merupakan jenis kain yang disulam dengan menggunakan benang kawat, yakni berupa selendang yang biasa dijadikan sebagai penutup kepala bagi kaum perempuan Lampung yang beradat Lampung Pepadun, dan biasa digunakan pada saat acara-acara adat.
f.
Potensi
adalah
kemampuan
yang
mempunyai
kemungkinan
dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya.23
22 23
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2000, hlm. 54 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1096
untuk