BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Keberadaan setiap manusia tidak bisa dilepaskan dari adat istiadat serta kebudayaan dari tiap-tiap suku bangsa. Setiap suku bangsa mengenal adat dan kebudayaan sebagai warisan hakiki yang berfungsi sebagai pengayom dalam keteraturan kehidupan sosial. Eksistensi adat istiadat serta kebudayaan dalam tiap-tiap suku bangsa senantiasa dipegang teguh secara turun-temurun. Masyarakat Indonesia mengenal adat istiadat serta kebudayaan sebagai falsafah hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Predikat orang timur yang menjadi identitas sosial masyarakat indonesia tidak terlepas dari peran sakral adat dan kebudayaan dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Adat memiliki arti yang luas, bervariasi, dan menyangkut peristiwa sehari-hari. Dalam konteks struktur sosial masyarakat Indonesia, adat bukan hanya digolongkan sebagai pengayom dalam keteraturan sosial masyarakat. Lebih jauh, adat juga dikenal sebagai cara pandang masyarakat dalam memaknai proses kehidupan dalam segala aspek, baik itu dari kehidupan sosial, hukum, politik, ekonomi, serta nilai-nilai sosiokultural masyarakat. Cornelis Van Vollenhoven dalam (Sandra Moniaga, dkk., 2010 : 46), merumuskan bahwa adat sebagai : “Manifestasi dari pandangan hidup khas Indonesia. Cara pandang terhadap adat sebagai tradisi dan esensi lokal yang ideal. Masyarakat adat
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb).” Sementara itu, Hasil dari kegiatan Kongres Masyarakat Adat Nusantara merumuskan bahwa : masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya (Rudito, 1999). Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyek-obyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis); didalam tanah bahan-bahan galian), dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya. Wewenang ini sejak zaman dahulu kala secara turun-temurun dan dilakukan berdasarkan otoritas dari masyarakat adat itu sendiri. Sebelum Negara ini terbentuk masyarakat adat telah lebih dahulu ada dengan otoritasnya dan melakukan segala aktifitas berdasarkan otoritas yang dimilikinya. I. 1. 1. Adat Dalam Masyarakat Suku Nias Pulau Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah Barat Daya Provinsi Sumatera Utara yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku Bangsa Nias. Keberadaan Suku Bangsa Nias memiliki potensi budaya serta adat istiadat yang sangat
Universitas Sumatera Utara
beragam. Namun potensi ragam budaya yang dimiliki Suku Bangsa Nias terangkum pada satu sumbu, yaitu konsep Fondrakho atau Hukum Adat Nias. Secara etimologis, Sokhiaro W. Mendrofa (1981 : 13) menjelaskan: “Istilah fondrakhö berasal dari kata Rako. Rako berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggarnya. Fo berfungsi sebagai prefiks yang berarti pe atau ke. Setelah mengalami proses afiksasi, kedua unsur di atas di kombinasikan menjadi fondrakhö. Jadi, fondrakho berarti penetapan atau ketetapan-ketetapan yang berdasarkan sumpah serta mempunyai sanksi kutuk bagi orang yang melanggarnya”. Fondrakho merupakan ketetapan hukum Suku Bangsa Nias yang ditujukan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat Suku Nias. Lahirnya fondrakho tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat suku Nias yang meyakini bahwa tatanan kehidupan sosial harus diayomi oleh hukum yang dapat mengarahkan masyarakat dalam keteraturan kehidupan. Keberadaan Fondrakho sebagai ketetapan hukum dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Nias telah ada dari zaman nenek moyang Suku Bangsa Nias. Ketetapan hukum ini berisikan perintah, larangan, serta deskripsi penciptaan lahirnya masyarakat Suku nias di daerah pulau Nias. Oleh karena fondrakho merupakan sebuah ketetapan hukum, maka tentu saja fondrakho memiliki konsekuensi atas segala bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Faondrago Zebua mendefenisikan fondrakhö sebagai : Musyawarah dan upacara penetapan , pengasahan adat dan hokum (böwö dan fukhö) yang akan diberlakukan dalam suatu lingkungan masyarakat, dipimpin oleh pucuk pimpinan badan kekuasaan resmi. Upacara ritual pengesahannya dilaksanakan oleh ere (imam tradisional) di hadapan sidang musyawarah paripurna, dengan sumpah serapah bagi yang mengingkarinya dan berkah bagi yang setia hingga anak cucu mereka. (Faondrago Zebua, hlm 44)
Universitas Sumatera Utara
Johannes M. Hammerle merumuskannya bahwa : Fondrakhö adalah penyatuan orang untuk merumuskan kebulatan ketetapan atau kebulatan keutusan di dalam rapat, di sebut orahua yang dilaksanakan di tempat rapat yang disebut Si Ofa Handrauli. Di situ dirumuskan jenis hukum tentang pemeliharaan dan perlindungan kehidupan. (Johannes M. Hammerle, Ritus... , Hlm. 26) Fondrakhö ditempuh melalui musyawarah masyarakat suku Nias dan baru disahkan setelah tercapai kemufakatan bersama. Keterlibatan rakyat dalam fondrakho menunjukkan kesediaan untuk melaksanakan dan menaati ketetapan hukum tersebut. Konsekuensi bagi seseorang yang melanggar fondrakho, ia akan mendapat hukuman melalui ketetapan tersebut. Unsur kebersamaan, musyawarah, dan konsensus cukup menonjol dalam fondrakho. Hal ini dijelaskan oleh Faondrago Zebua (1996 : 45-59) : Fondrakhö merupakan forum adat tertinggi dalam masyarakat nias. Berbagai peraturan dan hukum dimusyawarahkan dan dimufakati bersama dalam fondrakho. Sejumlah koreksi dan refisi terhadap hukum, peraturan, dan adat istiadat yang berlaku sebelumnya turut di tinjau dalam forum agung ini. Apa yang disepakati dalam fondrakhö, kemudian disebarluaskan untuk diberlakukan dalam masyarakat. Unsur refisi itu menunjukkan sifat fleksibel fondrakhö. Fleksibilitas fondrakhö tampak manakala ada peraturan dan hukum yang dianggap tidak lagi menjawab kebutuhan masyarakat pendukungnya. I. 1. 2. Pemerintahan suku Nias (Ori) Ori menyebar di berbagai tempat wilayah di nias. Pertumbuhan penduduk nias yang amat cepat mendorong terjadinya penyebaran pemukiman dan pendidirian kampung. Penaikan status sosial para pemimpin kampung mendorong juga munculnya
Universitas Sumatera Utara
keinginan untuk membentuk ori yang baru dan memisahkan diri dari ori sebelumnya. Seseorang dapat memperoleh penaikan status social yang tinggi dengan mendirikan banua dan ori yang baru. J. Danandjaja dan koentjaraningrat (1990 : 48) mencatat bahwa pada masa pemerintahan belanda (1669), masyarakat nias terbagi dalam beberapa kesatuan setempat yang otonom, yang disebut Öri. Öri (negeri) adalah kumpulan, kesatuan atau kelompok beberapa kampung. Dalam pengertian ini, ori dapat di pandang sebagai wilayah territorial yang sama dalam satu klan. Setiap ori dikepalai oleh seorang tuhenori (kepala negeri). Tuhenori dipilih di antara salawa (utara, tengah, dan barat) atau si’ulu (selatan). Salawa atau Si’ulu ini kemudian menjadi para penasehat Tuhenori.
Ori adalah satuan wilayah terkecil, yang terdiri dari beberapa “Banua” (desa) dan dikepalai oleh seorang “Tuhenöri” (Kepala Negeri). Ori dapat tetap hidup karena kemampuan satu ori untuk tetap bertahan dan bersatu, dan juga dapat berkurang karena satu “Banua” (desa) pindah ori atau satu “Banua” (desa) hancur disebabkan perang, serta ori juga dapat bertambah karena pemecahan ori atau tidak bersatunya ori. Menurut Pendapat Aro Daeli (2002) Ada beberapa alasan mengapa pada masa pemberlakuan ori di Kabupaten Nias, pemerintahan pada masa itu dapat lancar dan efektif, karena : 1. Masyarakat mengakui kepemimpinan Tuhenori. 2. Masyarakat patuh kepada peraturan dan aturan adat-istiadat 3. Masyarakat percaya kepada Tuhenöri mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi secara adil dan jujur. 4. Tuhenori mempunyai kharisma dan kekuatan untuk memimpin masyarakat. Jumlah Öri di Kabupaten Nias lebih 70 Öri dan nama-nama Öri dirinci menurut kecamatan. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat dalam table berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
No Kecamatan
Nama-nama öri
Pusat öri (Terakhir)
Jumlah desa/kel
[1] [2]
[3]
[4]
[5]
Pasar Pulau Tello Baruyu Lasara Siöfabanua Lorang Maufa Bawösitora Koto Bawölawinda
12 11 4 4 6 10 14
1
Pulau Pulau Batu
1. Melayu 2. Sebua’asi 3. Lorang 4. Simuk 5. Sigata 6. Hamasa 7. Sifika
2
Hibala
Gabung di Kecamatan Pulau Pulau Batu
3
Telukdalam
A. Zaman Belanda: 1. Maenamölö I 2. Maenamölö II 3. Onolalu 4. To’eneasi 5. Mazinö
11 17 4 6 8
B. Zaman Jepang : 1. Fau I 2. Fau II 3. Sarumaha 4. Maenamölö I 5. Maenamölö II 6. Onolalu 7. To’eneasi 8. Mazinö 4
Amandraya
Eho
2 4 4 9 3 4 6 8 Lolomoyo
14
Universitas Sumatera Utara
Lahusa
1. Daro-daro 2. Masio 3. Hilisimaetanö / Balaekha 4. Somambawa 5. Bawönauru 6. Ulu Susua 7. Aramö
Bawö’otalua Lahusa Golambanua I Silimabanua Golambanua II Hilihoya (Hiliana’a Hoya) Tuhegewo (Hiliamauzula)
2 4 2 2 2 3 2
Gomo
1. Gomo 2. Idanötae 3. Ulu Mola 4. Ulu Sususa I 5. Ulu Susua II
Orahili Gomo Lawindra Sifaoroasi Mola Sifalagö Susua Fondrakö Raya
6 8 7 9 3
7
Idanö Gawo
1. Idanö Gawo 2. Iraono Hura 3. Ulu Idanö Gawo 4. Nalawö 5. Ulu Hou 6. Idano Mola 7. Luaha Hou 8. Ulu Suani 9. Bawölato
Tetehösi
9 4 8
8
Bawölato
Gabung di Kecamatan Idanö Gawo
Lölöwa’u
1. Huruna 2. Ulunoyo 3. Siwalawa 4. No’o'u 5. Idanödöu
Hilifalawu/Soliga Tuhemberua (sbl.Tuhewaebu) Hilimbaruzö Hilinamazihönö Helefanikha
17 10 12 6 5
5
6
9
10 Lölömatua
Gabung di Kecamatan Lölöwa’u
Universitas Sumatera Utara
1. Lahömi Fulölö (Gunung Baru)
11 Sirombu
22 14
2. Hinako
Hinako
12 Mandrehe
1. Talunoyo 2. Ulu Moro’ö 3. Moro’ö
Lahagu Lawelu/Simaeasi Iraonogambö
11 24 30
13 Gidö
1. Gidö 2. Sogae’adu 3. Idanoi 4. Somölö-mölö 5. Ma’u
Hiliweto Gidö Sogae’adu Tetehosi I Somölö-mölö Sisarahili Ma’u
10 13 32 10 16
14 Lölöfitu Moi
Gabung di Kecamatan Gidö Mudik Iraono Geba Lololakha Tumöri
7 23 16 14
16 Hiliduho
1. Tanöse’o 2. Botomuzöi 3. Ono Hada Lalai
Hiliduho Hilihambawa Lölöwua
16 14 5
17 Alasa
1. Alasa 2. Oyo 3. Tumula 4. Namöhalu 5. Esiwa
Ombölata Siwawö Ononamölö Tumula Namöhalu Esiwa
15 12 5 5 7
Ombölata
10
1. Gunung Sitoli 2. Ulu Gunung Sitoli 15 Gunung Sitoli 3. Tabaloho Dahana 4. Laraga Ononamölö Tumöri
18
Namöhalu Esiwa
19 Lahewa
Gabung di Kecamatan Alasa 1. Lahewa
Universitas Sumatera Utara
2. Lafau 3. Muzöi 4. Afulu 20 Afulu
Gabung di Kecamatan Lahewa
21 Tuhemberua
1. Sawö 2. Tanaya’ö 3. Sowu 4. Hilimaziaya 5. Luzamanu
22 Lotu
Gabung di Kecamatan Tuhemberua
Afia Laowöwaga Afulu
11 6 7
Sawö Tanaya’ö (Silimabanua) Awa’ai (Hilimbosi) Lölömboli Maziaya (Tetehösi Maziaya) Luzamanu (Hiligeo Afia)
9 8 12 6 11
Tabel : Nama-nama Ori di Kabupaten Nias setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, menurut kecamatan keadaan 2002 (Situasi Ori di Nias sampai tahun 1965 – dihapus) Sumber : Restu Jaya Duha, Tahap-tahap Pembentukan Propinsi Tanö Niha, (http://niasonline.net/2007/03/12/tahap-tahap-pembentukan-propinsi-tano-niha/) di akses tanggal 8 Juni 2010. Pukul 19. 30 WIB.
I. 1. 3. PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama
Universitas Sumatera Utara
ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. (PTO PNMP Mandiri 3 : 2008) PNPM Mandiri adalah program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di pusat dan daerah yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dengan pola PNPM Mandiri
adalah
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan,
dan
pemeliharaan
/
keberlanjutan kegiatan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Peraturan Presiden No.15 Tahun 2010, PNPM Mandiri tetap menjadi program koordinatif yang akan menjadi acuan bagi program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya. Untuk mencapai kesuksesan PNPM harus ada partisipasi luas seluruh pihak. Pemerintah Daerah jadi motor penting dalam kegiatan PNPM serta berperan sebagai fasilitator, dengan menyumbangkan ide atau kreatifitas, dan masyarakat sebagai pelaku dari apa yang diprogramkan oleh Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tataran konsep kelembagaan PNPM Mandiri sejalan dengan semangat pemberdayaan masyarakat. Kelembagaan PNPM Mandiri berupaya menjadikan masyarakat miskin sebagai subyek pembangunan yang memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berkontribusi tenaga, waktu dan sumberdaya lain dalam sebuah proses pembangunan. Tujuan program meliputi pemberdayakan kekuatan, potensi, krativitas dan partisipasi masyarakat dalam pengentasan kemiskinan melalui proses belajar bersama dengan menggali inisiatif, partisipasi, kesetaraan, penghargaan terhadap kearifan lokal, penghargaan terhadap kemajemukan, pembelajaran sosial, dan kemandirian. Pola pelibatan kelompok-kelompok masyarakat yang ada sebagai sarana akses masyarakat miskin, dipandang sangat menghargai keberadaan modal sosial masyarakat setempat. Pemupukan modal sosial yang positif akan memberi dampak yang luas pada upaya penanggulangan kemiskinan. (Tri Risandewi, dkk. 2004 :76) I. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah peran modal sosial dalam penerapan pengelolaan PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Saitagaramba Kecamatan Gido Kabupaten Nias. I. 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui peran modal sosial dalam penerapan pengelolaan PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Saitagaramba Kecamatan Gido Kabupaten Nias.
Universitas Sumatera Utara
2.
Untuk mendeskripsikan peran modal sosial dalam penerapan pengelolaan PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Saitagaramba Kecamatan Gido Kabupaten Nias.
I. 4. Manfaat Penelitian : Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu : Manfaat teoritis : Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang peran modal sosial adat penerapan pengelolaan PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Saitagaramba Kecamatan Gido Kabupaten Nias. Manfaat praktis : 1. Meningkatkan kemampuan akademis penulis melalui penelitian ini. 2. Menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa serta dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu sosial dan masyarakat. I. 5. Definisi Konsep 1. Modal Sosial adalah Kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Kemampuan bekerjasama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian–bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bisa dilembagakan
Universitas Sumatera Utara
(menjadi kebiasaan) dalam kelompok
yang paling kecil ataupun dalam
kelompok masyarakat yang besar seperti negara. 2. PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. 3. Fondrakhö, Secara etimologis, istilah fondrakhö berasal dari kata Rako. Rako berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi pelanggarnya. Fo berfungsi sebagai prefiks yang berarti pe atau ke. Setelah mengalami proses afiksasi, kedua unsur di atas di kombinasikan menjadi fondrakhö. Jadi, fondrakho berarti penetapan atau ketetapan-ketetapan yang berdasarkan sumpah serta mempunyai sanksi kutuk bagi orang yang melanggarnya. Fondrakhö merupakan kumpulan hukum karena memuat pelbagai aspek hukum, yang diberlakukan dalam masyarakat Nias. Sebagai sumber hukum, fondrakho menjadi dasar pemikiran dan patokan untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi dalam masyarakat. 4. Rako merupakan ungkapan yang sangat tinggi makna dan dalam pengertiannya dalam bahasa Nias. Muatan (isi) kata ini merupakan bentuk imperativ yang harus ditaati. Konsekwensinya tidak ringan, barang siapa yang melanggar fondrakhö akan mendapat kutuk akibat sumpah, sebaliknya barang siapa yang mentaati dan mengamalkannya akan mendapat kelimpahan berkah.
Universitas Sumatera Utara
5. Öri adalah satuan wilayah terkecil dibawah afdeeling, khusus berlaku di Nias sampai tahun 1965, yang terdiri dari beberapa “Banua” (desa) dan dikepalai oleh seorang “Tuhenöri” (Kepala Negeri). Öri juga merupakan kumpulan, kesatuan atau kelompok beberapa kampung. Dalam pengertian ini, ori dapat di pandang sebagai wilayah teritorial yang sama dalam satu klan. 6. Tuhenori merupakan pemimpin dari tiap-tiap Öri. Tuhenori dipilih di antara salawa (tetua adat) atau si’ulu (selatan). Salawa atau si’ulu ini kemudian menjadi para penasehat tuhenori. 7. Pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan 8. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.
Universitas Sumatera Utara