I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan gambut tropika mencakup 27,1 juta ha di Asia Tenggara, yang terdistribusi di dataran rendah Indonesia (56,2%) khususnya di Kalimantan dan Sumatera, Malaysia (6,4%), Papua New Guinea, Thailand, Filipina,Vietnam dan Brunei (37,4%). Hutan rawa gambut tropika merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam keberadaannya di Indonesia karena mendapat tekanan dari berbagai aktivitas manusia. Pembukaan lahan di Kubu Raya dan sekitarnya, Propinsi Kalimantan Barat, dimulai sejak Pemerintah Indonesia melaksanakan program transmigrasi yang berasal dari Pulau Jawa periode 1969-1984. Alih fungsi hutan rawa gambut secara besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit tersebut sejak tahun 1996, telah mengubah ekosistem alami gambut tersebut. Puncaknya pada tahun 2000-an, dengan membuat saluran drainase dalam yang dapat menambah resiko terjadinya kebakaran pada setiap musim kemarau (Cifor, 2004). Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian telah menyebabkan kerusakan lahan. Kegiatan pertanian tersebut mencakup pembukaan lahan (agriculture landclearing), berupa penebangan pohon (deforestation), penebasan semak dan pembakaran sisa-sisa vegetasi. Pembuatan saluran drainase dan pemadatan tanah untuk penyiapan lahan pertanian dan pembuatan guludan (Radjagukguk, 2000; Rieley dan Page, 2008; Page et al., 2009; Wösten et al., 2008; Hooijer et al., 2010). Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) efisien dan pemendam (sink) karbon (C) penting (Rieley dan Page, 2008; Limpens et al., 2008). Akan tetapi alih fungsi lahan dapat dengan cepat mengubahnya menjadi sumber (source) emisi CO2 di atmosfer (Vasander dan Jauhiainen, 2008). Peningkatan tersebut antara 0,87 – 2,57 Gt C sebagai hasil dari terbakarnya hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 (Page
et al., 1999). Emisi tersebut sebanding dengan 3-10 Gt CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer menyebabkan peningkatan suhu sebesar 1-3,5oC di permukaan dunia (IPCC, 2007). Shimada et al. (2001) menduga jumlah total serapan C di gambut Indonesia sebesar 15,93 – 19,29 Gt. Kerusakan tersebut dapat menurunkan C-organik tanah sekitar 20-50% (Lal, 2005; Rhoades et al., 2000). Ekosistem rawa dikendalikan oleh jeluk muka air tanah (water-table depth), sedangkan jeluk muka air tanah mengendalikan lapisan sediment-water interface (Mitsch & Gosselink, 2000). Segala aktivitas pengusikan terhadap unit hidrologi dan tanah di ekosistem tersebut berupa pengeringan dan pengolahan tanah dapat menyebabkan perubahan kondisi fisik lahan. Drainase dalam dan lebar dan pembakaran menyebabkan jeluk muka air tanah gambut turun atau bertambah dalam. Akibatnya kondisi tanah gambut berubah dari anaerobik menjadi aerobik dimana terjadi percepatan oksidasi dan mineralisasi bahan organik (Nieveen et al., 2005; Schothorst, 1977; Hooijer et al., 2010). Akibat dari perubahan tersebut adalah pengeringan yang berlebihan pada musim kemarau dengan gejala kering tak balik (irreversible drying) sehingga tidak mampu menyerap nutrien dan menahan air, pemadatan (compaction) tanah gambut dan penurunan muka tanah (subsidence) (Jauhiainen et al., 2001; Handayani dan van Noordwijk, 2007; Hooijer et al., 2010; Agus et al., 2007; Radjagukguk, 2000; Andreisse, 1988; Farmer et al., 2011; Berglund dan Berglund, 2011). Gambut terbentuk dari bahan organik vegetasi yang terdekomposisi secara anaerob. Laju akumulasi bahan organik lebih cepat daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, proses akumulasi bahan organik menghasilkan pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen yang hamparannya berbentuk kubah (dome) gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya tanah gambut dibedakan menjadi kematangan fibik, hemik, saprik (Notohadiprawiro, 1985; Radjagukguk 2000).
Dalam ekosistem hutan, kembalinya bahan organik dan nutrien dari vegetasi ke tanah dapat terjadi melalui seresah gugur (litterfall) merupakan proses utama perpindahan bahan organik dan akumulasi nutrien dalam produksi primer dari biomasa vegetasi atas permukaan masuk ke dalam tanah. Produksi dan kualitas seresah dan biomasa merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dan nutrien seperti nitrogen (N), posfor (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan karbon organik (C-organik) dari kanopi vegetasi ke dalam tanah (Regina dan Tarazona, 2001). Konversi dari ekosistem alami menjadi agroekosistem mempunyai potensi merubah keseimbangan C global, dinamika dan stabilisasi bahan organik tanah. Perubahan tersebut menyebabkan perubahan fungsi lahan gambut baik fungsi hidrologis, pemendam dan penyerap C dengan besarnya cadangan C-organik tanah. Untuk memperoleh pemahaman tentang dinamika dan potensi penyimpanan dan pemendaman C tanah setelah alih fungsi lahan diperlukan teknik-teknik pengukuran setiap tipe lahan, baik dari karakteristik fisik lahan, nutrien seresah dan biomasa, nutrien, kandungan C dan kajian isotop stabil 13
C tanah gambut serta emisi CO2 tanah ke atmosfer.
B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian 1. Permasalahan Hutan rawa gambut sebagai suatu ekosistem alami merupakan komponen lingkungan lokal, regional bahkan global (Notohadiprawiro 1997; Wösten et al. 2008). Perubahan fungsi ekosistem hutan rawa gambut tidak hanya berpengaruh secara lokal namun global, karena sebagian besar kegiatan perubahan penggunaan lahan tidak didasarkan pada pemahaman ekosistem lahan gaambut secara menyeluruh. Kehilangan C akibat alih fungsi lahan gambut tropika menjadi perhatian dunia karena degradasi hutan rawa gambut tropika saat ini sebagai salah satu menyumbang peru-
bahan iklim dunia. Hergoualc’h dan Verchot (2011) menyatakan untuk menilai dampak kehilangan kandungan C tanah gambut yaitu dengan mengetahui bagaimana perubahan vegetasi penutup merubah masukan C seresah dan keluaran CO2 (respirasi heterotrof). Kerapatan dan perkembangan vegetasi dapat mempengaruhi simpanan karbon pada vegetasi tersebut. Struktur vegetasi dapat mempengaruhi dinamika C tanah sedangkan perubahan kerapatan tegakan dan bentuk kanopi dapat menyebabkan terjadinya perubahan simpanan C tersebut (Carnevale dan Lewis, 2001). Hilangnya kanopi hutan menyebabkan hilangnya input seresah sehingga akan mengurangi sumber C labil. Kanopi yang terdiri dari komposisi beberapa jenis pohon mempengaruhi kualitas seresah dan ketersediaan nutrien tanah. Kajian kuantitatif yang detail dari dinamika C di tanah gambut tropika khususnya berdasarkan lapisan kematangan gambut sangat terbatas. Masih terdapat kekurangan informasi dan data mengenai bagaimana alih fungsi hutan gambut primer menjadi hutan gambut sekunder, lahan pertanian intensif dan semak bekas pembalakan hutan (logging) dapat mengendalikan karakteristik fisik lahan gambut tropika seperti penurunan jeluk muka air tanah, jeluk tanah, ketebalan dan profil kematangan gambut dan tebal seresah permukaan tanah gambut dan bagaimana perubahan vegetasi penutup merubah masukan C seresah, kandungan C dan nutrien tanah, isotop stabil (δ13C) dan pelepasan CO2. Kebanyakan kajian-kajian tersebut telah banyak dilakukan pada tanah mineral dan beberapa kajian di tanah gambut temperate. Oleh sebab itu, penelitian ini menyajikan kajian peru-bahan karakteristik fisik lahan gambut, nutrien dan kandungan C lapisan olah tanah gam-but, kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan isotop C stabil (δ13C) tanah berdasarkan kematangan gambut, nutrien seresah dan biomasa dan emisi CO2 tanah akibat alih fungsi lahan, dari kawasan hutan rawa gambut primer
menjadi hutan gambut sekunder, semak bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit dan kebun jagung. 2. Pertanyaan penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut maka dalam penelitian ini dipertanyakan: a. Bagaimana perubahan karakteristik fisik lahan gambut yang meliputi jeluk muka air tanah gambut, jeluk tanah gambut, ketebalan tiap tingkat kematangan tanah dan profil tanah gambut dan tebal seresah permukaan tanah, b. Bagaimana kontribusi nutrien seresah dan biomasa di berbagai tipe lahan, c. Bagaimana perubahan kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan isotop C stabil (δ13C) tanah berdasarkan kematangan gambut, d. Bagaimana perubahan nutrien dan kandungan C tanah gambut akibat alih fungsi lahan, e. Bagaimana emisi CO2 tanah di berbagai tipe hutan; hutan gambut primer, hutan sekunder, semak bekas pembalakan, dan lahan pertanian; kebun sawit dan kebun jagung.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan perubahan penyerapan dan pemendaman C-organik dan pelepasan CO2, dan kesuburan (nutrien) tanah akibat alih fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat. Secara spesifik penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan-perubahan: a. Karakteristik fisik lahan gambut pada lokasi kajian, meliputi jeluk muka air tanah gambut, jeluk dan sebaran serta profil kematangan gambut, tebal seresah permukaan tanah (detritus) dan suhu tanah gambut, b. Nutrien dan kandungan C tanah gambut akibat alih fungsi lahan, meliputi: NO3-, NH4+, N-total, posfor tersedia (P2O5 tersedia), kalium dapat dipertukarkan (K-dd), pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), kadar C-organik, rasio C/N, kandungan C-tanah,
c. Kandungan C tanah, C-asam humat dan asam fulvat tanah dan isotop C stabil (δ13C) tanah berdasarkan kematangan gambut, d. Nutrien dan kandungan C seresah dan biomasa, e. Emisi CO2 tanah diberbagai tipe hutan; hutan gambut primer, hutan sekunder, semak bekas pembalakan, dan lahan pertanian; kebun sawit dan kebun jagung.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan ekosistem hutan rawa gambut yang telah diubah menjadi kawasan budidaya dengan harapan agar dapat diketahui upaya-upaya dalam meminimalkan degradasi lahan dan emisi CO2 akibat alih fungsi lahan gambut tersebut. Disamping itu, diharapkan dapat dijadikan dasar oleh pengambil keputusan dalam kegiatan konservasi lahan gambut tropika sehing-ga dapat mewujudkan fungsi lahan gambut sebagai penyerap dan pemendam C dalam rangka mengurangi emisi CO2. Serta sebagai model perubahan penggunaan lahan dalam jangka pendek dan panjang. Pengukuran dan monitoring cadangan C pada lahan gambut menjadi sangat penting. Data hasil monitoring dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui keberlanjutan suatu sistem pengelolaan lahan gambut. Selain itu data hasil monitoring dan perhitungan neraca C penting dalam menghadapi sistem baru perdagangan C pasca Kyoto Protocol yang disebut dengan mekansime REDD (Reducing Emissions form Degradation and Deforestation).
E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang mengungkapkan tentang kandungan atau pemendaman C-organik dan kehilangan C atau emisi CO2 bukan hal yang baru. Akan tetapi fokus
penelitian di lahan gambut tropika di berbagai tipe lahan akibat alih fungsi hutan rawa gambut dengan variasi karakteristik fisik lahan, C-organik biomasa dan seresah, C-organik tanah, nutrien dan emisi CO2 tanah merupakan kebaharuan dalam penelitian ini. Penelitian yang banyak dilakukan sebagian besar pada gambut temperate atau beriklim sedang dan gambut beriklim dingin atau disebut Bog. Keadaan pada gambut tersebut baik dari aspek proses pembentukan, sifat fisik dan kimia, dan tipe lahan sangat berbeda dengan gambut tropika. Adapun beberapa penelitian di hutan rawa gambut tropika, khususnya di Indonesia, mengenai dampak alih fungsi hutan rawa gambut belum diungkapkan secara lengkap, hanya pada aspek tertentu seperti besarnya emisi C yang dilepas oleh lahan gambut terbakar (Page et al., 2002; Rumbang et al., 2013; Ueda et al., 2005), hubungan antara jeluk muka air tanah dan pH gambut terhadap pelepasan CO2 atmosfir (Rumbang et al., 2009), pemendaman C tanah dalam hutan sekunder dan hutan telah ditebang (Nuri et al., 2011). Gambaran perbedaan penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya, berdasarkan dua kelompok di atas, yaitu kandungan atau pemendaman C-organik (Del Galdo et al., 2003; Vågen et al., 2006; Nuri et al., 2011; Qiming et al., 2003) dan kehilangan C atau emisi CO2 (Balesdent et al., 1998; Rhoades et al., 2000; Page et al., 2002; Ueda et al., 2005; Rumbang et al., 2009). Sejauh ini penelitian yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.
C.C. Rhoades, G.E. Eckert, D.C. Coleman; Ecological Applications 10:497-505.
Page, S. E., F. Peat swamp Slegert, J.O. forest Rieley, H.V. Kalteng, Boehm, A. Jaya, Indonesia and S. Limin; Nature 420:61-65
2002
NorthWestern Ecuador
Southwest France
2000
1998
LOKASI
PENULIS; JURNAL J. Balesdent, E. Besnard, D. Arrouays, C. Chenu; Plant and soil 201:49-51.
THN Mengukur kehilangan C atas pembukaan dan pengolahan dari fraksi ukuran tanah yang berbeda. Mengukur kehilangan C turunan hutan dalam fraksifraksi dan mengidentifikasi pool terlindungi dan stabil Membandingkan dinamika dari C turunan tanaman penutup Menduga kehilangan C tanah turunan hutan dan akumulasi C dari vegetasi tebu dan rumput menggunakan teknik isotop C Mengukur perbedaan dalam bagian turunan C dari tanaman C3 dan C4 sepanjang penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan tidak terganggu. Menyediakan informasi akurat pada lokasi dan luasan kebakaran Membandingkan luas kerusakan kebakaran antara lahan gambut asli dan terdegradasi Menduga skala emisi C yang timbul dari kebakaran
TUJUAN
HASIL
Mengumpulkan sampel tanah (kedalaman 0-15; 15-30; 30-100 cm), dan serasah dari enam tipe vegetasi : hutan tidak terganggu, hutan sekunder, tebu, padang rumput Setaria sp, padang rumput campuran, semak pada 2 tempat. Sampel-sampel tersebut dianalisis pH, BD dan kandungan C (tanah), corganik/bahan organik (serasah-akar tanaman), dan δ13C tanah (0-30 cm) Menggunakan citra satelit Landsat TM dan meninterpretasikannya antara lahan sebelum kebakaran dengan setelah kebakaran (1997) pada sebelas tipe penggunaan lahan Survei lapangan dan pengukuran hasil
Total hutan alami (PSF/peat swamp forest)1,3 juta ha bukan hutan 0,9 juta ha Total C tersimpan dalam luasan lahan 2,5 juta ha adalah 0,19-0,23 Gt C C gambut yang dilepaskan ke atmosfer sekitar 0,12-0,15 Gt C.
C tanah total kebun tebu (50 tahun) menurun 24% dibandingkan hutan alami. C tanah total padang rumput (15 tahun) menurun 12% Hutan sekunder terjadi peningkatan 1,9 Mg/ha/th (peningkatan 3 Mg/ha dalam C3-C dan kehilangan C4-C 1,1 Mg/ha)
Sampel tanah dikumpulkan dari Kandungan C tanah pada lantai hutan 52,6 mg wilayah kajian; (i) hutan, lahan C/g, 30,9 dan 17,8 mg C/g untuk pengolahan pertanian dengan tanaman jagung (ii) setelah 7 dan 35 tahun. Semua fraksi 7 tahun dan (iii) 35 tahun. Fraksinasi menyumbang pada kehilangan C total dengan ukuran partikel bahan organik dibagi pengolahan menjadi ukuran 2000, 200 dan 50 δ13C SOM hutan -27‰, meningkat secara μm, masing-masing dibagi menjadi nyata dengan waktu pengolahan jagung, fraksi mineral ringan dan berat. 26,0‰ dan -22,6‰ setelah 7 dan 35 tahun. Variabel yang dianalisis: pH, CEC, Di hutan, δ13C meningkat dengan rendah 13 kation, C total, C/N, δ C dengan menurunnya ukuran partikel.
METODE
Tabel 1. Beberapa hasil penelitian pemendaman C dan emisi CO2 yang telah dilaksanakan oleh peneliti-peneliti lain
Del Galdo, J. Six, A. Peressotti§, M.F. Cotrufo; Global Change Biology 9:12041213
L. Qiming, W. Shijie, P. Hechun, Q. Ziyuan; Chinese Journal of Geochemistry 22:83-87.
S.Ueda, C.U. Go, S. Ishizuka, H. Tsuruta, A. Iswandi and D. Murdiyarso; Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 109-116
T.G.Vågen, M.G. Walsh, K.D. Shepherd; Geoderma 135:133-139
2003
2003
2005
2006
Fianrantsoa Province, Madagas car
Propinsi Jambi, Indonesia
Guizhou Province, China
NorthEastern Italy
Untuk menilai kecenderungan SOC atas permukaan dan berbaliknya sebagai dampak deforestasi dan variasi penggunaan lahan (peralihan vegetasi C3 menjadi C4) dengan
Untuk menjelaskan hubungan antara rasio isotop C dan N, bahan organik tanah (SOM) dan emisi CO2.
Menilai pengaruh dari pengolahan jagung jangka panjang atas kandungan C organik dan aggregasi bahan organik tanah dibandingkan pada ekosistem pada rumput (grass land) permanen dan menghitung serapan C tanah dalam 20 tahun tanah dihutankan sebelum pengolahan jagung. Untuk menyelidiki pengaruh lahan olahan pada jejak atau bekas bahan organik tanah dengan isotop C stabil.
Sampel tanah dikumpulkan dari hutan Kandungan C-organik (hutan alami : 1,80% alami (C3) dan lahan olahan (C4) pada 16,00%; lahan olahan : 0,43% - 2,22%) dan kedalaman 0-70 cm untuk lahan nilai δ13C (hutan alami : -23‰ - -27,12‰; olahan dan 0-50 cm untuk hutan lahan olahan : -19,6‰ - -23,26‰). alamai. Semua sampel dianalisis Hasil menunjukkan bahwa deforestasi telah kandungan C-organik tanah dan δ13C. mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah dan menurunkan proporsi komonen aktif dalam bahan C-organik dan kesuburannya. Lima tipe penutupan lahan (hutan Nilai δ13C dan δ15N SOM meningkat pada primer, P1; hutan terbakar, L2; hutan kedalaman 0-30 cm dalam hutan terjaga. ditebang, L1; areal terbuka setelah C/N-SOM indikator untuk dekomposisi SOM dibakar dan ditebang, OP; kebun karena tingginya kandungan gula dalam karet, Rb). Sampel tanah, serasah dan peningkatan SOM (kecuali pada P1). daun tanaman dikumpulkan untuk Pada lokasi penutupan lahan kelapa sawit dianalisis C/N rasio, δ13C dan δ15N, produksi CO2 melalui dekomposisi SOM gula tanah (heksosa dan pentosa), menguasai 70% dari variasi dalam emisi dan kecepatan respirasi CO2. semua lokasi karena dekomposisi SOM mati seperti respirasi akar adalah sumber dominan untuk emisis CO2. Sampel tanah dikumpulkan sepanjang Konversi dari bentuk sistem C4 (14,8 g C/kg) transek 26 km menutup luasan antara mempunyai kandungan SOC lebih rendah tanaman transisi dan penggunaan daripada bentuk sistem C3 (37,3 gC/kg). lahan (bentuk C3 ke C4; C3 ke Bentuk sistem C3 dikonversi menjadi olahan campuran; C4 ke campuran; C4 ke C4). memperlihatkan kandungan SOC lebih tinggi Parameter; kandungan C, N, dibanding ketika bentuk sistem C4.
Sampel tanah dikumpulkan dari Penggunaan lahan pertanian jangka panjang hutan (A), padang rumput (G) dan menurunkan secara nyata kandungan C tanah sistem pertanian (C) yang terbagi atas (-48%) pada kedalaman 10 cm, tapi tidak fraksinasi fisik tanah (ukuran), yaitu pada aggregat SOM, dibandingkan dengan makroaggregat, mikroaggregat dan padang rumput permanen. liat berdebu. Semua fraksi ini Setelah 20 tahun, aforestasi meningkatkan dianalisis kandungan C dan tanah jumlah C tanah 23% dan 6% pada kedalaman isotop (δ13C) 0-10 cm dan 10-30 cm
Rumbang, N., B. Radjagukguk, D. Prajitno; Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 95102
Nuri, A.S.M., S. Gandaseca, O.H. Ahmed, N. M.A. Majid; American Journal of Agriculture and Biological Sciences 6:80-83
2009
2011
Peat swamp forest Sarawak, Malaysia
Lahan gambut Kalteng, Indonesia
Mengukur besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut dengan beberapa tipe penggunaan lahan Membandingkan besarnya emisi CO2 dari lahan tanaman tahunan dan tanaman semusim Mengetahui hubungan antara tinggi permukaan air tanah dan pH gambut terhadap pelepasan CO2 Menganalisis penyimpanan karbon dalam hutan sekunder (HS) dengan hutan yang telah ditebang dan dibersihan (HG) untuk penggunaan lahan lain
menggunakan isotop C stabil (δ13C), dinamika SOC dan kualitas (kesuburan) tanah (SFI).
SFI memperlihatkan peningkatan dengan meningkatnya SOC, SFI tinggi pada sistem C3-campuran daripada konversi C4
Sampel tanah diambil secara acak pada kedalaman 0-15 cm. Sampel tanah dikeringanginkan dan diayak, dianalisis BD, total C, total N, SOM, C stabil, asam humat.
Terdapat perbedaan nyata antara dua tipe lahan gambut (HS dan HG) dalam parameter pH, SOM, TC, asam humat. Terdapat perbedaan tidak nyata dalam parameter BD, TN, C/N.
Penelitian dilakukan dil ahan gambut Rata-rata emisi CO2 di lahan gambut Kalbar Kalimantan Barat dan Kalimantan antara 0,35-1,19 CO2/m2/jam, sedangakn di Tengah dengan tipe penggunaan Kalteng 0,35-0,67 CO2/m2/jam lahan: lahan jagung, lidah buaya, Emisi CO2 yang dilepas oleh lahan tanaman kelapa sawit dan karet. Analisis emisi tahunan lebih tinggi dibandingkn dengan dengan menggunakan analisis gas lahan tanaman semusim infrared Semakin meningkat pH gambut maka emisi Sampel tanah gambut dianalisispH, CO2 juga meningkat. berat volume tanah dan tinggi permukaan air tanah.
kelimpahan 13C alami (δ13C), dan indeks kesuburan tanah (pH, SOC, TN, P-tersedia, Ca,Mg,K tertukar, CEC dan kandungan liat dan debu).
11
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Pembentukan Lahan Gambut Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah (wetland) yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu yang lama (ribuan tahun) (Parish et al., 2008). Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang tergenang (Sabiham, 2007; Radjagukguk, 2000). Hardjowigeno (1986) menambahkan bahwa timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerobik dan atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai (Gambar 1). Gambar tersebut mencirikan pembentukan gambut khususnya di kawasan Asia Tenggara, dengan ciri-ciri yaitu mempunyai kubah (dome), permukaan cembung, sumber air dan nutrien berasal dari curah hujan (ombrogen), senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman miskin nutrien (Radjagukguk, 2000; Hardowigeno, 1986). Mitsch dan Gosselink (2000) menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam perkembangan gambut, yaitu keseimbangan air positif (positive water balance) dan akumulasi gambut (peat accumulation). Keseimbangan air positif ini berarti bahwa presipitasi atau curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi sehingga terjadi genangan atau lahan jenuh air untuk perkembangan dan kelangsungan hidup lahan gambut. Persyaratan kedua adalah kelebihan produksi gambut di atas proses dekomposisi atau akumulasi lebih besar daripada proses dekomposisi. Beberapa ahli mendefinisikan gambut berbeda-beda. Beberapa definisi yang sering digunakan sebagai acuan antara lain gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0,5 meter (Andriesse, 1988) dan gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan
12
Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah, pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah (a); pembentukan gambut topogen (b); pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (c) (Driessen dan Dudal, 1989).
ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari bobot isi (Bulk density-BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Notohadiprawiro, 1988). Sebagai suatu ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang komplek dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Salah satu sifat gambut tesebut dapat dilihat dari sifat fisik dan kimianya. Sifat kimia gambut dengan kondisi kesuburan yang rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah), kandungan nutrien atau hara makro (K, Ca, Mg dan P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) rendah, mengandung asam-asam organik tinggi, serta memiliki kapasitas pertukaran kation (cation exchange capacity-CEC) yang tinggi tapi kejenuhan basa (base saturation) rendah (Notohadiprawiro, 1988; Sabiham, 2007). Nisbah C/N relatif tinggi dalam kisaran 20-45 dan cenderung meningkat bersama jeluk. Kadar abu gambut umumnya rendah (<2 – 5%) (Radjagukguk, 1993). Sifat fisik gambut, yaitu tingkat kematangan yang bervariasi mulai dari fibrik (mentah), hemik
13
(setengah matang) hingga saprik (matang), tergantung bahan pembentuk, kondisi lingkungan dan waktu pembentukannya. Berat jenis atau BD gambut rendah, daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena ruang pori besar sehingga kerapatan tanah rendah ringan (Notohadiprawiro, 1988 dan 1997; Sabiham, 2007). B. Perubahan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Pemanfaatan hutan rawa gambut dapat mengakibatkan perubahan ekosistem alaminya. Alih fungsi melalui konversi lahan mencakup pembuatan drainase, penggundulan dan penebangan vegetasi hutan, kebakaran hutan dan semak, penyiapan lahan dapat berdampak pada sifat fisik dan kimia tanah gambut (Andriesse, 1988; Radjagukguk, 2000; Limpens et al., 2008; Rieley, 2008; Page et al., 2009; Baldock, 2007). Kerusakan lahan gambut terbesar terjadi melalui drainase dalam dan pembakaran tak terkendali (Andreisse, 1988). Drainase dalam dapat menyebabkan menurunnya muka air tanah. Keadaan ini dapat mengakibatkan (i) perubahan lapisan anoxic menjadi lapisan oxic, akibatnya oksidasi biologis atau mineralisasi bahan organik dipercepat; (ii) terjadi pengeringan yang berlebihan pada musim kemarau dengan gejala kering tak balik (irreversible drying) sehingga bahan gambut tidak mampu menahan air dan menyebabkan nutrien lepas; (iii) pemadatan (compaction) tanah gambut; (iv) terjadinya penurunan muka tanah (subsidence) (Jauhiainen et al., 2001; Handayani dan van Noordwijk, 2007; Hooijer et al., 2010; Agus et al., 2007; Radjagukguk, 2000; Andreisse, 1988). Pembakaran lahan sebagai suatu bentuk oksidasi yang dipercepat dapat mengakibatkan hilangnya bahan organik tanah gambut, pelindian (leaching) nutrien tanah karena meningkatnya dekomposisi gambut, peningkatan emisi CO2 tanah ke atmosfir (Andriesse, 1988; Radjagukguk, 2000). Perubahan-perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut akibat drainase dan pembakaran tak terkendali disajikan pada Gambar 2.
14
Gambar 2. Transformasi karbon dan sumber emisi CO2 pada lahan basah (gambut) yang mengakibatkan oksidasi, pemadatan gambut, subsiden serta kebakaran (dimodifikasi dari Mitsch dan Gooselink, 2000; Maltby dan Immirzi, 1993). POC = partikel karbon organik; DOC karbon organik terlarut
Alih fungsi hutan gambut dapat merubah simpanan C tanah, dimana perubahan tersebut menurunkan cadangan C-organik tanah sekitar 20-50% (Powers dan Veldkamp, 2005; Lal, 2005; Rhoades et al., 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa ada penurunan C tanah berawal dari hutan tak terganggu menjadi padang rumput ilalang di Asia Tenggara karena aktivitas manusia sebesar 50% (dari 120 menjadi 60 Mg/ha) (van Noordwijk et al., 1997). Menurut Smith (2008), tanah kehilangan 40-90 Pg C secara global melalui pengolahan. Kehilangan C-organik tanah terbesar terjadi ketika tanah-tanah organik (seperti gambut) didrainase dan diolah, yang dapat menyebabkan proses oksidasi dan subsiden sebesar berturut-turut 0,8 t C/ha/th dan 8,3 t C/ha/th (Lohila et al., 2004).
15
Selain kehilangan C-organik tanah, perubahan penggunaan lahan dari hutan alami menjadi penggunaan lain, dapat pula menyebabkan penurunan potensi produktivitas tanah untuk pertumbuhan tanaman dan kesuburan, peningkatan kerentanan erosi (Oelbermann et al., 2006; Balesdent et al., 1998; Farmer et al., 2011) dan penurunan indeks kesuburan tanah (soil fertility index-SFI) sebagai hubungan dengan dinamika C-organik (Vagen et al., 2006). Pembukaan lahan gambut untuk pertanian telah meningkatkan kemasaman tanah dan pelindian basa-basa dari larutan tanah (Adji et al., 2005; Anda et al., 2009; Kurnain, 2005; Koretsky et al. 2007), pelindian nutrien, kemasaman tanah dan mempengaruhi kapasitas pertukaran kation (KPK) (Ussiri dan Johnson, 2001). Niedermeier dan Robinson (2007) menambahkan bahwa fluktuasi tingkat air tanah tidak hanya mengatur ketersediaan oksigen (O2) tapi juga ketersediaan dan mobilitas nutrien esensial. Shan et al. (2010) menambahkan bahwa pengelolaan tanah dapat merubah kondisi fisik tanah (seperti kelembaban, aerasi dan porositas) dan penyusutan fisik tanah gambut yang diikuti dengan pemadatan secara mekanis dan kemerosotan struktur tanah (Farmer et al., 2011) (Tabel 2 dan 3). Illustrasi lahan gambut terdrainase disajikan pada Gambar 3.
C. Jasa Ekosistem Hutan Rawa Gambut Potensi lahan gambut yang ditunjukkan sebagai nilai total ekonomi ekosistem tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu nilai kegunaan atau manfaat, nilai pilihan, nilai kehidupan. Nilai manfaat ini dibagi menjadi nilai manfaat langsung yaitu untuk menghitung produk yang dipanen, misalnya kayu dan makanan seperti ikan dan daging hewan, dan nilai manfaat tidak langsung, antara lain mengendalikan banjir dan memasok air sebagai fungsi hidrologi karena dapat mengatur imbuhan (recharge) dan pelepasan (discharge) air tanah, pemendam (sink) karbon dalam berbagai bentuk senyawa organik, penjaga
16
Tabel 2. Dampak reklamasi dan praktek budidaya terhadap sifat-sifat fisik tanah gambut serta konsekuensinya (dimodifikasi dari Radjagukguk, 2000) Sifat bawaan Dampak reklamasi Konsekuensi (inherent) Permukaan relatif tinggi
tanah Permukaan tanah menurun Permukaan bergelombang, (subsidence), diperparah oleh tunggl pohon tersingkap pembakaran Berat volume rendah Berat volume meningkat Persinggungan akar dengan tanah meningkat Daya tumpuh Daya tumpuh meningkat Ketegakan tanaman meningkat (bearing capacity) rendah Porositas total tinggi Porositas total menurun Kemungkinan tidak ada (70-90%) pengaruh nyata Air tersedia relatif Air tersedia pada kapasitas lapang Kemungkinan tidak ada tinggi pada kapasitas menurun pengaruh nyata lapang Daya hantar air Daya hantar air vertikal menurun Resiko erosi meningkat vertikal relatif tinggi Kadar lengas kondisi Lapis atau tanah mengering dan Pelembaban kembali terhambat, asli relatif tinggi risiko hidrofobik meningkatnya risiko erosi, (300-800%) gambut terbakar tinggi, meningkatnya dekomposisi Temperatur tanah Temperatur lapis atas tanah Perkembangan akar terhambat relatif rendah meningkat tajam dan terdapat variasi temperatur yang besar di permukaan tanah Muka air tanah (water Muka air tanah dalam Risiko intrusi air salin, table) dangkal pembentukan kerak (crusting)
Tabel 3. Dampak reklamasi dan praktek budidaya terhadap sifat-sifat kimia tanah gambut serta konsekuensinya (dimodifikasi dari Radjagukguk 2000) Sifat bawaan Dampak reklamasi Konsekuensi (inherent) pH rendah
Kemungkinn tidak berubah
Ketersediaan N,P,K,Ca, Cu,Zn rendah Nisbah C/N tinggi KPK tinggi atas dasar berat volume Kandungan asamasam organik tinggi Kandungan abu rendah Potensial rendah
redoks
Penurunan pH menghambat pertumbuhan akar Peningkatan ketersediaan Peningkatan pasokan hara apabila didukung pemberian kecuali mikro kapur Nisbah C/N menurun Kemungkinan tidak ada pengaruh nyata Sedikit peningkatan KPK Kemungkinan tidak ada karena dekomposisi pengaruh nyata Kandungan asam-asam organik Toksisitas menurun menurun karena pelindiannya Kandungan abu meningkat Gambut matang karena laju dekomposisi meningkat dan pemberian abu Potensial redoks lebih tinggi Pembentukan NO3- dan pelindiannya, Mn2+ dan Fe2+
17
Situasi alami : - Muka air tanah dekat permukaan - Akumulasi gambut dari vegetasi di atas ratusan tahun Drainase : - Muka air tanah rendah - Subsiden permukaan gambut dan emisi CO2 dimulai Drainasi berlanjut : - Dekomposisi gambut kering : emisi CO2 - Resiko pembakaran tinggi pada gambut kering : emisi CO2 - Subsiden permukaan gambut menyebabkan dekomposisi dan pemadatan Tahapan akhir : - Kebanyakan C gambut atas drainase dilepaskan ke atmosfer, kecuali kalau penguluran konservasi/mitigasi dilakukan Gambar 3. Ilustrasi skematis perkembangan subsiden permukaan gambut di lahan gambut terdrainase, menyebabkan dekomposisi dan menghasilkan emisi CO2 maupun pemadatan (Hooijer et al., 2010)
iklim global, transportasi, rekreasi dan wisata pendidikan (Primack, 2004; Notohadiprawiro, 1997; Daryono, 2009; Anon, 2006 ). Nilai pilihan merupakan prospek yang mungkin ada di masa mendatang bagi manusia, misalnya obat-obatan, sumber daya genetik, suplai bangunan, suplai air dan ekstrak gambut digunakan sebagai humus dan pupuk organik pertanian, energi pembangkit, penyaring dan bahan penyerap. Nilai kehidupan atau eksistensi merupakan jenis lainnya yang dapat digunakan untuk menilai keanekaragaman hayati, seperti perlindungan hayati flora, antara lain ramin (Gonystylus bancanus ), meranti (Shorea sp), jelutung (Dyera costulata), pulai (Alstonia pneumathopora) dan fauna ikan air tawar (seperti gabus, toman, tapah, jelawat); memelihara budaya penduduk lokal dan melanjutkan proses evolusi dan ekologi (Notohadiprawiro, 1997; Sabiham, 2007; Daryono, 2009; Anon, 2006; Joosten dan Clarke, 2002; Indrawan et al., 2007).
18
D. Bahan organik tanah (soil organic matter) dan fraksinasinya Bahan organik tanah dibedakan menjadi bahan terhumifikasi dan tak terhumifikasi (Stevenson, 1994). Bahan-bahan tak terhumifikasi adalah senyawa-senyawa dalam tanaman dan organisme lain dengan ciri khas tertentu misalnya karbohidrat, asam amino, protein, lipid dan asam nukleat. Senyawa-senyawa terhumifikasi dapat mengalami reaksireaksi dalam proses dekomposisi (Tan, 1998) (Gambar 4), yang biasanya disebut fraksinasi senyawa humat bahan organik tanah. Senyawa humat diartikan sebagai zat amorf, koloidal berwarna kuning hingga coklat kehitaman dan memiliki berat molekul besar. Senyawa humat mempunyai struktur yang lebih rumit dan sifat yang lebih stabil dari bahan asalnya. Kebalikannya, senyawa non-humat akan lebih cepat terombak oleh mikroorganisme, sehingga sifatnya kurang stabil (Tan, 1998). Senyawa humat dapat sebagai pemendaman C dalam tanah (Post dan Kwon, 2000), juga merupakan aspek penting dari kesuburan tanah selama senyawa humat tersebut dalam stabilitas aggregat tanah dan ikatan logam (Prentice dan Webb 2010). Secara umum, fraksinasi adalah salah satu pendekatan efektif untuk mempelajari bahan-bahan komplek (Kumada, 1987). Pengetahuan tentang fraksinasi penting untuk mengelola sifat-sifat kimia dan fisik terhadap sistem pertanian berkelanjutan, terutama dalam mengevaluasi kandungan bahan organik dan sebaran senyawa humat dan rasionya dengan beberapa sifat tanah (Valladares, et al. 2007) serta untuk evaluasi perubahan dalam C tanah (Kalbitz et al., 1999). Fraksinasi fisik dan kimia telah digunakan oleh beberapa peneliti, dimana keduanya berguna untuk analisis proses dekomposisi dan humifikasi bahan organik tanah (Kumada, 1987). Fraksinasi fisik berdasarkan fraksi aggregat, fraksi ukuran partikel dan fraksi kerapatan (Christensen, 1992; von Lűtzow et al., 2007; Schroth et al., 2003). Fraksinasi kimia berdasarkan ekstraksi bahan organik tanah dalam larutan air, bahan pelarut organik
19
BAHAN ORGANIK TANAH
dengan alkali HUMIN DAN SENYAWA NON HUMAT ( tidak larut)
SENYAWA HUMAT (larut) alkali
HUMIN (tidak larut)
dengan asam
ASAM FULVAT (larut)
ASAM HUMAT (tidak larut)
dengan alkohol
Pada pH 4,8
ASAM FULVAT (larut)
HUMUS β (tidak larut)
ASAM HUMAT ( tidak larut)
ASAM HIMATOMELANAT (larut)
dengan garam netral
HUMAT COKLAT (larut)
HUMAT KELABU (tidak larut)
Gambar 4. Ilustrasi pembagian bahan organik tanah (soil organic matter) menjadi senyawa humat (dimodofikasi dari Kononova, 1996; Tan, 1998)
dan larutan asam-basa (Hood et al., 2005; Prentice dan Webb, 2010; von Lűtzow et al., 2007; Kalbitz et al., 1999). Berdasarkan fraksinasi kimia, senyawa humat dapat digolongkan menjadi: (i) humin, fraksi yang tidak larut dalam larutan asam maupun basa, (ii) asam humat, fraksi yang larut dalam larutan basa dan mengendap dengan pengasaman, (iii) asam fulvat, fraksi yang larut dalam larutan asam mupun basa (Stevenson, 1994; Tan, 1998). Asam humat biasanya kaya akan C berkisar antara 41% hingga 57%. Kisaran yang lebih rendah ditunjukkan oleh asam humat dan asam fulvat pada tanah tropis. Kadar O asam fulvat adalah 44% hingga 46% sedangkan pada asam humat sekitar 33% hingga 46%. Kadar N dalam asam fulvat sekitar 0,7 hingga 2,6%, sedangkan asam humat sekitar 2% sampai 5% (Tan, 1992). Konsentrasi asam humat tanah secara signifikan lebih besar
20
daripada asam fulvat, selain itu asam humat merupakan komponen melimpah dan penting dalam lingkungan alami (Chen et al. 1977). Senyawa humat terlarut merupakan faktor utama dalam identifikasi dampak perubahan sekarang dan akan datang dalam penggunaan lahan (Kalbitz et al.,1999). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan jangka panjang dalam penggunaan lahan menghasilkan perbedaan dalam kuantitas dan komposisi bahan organik tanah serta kesuburan tanah (Prentice dan Webb, 2010). Hasil penelitian Kalbitz et al. (1999) menunjukkan bahwa asam fulvat terlarut, pada permukaan atas tanah dan air tanah dari lahan gambut terdegradasi, adalah tinggi. Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan jangka panjang dengan banyak input menghasilkan, antara lain banyaknya struktur alifatik yang stabilitasnya rendah, humifikasi yang lebih cepat dari asam fulvat terlarut dan proses dekomposisi lanjut dibandingkan dengan lahan alami.
E. Isotop C stabil (Stable C isotope-13C/12C-δ13C) dan fraksinasinya Isotop adalah atom-atom dengan nomor yang sama untuk proton dan elektron tapi berbeda untuk netron (Gambar 5), yang menentukan massanya (Sulzman, 2007). Nomor elektron dalam kulit atom terluar mengatur reaksi-reaksi kimia atom dalam, sehingga perilaku kimia dua isotop adalah sama secara kualitatif atau sama dalam reaksi-reaksi kimia. Massa atom menentukan energi vibrasi atau getaran inti, sehingga berbeda massa atom karena berbeda dalam ukuran dan berat atom menyebabkan perbedaan kecepatan reaksi dan kekuatan ikatan (Sulzman, 2007; Vagen et al., 2006). Isotop alam dapat bersifat stabil dan tidak stabil atau radioaktif. Kestabilan inti suatu atom ditentukan oleh perbandingan netron dan proton di dalam inti atom tersebut. Secara umum suatu atom dikatakan stabil (12C dan
13
C) jika perbandingan netron dan
proton di dalam intinya adalah sama atau hampir sama, dan bersifat radioaktif (14C) jika
21
Gambar 5. Struktur ideal dua isotop C stabil, 12C (kiri) dan 13C (kanan). Keterangan : Simbol plus menggambarkan proton (positif) dan lingkaran kecil menggambarkan netron (netral), dan elips menggambarkan garis edar enam elektron negatif (tidak diperlihatkan) sebagai orbit nukleus, penyeimbang isi proton (Sulzman, 2007).
perbedaan itu adalah besar. Rasio isotop C diperlihatkan relatif pada standar Vienna-Pee Dee Belemnite (VPDB). Hasil-hasil diperhitungkan sebagai nilai delta 13C (δ13C ) pada satuan per mil (bagian per seribu, ‰). Simbol δ13C menjadi tanda konsentrasi isotop 13C dalam sampel, hidup atau fosil. Persamaannya sebagai berikut: δ13C (‰) =
(13C/12C) sampel - (13C/12C) standar x1000 13
(1)
12
( C/ C) standar Keterangan : (13C/12C) standar adalah karbon yang terkandung dalam karbonat kerang dari fosil laut spesifik dari South Carolina, yang telah ditentukan olah International Atomic Energy Agency dinamakan Vienna-Pee Dee Belemnite (VPDB) adalah 0,0112372 (Vagen et al., 2006; Schroth et al., 2003).
Suatu bahan dengan rasio 13C/12C lebih besar dari 0,0112372 mempunyai nilai δ13C positif sedangkan dengan rasio
13
C/12C lebih kecil dari 0,0112372 mempunyai nilai δ13C
negatif pada vegetasi dan tanah (Bowling et al., 2008). Sebuah δ (delta) positif menunjukkan bahwa sampel mempunyai lebih banyak isotop berat daripada standar sedangkan kebalikannya pada nilai δ negatif menunjukkan sampel mempunyai lebih sedikit isotop berat daripada standar (Sulzman, 2007). Kandungan isotop suatu senyawa berubah bila terjadi proses evaporasi, kondensasi, pembekuan, pencairan, reaksi kimia atau biologi yang umum dikenal dengan istilah fraksinasi isotop. Pendapat ini diperjelas oleh Sulzman
22
(2007) bahwa fraksinasi isotop yang
terjadi akibat proses penguapan menyebabkan
pemisahan atom menjadi bagian-bagian yang mempunyai sifat yang berbeda. Teknik fraksinasi isotop dapat membantu mendeteksi fraksi C yang sensitif pada perubahan regim pengelolaan tanah (Shan et al., 2010). Dalam sejumlah metode, teknik isotop C didasarkan pada perbedaan dalam rasio komposisi isotop C stabil (δ13C) antara C tanah lama dan masukan C baru akibat alih fungsi lahan. Ketika suatu tipe vegetasi diganti dengan vegetasi lainnya, nilai δ13C dapat digunakan untuk mengenali turunan bahan organik tanah dari sisa-sisa vegetasi asli dan dari vegetasi baru serta untuk kajian dinamika C tanah atas skala waktu dari beberapa tahun hingga ratusan tahun yang relevan untuk memahami akibat perubahan penggunaan lahan oleh kegiatan manusia (Bernoux et al., 1998). Kecenderungan dalam C-organik tanah dicerminkan dengan δ13C untuk variasi alih fungsi lahan, memperlihatkan pentingnya δ13C sebagai indikator perubahan dalam kualitas tanah. Tipe penggunaan lahan dengan dominasi tanaman C3, senyawa awal terbentuk berkarbon 3 (fosfogliserat), memiliki δ13C nilai negatif terbesar sedangkan kandungan Corganik tanah terbesar dibandingkan dengan tipe lainnya, seperti tanaman C3 menjadi tipe campuran, tanaman C3 menjadi tanaman C4, senyawa awal terbentuk senyawa 4-C asam oksaloasetat (OAA), tanaman C4 menjadi tipe campuran, dominan tanaman C4 (Vagen et al., 2006) (Gambar 6).
F. Nutrien tanah gambut Perubahan penggunaan lahan gambut dari ekosistem alami telah menurunkan kandungan nutrien tanah. Kondisi ini terutama disebabkan karena perubahan muka air tanah yang mempengaruhi kondisi aerob-anaerob dan proses dekomposisi atau penguraian bahan organik, input bahan organik dari vegetasi atas permukaan tanah, iklim (suhu dan
23
Gambar 6. C-organik tanah dan δ13C sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan (Vagen et al., 2006).
kelembaban tanah), pembakaran lahan dan tambahan dari pengapuran dan pemupukan (Yule, 2010). Pembukaan lahan gambut untuk pertanian telah meningkatkan kemasaman tanah dan pelindian basa- basa dari larutan tanah (Adji et al., 2005; Anda et al., 2009; Kurnain, 2005; Koretsky et al., 2007), dan mempengaruhi kapasitas pertukaran kation (KPK) (Ussiri dan Johnson, 2001). Niedermeier dan Robin-son (2007) menambahkan bahwa fluktuasi tingkat air tanah tidak hanya mengatur keterse-diaan oksigen (O2) tapi juga ketersediaan dan mobilitas nutrien esensial. Gambut sebagai deposit N bagi tanah gambut, semakin tebal gambut depositnya juga semakin besar. Fluktuasi muka air tanah yang mempengaruhi kondisi anaerobik dan aerobik tanah gambut dapat memacu mineralisasi gambut dan peningkatan kehilangan N dari lahan gambut. Muka air tanah yang dalam menyebabkan kondisi yang lebih aerob sehingga meningkatkan laju dekomposisi dan meningkatkan kehilangan N (hilang melalui proses pencucian) dan akibat bergerak bersama air tanah. Dekomposisi lebih cepat di
24
lahan gambut terdrainase, di bawah kondisi tersebut kualitas bahan organik terdegradasi. Hasil penelitian Grover dan Baldock (2010); Maftu’ah (2012) menunjukkan bahwa kehilangan bahan gambut terbesar pada fluktuasi air tanah dalam dan pada gambut saprik. Struktur vegetasi dapat mempengaruhi dinamika C dan N tanah disebabkan oleh terjadinya perubahan dalam ukuran simpanan unsur tersebut. Xing et al. (2011) menyatakan bahwa biomasa gambut adalah cadangan N terbesar di lahan gambut. Lapisan permukaan gambut yang selalu mendapatkan masukan bahan organik dari sisa-sisa organisme di atasnya menyebabkan kandungan N-total tanah secara konsisten lebih tinggi pada lapisan permukaan dibandingkan lapisan di bawahnya. Ketersediaan nutrien dimodifikasi oleh pergeseran vegetasi melalui perubahan kualitas dan kuantitas seresah, yang juga mengendalikan kehilangan NO3- (Prescott et al., 2002). Hilangnya kanopi hutan menyebabkan hilangnya input seresah sehingga akan mengurangi sumber C labil. Hal ini akan mengakibatkan biomasa mikroba C menjadi terbatas daripada biomasa mikroba N dan akhirnya akan mereduksi asimilasi NO3-. Reich et al. (1997) menjelaskan adanya korelasi positif antara kandungan N seresah dengan kandungan N di lantai hutan. Jadi perubahan vegetasi pada lahan tidak hanya berdampak pada jumlah dan sifat kimiawi seresah tapi juga kecepatan dekomposisi dan siklus nutrien dan C (Carrera et al., 2008; Maftu’ah, 2012; Regina, 1998). Selain itu konsentrasi N berfluktuasi tergantung kuat pada kondisi redoks pada permukaan tanah gambut yang mempengaruhi kecepatan mineralisasi N, dimana pada kondisi kering (kedalaman acrotelm) akan meningkatkan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi N. Keadaan ini berpotensi meningkatkan kehilangan N melalui pelindian lateral NO3- (acrotelm-catotelm), volatilisasi N2O, gas N dan NH4+. Hal ini mengindikasikan pengaruh keberadaan lapisan gambut yang selalu menerima bahan organik baru dari vegetasi yang ada di atasnya, sebagai sumber utama P pada
25
tanah gambut. Waldron et al. (2009) menjelaskan terdapat hubungan yang nyata antara kehilangan P dan jumlah C terlarut yang hilang dari tanah gambut. P adalah unsur yang mudah bergerak dan akan mengalami pelindian jika konsentrasi tinggi dalam larutan tanah (Sapek et al., 2009) dan menurut Kurnain (2005) tanah gambut tidak memiliki tapak yang cukup kuat mengikat P sehingga mudah terlindi. Ketersediaan P akan meningkat dalam tanah gambut yang mengalami pembasahan kembali setelah kering (Jordan et al., 2007), dan penggenangan cenderung meningkatkan konsentrasi P, Ca, K, NH4+, CO2, Fe2+, ionic strength, pH, daya hantar listrik (DHL) dan kapasitas pertukaran kation (KPK) (Reddy dan DeLaune, 2008), sebaliknya ketika tanah dalam kondisi relatif kering maka ionic strength, pH, DHL dan KPK dan konsentrasi unsur-unsur tersebut cenderung menurun (Johnson et al., 1991). Kalium adalah unsur yang relatif mudah bergerak sehingga mudah mengalami pelindian (Bohn et al., 2001; Andriesse, 1988). Gorham dan Janssens (2005) menambahkan bahwa K adalah unsur yang dapat dengan mudah bergerak secara horisontal bersamaan dengan air tanah ataupun terlindi ke lapisan bawah sehingga menyebabkan tingginya konsentrasi K di lapisan bawah. Komponen tanah yang melakukan pertukaran kation adalah mineral dan bahan organik dari tanah. Tanah bertindak sebagai suatu penyangga (buffer) dan menahan perubahan pH. Tingginya nilai KPK berasal dari gugus fungsional senyawa organik. Hal ini berhubungan dengan peningkatan pH tanah yang mendorong disosiasi gugus-gugus fungsional dari senyawa organik. Gugus COOH dari bahan humus akan terdisosiasi pada pH 3,0 dan peningkatan 1 unit pH di atas nilai pKa bahan humus menyebabkan gugus COOH mengalami disosiasi sebesar 90% (Tan, 2003). Gambut merupakan sumber utama KPK yang nilainya bersifat tergantung pH, di sisi lain diketahui bahwa nilai pH tanah gambut sangat sensitif terhadap fluktuasi muka air tanah. Sehingga untuk memperbaiki
26
kualitas tanah gambut yang harus diperhatikan adalah fluktuasi muka air tanah dan ketebalan tanah gambut agar tidak terjadi penurunan pH secara drastis yang dapat berakibat pada penurunan KPK tanah. Nilai pH tanah dipengaruhi oleh fluktuasi muka air tanah. Hasil penelitian Kurnain (2005) dan McLaughlin dan Webster (2010) melaporkan bahwa penyebab turunnya pH tanah adalah penurunan muka air tanah karena pada kondisi tersebut terjadi peningkatan intensitas dekomposisi gambut. Kondisi tanah yang terus menerus terjenuhi air menyebabkan tanah menjadi relatif lebih reduktif akibatnya kemasaman tanah menjadi lebih tinggi. Kondisi tanah yang jenuh juga menyebabkan pelarutan dan pelindian asamasam organik serta faktor penyebab kemasaman lainnya, selain itu tidak adanya periode kering yang lama menyebabkan lapisan tanah yang berada di atas muka air tanah (acrotelm) tidak mengalami oksidasi secara intensif sehingga dampak oksidasi tersebut tidak sebesar pada musim kemarau. Osher et al. (2003) menyatakan bahwa perubahan pH tanah mungkin juga merubah kemampuan tanah untuk menahan C dan nutrien tanah. Penyumbang asidifikasi (acidification) setelah drainase meningkatkan serapan nutrien dan perubahan vegetasi dan kualitas seresah (Laine et al., 1995a).
G. Seresah (litterfall) Seresah gugur (litterfall) adalah proses utama perpindahan bahan organik dan akumulasi nutrien dalam produksi primer dari biomasa vegetasi atas permukaan masuk ke dalam tanah. Produksi seresah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dan nutrien seperti nitrogen (N), posfor (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan karbon organik (C-organik) dari kanopi vegetasi ke dalam tanah (Regina dan Tarazona, 2001). Kualitas seresah adalah kunci untuk menentukan kualitas senyawa sebagai sumber energi dan nutrien bagi mikrobia dekomposer dan tanah. Kualitas seresah dapat secara
27
singkat dide-finisikan sebagai kemudahan atau kesulitan relatif dekomposisi seresah oleh mikrobia (Hobbie, 1996; Cornwell et al., 2008) karena populasi mikrobia (fungi dan bakteri) meng-akumulasi nutrien seperti N, P, atau K selama tahapan awal dekomposisi. Perbedaan spesies vegetasi dapat mempengaruhi kecepatan dekomposisi baik secara langsung melalui kualitas dan berat seresah (Berendse, 1990) atau tidak langsung melalui iklim mikro atau komunitas dekomposer (Haraguchi et al., 2002). Kualitas seresah yang diimplikasikan oleh kadar nutrien dapat menggambarkan proses dekomposisi oleh mikrobia yang ditunjukkan dengan rasio C/N dan/ atau rasio C/P seresah. Suatu spesies dengan nutrien rendah, umumnya memiliki rasio C/N dan C/P dan konsentrasi senyawa resisten terurai (seperti lignin) lebih tinggi daripada spesies kaya nutrien (Pastor et al., 1984; Moore et al., 2004; Thormann et al., 2000). Semakin baik kualitas seresah, semakin cepat proses dekomposisi yang terjadi, maka pelepasan nutrien oleh mikrobia ke tanah semakin mudah. Hergoualc’h dan Verchot (2011) berpendapat bahwa untuk menilai kehilangan C tanah gambut yaitu dengan mengetahui bagaimana perubahan vegetasi penutup merubah masukan C seresah dan keluaran CO2 (respirasi heterotrof). Perubahan dalam C tanah berarti mempengaruhi dinamika bahan organik tanah (Schroth et al., 2003) dan keseimbangan C global (Cheng et al., 2006) (Gambar 7).
H. Emisi CO2 tanah Emisi CO2 dalam suatu ekosistem merupakan akumulasi dari respirasi tanaman dan respirasi tanah. Respirasi tanah dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menghasilkan CO2 oleh organisme dan bagian tanaman dalam tanah (Luo dan Zhou, 2006). Respirasi tanaman ditentukan oleh jenis vegetasi dan penggunaan lahan, sedangkan respirasi tanah sangat ditentukan oleh sumber karbohidrat yang tersedia berasal dari respirasi akar
28
Gambar 7. Keseimbangan C tanah yang dipengaruhi oleh masukan bahan organik (litterfall) dan keluaran C (respirasi CO2) (dimodifikasi dari www.helsinki.fi) dan respirasi mikrobia pada rizosfer, dekomposisi seresah, dan oksidasi bahan organik tanah (Luo dan Zhou, 2006). Laju respirasi tanah biasanya diukur pada permukaan tanah dengan menghitung jumlah CO2 yang keluar dari permukaan tanah ke atmosfer. Laju aliran CO2 yang keluar dari permukaan tanah tidak hanya ditentukan oleh laju respirasi tetapi juga oleh proses pengangkutan CO2 sepanjang profil tanah dan pada permukaan tanah. Kekuatan pengangkutan CO2 tergantung pada perbedaan konsentrasi tanah dan atmosfer, porositas tanah, kecepatan angin (Luo dan Zhou, 2006). Komulainen et al. (1999); Hirano et al. (2007); Farmer et al. (2011); Nieveen et al. (2005); Gažovič et al. (2013) menambahkan bahwa kondisi lahan gambut terdrainase juga mempengaruhi emisi CO2 tanah karena peningkatan aerasi permukaan dan oksidasi bahan organik tanah. Kondisi drainase di lahan gambut tersebut mempengaruhi dinamika jeluk muka air tanah atau hidrologi lahan (Mӓkiranta et al., 2010; Danevčič et al., 2010; Klove et al., 2010; Rowson et al., 2013; Ojanen et al., 2013).
29
Muka air tanah bukan hanya sebagai faktor utama yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi dan respirasi tanah gambut dalam hubungannya dengan emisi CO2 tanah gambut, faktor lainnya adalah: suhu tanah gambut dan udara-iklim (Rowson et al., 2013; Kertonegoro, 2001), konsentrasi nutrien tanah gambut (Komulainen et al.,1999; Berglund dan Berglund, 2011) dan kesuburan tanah gambut (Ojanen et al., 2013). Selain itu ketersediaan dan kualitas bahan organik (Kertonegoro, 2001; Berglund dan Berglund, 2011; Danevčič et al., 2010), kadar lengas tanah (Kechavarzi et al., 2010; Grover dan Baldock, 2010), aliran panas tanah stabil (Parmentier et al., 2009) dan kelembaban tanah (Klove et al., 2010). Faktor-faktor tersebut dapat mengontrol dan mempercepat kecepatan penguraian bahan organik oleh mikrobia dan emisi CO2 berikutnya. Lahan pertanian selalu diikuti oleh pengelolaan lahan intensif, meliputi pembuatan drainase, pembakaran vegetasi atas permukaan, pengolahan tanah dan pemupukan. Bila dibandingkan dengan ekosistem alami, lahan pertanian melepaskan CO2 relatif lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan intensif agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah yang tinggi karena suhu meningkat, menyebabkan dekomposisi bahan organik tanah oleh mikrobia meningkat pula dan ini akan memacu kenaikan respirasi tanah (Widjaja, 2002; Hergoualc’h dan Verchot, 2011; Hooijer et al., 2010). Selain itu, ketika hutan alami dibuka untuk penggunaan lahan tertentu maka akan terjadi perubahan yang drastis pada ekosistem, selain hilangnya biomasa tanaman (Farmer et al., 2011), juga sinar matahari yang secara langsung mengenai tanah dapat mempengaruhi suhu dan lengas sehingga respirasi heterotrof tanah semakin tinggi. Illustrasi lahan gambut terdrainase disajikan pada Gambar 3. Faktor-faktor kunci yang mempengaruhi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan gambut antara lain hidrologi-muka air tanah, suhu, kualitas seresah, struktur komunitas
30
mikrobia dan dampak gangguan (Farmer et al., 2011). Faktor muka air tanah dalam dan dampak gangguan yang disebabkan drainase intensif mengakibatkan teroksidasinya bahan organik tanah gambut. Suhu tanah, bersama dengan kondisi hidrologi dan tanaman penutup merupakan faktor penting sebagai pengatur dan penentu dalam siklus C tanah gambut. Dimana peningkatan suhu menghasilkan tingginya kecepatan dekomposisi dan dihubungkan dengan emisi CO2 (Grover dan Baldock, 2010; Hirano et al., 2007; Danevčič et al., 2010; Klove et al., 2010). Peningkatan suhu tersebut nyata dengan perubahan penggunaan lahan, sehingga perubahan hutan rawa gambut menjadi penggunaan lahan lainnya akan mempunyai dampak kehilangan C tanah gambut (Hergoualc’h dan Verchot, 2011).
I. Landasan teori Aktivitas dalam perubahan penggunaan lahan (land use change) atau alih fungsi lahan berupa penggundulan hutan (deforestation), pengolahan tanah, pembuatan drainase dan pembakaran lahan. Keadaan ini dapat mengakibatkan (1) perubahan ekosistem alami dari kondisi anaerobik menjadi aerobik; (2) terjadi pengeringan yang berlebihan pada musim kemarau dengan gejala kering tak balik (irreversible drying) sehingga tidak mampu menyerap nutrien dan menahan air; (3) pemadatan (compaction) tanah gambut; (4) terjadinya penurunan muka tanah (subsidence). Kesemuanya ini dapat merubah C tanah tersimpan dengan menurunkan kandungan C-organik tanah (soil organic carbon). Hutan rawa gambut tropika merupakan ekosistem penyerap (sequester) C yang efisien dan penyimpan (store) C penting, tetapi perubahan penggunaan lahan dapat dengan cepat mengubahnya dari pemendam (sink) menjadi sumber (source) emisi CO2. Dampak dari alih fungsi hutan rawa gambut dari aspek ekologi atau lingkungan dapat mempengaruhi antara lain penyimpanan atau pemendaman C tanah yang dapat berhubungan dengan keseimbangan C global, stabilitas tanah setelah ada perbedaan masukan
31
bahan organik (organic matter input) sebagai litterfall dan kecepatan dekomposisinya, mengubah biomasa atas permukaan, sifat fisik, kimia dan biologi tanah gambut, seperti kandungan bahan organik dan status nutrien, apabila terjadi perubahan dari vegetasi aslinya, vegetasi C4 menjadi C3 atau sebaliknya dan emisi CO2 tanah. Tanah adalah penampung utama C dalam ekosistem daratan, sekitar dua pertiga dari total di ekosistem, dan memegang peranan penting dalam siklus C global. Kemampuan tanah untuk menyimpan C tergantung pada tipe lahan, jenis tanah dan tingkat pengelolaannya. Perbedaan kandungan C tanah antara tipe lahan dan pengelolaan lahan disebabkan perbedaan dalam masukan organik, berupa seresah, perbedaan kecepatan proses dekomposisi dan proses stabilisasi dalam tanah, serta proses keluaran CO2 berupa respirasi heterotrof. Perubahan dalam kandungan C tanah gambut berarti mempengaruhi keseimbangan C global. Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut tentang dinamika kandungan C setelah alih fungsi lahan diperlukan teknik-teknik pengukuran yang dapat membedakan antara potensi pemendaman dan penyimpanan C tanah. Teknik pengukuran tersebut berupa karakteristik fisik lahan, meliputi jeluk muka air tanah, jeluk tanah gambut; profil kematangan tanah pada setiap tipe lahan; nutrien dan kandungan C tanah; nutrien seresah dan biomasa; kandungan C-organik tanah, meliputi δ13C dan asam humat-asam fulvat, kandungan C tanah dan emisi CO2 tanah pada setiap tipe lahan. Secara keseluruhan proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. J. Hipotesis penelitian Hipotesis yang dikonstruksi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Drainase mempengaruhi fluktuasi jeluk muka air tanah gambut dimana mengendalikan karakteristik fisik lahan gambut. Jeluk muka air tanah lahan gambut pertanian lebih dalam dibandingkan pada kawasan hutan. Hal ini karena drainase meniadakan air
32
permukaan (water level) dan air tanah semakin menurun yang menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik selanjutnya mempercepat dekomposisi bahan organik tanah gambut. Keadaan ini akan memicu jeluk tanah gambut dan tebal seresah permukaan gambut berkurang dan menipis pada lahan pertanian. Profil lapisan kematangan gambut saprik lebih tebal namun fibrik lebih tipis pada lahan pertanian dan semak namun kebalikannya pada hutan rawa gambut karena jeluk muka air tanah dalam. 2.
C-organik tanah berhubungan dengan nutrien tanah. Kadar nutrien dan C-organik serta kandungan C tanah di lahan pertanian lebih tinggi dibanding kawasan hutan. Pengolahan lahan dan pemupukan dapat meningkatkan kadar nutrien pada lahan pertanian selain peningkatan mineralisasi bahan organik tanah.
3. Kandungan C tanah dan C-asam humat dan asam fulvat di hutan rawa gambut primer dan hutan sekunder lebih besar dibanding dengan semak belukar, kebun sawit dan kebun jagung. Demikian pula untuk δ
13
C (nilai minus kecil). Kandungan C tanah
tersebut merespon kondisi aerobik-anaerobik dan ketebalan jeluk tanah gambut. 4. Nutrien seresah dan biomasa di berbagai tipe lahan dipengaruhi oleh proses dekomposisi bahan organiknya yang salah satunya dikendalikan oleh jeluk muka air tanah gambut. Pada kawasan hutan relatif memiliki jeluk muka air dangkal sehingga laju dekomposisi lebih lambat menyebabkan mineralisasi nutrien rendah dengan rasio C/N dan C/P lebih tinggi. Sebaliknya pada lahan pertanian dan semak dengan jeluk muka air tanah dalam memiliki nutrien relatif lebih tinggi. 5. Jeluk muka air tanah mengendalikan emisi CO2 tanah gambut. Jeluk muka air tanah di lahan pertanian lebih dalam sehingga emisi CO2 tanah lebih tinggi dibandingkan pada kawasan hutan.
33
Tipe lahan 1. Hutan rawa gambut primer (HP) 2. Hutan gambut sekunder (HS) 3. Semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB) 4. Kebun sawit (KS) 5. Kebun jagung (KJ)
Kematangan gambut Fibrik Hemik Saprik
Jeluk muka air tanah (water-table depth)
Bahan organik – C-organik tanah gambut
Nutrien dan kandungan C seresah dan biomasa
Nutrien dan kandungan C tanah gambut
Senyawa humat – C asam humat dan C asam fulvat
Isotop karbon 13 stabil (δ C)
Emisi CO2 tanah gambut
Perubahan karakteristik lahan gambut sebagai penyerap dan pemendam karbon tanah, dan penambat air
Gambar 8. Landasan teori penelitian diferensiasi karbon organik tanah dan seresah, emisi CO2 dan nutrien tanah akibat alih fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat
III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi lokasi Lokasi kajian dibedakan atas tipe hutan gambut, meliputi hutan rawa gambut primer (HP), hutan gambut sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), dan lahan pertanian, meliputi kebun sawit (KS), dan kebun jagung (KJ) di Kabupaten Kubu Raya-Kalimantan Barat (Gambar 10, 11 dan Tabel 4). Pada survei lokasi kajian, bulan Februari 2011, lahan HP masih dalam kondisi alami dan diharapkan sebagai kontrol. Namun saat penelitian, bulan Juni 2012, di lokasi tersebut telah dibangun jalan tembus dengan membuat saluran panjang, lebar dan dalam. Kondisi lahan di lokasi kajian yang tidak terdrainase hanya pada lahan HS dan SB.
B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
C. Cara kerja Secara umum, kegiatan-kegiatannya meliputi pengamatan dan pengukuran di lapangan, pengambilan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium, analisis data dan pengambilan data sekunder berupa curah hujan dan wawancara langsung dengan petani dan pihak perusahaan perkebunan sawit (Tabel 6). Cara kerja baik di lapangan maupun di laboratorium diuraikan berdasarkan tujuan penelitian. Ilustrasi pengambilan sampel dan tahapan penelitian disajikan pada Gambar 18 dan 19. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada awal bulan Juni hingga akhir bulan Desember 2012. Pengukuran dan pengambilan sampel tanah gambut dilaksanakan pada awal bulan Juni, bersamaan pengukuran emisi CO2 tanah dan seresah dan biomasa pertama. Pengukuran emisi CO2 tanah kedua dilaksanakan pada akhir bulan Desember 2014. Peng-
Gambar 11. Lokasi kajian pada hutan rawa gambut primer (HP) dengan vegetasi dominan ubah, tanjan, mahang dan rengas (a), hutan gambut sekunder (HS) dengan vegetasi dominan tanjan, rengas, resak (b), semak (SB) dengan vegetasi dominan pakis, pandan hutan dan cengkodok (c), kebun sawit (KS) (d) dan kebun jagung (KJ) (e)
Tabel 4. Deskripsi lokasi kajian hutan gambut primer, hutan gambut sekunder, semak bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit dan kebun jagung Tipe lahan
Lokasi
Hutan primer (HP)
Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu 2 Raya (16.649 m ) o S = 00 11.29’ o E = 109 49.46’
Hutan sekunder (HS)
Kecamatan KubuKabupaten Kubu Raya 2 (16.333 m ) o S = 00 21.70’ o E = 109 21.81’
Semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB)
Kecamatan KubuKabupaten Kubu Raya 2 (27.414 m ) o S = 00 21.42’ o E = 109 21.51’
Kebun sawit (KS)
Kecamatan KubuKabupaten Kubu Raya 2 (26.299 m ) o S = 00 23.87’ o E = 109 22.65’
Kebun jagung (KJ)
Kecamatan Rasau JayaKabupaten Kubu Raya 2 (26.680 m ) o S = 00 12.76’ o E = 109 23.55’
Kondisi lahan Saat survey lokasi, Februari 2011, kondisi HP dalam keadaan alami dengan permukaan tanah gambut becek dan air permukaan (water level) sekitar 1-2 cm dan sebagai hutan alam gambut yang belum banyak mengalami gangguan dan memiliki tajuk pohon yang masih rapat. Saat penelitian, terdapat jalan dan saluran drainase yang memotong Hutan Lindung Gambut Desa di HP. Panjang dan lebar jalan sekitar 5 km dan 4 m sedangkan lebar dan jeluk saluran drainase sekitar 3,5 m dan 1,5 m dengan jeluk air saluran 1 m. saluran drainase sekitar/sepanjang jalan menuju HP dengan L = 310 cm, tinggi muka air saluran = 100 cm. Vegetasi dominan pada lokasi yaitu Ubah (Syzygium spp.), Tanjan (Dialium spp.), Mahang (Macaranga pruinosa), Rengas (Drmycarpus spp.), Kayu malam (Diospyros borneensis), Kempas (Koompasia mala), Resak (Cotylelobium spp) Kondisi HS sebagai hutan bekas tebangan yang telah mengalami gangguan lebih lanjut sehingga potensinya menurun dengan vegetasi berbeda dengan jenis alaminya sebelumnya, berusia ± 30 tahun. Terdapat saluran drainase (sebagai pembatas hutan lindung) dengan lebar dan jeluk sekitar 1,8 m dan 1 m dengan jeluk air saluran 0,7 m. Vegetasi dominan pada lokasi yaitu Tanjan (Dialium spp.), Rengas (Drmycarpus spp.), Resak (Cotylelobium spp.), Bintagor (Calophyllum spp.), Ilas (Nephelium cuspidatum), Tanang (Calophyllum spp.) Kondisi SB sebagai hutan sekunder yang telah mengalami gangguan lebih lanjut sehingga potensinya sangat sedikit dan hanya berupa semak belukar dan tumbuhan bawah. Pada SB kondisi lahan tidak seragam. Pada titik sampling 3 dan 4 terdapat hamparan batang-batang pohon bekas tebangan dan terbakar. Titik sampling lainnya berupa semak belukar. Terdapat saluran darinase dekat titik 1 dan 3 yang berbatasan dengan HS.Pada lokasi terdapat vegetasi dominan pakis (Diplazium esculentum), pandan hutan (Pandanus tectorius) dan cengkodok (Melastoma malabathricum) Pada KS terdapat saluran drainase yang mengelilingi blok. Lebar dan jeluk saluran drainase utama sekitar 2,8 m dan 1,5 m dengan jeluk air saluran 1 m. Lebar dan jeluk saluran kanan blok sekitar 1,5 m dan 1 m dengan jeluk air saluran 0,3 m; saluran kiri blok sekitar 2,5 m dan 1,2 m dengan jeluk air saluran 0,4 m. Pada lokasi terdapat pakis-pakisan sebagai tanaman penutup (cover crop). Lahan KJ termasuk kawasan kubah gambut. Terdapat saluran drainase dengan lebar dan jeluk saluran utama sekitar 3,8 m dan 2 m. Lebar dan jeluk saluran tersier sekitar 0,5 m dan 0,5 m dengan jeluk air saluran 0,4 m. Pemupukan NP dan pupuk kandang (kotoran ayam) rutin diberikan sebelum tanam.
Tabel 5. Alat dan bahan penelitian Kegiatan analisis Di Lapangan 1. Pengukuran jeluk dan tebal lapisan kematangan, seresah permukaan, tinggi muka air tanah dan pengambilan sampel tanah gambut 2. Pengambilan sampel seresah dan biomasa 3. Pengambilan sampel emisi CO2 tanah Di laboratorium 4. Analisis sifat fisik tanah 5. Analisis sifat fisik seresah dan biomasa
6. Analisis sifat kimia tanah
7. Analisis sifat kimia seresah dan biomasa
Alat
Bahan
Bor gambut, meteran, tongkat kayu, seperangkat alat tebas, tabung PVC Ø 0,5 inci, cangkul atau sekop, pisau tipis tajam
Seperangkat alat tulis, plastik sampel, aluminium foil, karung plastik
Kuadrat plot, litterfall trap,
Plastik sampel, karung plastik, label, tali plastik, seperangkat alat tulis Tube
Kitagawa, tabung PVC Ø 5 inci, termometer digital, Oven, tanur, pinggan plastik dan aluminium, seperangkat alat pengabuan kering (LoI), timbangan analitik, neraca analitik, desikator, tangkai capitan, cawan porselen, eksikator, neraca, piknometer. Pipet 5, 10 dan 25 ml, gelas piala 100 dan 250 cc, termometer 1000C, corong kecil untuk kertas saring diameter 9 cm, pembakar bunsen, botol semprot, labu takar 25 -100 ml, botol kocok, mesin pengocok, pHmeter, tabung perkolasi, spektrofotometer UV-Vis, AAS, seperangkat alat nitrogen total (%). Neraca analitik, oven, tanur, eksikator, tangkai capitan, pinggan aluminium, cawan porselen.
Seperangkat alat tulis
Seperangkat bahan kimia penetapan asam humat dan asam fulvat; larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0; KPK dengan metode ekstrak NH4OAc, pH 7,0; nitrat (NO3-) dengan metode Brucine Sulfat; amonium (NH4+) Metode Nessler, nitrogen total (%); P -tersedia Metode Bray II; K dengan ekstrak HCl 25%. Seperangkat alat tulis
ambilan sampel seresah pada lahan HP dan HS dengan periode 2 minggu selama 6 bulan sehingga total sampel seresah sebanyak 12 untuk HP dan HS. 1. Karakterisitik fisik lahan gambut Pada setiap lokasi kajian dicuplik 5 titik sampling sebagai ulangan. Penentuan titik sampel sebagai ulangan pada setiap tipe lahan secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Sebaran titik sampel tersebut pada pusat distribusi, yang berada pada tengahtengah kawasan lokasi kajian. Jumlah sampel pada lima tipe penggunaan lahan sebanyak 25 sampel. Pada setiap titik sampling, sampel dicuplik lagi secara horizon untuk pengukuran jeluk muka air tanah (water-table depth), seresah permukaan tanah dan suhu tanah gambut. Secara vertikal berdasarkan lapisan kematangan gambut untuk pengukuran dan pengamatan jeluk tanah gambut, ketebalan lapisan kematangan dan profil tanah gambut (Gambar 12 dan 13). 1.a. Jeluk muka air tanah gambut, tebal seresah permukaan dan suhu tanah gambut Pada setiap titik sampling pengambilan data jeluk muka air tanah gambut diukur berdasarkan jarak jeluk muka air tanah terhadap permukaan tanah. Pada setiap titik sampling pengambilan data tebal seresah permukaan diukur berdasarkan jarak seresah permukaan terhadap permukaan tanah gambut. Pada setiap titik sampling pengambilan data suhu tanah diukur menggunakan termometer digital yang ditancapkan ke dalam tanah gambut. 1.b. Jeluk dan ketebalan lapisan kematangan tanah Pada setiap titik sampling pengambilan data jeluk dan ketebalan lapisan kematangan dengan menggunakan bor gambut (Eijkelkamp) dan diukur berdasarkan lapisan kematangan gambut hingga mencapai lapisan tanah mineral, warna tanah putih keabu-abuan (Murdiyarso et al., 2004). Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut diketahui dengan metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil segeng-
Gambar 12. Pengamatan dan pengukuran di lokasi kajian; pengeborn tanah gambut pada lahan KS (a) dan KJ (d); pengukuran tebal seresah lahan HP (b) dan HS (e); kematangan fibrik (c) dan profil tanah gambut lahan SB (f)
Gambar 13. Titik sampling vertikal berdasarkan lapisan kematangan gambut. Lahan semak bekas pembalakan hutan (logging), kebun sawit dan kebun jagung (a); lahan hutan primer dan hutan sekunder (b) dengan lima ulangan
gam tanah, kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan. Apabila sisasisa serat yang tertinggal, terbagi atas tiga bagian: (1) sisa serat yang tertinggal tiga perempat bagian atau lebih (≥ 3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis fibrik (F) dengan kandungan serat >66% (H1-H3); (b) sisa serat yang tertinggal kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian (> ¼ dan < 3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis hemik (H) dengan kandungan serat 33 – 66% (H4-H6); (c) sisa serat yang tertinggal kurang seperempat bagian (< 1/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik (S) dengan kandungan serat <33% (H7-H10) (Notohadiprawiro 1985). 2. Seresah dan biomasa vegetasi Tahapan pada penelitian ini meliputi pengambilan sampel seresah dan biomasa vegetasi di lokasi kajian, analisis sampel berupa berat basah, berat kering, kadar air, kadar abu dan kadar C-organik seresah dan biomasa di laboratorium dan perhitungan kandungan C-organik pada seresah dan biomasa dan analisis data. 2.a. Pengambilan sampel seresah dan biomasa vegetasi Pada tipe penutupan hutan (HP dan HS) seresah dicuplik dengan menggunakan perangkap seresah (litterfall-trap), berukuran 1m x 1m dan tinggi ± 0,5 m, dengan lima
ulangan. Perangkap seresah diletakkan di bawah kanopi pohon. Seresah dikumpulkan secara teratur dengan interval dua mingguan, dilakukan tiap tengah bulan dan akhir bulan selama satu musim (6 bulan). Hal ini bertujuan untuk meminimumkan dekomposisi di dalam perangkap terutama pada musim hujan. Pada tipe lahan SB, vegetasi permukaan (above growth biomass) dikumpulkan dan dipotong, baik hidup maupun telah mati, di dalam kuadran plot ukuran 1 m x 1 m dengan ulangan lima kali. Pada tipe lahan KS berdasarkan pendekatan produksi biomasa yaitu dengan cara menjumlahkan pangkasan pelepah dan daun kelapa sawit dengan ulangan lima kali. Sampel pada kebun dengan umur tanaman 3 tahun karena pada umur tanaman tersebut merupakan fase produktif untuk menghasilkan tandan pertama. Pada tipe lahan KJ berdasarkan metode pemanenan pada luasan 1 m x 1m, meliputi keseluruhan tegakan tanaman atas permukaan hingga bawah permukaan, kecuali buah dan biji jagung, dengan ulangan lima kali (Gambar 14). Seluruh sampel berjumlah 25 sampel dalam lima tipe penggunaan lahan. 2.b. Analisis sampel biomasa dan seresah Analisis seresah dan biomasa vegetasi sebagai parameter penunjang meliputi berat basah, berat kering, kadar air dan kadar abu, parameter utama meliputi N-total, P-total dan C-organik. Untuk sampel seresah hutan, seluruh seresah dalam perangkap merupakan sampel seresah. Untuk sampel biomasa pelepah kelapa sawit dengan menggunakan sub sampel (10%) dari seluruh sampel. Untuk sampel biomasa dan seresah semak, seluruh seresah dalam kuadran plot merupakan sampel seresah. Sedangkan untuk sampel biomasa tegakan jagung dengan menggunakan sub sampel (25%) dari seluruh sampel. Biomasa dan seresah yang telah dikumpulkan dari setiap tipe lahan, dimasukkan dalam kantong kertas dan dikeringkan selama 48 jam dengan suhu 700C, hingga berat kering konstan (Gambar 15).
Gambar 14. Sampel semak kuadran plot pada lahan SB (a), sampel biomasa jagung pada lahan KJ (b dan f), sampel pelepah sawit pada lahan KS (c), sampel seresah dalam litterfall-trap pada lahan HP (d) dan HS (e).
Analisis kadar air seresah dan biomasa diukur berdasarkan selisih timbangan berat seresah awal dan setelah pengeringan. Analisis kadar abu dan C-organik berdasarkan metode pengabuan kering (loss on ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel seresah dan biomasa yang telah kering oven dan dihaluskan dalam oven
tanur pada suhu 5500C selama 6 jam (Agus et al. 2011). Penentuan kadar C pada seresah dan biomasa vegetasi ini berdasarkan metode LoI, dimana berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah jumlah bahan organik yang terkandung dalam masing-masing biomasa sedangkan berat sampel yang dihitung adalah kadar abunya. Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material biomasa, dapat dihitung dengan persamaan (Agus et al. 2011): %BO = B1050 – B5500 x 100% B1050 %BO = persentase bahan organik gambut (LoI) B1050 = berat material gambut pada suhu 1050C B5500 = berat material gambut tersisa pada suhu 5500C
(2)
Sedangkan persentase C yang terkandung dalam material biomasa dapat dihitung dengan persamaan (Agus et al., 2011; Maswar 2011, Farmer et al., 2013) : %C
= 1 x % LoI (3) 1,922 %C = kadar C-organik bahan gambut % LoI = persentase bahan organik yang hilang pada proses LoI 1,922 = konstanta untuk mengkonversi nilai persen bahan organik (%BO) menjadi % C-organik 3. Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C) berdasarkan kematangan gambut Tahapan penelitian ini meliputi pengamatan dan pengukuran di lapangan berupa jeluk tanah gambut, luasan lokasi kajian, pengambilan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium dan analisis data penelitian. 3.a. Pengambilan sampel di lapangan Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada tipe penutupan hutan secara acak pada pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan lainnya mengikuti pola pergerakan zig zag (Gambar 12). Pengambilan sampel dengan mencuplik secara acak distratifikasi
(stratified random sampling), yaitu pemilihan sampel dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok yang relatif homogen berdasarkan kematangan gambut atau dekomposisi gambut (fibrik, hemik, saprik), kemudian sampel diambil secara acak dari tiap strata tersebut, sebanyak lima ulangan. Lapisan kematangan gambut yang telah dibor tersebut diketahui dengan metode peras dan skala von Post, caranya yaitu dengan mengambil segenggam tanah, kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan, yaitu metode dari The Soil Survey of England and Wales (Kechavarzi et al., 2010; Wüst et al., 2003). Jumlah sampel sebanyak 68 sampel. 3.b. Analisis sampel di laboratorium Analisis sampel tanah gambut berdasarkan kematangan gambut, meliputi parameter utama yaitu kandungan C tanah, C-asam humat-asam fulvat, δ13C, dan parameter pendukung yaitu berat isi (bulk density-BD), C-organik, pH, porositas, potensial redoks (Eh), kadar lengas dan kadar abu. Sampel tanah dalam PVC dikering-anginkan selama lebih kurang satu hingga dua hari. Kemudian tanah dipisahkan dari akar-akar tanaman, kerikil dan kotoran lainnya. Sampel tersebut ditimbang untuk mengetahui kadar lengas tanah. Setelah itu, menyiapkan sampel tanah dengan ukuran < 2mm dan < 0,5 mm dengan cara ditumbuk dan diayak sehingga sampel tanah siap untuk dianalisis (Gambar 15). Untuk mengetahui kandungan C tanah memerlukan data hasil perhitungan dari analisis kadar Corganik, BD, luasan lahan dan jeluk tanah gambut (Murdiyarso et al., 2004; Page et al., 2011). Analisis untuk mengetahui kadar C-asam humat-asam fulvat dengan metode ekstraksi natrium oksida. Analisis δ13C diperoleh dengan penggunaan spektrometer masa SIRA-9. Analisis kadar abu dan C-organik dengan metode pengabuan kering (loss on ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel tanah gambuut yang telah kering oven dan dihaluskan dalam oven tanur pada suhu 5500C selama 6 jam (Agus et al., 2011). Berat
Gambar 15. Sampel seresah-biomasa dan tanah gambut di laboratorium; biomasa pelepah sawit (a), pelepah sawit setelah kering-oven (b), seresah HS setelah kering-angin (c), tanah gambut lapisan olah (d), tanah gambut berdasarkan kematangan gambut (e), tanah gambut halus untuk dianalisis.
sampel yang hilang selama proses pembakaran merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material biomasa, dapat dihitung dengan persamaan 2 dan 3.
4. Nutrien dan kandungan C pada lapisan olah tanah gambut Tahapan penelitian ini meliputi pengamatan dan pengukuran di lapangan berupa jeluk tanah gambut, luasan lokasi kajian, pengambilan sampel di lapangan, analisis sampel di laboratorium dan analisis data penelitian. 4.a. Pengambilan sampel tanah gambut pada lapisan olah Pengambilan sampel dengan mencuplik secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Sampel dari tiap strata tersebut, diambil sebanyak lima ulangan pada lapisan olah (0 – 20 cm). Sebaran titik sampel tersebut pada pusat distribusi, yang berada pada tengah-tengah kawasan lokasi kajian. Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada tipe penutupan hutan secara acak pada pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan lainnya mengikuti pola pergerakan zig zag. Jumlah sampel sebanyak 25 sampel 4.b. Analisis sampel di laboratorium Sampel tanah dalam kantong sampel dikering-anginkan selama lebih kurang satu hingga dua hari. Kemudian tanah dipisahkan dari akar-akar tanaman, kerikil dan kotoran lainnya. Sampel tersebut ditimbang untuk mengetahui kadar lengas tanah. Setelah itu, menyi-apkan sampel tanah dengan ukuran < 2mm dan < 0,5 mm dengan cara ditumbuk dan dia-yak sehingga sampel tanah siap untuk dianalisis. Analisis sampel tanah pada lapisan oleh meliputi paramater utama, yaitu: pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), Ptersedia, K-dd, nitrat (NO3-), amoniak (NH4+), N-total, C-organik, rasio C/N dan kandungan C tanah, dan parameter pendukung yaitu luasan lahan, jeluk tanah gambut, berat isi (bulk density-BD), kadar lengas dan kadar abu. Untuk mengetahui kandungan C tanah memerlukan data hasil perhitungan dari analisis kadar C-organik, BD, luasan lahan dan jeluk tanah gambut. Analisis kadar abu dan C-organik dengan metode pengabuan kering (loss on ignition-LoI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel tanah gambut yang telah kering oven dan dihaluskan dalam oven tanur pada suhu 5500C selama
6 jam (Agus et al., 2011). Be-rat sampel yang hilang selama proses pembakaran merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material biomasa, dapat dihitung dengan rumus persamaan 2 dan 3. 5. Emisi CO2 tanah gambut Pengambilan sampel secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Sampel dari tiap strata tersebut, diambil sebanyak lima ulangan. Sebaran titik sampel tersebut pada pusat distribusi, yang berada pada tengah-tengah kawasan lokasi kajian. Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada tipe penutupan hutan secara acak pada pusat distribusi, sedangkan pada tipe lahan lainnya mengikuti pola pergerakan zig zag. Jumlah sampel sebanyak 25 sampel. Alat chamber yang digunakan untuk pengambilan sampel ini terbuat dari tabung PVC dengan ukuran 5 inci, diameter 10,5 cm dan tinggi 22 cm, ditancapkan ke dalam tanah sedalam 3 cm. Pada tipe lahan hutan (HP dan HS), chamber diletakkan di antara vegetasi pohon dengan menyingkirkan detritus permukaan tanah agar chamber dapat tertancap ke dalam tanah. Pada tipe lahan SB, chamber diletakkan pada permukaan kosong di sekitar semak dengan menyingkirkan detritus permukaan tanah agar chamber dapat tertancap ke dalam tanah. Pada tipe lahan KS dan KJ, chamber diletakkan diantara baris tanaman. Penempatan chamber ini berhubungan dengan pembatasan penelitian yaitu emisi CO2 dari hasil oksidasi bahan organik atau dekomposisi bahan organik tanah gambut. Chamber tersebut dihubungkan dengan selang sebagai media keluar masuknya gas dari tabung ke alat Kitagawa. Saat pengukuran emisi CO2 tanah gambut dilakukan pengukuran suhu tanah dan jeluk muka air tanah. Pengukuran suhu tanah gambut dengan menggunakan termometer tancap digital yang diletakkan di samping tabung pada kedalaman 0 – 10 cm (Gambar 16). Pengukuran jeluk muka air tanah gambut diukur berdasarkan jarak
Gambar 16. Pengambilan sampel emisi CO2 tanah pada lahan HS (a), SB (b), dan KJ (c) dan nilai CO2 yang tertera pada tube (d).
muka air tanah terhadap permukaan tanah. Waktu pengukuran sampel di lapangan dilaksanakan dalam dua kali pengukuran yaitu awal musim kemarau (15-25 Juni 2012) dan akhir musim hujan (20-29 Desember 2012). Data curah hujan dan hari hujan selama 1 tahun (Gambar 17). Ilustrasi pengambilan sampel tanah, seresah dan biomasa vegetasi dan emisi CO2 tanah pada tipe lahan hutan gambut primer, hutan gambut sekunder, semak
bekas pembalakan hutan (logging), kebun jagung dan kebun kelapa sawit disajikan pada Gambar 18.
500 400
35 CH
30
HH
25 20
300 15 200
10
100
5
0
0
Hari hujan (hari)
Curah hujan (mm)
600
Tahun 2012
Gambar 17. Curah hujan dan hari hujan tahun 2012
D. Analisis dan Perhitungan Data 1. Karakteristik fisik lahan Data dalam penelitian ini meliputi karakterisik fisik lahan yang meliputi jeluk muka air tanah, jeluk tanah, ketebalan dan profil lapisan kematangan, tebal seresah permukaan dan suhu tanah gambut. Perhitungan rerata profil lapisan kematangan gambut dan kematangan gambut tiap tipe penggunaan lahan menggunakan rata-rata imbang. Rata-rata imbang tersebut merupakan perhitungan dari faktor pengali dari nilai tengah kadar serat gosok dengan faktor pembagi jeluk tanah gambut. Faktor pengali fibrik = 83% (>66%), hemik = 49% (33–66%) dan saprik = 16% (<33%) (Notohadiprawiro 1985). Semua data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik. Data tersebut dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai parameter penelitian. Perhitungan rerata profil lapisan kematangan gambut dan kematangan gambut tiap tipe penggunaan lahan, sebagai berikut :
∑ Tebal lapisan kematangan x fp PKG = ----------------------------------------Total tebal kematangan
(4)
∑ Tebal lapisan kematangan x fp KG = -------------------------------------Jeluk tanah gambut
(5)
PKG = profil lapisan kematangan gambut Fp = faktor pengali (fibrik = 83%; hemik = 49%; saprik = 16%) KG = kematangan gambut 2. Seresah dan biomasa vegetasi Perhitungan kandungan C seresah dan biomasa pada SB dan KJ dengan persamaan berikut (Hairiah dan Rahayu, 2007): KC = BK x C KC = kandungan C seresah dan biomasa (ton ha-1) BK = berat kering seresah dan biomasa (kg ha-1) C = kadar C-organik
(6)
Untuk lahan HP dan HS menggunakan persamaan alometrik pada vegetasi hutan berdasarkan Buku Panduan Petunjuk Lapangan Pendugaaan Cadangan C pada lahan (Murdiyarso et al., 2004): W
= BJ 0,19 D 2,37
(7)
W = biomasa pohon (kg) BJ = berat jenis antara 0,53-0,71 g/cc, apabila vegetasi tidak memiliki data BJ, maka asumsi nilai BJ sama dengan satu. D = dimeter pohon setinggi dada (cm) Untuk lahan KS menggunakan rekomendasi dari Henson et al. (1997), berat kering sawit umur 3 tahun di Malaysia adalah 14,4 ton ha-1. Selanjutnya, cadangan C diduga dengan mengalikan biomasa dengan kadar C (Murdiyarso et al,. 2004): KC = C W KC = kandungan C (ton ha-1) W = biomasa kering (kg ha-1) C = kadar C (%)
(8)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berat basah, berat kering, kadar air, kadar abu, N-total, P-total, C-organik dan kandungan C seresah dan biomasa. Semua data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap parameter penelitian. 3. Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C) berdasarkan kematangan gambut Perhitungan kandungan C tanah gambut, dihitung dengan persamaan berikut (Murdiyarso et al., 2004; Page et al., 2011) : KC = L x J x C x BD L = luasan lahan (ha) J = jeluk tanah gambut (m) C = kadar C-organik tanah (%) BD = bulk density (g cm-3)
(9)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang meliputi jeluk tanah gambut, ketebalan tingkat kematangan tanah, luasan lahan, BD, kadar Corganik, kadar abu, kadar lengas, derajat kemasaman (pH), porositas, potensial redoks (Eh), kandungan C tanah, C-asam humat- asam fulvat, δ13C. Semua data ditabulasi dan disaji-kan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai parameter penelitian. 4. Nutrien dan kandungan C pada lapisan olah tanah gambut Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, meliputi pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), P-tersedia, K-dd, nitrat (NO3-) amoniak (NH4+), Ntotal, C-organik, rasio C/N dan kandungan C tanah (persamaan 6); luasan lahan, jeluk tanah gambut, berat isi (bulk density-BD), kadar lengas dan kadar abu. Semua data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut
dianalisis secara deskriptif
berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan
setiap nilai parameter penelitian. 5. Emisi CO2 tanah gambut Perhitungan fluks CO2 tanah gambut pada tiap tipe lahan menggunakan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993): Respirasi tanah (lb CO2-C/acre/hari) = PF x TF x (% CO2 – 0,035) x 22.91 x H
(10)
Konversi emisi CO2 dari satuan lb CO2-C/acre/hari menjadi ton ha-1 tahun-1 dengan persamaan: Respirasi tanah (ton ha-1 tahun-1) = (((Respirasi tanah x 0,454) x 0,405)/1000 x 365
(11)
PF = faktor tekanan = 1 TF = faktor suhu = (suhu tanah dalam celsius + 273) : 273 H = tinggi chamber = 22 cm Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif parameter utama, yaitu emisi CO2 musim kemarau dan musim hujan; dan pendukung yaitu suhu tanah pada dua kondisi tersebut. Untuk mengetahui hubungan faktor tipe lahan dan waktu pengukuran terhadap emisi CO2 tanah gambut dilakukan pengujian sidik ragam atau analisis varian (Anova). Jika terdapat pengaruh yang nyata antara satu dengan lainnya dalam suatu parameter maka dilakukan uji Beda Nyata Jujur (honesty significant differenceHSD). Uji ini dilakukan pada taraf α = 0,05 dan P = 0,05. Pengolahan untuk Anova dan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) menggunakan program Minitab versi 17. Semua data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk grafik dengan standar deviasi (SD). Data tersebut dianalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan peningkatan dan penurunan setiap nilai parameter penelitian. Data sekunder merupakan hasil wawancara dengan petani, pengelola dan petugas lapangan kebun sawit PT. Mitra Agro Pratama dan kajian literatur yang berkenaan den-
gan pemupukan jagung dan sawit. Lokasi tanaman jagung yang digunakan untuk lokasi kajian ini berada di Rasau Jaya Umum. Lahan tersebut sudah dibuka selama kurang lebih 30 tahun. Penggunaan pupuk organik dan pupuk kandang kotoran ayam cukup tinggi. Takaran pemupukan disajikan pada Tabel 6. Lokasi kebun kelapa sawit berada di Kampung Baru-Pinang Dalam sudah dibuka tahun 2000, namun lokasi kajian mulai ditanam tahun 2008/2009. Pemupukan menggunakan pupuk organik yang diberikan secara berkala setiap 6 bulan sekali dan pengapuran diberikan per tahun. Takaran pemupukan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis, takaran dan waktu pemberian pupuk pada kebun jagung (KJ) dan kebun sawit (KS) Tipe lahan KJ
KS
Waktu pemberian Sebelum tanam Saat tanam Tanaman umur 20 HST Tanaman umur 45 HST Pupuk organik per 6 bulan, dolomit per tahun
Urea
SP
Takaran Pemupukan Kotoran KCl
(kg ha-1)
(kg ha-1)
(kg ha-1)
ayam (kg ha-1)
50 50 50 54
50 50 72
50 50 143
20 -
Dolomit (ton ha-1)
143
Gambar 18. Ilustrasi pengambilan sampel seresah dan biomasa, tanah gambut, dan emisi CO2 tanah, pada lahan hutan rawa gambut primer (a), hutan sekunder (b), semak bekas pembalakan hutan (logging) (c), kebun sawit (d) dan kebun jagung (e).
Gambar 19. Kerangka tahapan penelitian deferensiasi karbon organik tanah dan seresah, emisi CO2 dan nutrien tanah akibat alih fungsi hutan rawa gambut Kalimantan Barat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini dipilah dalam lima sub topik yaitu perubahan karakterisitik fisik lahan, perubahan nutrien dan kandungan C tanah gambut lapisan olah, perubahan kandungan C, C-AH dan C-AF dan isotop C stabil (δ13C) kematangan gambut, perubahan nutrien seresah dan biomasa, dan perubahan emisi CO2 tanah gambut. Masing-masing sub topik tersebut dibahas dan disimpulkan. Setelah itu dibahas secara keseluruhan (over all discussions). A. Perubahan Karakteristik Fisik Lahan Perubahan karakterisitik fisik lahan dalam penelitian ini meliputi jeluk muka air tanah (water-table depth), jeluk tanah, ketebalan dan profil lapisan kematangan gambut, tebal seresah permukaan dan suhu tanah gambut. Secara umum perubahan penggunaan lahan gambut dari hutan gambut alami menjadi lahan pertanian dengan pembuatan drainase panjang, lebar dan dalam menyebabkan penurunan jeluk muka air tanah, tebal seresah permukaan dan jeluk tanah gambut, dan peningkatan suhu tanah gambut serta perubahan ketebalan lapisan kematangan yang variatif dan tipis menjadi kurang variatif dan relatif tebal. Jeluk muka air tanah pada lokasi kajian mengalami penurunan kurang lebih sebesar 42,9% antara kawasan hutan dengan lahan pertanian (Tabel 7 dan Gambar 20a). Kawasan hutan memiliki jeluk muka air tanah lebih dangkal, sebaliknya pada lahan KJ lebih dalam. Kondisi ini menunjukkan bahwa ekosistem gambut alami telah berubah. Hutan rawa gambut alami yang telah diubah menjadi lahan pertanian dan semak melalui proses penebangan, penebasan dan pembakaran vegetasi, pembuatan drainase dan penyiapan lahan menyebabkan jeluk muka air tanah cenderung menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soewandita (2008) di Siak, Propinsi Riau, namun penurunan jeluk muka air tanah
Gambar 20. Jeluk muka air tanah (a), jeluk tanah gambut (b), kematangan gambut (c), tebal seresah permukaan (d), suhu tanah gambut (e) pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ) dan curah dan hari hujan (f).
Tabel 7. Perubahan karakteristik fisik lahan gambut pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) Tipe Jeluk muka air Jeluk tanah KemaTebal seresah Suhu tanah lahan tanah (cm) gambut (cm) tangan permukaan gambut (0C) I II gambut (cm) I II HP 47,2 42,9 507,2 ± 64,02 Hemik 14,2 ± 7,34 22,78 26,56 HS 32,1 31,9 311,2 ± 158,77 Hemik 9,4 ± 3,65 26,56 26,64 SB 44,1 42,0 394,0 ± 50,55 Fibrik 6,2 ± 3,42 27,78 27,96 441,0 ± 22,67 KS 50,8 54,3 Hemik 0 26,44 29,08 KJ 56,2 54,0 475,6 ± 14,65 Fibrik 0 27,22 28,06 I = pengukuran pada awal musim kemarau (15-25 Juni 2012) II = pengkuran pada musim hujan (20-29 Desember 2012).
pada kubah gambut lebih besar, mencapai 60%. Penurunan tersebut disebabkan oleh faktor jeluk tanah gambut, vegetasi sebagai pembentuk bahan gambut, posisi pada kubah gambut dan aktivitas pengolahan lahan. Perbedaan jeluk muka air tanah karena keberadaan drainase pada lahan pertanian, khususnya pada KS dengan saluran panjang, dalam dan lebar yang mengelilingi blok dapat menyebabkan air tanah mengalir secara lateral menuju saluran tersebut (Gambar 21).
Kondisi tersebut dapat menyebabkan jeluk muka air tanah semakin dalam. Hal ini menunjukkan bahwa lahan KJ dan KS mempunyai jeluk muka air tanah lebih dalam dibandingkan HP, HS dan SB. Pada lahan HP dan HS memiliki jeluk muka air tanah berbeda meskipun pada penutupan lahan hampir sama. Kondisi tersebut ditunjang oleh jeluk tanah gambut dimana tipe lahan HP memiliki jeluk tanah lebih dalam (507,2 cm) sebaliknya HS dangkal (311,2 cm). Pada gambut relatif tipis atau dangkal memiliki kemampuan menahan air lebih kecil dibandingkan gambut dalam. Sesuai dengan penelitian Soewandita (2008) di Siak-Riau, bahwa jeluk tanah gambut 1 m memiliki jeluk muka air tanah 0,1 m sedangkan pada jeluk tanah 2 m memiliki jeluk muka air tanah 0,2 m. Pada lahan SB, jeluk muka air relatif dalam, meskipun tidak terdapat saluran dalam kawasan semak. Jeluk muka air tanah mempunyai hubungan dengan suhu tanah yang tinggi (27,8oC). Suhu tanah tinggi dapat meningkatkan respirasi akar dan evaporasi tanah. Secara umum jeluk muka air tanah I pada lokasi kajian cenderung dalam namun pada pengukuran II lebih dangkal. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat curah hujan dan hari hujan. Pengukuran I memiliki curah hujan dan hari hujan rendah yaitu 93,6 mm dan 6 hari hujan. Pengukuran II memiliki curah hujan dan hari hujan tinggi yaitu 502 mm dan 26 hari hujan dari rata-rata tahunan 381,2 mm dan 18 hari hujan. Kondisi tersebut mempengaruhi fluktuasi jeluk muka air di lokasi kajian (Gambar 20f dan Lampiran 15). Pola tersebut berbeda untuk lahan KS, dimana jeluk muka air tanah menurun pada pengukuran II (6,5%). Kondisi ini dipengaruhi oleh suhu lebih tinggi (29,8oC) dan keberadaan drainase di sekeliling kebun (drainase utama, blok kanan dan kiri). Suhu tanah pada pengukuran I lebih rendah daripada II, berarti suhu tanah gambut lebih tinggi pada musim hujan (Tabel 7). Ketidaklaziman ini dapat disebabkan pengaruh
Gambar 21. Saluran drainase pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), meliputi kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ). Drainase blok kiri KS (a), drainase blok kanan KS (b), drainase tersier KJ (c)
curah hujan sebelum pengukuran suhu tanah di lokasi kajian. Sebelum pengukuran I dilakukan, hujan turun sepanjang pagi hari (± 3,5 jam) sedangkan pengukuran suhu dilakukan tepat pukul 11.30 WIB. Kondisi sebaliknya pada pengukuran II, hujan tidak turun selama 3 hari. Jeluk tanah gambut pada lahan HP paling dalam, sedangkan pada lahan HS paling dangkal (Tabel 7, Gambar 20b dan 22). Lahan gambut cenderung memiliki perbedaan jeluk tanah gambut dalam suatu kawasan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan jarak dari sungai atau laut. Jarak lokasi kajian dari sungai disajikan pada Tabel 8. Semakin jauh dari sungai maka gambut cenderung semakin tebal membentuk kubah. Kubah gambut (peat dome) biasanya terdapat di bagian tengah dan cenderung semakin tebal. Lahan HP, di Kecamatan Sungai Raya, dan KJ, di Kecamatan Rasau Jaya, kemungkinan berada disekitar kubah gambut (Sagiman, 2007). Keduanya memiliki jeluk tanah gambut dalam dibanding dengan tipe lahan lainnya. Jeluk tanah gambut di lokasi kajian lebih dangkal dibanding dengan hasil penelitian Soewandita (2008) di kubah gambut Siak, Riau. Di kubah gambut Zambrud, jeluk tanah gambut dapat mencapai 17 m. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh umur gambut, vegetasi bahan pembentuk gambut dan faktor iklim serta bentang lahan. Tabel 8. Jarak tipe hutan rawa gambut (HP), hutan sekunder (HS), semak (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) dari sungai Tipe lahan Jarak dari sungai (km) Hutan primer (HP) Sungai Limbung = 3,11; Sungai Kapuas = 7,45 Hutan sekunder (HS) Sungai Punggur = 6,97; Sungai Ambawang = 11,1 Semak (SB) Sungai Punggur = 6,86; Sungai Ambawang = 11,7 Kebun sawit (KS) Sungai Punggur = 8,15; Sungai Ambawang = 7,12 Kebun jagung (KJ) Sungai Punggur = 7.51; Sungai Kapuas = 8,14
Lahan HP dan KJ berada pada kawasan kubah gambut sehingga cenderung memiliki jeluk tanah dalam, sedangkan lahan HS berada pada kawasan yang berdekatan dengan lahan SB dan KS, bukan terletak tepat pada kubah gambut sehingga memiliki jeluk tanah
relatif lebih dangkal. Tipe HS, SB dan KS berada pada kawasan yang sama dan jaraknya relatif berdekatan, di Kecamatan Kubu, namun cenderung memiliki jeluk tanah gambut berbeda. Berdasarkan data Tabel 8, jarak lahan KS dari sungai besar (Sungai Punggur) lebih jauh dibandingkan lahan HS dan SB. Kondisi inilah yang mengakibatkan lahan KS memiliki jeluk tanah lebih dalam. Kondisi tersebut sesuai dengan pengamatan Sabiham (1988) di dataran rendah Jambi dan Kalimantan Selatan. Secara geomorfologi, suatu kawasan walaupun berada pada hamparan gambut sama, seringkali relief dasar gambut tidak datar melainkan cembung dan bergelombang. Jaenicka et al. (2008) menegaskan pula bahwa permukaan kubah gambut, di Kalimantan Tengah, tidak membentuk cembung sempurna namun bergelombang hingga berlekuk-lekuk. Perbedaan jeluk tanah diperkirakan adanya penurunan permukaan tanah gambut atau kubah gambut (collapsed peat dome), seperti yang terjadi di lahan gambut Kalimantan Tengah (Kool et al., 2006). Penurunan permukaan gambut tersebut dikendalikan oleh pembuatan saluran primer dan sekunder disepanjang sungai alami yang meningkatkan proses oksidasi atau perombakan bahan organik tanah dan pemadatan gambut. Penurunan lapisan gambut seolah-olah menyebabkan jeluk tanah dangkal. Wösten et al. (2002) melaporkan bahwa penurunan tanah gambut di Sarawak-Malaysia, 5 cm tahun-1, setelah dua tahun pertama meningkat menjadi 50 cm tahun-1 yang akhirnya menyebabkan penyatuan (consolidation). Pada lahan gambut di Kalteng, Jauhiainen et al. (2001) memperkirakan laju penurunan lapisan gambut akibat perombakan bahan organik berkisar antara 0,9-1,8 cm tahun-1. Lapisan kematangan gambut pada lokasi kajian ditunjukkan dalam bentuk profil tanah dengan ketebalannya dan rerata kematangan gambut (Gambar 20c dan 22, Tabel 7, Lampiran 16). Hasil penelitian menunjukkan pada lahan HP dan KS memiliki lapisan
kematangan gambut variatif (11 lapisan gambut), sebaliknya pada lahan HS kurang variatif (5 lapisan gambut). Selain variasi lapisan gambut, ketebalan lapisan kematangan gambut menunjukkan perbedaan di setiap lahan gambut. Lahan HP memiliki ketebalan lapisan relatif tipis (27,6 sampai 120 cm), sedangkan sebaliknya pada lahan HS dan KS (25,0 sampai 220,4 cm; 21,0 sampai 211 cm). Rerata kematangan gambut pada lahan HP, HS dan KS adalah hemik, sedangkan lahan SB dan KJ adalah fibrik. Terdapat pertentangan terutama antara kawasan hutan (HP dan HS) dengan lahan pertanian yang secara rutin diolah dan berdrainase (KJ). Perbedaan tingkat kematangan gambut pada lokasi kajian disebabkan kondisi saluran drainase. Lahan KS dan HP memiliki drainase dengan jeluk dan air saluran drainase dalam dan lebar, sedangkan lahan SB tidak memiliki drainase (Gambar 21). Semakin dalam jeluk saluran dan air saluran drainase menyebabkan kondisi aerobik dapat mempercepat proses dekomposisi dan pematangan gambut. Meskipun lahan KJ memiliki drainase, namun kematangan gambutnya fibrik. Hal ini dihubungkan dengan keberadaan KJ pada daerah kubah gambut yang dalam sehingga kematangan fibrik mendominasi lapisan kematangan gambut terutama pada lapisan tanah paling dalam (Lampiran 2). Perbedaan lapisan kematangan gambut di lokasi kajian disebabkan perbedaan bahan penyusun gambut akibat perubahan vegetasi pada setiap lapisan kematangan gambut (Gambar 22). Perbedaan bahan penyusun gambut kemudian mempengaruhi pula komposisi kimiawi bahan organik gambut dan laju dekomposisi bahan organik tanah. Perbedaan vegetasi tersebut juga diungkapkan oleh Sabiham (1988) di Kumpeh dan Tanjung, Propinsi Jambi. Ketiadaan kematangan saprik pada lahan HS dan SB (Gambar 22), kemungkinan disebabkan oleh terhentinya masukan biomasa segar dalam kurun waktu tertentu yang dalam hal ini dapat disebabkan oleh pembakaran atau deforestasi. Perbedaan vegetasi
Gambar 22. Profil dan tebal lapisan kematangan gambut pada tipe hutan, meliputi hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), dan lahan pertanian, meliputi kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ). Tipe lahan HS dan SB tidak memiliki kematangan saprik pada permukaan tanah
tersebut menghasilkan bahan penyusun gambut yang berbeda kemudian menentukan perbedaan laju dekomposisi bahan organik tanah. Apabila terjadi pemusnahan vegetasi maka secara langsung dapat menurunkan endapan bahkan menghentikan pembentukan gambut. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa pada lahan HP mempunyai lapisan kematangan gambut bervariasi dengan ketebalan relatif tipis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proses pembentukkan tanah gambut di lahan HP sangat dinamis. Sebaliknya pada lahan HS, SB, KS dan KJ, proses pembentukan tanah gambut relatif stabil di tiap profil kematangan (Gambar 22). Kestabilan bahan organik ditentukan juga oleh proses-proses biogeokimia (Kechavarzi et al., 2010), yang dalam hal ini dipengaruhi oleh faktor ketersediaan O2
yang dihubungkan dengan kondisi aerobik tanah gambut akibat pengeringan lahan. Selain itu dipengaruhi juga suhu tanah. Penebangan dan pembakaran vegetasi serta pengolahan lahan gambut di lokasi kajian terutama pembuatan drainase lebar dan dalam merupakan penyebab peningkatan proses oksidasi dan suhu tanah. Kondisi ini menyebabkan perubahan drastis pada ekosistem gambut alami. Perubahan ekosistem yang drastis inilah dapat dipastikan sebagai penyebab tidak dijumpai dan tipisnya lapisan-lapisan kematangan saprik di lahan HS, SB, KS dan KJ. Karakteristik tersebut ditemukan pula oleh Dommain et al. (2011) di pantai Kalimantan-Malaysia. Lapisan kematangan saprik HP lebih tebal dibandingkan KS dan KJ. Hutan gambut dengan keberadaan vegetasi permukaan dan seresah tanah tebal membentuk bahan-bahan oksidatif dan akumulasi gambut tebal. Sebaliknya pada lahan pertanian tidak terjadi akumulasi gambut dari vegetasi permukaan dan seresah tanah. Pengolahan lahan intensif dan drainase lebar dan dalam menyebabkan dekomposisi aerobik dan transportasi atau pencucian bahan-bahan oksidatif (berupa dissolved organic carbon-DOC dan particulate organic carbon-POC) ke saluran meningkat, seperti yang dikemukakan oleh Couwenberg et al. (2010). Hal tersebut dibuktikan oleh tingginya DOC dan POC di Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah seperti yang dikemukan oleh Moore et al. (2011) dan di PeninsularMalaysia oleh Yule dan Gomez (2009). Seresah permukaan tanah hanya terdapat pada lahan HP, HS dan SB, sebaliknya pada KS dan KJ tidak ditemukan. Seresah di lahan HP lebih tebal, sedangkan di lahan SB terendah dengan perbedaan sebesar 56,3% (Tabel 7 dan Gambar 20d). Hasil tersebut menunjukkan bahwa perbedaan kerapatan dan jenis vegetasi pada HP, HS dan SB mempengaruhi tebal seresah permukaan. Sebaliknya pada lahan pertanian yang selalu diolah dan tidak terdapat tegakan vegetasi alami tidak memiliki seresah permukaan.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh laju dekomposisi dan akumulasi seresah permukaan. Semakin lambat dekomposisi bahan organik maka semakin tebal akumulasi seresah permukaan. Laju dekomposisi dapat digambarkan dengan rasio C/N seresah dan biomasa. Lahan HS memiliki rasio C/N tinggi sehingga seresah permukaan lebih tebal, sebaliknya lahan SB dengan rasio C/N 32,46 (Tabel 11). Laju dekomposisi seresah dipengaruhi secara tidak langsung oleh jeluk muka air tanah. Hubungan tersebut melalui proses dekomposisi bahan organik biomasa, penurunan muka air tanah meningkatkan dekomposisi atau penguraian. Hal ini jelas terlihat pada lahan HP, HS dan SB terjadi peningkatan timbunan seresah dan biomasa karena jeluk muka air tanah lebih dangkal daripada KS dan KJ. Sesuai dengan Sulistiyanto et al. (2005) bahwa di hutan Kalimantan Tengah, dimana pada low pole forest dengan jeluk muka air dangkal atau tergenang sepanjang tahun memiliki laju dekomposisi seresah lebih rendah, sebaliknya pada mixed swamp forest. Selain itu, laju akumulasi dipengaruhi juga oleh keberadaan saluran drainase. Laju akumulasi seresah permukaan pada lahan tidak terdrainase lebih tinggi dibanding pada lahan terdrainase. Perbedaan tersebut diungkapkan oleh Pitkӓ nen et al. (2012) di Finland. Perbedaan tebal seresah permukaan tanah HP, HS dan SB disebabkan kondisi kanopi atau kerapatan vegetasi. Lahan HP memiliki kerapatan vegetasi atau kanopi paling rapat dibanding HS dan SB, seperti yang ditemukan oleh Carnevale dan Lewis (2001) di hutan hujan tropika Argentina bahwa pada hutan dengan kanopi tertutup litterfall-nya lebih banyak dibandingkan kanopi terbuka. Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah bahwa perubahan fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian dengan keberadaan drainase mempengaruhi karakteristik fisik lahan, khususnya profil dan ketebalan lapisan kematangan gambut. Secara detail penelitian ini menemukan bahwa perubahan fungsi lahan menyebabkan perubahan lapisan kematangan variatif dan tipis tiap lapisan di lahan HP menjadi kurang variatif dan
relatif tebal di lahan HS dan SB, dan kematangan saprik pada lahan HP lebih tebal daripada KS dan KJ. Parameter lainnya adalah jeluk muka air tanah dengan penurunan sebesar 42,9% antara lahan HS dan KJ, namun Soewandita (2008) mengungkapkan bahwa penurunannya dapat mencapai 60% antara hutan primer dan hutan tanaman industri dan lahan terbuka di kubah gambut Siak, Propinsi Riau. Kesimpulan dalam sub topik ini yaitu pada tipe lahan HP, HS dan SB memiliki jeluk muka air tanah lebih dangkal daripada KS dan KJ. Kajian ini mengindikasikan bahwa jeluk muka air tanah dapat mengendalikan jeluk tanah gambut dan tebal seresah permukaan tanah. Keberadaan saluran drainase mempengaruhi fluktuasi jeluk muka air tanah yang menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik yang mempengaruhi proses dekomposisi dan akumulasi bahan organik tanah gambut. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis terbukti. Tipe lahan HP relatif memiliki lapisan kematangan variatif dengan ketebalan tiap lapisan kematangan relatif tipis dan kematangan saprik lebih tebal. Sebaliknya pada lahan HS, SB, KS dan KJ. Kondisi ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa profil kematangan saprik lebih tebal dan fibrik lebih tipis pada lahan SB, KS dan KJ dibandingkan hutan rawa gambut. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan pada hutan gambut dengan vegetasi permukaan dan seresah tanah tebal membentuk akumulasi gambut tebal. Sebaliknya pada lahan pertanian tidak terjadi akumulasi gambut dari vegetasi permukaan dan seresah tanah.
B. Perubahan Nutrien dan Kandungan C Tanah Gambut Hasil penelitian meliputi parameter nutrien (P-total, P2O5 tersedia, K-dd, nitrat (NO3-), amonium (NH4+), N-total dan C-organik) dan kandungan C tanah gambut, kadar abu, pH, kapasitas pertukaran kation (KPK), rasio C/N. Alih fungsi hutan gambut alami
menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan-perubahan berupa penurunan kadar nutrien dan kandungan C tanah gambut dan peningkatan pH, kadar abu dan rasio C/N tanah gambut.
1. Kandungan nutrien tanah gambut Kandungan N (NO3-, NH4+, N-total) tanah gambut tertinggi pada kawasan hutan, sebaliknya terendah di lahan pertanian (KJ). Berbeda untuk kadar NO3- terendah pada lahan HS. P-tersedia tertinggi pada lahan HP dan terendah pada SB. Sebaiknya untuk Ptotal, tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada KS (Tabel 9 dan Gambar 23). Uji Duncan menunjukkan N-total terendah pada KJ dan berbeda nyata dengan SB dan HS, NH4+ terendah pada KJ dan berbeda nyata dengan HS, SB dan HP, demikian pula untuk NO3terendah pada SB dan berbeda nyata dengan HP (Lampiran 18). Kandungan nutrien tanah gambut menunjukkan kecenderungan lebih tinggi pada kawasan hutan dan menurun pada lahan pertanian dan semak. Penurunan nutrien pada lahan pertanian dan semak karena tingginya pelepasan dan pelindian nutrien dalam larutan tanah dan saluran drainase pada lahan KJ dan KS. Penjelasan tersebut dapat ditunjukkan dari perbedaan nutrien (C-organik, N dan P-total) antara masukan dari seresah-biomasa dan di dalam tanah gambut (Tabel 10). Penyebab lainnya karena penyerapan nutrien yang cukup besar ke jaringan tanaman pada pertumbuhan awal (vegetatif) serta proses pemanenan yang dapat membawa sebagian nutrien keluar dari tanah. Masukan N-total tertinggi dari biomasa jagung pada lahan KJ (2,50%) sedangkan kadar N-total tanah terendah (1,91%) dengan persentase 130,1%. Hal serupa terjadi pada P-total, persentase masukan P-total tertinggi pada lahan KS (171,4%), meskipun masukan nutrien P-total tertinggi pada lahan KJ (0,38%) (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan dari hutan gambut menjadi lahan pertanian menurunkan kadar nutrien tanah gambut. Kondisi ini mengungkapkan bahwa kegiatan pengelolaan tanah dan keberadaan drainase sebagai penyebab pelindian nutrien tinggi dalam larutan tanah gambut dan terjerap dalam koloid tanah. P-tersedia, K-dd dan C-organik tertinggi pada lahan HP, sedangkan terendah berbeda-beda dengan urutan lahan SB untuk P-tersedia, lahan KS untuk K-dd dan lahan KJ untuk C-organik dengan besar penurunan berturut-turut 53,7%, 80,5%, 4,4%. Sama seperti kadar N, penurunan ini juga menunjukkan bahwa drainase dan pengolahan lahan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kandungan P-tersedia, K-dd dan C-organik. Bertolak belakang untuk P-total, tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada KS (Gambar 23a-g). Uji Duncan menunjukkan bahwa P-total tertinggi pada KJ dan berbeda nyata dengan KS dan HP (Lampiran 18). Sesuai dengan temuan Khotimah et al. (2013) bahwa perubahan lahan dari hutan alami menjadi hutan tanaman industri (HTI) meningkatkan Ptotal, kondisi ini karena pemupukan dan penambahan ameliorasi pada HTI. Nelvia et al. (2012) mengemukakan bahwa penambahan fosfat alam pada tanah gambut meningkatkan proporsi P-organik tidak labil pada bahan tanah gambut sebesar 36,9% - 96,4%. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena terbentuknya garam kompleks sukar larut atau senyawa kompleks organo-logam lebih stabil yang mengikat anion fosfat. Hal ini sesuai dengan temuan Westman & Laiho (2003) bahwa nutrien tanah cenderung menurun, berturut-turut dari tipe kaya tanaman (Herb-rich type- HrT), tipe Vaccinium myrtillus 1 dan 2 (MT1 dan MT2), tipe Vaccinium vitis-idaea 1 dan 2 (VT1 dan VT2) dan tipe semak (Dwarf-shrub type-DsT). Satrio et al. (2009) mengemukakan bahwa terjadi penurunan N-total, P-total dan C-organik pada hutan rawa gambut tidak terganggu (undisturbed tropical peat swamp forest) menjadi hutan gundul (logged forest)
1,0 2,2 2,2 2,4 5,4
408,50 ± 168,06 349,81 ± 186,83 189,07 ± 73,94 385,60 ± 74,11 257,09 ± 44,37
± 0,17 ± 0,17 ± 0,16 ± 0,11 ± 0,40
HP HS SB KS KJ
3,60 3,53 3,55 3,37 3,93
P-tersedia (ppm)
5 5 5 5 5
lanjutan Tipe lahan
HP HS SB KS KJ
0,70 0,45 0,84 1,14 3,85
2,42 2,75 2,51 2,04 1,90
± 0,20 ± 0,40 ± 0,50 ± 0,18 ± 0,42
295,73 ± 151,35 126,85 ± 47,12 238,35 ± 51,07 172,99 ± 79,22 243,50 ± 76,66
359,74 ± 161,32 256,89 ± 177,49 267,98 ± 64,36 195,90 ± 89,22 65,83 ± 17,88
57,42 56,72 56,72 56,61 54,87
± ± ± ± ±
0,41 0,26 0,49 0,66 2,23
10.037,60 ± 10.036,72 ± 10.022,17 ± 10.023,24 ± 10.022,39 ±
0,56 0,19 0,14 1,43 0,39
27,85 20,94 23,19 27,85 29,94
± ± ± ± ±
1,68 2,87 3,80 2,64 6,61
C-organik (%) Kandungan C (ton Rasio C/N ha-1)
(cmol kg ) 99,12 ± 7,95 96,21 ± 8,22 92,66 ± 12,58 93,33 ± 27,13 79,18 ± 18,30
K-dapat dipertukar (cmol kg-1) 2,16 ± 1,09 1,63 ± 0,73 0,64 ± 0,43 0,42 ± 0,14 0,63 ± 0,11
± ± ± ± ±
0,09 ± 0,01 0,13 ± 0,01 0,11 ± 0,01 0,07 ± 0,00 0,24 ± 0,11
Tabel 9. Perubahan karakteristik nutrien dan kandungan C tanah gambut pada hutan primer (HS), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) Tipe N pH Kadar abu Kapasitas PertuN-total (%) NO3- (ppm) NH4+ (ppm) P-total (%) karan Kation lahan (%) -1
Tabel 10. Masukan atau input nutrien seresah-biomasa pada tanah gambut pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) Tipe C-organik (%) N-total (%) P-total (%) Seresah Seresah Seresah Tanah % Tanah % Tanah % Lahan HP 56,26 57,42 98,0 1,71 2,42 65,3 0,05 0,09 55,5 HS 54,81 56,72 96,6 1,58 2,75 70,7 0,08 0,13 61,5 SB 55,68 56,72 98,2 1,71 2,51 68,1 0,17 0,11 154,5 KS 56,03 56,61 99,0 1,51 2,04 74,0 0,12 0,07 171,4 KJ 54,06 54,87 98,5 2,50 1,91 130,1 0,38 0,24 158,3
di Sarawak-Malaysia. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Sugirahayu dan Rusdiana (2011) di Paser, Propinsi Kalimantan Timur, bahwa kadar P dan K, rasio C/N dan KPK tertinggi pada hutan rawa dan hutan alami dan terendah pada lahan agroforestri. Ketersediaan dan keberadaan nutrien pada suatu tempat dipengaruhi oleh KPK tanah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa KPK tertinggi pada lahan HP dan terendah pada lahan KJ namun uji Duncan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan semua tipe lahan (Gambar 22j). Tanah dengan KPK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KPK rendah. Pada KPK tinggi unsur-unsur nutrien terdapat dalam kompleks jerapan koloid sehingga tidak mudah hilang terlindi oleh air. Untuk parameter pH tanah, nilai tertinggi pada lahan KJ (3,9), dapat pula mempengaruhi reaksi-reaksi suatu unsur dalam larutan tanah walaupun nilai tersebut termasuk kategori sangat rendah (Gambar 22i). Lahan KJ memiliki rasio C/N tertinggi dibandingkan kawasan hutan (Gambar 22l). Uji Duncan menunjukkan bahwa rasio C/N terendah pada lahan HS dan berbeda nyata dengan KS dan KJ (Lampiran 18). Rasio C/N tinggi mengindikasikan laju dekomposisi bahan organik rendah yang dihubungkan dengan kadar C-organik tinggi dan nutrien tanah rendah. Kondisi ini bertolak belakang dengan kadar dan kandungan C yang rendah pada lahan KJ, meskipun indikasi kandungan nutrien rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
Gambar 23. NO3- (a), NH4+ (b), N-total (c), P-tersedia (d), P-total (e), K-dd (f), C-organik (g), kadar abu (h), pH (i), KPK (j), kandungan C tanah (k) dan rasio C/N (l) tanah gambut lapisan olah pada pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ).
kegiatan pengelolaan tanah dan keberadaan drainase kemungkinan sebagai penyebab pelepasan atau pelindian nutrien tinggi dalam larutan tanah gambut dan terjerap dalam
koloid tanah. Kondisi ini ditandai dengan kadar abu pada lahan pertanian tinggi namun rentan mengalami pelepasan masuk dalam saluran drainase atau air tanah. Perubahan vegetasi karena alih fungsi lahan menimbulkan adanya celah antara tajuk vegetasi. Kondisi ini akan meningkatkan proses pelindian nutrien karena air hujan tidak dapat ditahan oleh tajuk. Kanal-kanal drainase dapat menyebabkan terjadinya pemadatan tanah yang digambarkan oleh peningkatan BD tanah gambut. Pada lokasi penelitian, peningkatan BD mencapai 9,4% (HP dan SB) (Tabel 11). Bertolak belakang dari penelitian ini, temuan Li et al. (2006) pada lahan kontrol dan perlakuan pemupukan menunjukkan peningkatan unsur N -total dan K sebesar 51,7% dan 55,9%. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Anshari et al. (2010) bahwa terjadi peningkatan N-total pada kebun sawit (15-20 tahun) dibanding hutan gambut pantai (coastal peat forest) sebesar 53,9%. 2. Kandungan C tanah gambut Kandungan C pada lahan HP tertinggi dan terendah pada lahan KJ dan SB (Gambar 22k). Nilai kandungan C tanah gambut dipengaruhi oleh kadar C, jeluk tanah, bobot isi (bulk density-BD) dan luasan lahan gambut. Tipe HP memiliki kandungan C lebih tinggi tinggi karena jeluk tanah dalam, kadar C tinggi dan BD rendah walaupun luasan lahan lebih rendah dibandingkan tipe lahan lainnya (Tabel 7). Kawasan hutan memiliki kadar C-organik dan kandungan C tanah gambut lebih tinggi dibandingkan kawasan semak dan pertanian, dengan perbedaan berturut-turut sebesar 4,4% dan 0,15%. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan oleh Satrio et al. (2009), Salimin et al. (2010) dan Firdaus & Gandaseca (2010) bahwa penurunan C-organik tanah dari hutan tidak terganggu (undisturbed forest) menjadi penggunaan lahan lain di lahan gambut Sarawak-Malaysia, berturut-turut 4,66%, 1,13% dan 1%. Penurunan C tanah lebih tinggi dilaporkan oleh Hergoualc’h & Verchot (2011), bahwa perubahan lahan dari
hutan rawa gambut asli menjadi lahan pertanian Asia Tenggara antara 53,2 hingga 97,8%, sedangkan pendapat Qiming et al. (2003) penurunannya sebesar 87% di propinsi Guizhou, China. Faktor lingkungan seperti penyinaran matahari, suhu dan muka air tanah pada kawasan hutan, menyebabkan laju dekomposisi bahan organik berlangsung alami, sebaliknya pada lahan pertanian proses dekomposisi dipercepat karena adanya pengelolaan lahan. Proses pengolahan lahan cenderung merusak aggregat tanah menyebabkan tanah padat yang ditunjukkan dengan peningkatan BD dan penurunan porositas dan kadar air. Pada lokasi kajian peningkatan BD dari lahan HP menjadi lahan SB sebesar 10,8% (Tabel 11). Sesuai dengan hasil penelitian Satrio et al. (2009), Anshari et al, (2010); Firdaus & Gandaseca, (2010) peningkatannya sebesar 11,8%, 25%, 33,3%. Penurunan porositas, pada lokasi kajian dari lahan HP menjadi KS sebesar 10,8% (Tabel 11). Sama seperti yang dilaporkan oleh Firdaus & Gandaseca, (2010) sebesar 5,5%. Penurunan kadar air tanah pada lokasi kajian dari lahan HP menjadi KJ sebesar 64,5%, sedangkan penurunan lebih kecil dilaporkan oleh Anshari et al, (2010) sebesar 4,9%. Perbedaan penurunan kadar air tanah gambut tersebut diperkirakan karena kondisi jeluk muka air tanah di lokasi kajian lebih dangkal sehingga mempengaruhi kebasahan tanah gambut (tanah lebih becek). Faktor kehilangan sebagian bahan organik akibat terbawa aliran permukaan dapat menjelaskan penurunan kandungan C tanah pada lahan pertanian. Kehilangan C-organik akibat pelindian dan terbawa aliran permukaan seperti diungkapkan oleh Monde et al. (2008) pada kebun jagung lebih tinggi dibandingkan pada hutan. Pengamatan yang sama juga dilakukan oleh Laskar et al. (2012) di Bakrihawar dan Chandipur, India, penurunannya hingga mencapai 50%.
Hal ini menggambarkan bahwa alih fungsi hutan rawa gambut primer yang disertai pembuatan saluran drainase dan pengolahan lahan intensif berarti merubah ekosistem alaminya yang bersifat anaerobik menjadi aerobik. Hasil penelitian di lokasi kajian, memperlihatkan perubahan muka air tanah dangkal pada kawasan hutan (Tabel 7), menjadi muka air tanah dalam pada SB, KS dan KJ (Gambar 20a). Kondisi lahan gambut terdrainase dan teraerasi baik menyebabkan laju dekomposisi material gambut meningkat. Hal ini mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah yaitu BD tinggi dan porositas tanah rendah, dan pemadatan tanah tinggi; sifat kimia yaitu kadar C-organik rendah sedangkan kadar abu (mineral) meningkat. Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah bahwa alih fungsi hutan gambut menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan nutrien tanah gambut lapisan olah, terutama C-organik, NO3-, NH4+, N-total, P-tersedia, dan K-dd, kecuali untuk P-total terjadi peningkatan. Kecenderungan penurunan tersebut lebih tinggi dibanding hasil penelitian Satrio et al. (2009), di tipe lahan hutan alami dan hutan gundul dengan unsur N-total, Ptotal dan C-organik. Hasil temuan tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian dari Li et al. (2006), bahwa terjadi peningkatan C, N-total, P-total dan K akibat pemupukan di hutan basah tropika Puerto Rico. Demikian pula dengan Anshari et al. (2010) bahwa terjadi peningkatan N-total akibat drainase pada lahan gambut di Kalbar. Kesimpulan dalam sub topik ini yaitu perubahan hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian terutama dengan drainase, pembakaran, pemupukan dan pengapuran dapat merubah karakteristik gambut alami. Kawasan hutan (HP dan HS) cenderung memiliki kadar nutrien dan kandungan C tanah lebih tinggi daripada lahan pertanian (KS dan KJ) dan semak (SB). Sebaliknya pH, kadar abu dan C/N rasio di lahan pertanian cenderung lebih tinggi daripada kawasan hutan.
Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menurunkan nutrien dan kandungan C tanah gambut yang berkaitan dengan aktivitas deforestasi, drainase, pengolahan lahan. Perubahan penggunaan lahan berarti tanah gambut terbuka dan merubah kondisi anaerobik menjadi aerobik sehingga mempercepat proses dekomposisi atau penguraian bahan organik, kehilangan air tanah dan jeluk muka air tanah semakin dalam pada tanah gambut. Keadaan ini mengakibatkan hilangnya bahan organik tanah gambut dan pelindian nutrien tanah karena meningkatnya dekomposisi gambut. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis tidak terbukti.
C. Perubahan Kandungan C, C-AH dan C-AF dan Isotop C stabil (δ13C) Kematangan Gambut Data penelitian meliputi parameter kandungan C, C-AH dan C-AF, δ13C tanah gambut dan berat isi (bulk density-BD), kadar lengas, porositas, potensial redoks (Eh), pH, kadar abu, dan C-organik. Perubahan penggunaan lahan dari hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian dan semak menyebabkan kecenderungan penurunan C-organik tanah dan kandungan C tanah, C-AH dan C-AF, δ13C dan kadar lengas untuk tipe lahan maupun pada kematangan gambut; dan peningkatan porositas, BD, Eh, pH dan kadar abu (Tabel 11 dan Gambar 24). Berdasarkan kematangan gambut, kandungan C tanah pada kematangan fibrik tertinggi dan saprik terendah. Berdasarkan tipe lahan, kandungan C tertinggi pada lahan HP dan terendah pada lahan SB (Tabel 11 dan Gambar 24a). Pola yang sama ditunjukkan pula pada kadar C-organik. C-organik tanah pada kematangan fibrik tertinggi dan saprik terendah dengan besar penurunan 1,4%. Berdasarkan tipe lahan, C-organik tertinggi pada lahan HP dan terendah pada lahan KJ dengan besar penurunan 38% (Tabel 11 dan Gambar 24b). Pola sebaliknya ditunjukkan pada kadar abu, pH dan Eh (Tabel 11 dan Gambar
24c, d, e). Kadar abu dan pH pada saprik menunjukkan kecenderungan lebih tinggi daripada hemik dan fibrik serta pada lahan KJ tertinggi dan terendah pada lahan HP. Potensial redoks (Eh) tertinggi pada lahan SB dan terendah pada lahan HP, sedangkan pH bervariasi dengan kecenderungan KS tertinggi dan terendah pada KJ (Tabel 11 dan Gambar 24f dan h). Kadar C-organik dan kandungan C menunjukkan pola berlawanan dengan kadar abu tanah gambut dimana pada lahan pertanian intensif dan gambut matang memperlihatkan C-organik rendah sedangkan kadar abu lebih tinggi. Kawasan hutan memiliki kandungan C tanah gambut lebih tinggi dibandingkan lahan pertanian dan semak (SB, KS dan KJ). Alih fungsi lahan jangka panjang menghasilkan perbedaan dalam kuantitas dan komposisi bahan organik tanah. Selain itu dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, seperti jumlah dan kerapatan vegetasi, jenis, ukuran dan umur pohon. Faktor jumlah dan kerapatan vegetasi hutan menyebabkan suplai bahan organik yang terus menerus sehingga terjadi penumpukan bahan organik tanah. Kondisi faktor lingkungan seperti penyinaran matahari, suhu dan jeluk muka air tanah pada kawasan hutan, menyebabkan laju dekomposisi bahan organik berlangsung alami. Sebaliknya pada lahan pertanian terjadi percepatan laju dekomposisi karena adanya pengolahan lahan. Proses pengolahan cenderung merusak aggregat tanah menyebabkan tanah padat yang ditunjukkan dengan peningkatan BD dan penurunan porositas dan kadar air tanah. Faktor kehilangan sebagian bahan organik akibat terbawa erosi dan aliran permukaan dapat pula menjelaskan penurunan kandungan C tanah pada lahan pertanian. Hasil ini sama dengan penelitian Monde et al. (2008) di Donggala, Sulawesi Tengah, bahwa kehilangan C-organik akibat erosi dan aliran permukaan pada kebun kakao dan jagung
Tabel 11. Perubahan karakteristik C-organik pada kematangan gambut pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) Tipe Kematangan N Kandungan C (ton C-asam C-asam Bulk density (g Kadar lengas δ13C lahan ha-1) humat (%) fulvat (%) cm-3) (%) HP Saprik 15 10.037,82 ± 0,66 1,70 ± 0,10 3,45 ± 0,01 -27,05 ± 0,46 0,14 ± 0,02 80,36 ± 22,36 Hemik 10.037,95 ± 0,38 1,89 ± 0,01 3,58 ± 0,00 -24,97 ± 0,51 0,12 ± 0,01 28,13 ± 28,13 Fibrik 10.037,94 ± 0,38 1,54 ± 0,02 3,94 ± 0,01 -18,94 ± 0,27 0,09 ± 0,00 130,64 ± 31,62 HS Saprik 12 10.036,70 ± 0,56 1,35 ± 0,15 1,48 ± 0,40 -25,26 ± 4,86 0,11 ± 0,64 96,12 ± 23,22 Hemik 10.037,00 ± 0,65 0,63 ± 0,01 0,71 ± 0,01 -25,78 ± 0,48 0,13 ± 0,42 137,32 ± 17,59 Fibrik 10.037,15 ± 0,35 1,51 ± 0,01 1,97 ± 0,01 -19,39 ± 0,08 0,13 ± 0,08 187,59 ± 38,63 SB Saprik 11 10.022,20 ± 0,00 1,50 ± 0,00 2,54 ± 0,00 -29,81 ± 0,00 0,15 ± 0,00 80,34 ± 25,54 Hemik 10.022,22 ± 0,12 0,66 ± 0,02 1,16 ± 0,02 -27,19 ± 1,90 0,14 ± 1,10 107,27 ± 29,82 Fibrik 10.022,42 ± 0,17 1,91 ± 0,01 0,48 ± 0,00 -22,50 ± 3,52 0,10 ± 1,35 159,95 ± 47,34 KS Saprik 15 10.023,03 ± 0,60 1,34 ± 0,02 1,65 ± 0,05 -26,65 ± 0,55 0,13 ± 0,49 79,66 ± 5,93 Hemik 10.023,25 ± 0,16 0,90 ± 0,05 0,83 ± 0,01 -24,00 ± 0,46 0,12 ± 0,57 94,98 ± 27,62 Fibrik 10.023,23 ± 0,51 1,54 ± 0,02 4,41 ± 0,01 -18,95 ± 0,80 0,09 ± 0,68 119,10 ± 53,11 KJ Saprik 15 10.022,36 ± 0,83 2,14 ± 0,02 3,99 ± 0,01 -28,24 ± 0,36 0,16 ± 0,29 82,93 ± 45,11 Hemik 10.022,94 ± 0,66 0,63 ± 0,01 0,70 ± 0,02 -26,49 ± 0,46 0,12 ± 0,57 106,63 ± 31,00 Fibrik 10.023,07 ± 0,65 1,28 ± 0,02 3,47 ± 0,01 -18,95 ± 0,78 0,08 ± 0,52 134,43 ± 54,49
KJ
KS
SB
HS
Tipe lahan HP
lanjutan
Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik Saprik Hemik Fibrik
15
15
11
12
15
Kematangan N 74,13 ±18,27 82,57 ± 8,39 86,81 ± 6,54 90,38 ± 1,06 89,66 ± 2,63 90,21 ± 0,58 86,98 ± 0,00 89,42 ± 7,28 92,99 ± 2,39 90,50 ± 1,54 90,88 ± 2,40 91,68 ± 1,84 88,82 ± 3,68 90,88 ± 2,40 91,23 ± 2,61
Porositas (%)
Potensial redoks (mV) 534,33 ± 1,16 541,00 ± 10,00 576,00 ± 1,00 579,67 ± 5,51 576,67 ± 0,58 588,50 ± 0,71 580,00 ± 0,00 585,00 ± 1,00 584,67 ± 2,08 584,00± 1,00 580,00 ± 0,00 572,00 ± 2,00 577,33 ± 1,53 570,00 ± 0,00 572,00 ± 2,00 3,23 ± 0,11 3,10 ± 0,47 3,40 ± 0,19 3,13 ± 0,16 3,21 ± 0,14 3,13 ± 0,30 3,37 ± 0,00 3,44 ± 0,38 2,99 ± 0,18 3,36 ± 0,75 3,23 ± 0,29 3,61 ± 0,57 3,09 ± 0,22 3,23 ± 0,29 2,91 ± 0,17
pH
Kadar abu (%) 0,40 ± 0,89 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 2,33 ± 1,53 1,40 ± 1,67 1,00 ± 0,82 2,00 ± 0,00 2,01 ± 0,71 1,00 ± 0,71 3,60 ± 1,95 2,40 ± 0,89 1,40 ± 0,55 5,60 ± 1,14 2,40 ± 0,89 2,20 ± 0,84 57,77 ± 0,52 58,00 ± 0,00 58,00 ± 0,00 56,65 ± 0,89 57,19 ± 0,97 57,42 ± 0,474 56,84 ± 0,00 56,84 ± 0,41 57,42 ± 0,41 56,03 ± 1,27 56,61 ± 0,52 56,61 ± 1,51 54,75 ± 0,66 56,61 ± 0,52 56,72 ± 0,49
23,85 23,94 23,94 20,58 20,77 20,86 22,64 22,64 22,87 27,38 27,66 27,66 28,74 29,71 29,77
C-organik (%) Rasio C/N
Gambar 24. Kandungan C (a), C-organik (b), kadar abu (c), pH (d), potensial redoks (e), C-AH dan C-AF (f), kadar lengas (g), porositas (h), δ13C (i), C/N (j) kematangan gambut pada tipe lahan gambut hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ).
lebih tinggi dibanding pada hutan. Pengamatan yang sama dilakukan oleh Laskar et al. (2012) bahwa dampak aktivitas pertanian terhadap kandungan C, lapisan 2-50 cm mempunyai kandungan C lebih rendah dibanding lapisan >50 cm, penurunannya hingga mencapai 50%. Berdasarkan kematangan gambut, fibrik memiliki kandungan C lebih tinggi dibandingkan hemik dan saprik. Perbedaan ini disebabkan faktor kadar serat, saprik memiliki kadar serat lebih halus karena telah terdekomposisi dan terhumifikasi lebih lanjut dengan kategori von Post berkisar antara H7-H10 sedangkan fibrik termasuk kategori sangat kasar (mentah) dan berkisar antara H1-H3. Laju dekomposisi bahan penyusun gambut tersebut dipengaruhi oleh kejenuhan air tanah dan kondisi anaerobik-aerobik. Kondisi aerobik lapisan gambut meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah berarti meningkatkan kematangan gambut (kadar serat halus). Kandungan C tanah pada lokasi kajian lebih tinggi dibanding hasil penelitian lainnya, contoh di tipe lahan HP dapat mencapai 10.037,9 ton ha-1. Perbedaan nilai tersebut diperkirakan dipengaruhi oleh bahan vegetasi pembentuk gambut, karakterisitik fisik dan kimia tanah dan jeluk tanah serta iklim. Bahan gambut tersebut adalah seresah-seresah vegetasi yang belum terdekomposisi maupun sudah terdekomposisi. Bahan organik tanah gambut tersebut sudah terbentuk ribuan tahun lalu dan didukung oleh kondisi jenuh air. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan variasi kandungan C tanah yang dihubungkan dengan C-organik tinggi (57,92%), BD rendah (0,1157 g cm-3) dan jeluk tanah gambut dalam (5,07 m) pada HP. C-AH pada kematangan gambut menunjukkan kecenderungan pada saprik tertinggi dan hemik terendah, sedangkan pada tipe lahan menunjukkan kecenderungan C-AH tertinggi pada lahan HP dan terendah pada lahan HS. C-AF pada kematangan gambut mempunyai kecenderungan C-AF tertinggi pada fibrik dan terendah pada hemik, sedangkan C-
AF pada HP tertinggi dan terendah pada lahan HS. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa tanah gambut memiliki C-AF lebih tinggi daripada C-AH (Tabel 11 dan Gambar 24f). Sesuai dengan hasil penelitian Ussiri dan Johnson (2001) bahwa AH menurun dengan meningkatnya kedalaman sebaliknya untuk AF. Terdapat hubungan antara AH dengan kadar abu, Stevenson (1982) menyatakan bahwa kadar abu pada AH lebih tinggi daripada AF. Penjelasan di atas dapat menerangkan bahwa pada saprik dengan laju dekomposisi intensif dan kadar abu tanah tinggi mempunyai kadar C-AH lebih tinggi dibanding pada fibrik. Pada tipe lahan menunjukkan pola C-AH dan C-AF hampir sama yaitu tertinggi pada lahan HP (16,1%) dan terendah pada lahan HS (7,65%). Hal ini disebabkan karena penggunaan lahan jangka panjang dengan banyak input menyebabkan proses dekomposisi lanjut dan humifikasi yang lebih cepat dibandingkan dengan lahan alami dan pelepasan senyawa humat dari larutan tanah sebagai C-organik terlarut (dissolved organic carbonDOC). Faktor lainnya adalah pembakaran lahan pertanian yang mempunyai dampak langsung terhadap kuantitas senyawa humat (khususnya C-AH pada permukaan) yang mendorong pada penurunan nyata jumlahnya. Kondisi ini ditandai juga dengan penurunan bahan organik tanah dan C-organik. Keadaan ini sesuai, dimana tipe HP memiliki kadar Corganik dan bahan organik lebih tinggi. Sesuai dengan temuan Satrio et al. (2009) yang menyatakan bahwa pada hutan tidak terganggu (undisturbed) memiliki AH lebih tinggi daripada hutan ditebang (logged). Isotop C stabil (δ13C) tanah pada kematangan gambut menunjukkan pola bervariasi dengan kecenderungan fibrik tertinggi (nilai minus rendah), dan saprik terendah (nilai minus tinggi), sedangkan pada lahan HS dan HP lebih tinggi dan terendah pada lahan SB (Tabel 11 dan Gambar 24i). Semakin minus berarti
13
C semakin sedikit dibanding
12
C
karena 13C hilang dari sistem berarti δ13C semakin ringan pada kematangan saprik dan tipe lahan SB. Terdapat kecenderungan sama antara kandungan C tanah dengan δ13C pada kematangan gambut dan tipe lahan. Fibrik memiliki kandungan C dan δ13C tinggi, sebaliknya saprik. Demikian pula pada lahan HS memiliki kandungan C dan δ13C tinggi, sebaliknya pada SB. Kondisi ini bertolak belakang pada tanah mineral, hubungan antara kandungan C dengan δ13C berlawanan. Saprik memiliki δ13C lebih rendah daripada hemik dan fibrik. Peningkatan δ13C (nilai minus rendah) tersebut berturut-turut sebesar 1,73‰ dan 7,66‰. Hingga saat ini belum ada penelitian tentang δ13C berdasarkan kematangan gambut, sehingga bahasan penelitian ini menggunakan pendekatan data δ13C pada lapisan atas dan bawah tanah. Billings dan Richter (2006) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan δ13C sebesar 2,3‰ antara permukaan tanah (0-7,5 cm) ke bawah (7,5-15 cm) di Carolina Selatan, Amerika Serikat. Sesuai pula oleh penelitian Beach et al. (2011) bahwa tanah-tanah atas di Maya Lowland, Guetemala, memperlihatkan pengkayaan δ13C hingga 8,56‰ dengan meningkatnya kedalaman tanah, sedangkan Bernoux et al. (1998) mengungkapkan bahwa di daerah tropis peningkatan hingga 2-4‰. Bertolak belakang dari temuan Akagi et al. (2004) di gambut bog (peat bog) di Jepang bahwa terjadi penurunan 4,1‰ dari kedalaman 0,5 m hingga 4,5 m. Kawasan hutan gambut memiliki δ13C lebih tinggi dengan peningkatan sebesar 3,3‰ antara SB dan HS. Sebaliknya, Balesdent et al. (1998) mengungkapkan bahwa terjadi penurunan δ13C sebesar 1‰ hingga 3,4‰, berturut-turut dari kebun jagung 7 dan 35 tahun terhadap hutan di Prancis Selatan Barat. Kondisi yang sama dikemukakan oleh Rhoades et al. (2000) bahwa terjadi penurunan δ13C sebesar 4,6‰ dan 3,9‰, berturut-turut dari
kebun tebu (sugar cane) dan padang campuran (mixed-species pasture) terhadap hutan tua (old-growth forest) di Ekuador. Pada penelitian ini, penyebab peningkatan δ13C pada kedalaman tanah gambut atau lapisan kematangan gambut dan tipe lahan belum diketahui. Variasi nilai δ13C dapat dihubungkan pada beberapa pendekatan, sebagai berikut: pertama, alih fungsi lahan yang menyebabkan perbedaan masukan vegetasi dalam tanah dari tumbuhan C3 menjadi C4. Lane et al. (2004); Bernoux et al. (1998); Cheng et al., (2006) mengemukakan bahwa peningkatan δ13C disebabkan besarnya kelimpahan relatif tumbuhan C4 yang memiliki nilai antara -19‰ sampai -9‰. Perbedaan masukan vegetasi tersebut mempengaruhi pula bahan penyusun gambut pada tiap lapisan kematangan gambut. Kedua, pembakaran selama pengolahan lahan gambut. Billings dan Richter (2000) mengungkapkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil dapat menurunkan
13
C dan meni-
piskan δ13C CO2 atmosfer sekitar 1,3‰. Umumnya sebuah tanda penurunan
13
C di per-
mukaan tanah, sedangkan peningkatan 13C lebih banyak pada profil lebih dalam. Ketiga, Stuiver dan Braziunas, (1987) mengungkapkan faktor kanopi dan perbedaan dalam kelompok vegetasi (contoh vegetasi selalu berdaun hijau-evergreen plants) menyebabkan pengkayaan 13C lebih ~ 1‰. Keempat, pengaruh peningkatan umur bahan organik tanah. Sesuai dengan temuan oleh Trumbore (2000) bahwa umur bahan organik tanah meningkat sebagai fungsi kedalaman tanah dan seringkali diasumsikan meningkatkan pula nilai δ13C dengan kedalaman tanah. Sejalan pula dengan Tissen et al. (1984); Billings et al. (2006) bahwa fraksi bahan organik yang terkandung pada bahan organik tua diasosiasikan dengan tanda isotop yang meningkat. Parameter lain yang mempengaruhi perubahan C tanah akibat alih fungsi lahan sebagai parameter penunjang meliputi BD, kadar lengas, porositas, Eh, pH dan kadar abu tanah gambut. Parameter BD pada kematangan fibrik menunjukkan kecenderungan
terendah dan tertinggi pada saprik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin matang gambut nilai BD lebih tinggi. Berdasarkan tipe lahan, nilai BD pada lahan SB tertinggi dan pada KS terendah. Ketidaklaziman terdapat pada lahan terdrainase dalam (KS dan KJ) yang memiliki nilai BD lebih rendah, seharusnya pada lahan olahan intensif tersebut memiliki nilai BD tinggi dibanding kawasan hutan. Standar deviasi BD sangat tinggi untuk kedua faktor tipe lahan dan kematangan gambut. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran data BD tidak normal karena mempunyai simpangan baku cukup besar (Tabel 11). BD tanah gambut bertolak belakang dengan kadar lengas dan porositas tanah gambut pada kematangan gambut. Kadar lengas dan porositas pada fibrik tertinggi dan saprik terendah, sedangkan BD pada fibrik terendah dan saprik tertinggi. Pola tersebut menunjukkan bahwa semakin matang gambut maka semakin menurun kadar lengas dan porositas dengan BD meningkat. Pola tersebut tidak berlaku pada tipe lahan dimana semakin intensif pengolahan suatu lahan maka semakin rendah porositas sedangkan BD semakin tinggi. Seperti dijelaskan oleh Nusantara dan Alhadad (2007) bahwa lahan gambut yang sering dikelola dan dibakar dapat menyebabkan kadar lengas dan porositas tanah menurun sedangkan BD meningkat karena adanya pemadatan tanah akibat pengolahan dan pembakaran lahan. Secara umum, porositas fibrik pada semua tipe lahan di lokasi kajian lebih besar daripada saprik. Hal ini ada kaitannya dengan proses dekomposisi bahan organik tanah, dimana gambut terdekomposisi menjadi butiran-butiran lebih halus sehingga membentuk ruang pori dengan porositas total lebih rendah. Kapasitas gambut menahan air berkaitan erat dengan jumlah pori tersedia, semakin tinggi jumlah pori semakin tinggi kemampuan menahan air dari gambut itu. Potensial redoks (Eh) tanah gambut pada lokasi kajian relatif tinggi. Kondisi ini menunjukkan kondisi oksidatif, walaupun di lapangan memperlihatkan tanah jenuh air
terutama pada lapisan bawah (HP dan HS). Nilai redoks yang tinggi pada tanah gambut berasal dari kandungan senyawa oksida bahan organik tanah gambut dan ion O2 dalam molekul H2O yang dapat berperan sebagai cadangan akseptor elektron. Kondisi keduanya di atas permukaan tanah memberikan sumber elektron sehingga diduga dapat menekan turunnya potensial redoks. Seperti dijelaskan oleh Reddy dan DeLaune (2008), pada kondisi lingkungan yang kaya O2 nilai Eh dapat mencapai +700 mV. Hal ini membuktikan bahwa lapisan tanah yang tergenang dapat saja dalam kondisi oksidatif. Derajat kemasaman (pH) dan kadar abu tanah gambut pada saprik lebih tinggi daripada hemik dan fibrik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin matang gambut karena laju dekomposisi tinggi akan memiliki kadar abu dan pH tanah tinggi pula. Kadar abu tertinggi pada lahan KJ dan terendah pada HP (Tabel 11 dan Gambar 24c-d). Nilai pH bervariasi namun menunjukkan pola kecenderungan KS tertinggi dan KJ terendah. Secara keseluruhan pada lahan pertanian intensif (KS dan KJ) dengan jeluk muka air tanah dalam dan suhu tinggi (Tabel 7 dan Gambar 20a) kecenderungannya mempunyai pH dan kadar abu lebih tinggi daripada hutan rawa gambut alami. Temuan yang diperoleh dalam sub topik ini adalah alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menyebabkan fraksinasi δ13C atau perubahan
13
C terhadap
12
C,
bersamaan dengan proses dekomposisi dan oksidasi bahan organik tanah. Hal ini berarti pada semak logging dan lahan pertanian, dan tanah gambut yang semakin matang memiliki nilai δ13C lebih rendah (nilai minus besar) atau semakin ringan karena 13C hilang dari sistem fraksi organik tanah gambut pada lahan-lahan tersebut. Proses-proses tersebut dapat menyebabkan emisi CO2 atau pelindian dengan keberadaan drainase. Kondisi ini bertolak belakang pada tanah mineral dan gambut temperate. Seperti pada temuan Rhoades et al. (2000); Qiming et al. (2003); Vagen et al. (2006) bahwa terjadi peningkatan δ13C, dimana lahan HP memiliki nilai rendah dan sebaliknya pada lahan pertanian. Kondisi ini sama
seperti pada gambut bog di Jepang (Akagi et al., 2004). Parameter ini belum terungkap oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang banyak mengung-kapkan fraksinasi δ13C pada kedalaman tanah mineral. Kesimpulan dalam sub topik ini
adalah bahwa alih fungsi hutan rawa gambut
menjadi lahan pertanian cenderung menurunkan kandungan C, C-AH dan C-AF dan δ13C tanah gambut. Kecenderungan penurunan tersebut disebabkan keberadaan drainase pada lahan pertanian yang dapat mengontrol fluktuasi jeluk muka air tanah dan mempengaruhi perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik. Kondisi ini menyebabkan percepatan laju dekomposisi dan mineralisasi bahan organik tanah gambut. Keadaan sebaliknya terjadi pada kawasan hutan yang memiliki kandungan C tanah, C-asam humat dan C-asam fulvat dan δ13C (nilai minus kecil) lebih tinggi; dan kematangan fibrik memiliki kandungan C tanah lebih besar dari saprik dan hemik. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis terbukti.
D. Perubahan Nutrien Seresah dan Biomasa Vegetasi Data hasil penelitian meliputi parameter nutiren (C, N-total dan P-total), rasio C/N dan C/P dan kandungan C seresah dan biomasa, dan parameter berat basah, berat kering, dan kadar abu seresah dan biomasa. Perubahan penggunaan lahan dari hutan gambut alami menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan kandungan nutrien seresah dan biomasa. Perubahan tersebut berupa penurunan C-organik, rasio C/P, rasio C/N (khusus pada lahan KJ) dan peningkatan N, P dan kadar abu, rasio C/N (khusus pada lahan KS). Kadar abu dapat menggambarkan kadar N dan P-total seresah dan biomasa dan memiliki kecenderungan sama, untuk lahan yang memiliki kadar abu tinggi maka cenderung menunjukkan kadar N dan P-total tinggi pula. Lahan HP memiliki kandungan C tertinggi dan terendah pada KJ (Tabel 12). Kawasan hutan memiliki vegetasi tegakan yang relatif lebih banyak secara kuantitatif mau-
pun kualitatif dibandingkan tipe lahan lainnya, terutama KJ. Perbedaan berat basah dan berat kering vegetasi pada setiap tipe lahan dihubungkan dengan jenis, ukuran dan beratnya (Tabel 12 dan Gambar 25a-e). 1. Nutrien seresah dan biomasa Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian menunjukkan penurunan kadar C-organik seresah dan biomasa, vegetasi hutan alami memiliki kadar bahan organik lebih tinggi. Kadar C-organik seresah dan biomasa bertolak belakang dengan kadar abu. Kondisi ini ditunjukkan pada KJ dan HP, dimana kadar C-organik pada HP lebih tinggi dan kadar abu lebih rendah, sebaliknya pada KJ. Kadar C-organik seresah dan biomasa menentukan rasio C/N dan C/P sebagai indikator laju dekomposisi bahan organik seresah dan biomasa pada permukaan tanah. Kondisi ini berarti mempengaruhi ketersediaan unsur N dan P. Besarnya rasio C/N dan C/P dihubungkan secara relatif dengan lemahnya simpanan N dan P oleh seresah dan tingginya konsentrasi recalcitrant seperti lignin dan selulosa pada jaringan seresah yang sangat resisten terhadap dekomposisi. Sebaliknya, Thormann dan Bayley (2007) menemukan bahwa pada seresah dengan rasio C/N lebih rendah dan konsentrasi jaringan N-total lebih tinggi mempunyai kecepatan dekomposisi tinggi. Kandungan senyawa sulit terurai tersebut menggambarkan rendahnya laju penguraian bahan organik menjadi anorganik yang ditunjukkan dengan tingginya nilai rasio C/N dan C/P seresah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada lokasi kajian, dimana rasio C/N dan C/P pada HP lebih tinggi daripada KJ namun kadar N dan P lebih rendah (Gambar 25a, 25b, 25i, 25j). Serupa dengan temuan Moore et al. (2004), dimana rasio C/N antara 36-58
Gambar 25. N-total (a), P-total (b), kadar C-organik (c), C/N (d), C/P (e) dan kadar abu (f) seresah dan biomasa pada tipe lahan gambut hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS), kebun jagung (KJ)
dengan kadar N antara 0,53-1,05% sedangkan rasio C/P lebih kecil antara 413-658 dengan kadar P sebesar 0,06-0,11%. Nilai rasio C/N tersebut lebih tinggi dan kadar N lebih rendah dibanding pada lokasi kajian namun rasio C/P dan kadar P hampir sama. Perbedaan ini diperkirakan kadar C-organik dan konsentrasi senyawa resisten pada seresah dan biomasa pada kedua lokasi tersebut berbeda. Hubungan kandungan senyawa resisten pada vegetasi terhadap proses dekomposisi ditunjukkan dengan tebal seresah permukaan (detritus). Di lokasi kajian pada lahan HP, HS dan SB terdapat detritus berturut-turut 14,2, 9,4 dan 6,2 cm sedangkan pada KS dan KJ tidak terdapat (Tabel 7 dan Gambar 20c). Alih fungsi hutan gambut yang disertai langkah-langkah pengolahan lahan seperti pembakaran vegetasi (pohon dan semak), pembuatan drainase dan pemupukan mempengaruhi kandungan N-total dan P-total seresah dan biomasa pada tegakan vegetasi.
5
5
KJ
2,50 ± 0,12
1,51 ± 0,23 0,38 ± 0,07
0,12 ± 0,01
0,17 ± 0,06
54,06 ± 1,19
56,03 ± 0,66
55,68 ± 0,79
21,62
37,10
32,56
34,69
KS
1,71 ± 0,12
54,81 ± 0,60
5
0,08 ± 0,03
SB
1,58 ± 0,00
5
HS
56,26 ± 0,26
32,91
0,05 ± 0,02
5
HP
1,71 ± 0,21
C/N
lahan
142,3
466,9
327,5
685,1
1125,2
C/P
6,80 ± 2,05
3,40 ± 1,14
4,00 ± 1,37
5,52 ± 1,02
2,87 ± 0,25
(%)
9.500,0
14.400,0
34.337,6
134.033,3
604.166,7
(kg ha-1)
5,11
8,06
19,14
72,38
338,33
C (ton ha-1)
Tabel 12. Perubahan nutrien seresah dan biomasa vegetasi pada hutan primer (HS), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) Tipe N N-total (%) P-total (%) C-organik (%) Rasio Rasio Kadar abu Berat kering Kandungan
Pemupukan dan penambahan bahan amelioran dapat meningkatkan reaksi-reaksi kimia dalam tanah gambut sehingga mempengaruhi kadar nutrien seresah (Tabel 6). Penambahan tersebut secara nyata meningkatkan produksi seresah atas permukaan dan konsentrasi nutrien seresah daun dan mendorong dekomposisi seresah. Li et al. (2006); Finér (1996) mengemukakan bahwa pemberian pupuk N dan P dapat meningkatkan konsentrasi N dan P seresah berurutan sebesar 15%-20% dan 32%-46%; 24,7% dan 32,1%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pada lokasi kajian yaitu 37% dan 87%. Perbedaan tersebut disebabkan karena jumlah pupuk dan bahan ameliron yang diberikan serta waktu berlangsungnya pengolahan lahan (Tabel 6). Faktor lainnya yang mempengaruhi dekomposisi seresah dan kualitas seresah adalah tingkat air permukaan (water level). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh muka air tanah untuk parameter N, P, rasio C/N dan C/P bervariasi. Pada lahan HP dan KJ dengan jeluk muka air tanah semakin dalam 16%, menyebabkan peningkatan N dan P, berturut-turut 31,6% dan 86,8%, dan penurunan rasio C/N dan C/P, berturut 34,3% dan 87,4%. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh Strakovà et al. (2010) bahwa pengaruh drainase pada parameter kualitas tunggal seresah bervariasi antara 27% dan 45%. Implikasi pengaruh jeluk muka air tanah, seperti diungkapkan oleh Thormann et al. (2001) bahwa jeluk muka air tanah semakin dalam berhubungan dengan rendahnya kandungan C-organik tanah disebabkan laju dekomposisi pada kondisi aerobik. Indikator kadar nutrien dapat pula ditunjukkan oleh kadar abu. Semakin tinggi kadar abu menunjukkan tingginya kadar nutrien suatu bahan. Pada tipe lahan KJ dengan kadar abu dan nutrien tinggi, N dan P-total (6,8, 2,5% dan 0,38%) dapat dihubungkan dengan kegiatan pemupukan yang secara rutin dilaksanakan sebelum tanam (Tabel 6). Hal yang sama dijelaskan oleh Li et al. (2006) bahwa penambahan nutrien dalam tanah melalui
pemupukan selain dapat meningkatkan total produktivitas namun secara nyata meningkatkan pula nutrien biomasa. Masukan nutrien seresah dan biomasa pada tanah gambut disajikan pada Tabel 10. Hasil menunjukkan bahwa untuk masukan N dan P terendah pada lahan HP, sedangkan N tertinggi pada KJ dan P tertinggi pada KS . Masukan C-organik terendah pada lahan HS dan tertinggi pada KS. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan perkiraan masukan nutrien pada tanah gambut, seperti yang dikemukakan oleh Post dan Kwon (2000); Taneva et al. (2006) bahwa C sekitar 30-35%, dan oleh Finér (1991) bahwa N sebesar 73% dan P sebesar 63%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pemupukan pada lahan KS dan KJ (Tabel 6) dan jenis dan karakteristik vegetasi yang mempengaruhi kandungan nutriennya.
2. Kandungan C seresah dan biomasa Tipe lahan HP dengan berat basah dan berat kering lebih tinggi menghasilkan kandungan C tinggi pula, sebaliknya pada tipe lahan KJ yang merupakan lahan pertanian tanaman monokultur (jagung). Sesuai dengan kajian Istomo et al. (2007) di lahan gambut Jambi dan Kalimantan Tengah bahwa untuk kawasan hutan baik primer maupun sekunder memiliki cadangan C paling tinggi, sedangkan pada semak memiliki cadangan C berturut lebih rendah. Imiliyana et al. (2002) berpendapat bahwa persentase cadangan C meningkat sejalan dengan peningkatan berat atau bobot biomasa atau dapat dikatakan bahwa cadangan C berbanding lurus dengan kandungan biomasanya. Kandungan C seresah dan biomasa di kawasan hutan pada lokasi kajian lebih kecil namun di semak lebih tinggi dibanding dengan temuan Istomo et al. (2007). Perbedaan ini diperkirakan dipengaruhi bobot biomasa seresah dan biomasa pada masing-masing lahan, serta karakterisistik fisik dan kimia tanah gambut sebagai media tanam.
Kesimpulan dalam sub topik ini adalah bahwa kadar nutrien (N dan P) dan kadar abu seresah dan biomasa vegetasi pada KJ lebih tinggi namun kadar C-organik dan kandungan C seresah lebih rendah daripada tipe lahan lainnya. Alih fungsi lahan dari hutan rawa gambut menjadi penggunaan lahan lainnya disertai upaya-upaya seperti drainase dan pemupukan mempengaruhi nutrien dan karbon seresah biomasa. Drainase sebagai penyebab jeluk muka air tanah dalam dapat menyebabkan perbedaan dalam proses dekomposisi yang ditunjukkan oleh penurunan rasio C/N dan C/P. Kondisi tersebut berarti tingginya kadar nutrien seresah biomasa. Demikian pula dengan pemupukan dapat meningkatkan produksi seresah atas permukaan dan nutrien seresah daun dan mendorong dekomposisi seresah. Pemupukan mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap kandungan nutrien seresah. Pada lahan KJ, penjelasan tersebut dapat membuktikan bahwa hipotesis terbukti. Sebaliknya untuk KS, dimana rasio C/N tertinggi. Hal ini disebabkan karena N-total pada pelepah sawit terendah dengan kadar C relatif tinggi.
E. Perubahan Emisi CO2 Tanah Gambut Hasil penelitian meliputi parameter emisi CO2 pada pengukuran pertama dan kedua atau musim kemarau dan hujan serta suhu tanah gambut. Perubahan penggunaan lahan dari hutan gambut alami menjadi lahan pertanian menyebabkan peningkatan emisi CO2 musim kemarau dan hujan. Peningkatan emisi CO2 tanah tersebut dikendalikan oleh jeluk muka air tanah gambut dan suhu tanah serta secara simultan dipengaruhi oleh faktor sifat tanah seperti ketersediaan C-organik, pH tanah dan kematangan gambut. 1. Emisi CO2 tanah gambut Alih fungsi hutan menyebabkan perubahan emisi CO2 tanah gambut. Emisi CO2 tanah gambut pada pengukuran pertama atau musim kemarau tertinggi pada lahan KJ dan
terendah pada lahan SB. Emisi CO2 tanah gambut pada pengukuran kedua atau musim hujan tertinggi pada lahan KS dan terendah pada lahan SB (Tabel 13, 14 dan Gambar 25). Hasil analisis interaksi antara tipe lahan dan waktu pengukuran menunjukkan bahwa lahan SB memiliki emisi CO2 terendah saat pengukuran musim kemarau (I) dan berbeda nyata dengan HS dan KJ namun tidak berbeda dengan KS dan HP. Demikian pula saat pengukuran musim hujan (II), SB terendah dan berbeda dengan KS namun tidak berbeda dengan HP, KJ dan HS (Tabel 13). Hasil analisis tipe lahan menunjukkan bahwa lahan SB memiliki emisi CO2 terendah dan berbeda dengan HS, KS dan KJ namun tidak berbeda dengan HP (Tabel 14). Pada kondisi waktu pengukuran atau musim menunjukkan bahwa pada musim kemarau terendah dan berbeda nyata dengan musim kemarau (Tabel 14. Uji Anova tersebut memperkuat hipotesis penelitian yang mengatakan bahwa lahan pertanian (KS dan KJ) dengan jeluk muka air tanah lebih dalam mempunyai emisi CO2 tanah lebih tinggi dibandingkan pada kawasan hutan dan jeluk muka air tanah dapat mengendalikan emisi CO2 tanah gambut. Tabel 13. Analisis varian (ANOVA) dan uji Duncan emisi CO2 pada musim (kemarau-I dan hujan-II) dan tipe lahan (hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ)) Emisi CO2 tanah I Sumber Jumlah keragaman kuadrat Tipe lahan 60,32 Error 42,86 Total 464,78
Emisi CO2 tanah II Tipe lahan 43,55 Error 53,81 Total 632,96
Df 4 20 25
4 20 25
Rerata kuadrat
F
15,08 2,14
7,04
10,89 2,70
Sig. 0,001
4,05
I = pengukuran pada 15-25 Juni 2012 (kemarau) II = pengukuran pada 20-29 Desember 2012 (hujan)
0,015
Tipe lahan SB KS HP HS KJ
N
SB HP KJ HS KS
5 5 5 5 5
5 5 5 5 5
1 1,68 3,38 3,63
Subset 2
3
3,38 3,63 3,82 6,51
3,17 3,38 4,44 5,46
4,44 5,46 6,70
Gambar 26. Emisi CO2 tanah pada hutan primer (HP), hutan sekunder (HS), semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB), kebun sawit (KS) dan kebun jagung (KJ) pada pengukuran pertama (kemarau-polos) dan pengukuran kedua (hujan-arsir).
Tabel 14. Analisis varian (ANOVA) dan uji beda nyata jujur (HSD) emisi CO2 interaksi antar tipe lahan dan musim/waktu pengukuran Sumber Jumlah Df Rerata Fhit F0,05 Tipe N Subset lahankeragaman kuadrat kuadrat 1 2 3 4 musim
Musim Ulangan dlm musim
Tipe lahan Tipe lahan x musim
Error Total
8,52 11,90
1 8
8,52 1,49
5,58 4,15
SB HP
5 2,42 5 3,50 3,50
61,64 138,91
4 4
15,41 34,73
9,91 2,68 22,34 2,68
HS KS
5 5
4,64 4,64 5,04 5,04
49,74 209,07
32 49
1,55
KJ
5
5,48
I II
2 3,80 2
4,63
I = pengukuran pada 15-25 Juni 2012 (kemarau) II = pengukuran pada 20-29 Desember 2012 (hujan)
Hasil pengukuran emisi CO2 tanah dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian Rumbang et al. (2009 dan 2013) di lahan gambut Kalbar pada tahun 2006, antara 3,1-12,0 ton CO2 ha-1 th-1, namun lebih rendah dari penelitian Hooijer et al. (2006) sekitar 54 ton CO2 ha-1 th-1 yang merupakan emisi CO2 tanah gambut secara keseluruhan. Seperti yang dikemukakan oleh Moyano et al. (2010) bahwa kontribusi dari respirasi akar menca-
pai 52% dari total respirasi, sejalan pula dengan Crow dan Wieder (2005) yang menyatakan bahwa akar tanaman menyumbang emisi CO2 sebesar 35-57%. Emisi CO2 tanah pada pengukuran pertama dan kedua memperlihatkan perbedaan nyata (Tabel 14). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan kondisi kelembaban tanah dan udara yang berbeda pada saat pengukuran sampel, namun kelembaban tersebut tidak diukur pada lokasi kajian. Pengukuran kedua pada saat musim hujan berarti kadar lengas tanah lebih tinggi dibanding saat musim kemarau. Sesuai dengan penelitian Kimura et al. (2012) di Sibu-Sarawak, Malaysia, bahwa emisi CO2 tanah lebih tinggi pada kelembaban 70%. Kadar lengas tanah pada kelembaban kurang dari 70% (30%) berarti terlalu kering untuk aktivitas mikrobia tanah. Curah hujan yang tinggi menyebabkan kelembaban yang cukup tinggi bagi mikrobia dan reaksi metabolik vegetasi untuk menghasilkan CO2 secara maksimal. Perbedaan ini juga disebabkan peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan. Kondisi ini didukung oleh rata-rata suhu tanah lebih tinggi, sebesar 4,5% (Tabel 13) dan ditambah dengan curah hujan cukup tinggi (Gambar 17). Sesuai dengan temuan Antony dan Nurdiansyah (2012) di Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi, bahwa peningkatan emisi CO2 antara musim hujan dan kemarau sebesar 39,1% didukung oleh peningkatan suhu tanah sebesar 1,4%. 2. Pengaruh suhu dan jeluk muka air tanah terhadap emisi CO2 tanah Alih fungsi hutan rawa gambut primer (HP) menjadi lahan pertanian seperti lahan SB, KS dan KJ menyebabkan peningkatan suhu dan jeluk muka air tanah semakin dalam (Tabel 7, Gambar 20a). Suhu tanah gambut awal musim kemarau tertinggi pada lahan SB dan terendah pada lahan HP. Uji beda suhu tanah menunjukkan bahwa lahan SB tidak berbeda nyata dengan KJ namun berbeda nyata dengan lahan lainnya, demikian pula dengan HP berbeda nyata dengan lahan lainnya. KJ tidak berbeda dengan KS dan HS. Pada musim hujan, suhu tertinggi pada lahan KS dan terendah pada lahan HP. Uji beda
suhu tanah menunjukkan bahwa lahan KS berbeda nyata dengan lahan lainnya. Suhu KJ tidak berbeda dengan SB namun berbeda nyata dengan HS dan HP sedangkan HS tidak berbeda dengan HP. Alih fungsi hutan gambut alami (HP) menjadi lahan pertanian (KJ dan KS) dan semak (SB) menyebabkan peningkatan suhu tanah. Kondisi ini berdampak pula pada peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Peningkatan suhu dan emisi CO2 tanah tersebut berturut-turut pada awal musim kemarau adalah 2,9% dan 44,3% dari lahan HP menjadi KJ, sedangkan pada awal musim hujan adalah 2,5% dan 49,6% dari lahan HP menjadi KS. Peningkatan suhu dan penurunan jeluk muka air tanah pada lahan pertanian, agaknya disebabkan pengaruhnya pada proses-proses mikrobia (seperti respirasi dan dekomposisi) dan oksidasi. Penggundulan lahan gambut tropis dan alih fungsinya dapat meningkatkan suhu tanah bersamaan dengan perubahan kondisi hidrologi dan vegetasi penutup. Kondisi tersebut sebagai faktor penentu sikus C dalam tanah gambut. Peningkatan suhu tanah tersebut mengakibatkan agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah. Kondisi tersebut menyebabkan dekomposisi bahan organik tanah oleh mikrobia meningkat pula dan akan memacu kenaikan respirasi tanah. Emisi CO2 utamanya disebabkan oleh kehilangan vegetasi atas permukaan karena penebangan vegetasi dan mineralisasi bahan organik tanah. Sejalan dengan penelitian Hirano et al. (2009) di Sebangau, Kalimantan Tengah, bahwa aliran CO2 tanah meningkat secara eksponensial dengan peningkatan suhu 4-50C. Hasil yang sama dilaporkan oleh Antony dan Nurdiansyah (2012) bahwa terdapat perbedaan suhu tanah pada tipe lahan hutan sekunder dan lahan pertanian dan transmigrasi di Jambi sebesar 8,8% maka peningkatan emisi CO2 mencapai 45,5%.
Interaksi antara tipe lahan dan waktu pengukuran suhu menunjukkan bahwa emisi CO2 pada lahan KS antara musim kemarau dan hujan berbeda nyata, sedangkan tipe lahan lainnya tidak berbeda nyata (Gambar 24). Perbedaan nyata tersebut dipengaruhi oleh peningkatan suhu paling tinggi (26,44oC dan 29,08oC) antara dua musim dan penurunan jeluk muka air tanah di musim hujan pada lahan KS, sedangkan lahan lainnya mengalami peningkatan jeluk muka air tanah (lebih dangkal dibanding lahan KS) (Tabel 14). Sebaliknya pada lahan SB, emisi CO2 tanah lebih rendah pada kedua waktu pengukuran walaupun memiliki suhu tanah cenderung tinggi (Tabel 14). Kondisi tersebut disebabkan tidak terdapat drainase di lahan SB sehingga jeluk muka air tanah relatif dangkal. Sejalan dengan penelitian Tono et al. (2014) di Rokan Hilir-Riau, suhu tanah pada lahan kosong dan bera lebih tinggi (29,2oC) dibanding hutan primer dan lahan bekas tebangan namun mempunyai emisi CO2 tanah paling rendah (10,62 ton ha-1 th-1). Sabiham et al. (2012) menambahkan bahwa tanaman bawah, yang didominasi oleh paku-pakuan (Nephrolepis sp.) mampu menyerap CO2 sekitar 9,75 ton ha-1 th-1. Uraian tersebut di atas dapat menjelaskan mengapa lahanSB memiliki emisi lebih rendah dibanding lahan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka
penanaman paku-pakuan sebagai tanaman
penutup (cover crop) sangat dianjurkan pada kawasan perkebunan sawit. Selain suhu tanah, kehilangan CO2 dari lahan gambut juga dipengaruhi oleh jeluk drainase yang mempengaruhi jeluk muka air tanah dan kadar lengas tanah. Peningkatan emisi CO2 tanah dari lahan HP menjadi lahan KJ dan KS sebesar 44,3% dan 49,6%, bersamaan dengan kondisi jeluk drainase pada lahan (Gambar 21). Keberadaan drainase tersebut dapat meningkatkan jeluk muka air tanah pada lahan KJ dan KS sebesar 16,0% dan 7,1% (Tabel 7). Hasil yang sama ditunjukkan oleh Rumbang et al. (2009 dan 2013) bahwa peningkatan emisi CO2 sebesar 74,2% dengan perubahan jeluk muka air sebear 72,4% di Kalbar tahun 2006. Sejalan pula oleh temuan Antony dan Nurdiansyah (2012),
bahwa peningkatan emisi CO2 sebesar 45,4% dengan perbedaan jeluk muka air tanah pada lahan hutan sekunder dan lahan pertanian dan transmigrasi di Jambi sebesar 81,7%. Terdapat perbedaan persentase antara penurunan jeluk muka air tanah dan peningkatan emisi CO2, pada lokasi kajian memiliki nilai lebih kecil dibanding dua temuan tersebut di atas. Hal ini berarti terjadi peningkatan cukup besar emisi CO2 tanah dengan jeluk muka iar tanah semakin dalam akibat alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan KJ dan KS. Emisi CO2 dari lahan gambut meningkat dengan jeluk drainase dalam yang menyebabkan penurunan muka air tanah. Drainase pada lahan gambut olahan menyebabkan perubahan anaerobik menjadi aerobik (Gambar 21). Lapisan gambut teraerasi baik dan tero-ksidasi bahan gambut menyebabkan peningkatan dekomposisi gambut oksidatif dan kondisi yang baik untuk aktivitas mikrobia. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Hal ini sesuai dengan kondisi lokasi kajian pada tipe lahan KJ dan KS yang mempunyai nilai emisi CO2 tertinggi dibandingkan lahan lain, terutama lahan SB yang memiliki emisi CO2 terendah. Pelepasan CO2 tanah dipengaruhi pula oleh kadar lengas tanah. Hasil penelitian pada lokasi kajian menunjukkan bahwa peningkatan emisi CO2 tanah dari lahan HP menjadi lahan KJ dan KS sebesar 44,3% dan 49,6%, bersamaan dengan penurunan kadar lengas tanah sebesar 64,8% dan 33,9% (Tabel 11). Kadar air tanah rendah berarti terjadi pengeringan yang menyebabkan rendahnya konsentrasi gugus fungsional–COOH dan fenolat-OH. Kedua gugus tersebut merupakan gugus fungsional yang bersifat hidrofilik dan polar. Pada keadaan ini derivat asam fenolat meningkat menyebabkan kehilangan Corganik karena asam fenolat mudah mengalami oksidasi sehingga terjadi pelepasan CO2CH4 (Azri, 1999).
3. Perubahan sifat tanah gambut terhadap emisi CO2 tanah Kegiatan pengolahan lahan berupa pembuatan drainase, persiapan tanam, pemupukan dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanah gambut dan mendorong peningkatan emisi CO2 tanah. Sifat-sifat tersebut adalah ketersediaan C-organik, pH, kadar abu tanah dan kematangan gambut. Hasil penelitian pada lokasi kajian menunjukkan bahwa kadar C-organik dan BD tanah gambut pada KS dan KJ memiliki nilai lebih rendah dibandingkan kawasan hutan (Tabel 12, Gambar 23f dan Gambar 24j). Hal ini berarti bahwa serapan air tanah (soil water holding) dan kelembaban tanah lebih rendah pada KS dan KJ sebagai faktor utama dalam proses penguraian bahan organik dan emisi CO2 tanah gambut. Keduanya sebagai faktor pembatas aktivitas mikrobia. Emisi CO2 mempunyai kecenderungan bertolak belakang dengan kadar C-organik tanah gambut di lokasi kajian. Kadar C-organik yang tinggi mengindikasikan proses dekomposisi lambat, artinya emisi CO2 tanah gambut rendah. Sebaliknya kadar abu mempunyai kecenderungan sama dengan emisi CO2 tanah. Proses dekomposisi bahan organik lanjut meningkatkan kadar abu dan pelepasan CO2 ke atmosfer. Emisi CO2 mempunyai kecenderungan yang sama dengan pH tanah gambut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pH gambut diikuti dengan emisi CO2 tanah gambut pada tipe lahan KJ. Luo dan Zhou (2006) menyatakan bahwa pH tanah mengatur reaksi kimia dan enzim pada mikrobia. Di dalam matrik tanah, absorpsi enzim ke dalam humus terjadi secara optimal pada pH yang tinggi. Kenaikan pH secara nyata meningkatkan emisi CO2 karena pH tanah akan mempengaruhi aktivitas mikrobia tanah. Sesuai dengan penelitian Rumbang et al. (2009) di lahan gambut Kalbar tahun 2006 bahwa terjadi peningkatan emisi CO2 dengan kenaikan pH tanah gambut pada lahan kebun lidah buaya, kebun karet, kebun sawit dan kebun jagung.
Umumnya permukaan tanah gambut memiliki tingkat kematangan saprik. Data hasil penelitian di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada lahan KS dan KJ memiliki kematangan saprik (Gambar 21 dan Lampiran 2). Pada lahan tersebut ditandai pula emisi CO2 yang lebih tinggi dibanding tipe lahan lainnya. Sesuai dengan penelitian Agrianita (2012) bahwa rata-rata fluks CO2 tertinggi pada Kebun Tanjung Pirang dengan tingkat kematangan saprik. Berglund dan Berglund (2011) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi lanjut pada permukaan tanah mengindikasikan lebih banyak bahan organik hancur yang mungkin terdekomposisi lebih mudah. Hal ini dapat menerangkan bahwa perubahan ekosistem alami hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian selain menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanah bahkan dapat mendorong peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Temuan dalam sub topik ini adalah bahwa alih fungsi hutan rawa gambut menjadi semak logging (SB) tidak berdampak pada peningkatan emisi CO2 tanah walaupun suhu tanah cenderung tinggi. Lahan SB mempunyai emisi CO2 paling rendah baik pada saat pengukuran I maupun II dibanding tipe lahan lain. Kondisi ini disebabkan karena tidak terdapat drainase di lahan SB. Hal ini menunjukkan bahwa drainase sebagai faktor pengontrol dalam penurunan jeluk muka air tanah yang secara simultan mempengaruhi peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Bertolak belakang dengan lahan HP yang memiliki suhu terendah pada kedua pengukuran, emisi CO2 tanah lebih besar daripada SB. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan saluran drainase saat pembukaan lahan HP. Kesimpulan dalam sub topik ini adalah peningkatan emisi CO2 tanah gambut terjadi karena alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian (KJ dan KS). Pengolahan intensif menyebabkan agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah yang tinggi karena suhu meningkat. Drainase menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik. Lapisan
gambut teraerasi baik dan meningkatkan oksidasi bahan gambut sehingga terjadi peningkatan dekomposisi gambut oksidatif dan kondisi yang baik untuk aktivitas mikrobia tanah. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Perubahan ekosistem alami hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian selain itu dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia tanah yang secara simultan memungkinkan peningkatan aktivitas mikrobia tanah dalam dekomposisi bahan gambut yang secara simultan meningkatkan pelepasan CO2 ke atmosfer. Hal ini dapat menunjukkan bahwa hipotesis terbukti. F. Pembahasan Umum Lahan gambut dalam kondisi alami berada dalam keadaan jenuh air. Serapan dan pelepasan C pada lahan gambut berjalan hampir seimbang, bahkan pemendaman C berjalan cepat dibanding pelepasan. Begitu campur tangan manusia, keseimbangan ini mulai terganggu bahkan emisi CO2 menjadi dominan. Usikan pada hutan rawa gambut alami menjadi lahan pertanian menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek ekosistem gambut atau lingkungan dan kesuburan tanah (Gambar 27 dan 28). Kajian ini mengindikasikan bahwa alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian dengan keberadaan drainase panjang, dalam dan lebar dapat mengendalikan jeluk muka air tanah yang menyebabkan perubahan kondisi anaerobik menjadi aerobik dan secara simultan memungkinkan peningkatan aktivitas mikrobia tanah dalam percepatan dekomposisi bahan gambut dan mineralisasi bahan organik tanah gambut. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan emisi CO2 tanah gambut. Selain drainase, pengolahan intensif pada lahan pertanian menyebabkan agregat tanah menjadi rusak dan bahan organik yang terlindung agregat menjadi terbuka, aerasi dan kelembaban tanah yang tinggi karena suhu meningkat.
Alih fungsi hutan rawa gambut diawali dengan pembuatan drainase menyebabkan jeluk muka air tanah dalam. Kegiatan lainnya berupa penebangan dan pembakaran vegetasi, pengolahan lahan dan pemupukan tanah. Variabel tersebut baik secara tunggal maupun bersama variabel lainnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam aspek kesuburan (nutrien) tanah dan ekosistem gambut (lingkungan). Kondisi jeluk muka air tanah dalam, suhu tanah meningkat dan musnahnya vegetasi alami memberikan dampak negatif (buruk) lebih besar pada ekosistem gambut. Dampak tersebut berupa (1) penurunan kadar lengas tanah yang dapat menyebabkan perubahan fungsi lahan gambut sebagai penambat air; (2) peningkatan emisi CO2 tanah; (3) penurunan kandungan C tanah dan seresah yang dapat menyebabkan perubahan fungsi lahan gambut sebagai penambat dan pemendam C tanah; (4) penurunan jeluk tanah gambut karena ke-matangan gambut yang dipercepat. Pada aspek kesuburan tanah, dampak negatif yang timbul berupa penurunan kadar nutrien tanah dan seresah. Selain itu, pengolahan lahan dan pemupukan tanah berdampak positif untuk peningkatan pH dan kematangan gambut serta nutrien seresah terutama pada lahan KJ. Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian, khususnya menjadi perkebunan sawit telah diatur sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Dalam Permentan tersebut dijelaskan tentang kriteria ketebalan lapisan gambut yang sesuai yaitu kurang dari 3 (tiga) meter dengan tingkat kematangan gambut hemik dan saprik dan tingkat kesuburan eutropik serta pengaturan drainase terutama saluran tersier pada lebar 1,0 sampai 1,2 meter dan kedalaman antara 0,9 sampai 1,0 meter. Berdasarkan kriteria tersebut menunjukkan bahwa kondisi lahan gambut di lokasi kajian sebagian besar tidak sesuai untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ketidaksesuain tersebut pada kriteria ketebalan lapisan gambut, di lokasi kajian semua jeluk gambut
Alih fungsi hutan rawa gambut penggunaan lahan lain (semak belukar-SB, kebun sawit-KS dan kebun jagung-KJ)
DRAINASE
JELUK MUKA AIR TANAH DALAM
Nitrogen (N-total, NO3-, NH4+) Fospor (P-total, P-tersedia)
PENEBANGAN VEGETASI
PEMBAKARAN VEGETASI
Kalium (K-dd) VEGETASI ALAMI MUSNAH DAN BERGANTI
C-organik tanah & seresah
K E S U B U R A N
pH
PENGOLAHAN LAHAN
Kematangan gambut
PEMUPUKAN TANAH
Seresah
SUHU TANAH MENINGKAT
permukaan Emisi CO2 tanah Jeluk tanah gambut Kandungan C tanah & seresahpemendam C Kadar lengas gambutpenambat air dan pencegah banjir
T A N A H E K O S I S T E M G A M B U T
Gambar 27. Bagan alir dampak alih fungsi hutan rawa gambut terhadap kesuburan tanah dan ekosistem gambut (lingkungan) Keterangan : dampak negatif (buruk) dampak positif (baik) garis hubungan
Gambar 28. Perubahan kondisi ekosistem gambut (a) dan kesuburan tanah (b) akibat alih fungsi hutan rawa gambut. Jeluk muka air tanah (JMAT); jeluk tanah (JTG); hutan primer (HP); hutan sekunder (HS); semak bekas pembalakan hutan (logging) (SB); kebun sawit (KS); kebun jagung (KJ)
lebih dari 3 m hingga mencapai 6,5 m (Lampiran 2), tingkat kesuburan dikategorikan mesotropik-oligotropik (Lampiran 20) dengan rata-rata tingkat kematangan antara fibrik dan hemik (Lampiran 16), serta kondisi saluran drainase terutama pada KS dengan lebar antara 1,5-2,5 m dan kedalaman saluran 1,2-1,5 m (Gambar 21). Alih fungsi hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian terutama menyebabkan perubahan kualitas dan kuantitas karakteristik gambut sehingga mempengaruhi fungsi hutan rawa gambut sebagai penyerap dan pemendam C tanah, penambat air dan pencegah banjir dan menyebabkan degradasi lahan-lahan pertanian karena rutinitas pengolahan lahan dalam jangka waktu lama dan terus-menerus. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas dan keseimbangan C global.