I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saliva memainkan peranan penting bagi kesehatan rongga mulut (Gupta, 2006). Berkurang atau bertambahnya produksi saliva dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Navazesh dan Kumar, 2008; Amerongen, 1991). Peningkatan curah saliva akan mengganggu saat berbicara dan saat perawatan gigi geligi, sedangkan penurunan curah saliva akan menimbulkan beberapa masalah kesehatan, salah satunya adalah kondisi kering pada rongga mulut (Amerongen, 1991). Kekeringan tersebut terjadi akibat dehidrasi mukosa rongga mulut yang disebabkan penurunan curah saliva oleh kelenjar saliva mayor, kelenjar saliva minor, dan berkurangnya lapisan saliva yang menutupi mukosa rongga mulut (Guggenheimer, 2003). Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan dengan lancar (Amerongen, 1991 Berkurangnya fungsi self cleansing saliva akan mengakibatkan radang kronis selaput lendir yang disertai dengan keluhan mulut terasa terbakar. Gejala-gejala tersebut menyebabkan fungsi bakteriostatik saliva berkurang dan mengakibatkan perlindungan alami gigi menurun (’sGravenmade, 1982). Produksi saliva orang dewasa sehat sekitar 1000 ml dalam waktu 24 jam (Guggenheimer, 2003). Adanya perbedaan individual dalam kecepatan produksi saliva akan mempengaruhi hasil volume normal produksi saliva setiap harinya
1
2
(’sGravenmade, 1982). Produksi curah saliva dapat ditingkatkan melalui rangsangan mekanik dan kimia, sedangkan penurunan curah saliva dapat disebabkan oleh radiasi pada daerah leher dan kepala, gangguan pada kelenjar saliva, dan penggunaan obat-obatan (Amerongen, 1991). Produksi curah saliva dikendalikan oleh sistem persarafan, baik sistem saraf otonom parasimpatis maupun simpatis. Penggunaan obat-obatan dapat mempengaruhi sistem saraf pada kelenjar saliva, sehingga dapat menyebabkan gangguan pada pengeluaran curah saliva. Beberapa obat dapat mempengaruhi sistem persarafan pusat dan perifer (Amerongen, 1991). Efek samping tersebut dapat berupa penghambatan pengeluaran curah saliva maupun stimulasi curah saliva yang berlebihan (Guggenheimer, 2003). Keduanya dapat mengganggu tidak hanya untuk kesehatan mulut tetapi kehidupan sosial (Amerongen, 1991). Beberapa obat yang mempengaruhi curah saliva diantaranya obat antidepresan, antipsikotik, hipnotika, antihistamin, simpatomimetik, tetapi antikolinergik merupakan penyebab tersering terjadinya hiposalivasi (Kidd dan Bechal, 1992; Scully, 2003; Gupta, 2006). Obat-obatan tersebut mempengaruhi curah saliva yang secara langsung beraksi pada proses seluler yang diperlukan untuk salivasi dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi aliran darah ke kelenjar (Al-Saif, 1991). Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan contohnya adalah amfetamin dan metamfetamin, obat-obat tersebut biasa digunakan pada pasien hiperaktif dan obesitas (Klasser dan Epstein, 2005; Curtis, 2006). Tetapi akhir-akhir ini obat-obatan tersebut banyak disalahgunakan untuk
3
mendapatkan efek euforia (senang yang sangat berlebihan) yang panjang, meningkatkan kewaspadaan dan aktivitas tubuh (Kalsser dan Epsteini, 2005). Beberapa tahun terakhir Indonesia menjadi laboratorium dan pemasok utama
shabu-shabu
(Lamb,
2013).
Shabu-shabu
adalah
nama
populer
metamfetamin yang merupakan golongan obat adrenergik atau simpatomimetik (Setiawati dan Gan, 2007). Budiningsih dkk. (2006) melaporkan dampak penyalahgunaan metamfetamin pada kesehatan tubuh, seperti jantung berdebardebar, hipertensi, gagal ginjal, pupil membesar dan pecahnya pembuluh darah (Budiningsih dkk., 2006; Hawari, 2006; Kish, 2008). Efek lain yang ditimbulkan dalam rongga mulut adalah terjadinya mulut kering (Scully, 2003). Metamfetamin merupakan salah satu turunan dari amfetamin yang memilki efek stimulasi susunan saraf pusat yang lebih kuat dibandingkan turunan amfetamin lainnya (Budiningsih dkk., 2006). Penelitian McGrant dan Chan (2005) melaporkan bahwa 95% orang yang mengkonsumsi obat-obatan seperti amfetamin, metamfetamin, dan ekstasi, merasakan sensasi kering di mulut. Obatobatan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar saliva (Al-Saif, 1991). B. Perumusan Masalah Permasalahan
dalam
penelitian
ini
adalah
apakah
penggunaan
metamfetamin mempengaruhi curah saliva pada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta?
4
C. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu mengenai penyebab hiposalivasi oleh Tschoppe dkk. (2010) dilakukan dengan membuat review yang diambil dari 94 artikel di Inggris dan Jerman pada bulan Maret hingga Mei tahun 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hiposalivasi dapat disebabkan oleh penyakit sistemik, radioterapi leher kepala dan penggunan obat-obatan. Penggunaan obat-obatan yang digunakan adalah antikolinergik dan simpatomimetik. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian sejenis yang membahas mengenai pengaruh penggunaan metamfetamin terhadap curah saliva, pada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Tschoppe dkk adalah pada penelitian ini akan diteliti pengaruh penggunaan metamfetamin sebagai agen simpatomimetik terhadap curah saliva, pada warga binaan pengguna metamfetamin di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. D. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan metamfetamin terhadap curah saliva pada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. E. Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Ilmu Penyakit Mulut mengenai dampak penggunaan metamfetamin terhadap curah saliva.
5
2. Sebagai acuan atau referensi penelitian selanjutnya untuk meneliti kaitan penggunaan metamfetamin terhadap kondisi rongga mulut. 3. Memberikan informasi untuk masyarakat mengenai dampak penggunaan metamfetamin terhadap rongga mulut.