I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang dan menyejukkan yang diberikan alam dirindukan oleh masyarakat. Dalam industri farmasi, misalnya, obat-obatan kimia yang banyak diproduksi perusahaan farmasi dengan teknologi modern, diyakini menimbulkan dampak negatif (mempunyai efek samping) bagi kesehatan karena terkait dengan penggunaan unsur-unsur kimia yang ada didalamnya. Sedangkan obat herbal diyakini lebih aman tanpa efek samping, dapat dipakai seluruh keluarga, sejalan dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat kualitasnya yang baik, berkhasiat menyembuhkan penyakit dan harga obat herbal relatif lebih murah. Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Tanaman obat juga mudah
didapatkan
dan
dapat
tumbuh
dengan
mudah.Indonesia
memiliki
keanekaragaman hayati tanaman obat yang sangat besar. Terdapat 940 spesies tanaman yang berkhasiat sebagai tanaman obat dimana 180 spesies diantaranya telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional (Anonim, 2001b). Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan potensi industri biofarmaka dalam negeri dengan adanya keanekaragaman tersebut.Produk biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Kardinan dan Dhalimi, 2003). Biofarmaka memiliki prospek bisnis yang cerah untuk peluang pemasaran domestik dan luar negeri, maka peluang pengembangannya pun masih cukup besar. Tanaman biofarmaka yang potensi pengembangannya cukup besar adalah: jahe (Zingiber officinale Roxb.), kunyit (Curcuma domestica Val.), kencur (Kaempferia galangal L.), dan temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.), terutama untuk bahan minuman dan obat-obatan. Di Jawa Tengah lebih dari 100 industri obat tradisional besar, menengah dan kecil (rumahan), mengalami masalah yaitu tidak dapat terpenuhinya kapasitas produksi pabrik karena kekurangan bahan baku biofarmaka. PT Sidomuncul, produsen jamu terbesar di Indonesia, membutuhkan pasokan 1
sekitar 650 ton
bahan baku biofarmaka (kapulaga, temulawak, temu ireng, kunyit, lengkuas dan lempuyang) setiap bulan. Jumlah ini masih dibawah kapasitas produksi yangmencapai 800 ton per bulan. Selain itu, PT Sidomuncul membutuhkan kunyit minimum lima ton rimpang basah per hari, namun belum terpenuhi. Komoditas lengkuas (Languas galanga (L) Stuntz.) dan lempuyang (Zingiberis zerumbeti R) yang masing-masing diperlukan sebanyak 15 ton kering setiap tahun namun hanyasekitar 30 - 40 ton per tahun yang dipasok oleh para petani mitra. Kebutuhan pabrik akan komoditas kencur (Kaempferia galanga L.) sebanyak 7 - 8 ton per hari atau 100 ton per tahun hanya dapat terpenuhi dari kontribusipetani sebanyak 20 ton. Tabel 1.1 meyajikan kebutuhan dan persediaan industri obat Indonesia. Tabel 1.1.Kebutuhan dan Persediaan Industri Obat Indonesia No
Nama Bahan Baku
Kebutuhan (ton/tahun) 15000
Persediaan (ton/tahun) 12500
1
Jahe
2
Kencur
7000
4500
3
Kunyit
5000 kering
2500 kering
2500 basah
2200 basah
4
Bengle
800
300
5
Daun Jati Belanda
500
400
6 7
Lempuyang Daun Sembung
300 200
150 150
Industri / Perusahaan Penerima dan Kebutuhannya Semua Pabrik PT. Sido Muncul = 15 ton/bulan PT. Air Mancur = 15 ton/bulan Temu Kencono = 10-12 ton/bulan Indotraco = 40 ton/bulan Semua Pabrik Sidomuncul 7-8 ton/bln Temu Kencono 5-8 ton/bln Indotraco 200 - 300 ton/thn Herba Agronusa 40 ton/thn Semua Pabrik Sido Muncul = 6 ton kering/bulan Sido Muncul = 5ton basah/hari Sidomuncul = 5 - 7 ton/bln Air Mancur = 2 - 3 ton/bln Indo Farma = 8 - 12 ton/bln Sidomuncul = 2 - 3 ton/bln Sidomuncul = 15 ton/bln Sidomuncul = 2 - 3 ton/bln
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2008. Jahe merah dan jahe emprit, biofarmaka yang selama ini telah dibudidayakan dan dibutuhkan industri obat tradisional hanya mampu diproduksi sebanyak 250 ton per minggu dan tidak dapat terpenuhi oleh pasar domestik sehingga perlu dipasok dari Cina.
2
Kencur adalah komoditas budidaya yang belum mampu memenuhi permintaan industri obat tradisional, dengan tingkat kebutuhan nasional 125 - 150 ton per minggu baru dapat terpenuhi sekitar 80 - 100 ton. Fenomena tersebut diatas menunjukkan bahwa pasar domestik bahan baku dan simplisia biofarmaka masih terbuka sangat lebar tetapi kita juga tidak dapat menutup mata dengan permasalahan yang dihadapi para petani pemasok, yaitu rendahnya kualitas bahan baku dan simplisia yang dihasilkannya, sementara industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi agar bahan baku dan simplisia biofarmaka dapat diproses lebih lanjut menjadi obat atau kosmetika. Menurut Heartwood (2007), jahe di Indonesia adalah komoditas yang memiliki permintaan cukup tinggi baik di pasar domestik dan luar negeri, disesuaikan dengan bentuk, ukuran, dan warna rimpangnya. Permintaan jahe dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan kecenderungan peningkatan konsumsinya yaitu dengan pertumbuhan 18,71% setiap tahunnya, hal ini menunjukan bahwa peluang Indonesia sangat besar untuk meningkatkan ekspor. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Penggunaan lahan di DAS Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan, tegalan, perkebunan, sawah, pemukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Teknologi usaha tani yang tidak terlalu terikat dengan pola penggunaan lahan diperlukan untuk lebih memperluas pola pengelolaan sumberdaya lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya apabila pembangunan pertanian masih melalui pendekatan sektoral tanpa ada integrasi dalam perencanaan maupun implementasinya.
3
Pertambahan penduduk yang cepat mengakibatkan alih fungsi lahan yang semula digunakan untuk bidang pertanian dialihfungsikan menjadi pemukiman (tempat tinggal). Saat ini sangat banyak lahan subur pertanian dialih fungsikan sebagai tempat aktivitas selain pertanian. Oleh karena itu dewasa ini telah mulai dilakukan pengembangan usaha pertanian yaitu mengembangkan pertanian di lahan marginal. Salah satu contoh lahan-lahan marginal adalah lahan kritis di DAS. Menurut data dari Balai Penelitian Kehutanan Surakarta (2004) sekitar 756.545 Ha lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo bagian hulu kritis dan memerlukan penanganan segera karena berpotensi menyebabkan erosi. Daerah itu meliputi wilayah Solo Raya, mulai dari Wonogiri hingga Sragen. Salah satu sub DAS di Bengawan Solo bagian hulu adalah sub DAS Keduang.Sub DAS Keduang mencakup Kecamatan Girimarto (4978 Ha), Jatipurno (5573 Ha), Jatiroto (7313 Ha), Jatisrono (5432 Ha), Kismantoro (52 Ha), Ngadirojo (5075 Ha), Nguntoronadi (1398 Ha), Sidoharjo (5067 Ha), Slogohimo (6217 Ha), Wonogiri (461 Ha), dan 1 kecamatan dari Kabupaten Karanganyar yaitu Kecamatan Jatiyoso (691 Ha). Sungai utama sungai Keduang dengan pola aliran dendritik di utara dan pola aliran trails di bagian selatan. Gradien sungai utama sebesar 5.73 % dan kemiringan rata-rata sub DAS-nya sebesar 21,08 %. Bentuk sub DAS-nya membulat. Sebagian besar terdiri dari endapan pleistosen atas dan formasi Lawu tua. Di bagian selatan terdiri dari batuan vulkanik tua yang telah mengalami pengangkatan, patahan dan pelenturan Erosi tanah mempengaruhi produktivitas lahan kering yang biasanya didominasi DAS bagian hulu dan juga akan memberikan dampak negatif di DAS bagian hilir (Asdak, 2002). Pengertian tersebut membuktikan bahwa perlu dilakukan juga usaha konservasi di daerah tersebut dan salah satu usaha konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman tanaman penutup tanah tinggi atau tanaman pelindung. Salah satu tanaman yang bisa digunakan sebagai tanaman pelindung adalah tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L.). Tanaman ini memiliki banyak keunggulan antara lain : 1. Pertumbuhannya sangat cepat sehingga masa layak tebang dalam umur yang relatif pendek. 2. Memiliki perakaran yang dalam, sehingga dapat menarik hara yang berada pada kedalaman tanah ke permukaan. 4
3. Mudah bertunas kembali apabila ditebang, bahkan apabila terbakar. 4. Biji atau bagian vegetatif untuk pembiakannya mudah diperoleh dan disimpan. Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini menguntungkan bagi akar dan sekitarnya. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan menyediakan unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat membuat tanah disekitarnya menjadi lebih subur sehingga sangat mendukung jika ditanam bersama-sama dengan tanaman biofarmaka. Hal ini akan meningkatkan pendapatan petani di sekitar sub DAS Keduang karena selain memperoleh hasil dari budidaya tanaman biofarmaka juga memperoleh tambahan hasil dari produksi kayu tanaman sengon sehingga kesadaran petani untuk menjaga lahan di sekitar sub DAS Keduang pun akan terbentuk. Sedangkan kaitan tanaman sengon sebagai tanaman pelindung atau sebagai media konservasifungsinya antara lain: (1) mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting, dan daun yang mati yang jatuh ke permukaan tanah, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Oleh karena itu juga perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman sengon untuk mengetahui kesesuaian tanaman tersebut untuk digunakan sebagai tanaman pelindung atau tanaman penutup tanah di daerah tersebut. Usaha konservasi tidak akan maksimal jika hanya pemerintah yang terlibat menanganinya, untuk itu perlu dilakukan usaha konservasi partisipatif. Masyarakat di sekitar DAS harus dilibatkan untuk ikut membantu dan berpartisipasi dalam usaha merawat dan menjaga keberlangsungan DAS, untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan suatu usaha yang juga memberikan keuntungan financial kepada masyarakat khususnya para petani, salah satunya adalah dengan pengembangan tanaman jahe, kencur, kunyit, selain hanya budidaya sengon karena dengan budidaya tanaman biofarmaka tersebut petani secara rutin akan menjaga lahannya, tidak hanya ditinggalkan begitu saja contohnya ketika masyarakat menanam jati, setelah ditanam petani hanya akan kembali ketika jati tersebut siap ditebang/siap dipanen.
5
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk: 1. Mengetahui tingkat kesesuaian lahan tanaman jahe, kunyit, kencur, dan sengon di sub DAS Keduang bagian tengah. 2. Menyusun rekomendasi pengembangan tanaman biofarmaka (khususnya jahe, kunyit, dan kencur) di sub DAS Keduang bagian tengah
1.3. Hipotesis 1. Tanaman biofarmaka sesuai untuk dibudidayakan di Sub DAS Keduang yang memiliki variasi topografi. 2. Tanaman sengon sesuai untuk dibudidayakan di Sub DAS Keduang sebagai tanaman konservasi atau tanaman pelindung 3. Budidaya tanaman biofarmaka memiliki prospek bisnis yang menjanjikan dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar sub DAS Keduang.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai salah satu syarat guna memperoleh derajat sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada 2. Bagi masyarakat di sekitar Sub DAS Keduang, diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan meningkatkan kesadarannya dalam merawat dan melestarikan DAS. 3. Bagi pemerintah, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan untuk menentukan pengembangan wilayah di Sub DAS Keduang khususnya pengembangan wilayah pertanian yang berbasis biofarmaka. 4. Bagi pihak lain, diharapkan sebagai sumber informasi dan referensi mengenai tingkat kesesuaian lahan tanaman biofarmaka serta menggali potensi lahan di Sub DAS Keduang.
6