1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih memerlukan sebidang tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial-budaya dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak umpamanya untuk perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, dan jalan-jalan untuk perhubungan.1 Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam dan bertempat tinggal, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman makhluk halus (ghaib), tanah dimana meresap daya-daya
1
K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm: 7
2
hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari tanah tersebut.2 Berkaitan dengan Hak Menguasai Negara, Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA, menyatakan bahwa: 1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. 2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan
wewenang
untuk
mempergunakan
tanah
yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi. Hak-hak atas tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 4 diatas ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah: 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai; 2
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 224-225
3
5. Hak Sewa; 6. Hak Membuka Tanah; 7. Hak Memungut Hasil Hutan; 8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut dalam Pasal 53 adalah sebagai berikut: 1. Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak menumpang, dan hak sewa atas tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat-sifat yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. 2. Ketentuan dalam Pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut Pasal 16 jo. 53 Undang-Undang Pokok Agraria, hak atas tanah itu macamnya adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Gadai, Hak Usaha BagiHasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Empat hak yang tersebut terakhir yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi-Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian, disebut sebagai hak yang bersifat sementara,
4
akan dihapuskan karena dalam praktek banyak menimbulkan pemerasan dan mengandung unsur-unsur feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Dahulu sebelum ada Negara Indonesia telah ada aturan hukum mengenai pemerintahan negara berupa peraturan-peraturan Kerajaan atau Karaton sebagai suatu sistem asli Indonesia yang merupakan warisan budaya baik yang dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis. Adapun di pulau Jawa khususnya terdapat pemerintahan karaton yang silih berganti dari satu dinasti ke dinasti yang lainnya serta melahirkan kebijakan tata pemerintahan yang bertahan hingga sekarang adalah dinasti Mataram. Karaton Mataram yang memerintah dengan berdaulat sejak tahun (1586) didirikan oleh Panembahan Senopati kemudian terpecah oleh adanya : 1. Perjanjian Giyanti tahun (1755) a. Karaton Surakarta Hadiningrat. b. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan pembagian wilayah sebagai berikut: “Wilayah Kasultanan memanjang di pulau Jawa bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia; di sebelah timur (distrik Ngantang atau Antang) dengan Karesidenan Pasuruan (VOC); disebelah barat (suatu enclave) dengan Karesidenan Tegal dan Kabupaten-kabupaten Purwakerta dan Purbalingga (Kasunanan); di sebelah utara dengan Karesidenan-karesidenan Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Pasuruan (VOC)”.3 2. Perjanjian Salatiga tahun (1757) a. Karaton Surakarta. b. Kadipaten Pura Mangkunegaran. Berdasarkan perjanjian di Salatiga tahun Masehi 1757, diadakan perjanjian antara Susuhunan Paku Buwana III dengan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), merupakan perpecahan keluarga Mataram kedua kali, terpecahnya Karaton Surakarta menjadi kadipaten Pura 3 Pranoedjoe Poespaningrat, 2008, Kisah Para Leluhur Dan Yang Diluhurkan, PT. BP. Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, hlm: 106.
5
Mangkunegara, di mana ketika itu Mas Said menerima daerah dari Susuhunan Paku Buwana III menjadi Adipati Arya Mangkunegoro I, dengan sebutan: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro Senopati Ngayuda Lelana Djaya Misesa Satriyatama Mataram Prawiradiningrat, tahun Jawa 1682 (sinengkala: Mulat Sarira Hangrasa Wani) atau tahun Masehi 1757.4 Sebelum Kerajaan Mataram Islam yaitu yang sekarang adalah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta berdiri, di desa Ngaru-aru yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, berdirilah Kerajaan Pengging. Berdasarkan keyakinan masyarakat, kerajaan Pengging ini dibangun oleh Prabu Aji Pamasa atau Kusumowicitro dari Kediri pada tahun 901 Caka sekitar tahun 979 Masehi. Namun keterangan ini belum dapat dijadikan landasan sejarah kerajaan Pengging, mengingat kerajaan Kediri itu sendiri baru berdiri pada abad 11. Berdasarkan publikasi Van Bemmelen (1956) dalam Verhandelingen van het Koninkrijk Nederland Geologie Mijnbouw Genootschap, v. XVI, p. 20-36. Ada satu prasasti berangka tahun 1041 M tentang maklumat Erlangga di tempat pertapaannya di Jawa Timur dan prasasti ini memuat tentang kerusakan kerajaan (Mataram Hindu di Jawa Tengah) pada tahun 928 Syaka (+ 78 = 1006 M ). Dari angka tahun prasasti Kalkuta tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Kediri belum berdiri, karena kerajaan Kediri muncul setelah kerajaan Kahuripan pecah menjadi dua yaitu Jenggala dan Kediri atas bantuan Empu Bharadah.5 Sejak runtuhnya Kerajaan Pengging, maka kerajaan yang situs Kerajaannya berada di desa Ngaru-aru yang termasuk wilayah Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah itu jatuh ke tangan Kerajaan Mataram Islam yang sekarang merupakan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757, maka Pengging merupakan bagian dari wilayah Kasunanan Surakarta. 4
Raden Ay. Sri Winarti P., 2004, Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, Penerbit Cendrawasih, Sukoharjo, hlm: 30 5
Sejarah Kerajaan Pengging, http//www.google.com, diakses tanggal, 12 Januari 1012
6
Status tanah Karaton Surakarta pada waktu sebelum kemerdekaan, dibagi dalam kelompok: 1. Domein Rijk Karaton Surakarta (DRS), yaitu tanah karaton yang statusnya di bawah kekuasaan Karaton Surakarta yang tersebar dalam wilayah kekuasaan Karaton Surakarta; 2. Domein Karaton Surakarta (DKS), yaitu tanah yang menjadi milik Karaton Surakarta, misalnya alun-alun utara, alun-alun selatan dan Baluarti; 3. Sunan Grond (SG), yaitu tanah yang menjadi milik Kasunana; 4. Tanah leluhur, yaitu tanah warisan dari Sunuhun Pakubuwono sebelumnya; 5. Tanah Recht Van Eigendom (RVE), yaitu tanah milik Karaton Surakarta yang disewakan kepada Belanda dan penguasa perkebunan. Selain itu, masih ada tanah Karaton Surakarta Hadiningrat yang diberikan kepada pihak lain lagi, yang dibagi dalam lima kelompok juga sebagai berikut : 1. Tanah Paringan Dalem, yaitu tanah yang diberikan kepada Pangeran atau putra Raja; 2. Tanah Palilah Anggaduh Turun Temurun, yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem (kawula Karaton) yang bersifat turun-temurun, tetapi biasanya yang masih ada garis keturunan; 3. Palilah Anggaduh, yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem (kawula Karaton) yang tidak bersifat turun-temurun; 4. Tanah Magersari, yaitu tanah yang diberikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal dan abdi dalem karaton atau abdi dalem para pangeran (sentana dalem) dan bertempat tinggal di pekarangan yang sama; 5. Tanah Tenggan, yaitu tanah yang diberikan kepada seorang yang dipercaya untuk menjaga suatu wilayah, misalnya juru kunci.6
6 GRA. Koes Isbandiyah, 2008, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwarti, Magister Kenotariatan Universitas Diponegro Semarang, hlm: 68.
7
Di lingkungan Karaton Kasunanan Surakarta, masyarakat yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal menetap, diizinkan untuk mendirikan dan mendiami rumah tersebut yang berada di atas tanah karaton dengan hak menumpang. Hak menumpang tersebut berlangsung sejak zaman dahulu sebelum Undang-undang Pokok Agraria terbentuk dan masih berlangsung hingga sekarang. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diambil rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa Magersari masih ada di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali? 2. Masalah hukum apa saja yang muncul dalam pelaksanaan Magersari di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali? 3. Bagaimana upaya warga masyarakat, pihak karaton, dan Pemerintah untuk mengatasi permasalahan hukum yang terjadi dalam pelaksanaan Magersari di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali?
C.
Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, judul MAGERSARI ATAS TANAH KARATON
KASUNANAN
SURAKARTA
DI
PENGGING
(DESA
BENDAN) KABUPATEN BOYOLALI belum ada yang membahas. Adapun judul yang terkait secara tidak langsung dengan tema yang diangkat yaitu: 1. Dyka Galuh Pragusta, dengan judul Eksistensi Hak Numpang di atas Sultan Grond Setelah Berlakunya UUPA di Kecamatan Kraton Kota
8
Yogyakarta, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011. Adapun masalah yang diteliti adalah: a. Dalam bentuk apa masyarakat Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta menggunakan lembaga menumpang? b. Apakah terdapat perubahan proses pelaksanaan Hak Menumpang setelah
diberlakukannya
UUPA
di
Kecamatan
Kraton
Kota
Yogyakarta? 2. Rica Swadayaningsih, dengan judul Pelaksanaan Perjanjian Magersari di Keraton Kasunanan Surakarta, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1991 Adapun masalah yang diteliti adalah: Bagaimana pelaksanaan magersari sebelum UUPA dan bagaimana pelaksanaan magersari dewasa ini sehubungan dengan berlakunya aturan dalam Pasal 53 ayat (1) UUPA dan setelah adanya Keputusan Presiden No. 23 tahun 1988? Penelitian mengenai Magersari atas Tanah Karaton Kasunanan Surakarta di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali, memiliki perbedaan dengan penelitian yang telah disebutkan di atas, dimana penilitian ini lebih memfokuskan kepada adanya kendala-kendala dalam pelaksanaan Magersari di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali dan bagaimana cara mengatasi adanya kendala-kendala tersebut. D.
Tujuan Penelitian
9
1. Untuk mengetahui tentang Magersari yang masih ada di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali. 2. Untuk
mengetahui
permasalahan
hukum
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan Magersari di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali. 3. Untuk mengetahui cara penyelesaian apabila terjadi permasalahan hukum dalam pelaksanaan Magersari di Pengging (Desa Bendan) Kabupaten Boyolali. E.
Manfaat Penelitian 1. Manfaaf Teoritis a. Untuk perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya dan bidang kenotariatan pada khususnya. b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis dapatkan khususnya dibidang pertanahan. 2. Manfaat Praktis a. Untuk
memberikan
berkepentingan
masukan
tentang
bagi
Magersari
semua atas
pihak
tanah
yang
Karaton
Kasunanan Surakarta. b. Untuk memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Pemerintah, khususnya Notaris dalam hukum pertanahan.