1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang dapat dijumpai bukan hanya dalam tradisi monoteisme per se (Appleby and Marty, 2002), fenomena ini pun dapat ditemukan dalam tradisi Budha, Hindu, Kong Hu Cu (Armstrong, 2001 : x), dan juga Sikh (McLeod, 1998). Dengan demikian, pandangan
sebagian
sarjana
yang
menyatakan
bahwa
fundamentalisme
merupakan fenomena khas yang terjadi dalam tradisi monoteisme —Islam utamanya— tidak berlaku lagi. Secara lebih spesifik, fundamentalisme Islam dipandang oleh sarjana Barat sebagai sebuah ideologi yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat di belahan dunia Islam (Harvey, 2005). Dengan sifat pervasifnya, ideologi ini terus menyebar secara dinamis dengan implikasi keagamaan, ekonomi, politik, dan strategi (Dekmejian, 1980: 1-2; 1995: 3). Paling tidak, ada tiga elemen dasar menurut Keddie (1998: 712) mengapa fundamentalisme Islam tumbuh subur di negara-negara mayoritas Muslim. Pertama, adanya ikatan kuat antara Islam sebagai agama dengan lembaga politik yang telah berlangsung sejak awal meskipun kemudian menurun setelah lahirnya penguasa-penguasa non-religius; lembaga-lembaga Islam telah lama melakukan kontrol terhadap wilayah hukum, pendidikan, juga pelayanan-pelayanan sosial lain. Kedua, gerakan oposisi massa terhadap pemerintahan sekular di dunia Muslim cenderung bermotifkan atau berideologikan agama. Terakhir, rasa benci terhadap sikap Barat yang seringkali dianggap merugikan umat Islam menjadi alasan utama penolakan terhadap setiap gagasan yang berbau Barat.
2
Fundamentalisme Islam sebagai sebuah istilah, memang mengandung persoalan dan mengundang perdebatan kalangan akademisi. Alasan keberatan utama
karena
istilah
tersebut
berasal
dari
tradisi
Kristen,1
sehingga
mengaplikasikannya untuk konteks agama lain —Islam utamanya— dianggap kurang tepat (Munson, 2001: 32; Rajashekar, 1989: 97; Meuleman, 1998: 23). Oleh karena itu, mereka yang tidak sepakat dengan istilah tersebut lebih senang untuk menggunakan istilah ―Islam Politik‖ (Beinin and Stork, 1997: 3; Saeed, 2007: 399), ―Gerakan Politik Keagamaan Baru,‖ atau New Religious Politics (Keddie, 1998: 697), ―Islamisme‖ (Munson, 2001: Sayyid, 2003: 17; Bayat, 2005; Emmerson, 2010: 27; Roy: 1996), ―Revivalisme Islam‖ (Lapidus, 1997), dan ―Nasionalisme Religius‖ (Juergensmeyer, 1994) sebagai kategori alternatif. Namun perlu diingat bahwa secara keseluruhan semua istilah tersebut di atas merupakan Western ethnocentric approach, problematis sebagaimana penggunaan istilah fundamentalisme itu sendiri. Hal di atas menjadi maklum karena dalam konteks dunia akademik di mana Barat masih menjadi center of exellence, ―pusat segala-galanya,‖ maka sangat sulit untuk menghindari konsep-konsep yang telah mapan dalam tradisi intelektual Barat. Peluang yang mungkin dilakukan seperti yang disarankan oleh Hatina (2007: 6) adalah ˝...we can make them [the concepts] more flexible, so to speak, through differentiation and contextualization.” Menemukan kembali
1
Secara historis, istilah fundamentalisme berasal dari gerakan Kristen Protestan Amerika sekitar tahun 1920-an M. Sebuah koalisi Protestan Evangelicals yang berusaha mempertahankan keyakinan fundamental Kristen dari pengaruh liberalisme atau modernisme budaya Amerika (Rajashekar, 1989: 67-72). Istilah ini menjadi popular dengan adanya publikasi sejumlah pamflet yang diberinama ―The Fundamentals.‖ Salah satu dari pamflet tersebut menekankan pandangan Bible sebagai kalam sempurna, infallible (Goddard, 1995: 154).
3
kekhasan dan kontekstualisasi baru dalam menggunakan sebuah istilah termasuk fundamentalisme Islam menjadi sangat penting. Oleh karena itu, terlepas dari kontroversi yang ada, penulis cenderung sependapat dengan Azyumardi Azra (1996: 109), Youssef M. Choueiri (1997), dan Henry Munson (1989) utamanya, bahwa istilah yang sangat berguna untuk menjelaskan fenomena modern kebangkitan Islam adalah ‖fundamentalisme Islam‖ atau dalam bahasa Arabnya disebut al-ushūliyyah al-Islāmiyyah, dengan mencoba memberikan penekanan pada kekhasan dan kontekstualisasi baru seperti disebutkan di atas. Istilah al-ushūl (prinsip-prinsip) sebetulnya merupakan indiginous Arabic designation, kosa-kata Arab asli yang secara orisinal digunakan pada Abad VIII M untuk merujuk pada dua disiplin utama kesarjanaan Muslim, yaitu legalist atau ushūl al-fiqh dan dialectician atau ushūl al-dīn (Choueiri, 1997: xvi). Dalam tradisi Mu‘tazilah, al-ushūl terdiri dari lima prinsip (al-ushūl al-khamsah), terdiri dari: (1) peniadaan sifat Tuhan; (2) posisi menengah bagi mereka yang berbuat dosa; (3) keadilan Tuhan; (4) janji baik dan ancaman; dan (5) memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dengan kekerasan (Nasution, 1986: 45). Sementara dalam tradisi Sunni, al-ushūl digunakan oleh Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (w. 820 M) dalam tradisi fikih sebagai sumber-sumber pokok rujukan hukum yang terdiri dari al-Qur‘an, sunnah, qiyas dan ijma‘ (Choueiri, 1997: xvii). Istilah al-ushūl telah digunakan oleh Muhammad bin Abdul al-Wahhab, sebagai tokoh revivalisme Islam (Wahabi), dalam beberapa kitab yang ditulisnya di antaranya Tsalātsah al-Ushūl (Tiga Prinsip), dan Ushūlul Īmān (Prinsip-prinsip
4
Iman). Salah satu reformis Islam, yaitu Muhammad Abduh meskipun judul kitabnya tidak menggunakan kata al-ushūl, namun kitab tersebut berbicara mengenai al-ushūl (prinsip-prinsip Islam), baik diungkapkan melalui teks-teks agama maupun dianalisis melalui lintas sejarah. Sayyid Qutb —sebagai ideolog fundamentalisme Islam—, dalam kitabnya Khashāish al-Tashawwur al-Islāmī, menjelaskan beberapa prinsip Islam (al-ushūl) yang dipandang unggul di atas segala-galanya, oleh karenanya umat Islam tidak perlu menerima ideologiideologi baru yang datang dari Barat (Choueiri, 1997: xix). Mencermati pemaparan di atas, maka istilah al-ushūl sebagai istilah autentik Islam sebagai dasar penggunaan term fundamentalisme Islam (alushūliyyah al-Islāmiyyah) , memiliki argumentasi yang sangat kuat karena sangat erat dengan tradisi kesarjanaan Islam
itu sendiri. Dalam penggunaan
kontemporernya, term ushūliyyah (fundamentalisme) menjadi sangat populer digunakan oleh para penulis Arab pada awal tahun 1980-an dan sekaligus menjadi kosa kata Arab untuk menyebut gerakan kebangkitan Islam itu sendiri juga sebagai sebuah disiplin kajian terhadapnya (Esposito, 1995: 33). Alasan lain penggunaan istilah fundamentalisme didasarkan pada tiga argumen berikut. Pertama, penulis secara pribadi berupaya menghindari penggunaan kosa kata yang mengasosiasikan atau mengindikasikan Islam sebagai sebuah ideologi. Kedua, penulis sependapat dengan Henry Munson (1989) bahwa istilah-istilah lain seperti ―Islamis‖ atau ―Islamisme‖ merupakan neologisme yang janggal, clumsy neologism. Imbuhan ―isme‖ disandingkan dengan Islam yang mengindikasikan bahwa Islam merupakan sebuah ―ideologi‖ adalah kurang tepat.
5
Terakhir, istilah-istilah lain seperti ―Islam militan,‖ atau ―Islam radikal‖ tidak mampu menjelaskan fundamentalisme moderat yang menghindari kekerasan. Istilah ―Islam politik‖ pun tidak dapat merangkum kelompok fundamentalis yang tidak berorientasi politis (seperti mendirikan negara Islam), alih-alih lebih memilih untuk menjaga relasi antara negara dengan masyarakat. Orientasi keagamaan seperti ini direpresentasikan oleh kelompok Salafiyah di Saudi Arabia.2 Istilah fundamentalisme itu sendiri dapat digunakan dalam comparative studies, baik sebagai konsep maupun sebagai kategori komparatif baik dalam satu tradisi agama maupun lintas agama. Penekanannya bersandar pada kegunaannya dalam mengidentifikasi ‟familiy resemblances‟ dan menggambarkan oposisi semua gerakan fundamentalisme terhadap ideologi-ideologi sekular (Zeidan, 2003: 50). Dengan demikian, yang menjadi urgen sesungguhnya lebih kepada bagaimana istilah fundamentalisme itu digunakan (Shepard, 1987: 307). Uraian di atas cukup mempertegas fleksibilitas kegunaan istilah fundamentalisme (ushūliyyah) untuk menunjuk setiap gerakan kebangkitan dalam tradisi agama apapun yang menjadikan doktrin-doktrin agama sebagai basis ideologi. Istilah fundamentalisme penulis gunakan sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan merupakan kategori mutlak. Selanjutnya, Munson (1989: 4) merumuskan pengikut fundamentalisme (ushūliyyūn) sebagai, “anyone who insists that all aspects of life, including the
2
Hal ini perlu penulis tegaskan karena tidak semua kelompok Salafiyah apatis terhadap urusan politik, terbukti di Mesir, pasca the Arab Spring kelompok Salafiyah terjun dan melibatkan diri mereka dalam kehidupan politik dan berhasil mendirikan sebuah partai, yaitu Hizbun-Nūr (Partai Cahaya).
6
social and the political should conform to a set of sacred scriptures believed to be inerrant and immutable…” Definisi ini menegaskan keyakinan bahwa semua aspek kehidupan termasuk urusan politik, mutlak harus sesuai dengan kitab suci yang diyakini tidak lekang oleh zaman. Padahal menurut penulis, dalam diskursus pemikiran Islam —dari klasik sampai kontemporer— perdebatan mengenai peranan Islam dalam ranah politik, khususnya sistem pemerintahan Islam merupakan isu yang debatable, dan selalu menghasilkan tafsir beragam. Hal ini salah satunya disebabkan al-Qur‘an sendiri tidak menyebutkan secara jelas dan tegas jenis pemerintahan tertentu yang harus diikuti oleh umat Islam. Urusan politik menjadi domain umat Islam itu sendiri. Definisi di atas pun mengandung dua karakteristik fundamentalisme Islam; yang pertama disebut radikal dan yang terakhir disebut reformis. Radikal di sini dimaksudkan sebagai sebuah upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang ada dan menginisiasikan perubahan mendasar dalam ranah politik, sosial, dan ekonomi (Munson, 1989: 5), seperti yang pernah terjadi pada masa revolusi Islam Iran 1979 M dan dalam level tertentu mengambil jalur kekerasan seperti pembunuhan pemimpin negara yang dianggap tidak Islami lagi seperti yang dialami oleh Anwar Sadat. Sedangkan yang disebut dengan reformis adalah kecenderungan untuk memperjuangkan reformisme dan penegakan syari‟ah dengan menghindari aksi kekerasan, gerakan moderat Ikhwanul Muslimin di Mesir umpamanya, dapat dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis dengan karakteristiknya yang cenderung reformis.
7
Sebagai sebuah ideologi, fundamentalisme Islam seringkali ditampilkan sebagai ancaman besar bagi kepentingan-kepentingan Barat.3 Dengan demikian, dalam menghadapi fenomena fundamentalisme Islam, sebagian orientalis Barat menyarankan agar memperkokoh Islam moderat sebagai counterbalance terhadapnya (Harvey, 2005: 80).4 Akan tetapi apabila proses modernisasi Islam ini —dengan cara memperbanyak dan mendukung Islam moderat— terlalu lama atau sulit diwujudkan, maka menurut Miller (1993), dan Fukuyama (2007: 37), tidak ada jalan lain bagi pemerintah Barat dalam menghadapi fundamentalisme Islam kecuali dengan cara memeranginya. Ketakutan Barat terhadap fundamentalisme Islam tersebut di atas tampak sangat berlebih-lebihan karena sifat permusuhan dan kekerasan [terhadap Barat] sesungguhnya tidak melekat di semua faksi gerakan fundamentalisme Islam (Abed-Kotob, 1995). Gerakan ini seperti yang telah penulis jelaskan di atas dan juga ditegaskan oleh Karabell (1995: 38), merupakan kekuatan yang multifaceted dan dinamis, beragam dan tidak monolitis. Pandangan negatif dan generalisasi terhadap Islam pada umumnya dan fundamentalisme Islam secara khusus, seringkali berasal dari tradisi ―bad
3
Alasan ketakutan ini didasarkan pada beberapa fakta historis berikut. Pertama, kalangan fundamentalis telah mengancam stabilitas rezim-rezim di Timur Tengah dan Afrika Utara yang pro-Barat, seperti Mesir, Aljazair (FIS), Yordan, Turki, dan Tunisia. Kedua, kalangan fundamentalis dengan menggunakan kekerasan menentang proses perdamain yang disponsori Amerika antara otoritas Palestina dan Israel. Ketiga, aksi militer dan serangan terror yang paling sukses terhadap Israel dan Amerika rata-rata dijalankan oleh kelompok-kelompok fundamentalis seperti Hizbullah dan Amal Islam di Libanon, HAMAS dan Jihad Islam di Palestina. Keempat, ada koordinasi terpusat di antara kalangan fundamentalis yang menargetkan kepentingan-kepentingan Amerika (Kazemzadeh. 1988: 52-59). Peristiwa 11 September sebagai peristiwa yang masih hangat semakin mengokohkan pandangan negatif Barat terhadap fundamentalisme Islam (Snyder, 2003: 325-349).
8
orientalist‖ yang cenderung menyalahkan teks dan mengabaikan realitas, menekankan aspek-aspek statis dan menolak perubahan dinamis yang terjadi dalam masyarakat Islam (Ayubi, 1980). Studi demikian dapat diklasifikasikan oleh Ibrahim (1982: 423) sebagai ―academic over-reaction” atau ―intellectual backlash,” sebuah tradisi kesarjanaan yang selalu mencurigai the return of Islam, kebangkitan era kejayaan Islam. Untuk konteks sekarang, sarjana Barat seperti Samuel Huntington (1993) dapat penulis kategorikan ke dalam tradisi ―bad orientalist.‖ Dia secara terangterangan memandang Islam sebagai ancaman mutlak bagi Barat. Teori the clash of civilization-nya mengasumsikan bahwa puritanisme merupakan ekspresi otentik nilai-nilai Islam, Islam has bloody borders, demikian menurutnya. Tentu saja pandangan bahwa Islam identik dengan kekerasan tidaklah tepat dan terlalu gegabah. Sarjana Barat sendiri pun semisal Emmerson (2010: 19) menolak gagasan dangkal tersebut. Oleh karena itu, pendekatan model ―bad orientalist‖ seperti disarankan oleh Abu el-Fadl (2001: 29) harus sudah mulai dihindari dan ditinggalkan. Salah satu alasan mengapa intelektual Barat seringkali salah dalam memahami Islam secara umum dan fenomena fundamentalisme pada khususnya seperti dikemukakan oleh Leonard Binder (1988: 9) karena ―…Western intellectuals read very little of what Muslim intellectuals write…” Kelemahan ini disadari oleh Feener (2007: 275) yang kemudian menyarankan agar kajian tentang Islam secara umum dan fundamentalisme pada khususnya, “…[fundamentalism]
4
Barangkali hal ini menjadi argumen kuat bagi sebagian orang yang menuduh kelompok-
9
is something that must be more widely recognized and understood in any future analysis of modern Muslim intellectualism.” Kontekstualisasi historis mengenai fundamentalisme Islam melalui kajian pemikiran intelektual Muslim menjadi informasi yang sangat berguna bagi Barat mengingat minimnya informasi dan betapa kompleksnya permasalahan tersebut (Lumbard, 2009: 40). Singkatnya, sudah saatnya mengkaji pemikiran intelektual Muslim terkait persoalan sosial, politik, dan keagamaan agar menghasilkan satu perspektif baru tentang Islam secara umum, dan fundamentalisme pada khususnya. Menanggapi hal tersebut penulis tertarik untuk mengkaji fundamentalisme Islam dari sudut pandang intelektual Muslim. Penulis mengkaji dan menganalisis studi yang dilakukan oleh intelektual Arab-Muslim dengan cara mengkritisi dan mengapresiasi bagaimana seorang intelektual Muslim dihadapkan pada isu fundamentalisme agama. Bagaimana pendekatan yang digunakan dan apa solusi yang diberikan menjadi hal yang sangat penting diketahui untuk menandingi wacana kajian Barat tentang Islam dan fundamentalisme Islam selama ini yang terlalu didominasi oleh perspektif Islamic studies ala Amerika-Eropa. Hal demikiran dikemukakan Zuly Qodir (2010: 34-35), bahwa menampilkan kajian Islam sebagai sebuah subjek sudah sangat mendesak dan sangat diperlukan agar ditemukan solusi yang tepat. Intinya, meneliti mengenai pemikiran seorang intelektual menurut Zuly Qadir (2010) harus sampai pada kesimpulan bahwa apa yang mereka tulis dan mereka kaji tidak kalah hebatnya dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
kelompok Islam modern-liberal sebagai agen Barat karena proyek-proyek mereka seringkali
10
oleh sarjana Barat, bahkan bisa lebih cerdas karena yang dibicarakan bukan hanya sekedar analisis kritis tetapi juga solusi. Hal demikian menjadi sangat logis karena sarjana Barat tidak mungkin berbicara solusi bagi problematika umat Islam dan kita tentunya tidak pantas mengharapkan solusi itu datang dari mereka (Abdullah, 2008: vi). Barat telah menempatkan diri mereka dalam posisi sebagai out sider, menjadikan diri mereka secara otomatis berada di luar tradisi Islam dan bertindak sebagai peneliti saja. Studi mengenai pemikiran dan peranan intelektual di dunia Islam dan Timur Tengah itu sendiri seperti dikemukakan Singer dan Gershoni (2008: 383) bahwa kajian tentang hal tersebut masih kurang diminati, bahkan sejak tahun 1970-an semakin terpinggirkan. Menurut pengamatan Ibrahim M Abu-Rabi‘ ―…the field of contemporary Arab [Muslim] thought is still virgin” (2004: 7), masih sangat minim buku-buku mengenai pemikiran intelektual Muslim. Di Indonesia pun, kajian terhadap dinamika sosial intelektual Muslim merupakan kajian yang masih ditelantarkan (Rumadi, 2008: 7). Salah satu alasan minimnya studi mengenai intelektual di negara-negara berkembang seperti Timur Tengah dan Indonesia khususnya, karena ―the importance of the intellectual in society and in the processes of modernization is generally marginal” (Hatina, 2007: 8). Peranan intelektual dalam ranah sosial politik yang masih dilirik sebelah mata dan bahkan disepelekan, menjadikan kajian terhadapnya minim dilakukan. Pendapat-pendapat di atas paling tidak menjadi alasan kuat bagi penulis akan urgensi kajian mengenai pemikiran
didukung dan didanai oleh Barat.
11
intelektual Muslim sebagai sebuah upaya untuk menjawab satu demi satu persoalan yang sedang mendera umat Islam, yaitu satu sikap keagamaan yang cenderung menampilkan sifat eksklusifisme dan pada level tertentu ekstrimisme di dalam beragama. Kemudian, intelektual Muslim yang penulis kaji pemikirannya secara kritis adalah Hasan Hanafi, seorang filsuf terkenal asal Mesir dan professor di Universitas Kairo. Ia merupakan intelektual Muslim berkaliber internasional yang masih hidup dan sangat peduli dengan isu-isu sosial keagamaan. Hasan Hanafi sangat tidak asing bagi kalangan akademisi Indonesia khususnya mereka yang mencermati perkembangan studi Islam kontemporer. Buku Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi‟s Thought: A Critical Reading yang kemudian diterjemahkan kedalam edisi bahasa Indonesia oleh penerbit LKiS dengan judul Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme berperan kuat dalam memperkenalkan dan mempopulerkan gagasan Hanafi di Indonesia. Edisi terjemah ini diberi pengantar oleh Abdurrahman Wahid sebagai salah seorang intelektual Muslim Indonesia yang sangat mengapresiasi gagasan progressif dari Hasan Hanafi. Hanafi sendiri pernah beberapa kali berkunjung ke Indonesia.5
5
Penulis secara pribadi pernah ikut menghadiri sebuah seminar yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga sekitar tahun 2001. Seminar tersebut menghadirkan Hasan Hanafi selaku pembicara utama dengan tema ―Oksidentalisme,‖ sebuah disiplin baru dimaksudkan sebagai counter terhadap disiplin Orientalisme Barat. Sebagai mahasiswa S1 yang sedang haus-hausnya mencari ilmu, penulis sangat terkesan dengan kepiawaian Hanafi dalam berorasi dan juga pengetahuan akademik serta skill bahasa yang dimilikinya. Hanafi menguasai dengan sangat baik selain bahasa Arab tentunya, Inggris, Perancis, dan Jerman, sebuah kombinasi kemahiran bahasa yang sangat layak bagi seorang intelektual yang mengusung gagasan Oksidentalisme.
12
Sebagai seorang intelektual berkaliber internasional, Hanafi cukup concern dengan perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi di dunia Islam. Ia secara gamblang memandang dunia Islam pada umumnya baik yang berada di benua Arab dan Asia masih berada dalam kungkungan imperialisme Barat dari segala aspek kehidupannya. Dengan ilustrasi yang sedikit ―berlebihan,‖ Hanafi dalam salah satu karyanya menggambarkan kondisi dunia Islam yang sedang tercerai-berai sebagai berikut:
…[Dunia Islam] bagaikan seekor burung yang terpotong-potong kedua sayapnya. Sayap bagian Barat berada di Afrika sedangkan sayap bagian Timur berada di Asia. Sementara tubuh burung itu sendiri berada di Mesir, sebagai jantungnya bangsa Arab… (Hanafi, 1989e: 3). Terlepas dari sikap angkuhnya tersebut —dengan menyatakan Mesir sebagai jantungnya dunia Arab-Islam— Hanafi sangat layak disebut sebagai intelektual berkaliber internasional, dia tidak hanya fokus dengan dunia Arabnya saja, yaitu Mesir, belahan dunia Islam lain pun seperti Islam di Asia (Iran, Afganistan, dan Indonesia) menjadi salah satu sorotannya. Bahkan secara spesifik Hanafi pernah memetakan Islam di Indonesia ke dalam dua model, yaitu Islam kultural-nasionalis
dan
Islam
progressif-sosialis.
Kelompok
pertama
direpresentasikan oleh ormas Islam Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sedangkan kelompok terakhir direpresentasikan oleh model keislaman ala Soekarno. Meskipun Hanafi tidak mendeskripsikan secara jelas apa yang ia maksud dengan Islam porgressif-sosialis, dia memandang bahwa tafsir Islam demikian
13
yang telah menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan:
Adapun orientasi progressif-sosialis adalah mereka yang menjadikan Islam sebagai bagian dari gerakan nasional. Dengan model Islam seperti ini, Soekarno mampu membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda (Hanafi, 1989e: 78-79). Penjelasan singkat di atas paling tidak mempertegas posisi Hanafi sebagai intelektual Arab yang cukup akrab dan memiliki hubungan emosial dengan Indonesia. Sebagai pengagum berat Nasser —sezaman dengan Soekarno— Hanafi menghubung-hubungkankan perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia sejalan dengan semangat ideologi Nasserisme yang menjunjung tinggi proyeksi Islam dalam kerangka pembebasan bangsa: Islam dan perjuangan kemerdekaan nasional melawan imperialisme Barat. Hasan Hanafi atau dalam ejaan lain Hassan Hanafi yang lahir pada 1935 M, hidup dan mengalami serangkaian peristiwa sejarah yang sangat penting mulai dari periode kolonial Inggris, periode post-kolonial berupa Revolusi Mesir 1952 yang diketuai Nasser lewat Free Officers-nya, keterlibatan Hanafi dalam aktivisme Ikhwanul Muslimin pada 1952, saksi sejarah peristiwa kekalahan perang Arab melawan Israel pada 1967, dan pembunuhan presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981 oleh pengikut Islam fundamentalis, Jama‘ah al-Jihad, juga berbagai peristiwa penting lainnya yang terjadi pada era Husni Mubarak termasuk peristiwa akhir-kahir ini yang terjadi di dunia Arab yaitu the Arab Spring, menyajikan karakter khas pemikiran seorang intelektual Arab Muslim Dunia
14
Ketiga. Flores (1988: 27) menyebut Hanafi sebagai pemikir sekuler kelompok ―new partisans of the heritage,‖ mengkaji ulang tradisi Islam-Arab dan Islam itu sendiri untuk konteks kekinian. Sedangkan Komarudin Hidayat (2000: xvvii) menyebutnya sebagai intelektual berhaluan rasional-liberal yang sangat produktif menulis buku bila dibandingkan dengan intelektual Muslim modern lainnya seperti Mohammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohammad Abid al-Jabiri, dan yang lainnya. Ia juga merupakan salah satu dari intelektual Arab yang masih hidup dan mendapat ulasan khusus berupa artikel dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, diedit oleh Esposito (1995: 97-98). Penulis secara pribadi menyebut Hanafi sebagai intelektual Muslim-Arab kritis. Ada tiga alasan mendasar mengapa Hanafi dapat dikategorikan sebagai pemikir kritis. Menurut Ashcroft
dan Ahluwalia (1999: xi-xii), seorang
intelektual dapat dikatakan pemikir kritis apabila memenuhi tiga kriteria berikut. Pertama, ia tidak hanya fokus pada bidangnya sendiri tetapi juga terhadap disiplin ilmu lain dengan cara memberikan kritikan terhadap gagasan, atau teori yang tidak pernah dipertanyakan sebelumnya. Kedua, dikatakan pemikir kritis karena studi yang dilakukan menyediakan sejenis ‗tool kit‘ yang memungkinkan pembaca untuk melakukan pembacaan kritis sehingga si pembaca tersebut pun menjadi kritis. Terakhir, dikatakan kritis karena ia bergelut dengan gagasan dan pertanyaan yang dapat membalikkan pemahaman yang ada selama ini tentang dunia, teks, dan segala sesuatu yang kita pahami sebagai taken for granted. Ia
15
mampu menyuguhkan pemahaman yang lebih mendalam dengan gagasan baru terhadap sesuatu yang sudah kita ketahui. Berdasarkan kriteria tersebut, penulis melihat Hanafi sebagai intelektual Muslim yang tidak hanya memfokuskan diri pada Islamic studies saja, tetapi yang lebih penting dari itu mencarikan metode studi Islam dengan meramu dari berbagai disiplin modern Barat seperti fenomenologi dan bahkan berani menawarkan disiplin baru yang disebut Oksidentalisme sebagai counter terhadap wacana orientalisme Barat. Poin penting lain terkait dengan posisi Hanafi dalam wacana intelektual Arab, yaitu tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh intelektual Arab antara tahun 1960, 1970, dan 1980-an M sangat urgen dan tajam. Tulisan-tulisan pada era tersebut menurut Boullata (2002: 3) memiliki nada yang ―menyedihkan‖ tentang kondisi bangsa Arab serta memperlihatkan adanya keinginan besar untuk bergulat dengan problem modernitas. Dalam periode ini pula tulisan-tulisan Hanafi banyak dilahirkan, termasuk karya-karya yang terkait dengan tema fundamentalisme Islam. Pemikiran Hanafi di dunia Islam sendiri berdasarkan pemetaan yang dibuat oleh Shimogaki (2000: 4) dapat dilihat dalam tiga aspek. Aspek pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah revolusi Islam Iran menang, ia memunculkan proyek Kiri Islam. Salah satu tugasnya adalah untuk mencapai revolusi Tauhid. Dalam hal ini Hanafi dapat disejajarkan sebagai pemikir revolusioner seperti Ali Syariati, seorang pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran. Kedua, ia seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini Hanafi menempati posisi seperti
16
Muhammad Abduh (1849-1905 M). Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hanafi adalah seorang nasionalis sebagaimana Abduh. Menurut penulis, Hanafi lebih tepat sebagai Kiri-nya gagasan reformisme Abduh. Terakhir, Hanafi merupakan penerus dan pelengkap gerakan Afghani (1838-1896). Afghani merupakan pelopor gerakan Islam modern yang menentang imperialisme Barat dan menyatukan persatuan dunia Islam. Hanafi dalam Kiri Islam juga menyebut hal yang sama, yaitu perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam (Shimogaki, 2000: 5). Karya-karya Hasan Hanafi merupakan serangkaian pekerjaan besarnya yang disebut dengan istilah proyek at-turāts wat-tajdīd (tradisi dan pembaruan), proyek tersebut untuk merekonstruksi, menyatukan, dan menginterpretasikan seluruh ilmu peradaban Islam berdasarkan kebutuhan kekinian untuk dijadikan sebagai ideologi modern (Boullata, 2002: 62). Proyek ambisius tersebut terdiri dari tiga agenda besar, yang masing-masing memiliki agenda-agenda turunan yang bersifat elaboratif dan derivatif. Agenda besar pertama adalah ―sikap kita terhadap tradisi lama.‖ Dalam agenda ini dibahas persoalan-persoalan rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial. Untuk agenda pertama ini Hanafi telah menulis tujuh jilid buku lalu disusul agenda besar kedua, yaitu ―sikap kita terhadap tradisi Barat.‖ Dalam agenda kedua dicoba dilakukan kritisisme terhadap peradaban Barat. Dan terakhir adalah ―sikap kita terhadap realitas.‖ Dalam agenda ketiga ini Hanafi mengembangkan teori dan paradigma interpretasi. Bagi Hanafi ketiga agenda di atas sebenarnya merupakan dinamika dan produk proses dialektika antara ‗ego‘ (al-āna) dan ‗the other‘ (al-ākhar) (Hidayat, 2000: xviii;
17
Esposito, 1995: 98). Ada empat disiplin Islam yang mendapat perhatian besar Hanafi, yaitu: (1) teologi (‗ilm kalām atau ushūl ad-dīn); (2) filsafat (falsafah); (3) jurisprudensi (ushūlul-fiqh); dan (4) sufisme (tasawuf). Menurutnya, empat disiplin ilmu itu terinspirasi oleh al-Qur‘an dan sunnah yang dikajinya secara detil, dengan dua tujuan: pertama, di satu sisi untuk menempatkan asal-usulnya sebagai disiplin yang terkait dengan wahyu Tuhan, dan dengan kondisi-kondisi spesifik masanya di sisi yang lain; kedua, merekonstruksinya dalam suatu sistem kultural yang baru dan komprehensif untuk merespon kondisi dan kebutuhan era modern (Boullata, 2002: 60). Terkait dengan pembahasan fundamentalisme Islam, penulis menempatkan topik ini ke dalam proyek yang disebut dengan ―respon terhadap realitas kekinian,‖ tertuang dalam bentuk buku dengan judul ―ad-Dīn wats-Tsaurah fī Mishra: 1952-1981(Agama dan Revolusi di Mesir: 1952-1981),‖ terdiri dari 8 jilid terbit pada tahun 1989 M. Pembahasan secara khusus mengenai fundamentalisme Islam tertuang dalam jilid ke-5 dan ke-6. Berbeda dari pendekatan orientalis yang cenderung lebih bersifat analitis namun tidak solutif, maka Hanafi sebagai orang yang pernah terlibat aktif dalam gerakan fundamentalisme Islam tampil dengan beberapa solusi yang ditawarkan. Sebagai ilustrasi awal, Hanafi umpamanya mengusulkan tiga hal penting dalam menganalisis fundamentalisme Islam: 1) kajian tentang fundamentalisme harus dari perspektif insider, 2) harus ada kehendak untuk melakukan rekonstruksi terhadapnya dan menjadikan gerakan tersebut dapat sepadan dengan gerakan
18
Islam modern lainnya, dan 3) harus ada kemauan untuk membangun kembali élan vital fundamentalisme Islam sebagai manifestasi dari gerakan reformisme Islam (Hanafi, 1987: 10). Tiga cara pandang di atas yang ditawarkan Hanafi bagi penulis sangat menarik untuk diesplorasi lebih jauh. Persepsi tentang fundamentalisme Islam selama ini dipandang sebagai gerakan anti-modern, namun Hanafi justeru berusaha untuk menyepadankannya dengan gerakan Islam modern. Pernyataanpernyataan menarik ini menjadi dasar penulis untuk meneliti lebih jauh pemikiran Hanafi sebagai tandingan terhadap kajian Barat yang selama ini kurang memberikan kontribusi baik pada tahapan teoritis maupun dari segi metodologis yang sesuai untuk konteks dunia ketiga. Oleh karena itu, mengakaji pemikiran Hanafi sekali lagi diharapkan menjadi bagian dari kajian yang lebih genuine untuk menampilkan kajian Islam dari perspektif insider. Dalam studi yang dilakukannya, Hanafi mengkritisi dua kelompok fundamentalisme Islam terkenal di Mesir yaitu Ikhwanul Muslimin dan Jama‘ah al-Jihad. Ikhwanul Muslimin menurut sebagian besar sarjana dianggap sebagai pelopor dari gerakan fundamentalisme Islam di Timur Tengah seperti Syria, Libanon, Yordania, Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, dan juga Tunisia yang telah mempengaruhi tumbuhnya fundamentalisme Islam di negara-negara Asia seperti Malaysia dan Indonesia (Afadlal, dkk., 2005). Sedangkan Jama‘ah al-Jihad merupakan kelompok yang dianggap bertanggungjawab atas pembunuhan Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981 M. Dua gerakan ini menjadi objek utama Hanafi dalam mengkritisi fundamentalisme Islam dengan berupaya untuk menampilkan
19
sisi positif dan negatif dari gerakan tersebut. Konteks Dunia Arab Islam dan Mesir pada khususnya pasca kekalahan Perang Arab-Israel pada 1967 M dalam melihat perkembangan intelektual Muslim kontemporer dan respon mereka terhadap modernitas menjadi starting point bagi penulis. Setelah peristiwa the Arab defeat 1967 M ini, gerakan kritisisme (Arab self criticism) muncul kemuka dengan berbagai bentuk ideologi seperti liberalisme, sosialisme revolusioner dan tentunya fundamentalisme Islam yang dipandang sebagai ideologi-ideologi alternatif atas gagalnya nasionalisme Arab (Nasserisme) pasca difitisme 1967 M. Selanjutnya, peristiwa the Arab Spring yang sedang terjadi sekarang ini (akhir tahun 2010-sekarang) menampilkan satu fakta aktual bahwa pertarungan ideologis itu memang ada dan semakin meruncing. Ideologi fundamentalisme Islam yang direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin Mesir bahkan berhasil menjadi pemegang kekuasaan setelah sekian lama menantikannya sejak didirikan oleh Hasan al-Banna pada 1928 M.
20
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, menarik untuk dicermati bahwa fenomena fundamentalisme Islam merupakan fenomena yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan kajian dengan perspektif-konstruktif dalam melihat permasalahan tersebut. Barangkali, mengkaji pemikiran intelektual Muslim, yaitu intelektual yang memiliki latar belakang dan budaya Islam, dan secara sadar merumuskan pemikirannya dalam kerangka konseptual Islam untuk melihat fenomena fundamentalisme Islam merupakan pilihan tepat. Selanjutnya, beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini terkait dengan perkembangan intelektual Arab dan pemikiran Hanafi mengenai fundamentalisme Islam adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kecenderungan pemikiran intelektual Arab-Muslim Era Modern dan pasca kekalahan perang Arab-Israel tahun 1967 M (difitisme)? 2. Bagaimanakah latar belakang terbentuknya intelektualitas Hasan Hanafi? 3. Mengapa Hasan Hanafi mengkritik fundamentalisme Islam? Pada level apa saja kritik tersebut ditujukan? 4. Apa teori dan metode yang digunakan serta bagaimana kontribusi teoretis dan metodologis yang ditawarkan Hasan Hanafi sebagai intelektual ArabMuslim kontemporer atas problem fundamentalisme Islam?
21
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Merujuk kepada latar belakang masalah yang diuraikan di muka, ada tiga tujuan pokok yang hendak dicapai, yakni: Pertama, untuk mengetahui dan memetakan perkembangan intelektual Arab-Muslim kontemporer pasca the Arab defeat 1967 dalam hal gagasan yang mereka usung sebagai solusi terhadap keterpurukan yang sedang dihadapi. Kedua, untuk mengetahui pemikiran Hanafi sebagai intelektual Muslim Arab kontemporer tentang fundamentalisme Islam dengan segala latar belakang maupun kekurangan dan kelebihannya: baik pada level teoritis maupun metodologis. Ketiga, penelitian ini dimaksudkan sebagai theory-testing research, menguji teori Hanafi tentang fundamentalisme Islam agar kemungkinankemungkinan untuk melakukan pengembangan (improvement) terhadap teori dan metode kajian tentang fundamentalisme Islam dapat terus dilakukan. Adapun manfaat penelitian ini, di samping untuk menambah khazanah pemikiran sosial, budaya, politik, dan keagamaan, juga dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi terhadap pemikiran intelektual Muslim dan diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penelitian mendatang tentang fundamentalisme Islam dari perspektif intelektual Muslim.
1.4 Tinjauan Pustaka
22
Peninjauan pustaka penulis bagi menjadi dua bagian utama; bagian pertama menguraikan kajian terdahulu tentang fundamentalisme Islam yang difokuskan pada paradigma yang digunakan oleh para peneliti dalam melihat fenomena tersebut. Langkah demikian dimaksudkan: 1) untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari masing-masing paradigma dalam menganalisis fenomena tersebut, 2) untuk mengetahui kelemahan masing-masing paradigma, dan 3) untuk menentukan posisi penelitian ini: apakah penulis cenderung melanjutkan sebuah paradigma tertentu atau menawarkan paradigma baru dalam melihat persoalan fundamentalisme Islam. Bagian terakhir merupakan uraian mengenai kajian terdahulu atas karya dan pemikiran Hasan Hanafi.
1.4.1 Fundamentalisme Islam Menurut Masoud Kazemzadeh (1998: 52-59) dalam ―Teaching the Politics of Islamic Fundamentalism,‖ terdapat tiga paradigma utama kajian atas fundamentalisme Islam, yaitu paradigma Islamic Exceptionalism6, Comparative 6
Paradigma Islamic Exceptionalism dibagi lagi menjadi tiga sub-kelompok: cultural relativist atau accommodationist, neo-Cold warriors, dan Islamic fundamentalist. John Esposito merupakan representasi yang paling tepat dari kelompok cultural relativist atau yang disebut oleh Abed-Kotob (1995) sebagai kelompok accommodationist. Anggota sub-kelompok ini menghindari penggunaan istilah ―fundamentalisme.‖ Alasannya, gerakan ini merupakan fenomena siklis yang telah terjadi di sepanjang sejarah Islam (Esposito, 1991). Anggota sub-kelompok ini cenderung melihat Islam dan gerakan-gerakan islamis dengan pandangan yang sangat positif. Selanjutnya, sub-kelompok kedua dari paradigma pertama cenderung memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap gerakan-gerakan Islam. Sadowski (1993) dan Burke (1988: 18) menyebut kumpulan sarjana ini sebagai ―Orientalist,‖ sedangkan Abed-Kotob (1995) menyebut mereka sebagai penganut aliran Confrontationist. Sementara istilah yang cukup netral secara kultural menurut Kazemzadeh adalah neo-Cold Warriors. Mereka berpandangan, bahwa akar-akar kediktatoran bersumber dari ajaran Islam dan fundamentalisme Islam merupakan bentuk politik dari keyakinan Islam yang lebih tegas (Kazemzadeh, 1998). Tokoh-tokoh utama sub-kelompok ini adalah Daniel Pipes, Peter Rodman (anggota Dewan Keamanan Nasional masa pemerintahan Reagan), dan pada tahapan yang lebih bawah, Bernard Lewis, sesepuh kajian Timur Tengah di Princeton University (Karabell, 1995: 38). Seperti telah disebutkan di muka, terbaginya paradigma pertama ke dalam sub-sub kelompok disebabkan oleh perbedaan pandangan politik yang tajam. Daniel Pipes, seorang tokoh terkemuka Neo-Cold Warriors, memandang penganut cultural relativist sebagai naïf dan tidak
23
Fundamentalism dan Class Analysis. Sarjana penganut paradigma pertama berpendapat bahwa teori-teori sosial ala Barat tidak dapat diterapkan untuk mengkaji fundamentalisme Islam karena fenomena ini khas dimiliki dunia Islam. Paradigma kedua adalah Comparative Fundamentalism. Sarjana yang menganut paradigma kedua ini berpandangan bahwa fundamentalisme Islam merupakan salah satu bagian dari fenomena besar lainnya. Mereka memandang berbagai gerakan kanan keagamaan sebagai ancaman bagi demokrasi, kebebasan sipil, hak-hak perempuan, kehidupan sekuler, dan kemajuan ilmiah. Karya besar dari paradigma kedua ini adalah Fundamentalism Project yang dipelopori oleh Martin E. Marty, et. al. Kontribusi utama Fundamentalism Project meliputi: (1) menyediakan
intra-paradigmatik
tentang
terminologi
dan
definisi
fundamentalisme, (2) mengadopsi dengan sangat teliti metodologi komparatif, dan (3) menyajikan generalisasi yang barangkali dapat disangkal oleh penelitian selanjutnya. Paradigma ketiga adalah Class Analysis. Penganut paradigma ini menggunakan konsep-konsep ilmiah sosial dalam menganalisis fundamentalisme Islam. Mereka jarang sekali membandingkan gerakan fundamentalisme Islam dengan
gerakan-gerakan
keagamaan
lain.
Mereka
mempertimbangkan
menyadari akan bahaya fudamentalisme Islam. Menurut Pipes, komunis dan fundamentalis tak terkecuali merupakan musuh bagi Barat, fundamentalisme Islam harus dipecahkan dan dikuasai (Kazemzadeh, 1995: 195). Bagi Pipes (1995: 194), tantangan fundamentalis lebih berbahaya dibandingkan dengan komunis. ―Yang terkahir hanya tidak setuju dengan politik Barat, bukan dengan keseluruhan cara pandangan dunia kita.‖ Sementara menurut kalangan cultural relativist, penganut neo-Cold warriors dianggap terlalu melebih-lebihkan acaman fudanemtalisme Islam dan meremehkan kelompok-kelompok lain yang terdapat dalam gerakan fundamentalisme (tokoh penganut aliran ini menurut Kazemzadeh yaitu John L. Esposito, Roy Mottahedeh, dan Gary Sick). Terakhir, sub-kelompok ketiga dari paradigma pertama disusun oleh kalangan fundamentalis itu sendiri. Terdiri dari para ideolog yang mencoba merumuskan prinsip-prinsip sosio-ekonomi politik sesuai dengan ajaran Islam.
24
fundamentalisme Islam sebanding dengan gerakan-gerakan populis dan fasis seperti halnya Nazi. Para sarjana ini memandang fundamentalisme Islam sebagai gerakan politik di antara kelas-kelas sosial tertentu untuk menggapai kekuasan politik demi kepentingan kelas-kelas tertentu pula (Kazemzadeh, 1998: 55). Sementara paradigma lain yang tidak dapat dikategorikan oleh Kazemzadeh disebutnya
sebagai
hybrid
studies,
yaitu
sebuah
pendekatan
yang
mengkombinasikan berbagai aspek dari tiga paradigma utama tersebut. Ia sebut umpamanya Dekmejian (1995) dan Halliday (1995) sebagai penganut aliran ini. Dari uraian ketiga paradigma di atas, Kazemzadeh tidak menyebutkan kelemahan masing-masing paradigma. Uraian di atas merupakan pemetaan awal yang diakuinya masih kurang mendalam dan diperlukan peneliti-peneliti lain yang dapat membuat pemetaan paradigmatik tentang fundamentalisme Islam secara lebih detail lagi. Oleh karena itu, penulis akan melakukan eksplorasi lebih jauh tentang beberapa studi yang telah dilakukan terkait tema fundamentalisme Islam dengan memfokuskan pada paradigma yang digunakan dalam melihat persoalan tersebut. Terdapat dua karya penting yang mengikuti paradigma kedua: pertama, buku yang ditulis oleh Bruce B Lawrence (1989), dengan judul The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age:Defenders of God. Studi komparatif yang dilakukan Lawrence dimaksudkan untuk memunculkan what is common, and also what is unique, in each fundamentalist cadre. Poin penting menurutnya bahwa fundamentalisme merupakan ideologi agama dalam artian
25
mereka adalah “…motivated individuals, drawn together into ideologically structured groups, for the purpose of promoting a vision of divine restoration…” (Lawrence, 1989: 1-6). Ia menganjurkan agar kajian terhadapnya harus difokuskan pada: 1) penekanan resiprokal antara kitab suci dengan ritual, 2) tradisi yang mereka klaim sebagai sumber dari otoritas skriptual, 3) kepemimpinan kharismatis, dan 4) koalisi ideologi yang mengikat beragam kelompok (Lawrence, 1989: 15). Karya kedua ditulis oleh Bassam Tibi, anggota Fundamentalism Project antara tahun 1989-1992 M. Bukunya dengan judul The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, mencoba menjelaskan dua poin utama. Pertama, fundamentalisme agama —sebagai sebuah fenomena politik tidak terbatas pada dunia Islam— melainkan sebuah politisasi agama agresif yang dijalankan untuk mengejar tujuan-tujuan non-religius. Kedua, fundamentalisme Islam atau yang lainnya, hanyalah bentuk superficial dari terrorisme dan ekstremisme (Tibi, 2002: xxv). Tibi membangun argumentasi bahwa ―…Islamic fundamentalism is not simply an intra-Islamic affair, but rather one of the pillars of an emerging new world disorder…‖ (Tibi, 2002: 2). Ketika berhadapan dengan fundamentalisme dalam agama lain seperti Hindu, ia menganggap fundamentalisme tersebut sebagai teriotorial, Tibi menekankan bahwa fundamentalisme Islam lebih absolut dan lebih universalis; “a vision of a worldwide order based on Islam. It is for this reason — and not because of an “enmity of Islam”— that the debate on fundamentalism and world politics must be centered around Islam and the West” (Tibi, 2002: 5).
26
Dalam hal ini, Tibi nampak sekali mendukung teori Clash of Civilizationnya Huntington. Lagi-lagi, sebagai sarjana penganut studi komparatif, ia memandang Islam fundamentalis sebagai ancaman nyata bagi modernitas. Sebagai solusinya, ia menawarkan demokrasi dan negara sekuler ala Barat sebagai solusi nyata atas problem fundamentalisme Islam. Berbeda dari Kazemzadeh yang cenderung ―positivistik‖ dalam membuat klasifikasi paradigma kajian fundamentalisme Islam, Moaddel (2002: 359-386) dalam ―The Study of Islamic Culture and Politics: an Overview and Assessment” memberikan pemetaan paradigma yang lebih ―operasional‖ secara metodologis. Menurutnya, ada tiga pandangan utama studi tentang fundamentalisme Islam. Pertama, studi yang menekankan pada faktor-faktor seperti krisis ekonomi, meluasnya ketidaksetaraan sosial, dan otoritarianisme. Teori pertama ini disebut dengan crisis theories. Kedua, studi yang memberikan catatan lebih pada bangkitnya cultural duality atau dua sistem otoritas di negara-negara Islam yang saling bertentangan. Studi ini disebut dengan cultural duality theories. Kalau studi pertama menganggap fundamentalisme Islam sebagai gerakan sosial (social movements) di negara-negara Islam, kelompok kedua memberikan perhatian serius pada perkembangan sejarah gerakan oposisi Islam dan menekankan pada religious dimension-nya. Ketiga, kumpulan studi yang terdiri dari mereka yang memfokuskan studinya pada budaya/ideologi negara dan konsekuensi keagamaan. Kelompok ketiga ini dikategorikan sebagai state culture theories (Moaddel, 2002: 371).
27
Bagi Moaddel, crisis theories memiliki kelemahan mendasar. Pertama, tidak semua kebangkitan gerakan fundamentalisme Islam disebabkan oleh krisis ekonomi. Kedua, studi model ini tidak menjelaskan bagaimana ideologi fundamentalisme
Islam
dihasilkan.
Studi
ini
menggambarkan
pengikut
fundamentalisme Islam sebagai reaksi orang miskin terhadap proses modernisasi (Moaddel, 2002: 372). Termasuk dalam kategori ini, Moaddel menganggap Dekmejian (1995) sebagai penganut crisis theories bukan penganut hybrid studies seperti yang dikategorikan oleh Kazemzadeh di atas. Sementara cultural duality theories yang menekankan kajian pada konflik antara kelompok agama dengan penguasa yang disebabkan oleh tersisihnya kelompok agama dalam kancah sosioekonomi politik, dimana oposisi ini sering kali digambarkan sebagai revolutionary traditionalism, mempunyai kelemahan utama yaitu gagal mengkaji peranan kelas menengah terdidik dan intelektual modern dalam gerakan kebangkitan Islam (Moaddel, 2002: 373). Model terakhir studi tentang fundamentalisme Islam dan sekaligus dianut oleh Moaddel adalah state culture theories: sebuah pendekatan yang hampir serupa dengan cultural duality theories, dengan perbedaan prinsipnya pada pandangan bahwa dualitas antara negara dan agama bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan diproduksi sebagai wacana oposisional Islam terhadap ideologi negara dan kebijakan kultural. Asumsi dasar dari pendekatan state culture theories ini adalah bahwa kebangkitan atau reaksi dan tingkat militansi sebuah gerakan fundamentalisme Islam sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh negara/penguasa. Semakin sekular ideologi negara, maka semakin
28
radikal pula respon dari kelompok fundamentalisme Islam. Hal ini dapat dilihat pada kasus fundamentalisme Islam di Mesir, dan akan sangat berbeda dengan konteks gerakan Islam di Yordania (Moaddel, 2002: 374). Penelitian terdahulu berikutnya seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu Dekmejian (1985: xi-249) merupakan penganut crisis theories. Asumsi dasarnya tentang fundamentalisme Islam dalam bukunya yang berjudul Islam in revolution: fundamentalism in the Arab world, adalah bahwa gerakan tersebut merupakan produk dari berbagai krisis yang dihadapi dunia Islam. Fundamentalisme Islam dianggap sebagai fenomena siklus yang terjadi sebagai respon terhadap krisis sosial yang akut (Dekmejian, 1985: 6). Ia sangat yakin sekali bahwa pendekatan Barat-Marxis atas wacana fundamentalisme Islam dari perspektif sosio-ekonomi akan menyediakan jawaban-jawaban yang tepat. Menurutnya, dimensi krisis spiritual dan otoritas moral merupakan hal yang sangat penting untuk dilihat (Dekmejian, 1985: 178). Buku tersebut dengan sangat baik menggambarkan jatuh-bangunnya gerakan fundamentalisme dalam sejarah panjang Islam yang disejajarkan dengan krisis sosial yang mengiringinya. Buku ini pula telah memberikan pemetaan yang baik tentang kelompok-kelompok fundamentalisme Islam, dilengkapi dengan uraian masing-masing ideologi dalam bentuk tabel. Kelebihan metode demikian sangat membantu sebagai summary, tetapi kelemahannya terkesan kurang komprehensif. Terakhir, crisis theories dapat dilihat dalam karya Olivier Roy (1996), The Failure of Political Islam, yang menyimpulkan bahwa Islamisme sebagai gerakan
29
sosial dan revolusioner gagal menjadi ideologi alternatif modernitas Barat utamanya pada tahun 1980an dan telah bertransformasi menjadi neofundamentalisme dengan bentuknya yang lebih bersifat individual dan kurang berpolitik. Paradigma lain yang dapat penulis temukan dari para peneliti sebelumnya adalah Social Movement Theory. Asef Bayat (2005: 891-908) dalam ―Islamism and Social Movement Theory” menggunakan teori social movement sebagai pisau analisis ketika membandingkan gerakan Islamisme di Mesir dan Iran dengan memberikan perhatian lebih pada kasus gerakan Islamisme di Mesir. Beberapa hal yang ia temukan terkait dengan gerakan tersebut adalah: pertama, gerakan Islamisme/fundamentalisme adalah sebuah gerakan yang sangat dinamis. Kedua, berbeda dari konteks Iran yang karena lemahnya aksi islamisasi, maka lahirlah revolusi Islam Iran 1979 M yang dipimpin oleh para pemuka agama dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Islamisasi justru baru terjadi setelah revolusi dan ini dilakukan oleh pemerintahan Islam itu sendiri, top down. Sedangkan gerakan Islmisme yang sangat kuat di Mesir menghasilkan bentuk ‗reformist-nya‘ dan mencegah terjadinya revolusi Islam model Iran. Sebagai sebuah social movement, Islamisme di Mesir telah berhasil menyediakan social safety net dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan komunitas bermoral yang menjadikan pengikutnya merasa aman dan terbebas dari rasa ‗penjajahan kultural‘ (cultural invasion). Studi fundamentalisme Islam dengan paradigma social movement dilakukan pula oleh Salwa Ismail (2001: 34-39) dalam ―The Paradox of Islamist
30
Politics” dengan memfokuskan pada aspek moralitas. Ia menyebut gerakan tersebut sebagai small entrepreneurs of morality— individu atau kelompok kecil yang berusaha menanamkan kembali norma-norma moral dalam domain publik. Dari komunitas inilah kemudian lahir tuntutan segala sesuatu harus Islami. Aktivisme
semacam
ini
memungkinkan
kalangan
Islamis
untuk
mengkonsolidasikan kekuatan dan menjadi oposisi bagi penguasa (Ismail, 2001: 36). Gerakan Islamis mampu bergerak secara dinamis memanfaatkan ranah-ranah yang tak tersentuh oleh pemerintah. Islamisme sebagai sebuah proses —dan bukan sekedar proyek— tetap menjadi kekuatan dinamis (Ismail, 2001: 39). Ziad
Munson
(2001:
487-510)
pun
dalam
tulisannya
―Islamic
Mobilization,” menggunakan paradigma social movement untuk mengkaji gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dengan memfokuskan pada pertanyaan bagaimana gerakan IM mampu menarik anggota baru dan dukungan publik yang begitu massive antara tahun 1932-1954 M, sebagai periode mobilisasi yang menurutnya sangat luar biasa (Munson, 2001: 487). Analisis ini berpusat pada dua argumen penting secara teoritis. Argumen pertama terfokus pada interaksi antara komponen ideasional IM di satu sisi, dan aktivitas organisasional kelompok di sisi lain. Studi ini mengusulkan bahwa pemahaman tentang peranan ide-ide dalam social movement harus dipertajam dengan mempertimbangkan pandangan bahwa mobilisasi sangat tergantung pada interaksi antara ide, organisasi, dan lingkungan—tidak sesederhana pada satu dimensi saja. Kedua, kasus IM juga mengusulkan argumen bahwa hubungan antara mobilisasi dan represi harus
31
dikembangkan fokusnya pada proses-proses yang memungkinkannya mampu bertahan dari segala upaya represif penguasa. Dari studi yang dilakukan Munson dapat disimpulkan bahwa mobilisasi IM dapat berhasil karena: (1) struktur internalnya diadaptasikan secara spesifik untuk menghindari upaya-upaya represif dari penguasa dan menjadikannya lebih mudah secara praktis dan ideologis bagi masyarkat yang mau bergabung; (2) aktivitasnya dijalin dengan keyakinan yang diperkokoh dan dibuat lebih tahan terhadap tindakan represif penguasa dan lebih menarik bagi pendukung potensial; dan (3) struktur pesan kelompok yang berakar dari gagasan dan simbol Islam yang kaya, diikatkan pada kehidupan sehari-hari orang Mesir sehingga sangat mudah untuk diterima. Sheri Berman (2003: 257-272) dalam ―Islamism, Revolution, and Civil Society,” menggunakan social movement theory" untuk mengungkap keberhasilan gerakan Islamisme di Mesir. Menurutnya, keberhasilan tersebut karena mereka mampu menjadi agen penting pelayanan publik. Pelayanan tersebut dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan bimbingan kerja. Pelayanan yang mereka lakukan kadang lebih baik dari pelayanan pemerintah (Berman, 2003: 260). Dengan cara seperti ini, mereka dapat memberikan ruang penyebaran ideologi dan memperluas jaringan. Pesan-pesan moral
diperlihatkan secara
eksplisit;
pemisahan tempat pelayanan kesehatan bagi laki-laki dan perempuan. Contoh lain adalah pelayanan bis khusus untuk kaum perempuan, setelah bis ini menjadi ramai dan popular kemudian bis tersebut hanya dibatasi bagi perempuan yang berjilbab, bagi mereka yang tidak berjilbab disediakan secara gratis pakaian Islami (Berman,
32
2003: 261). Intinya bahwa keterlibatan mereka dalam masyarakat telah memberi keuntungan untuk membangun gerakan yang lebih powerful, fleksibel, dan responsif. Strategi civil society seperti ini pada tahapan tertentu membantu kalangan fundamentalis terhindar dari tuduhan-tuduhan pemerintah (Berman, 2003: 262). Penelitian serupa dengan pendekatan social movement theory dilakukan oleh Saad Eddin Ibrahim (1980: 423-453) dalam ―Anatomy of Egypt's militant Islamic groups: Methodological note and preliminary findings.” Beberapa hal pokok yang dibahas dalam penelitiannya adalah ideologi, struktur kelompok Islam militan, dan isu-isu strategi gerakan. Dari hasil studinya, terdapat dua perangkat utama yang akan menentukan masa depan militansi Islam di Mesir. Perangkat pertama berkaitan dengan keharusan kemampuan penguasa dalam menanggapi masalah-masalah kemerdekaan, keadilan sosial, dan visi yang kredibel bagi masa depan anak muda terdidik. Perangkat kedua berkaitan dengan model-model regional lainnya. Berbeda dari paradigma sebelumnya, Ira M Lapidus (1997: 444-460) dalam ―Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the Historical Paradigms” menggunakan perspektif historis dalam mengkaji gerakan fundamentalisme Islam. Asumsi utamanya adalah bahwa revivalisme Islam merupakan reaksi terhadap modernitas, tetapi lebih dari itu, mereka juga merupakan ekspresi modernitas. Pada saat yang sama, gerakan revivalisme Islam bukanlah fenomena baru. Sejarah masa lalu Islam berisi banyak contoh gerakan
33
revivalisme yang berkembang sebagai respon terhadap kondisi politik dan ekonomi yang sedang berubah. Bagi Lapidus, gerakan revivalisme Islam kontemporer memiliki akarakarnya pada 1920-an dan 1930-an M, dengan berdirinya Ikhwanul Muslimin di Mesir oleh Hasan al-Banna dan JI di India oleh Mawlana Abu ‗Ala Mawdudi (Lapidus, 1997: 445). Menurutnya lagi, penekanan kontemporer terhadap solidaritas, tujuan, dan simbol politik merupakan versi baru Islam dan bukan tipe khusus wacana sejarah (Lapidus, 1997: 448). Lapidus memandang gerakan revivalisme dan reformisme sebagai gerakan tajdid. Mereka merupakan reafirmasi dari apa yang disebutnya sebagai sintesis Sunni-Syari‟ah-Sufi, yaitu integrasi antara ajaran fiqih dan mistisisme yang membentuk mainstream Islam Sunni. Mengapa tajdid menjadi daya tarik bagi wacana sosial-politik? Menurutnya, ada dua alasan utama; pertama karena kesesuaian ideologi tajdid bagi terbentuknya sebuah jaringan, integrasi populasi yang beragam, dan mobilisasi politik. Kedua, dalam masyarakat yang terfragmentasi, tajdid menyediakan basis komitmen bersama, dan membantu melampaui fragmentasi sosial tersebut atas nama persatuan religius dan ideologis. Hemat penulis, penelitian Edmun Burke, III (1988: 17-35) ―Islam, Politics, and Social Movements,” dapat merangkum berbagai paradigma di atas menjadi dua kategori utama sarjana peneliti gerakan-gerakan Islam: pertama, new cultural history (atau new Orientalism), sebuah tradisi yang mengejar Islamic dimension dalam gerakan-gerakan tersebut. Pendekatan ini mengeksplorasi bagaimana dan pada tingkatan seperti apa gerakan-gerakan tertentu menggunakan
34
sumber-sumber kultural dan religius [Islam] untuk memobilisasi dan melegitimasi gerakan-gerakan politik kebangkitan Islam dan sekaligus sebagai gerakan antikolonial. Sedangkan pendekatan kedua berasal dari new social history, sebuah pendekatan yang menempatkan collective action dalam konteks sosiologi Islam. Analisisnya tidak memandang gerakan kebangkitan Islam sebagai sistem relasi. Pendekatan pertama berasosiasi dengan karya sejarawan dan sosiolog Jerman, Marx Weber. Dalil utama Teori Weber adalah bahwa struktur dan gerakan sebuah kelompok berasal dari komitmennya terhadap satu belief system tertentu. Dalam sistem Weberian, tantangan terhadap sistem politik yang mapan berasal dari individu kharismatis yang mampu menggembleng sekelompok besar pengikut terhadap gagasan tertentu. Sementara pendekatan kedua terinspirasi oleh gagasan-gagasan Karl Marx (Burke, III, 1988: 19-20). Menurut Burke, kajian atas gerakan-gerakan Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat selama ini didominasi tradisi Weberian dengan metode yang telah dikembangkan oleh sosiolog dan antropolog neo-Weberian seperti Robert Bellah, S. E. Eistadt, Clifford Geertz, dan Victor Turner. Paradigma berikutnya yang penulis temukan adalah paradigma counterhegemonic-nya Gramsci. Thomas J. Butko (2004: 41-62) dalam ―Revelation or revolution: a Gramscian approach to the rise of political Islam,” mengkaji fundamentalisme Islam dengan menggunakan kerangka teori ini untuk mendasarkan argumen pada kenyataan bahwa gerakan-gerakan kegamaan seperti fundamentalisme Islam atau Islam Politik merupakan suatu gerakan yang berusaha untuk menggulingkan penguasa dan menciptakan tatanan masyarakat
35
baru. Kerangka teori ini berhasil mengungkapkan suatu fakta bahwa gerakan fundamentalisme Islam sejauh ini telah berhasil menjadi gerakan counterhegemonic bagi penguasa setempat karena ia memiliki komponen-komponen penting berupa ideologi, organiasi dan strategi. Peranan ideologi yang terpenting adalah sebagai perangkat yang mampu menyatukan kepentingan beragam (divergent interests). Pada tataran praktis, kalangan Islamis menggunakan Islam sebagai ideologi politik. Inti ideologi Islam menyuarakan universalitas, persaudaraan, ekualitas, keadilan, dan kemerdekaan (Butko, 2004: 49). Sementara komponen organisasi terdiri dari kepemimpinan yang kharismatis, the vanguard (barisan depan yang solid) serta para pengikut setia. Komitmen antara pemimpin dan yang dipimpin menghantarkan pada apa yang disebut dengan `aqd al-ijtimā`i (social contract). Kontrak sosial terwujud menjadi gerakan yang homogen dan utuh, konsep tersebut disebut Gramsci sebagai kesatuan organis (organic unity). Konsep demikian telah diterapkan oleh pemukapemuka gerakan Islam seperti Qutb dan Maududi (Butko, 2004: 56). Sedangkan dalam hal strategi, fundamentalisme Islam telah berhasil menjadi gerakan counter-hegemonic karena mereka memiliki strategi yang aktif, intervensionis, dan berjangka panjang (long-term). Paradigma selanjutnya adalah comparative political theory. Roxanne L. Euben (1997a: 28-55) dengan judul tulisannya "Comparative Political Theory: An Islamic Fundamentalist Critique of Rationalism,"
melakukan komparasi
pemikiran politik Islam fundamentalis dengan pemikiran politik modern Barat. Dalam melakukan comparative political theory ini, Euben mengkaji pemikiran
36
Sayyid Qutb sebagai representasi pemikir politik Islam fundamentalis. Terkait dengan diskusi pemikiran politik Qutb, ada dua argumen yang dibangun olehnya; pertama bersifat subtantif dan yang kedua bersifat metodologis. Argumen pertama merupakan analisis teori politik Qutb yang menghasilkan sebuah pemahaman tentang pemikiran Islam fundamentalis (Sunni) sebagai sebuah tantangan bagi kedaulatan politik modern baik di Timur Tengah maupun di Barat. Tantangan ini merupakan kritik terhadap kegagalan politik dan ekonomi regim Timur Tengah dan juga Barat. Tantangan ini pun merupakan dakwaan moril terhadap teori-teori politik post-Pencerahan seperti Marxism, liberalism, dan sosialisme, yang mengharap penghapusan otoritas agama dalam ranah politik (Euben, 1997a: 31). Argumentasi
kedua
bersifat
metodologis,
yaitu
kemungkinan
menggunakan comparative political theory. Teori ini memperkenalkan perspektif non-Barat dalam perdebatan-perdebatan yang familiar tentang problem hidup bersama, memastikan bahwa ―teori politik‖ adalah tentang manusia bukan hanya tentang dilemma Barat (Euben, 1997a: 32). Dari penelitian ini ditemukan bahwa kritik utama Qutb adalah terhadap modernitas bukan ditujukan pada teknologiteknologi modern ataupun capaian-capaian ilmiah lainnya —melainkan yang ia kritik adalah rasionalisme post-Pencerahan Barat (Euben, 1997a: 52). Dalam artikel lain yang berjudul "Premodern, antimodern or postmodern? Islamic and Western critiques of modernity," Euben (1997b: 429-459) menegaskan hal yang sama, fundamentalisme Islam merupakan gerakan anti-modernitas yang ingin mencapai keselamatan yang dapat diraih hanya dengan cara terlibat dalam dunia
37
ini, atau lebih tepat lagi ―within the institutions of the world, but in opposition to them” (Euben, 1997b: 432). Penelitian berikutnya dilakukan oleh Browers (2005: 75-93) dalam "The Secular Bias in Ideology Studies and the Case of Islamist," mengkaji gerakan fundamentalisme
Islam
dari
perspektif
kajian
ideologi.
Menurutnya,
konseptualisasi ideologi versi Kristen sekular selama ini telah menghambat pemahaman terhadap kekuatan ideologis dan fungsi agama dalam konteks nonKristen secara umum dan dalam konteks gagasan-gagasan Islamisme kontemporer pada khususnya (Browers, 2005: 76). Dalam konteks Krsitiani, agama tak lebih dari sekedar realitas spiritual. Sedangkan ideologi pada satu sisi dianggap sebagai action oriented, berusaha memotivasi manusia untuk melakukan tujuan-tujuan politik. Jelas sekali pemahaman agama sebagai anti-politik ini muncul dari asalusul Kristiani. Bagi Browers, hal di atas akan sangat berbeda dalam konteks Islam dimana tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, selalu membangkitkan semangat perjuangan Islam menentang dominasi asing dengan mengutip ayat-ayat al-Qur‘an yang sesuai, sebagai basis ideologi perjuangan (Browers, 2005: 77). Singkatnya, kajian perspektif ideologi memberikan suatu fakta nyata bahwa Islamisme dengan segenap tokoh ideolognya telah menjadikan Islam sebagai sebuah gerakan ideologis di Timur Tengah yang mampu membuktikan kekuatan mereka setelah gagalnya ideologi sekular seperti Nasionalisme dan Sosialisme Arab (Browers, 2005: 80).
38
Penelitian terakhir tapi tidak kalah pentingnya dilakukan oleh Mahmud A. Faksh (1997) dalam The Future of Islam in the Middle East: Fundamentalisme in Egypt, Algeria, and Saudi Arabia. Faksh menggunakan teori challenge and responses, fundamentalisme dianggap sebagai tantangan bagi penguasa di Timur Tengah [Mesir, Aljazair, dan Saudi Arabia] serta bagaimana respon pemerintah terhadap fundamentalisme. Menurutnya, fundamentalisme sebagai sebuah tantangan telah gagal menterjemahkan retorika ideologi ke dalam bentuk kekuasaan politik. Sampai saat ini, retorika terus menjadi ciri khas kelompok ini. Sementara respon penguasa Timur Tengah terhadap fundamentalisme agama sejauh ini telah banyak berhasil. Bagi Faksh, tafsir kaum fundamentalis terhadap syari‟ah yang rigid dalam konteks modernitas, justeru akan menghantarkan umat Islam pada kehidupan masyarakat yang kaku dan stagnan. Dalam gambaran sederhananya, penelitian-penelitian tersebut di atas dapat penulis petakan dalam tabel berikut: Penulis dan Judul (Buku/Jurnal) Bruce B Lawrence (1989) ―The Fundamentalist Revolt Against the modern Age: Defenders of God.‖
Paradigma/Teori Comparative studies/Comparative fundamentalism
Bassam Tibi (2002) ―The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and The New World Disorder.”
Manshur Moaddel (2002: 359-386) ―The Study of Islamic Culture and Politics:
- crisis theories (masuk dalam kategori ini karya Dekmejian (1985)
Hasil/Tesis/Asumsi - Fundamentalisme fenomena yang lazim terjadi dalam tradisi agama apa pun. - Fundamentalisme tantangan bagi modernitas. - Perbedaan masing-masing fundamentalisme terletak pada: teks suci, tradisi, kepemimpinan, dan ideologi - Fundamentalisme fenomena lazim dalam tradisi agama, bedanya fundamentalisme Islam bersifat universal. - Fundemantalisme sebagai bentuk superficial dari terrorisme dan ancaman bagi demokrasi. - Fundamentalisme sebagai respon terhadap krisis ekonomi, meluasnya ketidaksetaraan
39
An Overview Assessment.”
and
―Islam in revolution: fundamentalism in the Arab world”; Olivier Roy (1996) “The Failure of Political Islam.”
- cultural duality theories
- state culture theories
Asef Bayat (2005: 891-908) ―Islamism and Social Movement Theory.”
- social theories
movement
Salwa Ismail (2001: 34-39) ―The Paradox of Islamist Politics.”
Ziad Munson (2001: 487510) ―Islamic Mobilization.”
Sheri Berman (2003: 257272) ―Islamism, revolution, and civil society.” Saad Eddin Ibrahim (1980: 423-453) ―Anatomy of Egypt's militant Islamic groups: Methodological note and preliminary findings.” Ira M Lapidus (1997: 444460) ―Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the Historical Paradigms.”
- Historical paradigm
sosial, dan otoritarianisme. - Islamisme gagal menjadi ideologi alternatif. - Islmisme pasca-1980an beralih bentuk menjadi neofundamentalisme yang lebih bersifat individual dan kurang politis. - Fundamentalisme sebagai reaksi kelompok religius yang tersisih, sering digambarkan sebagai revolutionary traditionalism. - tingkat militansi/radikalisasi fundamentalisme Islam sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh negara/penguasa. - Islamisme/fundamentalisme adalah sebuah gerakan yang sangat dinamis. - Islmisme di Mesir cenderung pada reformisme, dan mencegah terjadinya revolusi Islam model Iran. - Islamisme [Mesir] berhasil menyediakan ‗social safety net. - Fundamentalisme sebagai “small entrepreneurs of morality.” - Islamisme sebagai sebuah proses—dan bukan sekedar proyek—tetap menjadi kekuatan dinamis. - Mobilisasi Fundamentalisme berhasil (IM) karena ada korelasi antara ideologi dengan kebutuhan praktis. - Bahasa yang digunakan fundamentalis sangat mudah diterima. - Keberhasilan fundamentalisme di Mesir (IM) karena berani menyentuh grass root dengan menyediakan pelayanan sosial. - Keberhasilan IM di Mesir karena ada kesesuaian antara ideologi, struktur, dan strategi gerakan.
- Fundamentalisme atau revivalisme merupakan reaksi sekaligus eskpresi modernitas. - Fundamentalisme bukan fenomena baru. - Baik fundamentalimse maupun modernisme sama-sama merupakan gerakan tajdid.
40
Edmun Burke, III (1988) “Islam, Politics, and Social Movements.”
- new Orientalism theory
- new social history
Thomas J. Butko (2004: 4162) ―Revelation or revolution: a Gramscian approach to the rise of political Islam.”
- Counter theory
hegemonic
Roxanne L. Euben (1997a: 28-55) ―Comparative Political Theory: An Islamic Fundamentalist Critique of Rationalism.” Roxanne L. Euben ( 1997b: 429-459) ―Premodern, antimodern or postmodern? Islamic and Western critiques of modernity.” Browers (2005: 75-93) "The secular bias in ideology studies and the case of Islamis.”
- Comparative Theory
Mahmud A. Faksh (1997) “The Future of Islam in the Middle East: Fundamentalisme in Egypt, Algeria, and Saudi Arabia.”
- Challenge and response
Political
- Ideology studies
- Mengungkap dimensi Islam dalam fundamentalisme. - Sumber-sumber kultural dan agama (belief system) sebagai legitimasi aksi. - Fundamentalisme Islam sebagai akibat dari adanya shifts in the organization of production. - Fundamentalisme sebagai kelas sosial tertentu. - Fundamentalisme bertujuan menggulingkan penguasa dan menciptakan tatanan baru. - Fundamentalisme berhasil sebagai gerakan counter hegemonic karena memiliki organisasi, ideologi, dan strategi. - pemikiran Islam fundamentalis (Sunni) merupakan tantangan bagi kedaulatan politik modern di Timur Tengah dan Barat. - Fundamentalisme adalah kritik moril terhadap teori-teori politik post-Pencerahan seperti Marxism, liberalisme, dan sosialisme. - Konsep ―ideologi‖ dalam Islam berbeda dengan konsep ideologi dalam Kristiani. - Tokoh-tokoh ideolog Islam fundamentalis berhasil menjadikan ajaran Islam sebagai basis ideologi gerakan. - Fundamentalisme Islam sebagai tantangan telah gagal. - Ideologi fundamentalisme hanya berhenti pada retorika saja. - Respon rezim Timur Tengah dalam membendung arus fundamentalisme lebih berhasil.
Dari uraian dan pemetaan penelitian terdahulu, penulis belum menemukan kajian ilmiah yang membahas fenomena fundamentalisme Islam dari perspektif intelektual Muslim. Salah satu alasannya, barangkali sangat sedikit intelektual Muslim yang membahas secara komprehensif fenomena tersebut. Dalam konteks ini, Hanafi adalah salah seorang dari sedikit intelektual Muslim yang berani
41
menulis secara sistematis dan komprehensif, serta mengkritisi secara konstruktif fundamentalisme Islam dengan tawaran metodologi dan solusi agar fenomena ini dapat disejajarkan dengan gerakan modern Islam lainnya.
1.4.2 Pemikiran dan karya Hasan Hanafi Tulisan Yudian Wahyudi (2003: 233-248) yang berjudul “Arab Responses to Hasan Hanafi‟s Muqaddimah fī `Ilmil-Istighrāb,” memberikan pemetaan yang cukup signifikan tentang respon intelektual Arab terhadap karya dan pemikiran Hasan Hanafi. Di antara pemikir Arab yang serius mengkritik pemikiran Hasan Hanafi adalah; Ali Harb, Salah Qansuwa, dan al-‗Alim. Menurut Ali Harb, Hanafi menjadikan Oksidentalisme sebagai perangkat pembebasan ―Diri‖ dari sentralitas Barat. Salah Qansuwa, Hanafi sedang berusaha menciptakan sentralitas Muslim Arab di Dunia Ketiga dan memaksakan semangat rasis dan sentralitas Islam di atas keseluruhan ―Yang Lain‖ (Others) di dunia ini. Nadhir Hattar sepakat dengan Ali Harb bahwa, Hanafi itu puritan, ego-sentris atau rasis, atau bahkan seperti Orientalis ekstrim semisal Ernest Renan. Menurut al-Khuli, kesalahan Hanafi adalah penekanannya pada ideological judgment-nya bahwa Barat adalah peradaban statis sembari menampilkan menurut keyakinannya bahwa peradaban Islam itu dinamis. Intinya, penentangan Hanafi terhadap Barat (Orientalis) dengan Oksidentalismenya menurut al-‗Alim tidak relevan lagi, karena ilmu-ilmu sosial telah menggantikan disiplin Orientalisme dalam mengkaji Islam. Carool Kersten (2007: 22-38) dalam "Bold Transmutations: Rereading Hasan Hanafi's Early Writings on Fiqh," mengkaji pemikiran Hasan Hanafi khususnya tentang ushūl fiqh dalam Les Méthodes d‟exégèse dengan
42
menggunakan pendekatan Translation Studies. Menurutnya, meskipun Hasan Hanafi tidak menggunakan Translation Studies sebagai scholarly field of inquiry, namun pendekatan transmutation-nya atas wacanan tradisional Islam dapat menunjukkan beberapa kerangka teoritik yang terkait dengan disiplin Translation Studies. Hasan Hanafi telah melahirkan istilah-istilah baru sebagai tafsiran terhadap tradisi Islam klasik. Misalnya, ia telah menterjemahkan fikih sebagai canonical methodology, methodological of jurisprudence, dan understanding. AlQur‘an ia terjemahkan sebagai “anonymous experience”, ijma‘ sebagai intersubjective experience, dan ijtihad sebagai individual experience. Bold mutation (yang ia adopsi dari Belloc) atau creative transposition (Jacobson) Hanafi telah memperkaya original texts atas `ilm ushūlul-fiqh. Hal yang telah dilakukan Hanafi menjadi temuan sentral baik sebagai penganut hermeneutis maupun sebagai dekonstruksionis. Penelitian yang sangat serius lainnya terhadap pemikiran Hasan Hanafi ditulis oleh Martin Riexinger (2007: 63-118) dengan judul "Nasserism Revitalized. A Critical Reading of Hasan Hanafi's Projects "The Islamic Left" and "occidentalism" (and their Uncritical Reading)." Tulisannya terfokus pada beberapa tema besar yang diusung Hasan Hanafi: tradisi (turāts), revolusi (tsaurah), dan tema tentang Timur dan Barat. Menurut Riexinger, Hanafi dalam berbagai karyanya cenderung lebih provokatif dan tidak eksplanatif. Ia seringkali mereduksi sistem pemikiran yang kompleks ke dalam satu atau dua kategori. Umpamanya Hanafi mengaktualkan istilah turāts (heritage) seolah-olah bermakna
43
kiri (Riexinger, 2007: 65-66). Hasan Hanafi dalam pandangan Riexinger tidak jauh berbeda dari kaum Islam fundamentalis dan Barat fasis. Alasan ini didasarkan pada beberapa fakta salah satunya adalah bahwa kritik Hasan Hanafi terhadap Marxisme misalnya, hanya berada pada tahapan retorika saja. Kritik Hanafi terpusat pada riba, sphere of circulation, bukan pada sphere of production. Jadi menurut Riexinger, proyek Hasan Hanafi terdiri dari elemen-elemen ideologis heterogen yang tidak pernah disistematisasikan (Riexinger, 2007: 93). Penelitian ini cenderung mengkontradiksikan pemikiran-pemikiran Hanafi dengan gagasan-gagasan modern Barat untuk menunjukkan ketidakrelevanan gagasan Hanafi dengan ideologi modern Barat lainnya. Gagasan Hasan Hanafi tidak dipandang dari kacamata transformasi sosial Islam sehingga beberapa gagasan positifnya menjadi tidak tampak. Penelitian berikutnya yang cukup relevan ditulis oleh Yudian Wahyudi (2006: 257-270) dengan judul "Hassan Hanafi on Salafism and Secularism," mengkaji pemikiran Hasan Hanafi tentang Salafisme dan Sekularisme. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa terjadinya pengelompokkan dalam umat Islam seperti halnya salafisme dan sekularisme adalah false dualism. Kalau dalam masyarakat Barat hal demikian wajar terjadi karena semakin mereka mempromosikan modernisme, semakin mereka menemukan rekonsiliasi antara gereja dan Negara, agama dan akal, juga iman dan sains tidak mungkin diwujudkan (Wahyudi, 2006: 258). Dikotomi antara kelompok salafi yang ditransmisikan dari kelompok tradisionalis dan sekularis yang ditransmisikan dari modernis, dapat dijembatani dengan cara dialoging language. Kelompok Salafi
44
harus berani menerima beberapa temuan kelompok sekularis terkait makna baru sebuha istilah klasik (2006, Wahyudi: 262). Penelitian
di
atas
berusaha
menjabarkan kemungkinan bertemunya antara kelompok Salafi dan Sekularis dengan cara berdialog melalui pemaknaan baru istilah-istilah klasik dalam Islam. Penelitian terakhir ditulis oleh Shahrough Akhavi (1997: 377-401) "The Dialectic in Contemporary Egyptian Social Thought: the Scripturalist and Modernist Discourses of Sayyid Qutb and Hasan Hanafi," berupa studi perbandingan antara pemikiran Sayyid Qutb dan Hasan Hanafi. Dua tokoh ini jelas sangat berbeda tentunya, Sayyid Qutb (1906-1966) dianggap sebagai representasi Islam skriptualis sementara Hasan Hanafi sebagai kalangan modernis. Qutb dan Hanafi sama-sama menekankan peranan Islam dalam konteks politik kontemporer. Hanafi secara eskplisit dan Qutb secara implisit sama-sama memberikan perhatian khusus pada turāts (heritage), tetapi berbeda dalam hal pendekatan. Selanjutnya penelitian ini lebih merupakan eskplorasi komparatif antara gagasan-gagasan Qutb dan Hanafi dalam hal penafsiran doktrin-doktrin agama dimana Hanafi ditempatkan sebagai left-wing phenomenologist, sementara Qutb sebagai pemikir radikal yang pemikirannya telah banyak mempengaruhi kalangan muda Mesir saat itu.
45
1.5 Landasan Teori Untuk memaparkan kritik Hasan Hanafi terhadap fundamentalisme Islam dan posisinya sebagai intelektual Muslim, penulis akan memaparkan empat pembahasan utama yang bersifat teoritis. Pertama, pembahasan mengenai teori seputar pemikiran Arab sebagai satu bentuk penegasan bahwa pemikiran Arab adalah berbeda dengan pemikiran lain semisal pemikiran Eropa atau pemikiran Yunani. Kedua, pembahasan terkait dengan relasi pemikiran Arab dengan ideologi, untuk menunjukkan bahwa lahirnya sebuah pemikiran tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosial politik yang ada. Pemikiran lahir bukan dari sebuah ruang kosong. Ketiga, pembahasan mengenai definisi intelektual secara umum sebagai rumusan awal bagi pendefinisian intelektual Arab-Islam. Keempat, pembahasan mengenai peranan intelektual Dunia Ketiga dengan merujuk pada teori-teori yang telah dirumuskan utamanya oleh Edward W Said dan Syed Hussien Alatas juga dilengkapi berbagai pendapat lain. Penjelasan mengenai teori-teori di atas menjadi sangat penting untuk menunjukkan bahwa pemikiran Hanafi dalam bentuk kritikan terhadap fundamentalisme Islam berbeda dari pemikiran-pemikiran atau bahkan kritikankritikan yang disajikan oleh sarjana Barat yang dengan sangat jelas telah memposisikan diri mereka sebagai outsider, yaitu berada di luar kebudayaan yang sedang mereka kaji (tradisi Arab-Islam).
46
1.5.1 Pemikiran Arab Dalam konteks dunia Arab-Islam, paling tidak terdapat dua kosa-kata yang digunakan sebagai padanan kata ‗pemikiran‘ yaitu fikr (thought) dan „aql (reason). Nampaknya, dalam diskursus pemikiran intelektual Arab Kontemporer istilah „aql atau reason lebih sering digunakan dibanding istilah fikr. Hal ini sangat logis karena „aql dalam sejarah pemikiran Islam klasik menempati posisi sentral dalam perdebatan filsafat (falsafah), teologis (kalām), dan mistik (‗irfān). Fondasi rasional dari „aql terpusat pada level kosmologi dan metafisika, dan merefleksikan aspek-aspek veridical pencapaian ilmu pengetahuan (knowledge) yang meliputi proses verifikasi dan eksplikasi (El-Bizri, 2011: 186-187). Meskipun demikian, istilah fikr secara sosiologis lebih sering didefinisikan daripada istilah „aql. Merujuk pada penjelasan di atas, pemikiran Arab yang penulis maksudkan dalam penelitian ini mengikuti definisi yang dirumuskan oleh ‗Abid al-Jabiri.
―pemikiran [Arab] sebagai sebuah instrumen bukan sebagai produk berusaha menghasilkan sebuah teori, diciptakan oleh kultur tertentu yang memiliki kekhasannya sendiri —dalam konteks ini kebudayaan Arab—, sebuah kebudayaan yang diiringi dengan sejarah peradaban Arab [Islam]. Dengan demikian pemikiran tersebut merefleksikan realitas Arab sebagai aspirasi bagi proyeksi masa depan, merefleksikan dan mengekspresikan pada saat yang sama rintangan bagi kemajuan dan penyebab-penyebab kemunduran yang sedang dihadapi bangsa Arab‖ (al-Jabiri, 2001: 13-14; 2011: 6).
47
Dari definisi di atas ada empat hal utama yang harus diperhatikan mengenai pemikiran Arab: 1) pemikiran Arab sedang berupaya menghasilkan berbagai teori tekait dengan realitas yang dihadapi bangsa Arab, 2) pemikiran Arab terikat oleh kebudayaan Arab-Islam —sebagai bentuk penegasan terhadap kebudayaan lain yang berbeda semisal Eropa yang terikat dengan tradisi Kristen, dan lain-lain, 3) pemikiran Arab berusaha merefleksikan satu proyeksi masa depan, dan 4) pemikiran Arab kontemporer merupakan refleksi atas rasa frustasi dan kekecewaan terhadap kemunduran (takhalluf) yang sedang dihadapi Bangsa Arab. Mencermati butir ke-4 bahwa pemikiran Arab kontemporer dapat dilihat dalam perspektif rasa frustasi sebagai imbas kekalahan perang Arab-Israel pada 1967 M, yang mana bangsa Arab harus menerima kekalahan pahit dan dihadapkan pada perasaan frustasi luar biasa. Dari rasa frustrasi dan kecewa ini kemudian lahir berbagai pemikiran kritis dalam bentuk kritik diri atau self criticism. Hal yang sangat menarik di sini, menurut David Bohm (2003 : 55-56) bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara pemikiran (thought) dengan perasaan (felt). Ketika pemikiran tertekan oleh perasaan frustrasi (seperti akibat kekalahan perang, dan lain-lain) kemudian ingin segera tampil baik, maka akan melahirkan satu proyeksi disebut self-image world, sebuah bayangan ideal mengenai dunia yang diinginkan. Seandainya pemikiran lebih dominan dari emosi, maka ia bisa menghasilkan harmoni, namun sebaliknya apabila emosi lebih dominan dari pemikiran inteleknya maka ia (emosi) dapat melahirkan pemikiran juga tindakan destruktif dan berbahaya.
48
Oleh karena itu, harmonisasi sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan antara pemikiran intelek dengan emosi. Teori ini cukup ideal untuk menjelaskan pemikiran Hanafi tentang fundamentalisme Islam, pemikiran yang lahir dan dibarengi dengan peristiwa-peristiwa dramatis semisal kekalahan perang ArabIsrael 1967 dan juga pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981 M. Emosi dan pemikiran berpadu menghasilkan satu corak pemikiran tertentu tentang fundamentalisme Islam.
1.5.2 Pemikiran Arab dan Ideologi Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa analisis mengenai pemikiran seorang intelektual tidak dapat dilepaskan dari persoalan ideologi. Hal ini dipertegas oleh Abu-Rabi (2005: 506), bahwa studi pemikiran intelektual [Muslim] harus dipandang dalam perspektif ideologi. Mengapa demikian? Karena pemikiran seorang intelektual lahir dari latarbelakang sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang telah ikut berperan aktif dalam mempengaruhi dan membentuk pemikiran seorang intelektual. Ideologi ditegaskan Abu-Rabi sebagai jantungnya sejarah pemikiran. Dengan kata lain, meskipun terdapat sebuah kajian yang memfokuskan pada tren pemikiran tertentu, dipastikan kajian tersebut tidak dapat dilepaskan dari tren-tren pemikiran lain yang juga ikut berkembang pada waktu itu. Intellectual history is ideological by nature, demikian tegas Abu-Rabi. Ideologi yang penulis maksudkan di sini mengikuti pendapat dari Michel Wieviorka (2003: 80), bahwa studi mengenai ideologi tidak lagi berangkat dari perspektif Era Pencerahan yang memandang ideologi sebagai ancaman. Alih-alih memandang ideologi termasuk sebagai salah satu kajian bidang agama [religious
49
studies] dan dipandang murni sebagai objek studi. Ideologi dideskrispikan dalam wacana antropologi sebagai sebuah kewajaran yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok sosial tertentu. Dalam bentuk diskursifnya, ideologi terdiri dari elemen-elemen dasar yang terdiri dari konsep, idea, dan keyakinan atau beliefs (Geuss, 1981: 5-6). Ideologi dalam artian deskriptif inilah yang penulis maksudkan dalam penelitian ini. Karena ideologi merupakan produk dari pemikiran, maka pemikiran itu sendiri terdiri dari komponen-komponen seperti ide, konsep, teori, dan ideologi (Lemon, 2002: 176). Secara lebih spesifik, ide atau gagasan merupakan produk perseorangan oleh karena itu bersifat individual. Artinya, dalam satu perkara tertentu gagasan seorang individu sangat mungkin berbeda dengan gagasan individu yang lain. Karena sifatnya individual tersebut maka ide atau gagasan sangat terbuka terhadap kritik. Pembahasan selanjutnya adalah problem apa saja yang bisa menjadi tolak ukur dalam melihat perkembangan pemikiran intelektual Arab. Menurut Majid (1995-1996: 12) setidaknya ada tiga persoalan utama yang dipandang sebagai isu sentral pemikiran Arab yaitu: 1) problem epistemologis tentang modernitas, 2) problem tentang penafsiran warisan klasik Islam atau turāts, dan 3) problem tentang kekuasaan atau otoritas. Persoalan pertama terkait dengan isu kompatibilitas Islam dihadapkan pada persoalan modernitas. Sementara persoalan kedua lebih pada persoalan bagaimana warisan Islam atau turāts dikaji dan ditafsirkan ulang demi kebutuhan kekinian karena terdapat anggapan bahwa tafsirtafsir klasik telah dikonstruksi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan
50
sekelompok golongan tertentu. Terakhir, isu yang cukup serius dihadapi oleh intelektual Arab yaitu persoalan mengenai model pemerintahan di dunia ArabIslam yang cenderung bersifat otoriter dan jauh dari sifat demokratis. Melengkapi pembahasan teoritis di atas, barangkali pendapat Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge menjadi urgen untuk dikemukakan. Dalam pandangan Foucault, bahwa kebudayaan atau disebutnya dengan discourse (berisi: system of thoughts, ideas, images, dan simbol-simbol lainnya), telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui kondisi tertentu pada waktu dan tempat tertentu untuk kemudian digunakan dalam memahami realitas pengalaman hidup manusia (Foucault, 2002: 35-36). Fundamentalisme Islam sebagai sebuah discourse dengan demikian berupa wacana kebudayaan yang berisi ideologi, bahasa, dan juga konsep-konsep yang dikontsruksi oleh para ideolog pada waktu dan tempat tertentu, diwacana ke publik sebagai sebuah kebenaran (truth) yang harus diterima. Kerangka ini dapat dimanfaatkan untuk melihat upaya Hanafi dalam mengintroduksi pemahaman ulang terhadap gagasan, konsep, bahasa, dan slogan yang sudah dikonstruksi sedemikian rupa dalam tradisi fundamentalisme Islam untuk kemudian dihasilkan sebuah pemaknaan baru yang lebih sesuai dengan realitas kekinian.
51
1.5.3 Intelektual Arab Secara umum sangat sulit untuk merumuskan definisi yang tepat mengenai siapa yang disebut sebagai intelektual, intellectuals. Salah satu alasan kesulitan tersebut karena seringkali definisi yang dirumuskan bersifat self-definitions (Bauman, 1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, definisi disusun atas dasar binary opposition antara siapa yang disebut intellectuals dan nonintellectuals dengan batas-batas yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh kelompok sosial tertentu. Setiap kelompok sosial memiliki definisi masingmasing tentang siapa yang disebut dengan intelektual. Meskipun demikian, kesulitan merumuskan satu definisi yang tepat tidak berarti pendefinisian tentang siapa yang disebut intelektual kemudian harus dihindari. Apabila merujuk pada makna dasar penggunaannya, Raymond (1985: 169171), dalam Keywords: A Vocabulary of Culture and Society menyatakan bahwa kata intellectual digunakan untuk merujuk pada jenis orang tertentu atau seseorang yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata ini mulai efektif digunakan pada akhir Abad XIX M. Meskipun penggunaan kata itu sendiri kurang disukai, kata intellectual menjadi sangat popular dalam literature Inggris pada pertengahan Abad XX M. Kata ―intelektual‖ sekarang digunakan secara netral untuk menggambarkan orang yang melakukan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum. Di sini Raymond tidak menyebutkan secara spesifik siapakah yang disebut intelektual akan tetapi hanya menunjukkan akan popularitas penggunaan kata tersebut khususnya di dalam literatur BaratInggris.
52
Dari beberapa definisi yang dirumuskan oleh sarjana Barat, intelektual paling tidak didefinisikan ke dalam dua kategori utama. Pertama, intelektual didefinisikan sebagai komunitas terpisah dari masyarakat yang dapat digambarkan sebagai kumpulan dari orang-orang yang membela pengetahuan demi kepentingan pengetahuan itu sendiri. Pendapat seperti ini umpamanya dikemukakan oleh Edward Shils dan dikembangkan dengan baik oleh Julien Benda. Kedua, intelektual didefinisikan sebagai elemen krusial di dalam masyarakat yang bertugas untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi keberlangsungan sebuah komunitas atau masyarakat. Bauman umpamanya menyebut intelektual sebagai the interpreter of contemporary discourse, merekalah yang mampu menafsirkan nilai-nilai universal satu perkembangan kebudayaan untuk kemudian dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat. Dua definisi di atas terus berkembang dalam wacana intelektual Barat dengan penafsiran-penafsiran yang terus dikembangkan sesuai dengan dinamika sosial dan politik yang terjadi. Selanjutnya, dalam tradisi Arab-Islam itu sendiri, terdapat istilah klasik yang lazim digunakan untuk merujuk kepada sekelompok orang yang berkecimpung dalam tradisi keilmuan, istilah tersebut yaitu ‗ulamā‟ (bentuk jamak dari „ālim), yang berarti sarjana atau scholar, orang-orang yang memiliki pengetahuan (‗ilm). Tetapi kemudian dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini digunakan hanya bagi ―mereka yang memiliki pengetahuan agama‖ saja (Milson, 1972: 17). Ulama sebagai special group dalam masyarakat Muslim, cenderung lebih berperan sebagai moral care-takers dibanding sebagai pengkritik (Esposito, 2001: 14). Puncak kemapanan ulama dalam sejarah Islam Pertengahan tercatat
53
pada masa Dinasti Ustmani (1300-1924 M), terdapat kerjasama harmonis antara ulama dan penguasa (umara) dimana ulama berperan sebagai pemegang legitimasi bagi kekuasaan seorang raja (1972: 21; 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo (2000: 43) ulama berfungsi sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan seorang raja tidak akan legitimate kalau belum mendapat persetujuan dari ulama. Merujuk pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang tepat apabila dipadankan dengan kata ulama dalam tradisi Islam era Pertengahan. Untuk konteks modern, tepatnya pada akhir Abad XIX M, terdapat dua kata Arab yang lazim digunakan sebagai padanan kata ―intelektual:‖ yaitu mutsaqqaf, dan mufakkir, yang pertama berasal dari kata tsaqafa, kebudayaan (a man of culture) atau academically trained, sebuah skil akademik yang ditempuh melalui jenjang pendidikan formal, sedangkan yang terakhir berasal dari kata fikr atau thought (a man of thought). Dari dua istilah tersebut, penulis seperti halnya Hofmann (2007: 67) memandang lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir sebagai padanan kata ―intelektual‖ yang diartikan sebagai analytical mind who communicate, menandakan bahwa proses menjadi intelektual tidak mesti melalui sebuah tahapan pendidikan formal yang tinggi, melainkan melalui sebuah proses pemikiran yang aktif dan produktif. Pengalaman akademik menjadi nilai tambah bagi seorang intelektual. Dalam konteks penelitian ini intelektual Arab secara khusus didefinisikan sebagai orang-orang yang berani menyampaikan sebuah gagasan atau pemikiran dengan tujuan untuk melakukan perubahan meskipun gagasan tersebut boleh jadi sangat bertentangan dengan gagasan yang lazim berlaku. Dalam ungkapan
54
Edward W Said (1994), al-mufakkir atau intelektual Arab adalah ―…someone whose place it is publicly to raise embarrassing questions, to confront orthodoxy and dogmas.‖ Bersikap kritis terhadap fenomena sosial yang ada dan lebih dari itu berani menghadapi kekuatan otoritarianisme yang lazim di temui di Negaranegara Timur Tengah. Secara lebih khusus intelektual Arab adalah mereka yang berani menentang dogmatisme dan ortodoksi agama yang dianggap sebagai penghambat bagi proses modernisasi dunia Arab-Islam.
1.5.4 Peran Intelektual Arab Kurzman and Owens (2002: 63-90) menyebutkan tiga teori tentang peranan intelektual yang didasarkan pada argument, bahwa intelektual merupakan bagian dari kelas sosial, intellectual as a class. Teori yang pertama dipelopori oleh Karl Mannheim, yang merumuskan intelektual sebagai sebuah komunitas yang tidak terkait oleh kelas sosial mana pun, class-less. Tugas intelektual adalah memastikan terjadinya mutual understanding di antara kelas sosial agar terjadi harmoni sosial dan politik. Oleh karena itu, intelektual tidak memiliki vasted interests dan tidak terikat oleh kelas sosial tertentu. Teori kedua dipopulerkan oleh Julien Benda yang mengaggap intelektual sebagai kelas tersendiri, class in themselves. Teori terakhir digagas oleh Antonio Gramsci yang mendefinisikan intelektual sebagai komunitas yang terikat pada kelas sosial dari mana mereka berasal, intellectual as class bound. Bagi Gramsci, setiap kelas sosial mempunyai intelektualnya masing-masing. Kelompok borjuis dan proletar masing-masing memiliki intelektual, oleh karena itu, intelektual tidak dapat dilepaskan dari asalusul kelas mereka.
55
Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, untuk melihat peranan intelektual di Dunia Ketiga; Timur Tengah dan Asia, penulis memfokuskan pada gagasan tentang peranan intelektual yang digagas oleh Edward W Said dan Syed Hussein Alatas. Gagasan Said tentang intelektual dipengaruhi kuat oleh pendapat Benda tentang keharusan intelektual untuk selalu mempropagandakan truth, akan tetapi intelektual sebagai bagian organis dari masyarakat, Said terpengaruh kuat oleh Antonio Gramsci bahwa intelektual harus merepresentasikan kelas sosial dari mana mereka berasal. Sementara untuk
Alatas, penulis mengeksplorasi
gagasannya tentang intellectual creativity, sebuah upaya yang dilakukan sarjana Muslim dalam merumuskan dan menemukan teori-teori baru tentang fakta dan realitas sosial yang dihadapi. Bagi
Said
(1994:
xv-8),
tugas
seorang
intelektual
adalah
merepresentasikan sesuatu kepada audiensnya dan menjaga posisinya untuk tetap independen. Hal demikian hanya dapat dicapai apabila ia mampu bertindak sebagai an exile, marginal, amateur, and as the author of a language, dan berani menyampaikan kebenaran —kepada penguasa sekalipun— speak the truth to power. Meskipun Said setuju dengan konsep klasik tentang intelektual yang ditawarkan oleh Benda mengenai keharusan mempertahankan posisi independen, akan tetapi untuk konteks modern ia cenderung lebih sependapat dengan Gamsci, bahwa intelektual dengan fungsi tertentunya di dalam masyarakat baik sebagai penulis atau pun profesi lainnya, telah menjadi bagian penting dari bangkitnya dunia modern. Intelektual tidak mungkin lagi mempertahankan kelasnya sendiri,
56
melainkan harus melibatkan diri dalam pergerakan kebangkitan. Pendeknya, bagi Said (1994: 10-11); “…there has been no major revolution in modern history without intellectuals; conversely there has been [also] no major counterrevolutionary movement without intellectuals.” Said lebih jauh menegaskan bahwa intelektual dengan peranan tertentunya di dalam masyarakat tidak dapat dibatasi hanya kepada profesi terntentu dan tidak boleh terkooptasi oleh pemerintahan atau korporasi (Said, 1994: 11-12). Ia percaya bahwa tujuan dari aktivitas intelektual adalah untuk meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia dalam artian yang universal. Oleh Karen itu, Said menolak intelektual post-modernis seperti Lyotard (1924–1998) yang mengumandangkan bahwa grand narratives telah digantikan oleh ―kearifan lokal‖ dan language games (Said, 1994: 17-18). Gagasan ini menjadi sangat menarik, bahwa Said sebagai pelopor post-kolonial yang menantang dominasi kultural Barat, tapi di satu sisi mempromosikan gagasan universal sebagai nilai-nilai yang selama ini digagas oleh sebagian besar intelektual Barat. Dalam konteks pemikiran Hanafi, relevansi antara gagasan Said dengan Hanafi adalah, meskipun Hanafi menyerang Barat dengan sebuah disiplin ilmu yang ia namakan oksidentalisme, namun di sisi lain ia percaya akan nilai-nilai universal yang digali dari Barat. Sembari terus mengagumi karya Julien Benda (2006), The Treason of the Intellectual utamanya pada aspek bahwa intelektual harus menempati ruang universal, Said tidak setuju dengan gagasan bahwa intelektual tidak terikat oleh ikatan-ikatan nasional atau identitas etnis. Dengan munculnya Dunia Ketiga
57
dimana Eropa tidak lagi menjadi standard-setters bagi sebagian dunia lain, intelektual kemudian harus memberikan perhatian penuh pada konteks lokal mereka berasal. Dengan demikian, perhatian pada penggunaan bahasa nasional untuk mengeksperikan gagasan-gagasan mereka menjadi sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar gagasan mereka menjadi lebih familiar dan impresif pada tataran linguistik (Said, 1994: 27). Gagasan Said tentang tugas intelektual untuk berani menjawab persoalan lokal, memiliki kemiripan dengan gagasan Sartre (dalam Walder, 2003: 84) bahwa tugas intelektual atau Sartre lebih senang menggunakan istilah writers adalah ―…speaking to his contemporaries and brothers of his class and race.‖ Dalam artian yang lebih luas, class and race di sini dapat ditafsirkan sebagai ummah dalam konteks dunia Islam. Pendeknya, menurut Said tugas intelektual adalah menawarkan solusi atas problem-problem sosial, politik, dan budaya yang sedang dihadapi ummat dengan menggunakan bahasa yang familiar secara linguistik sesuai dengan konteks dari mana intelektual tersebut berasal. Menurut Said, intelektual Muslim dihadapkan pada dua tantangan besar. Tantangan pertama datang dari Barat yang masih saja menggambarkan Islam sebagai agama yang tidak mampu bersanding dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Tantangan lainnya adalah dari pemerintahan dunia Islam itu sendiri yang cenderung memanipulasi fakta-fakta yang ada dengan norma-norma yang mereka konstruk. Menghadapi dua tantangan ini yang hanya mungkin dapat dilakukan oleh intelektual Muslim adalah dengan cara menghidupkan kembali ijtihad, personal interpretation; menafsirkan kembali ajaran Islam agar dapat sejalan
58
dengan perubahan zaman dan tidak menjadi sheeplike, yang taat patuh terhadap pemerintah demi ambisi politik (Said, 1994: 31-40). Dalam konteks Dunia Ketiga yang secara keseluruhan pernah mengalami masa kolonial, Said dengan mengikuti gagasan Frantz Fanon (1925–1961), mengatakan bahwa ―…the goal of the native intellectual cannot simply be to replace a white policeman with his native counterpart,‖ tetapi apa yang harus dilakukan intelektual adalah, the invention of new souls (Said, 1994: 41). Dalam pandangan Alatas (1977: 11) gagasan ini —dengan meminjam istilah dari Jamaluddin Afghani (1838-1897)— adalah untuk menghidupkan kembali philosophic spirit yang diyakini Alatas telah hilang dan digantikan oleh uncreative minds, pemikiran yang hanya suka meniru dan tidak orisinal. Hal penting lainnya terkait peranan intelektual di Dunia Ketiga adalah mereka harus berani menjauhkan diri dari hal yang dapat menjeratnya, baik berupa jabatan, tahta atau kedudukan politik lainnya. Intelektual harus memposisikan diri mereka sebagai outsider atau exile dalam artian metafisik: ―…restlessness, movement, constantly being unsettled, and unsettling others‖ (Said, 1994: 53). Keuntungan menjadi outsider adalah kritis dalam melihat suatu peristiwa, tidak memandangnya as it is, tetapi mampu melihat kausalitas yang terjadi. Memandang fakta-fakta yang ada sebagai serangkain pilihan sejarah yang ditentukan oleh manusia dan bukan god-given yang tidak dapat diubah (Said, 1994: 60-61). Selanjutnya, intelektual sebagai bagian organis dari masyarakat, ia harus berani menyuarakan suara dari the poor, the disadvantaged, the voiceless, the
59
unrepresented, and the powerless (Said, 1994: 113), atau dalam ungkapan Said yang lain ―…intellectuals should challenge and defeat both and imposed silence and the normalized quite of unseen power wherever and whenever possible (Said, 2002: 31). Sementara dalam ungkapan Sartre (dalam Walder 2003: 84) bahwa ―he [intellectual] speaks for freedoms which are swallowed up, masked, and unavailable.‖ Singkatnya, tugas intelektual lainnya adalah berani menyuarakan ketidak adilan yang sedang terjadi, baik ketidak adilan yang diakibatkan oleh faktor eksternal maupun internal. Berani melakukan kritik terhadap dominasi Asing maupun kritis terhadap pemerintahan dalam Dunia Ketiga itu sendiri. Melengkapi gagasan Said tentang peranan intelektual, menurut Alatas (2000: 23-34) intelektual di Dunia Ketiga masih didominasi oleh intelektualisme Barat, atau intellectual imperialism sebagai akibat dari imperialisme tidak langsung. Intellectual imperialism ini bagi Alatas memiliki efek yang sangat buruk terhadap perkembangan intelektual di Dunia Ketiga. Mereka menjadi sangat tergantung kepada segala sesuatu yang berbau Barat, tidak percaya diri, dan yang paling menyakitkan adalah menjadi tidak kreatif. Dalam tulisannya yang lain, Alatas (1974: 691-699) menyebut pemikiran tidak kreatif ini dengan istilah captive mind, yang ditandai oleh empat karakter utama: 1) didominasi oleh pemikiran Barat, tidak kritis dan imitative, 2) secara metodologis tidak independen, 3) tidak mampu memisahkan antara problem-problem yang bersifat partikular dan universal, dan 4) captive mind secara otomatis teralinesai dari tradisinya sendiri.
60
Sebagai solusi yang ditawarkan, Alatas menganjurkan agar intelektual di Dunia Ketiga kritis dan selektif dalam melakukan asimilasi gagasan-gagasan yang datang dari Barat dengan memperhatikan kebutuhan konteks Dunia Ketiga. Intelektual wajib mengembangkan metodologi yang didasarkan pada interest Dunia Ketiga, tidak asal menjiplak atau mengekor (Alatas, 2000: 697). Pemaparan di atas dapat menunjukkan keselarasan posisi Hanafi sebagai intelektual Muslim Dunia Ketiga dalam menafsirkan Islam demi menjawab tantangan modernitas. Penulis melihat bahwa Hanafi seperti yang dianjurkan Said merupakan seorang intelektual yang sangat aktif dan vokal dalam menyampaikan gagasan-gagasannya meskipun harus berhadapan dengan penguasa sekalipun. Gagasan Hanafi yang kurang disukai pemerintah dan kelompok Islam radikal akhirnya memaksanya menjadi ―intelektual buangan‖ dalam bentuk halus yang mana ia ditugaskan oleh pihak Universitas sebagai guest lecturer di berbagai universitas dunia, seperti Amerika, Timur Tengah dan Asia guna menghindari ancaman pembunuhan dari kelompok Islam radikal. Selanjutnya, cara Hanafi menafsirkan kembali doktrin Islam dengan pendekatan filsafat Barat mencerminkan posisinya sebagai creative intellectual, seperti yang digambarkan oleh Alatas. Hanafi dalam beberapa karya yang akan penulis jabarkan pada bab-bab berikutnya, telah menawarkan metode baru dalam melihat dan menjabarkan Islam dalam konteks modern. Kemudian dari penjelasan di atas, penulis sampai pada tesis mengenai peranan dan fungsi intelektual Dunia Ketiga dalam konteks sosial-politik, dan perumusan agenda ilmiah: 1) counter hegemonic terhadap model kekuasaan
61
absolut hanya dapat dilegitimasi oleh kalangan intelektual, 2) intelektual Dunia Ketiga sedang dihadapkan pada problem perumusan metodologi penelitian, dimana pilihannya hanya ada tiga yaitu mengikuti Barat, menolak Barat atau melakukan
creative
assimilation,
dan
3)
metodologi
yang
dihasilkan
kemungkinan besar masih mengandung ―persoalan‖ dan belum tentu dapat diterima untuk konteks negara lain. Tiga tesis di atas penulis susun sebagai dasar argumentasi dalam mengkritisi setiap pemikiran yang dihasilkan oleh intelektual Dunia Ketiga termasuk pemikiran Hasan Hanafi. Pemikiran yang dihasilkan Hasan Hanafi sebagai intelektual Muslim Dunia Ketiga tentunya berkontribusi penting bagi perkembangan intelektual di Dunia Ketiga lainnya, termasuk Indonesia. Meskipun demikian, karena terdapat konteks sosial yang berbeda tentunya hal ini menjadi tolak ukur apakah pemikiran tersebut dapat diaplikasikan atau paling tidak dapat dimodifikasi sesuai dengan setting sosial dan politik yang ada.
62
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan postkolonial dalam hal melihat peranan dan fungsi intelektual Dunia Ketiga. Meskipun fokus utama pendekatan post-kolonial adalah literary criticism, tetapi kemudian pendekatan ini dapat diterapkan dalam disiplin keilmuan lain termasuk Islamic studies. Khusus dalam bidang Islamic studies, pendekatan post-kolonial merupakan pendekatan yang relatif baru.7 Meskipun demikian, penulis cukup optimis bahwa pendekatan demikian sangat mungkin dilakukan selama; …“it refers to writers emerging from varied cultures and circumstances, who have experienced analogous structures of domination imposed in the past by colonizing powers and shaped in the present by those same or other external powers, or by indigenous (neo-colonist) powers” (Erickson, 1998: ix-x). Dalam definisi yang sangat sederhana, penulis sependapat dengan Erickson, bahwa istilah postkolonial dapat digunakan selama masih ada “…controlling norms of dominant discourses, whether of European or nonEuropean origin” (Erickson, 1998: 4). Negara-negara Dunia Ketiga seperti Timur Tengah secara spesifik, dan Asia secara umum dapat dikatakan masih berada dalam postcolonial conditions karena sebagian besar masih berada dalam kontrol
7
Informasi diperoleh dari hasil diskusi intensif penulis dengan Carool Kersten, dosen bidang Islamic Studies di King‘s College London, University of London, juga penulis buku Cosmopolitans and Heretics: New Muslim Intellectuals and the Study of Islam. Resensi buku ini ditulis oleh Azyumardi Azra di harian Republika, 24 November 2011. Dialog tersebut dilaksanakan pada bulan November 2011 di King‘s College London, University of London. Penulis bertindak selaku peserta beasiswa Sandwich-Like 2011 atas pembiayaan penuh dari DIKTI yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa program Doktor melaksanakan penulisan dan pembimbingan disertasi di bawah bimbingan dosen di Perguruan Tinggi Luar Negeri.
63
kekuasaan elit penguasa, baik dalam bentuk pemerintahan maupun otoritas agama. Penting untuk disebutkan di sini, bahwa biasanya respon Barat terhadap postcolonial projects bertumpu pada karya-karya yang menggunakan bahasa utama kolonial seperti Inggris atau Perancis. Secara bertolak belakang, membaca karya-karya post-kolonial dunia Arab selain bertumpu pada bahasa kolonial tidak kalah pentingnya harus bertumpu pula pada teks Arab sebagai bahasa pribumi, alasan utamanya adalah: “deep-rooted Arab sense of cultural confidence that derives from an often exaggerated pride in its classical legacy [and]… unlike many colonized countries that adopted “the language of the colonizer” in their writing, Arabic culture has a sustained literary history and a pride in its language and cultural integrity that was not eroded by colonialism”(Hafez, 2010: 182). Intelektual kontemporer Arab meskipun pernah merasakan masa penjajahan (kultur, sosial, dan politik) atau mengenyam pendidikan Barat, mereka lebih memilih untuk tetap menulis dan mempublikasikan pemikiran-pemikiran mereka dalam bahasa Arab. Intelektual Muslim di bawah kondisi postkolonial biasanya dihadapkan pada dua posisi ekstrim yaitu: 1) struktur kekuasaan hegemonik Barat dan Islam di satu sisi dan, 2) dihadapkan pada oposisi ―murni‖ bukan Barat bukan pula Islam (Erickson, 1998: 6). Pertanyaan seperti mengapa sebuah teks post-kolonial muncul?, mengapa muncul pada waktu itu?, menjadi sangat penting dalam kajian postkolonial. Di samping itu, sebagai sebuah penelitian yang memperhatikan aspek kesejarahan kehidupan intelektual, maka perhatian terhadap konteks historis, politik, kebudayaan, sosial menjadi sangat penting (Kuntowijoyo, 2003: 192-195), hal ini senada dengan pendapat Feener:
64
“modern developments of such political, economic and social realities must be kept in mind when examining the use of religious and cultural symbolism as analytical tools for rethinking and reconceptualizing thought and practice in modern Muslim societies” (Feener, 2007: 275).
Sebagai studi yang memfokuskan pada kajian kepustakaan, maka penulis mengkaji karya-karya Hasan Hanafi utamanya dalam bentuk buku yang dianggap relevan dengan tema fundamentalisme Islam: 1) ad-Dīn wats-Tsaurah fī Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir, 1952-1981), terbit tahun 1989 terdiri dari 8 jilid: (a) ad-Dīn wats-Tsaqāfah al-Wathaniyyah (Agama dan Kebudayaan Nasional), (b) ad-Dīn watTaharrur ats-Tsaqāfī (Agama dan Pembebasan Kultural), (c) ad-Diin watTanmiyah al-Qaumiyyah (Agama dan Pembangunan Bangsa), (d) alHarakāt
ad-Dī
iniyyah
al-Mu‟āshirah
(Gerakan
Keagamaan
Kontemporer), (e) al-Ushūliyyah al-Islāmiyyah (Fundamentalisme Islam), (f) al-Yamīn wal Yasār fil-Fikriddīnī (Kanan dan Kiri dalam Pemikiran Agama), dan (g) al-Yasār al-Islāmī wal Wihdah al-Wathaniyyah (KiriIslam dan Persatuan Nasional). 2) at-Turāts wat-Tajdīd (Tradisi dan Pembaruan), terbit tahun 1980, 3) Minal-`Aqīdah ilā ats-Tsaurah (Dari Akidah ke Revolusi), terbit 1988, 4) Muqaddimah fī `Ilmil-Istighrāb (Pengantar Oksidentalisme), terbit 1991, 5) Hiwārul-Masyriq wal-Maghrib (Percakapan Timur dan Barat), terbit 1991, 6) Dirāsāt Islāmiyyah (Studi Islam, Islamic Studies), terbit 1981, 7) Hishāruz-Zamān (Belenggu Masa), terbit 2004, 8) Islam in the Modern World, terbit 1995, edisi baru 2000,
65
Sumber-sumber lain dalam bentuk artikel, rekaman atau video terkait menjadi data penunjang penelitian. Sebagai tambahan penting, beberapa tulisan terbaru Hanafi dalam bentuk artikel dimuat dalam Harian Online Mesir al-Masry al-Youm mengenai komentar-komentarnya tentang The Arab Spring 2011-2012 dijelaskan
secukupnya
untuk
melihat
konsistensi
pemikirannya
tentang
fundamentalisme Islam.
1.6.2 Metode Analisis Pendekatan post-kolonial menawarkan critical reading sebagai perangkat analisis. Critical reading tidak dimaksudkan untuk explain what a text means, but to elaborate it into a new text (Childs, 2006: 5). Dalam wacana postkolonial, teks memiliki relasi kuat dengan kuasa. Oleh karena itu, mengkritisi dan menganalisis teks dalam kajian post-kolonial kemudian; “[it] must include paying attention to that which the text has disallowed readers to think or conclude, to reveal the pattern of thought drawn by the text, and to lay bare what has been mapped out in advance” (2006: 8).
Dalam
konteks
pembacaan
kritis
terhadap
karya-karya
Hanafi
dimaksudkan untuk menemukan relasi oposisional kekuasaan antara kritik Hanafi terhadap tradisi Islam dan epistemologi Barat, serta proyeksi masa depan Islam yang ditawarkannya. Tiga proyek ini termanifestasi dalam proyek Hanafi sebagai berikut: 1) ―respon kita terhadap tradisi, turāts ‖ 2) ―respon kita terhadap tradisi Barat,‖ dan 3) ―respon kita terhadap masa depan.‖ Penulis menempatkan proyek pertama sebagai kritik terhadap dominasi kekuasaan dalam dogmatisme Islam, termasuk dalam hal ini pembahasan mengenai fundamentalisme Islam. Sedangkan
66
proyek kedua, merupakan kritik Hanafi terhadap kebudayaan Barat yang dimanifestasikan dalam bentuk disiplin ilmu Oksidentalisme. Proyek terakhir memperlihatkan
ambisi
Hanafi
dalam
mempromosikan
metode
Islam
komprehensif yang ia bangun sebagai tandingan terhadap metodologi studi Islam ala Barat selama ini. Analisis ini menjadi sangat krusial karena penulis harus mampu memunculkan struktur relasi kuasa dalam karya-karya Hanafi yang diteliti. Analisis dalam penelitian ini dimaksudkan bukan sebagai ―self representation‖ sebagaimana yang lazim dalam postcolonial studies melainkan lebih dimaksudkan sebagai ―cultural criticism,‖ sebuah kajian yang lebih menekankan pada kemungkinan-kemungkinan
penyelesaian
problem
kebudayaan
dengan
menekankan pada kritik kebudayaan itu sendiri. Agama dalam bentuk fundamentalisme diproyeksikan sebagai salah satu bentuk tafsir kebudayaan yang bersifat subjektif dan sangat memungkinkan untuk memunculkan tafsir baru tentangnya.
67
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian dalam bentuk disertasi ini mempunyai tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian, dan Simpulan. Bagian pertama merupakan bagian pendahuluan, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Penelitian disajikan dalam lima bab berikutnya. Pada Bab II dipaparkan pokok bahasan mengenai peta perkembangan dan kecenderungan pemikiran intelektual Arab-Muslim Era Modern atau yang disebut dengan era Nahdhah (Kebangkitan Intelektual dan Kultural Arab Pertama). Bab ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk melihat kecenderungan pemikiran intelektual Arab pasca kekalahan Perang Arab-Israel pada 1967 M dan untuk memperlihatkan adanya kontinuitas pemikiran dari masing-masing generasi. Pada Bab III dibahas kecenderungan pemikiran intelektual Arab pasca kekalahan perang Arab 1967 M. Pemetaan ini dimaksudkan untuk melihat posisi intelektual Arab dalam ranah sosial, politik dan budaya serta respon mereka terhadap berbagai isu yang dihadapi bangsa Arab khususnya krisis intelektual pasca difitisme 1967 M. Apabila pada Bab II dijelaskan, bahwa kebangkitan kesadaran bangsa Arab dipicu oleh adanya invasi dari Barat (faktor eksternal), maka pada Bab III lebih mencerminkan nestapa bangsa Arab akan keterpurukan yang disebabkan oleh kesalahan dan kebodohan mereka sendiri (faktor internal). Oleh karena itu, perkembangan pemikiran pasca difitisme 1967 M menyuarakan suara-suara kritis (self criticism) dan tajam. Bab ini juga menjadi pengantar untuk
68
melihat posisi Hasan Hanafi dalam diskursus intelektual Arab kontemporer. Pada Bab IV dijabarkan mengenai formasi intelektual Hasan Hanafi yang meliputi tahapan-tahapan perkembangan kesadaran intelektual. Bagian berikutnya dijabarkan mengenai pengantar kritis karya dan pemikiran Hanafi secara rinci. Kemudian dibahas pula marginalisasi intelektual Arab Muslim dalam bentuk pelarangan atau penarikan buku yang mereka tulis, pengusiran dari tanah kelahiran bahkan sampai pada kasus pembunuhan. Pada Bab V dijabarkan mengenai kritik Hasan Hanafi terhadap ideologiideologi sekular guna menunjukkan kelemahan dan kelebihan dari ideologiideologi yang pernah diparaktekkan di Dunia Arab-Mesir. Tahapan ini dimaksudkan untuk menampilkan alasan rasional di balik munculnya ideologi fundamentalisme Islam. Bagian berikutnya membahas tentang kritik Hanafi yang bersifat paradigmatis, terdiri dari rekonstruksi istilah dan konsep fundamentalisme Islam, kritik pada level doktrin, dan slogan. Bagian ketiga berbicara mengenai kritik dan solusi Hanafi terhadap aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Kemudian, dibahas pula pandangan Hanafi mengenai fundamentalisme Islam pasca the Arab Spring 2011. Dalam hal ini, penulis ingin melihat konsistensi pemikiran Hanafi tentang fundamentalisme Islam. Bagian terakhir, menganalisis tawaran Hanafi atas problem fundamentalisme Islam konservatif-radikal, yaitu tawaran berupa paradigma Kiri fundamentalisme Islam atau Yasār al-Ushūliyyah. Bab VI atau Bab terakhir merupakan kesimpulan atas keseluruhan pembahasan dalam disertasi yang disusun, diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi satu rumusan yang urgen.
69
Bab ini menekankan pada dua hal utama : 1) hasil analisis kritis Hasan Hanafi terhadap fundamentalisme Islam pada tahapan paradigma dan teori yang digunakan, dan 2) pandangan secara umum urgensi pemikiran Hanafi sebagai intelektual Dunia Ketiga dalam konteks kajian post-kolonial terkait persoalan fundamentalisme Islam.