I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin
terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan dihapuskan atau dikurangi secara bertahap menuju perdagangan bebas. Pembentukan kawasan-kawasan perdagangan bebas dibentuk oleh berbagai negara sebagai langkah untuk menuju hal tersebut. Menurut Salvatore (1997), kawasan perdagangan bebas adalah bentuk integrasi ekonomi di mana semua hambatan perdagangan tarif maupun non tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Pada tataran dunia kita mengenal World Trade Organization (WTO) yang merupakan satu-satunya organisasi Internasional yang dibentuk untuk mengurusi perdagangan dunia tersebut, dimana WTO beranggotakan negara-negara di seluruh dunia. Negara-negara anggota yang tergabung dalam WTO ini menyepakati untuk melaksananakan perdagangan bebas dunia pada tahun 2020. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya
1
dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Pada bidang pertanian dibuat juga suatu persetujuan yang bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Pada era perdagangan bebas berbagai kebijakan proteksi secara internasional akan dihapuskan. Penghapusan kebijakan proteksi secara internasional akan membuka peluang pasar yang lebih besar bagi produk-produk agribisnis. Penurunan tarif impor dan subsidi domestik di negara-negara pengimpor produk agribisnis akan membuka peluang pasar yang semakin besar bagi negara-negara pengekspor. Demikian juga penurunan subsidi ekspor pada negara-negara pengekspor produk agribisnis, juga akan membuka peluang besar bagi negaranegara pengekspor lainnya dan akan memberikan kesempatan munculnya pemain baru di pasar produk-produk agribisnis internasional. Indonesia sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar produk agribisnis internasional. Dilihat dari sisi penawaran sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi negara agribisnis terbesar. Menurut Saragih (1998), ada paling tidak tiga argumen yang mendasari pernyataan ini. Pertama, agribisnis Indonesia masih berada pada fase bertumbuh dan masih bisa terus tumbuh dimasa yang akan datang. Kedua, Indonesia memiliki sumberdaya alam yaitu lahan yang luas dan subur, sinar matahari, plasma nutfah yang beragam yang merupakan sumberdaya dasar pengembangan agribisnis. Ketiga, beberapa negara pesaing Indonesia seperti: Amerika Serikat, Kanada, Malaysia dan Thailand yang secara tradisional menguasai agribisnis internasional, di masa yang akan datang akan kesulitan
2
untuk mengembangkan agribisnis, terutama karena kesulitan lahan. Berdasarkan kondisi tersebut sebenarnya secara relatif Indonesia dapat menjadi produsen terbesar beberapa komoditas agribisnis terpenting. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang berpeluang untuk menguasai pasar internasional. Hal ini dikarenakan komoditas perkebunan pada umumnya merupakan komoditas ekspor. Alasan lainnya yang menunjang pernyataan tersebut adalah bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam banyak komoditas perkebunan. Beberapa komoditas perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet dan kakao bahkan mempunyai peluang untuk menjadi produsen dan eksportir terbesar di dunia. Sampai Mei 2006 total Net Ekspor komoditi perkebunan 8.534.938 ton dengan nilai US $ 5.286 juta, dengan pertumbuhan volume ekspor rata-rata pertahun selama periode 1998-2005 sebesar 27,58 persen dan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor per tahun pada periode yang sama sebesar 17,84 persen (www.deptan.go.id). Peningkatan nilai ekspor yang mengesankan ini selain diakibatkan oleh membaiknya harga beberapa komoditas seperti karet, minyak sawit, minyak inti sawit, dan bungkil sawit, juga diakibatkan oleh peningkatkan volume ekspor komoditas perkebunan. Hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana agar daya saing komoditas perkebunan ini dapat ditingkatkan, sehingga harga maupun volume ekspor komoditas perkebunan ini dapat terus meningkat. Peningkatan daya saing komoditi perkebunan ini perlu menjadi suatu perhatian mengingat sub sektor perkebunan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional. Peran strategis perkebunan dalam pembangunan nasional, terutama dalam hal penerimaan devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan bahan
3
baku industri dalam negeri, pemenuhan konsumsi dalam negeri dan optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Sub sektor perkebunan pada tahun 2004 mampu menyerap tenaga kerja di bidang on-farm perkebunan sebesar 18,6 juta tenaga kerja, meningkat menjadi 19 juta tenaga kerja pada tahun 2005 (www.deptan.go.id). Serapan ini belum termasuk tenaga kerja yang terlibat di industri pengolahan lanjutan dan jasa. Kakao merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2002 perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar di kawasan timur Indonesia. Kakao juga merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta (www.litbang.deptan.go.id). Hal lainnya yang membuat peranan kakao penting bagi perekonomian nasional adalah peranannya dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2002 tercatat seluas 914.051 ha di mana sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Melihat peran strategis dari perkebunn kakao ini tentunya harus membuat pemerintah lebih serius untuk manangani perkebunan kakao, agar menghasilkan kualitas kakao yang baik. Pada saat ini sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk dikonsumsi di dalam negeri. Produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk biji kering dan hanya sebagian kecil dalam bentuk olahan. Tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Amerika, Malaysia,
4
Brazil dan Singapura. Di sisi lain Indonesia juga mengimpor biji kakao yang digunakan untuk industri pengolahan dalam negeri. Negara asal impor biji kakao Indonesia, antara lain Pantai Gading, Ghana dan Papua New Guinea. Perkembangan ekspor dan impor biji kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat volume ekspor kakao Indonesia mengalami tren yang terus meningkat, sedangkan volume impor meskipun menunjukkan tren meningkat namun volumenya jauh di bawah ekspor. Berdasarkan fakta tersebut kita bisa mengatakan bahwa net ekspor
kakao adalah positif,
hal ini
menunjukkan bahwa kakao potensial untuk terus dikembangkan menjadi komoditi ekspor penghasil devisa. Tabel 1. Perkembangan Ekspor dan Impor Kakao Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Ekspor (Ton)
Impor (Ton) 119.725 145.217 176.001 228.799 231.168 233.593 322.858 265.949 334.807 419.874 424.089 302.670 365.650 265.838 275.484 463.632
640 1.054 1.780 1.641 2.438 3.588 4.262 6.410 7.709 11.840 18.252 25.617 23.962 23.896 31.082 52.353
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan
Melihat perkembangan jumlah produksi kakao Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan, keungulan komparatif yang dimiliki Indonesia membuat kita mampu memproduksi kakao dalam jumlah yang cukup banyak. Pada tahun
5
2002 Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading, walaupun pada tahun 2003 kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana (Internasional Cocoa Organization, 2003). Jumlah produksi kakao terbesar dihasilkan oleh perkebunan rakyat dengan jumlah produksi sekitar 50,47 persen (Herman, 2004). Perkebunan kakao yang didominasi oleh perkebunan rakyat pada umumnya tidak dikelola dengan baik. Hal ini tentunya membawa konsekuensi terhadap mutu kakao yang dihasilkan. Mutu kakao yang masih rendah membuat kakao Indonesia memiliki citra kurang baik di pasar internasional. Bahkan di pasar Amerika kakao kita dikenai automatic detention. Permasalahan lainnya yang dihadapi agribisnis kakao Indonesia adalah produktivitas kebun masih rendah, yaitu kurang lebih 900 kg/ha/th. Rendahnya produktifitas disebabkan serangan hama penggerek buah kakao, penggunaan benih asalan dan banyaknya pohon-pohon yang sudah tua. Besar kecilnya peluang kakao Indonesia di pasar Internasional, tergantung dari kemampuan produsen kakao Indonesia dalam memenuhi permintaan konsumen kakao. Konsumsi kakao dalam hal ini konsumsi biji kakao dunia memang
sedikit
berfluktuasi
dengan
kecenderungan
terus
meningkat,
perkembangan konsumsi biji kakao selama periode 1900-2000 dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel menunjukkan bahwa konsumsi biji kakao terus mengalami peningkatan sejak tahun 1900 dengan rata-rata peningkatan 3,9 persen per tahun. Negara konsumen utama biji kakao dunia adalah Belanda yang mengkonsumsi 452 ribu ton pada tahun 2000/2001. Konsumen besar lainnya adalah Amerika Serikat, diikuti Pantai Gading, Jerman dan Brazil yang masing-masing
6
mengkonsumsi 456 ribu ton, 285 ribu ton, 227 ribu ton dan 195 ribu ton pada tahun 2000/2001 (Internasional Cocoa Organization dalam Herman 2004 ). Tabel 2. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun
Konsumsi (000 ton) 103 206 382 495 711 793 941 1.357 1.573 2.207 2.965 2.881 3.053 3.203 3.298
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber : Paduan Lengkap Budi Daya Kakao 2004 dan ICCO
Tingkat konsumsi kakao dunia yang menunjukkan tren terus meningkat, merupakan suatu pertanda bahwa prospek pasar kakao dunia kedepan akan terus meningkat. Hal ini tentunya merupakan sebuah peluang bagi produsen kakao Indonesia untuk terus berproduksi agar dapat menguasai pasar kakao dunia. Namun tentunya yang harus menjadi perhatian bahwa untuk dapat menguasai pasar dunia, tentunya kita harus mampu bersaing dengan produsen kakao dari negara lain. Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Produsen kakao Indonesia tentunya harus mampu bersaing dengan produsen kakao dari negara-negara lain untuk dapat menguasai pasar dunia. Kemampuan bersaing ini tidak hanya dalam segi jumlah produksi,
7
tetapi juga berbagai faktor lainnya yang salah satunya adalah mutu dari kakao yang diproduksi. Peningkatan daya saing dari kakao Indonesia perlu segera dilakukan agar posisi dan daya saing kakao Indonesia di pasaran Internasional dapat terus ditingkatkan. Kemampuan daya saing yang tinggi akan semakin meningkatkan peluang kakao Indonesia di pasar Internasional. Paradigma-paradigma lama yang hanya mengandalkan keunggulan komparatif, seperti kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik harus segera dirubah. Program-program yang mendukung peningkatan daya saing kakao harus menjadi prioritas para stekeholder guna menghadapi era pasar bebas. Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia harus ditrasformasikan menjadi keunggulan bersaing guna menghadapai era pasar bebas.
1.2.
Perumusan Masalah Pada era perdagangan bebas, di mana berbagai hambatan baik berupa tarif
maupun non tarif akan dikurangi bahkan dihilangkan. Hal ini tentunya memberikan peluang bagi produsen kakao Indonesia untuk menguasai pasar internasional, apalagi Indonesia termasuk salah satu produsen kakao terbesar. Hal yang menjadi permasalahan pada agribisnis kakao di Indonesia adalah bahwa kebun kakao yang didominasi perkebunan rakyat sebagian besar masih menggunakan bibit asalan sehingga tentunya berpengaruh pada rentanya kebun kakao terhadap hama penyakit dan tentunya membuat tingkat produktivitas kebun menjadi rendah. Penanganan biji kakao pun belum sesuai dengan standar, sehingga mutu biji kakao yang dihasilkan masih rendah dan masih belum
8
optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Berdasarkan fakta dan realita yang ada, maka perumusan masalah dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. 1. Bagaimana posisi daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keunggulan daya saing kakao di pasar Internasional? 3. Alternatif-alternatif strategi apa yang dapat di ambil untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat posisi daya saing kakao Indonesia di
pasar Internasional. Secara rinci, tujuan penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi posisi daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keunggulan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional. 3. Menentukan prioritas strategi daya saing kakao Indonesia di pasar internasional.
1.4.
Manfaat Penelitian Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
manfaat, yaitu : 1. Memberikan gambaran pada pemerintah dan produsen kakao di Indonesia mengenai posisi daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional. 2. Memberikan Informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keunggulan daya saing kakao di pasar Internasional.
9
3. Memberikan masukan berkaitan dengan strategi yang dapat diambil untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini identifikasi posisi daya saing tidak dilakukan pada
semua negara produsen kakao, tapi penghitungan hanya dilakukan pada negaranegara produsen kakao terbesar, yaitu Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria dan Brasil. Analisis keunggulan daya saing yang dilakukan dilihat dari sudut pandang negara Indonesia.
10