BAB I PENDAHULUAN A.
Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Gemah ripah loh jinawi kalimat yang menggambarkan kehebatan dan
kesuburan nusantara1 sebagai negara agraris tempo dulu. Negara yang digadang karena kekayaan potensi alamnya seharusnya tidak memiliki persoalan mengenai pangan, namun pada kenyataannya justru persoalan pangan menjadi akar masalah dan mendominasi sebagian besar permasalahan yang menyelimuti negara. Daya tahan suatu negara sangat ditentukan oleh sistem pangannya, sehingga pangan sarat akan muatan politik yang dapat mengancam stabilitas negara, terlebih ketika pangan berada dalam dimensi global.Pembahasan tentangsistem pangan tidak terlepas dari persoalan pembangunan sektor pertanian. Menurut data BPS, pada triwulan I tahun 2013 PDB sektor pertanian berada diperingkat kedua setelah sektor industri pengolahan non migas dengan kontribusi sebesar 15,04% (Kementrian Pertanian-Sekretariat Jendral 2013). Kedudukan sektor pertanian pada peringkat kedua menunjukan pentingnya peran sektor pertanian dalam menyumbang pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu persoalan pertanian merupakan persoalan yang harus segera ditemukan solusinya.
1
Nusantara berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu nusayang artinya pulau dan antarayang artinya luar. Dalam kitab Pararaton, istilah nusantara didapat dari sumpah Palapa Patih Gajah Mada dalam upacara penobatannya menjadi Patih Amangkubhumi Kerajaan Majapahit (1258 Saka/ 1336 Masehi) untuk menyebut kepulauan di sekitar Majapahit (Jawa). Sebutan Nusantara pernah dihidupkan oleh Ki Hajar Dewantara untuk menggantikan nama Hindia Belanda, namun setelah Kongres Pemuda tahun 1928 sebutan Nusantara digunakan sebagai sinonim untuk menyebut kepulauan Indonesia.
1
Semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia tidak serta merta mengurangi permasalahan pertanian dalam negeri, justru hal ini menimbulkan masalah baru. Menurut sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 257.516.167 jiwa dan diproyeksikan angka tersebut akan terus mengalami peningkatan. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk tentunya juga akan menambah persoalan baru utamanya mengenai alih fungsi lahan pertanian. Seperti pendapat Thomas Robert Malthus bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk sehingga manusia akan kekurangan bahan makanan (Mantra 2000). Hal ini dikarenakan semakin padat jumlah penduduk secara otomatis akan dibarengi dengan kebutuhan dan keinginan manusia yang tak terbatas, misalnya saja permintaan akan lahan permukiman, perkantoran, bangunan mall, tempat hiburan dan bangunan lainnya yang akan mengurangi luas lahan pertanian.Tidak hanya persoalan lahan, berbagai kebijakan pemerintah sangat berperan besar dalam menciptakan kondisi sistem pertanian di Indonesia. Pada pertengahan 2013, pemberitaan mengenai impor dalam negeri tidak ada habisnya mewarnai layar tv, mulai dari melonjaknya harga cabai, bawang putih, bawang merah, hingga kasus impor sapi dan impor kedelai. Banyak sumber mengatakan bahwa negara harus melakukan impor karena persediaan dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan pasar, akibat adanya penurunan produktivitas pertanian yang disebabkan perubahan iklim yang tidak menentu.
2
Untuk beberapa daerah yang secara geografis sangat terpengaruh iklim dan masih menggunakan sistem pertanian yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia pernyataan tersebut menjadi benar. Namun peneliti menemukan jawaban yang berbeda ketika menanyakan langsung kepada petani di Bantul selaku orang yang berperan langsung. Masalah impor tidak selalu dikarenakan produksi yang menurun akibat iklim yang tidak menentu, namun karena adanya sistem ekonomi yang menjadikan harga melambung. Beberapa petani menyimpulkan bahwa masalah impor adalah bagian dari proyek para birokrat pembuat kebijakan. Justru dengan adanya kebijakan impor yang tidak terkontrol semakin memarginalkan petani lokal. Tidak hanya tentang impor, nampaknya pertanian dalam negeri seolah sengaja digiring dalam persimpangan jalan, dimana petani mengalami ketergantungan
terhadap
subsidi,
kurang berfungsinya
organisasi
lokal,
infrastruktur pertanian yang terabaikan. Tentunya hal ini tidak bisa lepas dari sejarah panjang pemerintahan di Indonesia dengan berbagai kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan. Globalisasi dan perdagangan bebas internasional memiliki andil besar dalam menciptakan kondisi pertanian dalam negeri saat ini, utamanya pasca diterapkannya kebijakan program green revolution atau revolusi hijau2.
2
Istilah Revolusi Hijau konon sebuah jargon politik yang diusulkan pada tahun 1968 oleh William S. Gaud, seorang administrator USAID, untuk menandai derap Revolusi Merah dari Komunisme. Secara ekonomi Revolusi Hijau adalah modernisasi pertanian khususnya pertanian pangan yang mengandalkan asupan kimiawi dan biologi. Modernisasi juga meliputi penggunaan bibit unggul dan teknologi mekanik untuk menghemat waktu. Baca Francis Wahono, “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”; Wacana No. IV 1999 hal. 9
3
Menyadari kondisi tersebut kini banyak petani di Bantul yang berusaha untuk keluar dari ketergantungan yang telah lama diciptakan semenjak dilaksanakannya program revolusi hijau, dan berusaha melepaskan diri agar tidak terjebak dalam permainan pasar bebas internasional. Adapun cara yang digunakan salah satunya dengan mengembangkan sistem pertanian organik. Maraknya pembicaraan mengenai pertanian organik mendorong peneliti untuk mengkaji lebih dalam seperti apa pertanian organik yang dipahami dan ditekuni. Oleh karena alasan tersebut, dalam penelitian ini diberi judul ―Dialektika Petani dalam Memilih Melakukan Pertanian Organik, Fenomena Romantisme Pertanian di Wilayah Ganjuran, Kabupaten Bantul‖. 2. Orisinalitas Pertanian selalu menjadi topik menarik untuk dikaji karena menyangkut hidup orang banyak dan mencerminkan ketahanan suatu negara. Banyak orang mengkaji atau melakukan penelitian tentang pertanian dengan sudut pandang yang berbeda, mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, hingga budaya. Misalnya saja dalam buku: a. Involusi Pertanian karya Clifford Geertz merupakan kerja proyek interdisipliner (Economic and Political Development Program)dengan Massachusetts
Institute
of
Technology,
Center
for
International
Studies(1952-1959) yang dilakukan di Indonesia. Buku ini menjelaskan sejarah sosial ekonomi di Pulau Jawa pada masa kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia yang saat itu memasuki fase mulai lepas landas ke arah pertumbuhan ekonomi berlanjut (sustained economic growth). Fokus
4
pengamatan Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian adalah perubahan ekonomi yang disebabkan ledakan penduduk dan masuknya sistem ekonomi kapitalis sehingga memunculkan kemiskinan masal atau lebih dikenal dalam istilah asing sebagai shared poverty(Geertz 1983). b. Revolusi Jerami, karya Masanobu Fukuoka. Buku ini ditulis dari keprihatinan terhadap terjadinya degenerasi tanah dan kondisi masyarakat Jepang, dimana pada saat itu orang-orang Jepang meniru secara langsung model pembangunan ekonomi dan Industri di Amerika sehingga Fukuoka bertekad untuk tidak meninggalkan bertani secara alami. Dalam buku ini Fukuoka tidak hanya berbicara mengenai pertanian alamiahnya, namun juga berbicara
mengenai
falsafah
hidupnya
yang
mendasarkan
pada
keseimbangan alam di tempatnya berada(Fukuoka 2012). c. Musim
Bunga
menggambarkan
yang
Bisu,
romantisme
karya
alam
Rachel
masa
lalu,
Carson.
Buku
ini
dimana
buku
ini
mengungkapkan kepekaan dan keprihatinan terhadap lingkungan tempat ia tinggal. Musim bunga yang seharusnya menggambarkan awal kelahiran kembali putik bunga yang tumbuh menjadi bunga yang cantik, tumbuhnya tunas-tunas tanaman dan kicauan burung yang menambah kecerian pada musim bunga tinggal kenangan akibat penggunaan bahan kimia yang melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi sehingga mencemari lingkungan yang berpengaruh pada ekosistem. Inti pada buku ini ingin mengajak orang diseluruh dunia untuk membuka hati dan pikiran dengan
5
mengulas dampak bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan kimia(Carson 1990). Selain buku yang telah disebutkan di atas juga terdapat beberapa penelitian ilmiah ilmu sosial yang membahas mengenai pertanian, diantaranya adalah: a. Pertanian Organik: Pemberdayaan Masyarakat Petani di Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang. Judul tersebut merupakan penelitian skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa Sosiatri yang bernama M.M Kriscahyaningsih yang dilakukan pada tahun 2005. Penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui media pertanian organik di Kecamatan Sawangan dengan melihat siapa saja yang menjadi pelaku pemberdayaan, institusi lokal yang mewadahi serta bagaimana
jaringan
kemitraan
yang
dibangun
untuk
mendukung
pelaksanaan proses pemberdayaan tersebut(Kriscahyaningsih 2005). b. Analisis Keberlanjutan Praktik Pertanian Organik di Kalangan Petani (Kasus: Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah) oleh Aero Widiarta mahasiswa Institut Pertanian Bogor tahun 2011. Penelitiannya memfokuskan pada keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani dengan menguji pengaruh praktik pertanian organik terhadap keberlanjutan ekonomi petani; membandingkan tingkat kompleksitas praktik pertanian organik dan konvensional menurut persepsi petani,serta mengidentifikasi kendala atau faktor penyebab kurang berkembangnyapraktik pertanian organik di kalangan petani yang dilakukan dengan metode kuantitatif(Widiarta 2011).
6
c. Pemberdayaan Masyarakat dalam mendukung Ketahanan Pangan (Studi mengenai Pemberdayaan dan Motivasi Pemanfaatan Umbi – Umbian oleh Anggota Kelompok Swadaya Masyarakat Tri Manunggal, Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul). Penelitian ini merupakan penelitian skripsi yang ditulis oleh mahasiswa Sosiatri yang bernama Marisatul Ula yang dilakukan pada tahun 2010 yang lebih memfokuskan pada pemanfaatan umbi-umbian sebagai panganan lokal kaitanya untuk mendukung Ketahanan Pangan di wilayah Gunung Kidul(Ula 2010). Seperti yang telah dijelaskan di atas banyak penelitian tentang pertanian dengan berbagai perspektif. Bedanya penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam penelitian ini, fokus pada proses dialektika petani dalam memilih kegiatan pertanian organik di wilayah Ganjuran, Kabupaten Bantul. Penelitian ini dapat dikatakan orisinal karena secara gagasan belum pernah dilakukan penelitian serupa di wilayah tersebut. 3. Relevansi Kehidupan bersifat dinamis, bergerak dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Pergerakan akan memunculkan perubahan, dan perubahan yang terjadi tentunya mempengaruhi pola pembangunan yang ada di masyarakat. Tidak selamanya pembangunan membawa ke arah yang lebih baik meskipun tujuan awalnya memang diarahkan untuk perbaikan. Sebagai ilmu pengetahuan, Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempelajari tentang pembangunan masyarakat utamanya mengenai aspek sosial. Untuk memudahkan dalam memahaminya, Ilmu Pembangunan Sosial dan
7
Kesejahteraan dibagi dalam tiga konsentrasi, yakni mengenai: Social Policy, Community Development serta Coorporate Social Responcibility. Meskipun dibagi dalam tiga konsentrasi, tidak menghilangkan core keilmuan yang tetap mengarah pada permasalahan kesejahteraan sosial. Apabila dikaitkan dengan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian yang berjudul ―Dialektika Petani dalam Memilih Pertanian Organik, Fenomena Romantisme Pertanian di Wilayah Ganjuran Kabupaten Bantul‖, memiliki relevansi karena penelitian ini bertolak dari pembahasan perubahan sosial masyarakat petani yang merupakan agenda pembangunan sosial yang menyangkut
kesejahteraan
petani.
Pembangumnan
adalah
upaya
untuk
menciptakan hubungan yang seimbang antara kebutuhan hidup manusia (needs) dengan sumber pemenuhan kebutuhan (resources) yang terdapat disuatu daerah sehingga tercapainya kesejahteraan bagi setiap warga masyarakat. Penjelasan tersebut telah menggambarkan bahwa penelitian ini memiliki relevansi dengan ilmu yang dikaji pada Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
B.
Latar Belakang Dialektika
manusia
terhadap
realitas
di
tempatnya
berada
telah
mengantarkan manusia pada proses panjang kehidupan, dari berburu hingga meramu, dari nomadenmenjadi menetap. Pertanian yang dimulai sejak zaman Neolithikum 3 telah banyak membawa perubahan dalam sistem tatanan hidup manusia. Sebagaimana yang dituliskan Susan George dan Nigel Paige bahwa 3
Istilah Neolithikumadalah istilah yang digunakan untuk menyebut zaman batu, dimana manusia purba menggunakan batu sebagai alat dalam melakukan aktivitasnya.
8
sistem pertanian telah menjadikan manusia hidup dalam masyarakat yang lebih besar dan stabil, dapat melakukan berbagai jenis pekerjaan, dapat berpikir tentang hal lain di luar makanan sehari-hari, mengenal pembagian kekayaan (tanah dan bahan makanan) yang tidak merata, dan mulai mengenal pembagian masyarakat menjadi kelas penguasa dan yang dikuasai(George dan Paige 2007, 8-12). Kesadaran manusia terhadap realitas ditempatnya berada mendorong manusia pada suatu kehendak. Sama halnya dengan penjajahan yang awalnya hanya didasari rasa ingin tahu untuk menemukan sesuatu yang baru, kemudian kesadaran objektifnya telah menggiring untuk melakukan hal produktif yang tanpa disadarinya membawa pada rasa ingin berkuasa. Lewat realitas pertanian kemudian menjadi awal mula penjajahan di Nusantara, dimulai dari kedatangan bangsa Portugis dengan tujuan mencari rempah-rempah untuk memenuhi kebutuhan musim dingin di Eropa (Ricklefs 2007, 32). Sejarah nusantara menunjukan, bahwa petani di Indonesia tidak pernah menjadi penguasa atas diri mereka sendiri, yang lebih ironis justru petani penghasil pangan manusia menjadi kelompok pertama penderita kelaparan. Pasca era tanam paksa, perekonomian Hindia Belanda yang dijarah VOC mengalami keruntuhan yang ditandai oleh zaman malaise 4 yang membawa penderitaan bagi rakyat. Ketika itu Soekarno sangat yakin kaum marhendi desa dimiskinkan oleh sistem kolonial, bukan sistem pertuantanahan secara feodal (Kuntowijoyo 1993). Pasca kemerdekaan Indonesia tatanan lama warisan kolonial dirombak menjadi tatanan baru dalam pembangunan. Presiden Soekarno (1952) menegaskan 4
Periode kelesuan ekonomi dan pengangguran secara besar-besaran ditahun 1929-1935. Baca Kuntowijoyo. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya 1993.
9
komitmen politiknya dalam kesempatan peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian di Bogor dengan menyatakan bahwa urusan pangan dan pertanian adalah soal hidup atau mati(Maksum 2006). Setelah itu Soekarno mencanangkan program swasembada beras selama periode 1952-1956 5 . Program tersebut diwujudkan melalui program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan Makanan (BAMA). Di tahun 1960, pemerintah menyadari jika pembangunan dilakukan tanpa melakukan reformasi sosial hanya akan meproduksi ketimpangan dan kepincangan struktural dalam bentuk baru, maka pembangunan dimulai dengan reformasi sosial melalui UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan UU Landreform Tahun 1960 yang dalam praktiknya UU tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena gejolak politik yang akhirnya dicap sebagai produk ideologi kiri (Khudori 2008, 31). Tidak hanya reformasi sosial, era Soekarno diversifikasi tanaman pangan sudah dipikirkan. Untuk keluar dari ketergantungan tanaman padi, pada tahun 1963, jagung dimasukkan sebagai bahan pangan pengganti beras. Pada masa ini pola kebijakan menitik beratkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Tahun 1964 diterapkan Panca Usaha Tani yang disesuaikan dengan kultur bercocok tanam petani. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1967 dibentuk badan penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog. Bulog memiliki tugas sebagai agen pembeli beras tunggal. Sejak awal tujuan berdirinya Bulog diproyeksikan menjadi lumbung nasional untuk menjaga supply komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga 5Kondisi saat itu masyarakat telah ketergantungan mengkonsumsi beras sebagai sumber karbohidrat dan terdapat kecenderungan orang Jawa yang enggan untuk meningkatkan produksi di atas kebutuhan subsistennya
10
tanaman pangan utama. Pada era Soekarno dapat dilihat bahwa orientasi pemerintah bertujuan untuk memfokuskan pada kepentingan rakyat dengan memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan hasil produksi sendiri. Melalui prinsip berdikarinya, Soekarno dengan tegas menolak keberadaan campur tangan asing dalam pembangunan ekonomi negara. Namun realitasnya, tidak seindah yang telah direncanakan. Ego orientasi politik yang berlebihan telah menjadikan sektor ekonomi tidak terurus dengan baik dan ekonomi desa jatuh, terlebih pada masa Demokrasi Terpimpin, perekonomian Indonesia carut marut, pendapatan per kapita sepanjang 1958-1965 merosot tajam, inflansi di atas 100% (Khudori 2008, 31-32) sehingga menjadikan kemiskinan meningkat, harga kebutuhan pokok melambung, dan akibatnya terjadi krisis pangan. Akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an dengan tujuan untuk mengatasi krisis pangan, pemerintah berusaha meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Ditangan pemerintahan Soeharto program pembangunan pertanian dirombak dengan menghadirkan program Revolusi Hijau atau pada masyarakat petani lebih akrab disebut dengan nama program Bimbingan Masal (BIMAS) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui paket pertanian modern. Inti program BIMAS adalah penerapan inovasi pertanian yang dikenal dengan ―panca usaha tani yang mencakup pembangunan fasilitas dan sistem irigrasi; penyediaan bibit varietas unggul; penggunaan pupuk kimia; penggunaan pestisida; penanaman dengan cara tanam larikan dan sejajar (Soemarjan 1993). Program BIMAS telah berhasil mengubah sikap petani dari ―anti teknologi‖ menjadi sikap yang mau memanfaatkan teknologi modern yang
11
lebih efektif dan efisien, mengubah mindset pertanian subsisten menjadi pertanian yang berorientasi ekonomi. Perubahan sikap ini mengantarkan Indonesia pada pencapaian
swasembada
beras
di
tahun1984.
Keberhasilan
pencapaian
produktivitas pertanian, secara akademis telah menggugat kemapanan teori Malthus, teori dualisme J. Boeke dan teori involusi Geertz. Namun pencapain ini tidak bertahan lama. Setelah mengalami swasembada, produktivitas terus mengalami penurunan hingga pada tahun 1994-1998 terjadi minus 1,408 %, dikarenakan pada periode pelita pertama lahan masih mampu menerima teknologi pertanian dengan menggunakan bibit varietas, pupuk dan pestisida kimia, namun pada akhir Pelita (1994-1988)
lahan
mengalami
kejenuhan
terhadap
penggunaan
bahan
kimia(Amrullah 2003). Selain itu program revolusi hijau menyebabkan sistem subsektor tanaman pangan rentan terhadap hama dan penyakit akibat uniformitas bibit padi. Pada tahun 1999, peneliti independen meneliti bahwa tanaman transgenik (produk pertanian modern) telah gagal membuktikan janjinya untuk memberikan keuntungan peningkatan produksi dan pengurangan pestisida serta herbisida secara signifikan, malahan tanaman transgenik memiliki dampak yang sangat besar bagi kesehatan dan ekologi. Dijelaskan pula bahwa tanaman transgenik mengandung bahaya: 1. Adanya kandungan racun Bt (Bacillus thuringiensis) yang menyebabkan nekrosis (kematian jaringan) berat pada manusia dan dapat membunuh
12
tikus dalam waktu delapan jam. Tanaman transgenik mengeluarkan racun melalui akar ke dalam tanah yang berpotensi merusak kesuburan tanah; 2. Gen bunuh diri, yang membuat tanaman bersifat mandul jantan, berpotensi menimbulkan kerusakan pada keanekaragaman hayati alami dan pertanian; 3. Adanya kandungan glufosinat ammonium yang dikaitkan dengan keracunan neurologis, pernapasasn, kelahiran cacat pada manusia dan hewan; 4. Transfer gen horizontal yang dapat menimbulkan kanker dan penciptaan virus baru (Ho dan Ching 2006, 11-49). Adanya
dampak
berbahaya
yang ditimbulkan
tanaman
trangenik,
menunjukan bahwa pertanian modern tidak menganut prinsip sustainable yang merupakan prinsip utama dalam melakukan pertanian. Pembangunan pertanian ke arah kebijakan moderninasasi pertanian, mengindikasikan adanya hegemoni yang mengarah pada gejala erosi ideologi, dimana Pancasila tidak dijadikan dasar pertimbangan yang matang dalam menentukan kebijakan. Pembangunan yang berorientasi peningkatan ekonomi menempatkan fungsi alam sebagai objek yang dieksploitasi. Terjadinya erosi ideologi telah menjadikan kemunduran dalam pembangunan masyarakat. Belum lagi kondisi ini diperparah oleh kondisi politik global yang dimenangkan aliran liberalis, yang menjadikan Indonesia tergabung dalam persaingan pasar bebas dengan berorientasi pada ekonomi pasar. Proses liberalisasi sektor pertanian di Indonesia dilakukan baik secara Multiteral, Regional dan Unilateral. Liberalisasi yang berpengaruh besar bagi pembangunan
13
pertanian Indonesia adalah keikutsertaan dalam World Trade Organization (WTO)dan International Monetary Fund (IMF). Liberalisasi pertanian dengan keikutsertaan dalam WTO termasuk dalam kerangka Agreement on Agriculture (AoA) 6(Hadi, Daeng, et al., 141-142). Secara singkat AoA menyepakati 5 hal, yakni, 1. Tarifikasi hambatan non tarif untuk mengurangi distorsi yang menghambat perdagangan produk pertanian; 2. Penurunan tarif 36% dari tingkat sebelumnya dalam jangka 6 tahun untuk negara maju dan 24% dalam jangka 10 tahun untuk nrgara berkembang; 3. Pengurangan subsidi domestik sebesar 20% dalam jangka 6 tahun untuk negara maju dan 13% dalam jangka 10 tahun untuk negara berkembang; 4. Pengurangan subsidi ekspor, baik penurunan nilai subsidi maupun volume subsidi; 5. Sanitari
and Phitosanitary
(SPS)
Regulations
yang bertujuan
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan (Jhamtani dan Hanim 1999, 62-63). Kebijakan ini tidak menguntungkan bagi negara berkembang karena harga impor pangan yang harus ditanggung negara berkembang semakin meningkat. Sedangkan adanya SPS menjadikan penahanan terhadap sejumlah produk ekspor dari Indonesia yang disinyalir mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan.
6merupakan
perangkat aturan liberalisasi pertanian yang bersifat multiteral yang
14
Selain WTO, liberalisasi sektor pertanian tidak lepas dari peran IMF7. Pada akhir 1997 ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi akibat tekanan politik dari dalam dan luar negri, IMF berhasil memperdaya pemerintah untuk melakukan kesepakatan mengenai kebijakan pertanian melalui Washington Consensus, yang menyepakati penghapusan monopoli Bulog sebagai lembaga pengatur distribusi pangan dan impor, deregulasi pertanian termasuk penurunan tarif dan pencabutan subsidi domestik, liberalisasi perdagangan dan investasi asing (Hadi, Daeng, et al. 2012, 146-147). Liberalisasi tidak berhenti pada era Orde Baru, era reformasi kembali melanjutkan sejumlah poin kesepakatan Indonesia dengan IMF. Tahun 1999 melalui UU No. 23 Tahun 1999 dilakukan penghapusan fasilitas pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada Bulog untuk membeli kelebihan produksi beras yang dihasilkan petani. Era kepemimpinan Megawati, peran Bulog dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2003. Bulog diarahkan menjadi pemasok program raskin. Selain itu, kebijakan harga dasar diganti kebijakan harga pembelian pemerintah (procurement price) melalui Inpres No. 9 Tahun 2002. Kebijakan ini tidak mampu menahan kerentanan terhadap gejolak harga yang bersumber dari luar (impor beras). Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) liberalisasi semakin diperluas di sejumlah komoditi. Pada akhirnya perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada perubahan besar dalam kehidupan berbangsa hingga pada tatanan pangan.
7yang
merupakan proses liberalisasi unilateral.
15
Melalui berbagai kebijakan terlihat jelas bahwa dalam kehidupan berbangsa kita telah terjadi ketegangan antara ideologi-ideologi yang dibawa penguasa besar dunia yang seolah ingin berkompetisi merebutkan kemudi globalisasi untuk menguasai dunia. Sebagaimana yang dikatakan Anthony Giddens, bahwa proyek besar globalisasi yang membawa semangat modernisasi telah mampu merambah hampir seluruh jantung kehidupan, membawa pada tatanan baru yang menjadikan manusia sebagai roda-roda kecil dalam mesin sosial ekonomi yang besar (Giddens 2001). Menurut Michael R. Dove, modernisasi dibidang pertanian tidak luput dari tiga hal, yakni: 1. Pembangunan dan modernisasi menimbulkan dampak negatif, misalnya saja kegiatan perusakan 2. Upaya memperkenalkan suatu aktivitas baru akan menggeser aktivitas tradisional 3. Potensi adaptasi dari suatu populasi amat terbatas (Dove 1985, 320) Sesuai yang dikatakan Michael R. Dove modernisasi dibidang pertanian melalui berbagai kebijakannya bukan malah membawa pertanian ke arah yang lebih baik malahan menciptakan kebijakan yang tidak pro petani. Akibatnya, penderitaan menyelimuti petani kecil dengan tergerusnya ideologi lokal, degenerasi tanah yang menjadikan kualitas produksi menurun, nilai beli hasil produksi rendah yang diikuti rendahnya daya beli untuk kebutuhan konsumsi, sulitnya akses permodalan untuk kebutuhan produksi, harga pupuk yang dipermainkan belum lagi resiko kegagalan panen. Hal tersebut seolah merupakan bentuk-bentuk ketergantungan yang sengaja diciptakan dalam pembangunan
16
negara berkembang. Hal ini juga menunjukan betapa lemahnya bargaining position negara di dalam pergaulan politik global. Kegagalan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat menunjukan adanya erosi ideologi, disebabkan ego ―akal‖ yang terlalu besar yang mementingkan kepentingan kapitalis sehingga rakyat kecil hanya menjadi kedok dalam pembentukan regulasi. Merosotnya moral homo economicus yang membawa pada kemunduran peradaban telah membangkitkan semangat perasaan tertindas untuk melakukan perlawanan. Di wilayah Ganjuran, Kabupaten Bantul, perlawanan terhadap kebijakan revolusi hijau telah terjadi semenjak diterapkannya program tersebut. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan beberapa tokoh dari Gereja Ganjuran, khususnya setelah dilakukan Deklarasi Ganjuran yang sedikit banyak telah membawa pengaruh bagi petani dalam membuka kesadaran petani agar tetap mempertahankan pertanian tradisional. Namun pada waktu itu adanya paksaan dari pemerintah melalui ABRI
8
telah menjadikansebagian besar petani tidak terkecuali di wilayah
Ganjuran terpaksa mengikuti sistem penanaman menggunakan paket revolusi hijau. Seiring berjalannya waktu, tidak sedikit petani yang terjerat dalam romatisme pertanian organik dengan berbagai makna yang dipahami. Keadaan demikianlah yang kemudian melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
8
ABRI adalah istilah penyatuan angkatan militer dan kepolisian kedalam satu wadah melalui sebuah Surat Keputusan Presiden No. 225/Plt Tahun 1962 pada masa orde baru. Baca Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Republik Indonesia, Balai Pustaka.
17
C.
Rumusan Masalah Berbagai kebijakan pertanian yang belum pro petani kecil, mahalnya sarana
produksi pertanian dan desakan kebutuhan keluarga petani telah menjadikan dilema bagi petani kecil sehingga banyak petani yang mengalami romantisme pertanian masa lalu sehingga tak sedikit dari mereka yang melakukan pemberontakan pada sistem pemerintah dan memilih melakukan kegiatan pertanian organik secara mandiri. Perkembangan pertanian organik di wilayah Bantul mendapat momentum ketika gempa bumi meluluh lantahkan hampir sebagian besar wilayah Bantul, tak terelakkan sendi perekonomianpun ikut luluh lantah. Satu satunya sektor perekonomian yang dapat bertahan adalah pertanian organik. Sehingga pasca terjadinya gempa bumi tahun 2006 banyak petani yang mulai menekuni pertanian organik. Namun dalam prosesnya, pertanian organik yang ditekuni antara petani yang satu dengan yang lainnya berbeda. Fenomena tersebut
menjadikan
landasan
pertanyaan
dalam
penelitian
ini
yang
mempertanyakan “Bagaimana proses dialektika yang dilakukan petani dalam memilih melakukan pertanian organik (dilihat dari makna dan tindakan petani) ?"
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan penelitian ini secara substansial untuk mengetahui proses dialektika petani sehingga petanidi wilayah Ganjuran, memilih melakukan pertanian organik dilihat dari makna dan tindakan petani.
18
2. Manfaat Penelitian a. Memberikan gambaran mengenai proses dialektika beberapa petani di wilayah Ganjuran b. Memberikan pemahaman tentang pertanian organik yang bukan hanya sekedar kontruksi kesehatan sehingga dapat membuka kesadaran bersama mengenai makna organik yang memuat prinsip kedaulatan c. Menjadi refrensi bagi penelitian selanjutnya. E.
Kerangka Konseptual Interaksi individu menjadi fokus yang menarik dalam penelitian sosial,
karena dari interaksi yang dilakukan membawa dampak pada perubahan, baik perubahan alam maupun perubahan masyarakat. Dalam Ilmu Pengetahuan, hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran dikenal dengan istilah dialektika. 1. Dialektika Istilah kata dialektika diadopsi dari bahasa Yunani yang memiliki makna pertentangan dan telah digunakan dalam filsafat Herakleitos (tahun 500 SM) yang mendasarkan pada pertentangan-pertentangan(Ramly 2000). Di tangan Socrates istilah dialektika mendapat bentuksederhana dengan pemahaman manusia akan hakikat kenyataan secara bertahap dalam tinjauan kritis (Bagus 2000, 163). Setelah Socrates filsafat dialektika berkembang melalui beberapa pemikir seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Immanuel Kant hingga pada pemikir zaman modern Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel menempatkan dialektika pada posisi ontologis, bahwa proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak
19
kenyataan. Pemikiran Hegel menjadikan dialektika sebagai perjalanan ide menuju pada kesempurnaan melalui proses dialektis. Bagi Hegel, dunia tidak diciptakan oleh struktur statis melainkan secara dinamis oleh proses dialektika yang menekankan pentingnya proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi (Ritzer dan Goodman 2009, 21). Dalam pemikiran dialektis setiap unsur empiris saling berkontradiksi mempunyai potensi kebenaran tertentu. Sebagaimana yang dituliskan Romo Sindhunata, bahwa berpikir secara dialektis salah satu aspeknya adalah totalitas, dalam artian bahwa kehidupan memiliki unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan) dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai) (Sindhunata 1983, 33). Pada perkembangannya, dialektika Hegel memberikan sumbangan besar pada pemikiran modern. Namun Idealisme Hegel meletakkan segala tekanan pada subyektivitas dengan menghadirkan Roh Absolut sebagai kenyataan dan menjadi self-sufficientsehingga menganggap yang nyata adalah sama dengan yang dipikirkan (Bakker 1984, 100). Pemikiran Hegel tersebut seolah menjadikannya berjalan menggunakan kepalanya. Selanjutnya, ditangan Karl Marx struktur pemikiran dialektika ditancapkan pada materialisme sebagai pondasi dasar yang kemudian pemikiran tersebut lebih dikenal dengan istilah Materialisme Dialektik. Dialektika menjelaskan alam suatu materi (benda) dengan mempelajari fenomena akan 'pergerakan' dan 'interrelasi' sebagai prinsip yang saling berkaitan. Sebagaimana tulisan Tan Malaka, bahwa pemikaran dialektika Marx merupakan pengetahuan berdasarkan hukum pergerakan materi (Malaka 1951) dengan
20
mengambil konsepsi materialis dari Epicurus, bahwa kita memahami alam lewat indera kita. Jadi ―gerakan bebas materi‖ adalah bagian dari kognisi kita, seperti kita adalah bagian dari alam dan memahaminya secara inderawi yang kemudian diabstraksikan melalui persepsi indera. Maka logika dialektis dapat dilihat sebagai elemen yang dibutuhkan dalam kognisi kita bangkit dari karakter kemunculan (emergent), transisi atas realitas yang kita pahami (Foster 2013, 244). Poin yang hakiki dari pemikiran dialektik melihat gerak dan perubahan sebagai satu gejala yang didasarkan pada kontradiksi. Lebih lanjut, Marx menandaskan bahwa hukum dialektika terjadi dalam dunia kebendaan (dunia materi) dan setiap benda atau keadaan (phenomenon) memiliki segi yang berlawanan dan saling bertentangan atau sering disebut dengan istilah kontradiksi (Budiardjo 2008, 142). Dalam AntiDuhring juga dijelaskan bahwa gerak adalah suatu kontradiksi, keasal muasalan dan pemecahan kontradiksi justru pada gerak itu sendiri (Engels 2007). Konsep 'interelasi' adalah prinsip umum untuk menerangkan tentang perkembangan dan fungsi suatu materi. Semua yang nampak di dunia ini merupakan rangkaian dari satu materi. Misalnya, perbedaan fenomena alam atau sosial, saling bergantung dengan perbedaan alam atau masyarakatnya.Dari Feuerbach, Marx sepakat bahwa manusia harus dipandang sebagai Gattung, sebagai makhluk alamiah yang berbeda dengan binatang sebab manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang terlibat dalam proses produksi, hubungan kerja dan hubungan milik sehingga hubungan manusia dengan alam luarnya melalui kerja sosial menentukan cara hidup manusia (Hardiman 2009, 110). Manusia mentransformasi hubungan terhadap dunia dan melampaui keterasingan
21
dari dunia-menciptakan relasi manusia-alam secara jelas-dengan aksi, lewat praksis material kita (John Bellamy Foster halaman 5). Manusia hidup dari alam, artinya alam adalah tubuhnya dan dia harus mempertahankan dialog dengan alam jika tidak ingin mati. Dengan menyebut bahwa fisik manusia dan keehidupan mental terhubung dengan alam, arti sederhananya adalah alam itu sendiri berhubungan dengan dirinya sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam (Marx, Early Writings, 328 dalam John Bellamy Foster hal 76) Materi pada mulanya dipandang secara umum bahwa materi (indrawi) adalah hakikat dari realitas. Bagi Marx pandangan umum mengenai materi benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam tesis pertamanya mengenai Feuerbach, Marx mengemukakan pengertian baru materialisme: “Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat initermasuk juga Feuerbach-adalah bahwa benda (Gegenstand), realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek atau kontemplasi tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, tidak secara subyektif” (Karl Marx, theses on Feuerbach dalam Karl Marx dan Frederick engels, selected works: vol II (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1958 halaman 403 dalam Martin Suryajaya) Konsep materialisme membawa kesadaran individu tidak lahir dari pikiran melainkan dari melihat, mengamati, dan juga dalam proses aktivitasnya. Sebagaimana pemikiran Tan Malaka yang menganggap materialisme dialektika merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang tidak menghilangkan kenyataan yang hadir pada indra. Berger menjelaskan bahwa pemikiran manusia didasarkan atas kegiatan manusia dan atas hubungan-hubungan sosial yang ditimbulkan dari kegiatan yang dilakukan (Berger dan Luckmann 1990, 8). Dari kegiatan manusia dan hubungan sosialnya tersebut kemudian kesadaran manusia terbentuk. Kesadaran selalu intensional, kesadaran berbicara tentang sesuatu yang terarah
22
kepada obyek(Berger dan Luckmann 1990, 30). Kesadaran intensional juga merupakan analisis fenomenologi dalam melihat fenomena-fenomena yang hadir di tengah masyarakat. Fenomenologi melihat hubungan manusia dengan dunia kehidupannya selalu dalam proses dialektis, antara individu dan dunia sosiokultural sehingga membentuk tatanan sosial (Bertens 2002, 109-110). Prinsip dialektika pada dasarnya melihat corak kehidupan manusia selalu dinamis dan berkembang. Van Peursen menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan hubungan dengan sesamanya selalu bersifat imanen (serba terkurung) dan trensenden (yang mengatasi sesuatu berdiri di luar sesuatu). Terjadinya ketegangan antara imanensi dan trensendensi dari penilaian kritis manusia terhadap realitas menjadikan kehidupan dan kebudayaan manusia selalu berkembang. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi) tetapi selalu juga muncul dari arus alam raya untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi) (Peursen 1988, 15). Dalam
konteks
penelitian
ini.
Dialektika
yang
dilakukan
petani
mengantarkan pada kesadaran akan perubahan dimana dialektika tidak sekedar memahami fenomena pertanian yang sedang berkembang. Lebih dari sekedar memahami realitas, dialektika digunakan petani sebagai senjata untuk melawan segala
penindasan
kapitalis
menuju suatu
perubahan
dalam
mencapai
kesejahteraan keluarga petani. 2. Pertanian dan Pertanian Organik Secara etimologi pertanian berasal dari kata Agriculture, ager berarti lahan atau tanah dan cultura memiliki arti memelihara atau menggarap. Pertanian dan
23
pertanian organik merupakan suatu hal yang sama, hanya saja pertanian organik merupakan istilah yang berkembang setelah revolusi hijau menuai kementokan. Bagi setiap orang atau institusi, pertanian organik memiliki definisi yang berbedabeda. Agus Andoko, menjelaskan pertanian organik menurut pengertiannya merupakan kegiatan bercocok tanam yang akrab dengan lingkungan, yang berusaha meminimalkan dampak negatif bagi alam sekitar dan ciri utamanya adalah penggunaan pupuk organik dan pestisida organik (Andoko 2008, 8). Menurut Dede Sulaeman, pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan (Sulaeman 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam praktek pertanian organik dilakukan dengan cara menghindari penggunaan: 1. Benih/bibit hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Organisms) 2. Pestisida kimia sintetis. Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman. 3. Zat pengatur tumbuh (growth regulator) dan pupuk kimia sintetis. 4. Hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam rangka makanan ternak. Dari penjelasan tersebut, telah menjelaskan arti pertanian organik menurut cara pengolahan yang dipahaminya. Namun ada beberapa orang yang memberikan arti pada pertanian organik tidak sekedar dari cara, tapi juga melibatkan aspek lain. Pertanian organik merupakan sistem produksi penanaman yang berazaskan pada daur ulang hara secara hayati dengan memuat ―hukum pengembalian (law of
24
retun)‖ yang berarti suatu sistem pengembalian semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu, limbah pertanaman maupun ternak dengan memuat filosofi memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants)(Rachman 2002).Pertanian organik dalam versi lain, yaitu merupakan sistem pertanian yang mempromosikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dengan memproduksi pangan dan serat (Rosenow, Soltysiak dan Verschuur 1996). Dalam Panel Ilmu Independen (Ho dan Ching 2006)dijelaskan bahwa banyak istilah yang digunakan dalam pertanian yang memiliki prinsip berkelanjutan, misalnya saja ada yang menyebut sebagai agroekologi, pertanian berkelanjutan, pertanian organik, pertanian ekologis, dan pertanian biologis. Meskipun memiliki istilah yang berbeda pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, yakni ramah lingkungan, layak secara ekonomi, adil secara sosial, tepat secara budaya, manusiawi dan berdasarkan pendekatan holistik. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya mengajak manusia kembali ke alam, dengan tetap meningkatkan produktivitas hasil tani melalui perbaikan kualitas tanah. Pertanian organik menghargai kedaulatan dan otonomi petani berdasarkan nilai-nilai lokalartinya terdapat kebebasan petani lokal untuk menentukan tanaman apa yang akan mereka tanam serta bagaimana cara untuk meningkatkan hasil panen. Sistem ini memperhatikan kesuburan tanah sebagai dasar kapasitas produksi dan sifat alami tanaman, hewan, biofisik, landskap, sehingga mampu mengoptimalkan kualitas semua faktor-faktor yang saling terintegrasi atau tergantung tersebut. Pertanian organik menekankan praktik rotasi
25
tanaman, daur ulang limbah-limbah organik secara alami tanpa input kimia. Tingkat persediaan optimal bahan-bahan organik tersebut dibutuhkan untuk mencapai siklus nutrisi unsur hara dalam tanah. Oleh karena itu, pertanian organik bisa dikatakan sebagai dasar produksi hasil pertanian, dasar untuk peternakan hewan, dasar untuk keseimbangan ekologi secara alami. Pertanian organik tidak berarti hanya meninggalkan praktek pemberian bahan non organik, tetapi juga harus memperhatikan cara-cara budidaya lain, misalnya pengendalian erosi, penyiapan pemupukan, pengendalian hama dengan bahan-bahan organik atau non organik yang diizinkan. Dari segi sosial ekonomi, keuntungan yang diperoleh dan produksi pertanian organik hendaknya dirasakan secara adil oleh produsen, pedagang dan konsumen. Menurut IFOAM dalam melakukan pertanian organik harus memuat (1)Prinsip Kesehatan manusia dan lingkungan; (2)Prinsip Ekologi, artinya dalam melakukan pertanian organik perlu memelihara dan memperhatikan siklus ekologi agar dapat menjadikan keberlanjutan; (3)Prinsip Keadilan, harus mampu menciptakan hubungan yang memperhatikan keadilan lingkungan dan kesempatan hidup bersama; (4)Prinsip Kepedulian, harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggungjawab dengan melihat aspek aspek yang telah disebutkan sebelumnya agar mampu mendatangkan kesejahteraan bagi generasi mendatang. Di Indonesia, istilah pertanian organik baru dikenal awal tahun 1990-an, padahal sebenarnya pertanian organik bukanlah hal baru. Sudah sejak lama para leluhur bercocok tanam secara alami memanfaatkan alam disekitarnya, tanpa menggunakan pupuk buatan pabrik maupun pestisida pembunuh hama. Pertanian
26
organik semakin menemukan momentumnya seiring munculnya krisis ekonomi di tahun 1997 yang melambungkan harga saprotan (sarana produksi pertanian) seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Hal tersebut memicu petani untuk kembali menggunakan pupuk kandang atau kompos. Di Bantul, khususnya di Gereja Ganjuran, pada tanggal 16 Oktober 1990 telah diadakan Deklarasi Ganjuran yang isinya mengajak masyarakat untuk membangun pertanian dan pedesaan yang lestari, berwawasan lingkungan, murah secara ekonomis, sesuai dengan dan berakar dalam kebudayaan setempat dan berkeadilan sosial. Meskipun sistem pertanian organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan banyak kepada pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan hidup, termasuk konservasi sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan menghadapi banyak kendala. Faktor-faktor kebijakan umum dan sosio-politik sangat menentukan arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi. Perkembangan pertanian organik awalnya merupakan perlawanan terhadap paket pertanian modern yang tidak menyertakan keharmonisan alam. Namun semenjak selogan ―hidup sehat‖ yang memuat isu kesehatan dan ekologi telah melembaga secara internasional, produk-produk pertanian disyaratkan memiliki atribut jaminan mutu aman konsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labeling attributes). Menurut IFOAM, suatu produk dapat diakui sebagai produk organik apabila telah melalui proses sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi resmi yang telah terdaftar pada IFOAM. Lembaga-lembaga standarisasi yang telah diakui adalah
27
IFOAM dan Codex Alimentarius.Di Indonesia masalah pangan organik diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik. SNI diadopsi dari seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 321999, Guidelines for the production, processing, labeling and marketing of organically produced foods dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi Indonesia. Tujuan pengaturan SNI 01-6729-2002, untuk: a. Melindungi konsumen dari manipulasi bahan tanaman/benih/bibit ternak dan produk pangan yang diakui sebagai produk organik di pasar; b. Melindungi produsen pangan organik dari penipuan bahan tanaman benih/bibit ternak dan produk pertanian lainnya yang diakui sebagai produk organik; c. Memberikan pedoman dan acuan kepada pedagang/pengecer bahan tanaman benih/bibit ternak dan produk pangan organik dari produsen kepada konsumen; d. Memberikan jaminan bahwa seluruh tahapan produksi, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran dapat diperiksa dan sesuai dengan standar ini; e. Harmonisasi dalam pengaturan sistem produksi, sertifikasi, identifikasi dan pelabelan produk pangan organik; f. Menyediakan standar pangan organik yang diakui secara nasional dan juga berlaku untuk tujuan ekspor; g. Memelihara serta mengembangkan sistem pertanian orgnaik di Indonesia sehingga menyumbang terhadap pelestarian ekologi lokal dan global.
28
3. Romantisme Arti kata romantisisme menurut kamus ilmiah serapan yakni merupakan: (1) aliran dalam seni dan karya seni (drama) yang menekankan pada imajinasi, emosi, dan sentiment idealism; (2) ajaran yang lebih mengutamakan perasaan daripada bentuk dalam estetika dan etika, sehingga sifatnya individualistis, pluralistis, dan kadang-kadang anarkistis; (3) kecenderungan sikap dan perasaan yang menganggap masa lalu jauh lebih indah dan baik daripada masa sekarang, yang disertai dengan singkap menyesal terhadap situasi atau kondisi perkembangan masyarakat modern sekarang ini; (4) haluan kesusastraan di Eropa pada akhir abad ke-18 yang terutama menekankan pada perasaan, pikiran, dan tindakan spontanitas (Kamarulzaman dan Barry 2005). Bila ditelisik dari sejarah barat, melalui tulisan Franz Magnis Suseno (2005, 59), dijelaskan bahwa romantisme adalah suasana perlawanan bagi rasionalisme dan pencerahan yang terjadi dari akhir abad ke-18 hingga menjelang pertengahan abad ke-19 dimana pencerahan berusaha meninggalkan tradisi dan otoritas yang menduduki peran sentral dalam masyarakat Eropa saat itu. Romantik identik dengan Rousseau yang menghayati jiwa alam, menjunjung tinggi perasaan serta melihat keindahan dan misteri alam yang dicarinya dalam sumber-sumber kejiwaan masa lampau. Hal ini sebagaimana yang dituliskan Joestin Gaarder dalam Novel Filsafatnya yang berjudul ―Dunia Sophie‖. Gaarder menceritakan bahwa Romantisme adalah pendekatan umum terakhir di Eropa yang merupakan reaksi terhadap tekanan Pencerahan yang sangat kuat pada akal. ―Perasaan,
29
imajinasi, pengalaman, kerinduan‖ menjadi slogan kaum Romantik sebagai perlawanan(Gaarder 2013). Sains dan teknologi modernisasi memang terbukti mampu membebaskan manusia dari problem kelangkaan ekonomi, namun di sisi lain modernisasi membawa masyarakat ke dalam tragedi besar dimana manusia terbelenggu oleh rasionalitasnya(Sindhunata 1983, 69). Sebagaimana definisi Jacques Ellul, rasionalitas instrumental menjadikan modernitas sebagai sarana yang terusmenerus diperbaiki bagi tujuan yang tidak dirumuskan dengan jelas (Hardiman 2000, 73-74). Terjadinya pergeseran dari akal budi objektif ke akal budi instrumental menurut Horkheimer menyebabkan polarisasi atau keretakan kesadaran sehingga manusia bukan lagi memahami realitas sebagai suatu keutuhan yang bernilai pada dirinya, melainkan dengan cara distansi yang menjadikan realitas serpihan-serpihan yang berjarak satu sama lain(Sindhunata 1983, 98). Tekanan pada rasionalitas yang berlebihan telah membangkitkan semangat romantisme. Pada saat itu dengan optimis akan kemajuan ilmiah, filusuf pencerahan telah membawa gerakan modernisasi Eropa dengan rasionalitasnya yang mensivilisasikan berbagai bidang kehidupan, sehingga masyarakat modern lama kelamaan menjadi masyarakat industrial teknologis yang serba artifisial (Hardiman 2007). Karena terlalu mendewakan rasionalitas yang semula dianggap memberi otonomi dan kebebasan, manusia modern justru terperangkap dalam jaring teknologi dan birokrasi yang menyebabkan ia kehilangan makna sebagai makhluk yang bermartabat (Berger dan Kellner 1985, 166). Lebih lanjut, Budi
30
Hardiman menjelaskan bahwa Romantisme justru ingin menggali kembali nilainilai tradisional dan otoritas yang dikritik oleh Pencerahan, baginya Gerakan romantik justru mengkritik tendensi sivilisasi dan disiplinisasi ala modernisasi sebagai pembusukan. Seperti yang dikemukakan Spengler yang pada waktu itu cukup populer karena sesuai dengan kesadaran diri orang Eropa setelah Perang Dunia 1, bahwa kebudayaan Barat sudah berada pada akhir masanya karena sudah masuk ke dalam masa ―sivilisasi‖ dimana kecanggihan hidup yang energinya terarah ke luar, tidak lagi ke dalam, oleh karena itu dinilai sudah dalam tahap menurun (Suseno 2005, 137). Kebudayaan modern telah membawa pada peralihan paradigma, dari theosentris menjadi anthroposentris. Pandangan yang melihat segala-galanya dari pandangan mengenai Allah ke pandangan yang melihat segala-galanya dari sudut manusia. Perubahan paradigma sekaligus membawa pada pergeseran dari budaya ekspresif dimana nilai-nilai religius, estetik dan komunal digantikan oleh budaya progresif dengan dominasi nilai-nilai rasionalitas dan ekonomi. Dijelaskan pula dari pandangan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa modernitas melahirkan gaya pemikiran yang berbeda. Pertama pikiran modern ditandai oleh rasionalitas, materialisme dan individualisme yang menolak segala wewenang tradisional, mendasar pada realitas indrawi yang tak terbantah daripada sekedar spekulasi spiritual yang merupakan pelarian dari realitas serta bersifat individualistik atas dorongan kemauan untuk berubah dan maju mendahului kelompok. Kedua peluasan gaya berpikir disebabkan pertukaran komunikasi internasional yang
31
semakin padat sehingga orang dapat berinteraksi dengan dunia luar dengan budaya dan gagasan yang saling mempengaruhi(Suseno 2005, 140). Belajar dari sejarah Eropa, Romantisme dengan semangat harmonisasi alam merupakan kerinduan akan masa lalu dimana kebudayaan manusia masih selaras dengan harmonisasi alam. Romantisme identik dengan fenomena kota yang telah banyak
mengalami
perubahan
dan
perkembangan
menjadi
kebudayaan
metropolitan. Sehingga romantisme muncul sebagai usaha perlawanan dan protes terhadap perkembangan modernisasi yang telah membawa perubahan besar terhadap kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat yang saat ini dikendalikan oleh industrialisasi kapitalis. Romantisme dalam konteks penelitian ini, muncul karena terjadinya perubahan akibat modernisasi yang menggeser masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Terjadinya pergeseran ini telah menjadikan kebanyakan manusia berorientasi ekonomi. Romantisme tidak hanya terjadi di kota tapi juga telah menyerang pedesaan yang mana telah mendapat pengaruh besar dari pembangunan ekonomi yang berusaha mengadopsi model Rostow, namun gagal dalam menapaki fasenya. Pembangunan telah membawa perubahan dalam corak masyarakat desa khususnya bagi petani. Perubahan tersebut diantaranya menyangkut perubahan pola kerja yang mengarah pada sifat individualis sehingga perlahan mengikis modal sosial masyarakat, struktur kelas yang mencolok mengakibatkan kesenjangan sosial, standar hidup, kekuatan yang tak berimbang yang mengakibatkan petani kecil semakin termarginal, iklim global yang tak menentu menjadikan petani harus menanggung resiko selama masa tanam.
32
Penelitian ini menggunakan kerangka materialisme dialektik sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Kondisi masa lalu yang pernah dialami petani dan kondisi saat ini telah membuka dialog dalam diri petani atas realitas yang ada. Pemikiran petani yang pernah merasakan kehidupan masa lalu lebih baik dibandingkan kondisi sekarang memunculkan pertentangan dalam dirinya yang membawa petani pada kondisi romantisme hingga akhirnya mengantarkan pada refleksi pemikiran, salah satunya kembali pada pertanian organik. Romantisme adalah hasil dari proses dialektika petani yang merindukan masa lalunya dimana modernisasi belum menjajah dan mendistraksi petani dalam segala aspek yang membawa
pada
ketergantungan
sehingga
ada
keinginan
petani
untuk
menghadirkan kembali kenangan masa lalu yang dialaminya. Sedangkan pertanian organik adalah refleksi dari proses dialektika yang dilakukan petani. Sebenarnya pertanian organik bukanlah hal yang baru, penggunaan istilah pertanian organik baru muncul setelah diberlakukannya sistem pertanian modern. Istilah pertanian organik yang berkembang saat ini dikatakan refleksi dari proses dialektika petani dikarenakan penerapan sistem pertanian organik yang dilakukan saat ini telah mengalami proses adaptasi dengan situasi yang ada sehingga pertanian organik yang dilakukan tidak sama persis dengan yang dilakukan petani jaman dulu, meskipun konsepnya memang berprinsip pada keseimbangan alam dengan menggunakan pupuk dan pestisida alami serta bibit lokal. Pembahasan lebih mendalam mengenai dialektika petani terhadap pertanian organik dibahas pada bab selanjutnya.
33
Gambar1.1 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
DIALEKTIKA Pertanian Tradisional
PROSES DIALEKTIKA ?
Membawa perubahan: Pola kerja Struktur kelas Standar hidup Iklim Global
ROMANTISME
Pertanian Modern
Kesejahteraan Petani (Kebijakan yg tidak pro petani lokal, dilema pemenuhan kebutuhan ―saprotan‖ yang meningkat dan desakan kebutuhan ekonomi keluarga) Kapitalis Labelling
PERTANIAN ORGANIK
34