I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang dimaksud disini adalah sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 13,4 persen (Lampiran 1), dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,7 persen. Dari lima subsektor yang ada, peternakan dan perikanan merupakan subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan. Walaupun secara rata-rata pangsa subsektor peternakan terhadap total PDB hanya 1,70 persen dan subsektor perikanan 2,2 persen. Secara rata-rata dari tahun 2001-2010 subsektor perikanan tumbuh 5,22 persen, tertinggi dibanding subsektor lainnya. Sedangkan subsektor peternakan menempati urutan kedua dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,24 persen. Pada triwulan III 2011 pertumbuhan subsektor perikanan adalah 6,11 persen (Bank Indonesia, 2011). Oleh karena itu kedua subsektor ini berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan dan perikanan ini tidak terlepas dari agenda penting pembangunan
ekonomi dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian yaitu revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian, 2005). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi.
Swasembada daging ini pada awalnya diharapkan
tercapai pada tahun 2010 namun karena banyaknya tantangan dan permasalahan yang dihadapi maka program ini belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan
kondisi ini maka pada tahun 2010 pemerintah kembali mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Pada tahun 2009 rata-rata konsumsi daging secara keseluruhan rakyat Indonesia masih cukup rendah yaitu sebesar 6,297 kg per kapita per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), sedangkan konsumsi rakyat Malaysia 46,87 kg per kapita per tahun dan Filiphina 24,96 kg per kapita pertahun (Daryanto, 2009 dalam BAPPENAS 2010). Pada tahun 2010 konsumsi daging mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,953 kg per kapita per tahun. Khususnya untuk daging sapi, Asosiasi Importir Sapi dan para peneliti berbeda pendapat tentang kebutuhan daging sapi nasional. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah kebutuhan daging sapi nasional, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional, ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mencukupi. Tabel 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2011 (000 Ton) Uraian
2007
2008
2009
2010
2011
Produksi daging lokal
210,77
233,63
250,81
221,23
292,45
Impor
124,80
150,42
142,80
195,82
156,85
Total
335,57
384,05
390,61
417,04
449,31
Sumber: Kementerian Pertanian, 2012 Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini
tidak diantisipasi
dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri maka Indonesia akan selalu bergantung pada sapi impor. Hal ini disamping berdampak kurang baik bagi neraca perdagangan Indonesia juga merugikan peternak dalam negeri. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor daging sapi maupun sapi potong dengan cara meningkatkan produktivitas usaha sapi potong domestik secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan input produksi seperti ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, inovasi teknologi serta faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan
pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri. Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama persetujuan ASEAN-Australia Newzealand Free Trade Area (AANZ-FTA) akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi dalam negeri. Indonesia selama ini sebagian besar mengimpor daging sapi dan sapi bibit maupun bakalan dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 2007 turun menjadi 20 persen, sedangkan dari tahun 2003 sampai sekarang menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Tarif ini akan diturunkan secara bertahap sehingga pada tahun 2020 menjadi nol persen. Akibatnya sapi potong impor yang selama ini harganya lebih murah akan semakin menekan daging sapi lokal. Untuk mengantisipasi kondisi ini pemerintah harus segera melakukan percepatan pembangunan peternakan khususnya sapi potong. Salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan produksi sapi potong adalah program integrasi tananaman sawit dengan ternak sapi potong.
Salah satu daerah yang sangat potensial untuk
pengembangan program tersebut adalah Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,5 juta hektar, dimana hijauan dan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Provinsi Riau juga merupakan daerah yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi saat ini hampir 70 persen kebutuhan masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melaksanakan program integrasi tanaman sawit sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi sekaligus peningkatan kesejahteraan petani. Disisi lain subsektor perikanan juga mempunyai peluang yang tidak kalah menjanjikan jika dilihat dari pertumbuhannya yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar dengan luas laut sekitar 8,5 juta km2. Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi berdasarkan data FAO 2002 (DKP, 2005)
menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Melihat fenomena tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur. Dalam rangka untuk mencapai target visi mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015,
Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) menggagas Revolusi Biru sebagai grand strategi. Revolusi Biru merupakan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke maritim yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu realisasi dari program revolusi biru yang digalakkan KKP-RI adalah program pengembangan Minapolitan, yang merupakan konsep pembangunan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak disektor kelautan dan perikanan. Sistem manajemen kawasan Minapolitan didasarkan pada prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Program yang mulai dijalankan Pemerintah RI sejak 2009 ini merupakan upaya untuk merevitalisasi sentra produksi perikanan dan kelautan dengan penekanan pada peningkatan pendapatan rakyat. Melalui program ini akan dikembangkan beberapa komoditas yang telah unggul. Berdasarkan data tahun 2010 ada beberapa komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan Indonesia yang akan ditingkatkan produksi, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, gurame, kakap, kerapu, tuna dan rumput laut. Khusus untuk budidaya ikan patin pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi karena potensi pengembangannya masih cukup besar dan peluang pasar yang masih cukup tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Produksi ikan patin di Indonesia pada awalnya hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil
budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Sampai saat ini, produksi ikan patin di Indonesia telah mengalami peningkatan tetapi masih belum mampun mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2006 produksi patin nasional 31.490 ton dan meningkat menjadi 144.056 ton pada tahun 2010 dengan pertumbuhan rata-rata 58,28 persen dari tahun 2006-2010 (Gambar 1). 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0
144.056 102.021
31.490
36.755
2006
2007
109.685
2008
2009
2010*
Produksi Patin Tahun 2006-2010 (Ton) *) Angka Sementara Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya , 2011 Gambar 1. Hasil produksi Patin Indonesia 2006-2010 Meningkatnya jumlah produksi patin dalam negeri masih belum menjamin tercukupinya kebutuhan ikan patin dalam negeri. Pada tahun 2010, impor patin Indonesia mencapai 2.453,41 ton 1. Sampai dengan akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor ikan patin dari Vietnam hampir sebesar 600 ton setiap bulannya. Harga patin impor dari Vietnam yang hanya berkisar Rp 9.000 per kg, membuat produk olahan perikanan tersebut mendominasi pasar Uni Eopa, Amerika, Asia tak terkecuali Indonesia. Harga murah ini bisa mematikan pasaran patin lokal yang harganya berada pada kisaran Rp 12.500 per kg. Dari segi kuantitas produksi Indonesia juga kalah jauh dengan Vietnam dimana produksinya melebihi 1 juta ton setiap tahun. Untuk menyelamatkan pasaran patin domestik, pemerintah pun melarang impor dory (fillet ikan patin dari Vietnam) untuk sementara. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 1
Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Parulian Hutagalung
Tahun 2011, mulai Januari 2012 impor produk olahan patin tersebut dilarang dan pasar domestik akan diutamakan. Mahalnya harga ikan patin di Indonesia terjadi karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh tingginya harga pakan. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain. Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun
2006
2007
2008
2009
Volume (Ton) 88.852 55.685 68.275 65.601 Nilai 76.527 49.925 44.387 39.945 (US $ 1.000) Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
2010
Kenaikan Rata-rata (%) 57.010 -7,93 38.303 -4,11
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan volume impor tepung ikan di Indonesia dengan melihat perkembangannya yang negatif. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70 persen dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal telah mampu meningkatkan produksi dan kualitas tepung ikan yang dihasilkannya. Melihat fenomena ini dapat disimpulkan bahwa patin dalam negeri masih kalah saing dibandingkan dengan patin produksi Vietnam. Disisi lain pemerintah mempunyai target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Patin sebagai salah satu komoditas andalan merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan meningkatkan daya saing komoditas patin. Daya saing tidak hanya berkaitan dengan industri hilir saja tetapi keseluruhan mata rantai usaha mulai dari industri hulu dan hilir terutama yang berkaitan dengan proses produksi. Untuk meningkatkan daya saing budidaya patin setidaknya ada dua hal yang berkaitan erat yaitu (1) ketersediaan bibit unggul dan berkualitas , (2) ketersediaan pakan yang murah dan berkualitas. Seiring dengan meningkatnya daya saing maka diharapkan target produksi yang diinginkan bisa tercapai.
Tabel 3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010 (Ton) Wilayah 2007 Sumatera 15.991 Jawa 11.532 Bali- Nusa Tenggara 3 Kalimantan 9.231 Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011
2008 66.108 23.159 7 12.747
2009 79.266 14.167 50 10.202
2010 97.438 22.287 168 27.991
Jika dilihat produksi tiap wilayah di Indonesia maka Pulau Sumatera merupakan wilayah penghasil patin terbesar diikuti oleh Pulau Jawa dan Kalimantan (Tabel 3). Sedangkan untuk wilayah Sumatera sendiri Provinsi penghasil patin terbesar adalah Sumatera Selatan, Riau dan Jambi (Tabel 4). Kenaikan produksi ikan patin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemudahan dalam membudidayanya dan masih terbukanya pasar dalam negeri. Disamping itu ikan patin seperti halnya ikan lele terutama di daerah Sumatera dan Kalimantan merupakan santapan yang sangat disukai (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011). Tabel 4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010 (Ton) Provinsi Aceh
2007
2008
2009
2010
73
87
-
-
Sumatera Utara
-
-
94
72
Sumatera Barat
4
5
870
4.082
Riau
3.394
14.206
16.618
20.155
Jambi
8.086
10.077
10.907
12.429
Sumatera Selatan
1.631
38.543
47.265
55.582
Bangka Belitung
27
51
44
106
Bengkulu
238
195
105
230
Lampung
2.538
2.943
3.363
4.782
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011 Dari Tabel 4 di atas bisa dilihat bahwa di wilayah Sumatera, Provinsi Riau merupakan daerah penghasil patin tertinggi kedua setelah Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra pengembangan komoditas perikanan terutama patin di Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang besar terutama peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Perkembangan subsektor perikanan di Provinsi Riau dan pangsanya terhadap PDRB pertanian mengalami peningkatan dari 9,13% pada tahun 2009 menjadi 9,35% pada tahun 2010 2. Potensi lahan untuk kegiatan budidaya tambak yang telah dimanfaatkan sebesar 262 ha dan luas potensial 22.733 ha dengan total keseluruhan sebesar 22.995 ha. Sedangkan untuk kegiatan budidaya air tawar yang terdiri dari budidaya kolam, perairan umum dan sawah, masing-masing tercatat memiliki potensi luas sebesar 8.200 ha, 400 ha dan 3.500 ha 3. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah yang dijadikan sebagai salah satu sentra ternak di Provinsi Riau bagian selatan. Hal itu disebabkan karena Kabupaten Indragiri Hulu memiliki potensi yang besar terutama pakan ternak. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan. Dinas Peternakan Indragiri Hulu menargetkan dapat mengembangkan peternakan sapi dan kerbau yang terintegrasi dengan tanaman khususnya sawit. Ditargetkan setiap satu hektar sawit akan ada minimal dua ekor sapi. Pada perkebunan kelapa sawit, hijauan yang ada dilahan, pelepah sawit serta bungkil kelapa sawit bisa dijadikan pakan ternak. Saat ini populasi ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu tertinggi di Provinsi Riau dan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Tabel 5). Berdasarkan potensi yang ada maka subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Kabupaten Indragiri Hulu sebagai salah satu sentra produksi sapi potong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan daging yang tinggi di Provinsi Riau. Dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi potong sebagai komoditi unggulan, maka pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan berbagai kebijakan diantaranya: (1) mengembangkan
2
3
sentra-sentra
www.bi.go.id www.regionalinvestment.bkpm.go.id
baru
pembibitan
ternak
pedesaan
dan
pengembangan agribisnis komoditas unggulan ternak pada wilayah yang sesuai dengan agroklimat, pasar dan teknologi (2) mengembangkan pola kemitraan antara perusahaan peternakan besar dengan peternakan rakyat (3) pemberdayaan kelompok petani peternak (4) pengembangan pasar ternak dan lain lain. Tabel 5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Kabupaten/Kota 2009 Kuantan Singingi 25.043 Indragiri Hulu 37.490 Indragiri Hilir 6.090 Pelalawan 4.926 Siak 12.203 Kampar 17.291 Rokan Hulu 25.249 Bengkalis 13.310 Rokan Hilir 19.588 Kepulauan Meranti Pekanbaru 7.775 Dumai 3.429 *) Angka Sementara Sumber: BPS Provinsi Riau, 2012
2010 26.307 39.023 6.334 5.602 15.599 19.875 26.057 11.047 21.549 2.263 7.962 7.070
2011* 22.560 28.418 5.378 5.326 9.556 23.154 30.552 10.517 12.866 3.579 3.982 3.967
Usaha peternakan sapi yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu pada umunya adalah peternakan rakyat dengan skala kepemilikan antara 3-10 ekor. Masyarakat menjadikan peternakan sapi sebagai usaha sampingan, pada umumnya mereka menjadikan sapi sebagai tabungan untuk keperluan-keperluan khusus seperti untuk biaya sekolah anak, biaya pesta dan lain sebagainya. Usaha ternak sapi dipilih oleh masyarakat karena kegiatannya mudah, tidak memakan banyak waktu serta pencarian pakan bisa dilakukan dikebun yang mereka miliki. Sistem pemeliharan yang dilakukan oleh masyarakat berupa ranch murni (sapi dibiarkan lepas di lapangan atau di kebun), semi intensif dan intensif (sapi dikandangkan secara terus menerus dan diberi pakan). Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga bibit, lahan hijauan untuk pakan yang semakin berkurang, belum tersedianya mesin untuk pembuatan mengolah pakan dari limbah sawit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal serta manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana. Permasalahan lain yang dihadapi
oleh peternak adalah adanya sapi potong impor maupun didatangkan dari daerah lain dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada maka perlu dikaji apakah usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka pencapaian swasembada daging 2014. Disamping itu perlu juga dikaji kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha sapi domestik. Sedangkan pada sektor perikanan Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor KEP.39/MEN/2011 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor Kep.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan perikanan dengan luas perairan umum sebesar 36.015 Ha, yang terdiri dari danau 1.449 Ha, sungai 9.095 Ha dan rawa-rawa 25.471 Ha (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab.Indragiri Hulu, 2011). Dengan kondisi perairan yang cukup luas produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu mencapai lebih dari 500 ton per tahun. Komoditas perairan umum andalan di daerah ini adalah ikan patin dengan jumlah produksi 98,65 ton tahun 2009, menurun menjadi 87,80 ton pada tahun 2011(Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2012). Produksi perairan umum seperti ikan patin cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya karena kegiatan penangkapan ikan tersebut telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk ditangkap. Berdasarkan kondisi ini maka pemerintah mengarahkan pengembangan sektor perikanan di Kabupaten Indaragiri Hulu pada pengembangan usaha budidaya (akuakultur). Beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah Indragiri Hulu dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas budidaya ikan patin adalah: (1) pengembangan atau perluasan areal kolam di kawasan minapolitan (2) pembentukan kelompok tani pembudidaya patin sehingga memudahkan dalam mengkoordinir kegiatan pembudidaya (3) memberikan bantuan mesin penepung pakan ikan untuk mengatasi kendala mahalnya harga pakan komersil (4)
menyediakan mesin pengasapan ikan patin dan program-program lainnya yang terkait dengan budidaya ikan patin. Usaha budidaya patin yang dilakukan oleh masyarakat Indragiri Hulu sebagian besar dilakukan di kolam. Luas kolam per unit milik pembudidaya bervariasi antara 100-10.000 m2. Dari total 575 Ha potensi kolam yang ada di Indragiri Hulu, yang baru direalisasikan untuk budidaya ikan air tawar 154,80 Ha. Besarnya potensi kolam yang ada ditambah potensi perairan umum berupa sungai dan danau maka usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin masih terbuka cukup luas. Dari 14 kecamatan yang ada, Kecamatan Pasir Penyu merupakan wilayah yang tingkat realisasi pemanfaatan potensi kolamnya paling tinggi sehingga direkomendasikan sebagai pusat kawasan minapolitan. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan lahan, sumber air dan sarana produksi lainnya. Berdasarkan informasi di lokasi penelitian, usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan yang dirasa cukup berat oleh petani pembudidaya. Beberapa permasalahan yang dihadapi pembudidaya antara lain kurangnya modal usaha, penanggulangan penyakit,
sulitnya bahan baku
pakan, harga yang tidak stabil dan kurangnya pembinaan SDM dilapangan. Dari segi pakan yang menjadi permasalahan adalah mahalnya harga pakan (pelet) yang didatangkan dari daerah luar seperti Surabaya dan Medan. Disamping itu produksi patin lokal juga harus bersaing dengan ikan yang datang dari kabupaten lain seperti Kampar bahkan dari provinsi lain seperti Sumatera Barat yang harganya lebih murah. Saat musim hujan produksi patin budidaya mengalami penurunan karena perubahan kadar air akibat banjir menyebabkan tingkat kematian patin cukup tinggi. Adanya bermacam permasalahan seperti di atas maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha budidaya ikan patin di Indragiri Hulu. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha budidaya ikan patin sehingga program minapolitan yang akan dilakukan bisa berjalan sesuai harapan. Berdasarkan paparan tentang kondisi serta prospek sektor peternakan dan perikanan Kabupaten Indragiri Hulu di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu:
1. Apakah usaha usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif? 2. Apakah kebijakan pemerintah terhadap input dan output mempengaruhi daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk: 1. Menganalisis tingkat daya saing budidaya ikan air patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan dan komparatif kompetitif. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing udaha budidaya ikan patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indragiri, yang merupakan salah satu daerah yang ditunjuk sebagai kawasan minapolitan serta merupakan salah satu daerah sentra ternak sapi potong di Provinsi Riau. Lokasi unit penelitian adalah Kecamatan Rengat dan Kecamatan Pasir Penyu, dimana kedua kecamatan ini termasuk wilayah basis budidaya patin dan peternakan sapi potong. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini juga akan memberikan informasi efesiensi ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Terdapat beberapa batasan dari penelitian ini yaitu: 1. Usaha peternakan sapi potong yang dianalisis adalah usaha peternakan rakyat (penggemukan dan pembibitan) dengan skala kepemilikan rata-rata 6 ekor.
2. Pada usaha pembibitan sapi potong penghitungan analisis biaya usaha tani diasumsikan tanpa resiko. 3. Responden peternak dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan ternak sapi jenis peranakan simmental. 4. Usaha budidaya ikan patin yang dianalisis adalah usaha budidaya pembesaran di kolam dengan luas rata-rata 500 m2. 5. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin ini menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2011