I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Halitosis, fetor oris, oral malodor atau bad breath adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan nafas tidak sedap dari mulut, tanpa menghiraukan asal material berbau tersebut dari dalam atau luar mulut (Cortelli dkk., 2008). Halitosis mempunyai berbagai etiologi, diantaranya adalah penyakit periodontal, bakteri pada coated tongue, kelainan sistemik, dan makanan (Rösing dan Loesche, 2011). Data epidemiologi menunjukkan penderita halitosis di Jerman sebanyak 72,1% dari 407 pasien yang diperiksa (Seemann dkk., 2006). Penelitian juga dilakukan terhadap 2000 orang di Leuven, Belgia dan menunjukkan sebanyak 84,3% pasien menderita halitosis (Quierynen dkk., 2009). Kurang lebih 90% bau mulut dipercaya berasal dari gas berbau, yaitu volatile sulfur compounds (VSCs), yang dihasilkan oleh bakteri oral di dalam mulut (Washio dkk., 2005). Hasil survei pengukuran kadar VSCs menggunakan sulfide monitor pada masyarakat di kelurahan Tebet Jakarta, ditemukan rata-rata konsentrasi VSCs yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 105 ppb (parts per billion) dibandingkan pada masyarakat Jepang dengan rata-rata hanya sekitar 76 ppb. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan perawatan halitosis di Indonesia cukup tinggi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Penelitian Miyazaki dkk. (1995) mengenai hubungan periodontitis dan coated tongue dengan skor VSCs, menunjukkan bahwa individu dengan periodontitis berat mempunyai skor halitosis yang lebih tinggi dibandingkan nonperiodontitis. Youngnak-Piboonratanakit dan Vachirarojpisan (2010) menyatakan
1
2
bahwa bau mulut yang dirasakan pasien secara signifikan berhubungan dengan coated tongue, perdarahan saat menyikat gigi, dan usia di atas 30 tahun. Bau mulut juga diketahui berhubungan dengan karies gigi dan kebiasaan merokok (Eldaraat dkk., 2008). Bau mulut berasal dari gas VSCs seperti hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimethyl sulfide (CH3)2S (Washio dkk., 2005). Hydrogen sulfide dan methyl mercaptan merupakan komponen utama dari VSCs, yaitu sebanyak 90% (Yilmaz dkk., 2011). Selain menyebabkan bau mulut, H2S juga berperan dalam memicu terjadinya gingivitis, periodontitis, menyebabkan bone loss, apoptosis sel otot polos pada aorta dan fibroblas pada gingiva, serta berhubungan dengan modifikasi dan pelepasan hemoglobin dari eritrosit (Imai dkk., 2009; Yang dkk., 2004; Yaegaki dkk., 2008; Yoshida dkk., 2002). Washio dkk. (2005) menyatakan bahwa dorsum lidah merupakan sumber utama dari produksi H2S. Bagian posterior dari dorsum lidah biasanya dilapisi oleh lapisan debris yang terdiri dari bakteri, epitel terdeskuamasi, sel darah putih, dan protein (Sterer dan Rosenberg, 2011). Lidah merupakan tempat pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme karena bentuk alami papila dorsum lidah membentuk situs ekologi unik yang mendukung akumulasi bakteria oral (Saini dkk., 2011). Bakteri oral yang dapat menyebabkan halitosis diantaranya adalah Treponema
denticola,
Porphyromonas
gingivalis,
Prevotella
intermedia,
Tanarella forsythensis, Porphyromonas endodontalis, spesies Eubacterium, Atopobium parvulum, Eubacterium sulci, Fusobacterium periodonticum¸ dan Solobacterium moorei (Kazor dkk., 2003).
3
Bau mulut dapat dikurangi dengan melakukan reduksi mikroorganisme secara mekanis (Quirynen dkk., 2002). Reduksi mekanis dapat dicapai dengan menghilangkan biofilm lidah, yang akan menurunkan produksi VSCs dan senyawa volatil organik lainnya. Berbagai instrumen, dengan tekanan yang lembut, dapat digunakan pada lidah untuk menghilangkan sebagian besar coated tongue (Cortelli dkk., 2008). Pembersihan lidah secara rutin dapat mengontrol jumlah bakteri
dan
menghilangkan
coated
tongue
yang
berhubungan
dengan
pembentukan bau mulut (Bordas dkk., 2008). Pembersihan lidah dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya menggunakan tongue scraper dan penyikatan lidah menggunakan sikat gigi (Danser dkk., 2003). Tongue scraper yang tersedia di pasaran mengikuti dua bentuk dasar, yaitu bilah (blade) fleksibel dengan pinggiran kecil dan bergerigi yang dapat dilekukkan mengikuti bentuk lidah dan alat berbentuk seperti kipas yang keras dilengkapi dengan pegangan (Ratcliff, 1997). Sikat gigi tanpa pasta gigi juga dapat digunakan untuk menyikat lidah dengan lembut (Rosenberg, 2008). Pembersihan lidah menggunakan tongue scraper, yang ditujukan untuk membersihkan lidah, terbukti lebih efektif dibandingkan penyikatan lidah menggunakan sikat gigi (Sterer dan Rosenberg, 2011). Pedrazzi dkk. (2004) menyatakan bahwa, baik tongue scraper dan sikat gigi dengan bulu halus terbukti efisien membersihkan coated tongue, dan tongue scraper memiliki efikasi lebih tinggi dalam menurunkan VSCs hingga 35% dibandingkan penggunaan sikat gigi.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan yaitu: 1. Apakah terdapat perbedaan kadar gas H2S dalam rongga mulut subyek dengan coated tongue melalui metode pembersihan lidah menggunakan tongue scraper dan sikat gigi? 2. Apakah tongue scraper mampu menurunkan kadar gas H2S lebih banyak daripada sikat gigi? C. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai perbedaan kadar gas H2S dalam rongga mulut subyek dengan coated tongue melalui metode pembersihan lidah menggunakan tongue scraper dan sikat gigi
belum pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian terdahulu mengenai metode pembersihan dorsum lidah menggunakan tongue scraper dan sikat gigi terhadap bau mulut oleh Pedrazzi dkk. (2004) dan Bordas dkk. (2008) memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Pedrazzi dkk. (2004) mengukur kadar gas VSCs, sedangkan Bordas dkk. (2008) mengukur jumlah bakteri. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui perbedaan kadar gas H2S dalam rongga mulut subyek dengan coated tongue melalui metode pembersihan lidah menggunakan tongue scraper dan sikat gigi. 2. Membandingkan kemampuan tongue scraper dan sikat gigi dalam menurunkan kadar gas H2S.
5
E. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Ilmu Penyakit Mulut mengenai manfaat pembersihan lidah menggunakan tongue scraper dan sikat gigi terhadap kadar gas H2S pada subyek dengan coated tongue. 2. Sebagai acuan atau referensi penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas tongue scraper dan sikat gigi untuk membersihkan lidah dalam hubungannya dengan kadar H2S. 3. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai pentingnya pembersihan lidah untuk mengurangi kadar H2S dalam mulut, melihat banyaknya gangguan baik oral maupun sistemik yang dapat disebabkan oleh H2S.